Anda di halaman 1dari 37

EVIDENCE BASED MIDWIFERY DAN SEJARAH

PERKEMBANGAN PELAYANAN KEBIDANAN

Di Susun Oleh :
Kelompok 1

1. Alviana A1A221235
2. Nurpina A1A221230
3. Lisa A1A221232
4. Olivia Selano A1A221233
5. Sucianti Nur A1A221234
6. Sulfa Salsabilah A1A221231
7. Nurfitri Keliobas A1A221229

PROGRAM STUDI S1 DAN PROFESI KEBIDANAN


UNIVERSITAS MEGA REZKY MAKASSAR
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

atas berkat rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga kami dapat

menyelesaikan tugas makalah Profesionalisme Kebidanan yang

berjudul “ Evidence Based Midwifery dan Sejarah Perkembangan

Pelayanan Kesehatan”.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa dalam

makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan serta

jauh kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu,

dengan senang hati kami senantiasa mengharapkan kritik dan saran

yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini

dikemudian hari.

Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat bermanfaat

bagi kita semua dan semoga jerih payah kita mendapat berkah dari

Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin.

Makassar, Oktober 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …................................................................iii

DAFTAR ISI …................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................

1.1 Latar Belakang …............................................................

1.2 Tujuan …………………………......……………...……....

1.3 Manfaat ……………………….……………….......

BAB II KAJIAN TEORI ........................................................

2.1 Pengertian Evidence Based Midwifery…….......................

2.2 Manfaat Evidence Based Midwifery dalam Praktik Kebidanan

…………………………………..………….....

2.3 Kategori Evidence Based Menurut World Health Organization

(WHO)..........................................................

2.4 Sumber Evidence Based Midwifery

2.5 Evidence Based Midwifery dalam Asuhan Kehamilan …..

2.6

BAB III PENUTUP .......................................................22

A. Kesimpulan ……………………........................22

B. Saran …………......................................25

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal Gerakan praktik berbasis bukti, banyak bidan yang

menanggapi dengan antusias dengan potensi perubahan. Pentingnya

hal ini adalah sumber dari publikasi yang berkualitas yang sebelumnya

tidak tersedia untuk bidan, asuhan efektif terutama di Kehamilan dan

Persalinan (Enkin et al.1989). Praktik berdasarkan bukti terlihat

menawarkan alat yang ampuh untuk mempertanyakan dan meneliti

model kebidanan yang digunakan dalam asuhan yang telah

mendominasi decade sebelumnya .

Hasil pemeriksaan tersebut bisa berarti ‘Mulai menghentikan’

intervensi tidak membantu yang sudah terbiasa pada praktek umum,

bahkan menyarankan bahwa ditawarkan untuk ‘membawa kita keluar

dari zaman kegelapan dan menuju era pencerahan’. Bidan juga

menjadi lebih aktif dalam penelitian – melakukan penelitian yang

memiliki dampak klinis yang jelas (McCandlish et al. 1998).

Namun,beberapa bidan belum begitu antusias,meraka beranggapan

bahwa praktik bedasarkan bukti sebagai ancaman terhadap kebebasan

klinis mereka. Dengan kata lain Evidence Based Midwifery atau yang

lebih dikenal dengan EBM adalah penggunaan mutakhir terbaik yang

ada secara bersungguh sungguh, eksplisit dan bijaksana untuk


pengambilan keputusan dalam penanganan pasien perseorangan

(Sackett et al,1997). Evidenced Based Midwifery (EBM) ini sangat

penting peranannya pada dunia kebidanan karena dengan adanya

EBM maka dapat mencegah tindakan–tindakan yang tidak

diperlukan/tidak bermanfaat bahkan merugikan bagi pasien,terutama

pada proses persalinan yang diharapkan berjalan dengan lancar dan

aman sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu dan angka

kematian bayi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Evidence Based Midwifery?

2. Apa Manfaat Evidence Based Midwifery dalam Praktik

Kebidanan?

3. Bagaimana Kategori Evidence Based Menurut World Health

Organization (WHO)?

4. Apa Sumber Evidence Based?

5. Bagaimana Evidence Base Dalam Asuhan Pada Masa

Kehamilan,Persalinan dan Nifas?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mampu menjelaskan pengertian dari evidence based dalam

pelayanan kebidanan.

2. Mampu menjelaskan sejarah perkembangan pelayanan

kebidanan
BAB II

KAJIAN TEORI

A. EVIDANCE BASED MIDWIFERY

2.1 Pengertian Evidence Based Midwifery

Dalam beberapa tahun terakhir atau tepatnya beberapa bulan

terakhir kita sering mendengar tentang Evidence Based. Evidence

Based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan

pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti.

Bukti ini pun tidak sekedar bukti tapi bukti ilmiah terkini yang

dipertanggung jawabkan.

Suatu istilah yang luas yang digunakan dalam proses pemberian

informasi berdasarkan bukti dari penelitian (Gray,1997). Jadi, Evidence

Based Midwifery adalah pemberian informasi kebidanan berdasarkan

bukti dari penelitian dan pengalaman praktik dari para praktisi dari

seluruh penjuru dunia. Rutinitas yang tidak terbukti manfaatnya kini

tidak dianjurkan lagi.

Hal ini terjadi karena Ilmu Kedokteran berkembang sangat pasti.

