Anda di halaman 1dari 19

BAB XI

SARANA-SARANA SYIRIK
A. PENDAHULUAN
Sarana yang dalam bahasa Arabnya wasilah adalah sesuatu yang mengantar
kepada sesuatu yang lain. Dalam syari’at Islam, sarana memiliki hukum yang sama
dengan sesuatu ke mana sarana itu mengantar. Jadi, jika sarana itu mengantar
kepada syirik besar, maka sarana itu hukumnya sama dengan syirik besar yang
bertentangan dengan tauhid. Begitu juga, jika sarana tersebut mengantar kepada
syirik kecil, maka sarana itu hukumnya sama dengan syirik kecil yang bertentangan
dengan kesempurnaan tauhid.298
Sarana berarti juga sebab terjadinya sesuatu. Segala sesuatu yang bisa
menyebabkan syirik, maka Rasulullah Saw melarang sahabat melakukannya. Oleh
karena itu mengetahui sarana syirik merupakan suatu yang sangat penting. Berikut
ini, akan disebutkan beberapa sarana syirik yang sangat penting untuk diketahui
oleh setiap Muslim.
B. TAWASSUL YANG BID’AH
Dalam bahasa Arab, tawassul berarti taqarrub atau mendekat. Misalnya
firman Allah SWT :
َ َ ُ َ َ ‫أ ََ َ َأ‬ َ َ ُ َ َ ‫ُأ َولـئ َك َّالذ‬
‫ين َي أد ُعون َي أب َتغون ِإلى َ ِرب ِه ُم ال َو ِسيلة أ ُّي ُه أم أق َر ُب َو َي أر ُجون َر أح َم َت ُه َو َيخافو َن َعذ َاب ُه‬ ِ ِ
ً ُ ‫َّ َ َ َ َ َ َ َ َ أ‬
-٥٧- ‫ِإن عذاب رِبك كان محذورا‬
“orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakut”i.( QS. Al-Isra’ (17) : 57 )
Ayat tersebut menjelaskan bahwa siapa-siapa yang mereka seru untuk
meminta pertolongan dan mereka sembah itu –seperti Malaikat, Nabi Isa as, Uzair
atau orang-orang shaleh, mereka itu sendiri dengan sungguh-sungguh mencari
jalan menuju ke Ridha Tuhan mereka yakni mereka berlomba-lomba melakukan
kebajikan. Masing-masing mereka berupaya agar menjadi lebih dekat kepada Allah
dan mereka semuanya mengharapkan rahmat-Nya dan senantiasa takut akan siksa-
Nya.299
Ayat di atas menjelaskan bahwa diantara manusia menjadikan nabi-nabi atau
orang-orang shaleh yang sudah mati sebagai wasilah dikabulkannya doa-doa
mereka atau sebagai jalan yang dapat mendekatkan mereka kepada Tuhan mereka.
Jadi usaha mereka untuk mendekatkan diri kepada Allahi merupakan tawassul yang

298
Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, Pengantar Studi Islam Aqidah Islam,(Jakarta:
Robbani Press, 1998), hal. 297
299
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Jilid 7,(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 494

