Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH ISLAM DAN BUDAYA LOKAL

“SINKRETISME FALSAFAH BUDAYA DAN AGAMA ISLAM KEBUDAYAAN


BENGKULU”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK I

INES SAWELA (1911210154)

DINDA MULYANI (1911210162)

ANIA SHOFIYANTI ULFI. P (1911210181)

DOSEN PENGAMPU : RESY MAHALELITA, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU

TAHUN AJARAN 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan juga hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan makalah dengan pokok bahasan “Sinkretisme Falsafah Budaya dan Agama
Islam Kebudayaan Bengkulu ”.

Sholawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad
SAW, yang selalu kita nantikan syafa’atnya di hari kiamat. Kami berterimakasih kepada
segala pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi yang membaca dan mempelajarinya, makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun masih penulis harapkan
untuk perbaikan selanjutnya.

Bengkulu, 09, Oktober, 2021


Penyusun

Kelompok I

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan Masalah.............................................................................................3

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Sinkretisme..................................................................................4
B. Pandangan Islam Terhadap Sinkretisme.......................................................5
C. Hubungan Agama dan Kebudayaan..............................................................7
D. Sinkretisme Falsafah Budaya dan Agama Islam Kebudayaan Bengkulu.....14

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................................30
B. Saran.............................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama merupakan petunjuk Ilahi yang di turunkan kepada manusia agar memperoleh
kebahagian dalam hidupnya. Agama merupakan sumber rujukan bagi penganutnya dalam
segala tindak tanduknya. Sebagai sumber nilai, agama menuntut pemeluknya agar
mematuhi segala nilai yang ada sebagai ibadah. Agama lahir ditengah- tengah masyarakt
yang telah memiliki kebudayaan. Kebudayaan secara substansial merupakan hal yang
esensial dalam kehidupan suatu masyarakat. Setiap masyarakat betapapun sederhananya
tetap memiliki kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan rasa mereka. Kebudayaan
mengandung nilai, norma, dan pandangan hidup suatu bangsa. Kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.1

Kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan
hidup manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah laku. Pandangan semacam ini
mengharuskan untuk merunut keberlanjutan kebudayaan itu pada ekspresi simbolik
individu dan kelompok, khususnya dalam meneliti proses pewarisan nilai itu terjadi
karena kebudayaan merupakan pola dari pengertian dan makna yang terjalin secara
menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis. Kenyataan ini yang
juga turut memberikan kontribusi kepada bhinneka sebagai falsafah hidup bersama di
negara ini.

Kebhinnekaan masyarakat secara otomatis memiliki bhinneka dalam budaya. Setiap


masyarakat daerah memiliki kebudayaan tersendiri yang sesuai dengan nilai pandang
masyarakat yang mencerminkan pandangan hidup masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu
daerah seringkali menjelma dalam bentuk nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
budaya lokal. Budaya lokal seringkali disebut kearifan lokal (local genius) yang dapat
diartikan secara keseluruhan meliputi dan mungkin malahan dapat dianggap sama dengan
apa yang dewasa ini terkenal dengan cultural identity dan yang diartikan sebagai identitas
atau kepribadian budaya suatu bangsa, yang mengakibatkan, bahwa bangsa bersangkutan
menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya

1
E.B. Tylor (ed), dalam J.Van Ball, Symbols For Communication: An Introduction to The Antropological Study
of Religion, (USA: Van Garcum & Company, 1971), hlm. 90.

1
dari luar wilayah sendiri, sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya. Interaksi antara
agama dan budaya telah malahirkan keragaman budaya Indonesia.2

Secara empiris Al-Qur’an diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki


kebudayaan yang mengakar, artinya secara historis Al-Qur’an tidak turun dalam ruang
hampa yang tanpa konteks. Sebagai pesan Tuhan, wahyu memiliki obyek sasaran dan
sasaran itu adalah masyarakat Arab pada abad ke VII masehi. Dengan demikian
melepaskan wahyu dari konteks sossial budayanya adalah pengabaian terhadap historis
dan realitas. Di samping itu Tuhan juga menggunakan budaya lokal sebagai media untuk
mentransformasikan ajaran-Nya. Hal ini terterlihat dengan banyaknya adat istiadat Arab
yang terekam dalam berdialektika dengan Al-Qur.an. Adat istiadat tersebut meliputi
berbagai bidang baik pranata keagamaan, sosial, ekonomi, politik, maupun hukum. Al-
Qur’an merespon berbagai budaya yang berkembang dalam masyarakat Arab dengan
beragam cara. Dalam beberapa ayatnya, Al-Qur’an bersifat apresiasif teradap budaya yang
ada dengan menegaskan keberlakuannya dan memberikan ketentuan-ketentuan baru di
dalamnya. Dalam hal ini Al-Qur’an menyempurnakan tata aturan yang sudah ada sehingga
masyarakat Arab dapat melanjutkan kebiasaan mereka. Di sisi lain Al-Qur’an mengoreksi
adat istiadat masyarakat dan melarangnya, sebahagiannya Al-Quran merespon dengan cara
mengakomodasi tradisi tetapi mengaturnya kembali dengan kerangka baru, secara
simbolik tradisi tersebut tetap dipertahankan, tetapi ketentuan-ketentuan berlakunya
diubah. Perubahan itu didasari dampak nyata dari tradsi tersebut menimbulkan
ketidakstabilan sosial dalam masyarakat. Banyak tradisi Arab yang mengakibatkan adanya
dominasi atau perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok atau suku tertentu. Namun
keberadaan tradisi tersebut sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem sosial
yang ada, sehingga Al-Qur’an hanya mengonstruksinya dan tetap mengakui
keberadaannya.

Fakta-fakta di atas menunjukkan adanya pola hubungan antara Al-Qur’an sebagai


wahyu dengan budaya lokal. Bentuk hubungan tersebut berupa dialektika dan respons
wahyu terhadap budaya masyarakat. Karena wahyu bukan dibumikan bukan ditempat
hampa budaya, maka unsur-unsur budaya, mau tidak mau sedikit banyaknya mewarnai
juga praktek keberagaman dalam Islam. Dengan demikian kultur kebergaman islam di
Nusantara tidak sama persis dengan kultur keberagaman umat islam di Timur Tengah
(Arab Persia) turki dan Afrika. Bahkan di Nusantara sendiripun terdapat keragaman
2
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan . (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 1-3.

2
pengalaman keagamaan antara masyarakat Muslim di Jawa dan di luar jawa.
Keanekaragaman pengalaman beragam tersebut pada gilirannya perbincangan soal agama
dan Budaya serta keterkaitan keduanya itu gampamg-gampang sulit, karena setiap kita
adalah orang beragama sekaligus makhluk berbudaya sehingga ketika agama dan budaya
itu sama dengan berbicara tentang keseharian kita. Ternyata sulit kita untuk
mendefenisikan agama dan budaya kita tidak bisa terlepas dari subyektifitas kita masing-
masing. Pada hal berbicara secara ilmiah kita dituntut untuk bersifat obyektif yang berarti
harus menjaga jarak dari subyektifitas pribadi. Jadi letak kesulitan itu ada pada dalam diri
pribadi pembicara dan ada dalam defenisi-defenisi Agama dan budaya karena masing-
masing agama dan budaya itu memiliki defenisi yang tidak tunggal bahkan berbeda satu
dengan yang lainnya.3

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Sinkretisme ?
2. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap sinkretisme?
3. Bagaimanakah pemahaman Agama dan kebudayaan ?
4. Bagaimanakah sinkretisme falsafah budaya dan Agama Islam
kebudayaan Bengkulu ?
E. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari Sinkretisme,
2. Untuk mengetahui pandangan Islam terhadap sinkretisme,
3. Untuk mengetahui pemahaman Agama dan kebudayaan,
4. Untuk mengetahui sinkretisme falsafah budaya dan Agama Islam kebudayaan
Bengkulu.

3
JWM Bakker, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 150-151.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sinkretisme

Sinkretisme berasal dari bahasa Yunani synkretismos yang berarti penggabungan, juga
suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau
kepercayaan. Sinkretisme juga merupakan suatu istilah yang menunjukkan paham yang
sangat mencolok mewarnai kebudayaan dunia sejak zaman Yunani kuno dan Romawi
hingga sekarang ini. Keyakinan Yunani kuno dan Romawi berkembang karena sinkretisme
sebagai produk budaya yang mudah diserap oleh kepercayaan lokal dari tempat-tempat
baru yang mereka taklukkan.

Proses sinkretisme dalam pertemuan agama terjadi apabila pertemuan itu


menghasilkan percampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang
didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda utuk mencari keserasian, keseimbangan.
Sinkretisme menurut Sin Ellen Kraft yaitu sebagai percampuran pemikiran dan kegiatan
keagamaan, dengan tujuan yang sama, baik mengambil sedikit maupun banyak prinsip
atau menggabungkan keduanya.

Sinkretisme mendorong koeksistensi dan interaksi damai antara budaya yang berbeda.
Agama sinkretis bersifat dinamis karena ia terus berkembang tergantung pada naik
turunnya pemikiran manusia. Sinkretisme agama terjadi karena campuran keyakinan
agama yang berbeda menjadi sebuah agama baru. Hal ini mungkin terjadi ketika suatu
tempat ditaklukkan dan penyerbu membawa keyakinan agama mereka sendiri yang bisa
terintegrasi dengan praktek-praktek keagamaan yang ada di tempat yang ditaklukkan itu.4

Teori sinkretisme telah berkembang menjadi dua aliran, yang pertama ialah mereka
yang berusaha menyampingkan penilaian, sedangkan yang kedua yaitu aliran yang
membentuk penilaian. Golongan aliran yang pertama mengunakan pemahaman yang lebih
melihat sudut pandang orang lain dan mencadangkan sinkretisme sebagai proses semula,
jadi sebagaimana yang berlaku dalam tradisi-tradisi yang lemah dalam mempertahankan
keasliannya. Sedangkan aliran yang kedua melihat tradisi-tradisi yang lemah mereka

4
Ros Aiza Mohd Moktar, Che Zarrina Sa’ari, Konsep Sinkretisme Menurut Perspektif Islam. (Malaysia: Pusat
Penataran Ilmu dan Bahasa, 2012), hal. 84.

4
memperdebatkan keaslian tradisi yang bercampur, dan mendefinisikan sinkretisme dalam
ruang yang terpisah dari tradisi keagamaan.

Sinkretisme agama dan budaya merupakan sifat sebuah kehidupan bukanlah


memecah-belah, tetapi menggabungkan. Apabila unsur-unsur yang ada itu sesuai dan
boleh digabungkan dalam situasi yang tidak mencemari konsep ketuhanan dalam agama.