Temuan dan hipotesis yang diajukan pada waktu yang lalu secara
cepat digantikan dengan temuan baru yang secara cepat digantikan

dengan temuan baru yang segera menggugurkan teori yang ada

sebelumnya. Sementara hipotesis yang diujikan sebelumnya bisa saja

segera ditinggalkan karena muncul pengujian-pengujian hipotesis baru

yang lebih sempurna. Sebagai contoh, jika sebelumnya diyakini bahwa

episiotomy merupakan salah satu prosedur rutin persalinan khususnya

pada primigravida, saat ini keyakinan itu digugurkan oleh temuan yang

menunjukkan berbagai permasalahan yang kadang justru lebih

merugikan bagi quality of life pasien.Demikian pula halnya dengan

temuan obat baru yang dapat saja segera ditarik dan peredaranhanya

dalam waktu beberapa bulan setelah obat tersebut dipasarkan, karena

di populasi terbukti memberikan efek samping yang berat pada

Sebagian penggunanya.

Bukti ini juga mempunyai tingkat kepercayaan untuk dijadikan

sebagai evidence based. Untuk tingkat paling tinggi adalah hasil

penelitian dengan meta analisis dibawahnya atau level Ib adalah hasil

penelitian dengan randomized control trial,Ila, non randomized control

trial,IIb.adalah hasil penelitian quasi eksperime, lalu hasil studi

observasi (III) dan terakhir expert opinion. Untuk mendapatkan bukti ini

bisa diperoleh dari berbagai macam hasil penelitian yang telah

dipublikasikan oleh berbagai macam media, itulah evidence base.

Melalui paradigma baru ini maka setiap pendekatan medik barulah

dianggap accountable apabila didasarkan pada temuan-temuan terkini

secara medik,ilmiah dan metodologi dapat diterima.

2.2 Manfaat Evidence Based Midwifery dalam Praktik Kebidanan


Praktik berdasarkan penelitian merupakan penggunaan yang

sistematik, ilmiah dan eksplisit dari penelitian terbaik saat ini dalam

pengambilan keputusan tentang asuhan pasien secara individu. Hal ini

menghasilkan asuhan yang efektif dan tidak selalu melakukan

intervensi. Kajian ulang intervensi secara historis memunculkan

asumsi bahwa Sebagian besar komplikasi obstetric yang mengancam

jiwa bisa diprediksi atau dicegah. Intervensi harus dilaksanakan atas

dasar indikasi yang spesifik, bukan sebagai rutinitas sebab test-test

rutin, obat, atau prosedur lain pada kehamilan dapat membahayakan

ibu maupun janin. Bidan yang terambiul harus tahu kapan ia harus

melakukan sesuatu dan intervensi yang dilakukannya haruslah aman

berdasarkan bukti ilmiah.

Asuhan yang dilakukan dituntut tanggap terhadap fakta yang

terjadi, menyusaikan dengan keadaan atau kondisi pasien dengan

mengutamakan keselamatan dan kesehatan pasien dengan mengikuti

prosedur yang sesuai dengan evidence based asuhan kebidanan,

yang tentu saja berdasar kepada hal-hal yang sudah dibahas

sebelumnya, yaitu : standar asuhan kebidanan,standar pelayanan

kebidanan, kewenangan bidan komunitas, fungsi utama bidan bagi

masyarakat. Fungsi utama profesi kebidanan, ruang lingkup asuhan

yang diberikan.

Dengan pelaksnaan praktik asuhan kebidanan yang berdasarkan

evidence based tersebut tentunsaja bermanfaat membantu

mengurangi angka kematian ibu hamil dan resiko-resiko yang dialami


selama persalinan bagi ibu dan bayi serta bermanfaat juga untuk

memperbaiki keadaan Kesehatan masyarakat.

2.3 Kategori Evidence Based Menurut World Health Organization

(WHO)

Menurut WHO, Evidence based terbagi sebagai berikut :

1. Evidence based Medicine adalah pemberian informasi obat-obatan

berdasarkan bukti dari penelitian yang bisa

dipertanggungjawabkan. Temuan obat baru yang dapat saja

segera ditarik dan peredaran hanya dalam waktu beberapa bulan

setelah obat tersebut dipasarkan, karena di populasi terbukti

memberikan efek samping yang berat pada Sebagian

penggunanya.

2. Evidence Based Policy adalah satu system peningkatan mutu

pelayanan Kesehatan dan kedokteran (Clinical Governance); suatu

tantangan profesi Kesehatan dan kedokteran di masa mendatang.

3. Evidence based Midwifery adalah pemberian informasi kebidanan

berdasarkan bukti dari penelitian yang bisa

dipertanggungjawabkan.

4. Evidence Based Report adalah bentuk penulisan laporan kasus

yang baru berkembang, memperlihatkan bagaimana hasil

penelitian dapat diterapkan pada semua tahapan penatalaksanaan

pasien.

2.4 Sumber Evidence Based Midwifery


Sumber EBM dapat diperoleh melalui bukti publikasi jurnal dari

internet maupun berlangganan baik hardcopy seperti majalah,

bulletin, atau CD. Situs internet yang ada dapat di akses, ada yang

harus dibayar namun banyak pula yang public domain. Contoh situs

yang dapat diakses secara gratis (open acess) seperti:

a. Evidence based midwifery di Royal College Midwives Inggris :

http://www.rem.org.uk/ebm/volume-11-2013/volume-11-issue-

1/the-phyical-effect-of-exercise-in.

b. Midwifery Today:

http://www.midwiferytoday.com/articles/midwifestouch

c. International Breastfeeding

Journal:http://www.internationalbreastfeedingjournal.com/content

d. Comfort in Labor:http://Childbrithconnection.org.

e. Journal of Advance Research in Biological Sciences:

http://www.ejmanager.com/mnstemps/86/86.

f. American Journal of Obstetric and Gyenecology : http://

ajcn.nutrition.org/

g. American Journal of Public Health: http://ajcn.nutrition.org/

h. American Journal of Nursing

http://journals.lww.com/ajnonline/pages/default.aspx

i. Journal of Adolescent Health: http://www.jahonline.org/article.

