Anda di halaman 1dari 26

JOURNAL READING

GONADOTROPIN-RELEASING HORMONE ANTAGONIST


(LINZAGOLIX): A NEW THERAPY FOR UTERINE ADENOMYOSIS

Pembimbing:
dr. Setya Dian Kartika, Sp.OG

Disusun Oleh :
Endah Ramadhatiningsih G4A021010
Moh Azwar Ansori G4A021034

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Journal Reading dengan judul:


“GONADOTROPIN-RELEASING HORMONE ANTAGONIST
(LINZAGOLIX): A NEW THERAPY FOR UTERINE ADENOMYOSIS”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian di


bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Endah Ramadhatiningsih G4A021010
Moh Azwar Ansori G4A021034

Purwokerto, November 2021


Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Setya Dian Kartika, Sp.OG


BAB I
ISI JURNAL

Antagonis Gonadotropin-Releasing Hormone (linzagolix): Terapi Baru untuk


Ademiosis Uterina
Olivier Donnez, dan Jacques Donnez

ABSTRAK
Tujuan: Untuk membandingkan efikasi modulator reseptor progesteron selektif,
ulipristal asetat (UPA), dan antagonis gonadotropin-releasing hormone,
linzagolix, dalam kasus adenomyosis uterina berat.
Desain: Laporan kasus (case report).
Setting: Klinik swasta dan unit penelitian infertilitas.
Pasien: Seorang pasien lahir pada 1981 yang hadir karena perdarahan menstrual
berat, nyeri panggul, dan dismenore karena adenomiosis uterina menyebar luar
yang terkonfirmasi dengan magnetic resonance imaging (MRI).
Intervensi: Pasien mendapatkan terapi pertama berupa 5 mg UPA harian untuk
serangkaian selama 3 bulan. Terapi ini dihentikan karena MRI menunjukkan
perburukan. Setahun kemudian, 200 mg linzagolix dosis sehari sekali peroral
diberikan selama 3 bulan, diikuti oleh rangkaian 3 bulanan 100 mg sehari sekali.
Pengukuran luaran utama: Gejala klinis dan aspek MRI.
Hasil: Selama diterapi dengan UPA, gejala pasien (nyeri panggul, dismenore,
gejala pembesaran) memberat dan MRI menunjukkan penambahan lesi
adenomyotik. Selama rangkaian 12 minggu pemberian 200 mg linzagolix sekali
sehari, pasien tetap amenore dan mengalami perkembangan gejala yang sangat
baik. Dalam MRI, volume uterus menurun dari 875 cm3 ke 290 cm3, dan lesi
adenomiotik telah beregresi. Selama pemberian 100-mg linzagolix (minggu 13–
24), pasien melaporkan perbaikan gejala secara terus menerus.
Kesimpulan: Sejauh yang kami ketahui, ini adalah laporan pertama penggunaan
linzagolix, antagonis gonadotropin-releasing hormone oral baru yang secara
bermakna mengurangi ukuran lesi dan meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan adenomiosis berat, yang sebelumnya nonresponsif terhadap terapi dengan
modulator reseptor progesteron selektif, ulipristal asetat.
A. Pendahuluan
Adenomiosis adalah penyakit uterus benigna yang sering kali
dijumpai, ditandai dengan adanya kelenjar endometrial dan stroma di
dalam myometrium dengan kedalaman >2.5 mm yang dikelilingi oleh otot
polos hiperplastik dan hipertrofik. Mempengaruhi sekitar 20% wanita usia
reproduktif, adenomiosis uterina bertanggung jawab terhadap perdarahan
menstrual berat, infertilitas, dan nyeri panggul. Gejalanya tidak spesifik
dan mungkin tumpang tindih dengan gangguan ginekologis lainnya seperti
endometriosis dan leiomyoma. Terlebih lagi, peningkatan jumlah studi
menunjukan penurunan kecenderungan implantasi embryo, naiknya risiko
keguguran, dan peningkatan risiko ketuban pecah dini serta kelahiran
preterm.
Terlepas dari prevalensi dan berat gejalanya, patogenesis dan kausa
dari adenomyosis belum diketahui. Belum ada satupun teori yang dapat
menjelaskan seluruh fenotip berbeda penyakit ini, namun tiga teori utama
telah diusulkan. Pertama dan yang paling penting melibatkan invaginasi
lapisan basalis endometrium, hiperestrogenisme, hiper-peristalsis, serta
jejas jaringan dan aktivasi perbaikan. Mekanisme jejas dan perbaikan
jaringan diaktivasi sebagai respons terhadap ototraumatisasi jaringan yang
menyebabkan produksi lokal interleukin-1 serta induksi COX-2 yang
menyebabkan produksi prosta-glandin E2. Peningkatan produksi estrogen
menstimulasi hiperperistalsis yang dimediasi oksitosin, mempromo-sikan
siklus ototraumatisasi berulang dalam zona jungsional dan invaginasi
lapisan endometerial basal ke dalam myometrium.
