Anda di halaman 1dari 48

Taufik Apriadi, S.H.

I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan
keteguhan hati kepada penulis untuk menyelesaikan buku pegangan ini.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad saw. yang menjadi
tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Tujuan dibuatnya buku pegangan jilid II ini untuk memudahkan dalam mempelajari dan memahami
ilmu tentang Sejarah Kebudayaan Islam. Dalam penyelesaian buku ini, penulis banyak mengalami
kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Namun, berkat kesungguhan hati dalam
menyelesaikan buku ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari, sebagai seorang yang pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu belajar
kembali, bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang  positif demi terciptanya buku yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di masa yang
akan datang.
Mudah-mudahan buku yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua orang.

Wasalamu'alaikum Wr.Wb

Kisaran, September 2017

Penulis

DAFTAR ISI
1
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

KATA PENGANTAR............................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................................
2
PENDAHULUAN................................................................................................................................... 3
BAB I MASYARAKAT MAKKAH SEBELUM ISLAM
A.Kondisi Sosial......................................................................................................................... 4
B.Sistem Kepercayaan Masyarakat Arab Pra Islam................................................................... 5
BAB II RIWAYAT HIDUP NABI MUHAMMAD SAW DAKWAH DAN PERJUANGAN
A.Sebelum Masa Kerasulan....................................................................................................... 8
B.Masa Kerasulan....................................................................................................................... 8
C.Hambatan dan Rintangan dalam Berdakwah.......................................................................... 11
D.Hijrah Ke Habsyi (Ettopia) Pertama....................................................................................... 13
E.Hijrah Ke Habsyi (Ettopia) Kedua.......................................................................................... 13
F.Sikap dan Siasat Kaum Quraisy terhadap Hijrahnya Umat Islam........................................... 14
G.Hijrah dan Misi ke Thaif......................................................................................................... 15
H.Perjanjian Aqabah................................................................................................................... 16
I.Pembentukan Negara Madinah................................................................................................ 18
J.Peperangan dan Penakhlukan Kota Mekkah............................................................................ 21
BAB IIIKHULAFAUR RASYIDIN
1.Khalifah Abu Bakar As Shiddiq.............................................................................................. 32
2.Khalifah Umar Bin Khattab..................................................................................................... 40
3.Khalifah Ustman Bin Affan..................................................................................................... 57
4.Khalifah Ali Bin Abi Thalib.................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA

Bab I
2
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Berdirinya Dinasti Umayyah


A. Proses Berdirinya Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdul
Syams bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab. Ia berasal dari salah satu pemimpin suku Quraisy.
Muawiyah dinilai memiliki cukup persyaratan untuk menjadi pemimpin, beliau berasal dari keluarga
bangsawan kaya dan dihormati oleh masyarakatnya. Pada awal perkembangan Islam, sebagian besar
anggota keluarga Dinasti Bani Umayyah menentang dakwah Nabi Muhammad saw. Namun ketika beliau
dan umat Islam berhasil menduduki kota Mekah pada tahun 8 H/630 M, keluarga Bani Umayyah
menyerah dan menyatakan bersedia masuk Islam. Sedangkan Muawiyah sendiri telah masuk Islam
sebelum peristiwa Fathu Makkah.

Pada masa Rasulullah, Muawiyah turut serta dalam Perang Hunain. Ia merupakan salah satu penulis
wahyu. Karir politik Muawiyah terus berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Ia
mendampingi saudaranya Yazid bin Abu Sufyan ke Syam dan berhasil menaklukkan negeri tersebut ke
kekuasaan Islam. Ketika Yazid wafat, Abu Bakar mempercayakan kepada Muawiyah menjadi panglima
perang, menggantikan Yazid. Keputusan Abu Bakar didukung oleh sahabat Umar dan Usman. Pada masa
pemerintahan Umar, Muawiyah dipercaya sebagai gubernur wilayah Syam.

Pada masa pemerintahan Khalifah Usman ibn Affan (23-35 H/644-656 M), Muawiyah diangkat
kembali menjadi gubernur Wilayah Syam dengan ibu kota Damaskus. Ia menguasai wilayah Syam sekitar

3
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

dua puluh tahun. Hampir seluruh penduduk Syam sangat setia kepada Muawiyah. Ketika Usman ibn
Affan meninggal karena terbunuh pada saat membaca Al-Qur'an, Muawiyah menuntut Khalifah Ali ibn
Abi Thalib yang waktu itu diangat sebagai khalifah menggantikan Usman, untuk mengusut tuntas siapa
saja yang terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap Khalifah Usman bin Affan.

Atas dasar tuntutan tersebut, Muawiyah tidak mau mengakui Ali ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
sebagai khalifah sampai Ali bisa menemukan dan menghukum pembunuh Khalifah Usman. Ali
menganggap Muawiyah sebagai pemberontak karena tidak mau mengakui kekhalifahannya, dan atas
dasar itulah Ali memerangi Muawiyah, kemudian terjadi perang antara tentara Ali dan Muawiyah,
peperangan tersebut disebut sebagai Perang Siffin. Pada peristiwa Siffin pasukan Ali hampir
mendapatkan kemenangan, namun tiba-tiba dari pihak Muawiyah mengangkat Al-Qur'an dengan tombak
sebagai tanda berdamai. Ide untuk mengangkat Al-Qur'an sebagai tanda berdamai merupakan siasat dari
pengikut setia Muawiyah yaitu Amr ibn Ash, seorang politisi, dan diplomat ulung. Ali sendiri pada
mulanya ragu akan niat baik damai dari pihak Muawiyah yang hampir mengalami kekalahan. Pasukan Ali
terbelah menjadi dua, satu pihak setuju damai dan di lain pihak menolak. Namun pada akhirnya Ali
menerima tawaran damai dengan cara tahkim (arbitrase).

Dalam peristiwa tahkim, kedua belah pihak setuju mengutus utusan. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr
ibn Ash dan dari pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy'ari. Pada waktu tahkim masing-masing pihak
menyepakati untuk menurunkan jabatan Ali dan Muawiyah. Amr ibn Ash mempersilahkan Abu Musa
sebagai orang yang lebih tua berpidato mewakili Ali. Setelah selesai berpidato yang salah satu isinya
menurunkan Ali sebagai khalifah, maka giliran Amr ibn Ash berbicara mewakili Muawiyah. Kesempatan
ini dimanfaatkan oleh Amr ibn Ash untuk mengumumkan kepemimpinan Muawiyah, karena Abu Musa
telah menurunkan Ali sebagai khalifah. Dengan siasat ini, peristiwa tahkim lebih menguntungkan pihak
Muawiyah dan menimbulkan kekecewaan bagi pihak Ali, sehingga banyak tentara Ali yang keluar dari
barisan yang dikenal dengan kelompok Khawarij. Kaum Khawarij menganggap bahwa yang terlibat
dalam peristiwa tahkim telah melakukan dosa besar sehinga semuanya harus bertobat atau dibunuh.
Kelompok Khawarij berencana membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr. Namun, hanya kelompok yang
diketuai Abdurrahman bin Muljam yang berhasil membunuh Ali. Sedangkan Muawiyah dan Amr tidak
berhasil dibunuh oleh kelompok Khawarij, karena kedua tokoh tersebut dikawal dengan pengawalan
ekstra ketat, meniru gaya pengawalan kerajaan Romawi.

Kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dimulai pada masa berkuasanya Muawiyah bin Abu Sufyan, tepatnya
setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali wafat, orang-orang Madinah membaiat Hasan bin
Ali, namun Hasan cenderung mengalah dan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah bin
Abu Sufyan. Hal ini dilakukan Hasan dengan tujuan menghindari perang berkepanjangan dan timbulnya
banyak fitnah di internal kaum Muslimin, mulai dari terbunuhnya Usman bin Affan, pertempuran Shiffin,
Perang Jamal dan pengkhianatan orang-orang Khawarij dan Syi‘ah. Hasan setuju menyerahkan jabatan
kekhalifahan kepada Muawiyah dengan syaratsyarat sebagai berikut:
1. Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak;
2. Muawiyah harus membayar utang-utangnya (kepada Hasan dan Husain dengan sejumlah
uang dari pajak);
3. Setelah Muawiyah, pemilihan atau pengangkatan khalifah harus diserahkan kembali
kepadanya dan musyawarah kaum muslimin (Jalaluddin as-Suyuthi: 239). Tentang jumlah
jaminan Muawiyah kepada Hasan dan Husain disebutkan sejarawan Philip K. Hitti, mengutip dari
sejarawan klasik ad-Dinawari, at-Thabari, dan al-Ya‘qubi, bahwa Muawiyah akan memberi
subsidi dan pensiun seumur hidup sebesar 5.000.000 dirham dari perbendaharaan Kufah (Philip K.
Hitti, 2005: 236).

4
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Perjanjian tersebut terjadi pada tahun 41/661, tahun tersebut disebut juga Am al-Jamaah (tahun persatuan)
karena kaum Muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Segera setelah menjadi pemimpin, Muawiyah
mengambil alih daerah Mesir dari seorang gubernur yang diangkat Khalifah Ali, kemudian jabatan
tersebut diberikan kepada diplomat ulung dan pendukung setia Muawiyah, Amr ibn Ash. Dengan
perjanjian ini, maka telah berdiri awal pemerintahan Muawiyah dan sekaligus merupakan akhir periode
khulafaurrasyidin. Periode Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa kurang lebih 91 tahun dari 41 H/661 M
sampai 132 H/750 M. Pada masa kekuasaan Muawiyah, pemerintahan yang sebelumnya bersifat
demokratis berubah menjadi Monarchiheridetis (kerajaan turun-temurun). Pemilihan khalifah tidak lagi
berdasarkan musyawarah pemilihan dan suara terbanyak. Muawiyah bermaksud mencontoh sistem
monarchi kekaisaran Persia dan Bizantium. Ia mengangkat anaknya bernama Yazid bin Muawiyah (60-
64/681-684) sebagai penggantinya.

Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia
barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi
mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, dan sebagainya. Agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Pembaharuan / Modernisasi Dunia Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan
Islam dengan perkembangan yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks
Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan
perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan
para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh
kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya.
Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut dengan tajdîd yang berasal dari kata jadid,
sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya
tajdid adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Pengertian ini
menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah
memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan?
Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil –dan semakin lama semakin batil-, akan
ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya yang mungkin mengalami tajdid.
Sebabnya dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah,
mengurangi, atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas
keduanya dalam menjawab tantangan zaman yang senantiasa berubah. Hal ini dikarenakan menurut para
tokoh pembaharuan Islam, dikarenakan terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki al-Qur’an dengan
kenyataan yang terjadi di masyarakat maka diperlukan adanya pembaharuan dalam pemikiran dan
keagamaan masyarakat sehingga dapat sejalan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.

B. Latar Belakang Lahirnya Gerakan Islam Modern


Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah
Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India.

5
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di
Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Di abad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti ; Maliki,
Syafi’i, Hanafi, dan Hambali.
Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang
dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, non-agama maupun dalam bidang
kebudayaan lainnya.
Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu
pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya. Di pandang dari
segi sejarah kebudayaan, maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil
nilainya dibanding dengan mencipta ilmu pengetahuan. Di antara yang mendorong timbulnya
pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
1. Faktor Internal; faktor dari dalam Islam itu sendiri di antaranya :
1) Keyakinan (tauhid) yang dianut kaum muslimin pada saat itu yang bercampur dengan kebiasaan
yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal lain
yang membawa kepada takhayul, bid’ah dan khurafat. Ajaran seperti inilah yang menyebabkan
kemunduran Islam. Sementara di dunia barat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mendukung kemajuan negara semakin berkembang.
2) Sifat jumud membuat umat Islam berhenti berpikir dan berusaha. Oleh karena itu selama umat
Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad maka mereka tidak mungkin
mengalami kemajuan. Kemajuan masyarakat hanya akan bisa tercapai melalui pengkajian ilmu
pengetahuan yang terus menerus untuk kemudian diaplikasikan dalam teknologi terapan dan
kehidupan sosial yang nyata yang mempengaruhi ke arah kemajuan masyarakat. Untuk itu perlu
diadakan pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan dan menggerakkan ijtihad di
kalangan umat Islam.
3) Umat Islam terpecah belah, umat Islam tidak akan mengalami kemajuan apabila tidak adanya
persatuan dan kesatuan yang diikat oleh tali ukhuwah ajaran Islam. Karena itulah, bangkit suatu
gerakan pembaharuan yang memberikan inspirasi umat Islam untuk bersatu dan melawan
imperialisme barat.
2. Faktor Eksternal yaitu  hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dan barat. Dengan adanya
kontak ini mereka sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan barat. Terutama
sekali saat terjadinya peperangan antara kerajaan ustmani dengan kerajaan eropa, yang biasanya
tentara kerajaan utsmani selalu menang dalam peperangan dan pada akhirnya mengalami kekalahan
ditangan barat. Pembahuran dalam islam berbeda dengan renainsance pada dunia Barat. Jika
renaisance Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan islam sebaliknya, yaitu
untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran agama islam. Islam bukan hanya mengajak maju ke
depan untuk melawan segala kebodohan dan untuk kemajuan islam itu sendiri. Pada saat dunia Islam

6
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

mengalami kemunduran, bangsa barat justru sedang mengalami kemajuan dan sedang melakukan
ekspansi wilayah perdagangan baru. Jalur strategis yang selama ini menjadi jalur internasional telah
dikuasai oleh Islam, sehingga mereka sulit melakukan transaksi-transaksi perdagangan melalui jalur
tersebut. Dengan didukung oleh kesuksesan Christoper Columbus (1492M) yang berhasil menemukan
benua Amerika. Vasco da Gama yang berhasil menemukan jalur ke Timur melalui Tanjung Harapan
pada tahun 1498M menjadikan Benua Amerika dan kepulauan Hindia jatuh ke tangan bangsa Eropa.
Dengan dibukanya dua jalur perdagangan tersebut, maka barat tidak lagi tergantung dengan jalur lama
yang telah dikuasai umat Islam. Dalam melakukan ekspansi perdagangan, bangsa barat ternyata bukan
hanya memiliki motif ekonomi tapi juga motif kekuasaan dan menyebarkan agama kristen. Tiga misi
ini dikenal dengan gold (harta), glory (kekuasaan) dan gospel (penyebaran agama nasrani) yang
diterapkan dalam menaklukkan negara-negara Islam di dunia.
.
C. Tokoh Pembaharuan Dalam Islam
1. IBNU TAIMIYAH
a. Sejarah Singkat Ibnu Taimiyah
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani atau yang
biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja lahir pada 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H dan
wafat wafat pada 1328/20 Dzulhijjah 728 H, adalah seorang pemikir dan
ulama Islam dari Harran, Turki. Ia berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya bernama Shihabuddin
Abdul Halim bin Taimiyah seorang ahli hadits, ulama, syaikh, hakim, dan khatib terkenal di
Damascus. Demikian juga kakeknya Syekh Majuddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin
Taimiyah al Harrani, adalah ulama terkemuka yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan
penghafal Al Qur'an (hafidz).
Mereka semua adalah pemuka dalam mazhab Hambali. Ibnu Taimiyah belajar Al-Qur’an dan hadits
dari ayahnya, kemudian sekolah di Damascus. Pada usia 10 tahun ia telah mempelajari kitab-kitab hadits
utama, hafal Al-Qur’an, belajar ilmu hitung dan sebagainya. Kemudian ia tertarik mendalami ilmu kalam
dan filsafat yang menjadi keahliannya. Karena penguasaannya di bidang kalam, filsafat, hadits, Al-
Qur’an, tafsir dan fikih, pada usia 30 tahun ia sudah menjadi ulama besar pada zamannya. Ibnu Taimiyah
kuat memegang ajaran kaum salaf. Ia juga seorang penulis yang tekun dan produktif.
Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW
dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi,
danTabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk
kehidupan Islam. Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan
budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah
dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak.
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera
menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits
negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika
umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-

7
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali,
kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang
sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah
bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus.
Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan
kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya,
sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar,
sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya".
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan
untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk
belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Ia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan
Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika
dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku,
maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan
masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak
menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu
hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah
hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut
ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah
keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam
menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang
lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad.
Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa,
sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia
menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis
empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul
Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-
karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.

b. Pemikiran Ibnu Taimiyah


Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis. Empiris dalam arti bahwa ia
mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran (al-haqîqah fi al-a’yân la fi
al-adhhân), dan rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan antara akal dengan naql(Al-Qur’an dan
hadits) yang sahih. Ia menolak logika sebagai metode berpikir deduktif yang tidak dapat digunakan untuk
mengkaji materi keislaman secara hakiki. Materi keislaman empiris hanya dapat diketahui melalui
eksperimen dan pengamatan.
c. Gerakan Pembaharuan Ibnu Taimiyah
Adapun beberapa upaya pembaharuannya antara lain sebagai berikut :
8
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

1) Sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham tauhid. la menentang segala
bentuk bid’ah, takhayul dan khurafat. Menurutnya, aqidah tauhid yang benar adalah aqidah salaf,
aqidah yang bersumber dari teks Al-Qur’an dan hadits, bukan diambil dari dalil-dalil rasional dan
filosofis. Dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, ia mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah secara jelas
termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits. Pendapat yang membatasi sifat Allah pada sifat dua puluh dan
pendapat yang menafikan sifat-sifat Allah, bertentangan dengan aqidah salaf. Walaupun ia
menetapkan adanya sifat-sifat Allah, ia menolak mempersamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat
makhluk. Ibnu Taimiyah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa tamtsîl (menyamakan sifat-sifat Allah
dengan sifat-sifat makhluk) dan tanzih (menafikan sifat-sifat Tuhan). Ia juga gigih menentang
penggunaan ta’wîl dalam menjelaskan sifat-sifat Allah. Ta’wîl kata “yad” (tangan) dengan kekuasaan
tidak dapat diterimanya. Ia tetap mempertahankan arti “yad” dengan tangan. Demikian pula dengan
ayat-ayat mutasyâbihât lainnya. Inilah yang ia sebut al-aqîdah al-wâsithiyah.
2) Ia menggalakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits,
serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama. Menurutnya,
metode penafsiran Al-Qur’an yang terbaik adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika tidak
didapati dalam al-Qur’an, baru dicari dalam hadits. Jika penjelasan ayat tidak dijumpai dalam hadits,
dicari dari perkataan shahabat. Kalau juga tidak didapati, maka dicari dalam perkataan tabi’în. Ayat
Al-Qur’an harus ditafsirkan menurut bahasa Al-Qur’an dan hadits. Di sini tampak bahwa Ibnu
Taimiyah adalah pembaharu yang mempergunakan metode berpikir kaum salaf.
3) Karena untuk kembali pada Al-Qur’an dan hadits diperlukan ijtihad, maka ia menentang taklid. la
menolak sikap umat Islam yang mengekor pada para mujtahid yang telah mendahului mereka,
sementara pokok persoalan sudah berubah. Taqlîd adalah sikap yang membuat umat Islam mundur,
sebab taqlîd berarti menutup pintu ijtihad, membuat otak menjadi beku. Pahadal sudah sangat lama
umat Islam berada dalam kegelapan akibat pintu ijtihad dinyatakan tertutup. Menurutnya, ijtihad
terbuka sepanjang masa, karena kondisi manusia selalu berubah. Perubahan itu harus selalu diikuti
oleh perubahan hukum yang sumbernya dari wahyu. Di sinilah fungsi ulama membimbing perubahan
masyarakatnya sesuai dengan petunjuk wahyu.