2.5 Evidence Based Midwifery dalam Asuhan Kehamilan

a. Fokus lama ANC :


1. Mengumpulkan data dalam upaya mengindetifikasi ibu yang

berisiko tinggi dan merujuknya untuk mendapatkan asuhan

khusus.

2. Temuan–temuan fisik (TB, BB, ukuran pelvik, edema kaki,

posisi & presentasi janin dibawah usia 36 minggu dsb) yang

memperkirakan kategori risiko ibu.

3. Pengajaran/ pendidikan kesehatan yang ditujukan untuk

mencegah risiko/ komplikasi.

Pendekatan risiko mempunyai prediksi yang buruk karena

kita tidak bisa membedakan ibu yang akan mengalami komplikasi

dan yang tidak. Banyak ibu yang digolongan dalam kelompok risiko

tinggi tidak pernah mengalami komplikasi, penelitian menunjukkan

bahwa pemberian asuhan khusus pada ibu yang tergolong dalam

kategori risiko tinggi terbukti tidak dapat mengurangi komplikasi

yang terjadi. (Enkin, 2017). Sementara, bagi ibu hamil kelompok

risiko rendah:

1. Tidak diberi pengetahuan tentang Resti

2. Tidak dipersiapkan mengatasi kegawatdaruratan obstetric

3. Memberikan keamaan palsu sebab banyak ibu yang tergolong

kelompok risiko rendah mengalami komplikasi tetapi tidak

pernah diberitahuan bagaimana cara mengetahui dan apa yang

dapat dilakukannya.

4. Pelajaran yang dapat diambil dari pendekatan risiko; adalah

bahwa setiap bumil berisiko mengalami komplikasi yang sangat


tidak bisa diprediksi sehingga setiap bumil harus mempunyai

akses asuhan kehamilan dan persalinan yang berkualitas.

Karenanya, focus ANC perlu diperbarui (refocused) agar asuhan

kehamilan lebih efektif dan dapat dijangkau oleh setiap wanita

hamil.

b. Isi refocusing ANC

Penolong yang terampil/ terlatih harus selalu bersedia untuk:

1. Membantu setiap bumil & keluarganya membuat perencanaan

persalinan (petugas kesehatan yang terampil, tempat bersalin,

keuangan, nutrisi yang baik selama hamil, perlengkapan

esensial untuk ibu dan bayi).

2. Membantu setiap bumil & keluarganya mempersiapkan diri

menghadapi komplikasi (deteksi dini, menentukan orang yang

akan membuat keputusan, dana kegawatdaruratan, komunikasi,

transportasi, donor, darah) pada setiap kunjungan.

3. Melakukan skrining/ penapisan kondisi–kondisi yang

memerlukan persalinan RS (riwayat SC, IUFD, dsb). Ibu yang

sudah tahu kalua ia mempunyai kondisi yang memerlukan

kelahiran di RS akan berada di RS saat persalinan, sehingga

kematian karena penundaan keputusan, keputusan yang kurang

tepat, atau hambatan dalam hal jangkauan akan dapat dicegah.

4. Mendeteksi & menangani komplikasi (Preeklamsia, perdarahaan

pervaginan, anemia berat, penyakit menular seksual,

tuberculosis, malaria, dsb).


5. Mendeteksi kehamilan ganda setelah usia kehamilan 28

minggu, dan letak/ presentasi abnormal setelah 36 minggu. Ibu

yang memerlukan kelahiran operatif akan sudah mempunyai

jangkauan pada penolong yang terampil dan fasilitas kesehatan

yang dibutuhkan.

6. Memberikan imunisasi Tetanus, Toxoid untuk mencegah

kematian BBL karena tetanus.

7. Memberikan suplementasi zat besi & asam folat. Umumnya

anemia ringan yang terjadi pada bumil adalah anemia defisiensi

zat besi & asam folat.

8. Untuk populasi tertentu:

a. Profilaksis cacing tambang (penanganan presumtif) untuk

menurunkan insidens anemia berat.

b. Pencegahan/ terapi preventif malaria untuk menurunkan

resiko terkena malaria didaerah endemic.

c. Suplementasi yodium

d. Suplementasi vitamin A

c. Isu – isu Terkini dalam Kehamilan

1. Keterlibatan klien dalam perawatan diri sendiri (Self Care).

2. ANC pada usia kehamilan lebih dini.

3. Praktik yang berdasarkan bukti (Evidence Based Practice).

2.6 Evidence Based Midwifery dalam Asuhan Persalinan

Pada proses persalinan kala II ini ternyata ada beberapa hal yang

dahulunya kita lakukan ternyata setelah di lakukan penelitian ternyata

tidak bermanfaat atau bahkan dapat merugikan pasien.


Adapun hal-hal yang tidak bermanfaat pada kala II persalinan

berdasarkan Evidence Based Midwifery adalah:

a. Asuhan sayang ibu pada persalinan setiap kala

Asuhan sayang ibu adalah asuhan dengan prinsip saling

menghargai budaya,kepercayaan dan keinginan sang ibu. Sehingga

saat penting sekali diperhatikan pada saat seorang ibuakan

bersalin.

Adapun asuhan sayang ibu berdasarkan Evidence based

midwifery yang dapat meningkatkan tingkat kenyamanan seorang

ibu bersalin antara lain:

1. Ibu tetap di perbolehkan makan dan minum karenan

berdasarkan EBM

diperleh kesimpulan bahwa:

a) Pada saat bersalin ibu mebutuhkan energy yang besar, oleh

karena itu jika ibu tidak makan dan minum untuk beberapa

waktu atau ibu

yang mengalami kekurangan gizi dalam proses persalinan

akan cepat mengalami kelelahan fisiologis, dehidrasi dan

ketosis yang dapat menyebabkan gawat janin.

b) Ibu bersalin kecil kemungkinan menjalani anastesi umum,

jadi tidak ada alasan untuk melarang makan dan minum.

c) Efek mengurangi/mencegah makan dan minum

mengakibatkan pembentukkan glukosa intravena yang telah

dibuktikan dapat berakibat negative terhadap janin dan bayi


baru lahir oleh karena itu ibu bersalin tetap boleh makan dan

minum. Ha ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Larence 1982, Tamow-mordi Starw dkk 1981, Ruter Spence

dkk 1980, Lucas 1980.