255
bid’ah yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan syariat.
Tawasul dalam bahasa arab berarti taqarrub atau mendekat. Tawassul dibagi
menjadi dua jenis:
1. Tawassul Masyru (diperintahkan).
Yaitu taqarrub kepada Alloh dengan cara yang dicintai dan di ridhoi
Alloh. Misalnya dengan ibdah-ibadah wajib atau sunah, baik berupa perkataan
maupun perbuatan atau keyakinan.
2. Tawassul Ghairu Masyru (tidak diperintahkan)
Yaitu taqarrub kepada A]lloh dengan cara yang tidak dicintai dan di
ridhoi, baik dengan perkataan maupun perbuatan atau keyakinan. Inilah yang
disebut Tawassu yang Bid’ah300.
Yang di maksud disini adalah taqarrub kepada Allah dengan serangkaian
doa yang dapat di kabulkan. Dengan batasan ini,maka tawassul bid’ah mempunyai
beberapa jenis :
Pertama, Tawassul kepada Alloh dengan berdoa dan memohn pertolongan
kepada orang yang telah mati atau ghaib dan semacamnya. Ini digolongkan sebagai
syirik besar yabng bertentangan dengan tauhid dan menyebabkan pelakunya
keluar dari Islam.
Kedua Tawassul kepada Alloh dengan melakukan berbagai ketaatan pada
kuburan orang-orang yang telah mati. Misalnya dengan mendirikan bangunan di
atas kuburan atau menutupnya atau berdoa di atasnya. Ini digolongkan kedalam
syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid.
Ketiga Tawassul kepada Allah dengan memanfaatkan kedudukan orang-
orang tertentu yang shaleh di sisi AllAh. Ini di haramkan Islam,sebab perbuatan
seseorang hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Alloh. Jadi kedudukan mulia
seseorang yang shaleh di sisi Alloh hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak
bagi orang lain.
Keempat, Tawassul dengan zat orang-orang sholeh. Misalnya,ungkapan
sebagian mereka:
”Aku bemohon kepadamu ya Alloh dengan Muhammad.” Lafal ini jelas bid’ah dan
karenanya haram. Ia mengandung banyak makna yang semuanya batil dan
bertentangan dengan syariah:
1. Bertawasul dengan kedudukan seseorang di sisi Alloh.
2. Dengan lafaz itu ingin bersumpah kepada Alloh, sedang bersumpah dengan
selain Alloh adalah haram dan termasuk syirik kecil.

300
Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, Pengantar Studi Islam Aqidah Islam,
(Jakarta: Robbani Press, 1998), hal. 298

256
3. Ia ingin membuat perantara antara A]lloh dengan hamba-hambanya dalam
mendatangkan atau menolak mudharat. Inilah inti sari syirik kaum musyrikin.
Ini adalah syirik besar yang menyebabkan seseorang keluar dari islam
4. Dengan lafaz ini ia bermaksud memohon berkah yang ini juga haram, karena
selain mengandung ketiga unsur sebelumnya ia juga tidak di perintahkan oleh
syariat Islam.
Setelah mengetahui hukum-hukum yang terkait dengan tawassul bid’ah
adalah wajib bagi kita mengetahui tawassul syari (di perintahkan). Diantara
tawassul yang disyariatkan adalah:
Pertama Tawassul kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatnya. Jadi
ketika berdo’a hendaklah seorang hamba menyebut terlebih dahulu nama - nama
Allah sesuai dengan permintaan-Nya. Misalnya, menyebut nama Ar-Rahman saat
memohon rahmat-Nya, menyebut Al-Ghafur saat memohon ampunan dan
seterusnya. Dalilnya adalah sebagai berikut:
‫َ ُ أ‬ َ َ ‫َ أ َ أ ُ أ َ َ أ ُ ُ َ َ َ ُ أ َّ َ أ‬
‫ين ُيل ِح ُدون ِفي أ أس َمآ ِئ ِه َس ُي أج َز أو َن َما كانوا‬ ‫َوِلل ِه اْلسماء الحسنى فادعوه ِبها وذروا ال ِذ‬
َ ُ
َ -١٨٠- ‫َي أع َملون‬
“ hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat
Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-A’raf/7: 180)
Kedua, Tawassul kepada Allah dengan iman dan tauhid. Firman Allah:
َّ َ َ َ ‫َ َّ َ َ َّ َ َ َ َ أ َ َّ َ أ َ َّ ُ َل َ أ ُ أ‬
َ ‫الشاُد‬
َ -٥٣- ‫ين‬ ِ ِ ‫ربنا آمنا ِبما أنزلت واتبعنا الرسو فاكتبنا مع‬
“Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan
telah Kami ikuti rasul, karena itu masukanlah Kami ke dalam golongan orang-
orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)".(QS. Ali-Imran/3: 53)
Ketiga, tawassul kepada Allah dengan amal shaleh dimana seorang hamba
memohon kepada Allah dengan amalnya yang paling baik seperti shalat, puasa,
zakat, membaca Al-Qur’an, meninggalkan yang haram dan semacamnya. Dalilnya
adalah hadist yang menceritakan tiga orang yang terperangkap dalam gua, lalu
mereka berdoa kepada Allah dengan menyebut amal mereka yang baik, sehingga
batu yang menutupi gua itu terbuka kembali. Hadist ini disepakati Bukhari dan
Muslim. Selain itu, seorang hamba juga bertawassul kepada Allah dengan
menyebut kebutuhannya kepada Allah. Atau dengan mengakui kezaliman seorang
hamba terhadap dirinya sendiri seperti yang dilakukan oleh Nabi Yunus.
َ ‫الظ ُل َمات َأن ََّل إ َل َه إ ََّل ََأ‬
‫نت‬
ُّ
‫ي‬ ‫ف‬ ‫ى‬ َ ‫النون إذ َّذ َُ َب ُم َغاض ًبا َف َظ َّن َأن َّلن َّن أقد َر َع َل أيه َف َن‬
‫اد‬ ُّ ‫َو َذا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َّ ُ ‫ُس أَب َح َان َك إني ُك‬
-٨٧- ‫نت ِم َن الظ ِ ِاَل َين‬ ِِ
“dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu
ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka

257
ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain
Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang
zalim." (QS. Al-Anbiya/: 87)
Atau dengan bertobat. Misalnya berkata seperti ini: “Ya Allah
sesungguhnya aku telah bertobat kepada-Mu maka ampunilah aku.” Semua jenis
ini mempunyai hukum yang berbeda dalam syariat islam, diantaranya ada yang
wajib seperti tawassul dengan nama dan sifat Allah atau dengan iman dan tauhid,
ada juga yang sunnah seperti tawassul dengan amal saleh.
Keempat, tawassul dengan doa orang – orang shaleh yang masih hidup.
Misalnya mengatakan orang yang dianggap saleh.
Adalah wajibnya bagi setiap muslim untuk menjauhi semua jenis tawassul
bid’ah yang diharamkan. Selain itu, tawassul yang bi’dah juga merupakan sikap
melampaui batas dalam berdoa yang – pada berdoa – menyebabkan doa itu yang
tertolak. Karena Allah tentu akan menolak doa yang tidak sesuai petunjuk-Nya.301
C. KUBURAN SEBAGAI MASJID
Dalam rangka menjaga kemurnian tauhid, Rasulullah telah mengingatkan
tentang wasilah (perantara, sarana), yaitu hal-hal yang dapat menyebabkan syirik,
agar hal itu dihindari. Diantara wasilah tersebut adalah pengagungan terhadap
kuburan orang-orang shaleh. Oleh karena itu pada awal mula Islam didakwahkan
Rasulullah melarang sahabatnya untuk ziarah ke kuburan. Tujuannya adalah
mengantisipasi umatnya agar tidak mengagungkan kuburan dan menjadikan sarana
kesyirikan, karena pada saat itu masih terpengaruh dengan kebiasaan jahiliyah.
Para ulama melarang hal-hal yang dapat menjadi wasilah (perantara) syirik, seperti
menembok kuburan, meninggikannya, dan membuat bangunan di atasnya.
Demikian pula menulis sesuatu di atas kubur, memasang lampu di atasnya, dan
menjadikan kuburan sebagai masjid.
Adapun setelah Islam tersebar dan aqidah para sahabat dapat terbentengi
dengan tauhid, maka Rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk berziarah.
Diantara hikmah ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian, mendoakan si
mayit yang seaqidah, mengingat kesalehan si mayit dan meneladani kebaikannya.
Rasulullah SAW bersabda dari sahabat Abu Hurairah ra.:
‫ال‬َ ‫النبي صلى هللا َع َل أي ِه َوسلم قبر أمه َفبكى وأبكى من حوله َف َق‬
َّ ‫ال زار‬ َ ُ َ
ََ ‫نه ق‬ ‫َعن أبي ُُ َرأي َرة َر ِض ي هللا ع‬
َ َ ِ
َ ‫أ‬ َ َ‫َ أ أ َ َ أ‬ َ‫أ أ‬
‫أس َتغفر ل َها فلم َيأذن لي واستأذنته ِفي أن أزور قبرُا فأذن لي فزوروا ال ُق ُبور ف ِإ َّن ََها‬ ‫(اس َتأذنت َرِبي ِفي أن‬
َ‫أ‬
‫تذكر اَل أوت‬