Menurut Grenham dalam artikel milik Catarina Dwi Astui Depari bahwa proses
perubahan yang terjadi pada suatu struktur ruang ditentukan oleh seistem ideologi,
aktivitas budaya dan nilai-nilai kemasyarakatan yang berlangsung didalamnya
(Gernham:1984:4). Dalam perspektif budaya Islam dikenal memiliki fleksibilitas dan
tingkat toleransi yang tinggi terhadap unsur-unsur kebudayaan asing sehingga dalam
perkembangannya terjadi proses akulturasi antara nilai-nilai ajaran agama Islam dengan
budaya setempat.

Sinkretisme adalah hasil dari sinkretisasi, sedangkan sinkretisasi adalah proses. Oleh
sebagian antropologi, sinkretisme dianggap sebagai salah satu dari tiga hasil, dari sebuah
proses akulturasi, yakni : (1) penerimaan (acceptance), (2) penyesuaian (adaption), dan
(3) reaksi (reaction). Sinkretisme adalah penyesuaian atau adaptasi, yang diartikan sebagai
sebuah proses menggabungkan ciri asli dan yang asing dalam harmonitas scara
keseluruhan atau dengan menyimpan konflik yang direkonsiliasi dalam perilaku sehri-hari
menurut kesempatan khusus. Dari proses menggabungkan mengkombinasikan, unsur-
unsur asli dengan unsur-unsur asling ini muncullah pola budaya baru yang di katakan
sinkretis. Sinkretisasi adalah proses ataupun hasil dari pengolahan, penyatuan,
pengkombinasian, dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau
berlawanan sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda
dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya.5

B. Pandangan Islam Terhadap Sinkretisme


Sinkretisme, seperti yang dijelaskan oleh John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford
Dunia Islam Modern, adalah fenomena bercampurnya praktik-praktik dan kepercayaan-
kepercayaan dari sebuah agama dengan agama lainnya sehingga menciptakan tradisi yang
baru dan berbeda. Derajat identifikasinya sangat beragam sehingga sulit membedakannya
dengan praktik bid'ah yang diperdebatkan.

5
Cataria Dwi Astuti Depari, Transportasi Ruang Kampung Kauman Yogyakarta Sebagai Produk Sinkretisme
Budaya. (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2012), hlm. 67.

5
Pemahaman yang berbeda di kalangan Muslim tentang ajaran normatif tertentu dalam
agama, memunculkan persoalan pelik dalam menentukan manakah sinkretisme dan mana
yang tidak. Kontroversi ini menjadi sumber perdebatan pada abad ke-19 dan ke-20.
Pada zaman modern, beberapa contoh paling dramatis dari gerakan-gerakan sinkretis
terbuka ditemukan di Afrika Barat, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan bagian lain di mana
umat Muslim bersinggungan secara langsung dengan non-Muslim. Di Ghana, pada abad
ke-19, raja penyembah Ashanti bergantung kepada para pedagang Muslim untuk menjadi
penghubung dalam kafilah dagang dan sebagai ahli pembuat azimat kekuatan.
Di banyak bagian Afrika kala itu penyebaran sinkretisme memberikan kontribusi pada
persepsi bahwa Islam sebagai salah satu sumber kekuatan mistis. Dengan memfasilitasi
penduduk untuk melakukan ritual-ritual dan adat istiadat Islam, berarti pula sebagai jalan
masuk penerimaan mereka terhadap Islam. Praadaptasi sinkretis tampak memainkan peran
penting yang serupa dalam perpindahan orang-orang Hindu di Asia Selatan ke dalam
Islam.
Kalau kita mengamati Islam yang berda di Indonesia atau yang dikenal dengan nama
islam nusantara, maka kita akan menemukan Islam yang berbentuk sinkretieme. Islam
nusantara merupakan Islam ala nusantara itu tersendiri yang mempunyai ciri khas
tersendiri. Para pengamat barat yang mengemukakan bahwa saat mereka melihat islam di
Indonesia secara umum, maka mereka menganggap bahwa Islam Indonesia merupakan
bentuk sinkretisme. 
Dalam artian bahwa Islam di Indonesia bukan Islam yang sesungguhnya
sebagaimana banyak Islam yang diterapkan di timur tengah atau beberapa negara Islam
lainnya yang dikenal dengan memakai gamis, bersurban, ataupun bercadar. Disadari atau
tidak, islam nusantara, secara genealogi, etnografi, historiografi, maupun secara
antropologi banyak dimunculkan oleh ilmuan-ilmuan barat melalui penelitiannya. Sebut
saja salah stunya adalah Antropolog Amerika, Cilfford Geertz, dengan triologinya, yaitu;
santri abangan dan priyayi dalam agama Jawa.
Kalau kita melihat munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat nusantara, lebih baik
kita menilik pada awal kedatangan Islam di Kepulauan Nusantara, pada saat itu
masyarakat telah menganut dan memiliki berbagai kepercayaan dan agama, seperti
anisme, dinamisme, Hindu, Budha.  Karena, salah satu sifat dari masyarakat nusantara itu
sendiri adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. 
Pada masa itu kepercayaan dan agama tersebut sangatlah kental dan melekat sehingga
sampai mendarah daging pada masyarakat di Nusantara. Dengan datangnya Islam ke

6
Nusantara pada abad ke 7 terjadilah pergaulan antara Islam di satu pihak dengan
kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah ada sebelumnya. Sehingga menghasilkan
beberapa kelompok yang menerima Islam di kalangan masyarakat Nusantara, yaitu;
pertama. Kelompok muslim taat, yang mana masyarakat ini menerima Islam secara
dengan lapang dada tanpa mengingat dan membuang kepercayaan dan tradisi yang telah
dianut sebelumnya, pada kelompok ini dia menyatakan kalau mereka taat kepada Alquran
dan as-Sunnah yang menjadi landasan bagi ajaran-ajaran islam.
Kedua, kelompok moderat. Merupakan kelompok yang menerima ajaran islam tetepi
mereka belum bisa membuang kepercayaan-kepercayaan lamanya dan mereka
mencampurkan kepercayaannya dengan ajaran islama. Ketiga, kelompok penganut
sinkritisme secara keseluruhan, yang merupakan kelompok menghadapi pebedaan
pengajran terhadap agama yang dianutnya, menurut mereka setiap agama mempunyai
esensi yang sama, tidak ada kesalahan kalau mereka percaya kapda ritual yang dianutnya
dan merka kepercayaan kepada agama lain yang dalam rangka untuk mendekatkan diri
kepada Tuhannya.
Di dalam mengekspresikan gerakan  sinkretisme masayarakat Nusantara sanagat
menghormati pola hubungan yang seimbang, baik yang dilakukan sesama individu,
dilakukan pada lingkugan alam, ataupun kepada tuhannya. Masing-masing tingkahlaku
yang dilakukan oleh setiap masyarakat menunjukkan adanya kontrol untuk menguatkan
keseimbangan yang telah diterapkan. Apabila terjadi sesutau yang menyebabkan
terganggunya pola keseimbangan yang telah ada, maka mereka dengan sepontannya
memperbaiki keseimbangannya, karena bagi mereka keseimbangn merupakan kunci dari
keselamatan manusia dan alam disekitarnya.6
C. Agama dan Kebudayaan

Dalam pandangan Richard Niebuhrt respon yang muncul dalam dialektika agama
Islam dan budaya ada lima macam yaitu:

1) Agama mengubah kebudayaan,


2) Agama menyatu dengan kebudayaan,
3) Agama mengatasi kebudayaan,
4) Agama dan kebudayaan bertolak belakang,
5) Agama mentransfomasikan kebudayaan.7
6
Firdaus Burhan, Sinkretisme dan Agama. (Jakarta: Yayasan Pengembang Seni Budaya Nasional Indonesia,
1988), hlm. 9.
7
Richard Niebuhrt, Christ and Culture. (New York: Harper and Row, 1951), hlm. 21.

7
Kelima bentuk respons tersebut dikaitkan dengan dialektika agama dan budayadapat
Dijelaskan sebagai berikut:

Respons pertama merupakan pandangan penganut muslim yang mengatakan bahwa


satu satunya pedoman hidup manusia adalah Islam. Kelompok ini menolak segala bentuk
kepercayaan tradisi dan budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam walau
sekecil apapun. Ajaran Islam adalah satu-satunya pedoman hidup dan kehidupan manusia.
Pandangan ini melahirkan sikap keberagamaan yang eksklusif. Mereka meyakini bahwa
Islam adalah agama yang telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, karena itu tidak
diperlukan lagi ideologi, kepercayaan dan budaya yang lainnya. Mereka biasa disebut
kaum puritan dan dalam istilah Clifford Geertz disebut kaum santri.

Respons kedua adalah pandangan bahwa agama sejalan dengan kebudayaan.


Pendapat inilah yang melahirkan sinkretisme agama, yaitu membaurkan pengamalan
agama dengan kebudayaan (tradisi). Praktik-praktik keagamaan/ kepercayaan sebelum
Islam tetap diamalkan dan ditambah dengan nuansa keislaman. Pemujaan terhadap tempat-
tempat keramat dan keyakinan terhadap benda-benda sakti tetap dipraktikkan disertai
dengan nuansa keislaman. Mereka adalah pengamal sinkretisme.

Respons ketiga berpandangan bahwa agama mengatasi kebudayaan. Pendapat ini


berdasarkan bahwa Islam adalah agama yang bertujuan untuk membimbing manusia agar
selamat di dunia dan akhirat. Sehubungan dengan itu, Islam tidak menolak segala praktik
kepercayaan, tradisi dan budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka
berpandangan bahwa manusia dianugerahi akal oleh Allah untuk digunakan berikhtiar
agar kehidupannya menjadi lebih baik dan tidak gersang dalam bentuk budaya. Mereka
kebanyakan terdiri dari muslim intelektual.

Respons keempat, yaitu pandangan yang mempertentangkan agama dan budaya.


Agama dan budaya tidak dapat dipertemukan karena medan cakupan keduanya berbeda.
Agama untuk menjamin keselamatan manusia, selama manusia mengamalkan agama
dengan sungguh-sungguh. Untuk mencapai keselamatannya, ia harus mengamalkan agama
dengan cara menyucikan diri melalui pengamalan yang intensif dengan menafikan
keterikatannya dengan dunia. Pengingkaran terhadap dunia hanya bisa dicapai melalui
kesuciaan jiwa, mereka ini secara umum merupakan penganut golongan tarekat tertentu.

8
Kenyataan ini juga diakui oleh Akhmad Rifa’i dan Agus Dwiyanto yang mengatakan
bahwa Islam di Indonesia pada umumnya memiliki orientasi mistik.8

Respons terakhir yang berpendapat bahwa agama memiliki fungsi transformator bagi
kehidupan manusia. Pandangan ini berpijak dari pemahaman bahwa agama adalah
pedoman yang memberi arah bagi aktivitas manusia, sehingga tindak tanduknya memiliki
makna. Agama adalah motivator untuk mengubah pola hidup menjadi lebih kreatif.
Respons/pandangan terakhir telah dilakukan oleh para penyebar awal Islam di Nusantara
dahulu yang telah mentransformasikan budaya masyarakat pra Islam menjadi Islami,
minimal tidak bertentangan dengan Islam.