2. Ibu diperbolehkan untuk memilih siapa pendamping

persalinannya

Asuhan sayang ibu adalah asuhan dengan prinsip saling

menghargai budaya,kepercayaan dan keinginan sang ibu.

Dimana dengan asuhan sayang ibu ini kita dapat membantu ibu

merasakan kenyamanan dan keamanan dalam menghadapi

proses persalinan. Salah satu hal yang dapat membantu proses

kelancaran persalinan adalah hadirnya seorang pendamping

saat proses persalinan ini berlangsung.

b. Pengaturan posisi persalinan pada persalinan kala II

Pada saat proses persalinan akan berlangsung, ibu biasanya di

anjurkan untuk mulai mengatur posisi telentang/litotomi. Tetapi

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ternyata posisi

telentang ini tidak boleh dilakukan lagi secara rutin pada proses

persalinan, hal ini dikarenankan :

1. Bahwa posisi telentang pada proses persalinan dapat

mengakibatkan

berkurangnya aliran darah ibu ke janin.

2. Posisi telentang dapat berbahaya bagi ibu dan janin , selain itu

posisi telentang juga mengalami konntraksi lebih nyeri, lebih

lama, trauma perineum yang lebih besar.


3. Posisi telentang/litotomi juga dapat menyebabkan kesulitan

penurunan bagian bawah janin.

4. Posisi telentang bisa menyebabkan hipotensi karena bobot

uterus dan isinya akan menekan aorta, vena kafa inferior serta

pembluh-pembuluh lain dalam vena tersebut. Hipotensi ini bisa

menyebabkan ibu pingsan dan seterusnya bisa mengarah ke

anoreksia janin.

5. Posisi litotomi bisa menyebabkan kerusakan pada syaraf di kaki

dan di

punggung dan aka nada rasa sakit yang lebih banyak di daerah

punggung pada masa post partum (nifas).

Adapun posisi yang dianjurkan pada proses persalinan antara lain

posisi setengah duduk, berbaring miring, berlutut dan merangkak.

Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bhardwaj,

Kakade alai 1995, Nikodeinn 1995, dan Gardosi 1989. Karena

posisi ini mempunyai kelebihan sebagai berikut :

a) Posisi tegak dilaporkan mengalami lebih sedikit rasa tak nyaman

dan nyeri.

b) Posisi tegak dapat membantu proses persalinan kala II yang

lebih seingkat.

c) Posisi tegak membuat ibu lebih mudah mengeran, peluang lahir

spontan lebih besar, dan robekan perineal dan vagina lebih

sedikit.

d) Pada posisi jongkok berdasarkan bukti radiologis dapat

menyebabkan
terjadinya peregangan bagian bawah simfisis pubis akibat berat

badan sehingga mengakibatkan 28% terjadinya perluasan pintu

panggul.

e) Posisi tegak dalam persalinan memiliki hasil persalinan yang

lebih baik dan bayi baru lahir memiliki nilai apgar yang lebih

baik.

f) Posisi berlutut dapat mengurangi rasa sakit, dan membantu bayi

dalam

g) mengadakan posisi rotasi yang diharapkan (ubun-ubun kecil

depan) dan juga mengurangi keluhan haemoroid.

c. Menahan nafas pada saat mengeran

Pada saat proses persalinan sedang berlangsung bidan sering

sekali menganjurkan pasien untuk menahan nafas pada saat akan

mengeran dengan alasan agar tenaga ibu untuk mengeluarkan bayi

lebih besar sehingga proses pengeluaran bayi pun menjadi lebih

cepat.

d. Tindakan episiotomi

Tindakan episiotomi pada proses persalinan sangat rutin dilakukan

terutama pada primigravida. Padahal berdasarkan penelitian

tindakan rutin ini tidak boleh dilakukan secara rutin pada proses

persalinan karena:

1. Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan karena episiotomy

yang dilakukan terlalu dini, yaitu pada saat kepala janin belum

menekan perineum akan mengakibatkan perdarahan yang

banyak bagi ibu. Ini merupakan “perdarahan yang tidak perlu”.


2. Episiotomi dapat enjadi pemacu terjadinya infeksi pada ibu.

Karena luka episiotomi dapat enjadi pemicu terjadinya infeksi,

apalagi jika status gizi dan kesehatan ibu kurang baik.

3. Episiotomi dapat menyebabkan rasa nyeri yang hebat pada ibu.

4. Episiotomi dapat menyebabkan laserasi vagina yang dapat

meluas menjadi derajat tiga dan empat.

5. Luka episiotomi membutuhkan waktu sembuh yang lebih lama

Karena hal – hal di atas maka tindakan episiotomy tidak

diperbolehkan lagi. Tapi ada juga indikasi yang memperbolehkan

tindakan epsiotomi pada saat persalinan. Antara lain indikasinya

adalah:

1. Bayi berukuran besar

2. Perineum sangat kaku

3. Perineum pendek

4. Persalinan dengan alat bantu atau sungsang.

2.7 Evidence Based Midwifery Dalam Asuhan Masa Nifas (Post Natal

Care)

Asuhan Postnatal Care Postnatal artinya suatu periode yang tidak

kurang dari 10 atau lebih dari 28 hari setelah persalinan. Dimana

selama waktu itu kehadiran yang continue dari bidan kepada ibu

dan bayi sedang diperlukan bertujuan untuk mendeteksi dini

adanya komplikasi dan penyulit pada masa postnatal.

a. Tahapan Masa Nifas

Nifas dapat dibagi ke dalam 3 periode :


1) Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah

diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan

2) Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat

genetalia yang lamanya 6-8 minggu

3) Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk

pulih kembali dan sehat sempurna baik selama hamil

ataupun sempurna berminggu-minggu, berbulan-bulan atau

tahunan.

b. Pengeluaran lochea terdiri dari

1. Lochea rubra : Hari ke 1-2 : Terdiri dari darah yang

bercampur sisa-sisa ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa vernix

kaseosa, lanugo dan mekonium.