Ketika adenomiosis terjadi, migrasi dan invasi dianggap sebagai
faktor kunci dalam progresi lesi, yang terdikte oleh transisi epitelial-
mesenkimal, yang juga bergantung pada esterogen.
Teori alternatif mengusulkan bahwa lesi adenomiotik mungkin berasal
dari metaplasia remnan Mullerian embrionik pluripoten yang lepas atau
dari diferensiasi sel punca dewasa yang ada di myometrium. Apapun
teorinya, terdapat bukti kuat bahwa estrogen memegang peran penting
dalam perkembangan adenomyosis uterus serta mekanisme resistensi
progesteron terimplikasikan.
Beberapa pengobatan hormon medis dapat digunakan off label untuk
menangani gejala adenomyosis. Menurut Vannuccini dan Petraglia,
penggunaan agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH) untuk tata
kelola nyeri dan perdarahan hanya dapat dipertimbangkan sebagai terapi
jangka pendek karena efek samping hipoesterogenik. Beberapa penulis
telah mengusulkan kombinasi agonis GnRH dengan terapi ablasi
ultrasound terpusat pada wanita dengan adenomyosis. Hanya dua studi
melaporkan bahwa terapi agonis GnRH agonist sebelum fertizilasi in vitro
could menguntungkan terhadap rerata kehamilan pada wanita dengan
dengan adenomyosis yang menjalani transfer embryo beku.
Progestins, dienogest, dan levonorgestrel-releasing intrauterine system
menunjukkan efikasi wajar jika adenomyosis terbatas dan dekat dengan
kavitas uterus. Pada kasus adenomiosis sedang atau berat (full-thickness),
obat tersebut tidak efektif, dan obat baru, seperti modulator reseptor
progesteron selektif (SPRM) dan agonis GnRH antagonist, telah
diusulkan.
Tujuan dari studi ini untuk membandingkan efikasi SPRMs dan
antagonis GnRH antagonist pada pasien dengan adenomyosis uterina berat
yang menggunakan kedua obat dalam kurun waktu berkesudahan namun
tidak berturut-turut.
B. Bahan dan Metode
Pasien, lahir pada 1981, nulipara dan tidak memiliki catatan medis
bermakna. Pada 2017, dia hadir karena perdarahan mens berat, nyeri
panggul, dan dismenorea namun masih ingin hamil. Pada pemeriksaan
klinis, volume uterusnya setara dengan usia gestasi 12 minggu, dan
magnetic resonance imaging (MRI) menunjukan pembesaran uterus
dengan adenomiosis tersebar luas (Gambar. 1A). Perkiraan volume uterus
adalah 505 cm3. Pada Maret 2017, ginekologisnya meresepkan 5 mg
ulipristal acetate (UPA, aSPRM) harian selama 3 bulan. Pada June 2019,
setelah 2 tahun tanpa terapi hormonal, pengobatan dengan antagonis
GnRH oral baru, linzagolix (ObsEva) diusulkan. Menurut protokol uji
klinis (nomor protokol: 16-OBE2109-015, nomor EudraCT: 2017-004042-
14), dosis 200 mg linzagolix sekali sehari yang diberikan secara peroral
dimulai pada hari kedua siklus (July 2019) selama 3 bulan, dilanjutkan
(tanpa jeda pengobatan) oleh 100 mg linzagolix sehari sekali selama 3
bulan. Informed consent diterima dari pasien. Mengetahui dari penelitian
sebelumnya pada wanita dengan nyeri terkait endometriosis bahwa
hiperesterogenisme berat yang diinduksi oleh 200 mg linzagolix dapat
memicu hilangnya kepadatan mineral tulang (BMD) setelah 24 minggu
terapi, maka keputusan untuk mengganti terapi ke dosis 100 mg setelah 3
bulan pertama, diketahui tidak menyebabkan kehilangan BMD secara
signifikan. Pengukuran luaran utama berdasarakan gejala klinis dan citra
MRI.
C. Hasil
Selama pengobatan dengan 5 mg UPA harian selama 3 bulan, gejala
(nyeri panggul, dismenorea, gejala pembesaran) memberat, dan pasien
mengalami perdarahan dan bercak sela (breakthrough). Pada akhir
rangkaian, MRI menunjukkan perburukan lesi adenomiotik (Gambar. 1B),
dan jumlahnya meningkat bermakna. Beragam titik tipikal adenomyosis
dalam myometrium menujukkan ekstensi lesi, ditandai oleh miometrium
heterogen dengan kista miometrium kistik multipel, berkaitan dengan
dilatasi islet endometrium ektopik yang dideskripsikan Bazot dan Daraï.
Hal ini tampak sebagai area berbatas tidak tegas berintensitas sinyal
rendah pada citra T2-weighted, menunjukan hiperplasia otot polos dan
jaringan the endometrial heterotopik sebagaimana dideskripsikan Chapron
et al. MRI menunjukan perburukan aspek pascaterapi UPA,
menggambarkan eksaserbasi gejala, sehingga terapi dihentikan. Pada MRI,
volume diperkirakan sebesar 495 cm3.