Ia (Abu Hurairah) berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah


kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah
orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada
Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan

301
Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, Pengantar Studi Islam Aqidah Islam,
(Jakarta: Robbani Press, 1998), hal. 298-304

258
melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku
pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau
akan kematian”302
Dalil yang menunjukkan menjadikan kuburan sebagai masjid adalah
sebagaimana penyerupaan terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
melakukan hal tersebut. Dari Aisayah r.a. berkata: “Rasulullah saw berkata disaat
sakitnya yang beliau tidak pernah bangun lagi dari padanya:
‫َ ُ ُ َأ‬ َّ َ َ َ
َّ ‫الل ُه أال َي ُه أو َد َو‬
‫ ِا َّتخذ أوا ق ُب أو َران ِبيا ِأ ُِ أم َم َس ِاج َد‬:‫النصا ري‬ ‫لعن‬
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani disebabkan mereka menjadikan
kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid”303
Adapun maksud pembahasan tentang menjadikan kuburan sebagai masjid
menurut Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan adalah sebagai berikut:
1. Membangun masjid di atas kuburan
2. Beribadah kepada Allah pada kuburan itu dengan keyakinan bahwa itu lebih
utama. Rasulullah SAW bersabda:
‫أ‬ َّ َ
‫َن َهى ا أن ُيصلى َب أي َن ال ُق ُب أو َِر‬
3. Melakukan berbagai jenis ibadah yang ditujukan kepada penghuni kuburan itu.
4. Melakukan safar (perjalanan) kepada kuburan-kuburan tertentu.
5. Membangun nisan atau pagar di atas kuburan kemudian menutupinya dan
menuliskan sesuatu di atasnya dan semacamnya.
6. Melakukan ziarah kepada kuburan itu yang bersifat bid’ah. 304
Ziarah kubur merupakan hal yang disyariatkan bagi kaum muslimin, namun
harus sesuai dengan adab-adab yang sudah Rasulullah contohkan. Jadikanlah
ziarah kubur tujuannya adalah untuk memberikan manfaat bagi si mayit dengan
cara kita mendoakannya sebagai hal yang dibutuhkan. Manfaat bagi peziarah
adalah untuk mengingat kematian, mengambil ibrah dan pelajaran dari si mayit,
serta memperoleh pahala atas ziarah tersebut dan meneladani Rasulullah saw
dalah segala hal.
D. SIKAP GHULUW TERHADAP ORANG SHALEH
Islam memerintahkan untuk bersikap pertengahan (tawasuth) dalam segala
hal. Tidak boleh berlebihan (ghuluw) atau sebaliknya meremehkan (tafrith).
Termasuk bagaimana bersikap terhadap orang shalih, tidak boleh berlebihan atau
meremehkan. Dalam tulisan ini, insyaallah akan dibahas sekilas bahaya ghuluw
terhadap orang shalih.
Menurut Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan Yang dimaksud
orang saleh adalah orang yang dikenal komitmen dan konsisten dalam

302
HR. Muslim no.108, 2/671
303
HR. Bukhari dari Aisyah, Shahih Bukhari, Kitab al-Janaiz (96), vol. II, hal 91, al-maktabah
al-Islamiah
304
Ibrahim Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, Pengantar Studi Islam Aqidah Islam, (Jakarta:
Robbani Press, 1998), hal. 304-305