4) Di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam. Menurut Ibnu Taimiyah, pendapat siapa
saja yang lebih tepat dan kuat argumennya, itulah yang diambil. Pengambilan pendapat dan argumen
itu bukan didasarkan atas kemauan nafsu. Semua pendapat harus mempunyai alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
5) Dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu metode baru. Ia tidak mendasarkan
keputusan hukum berdasarkan pada ‘illat, tetapi berdasarkan hikmah. Penerapan hukum Islam
hendaknya mempertimbangkan aspek-aspek hikmah dalam keputusan hukum tersebut. Di sinilah
sesungguhnya letak relevansi sekaligus keluwesan Ibnu Taimiyah dalam merumuskan ushul fiqh yang
menjadi ijtihadnya.

Ibnu Taimiyah wafat di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang
muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal
Muttaqina fi jannatin wanaharin"[1] . Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa
hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan
dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin.

9
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Jenazahnya dishalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat
pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.

2. MUHAMMAD BIN ʿABD AL-WAHHAB  


a. Sejarah Singkat Muhammad bin ʿAbd al-Wahhab
Nama Lengkapnya adalah Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad
bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Ia lahir
di Uyaynah pada 1730 M/l115 H dan wafat di Daryah tahun 1206 H (1793M). Ayah dan kakeknya adalah
ulama terkenal di Najd/Nejad (Arab Saudi). Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang
keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits, dan hukum madzhab Hanbaliyah.
Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu. Ia juga membaca
karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, sehingga ia benar-benar menjadi seorang
ulama, ahli hukum dan pembaharu ternama.
Dia adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang
pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab
Saudi. Dia juga merupakan seorang ulama besar yang produktif, karena buku-buku karangannya tentang
islam mencapai puluhan buku, diantaranya buku yang berjudul “Kitab At-Tauhid” yang isinya tentang
pemberantasan syirik, khurafat, takhayul dan bid’ah yang terdapat di kalangan umat Islam dan mengajak
umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid yang murni.

b. Proses pembaharuan
Dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan khutbah dengan berani dan antusiasme. Oleh
karena itu, ia cepat memperoleh banyak pendukung. Pada permulaan ini pula ia melahirkan karya terkenal
berjudul Kitâb al-Tauhîd. Setelah kematian ayahnya pada 1740, Muhammad Ibn Abdul Wahhab semakin
populer dan gerakannya mendapat dukungan dari pemerintah Kerajaan Ibn Saud.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali
pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak
disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi
Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya
dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab
mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang
merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam
kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan
abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala
sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Dia menempuh berbagai macam cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan
masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan
dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang). Maka
Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya
adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-

10
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat
ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-
negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri,
telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya,
hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di
kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti
di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan,Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.

c. Gerakan Pembaharuan Ibnu Taimiyah


Inti gerakan pembaharuannya adalah : 
1) Pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan tauhid. Dalam hal ini, Muhammad
Ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya membedakan tauhid menjadi tiga macam ;
1) Tauhîd rubûbiyah
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dengan amalan dan
penyataan yang tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Tuhan, Raja, Pencipta semua makhluk. Dan Allah-
lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka.

2) Tauhîd ulûhiyah 
Artinya, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan
cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu
disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh
(penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta pertolongan di saat
sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah
Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

3) Tauhîd al-asmâ’ wa al-sifât.


Artinya Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut
telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.

Menurut Abdul Wahhab, Allah adalah Tuhan alam semesta yang maha kuasa, dan melarang
penyifatan kekuasaan Tuhan pada siapapun kecuali Dia. Dialah yang menciptakan manusia dan alam dari
tiada. Eksistensi Allah dapat dirasakan melalui tanda-tanda dan ciptaan-Nya yang tersebar di seluruh
alam, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, gunung-gunung dan sungai-sungai, dan seterusnya.
Allah adalah Tuhan yang berhak disembah. Segala urusan manusia sehari-hari harus didasarkan pada Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi. Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan. Baik dan buruk berasal
dari Allah dan manusia tidak bebas berkehendak. Wahhab tidak mempercayai superioritas ras;
superioritas atau inferioritas tergantung pada ketaqwaan pada Allah. Tauhîd ulûhiyyah dipandang
sebagai tauhîd amalî. Tauhid ini didasarkan atas rukun Islam dan rukun Iman. Yang termasuk dalam
tauhid ini adalah semua bentuk ibadah harian, keyakinan dan tindakan iman serta perjuangan dengan
penuh kecintaan, ketaqwaan, harapan dan kepercayaan pada Allah. Wahhab percaya pada makna harfiah
11
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Al-Qur’an termasuk ungkapan-ungkapan antropomorfisme tentang Allah; tetapi bukan berarti ini
mengharuskan antropomorfisme bagi Allah. Ia berpendapat bahwa orang beriman akan melihat Allah di
surga, tetapi bentuk dan rupa Allah melampaui akal manusia.

2) Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul (mendekatkan diri atau memohon
kepada Allah SWT dengan cara melalui wasilah (perantara) yang memiliki kedudukan baik di sisi
Allah SWT). Menurutnya, ibadah adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan. Usaha mencari
perlindungan kepada batu, pohon dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik. Demikian juga
bertawassul kepada orang yang sudah mati atau kuburan orang suci sangat dilarang dalam Islam dan
Allah tidak akan memberikan ampunan bagi mereka yang melakukan perbuatan demikian. Ini bukan
berarti ziyarah kubur tidak diperkenankan, namun perbuatan-perbuatan bid’ah,
takhayul dan khurafat yang mengiringi ziyarah semestinya dihindarkan agar iman tetap suci dan
terpelihara.

3) Sumber-sumber syari’ah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman
Allah yang tak tercipta, yang diwahyukan pada Muhammad melalui malaikat Jibril; ia merupakan
sumber paling penting bagi syari’ah. Ia hanya mengambil keputusan berdasarkan ayat-
ayat muhkamât dan tidak berani mempergunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât.
Maka, ia menyarankan agar kaum Muslim mengikuti penafsiran Al-Qur’an generasi al-salaf al-shâlih.
Sementara itu, Sunnah Nabi adalah sumber terpenting kedua. Sedangkan ijma’ adalah sumber ketiga
bagi syari’ah dalam pengertian terbatas; ia hanya mempercayai kesucian ijma’ yang berasal dari tiga
abad pertama Islam, karena hadits yang memuat Sunnah Nabi sebagai jawaban atas setiap masalah,
dikembangkan Muslim selama 3 abad pertama. Ia menolak ijma’ dari generasi belakangan. Oleb
karena itu, menurutnya semua komunitas Muslim dapat melakukan kesalahan dalam menyusun
hukum-hukum secara independen melalui proses ijma’. Wahhab juga akan tetap memilih mengikuti
hadits yang otentik daripada pendapat para ulama yang menjadi idolanya, sekalipun seperti Ahmad
Ibn Hanbal, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Jadi, ia percaya bahwa hukum Islam dan dinamika
kehidupan Muslim akan tetap hidup dengan menekankan pentingnya ijtihad terhadap Al-Qur’an dan
Sunnah. Namun demikian, ia tidak keberatan bagi siapapun untuk mengikuti salah satu dari empat
madzhab Imam asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

4) Serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya negara dalam memberlakukan secara
paksa syari’ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di tangan khalifah atau imam yang harus
bertindak atas dasar saran ulama dan komunitasnya. Jika seseorang menjadi khalifah dengan
konsensus komunitas Muslim, maka ia harus ditaati. Ia juga memandang sah upaya penggulingan
khalifah yang tidak kompeten oleh Imam yang kompeten melalui kekerasan dan paksaan. Namun
demikian, khalifah yang tidak kompeten tetap harus dipatuhi sepanjang ia melaksanakan syari’ah dan
tidak menentang ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah. Wahhab juga memuji pentingnya jihad untuk
melaksanakan syari’ah sekaligus menyebarkan syiar Allah ke seluruh penjuru dunia.

Pembaharuan Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan Islam dari segala bid’ah, takhayul
dan khurafat, tampaknya menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan pembaharuan yang terjadi di dunia
Muslim dari waktu ke waktu. Di negara Arab sendiri ajaran-ajaran Wahhab kemudian menjadi Wahhabi
karena dukungan Ibn Saud dan putranya Abdul Aziz. Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan
12
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis,
mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah
Arab. Muhammad bin Abdul Wahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29
Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.

3. JAMALUDDIN AL-AFGHANI 
a. Sejarah Singkat Muhammad Jamaluddin Al Afghani
Nama panjang beliau adalah Muhammad Jamaluddin Al Afghani, dilahirkan di Asadabad,
Afghanistan pada tahun 1254 H/1838 M. Ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang
nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama
bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.Meskipun lahir di
Afghanistan, ia berasal dari keluarga Syi’ah Iran. Namun, tidak ada bukti yang menguatkan bahwa ia
mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Syi’ah. Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya,
yakni Asadabad. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di kota-kota suci kaum Syi’ah pada 1805. Di
sinilah ia banyak dipengaruhi para filosof rasionalis Islam seperti Ibnu Sina dan Nasir al-Din al-Tusi.
Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun
mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqih dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia
18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah,
kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil jenius yang
penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Pengabdiannya yang pertama di Afghanistan, ketika berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu
pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 M ia menjadi penasehat Sher Ali Khan.
Beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Muhammad A’zam Khan.
Dalam banyak dokumentasi dia terlihat sebagai figure politik yang sangat anti terhadap inggris.
Jatuhnya A’zam Khan dan naik tahtanya Sher Ali yang lebih pro Inggris menyebabkan al-Afghani diusir
dari Afghanistan pada Desember 1868 M, lalu dia ke Bombai kemudian ke Istambul pada tahun 1869.
Ketika al-Afghani ke Istambul dia mengemukan gagasan yang berasal dari filosof Islam, dan ketika
ke Mesir pada tahun 1870 dia mengajarkan murid-muridnya terutama tentang filosof-filosof Iran. Banyak
bukti yang menunjukkan bahwa yang diajarkannya bukan saja rasionalisme. Dia juga mengajarkan filosof
itu untuk membedakan antara apa yang perlu diajarkan kepada elit intelektual, yaitu kebenaran rasional
dan apa yang perlu disampaikan kepada massa, yaitu pemahaman dan emosi mereka.
Di tahun 1870 ia pindah ke Turki dan diangkat oleh Perdana Menteri Ali Pasya menjadi menjadi
anggota Majelis Pendidikan Turki, kemudian pindah lagike Iran dan di sana ia diangkat menjadi Menteri
Penerangan, dan selanjutnya pindah ke Mesir (1871), al-Afghani kembali kle Mesir sampaintahun 1879.
selama keberadaannya yang kedua, ia mendirikan partai al-Hizb al-Wathany al-Hurry (Partai Nasional).
Melalui partai ini, ia menyusun sebuah gerakan revolusi Arab. Selain itu, ia juga mengadakan pertemuan
harian dengan murid-muridnya. Melalui pertemuan ini ia m,enyebarkan tulisan-tulisan dengan nama
samaran atau kadang atas nama murid-muridnya. Pada tahun 1879, ia diusir oleh pemerintah Mesir
13
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Khudawy Taufiq dengan tuduhan memimpin gerakan rahasia yang bertujuan untuk merusak agama (yang
dihasut oleh Inggris)
Setelah diusir oleh pemerintah Mesir atas tuduhan Inggris, al-Afghani pindah ke India, tiba di India
ia ditahan di Heiderbad dan Kalkutta, dan ia dibebaskan setelah adanya Uraby Pasya di Mesir pada tahun
1882.

b. Peranan Jamaluddin al-Afgani di Bidang Politik


Di kalangan umat Islam, Jamaluddin al-Afgani lebih dikenal sebagai pemimpin pergerakan politik
daripada sebagai pemikir reformis dan modernisasi dalam Islam. Gerakan kesadaran yang dimulainya
mengandung watak intelektual, budaya, sosial, politik dan keagamaan. Jamaluddin al-Afgani
berkeinginan tinggi bahwa suatu saat Islam mampu membuka jalan dan dapat membendung serta
mengatasi pengaruh negative dari barat. Oleh sebab itu, ia memilih jalan hidupnya sebagai politikus.
1838 Lahir di Asadabad, Iran
1857 Tinggal di India
1864 Menjadi penasihat penguasa Afghanistan
1869 Kembali ke India
1871 Menetap di Mesir
1876 Terjun ke dunia politik
1879 Membentuk Partai Hizb al-Watan
1879 Keluar dari Mesir dan pindah ke perancis
1883 Mendirikan ‘Urwatul Wuṡqā bersama Muhammad Abduh
1889 Diundang untuk ke Persia
1892 Pergi ke Istambul
1897 Wafat di Istambul, Turki (9 Maret)

Keterlibatannya dalam politik, memudahkan Jamaluddin untuk membangun hubungan akrab


dengan beberapa pemimpin Negara Islam dan non-Islam. Kesempatan baik ini digunakan Jamaluddin
untuk menyebarkan dan memperkenalkan pikiran dan ide-ide perjuangannya. Maksudnya mencari
dukungan orang-orang yang sepaham dan lebih simpati. Menurut Harun Nasurtion, aktivitas-aktivitas
politik Jamaluddin al-Afgani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tetang pembaruan pemikiran dalam
Islam. Aktivitas politiknya timbul sebagai implikasi dari aktivitas pembaruan pemikiran dalam Islam.
Murtada Mutahari, pemikir kontenporer dari Iran, mengatakan bahwa politik Jamaluddin al-Afgani
adalah sebagai berikut:
1) Mengadakan perjuangan melawan absolutisme pemerintah. Jamaluddin al-Afgani berpendapat bahwa
suksesnya langkah tersebut sangat ditentukan peran aktif umat Islam dan kesadaran terhadap hak-hak
mereka yang diinjak-injak para penguasa (Barat). Tugas awal yang harus dilakukan adalah
mengukuhkan keyakinan bahwa perjuangan politik merupakan kewajiban agama dan panggilan suci.
Tugas ini menegaskan perlunya penekanan hubungan antara agama dan politik. Dalam Islam,
hubungan antara agama dan politik bagaikan dua sisi mata uang yang tiak mungkin dipisahkan.
2) Mengerjakan ketertinggalan umat islam dalam pengetahuan, sains, dan teknologi. Langkah ini
diambil Jamaluddin al-Afgani  dengan cara mendirikan sekolah atau perguruan tinggi dan
membentuk masyarakat ilmiah.