Pada 2018, pasien dikonsultasikan salah satu penulis (O.D.) terkait


nyeri panggul, perdarahan berat, dan infertilitas. Pada pemeriksaan klinis,
uterusnya membesar (setara 14–15 minggu gestasi), dan agonis GnRH
kerja panjang GnRH diusulkan. Pasien menolak terapi. Namun, setahun
kemudian, pasien kembali. Pada pemeriksaan klinis, uterusnya setara
dengan 18 minggu gestasi.

Sesuai dengan protokol, dosis 200 mg sekali sehari diberikan peroral


dimulai untuk periode 3 bulan, diikuti oleh rangkaian 3 bulan 100 mg
linzagolix harian.

Pada baseline (hari kedua siklus), kadar hemoglobin (10 g/dL)


mengindikasikan anemia sedang, dan kadar estradiol (E2) pada 45 pg/mL,
menurun hingga <20 pg/mL setelah 4 minggu terapi. MRI pada baseline
(Gambar. 1C) menunjukan uterus sangat besar dengan citra multipel
tipikal adenomyosis berat (29). Volume uterus diperkirakan sekitar 875
cm3. Kualitas hidup sangat terpengaruh menurut kuesioner Endometriosis
Health Profile-30, dengan skor nyeri 97.8 dan skor kesejahteraan
emosional 58.3. Tiga skala lainnya (kontrol dan ketidakberdayaan,
dukungan sosial, dan citra diri) berskor 100.

Selama terapi 12-minggu 200 mg linzagolix sehari sekali, pasien tetap


amenorea dan, pada minggu ke-12, menunjukan perbaikan gejala
bermakna, dengan skor 0 pada Endometriosis Health Profile-30 (lima
skala) dan hemoglobin menunjukan nilai 12.2 g/dL. Pada MRI, volume
uterus amenorea dan memiliki kadar hemoglobin sebesar 13.6 g/dL. Pasien
melaporkan perbaikan gejala secara terus menerus, dengan kualitas hidup
tetap sangat baik, kesejahteraan emosional dengan skor 4.2, serta skala
lainnya dengan skor 0. Ketebalan endometrial dievaluasi dengan
ultrasonografi

vaginal sebesar 3 mm, sedangkan volume uterus terhitung oleh MRI


440 cm3. Lesi adenomiotik secara bermakna tetap lebih kecil
dibandingkan dengan baseline MRI, menunjukan bahwa supresi parsial
prostaglandin E2 masih cukup aktif pada endometrium sembari
meminimalkan menyusut ke 290 cm3 dan lesi adenomiotik telah beregresi
secara bermakna (Gambar. 1D). Evaluasi klinis menunjukan uterus setara
dengan 10 minggu gestasi. Baik evaluasi klinis dan MRI menunjukan
respons yang sangat bermakna terhadap 200 mg linzagolix.