2. Lochea sanguinolenta : Hari ke 3-7, terdiri dari : Darah

bercampur lender, warna kecoklatan.

3. Lochea serosa : Hari ke 7—14, berwarna kekuningan

4. Lochea alba : Hari ke 14-selesai nifas, hanya merupakan cairan

putih lochea yang berbau busuk dan terinfeksi disebut lochea

purulenta.

c. Tujuan kunjungan masa nifas

1. Menilai kondisi kesehatan Ibu dan bayi

2. Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-

kemungkinan adanya gangguan kesehatan ibu nifas dan

bayinya

3. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada

masa nifas
4. Menangani komplikasi atau masalah yang timbul dan

mengganggu kesehatan ibu nifas maupun bayinya

d. Kunjungan masa nifas

1. Kunjungan 1 : 6-8 jam setelah persalinan, tujuannya :

a) Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri

b) Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan,

merujuk bila perdarahan berlanjut.

c) Memberian konseling pada Ibu atau salah satu anggota

keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas

karena atonia uteri.

d) Pemberian ASI awal.

e) Melakukan hubungan antara ibu dan bayi.f)Menjaga bayi

tetap sehat dengan cara mencegah hipotermi.

2. Kunjungan II : 6 hari setelah persalinan, tujuannya:

a) Memastikan, fundus di bawah umbilicus, tidak ada

perdarahan abnormal.

b) Menilai adanyatanda-tanda demam infeksi atau perdarahan

abnormal.

c) Memastikan ibu mendapat cukup makanan, minuman dan

istirahat.

d) Memastikan ibu menyusui dengan dan memperhatikan

tanda-tanda penyakit.

e) Memberikan konseling kepada ibu mengenai asuhan

pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan

merawat bayi sehari - hari.


3. Kunjungan III : 2 minggu setelah persalinan, Tujuannya:

sama dengan di atas (6 hari setelah persalinan).

4. Kunjungan IV : 6 minggu setelah persalinan, Tujuannya :

Menanyakan ibu tentang penyakit - penyakit yang di alami,

Memberikan konseling untuk KB secara dini (Mochtar,

1998).

e. Evidence Based Midwifery dalam praktik kebidanan post natal care

1. Tampon vagina

Penggunaan tampon vagina menyerap darah tetapi tidak

menghentikkan perdarahaan, bahkan perdarahaan tetap terjadi

dan dapat menyebabkan infeksi.

2. Gurita atau sejenisnya

Pengunaan gurita selama 2 jam pertama atau selanjutnya akan

menyebabkan kesulitan pemantuan involusio Rahim.

3. Memisahkan ibu dan bayi

Bayi benar-benar siaga selama 2 jam pertama sertelah

kelahiran. Ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan

kontak kulit ke kulit untuk mempererat bounding attachment

serta kkeberhasilan pemberian ASI.

f. Based Practice Berdasarkan Kajian Jurnal

1. Analisis masukkan dan proses asuhan pelayanan nifas oleh

bidan pelaksana

2. Konseling dan pendampingan suami agar menemani ibu saat

memberi ASI pertama kalinya


3. Pemberian komunikasi informasi edukasi untuk persiapan

persalinan dan nifas.

4. Dianjurkannya pijat oksitosin pada ibu nifas primipara

5. Melakukan senam nifas

6. Melakukan tujuh kontak konseling laktasi

B. SEJARAH PERKEMBANGAN PELAYANAN KEBIDANAN

3.1 Perkembangan Pelayanan Bidan Di Indonesia

Seperti pelayanan bidan di belahan dunia ini, pada awalnya

bidan hanya mempersiapkan ibu hamil agar dapat melahirkan secara

alamiah, membantu ibu dalam masa persalinan dan merawat bayi,

namun demikian karena letak geografis Indonesia yang merupakan

negara kepulauan sehingga banyak daerah yang sulit dijangkau oleh

tenaga medis dan banyaknya kasus risiko tinggi yang tidak dapat

ditangani terutama di daerah yang jauh dari pelayanan kesehatan

mendorong pemberian wewenang kepada bidan untuk melaksanakan

tindakan kegawatdaruratan pada kasus-kasus dengan penyulit

terbatas misalnya manual placenta, forsep kepala letak rendah, infus

dan pengobatan sederhana. Kewenangan bidan untuk saat ini diatur

dalam Permenkes No.1464/Menkes/PER/2010,namun sebelumnya

kita lanjutkan dulu mengikuti perkembangan pelayanan bidan.

Pada tahun 1952 diperkenalkan pelayanan kesehatan ibu dan

anak di Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Pada tahun 1960,

Kesehatan Ibu dan Anak menjadi program layanan bidan di seluruh

Puskesmas. Selanjutnya pelayanan Keluarga Berencana

dikembangkan secara Nasional pada tahun 1974 dan bidan diizinkan


memberikan layanan Keluarga Berencana (KB) dengan metode

sederhana, metode hormonal (KB pil, suntik, Implan) dan UD (Intra

Uterine Device). Pada tahun 1990 perkembangan KIA (Kesehatan

Ibu dan Anak) mengarah pada keselamatan keluarga dan pelayanan

bidan berkaitan dengan peningkatan peran wanita dalam

mewujudkan kesehatan .keluarga. Sidang Kabinet tahun 1992

Presiden Suharto mengemukakan perlunya dididik bidan untuk bidan

desa. Adapun tugas pokok bidan desa adalah pelaksana layanan

KIA, khususnya layanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan Bayi

Baru Lahir termasuk pembinaan dukun bayi, KB, pembinaan

Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu, dan mengembangkan pondok

bersalin.

