Laporan Ebn 4.1 Kelompok 2a
Laporan Ebn 4.1 Kelompok 2a
ENVENOMATION
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Tujuan.......................................................................................................................................... 2
C. Manfaat........................................................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................................ 3
A. Definisi ........................................................................................................................................ 3
B. Patofisiologi ................................................................................................................................ 5
C. Tanda dan Gejala ......................................................................................................................... 6
D. Pemeriksaan dan Penanganan ..................................................................................................... 8
METODE PENELUSURAN LITERATUR ..................................................................................................... 16
A. Kasus ......................................................................................................................................... 16
B. Proses Pencarian Artikel ........................................................................................................... 16
C. Hasil Pencarian Artikel ............................................................................................................. 16
D. Identitas Artikel ......................................................................................................................... 17
A. Pembahasan Artikel ................................................................................................................... 18
B. Kekuatan Artikel ....................................................................................................................... 23
C. Kelemahan Artikel .................................................................................................................... 24
D. Penerapan di Indonesia .............................................................................................................. 24
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
menyebabkan gangguan perdarahan, fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang
menyebabkan terjadinya disabilitas permanen dan amputasi. Menurut WHO, sekitar 5,4
juta orang mengalami gigitan ular setiap tahunnya, dan 2,7 juta diantaranya adalah
gigitan ular berbisa. Sekitar 81.000 hingga 138.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat gigitan ular, dan tiga kali banyaknya amputasi dan disabilitas permanen
Kasus gigitan ular menjadi penyakit tropis yang terabaikan. Jumlah akurat kasus
gigitan ular di dunia sulit diketahui akibat kesalahan pelaporan yang terjadi. Meskipun
morbiditas dan mortalitas kasus gigitan ular. Asia Tenggara adalah wilayah yang paling
terdampak karena kepadatan populasinya yang tinggi, besarnya aktivitas agrikultural, dan
banyaknya jenis ular berbisa serta kurangnya program kontrol yang dibuat.
terbanyak yang diikuti oleh pelajar dan ibu rumah tangga, dengan tingkat mortalitas 0,5%
hingga 58%. Indonesia adalah salah satu negara tropis terbesar yang memiliki kasus
gigitan ular yang cukup tinggi. Terlebih jumlah masyarakat yang bekerja di bidang
Indonesia, estimasi kasus gigitan ular pada tahun 2007 sebanyak 12.739-214.883 dengan
2000 - 11.581 kematian. Ketepatan laporan tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa
1
faktor seperti penanganan tradisional, kasus terjadi daerah pedesaan sehingga tidak
Kasus kematian akibat gigitan ular di Indonesia masih tinggi, bahkan terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, gigitan ular menewaskan 35 orang
di Indonesia, pada 2018 meningkat menjadi 47 korban, dan pada 2019 menjadi 54 korban
jiwa. Selama pandemi, awal Januari 2020 sampai Januari 2021, terjadi sekitar 627 kasus
gigitan ular di Indonesia dengan korban meninggal dunia mencapai 62 orang. Faktor
yang berkontribusi pada mortalitas gigitan ular adalah masalah pemilihan dan dosis anti
sakit.
B. Tujuan
ular.
2. Untuk mengetahui intervensi yang dapat dilakukan pada orang yang tergigit ular.
C. Manfaat
2. Memahami intervensi yang dapat dilakukan pada orang yang tergigit ular.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
gangguan perdarahan, fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang menyebabkan
terjadinya disabilitas permanen dan amputasi. Gigitan ular sering terjadi di negara tropis
dan subtropic, dan dikategorikan WHO sebagai “Neglected Tropical Disease” atau
Gigitan ular terjadi karena konfrontasi manusia dengan ular, umumnya terjadi
pada musim penghujan ketika telur-telur ular menetas atau ketika induk-induk ular
mencari tempat bersarang yang terkadang akhirnya berada di dekat tempat tinggal
manusia. Ular merupakan satwa liar yang mempunyai habitat terdekat dengan manusia.