Selama terapi 100-mg linzagolix (minggu ke-13–24), kadar E2


sebesar 38, 26, dan 52 pg/mL pada minggu 16, 20, dan 24, berturut-turut.
Pada minggu ke-24, pasien masih cukup aktif pada endometrium sembari
meminimalkan efek samping, menurut hipotesis ambang batas Barbieri
(32). Pertumbuhan sedikit uterus sejalan dengan sedikit peningkatan kadar
E2 (antara 26 dan 53 pg/mL). Terkait BMD, T-score dan Z-score leher
femur adalah +1.6 dan +0.3, berturut-turut, sedangkan T-score dan Z-score
spina lumbar adalah +0.7 dan +0.5, berturut-turut di baseline. Nilai ini
tidak berubah pada minggu 24. Dalam konteks efek samping, pasien
mengalami hot flushes dan kekeringan vagina selama terapi 200-mg
linzagolix, namun efek samping tersebut menghilang dengan 100 mg
linzagolix.

D. Diskusi
Sebatas pengetahuan kami, ini adalah laporan pertama temuan dari
dua tipe terapi berbeda, SPRMs dan antagonis GnRH oral, untuk
adenomiosis berat. Laporan ini mengilustrasikan kurangnya efikasi
SPRMs dalam pengobatab adenomiosis uterina berat dan difus, serta
ekserserbasi kondisi yang mungkin terjadi, dibandingkan dengan
keefektifan antagonis GnRH. Efikasi antogonisnya jelas terkait dengan
mekanisme patogeniknya. Uji klinis selanjutnya akan memungkinkan kami
untuk menentukan pakah terapi jangka panjang dengan 100 mg linzagolix
masih tetap efektif untuk mencegah rekurensi sembari memitigasi efek
samping.
SPRMs menunjukan efek farmakodinamik langsung pada
endometrium. Perubahan endometrium yang terkait dideskripsikan oleh
Mutter et al. serta Williams et al. dan dianggap sebagai perubahan benigna
dan reversibel.
Pada seluruh uji klinis fase III dengan UPA, perubahan endometrial
nonfisiologis tampaknya terjadi pada sekitar 60% kasus selama terapi.
Reratanya menurun dan kembali ke kadar baseline dalam 3 bulan pasca-
penghentian terapi, menunjukan bahwa perubahan nonfisiologis bersifat
reversibel dan tidak terkait dengan segala eksaserbasi keadaan patologis
endometrial. Ketebalan endometrial >16 mm dijumpai pada lebih dari 11%
kasus setelah 13 minggu terapi. Perubahan endometrial ini juga timbul di
endometrium intramyometrial ektopik. Memang, Conway et al. (41)
melaporkan perburukan beberapa karakteristik ultrasonografi adenomiosis
seiring dengan perburukan gejala pasien adenomiosis yang ditangani
dengan UPA. Pada kasus ini, perubahan endometrium yang diinduksi
SPRM ini juga dikonfirmasi dengan MRI pada endometrium ektopik lesi
adenomiotik.
Mode kerja of antagonis GnRH sepenuhnya berbeda dari SPRMs.
SPRMs memiliki dampak spesifik terhadap fibroid uterus (reduksi ukuran
pada dasarnya oleh apoptosis), endometrium (penghentian perdarahan dan
perubahan endometrial), serta pituitari (menekan puncak luteinizing