Pada tahun 1994 dengan adanaya ICPD, pelayanan bidan di

Indonesia juga terpengaruh yaitu pelayanan bidan lebih menekankan

pada kesehatan reproduksi dan memperluas area pelayanan bidan

yang meliputi Safemotherhood (program penyelamatan selama masa

reproduksi), Family Planning (Keluarga Berencana), Penyakit

Menular Sexual termasuk infeksi saluran reproduksi, kesehatan

reproduksi remaja dan Kesehatan reproduksi lanjut usia (lansia). Saat

ini dengan adanya Millenium Development Goals (MDG’s) pelayanan

kebidanan lebih difokuskan untuk mencapai MDG’s pada tahun 2015

terutama pencapaian tujuan nomor 4 yaitu penurunan angka

kematian anak dan nomor 7 yaitu peningkatan derajad kesehatan ibu.

Beberapa peraturan – peraturan pemerintah yang mengatur

tentang tugas, fungsi dan wewenang bidan:


1. Permenkes No.5380/IX/1963: wewenang bidan terbatas pada

pertolongan persalinan normal secara mandiri dan didampingi

tugas lain.

2. Permenkes No.363/IX/1980 diubah menjadi Permenkes 623/1989:

Pembagian

wewenang bidan menjadi wewenang umum dan khusus. Dalam

wewenang khusus bidan melaksanakan tugas di bawah

pengawasan dokter.

3. Permenkes No.572/VI/1996: mengatur registrasi dan praktik bidan.

Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang

mandiri yaitu mencakup: KIA, KB dan kesehatan masyarakat.

4. Kepmenkes No.900/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan,

penyempurnaan dari Permenkes 572/VI/1996 sehubungan dengan

berlakunya UU no 32 tahun 1999 tentang otonomi daerah.

5. Permenkes No.1464/Menkes/PER/2010 tentang ijin dan

penyelenggaraan praktik bidan yang merupakan penyempurnaan

dari Permenkes No. HK.02.02/Menkes/149/I/2010.

Pada saat ini pelayanan bidan di Indonesia mengacu pada

Permenkes No.1464/Menkes/PER/2010 Pasal 9 yaitu: Bidan dalam

menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang

meliputi: pelayanan kesehatan ibu, pelayanan Kesehatan anak, dan

pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga

berencana. Dalam melaksanakan tugas, bidan melakukan kolaborasi,

konsultasi, dan rujukan sesuai kondisi pasien.


Tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan

secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon

diterima dari HIS (SD 7 tahun) dengan pendidikan keperawatan 4

tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Dalam

tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi

perawat wanita yang lulus dapat meneruskan ke pendidikan

kebidanan selama 2 tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan

pendidikan keperawatan lanjutan selama 2 tahun juga.

Pada tahun 1935/1938 pemerintah Belanda mulai mendidik

bidan lulusan MULO (SMP bagian B), dan hampir bersamaan

didirikan sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain di RS

Bersalin Budi Kemuliaan, RSB Padang Dua di Jakarta dan RSB

Mardi Waluyo Semarang. Pada tahun yang bersamaan dikeluarkan

sebuah peraturan yang membedakan lulusan bidan dengan latar

belakang pendidikan. Bidan dengan dasar pendidikan MULO dan

kebidanan 3 tahun disebut bidan kelas satu (Vroedvrouw Cerste

Klas) dan Bidan dari lulusan perawat (mantri) disebut bidan kelas dua

(Vroedvrouw Tweede Klas). Perbedaan ini menyangkut ketentuan

gaji pokok dan tunjangan bagi bidan.

Pada tahun 1950 1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP

dengan batar usia minimal 17 tahun dan lama pendidikan 3 tahun.

Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup

banyak, maka dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut

penjenang kesehatan E atau pembantu bidan yang dilanjutkan

sampai dengan tahun 1976 dan setelah itu ditutup.


Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan bersamaan dengan

guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada

awalnya pendidikan ini berlangsung satu tahun, kemudian menjadi

dua tahun dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal

tahun 1972 institusi pendidikan ini dilebur menjadi sekolah guru

perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah

perawat dan sekolah bidan.

Pada tahun 1974 Sekolah bidan ditutup dan dibuka sekolah

perawat kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga multi

purpose di lapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong

persalinan normal.

Pada tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat

kesehatan (SPK) di dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak

termasuk kebidanan, dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan

anak.

Pada tahun 1975 - 1984 tidak ada pendidikan bidan. Kemudian

pada tahun 1985 dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yang

menerima lulusan Sekolah Pengatur Rawat (SPR) dan SPK. Pada

saat itu dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga

berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan

lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.

Pada tahun 1989 dibuka crash programm pendidikan bidan

secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung


masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai

Program Pendidikan Bidan A (PPB/A). Lama pendidikan satu tahun

dan lulusannya ditempatkan di desa-desa.

Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program

B, yang peserta didiknya dari lulusan Akademi Perawat (Akper)

dengan lama pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah untuk

mempersiapkan tenaga pengajar bidan pada Program Pendidikan

Bidan A.

