Pembimbing:
dr. Setya Dian Kartika, Sp.OG
Disusun Oleh :
Endah Ramadhatiningsih G4A021010
Moh Azwar Ansori G4A021034
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Endah Ramadhatiningsih G4A021010
Moh Azwar Ansori G4A021034
ABSTRAK
Tujuan: Untuk membandingkan efikasi modulator reseptor progesteron selektif,
ulipristal asetat (UPA), dan antagonis gonadotropin-releasing hormone,
linzagolix, dalam kasus adenomyosis uterina berat.
Desain: Laporan kasus (case report).
Setting: Klinik swasta dan unit penelitian infertilitas.
Pasien: Seorang pasien lahir pada 1981 yang hadir karena perdarahan menstrual
berat, nyeri panggul, dan dismenore karena adenomiosis uterina menyebar luar
yang terkonfirmasi dengan magnetic resonance imaging (MRI).
Intervensi: Pasien mendapatkan terapi pertama berupa 5 mg UPA harian untuk
serangkaian selama 3 bulan. Terapi ini dihentikan karena MRI menunjukkan
perburukan. Setahun kemudian, 200 mg linzagolix dosis sehari sekali peroral
diberikan selama 3 bulan, diikuti oleh rangkaian 3 bulanan 100 mg sehari sekali.
Pengukuran luaran utama: Gejala klinis dan aspek MRI.
Hasil: Selama diterapi dengan UPA, gejala pasien (nyeri panggul, dismenore,
gejala pembesaran) memberat dan MRI menunjukkan penambahan lesi
adenomyotik. Selama rangkaian 12 minggu pemberian 200 mg linzagolix sekali
sehari, pasien tetap amenore dan mengalami perkembangan gejala yang sangat
baik. Dalam MRI, volume uterus menurun dari 875 cm3 ke 290 cm3, dan lesi
adenomiotik telah beregresi. Selama pemberian 100-mg linzagolix (minggu 13–
24), pasien melaporkan perbaikan gejala secara terus menerus.
Kesimpulan: Sejauh yang kami ketahui, ini adalah laporan pertama penggunaan
linzagolix, antagonis gonadotropin-releasing hormone oral baru yang secara
bermakna mengurangi ukuran lesi dan meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan adenomiosis berat, yang sebelumnya nonresponsif terhadap terapi dengan
modulator reseptor progesteron selektif, ulipristal asetat.
A. Pendahuluan
Adenomiosis adalah penyakit uterus benigna yang sering kali
dijumpai, ditandai dengan adanya kelenjar endometrial dan stroma di
dalam myometrium dengan kedalaman >2.5 mm yang dikelilingi oleh otot
polos hiperplastik dan hipertrofik. Mempengaruhi sekitar 20% wanita usia
reproduktif, adenomiosis uterina bertanggung jawab terhadap perdarahan
menstrual berat, infertilitas, dan nyeri panggul. Gejalanya tidak spesifik
dan mungkin tumpang tindih dengan gangguan ginekologis lainnya seperti
endometriosis dan leiomyoma. Terlebih lagi, peningkatan jumlah studi
menunjukan penurunan kecenderungan implantasi embryo, naiknya risiko
keguguran, dan peningkatan risiko ketuban pecah dini serta kelahiran
preterm.
Terlepas dari prevalensi dan berat gejalanya, patogenesis dan kausa
dari adenomyosis belum diketahui. Belum ada satupun teori yang dapat
menjelaskan seluruh fenotip berbeda penyakit ini, namun tiga teori utama
telah diusulkan. Pertama dan yang paling penting melibatkan invaginasi
lapisan basalis endometrium, hiperestrogenisme, hiper-peristalsis, serta
jejas jaringan dan aktivasi perbaikan. Mekanisme jejas dan perbaikan
jaringan diaktivasi sebagai respons terhadap ototraumatisasi jaringan yang
menyebabkan produksi lokal interleukin-1 serta induksi COX-2 yang
menyebabkan produksi prosta-glandin E2. Peningkatan produksi estrogen
menstimulasi hiperperistalsis yang dimediasi oksitosin, mempromo-sikan
siklus ototraumatisasi berulang dalam zona jungsional dan invaginasi
lapisan endometerial basal ke dalam myometrium.
