Anda di halaman 1dari 13

MATERI PEMBELAJARAN

Literasi Bencana Dalam Pembelajaran Fisika dan IPA

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Literasi Dalam Pembelajaran Fisika
Dosen Pengampu : Dr. Asrizal, M.Si.

Disusun Oleh:

Nama : Nichia Mizentika


NIM : 19033118

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
Literasi Bencana Dalam Pembelajaran Fisika dan IPA

A. Konsep bencana
Bencana merupakan suatu situasi dan kondisi yang terjadi akibat kejadian alam dan
non alam (buatan manusia yang terjadi secara tiba-tiba yang menimbulkan dampak yang
hebat sehingga komunitas masyarakat yang terkena atau terpengaruh harus merespon
dengan tindakan yang luar biasanya (Carter, 2008). Bencana adalah suatu gangguan
serius yang merugikan dalam kehidupan, kesehatan, mata pencaharian, harta benda yang
bisa terjadi pada komunitas tertentu atau sebuah masyarakat selama beberapa waktu yang
ditentukan di masa depan (UNISDR, 2009) .
Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan
pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang
dipicu oleh suatu kejadian.
Dapat disimpulkan bahwa bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik itu oleh
faktor alam, maupun disebabkan oleh faktor nonalam (manusia).

B. Kriteria Bencana
1. Ada peristiwa
2. Faktor alam atau non alam(ulah manusia)
3. Tiba-tiba (sudden) atau perlahan
4. Menimbulkan hilangnya jiwa manusia, harta benda, kerugian sosial ekonomi,
kerusakan lingkungan dll
5. Berada diluar kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya

C. Jenis-Jenis Bencana
1. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Bencana
Setiap bencana memiliki magnitude atau besaran dampak yang
disebabkannya. Berdasarkan karakteristik tersebut tidak semua kejadian yang tidak
diinginkan masuk dalam kategori bencana. Dalam terminologi kebencanaan ada
perbedaan antara event, disaster dan catastrophe. Misalnya kebakaran sebuah rumah
yang dapat ditangani oleh petugas pemadam kebakaran, masuk dalam kategori event
atau kejadian, bukan disaster atau bencana (Coppola, 2015). Catastrophe atau
katastropik memiliki dampak yang lebih hebat dibanding bencana. Menurut
Quarantelli, sebuah peristiwa masuk dalam kategori katastropik jika (Etkin, 2016):
a. Berdampak hebat terhadap hamper atau seluruh infrastruktur masyarakat
b. Pemerintah setempat tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya
bahkan berlanjut hingga masa recovery (perbaikan pasca bencana).
c. Kegiatan sehari-hari masyarakat terganggu hampir setiap hari.
d. Komunitas masyarakat yang berdekatan tidak dapat memberikan bantuan
Dilihat dari kemampuan pengelolaannya, bencana dapat terbagi menjadi tiga yaitu
(Coppola, 2015):
1) Bencana local (local disaster), yaitu bencana yang dapat ditangani oleh
pemerintah local setempat seperti provinsi, kota. Jika tidak dapat ditangani maka
menjadi bancana nasional.
2) Bencana nasional (national disaster), yaitu bencana yang dapat ditangani oleh
pemerintah nasional/negara setempat. Sama seperti bencana local, jika
pemerintahan nasional tidak dapat menangani maka naik menjadi bencana
internasional.
3) Bencana internasional (international disaster), yaitu bencana yang harus ditangani
oleh lembaga internasional atau koalisi beberapa negara yang membantu
penanganan bencana.
Bencana dapat juga digolongkan menurut kecepatan kejadiannya yaitu rapid
disaster dan slow disaster (Etkin, 2016).
1) Rapid disaster
Kecepatan kejadian rapid disaster tentu lebih slow disaster. Rapid disaster yaitu
bencana yang terjadi secara tiba-tiba atau sudden-onset disaster yang terjadi
dengan sedikit atau tanpa peringatan dini dan biasanya memiliki efek
menghancurkan selama berjam-jam atau berhari-hari. Contohnya antara lain
gempa bumi, tsunami, gunung berapi, longsor, badai tornado, dan banjir.
Kemampuan manusia dalam merespon dan memberikan bantuan kepada korban
pada bencana ini bisa berlangsung dalam hitungan minggu hingga bulan, bahkan
pernah mencapai 1 tahun, seperti: bencana kekeringan, kelaparan, salinisasi tanah,
epidemic AIDS, dan erosi (Coppola, 2015).
2) Slow disaster
Sementara slow onset disaster atau creeping disaster adalah jenis bencana yang
terjadi secara lambat bahkan tidak terlihat gejalanya. Gejala bencana baru terlihat
setelah terjadi kerusakan dan penderitaan dalam jumlah yang proporsional dan
membutuhkan tindakan kegawatdaruratan yang massif. Contohnya adalah
kelaparan, kekeringan, tanah menjadi gurun (desertification), epidemic penyakit