Hubungan dialektika agama dan budaya lokal dalam pandangan Suryo dapat
mengambil bentuk (variant): pribumisasi negoisasi dan konflik. Pribumisasi dalam
pandangan Abdurrahman Wahid: bahwa antara agama (Islam) dan budaya mempunyai
independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah tumpang tindih. Tumpang
tindih agama dan budaya akan tetap terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan
memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang. Pribumisasi Islam dengan
demikian menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud
dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta
berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan
budaya. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan agama dan budaya.

Secara empiris dalam kebudayaan Islam sebenarnya banyak warisan budaya Islam
yang tidak murni berasal dari peradaban Islam. Contoh menara masjid, menara berasal
dari kata almanarah mengandung arti tempat api sebagai tradisi pemeluk majusi
(penyembah api). Sementra itu baju takwa atau koko yang popular sebagai busana muslim
ternyata berasal dari warisan budaya China. Demikian juga sarung sebagai identitas
muslim ternyata berasal dari tradisi Birma. Harus diingat bahwa pandangan hidup suatu
masyarakat tidak mungkin diabaikan begitu saja. Karena itu, meskipun suatu keyakinan
tampaknya statis, tetapi ia sesungguhnya tetap mengalami perubahan yang kadangkala
bersifat fundamental. 9

Dalam Antropologi, Agama dipandang sebagai salah satu unsur kebudayaan yang
dapat dipelajari dari perspektif evolusi, fungsi, dan peranannya dalam masyarakat.
Demikian juga Islam yang turun atau diwahyukan dalam masyarakat Arab yang sudah
8
Ali Mukti, Kebudayaan. (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 45.
9
Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an. (Yogyakarta: LESFI, 1991), hlm. 5.

9
memiliki tradisi yang mapan. Pengaruh antara nilai Islam yang tertera dalam Al-Qur’an
dengan tradisi tersebut terlihat dalam interaksi di antara keduanya.

Konsep budaya dalam kajian ini diartikan dengan keseluruhan hal yang kompleks,
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan
serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Perolehan sistem
tersebut melalui proses belajar (learning proses) kebudayaan sendiri atau disebut dengan
enkulturasi. Menurut Raymond Williem, cakupan budaya ini meliputi organisasi produksi,
struktur keluarga, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekpresikan atau mengatur
hubungan sosial, dan bentuk-bentuk komunikasi khas anggota masyarakat. Konsep budaya
tersebut dapat berupa perilaku sosial maupun abstraksi dari perilaku sosial. Dalam kajian
Antropologis, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan cara hidup yang khas dengan
penekanan pada pengalaman sehari-hari. (aturan yang pasti), dan benda-benda
materia/simbolis. Makna tersebut dihasilkan oleh kolektivitas bukan individu sehingga
konsep kebudayaan mengacu pada makna-makna bersama.10

Agama sebagai kajian, mengikuti penjelasan Waardenburgh, paling kurang berawal


dari dua hal. Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarahan, terhadap
obyek kajiannya. Dalam kajian terhadap agama, obyektivitas bukan hanya kepada ‘pihak
lain’ tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan dengan
aspek keagamaan, dalam positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen terhadap
agama tertentu sampai menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan
obyektivasi terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan
usaha, melainkan juga latihan dan ketekunan.

Kedua, secara tradsional agama dipahami sebagai suatu yang suci, sakral dan agung.
Menempatkan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai obyek netral, akan
dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai tradisional agama.
Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat, memunculkan rasa pengabdian dan
kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan Agama sebagai
obyek kajian selalu memiliki resikoberhadapan dengan reaksi para penganutnya, yang
tidak jarang cukup fatal. Sifat Agama sebagai obyek kajian, di dalam dirinya sendiri,
merupakan sumber dari segala kerumitan usaha studi terhadapnya. Hingga saat ini belum
pernah terjadi kesepakatan di kalangan para pengkaji mengenai batasan Agama di mana
pangkal dan di mana ujungnya. Agama muncul sebagai penomena yang kompleks dan
10
Abdulrahman Wahid, Agama dan Budaya. (Jakarta: Destra, 2001), hlm. 21.

10
cair, tidak gampang untuk dirumuskan. Ia meresap ke dalam wilayah kehidupan manusia,
sehingga kajian terhadap agama selalu akan berhimpitan dengan kajian-kajian bidang lain.

Kesulitan menjadikan Agama sebagai obyek studi sudah dimulai sejak langkah
pertama perumusan defenisi. Dalam berbagai buku atau ensiklopedi, kita jumpai puluhan
defenisi tentang Agama yang sedemikian beragam, sehingga malah mengaburkan apa
yang sebenarnya hendak kita pahami dengan Agama. Mukti Ali menyatakan bahwa tidak
ada yang paling sulit diberi defenisi selain dari kata; agama, hal ini dikarenakan tiga
alasan:

1. Pengalaman keagamaan itu adalah soal batin, subyeftifitas dan individualistis


2. Tidak ada orang yang berbicara begitu dan emosional lebih dari membicarakan agama.
3. Konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan defenisi
agama itu.11

Ada defenisi yang masyhur dari E.B.Tylor merumuskan agama sebagai kepercayaan
terhadap wujud spritual, selanjutnya Allan Menzies yang mengganggap agama adalah
sebagai penyembahan terhadap kekuatan yang lebih tinggi karena ada rasa membutuhkan.
George Galloway merumuskan sebagai keyakinan manusia kepada sebuah kekuatan yang
melampau dirinya, ke mana ia mencari pemuasan kebutuhan emosional dan mendapatkan
ketenangan hidup, yang diekpresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.

Dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa Agama: ternyata


mempunyai multifaces bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya, yakni hanya
semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman
hidup dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan
bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama juga
ternyata terkait dengan persoalan-persoalan historis kultural yang juga merupakan
keniscayaan manusia belaka.

Kesulitan sejenis itu juga kita jumpai ketika berbicara tentang Budaya. Menurut Musa
Asy’ari memberikan pemahaman dalam bukunya Manusia pembentuk kebudayaan Dalam
Al-Qur’an ada 161 defenisi tentang kebudayaan namun kebudayaan dikelompokkan
kedalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan dan sudut pandang masing-masing
pembuat defenisi. Kelompok pertama melakukan pendekatan deskriptif dengan
menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya seperti defenisi yang dipakai
11
Chis Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktek. (Yogyakarta: Bentang 2005), hlm. 48-50.

11
oleh Tylor bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang amat kompleks meliputi ilmu
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat. Dan berbagai kemampuan
serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.

Kelompok kedua, menggunakan pendekatan historis dengan menekankan pada


warisan sosial dan tradisi kebudayaan seperti defenisi yang dipakai Park dan Burgess yang
menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyrakat sejumlah totalitas dari sebuah organisasi
dan warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh
watak dan hidup suatu bangsa. Kelompok ketiga melakukan pendekatan normatif seperti
yang dipakai oleh Ralph Linton yang mengatakan, bahwa kebudayaan suatu masyarakat
adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebudayaan yang mereka
pelajari, mereka miliki kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya

Kelompok keempat menggunakan pendekatan psikologi yang di antaranya


menekankan pada aspek penyesuaian diri, dan proses belajar seperti defenisi yang dipakai
Kluckhohn yang menegaskan bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses
belajar suatu masyarakat. Kelompok kelima menggunakan pendekatan structural dengan
menekankan pada pola dan organisasi kebudayaah, seperti defenisi yang dipakai oleh
Turney bahwa kebudayaan adealah pekerjaan dan kesatuan aktifitas sadar manusia yang
berpungsi membentuk pola-pola umum dan melangsungkan penemusn-penemuan baik
yang material maupun non material.

Kelompok keenam, menggunakan pendekatan genetik yang memandang kebudayaan


sebagai produk, alat-alat, benda benda, ataupun ide-ide dan simbol. Termasuk dalam
kelompok ini adalah yang dibuat oleh Bidney yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah
proses dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk
pencapaian akhir individu dan masyarakat.12

Dari berbagai tujuan dan sudut panjang tentang defenisi kebudayaan maka dapat
dimengerti bahwa kebudayaan merupakan persoalan yang sangat luas. Namun esensinya
adalah bahwa kebudayaan itu melekat dengan diri manusia, bahwa manusialah yang
menciptakan kebudayaan. Kebudayaan itu lahir bersamaan dengan kelahiran manusia itu
sendiri. Dari beberapa paparan di atas kebudayaan itu dapat dilihat dari dua sisi,
kebudayaan sebagai suatu proses mengacu pada aktivitas-aktivitas, penyesuaian diri,
proses belajar. Kemudian kebudayaan sebagai produk adalah seperti budaya dalam
12
E.B. Tylor (ed), dalam J.Van Ball, Symbols For Communication: An Introduction to The Antropological
Study of Religion, (USA: Van Garcum & Company, 1971), hlm. 104.

12
pendekatan genetik bahwa budaya sesuatu yang berasal dari manusia yang merupakan
hasil dari budi dan daya manusia baik yang bersifat material maupun non material.
Manifestasinya atau perwujudannya sebagai produk (1) budaya material seperti benda-
benda/ karya-karya, seni, arsitektur, bangunan, aryefak-artefak (2) non materialnya seperti
adat istiadat, pola pikir, pola tindak, nilai-nilai aturan, bahasa, style dan alain-lain.
Hubungan antara agama dan budaya bersifat ambivalekens (mendua) berada dalam tensi
(rentang ketegangan) antara dua gaya sentipetal (saling mendekat, tarik menarik,
memamfaatkan bahkan mengklaim dan mengakui antar unsur- unsurnya dan gaya
sentrifugal (saling menolak, menjauh bahkan menegasikan). Interaksi Islam dengan
Kesenian wujud dialektis antara agama dengan budaya tersebut juga dapat muncul dalam
perwujudan kesenian yang berbentuk upacara dan memiliki nilai-nilai sakral. Kesakralan
upacara ini dapat dilihat dari perlengkapan dan tatacara jalannya upacara yang
mengandung makna tertentu. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan dan peralatan yang
dituangkan dalam bentuk lambang atau simbol upacara yang diadatkan. Hal ini
merupakan karya leluhur yang dinilai sebagai warisan, harus dilaksanakan secara turun
temurun.

Seni adalah pengejawantahan pengalaman estetika manusia. Kesenian dengan


berbagai bentuknya merupakan sebagian bentuk aktualisasi diri manusia. Karena itu boleh
dikatakan bahwa seni adalah fitrah manusia. Dalam pandangan Musa Asy’arie: Agama
dan seni keduanya sama-sama mampu mentransender cahaya keindahan Ilahi dan tanda-
tanda kebesaran-Nya yang terpantul pada ciptaan-Nya. Agama tanpa seni menjadi kering
dan seni tanpa agama menjadi vulgar dan tanpa arah.

Pengembangan dakwah Islam melalui kesenian bukanlah hal yang baru. Dalam
pengembangan dakwah Islam di tanah air dahulu tidak terlepas dari dunia seni, dapat
dilihat dan dibaca pada uraian dakwah Islam oleh wali songo dan sebagainya. Dewasa ini
dakwah Islam sudah gersang karena pesan-pesan yang dilontarkan dengan lantang selama
ini, terus terang sifatnya hanya menjaga bentuk formal dari Islam, yang sebenarnya tidak
didukung oleh kenyataan di belakangnya. Hal ini berkaitan erat dengan kehidupan
manusia yang tidak pernah lepas dari dimensi-dimensi keberagamaan yang ditunjukkan
dalam aspek keharuan melalui kegiatan seni. Dari sini sudah tampak betapa eratnya kaitan
antara kegiatan kesenian, baik yang bersifat penciptaan maupun pagelaran dalam
kehidupan beragama.13
13
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an Model Dialektik Wahyu dan Budaya. (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 25.

13
D. Sinkretisme Falsafah Budaya dan Agama Islam Kebudayaan Bengkulu

HAR GIB, seorang orientalis ternama dalam bukunya whither Islam menyatakan:
Islam is Indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization: bahwa
Islam bukanlah sekedar Agama. Islam adalah kebudayaan yang complit; Pernyataan ini
sungguh benar karena Islam mengajarkan pemeluknya untuk mengamalkan Islam dalam
setiap aspek keidupan mereka (Ud- Khulu fi al-Silmi Kaafffah). Karena itu kebudayaan
Islam muncul di suatu tempat bersamaan dengan terjadinya proses islamisasi di daerah
tersebut. Proses tersebut tentunya terjadi melalui dialog-dialog dengan kebudayaan
setempat. Islamisasi Nusantara terjadi oleh datangnya penyiar-penyiar Islam dari wilayah-
wilayah budaya Arab, Persia, Urdu, dan Kurdi tersebut datang bersama Islam dan
meninggalkan jejak-jejaknya secara jelas dalam budaya lokal dan Nasioanal di Indonesia.
Manifestasi dari budaya tersebut nampak dalam bahasa Sastra, Tradisi, Adat Istiadat, dan
kesenian-kesenian di Indonesia.14

Di dalam Islam kelompok yang paling terbuka atau akomodatif terhadap budaya dan
kesenian lokal adalah kelompok-kelompok sufi dan tarekat. Karena itu kesenian lokal di
Nusantara termasuk di Bengkulu memiliki hubungan dan asal-usul dengan tarekat/tasawuf
tertentu. Di daerah Bengkulu terdapat banyak material budaya yang berkembang akibat
dari pengaruh pandangan hidup Islam. Sebut saja umpamanya mulai dari tradisi adat
istiadat yang berhubungan dengan dengan:

1. Daur hidup yaitu kelahiran mencukur rambut bayi, memberi nama, aqiqah, Perkawinan,
Meminang, mengantarkan uang, bertunangan, pesta perkawinan, (Bimbang). &
kematian. Dalam hal ini tradisi-tradisi di atas berlaku universal di kawasan-kawasan
lain di Nusantara, Persia, dan Asia selatan (india, Pakistan,Bangladesh)
2. Aktifitas hidup seperti, buang jung, bayar sat, Kedurai, peringatan Muharram dan tahun
Baru Islam.
3. Seni yang bernafaskan Islam yaitu Syarafal anam, Seni Hadrah, seni bela diri,
mainangan dan arsitektur Mesjid
4. Beberapa pasal dari perda yang secara substansial mencerminkan nilai etika Islam yang
dikembangkan masyarakat adat, yang sangat mencuat adalah cuci kampung ini cukup
terpelihara dalam adat-adat masyarakat-masyarakat Melayu Bengkulu, Lembak,
serawai, dan Rejang. Di Rejang Lebong misalnya tradisi ini dilakukan setahun sekali

14
Sallim Bela Filli, Syarafal Anam dan Perspektif Budaya dan Agama. (Bengkulu: LPPM, 2012), hlm. 55.

14
dalam tiga bentuk prosesi, yaitu “Empuk sadei” “Blangae Agung”dan “Temabes
Sadei”.15

Dalam konteks ini selanjutnya selanjutnya budaya lokal yang akan dipilih dan banyak
dibicarakan terpusat pada terpusat pada tradisi Syarafal Anam yang sering dilaksanakan
bagi masyarakat lembak pada acara Peresmian perkawinan dsb.

Syarafal Anam sebagai Tradisi Bengkulu: Sarafal Anam adalah kesenian tradisional
yang dimiliki suku Lembak secara turun temurun. Suku lembak di Dusun besar ini pada
awalnya ada empat suku yaitu, Yuntanium, tanjung Gelam, berang dan suku Pinang
beralik, awal mula cerita munculnya syarafal anam pada masyarakat suku Lembak ini
beriringan dengan masuknya islam di Bengkulu. Kesenian ini dibawa oleh masyarakat
Lembakyang dikenal dekenal dengan sebutan datuk Syech Serunting. Kesenian ini mulai
dikembangkan dan diterima oleh H.Wajid binRaud yang merupakan masyarakat asli
Lembak. Beliau adalah sesepuh atau tertua atau tokoh masyarakat Lembak yang dihormati
dan dipercaya. Kesenian syarafal anam ini tidak terlepas dari agama Islam ini dapat dilihat
dari sya’ir-sya’ir dan radat yang dilafazkan oleh pemain. Syair-syair ini sering dilafazkan
oleh para pemain dengan berbahasa arab. Kesenian syarafal anam ini menurut keyakinan
masyarakat lembak sudah ada sejak zaman nabi muhammad saw. Oleh karena itu kesenian
ini sangat kental dengan nuansa Islam.

Syarafal Anam telah menjadi seni tradisional di kalangan etnik Melayu, Rejang,
Lembak dan Serawai di Provinsi Bengkulu. Mereka melakukan syarafal anam baik dalam
upacara-upacara yang berkaitan dengan ibadah dan peringatan keagamaan (PHBI), ada
juga di acara aqiqah, sunatan, pernikahan, maulid nabi, MTQ, maupun pada acara-acara
penting keseharian lainnya seperti memasuki rumah baru dan mcam-macam syukuran.

Dalam pementasannya Syarafal Anam dimainkan oleh para lelaki yang masing-
masing memukul seluruh sebuah rebana besar dengan melantunkan pujian- pujian kepada
Nabi Muhammad SAW. Secara standar jumlah peserta syarafal anam ini berkisar 20
orang. Namun jumlah ini bisa bertambah atau berkurang sesuai tempat atau moment dan
kesiapan- kesiapan peserta. Dalam Bimbang Gedang (Kenduri Agung), syarafal anam
dipentaskan dalam bentuk semacam pertandingan antara 2 ‘kusi’ (kongsi) syarafal anam
yang terdiri dari 20 orang bahkan lebih dan masing- masingnya melantunkan lagu syarafal
anam sejak selesai waktu Isya’ sampai malam . Sedangkan dalam Bimbang Kecik syarafal
15
Fitriani, Skripsi, Tradisi Syarafal Anam Pada Masyarakat Lembak Kota Bengkulu. (Bengkulu: IAIN Press,
2015), hlm. 77.

15
anam terdiri dari sekitar 8 orang . Bahkan waktu pentasnya pun bisa panjang atau
pendeknya sesuai permintaan shohibul hajat. Pengaturan panjang pendeknya waktu pentas
ditentukan oleh pilihan- pilihan ‘pesal’ yang satu sama lainnya berbeda jumlah nozomnya.
Pesal-pesal dalam nazom maulud syarafal anam antara la in dikenal dengan nama-nama
(1) Assalamu;alaika, (2) Bisyahri, (3) Tanaqqaal,(4) Wulidal abib,(5) Shalla Alaika, (6)
Badat Lan, (7) Asyraqal. Pesan- pesan tersebut mengacu kepada kalimat- kalimat awal
atau dominan dalam nazom Syarafal Anam,

Kelompok Syarafal anam memiliki irama tersendiri dalam melantunkan setiap- pasal-
pasal tersebut, sehingga mereka menamakan Assalamu’alaika dsb sebagai nama lagu,
padahal sebutan resmi untuk jenis lagu dalam syarafal anam itu adalah (1) Lagu
Yalil/Husaini yang iramanya seperti tilawatil Qur’an (2) Shika/ Rekby yang iramanya
lebih tinggi daripada Yalil, (3) Lagu Hijaz yang iramanya lebih tinggi daripada Sikha (4)
lagu nahawan. (5) Lagu naik peitutup. Dilihat dari penampilan pentasnya Syarafal Anam
merupakan semacam pertunjukan musik perkusi. Rebana-rebana ditabuh dengan frekwensi
cepat, kencang, bertubi-tubi dengan irama yang dominasi keras. Ditingkahi oleh suara-
suara yang bersahut-sahutan melafalkan puji-pujian kepada rasul dengan semangat heroik.
Dalam hal ini seringkali suara tetabuhannya terdengar menenggelamkan qasidah dalam
teriakan-teriakan yang sulit ditangkap apa bunyi persisnya. Kesan demikian semakin
menonjol pada pertunjukan yang lebih kolosal.

Pada pentas yang minimalis suara sahutan-sahutan para vokalis terdenganr lebih
menonjol. Kendati masih sulit juga menangkap lirik-lirik yang dilantunkan. Tapi
nampaknya mayoritas masyarakat pendengar memang tidak fokus untuk menyimak
bunyilafal qasidah tersebut. Mereka hanya ingin mencari tontonan bukan tuntunan. Untuk
menooton mereka cukup dengan melihat penampilan atraktif para pemain syarafal anam.
Sedangkan untuk memperoleh tuntunan mestinya mereka faham apa-aapa yang
diucapakan dalam lirik-lirik qasidah tersebut. Lirik-lirik qasidah tersebut diucapkan dalam
bahasa aslinya yaitu bahasa arab disinilah baik para penooton bakan mungkin pemainnya
sendiri justru tidak faham arti liriknya tersebut mereka asyik dengan menonton lantaran
sudah terbawa irama musik perkusi.16

Padahal sebagai sebuah seni membawa nazom yang semacam puetra reading dalam
bahasa arab criteria penilaian baik atau tidak baiknya syarafal anam hendaknnya
ditetapkan berdasarkan kaedah-kaedah ilmu Tajwid atau ilmu qira’at dalam al-Qur’an
16
Paisun, Dinamika Islam Kultural. (Jakarta: Pustaka, 2010), hlm. 77.

16
sehingga maksuk pencciptaan syarafal anam atau Barzanji tersebut sebagai kasidah-
kasidah untuk nabi tidak hilang oleh riuh rendahnya bunyi gendang ditabuh. Dalam
penjelasan tentang syarafal anam akan dibahas ada tiga wacana yang akan dibahas (1)
Syarafal anam sebagai semacam shalawat (2) Syarafal anam sebagai genre sastra Islam.
(3) Syarafal anam sebagai tradisi budaya lokal.

(a). Syarafal anam sebagai semacam shalawat: Syarafal anam lebih tepatnya lagi
‘’maulid syarafal anam’’ merupakan bagian awal dari kitab Banzanzi. Dari segi isi
‘’syarafal anam” merupakan shalawat salam dan Tabarruk atas nabi., karena itu untuk
dapat meliat dan mendudukkan syarafal anam pada posisi yang tepat orang harus terlebih
dahulu memahami maqam Shalawat SAW. Dalam membacakan shalawat terdapat tiga
aspek, yaitu Mushalli, (yaitu orang yang menyampaikan shalawat). Mushalla, orang yang
kepadanya shalawat disampaikan). Dan shalawat itu sendiri. Untuk lebih jelasnya ketiga
aspek tersebut akan dijelaskan secara sekedarnya.

Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan Mushalli. Dalam hal ini terdapat
perintah yang jelas dan langsung bersumber dari al- Qur’an dan Hadis. Hal ini dapat kita
baca QS. Al-Ahzab (33):56.’’ Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya. Allah SWT bershalawat kepada Nabi SAW
artinya Allah memberi rahmat beliau, malaikat bershalawat kepada nabi artinya malaikat
memintakan ampunan bagi Nabi. Orang-orang mukmin disuruh bershalawat artinya
berdo’a, supaya Nabi saw dan dirinya diberi rahmat oleh Allah swt. Ucapan standar
minimal untuk bershalawat itu adalah “allahumma shalli ‘ala Sayydina Muhammad “
Sebagai perintah syari’at Nabi mengajarkan bacaan-bacaan shalawat tertentu yang pada
masanya dikenal dengan istilah ‘’ Shalawat Masru’ah” di antara shalawat Masyru’ah yang
terkenal adalah shalawat “Shalawat Ibrahimiyah” yang dibaca dalam ibadah sholat,
pembuka do’a, khutbah-khutbah jum’at, hari raya, dan Akad nikah.

Masalahnya: apakah orang-orang mukmin dalam menjalankan perintah bershalawat


tersebut harus terbatas kepada model “Masyru’ah” saja atau bola Masyru’ah” saja atau
boleh dengan kalimat-kalimat lain?. Masalah telah dikaji dalam bidang ilmu fikih dan
tafsir-tafsir sebagaimana dapat kita jumpai dari karya- karya:

1. Imam Baihaqy (Dalail an– Nubuwwah


2. Qodhi Iyadh (asy-syifa)

17
3. Ibnu Janzi ( Syifa al-Shafwa)
4. Imam Nawawi (Tahzib al asma Wa shifah)
5. Imam Jallaluddin as-Suyuthi (al- khasaish al kubra)

Dzati’’ dan shalawat Annawiyah li Ziyarah fi Qobrin Nabi” & shalawat li Ziyarah fi
hadlratin Nubuwah” dari syekh Ahmad bin Idris al-Pasi dikenal sekitar 8 macam shalawat,
yaitu shalawat Ummiyah, shalawat khusliqil adzim, shalawat Haqoiqul qubra, shalawat
tanbah, shalawat Jami’ul jami’ wa farqul farqi, shalawat majlalkamatat, shalawat
Intihaaiy, dan shalawat sayyidul shalawat. Shalawat- shalawat karya Ahmad bin Idris al
Pasi ini dikembangkan oleh tarekat-tarekat Idrisyyah, Khidriyah, Sanusiyyah,
Rasyidiyyah, Amirganiyah, Dasuqiyah, dan Dardawiyah.

Dari macam-macam shalawat yang berkembang dikalangan ahli tasawuf/ tarekat


tersebut, beberapa dikenal cukup luas dikalangan masyarakat Islam secara umum. Di
antaranya seperti shalawat- shalawat Munziyat, slahawat Kamilah, Shalawat Nariyah,
Shalawat Fathihiyah,shalawat Adzimiyah, shalawat ummiyah shalawat Aliliyah. Kalau
ditelusuri asal-usulnya maka akan ditemukan juga sumbernya dari kelompok- kelompok
tarekat yang berkembang luas di Nusantara ini yaitu dari Tarekat Naqsabandiyah,
Qadiriyah, Sammaniyah, Ritaiyah dll.17

Dalam menyikapi shalawat sebagai ibadah kaum muslimin mesti melaksanakannya


dengan ketentuan- ketentuan mengenai ‘'kayfiyah’ (tata cara) dan adab adab khusus seperti
adanya suasana khidmat, tempat, dan pakaian yang suci dan pengucapan yang tepat.
Syarafal anam, al-barzanji adalah shalawat juga karena itu harus disikapi dengan adab-
adab tertentu. Karena itu bisa dimaklumi bila ada melaksanakannya pada acara walimah
nikah, akiqah,atau syukuran dan selamatan. Ada juga yang mengaitkan pembacaannya
dengan keistimewaan dan khasiat-khasiat penyembuhan.

Kedua; wacana yang berkaitan “Mushalla” sebagai idola yang kepadanya shalawat
diwajibkan Muhammad SAW adalah profil manusia sempurna (Insan Kamil) yang diakui
kawan dan lawannya masyarakat. Masyarakat awam, maupun elite intelektual, dari dulu
samapai sekarang bahkan masa depan. Al-Qur’an mengabadikannya dalam Q.S al-Ahzab
(33);21 “ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasul itu suri tauladana yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan jika
banyak menyebut Allh SWT.

17
Koentowidjojo, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. (Yogyakarta: Prima Duta, 1984), hlm143.

18
Karena itulah tanpa diperintahkan Tuhan sekalipun kaum muslimin yang pelaksanaan
ibadah ritual sehari-harinya minus pun akan memberikan penghormatan dan pujian kepada
nabi Muhammad SAW, ironis tapi nyata, bahkan ada yang mengidentifikasikan ke
Islamannya, dengan keikut sertaannya dalam acara-acara Maulidan. Begitulah,
penghormatan dan pujian terhadap nabi Muhammad SAW. Bersumber dari kepribadian
beliau sendiri. Bagaimana manusia tidak akan memujinya bila mana para malaikat dan
Allah sendiri telah memujinya.

Ketiga, masalah sekitar ungkapan “ lafazh Shalawat “ berkaitan dengan lafazh dalam
shalawat ini terdapat beberapa pendapat. Ada yang ketat berpegang kepada ketentuan dalil
literal/teks, ada yang longgar yang menyatakan boleh mengungkapkannya dalam lafazh
apapun asal untuk meghormati, memuji, menyanjung, bertabarruk kepada rasul. Pendapat
ini muncul lantaran memang Rasulullah Saw mengajarkan sendiri lafazh khusus untuk
shalawat tersebur. Disamping itu juga beliau memberi ketentuan untuk tidak menggunakan
lafazh “Sayyidana”.

Pendapat pertama: menyatakan ungkapan lafazh shalawat itu harus mengikuti


petunjuk (dalil) Rasul. Karena dalam ibadah termasuk shalawat tidak boleh ditambah-
tambahkan, apalagi ditambahkan dengan lafazh yang Rasululllah sendiri melarangnya.
Dalam sebuah Hadis Shahih riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud ra, Basyir bin Sahal
bertanya kepada Rasulullah tentang bagaimana menyatakan shalawat kepada beliau. Maka
Nabi SAW menjawab: “katakanlah: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali
Muhammad kama shallaita ‘ala Ibrahim wa barik ‘ala Muhammad wa’ala ali muhammad,
kama barakta’ala ali ibrahim, fi ‘alamina innaka hamidun Majid’’. Pendapat kedua justru
menyatakan pemakaian lafazh “ sayyidina” adalah lebih afdhaln (utama). Tambahan kata
sayyidina merupqkqn aqadab sopan santun seorang mukmin kepada Rasulnya. Nabi
melarang umat ber ‘’sayyidina” kepada beliau untuk menunjukkan sikap tawadlu’ beliau.
Jadi merupakan sopan santun juga bukan larangan dalam arti tidak boleh sama sekali
mengerjakannya. Dari kedua pendapat yang masing- masing punya dalil tersebut dapat
diambil jalan tengahnya. Pertama untuk bacan shalawat dalam ibadah “mahdah” seperti
dalam Tahiyyat Shalat. Khotbah-khotbah sebaiknya mengikuti bacaan sebagaimana
Rasulullah ajarkan dalam shalawat Ibrahimiyah. Tanpa kata Sayyidina bukan berarti Nabi
tidak sopan kepada dirinya maupun Nabi Ibrahim as. Kedua. Untuk kegiatan selain ibadah
“mahdah” sebaiknya diberikan keleluasaan untuk mengungkap rasa cinta.
Kagum,pemuliaan, tabarruk, puji-pujian sang Rsaul sepanjang tidak menimbulkan syirik.

19
Karena bagaimana pun Rasul sendiri tidak pernah menyatakan dirinya memiliki sifat-sifat
supra manusiawi. Dia ingin tetap menjadi seorang hamab, seorang makhluk biologis
(basyar) yang kepadanya wahyu diturunkan. (QS);41:5

b). Syarafal Anam sebagai Genre Sastra: Kalau mau dibuat perbandingan antara
mana shalawat yang merupakan ibadah mahdah dan yang mana yang bukan, maka secara
sederhananya dapat dibedakan sebagai berikut: shalawat yang ibadah mahdah itu bentuk
ungkapan dan waktu pembacaannya telah ditentukan Rasul sebagai sumber syari’ah. Umat
tidak punya inisiatif untuk itu. Sedangkan shalawat yang merupakan perhormatan, cinta
Rasul merupakan karya gubahan individual muslim, baik dia ulama, maupun seniman
(penyair). Berkaitan dengan jenis shalawat yang digubah oleh para penyair ini, dunia
sartra Islam mengenai apa yang sekarang dikenal istilah kasidah puisi-puisi Naktiyah atau
madah. Puisi Naktiyah dikenal sejak masa hidup Nabi. Ungkapan terhadap kekaguman
diri pribadi Muhammad SAW telah melahirkan generasi-generasi penyair besar dalam
kesusastraan Arab, Urdu, Turki, bahkan juga Spanyol dan Jerman.

Bangsa Arab yang sangat bangga dengan kesusastraannya, mendapat pesona baru
dalam figur Muhammad SAW. Mereka mengekpresikan segala potensi sastra dan daya
estetikanya untuk memuji Nabi, penghormatan dan kekaguman para penyair ini
memperkaya obyek dan temanya kearah orang-orang dekat Nabi, anak keturunanya, interi-
istrinya, sahabat- sahabatnya, dan pengikut-pengikutnya. Mengenai diri Nabi sendiri
pujian-pujian tersebut bukan hanya atas sifat-sifatnya yang mulia atau mu’jizatnya.
Melainkan juga atas rekam jejak sejarahnya. Sejak nama-namanya, kelahirannya,
pengasuhannya, remaja, dewasa, pernikahannya, rumah tangganya, peperangan, kenabian
sampai wafatnya. Tetapi juga ketampanan lahiriyah beliau.18

Secara historis puisi-puisi naktiyah telah dirintis oleh penyair-penyair arab yang hidup
pada Zaman Nabi. Di antaranya yang terkenal sebagai penyair nabi yaitu Kaib bin zubair
dan Hasan bin Tsabit. Sejarawan muslim Ibnu Sayyid al-Nashi (w.732) telah menulis
suatu karya khusus mengenai masalah ini dalam kitab- kitab “Minah al-Madh” (karunia
Pujian). Dimana dia menganalogikan syair-syair pujian yang ditulis hampir 200 orang
sahabat Nabi SAW. Syair-syair tersebut memang dimaksudkan untuk mengungkapkan
pribadi Nabi Muhammad SAW sifat-sifat beliau yang mulia. Di antara syair-syair tersebut
terdapat bait-bait yang dibacakan dihadapan beliau.
18
Fitriani, Skripsi, Tradisi Syarafal Anam Pada Masyarakat Lembak Kota Bengkulu. (Bengkulu: IAIN Press,
2015), hlm. 98.

20
Syair-syair pujian dan penghormatan kepada Nabi sebagai Asrafal Anam (Manusia
Paling Agung/Mulia) terus ditulis sepanjang abad-abad berikutnya, baik dalam bahasa
Arab maupun Persia, Urdu samapi mencapai puncak kematangannya pada abad ke 12 dan
ke 13 bersamaan dengan memuncaknya perkembangan sastra sufi. Dalam kaitannya
dengan warisan seni Islam dari sekian banyak karya sastra Naktiyah (ode) secara
fenomenal orang mengenal dua kasidah Monumental yaitu “ Kasidah Barzanji” dan
“kasidah Burdah” merupakan madah-madah yang dikarang oleh Syarafadin Muhammad
al- Bushiri.terdiri dari 162 bait dengan perincian 10 bait tentang cinta kasih, 16 tentang
hawa nafsu, 30 bait tentang pujian kepada Nabi, 19 bait untuk kelahiran Nabi, 10 bait
tentang do’a, 10 bait tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 bait tentang peristiwa Isra’ dan
Mi’raj, 2 bait tentand jihad, 14 bait tentang istigfar, dan selebihnya munajat- munajat.

Semula Imam al-Bushiri menamai kasidah-kasidahnya “al-Kawakib al-Duriah fi


Madh khair al-Baririyah” bintang cemerlang dalam memuji makluk terbaik). Sedangkan
burdah (1) adalah baju kebesaran Nabi SAW yang kemudian pada masa bani Umayyah
menjadi atribut khilafah atau simbol resmi kekuasaan khalifah (2) Nama kasidah yang
digubah oleh penyair Muhadramim Ka’ab bin Zabair bin Abi Sulma untuk
dipersembahkan kepada nabi SAW. Kasidah Imam Bushiri ini pada gilirannya dikenal
sebagai “Kasidah Burdah” setelah suatu peristiwa penting yang dialaminya yaitu suatu
ketika Imam al-Bushiri sakit parah ynag membuat dirinya tidak bisa berbuat banyak
nselain melantunkan bait- bait puisinya kepada sang Nabi SAW, Imam al_Bushiri baru
sembuh setelah bermimpi diselimuti rasu-rasul dengan gurdah, beliau sejak saat itu al-
Kawakib al- Durriyah lebih dikenal dengan Kasidah burdah.19

Adapun kasidah Barzanji adalah nama untuk kitab “Iqdul Jawahirt’’ (kalung permata)
karya Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husein bin Abdul Karim kata “albanzanji” sendiri
berasal dari ‘’Barzinj” nama sebuah kota di Kurdistan. Al-Banzanji berarti orang barzinj.
Kitab “Iqdul Jawahir” (al-Barzanji) berisi kasidah tentang (1) Silsilah NabiSAW (2) masa
kanak-kanak (3) masa remaja dari 12 tahun sampai 25 tahun (4)masa setelah pernikahan
25 tahun (5) sejak dari masa kenabian sampai akhir hayat nabi Muhammad SAW, sejak
usia 40-63 tahun. Masing-masing periode tersebut diceritakan dengan penuh keagungan,
penghormatan, bahkan menurut sebahagian pendapat berlebih-lebihan sehingga cenderung
menjurus kepada kultus individu. Kitab al-Barzanji dalam bahasa aslinya (arab) dibanyak
wilayah-wilayah muslim dibaca dalam banyak kesempatan dan banyak variasisasi gaya
19
Agung Setiyawan, Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama. (Yogyakarta: Esensia, 2012), hlm. 85.

21
pembaca(lagu) dalam acara yang penuh hidmat, rindu dan heroik al-Barzanji dilagukan
dengan variasi-variasi tilawah.

Di Indonesia sekarang kitab al- Barzanji dalam bentuk aslinya yaitu kitab Iqdul
Jawahir agak susah ditemukan tetapi kitab Maulid Syarafal anam yang semula merupakan
bagian dari isi Iqdul Jawahir tapi dengan mudah dapat kita temukan di kalangan Muslim
Tradisional. Kitab syarafal Anam ini dibukukan terpisah dari induknyabersama kitab
lainnyadalam berbagai variasi bentuk antara lain kitab” Majmu’atul Maulud” dan
Majmu’atul Maulid wa ‘adiyah” yang berisi syarafal Anam, Kasidah burdah ad-Diba”
do’a khatam Barzanji bersama doa-doa istikharah,tahujjud,istighshas,dan yang lainnya.
Begitu juga shalawat seperti badar, munjiah, nariyah dll. Bahkan juga doa talqin mayit
dsb.Kasidah Maulud syarafal Anam ini pembukuan dan peredarannya berlangsung seperrti
penulisan dan peredaran surat Yasin bersama-sam doa tahlilan. Sehingga bisa jadi orang
memiliki Yasin Tahlilan beberapa buah tapi tidak memiliki al_Qur’an satupun
sebagaimana orang memiliki banyak kitab syarafal anam tapi tidak memiliki Iqdul
Jawahir,

c). Syarafal Anam sebagai Tradisi seni Lokal: Seni tradis lokal yang hidup dan
berkembang disuatu komunitas budaya masyarakat merupakan ekspresi hidup dan
kehidupannya, ia merupakan media untuk menggungkapkan pandangan hidupnya , serta
menjadi sumber inspirasi bagi tegaknya kehidupan spritual,moral dan sosial. Namun
kedudukan dan fungsi seni tradisi lokal yang demikian itu dewasa ini semakin mengalami
marginalisasi. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor baik internal maupun ekternal.
Penyebab internal berhubungan dengan kreatifitas dan inovatif dari pelaku seni tradisi
untuk mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya dianggap telah
out of date dengan situasi internal demikian, upaya-upaya pelestarian dan terlebih lagi
upaya-upya pengembangan seni tradisi semakin sulit mendapat ruang apresiasi.20

Penyebab ekternal adalah dapat dikaji dari beberapa sisi. Tiga di antaranya penyebab
ekternal yang terpenting dan berlangsung secara simultan adalah, (1) proses globalisasi
yang didominasi budaya barat (2) hegemoni negara dengan konsep ‘’budaya nasional”
yang mengkooptasi ‘’budaya daerah’’ (3) hegemoni agama formal (oraganized religion)
yang lebih mengedepankan pendekatan syariah daripada pendekatan spritual, moral dan
sosiologis, syarafal anam sebagai tradisi seni lokal di Bengkulu. Profilnya sudah kita
20
Fitriani, Skripsi, Tradisi Syarafal Anam Pada Masyarakat Lembak Kota Bengkulu. (Bengkulu: IAIN Press,
2015), hlm. 108.

22
illustrasikan sebelumnya. Nasibnya juga akan tergantung kepada masyarakat
pendukungnya sendiri, serta tergantung kepada siapa saja yang masih memiliki ‘’rasa
memiliki’’nya. Moment otonomisasi daerah memberikan peluang kepada kesenian-
kesenian tradisional di daerah- daerah tersebut untuk merevitalisasi diri dalam kerangka
penguatan identifikasi dan citra ekslusif dan eksotik daerah.

Tulisan ini menandung juga persfektif-persfektif kriteria terhadap syarafal anam


namun tidak bisa dilepaskan dari rasa kepedulian untuk mendukun keberadaannya.
Sebagaimana dijelaskan di atas kasidah barzanji pada mulanya merupakan karya sastra
tulis . Karya ini kemudian dibacakan pada majelis-majelis keagamaan ditempelkan di
dinding-dinding mesjid, madrasah-madrasah untuk kemudian dihafalkan, dari pembacaan-
pembacaan ini kemudian muncul variasi-variasi lagu sebagaimana munculnya jenis-jenis
tilawah tersebut jauh lebih banyak dan ditoleransi. Jika dalam tilawah al-Qur’an muncul
sekitar 14 jenis tilawah yang mana hanya seperohnya saja (7 tilawah) yang dibolehkan
atau shahih /valid, maka dalam melantunkan kasidah tuntutan untuk harus muktabarah
riwayatnya tilawah tersebut dapat dikatakan tidak ada sehingga muncul pembacaan al-
Barzanji terus pula berkembang dengan inprovisasi dari dialek-dialek lokal bahkan
kemudian dengan inprovisasi gerak kinetic dan bunyian (suara) lainnya, pembacaan
kasidah lalu menjadi seni lokal, seni music sekaligus juga seni tari. Ketika pemain- pemain
lebih menganggap barzanji ini sebagai seni music (perkusi) dan begitu juga para
penikmat-penikmatnya lebih menghayati diri sebagai penonton pertunjukan seni perkusi
maka urusan apa yang harus diucapkan menjadi tidak penting nampaknya.

Dari sinilah muncul ironi suatu kasidah yang berisi tuntunan-tuntunan dari nabi
tinggal menjadi sekedar totonan belaka. Apabila unsur tuntunannya diabaikan dari
kasidah-kasidah maka unsur keagamaan (penghormatan kepada nabi SAW) akan hilang
secara perlahan. Jika seni al-barzanji ini mengabaikan unsur tuntunannya, maka sebagai
semata karya seni dia akan ditinggalkan bersaing dengan seni-seni kontemporer lainnya.
Kalau kita lihat dinamika kelompok barzanji atau syarafal anam di bengkulu maka tentu
akan paham mengapa jenis kesenian tradisional ini semakin sulit untuk berkembang. Ada
banyak faktor penyebabnya. Disamping oleh sebab-sebab internal berupa globalisasi
budaya-seni hiburan modern juga oleh faktor intern berupa kemenduaan para pengampu
tradisi ini. Eni tradisi syarafal anam di kota Bengkulu ini konon dikembangkan oleh
kelompok Tarikat syattariyah . Namun bukan karena berasal dari ‘’kaum tua’’ maka para
pendukungnya sekarangpun para orang-orang tua pula. Sudah saatnya pula untuk

23
diturunkan kegenerasi berikutnya. Bagaimana caranya belum tentu mesti pula ditemukan,
selagi keadaannya sekarang mendapat angin segar dari kelompok-kelompok etnik yang
harus menegaskan identitas lokalnya.

Asal usul syarafal anam berkaitan erat dengan proses masuknya Islam di Bengkulu.
Perkembangannya banyak tergantung kepada asuhan kelompok Islam tradisional.
Kemudian kegiatan ini menjadi ciri identitas eknik suku-suku lembak, rejang, Serawai di
bengkulu. Perkembangan mutakhir dia telah menjadi identitas budaya Bengkulu di
lingkungan propinsi. Artinya pementasan syarafal anam mini terdapat dan berkembang
disetiap daerah TK II (kota dan kabupaten). Tapi tingkat perkembangannya tidak dapat
dikatakan berjalan baik mungkin lebih tepat dikatakan keadaannya dalam “posisi
bertahan” kini sebagian besar penggerak dan pelakunya adalah oran-oran tua. Pementasan
syarafal anam dalam acara-acara selain dari ritual maulid dan akikah serin dikalahkan oleh
bentuk kesenian modern terutama musik organ tunggal. Keberadannya pun sekaran
dianggap seperti sebuah pelengkap acara upacara sajak terutama dilingkungan Islam
tradisional. Selain dari itu pewarisannya menemui hambatan-hambatan. Pertama kaum
muda kurang meminatinya, kedua, orang-orang tua yang mempelajarinya sebagian tidak
lagi mampu membaca teks syarafal anam dari kitab al-Barzaanji yan berbahasa Arab,
mereka sebagian besar menhafal teks-teks syarafal anam secara lisan dari dengar-dengar
atau dari membaca teks yang ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Pembacaan yang
terakhir ini membuat irama lagu melenceng dari kaedah-kaedah tajwid sebagaimana
berlaku dalam pembacaan teks-teks arab. Hail ini juga membuat tujuan pembacaan
shalawat kehilangan maknanya.21

Perayaan Tabot di Kota Benkulu Dalam Konteks Budaya Lokal: Pada mulanya tabot
merupakan sekedar permainan rakyat biasa, kemudian baik dalam waktu
penyelenggaraannya maupun dalam bentuk material tabot (kotak) terakhir dalam prosesi
arak-arakannya diberi nuansa-nuansa keagamaan itu berasal pengaruh agama Hindu-
Budha yakni, dalam bentuk fisik tabot tersebut yang menyerupai pura, kemudian juga
terdapatnya bangunan stupa sebagaimana terdapat di Candi Borobudur, dan juga terdapat
pengaruh agama animisme yaitu, terdapatnya sebuah Gerga batu/patung. Sedangkan jejak
pengaruh Islam terdapat pada unsur-unsur kata tabot diambil dari kata “Tabut” artinya peti
atau kotak.

21
Sallim Bela Filli, Syarafal Anam dan Perspektif Budaya dan Agama. (Bengkulu: LPPM, 2012), hlm. 89.

24
Dalam al-Qur’an kata “tabut” disebutkan sebanyak dua kali yaitu dalam surat al-
Baqarah (2):248 dan surat Thaha (20): 39. Kedua ayat ini berhubungan dengan kisah nabi
Musa dan bani Israil sepeninggal nabi Musa as, surat thaha berisi perintah Tuhan kepada
ibunda Musa as, untuk memasukkan bayinya ke dalam Tabut kemudian melemparkannya
ke Sungai Niil. Dalam sejarahnya tabut musa tersebut kenudian diambil dan di bawa ke
istana Fir’aun. Di sini tabut ditafsirkan sebagai sarana penyelamat nabi musa dari
kekejaman Fir’aun dan sekaligus sebagai sarana yang mengantarkan Fir’aun kelangkah
pertama dari kehancurannya. Sedangkan dalam surat al-Baqarah (2): 248 tabut merupakan
simbol pembebasan Bani israil dari kekejaman Rajanya sendiri. Di sini tabut merupakan
symbol benda warisan yang penuh dengan kekuatan- kekuatan mistik dan kesaktian-
kesaktian yang ajaib.

Waktu penyelengaraannya. Di mulai dari awal tahun baru Hijriyah 1 muharram dan
diakhiri 10 Muharram (‘Asyura) dihubungkannya asal usul perayaan ini dengan nama
tokoh syekh Burhanuddin sebagaimana hubungan antara perayaan Tabuik di Pariaman
dengan syekh Burhanuddin di Ulakan. Beberapa prosesi Tabot dihubungkan dengan
peristiwa Perang dan terbunuhnya Hasan dan Husein. Prosesi arak-arakan Tabot akhir-
akhir ini dipimpin oleh 9 orang yang menggunakan pakaian gamis, sorban dan selempang
yang secara simbolik melangangkan Walisongo.

Adanya tempat pembuangan terakhir tabot yang disebut Padang Karbela yang
mengingatkan pada lokasi syahidnya Husein in Ali. Dalam persfektif historis perayaann
Tabot semula bersifat Sekuler (duniawi) dam profan, kemudian mengalami proses
Religiusasi Islamisasi, bahkan akhir-akhir ini Syi’ahisasi. Sejak dijadikannya Tabot
sebagai icon daerah Bengkulu untuk kepentingan pariwisata dan ekonomi, maka perayaan
Tabot dari tahun ketahun semakin meriah. Sementara itu tahapan-tahapan upacara Tabot
adalah sebagai berikut:

a. Mengambik tanah (mengambil tanah) Tanah yang diambil harus mengandung unsur-
unsur magis oleh karena itu harus diambil dari tempat keramat. Di Bengkulu, hanya ada
dua tempat yang dianggap keramat yaitu di Keramat Tapak Padri yang terletak di tepi
laut tidak jauh dari Benteng Marlborough di sudut kanan Pelabuhan Laut Bengkulu dan
Keramat Anggut yang terletak di pemakaman umum dekat Tugu Hamilton, tidak jauh
dari Pantai Nala. Upacara ini berlangsung pada malam tanggal 1 Muharam, sekitar
pukul 22.00 WIB. Tanah yang diambil disimpan di Gerga (pusat kegiatan/markas

25
kelompok Tabot bersangkutan), dibentuk seperti boneka manusia dan dibungkus
dengan kain kafan putih, lalu diletakkan di Gerga. Gerga tertua di Bengkulu hanya ada
dua, yaitu Gerga Berkas dan Gerga Bangsal. Keduanya telah direnovasi dan kini
berwujud bangunan permanen. Di kedua tempat tersebut, mereka memberikan beberapa
sesajen yang berupa: bubur merah dan bubur putih, gula merah, sirih tujuh subang,
rokok nipah sebanyak tujuh batang, kopi pahit sebanyak satu cangkir, air serbat satu
cangkir, dadih (susu sapi murni yang mentah) satu cangkir, air cendana satu cangkir, air
dan selasih satu cangkir.
b. Duduk Penja (mencuci jari-jari) Penjaadalah benda yang terbuat dari kuningan, perak
atau tembaga yang berbentuk telapak tangan manusia lengkap dengan jari-jarinya, oleh
karena itulah penja disebut juga dengan jari-jari. Menurut keluarga Sipai, Penja adalah
benda keramat yang mengandung unsur magis. Ia harus dicuci dengan air limau setiap
tahunnya. Upacara mencuci penja ini disebut duduk Penja, yang dilaksanakan pada
tanggal 5 Muharram sekitar pukul 16.00 WIB. Pada acara Penja ini, peralatan yang
dibutuhkan adalah: air kembang, air limau nipis, sesajen, dan penja yang akan dicuci.
Sesajen yang dipersiapkan terdiri: nasi kebuli sebanyak satu porsi, emping beras
sebanyak satu piring, pisang emas satu sisir, tebung satu potong, kopi pahit satu gelas,
air serobat satu gelas, dan dadih satu gelas.
c. Menjara (mengandun) Menjara adalah berkunjung atau mendatangi kelompok lain
untuk beruji/bertanding dol, sejenis beduk yang terbuat dari kayu yang dilubangi
tengahnya serta ditutupi dengan kulit lembu. Kegiatan ini dilaksanakan tepatnya yaitu
pada tanggal 6 dan 7 Muharram mulai pukul 20.00 atau 23.00 WIB. Pada tanggal 6
Muharram, kelompok Tobat Bangsal mendatangi kelompok Tobat Barkas sedangkan
pada tanggal 7 Muharram kelompok Tobat Barkas mendatangi kelompok Tobat
Bangsal. Kegiatan ini berlansung dihalaman terbuka yang disediakan oleh masing-
masing kelompok.
d. Meradai (mengumpulkan dana) Meradai adalah pengambilan dana oleh Jola (bahasa
Melayu artinya orang yang bertugas mengambil dana untuk kegiatan kemasyarakatan)
yang terdiri dari anak-anak berusia 10-12 tahun. Acara ini dilakukan pada siang hari
tanggal 6 Muharram diantaranya pukul 07.00-17.00 WIB. Lokasi pengambilan dana
biasanya sudah disepakati bersama oleh masing-masing kelompok Tabot. Peralatan
yang dibutuhkan diantaranya adalah: bendera panji, tombak bermata ganda, tas, atau
kambut, karung gandum, dan tessa.