Ketika adenomiosis terjadi, migrasi dan invasi dianggap sebagai
faktor kunci dalam progresi lesi, yang terdikte oleh transisi epitelial-
mesenkimal, yang juga bergantung pada esterogen.
Teori alternatif mengusulkan bahwa lesi adenomiotik mungkin berasal
dari metaplasia remnan Mullerian embrionik pluripoten yang lepas atau
dari diferensiasi sel punca dewasa yang ada di myometrium. Apapun
teorinya, terdapat bukti kuat bahwa estrogen memegang peran penting
dalam perkembangan adenomyosis uterus serta mekanisme resistensi
progesteron terimplikasikan.
Beberapa pengobatan hormon medis dapat digunakan off label untuk
menangani gejala adenomyosis. Menurut Vannuccini dan Petraglia,
penggunaan agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH) untuk tata
kelola nyeri dan perdarahan hanya dapat dipertimbangkan sebagai terapi
jangka pendek karena efek samping hipoesterogenik. Beberapa penulis
telah mengusulkan kombinasi agonis GnRH dengan terapi ablasi
ultrasound terpusat pada wanita dengan adenomyosis. Hanya dua studi
melaporkan bahwa terapi agonis GnRH agonist sebelum fertizilasi in vitro
could menguntungkan terhadap rerata kehamilan pada wanita dengan
dengan adenomyosis yang menjalani transfer embryo beku.
Progestins, dienogest, dan levonorgestrel-releasing intrauterine system
menunjukkan efikasi wajar jika adenomyosis terbatas dan dekat dengan
kavitas uterus. Pada kasus adenomiosis sedang atau berat (full-thickness),
obat tersebut tidak efektif, dan obat baru, seperti modulator reseptor
progesteron selektif (SPRM) dan agonis GnRH antagonist, telah
diusulkan.
Tujuan dari studi ini untuk membandingkan efikasi SPRMs dan
antagonis GnRH antagonist pada pasien dengan adenomyosis uterina berat
yang menggunakan kedua obat dalam kurun waktu berkesudahan namun
tidak berturut-turut.
B. Bahan dan Metode
Pasien, lahir pada 1981, nulipara dan tidak memiliki catatan medis
bermakna. Pada 2017, dia hadir karena perdarahan mens berat, nyeri
panggul, dan dismenorea namun masih ingin hamil. Pada pemeriksaan
klinis, volume uterusnya setara dengan usia gestasi 12 minggu, dan
magnetic resonance imaging (MRI) menunjukan pembesaran uterus
dengan adenomiosis tersebar luas (Gambar. 1A). Perkiraan volume uterus
adalah 505 cm3. Pada Maret 2017, ginekologisnya meresepkan 5 mg
ulipristal acetate (UPA, aSPRM) harian selama 3 bulan. Pada June 2019,
setelah 2 tahun tanpa terapi hormonal, pengobatan dengan antagonis
GnRH oral baru, linzagolix (ObsEva) diusulkan. Menurut protokol uji
klinis (nomor protokol: 16-OBE2109-015, nomor EudraCT: 2017-004042-
14), dosis 200 mg linzagolix sekali sehari yang diberikan secara peroral
dimulai pada hari kedua siklus (July 2019) selama 3 bulan, dilanjutkan
(tanpa jeda pengobatan) oleh 100 mg linzagolix sehari sekali selama 3
bulan. Informed consent diterima dari pasien. Mengetahui dari penelitian
sebelumnya pada wanita dengan nyeri terkait endometriosis bahwa
hiperesterogenisme berat yang diinduksi oleh 200 mg linzagolix dapat
memicu hilangnya kepadatan mineral tulang (BMD) setelah 24 minggu
terapi, maka keputusan untuk mengganti terapi ke dosis 100 mg setelah 3
bulan pertama, diketahui tidak menyebabkan kehilangan BMD secara
signifikan. Pengukuran luaran utama berdasarakan gejala klinis dan citra
MRI.