hormone sembari menjaga kadar normal follicle-stimulating hormone dan
E2). Antagonis GnRH oral memiliki efek supresif terhadap aksis pituitari–
gonadal, yang bekerja sangat cepat, bergantung dosis, dan dapat kembali
dengan cepat.
Beberapa artikel telah melaporkan bahwa elagolix, antagonis GnRH
oral, efektif memperbaiki dismenorea dan nyeri nonmenstrual pada wanita
dengan nyeri terkait endometriosis dan mengurangi pedarahan mens berat
terkait fibroid. Linzagolix, antagonis GnRH oral baru, juga terbukti efektif
meredakan dismenorea dan nyeri terkait endometriosis pada dosis 75, 100,
dan 200 mg. Tiga molekul—elagolix, relugolix, atau TA-385, dan
linzagolix, atau OBE2109—sedang dievaluasi pada fase II dan fase III uji
klinis untuk terapi fibroid dan endometriosis uterina. Waktu paruh yang
relatif singkat pada beberapa di antaranya (seperti elagolix) membutuhkan
pemberian dua kali sehari.
Linzagolix, diberikan sekali sehari, juga menunjukan kemampuannya
untuk meredakan nyeri terkait endometriosis pada wanita dengan
endometriosis. Penurunan kadar E2 diketahui bergantung dosis dan lebih
besar pada dosis harian 200 mg (<20 pg/mL) dibandingkan 100 mg
linzagolix harian (antara 30 dan 70 pg/mL), sehingga tidak memerlukan
terapi tambahan, sejauh tidak ada penurunan BMD bermakna pasca 24
minggu terapi dengan dosis harian 100 mg linzagolix, dimana hilangnya
BMD ditunjukan pada dosis 200 mg linzagolix harian dalam studi terkini
yang membandingkan 100 mg dengan 200 mg linzagolix pada wanita
dengan nyeri terkait endometriosis. Mengingat hipoestergonisme
terinduksi antagonis GnRH dapat menyebabkan atrofi endometrium, studi
proof-of-concept dibutuhkan untuk mengevaluasi peran linzagolix dalam
adenomiosis, dan lebih spesifik, efeknya terhadap implan intramyometrial
ektopik.
Kasus yang dilaporkan disini menunjukan bahwa SPRM mungkin
memiliki dampak merusak pada adenomiosis berat dengan menginduksi
perubahan endometrial nonfisiologis pada endometrium intramyometrial
ektopik, seperti ditunjukan pada laporan sebelumnya. Di sisi lain,
antagonis GnRH oral mengurangi lesi adenomiotik secara bermakna
dengan menginduksi hipoestrogenisme ekstensif, yang kemudian
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sejalan dengan keterlibatan mekanisme patogenik serta peran kunci
estrogen dalam perkembangan adenomiosis, maka wajar menjumpai
efikasi lebih besar dengan obat yang secara bermakna dapat menurunkan
kadar E2 dan ketebalan endometrium. Antagonis GnRH oral dapat menjadi
alternatif terapi bedah pada kasus adenomiosis berat. Uji klinis sedang
berjalan untuk membuktikan efikasinya dalam konteks penyakit ini..
BAB III
ANALISIS DAN TELAAH JURNAL