Pada tahun 1996 berdasarkan surat keputusan menteri

kesehatan RI Nomor 4118 tahun 1987 dan surat keputusan menteri

pendidikan dan kebudayaan Nomor 009/U/1996 dibuka program D-III

Kebidanan dengan institusi Akademi Kebidanan (AKBID) di enam

propinsi dengan menerima calon peserta didik dari SMA. Pada tahun

2001 tercatat ada 65 institusi yang menyelenggarakan pendidikan

Diploma III Kebidanan di seluruh Indonesia.

Tahun 2000 dibuka program diploma IV Bidan Pendidik yang

diselenggarakan fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta. Saat ini Program pendidikan D-IV Bidan telah berubah

karena semua Institusi Poltekkes di seluruh Indonesia

menyelenggarakan program D-IV Bidan. Hal ini didukung dengan

adanya Undang Undang Dikti no 12 tahun 2012 disebutkan bahwa

Politeknik boleh menyelenggarakan Profesi, sehingga saat ini ada

beberapa Poltekkes yang sedang persiapan untuk

menyelenggarakan Pendidikan Profesi Bidan dari program D-IV


Bidan. Program Pendidikan S1 Bidan dengan Profesi di beberapa

universitas yaitu Universitas Airlangga (UNAIR) dan Universitas

Brawijaya (UNBRAW) serta Universitas Andalas (UNAND). Bahkan

saat ini Universitas Padjajaran (UNPAD) sudah menyelenggarakan

sampai ke jenjang S2 dan lulusannya diberikan gelar Magister

Kebidanan. Dengan adanya UU Dikti no 12 tahun 2012 Program

pendidikan Vokasi semakin berkembang dengan dibukanya Magister

Terapan yang sejak tahun 2014 sudah diselenggarakan oleh

Poltekkes Semarang bahkan Pendidikan vokasi diberi peluang untuk

berkembang kearah Doktor Terapan.

3.2 Perkembangan Pelayanan Bidan Diluar Negeri

Pada tahun 1994 dengan adanya International Conference

Population and Development (ICPD) di Kairo Mesir terjadi

pengembangan pelayanan bidan yaitu

safemotherhood (program penyelamatan selama masa reproduksi),

Family Planning (Keluarga Berencana), Penyakit Menular Sexual

termasuk infeksi saluran reproduksi, kesehatan reproduksi remaja

dan kesehatan reproduksi lanjut usia (lansia). Saat ini dengan adanya

Millenium Development Goals (MDG’s) pelayanan kebidanan lebih

difokuskan untuk mencapai MDG’s pada tahun 2015. Seperti kita

ketahui bahwa Millenium Development Goals (MDG’s) merupakan

kesepakatan dari mayoritas kepala negara yang ada di dunia ini

untuk mencapai delapan tujuan yaitu: 1. Eradicate extreme poverty

dan hunger, 2. Achieve universal primary education, 3. Promote

gender equality and empower women, 4. Reduce child mortality, 5.


Improve maternal health, 6. Combat HIV/AIDS, malaria and other

diseases, 7. Ensure enviromental sustainability, 8. Develop a global

partnership for development. Khusus untuk pelayanan kebidanan

lebih difokuskan pada tujuan nomor 4 dan 5 yaitu Reduce child

mortality, dan Improve maternal health (penurunan angka kematian

anak dan peningkatan derajad kesehatan ibu).

1. Spanyol

Pada tahun 1752 dibuat persyaratan bahwa bidan harus lulus

ujian, dimana materi ujiannya adalah dari sebuah buku kebidanan

berjudul : ”A short Treatise on the art of midwifery”. Pendidikan

bidan di ibukota Madrid dimulai pada tahun 1789. Bidan

dipersiapkan untuk bekerja secara mandiri di masyarakat,

terutama di kalangan keluarga petani dan buruh tingkat

menengah ke bawah. Pada tahun 1924 sebuah rumah sakit

Santa Christina mulai menerima ibu-ibu yang hendak bersalin.

Untuk itu dibutuhkan tenaga bidan lebih banyak. Pada tahun 1932

pendidikan bidan disini secara resmi menjadi school of midwives.

2. Belanda

Akademi pendidikan bidan yang pertama dibuka pada tahun 1861

di rumah sakit Universitas Amsterdam. Akademi kedua dibuka

pada tahun 1882 di Rotterdam dan yang ketiga pada tahun 1913

di Heerlen. Pada awalnya pendidikan bidan adalah 2 tahun,

kemudian menjadi 3 tahun dan kini 4 tahun (1994).

Pendidikannya adalah direct-entry dengan dasar lulusan SLTA 13

tahun. Tugas pokok bidan di Belanda adalah dalam keadaan


normal saja dan merujuk keadaan yang abnormal ke dokter ahli

kebidanan. Dokter umum disini tidak menangani kasus

kebidanan, sesuai dengan ketentuan dan peraturan

pemerintahnya tahun 1970.

3. Kanada

Di Kanada pendidikan bidan dimulai dari university based direct

entry dan lamanya pendidikan 3 tahun. Mereka yang telah

mempunyai ijazah bidan sebelumnya diberi kesempatan untuk

mengikuti semacam penyesuaian selama 1 tahun, sesudah itu

diadakan registrasi dan mendapat ijin praktek bidan. Beberapa

aspek di dalamnya antara lain : hubungan dengan wanita, asuhan

berkelanjutan, informed choice and consent, praktik bidan yang

memiliki otonomi dan focus pada normalitas kehamilan dan

persalinan.

4. Inggris

Pada tahun 1980, bidan di Inggris mulai berusaha mendapatkan

otonomi yang lebih dan meningkatkan sistem melalui penelitian

tentang altenatif pola perawatan. Dengan perkembangan

persalinan alternatif, bidan mulai mengembangkan praktek secara

mandiri.