C. Hasil
Selama pengobatan dengan 5 mg UPA harian selama 3 bulan, gejala
(nyeri panggul, dismenorea, gejala pembesaran) memberat, dan pasien
mengalami perdarahan dan bercak sela (breakthrough). Pada akhir
rangkaian, MRI menunjukkan perburukan lesi adenomiotik (Gambar. 1B),
dan jumlahnya meningkat bermakna. Beragam titik tipikal adenomyosis
dalam myometrium menujukkan ekstensi lesi, ditandai oleh miometrium
heterogen dengan kista miometrium kistik multipel, berkaitan dengan
dilatasi islet endometrium ektopik yang dideskripsikan Bazot dan Daraï.
Hal ini tampak sebagai area berbatas tidak tegas berintensitas sinyal
rendah pada citra T2-weighted, menunjukan hiperplasia otot polos dan
jaringan the endometrial heterotopik sebagaimana dideskripsikan Chapron
et al. MRI menunjukan perburukan aspek pascaterapi UPA,
menggambarkan eksaserbasi gejala, sehingga terapi dihentikan. Pada MRI,
volume diperkirakan sebesar 495 cm3.
D. Diskusi
Sebatas pengetahuan kami, ini adalah laporan pertama temuan dari
dua tipe terapi berbeda, SPRMs dan antagonis GnRH oral, untuk
adenomiosis berat. Laporan ini mengilustrasikan kurangnya efikasi
SPRMs dalam pengobatab adenomiosis uterina berat dan difus, serta
ekserserbasi kondisi yang mungkin terjadi, dibandingkan dengan
keefektifan antagonis GnRH. Efikasi antogonisnya jelas terkait dengan
mekanisme patogeniknya. Uji klinis selanjutnya akan memungkinkan kami
untuk menentukan pakah terapi jangka panjang dengan 100 mg linzagolix
masih tetap efektif untuk mencegah rekurensi sembari memitigasi efek
samping.
SPRMs menunjukan efek farmakodinamik langsung pada
endometrium. Perubahan endometrium yang terkait dideskripsikan oleh
Mutter et al. serta Williams et al. dan dianggap sebagai perubahan benigna
dan reversibel.
Pada seluruh uji klinis fase III dengan UPA, perubahan endometrial
nonfisiologis tampaknya terjadi pada sekitar 60% kasus selama terapi.
Reratanya menurun dan kembali ke kadar baseline dalam 3 bulan pasca-
penghentian terapi, menunjukan bahwa perubahan nonfisiologis bersifat
reversibel dan tidak terkait dengan segala eksaserbasi keadaan patologis
endometrial. Ketebalan endometrial >16 mm dijumpai pada lebih dari 11%
kasus setelah 13 minggu terapi. Perubahan endometrial ini juga timbul di
endometrium intramyometrial ektopik. Memang, Conway et al. (41)
melaporkan perburukan beberapa karakteristik ultrasonografi adenomiosis
seiring dengan perburukan gejala pasien adenomiosis yang ditangani
dengan UPA. Pada kasus ini, perubahan endometrium yang diinduksi
SPRM ini juga dikonfirmasi dengan MRI pada endometrium ektopik lesi
adenomiotik.
Mode kerja of antagonis GnRH sepenuhnya berbeda dari SPRMs.
SPRMs memiliki dampak spesifik terhadap fibroid uterus (reduksi ukuran
pada dasarnya oleh apoptosis), endometrium (penghentian perdarahan dan
perubahan endometrial), serta pituitari (menekan puncak luteinizing
hormone sembari menjaga kadar normal follicle-stimulating hormone dan
E2). Antagonis GnRH oral memiliki efek supresif terhadap aksis pituitari–
gonadal, yang bekerja sangat cepat, bergantung dosis, dan dapat kembali
dengan cepat.
Beberapa artikel telah melaporkan bahwa elagolix, antagonis GnRH
oral, efektif memperbaiki dismenorea dan nyeri nonmenstrual pada wanita
dengan nyeri terkait endometriosis dan mengurangi pedarahan mens berat
terkait fibroid. Linzagolix, antagonis GnRH oral baru, juga terbukti efektif
meredakan dismenorea dan nyeri terkait endometriosis pada dosis 75, 100,
dan 200 mg. Tiga molekul—elagolix, relugolix, atau TA-385, dan
linzagolix, atau OBE2109—sedang dievaluasi pada fase II dan fase III uji
klinis untuk terapi fibroid dan endometriosis uterina. Waktu paruh yang
relatif singkat pada beberapa di antaranya (seperti elagolix) membutuhkan
pemberian dua kali sehari.
Linzagolix, diberikan sekali sehari, juga menunjukan kemampuannya
untuk meredakan nyeri terkait endometriosis pada wanita dengan
endometriosis. Penurunan kadar E2 diketahui bergantung dosis dan lebih
besar pada dosis harian 200 mg (<20 pg/mL) dibandingkan 100 mg
linzagolix harian (antara 30 dan 70 pg/mL), sehingga tidak memerlukan
terapi tambahan, sejauh tidak ada penurunan BMD bermakna pasca 24
minggu terapi dengan dosis harian 100 mg linzagolix, dimana hilangnya
BMD ditunjukan pada dosis 200 mg linzagolix harian dalam studi terkini
yang membandingkan 100 mg dengan 200 mg linzagolix pada wanita
dengan nyeri terkait endometriosis. Mengingat hipoestergonisme
terinduksi antagonis GnRH dapat menyebabkan atrofi endometrium, studi
proof-of-concept dibutuhkan untuk mengevaluasi peran linzagolix dalam
adenomiosis, dan lebih spesifik, efeknya terhadap implan intramyometrial
ektopik.
Kasus yang dilaporkan disini menunjukan bahwa SPRM mungkin
memiliki dampak merusak pada adenomiosis berat dengan menginduksi
perubahan endometrial nonfisiologis pada endometrium intramyometrial
ektopik, seperti ditunjukan pada laporan sebelumnya. Di sisi lain,
antagonis GnRH oral mengurangi lesi adenomiotik secara bermakna
dengan menginduksi hipoestrogenisme ekstensif, yang kemudian
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sejalan dengan keterlibatan mekanisme patogenik serta peran kunci
estrogen dalam perkembangan adenomiosis, maka wajar menjumpai
efikasi lebih besar dengan obat yang secara bermakna dapat menurunkan
kadar E2 dan ketebalan endometrium. Antagonis GnRH oral dapat menjadi
alternatif terapi bedah pada kasus adenomiosis berat. Uji klinis sedang
berjalan untuk membuktikan efikasinya dalam konteks penyakit ini..
BAB III
ANALISIS DAN TELAAH JURNAL
A. Definisi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai
invasi jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang
menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis
kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh
jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik. 2,3,4 Definisi tersebut
masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi. Adenomiosis adalah
keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di
kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ
seringkali ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi
miometrium basalis minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama
apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak
tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus adenomiotik tidak lebih dari 25%
total ketebalan miometrium.2
Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori
berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal,
lapisan dalam dan lapisan permukaan.7
Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis
sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama,
hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ ≥8 mm tetapi ˂12 mm pada
wanita berusia ≤35 tahun. Kedua, adenomiosis parsial atau difus,
ketebalan JZ ≥12 mm, fokus miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan
melibatkan komponen di luar miometrium <⅓, <⅔ atau >⅔. Dan ketiga,
adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas
sinyal rendah pada semua sekuens MRI.4
Secara tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan
ketika ditemukannya kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah
endomyometrial junction. Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut
adenomiosis jika jarak antara batas bawah endometrium dengan daerah
miometrium yang terkena + 2,5 mm. Adenomiosis sub-basalis diartikan
sebagai invasi minimal kelenjar endometrium < 2 mm di bawah stratum
basalis endometrium.
Menurut Hendrickson & Kempson, disebut adenomiosis jika lebih
dari sepertiga total ketebalan dinding uterus yang terkena. Sedangkan
Ferenczy tetap mempertahankan pendapatnya bahwa diagnosis
adenomiosis jika jarak antara endomyometrial junction dengan fokal
adenomiosis terdekat > 25% total ketebalan miometrium.
Siegler & Camilien mengelompokkan adenomiosis berdasarkan
kedalaman penetrasi ke dalam miometrium, yaitu:
2) Patologi Anatomi
Teori yang paling banyak dipakai mengenai perkembangan
adenomiosis menggambarkan invaginasi ke bawah lapisan basalis
endometrium dalam ke miometrium.
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam
miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara
fisiologis berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis.
Hal ini memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat implantasi
blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi
setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode
regenerasi kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan langsung
dengan sel-sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium.4
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan
invaginasi dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium
sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum basalis
endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-
uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang
secara embriologis dari sisa duktus Muller.4
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium
pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti
aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis
DNA & siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di
lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst,
sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi
endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi.
Pada saat proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis
berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang
membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran
sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel
kelenjar endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun
dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial
invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan
basalis endometrium ke dalam miometrium.4,9
Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia
insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis
lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada
endometrium yang normal, kelenjar-kelenjar ini tidak dapat
mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum
terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium
berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan
membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan
ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii
dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang
ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada
koriokarsinoma.4
F. Diagnosis
Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan histologis spesimen
bedah, meskipun salah satu bentuk dapat diduga secara klinis. Dengan
demikian, dilaporkan insiden di spesimen histerektomi bervariasi
tergantung pada kriteria histologis serta tingkat sectioning, tetapi berkisar
antara 20 sampai 60 persen (Bird, 1972; Parazzini, 1997).1
Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara
dengan pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan
12 minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya,
diagnosis klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau
overdiagnosis. Sehingga adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan
MRI.4
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak
akurat. Hal ini disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana
gejala tersebut juga ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan uterus
disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis
hanya dapat ditegakkan secara histologis setelah dilakukan histerektomi.
Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa
ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi.4
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien
yang dicurigai adenomiosis secara klinis. Pertama, untuk menegakkan
diagnosis dan diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang
mirip seperti leiomioma. Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan
dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat digunakan untuk
monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai
adenomiosis yaitu Histerosalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG
transvaginal dan MRI.4
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit
dengan kontras intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam
miometrium. HSG memiliki sensitivitas yang rendah.4
Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang
membesar berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah
kistik di miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium. Bazot
dkk pada 2001 melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki
spesifisitas 95%, sensitivitas 32,5% dan akurasi 74,1% untuk
mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas
diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang
terdapat fibroid.4
Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG
transvaginal yang menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik.
Kriteria diagnostik dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu
tekstur miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang
abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium dan kista
miometrium. Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%, spesifisitas 97,5%
dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis
adenomiosis dimana kriteria yang paling sensitif & spesifik untuk
adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI merupakan modalitas
pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal
ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat
melihat anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai
perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling
spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan
intensitas yang tinggi dan penebalan junctional zone >12 mm.4
Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI
dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-
studi terdahulu menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi pada MRI
dibandingkan USG transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir
dikatakan tidak ada perbedaan tingkat akurasinya.4
G. Gambaran Klinis
Sekitar sepertiga dari wanita dengan adenomiosis memiliki gejala.
keparahan mereka berkorelasi dengan meningkatnya jumlah fokus ektopik
dan luasnya invasi (Levgur, 2000; Nishida, 1991; Sammour, 2002).
Biasanya terdapat gejala Menorrhagia dan dismenore. Menorrhagia
mungkin akibat dari peningkatan dan vaskularisasi abnormal dari lapisan
endometrium. Dismenore diduga disebabkan oleh peningkatan produksi
prostaglandin ditemukan dalam jaringan adenomyotic dibandingkan
dengan miometrium normal (Koike, 1992). Mungkin 10 persen
mengeluhkan dispareunia. Karena adenomiosis biasanya berkembang pada
wanita parous tua di 40-an dan 50-an, infertilitas bukanlah keluhan umum
(Nikkanen, 1980).1