Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN EVIDENCE BASED NURSING

ENVENOMATION

“INTERVENTIONS FOR THE MANAGEMENT OF SNAKEBITE ENVENOMING:


AN OVERVIEW OF SYSTEMATIC REVIEWS”

Dosen : Purwadi Sujalmo, S.Kep., Ns., MN

Disusun oleh: Kelompok 2A

Agustina Dwi R (18/427090/KU/20695)

Aizizha Syeilla N (18/429877/KU/20854)

Anisah Kurniawati (18/423812/KU/20452)

Fitria Endang P (18/423822/KU/20462)

Vitriya Arum S (18/427128/KU/20733)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
202
Daftar Isi

PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Tujuan.......................................................................................................................................... 2
C. Manfaat........................................................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................................ 3
A. Definisi ........................................................................................................................................ 3
B. Patofisiologi ................................................................................................................................ 5
C. Tanda dan Gejala ......................................................................................................................... 6
D. Pemeriksaan dan Penanganan ..................................................................................................... 8
METODE PENELUSURAN LITERATUR ..................................................................................................... 16
A. Kasus ......................................................................................................................................... 16
B. Proses Pencarian Artikel ........................................................................................................... 16
C. Hasil Pencarian Artikel ............................................................................................................. 16
D. Identitas Artikel ......................................................................................................................... 17
A. Pembahasan Artikel ................................................................................................................... 18
B. Kekuatan Artikel ....................................................................................................................... 23
C. Kelemahan Artikel .................................................................................................................... 24
D. Penerapan di Indonesia .............................................................................................................. 24
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Gigitan ular dapat menjadi masalah kegawatdaruratan medis yang dapat

mengancam hidup manusia, bisa ular mampu mengganggu fungsi pernapasan,

menyebabkan gangguan perdarahan, fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang

menyebabkan terjadinya disabilitas permanen dan amputasi. Menurut WHO, sekitar 5,4

juta orang mengalami gigitan ular setiap tahunnya, dan 2,7 juta diantaranya adalah

gigitan ular berbisa. Sekitar 81.000 hingga 138.000 orang meninggal setiap tahunnya

akibat gigitan ular, dan tiga kali banyaknya amputasi dan disabilitas permanen

disebabkan oleh gigitan ular tiap tahunnya.

Kasus gigitan ular menjadi penyakit tropis yang terabaikan. Jumlah akurat kasus

gigitan ular di dunia sulit diketahui akibat kesalahan pelaporan yang terjadi. Meskipun

langka, beberapa negara telah melakukan studi untuk mengidentifikasi insidensi,

morbiditas dan mortalitas kasus gigitan ular. Asia Tenggara adalah wilayah yang paling

terdampak karena kepadatan populasinya yang tinggi, besarnya aktivitas agrikultural, dan

banyaknya jenis ular berbisa serta kurangnya program kontrol yang dibuat.

Berdasarkan karakteristik korban di Asia Tenggara, petani merupakan korban

terbanyak yang diikuti oleh pelajar dan ibu rumah tangga, dengan tingkat mortalitas 0,5%

hingga 58%. Indonesia adalah salah satu negara tropis terbesar yang memiliki kasus

gigitan ular yang cukup tinggi. Terlebih jumlah masyarakat yang bekerja di bidang

agrikultur cukup banyak, yang dikategorikan sebagai populasi berisiko tinggi. Di

Indonesia, estimasi kasus gigitan ular pada tahun 2007 sebanyak 12.739-214.883 dengan

2000 - 11.581 kematian. Ketepatan laporan tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa

1
faktor seperti penanganan tradisional, kasus terjadi daerah pedesaan sehingga tidak

mampu mencapai rumah sakit.

Kasus kematian akibat gigitan ular di Indonesia masih tinggi, bahkan terus

meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, gigitan ular menewaskan 35 orang

di Indonesia, pada 2018 meningkat menjadi 47 korban, dan pada 2019 menjadi 54 korban

jiwa. Selama pandemi, awal Januari 2020 sampai Januari 2021, terjadi sekitar 627 kasus

gigitan ular di Indonesia dengan korban meninggal dunia mencapai 62 orang. Faktor

yang berkontribusi pada mortalitas gigitan ular adalah masalah pemilihan dan dosis anti

bisa ular, keterlambatan penanganan, kematian saat perjalanan ke fasilitas kesehatan,

obstruksi jalan napas, kegagalan mempertahankan ventilasi, kegagalan mengatasi

hipovolemia, komplikasi infeksi, serta kegagalan mengobservasi perburukan di rumah

sakit.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui langkah-langkah pertolongan pertama pada orang yang tergigit

ular.

2. Untuk mengetahui intervensi yang dapat dilakukan pada orang yang tergigit ular.

3. Untuk mengetahui efektifitas, keamanan, dan pencegahan efek samping SAV.

C. Manfaat

1. Memahami langkah-langkah pertolongan pada orang yang tergigit ular.

2. Memahami intervensi yang dapat dilakukan pada orang yang tergigit ular.

3. Memahami tentang efektifitas, keamanan, dan pencegahan efek samping SAV.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Gigitan ular merupakan masalah kegawatdaruratan medis yang dapat mengancam

hidup manusia. Bisa ular mampu mengganggu fungsi pernapasan, menyebabkan

gangguan perdarahan, fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang menyebabkan

terjadinya disabilitas permanen dan amputasi. Gigitan ular sering terjadi di negara tropis

dan subtropic, dan dikategorikan WHO sebagai “Neglected Tropical Disease” atau

Penyakit Tropis Terabaikan.

Gigitan ular terjadi karena konfrontasi manusia dengan ular, umumnya terjadi

pada musim penghujan ketika telur-telur ular menetas atau ketika induk-induk ular

mencari tempat bersarang yang terkadang akhirnya berada di dekat tempat tinggal

manusia. Ular merupakan satwa liar yang mempunyai habitat terdekat dengan manusia.

Binatang ini masih dapat ditemukan di pohon-pohon yang berada di halaman rumah, di

pekarangan, sawah, saluran air, bahkan terkadang masuk ke kediaman warga. Ular

sendiri termasuk dalam reptilia atau hewan melata yang merupakan hewan ektotermik

atau berdarah dingin. Itu berarti, ular tidak dapat memproduksi panas tubuhnya sendiri

sehingga harus mengandalkan pada panas lingkungan sekitarnya agar bisa beraktivitas.

Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak ular berada di daerah tempat

tinggal manusia.

Ular yang berkonfrontasi dan menggigit manusia kebanyakan berasal dari famili

Elapidae, dan sebagian dari Viperidae, dan dapat disebabkan karena keteledoran

pemelihara ular ataupun murni kecelakaan. Genus ular terbanyak yang menggigit adalah

3
Naja atau kobra. Terdapat tiga famili ular berbisa yang berada di Asia Tenggara, yaitu

Elapidae, Viperidae dan Colubridae.

1. Elapidae.

Memiliki taring depan yang pendek (proteroglyph), famili ini termasuk

kobra, king kobra, kraits, dan coral snakes. Elapidae memiliki bentuk tubuh

yang panjang, kurus, warna uniform dengan sisik halus yang simetris pada

bagian dorsal kepalanya. Contoh spesies ular dari famili ini adalah Bungarus

candidus (ular weling), Naja sputatrix dan Naja sumatrana (ular kobra).

Bungarus candidus atau ular weling adalah jenis ular yang menggigit di

malam hari karena bersifat nokturnal. Bisa ular weling memiliki efek

neurotoksik yang letal. Sedangkan untuk spesies Naja atau ular kobra dikenal

atas kemampuannya untuk menyemprotkan bisa dari jarak satu meter atau

lebih dari musuh dan menyebabkan venom ophtalmia. Ular kobra dapat

menaikkan bagian depan tubuhnya dan memipihkan lehernya untuk

membentuk hood.

2. Viperidae.

Memiliki taring panjang (solenoglyph) yang normalnya terlipat datar ke

rahang atas, dan akan muncul saat menyerang. Viperidae cenderung memiliki

tubuh yang pendek, tebal, dengan sisik kecil yang kasar pada bagian dorsum

kepala. Contoh spesies ular dari famili ini adalah Daboia siamensis (ular

bandotan puspa), Cyrptelytrops albolabris (ular hijau), dan Calloselasma

rhodostoma (ular tanah). Spesies Daboia siamensis atau ular bandotan puspa

memiliki habitat di daerah agrikultur, cenderung bergerak pasif, dan memiliki

4
sifat nokturnal Ular bandotan puspa dan ular tanah merupakan spesies yang

tidak agresif namun dapat menyerang bila merasa terancam.

3. Colubridae .

Spesies yang penting secara medis dari famili Colubridae adalah

Rhabdophis subminiatus yang dapat menyebabkan gangguan anti-hemostatis

dan gagal ginjal akut. Beberapa spesies juga terbukti menyebabkan local

envenoming seperti Boiga dendropilia (ular mangrove) dan Enhydris plumbea

(ular sawah).

B. Patofisiologi

Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah

bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa

ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur. Melalui mikroskop

elektron, dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan

kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan

kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan

reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah

sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular.

Ular berbisa yang menggigit melakukan envenomasi (gigitan yang

menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus

menuju taring ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Enzim yang terdapat pada bisa ular

misalnya Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradykinin, sehingga menimbulkan

rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat

yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi

5
nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel

darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino

acid esterase menyebabkan terjadinya KID (Koagulasi Intravaskuler Dicemenata). Pada

kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan fungsi

bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.

Bisa ular menyebar dalam tubuh melalui saluran kapiler dan limfatik superfisial.

Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk

ke dalam jaringan tubuh. Efek lokal pada luka gigitan ular berbisa adalah terjadinya

pembengkakan yang cepat dan nyeri. Bisa ular dari famili Crotalidae/Viperidae bersifat

sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vaskular dan terjadi

koagulopati. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat

neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter pada

neuromuscular junction.

C. Tanda dan Gejala

Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala pada tempat

gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa menit, bisa akan

menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat dapat

timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual, muntah, kelemahan

otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Korban jarang mengalami syok, edem generalisata

atau aritmia jantung, tetapi perdarahan sering terjadi.

Korban gigitan ular Viperidae dapat mengalami koagulopati, dengan terdapat

beberapa kelainan komponen koagulopati (misalnya hipofibrinogenemia dan

trombositopenia). Gigitan akibat Elapidae biasanya tidak menimbulkan nyeri hebat.

6
Namun tidak adanya gejala lokal atau minimal, bukan berarti gejala yang lebih serius

tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi dan biasanya gejala berkembang

dalam 12 jam, bisa yang bersifat neurotoksik, mulai dari perasaan mengantuk sampai

kelumpuhan nervus kranialis, kelemahan otot dan kematian karena gagal napas.

Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam 4 skala, yaitu

derajat 1 (minor) = tidak ada gejala, derajat 2 (moderate) = gejala lokal, derajat 3 (severe)

= gejala berkembang ke daerah regional, derajat 4 (major) = gejala sistemik. Berikut

adalah tabel skor dari derajat beratnya kasus gigitan ular berbisa dari famili Crotalidae

dan famili Elapidae.

Famili Crotalidae Famili Elapidae

Derajat Tanda Gejala Derajat Tanda Gejala

1 (minor) Terdapat tanda bekas 0 (none) Riwayat digigit ular,

gigitan/ taring, tidak ada pembengkakan lokal

edem, tidak nyeri, tidak dengan tanda guratan,

ada gejala sistemik, tidak tidak ada gangguan

ada koagulopati. neurologis.

2 (moderate) Terdapat tanda bekas 1 (moderate) Derajat 0 ditambah, gejala

gigitan/taring, edem neurologis atau, disertai

local, tidak ada gejala eforia, mual, muntah,

sistemik, tidak ada parestesia, ptosis,

koagulopati kelemahan otot, paralisis,

sesak.

7
3 (severe) Terdapat tanda bekas 2 (severe) Gejala pada derajat 1

gigitan, edem regional (2 ditambah paralisis otot

segmen dari ekstremitas), pernapasan dalam 36 jam

nyeri yang tidak teratasi pertama.

oleh analgesik, tidak ada

tanda sistemik, teradapat

tanda koagulopati.

4 (major) Terdapat tanda bekas

gigitan, edem yang luas

terdapat tanda sistemik

(muntah, sakit kepala,

nyeri pada perut dan

dada, syok), trombosis

sistemik.

D. Pemeriksaan dan Penanganan

1. Pertolongan Pertama .

Pertolongan pertama dilakukan segera setelah gigitan ular dan sebelum pasien

sampai di rumah sakit atau klinik, dapat dilakukan oleh korban maupun orang lain

dengan prosedur yang sesuai. Pertolongan pertama yang direkomendasikan adalah

upaya menenangkan korban, melakukan imobilisasi seluruh tubuh korban dengan

membaringkannya dalam recovery position¸ dan melakukan imobilisasi pada

tangan/kaki yang terkena gigitan baik menggunakan sling, splint, maupun metode

8
pressure bandage immobilization (PBI). Selain itu, transportasi secepat mungkin

korban menuju ke fasilitas kesehatan terdekat dan apabila memungkinkan bersama

dengan ular yang menggigit, karena akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir dari

penanganan medis korban. Usaha pertolongan pertama yang tradisional dan populer

di masyarakat seperti membuat insisi lokal “tattooing” pada area gigitan ular,

menghisap bisa dari luka gigitan, memasangkan tourniquet ketat pada tangan/kaki

yang terkena gigitan ular, menggunakan herbal-herbal tertentu, dan lain-lain tidak

direkomendasikan karena berpotensi untuk membahayakan korban maupun penolong.

2. Penanganan di Rumah Sakit.

Gigitan ular merupakan suatu kegawatdaruratan medis, sehingga riwayat, tanda

dan gejala pasien harus didapatkan secepat mungkin agar penatalaksanaan yang

sesuai dapat dilakukan. Pasien harus ditenangkan terlebih dahulu untuk mengurangi

tingkat kecemasannya, penanganan awal berupa primary survey yang

direkomendasikan oleh panduan Advance Trauma Life Support dengan

mempertahankan Airway, Breathing, dan Circulation serta memperhatikan tanda

hemodinamik dan gejala penyebaran bisa ular. Pemberian profilaksis tetanus,

antibiotik, dan analgesic selain NSAID dapat diberikan mengingat terdapat resiko

pendarahan. Peniliaian klinis secara detail dan identifikasi spesies:

a. Anamnesis .

Terdapat 4 pertanyaan awal yang sangat baik untuk digunakan:

 Dimana (di bagian tubuh) Anda yang digigit? Tunjukkan tempatnya.

 Kapan Anda digigit? Dan apa yang sedang Anda kerjakan ketika digigit?

9
 Seperti apa bentuk ular yang menggigit Anda? Apakah ada yang

memotretnya?

 Bagaimana perasaan Anda saat ini? Tanda dan gejala yang ditimbulkan

dari penyebaran bisa ular sangat beragam, namun pada umumnya gejala

awal yang ditimbulkan adalah muntah, penurunan kesadaran, pingsan,

pendarahan dari bekas gigitan dan reaksi anafilaksis.

b. Pemeriksaan fisik .

Dapat dimulai dari area gigitan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik

secara umum dan spesifik. Pada area gigitan ular dapat ditemukan

pembengkakan, nyeri tekan palpasi, tanda drainase limfonodi, ekimosis, dan

tanda-tanda awal nekrosis (melepuh, perubahan warna, dan bau pembusukan).

Manifestasi klinis yang dapat di temukan pada pemeriksaaan fisik antara lain:

 Tanda-tanda vital: denyut nadi dan perbedaan tekanan darah saat duduk

dan berdiri untuk melihat adanya postural drop.

 Kulit dan membran mukosa: ptekie, purpura, ekimosis, dan pendarahan

konjungtiva.

 Sulcus gingivalis: tanda perdarahan sistemik spontan

 Hidung: epistaksis

 Abdomen: nyeri tekan abdomen sebagai tanda pendarahan intrabdomen

atau retroperitoneal

 Neurologis: lateralisasi, paralisis flaksid otot

 Gejala berupa nyeri seluruh tubuh dan warna urin yang gelap merupakan

indikasi kuat terjadinya rhabdomyolisis.

10
 Pada kasus gigitan ular yang terjadi pada ibu hamil dapat terjadi abortus,

kelahiran prematur, dan pendarahan antepartum/postpartum yang ditandai

dengan pendarahan vaginal.

Identifikasi spesies ular harus dilakukan guna meningkatkan efektivitas

penanganan medis, apabila memungkinkan ular dibawa atau didokumentasikan untuk

diidentifikasi oleh ahli dibidang tersebut, namun bila tidak memungkinkan informasi

terkait ciri khas ular yang menggigit dapat diambil dari keterangan pasien.

3. Pemeriksaan penunjang dan uji laboratorium.

Minute Whole Blood Clotting Test (20WBCT) adalah tes yang memerlukan

perlengkapan sederhana seperti tabung gelas, botol atau tabung suntik yang baru,

bersih, kering. Hasil positif (non-pembekuan) menunjukkan koagulopati parah dan

kebutuhan untuk pengobatan anti bisa ular segera. Tes laboratorium yang lebih

sensitif dari pembekuan darah adalah International Normalized Ratio (INR)

berdasarkan waktu protrombin (PT) (> atau = 1,2 tidak normal), waktu activated

partial thromboplastin time (aPPT), antigen terkait fibrin (ogen) (produk degradasi

fibrin - FDP) atau D-dimer.

Tes laboratorium lainnya yang dapat dilakukan yaitu:

a. Pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin/hematokrit, hitung trombosit, dan

hitung sel darah putih dapat dijadikan indikasi dari spesies ular yang menggigit

(contoh: peningkatan hemoglobin/hematokrit pada gigitan ular Russell’s viper,

trombositopenia pada gigitan ular viper dan australasian elapids)

11
b. Pemeriksaan Apusan Darah Tepi (ADT) dapat ditemukan sel darah merah

terfragmentasi (“sel helm”, schistosit) yang menandakan hemolisis

mikroangiopati

c. Pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal juga dapat dijadikan indikasi dari

spesies ular yang menggigit (contoh: kreatinin plasma, urea/nitrogen urea darah

dan konsentrasi kalium meningkat pada cedera ginjal akut pada gigitan ular

Russell's viper, nosed-nosed pit-viper, Aminotransferase dan enzim otot yang

meningkat menunjukkan kerusakan otot lokal dan umum pada gigitan ular laut,

beberapa kraits, beberapa Australasia Elapidae dan gigitan ular Russell's viper dan

hiponatremia pada gigitan ular kraits.

d. Pemeriksaan urin: tes dipstick untuk darah, hemoglobin atau myoglobin dan

proteinuria. Mikroskopis untuk mendeteksi eritrosit dan silinder sel darah merah,

menunjukkan perdarahan glomerulus, eosinofilia menunjukkan nefritis interstitial

akut.

4. Anti Bisa Ular .

Pemberian anti bisa ular dilakukan sesegera mungkin jika pasien memenuhi

indikasi, hal ini dikarenakan anti bisa ular memiliki harga yang relatif mahal dan

ketersediaannya terbatas. Di Indonesia, anti bisa ular polyvalent diproduksi oleh

Biofarma untuk menangani bisa neurotoksik Naja sputatix, Bungarus fasciatus dan

Calloselasma rhodostoma.

Indikasi pemberian anti bisa ular:

a. Keracunan Sistemik

12
 Gangguan hemostasis: perdarahan spontan sistemik yang jauh dari lokasi

gigitan, koagulopati (20 WBCT positif), atau INR>1.2 atau PT>4-5 detik

lebih.

 Panjang dari nilai kontrol laboratorium, atau trombositopenia (<100x109

/liter).

 Gejala neurotoksik: ptosis, oftalmoplegia, paralisis, dan lain-lain.

 Gangguan kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia, EKG abnormal.

 Gagal ginjal akut: oligouria/anuria, peningkatan kreatinin/urea.

 Hemoglobin/myoglobin-uria: urin cokelat gelap, dipstick, temuan hemolisis

intravaskuler atau rhabdomiolisis.

b. Keracunan Lokal

 Pembengkakan lokal lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa

tourniquet) dalam 48 jam atau pembengkakan setelah gigitan pada jari.

 Pembengkakan yang meluas: misalnya bengkak pada ankle dalam beberapa

jam setelah gigitan di kaki.

 Pembengkakan limfonodi pada daerah gigitan.

Anti bisa ular diberikan melalui intravena jika memungkinkan, baik secara slow

IV push injection (maksimum 2 ml/menit) atau infus IV yang diencerkan dengan 5

ml cairan isotonis per kg berat badan selama 30-60 menit. Di Indonesia, dosis yang

dianjurkan yaitu 2 vial SABU (10 ml) diencerkan dalam 100 ml Normal Saline 0.9%

kemudian drip 60-80 tetes per menit, dapat diulang setiap 6-8 jam. Dianjurkan

tersedia epinefrin untuk penanganan reaksi anafilaktik akibat administrasi anti bisa

ular. Pemberian secara intramuskular tidak direkomendasikan kecuali jika akses

13
intravena tidak memungkinkan. Setelah pemberian pertama, observasi keadaan

umum, perdarahan sistemik, serta gejala neurotoksik. Pengulangan dosis awal dapat

dilakukan jika ada gangguan koagulasi persisten setelah 6 jam atau terdapat

perdarahan setelah 1-2 jam serta timbul deteriorasi neurotoksik atau kardiovaskular

setelah 1 jam.

5. Terapi Tambahan

Pemberian kolinesterase dianjurkan terutama pada kasus keracunan neurotoksik

yang disebabkan gigitan kobra. Sebelumnya pasien diberikan atropine sulfat (0.6 mg

untuk dewasa; 50µg/kg untuk anak-anak) secara IV kemudian diikuti neostigmine

bromide atau methylsulphate (prostigmin) secara IM dengan dosis 0.02 mg/kg untuk

dewasa, 0.04 mg/kg untuk anak-anak. Kemudian pasien diobservasi selama 30-60

menit ke depan. Jika responnya baik, maka maintain dengan neostigmine

methylsulphate 0.5-2.5 mg setiap 1-3 jam hingga 10 mg/24 jam untuk dewasa dan

0.01-0.05 mg/kg tiap 2-4 jam untuk anak-anak, injeksi IV atau subkutan bersamaan

dengan atropine.

Hipotensi dan syok dapat terjadi akibat hypovolemia. Pengukuran dengan tensi

dapat dilakukan pada posisi supinasi atau duduk. Selain itu, dapat dilakukan passive

leg raising test untuk menilai respon cairan. Terapi dengan kristaloid harus

diobservasi (tekanan JVP, laju napas, dan krepitasi), pada pasien yang mengalami

peningkatan permeabilitas kapiler dapat diberikan vasokonstriktor seperti dopamin.

Selain itu, evaluasi adanya tanda-tanda gagal ginjal akut seperti oligouri, peningkatan

kreatinin serum, dan sindrom uremia. Pada pasien oligouri dapat dilakukan fluid

challenge atau furosemide test. Dialisis dapat dilakukan jika terjadi tanda-tanda

14
uremia (ensefalopati, perikarditis), overload cairan yang tidak merespon dengan

diuretik, asidosis simptomatik, dan nilai ureum >130 mg/dl atau kreatinin >4 mg.

6. Manajemen Luka Gigitan Ular

Pada bagian tubuh yang digigit dapat terbentuk bulla yang besar dan tegang yang

membutuhkan aspirasi jika terancam ruptur. Abses harus dibersihkan, surgical

debridement diindikasikan untuk menghilangkan risiko sepsis Risal anaerobik. Agar

tidak terjadi infeksi pada luka gigitan, pasien dapat diberikan antibiotik spektrum luas

seperti gentamisin dan benzylpenisilin, amoxicillin atau cefalosporin dan gentamisin.

Deteksi dini terhadap sindrom kompartemen juga penting, observasi adanya tanda-

tanda peningkatan tekanan intrakompartemen seperti pembengkakan disertai nyeri

hebat yang immobile dan dingin. Anti bisa ular harus segera diberikan karena dapat

menurunkan tekanan dan myonekrosis. Fasiotomi hanya diindikasikan jika tidak ada

perbaikan setelah pemberian anti bisa ular.

7. Penilaian Pulang

Sebelum pulang dari rumah sakit, lakukan diskusi dengan pasien atau keluarga

pasien mengenai implikasi terjadinya gigitan ular dan proses penyembuhan,

rehabilitasi dengan latihan untuk mengembalikan fungsi tungkai yang terkena gigitan,

kontrol rutin setiap 1-2 minggu untuk melihat kemajuan penyembuhan, dan

pemberian nasihat serta edukasi untuk mencegah terjadinya gigitan ular yang dapat

dibagikan ke keluarga atau kerabat terdekat.

15
BAB III

METODE PENELUSURAN LITERATUR


A. Kasus

Seorang satpam meninggal akibat digigit ular pada Selasa, 21 Agustus 2019.

Satpam tersebut berniat untuk menangkap seekor ular ats laporan warga sekitar. Saat

berusaha menangkap ular, satpam tersebut digigit dibagian jari kelingking. Satpam

tersebut berusaha melakukan pertolongan pertama dengan menghisap bisa ular

menggunakan mulut. Usaha tersebut gagal dan satpam dilarikan ke rumah sakit. Nyawa

satpam tersebut tidak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia.

B. Proses Pencarian Artikel

1. Pertanyaan klinis: “Bagaimana pertolongan pertama pada korban yang tergigit dan

terkena bisa ular?”

2. Strategi pencarian artikel.

P: envenomation

I: first aid

C:-

O: effectiveness

Kata kunci: ((envenomation*) and (first aid*) and (effectiveness))

C. Hasil Pencarian Artikel

16
D. Identitas Artikel

Judul Interventions for the management of snakebite envenoming: An

overview of systematic reviews

Penulis Bhaumik, S; Beri, D; Lassi, Z. S; Jagnoor, J

Tahun terbit 2020

Nama jurnal PLOS NEGLECTED TROPICAL DISEASE

DOI https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0008727

17
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Artikel

1. Latar belakang.

Gigitan ular adalah penyakit tropis terabaikan yang menyebabkan 120.000

kematian setiap tahun. Gigitan ular sebagian besar terjadi pada masyarakat pedesaan

dan suku di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika. Envenomation gigitan ular

memiliki banyak manifestasi klinis karena beragamnya bisa ular. Pengelolaan

pertolongan pertama, efek lokal, efek sistemik, dan pengelolaan komplikasi sangat

penting untuk mencegah kecacatan. Berbagai jenis snake anti venom (SAV)

merupakan intervensi khusus yang dapat diberikan. Pada tahun 2019, WHO telah

membuat strategi komprehensif untuk mengurangi kematian akibat racun ular. Bukti

ilmiah dibutuhkan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan.

2. Metode dan analisis.

Metode yang digunakan adalah Overview Systematic Review tanpa

membandingkan keefektifan setiap intervensi.

Kriteria inklusi:

- Desain penelitian: systematic review.

- Populasi: systematic review yang menyertakan penelitian tentang pasien yang

dirawat karena gigitan ular tanpa melihat spesies ular, jenis kelamin pasien, dan

usia pasien.

- Intervensi: segala jenis tindakan medis, bedah, komplementer, dan alternatif.

18
- Outcomes primer: kematian, early adverse reaction (EAR), late adverse

reactions (LAR) terhadap SAV, komplikasi, proporsi luka yang sembuh, dan

kesehatan mental.

- Outcomes sekunder: durasi rawat inap, kualitas hidup, biaya, kondisi luka,

kematian dan kecacatan.

a. Metode pencarian dan identifikasi.

Database yang digunakan: vid MEDLINE(R), Global Health, EMBASE,

Cochrane Database of Systematic Reviews, Database of Abstracts of Reviews of

Effects, Cochrane Clinical Answers, Cochrane Central Register of Controlled

Trials, Cochrane Methodology Register, Health Technology Assessment, NHS

Economic Evaluation Database, APA PsycInfo, CINAHL by EBSCO-Host, and

the Campbell Library.

b. Seleksi.

Pada tahap awal, kedua penulis melakukan screening judul dan abstrak

secara independen untuk menentukan artikel yang akan digunakan dan tidak.

Ketidaksepakatan diselesaikan dengan consensus.

c. Ekstraksi dan manajemen data.

Dua penulis mengekstraksi data secara independen ke dalam lembar

ekstraksi data.

d. Sintesis.

Hasil systematic review disintesis secara naratif tanpa menambahkan

analsisi kuantitatif. Sistesis dikelompokkan berdasarkan jenis intervensi.

19
e. Penilaian kualitas metodologi systematic review secara independen oleh dua

penulis dengan kriteria AMSTAR-2.

3. Hasil.

Pencarian artikel mendapatkan 13 artikel dengan karakteristik sebagai berikut:

- 1 sistematyc review melihat secara komprehensif semua intervensi pertolongan

pertama gigitan ular untuk orang awam.

- 6 systematic review tentang efektivitas dan keamanan berbagai jenis SAV.

- 2 systematic review tentang pencegahan efek samping SAV.

- 1 sytematic review tentang intervensi lain (intervensi bedah pada gigitan

crotaline).

4. Sintesis hasil.

a. Perolongan pertama gigitan ular.

Tourniquet.

- Tidak ada perbedaan yang signifikan antara korban yang dipasang tourniquet

dengan kejadian kematian dan disabilitas.

- Tidak ada perbedaan signifikan antara korban yang dipasang tourniquet

dengan kejadian gagal ginjal akut, gagal napas, dan gangguan multi organ.

- Tidak ada perbedaan signifikan antara korban yang dipasang tourniquet

dengan lama rawat inap.

- Tidak ada perbedaan signifikan antara korban yang dipasang tourniquet

dengan kejadian nekrosis jaringan.

- Peningkatan pembekakan lokal akibat penggunaan tourniquet.

Insisi luka.

20
- Tidak ada perbedaan signifikan antara insisi luka dan kejadian kematian atau

kecacatan.

- Tidak ada perbedaan signifikan antara insisi luka dengan kejadian sindroma

hemoragik.

- Terdapat peningkatan yang signifikan pembekakan lokal pada korban yang

dilakukan insisi.

- Terdapat penurunan yang signifikan durasi rawat inap pada korban yang

diinsisi.

Menghisap luka gigitan.

- Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara menghisap luka gigitan

dengan lama rawat inap, kematian, dan kecacatan.

Pengobatan dengan snake stone.

- Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan snake stone

dengan lama rawat inap, kematian, dan kecacatan.

Obat dan ramuan tradisional.

- Ramuan oles tradisional meningkatkan kematian atau kecacatan paa korban

gigitan ular.

- Peningkatan secara signifikan kemungkinan kematian dan kecacatan pada

pasien yang meminum ramuan tradisional.

b. Efektifitas dan keamanan SAV.

- Crotalidae polyvalent immune fab (FabAV). Empat dari 47 anak mengalami

efek samping. Tiga anak mengalami EAR dan 1 LAR. Tidak ada pasien yang

mengalami perdarahan sistemik.

21
- FabAV memiliki risiko 8% hipersensitivitas pada racun ular crotaline.

- SAV menurunkan 75% kematian akibat racun ular.

- ETPlus lebih efektif dari pada EchiTabG, namun lebih kurang aman terhadap

racun echis ocellatus.

- Inosepr-Pan African mampu mengembalikan koagulabilitas darah dalam 24

jam.

- Fav-Afrique tidak mengakibatkan efek samping dan kematian.

- SAIMR Echis tidak mengakibatkan kematian dan mampu mengembalikan

hematologis dengan cepat.

- ASNA Antivenom tidak efektff dalam memulihkan koagulopati darah dan

menyebabkan banyak alergi.

- Dosis (rendah = 20-220ml dan tinggi = 40-550ml).

Tidak ada pebedaan yang signifikan antara pemberian dosis rendan atau

dosis tinggi dengan angka kematian, komplikasi neurologis, gagal ginjal akut,

dan pendarahan. Gatal, urtikaria, dan eritema terjadi pada 8 dari 60 pasien

dosis rendah dan 30 pasien dosis tinggi. Pasien dosis rendah memiliki lama

rawat inap yang lebih sedikit dan pengehmatan pengeluaran.

c. Pencegahan efek samping SAV.

Profilakis untuk mencegah EAR:

- Adrenalin: pasien yang menerima adrenalin mengalami EAR yang lebih

rendah terhadap SAV.

- Steroid: tidak ada perbedaan kejadian EAR pada pasien yang menerima

hidrokortison dan placebo.

22
- Antihistamin: tidak ada perbedaan kejadian EAR pada pasien yang menerima

prometazin dan placebo.

- Steroid dan antihistamin: tidak dapat dibuktikan karena kekurangan data dan

masalah kualitas data.

d. Intervensi lain.

- Eksisi jaringan didekat gigitan crotaline spp dan perendaman dengan air es

memberikan hasil yang lebih buruk.

- Fasiotomi profilaksis tidak memberikan hasil yang lebih baik untuk

mencegah sindroma kompartemen.

- Fasiotomi terapeutik pada pengobatan sindroma kompartemen menurunkan

myonekrosis. Fasiotomi diberikan saat terapi antivenom gagal memperbaiki

perfusi jaringan.

B. Kekuatan Artikel

1. Artikel berisi mengenai berbagai cara penanganan gigitan ular mulai dari

pertolongan pertama, pemberian antivenom, pencegahan efek samping antivenom,

dan terapi pembedahan.

2. Artikel memaparkan dengan jelas setiap systematic review yang dianalisis satu per

satu.

3. Overview systemaic review memungkinkan pembaca mendapatkan banyak

informasi dari berbagai penelitian dengan hanya membaca 1 artikel.

23
C. Kelemahan Artikel

1. Berdasarkan hasil AMSTAR-2 yang terdapat didalam artikel, dua belas dari 13

artikel yang dianalisis memiliki nilai kepercayaan sangat rendah. Hanya 1 artikel

yang memiliki kualitas tinggi yaitu SAV tidak mengakibatkan kelumpuhan

neuromuscular.

2. Beberapa intervensi yang dibahas tidak menyajikan bukti yang berkualitas.

3. Penulis artikel tidak melakukan pembandingan antara 1 intervensi dengan

intervensi yang lain.

4. Penulis artikel tidak menyajikan kesimpulan dari hasil sintesis yang telah

dilakukan.

D. Penerapan di Indonesia

1. Tidak semua pertolongan pertama pada gigutan ular yang disampikan didalam

artikel dapat diterapkan di Indonesia. Pengikatan diatas luka gigitan dapat

mencegah penyebaran bisa luka melalui pembuluh darah, namun tidak dianjurkan

(RSUP Dr. Kariadi, 2021). Pengikatan yang terlalu kencang dapat mengakibatkan

kerusakan jaringan. Pengeluaran bisa dengan menghisap menggunakan mulut tidak

dianjurkan karena berisiko penyebaran bisa melalui saluran pencernaan (RSUP Dr.

Kariadi, 2021). Pemberian olesan obat tradisional juga tidak disarankan karena

berisiko menimbulkan infeksi (RSUP Dr. Kariadi, 2021). Imobilisasi pada area

gigutan dapat dilakukan untuk mengurangi peredaran darah di area lokasi gigitan

(RSUP Dr. Kariadi, 2021). Segera membawa korban ke fasilitas pelayanan

kesehatan merupakan cara terbaik.

24
2. Injeksi antivenom merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi bisa ular. Setiap

ular memiliki karakteristik yang berbeda dan setiap antivenom juga memiliki

karakteristik yang berbeda. Antivenom yang disebutkan didalam article mungkin

akan cocok digunakan sesuai dengan kondisi dan lokasi penelitian. Di Indonesia,

antivenom yang tersedia adalah serum anti bisa ular (SABU) polivalen dengan

dosis sesuai derajat venomisasi (RSUP Dr. Kariadi, 2021).

3. Fasiotomi pada pasien gigitan ular sebaiknya ditunda hingga abnormalitas

hemostasis terkoreksi (Jaya & Panji, 2016).

25
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


Memastikan perawatan yang aman dan efektif yang dapat menurunkan beban gigitan ular
membutuhkan pelaksanaan review sistemik berkualitas tinggi. Kurangnya review sistemik
berkualitas tinggi menghambat pengembangan pedoman, karena menginformasikan penelitian
utama tentang gigitan ular merupakan hal prioritas.

DAFTAR PUSTAKA

26
Alirol E, Sharma SK, Bawaskar HS, Kuch U, Chappuis F. Snakebite in south asia: a review.
PLoS Negl Trop Dis. 2010; 4(1): e603.
Ariaratnam CA, Sheriff MH, Theakston RD, Warrell DA. Distinctive epidemiology and clinical
features of common krait (Bungarus caeruleus) bites in Sri Lanka. Am J Trop Med Hyg.
2008; 79: 458-462.
Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Med Indones. 2015; 47(4): 358-365.
Bhaumik, S., Beri, D., Lassi, Z. S., & Jagnoor, J. (2020). Interventions for The Management of
Snakebite Evenoming: An Overview of Systematic Reviews. PLOS Neglected Tropical
Disease, 14(10).
Dafa, M. H., & Suyanto, S. (2021). Kasus Gigitan Ular Berbisa di Indonesia. J. Pengabdian
Masyarakat MIPA dan Pendidikan MIPA, 5(1), 47-52. Retrieved September 6, 2021,
from https://journal.uny.ac.id/index.php/jpmmp/article/view/29343/pdf
Guiterrez JM, Theakston RDG, Warrell DA. Confronting the neglected problem of snakebite
envenoming: the need for a global partnership. PLoS Med. 2006;3(6): e150.
Hifumi, T., Sakai, A., Kondo, Y., Yamamoto, A., Morine, N., Ato, M., . . . Kuroda, Y. (2015).
Venomous Snake Bites: Clinical Diagnosis and Treatment. Journal of Intensive Care,
3(16), 1-9. doi:10.1186/s40560-015-0081-8
Jaya, A., & Panji, I. (2016). Tata Laksana Gigitan Ular yang Disertai Sindrom Kompartemen di
ruang Terapi Intensif. MEDICINA, 50(2), 188-193.
Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N. The global burden of snakebite: a literature
analysis and modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med. 2008;
5(11): e218.
Niasari, N., & Latief, A. (2016). Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri, 5(3), 92-98. Retrieved
September 6, 2021
RSUP Dr. Kariadi. (2021). Penanganan Gigitan Ular. Retrieved from
https://www.rskariadi.co.id/news/225/PENANGANAN-GIGITAN-ULAR/Artikel
Warrell DA. Snakebite. Lancet. 2010; 375(9708): 77-88.
WHO. Guidelines for Management of Snake-bites, 2nd Edition. World Health Organization,
2016.
World Health Organization. Factsheet of snakebite envenoming [internet]. Geneva: Word Health
Organization. 2019.
Wintoko, R., & Prameswari, N. P. (2020). Manajemen Gigitan Ular. JK Unila, 4(1), 45-52.
Retrieved September 6, 2021, from
http://repository.lppm.unila.ac.id/25346/1/Management%20gigitan%20Ular%20juke%20
2020.pdf

27
28

Anda mungkin juga menyukai