14
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

3) Mengembalikan pemahaman umat Islam terhadap ajaran-ajaran sumber aslinya. Jamaluddin al-
Afgani memasukkan langka ini agar umat Islam kembali pada al-Qur’an, sunah dan keteladanan para
sahabat pada permulaan Islam. Dengan demikian, praktik korupsi dan manipulasi dapat dihilangkan.
4) Berjuang melawan kolonialisme asing (Barat). Langkah ini berdasarkan pada realita bahwa Negara-
negara Barat terlalu campur tangan terhadap urusan-urusan politik Negara Islam. Negara-negara
Barat secara eksploitatif telah menjajah umat Islam, khususnya di bidang ekonomi, mereka mengeruk
sumber-sumber kekuatan dan kekayaan ekonomi Negara Islam. Bahkan, mereka memasukkan unsur-
unsur kultur barat ke dalam kultur kau muslmin. Menghadapi kenyataan ini, Jamluddin al-Alfgani
membakar semangat untuk mengenyahkan penjajahan Barat meskipun dimusuhi penguasa Barat,
akibatnya ia terpaksa harus berpindah-pindah dari Mesir ke India, Iran, Hijaz, Yaman, Turki, Rusia,
Jerman, Perancis, dan Inggris.
5) Membangkitkan slogan persatuan Islam. Jamaluddin al-Afgani mementingkan langkah ini bagi umat
Islam walaupun mereka berbeda mazhab atau aliran. Ia tidak suka dengan istilah Sunni, Syi’ah, atau
fanatisme pada sekte tertentu. Jamaluddin al-Afgani sangat gigih memperjuangakan penolakannya
terhadap paham sekterianisme dan nasionalisme menurut konsep Barat. Kedua paham ini terbukti
merongrong ajaran dasar Islam. Oleh karena itu, ia berusaha mempersatukan dengan satu tali
pengikat yaitu agama Islam (Pan-Islamisme).

c. Ide-ide Pembaharuan Jamaluddin al-Afghani


Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah
meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran
fatalisme yang enjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat
Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu
antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus  kembali kepada ajaran Islam yang benar,
mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus
diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam hars diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai
dengan tuntutan zaman. Ia juga menganjurkan  umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara
umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi
dunia barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu
pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Selanjutnya
bagaimana ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentangnegara dan sistem
pemerintahan akan diuraikan berikut ini :

1) Bentuk negara dan pemerintahan.


Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di
dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang
Dasar. Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal
bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi  oleh pemikiran
barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun  pemahaman Al-Afghani tidak
lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan
kenegaraan. Penafsiran atau pendapat ersebut lebih maju dari Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu
bentuk pemerintahan , maka bentuk demikianpun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi
dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh

15
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi 
kepada salah satu sebab kemunduran  politis yaitu pemerintah absulot.

2) Sistem Demokrasi.
Di dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan
hanya ada pada raja/kepala gegara  untuk bertindak  yan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-
Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan
demokrasi.
Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan
yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasongon pemerintahan republik sebagaimana berkembang di
barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam
pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-
pemimpin masyarakat yang berpengalaman karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali
dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan.
Selanjutnya ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu
tidak sesuai dengan ajaran Islamyang sangat menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan otokrasi
harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu.
Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang demokrasi menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat.
Lembaga ini bertugas memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu
kebijakan negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul pemerintahan yang absulot.
Ide atau usul para wakil rakyat yan berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi
pemerintah. Karena itu para wakil rakyat harus yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral
baik. Wakil-wakil rakyat yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah sehingga akan
melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-
undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan.
Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian
orang yang terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.Pendapat di atas
mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan  menurut Al-Afghani adalah rakyat, karena dalam
pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang
anggotanya dipilih oleh rakyat.

3) Pan Islamisme / Solidaritas Islam


Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih
jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama
antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama
itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja
mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan
kesejahteraan umat Islam.
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia menginginkan agar umat
Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi
hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang
kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan
16
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan 
kepada bangsa Persia dan Afghan  supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua
adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua
sekte tersebut.
Gerakan Pan-Islamisme didirikan oleh Jamaluddin al-Afgani yang berpusat di Kabul, Afghanistan.
Adapun tujuan didirikannya gerakan Pan-Islamisme adalah untuk memajukan umat Islam, menyatukan
aliran modern, dan membentuk persatuan semua umat Islam di bawah satu khalifah pusat, sebagaimana
pada zaman khalifah-khalifah terdahulu. Gerakan Pan-Islamisme yang dimotori Jamaluddin al-Afgani
terkenal sanat revolusioner dan antiimperialis. Oleh karena itu, ia disebut seorang penggerak Islam pada
abad ke-19. Pokok ajaran-ajaran Jamaluddin al-Afgani, antara lain:
1. Menggugah rasa solidaritas (ukhwah) mukmin seluruh dunia dan sebagai muktamarnya adalah ibadah
haji di Mekkah;
2. Nasrani sekalipun berbeda keturunan kebangsaan, ketika menghadapi Timur (Islam), dapat bersatu
untuk menghacurkan dunia Islam;
3. Mengenyahkan segala fanatisme golongan dan nasionalisme kebangsaan untuk menggalang kekuatan
guna mengusir segala bentuk imperilisme Barat;
4. Bersatunya umat Islam yang tidak mengenal suku bangsa akan menciptakan sesuatu peradaban yang
maju.

Apa yang diserukan Jamaluddin al-Afgani ternyata disambut baik oleh tokoh-tokoh Pan-Islamisme.
Tokoh-tokoh yang mucul setelah Jamaluddin al-Afgani adalah sebagai berikut:
1. Sultan Hamid II (1876) dari Turki mendirikan organisasi propaganda Pan-Islamisme dengan
Konstatinopel sebagai pusat.
2. Ali Pasya dari Turki, seorang perintis Pan-Islamisme sesudah Jamaluddin al-Afgani. Ia pernah
mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh militer Pan-Islamisme dari dunia Islam di istananya.
3. Aga Khan, seorang tokoh Islam liberalis dari India. Ia mengatakan, “ada segi Pan-Islamisme yang
benar dan sah, yaitu teori ukhwah islamiaha dan persatuan umat Nabi Muhammad saw, persatuan
rohani dan kebudayaan Islam harus tumbuh. Pengikut Nabi Muhammad saw, menjadikan hal itu
sebagai pokok sendi kehidupan rohani.”
4. Muhammad Abduh dari Mesir lebih menitik beratkan pendidikan Islam, sebuah upaya untuk
nejadikan solidnya sebuah pergerakan.
5. Muhmmad Iqbal dari Pakistan dikenal sebagai seorang filsuf dan penyair Islam modern yang
temasyhur.
6. Sayyid Ahmad Khan dari India, sebagai pelopor pergerrakan modernisasi dalam Islam dari Aligarh
University di India, dekat New Delhi.

d. Peranan Jamaluddin al-Afgani pada Penerbitan ‘Urwatul Wuṡqā


Karena persoalan pilitik di Mesir, Jamaluddin al-Afgani akhirnya pergi ke Paris (Prancis). Di Paris
inilah akhirnya ia mendirikan sebuah organisasi bernama ‘Urwatul Wuṡqā yang beranggotakan muslim
militant dari India, Mesir, Syiria, dan Afrika Utara. Organisasi tersebut bertjuan memperkuat
persaudaraan Islam, dan mendorong umat Islam mencapai kemajuan. Oraganisasi ‘Urwatul
Wuṡqā menebitkan majalah dalam bahasa arab yang bernama ‘Urwatul Wuṡqā. Karena isi gagasannya
dianggap terlalu keras mengancam kekuasan penjajah Barat, majalah tersebut akhirnya dilarang beredar.

17
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak
pembaharu Islam ini memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia
(Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia, dan Rusia). Afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir
karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1896. Beliau pulang keharibaan Allah pada tanggal 9 Maret
1897 di Istambul Turki dan dikubur di sana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944.
Ustad Abu Rayyah dalam bukunya “Al-Afghani : Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”,menyatakan
bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada
rencana Sultan untuk membinasakannya.

4. MUHAMMAD ABDUH
a. Sejarah Singkat Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H di sebuah desa di Propinsi Gharbiyyah Mesir
Hilir. Ayahnya bernama Muhammad ‘Abduh ibn Hasan Khairullah. Abduh lahir di lingkungan keluarga
petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan.  Masa pendidikannya dimulai dengan
pelajaran dasar membaca dan menulis yang didapatnya dari orang tuanya. Kemudian sebagai pelajaran
lanjutan ia belajar Qur’an pada seorang hafid. Dalam masa waktu dua tahun ia telah menjadi seorang
yang hafal al-Qur’an. Pendidikan selanjutnya ditempuhnya di Thanta, sebuah lembaga pendidikan mesjid
Ahmadi.
Di tempat ini ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan membawanya
pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu. Ia tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan
yang mementingkan hafalan tanpa pengertian, bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada
menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahwu dan fiqih yang tidak dipahaminya, sehingga ia
kembali ke Mahallaj Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan
dalam usia 16 tahun.

Tidak lama kemudian, ia kembali ke Tanta setelah mendapat nasihat dari pamanya  Syekh Darwis
seorang penganut tarekat Sanusiyah. Setelah menyelesaikan studi di Tanta,  pada tahun 1866 Muhammad
Abduh melanjutkan studinya di Al-Azhar dan selesai pada tahun 1877 dengan mencapai gelar Alim.
Setelah tamat dari Al-Azhar, Muhammad Abduh kemudian   mengajar di almamaternya dan Darul
Ulum, disamping mengajar di rumahnya. Di antara buku  yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan
Ibnu Maskawih, buku Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan
Guizote yang diterjemahkan oleh Al-Thanthawi.
Mohammad Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil awal 1323 H/ 11 Juli 1905, jenazah
Muhammad Abduh dikebumikan di Kairo (Pemakaman Negara).

b. Sejarah Perjuangan dan Kehidupan Politik.


Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al Azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri
Mesir, Riadl Pasya, ia di angkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum dan Universitas al Azhar.
Dalam memangku jabatannya itu, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal. Dia
menggugat model lama dalam bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan
sebagaimana yang dialaminya sewaktu belajar di masjid Al-Ahmadi dan di Al-Azhar. Dia menghendaki
adanya sistim pendidikan yang mendorong tumbuhnya kebebasan berpikir, menyerap ilmu-ilmu modern
dan membuang cara-cara lama yang kolot. Sebagai murid Jamaluddin Al-Afghani, maka pikiran
18
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

politiknya pun sangat dekat dengannya. Al-Afghany adalah seorang revolusioner yang secara serius
memandang penting bangkitnya bangsa-bangsa timur guna melawan dominasi Barat.
Pada tahun 1879, pemerintahan Mesir berganti dengan turunnya Chedive Ismail dan digantikan
puteranya, Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini sangat kolot dan reaksioner sehingga berdampak
pada dipecatnya Abduh dari jabatannya dan diusirnya Al Afghany dari Mesir. Tetapi pada tahun
berikutnya Abduh kembali mendapatkan tugas dari pemerintah untuk memimpin penerbitan majalah "al
Wakai' al Mishriyah". Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk menuangkan isi hatinya dalam bentuk
artikel-artikel serta pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.
Pada tahun 1882, Abduh dibuang ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikut andil dalam
pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disini ia mendapat kesempatan untuk mengajar di
Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun.
Pada permulaan tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan Al Afghany yang pada waktu itu
telah berada di sana. Bersama Al Afghany, disusunlah sebuah gerakan untuk memberikan kesadaran
kepada seluruh umat Islam yang bernama "al 'Urwatul Wutsqa". Untuk mencapai cita-cita gerakan
tersebut, diterbitkanlah pula sebuah majalah yang juga diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suara
kebebasan yang ditiupkan Al Afghany dan Abduh melalui majalah ini menggema ke seluruh dunia dan
memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap kebangkitan umat Islam. Dalam waktu yang sangat
singkat, kaum imperialis merasa khawatir atas gerakan ini dan akhirnya pemerintah Inggris melarang
majalah tersebut masuk ke wilayah Mesir dan India.
Pada akhir tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah Perancis
melarang diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian Abduh diperbolehkan kembali ke
Mesir dan al Afghany melanjutkan pengembaraannya ke Eropa.
Setelah kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir. Ia juga
membuat perbaikan-perbaikan di Universitas Al-Azhar. Puncaknya, pada tanggal 3 Juni 1899, Abduh
mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Mesir untuk menduduki jabatan sebagai Mufti Mesir.
Kesempatan ini dimanfaatkan Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan kebangkitan
kepada umat Islam.

c. Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh


Sebagai seorang pembaharu (modernis), ide dan pemikiran Abduh mencakup dalam berbagai
bidang. Menurut Al-Bahiy, pemikiran Abduh meliputi Segi politik dan kebangsaan, social
kemasyarakatan, pendidikan, serta akidah dan keyakinan. Walaupun pemikirannya mencakup berbagai
segi, namun bila diteliti dalam menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih
menitikberatkan(concern) pada bidang pendidikan.

1. Pembaharuan Di bidang Pendidikan


a. Sistem dan Struktur Lembaga Pendidikan
Muhammad Abduh melihat bahwa semenjak kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku
di seluruh dunia Islam umumnya dan di Al-Azhar khususnya lebih bercorak dualisme (artinya:
pendidikan madrasah yang menolak pelajaran-pelajaran umum dan pendidikan modern berbasis barat
yang tidak mengajarkan ilmu agama). Bila diteliti secara saksama, corak pendidikan yang demikian lebih
banyak dampak negatifnya dalam dunia pendidikan. Abduh berusaha menghapus dikotomi ini.
Dengan melakukan lintas disiplin ilmu antar kurikulum madrasah dan sekolah, maka jurang
pemisah antara golongan ulama dan ilmuwan modern akan dapat diperkecil. Pembaharuan pendidikan ini
19
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

dilakukan dengan menata kembali struktur pendidikan di Al-Azhar, kemudian di sejumlah institusi
pendidikan lain yang berada di Thanta, Dassuq, Dimyat dan Iskandariyah. Abduh berharap, melalui
upayanya melakukan pembaharuan di lembaga pendidikan Al-Azhar, maka pendidikan di dunia Islam
akan mengikutinya. Sebab menurut pertimbangannya, Al-Azhar merupakan lambang dan panutan
pendidikan Islam di Mesir secara khusus dan dunia Islam secara umum.
b. Kurikulum
Kurikulum perguruan tinggi Al-Azhar, disesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat pada masa
itu. Dalam hal ini ia memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum
Al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar out-putnya dapat menjadi ulama modern.
Kurikulum Sekolah Dasar, beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah
dimulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai
inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama (Islam)
merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa keperibadian muslim,
rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap
hidup yang baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
Kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruaan, Ia mendirikan sekolah menengah
pemerintahan untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan,
perindustrian dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh merasa perlu untuk memasukkan
beberapa materi, khususnya pendidikan agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Dengan tujuan agar
lahir tenaga-tenaga ahli yang berwawasan keagamaan.
Di madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan Al-Azhar, Abduh mengajarkan Ilmu
Mantiq, Falsafah dan Tauhid. Sedangkan selama ini Al-Azhar memandang Ilmu Mantiq dan Falsafah itu
sebagai barang haram.
Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh di bidang pendidikan tidak berjalan mulus. Terutama
usahanya untuk menghapuskan pembedaan (pengkelompokan) antara pendidikan agama dan pendidikan
umum, mendapat tantangan keras dari guru-guru besar di Al-Azhar. Mereka menganggap bahwa
pendidikan agama-lah yang utama untuk dipelajari, sementara pendidikan umum itu haram dan tak layak
untuk dipelajari.

2. Pembaharuan di Bidang Sosial Keagamaan


Menurut Muhammad Abduh sebab yang membawa kemunduran umat Islam adalah faham jumud
(beku, statis) yang terdapat di kalangan umat Islam. Karena faham jumud inilah umat Islam tidak mau
berfikir dinamis untuk mencapai kemajuan. Karena umat Islam bersifat statis dan berbegang teguh pada
tradisi, sehingga merasa tidak memerlukan perubahan. Untuk mencerahkan umat Islam dari kejumudan
itu, Muhammad Abduh menerbitkan majalah Al-Manar yang mana penerbitan majalah ini diteruskan oleh
muridnya yaitu Rasyid Ridha yang kemudian menjadi Tafsir Al-Manar. Pembaharuan Muhammad Abduh
pada bidang keagamaan antara lain :
1. Umat Islam harus kembali kepada ajaran- ajaran Islam yang sesungguhnya (Al-Qur’an dan Sunnah)
dan membersihkan segala macam bentuk bid’ah dan khurafat. Umat Islam harus berani membuka
pintu ijtihad untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi. Mereka harus melakukan interpretas
ulang terhadap pendapat-pendapat ulama masa lalu. Pendapat ulama tidaklah mutlak benar dan
mengikat.
2. Menurut Abduh ajaran Islam terbagi dua, yaitu masalah ibadah yang tidak banyak memerlukan ijtihad
dan masalah muamalah (sosial kemasyarakatan) yang menjadi lapangan ijtihad. Untuk masalah yang
20
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

kedua ini umat Islam tidak perlu mempertahankan pendapat ulama masa lalu, apabila tidak sesuai
dengan kondisi sekarang. Pintu ijtihad harus dibuka seluas-luasnya terhadap masalah ini.
3. Akal mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. “Agama adalah sejalan dengan
akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”. Dari akal akan terungkap misteri
alam semesta yang diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Hanya dengan
ketinggian akal dan ilmu manusia mampu mendudukkan dirinya sebagai makhluk yang tunduk dan
berbakti kepada sang pencipta.
4. Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula ilmu pengetahuan modern pasti sesuai
dengan ajaran Islam.