26
e. Arak Penja (mengarak jari-jari) Arak Penja atau arak jari-jari merupakan acara
mengarak jari-jari yang diletakkan di dalam Tabot dengan di jalan-jalan utama di kota
Bengkulu. Kegiatan ini dilaksanakan pada malam ke-8 dari bulan Muharram, yaitu
sekitar pukul 19.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 21.00 WIB. Bahan-bahan yang
digunakan sebagai bahan sesajen adalah: nasi kebuli 1 porsi, kopi pahit 1 gelas, air
serobat 1 gelas, telur dadar 1 buah, lauk pauk 7 piring (7 macam jenis lauk).
f. Arak Seroban (mengarak Sorban) Arak Serban merupakan acara mengarak Penja
ditambah dengan Serban (Sorban) putih dan diletakkan pada Tabot Coki (Tabot Kecil).
Tabot Coki ini dilengkapi dengan bendera/panji-panji berwarna putih dan hijau atau
biru yang bertuliskan nama “Hasan dan Husain” dengan kaligrafi Arab yang indah.
Kegiatan ini diadakan pada malam ke-9 Muharram sekitar pukul 19.00-21.00 WIB.
Sebagaimana namanya, maka peralatan yang dibutuhkan dalam acara ini adalah Tabot
dan seroban. Selain itu, juga dibutuhkan kain khusus dan Tabot Coki (kursi
kerajaan/tahta).
g. Gam (tenang / berkabung) Satu di antara tahapan upacara Tabot yang harus ditaati
adalah “gam”. Gam adalah waktu yang tidak boleh ada kegiatan apapun. Gam berasal
dari kata “ghum” yang berarti tertutup atau terhalang. Tanggal 9 Muharram merupakan
masa gam ini, yakni sejak pukul 07.00 hingga pukul 16.00 WIB, di mana pada waktu
tersebut semua kegiatan yang berkaitan dengan upacara Tabot termasuk membunyikan
dol dan tessa tidak boleh dilakukan. Jadi masa gam dapat juga disebut masa tenang.
h. Arak Gedang (taptu akbar) Pada 9 Muharram malam, sekitar pukul 19.00 WIB
dilaksanakan ritual pelepasan Tabot Besanding di gerga (markas) masing-masing.
Selanjutnya dilanjutkan dengan arak gedang yakni grup Tabot berarak dari markas
masing-masing menempuh rute yang ditentukan. Kemudian mereka akan bertemu
sehingga membentuk arak gedang (pawai akbar). Arakarakan ini menjadi ramai karena
menyatunya grup-grup Tabot, grupgrup hiburan, para pendukung masingmasing serta
masyarakat. Acara ini berakhir sekitar pukul 20.00 WIB. Akhir dari acara arak gedang
ini adalah seluruh Tabot dan grup penghibur berkumpul di lapangan Merdeka Bengkulu
(Sekarang: Lapangan Tugu Propinsi). Tabot dibariskan bershaf istilah lokal
disandingkan, karenanya acara ini dinamakan Tabot Besanding. Peralatan yang
dibutuhkan dalam kegiatan tabot besanding ini adalah gerobak. Gerobak ini digunakan
untuk mengangkut Tabot ke tempat Tabot dikumpulkan.
i. Tabot Tebuang (Tabot terbuang) Acara terakhir dari rangkaian upacara Tabot adalah
acara Tabot tebuang yang diadakan pada tanggal 10 Muharram. Pada pukul 09.00 WIB

27
seluruh Tabot telah berkumpul di lapangan Merdeka dan telah disandingkan
sebagaimana malam Tabot besanding. Grup hiburan telah berkumpul pula di sini dan
menghibur para pengunjung yang hadir di waktu itu. Pada sekitar pukul 11.00
arakarakan Tabot bergerak menuju ke Padang Jati dan berakhir di kompleks
pemakaman umum Karabela. Tempat ini menjadi lokasi acara ritual Tabot tebuang
karena di sini dimakamkan Imam Senggolo (Syekh Burhanuddin) pelopor upacara
Tabot di Bengkulu. Pada sekitar pukul 12.30 WIB acara Tabot Tebuang di makam
Senggolo tersebut. Karena dipandang bernilai magis, acara ini hanya bisa dipimpin oleh
Dukun Tabot yang tertua. Selesai acara ritual di atas, barulah bangunan Tabot dibuang
ke rawa-rawa yang berdampingan dengan komplek makam tersebut. Dengan
terbuangnya Tabot pada sekitar pukul 13.30 WIB, maka selesailah seluruh rangkaian
upacara Tabot dimaksud. Setiap tindakan dalam upacara Tabot selalu diawali dengan
pembacaan Basmalah dan doa-doa. Doa-doa tersebut diantaranya adalah9 : a. Doa
kubur; b. Doa mohon selamat dan ampunan atas arwah orang-orang Muslim di dunia; c.
Bacaan tasbih; d. Salawat ulul „azmi; e. Salawat Wasilah dan lainnya. Secara umum,
ada dua nilai yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Tabot, yaitu: nilai Agama
(sakral), sejarah, dan sosial. Nilai-nilai Agama (sakral) dalam upacara Tabot
diantaranya adalah: Pertama, proses mengambik tanah mengingatkan manusia akan asal
penciptaannya. Kedua, terlepas dari adanya pandangan bahwa ritual tabot mengandung
unsur penyimpangan dalam akidah, seperti penggunaan mantera-mantera dan ayat- ayat
suci dalam prosesi mengambik tanah, namun esensinya adalah untuk menyadarkan kita
bahwa keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari nilainilai budaya setempat. Dan ketiga,
pelaksanaan upacara Tabot merupakan perayaan untuk menyambut tahun baru Islam.
Nilai sejarah yang terkandung dalam budaya tabot adalah sebagai manifestasi kecintaan
dan untuk mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW., yakni Hassan dan
Hussein bin Ali yang terbunuh di Padang Karbala dan juga sebagai ekspresi
permusuhan terhadap keluarga Bani Umayyah pada umumnya dan khususnya pada
Yazid bin Muawiyah, Khalifah Bani Umayyah yang memerintah waktu itu, beserta
Gabenor 'Ubaidillah bin Ziyad yang memerintahkan penyerangan terhadap Hussain bin
Alî beserta askarnya. Adapun nilai sosial yang terkandung di dalamnya, antara lain:
mengingatkan manusia akan praktik penghalalan segala cara untuk menuju puncak
kekuasaan dan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial. Banyak nilai-nilai
kebijaksanaan yang dapat digali dan dijadikan landasan untuk mengarungi kehidupan,
tetapi jika tidak disikapi dengan bijaksana, maka upacara Tabot akan menjadi sekedar

28
festival budaya yang kehilangan makna dasarnya. Meriah dalam pelaksanaan (festival)
tapi kehilangan spiritnya10. Festival Tabot sebagaimana dijelaskan diatas merupakan
salah satu bentuk atau wujud dari kearifan lokal masyarakat Bengkulu.22

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sinkretisme berasal dari bahasa Yunani synkretismos yang berarti penggabungan, juga
suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau
kepercayaan. Sinkretisme juga merupakan suatu istilah yang menunjukkan paham yang
sangat mencolok mewarnai kebudayaan dunia sejak zaman Yunani kuno dan Romawi
hingga sekarang ini. Keyakinan Yunani kuno dan Romawi berkembang karena sinkretisme
sebagai produk budaya yang mudah diserap oleh kepercayaan lokal dari tempat-tempat
baru yang mereka taklukkan.
Hubungan dialektika agama dan budaya lokal dalam pandangan Suryo dapat
mengambil bentuk (variant): pribumisasi negoisasi dan konflik. Pribumisasi dalam
pandangan Abdurrahman Wahid: bahwa antara agama (Islam) dan budaya mempunyai
independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah tumpang tindih. Tumpang
tindih agama dan budaya akan tetap terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan

22
Zubaedi, Revitalisasi Tabot Untuk Membangun Kerukunan Umat Beragama di Bengkulu. Dalam
Jurnal Depag RI vol. VII No. 27 Juli 2008.

29
memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang. Pribumisasi Islam dengan
demikian menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud
dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta
berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan
budaya. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan agama dan budaya.

Syarafal Anam sebagai Tradisi Bengkulu: Sarafal Anam adalah kesenian tradisional
yang dimiliki suku Lembak secara turun temurun. Suku lembak di Dusun besar ini pada
awalnya ada empat suku yaitu, Yuntanium, tanjung Gelam, berang dan suku Pinang
beralik, awal mula cerita munculnya syarafal anam pada masyarakat suku Lembak ini
beriringan dengan masuknya islam di Bengkulu. Dalam pemahamnnya Syarafal Anam
bisa dipahami sebagai: (1) Syarafal anam sebagai semacam shalawat (2) Syarafal anam
sebagai genre sastra Islam. (3) Syarafal anam sebagai tradisi budaya lokal.

Perayaan Tabot di Kota Benkulu Dalam Konteks Budaya Lokal: Pada mulanya tabot
merupakan sekedar permainan rakyat biasa, kemudian baik dalam waktu
penyelenggaraannya maupun dalam bentuk material tabot (kotak) terakhir dalam prosesi
arak-arakannya diberi nuansa-nuansa keagamaan itu berasal pengaruh agama Hindu-
Budha yakni, dalam bentuk fisik tabot tersebut yang menyerupai pura, kemudian juga
terdapatnya bangunan stupa sebagaimana terdapat di Candi Borobudur, dan juga terdapat
pengaruh agama animisme yaitu, terdapatnya sebuah Gerga batu/patung. Sedangkan jejak
pengaruh Islam terdapat pada unsur-unsur kata tabot diambil dari kata “Tabut” artinya peti
atau kotak. Dalam al-Qur’an kata “tabut” disebutkan sebanyak dua kali yaitu dalam surat
al-Baqarah (2):248 dan surat Thaha (20): 39.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan,
untuk itu kritik dan saran dari pembaca dan teman-teman sangatlah membantu agar
penulis bisa lebih baik lagi untuk kedepannya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Asy’ari, Musa. 1991. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an. Yogyakarta:


LESFI.

Bakker, JWM. 2005. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

Barker, Chis. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang.

Burhan, Firdaus. 1988. Bengkulu Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Pengembang Seni Budaya
Nasional Indonesia.

Depari, Cataria Dwi Astuti. 2012. Transportasi Ruang Kampung Kauman Yogyakarta
Sebagai Produksi Sinkretisme Budaya. Yogyakarta: Uuniversitas Atma Jaya
Yogyakarta.

31
Filli, Sallim Bela. 2012. Syarafal Anam dan Perspektif Budaya dan Agama. Bengkulu:
LPPM.

Fitriani. 2015. Tradisi Syarafal Anam Pada Masyarakat Lembak Kota Bengkulu. Bengkulu:
IAIN Press.

Koentowidjojo. 1984. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Prima Duta.

Moktar, Ros Aiza Mohd dan Che Zarrina Sa’ari. 2012. Konsep Sinkretisme Menurut
Perspektif Islam. Malaysia: Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa.

Mukti, Ali. 2007. Kebudayaan. Bandung: Mizan.

Niebuhrt, Richard. 1951. Christ and Culture. New York: Harper and Row.

Paisun. 2010. Dinamika Islam Kultural. Jakarta: Pustaka.

Setiyawan, Agung. 2012. Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama. Yogyakarta: Esensia.

Sodiqin, Ali. 2012. Antropologi Al-Qur’am Model Dialektik dan Budaya. Jakarta: Kencana.

Tylor, E.B. 1971. Symbols For Communication: An Introduction to The Antropological Study
of Religion. USA: Van Garcum & Company.

Wahid, Abdulrahman. 2001. Agama dan Budaya. Jakarta: Destra.

Zubaedi. 2008. Revitalisasi Tabot Untuk Membangun Kurikulum Umat Beragama di


Bengkulu. Jurnal Depag RI.

32

Anda mungkin juga menyukai