Binatang ini masih dapat ditemukan di pohon-pohon yang berada di halaman rumah, di
pekarangan, sawah, saluran air, bahkan terkadang masuk ke kediaman warga. Ular
sendiri termasuk dalam reptilia atau hewan melata yang merupakan hewan ektotermik
atau berdarah dingin. Itu berarti, ular tidak dapat memproduksi panas tubuhnya sendiri
sehingga harus mengandalkan pada panas lingkungan sekitarnya agar bisa beraktivitas.
Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak ular berada di daerah tempat
tinggal manusia.
Ular yang berkonfrontasi dan menggigit manusia kebanyakan berasal dari famili
Elapidae, dan sebagian dari Viperidae, dan dapat disebabkan karena keteledoran
pemelihara ular ataupun murni kecelakaan. Genus ular terbanyak yang menggigit adalah
3
Naja atau kobra. Terdapat tiga famili ular berbisa yang berada di Asia Tenggara, yaitu
1. Elapidae.
kobra, king kobra, kraits, dan coral snakes. Elapidae memiliki bentuk tubuh
yang panjang, kurus, warna uniform dengan sisik halus yang simetris pada
bagian dorsal kepalanya. Contoh spesies ular dari famili ini adalah Bungarus
candidus (ular weling), Naja sputatrix dan Naja sumatrana (ular kobra).
Bungarus candidus atau ular weling adalah jenis ular yang menggigit di
malam hari karena bersifat nokturnal. Bisa ular weling memiliki efek
neurotoksik yang letal. Sedangkan untuk spesies Naja atau ular kobra dikenal
atas kemampuannya untuk menyemprotkan bisa dari jarak satu meter atau
lebih dari musuh dan menyebabkan venom ophtalmia. Ular kobra dapat
membentuk hood.
2. Viperidae.
rahang atas, dan akan muncul saat menyerang. Viperidae cenderung memiliki
tubuh yang pendek, tebal, dengan sisik kecil yang kasar pada bagian dorsum
kepala. Contoh spesies ular dari famili ini adalah Daboia siamensis (ular
rhodostoma (ular tanah). Spesies Daboia siamensis atau ular bandotan puspa
4
sifat nokturnal Ular bandotan puspa dan ular tanah merupakan spesies yang
3. Colubridae .
dan gagal ginjal akut. Beberapa spesies juga terbukti menyebabkan local
(ular sawah).
B. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah
bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa
ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur. Melalui mikroskop
elektron, dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan
kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan
reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah
menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus
menuju taring ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Enzim yang terdapat pada bisa ular
rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat
yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi
5
nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel
darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino
kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi
Bisa ular menyebar dalam tubuh melalui saluran kapiler dan limfatik superfisial.
Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk
ke dalam jaringan tubuh. Efek lokal pada luka gigitan ular berbisa adalah terjadinya
pembengkakan yang cepat dan nyeri. Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae bersifat
koagulopati. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat
neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter pada
neuromuscular junction.
gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa menit, bisa akan
menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat dapat
timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual, muntah, kelemahan
otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Korban jarang mengalami syok, edem generalisata
6
Namun tidak adanya gejala lokal atau minimal, bukan berarti gejala yang lebih serius
tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi dan biasanya gejala berkembang
dalam 12 jam, bisa yang bersifat neurotoksik, mulai dari perasaan mengantuk sampai
kelumpuhan nervus kranialis, kelemahan otot dan kematian karena gagal napas.
Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam 4 skala, yaitu
derajat 1 (minor) = tidak ada gejala, derajat 2 (moderate) = gejala lokal, derajat 3 (severe)
adalah tabel skor dari derajat beratnya kasus gigitan ular berbisa dari famili Crotalidae
sesak.
7
3 (severe) Terdapat tanda bekas 2 (severe) Gejala pada derajat 1
tanda koagulopati.
sistemik.