2. Klasifikasi berdasarkan Penyebab Bencana


Upaya mengklasifikasikan bencana (disaster taxonomy) berdasarkan penyebab
sudah pada tahun 1987 oleh Antony J. Taylor, yang membagi bencana ke dalam tiga
kategori yaitu natural disaster (bencana karena Ade Heryana | Pengertian dan Jenis-
jenis Bencana 5 alam), industrial disaster (bencana akibat industrialisasi), dan
humanistic disaster (bencana akibat perbuatan manusia). Taksonomi bencana menurut
penyebab tersebut dideskripsikan pada tabel berikut (Taylor, 1987).
Berdasarkan penyebabnya bencana dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu
bencana yang disebabkan oleh alam atau natural disaster), bencana akibat teknologi
atau technological-caused disaster dan bencana akibat manusia atau human-caused
disaster (Etkin, 2016).
a. Bencana alam (natural disaster)
Kejadian bencana alam diperkirakan akan terus meningkat yang disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu (1) variasi dari siklus alam seperti solar maxima, gempa
bumi dan aktivitas vulkanik; (2) pemanasan global yang minimal dapat
meningkatkan aktivitas badai yang mematikan dan kekeringan di beberapa
wilayah; (3) Bertambahnya variasi jenis penyakit dan penyakit akibat vector
akibat pemanasan global; dan (4) Perubahan musim, kondisi cuaca serta suhu dan
kelembaban ambient yang menyebabkan dampak buruk pada cadangan makanan,
produksi zat allergen dan isu kesehatan pada manusia (Hogan & Burstein, 2007).
Bencana alam (natural disasters) dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu (Keim,
2015):
1) Bencana akibat kejadian biologis (biological disaster). Bencana ini
disebabkan oleh patogen bakteri atau virus yang dapat berbentuk pandemic,
wabah, atau epidemic penyakit menular. Dalam Dictionary of Disaster
Medicine and Humanitarian Relief disebutkan bahwa bencana biologis adalah
bencana yang diakibatkan oleh paparan/pajanan biomassa atau organisme
hidup dalam jumlah besar terhadap zat-zat beracun, bakteri atau radiasi (S. W.
A. Gunn, 2013).
2) Bencana akibat kejadian hidro-meteorologik (hydro-meteorological disaster).
Bencana ini dapat disebabkan oleh curah hujan yang tinggi atau rendah. Yang
sering terjadi adalah bencana akibat curah hujan tinggi yaitu banjur dan badai.
Bencana badai meliputi badai siklon tropis, tornado, badai angin, dan badai
salju. Sedangkan bencana akibat curah hujan rendah antara lain: kekeringan
(kadang bersamaan dengan badai debu), kebakaran yang tidak terkendali
seperti di hutan, dan gelombang panas.
3) Bencana akibat kejadian geofisika (geo-physical disaster). Bencana ini
disebabkan oleh energi yang dihasilkan dari berbagai kejadian geofisika.
Bencana ini terbagi menjadi tiga yaitu (1) bencana karena energi seismic
seperti gempa bumi dan tsunami; (2) bencana karena energi vulkanik seperti
erupsi gunung berapi dan aliran larva gunung; dan (3) bencana karena energy
gravitasi seperti longsor (longsoran puing, longsor lumpur, longsoran lahar
vulkanik, dan longsoran salju.

b. Bencana akibat industri


Bencana akibat industri atau industrial-induced disaster merupakan bencana yang
terjadi karena proses atau kegiatan industri termasuk dalam penciptaan, uji coba,
penerapan, atau kegagalan dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan teknologi menghasilkan hazard (bahaya) industri seperti limbah
dan radiasi industri serta bencana kimia. Berton-ton material berbahaya dibawa ke
pemukiman padat setiap hari, dimana setiap ton material memiliki potensi bahaya
yang mematikan (Hogan & Burstein, 2007). Contoh bencana teknologi adalah
ujicoba nuklir di Bikini Atoll kepulauan Masrshall tahun 1946, dan di Three Mile
Island Pennsylvania tahun 1976, dan di Chernobyl Ukraina tahun 1986 (A. M.
Gunn, 2008).
c. Bencana akibat manusia
Bencana akibat manusia disebut juga manmade disaster atau natural-induced
disaster. (Beach, 2010). Bencana ini merupakan hasil dari kesalahan yang dibuat
manusia atau niat jahat dan kejadian apapun yang ketika itu terjadi ditinggalkan
oleh pelakunya dengan anggapan bahwa ketika bencana terjadi lagi masyarakat
dapat mencegahnya. Bencana akibat manusia dideskripsikan pada tabel 2 berikut.

D. Manajemen Bencana
Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan
dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang
dikenal sebagai siklus manajemen bencana. Tujuan menejemen bencana antara lain: (1)
mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi
masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan
infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis (Agus Rahmat, 2015)
Penanganan bencana pada dasarnya di tujukan sebagai upaya untuk meredam
dampaknya dan memperkecil korban jiwa, kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh
bencana. Jadi penanganan bencana bukan mencegah untuk terjadinya melainkan
mencegah dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh bencana dan memperkecil korban
jiwa, kerugian secara ekonomis dan kerusakannya. Sudah sejak lama masyarakat
tradisional bisa mengantisipasi terjadinya bencana karena mereka mampu melakukan
prediksi, previsi dan preservasi secara langsung.
Manajemen bencana meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Sebelum bencana terjadi, meliputi langkah–langkah pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan dan kewaspadaan.
2. Pada waktu bencana sedang atau masih terjadi, meliputi langkah– langkah peringatan
dini, penyelamatan, pengungsian dan pencarian korban.
3. Sesudah terjadinya bencana, meliputi langkah penyantunan dan pelayanan,
konsolidasi, rehabilitasi, pelayanan lanjut, penyembuhan, rekonstruksi dan
pemukiman kembali penduduk.
Tahapan diatas dalam kenyataannya tidak dapat ditarik tegas antara tahapan satu
ketahapan berikutnya. Demikian pula langkah – langkah yang diambil belum tentu dapat
dilaksanakan secara berturut–turut dan runtut. Namun jelas bahwa manajemen bencana
(disarter management) adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang menyeluruh,
terpadu dan berlanjut yang merupakan siklus kegiatan.

E. Literasi Bencana
1. Praktik Literasi dan Bencana
Mengacu pada studi literasi dalam budaya popular yang ditulis oleh David
Barton dan Mary Hamilton (1998: Williams dan Zenger, 2007:11) bahwa praktik
literasi adalah cara-cara budaya yang secara general memanfaatkan tulisan dalam
bahasa yang kemudian digunakan oleh masyarakat dalam kehidupannya, atau dalam
definisi yang lain bahwa praktik literasi adalah konsep menghubungkan antara
aktifitas tulis dan membaca dan struktur sosial dimana mereka gunakan sebagai
bagian dari bantuan atau cara. Barton dan Hamilton (1998) melihat bahwa tulis dan
membaca adalah bagian dari budaya, dimana masyarakatnya mengambilnya sebagai
alat untuk mengetahui atau memahami fenomena. Praktik literasi mengacu pada nilai,
sikap, perasaan dan hubungan sosial (Barton dan Hamilton, 1998: Williams dan
Zenger, 2007:4). Pada konteks ini pendekatan kultural sangat penting dalam praktik
literasi.
Jika ada praktik literasi maka ada pula peristiwa literasi. Peristiwa literasi
adalah bagian dari praktik literasi. Peristiwa literasi adalah disaat seseorang atau
masyarakat mempraktikkan kegiatan membaca atau menulis dalam konteks tertentu
(Barton dan Hamilton, 1998:Williams dan Zenger, 2007:4).
Maka dari itu, pemahaman dan kecakapan tentang bencana yang diaplikasikan
dalam berbagai bentuk media, penggunaan media dan bagaimana seseorang
memahami dan mempraktikan terkait informasi mitigasi dan kesiapsiagaan bencana
adalah bagian dari literasi. Maka dalam literasi kebencanaan kita juga bisa melihat
seperti apa artifak literasi yang digunakan.
Secara sederhana bencana muncul karena adanya bahaya (hazard) dimana
bahaya muncul dari sebuah peristiwa yang alamiah, dan kerentanan masyarakat
terhadap bencana (vulnerability). Kerentanan manusia terhadap bencana mengacu
pada banyak faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, ataupun faktor yang lainnya.
Semakin besar kerentanan masyarakat menghadapi bencana, kemungkinan akan
semakin besar korban dalam bencana tersebut. Kerentanan mengacu pada banyak
faktor, misalnya pengetahuan akan bencana di daerah tersebut, ekonomi, ataupun hal
lain seperti mitos dan lain sebagainya.
Maka dapat disimpulkan Literasi kebencanaan adalah kapasitas individu
dalam membaca, memahami dan menggunakan informasi tersebut untuk kemudian
dibuatkan sebuah kebijakan informasi dengan mengikuti instruksi-instruksi dalam
konteks mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan dari bencana.

2. Model Literasi Bencana


Model literasi kebencanaan versi Brown et.al (2014):
1) Tahap 1, adalah tahap awal literasi, minimal masyarakat maupun individu mampu
membaca dan mampu mengerti instruksi-instruksi perihal mitigasi dan
kesiapsiagaan bencana. Pada level ini kecenderungannya kapasitasnya masih
rendah namun sudah mau mengikuti instruksi-instruksi terkait pesan-pesan
kesiapsiagaan bencana, respon bencana, dan pemulihan.
2) Tahap 2, adalah kemampuan secara komperhensif terkait informasi kebencanaan,
dibuktikan dengan telah mengikuti rekomendasi-rekomendasi dan instruksi-
instruksi. Walaupun secara individual pada tahap ini secara umum masih kurang
pengalaman dalam kemampuan dalam mengolah informasi, namun kemampuan
ini cukup penting sebagai bekal dalam menghadapi bencana yang bisa muncul
secara tiba-tiba.
3) Tahap 3, adalah motivasi dan kepercayaan diri individu untuk proaktif. Pada level
ini pesan sudah mampu diterima dengan baik. Pesan bisa kemudian dimodifikasi
atau ditambahkan sesuai dengan hal-hal yang familiar. Pesan bisa jadi berbeda
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan individu.
4) Tahap 4, tahap ini keterlibatan individu sudah semakin jauh. Individu sudah
memahami informasi lebih luas, memahami keadaan lebih luas, terutama terkait
dengan hambatanhambatan keselamatan lingkungan dan sosial.

F. Dua contoh keterkaiatan Materi Fisika atau IPA dengan bencana


1. Bencana Erosi
Salah satu sumber fenomena alam yang dapat diangkat dalam pembelajaran
fisika adalah bencana erosi tanah. Bencana erosi biasanya terjadi di bibir sungai dan
di daerah muara sungai akibat dari partikel air menumbuk daratan dengan momentum
yang besar. Selain itu, kemungkinan terjadinya erosi dinding sungai juga dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti topografi, geologi, hidrologi, tanah dan sisa-
sisa aktifitas manusia. Dari sudut pandang fisika, bencana erosi yang terjadi pada
dinding sungai di Batang Sinamar dipengaruhi oleh beberapa konsep fisika
diantaranya fluida statis, fluida dinamis, gaya gesek, impuls, momentum dan energi
kinetik translasi dari fluida. Dampak yang ditimbulkan oleh bencana erosi sendiri
antara lain perluasan bibir sungai, pendangkalan sungai, pergeseran lahan, dan
dampak jangka panjang yang akan muncul adalah berkurangnya area daratan karena
sudah turun dan menjadi bagian dari sungai.

2. Bencana Hujan Es
Salah satu bencana alam yang ada pada lingkungan peserta didik adalah hujan
es yang dapat mengakibatkan kerusakan fasilitas umum, pertanian dan atap rumah.
Hujan es terjadi secara fisis karena adanya proses kondensasi yang terlalu dingin dan
proses peleburan es saat jatuh yang tidak sempurna. Hujan es dapat membahayakan
lingkungan karena suhu yang rendah serta momentum butiran es yang besar (Sánchez
et al., 1996). Dari sudut pandang fisika, bencana hujan es dipengaruhi oleh beberapa
konsep fisika diantaranya kalor, fluida statis, tekanan, jarak, energi kinetik dan
momentum.
G. Upaya Peningkatan Literasi Bencana
1. Pendidikan dan Literasi Bencana di Lingkungan Keluarga
Dalam hal literasi bencana, anak diajak untuk mengenal keindahan alam
semesta beserta isinya melalui gambar berwarna, tayangan video, atau memberikan
dongeng sebelum tidur tentang bencana dalam taraf yang paling sederhana. Konten
literasi yang bisa diberikan seputar ranah pengenalan mengenai alam dan
fenomenanya, misalnya bentuk gunung, hujan, laut, tanah longsor, tsunami, dan
sebagainya. Dengan demikian, anak mendapatkan konsep berupa penambahan kosa
kata mengenai bencana dalam wujud sederhana. Penanaman konsep dasar bencana
dalam ranah keluarga adalah fondasi untuk pendidikan selanjutnya melalui
pendidikan formal. Pendidikan dan literasi bencana di lingkungan keluarga sebaiknya
menggunakan bahasa daerah beserta contoh dalam kearifan lokal setempat supaya
lebih mudah dipahami sekaligus melestarikan kebudayaan lokal. Pendidikan dan
literasi bencana di lingkungan ini merupakan tonggak dalam pembentukan afeksi
(sikap) daripada kognitif dan psikomotor yang akan ditekankan pada pendidikan
formal. Sebagaimana pada bagian awal, terkadang seorang individu lahir dalam
keluarga yang kurang menguntungkan dari segi ekonomi atau dalam keadaan kurang
sempurna. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan kerja ekstra dan dukungan dari
keluarga, sekolah, serta masyarakat supaya kendala tersebut dapat teratasi.

2. Pendidikan dan Literasi Bencana di Lingkungan Sekolah


Literasi bencana yang dapat dilakukan dalam lingkungan sekolah adalah
memberikan bahan bacaan mengenai bahaya bencana dalam bentuk buku, video, atau
media lain yang interaktif. Penanaman kosa kata dalam lingkungan sekolah sudah
mencakup level yang lebih tinggi, yaitu menggunakan bahasa kedua (bahasa
Indonesia) dan bahasa ketiga (bahasa Inggris) karena Indonesia merupakan negara
multilingual. Selain itu, melihat perkembangan ke depan penggunaan telepon pintar
menjadi dominan dan dimiliki peserta didik, guru memberikan pemahaman mengenai
cara-cara menyaring berita-berita yang mereka dapatkan supaya terhindar dari
informasi hoaks. Guru sebagai fasilitator dapat mengajak siswa untuk memanfaatkan
telepon pintar supaya diinstal aplikasi bencana seperti InaRISK dari BNPB atau Info
BMKG sebagai pengenalan potensi bahaya bencana di sekitarnya serta sistem
peringatan dini melalui aplikasi tersebut. Apabila siswa telah memahami bencana
secara mendalam, mereka didorong juga untuk memberikan pengetahuan tersebut
kepada keluarga, teman, dan masyarakat secara umum. Pendidikan dan literasi
bencana di sekolah baiknya menerapkan model Satuan Pendidikan Aman Bencana
(SPAB) yang dipelopori oleh BNPB sehingga anak dapat mengenali sistem
manajemen bencana di lingkungan sekolah.

3. Pendidikan dan Literasi Bencana di Lingkungan Masyarakat


Literasi bencana di lingkungan masyarakat dapat diwujudkan melalui
pemasangan dan sosialisasi rambu atau papan peringatan bencana terhadap ancaman
bencana yang ada di lingkungan masyarakat. Selain itu, secara gotong-royong mereka
menjaga alam sekitarnya supaya tetap asri sehingga mencegah terjadinya bencana,
misalnya tidak menebang hutan di sekitarnya (khususnya daerah rawan longsor)
secara sembarangan karena dapat menyebabkan bencana. Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) baiknya melakukan koordinasi dengan masyarakat dengan
cara melakukan sosialisasi dan pelatihan bencana supaya masyarakat menjadi paham
dan terbentuk kapasitasnya kalau suatu saat terjadi bencana. BPBD juga perlu
melakukan pemantauan dan penyebaran informasi secara berkala terhadap lingkungan
masyarakat yang berpotensi terkena bencana sehingga dapat diungsikan sebelum
bencana terjadi. Kelompok rentan, misalnya kurang mampu ekonomi, orang lanjut
usia, perempuan, anak-anak, dan kaum disabilitas juga perlu mendapatkan perhatian
lebih. BPBD memiliki tanggung jawab besar dalam hal pengurangan risiko bencana di
segala tahapan siklus manajemen bencana, sesuai dengan amanat Perka BNPB Nomor
3 Tahun 2008.
DAFTAR PUSTAKA

Beach, M. (2010). Disaster Preparedness and Management. Philadelphia: F. A. Davis


Company.
Coppola, D. P. (2015). Introduction to International Disaster Management (3rd ed.). Oxford:
Elsevier Ltd.
Etkin, D. (2016). Disaster Theory: An Interdisciplinary Approach to Concepts and Causes.
Oxford: Elsevier Ltd.
Gunn, A. M. (2008). Encyclopedia of Disasters: Environmental Catastrophes and Human
Tragedies.
London: Greenwood Press.
Gunn, S. W. A. (2013). Dictionary of Disaster Medicine and Humanitarian Relief (2nd ed.).
New York: Springer.
Hogan, D. E., & Burstein, J. L. (2007). Basic Perspectives on Disaster. In Disaster Medicine
(pp. 1–11). Philadelphia: Lippincot William & Wilkins.
Sánchez, J. L., Fraile, R., de la Madrid, J. L., de la Fuente, M. T., Rodríguez, P., & Castro, a.
(1996). Crop Damage: The Hail Size Factor. Journal of Applied Meteorology.
S. Purwantara dan M. Nursa'ban, “Pengukuran tingkat bahaya bencana erosi di
kecamatan Kokap,” Geomedia, Vol. 10, No. 1, 2012 pp. 111-128.

Anda mungkin juga menyukai