3. Pembaharuan di Bidang Politik


Selain mengajar, Abduh juga aktif dalam gerakan politik. Ia membantu Jamaluddin Al-Afghani
dalam menentang penguasa Khedevi Taufiq. Akibatnya, Abduh dibuang ke luar Kairo setelah
sebelumnya pada tahun 1879 Jamaluddin Al-Afghani disusir dari Mesir. Namun setahun kemudian
Abduh diizinkan kembali ke Kairo dan diangkat menjadi redaktur untuk surat kabar Al-Waqa’I Al-
Mishriyah. Abduh tidak hanya memuat berita-berita perkembangan terkini Mesir, tetapi juga artikel-
artikel tentang sosial, politik, pendidikan, hukum, kebudayaan dan agama. Di bawah kepemimpinan
Abduh surat kabar ini sangat berpengaruh dalam membentuik opini publik, terutama semangat
nasionalisme Mesir dan penentangan terhadap penguasaan Mesir atas Inggris. Selain itu, penguasa Mesir
ketika itu sudah sangat jauh dalam kebijakan yang sangat pro-Inggris.
Kondisi demikian membangkitkan semangat nasionalisme Abduh untuk menanamkan kebenciannya
pada Inggris. Ia ikut mendukung gerakan pemberontakan kaum nasionalis Mesir di bawah pimpinan
Urabi Pasha. Namun pemberontakan ini gagal dan akibatnya Abduh diasingkan dari Mesir pada tahun
1882. Dalam keadaan demikian, Abduh memperoleh undangan dari Jamaluddin Al-Afghani untuk
bergabung bersamanya di Paris.
Mereka menggerakkan umat Islam dunia dengan membentuk organisasi al-Urwah al-Wutsqa (tali
yang kukuh), yang bertujuan menyatukan umat Islam melepaskan mereka dari perpecahan dan
cengkraman bangsa-bangsa Barat. Organisasi ini juga menerbitkan jurnal dengan nama yang sama dengan
organisasinya. Jurnal ini bertujuan menggerakkan umat Islam. Namun jurnal ini hanya bertahan delapan
bulan dan organisasinyapun bubar. Ia kembali ke Beirut dan menjadi guru di sana. Selain itu ia juga
menyampaikan berbagai ceramah. Salah satu hasil ceramanya di Beirut yang dibukukan adalah Risalah
al- Tauhid. Adapun ide-ide pembaruan Abduh di bidang politik antara lain sebagai berikut:
1. Dalam hal kekuasaan, Abduh memandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Karena
menurutnya, tanpa adanya konstitusi, maka akan timbul kesewenang-wenangan. Untuk itu Abduh
menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan dengan memegang prinsip
musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.
2. Dalam program Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya, ditegaskan bahwa Partai Nasional adalah
partai politik, bukan partai agama. Yang mana keaggotaannya terdiri atas orang-orang dari berbagai
kepercayaan dan mazhab, termasuk orang kristen dan yahudi. Partai ini didasarkan atas kesadaran
bahwa semua orang Mesir itu saudara, dan hak-hak mereka dalam politik dan hukum sama. Menurut

21
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Abduh, kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat. Karena itu,
Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila ia bertindak tidak adil.

d. Metode Muhammad Abduh Dalam Pembaharuan


Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah
selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan
drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat islam melaui
pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya
dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa
aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan
membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang
lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu
kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan (tajdid) adalah
kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada
zaman Rasullullah dan para sahabat yang selama ini sempat hilang, terlupakan, bahkan terhapus dari umat
Islam. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan
adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada 2 bagian yaitu:
1. Mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka
itu yang biasa disebut al-muqallid.
2. Mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai disiplin
ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.

Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan
tengah antara kedua kelompok di atas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut yaitu antara
kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti
barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh
Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: “sesungguhnya aku menyeru kepada kebebasan
berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang
dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-Qur’an
dan al-Hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.

5. RASYID RIDHA
a. Sejarah Singkat Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad ‘Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-
Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan,
ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah
tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia
meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.
Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-
ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa turki dan Perancis, dan di
samping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun
hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing
22
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad ‘Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan
al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad ‘Abduh berada dalam
pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid utama
al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan
yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh amat mempengaruhi
jiwanya.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, al-Manar. Di dalam
nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, antara lain,
mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayyul dan bid’ah-
bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan
umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu
pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai
dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad ‘Abduh,
supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah
mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan
yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan
teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat
persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar.  Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian
dikenal dengan Tafsir al-Manar.  Muhammad ‘Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat
125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar)   dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya
sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang menentang
pemerintahan absolut kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan
Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan
senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari
mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.

b. Ide-ide Pembaruan Rasyid Ridha


1) Bid’ah dan Faham Fatalisme (keputusasaan dalam segala hal) : Penyebab Kemunduran Umat Islam
Hampir tidak jauh berbeda pemikiran Rasyid Ridha mengenai pembaruannya dengan para gurunya,
yaitu Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur
karena tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam tentang ajaran-
ajaran agama mengalami kesalahan dan perbuatan-perbuatan mereka dianggap telah menyeleweng dari
ajaran Islam yang hakiki. Ke dalam tubuh Islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat.
Menurut Rasyid Ridha, di antara bid’ah-bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat
ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya.
Bid’ah lain yang ditentang keras oleh Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak
pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal, dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada
syekh dan wali.

23
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Umat, demikian menurut Rasyid Ridha, harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Islam murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadat dan
sederhana dalam muamalatnya. Yang meruwetkan ajaran Islam, adalah justeru sunah-sunah yang
ditambahkan hingga mengkaburkan antara wajib dan sunnah. Dalam soal muamalah, hanya dasar-dasar
yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura.  Perincian dan pelaksanaan dari dasar-
dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup
kemasyarakatan, tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai
dengan suasana tempat dan zamannya.
Terhadap sikap fanatik di zamannya ia menganjurkan supaya toleransi bermazhab dihidupkan.
Dalam hal-hal fundamental-lah yang perlu dipertahankan, yaitu persatuan umat. Selanjutnya ia
menganjurkan pembaruan dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas, Rasyid Ridha mengakui terdapat faham fatalisme di kalangan umat
Islam. Menurutnya, bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam
ialah faham fatalisme (‘aqidah al-jabr)  itu. Selanjutnya salah satu sebab yang membawa masyarakat
Eropa kepada kemajuan ialah faham dinamis yang terdapat di kalangan mereka. Islam sebenarnya
mengandung ajaran dinamis. Orang Islam disuruh bersikap aktif. Dinamis dan sikap aktif itu terkandung
dalam kata jihad; jihad dalam arti berusaha keras, dan sedia memberi pengorbanan, harta bahkan juga
jiwa. Faham jihad  inilah yang menyebabkan umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.

2) Pembaruan Rasyid Ridha dalam Masalah Ijtihad


Sebagaimana Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha sangat menghargai akal manusia, walaupun
penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan gurunya. Akal dapat dipakai
dalam menafsirkan ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah. Ijtihad
dalam soal ibadah tidak lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi eksplorasi akal) dapat dipergunakan terhadap ayat
dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan
secara langsung dalam al-Qur’an dan hadits. Di sinilah, menurut Rasyid Ridha, terletak dinamika Islam.
Mengenai ijtihad, Rasyid Ridha berkata:
“Tidak ada ishlah (pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan hujjah
(argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah dalam hal mengikut secara buta
(taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya pintu taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional
yang argumentatif adalah awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal yang
tidak disertai ilmu dan pemahaman.”
Mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid Ridha, peradaban Barat modern didasarkan atas
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan
Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Barat maju,
demikian menurut Rasyid Ridha, karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan
umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya
berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
3) Pan-Islamisme
Sebagaimana al-Afghani, Rasyid Ridha juga melihat perlunya dihidupkan kesatuan umat Islam.
Menurutnya, salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan
mereka. Kesatuan yang dimaksud oleh beliau bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa
atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh karena itu ia tidak setuju
dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa Kamil di Mesir dan gerakan nasionalisme Turki
24
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

yang dipelopori Turki Muda. Ia menganggap bahwa faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran
persaudaraan seluruh umat Islam. Persaudaraan dalam islam tidak kenal pada perbedaan bangsa dan
bahasa, bahkan tidak kenal perbedaan tanah air.
Rasyid Ridha tidak memberikan format yang jelas bagi bentuk kesatuan yang dimaksud. Ia hanya
menawarkan kekhalifahan yang sekaligus mengemban fungsi sebagai kepala negara. Khalifah,
menurutnya, karena mempunyai kekuasaan legislatif maka harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi,
khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantu-pembantunya yang uatama dalam soal
memerintah rakyat.
Untuk mewujudkan kesatuan umat itu, ia pada mulanya meletakkan harapan pada kerajaan
Utsmani, tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan kemudian
menghapuskan sistem pemerintahan kekhalifahan. Selanjutnya ia meletakkan harapan pada kerajaan
Saudi Arabia setelah raja Abd Al-Aziz dapat merebut kekuasaan di Semenanjung Arabia.

D. Kesamaan dan Perbedaan Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha


Kesamaan ketiga tokoh tersebut dapat diidentifikasi sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal pokok,
yaitu:
1) Ketiganya sama-sama menekankan perlunya Islam ditafsirkan secara rasional dan sesuai dengan
kebutuhan umat Islam pada zaman tersebut. Mereka memerangi kestatisan umat Islam akibat adanya
faham fatalisme dan adanya sikap jumud di dalam tubuh umat Islam. Umat perlu dicerahkan dengan
menggali kembali pemikiran rasional yang telah lama padam. Tradisi Islam, khususnya menurut Al-
Afghani dan ‘Abduh, tidak hanya cukup sampai tradisi zaman Rasulullah, para shahabat dan para
kaum salaf saja seperti doktrin Wahhabi, melainkan mereka percaya bahwa tradisi itu harus
ditafsirkan secara rasional jika hendak dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman yang terus
berubah. Dari faham inilah, ketiganya mengemukakan bahwa pintu ijtihad harus dibuka kembali.
Taqlid buta adalah penghambat kemajuan, dan ijtihad adalah pintu menuju kegemilangan umat Islam
seperti yang telah pernah dicapai oleh umat Islam pada zaman klasik.
2) Sama-sama menekankan perlunya pembaharuan pemikiran di dunia Islam terhadap ajaran Islam itu
sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat, dengan cara mengambil yang baik-baik dari
pemikiran Eropa tersebut, misalnya metode berpikir rasional yang membawa umat ke dalam
kehidupan yang dinamis dan dalam mengembangkan institusi-institusi modern. Untuk kemajuan,
umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang positif. Barat maju karena mereka mau
mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian
mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan
yang pernah dimiliki umat Islam.
Adapun perbedaan di antara ketiganya, bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa poin berikut ini:
1. Antara Al-Afghani dan ‘Abduh terdapat perbedaan dalam pendekatan yang digunakan. Dalam
melakukan pembaruan, gerakan ‘Abduh lebih bersifat evolusi--mengadakan gerakan secara bertahap
(gradual). Sementara gurunya, Al-Afghani, cenderung revolusioner. Dalam
melakukan islah (pembaruan) al-Afghani menekankan perlunya perlawanan terhadap otoritarianisme
dan kolonialisme (pengembangan kekuasaan) lewat provokasi. Sementara ‘Abduh menekankan
perlunya pendidikan dan latihan bagi masyarakat yang menurutnya lebih penting daripada sosialisasi
gerakan politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa: “Al-Afghani adalah aktivis yang
intellektual, sedangkan ‘Abduh adalah intellektual yang aktivis.”

25
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

2. Adapun perbedaan antara ‘Abduh dan Rasyid Ridha, sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution
(1992), adalah bahwa Muhammad ‘Abduh lebih liberal dari muridnya. ‘Abduh tidak mau terikat pada
salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, karena ingin bebas dalam pemikiran. Sebaliknya,
Rasyid Ridha masih memegang kuat mazhab dan masih terikat secara kuat pula pada pendapat-
pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Karenanya, dalam beberapa pemikiran beliau, terdapat
persamaan dengan faham wahhabiyyah. Dalam menafsirkan ayat tajassum, misalnya, Muhammad
‘Abduh menafsirkannya sebagai kiasan, sementara Ridha menafsirkannya secara dzahiri sebagaimana
juga ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 25--di dalam tafsir Al-Manar--tentang balasan di akherat.
‘Abduh menekankan tafsiran filosofis. Tafsiran itu mengandung arti bahwa balasan yang akan
diterima di kaherat adalah bersifat rohani. Sedangkan rasyid Ridha dalam komentarnya lebih
menekankan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani.

Namun, yang perlu dicatat, kita mesti berpikir bahwa perbedaan di antara ketiganya justeru saling
melengkapi. ‘Abduh mencetuskan gagasan yang tidak dilontarkan oleh Al-Afghani dan, begitu juga
Rasyid Ridha mencetuskan gagasan yang tidak dilontarkan oleh ‘Abduh

Bab II
Islam Di Indonesia

A. Barus Kota Pertama Masuknya Islam Di Indonesia


Barus banyak menyimpan catatan penting tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara. Setidaknya
ini terlihat dari banyaknya situs purbakala yang ditemui di Barus, yang secara administratif menjadi
bagian wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Dan bukan itu saja, di Barus juga
ditemukan makam-makam raja batak, benteng dan makam portugis.
Di Barus, yang dulunya terkenal dengan Barus Raya juga ditemukan sebuah kerajaan tua, yaitu
kerajaan Lobu Tua (Bandar Niaga Yang termansyur), yang diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun
sebelum Masehi. Lobu Tua, yang terletak di Kecamatan Andam Dewi ini pernah diteliti oleh peneliti
Perancis (Ecole francaise d’Ectreme-Orient) pada tahun 1995. (Baca: Mengenal Barus Setelah Seribu
Tahun Yang Lalu)

26
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Bahkan berbagai sumber memperkirakan lebih jauh dari itu, sekitar 5000 tahun sebelum Nabi Isa
lahir. Perkiraan terakhir ini didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir’aun Mesir
kuno, dimana salah satu bahan pengawetnya menggunakan kapur barus atau kamper. Konon kapur Barus
merupakan paling baik kualitasnya dan kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus.
Sementara, sejarawan di era kemerdekaan, Profesor Muhamad Yamin memperkirakan perdagangan
rempah-rempah, diantaranya kamper sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6000 tahun lalu ke
berbagai penjuru dunia. Sedangkan seorang pengembara Yunani, Claudius Ptolomeus menyebutkan,
selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab, dan juga Tiongkok lalu lalang ke Barus untuk
mendapatkan rempah-rempah. Sedangkan, berdasarkan arsip tua India, Kathasaritsagara, sekitar tahun
600 M mencatat perjalanan seorang Brahmana mencari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu
mengunjungi Keladvipa (pulau kelapa diduga Sumatera) dengan rute Ketaha (Kedah-Malaysia),
menyusuri pantai Barat hingga ke pulau kapur yang dalam sansekerta disebut Karpurasuvarnadvipa
(Barus).
Pada sekitar tahun 627-643 atau tahun pertama Hijriah kelompok pedagang Arab memasuki
pelabuhan atau bandar Barus. Diantara mereka tercatat nama Wahab bin Qabishah yang mendarat di
Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin bernama Syekh Ismail yang singgah di
Barus sekitar tahun 634 M. Sejak itu, bangsa Arab yang beragama Islam mendirikan koloni di Barus.
Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman
pada 851 M dalam bukunya Silsilatus Tawarikh.
Berikutnya Dinasty Syailendra dari Champa (Muangthai) menaklukkan empirium Barus sekitar 850
M dan menamakan koloni itu sebagai Kalasapura. Setelah penaklukan itu, di kota pelabuhan Barus berdiri
koloni yang terdiri dari berbagai bangsa terpisah dari penduduk asli. Seabad setelah itu, bangsa Eropa
menemukan Barus.
Menariknya, berdasarkan catatan sejarah, penjelajah terkenal Marcopolo menjejakkan kakinya di
bandar Barus pada 1292 M. Sedangkan sejarawan muslim ternama, Ibnu Batutah, mengunjungi Barus
pada 1345 M. Berikutnya pelaut Portugis berdagang di kota Barus pada 1469 M. Sedangkan pedagang
dari berbagai belahan dunia lain menyinggahi Barus, seperti dari Srilanka, Yaman, Persia, Inggris, dan
Spanyol.