A. Analisis Metode V-I-A


1. Validity (Recruitment)
Apakah sampel representatif dan terdefinisi dengan baik? Sampel tidak
representatif :
a. Hanya menggunakan 1 sampel wanita dengan adenomiosis difus
b. Kasus hanya diambil di satu tempat saja
Sampel tidak terdefinisi dengan baik :
a. Sampel tidak dipilih melalui pendekatan sistematik
b. Tidak disebutkan secara jelas definisi sampel yang diinklusi atau
eksklusi
2. Validity (Accountability)
a. Apakah periode follow-up sesuai dengan luaran yang dinilai? Periode
follow up: pasien dilakukan follow up sampai 24 minggu pertama dan
dilanjutkan setahun setelahnya.
b. Apakah tingkat drop out kecil? Tidak ada sampel yang mengalami
drop out
3. Validity (Measurement)
Apakah luaran dinilai secara obyektif? Luaran dinilai secara obyektif
Terdapat kriteria obyektif untuk menentukan perbaikan penyakit yaitu tanda
dan gejala, serta pemeriksaan MRI.
Apakah dilakukan penyesuaian (adjusted) terhadap variabel perancu?
Tidak dilakukan penyesuaian terhadap perancu
4. Importance
a. Studi ini merupakan case report sehingga tidak dilaporkan taraf
signifikansi seperti p-value
b. Tidak dilaporkan parameter perbandingan seperti risk ratio (RR), odds
ratio (OR), hazard ratio (HR), absolute risk reduction (ARR) dll
sehingga hasil penelitian ini kurang penting.
c. Peran hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran deskriptif
singkat saja terkait penggunaan agonis GnRH pada pasien
adenomiosis
5. Applicability
Hasil studi ini belum bisa diterapkan karena hanya dilakukan pada 1
pasien saja, sehingga masih perlu dilakukan uji klinis lanjutan.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai
invasi jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang
menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis
kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh
jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik. 2,3,4 Definisi tersebut
masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi. Adenomiosis adalah
keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di
kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ
seringkali ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi
miometrium basalis minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama
apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak
tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus adenomiotik tidak lebih dari 25%
total ketebalan miometrium.2
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori
berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal,
lapisan dalam dan lapisan permukaan.7
Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis
sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama,
hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada
wanita berusia ≤35 tahun. Kedua, adenomiosis parsial atau difus,
ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan
melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔. Dan ketiga,
adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas
sinyal rendah pada semua sekuens MRI.4
Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan
ketika ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah
endomyometrial junction. Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut
adenomiosis jika jarak antara batas bawah endometrium dengan daerah
miometrium yang terkena + 2,5 mm. Adenomiosis sub-basalis diartikan
sebagai invasi minimal kelenjar endometrium < 2 mm di bawah stratum
basalis endometrium.
Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih
dari sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan
Ferenczy tetap mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis
adenomiosis jika jarak antara endomyometrial junction dengan fokal
adenomiosis terdekat > 25% total ketebalan miometrium.
Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan
kedalaman penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:

Derajat 1, mengenai 1/3 miometrium (Adenomiosis superfisial)

Derajat 2, mengenai 2/3 miometrium

Derajat 3, mengenai seluruh miometrium (Deep adenomyosis)


Selanjutnya adenomiosis juga dibagi berdasarkan jumlah pulau-
pulau endometrium pada pemeriksaan histologi menjadi ringan (1-3),
sedang (4-9) & berat (>10).
B. Epidemiologi
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada
literatur lain dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel
dan kriteria diagnostik yang dipakai .2,8,9,10 Diagnosis preoperatif sendiri
masih kurang dari 10% .8 Studi di Nepal oleh Shrestha et al. (2012)
melaporkan insidens 23,4% pada 256 spesimen histerektomi.5 Jauh
sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997) melaporkan
insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang menjalani
histerektomi atas berbagai indikasi.10 Meskipun insidensnya lumayan
tinggi, tetapi studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat
jarang.4,10
Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan
teknologi memungkinkan diagnosis adenomiosis preoperatif sehingga
eksplorasi hubungannya dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et
al. melaporkan insidens 54% hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan
keluhan menoragi dan dismenore. Bukti lain melaporkan kehamilan pada
wanita infertil setelah diterapi adenomiosis dengan agen GnRH agonis.
Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010) melibatkan 152 pasien in
vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus yang
diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan bahwa
peningkatan ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan kegagalan
implantasi pada IVF. Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien
dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada subjek lain.4
C. Faktor Risiko
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis
antara lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia
endometrium, riwayat abortus spontan, dan polimenore.10 Sedangkan usia
menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus provokatus,
riwayat seksio sesarea, endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus
dan lama haid, penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak
berkaitan dengan adenomiosis.2,10
Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk
adenomiosis. Secara khusus, hampir 90 persen kasus pada perempuan
parous dan hampir 80 persen berkembang pada wanita di usia empat
puluhan dan lima puluhan (Lee, 1984).1
D. Histologi
Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga
archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan
lain, berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan
kelenjar endometrium berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-
weighted menunjukkan tiga lapisan berbeda pada uterus wanita usia
produktif : (1) lapisan dalam, mukosa endometrium, intensitas tinggi (2)
lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa.
Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut
bersifat hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan
secara siklis menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu
timbulnya peristaltik uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca
menopause tampak kabur pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau
pemberian analog GnRH.4
E. Patofisiologi
1) Anatomi
Pada pemeriksaan kotor, biasanya terdapat pembesaran uterus
secara menyeluruh, tetapi pembesarannya jarang melebihi kehamilan
12 minggu. Kontur permukaan halus dan teratur, tekstur rahim
melunak, dan kemerahan warna miometrium seperti pada umumnya.
Pada potongan, permukaan rahim biasanya memperlihatkan gambaran
spons dengan perdarahan fokal.1

Gambar 2.1 Adenomyosis. A. Gross bivalved uterine specimen.


Note the spongy texture of this uterus with adenomyosis. Gambar 2.2 B.
Microscopically benign endometrial glands (arrows) and stroma infiltrate
deeply into the myometrium. (Courtesy of Dr. Raheela Ashfaq.)

2) Patologi Anatomi
Teori yang paling banyak dipakai mengenai perkembangan
adenomiosis menggambarkan invaginasi ke bawah lapisan basalis
endometrium dalam ke miometrium.
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam
miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara
fisiologis berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis.
Hal ini memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi
blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi
setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode
regenerasi kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan langsung
dengan sel-sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium.4
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan
invaginasi dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium
sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum basalis
endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-
uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang
secara embriologis dari sisa duktus Muller.4
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium
pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti
aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis
DNA & siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di
lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst,
sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi
endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi.
Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang
membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran
sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel
kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun
dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial
invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan
basalis endometrium ke dalam miometrium.4,9
Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia
insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis
lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada
endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat
mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum
terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium
berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan
membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan
ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii
dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang
ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada
koriokarsinoma.4

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan


hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi
reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain
menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi
dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak
imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor
estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun
adenomiosis.4

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan


endometrium yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih
belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses
invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada
wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan
dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal
ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan
pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang
dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.4

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma


endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat
reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi
konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen,
Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber
estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim
Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol
yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen
dalam sirkulasi, akan menstimulasi pertumbuhan jaringan yang
menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase
(P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada
jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara imunologis
dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.4

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium


pada manusia masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti
aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis
DNA & ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di
lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst,
sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi
endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi.
Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang
membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran
sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel
kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun
dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial
invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan
basalis endometrium ke dalam miometrium.

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia


insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis
lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada
endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat
mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum
terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium
berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan
membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan
ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada Carsinoma endometrii
dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang
ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada
Choriocarsinoma.

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan


hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi
reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain
menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi
dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak
imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor
estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun
adenomiosis.

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan


endometrium yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih
belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses
invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada
wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan
dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal
ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan
pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang
dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea.

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma


endometrii, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya
terdapat reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang
mengkatalisasi konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama
androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi
Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang
dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya
terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi
lagi menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen.
Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.
Di dalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase &
sulfatase. Produksi estrogen lokal meningkatkan konsentrasi estrogen yang
bersama-sama dengan estrogen dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan
jaringan yang termediasi oleh reseptor estrogen.

mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan


komponen utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis.
Protein P450arom terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar
jaringan adenomiosis.