1. Pertolongan Pertama .
Pertolongan pertama dilakukan segera setelah gigitan ular dan sebelum pasien
sampai di rumah sakit atau klinik, dapat dilakukan oleh korban maupun orang lain
tangan/kaki yang terkena gigitan baik menggunakan sling, splint, maupun metode
8
pressure bandage immobilization (PBI). Selain itu, transportasi secepat mungkin
dengan ular yang menggigit, karena akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari
penanganan medis korban. Usaha pertolongan pertama yang tradisional dan populer
di masyarakat seperti membuat insisi lokal “tattooing” pada area gigitan ular,
menghisap bisa dari luka gigitan, memasangkan tourniquet ketat pada tangan/kaki
yang terkena gigitan ular, menggunakan herbal-herbal tertentu, dan lain-lain tidak
dan gejala pasien harus didapatkan secepat mungkin agar penatalaksanaan yang
sesuai dapat dilakukan. Pasien harus ditenangkan terlebih dahulu untuk mengurangi
antibiotik, dan analgesic selain NSAID dapat diberikan mengingat terdapat resiko
a. Anamnesis .
Kapan Anda digigit? Dan apa yang sedang Anda kerjakan ketika digigit?
9
Seperti apa bentuk ular yang menggigit Anda? Apakah ada yang
memotretnya?
Bagaimana perasaan Anda saat ini? Tanda dan gejala yang ditimbulkan
dari penyebaran bisa ular sangat beragam, namun pada umumnya gejala
b. Pemeriksaan fisik .
secara umum dan spesifik. Pada area gigitan ular dapat ditemukan
Manifestasi klinis yang dapat di temukan pada pemeriksaaan fisik antara lain:
Tanda-tanda vital: denyut nadi dan perbedaan tekanan darah saat duduk
konjungtiva.
Hidung: epistaksis
atau retroperitoneal
Gejala berupa nyeri seluruh tubuh dan warna urin yang gelap merupakan
10
Pada kasus gigitan ular yang terjadi pada ibu hamil dapat terjadi abortus,
diidentifikasi oleh ahli dibidang tersebut, namun bila tidak memungkinkan informasi
terkait ciri khas ular yang menggigit dapat diambil dari keterangan pasien.
Minute Whole Blood Clotting Test (20WBCT) adalah tes yang memerlukan
perlengkapan sederhana seperti tabung gelas, botol atau tabung suntik yang baru,
kebutuhan untuk pengobatan anti bisa ular segera. Tes laboratorium yang lebih
berdasarkan waktu protrombin (PT) (> atau = 1,2 tidak normal), waktu activated
partial thromboplastin time (aPPT), antigen terkait fibrin (ogen) (produk degradasi
hitung sel darah putih dapat dijadikan indikasi dari spesies ular yang menggigit
11
b. Pemeriksaan Apusan Darah Tepi (ADT) dapat ditemukan sel darah merah
mikroangiopati
c. Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal juga dapat dijadikan indikasi dari
spesies ular yang menggigit (contoh: kreatinin plasma, urea/nitrogen urea darah
dan konsentrasi kalium meningkat pada cedera ginjal akut pada gigitan ular
meningkat menunjukkan kerusakan otot lokal dan umum pada gigitan ular laut,
beberapa kraits, beberapa Australasia Elapidae dan gigitan ular Russell's viper dan
d. Pemeriksaan urin: tes dipstick untuk darah, hemoglobin atau myoglobin dan
proteinuria. Mikroskopis untuk mendeteksi eritrosit dan silinder sel darah merah,
akut.
Pemberian anti bisa ular dilakukan sesegera mungkin jika pasien memenuhi
indikasi, hal ini dikarenakan anti bisa ular memiliki harga yang relatif mahal dan
Biofarma untuk menangani bisa neurotoksik Naja sputatix, Bungarus fasciatus dan
Calloselasma rhodostoma.
a. Keracunan Sistemik
12
Gangguan hemostasis: perdarahan spontan sistemik yang jauh dari lokasi
gigitan, koagulopati (20 WBCT positif), atau INR>1.2 atau PT>4-5 detik
lebih.
/liter).
b. Keracunan Lokal
Anti bisa ular diberikan melalui intravena jika memungkinkan, baik secara slow
ml cairan isotonis per kg berat badan selama 30-60 menit. Di Indonesia, dosis yang
dianjurkan yaitu 2 vial SABU (10 ml) diencerkan dalam 100 ml Normal Saline 0.9%
kemudian drip 60-80 tetes per menit, dapat diulang setiap 6-8 jam. Dianjurkan
tersedia epinefrin untuk penanganan reaksi anafilaktik akibat administrasi anti bisa
13
intravena tidak memungkinkan. Setelah pemberian pertama, observasi keadaan
umum, perdarahan sistemik, serta gejala neurotoksik. Pengulangan dosis awal dapat
dilakukan jika ada gangguan koagulasi persisten setelah 6 jam atau terdapat
perdarahan setelah 1-2 jam serta timbul deteriorasi neurotoksik atau kardiovaskular
setelah 1 jam.
5. Terapi Tambahan
yang disebabkan gigitan kobra. Sebelumnya pasien diberikan atropine sulfat (0.6 mg
bromide atau methylsulphate (prostigmin) secara IM dengan dosis 0.02 mg/kg untuk
dewasa, 0.04 mg/kg untuk anak-anak. Kemudian pasien diobservasi selama 30-60
methylsulphate 0.5-2.5 mg setiap 1-3 jam hingga 10 mg/24 jam untuk dewasa dan
0.01-0.05 mg/kg tiap 2-4 jam untuk anak-anak, injeksi IV atau subkutan bersamaan
dengan atropine.
Hipotensi dan syok dapat terjadi akibat hypovolemia. Pengukuran dengan tensi
dapat dilakukan pada posisi supinasi atau duduk. Selain itu, dapat dilakukan passive
leg raising test untuk menilai respon cairan. Terapi dengan kristaloid harus
diobservasi (tekanan JVP, laju napas, dan krepitasi), pada pasien yang mengalami
Selain itu, evaluasi adanya tanda-tanda gagal ginjal akut seperti oligouri, peningkatan
kreatinin serum, dan sindrom uremia. Pada pasien oligouri dapat dilakukan fluid
challenge atau furosemide test. Dialisis dapat dilakukan jika terjadi tanda-tanda
14
uremia (ensefalopati, perikarditis), overload cairan yang tidak merespon dengan
diuretik, asidosis simptomatik, dan nilai ureum >130 mg/dl atau kreatinin >4 mg.
Pada bagian tubuh yang digigit dapat terbentuk bulla yang besar dan tegang yang
tidak terjadi infeksi pada luka gigitan, pasien dapat diberikan antibiotik spektrum luas
Deteksi dini terhadap sindrom kompartemen juga penting, observasi adanya tanda-
hebat yang immobile dan dingin. Anti bisa ular harus segera diberikan karena dapat
menurunkan tekanan dan myonekrosis. Fasiotomi hanya diindikasikan jika tidak ada
7. Penilaian Pulang
Sebelum pulang dari rumah sakit, lakukan diskusi dengan pasien atau keluarga
rehabilitasi dengan latihan untuk mengembalikan fungsi tungkai yang terkena gigitan,
kontrol rutin setiap 1-2 minggu untuk melihat kemajuan penyembuhan, dan
pemberian nasihat serta edukasi untuk mencegah terjadinya gigitan ular yang dapat
15
BAB III
Seorang satpam meninggal akibat digigit ular pada Selasa, 21 Agustus 2019.