1. Barus Sebagai Pintu Masuknya Islam di Nusantara


Seorang sejarawan lokal, Dada Meuraksa, dalam seminar I “Masuknya Islam di Nusantara” yang
diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 berkeyakinan Islam masuk ke Barus pada tahun I Hijriah.
Pandangannya ini didasari oleh penemuan batu nisan Syekh Rukunuddin di komplek situs purbakala
“mahligai” atau yang artinya sama dengan “istana kecil”. Komplek makam ini terletak wilayah Aek
Dakka, sekitar 4 kilometer dari Kecamatan Barus.
Menurut Dada Meuraksa, batu nisan yang terletak di makam mahligai itu mengemukakan, Syekh
Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan, dan 22 hari pada tahun hamim atau hijaratun Nabi.
Meuraksa menerjemahkan ha – mim itu 8-40 yang kemudian dijumlahkan menjadi 48 H. Perhitungan itu
berdasarkan Ilmu Falak dari kitab Tajut Mutuk.
Menariknya, saat seminar berlangsung, pandangan Meuraksa ini menjadi perdebatan oleh ulama
terkenal Sumut saat itu, ustadz HM Arsyad Thalib Lubis. Menurut ulama pendiri Al Jam’iyatul
Washliyah ini, bukti nisan tidak dapat dijadikan dasar penentuan.
Perbedaan pendapatan itu terus berlangsung hingga belasan tahun kemudian. Baru kemudian pada
1978 sejumlah arkeolog yang dipimpin Prof DR Hasan Muarif Ambary melakukan penelitian terhadap
27
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

berbagai nisan makam yang ada di sekitar daerah Barus, termasuk diantaranya makam Syekh
Rukunuddin.
Arkeolog (ilmu yang mempelajari kebudayaan masa lalu melihat dari benda yang ditinggalkan)
Universitas Airlangga Surabaya itu meyakini Islam sudah masuk sejak tahun I Hijriah. Hal itu
berdasarkan pada perhitungan yang menguatkan pendapat pertama oleh Dada Meuraksa yang didukung
sejumlah sejarawan lainnya.
Selain itu, perhitungan masuknya Islam di Barus itu didukung pula dengan temuan 44 batu nisan
penyebar Islam atau dikenal “Aulia 44″ di sekitar Barus yang bertuliskan aksara Arab dan Persia.
Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi, yang berada di daerah Tompan, Barus Utara.
Makam yang berada diketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu hingga kini masih ada. Beberapa
sumber mengatakan, tulisan di batu nisannya belum bisa diterjemahkan. Hal itu disebabkan tulisannya
merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan huruf Arab.
Konon, Syekh Mahmud ini berasal dari Hadramaut, Yaman, dan diperkirakan datang lebih awal
dari Syekh Rukunuddin, yakni pada era 10 tahun pertama dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekkah.
Diperkirakan syekh yang masih kerabat dan sahabat nabi itu, membawa ajaran Islam Tauhid tanpa
Syariat.
Pandangan akhir menyebutkan, Syekh Mahmud yang makamnya berada di papan tinggi merupakan
penyebar Islam pertama di Barus, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut dan murid-muridnya.
Berdasarkan sumber yang ditemui (selama melakukan kunjungan di Barus dan Singkil, Aceh
Selatan di akhir November 2011) menyebutkan, ke 43 makam ulama penyebar Islam itu diantaranya,
makam Syekh Rukunuddin, Syekh Abdurrauf Al Fansuri atau Tuanku Batu Badan, Tuanku Ambar, Tuan
Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Machdum, Syekh Zainal
Abidin Ilyas, Syekh Ahmad Khatib Sidik, dan makam Imam Mua’azhansyah. Selanjutnya, ada makam
Imam Chatib Miktibai, Tuanku Pinago, Tuanku Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah
Chaniago, dan makam Tuanku Digaung.

2. Keberadaan Islam di Barus berhubungan langsung dengan Islam di Aceh


Pendapat ini pernah dikemukakan ustadz Djamaluddin Batubara (almarhum), sejarawan lokal dan
sebagian masyarakat di Barus berpendapat ustad Djamaluddin sangat menguasai sejarah makam situs
purbakala “Aulia 44″ ini.
Sementara itu, beberapa arsip kuno menunjukkan adanya tiga ulama Islam yang menghubungkan
Barus dan Aceh. Misalnya, keberadaan ulama terkenal Syekh Hamzah Fansuri (sayang sekali ketika
berkunjung ke Singkil, penulis belum berhasil mengunjungi makamnya, yang menurut beberapa sumber
di Singkil berada di daerah Runding, masih di wliayah Aceh) dan Syekh Syamsuddin as Sumatrani.
Namun, paham-paham keagamaan mereka berseberangan dengan Syekh Abdul Rauf As Singkil (yang
makamnya berada di Singkil, Aceh Selatan.
Sejarawan Islam banyak menyakini, bahwa kedua ulama terdahulu itu bermukim dan menyebarkan
pahamnya di Wilayah Barus.

B. Proses masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia


1. Asal Usul Islam masuk Nusantara
Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Nusantara di kenal sebagai pelayar-pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdaganggan
antara kepulauan Nusantara dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara
28
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena
hasil bumi yang di jual di sana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara
Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku di pasarkan di Jawa dan
Sumatra, untuk kemudian di jual kepada para pedagang asing pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra
dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering di singgahi para pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh),
Barus dan Palembang di Sumatra ; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang para pedagang yang berasal dari timur Tengah. Mereka tidak hanya
membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan agama Islam.
Dengan demikian, agama Islam telah ada di Nusantara ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang
Arab tersebut, meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
Pembahasan tentang asal-usul Islam di Nusantara serta siapa  pembawanya menjadi perdebatan
para ahli sejarah. Banyak sekali para sejarah yang mengupas tentang asal usul Islam masuk ke
Nusantara. Setidaknya ada tiga teori mengenai asal-usul Islam di Nusantara yaitu Persia, India, dan
Arab.
Teori pertama mengungkapkan bahwa Agama Islam masuk ke Nusantara berasal dari Persia. Teori
ini didukung oleh kenyataan bahwa di Sumatera bagian utara (Aceh) terdapat perkumpulan orang orang
Persia sejak abad ke-15. Marrison juga menguatkan teori pertama ini dengan dasar  adanya pengaruh
Persia yang jelas dalam kosakata Melayu. Kedatangan  ulama besar bernama Al-Qadhi Amir Sayyid as-
Syirazi dari Persia di Kerajaan Samudera Pasai ikut juga sebagai penegas teori Persia.
Teori kedua berpendapat  bahwa agama Islam masuk ke Nusantara berasal dari negara  India.
Snouck Hurgronje (Belanda) misalnya mengungkapkan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara berasal
dari kota Dakka, India. Walau berbeda dengan Snouck Hurgronje ahli sejarah lain yaitu Pijnappel dan
Moquette keduanya juga sama dari Belanda ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara
berasal dari Gujarat dan Malabar, India. Pembawanya adalah orang Arab yang telah lama tinggal di
wilayah tersebut. Penggagas teori kedua ini  mendasarkan penelitiaanya  pada kesamaan mazhab yang
dianut oleh kaum muslimin di  Nusantara dan di Gujarat. Di samping itu Moquette menguatkan teori
Islam Nusantara berasal dari Gujarat (India), dengan hasil penelitiannya terhadap batu nisan di kedua
wilayah tersebut. Menurutnya, ada persamaan mencolok dan jelas antara batu nisan di Pasai yang tertulis
tanggal 17 Zulhijah 831 H / 27 September 1428 M dan batu nisan syekh Maulana Malik Ibrahim
(salah satu wali songo) di Gresik dengan batu nisan di Cambay, Gujarat. Atas dasar penemuan itulah,
Moquette menegaskan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat.  Teori Islam Nusantara ini juga
diperkuat oleh  Fatimi. Ia  menyatakan bahwa Islam berasal dari Bengal. Hasil penelitian Fatimi atas
batu nisan Malik al-Saleh diketemukan adanya banyak persamaan antara batu nisan tersebut dengan batu
nisan di Bengal. Fatimi juga menguatkan pendapatnya dengan menandaskan bahwa kebanyakan para
tokoh di Pasai adalah orang Bengal atau keturunan dari mereka.
Menurut pendapat Morisson; agama Islam masuk ke  Nusantara dibawa oleh orang-orang
dari Pantai Coromandel. Pendapat yang sama sebelumnya pernah dikemukakan oleh Arnold. Ia
mendasarkan penelitiannya pada kesamaan mazhab antara kaum muslimin dari Pantai Coromandel (juga
Malabar) dan Nusantara, yakni kebanyakan mengikuti mazhab Syafi’iyah. Namun, Arnold mengakui
juga bahwa Coromandel dan Malabar tidaklah satu-satunya asal-usul Islam masuk ke Nusantara. Ia
perpendapat  bahwa Islam Nusantara juga berasal dari negara Arab. Teori Arnold yang menyatakan
bahwa Islam berasal dari India dan Arab sekaligus juga pernah dikemukakan oleh sejarawan yang
bernama Crawford.
Teori ketiga Menurut sejarawan, Keijzer memiliki analisis yang berbeda, menurut nya, Agama
Islam masuk ke Nusantara berasal dari Mesir. Ia mendasarkan teorinya pada kesamaan mazhab, yaitu
mazhab Syafi’iyah. Sementara itu, Niemann dan de Holander menyatakan Hadramaut sebagai tempat
Islam berasal. Pada umumnya, para ahli di Indonesia setuju teori Arab ini.
29
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Berdasarkan hasil seminar Nasional masuknya Islam ke Nusantara yang diadakan tahun  1963
mereka  menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad VII M (1 H) dan langsung
dari tanah Arab. Daerah yang pertama kali disinggahi adalah pesisir Sumatera. Agama Islam disebarkan
oleh para saudagar muslim yang juga bertindak sebagai muballigh, dan dilakukan dengan cara damai.

2. Proses Penyebaran Islam di Indonesia


Ditinjau dari letak geografisnya , wilayah Indonesia terletak  kawasan Asia Tenggara. Masyarakat
di wilayah ini telah mempunyai peradaban yang tinggi sebelum kedatangan Islam. Hal
ini dikarnakan  kawasan Asia Tenggara terdiri dari negara-negara yang memiliki kesamaan budaya dan
agama. Negara-negara ini, termasuk Indonesia telah memiliki kontak dengan peradaban bangsa India
dan Cina. Tidak hanya dalam aspek peradabannya saja, tetapi juga adat istiadat, agama dan kepercayaan.
Dalam sejarah Indonesia, banyak ditulis para sejarawan bahwa bangsa Indonesia  mengenal tulisan
yang diajarkan oleh para penyebar agama Hindu dan Budha. Pengaruh ini telah berlangsung cukup lama,
mungkin sejak abad ke-6 atau ke-7 M sampai abad ke-14 dan ke-15 M. Pengaruh Agama Hindu  dan
Buda memberikan peran yang penting dan membawa perubahan besar, terutama dalam sistem
pemerintahan para raja dianggap sebagai titisan para dewa.
Bukti pengaruh Hinduisme dan Budhiesme bagi bangsa Indonesia dapat terlihat dari banyaknya
bangunan-bangunan suci tempat kaum Hindu dan Buda beribadah, seperti candi-candi, ukiran, dan
sebagainya. Semua bangunan itu merupakan perpaduan antara seni bangunan pra sejarah dengan
bangunan zaman sejarah, yaitu bangunan zaman megaliticum, seperti punden berundak-undak. Ukiran
dan relief yang terdapat di dalam bangunan kuno tersebut  menggambarkan kreativitas dan karya
masyarakat Indonesia sat itu.
Pada  bidang sastra, ditemukan kitab semacam kitab suluk yang mengkisahkan perjalanan seorang
sufi agar memperoleh ilmu sejati. Kitab lain adalah kitab Dewa Ruci, dan sebagainya. Paparan tersebut
menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sebelum menerima agama Islam telah mempunyai agama
dan kepercayaan yaitu agama Hindu, Budha, selain animisme dan dinamisme yang telah berkembang
lama sebelumnya. Di sisi lain, bangsa Indonesia telah mempunyai peradaban  megaliticum dan
peradaban yang merupakan gabungan antara peradaban lokal dengan peradaban Hindu-Budha.
Proses penyebaran agama Islam  di Indonesia dilakukan dengan banyak cara, yaitu melalui
perdagangan, perkawinan, pendidikan, politik, kesenian, tasawuf, yang kesemuanya mendukung
meluasnya ajaran agama Islam.
1. Perdagangan.
Pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan
India. Mereka telah ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan
jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indonesia dan para pedagang Islam. Di samping
berdagang, Sebagai seorang muslim juga mempunyai kewajiban berdakwah maka para pedagang
Islam juga menyampaikan dan megajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada orang lain. Dengan
cara tersebut, banyak pedagang Indonesia memeluk agama Islam dan merekapun menyebarkan
agama dan budaya Islam yang baru dianutnya kepada orang lain. Dengan demikian, secara bertahap
agama dan budaya Islam tersebar dari pedagang Arab, Persia, India kepada bangsa Indonesia. Proses
penyebaran Islam memlalui perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif di banding
cara  lainnya. Apalagi yang terlibat dalam perdagangan bukan hanya dari golongan masyarakat
bawah, melainkan juga golongan kelas atas seperti kaum bangsawan atau raja.
2. Perkawinan.

30
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Para pedagang muslim melakukan aktifitas perdagangan dalam waktu yang cukup lama, banyak
dari mereka yang tinggal dalam waktu yang cukup lama dalam suatu daerah. Keadaan inilah yang
mempererat hubungan mereka dengan penduduk pribumi atau dengan kaum bangsawan pribumi.
Hubungan komunikasi yang baik ini tidak jarang diteruskan dengan adanya perkawinan antara putri
kaum pribumi dengan para pedagang muslim. Melalui perkawinan inilah terlahir seorang muslim.
Lambat laun terbentuk masyarakat muslim dengan adat Islam hingga suatu saat terbentuknya sebuah
Kerajaan Islam. Misalnya, perkawinan Raden Rakhmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila,
perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungaten, perkawinan antara Raja Brawijaya
dengan putri Jeumpa yang beragama Islam kemudian berputra Raden Patah yang pada akhirnya
menjadi raja Demak.
3. Politik. 
Seorang raja tentu saja mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar dan memgang peran
yang penting  dalam proses Islamisasi.  Pada saat seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat
juga akan berbondong-bondong mengikuti jejak rajanya memeluk agama Islam. Telah dimaklumi
masyarakat Indonesia memiliki kepatuhan yang tinggi dan seorang raja selalu menjadi panutan
bahkan menjadi contoh bagi rakyatnya. Setelah Raja dan rakyat memeluk agama Islam, maka
kepentingan politik dilakukan dengan cara perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti dengan
penyebaran agama Islam. misalnya, Sultan Demak mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan
Fatahillah untuk menguasai wilayah Jawa Barat dan memerintahkan menyebarkan agama Islam di
sana.
4. Pendidikan.
Seluruh da'i, ulama, guru-guru agama, ataupun para Kyai juga memegang peranan penting dalam
penyebaran agama Islam dan kebudayaan Islam. Mereka menyebarkan Islam melalui jalur
pendidikan, yaitu dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.  Pondok pesantren adalah pusat
tempat pengajaran agama Islam bagi para murid yang di lingkungan pesantren dinamakan
santri.  Mereka kemudian menyebarkan dan mengembangkan agama Islam ke masyarakat, bahkan
setiap santri setelah lulus dari pesantren mereka selalu berusaha untuk dapat membangun pesantren
sendiri dan juga tempat ibadah sehingga tak asing kita banyak menjumpai pondok pesantren di
sekitar kita. Pondok pesantren yang didirikan semuanya bertujuan untuk lebih mempermudah
penyebaran dan pemahaman agama Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rakhmat
di Ampel denta, Surabaya, dan pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri di Giri. Para santri yang
mengikuti pendidikan bukan hanya dari daerah-daerah sekitar pondok pesantren itu saja, melainkan
juga datang dari daerah-daerah yang sangat jauh, seperti dari daerah Kalimantan,Maluku, Makasar,
Sumatra, untuk belajar di pesantren tersebut.
5. Kesenian.
Penyebaran Agama Islam melalui kesenian dapat dilakukan dengan mengadakan pertunjukan
seni gamelan da Wayang . Cara seperti ini banyak ditemui  di Jogjakarta, Solo, Cirebon, dan lain-
lain. Seni gamelan banyak digemari masyarakat Jawa dan ini tentu dapat mengundang masyarakat
berkumpul dan selanjutnya dilaksanakan dakwah Islam. Disamping seni gamelan juga terdapat seni
wayang. Pertunjukan seni wayang sangat digemari oleh masyarakat. Melalui cerita-cerita wayang
para ulama menyisipkan ajaran agama Islam, sehingga masyarakat dengan mudah menangkap dan
memahami ajaran Islam. Contohnya, Sunan Kalijaga memanfaatkan seni wayang untuk proses
Islamisasi Dengan mengadakan pertunjukan wayang dan karcis tanda masuknya cukup dengan

31
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

mengucap kalimat Syahadah. Selain itu, pengaruh Islam juga berkembang melalui seni sastra, seni
rupa atau seni kaligrafi dan seni-seni lainnya.

6. Tasawuf.
Seorang Sufi biasa dikenal dengan hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu menghayati
kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya. Para Sufi biasanya
memiliki keahlian yang membantu masyarakat, diantaranya ahli dalam menyembuhkan penyakit dan
lain-lain. Mereka juga aktif meyiarkan dan mengajarkan ajaran Islam. Penyiaran agama Islam
dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat. Para sufi  pada masa itu antara lain Hamzah Fansuri
di Aceh dan Sunan Panggung Jawa. Dengan melalui cara tersebut akhirnya Agama Islam dapat
diterima dan berkembang pesat sejak sekitar abad ke-13 M. Dan ada hal-hal yang sangat penting
untuk diketahui mengapa agama Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia antara lain :
a. Agama Islam bersifat terbuka, sehingga penyiaran dan pengajaran agama Islam dapat dilakukan
oleh setiap orang Islam.
b. Penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara  damai.
c. Islam tidak mengenal diskriminasi dan tidak membedakan kedudukan seseorang dalam
masyarakat.
d. Perayaan-perayaan  dalam agama Islam dilakukan dengan sederhana.
e. Dalam  Islam dikenal adanya kewajiban mengeluarkan Zakat yang bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan kahidupan masyarakatnya dengan adanya kewajiban zakat bagi yang mampu.

C. Penyebaran Islam melalui kekuasaan


Proses penyiaran agama Islam  di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui
kekuasaan politik, sehingga mendukung meluasnya ajaran Islam. Sebelum Islam dipeluk secara luas,
perkembangan Islam mulanya terjadi di kota-kota pelabuhan. Selanjutnya secara perlahan-lahan tapi
pasti agama Islam mulai dipeluk para penguasa pelabuhan lokal. Islam telah memberikan identitas baru
sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa pusat yang Hindu di pedalaman. Mulai dari kerajaan kecil
berbasis maritim kemudian agama Islam berkembang dan menyebar lebih luas sampai jauh ke
pedalaman.
1. Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kerajaan Islam Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kemunculannya
sebagai kerajaan Islam diperkirakan sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M. sebagai hasil proses
Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para pedagang muslim sejak abad ke-7 M,
dan seterusnya. Raja pertamanya adalah Malik al-Sholeh. Pulau Sumatera adalah daerah Nusantara yang
paling awal melakukan kontak dengan para saudagar muslim. Sebelum sampai di Cina, para pedagang
dari Arab, Persia, dan India singgah di pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai Sumatera. Pada saat
yang sama  kerajaan  Sriwijaya sedang mengalami kemunduran, pusat-pusat pelabuhan dagang terus
bergeser kearah utara.
Keberadaan para saudagar muslim merupakan sumber ekonomi yang sangat meguntungkan.
Keunggulan para pedagang muslim memudahkan mereka memantapkan posisi, sehingga bisa dengan
mudah masuk ke lingkaran istana melalui perkawinan dengan perempuan dari kalangan bangsawan
setempat. Penyebaran Agama Islam di Nusantara pada abad 13 M tidak lagi menjadi monopoli para
saudagar muslim. Peran da'i profesional menjadi lebih menonjol, mereka terdiri dari para sufi dan ulama

32
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

yang menjadi lokomotif utama dakwah Islam. Sasaran dakwahnya lebih diarahkan pada para penguasa
pelabuhan.
Hikayat Raja-raja Pasai juga sebagai  bukti peran da'i yang profesional. Cerita ini menceritakan
penguasa Samudera Pasai bernama Merah Silu yang memeluk agama Islam atas ajakan Syekh Ismail.
Syekh Ismail adalah seorang Da'I dan utusan Syarif Mekah yang datang melalui Malabar. Setelah
memeluk agama Islam, Merah Silu mengganti namanya menjadi Malik al-Saleh. Raja Samudera Pasai
ini memperistri putri kerajaan Perlak yang bernama Ganggang Sari, sehingga adanya perkawinan kedua
kerajaan tersebut menjadi kekuatan besar untuk penyebaran dakwah Islam di Sumatera dan daerah-
daerah sekitarnya. Menurut para sejarawan bahwa Samudera Pasai bukanlah kerajaan Islam pertama di
Nusantara. Karena Sebelumnya, telah berdiri Kerajaan Perlak dan Aru. Letak Kerajaan Samudera Pasai
berada di pesisir timur laut Aceh (sekitar Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang). Ibu
kotanya ada di muara Sungai Pasongon, sungai ini cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai
yang memudahkan kapal-kapal dan perahu-perahu untuk masuk ke pedalaman Sumatra. Terdapat dua
kota besar yang terletak berseberangan di muara Sungai Pasongon, yaitu Samudera dan Pasai. Kota
Samudera letaknya lebih berada di pedalaman, sedangkan kota Pasai letaknya lebih dekat dengan muara
sungai Pasongon.
Menurut catatan Ibnu Batutah pada tahun 1345 menyatakan, ketika Ibnu Batutoh singgah di  Pasai,
raja yang berkuasa bernama Malik al-Zahir. Ibnu Batutah menganggap bahwa raja ini benar-benar
menunjukkan citra sebagai seorang raja muslim. Karena Batas kerajaannya sangat luas, sehingga
membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyusuri pantai wilayah kekuasaannya. Malik al-Zahir
terkenal sebagai seorang raja yang ortodoks, suka mengajak dan mengundang diskusi dengan para ahli
fikih dan ushul, sehingga istananya ramai dikunjungi para cendekiawan dari berbagai negeri. Ia
mengadakan hubungan dengan dunia Islam, diantaranya dengan Persia dan Delhi. Ia juga terkenal
sebagai seorang raja muslim yang tak segan-segan memerangi negeri-negeri penyembah berhala di
sekitar wilayah kekuasaannya. Banyak negeri yang akhirnya takluk di bawah kekuasaan kerajaan
Samudera Pasai.
Kerajaan Samudera Pasai ini berdiri sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 kerajaan Samudera
Pasai ditaklukkan dan dikuasai oleh Bangsa Portugis yang kemudian menguasainya selama tiga tahun.
Setelah itu, sejak tahun 1524 dan seterusnya, Kerajaan Samudera Pasai masuk dibawah kekuasaan
Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Ali
Mughayat Syah pada awal abad ke-16 M. Ia memerintah antara tahun 1507 M hingga 1522 MBerangkat
dari kemajuan Islam di Pasai, kemudian Islam tersebar ke berbagai wilayah sebagian besar Aceh,
Pariaman, Minangkabau, sepanjang pesisir utara dan selatan Pulau Sumatera, Malaka dan pulau-pulau
sekitarnya, termasuk Jawa. Bahkan, orang-orang Islam dari Sumatera yang gemar merantau telah
menyebarkan agama Islam hingga ke Kalimantan dan Sulawesi. Dalam catatan sejarah, pulau Sumatera
merupakan titik tolak penyiaran agama Islam di Nusantara. Dari Sumatera inilah Islam mengembangkan
sayap dakwahnya ke seluruh penjuru Tanah Air, sampai akhirnya Islam menjadi agama yang dianut oleh
mayoritas bangsa Indonesia.

2. Kerajaan Islam Demak


Kerajaan Islam Demak didirikan atas prakarsa para Wali. Di bawah pimpinan Sunan Ampel
Denta, Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan Demak, ia
mendapat gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagana. Raden

33
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh
para wali. Sebelum Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah asal (kekuasaan) Majapahit
yang didirikan raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini semakin lama berkembang menjadi
daerah yang ramai dan pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan para Wali.
Keberadaan makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur adalah sebagai bukti
paling awal adanya  agama Islam di Jawa. Makam tersebut bertanggal  tahun 475 H / 1028 M. Namun,
belum ada bukti bahwa komunitas Islam pada waktu itu sudah terbentuk. Di Trowulan dan Tralaya, di
dekat situs istana Majapahit, terdapat nisan-nisan orang –orang Islam . Nisan itu bertanggal 1290 tahun
Saka (1368-1369 M). Melihat Kutipan ayat- ayat  Al-Qur’an pada nisan-nisan itu menunjukkan
kehadiran Islam pada sekitar tahun itu. Sementara, penggunaaan kalender Saka menandakan bahwa yang
dikubur adalah orang Jawa. Gaya hiasan pada nisan dan lokasinya di dekat istana Majapahit
mengindikasikan  status kebangsawanan yang dimakamkan.
Berita Cina menunjukkan Bukti kedatangan muslim di Jawa yaitu yang tertulis pada laporan
perjalanan seorang muslim Cina bernama Ma Huan. seorang penulis yang mengikuti perjalanan
Laksamana Cheng-Ho.. Bukunya yang berjudul Ying-yai Sheng-lan (“Tinjauan Umum Mengenai Pantai-
pantai Samudera; tersebut tahun 1451 M) mengisahkan perjalanannya pada tahun 1413-1415 menyusuri
daerah pesisir Jawa. Menurutnya, ada tiga macam penduduk Jawa, yaitu muslim dari Barat, orang Cina
(sebagian beragam Islam), dan orang Jawa penyembah berhala. Jadi, sebelum jatuhnya Majapahit, Islam
telah hadir di Jawa. Secara umum diakui bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah da'i pertama di Jawa. Ia
meninggal tahun 1419 dan dimakamkan di Kota Gresik Jawa Timur.
Agama Islam masuk ke tanah Jawa diperkenalkan oleh para saudagar muslim. Hubungan antara
Pasai dan Jawa berkembang semakin intensif. Ke Pasai para saudagar Jawa membawa beras. Dari Pasai,
mereka membawa lada ke Jawa. Di samping itu, kota-kota pelabuhan yang berada di sepanjang pesisir
utara Jawa menjadi tempat persinggahan bagi para saudagar Muslim dalam pelayaran dari Malaka
menuju Maluku. Pada abad ke-15 M, banyak dijumpau para penguasa kota pelabuhan di pesisir utara
Jawa telah memeluk agama Islam. Menurut Tome Pires, pada tahun 1514 M Para penguasa Kota Tuban
dan Gresik adalah pemeluk Islam generasi ketiga. Pada umumnya, kota-kota pelabuhan mempunyai
otonomi dan otoritas yang tinggi terhadap kekuasan pusat di pedalaman. Dan pada akhirnya kota-kota
tersebut mampu melepaskan diri dari kekuasaan Pusat di Majapahit.
Berdirinya kerajaan Demak diakui sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. secara luas diakui
pula bahwa Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M). Mulanya, ia adalah seorang
bawahan Majapahit yang menjabat adipati di Bintoro, Demak. Dengan bantuan daerah-daerah lain yang
sudah lebih dulu menganut Islam, seperti Gresik, Tuban dan Jepara, Raden Fatah secara terang-terangan
memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang kala itu tengah mengalami masa kemunduran. Ia
mendirikan kerajaan Islam yang beribu kota Demak, sehingga lebih dikenal dengan Kerajaan Demak.
Kesuksesan Demak lepas dari kekuasan Majapahit tidak lepas dari konflik internal kekuasaan Majapahit.
Perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg sangat memperlemah kekuatan Majapahit.
Demak mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Demak berhasil
memainkan peran strategis sebagai basis penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-16. Daerah kekuasaan
Demak meliputi pesisir pantai utara Jawa. Pengaruhnya bahkan melampaui beberapa wilayah di luar
Pulau Jawa. Pada tahun 1523-1524 M, Sunan Gunung Jati dengan tentara Demak berangkat menuju
kearah Barat untuk menaklukan Banten. Sunan Gunung Jati adalah bersal dari Pasai yang menyingkir
dari sana setelah Samudera Pasai ditaklukan bangsa Portugis. Sunda Kelapa dapat dikuasai. Namanya
diganti menjadi Jayakarta. Dan pada akhirnya  Sunan Gunung Jati memerintah daeran Banten sebagai
bawahan.
Untuk mengembangkan wilayah kekuasaanya, selain melakukan ekspansi wilayah ke barat,
Demak juga bergerak ke arah timur dan luar Jawa. Tercatat pada tahun 1527 pasukan Kerajaan Demak
34
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

telah berhasil menguasai Tuban. Beberapa daerah menyusul dikuasainya pada tahun-tahun berikutnya:
Wirosari / Purwodadi (1528), Gagelang / Madiun (1529), Medangkungan / Blora (1530), Surabaya
(1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543) dan Manaklukan
Wilayah Kerajaan Kediri, tahun 1544), Sengguruh / Malang (1545). Dalam upayanya menguasai
Kerajaan Hindu Blambangan pada tahun 1546, Sultan Trenggono meninggal dunia di Panarukan .
Pengaruh Kesultanan Demak melebar hingga sirasakan sampai Kesultanan Banjar di Kalimantan.
Sebelumnya, antara Jawa dan Banjar memang telah terjadi hubungan diplomatik yang erat. Banyak
orang Jawa telah tinggal di sana. Pada suatu waktu, terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Banjar.
Pasukan tentara Demak datang untuk menengahi pertengkaran tersebut. Akhirnya, seorang calon
penguasa yang didukung orang Jawa memeluk Islam. Seorang ulama Arab memberinya nama Islam.
Selama Sultan Demak masih hidup, Kerajaan Banjar secara rutin mengirim upeti kepada kerajaan
Demak. Pengaruh Demak atas Kesultanan Banjar ini membuka peluang bagi perluasan syiar Islam di
Kalimantan. Dan dengan dukungan para sultan di Banjar, pada masa-masa berikutnya Kerajaan
Kotawaringin akhirnya menganut Islam (1620), disusul oleh Kesultanan Kutai (1700).
Dalam catatan laporan perjalanan Portugis yang ditulis oleh Loaisa pada tahun 1535, diantara
kerajaan Islam di Nusantara, Kerajaan Demak dianggap paling kuat dan terus-menerus melancarkan
serangan pada kekuasaan Portugis. Serangan Adipati Jepara Pati Unus yang waktu itu sudah menjadi
bagian dari Kerajaan Demak ke markas Portugis di Malaka pada tahun 1512-1513 M menunjukkan
Demak sebagai kekuatan yang disegani dan diperhitungkan, walaupun Serangan ini sendiri mengalami
kegagalan. Dari seluruh pasukan (konon mencapai sekitar seratus kapal dan lima ribu prajurit) gabungan,
hanya sepuluh persen atau sepuluh kapal yang berhasil pulang.
Demikianlah usaha-usaha  tidak kenal lelah yang dilancarkan oleh Kerajaan Islam Demak dalam
penyiaran dan penyebaran Agama Islam di pulau Jawa. Peranan para wali yang dikenal dengan sebutan
Walisongo sangat kentara dalam penyiaran dan penyebaran Islam di Jawa. Pengaruh ajaran para wali di
kalangan masyarakat Jawa sedemikian besar, bahkan menyamai pengaruh raja-raja masa itu.
Begitu  besarnya peranan wali dalam menyiarkan dan menyebarkan Agama Islam di jawa, maka
masyarakat jawa memberinya gelar Sunan [julukan yang dipakai raja].

Setelah Sultan Trenggana meninggal, terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan di kalangan istana
Demak, antara Pangeran Sekar Seda ing Lepen dan Sunan Prawoto (putra Sultan Trenggana). Pangeran
Sekar Seda ing Lepen dengan tipu muslihat dibunuh oleh utusan Sunan Prawoto.
Putra Sekar Seda ing Lepen yang terkenal dengan sebutan Arya Penangsang dari Jipang
menuntut balas kematian ayahnya dengan membunuh Sunan Prawoto. Selain Sunan Prawoto, Arya
Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri (suami Ratu Kali Nyamat, adik Sunan Prawoto). Pangeran
Hadiri dituduh sebagai salah orang yang menghalangi Arya Penangsang untuk menjadi Sultan Demak.
Kemudian Arya Penangsang dibunuh oleh Ki Jaka Tingkir yang dibantu oleh Kyai Gede
Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta Ki Penjawi. Kemudian Jaka Tingkir naik tahta kerajaan dan
penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hadiwijaya serta
memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang.

3. Kerajaan Islam Mataram


Setelah permohonan Senopati Mataram atas penguasa Pajang berupa pasukan kerjaan dikabulkan,
keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya sudah terpenuhi, sebab dalam tradisi Jawa, penyerahan
seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia
digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613 – 1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak bersenjata antara kerajaan Islam Mataram dengan
VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M. ia digantikan oleh puteranya, yaitu Amangkurat I. Pada masanya
35
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para
ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh
Raden Kajoran 1677 M dan 1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah pada akhirnya
menjadi sebab runtuhnya kerajaan Islam Mataram.

D. Ulama’ Awal di Nusantara


1. Hamzah Fansury
Hamzah Fansury lahir di Sumatera Utara, dikenal sebagai tokoh tasawuf dari Aceh. Ia hidup antara
akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 M. Tokoh sufi inidi tanah air terkenal  membawa paham
Wahdatul Wujud, yang diambil dari pemikiran Ibnu Arabi. Keluarganya diketahui telah lama dan turun-
temurun tinggal di kota Fansur (Barus), sebuah kota pantai di Sumatera. Hamzah Fansury banyak
melakukan pengembaraan di berbagai wilayah, sampai akhirnya ia menetapkan pilihan untuk mukim di
Aceh. Dalam pengembaraanya mencari ilmu dia singgah di beberapa kota seperti Kudus, Banten, dan
juga ke beberapa negara seperti Johor (Malaysia), India, Persia, Siam, Mekah, Madinah, dan Irak.
Pengembaraannya itu bertujuan mencapai makrifat kepada Allah swt. Setelah kembali dari
perantuannya, ia tinggal di Barus, kemudian pindah ke Kota Banda Aceh.
Berdasarkan bukti hasil karya yang terlacak, Hamzah Fansury adalah peletak dasar bahasa Melayu
sebagai bahasa keempat di dunia Islam, setelah bahasa Arab, Persi, dan Turki. Para sejarawan
mengasumsikan bahwa ia sudah mulai menulis pada masa Kesultanan Aceh, yaitu pada masa Sultan
Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (1589-1604). Sultan Iskandar Muda memiliki peran yang
besar dalam mempopulerkan hasil karya-karya Hamzah Fansury. Berbagai daerah yang dikirimi kitab
karya Hamzah antara lain Gresik, Kudus, Makassar, Ternate, Malaka, Kedah. Sumatera Barat, dan
Kalimantan Barat, Hampir seluruh hasil karya Hamzah Fansury sebagai sarana mempopulerkan
pemikiran Wahdatul Wujud. Beliau memiliki keteguhan dalam berpikir, sekalipun pemikirannya tentang
Kesatuan Tuhan dan makhluk ini mendapat tantangan keras dari Nuruddin ar-Raniri. Hamzah dianggap
telah menyebarkan ajaran Panteisme. Memang dalam karyanya, Hamzah Fansury sering mengangkat
aspek tasybih(keserupaan / kemiripan) antara Tuhan dengan alam ciptaan-Nya. Sekalipun dalam
karyanya ia tidak lupa menampilkan aspek tanzih (perbedaan) antara Tuhan dan makhluk, Hanya saja
yang banyak ditonjolkan adalah konsep  Wahdatul Wujudnya.

2. Syamsuddin as-Sumatrani
Syekh Syamsuddin bin Abdillah as-Sumatrani, atau sering dipanggil Syamsuddin Pasai adalah
seorang ulama besar dan tokoh tasawuf yang berasal dari Aceh. Syekh Syamsuddin bin Abdillah as-
Sumatrani dikenal sebagai Syekhul Islam di Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607-1636 M).
Syekh Syamsuddin bin Abdillah as-Sumatrani adalah  murid Hamzah Fansury Seperti gurunya, as
Sumatrani juga tokoh penganut paham wahdatul wujud. Walaupun mengikuti aliran yang sama, namun
ada perbedaan kentara antara guru dan murid ini. Hamzah Fansury adalah seorang sufi pencari Tuhan,
yang mencoba melakukan pencarian Tuhan karena didorong oleh batinnya. sedangkan, as-Sumatrani
seorang ahli sufi dan juga filosuf lebih merasakan kebutuhan mengenali hakikat dari segala sesuatu, serta
mengetahui kesatuan yang tersembunyi. As-Sumatrani berpandangan bahwa usaha mengenal Tuhan
harus dibimbing oleh guru yang sempurna karena bila tidak maka akan terjerembab dalam kesesatan.
Sebagai murid yang terpercaya, as-Sumatrani mengikuti paham Wahdatul Wujudnya yang dianut
gurunya, Dan paham yang dianut oleh as-Sumatrani bertentangan dengan  Nuruddin ar-Raniri. Maka
oleh ar-Raniri, Ia  dianggap menebarkan ajaran yang menyesatkan. Akibatnya karya-karyanya yang

36
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

berbahasa Arab dan Melayu banyak yang dibakar dan  dimusnahkan oleh Nuruddin ar-Raniri atas
perintah Sultan Iskandar Sani (1636-1641). Namun ada Beberapa kitab hasil karya as-Sumatrani  yang
tersisa dan berhasil diselamatkan tetapi sudah tidak lengkap lagi. Salah satu karya besarnya yang lolos
dari pembakaran, Miras al-Mu’min (Warisan Orang yang Beriman), merupakan kitab ilmu kalam yang
memuat tanya jawab mengenai kepercayaan Islam. Kitab ini mengupas tentang sifat Allah, sifat para
nabi, wahyu, dan hari kebangkitan. Satu kitabnya berjudul Miras al-Muhaqqiqin (Warisan Orang yang
Yakin) merupakan kitab tasawuf yang mengupas zikir dan makrifat Allah swt

3. Nuruddin ar-Raniri
Nuruddin ar-Raniri memiliki nama lengkap Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin
Muhammad bin Hamid ar-Raniri al-Quraisyi asy-Syafi’i. Ia lahir sekitar pertengahan abad ke-16 di
Ranir (sekarang Rander) di daerah Gujarat, India, dan meninggal pada tanggal 22 Zulhijah 1069 H atau
bertepatan dengan 21 September 1658 M.
Sebagai pendatang, Nuruddin ar-Raniri mulai merantau ke Nusantara, dengan memilih Aceh
sebagai tempat tinggalnya. Sebelumnya mengembara, ia mengajar agama dan diangkat sebagai syekh
Tarekat Rifaiah di India. Ia datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637. Ada asumsi bahwa
kedatangannya ke Aceh karena Aceh pada saat itu telah menggantikan peran Malaka yang dikuasai
Portugis, sebagai pusat perdagangan, politik, dan studi Islam di Kawasan Asia Tenggara.
Nuruddin ar-Raniri terkenal sebagai seorang ulama dan penulis yang sangat produktif. Pada tiap
tulisannya, ar-Raniri pun selalu menyebutkan sumber pengambilannya untuk memperkuat argumen yang
dipaparkannya. Tulisannya meliputi berbagai cabang ilmu agama, seperti sejarah, fikih, hadits, akidah,
mistik, filsafat, danjuga ilmu perbandingan agama. Karyanya dalam bidang fikih yang cukup populer
adalah al-Sirat al-Mustaqim (Jurus Lurus), membahas berbagai masalah ibadah, seperti salat, puasa, dan
zakat. Karya-karya lainnya antara lain Bustan al-Salatin (berisi sejarah), dan Asrar al-Ihsan fi Ma’rifat
al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).
Nuruddin ar-Raniri tertulis dalam sejaran sebagai salah seorang ulama yang mempunyai jasa
besar dalam menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Pada masa itu bahasa Melayu
telah tersebar luas menjadi lingua franca.Nuruddin ar-Raniri mendapat tugas sebagai mufti Kerajaan
Aceh pada masa Sultan Iskandar Sani. Posisi penting ini menjadikannya leluasa untuk menerangkan
tentang kesesatan ajaran Wihdatul Wujud dan menentang serta memberantas ajarantersebut yang telah
dikembangkan oleh tokoh sufi Hamzah Fansury dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Di samping Ar-Raniri memusnakan kitab hasil karya-karaya Hamzah Fansury dan Syamsuddin
as-Sumatrani, ar-Raniri juga menrbitkan karya tulisan dengan tujuan menyanggah pendapat
pahamWujudiyyah yang dianggap sesat tersebut. Karya-karya untuk keperluan tersebut antara lain Asrar
al-‘Arifin (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan), Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Para Kekasih),
dan Al-Muntahi (Pencapai Puncak). Di samping berupa tulisan, Ar-Raniri juga melakukan sanggahan
melalui polemik-polemik terbuka dengan para pengikut Wujudiyyah.

4. Nawawi al-Bantani
Nawawi al-Bantani nama lengkapnya yaitu Nawawi bin Umar bin Arabi. Di lingkungan
keluarganya, ia dikenal dengan sebutan Abu Abdul Mu’ti. Nawawi al-Bantani lahir di Banten pada tahun
1813 M dan meninggal pada tahun 1897 M di Mekah. Makam Nawawi al-Bantani berada di pemakaman
Ma’la, berdekatan dengan makam istri Nabi saw. Khadijah. Bila ditelisik dari silsilah keluarga ayahnya,
Nawawi adalah salah satu keturunan penguasa pertama kerajaan Banten, Sultan Hasanuddin, putra Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ketika usianya beranjak 18 tahun, Nawawi telah hafal (hafidz) Al-
Qur’an. Ia pun menguasai dengan baik hampir seluruh cabang ilmu agama, baik ilmu tauhid, fikih, tafsir,
37
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

akhlak, tarikh maupun bahasa Arab. Dalam bidang ilmu kalam dan fikih, pendapat-pendapatnya lebih
bercorak Ahlussunah wal Jamaah .
Nawawi al-Bantani adalah salah satu ulama' yang terkenal dan menjadi kebanggaan umat Islam
di Asia tenggara, karena dikenal sebagai salah satu ulama besar di kalangan umat Islam internasional. Ia
pernah menjabat sebagai imam besar Masjidil Haram. Beberapa juga mendapat julukan kehormatan dari
Arab Saudi, Mesir, dan Suriah , seperti Sayid Ulama al-Hejaz, Mufti (Ulama yang dipercaya
memberikan Fatwa) dan Faqih (Ulama' ahli Fiqh). Walaupun demikian, Nawawi al-Bantani tetap tampil
dengan sangat sederhana.
Pada umur 15 tahun, Nawawi telah melaksanakan ibadah haji dan tinggal di Makkah lebih dari 3
tahun untuk menimba dan memperdalam ilmu agama dari beberapa orang syekh, baik di Mekah maupun
di Madinah. Seyelah pulang dari Tanah Suci (sekitar tahun 1831 M), Nawawi mengajar di  pesantren
peninggalan orang tua. Namun karena situasi dan kondisi politik pada sat itu yang tidak menguntungkan,
ia memilih kembali lagi ke Mekah dan bermukim  di sana hingga akhir hidupnya.Nawawi belajar kepada
beberapa orang guru, diantara gurunyanya adalah Syekh Muhammad Khatib Sambas (dari Kalimantan),
Syekh Yusuf Sumulaweni ,Syekh Abdul Hamid Dagastani dan Syekh Abdul Gani Bima (dari Nusa
Tenggara).
Karena kecerdasan dan bekal ilmu agama yang ditekuninya selama 30 tahun. Syekh Nawawi
menyampaikan pengajian di Masjidil Haram setiap harinya. Dan pada saat  memberikan pengajiannya
banyak  murid-muridnya yang berasal dari Tanah Air antara lain K.H. Khalil (dari Bangkalan, Madura),
K.H. Asy’ari (Bawean, Madura), dan K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa Timur). Dari Malaysia
tercatat nama K.H. Dawud (Perlak), dan masih banyak lagi murid dari berbagai negara. Strateginya
melawan penjajahan adalah melalui jalur pendidikan. Nawawi al-Bantani tergolong ulama' yang tidak
agresif dan revolusioner, tetapi Ia  tetap anti penjajah. Pada setiap kesempatan Ia selalu  memberikan
penyadaran kepada murid-muridnya dengan jiwa-jiwa keagamaan serta semangat menegakkan
kebenaran di mana saja berada dengan segala tantangan yang dihadapi serta resikonya terutama melawan
ketidakadilan yang dilakukan oleh penjajah barat.
Menurut penelitian para sejarah ditemukan bukti bahwa tulisan Syekh Nawawi al-Bantani banyak
mempunyai kelebihan dan keistemawaan, diantaranya adalah pemakian bahasa yang sederhana sehingga
mudah dan enak dipahami oleh pembaca, hasil karyanya bisa menjelaskan istilah-istilah sulit yang sulit
dipahami oleh kebanyakan pembaca, dan kemampuannya menghidupkan isi tulisan sehingga para
pembaca dapat menjiwai isinya. Di negara-negara Timur Tengah, kitab-kitab karya Syekh Nawawi
sudah tidak asing lagi, karena menjadi bacaan dan bahan materi serta acuan dalam berbagai kelompok
kajian.

5. Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi


Syekh Ahmad Khatib Sambasi nama belakangnya sambasi yang artinya adalah putra dari
Sambas, Kalimantan. Ia adalah seorang ahli tarekat dan mendirikan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
yang banyak kita jumpai dan tersebar di tanah Air. Ahmad Khatib lahir di Kalimantan. Tanggal lahirnya
tidak terlacak secara pasti. Masa hidupnya lebih banyak dihabiskan di Mekah hingga wafatnya pada
tahun 1878 M. Ia mengabdikan hidup dan mendedikasikan ilmu agama yang dikuasainya untuk menjadi
guru hingga wafatnya. Menurut Snouck Hurgronje, meskipun Nawawi al-Bantani tetap menunjukkan
sikap netralnya terhadap gerakan tarekat, namun ia tetap mengakui sebagai pengikut atau murid guru
besar Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi. Hasil karya Syekh Ahmad Khatib Sambasi yang sangat terkenal
dan membawa pengaruh kuat terhadap praktik sufisme di daratan tanah Melayu adalah kitab Fath
al-‘Arifin (Kemengan Orang-orang yang Makrifat). Kitab ini adalah panduan praktis berzikir dan berdoa,
serta pengamalan kata-kata tertentu tanpa putus. Menurut pendapatnya, hal tersebut merupakan bagian
utama dari aktivitas tarekat.
38
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Syekh Ahmad Khatib Sambasi mempunyai pengaruh yang luas. Murid-muridnya berasal dari
berbagai belahan penjuru dunia. Di samping Nawawi al-Bantani, murid lainnya antara lain Haji
Muhammad Syah dan Haji Fadil (dari Malaysia). Pengaruh tarekat yang dikembangkan oleh dua orang
muridnya di Johor Malaysia ini berhasil menghimpun kurang lebih 14.000 pengikut yang loyal sekitar
tahun 1940-an.
         
E. Pengaruh Islam Terhadap Peradaban Nusantara
Indonesia yang memiliki posisi strategis, telah menempatkanya menjadi salah satu pusat
perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara. Lalu lintas perdagangan internasional ini jelas
memberikan kontribusi sosial-ekonomi bagi wilayah Nusantara. Saudagar-saudagar muslim baik dari
Arab, Persia, India, Cina maupun dari berbagai manca negara  membawa pengaruh budaya mereka. Dan
pada akhirnya, kehadiran mereka ikut mempengaruhi pola pikir, sikap, dan budaya masyarakat di Tanah
Air. Perkembangan ekonomi di Nusantara mengalami oerkembangan yang sepat setelah terjalinnya
kontak dagang dengan para saudagar dari berbagai belahan negara di dunia.
Dakwah Islam pada masa awal lebih bertumpu pada usaha para saudagar secara perorangan,
namun ketika mereka telah berhasil masuk ke elite penguasa, dakwah Islam berkembang sangat pesat.
Kemajuan dakwah Islam di Nusantara cukup besar, hal ini disebabkan  para adipati atau raja mereka
masuk Islam. Karenanya, penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang pada masa berikutnya
dilanjutkan oleh para penguasa dan para wali sebagai pemegang kendali pemerintahan. Hal ini turut
memberi sahami yang sangat besar terhadap perkembangan agama Islam dan sekaligus kebudayaan di
tanah Nusantara.
Kedudukan ulama yang ditugasi sebagai penasihat kerajaan atau hakim dalam pemerintahan
semakin membuat  penyebaran agama Islam ke daerah lain. Mereka mencetak kader-kader da'i yang
diberi tugas sebagai mubalig untuk daerah-daerah yang jauh. Para ulama juga giat menulis buku dan
kitab, baik dalam ilmu agama maupun ilmu umum. Selanjutnya, karya-karya tersebut dicetak dan
disebarluaskan kepada masyarakat sehingga bisa menambah khazanah ilmu pengetahuan. Pemikiran dan
gerakan para ulama yang mampu menyadarkan masyarakat akan kondisi keterjajahan dan memberikan
kontribusi yang berarti bagi perjuangan melawan dan mengusir kaum penjajah.
Dalam bidang seni arsitektur, pembangunan masjid diutamakan sebagai rumah ibadah sekaligus
pusat kegiatan umat. Banyak masjid yang didirikan oleh para wali yang mengembangkan gaya arsitektur
yang indah dengan sentuhan etnik dan budaya lokal, contohnya, dalam pembangunan Masjid Agung
Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Menara Kudus, dan Masjid Agung
Baiturrahim Aceh. Keindahan arsitektur maupun ornamennya merupakan khazanah kebudayaan yang
harus dijaga  kelestariannya. Lebih dari itu, sentuhan budaya setempat menjadikan kehadiran masjid
dapat diterima oleh rakyat, tanpa terjadi penolakan atau gejolak sebagai akibat adanya transisi ke agama
baru. Inilah salah satu kecerdikan dan kecerdasan para ulama dalam menyikapi karakter masyarakat
sehingga tidak terjadi gejolak.
Dalam bidang seni dan budaya, para wali, ulama, dan mubalig mampu membangun keharmonisan
antara budaya atau tradisi lama dengan ajaran Islam. Kita mengenal di tanah Jawa wayang yang berdasar
cerita Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sarana dakwah para wali dan mubalig. Wayang
merupakan peninggalan tradisi lama diolah dan duterjemah kembali oleh para wali dengan mengganti
isinya dengan ajaran Islam. Untuk mengiringi pementasan wayang, kita kenal gamelan dan gending. Di
samping seni yang memadukan dua unsur budaya, kita juga mengenal masuknya seni budaya Islam
Timur Tengah ke Tanah Air seperti rebana dan qasidah .
Bidang adat-istiadat yang berkembang di Indonesia banyak terpengaruh oleh peradaban Islam. Di
antaranya adalah ucapan salam kepada setiap kaum muslim yang dijumpai, atau penggunaannya dalam
acara-acara resmi pemerintah. Misalnya presiden kita jika ingin berbicara baik di dalam forum resmi
39
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

atau tidak, selalu menggunakan ucapan salam berupa kalimat “Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh” dan banyak lagi yang lainnya. Hal itu menandai adanya pengaruh adat-istiadat Islam
dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pengaruh lainnya adalah berupa ucapan-ucapan
kalimat penting dan doa, yang merupakan pengaruh dari tradisi Islam yang lestari. Misalnya, ucapan
Basmallah ketika akan melakukan sesuatu pekerjaan.
Demikian pula dalam bidang politik, ketika kerajaan-kerajaan Islam mengalami masa kejayaan,
banyak sekali unsur politik Islam yang berpengaruh dalam sistem politik pemerintahan kerajaan-kerajaan
Islam. Misalnya tentang konsep kholifatullah fil ardlidan dzillullah fi ardli. Kedua konsep ini diterapkan
pada pemerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam dan kerajaan Islam Mataram. Disamping itu pada tata
kota wilayah Nusantara banyak mengadaptasi sistem tatakota Islam yang memadukan antara keraton
sebagai tempat aktifitas pemerintahan, masjid sebagai tempat ibadah, pasar sebagai pusat ekonomi
masyarakat dan alon-alun sebagai tempat berkumpulnya masyarakat.

Bab III

40
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Dakwah Wali Songo

A. Pendahuluan
Ulama yang terkenal dalam menyebarkan agama Islam di daerah Pulau Jawa adalah “wali songo”.
Dalam perjuangan dalam mengembangkan Islam, banyak hikmah yang dapat diambil dan diteladani.
Strategi yang mereka gunakan dapat diterima oleh banyak kalangan, mulai dari kalangan bawah sampai
kalangan atas yaitu bangsawan-bangsawan dan raja-raja. Terobosan dan pembaharuan Islam di jawa telah
banyak dilakukan oleh para wali songo. Hal tersebut menjadikan wali songo sangat dihormati oleh
masyarakat Jawa. Makam-makam wali songo banyak dijadikan tempat ziarah dan dikunjungi oleh
masyarakat Indonesia. Untuk itu, agar dapat mengetahui peran wali songo dalam mengembangakn agama
Islam di Pulau Jawa serta riwayat hidup para wali songo, maka penulis tertarik menulis makalah dengan
judul “Wali Songo dan Penanannya dalam Mengembangakan Islam di Tanah Jawa”.
B. Pengertian Wali Songo
Wali songo secara sederhana artinya sembilan orang wali, sedangkan secara filosofis maksudnya
sembilan orang yang telah mampu mencapai tingkat wali, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu
mengawal babahan hawa songo (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki
peringkat wali. Di dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa walisongo (sembilan wali) adalah sembilan
ulama yang merupakan pelopor dan pejuang pengembangan Islam (islamisasi)
di  Pulau  Jawa pada abad kelima belas (masa  Kesultanan Demak). 
Kata   “wali” (Arab) antara lain berarti pembela, teman dekat dan pemimpin. Dalam pemakaiannya,
wali biasanya  diartikan  sebagai  orang  yang dekat  dengan  Allah  (Waliyullah). 
Sedangkan  kata  “songo”  (Jawa)  berarti sembilan.
Maka walisongo secara  umum  diartikan  sebagai  sembilan  wali  yang dianggap telah
dekat  dengan  Allah  SWT, terus  menerus  beribadah  kepada-Nya, serta  memiliki kekeramatan
dan  kemampuan-kemampuan  lain  di  luar  kebiasaan manusia.
Walisongo tinggal di tiga wilayah penting, pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-
Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat yang
mengakhiri era dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara menjadi era kebudayaan Islam.
Menurut  penemuan  K.H.Bisyri  Musthafa,  sebagaimana  diuraikan  oleh Saifuddin
Zuhri, jumlah para wali itu tidak hanya sembilan, tetapi lebih dari itu. Agaknya sembilan  orang wali  itu
adalah mereka yang memegang  jabatan  dalam pemerintahan sebagai pendamping raja atau sesepuh
kerajaan di samping peranan mereka sebagai  mubalig dan  guru.  
Oleh  karena  mereka  memegang  jabatan pemerintahan, mereka diberi gelar sunan, kependekan dari
susuhunan  atau sinuhun, artinya  orang  yang dijunjung  tinggi. Bahkan  kadang-kadang  disertai dengan
sebutan Kanjeng, kependekan dari kang jumeneng, pangeran atau sebutan lain yang biasa dipakai 
oleh  para  raja atau penguasa pemerintahan di   daerah Jawa.
            Wali songo yang terkenal dalam mengembangkan Islam di Pulau Jawa adalah Sunan Gresik,
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria,
dan Sunan Gunung Jati. Meski demikian, masih ada perbedaan pendapat tentang nama-nama yang masuk
dalam wali songo ini.
C. RIWAYAT SINGKAT WALI SONGO
1. Sunan Gresik
Sunan Gresik nama aslinya adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau masih keturunan Ali Zainal
Abidin al-Husein. Setelah mendedikasikan dirinya di Gresik, Jawa Timur, beliau mendapat gelar Maulana
41
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Maghribi, Syekh Maghribi, dan Sunan Gresik. Beliau datang ke Indonesia pada zaman kerajaan
Majapahit tahun 1379 untuk menyebarkan Islam bersama-sama Raja Cermin.
Maulana  Magribi  datang  ke  Jawa  tahun  1404  M.  Beliau  berasal   dari Samarkandi di Asia Kecil.
Dari Asia Kecil beliau  bermukim dulu di Campa dan kemudian datang  ke  Jawa  Timur.
Kedatangan  beliau  jauh  sesudah  agama  Islam masuk  di   Jawa  Timur.   Hal   ini   dapat 
diketahui  dari  batu nisan  seorang  wanita muslim   bernama   Fatimah   binti   Maimun   yang   
wafat  pada  tahun  476  H.  atau 1087M.
Menurut  literatur  yang  ada,  Malik  Ibrahim  seorang  yang  ahli  pertanian dan ahli pengobatan.
Sejak beliau berada di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik meningkat  tajam.  Dan  orang-
orang  yang  sakit  banyak disembuhkannya  dengan daun-daunan  tertentu.  
Sifatnya  lemah  lembut,  belas  kasih  dan  ramah  kepada semua   orang,   baik   sesama  
muslim  atau  non  muslim  membuatnya  terkenal sebagai   tokoh   masyarakat   yang  disegani  
dan  dihormati.  Kepribadiannya  yang baik   itulah   yang   menarik   hati   penduduk  setempat 
sehingga mereka  berbondongbondong  untuk  masuk  agama  Islam  dengan  suka  rela  dan
menjadi  pengikut beliau yang setia.
Malik  Ibrahim  menetap  di  Gresik  dengan  mendirikan  masjid  dan pesantren untuk  
mengajarkan  agama Islam kepada  masyarakat  sampai  ia  wafat. Maulana Malik Ibrahim wafat pada
hari Senin, 12 Rabiul Awal 822 H/ 1419 M, dan dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik. Pada nisannya
terdapat tulisan Arab yang   menunjukkan  bahwa   dia   adalah   seorang   penyebar  
agama  yang  cakap  dan gigih.

2. Sunan Ampel
Sunan Ampel lahir pada 1401, dengan nama kecil Raden Rahmat. Beliau adalah putra Raja Campa.
Raden Rahmat menikah dengan Nyai Manila, seorang putri Tuban. Beliau mempunyai empat anak :
Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri Nyai Ageng Maloka dan
Dewi Sarah (istri Sunan Kalijaga). Beliau terlibat dalam pembangunan masjid Demak (1479). Sunan
Amel merupakan pelanjut perjuangan Maulana Malik Ibrahim yang sangat handal. Beliau terkenal dengan
mengarang sya’ir dengan menggunakan ide-ide dan budaya lokal. Sunan Ampel wafat pada tahun 1481
M.
Sunan  Ampel  juga  yang  pertama  kali  menciptakan Huruf  Pegon  atau tulisan   Arab  
berbunyi  bahasa  Jawa.  Dengan  huruf  pegon  ini,  beliau  dapat menyampaikan  ajaran-
ajaran Islam  kepada  para  muridnya.  Hingga  sekarang huruf  pegon tetap   dipakai   sebagai  
bahan  pelajaran  agama Islam  di  kalangan pesantren.
Hasil didikan Sunan Ampel yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak melakukan lima hal
tercela, yaitu :
1.  Moh Main atau tidak mau berjudi
2.  Moh Ngombe atau tidak mau minum arah atau bermabuk-mabukan.
3.  Moh Maling atau tidak mau mencuri
4.  Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
5.  Moh Madon atau tidak mau berzina.

3. Sunan Bonang                                                         
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal
sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid. Beliau dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka
42
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang
kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri
dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan.
Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan
napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap
menyembah Allah SWT. dan tidak menyekutukannya.
Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang
mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri
menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana
tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.

4. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Ada suber yang lain yang mengatakan namanya adalah
Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama Dewi Candrawati. Jadi Raden Qasim itu
adalah saudaranya Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Oleh ayahnya yaitu Sunan Ampel, Raden
Qasim diberi tugas untuk berdakwah di daerah sebelah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan
Tuban.
Di desa Jalang itulah Raden Qasim mendirikan pesantren. Dalam waktu yang singkat telah banyak
orang-orang yang berguru kepada beliau. Setahun kemudian di desa Jalag, Raden Qasim mendapat ilham
agar pindah ke daerah sebalah selatan kira-kira sejauh satu kilometer dari desa Jelag itu. Di sana beliau
mendirikan Mushalla atau Surau yang sekaligus dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga tahun
tinggal di daerah itu, beliau mendaat ilham lagi agar pindah tempat ke satu bukit. Dan di tempat baru itu
beliau berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan
untuk mengumpulkan orang, setelah itu lalu diberi ceramah agama. Demikianlah kecerdikan Raden
Qasim dalam mengadakan pendekatan kepada rakyat dengan menggunakan kesenian rakyat sebagai
media dakwahnya. Sampai sekarang seperangkat gamelan itu masih tersimpan dengan baik di museum di
dekat makamnya. Beliau wafat ada petengahan abad ke 16.

5. Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati
Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak
bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari
gudang kadipaten dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu
tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.
Setelah diusir, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid
diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai
seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga.
Sunan kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan wayang,
sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam
seperti. Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita
Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan
Islam. Sunan Kalijaga wafat pada pertengahan abad ke 15.

6. Sunan Giri
43
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak
Samboja.Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa,
Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam
penyerangan  ke Majapahit sebagai penasihat militer.
Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan
kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah bertafakkur di goa sunyi selama 40
hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu
belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai
melalui desa Margonoto. Sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia
mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri. Sunan Giri sangat berjasa dalam
penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui
berdagang atau bersama muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang
bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain. Sunan Giri wafat pada awal abad ke 16.

7. Sunan Kudus
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki keahlian
khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di
antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena
keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Ada cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina, dan
pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu, oleh
pemerintah Palestiana ia diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus
mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat)
permintaan itu dikabulkan.
Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama
Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitanya diganti dengan nama
Kudus, diambil dari nama sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan
pendekatan kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling terkenal
adalah Gending Maskumambang  dan Mijil. Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a) Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan:
1. Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
2. Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam
3. Tut Wuri Handayani
4. Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah.
b) Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi
adalah binatang suci dan keramat.
c) Selamatan Mitoni. Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan solawat Nabi.

Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makan Kanjeng Sunan
Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M.

8. Sunan Muria
Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaan Pulau
Jawa adalah Sunan Muria. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan
dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara Kota Kudus sekarang).

44
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said,
dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai
keruh airnya. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-
satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau
pulalah yang menciptakan tembang sinom dan kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan
nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya. Sunan Muria wafat pada
abad ke 16.

9. Sunan Gunung Jati


Salah seorang dari Walisongo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa,
terutama di daerah Jawa Barat; juga pendiri Kesultanan Cirebon. Nama aslinya Syarif Hidayatullah.
Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja
Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Setelah selesai menuntut ilmu pasa tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan
ilmunya. Disana beliau bersama  ibunya disambut  gembira oleh pangeran Cakra Buana.
Syarifah  Mudain minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka
membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif  gurunya pangeran Cakra Buana.
Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra
Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479
dengan diangkatnya ia sebagai pangeran, dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan
lain.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran,
Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon,
ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan,
Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

D.     PERAN WALI SONGO DALAM MENGEMBANGKAN ISLAM


Peran wali songo untuk menyebarkan agama Islam dalam berbagai bidang di daerah Pulau Jawa
dan Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pendidikan
Peran  walisongo  di  bidang  pendidikan  terlihat  dari  aktivitas  mereka dalam  
mendirikan  pesantren, sebagaimana  yang  dilakukan  oleh  Sunan  Ampel, Sunan Giri, dan Sunan
Bonang.
Sunan  Ampel  mendirikan  pesantren  di  Ampel  Denta  (dekat  Surabaya) yang sekaligus
menjadi pusat penyebaran Islam yang pertama di Pulau Jawa. Muridnya  antara  lain
Raden  Paku  (Sunan  Giri),  Raden Makdum  Ibrahim  (Sunan  Bonang),  Raden Kosim Syarifuddin
(Sunan Drajat), Raden Patah (yang kemudian menjadi sultan
pertama  dari  Kerajaan  Islam  Demak),  Maulana  Ishak,  dan  banyak  lagi.
Sunan  Giri  mendirikan  pesantren  di  daerah  Giri.  Santrinya banyak    berasal   dari   golongan  
masyarakat ekonomi  lemah.  Ia  mengirim  juru dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa
seperti Madura, Bawean, Kangean,  Ternate  dan  Tidore.
Sunan  Bonang  memusatkan  kegiatan  pendidikan dan   dakwahnya   melalui  
pesantren  yang  didirikan  di daerah  Tuban. Sunan Bonang    memberikan   pendidikan  Islam  

45
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

secara  mendalam  kepada  Raden  Fatah, putera raja  Majapahit,  yang kemudian   menjadi   sultan


pertama  Demak.  Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan Suluk Sunan Bonang.

2. Politik
Beberapa wali songo menjadi penasehat kerajaan. Sunan Gunung Jati bahkan menjadi raja. Sunan
Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit. Isterinya berasal dari kalangan istana dan Raden
Patah (putra raja Majapahit) adalah murid beliau.
Dekatnya  Sunan  Ampel  dengan  kalangan  istana  membuat  penyebaran Islam  di daerah
Jawa  tidak  mendapat  hambatan,  bahkan  mendapat  restu  dari  penguasa kerajaan.
Sunan Giri fungsinya sering dihubungkan dengan pemberi restu  dalam penobatan raja. Setiap kali
muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali
yang  lain  selalu  menantikan  keputusan  dan  pertimbangannya. Sunan  Kalijaga juga menjadi penasehat
kesultanan Demak Bintoro.

3. Dakwah
Peran  walisongo  yang  sangat  dominan  adalah  di bidang  dakwah,  baik  dakwah   bil  
lisan  maupun  bil  hal. Sebagai  mubalig, walisongo berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam
menyebarkan agama Islam.   Sunan Muria   dalam  upaya   dakwahnya   selalu   mengunjungi  desa-desa
terpencil. Salah satu  karya yang monumental dari walisongo adalah mendirikan
mesjid  Demak.  Hampir  semua  walisongo  terlibat  di  dalamnya.  Adapun sarana
yang  dipergunakan  dalam  dakwah  berupa  pesantren-pesantren  yang  dipimpin oleh  para  
walisongo  dan  melalui  media  kesenian,  seperti  wayang.  
Mereka memanfaatkan pertunjukan-pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam,
dengan  menyisipkan  nafas  Islam  ke  dalamnya.  Syair  lagi  gamelan  ciptaan  para wali   tersebut
berisi  pesan  tauhid,  sikap  menyembah  Allah  dan  tidak menyekutukan-Nya.

4. Seni Budaya
Sunan  Kalijaga  terkenal  sebagai  seorang  wali  yang  berkecimpung  di bidang  seni.
Sebagai  budayawan dan  seniman,  banyak  karya  Sunan  Kalijaga yang menggambarkan pendiriannya.
Di antaranya adalah gamelan, wayang kulit, dan  baju  takwo. Sunan  Ampel  menciptakan
Huruf  Pegon  atau  tulisan  Arab berbunyi  bahasa Jawa. Hingga sekarang
huruf  pegon  masih  dipakai  sebagai bahan  pelajaran   agama  Islam   di   kalangan  pesantren.   
Sunan  Giri  juga  sangat berjasa  dalam  bidang  kesenian,   karena  beliau  menciptakan  
tembang-tembang dolanan anak-anak yang bernafaskan Islam. Sunan Drajat juga tidak ketinggalan
untuk  menciptakan  tembang Jawa  yang  sampai  saat  ini  masih  digemari banyak masyarakat, yaitu
Gending Pangkung, semacam lagu rakyat di Jawa. Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta gending
pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Dalam menyebarkan
agama Islam, Sunan Bonang selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang
sangat menggemari wayang serta musik gemelan.

46
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

BabIV
Perkembangan Islam di Asia Tenggara

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung Dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Yogyalarta:LESFI, 2002


Hamdan,1985. Kerajaan- Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers.
Hamid, Abd Rahman dan Muhammad SH. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Hasjmy, A. (1995). Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. Ke-5.
Karim, Abdul, M. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta:Pustaka Book Publisher, 2007
Kaswati, Anggar. 1998. Metodologi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta: Beta Offset.
Maryam, Siti. 2004. Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hinggga Modern. Yogyakarta: LESFI.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Purwadi. 2007. Sistem Pemerintahan Kerjaan Jawa Klasik. Yogyakarta: Puja Kesuma.
Reid, Anthony. 2002. Sejarah Modern Awal. Jakarta: Grolier Internasional.
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Kanisius.
Wijdan, Aden Dkk. Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta:Safiria Insania Press, 2007
Yatim, Badri. (2001). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. Ke-12.

47
Taufik Apriadi, S.H.I Sejarah Kebudayaan
Islam. Jilid II

Yunus, Mahmud. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara.

48

Anda mungkin juga menyukai