F. Diagnosis
Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan histologis spesimen
bedah, meskipun salah satu bentuk dapat diduga secara klinis. Dengan
demikian, dilaporkan insiden di spesimen histerektomi bervariasi
tergantung pada kriteria histologis serta tingkat sectioning, tetapi berkisar
antara 20 sampai 60 persen (Bird, 1972; Parazzini, 1997).1
Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara
dengan pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan
12 minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya,
diagnosis klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau
overdiagnosis. Sehingga adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan
MRI.4
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak
akurat. Hal ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana
gejala tersebut juga ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus
disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis
hanya dapat ditegakkan secara histologis setelah dilakukan histerektomi.
Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa
ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.4
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien
yang dicurigai adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan
diagnosis dan diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang
mirip seperti leiomioma. Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan
dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat digunakan untuk
monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai
adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG
transvaginal dan MRI.4
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit
dengan kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam
miometrium. HSG memiliki sensitivitas yang rendah.4
Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang
membesar berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah
kistik di miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot
dkk pada 2001 melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki
spesifisitas 95%, sensitivitas 32,5% dan akurasi 74,1% untuk
mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas
diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang
terdapat fibroid.4
Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG
transvaginal yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik.
Kriteria diagnostik dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu
tekstur miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang
abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium dan kista
miometrium. Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5%
dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis
adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif & spesifik untuk
adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan modalitas
pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal
ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat
melihat anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai
perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling
spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan
intensitas yang tinggi dan penebalan junctional zone >12 mm.4
Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI
dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-
studi terdahulu menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI
dibandingkan USG transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir
dikatakan tidak ada perbedaan tingkat akurasinya.4
G. Gambaran Klinis
Sekitar sepertiga dari wanita dengan adenomiosis memiliki gejala.
keparahan mereka berkorelasi dengan meningkatnya jumlah fokus ektopik
dan luasnya invasi (Levgur, 2000; Nishida, 1991; Sammour, 2002).
Biasanya terdapat gejala Menorrhagia dan dismenore. Menorrhagia
mungkin akibat dari peningkatan dan vaskularisasi abnormal dari lapisan
endometrium. Dismenore diduga disebabkan oleh peningkatan produksi
prostaglandin ditemukan dalam jaringan adenomyotic dibandingkan
dengan miometrium normal (Koike, 1992). Mungkin 10 persen
mengeluhkan dispareunia. Karena adenomiosis biasanya berkembang pada
wanita parous tua di 40-an dan 50-an, infertilitas bukanlah keluhan umum
(Nikkanen, 1980).1

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga


menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam
sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis
yang dibuat dari spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki
gejala yang khas. Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia,
dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini juga umum terjadi
pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu
dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.
H. Diagnosis Banding
Gejala mungkin seperti pada penderita leiomioma, kanker
endometrium, endometriosis, dan penyakit radang panggul kronis. Kanker
endometrium, hipertrofi miometrium, atau kontraksi uterus mungkin
tampak seperti ademiosis difus pada pencitraan sonografi. Adenomiosis
fokal dapat memberikan karakteristik sonografi leiomyomas.
I. Penatalaksanaan
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi
reproduksi selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh
adenomiosis dapat diatasi dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu
dilakukan intervensi noninvasif terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral dan progestin telah
menunjukkan manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis pada
prinsipnya sesuai dengan protokol penanganan endometriosis.8,12
a. Terapi Hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya
manfaat terapi hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis.
Pemberian obat hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan
hilang setelah pemberian obat dihentikan. Obat hormonal yang paling
klasik adalah gonadotrophin releasing hormone agonist (GnRHa), yang
dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja GnRHa
adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan
adenomiosis dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.4
b. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk
adenomiosis. Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8
cm, gejala yang progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan
infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun telah mendapat terapi hormonal
konvensional. Suatu teknik operasi baru telah dipublikasikan oleh Osada
pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang baru ini, jaringan
adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus direkonstruksi
dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur uterus
apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26 pasien yang
mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil dan 14 dapat
mempertahankan kehamilannya hingga aterm dengan bayi sehat tanpa
penyulit selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum diterima secara
luas karena masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best


Pract ResClin Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar
2.
2. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and
Uncommon Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance
Imaging, J Ultrasound Med 2006; 25:617–627.
3. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic
Diagnosis & Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill
Companies, Inc.
4. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th
Ed. 2007. London : Blackwell Science, Ltd.
5. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction
Update 1998; 4: 312-322.
6. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and
Gynecology 10th Ed. 2001. New York : The McGraw-Hill Companies,
Inc.
7. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21st
2012). www.medscape.com.
8. Schorge JO et al, Williams Gynecology, 1st ed. New York, Mc Graw
Hill, 2008.

Anda mungkin juga menyukai