5. Amerika

Tahun 1915 dokter Joseph de Lee menyatakan bahwa

kelahiran bayi adalah proses patologis dan bidan tidak

mempunyai peran di dalamnya. Ia memberlakukan prosedur tetap

pertolongan persalinan di AS yaitu memberikan sedatif pada awal


inpartu, membiarkan serviks berdilatasi, memberikan ether pada

kala II, melakukan episiotomi, melahirkan bayi dengan forsep,

ekstraksi plasenta, memberikan uterotonika serta menjahit

episiotomi.

Akibat protap tersebut kematian ibu mencapai angka 600 –

700 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1900-

1930, dan sebanyak 30 – 50 % wanita melahirkan di rumah sakit.

Tahun 1940 dokter Grantly Dick meluncurkan buku tentang

persalinan alamiah. Hal ini membuat para spesialis obstetris

berusaha meningkatkan peran tenaga di luar medis, termasuk

bidan.

Pada era 1980-an ACNM (American college of Nurse –

Midwives) membuat pedoman alternatif lain dalam pelayanan

persalinan dan mengubah pernyataan yang negatif tentang home

birth. Pada tahun 1980 –an, dibuat legalisasi tentang praktik

professional bidan.

6. Australia

Kebidanan dan keperawatan di Australia dimulai dengan

tradisi dan latihan yang dipelopori oleh Florence Nightingale pada

abad ke 19. Pada tahun 1824 kebidanan masih belum dikenal

sebagai bagian dari pendidikan medis di Inggris dan Australia.

Pada tahun 1913 sebanyak 30% persalinan ditolong oleh

bidan. Meskipun ada peningkatan jumlah dokter yang menangani

persalinan antara tahun 1900 sampai 1940 tidak ada penurunan

yang berarti pada angka kematian ibu. Kebidanan di Australia


telah mengalami perkembangan yang pesat sejak 10 tahun

terakhir. Mahasiswa kebidanan harus menjadi perawat dahulu

sebelum mengikuti pendidikan bidan, sebab di Australia

kebidanan masih menjadi subspesialisasi dalam keperawatan

(maternal and child health). Di dalamnya termasuk pendidikan

tentang keluarga berencana, kesehatan wanita, perawatan

ginekologi, perawatan anak, kesehatan anak dan keluarga serta

kesehatan neonatus dan remaja.

7. New Zeland (Selandia Baru)

Selandia baru telah mempunyai peraturan mengenai praktisi

kebidanan sejak tahun 1904, tetapi lebih dari 100 tahun yang lalu,

lingkup praktik bidan telah berubah secara berarti sebagai akibat

dari meningkatnya hospitalisasi dan medikalisasi dalam

persalinan.

Dari tenaga yang bekerja dengan otonomi penuh dalam

persalinan normal diawal tahun 1900 secara perlahan bidan

menjadi asisten dokter.

Pada era tahun 80-an, bidan bekerja sama dengan wanita

untuk menegaskan Kembali otonomi bidan dan bersama – sama

sebagai rekanan.Model kebidanan yang digunakan di Selandia

Baru adalah ‘partnership’ antara bidan dan wanita. Bidan dengan

pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya dan wanita

dengan pengetahuan tentang kebutuhan dirinya dan keluarganya

serta harapan – harapan terhadap kehamilan dan persalinan.

Dasar dari model partnership adalah komunikasi dan negosiasi.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Evidence Based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi

berdasarkan pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus

berdasarkan bukti. Bukti ini pun tidak sekedar bukti tapi bukti ilmiah

terkini yang dipertanggung jawabkan.


Suatu istilah yang luas yang digunakan dalam proses pemberian

informasi berdasarkan bukti dari penelitian (Gray,1997). Jadi, Evidence

Based Midwifery adalah pemberian informasi kebidanan berdasarkan

bukti dari penelitian dan pengalaman praktik dari para praktisi dari

seluruh penjuru dunia. Rutinitas yang tidak terbukti manfaatnya kini

tidak dianjurkan lagi.

Seperti pelayanan bidan di belahan dunia ini, pada awalnya

bidan hanya mempersiapkan ibu hamil agar dapat melahirkan secara

alamiah, membantu ibu dalam masa persalinan dan merawat bayi,

namun demikian karena letak geografis Indonesia yang merupakan

negara kepulauan sehingga banyak daerah yang sulit dijangkau oleh

tenaga medis dan banyaknya kasus risiko tinggi yang tidak dapat

ditangani terutama di daerah yang jauh dari pelayanan kesehatan

mendorong pemberian wewenang kepada bidan untuk melaksanakan

tindakan kegawatdaruratan pada kasus-kasus dengan penyulit

terbatas misalnya manual placenta, forsep kepala letak rendah, infus

dan pengobatan sederhana. Kewenangan bidan untuk saat ini diatur

dalam Permenkes No.1464/Menkes/PER/2010,namun sebelumnya

kita lanjutkan dulu mengikuti perkembangan pelayanan bidan.

B. Saran

Diharapkan akan adanya peningkatan jumlah bidan terlibat dalam

penelitian,akan pengetahuan berdasar bukti mengenai asuhan

kebidanan khususnya dalam memberikan pelayanan kesehatan pada

ibu dan anak dalam upaya penurunan AKI dan AKB.


DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2016, Catatan Perkembangan Dalam Praktek Kebidanan, EGC:

Jakarta.

Jayanti Ira. Dkk. 2019. Evidence Based Dalam Praktik Kebidanan.

Yogyakarta : Deepublish.

Tajmiati Atit,dkk. 2016. Konsep Kebidanan Dan Etikolegal Dalam Praktik

Kebidanan. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.


Yulizawati. 2020. Buku Teks dengan Evidence Based Midwifery

Implementasi Dalam Masa Kehamilan. Sidoarjo : Indomedia

Pustaka.

Yulizawati. Dkk. 2019. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Persalinan

Sidoarjo : Indomedia Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai