Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“PENGKAJIAN FISIK DAN PSIKOLOGIS, TINJAUAN SOSIAL DAN


BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF”

DISUSUN OLEH :

NISMA KHAIRANI LUBIS


1914201025
KEPERAWATAN 5A

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. Amelia Susanti, M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

TAHUN AJARAN 2021 / 2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga tugas makalah tentang “Pengkajian Fisik dan Psikologis, Tinjauan Sosial Dan
Budaya Tentang Perawatan Paliatif” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal
dan Paliatif yang diampu oleh Ibu Ns. Amelia Susanti, M.Kep.

Makalah ini dibuat berdasarkan dari beberapa sumber yang telah memberikan materi
tersebut. Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya maka dari itu
penulis mengharapkan saran dan kritik serta masukan dari pembaca agar makalah ini lebih
sempurna dan memperbaiki tugas penulis berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan baik bagi penyusun maupun pembaca.

Padang, 10 November 2021

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI PERAWATAN PALIATIF
B. MASALAH KEPERAWATAN PADA PASIEN PALIATIF
C. FAKTOR FAKTOR YANG PERLU DIKAJI DALAM PERAWATAN
PALIATIF
D. PENGKAJIAN FISIK DAN PSIKOLOGIS DALAM PERAWATAN PALIATIF
E. SOSIAL BUDAYA
F. ASPEK BUDAYA YANG MEMPENGARUHI PRILAKAU KESEHATAN
G. ASPE SOSIAL YANG MEMPENGARUHI PRILAKU KESEHATAN
H. TINJAUAN SOSIAL DAN BUDAYA PADA PERAWATAN PALIATIF
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik
fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health Organization (WHO)2016).

Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga
dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah, dan
menghilangkan penderitaan.Perawatan paliatif mencangkup seluruh rangkaian penyakit
termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta untuk
memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan (National Consensus
Project for Quality Palliative Care, 2013).

Pelayanan perawatan paliatif memerlukan keterampilan dalam mengelola komplikasi


penyakit dan pengobatan, mengelola rasa sakit dan gejalan lain, memberikan perawatan
psikososial bagi pasien dan keluarga, dan merawat saat sekarat dan berduka (Matzo &
Sherman, 2015). Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau
sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan kualitas
hidup (WHO,2016). Matzo & Sherman juga mengatakan bahwa kebutuhan pasien paliatif
tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan
terhadap kebutuhan psikologi, sosial, dan spiritual. Spiritual merupakan bagian penting
dalam dalam perawatan paliatif, ruang lingkup pemberian dukungan spiritual adalah
meliputi kejiwaan, kerohanian dan juga keagamaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari perawatan paliatif?
2. Apa masalah keperawatan pada pasien paliatif?
3. Apa saja faktor-faktor yang perlu dikaji dalam perawatan paliatif?
4. Bagaimana pengkajian fisik dan psikologis dalam perawatan paliatif.
5. Peran spiritual dalam paliatif care
6. Tinjauan agama tentang perawatann paliatif

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana
pengkajian fisik dan psikologis serta tinjauan agama tentang perawatan paliatif.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam
jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian
yang sempurna dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis,
sosial atau spiritual (WHO 2016).

Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga
dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah, dan
menghilangkan penderitaan.Perawatan paliatif mencangkup seluruh rangkaian penyakit
termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta untuk
memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan (National Consensus
Project for Quality Palliative Care, 2013). Pada perawatan paliatif ini kematian tidak
dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari teteapi kematian merupakan suatu hal
yang dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa
(Nurwijaya dkk, 2010).

B. Masalah keperawatan pada pasien paliatif

Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-


kejadian yang dapat mengancam diri sendiri. Permasalah tersebut dilihat dari perspektif
keperawatan meliputi masalah fisik, masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep
diri, masalah dukungan keluarga, serta masalah pada aspek spiritual atau keagamaan
(Campbell, 2013).

1. Masalah fisik

Masalah fisik yang sering muncul yang merupakan keluhan dari pasien paliatif yaitu
nyeri. Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan
yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secaa tiba-tiba dari
intensitas hingga berta yang dapat diantisipasi dan di prediksi. Masalah nyeri dapat
ditegakkan apabila data subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal tiga
kriteria (NANDA, 2015).

2. Masalah Psikologi

Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan.
Disebabkan diagnosa penyakit yang membuat pasien takut sehingga menyebabkan
kecemasan bagi pasien maupun keluarga. Kecemasan sendiri adalah keadaan suasana
hati yang ditandai oleh efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah dimana
seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan dimasa
yang akan datang dengan perasaan khawatir.

3. Masalah sosial

Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidaknormalan kondisi
hubungan sosial pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu keluarga
maupun rekan kerja. Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam, atau
suatu keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lai disekitarnya, pasien mungkin merasa
ditolak, tidak terima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain.

4. Masalah Spiritual

Menurut carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien paliatif
adalah distress spiritual. Distress spiritual dapat terjadi karena diagnosa penyakit
kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan
pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan
secara mandiri.

Distress spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan


mengintegrasikan arti dan tujuan hiduo seseorang dengan diri, orang lain, seni musik,
literatur, alam dan kekuatan yang lebih besar dari dirinya (Hmaid, 2008). Definis lain
mengatakan bahwa dsitress spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang
meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial
(Keliat dkk, 2011).

5. Problem Oksigenisasi

Respirasi irreguler, cepat atau lambat, pernafasan cheyne stokes, sirkulasi perifer
menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi irreguler.

6. Problem Eliminasi

Kondisi penyakit biasanya : Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring


penurunan intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.

7. Problem Nutrisi dan Cairan

Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun, distensi abdomen,


kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan membengkak, mual,
muntah, cegukan, dehidarasi terjadi karena asupan cairan menurun.

8. Problem Suhu

Ekstermitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut atau sesuatu yang
menghangatkan.

9. Problem sensori

Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati kematian,


menyebabkan kekeringan pada kornea, pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjad menurun, pendengaran berkurang, sensasi menurun.
10. Problem nyeri

Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intravena, klien harus
selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kenyamanan.

11. Problem Kulit dan Mobilitas

Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah pada kulit sehingga pasien
terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.

C. Faktor – Faktor Yang Perlu dikaji dalam perawatan paliatif


1. Faktor fisik

Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai
masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada
penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital,mobilisasi,
nyeri. Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien,klien
mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulan sebelum terjadi kematian.
Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien terminal karena
hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan kemampuan klien dalam
pemeliharaan diri.

2. Faktor Psikologis

Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat


harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih,depresi, atau marah. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan,
kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali tahap-tahap menjelang
ajal yang terjadi pada klien terminal.

3. Faktor Sosial

Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,


karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak
ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.
Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilakuisolasi. Perawat
harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan
dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu
menemani klien.

4. Faktor Spiritual

Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,


bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran
tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya. Konsep dan prinsip etika,
norma, budaya. Dalam pengkajian Pasien Terminal nilai, sikap, keyakinan, dan
kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang mempengaruhi reaksi klien
menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi individu dan keluarga
mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau menjelang ajal. Perawat
tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien terminal berdasarkan etika, norma,
dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus dihindari. Keyakinan spiritual
mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan. Perawat harus mampu
memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Perawat harus
sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian, sehingga
kebutuhan spiritual klien menjelang kematian dapat terpenuhi.

D. Pengkajian Fisik dan Psikologis dalam perawatan paliatif


A. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari kepala sampai kaki dengan melihat segala
kelainan dan ketidaknormalan yang ada pada tubuh pasien adapun tehnik yang
digunakan dalam melakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut ini :
Pemeriksaan fisik dan psikologis pasien terminal.
1. Pemeriksaan Fisik
A. Pengkajian
1) Identitas Klien : Nama, Umur, No Reg, Ruang, Agama, Pekerjaan,
Alamat, Suku Bangsa, Pendidikan, MRS, DX Medis.
2) Keluhan Utama :
a) Saat MRS : keluhan yang dirasakan oleh klien, sehingga
menjadi alasan klien dibawa kerumah sait
b) Saat pengkajian : Klien mengatakan kluhan yang dirasakan
oleh klien
c) Riwayat Penyakit Sekarang : Kronologis dari penyakit yang
diderita saat ini hingga dibawa kerumah sakit secara lengkap
dengan menggunakan rumus PQRST
d) Riwayat Penyakit Dahulu : Penyakit apa saja yang pernah
dialami oleh klien, baik yang ada hubungannya dengan
penyakit yang diderita sekarang atau yang tidak ada
hubungannya dengan penyakit yang diderita saat ini, riwayat
operasi atau riwayat alergi
e) Riwayat Kesehatan Keluarga : Apakah ada kluarga yang
menderita penyakit yang sama?

3) Riwayat Psikososial
a) Persepsi Klien Terhadap Masalah
Apakah pasien mengatakan bahwa penyakitnya ini merupakan
masalah yang mengkhawatirkan, ekspresi wajah terlihat lemah dan
badannya terlihat lemas.

4) Pola Kesehatan Sehari-hari Selama Di Rumah dan RS


a) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Di Rumah : apakah klien makan dan minum sesuai dengan
kebutuhan tubuh?
Di Rumah Sakit : bagaimana pola nutrisi makan dan minum
klien saat sakit.
5) Kebiasaan Devekasi Sehari-hari
Di Rumah : jumlah, warna, bau, disertai darah ataupun
nanah
Di Rumah Sakit : klien dibantu untuk toileting atau tidak
6) Kebiasaan Miksi
Di Rumah : warna, bau, adakah kesulitan BAK
Di Rumah Sakit : klien BAK dengan alat bantu atau tidak.
7) Pola Tidur dan Istirahat
Dirumah Klien : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan
tidur
Di Rumah Sakit : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan
tidur.
8) Pola Aktivitas
Di rumah : klien beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan
orang lain apakah memiliki kebiasaan olah raga.
Di rumah sakit : apakah klien mendapatkan bantuan dari orang
lein ketika akan melakukan aktivitas.
9) Pola Reproduksi dan Seksual
Usia, anak, riwayat penggunaan kontrasepsi.
10) Pemeriksaan Fisika.
a) Keadaan umum : apakah klien lemah, terpasang infus
atau tidak
Keadaan sakit : klien sering mengeluh lemas, sakit, tidak
nyaman.
Tekanan darah : mengalami penurunan
Nadi : mengalami penurunan
Respirasi : 12-24 x/menit
Bising Usus : 6-12 x/menit
Suhu : 37,5 – 38,5 °C
Tinggi badan : -
Berat badan : naik atau menurun
b) Review of System (ROS)
- Kepala : Posisi kepala, bentuk kepala, warna rambut,
distribusi rambut, apakah terlihat bayangan pembuluh
darah, apakah terdapat luka, tumor, edema, ketombe, dan
bau.
- Mata : apakah terdapat vesikel, tidak ada masa, nyeri tekan,
dan penurunan penglihatan, konjungtiva anemis.
- Hidung : apakah terdapat sekret, dan lesi.
- Mulut : apakah terdapat lesi, gigi ada yang tanggal,
membran mukosakering, apakah ada bercak-bercak
keputihan pada lidah, dan halitosis.
- Telinga : apakah ada nyeri tekan, dan luka.
- Leher : apakah trakea simetris, adakah pembesaran kelenjar
tiroid dan vena jugularis, nyeri tekan.
- Thoraks : dilihat bentuk, apakah terdapat masa, dan otot
bantu napas.
Paru
Jantung
- Ketiak dan Payudara : apakah didapatkan pembesaran
kelenjar limfe dan benjolan, keadaan puting dan areola
- Abdomen : bentuk simetris atau tidak, adakah nyeri tekan,
apakah ada benjolan, tanda pembesaran hepar, tidak
didapati asites, dan hasil perkusi didapat suara timpani
- Genetalia : apakah ada benjolah, nyeri tekan,iritasi dan bau
pada genetalia
- Anus dan Rektum : tidak ada abses, hemoroid, apakah pada
rektum didapati lendir, darah, atau nanah.
- Ekstremitas : apakah kekuatan otot menurun, terdapat
oedema, tampak tanda atropi.
- Integumen : bagaimana warna, tekstur kering, turgor kulit,
apakah terdapat tanda sianosis, akral dingin atau hangat,
ada atau tidak tanda inflamasi pada kuku.
- Status Neurologi
Tingkat kesadaran
Tanda -tanda peransang otak
Uji saraf kranial
Fungsi motorik
Fungsi sensorik
Refleks pantologis

B. Pengkajian Psikologis
Reaksi Proses Psikologis Hal-hal yang biasa dijumpai

Shock (kaget, goncangan Merasa bersalah, marah dan Rasa takut, hilang akal,
batin) tidak berdaya frustasi, rasa sedih, susah
acting out.
Mengucilkan diri Merasa cacat dan tidak Khawatir menginfeksi orang
berguna, menutupi diri lain, murung.
Membuka status secara Ingin tahu reaksi orang lain, Penolakan, stress dan
terbatas pengalihan stress, ingin dicintai konfrontasi
Mencari orang lain Berbagi rasa, pengenalan, Ketergantungan, campur
kepercayaan dan penguatan tangan, tidak percaya pada
dukungan sosial pemegang rahasianya.
Status khusus Perubahan keterasingan Ketergantungan diktomi kita
menjadi manfaat khsuus dan & mereka, over
istimewa identification
Perilaku mementingkan Komitmen dan kesatuan Pemadaman, reaksi dan
orang lain kelompok, kepuasan memberi kompensasi yang berlebihan
dan berbagi
Penerimaan Integrasi status orang lain Apatis, sulit berubah
dengan identitas diri,
keseimbangan antara orang lain
dengan diri

Respon Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit ada lima tahap reaksi emosi
seseorang terhadap penyakit, yaitu :

1. Pengingkaran (denial), Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku


pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak
emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan
pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran
dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima
sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin
perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan
segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
2. Kemarahan (anger), Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik
dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan
pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada
dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan
adalah perawat, semuatindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau kerja sama, sangat
marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati.
3. Sikap tawar menawar (bargaining), Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir
dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang
jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang
menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
4. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam,
kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga
intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).
5. Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi,
kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju
identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai
seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka
panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan
adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki
hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori
adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

E. Sosial dan Budaya

Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang
mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Sedangkan kebudayaan atau kultur yang
dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala
masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Menurut Andreas Eppink, sosial budaya atau
kebudayaan adalah segala sesuatu atau tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat
yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Burnett, kebudayaan
adalah keseluruhan berupa kesenian, moral, adat istiadat, hukum, pengetahuan,
kepercayaan, dan kemampuan olah pikir dalam bentuk lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat dan keseluruhan bersifat kompleks. Dari kedua pengertian
tersebut bisa disimpulkan bahwa social budaya memang mengacu pada kehidupan
bermasyarakat yang menekankan pada aspek adat istiadat dan kebiasaan masyarakat itu
sendiri.

Sosial budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan pikiran dan
budinya dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan
untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti
tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau
budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan
Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat
kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan
faktor di luar perilaku (non-behaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga
factor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,


kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia
atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas,
obat-obatan, air bersih dan sebagainya.

3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.

F. Faktor Budaya yang Mmepngaruhi Prilaku Kesehatan


1. Persepsi masyarakat terhadap sehat dan sakit.

Masyarakat mempunyai batasan sehat atau sakit yang berbeda dengan konsep sehat
dan sakit versi sistem medis modern (penyakit disebabkan oleh makhluk halus, guna-
guna, dan dosa)

2. Kepercayaan.

Kepercayaan dalam masyarakat sangat dipengaruhi tingkah laku kesehatan, beberapa


pandangan yang berasal dari agama tertentu kadang-kadang memberi pengaruh negatif
terhadap program kesehatan. Sifat fatalistik atau fatalism adalah ajaran atau paham bahwa
manusia dikuasai oleh nasib. Seperti contoh, orang-orang Islam di pedesaan menganggap
bahwa penyakit adalah cobaan dari Tuhan, dan kematian adalah kehendak Allah. Jadi,
sulit menyadarkan masyarakat untuk melakukan pengobatan saat sakit.

3. Pendidikan.

Masih banyaknya penduduk yang berpendidikan rendah, petunjuk-petunjuk kesehatan


sering sulit ditangkap apabila cara menyampaikannya tidak disesuaikan dengan tingkat
pendidikan khayalaknya.

4. Nilai Kebudayaan

Masyarakat Indonesia terdiri dari macam-macam suku bangsa yang mempunyai


perbedaan dalam memberikan nilai pada satu obyek tertentu. Nilai kebudayaan ini
memberikan arti dan arah pada cara hidup, persepsi masyarakat terhadap kebutuhan dan
pilihan mereka untuk bertindak. Contoh :

a. Wanita sehabis melahirkan tidak boleh memakan ikan karena ASI akan menjadi
amis

b. Di New Guinea, pernah terjadi wabah penyakit kuru. Penyakit ini menyerang
susunan saraf otak dan penyebabnya adalah virus. Penderita hanya terbatas pada anak-
anak dan wanita. Setelah dilakukan penelitaian ternyata penyakit ini menyebar karena
adanya tradisi kanibalisme

Sifat Etnosentris merupakan sikap yang memandang kebudayaan sendiri yang paling
baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain. Etnosentrisme merupakan sikap
atau pandangan yg berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai
dengan sikap dan pandangan yg meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain. Seperti
contoh, Seorang perawat/dokter menganggap dirinya yang paling tahu tentang kesehatan,
sehingga merasa dirinya berperilaku bersih dan sehat sedangkan masyarakat tidak.

Selain itu, budaya yang diajarkan sejak awal seperti budaya hidup bersih sebaiknya
mulai diajarkan sejak awal atau anak-anak karena nantinya akan menjadi nilai dan norma
dalam masyarakat.

5. Norma

Aturan atau ketentuan yg mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai


sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yg sesuai dan diterima oleh
masyarakat. Terjadi perbedaan norma (sebagai standar untuk menilai perilaku) antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Masyarakat menetapkan perilaku yang normal
(normatif) serta perilaku yang tidak normatif. Contohnya, Bila wanita sedang sakit, harus
diperiksa oleh dokter wanita dan masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih
daipada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi diberas
merah daripada diberas putih.

6. Inovasi Kesehatan

Tidak ada kehidupan sosial masyarakat tanpa perubahan, dan sesuatu perubahan
selalu dinamis. artinya setiap perubahan akan diikuti perubahan kedua, ketiga dan
seterusnya. Seorang petugas kesehatan jika akan melakukan perubahan perilaku
kesehatan harus mampu menjadi contoh dalam perilakukanya sehari-hari. Ada anggapan
bahwa petugas kesehatan merupakan contoh rujukan perilaku hidup bersih sehat, bahkan
diyakini bahwa perilaku kesehatan yang baik adalah kepunyaan/ hanya petugas kesehatan
yang benar.

G. Aspek Sosial Yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan


1. Penghasilan (income). Masyarakat yang berpenghasilan rendah menunjukkan angka
kesakitan yang lebih tinggi, angka kematian bayi dan kekurangan gizi.
2. Jenis kelamin (sex). Wanita cenderung lebih sering memeriksakan kesehatan ke
dokter dari pada laki-laki.
3. Jenis pekerjaan yang berpengaruh besar terhadap jenis penyakit yang diderita pekerja.
4. Self Concept, menurut Merriam-Webster adalah : “the mental image one has of
oneself” yaitu gambaran mental yang dipunyai seseorang tentang dirinya. Self
concept ditentukan oleh tingkat kepuasan atau ketidakpuasan yang kita rasakan
terhadap diri kita sendiri. Self concept adalah faktor yang penting dalam kesehatan,
karena mempengaruhi perilaku masyarakat dan perilaku petugas Kesehatan.
5. Image Kelompok. Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok.
Perilaku anak cenderung merefleksikan dari kondisi keluarganya.

Identitas Individu pada Kelompok. Identifikasi individu kepada kelompok kecilnya sangat
penting untuk memberikan keamanan psikologis dan kepuasan dalam pekerjaan mereka.
Inovasi akan berhasil bila kebutuhan sosial masyarakat diperhatikan

Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat
terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat
dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat
tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib
sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare berarti
pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa social
budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu individu maupun kelompok.

Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan sudah melekat
dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa kepercayaan gaib.
Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan tersebut adalah dengan
mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan
norma, berpola, dan benda hasil karya manusia.

H. Tinjauan Sosial Dan Budaya Pada Perawatan Paliatif

Indonesia yang terdiri dari beragam etnis tentu memiliki banyak budaya dalam
masyarakatnya. Terkadang, budaya suatu etnis dengan etnis yang lain dapat berbeda jauh.
Hal ini menyebabkan suatu budaya yang positif, dapat dianggap budaya negatif di etnis
lainnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika permasalahan kesehatan di Indonesia begitu
kompleksnya.
Sosial budaya sering kali dijadikan petunjuk dan tata cara berperilaku dalam
bermasyarakat, hal ini dapat berdampak positif namun juga dapat berdampak negative.
Disinilah kaitannya dengan kesehatan, ketika suatu tradisi yang telah menjadi warisan turun
temurun dalam sebuah masyarakat namun ternyata tradisi tersebut memiliki dampak yang
negatif bagi derajat kesehatan masyarakatnya. Misalnya, cara masyarakat memandang
tentang konsep sehat dan sakit dan persepsi masyarakat tentang penyebab terjadinya penyakit
disuatu masyarakat akan berbeda-beda tergantung dari kebudayaan yang ada dalam
masyarakat tersebut.

Sosial budaya yang mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat


terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat
dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat
tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib
sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare berarti
pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa social
budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu individu maupun kelompok

Dalam kajian sosial budaya, perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan.
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam
jiwa, melalui pencegahan dan membantu meringankan penderitaan, identifikasi dini dan
penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah lain baik fisik, psikososial dan
spiritual (WHO 2011).

Menurut Kepmenkes RI No 812 (2007), jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi


tatalaksana nyeri, tatalaksana keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis,
sosial, kultural dan spiritual serta dukungan persiapan dan selama masa dukacita.

Kualitas perawatan paliatif menurut National Consensus Project (2009) merupakan


sebuah pendekatan umum untuk perawatan pasien yang harus secara rutin terintegrasi dengan
penyakit, modifikasi terapi dan berkembangnya praktek spesialis untuk dokter, perawat,
pekerja sosial, ulama dan memiliki keahlian yang diperlukan untuk mengoptimalkan kualitas
hidup bagi mereka yang memiliki penyakit kronis yang mengancam atau melemahkan hidup,
meliputi struktur dan proses perawatan, aspek: fisik, psikologis dan psikiatris, sosial, spiritual
dan agama, budaya, perawatan menjelang ajal dan etika dan hukum.

Fitzpatrick (1993) menyampaikan bahwa prinsip penerapan aspek budaya dalam


pelayanan perawatan dapat membantu, menfasilitasi, mengadaptasi serta mengubah pola gaya
hidup atau kesehatan pasien yang bermakna atau menguntungkan, sedangkan Bastable (2002)
mengemukakan bahwa perawat yang kompeten harus peka terhadap budaya. Menurut Dein
(2006) perawatan paliatif harus sensitif terhadap budaya, sehingga dapat menyadari dan
memenuhi kebutuhan pasien. Demikian juga Owens (2004), mengemukakan tantangan yang
dihadapi dalam perawatan paliatif yaitu mengembangkan praktek penerapan budaya yang
kompeten bagi pasien dengan penyakit kanker, penyakit kronis dan penyakit terminal.
Pemahaman budaya penting untuk perawatan holistik dan individual (Oliviere, 1999).
Jika pengetahuan budaya tertentu dapat diandalkan, diterapkan secara peka dan bertanggung
jawab dapat meningkatkan proses pengkajian pasien dari pertanyaan yang perlu ditanyakan
perawat (Hallenbeck, 1996). McNamara (1997) mengemukakan penggunakan budaya yang
sama akan sangat membantu dalam pemberian layanan kesehatan. Filosofi perawatan paliatif
dengan pendekatan budaya dapat memberikan pelayanan holistik: fisik, psikologis, sosial dan
spiritual secara individual (Diver, 2003).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memegang peranan penting
dalam perawatan paliatif, pengkajian dapat terfokus pada pertanyaan yang diperlukan pasien
sehingga pasien dapat menyampaikan permasalahan yang dimiliki serta diharapkan dapat
menangani masalah fisik, psikologis, sosial, spiritual dan kualitas hidup pasien. Perawatan
paliatif selama ini di Indonesia masih mengacu pada teori dan kondisi dari Barat, belum
mengaplikasikan secara nyata asuhan keperawatan dengan nilai-nilai budaya setempat.

1. Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku
kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah
tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada
kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk
dilakukan.

Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan
pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga
dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam
kehidupan.

2. Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan Pada Penyakit Paliatif

Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara turuntemurun


merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk dilepaskan. Hingga pemahaman
magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun sangat dipercayai oleh
masyarakat. Peranan budaya dan kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh
rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.

Misalnya, kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah penderitanya


pun tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke dukun alias pengobatan
alternatif. Ujung-ujungnya, malah bertambah parah. Banyak penderita yang baru berobat
ke dokter setelah menderita kanker payudara stadium tinggi.

Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian masyarakat Indonesia
beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun Ponari dengan batu saktinya sebagai
media penyembuhan dengan cara di celupkan ke air.
Kabar tentang kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan jumlah pasien
yang berobat kerumah Ponari dari hari kehari semakin meningkat. Tindakan masyarakat
yang datang ke Dukun Ponari itu tidak terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat
kita terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki
Ponari itu merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan dimasyarakat sebagai
bagian dari kearifan lokal.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga
dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah, dan
menghilangkan penderitaan.

Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi


tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi
berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun
menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah
perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi
sosial, dan kepribadian individuindividunya terutama dalam paliatif care.

B. Saran

Sebagai petugas kesehatan perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang


kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat, maka petugas kesehatan akan
mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu
dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Yanto, 2018, Pengkajian fisik psikologis dalam keperawatan paliatif


http://www.syauqiya.com/2015/03/peran-perawat-dalam-paliative care
https://www.scribd.com/document/388723641/pengakajian-fisik-psikologis-dalam-
keperawatan-paliatif
Dwi Hapsari, dkk.,2012, Pengaruh Lingkungan Sehat, Dan Perilaku Hidup Sehat Terhadap
Status Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Jakarta

Doyle, Hanks and Macdonald, 2003. Oxford Textbook of Palliative Medicine. Oxford
MedicalPublications (OUP) 3 rd edn 2003
Ferrell, B.R. & Coyle, N. (Eds.) (2007). Textbook of palliative nursing, 2nd ed. New York,
NY:Oxford University Press

Woodruff Asperula Melbourne 4th edn 2004. Standards for Providing Quality Palliative Care
forall Australians. Palliative Care Australia.Palliative Medicine

Anda mungkin juga menyukai