Satpam tersebut berniat untuk menangkap seekor ular ats laporan warga sekitar. Saat
berusaha menangkap ular, satpam tersebut digigit dibagian jari kelingking. Satpam
menggunakan mulut. Usaha tersebut gagal dan satpam dilarikan ke rumah sakit. Nyawa
1. Pertanyaan klinis: “Bagaimana pertolongan pertama pada korban yang tergigit dan
P: envenomation
I: first aid
C:-
O: effectiveness
16
D. Identitas Artikel
DOI https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0008727
17
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Artikel
1. Latar belakang.
kematian setiap tahun. Gigitan ular sebagian besar terjadi pada masyarakat pedesaan
dan suku di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika. Envenomation gigitan ular
pertolongan pertama, efek lokal, efek sistemik, dan pengelolaan komplikasi sangat
penting untuk mencegah kecacatan. Berbagai jenis snake anti venom (SAV)
merupakan intervensi khusus yang dapat diberikan. Pada tahun 2019, WHO telah
membuat strategi komprehensif untuk mengurangi kematian akibat racun ular. Bukti
Kriteria inklusi:
dirawat karena gigitan ular tanpa melihat spesies ular, jenis kelamin pasien, dan
usia pasien.
18
- Outcomes primer: kematian, early adverse reaction (EAR), late adverse
reactions (LAR) terhadap SAV, komplikasi, proporsi luka yang sembuh, dan
kesehatan mental.
- Outcomes sekunder: durasi rawat inap, kualitas hidup, biaya, kondisi luka,
b. Seleksi.
Pada tahap awal, kedua penulis melakukan screening judul dan abstrak
secara independen untuk menentukan artikel yang akan digunakan dan tidak.
ekstraksi data.
d. Sintesis.
19
e. Penilaian kualitas metodologi systematic review secara independen oleh dua
3. Hasil.
crotaline).
4. Sintesis hasil.
Tourniquet.
- Tidak ada perbedaan yang signifikan antara korban yang dipasang tourniquet
dengan kejadian gagal ginjal akut, gagal napas, dan gangguan multi organ.
Insisi luka.
20
- Tidak ada perbedaan signifikan antara insisi luka dan kejadian kematian atau
kecacatan.
- Tidak ada perbedaan signifikan antara insisi luka dengan kejadian sindroma
hemoragik.
dilakukan insisi.
- Terdapat penurunan yang signifikan durasi rawat inap pada korban yang
diinsisi.
gigitan ular.
efek samping. Tiga anak mengalami EAR dan 1 LAR. Tidak ada pasien yang
21
- FabAV memiliki risiko 8% hipersensitivitas pada racun ular crotaline.
- ETPlus lebih efektif dari pada EchiTabG, namun lebih kurang aman terhadap
jam.
Tidak ada pebedaan yang signifikan antara pemberian dosis rendan atau
dosis tinggi dengan angka kematian, komplikasi neurologis, gagal ginjal akut,
dan pendarahan. Gatal, urtikaria, dan eritema terjadi pada 8 dari 60 pasien
dosis rendah dan 30 pasien dosis tinggi. Pasien dosis rendah memiliki lama
- Steroid: tidak ada perbedaan kejadian EAR pada pasien yang menerima
22
- Antihistamin: tidak ada perbedaan kejadian EAR pada pasien yang menerima
- Steroid dan antihistamin: tidak dapat dibuktikan karena kekurangan data dan
d. Intervensi lain.
- Eksisi jaringan didekat gigitan crotaline spp dan perendaman dengan air es
perfusi jaringan.
B. Kekuatan Artikel
1. Artikel berisi mengenai berbagai cara penanganan gigitan ular mulai dari
2. Artikel memaparkan dengan jelas setiap systematic review yang dianalisis satu per
satu.
23
C. Kelemahan Artikel
1. Berdasarkan hasil AMSTAR-2 yang terdapat didalam artikel, dua belas dari 13
artikel yang dianalisis memiliki nilai kepercayaan sangat rendah. Hanya 1 artikel
neuromuscular.
4. Penulis artikel tidak menyajikan kesimpulan dari hasil sintesis yang telah
dilakukan.
D. Penerapan di Indonesia
1. Tidak semua pertolongan pertama pada gigutan ular yang disampikan didalam
mencegah penyebaran bisa luka melalui pembuluh darah, namun tidak dianjurkan
(RSUP Dr. Kariadi, 2021). Pengikatan yang terlalu kencang dapat mengakibatkan
dianjurkan karena berisiko penyebaran bisa melalui saluran pencernaan (RSUP Dr.
Kariadi, 2021). Pemberian olesan obat tradisional juga tidak disarankan karena
berisiko menimbulkan infeksi (RSUP Dr. Kariadi, 2021). Imobilisasi pada area
gigutan dapat dilakukan untuk mengurangi peredaran darah di area lokasi gigitan
24
2. Injeksi antivenom merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi bisa ular. Setiap
ular memiliki karakteristik yang berbeda dan setiap antivenom juga memiliki
akan cocok digunakan sesuai dengan kondisi dan lokasi penelitian. Di Indonesia,
antivenom yang tersedia adalah serum anti bisa ular (SABU) polivalen dengan
25
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
26
Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F. Snakebite in south asia: a review.
PLoS Negl Trop Dis. 2010; 4(1): e603.
Ariaratnam CA, Sheriff MH, Theakston RD, Warrell DA. Distinctive epidemiology and clinical
features of common krait (Bungarus caeruleus) bites in Sri Lanka. Am J Trop Med Hyg.
2008; 79: 458-462.
Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Med Indones. 2015; 47(4): 358-365.
Bhaumik, S., Beri, D., Lassi, Z. S., & Jagnoor, J. (2020). Interventions for The Management of
Snakebite Evenoming: An Overview of Systematic Reviews. PLOS Neglected Tropical
Disease, 14(10).
Dafa, M. H., & Suyanto, S. (2021). Kasus Gigitan Ular Berbisa di Indonesia. J. Pengabdian
Masyarakat MIPA dan Pendidikan MIPA, 5(1), 47-52. Retrieved September 6, 2021,
from https://journal.uny.ac.id/index.php/jpmmp/article/view/29343/pdf
Guiterrez JM, Theakston RDG, Warrell DA. Confronting the neglected problem of snakebite
envenoming: the need for a global partnership. PLoS Med. 2006;3(6): e150.
Hifumi, T., Sakai, A., Kondo, Y., Yamamoto, A., Morine, N., Ato, M., . . . Kuroda, Y. (2015).
Venomous Snake Bites: Clinical Diagnosis and Treatment. Journal of Intensive Care,
3(16), 1-9. doi:10.1186/s40560-015-0081-8
Jaya, A., & Panji, I. (2016). Tata Laksana Gigitan Ular yang Disertai Sindrom Kompartemen di
ruang Terapi Intensif. MEDICINA, 50(2), 188-193.
Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N. The global burden of snakebite: a literature
analysis and modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med. 2008;
5(11): e218.
Niasari, N., & Latief, A. (2016). Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri, 5(3), 92-98. Retrieved
September 6, 2021
RSUP Dr. Kariadi. (2021). Penanganan Gigitan Ular. Retrieved from
https://www.rskariadi.co.id/news/225/PENANGANAN-GIGITAN-ULAR/Artikel
Warrell DA. Snakebite. Lancet. 2010; 375(9708): 77-88.
WHO. Guidelines for Management of Snake-bites, 2nd Edition. World Health Organization,
2016.
World Health Organization. Factsheet of snakebite envenoming [internet]. Geneva: Word Health
Organization. 2019.
Wintoko, R., & Prameswari, N. P. (2020). Manajemen Gigitan Ular. JK Unila, 4(1), 45-52.
Retrieved September 6, 2021, from
http://repository.lppm.unila.ac.id/25346/1/Management%20gigitan%20Ular%20juke%20
2020.pdf
27
28