259
melaksanakan ajaran syariat Islam, juga mengklaim dirinya saleh atau diklaim oleh
orang yang menjadikannya sebagai panutan dan membuat sejumlah konsekuensi-
konsekuensi tertentu atas klaim tersebut, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.
Adapun maksud ghuluw adalah sikap melampaui batas wajar yang
dibolehkan syariat Islam dalam mengagumi dan menyanjung orang saleh dengan
perkataan maupun perbuatan. Sikap ini terbagi menjadi dua:
1. Ghuluw yang melampaui batas yang tidak diperbolehkan oleh syariat Islam
dalam mengagumi dan menyanjung orang saleh dengan perkataan. Jenis ini
terbagi menjadi tiga macam:
a. Yang bertentangan dengan tauhid dan merupakan syirik besar. Misalnya
adalah menambahkan sifat-sifat ketuhanan kepada orang saleh, seperti
menisbatkan tentang catatan Lauhul Mahfudz kepada Rasulullah saw.
b. Yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid dan merupakan syirik
kecil. Misalnya bersumpah kepada selain Allah yaitu bersumpah dengan
orang saleh. Atau perkataan “kalau tidak ada fulan, pasti kita tertimpa
musibah ini”
c. Yang diharamkan. Misalnya menggambarkan orang saleh itu dengan sifat-
sifat kebaikan yang sebenarnya tidak ada padanya dengan cara yang tidak
sampai pada tingakat syirik besar.

2. Ghuluw yang melampaui batas yang tidak diperbolehkan oleh syariat Islam
dalam mengagumi dan menyanjung orang saleh dengan perbuatan. Yang ini
juga terbagi menjadi tiga macam:
a. Yang bertentangan dengan tauhid dan termasuk syirik besar. Misalnya ruku
dan sujud didepan orang saleh atau bertawakal kepadanya dan
semacamnya.
b. Yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid dan merupakan syirik
kecil. Misalnya, shalat dan sujud atau membaca Al-Qur’an untuk Allah di
kuburan mereka dengan anggapan bahwa tempat itu lebih afdhal (utama).
c. Yang diharamkan namun tidak sampai kepada syirik besar dan syirik kecil.
Misalnya membangun kuburan di atas kuburan, menulis nisannya dan
semacamnya. Ini termasuk bid’ah yang munkar.
Diantara ghuluw terhadap manusia berdasarkan kedudukan mulia sebagai
manusia adalah sebagai berikut:
6. Ghuluw terhadap Rasulullah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam adalah sebaik-baik
manusia. Meskipun demikian, beliau melarang kita untuk ghuluw terhadap
beliau. Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam :bersabda

260
ُُ ُ ُ ُ ٌ َ َ َّ َ َ ‫أ‬ َّ ‫َ أ‬ َ ‫َ ُ أ‬
.‫ فق أول أوا َع أبد الل ِه َو َر ُس أول َه‬,‫ ف ِان َماانا َع أبد‬,‫ص َارى ِعيس ى أبن َم أرَي َم‬
َ ‫رت الن‬
ِ ‫ ك َما اط‬,‫َل تط ُرِنى‬
”Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menyanjungku, sebagaimana
orang-orang Nasrani (berlebih-lebihan) menyanjung Isa bin Maryam.
Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah oleh kalian,
hamba Allah dan Rasul. (HR Bukhari dan Muslim)
7. Ghuluw Terhadap para Nabi
Allah swt melarang Ahli Kitab untuk bersikap Ghulluw (berlebih-lebihan).
Ini banyak terjadi dikalangan kaum Nasrani, dimana mereka melampaui batas
dalam menyikapi Nabi Isa as, hingga mereka mengangkatnya di atas kedudukan
yang diberikan Allah. Mereka memindahkan beliau dari kedudukan kenabian
hingga menjadikannya sebagai ilah selain Allah.305 Allah berfirman:

‫يس ى أَاب ُن‬


َ ‫َّ أ َ َّ َ أ‬
ُ ‫اَلس‬
َ ‫يح ع‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫ق‬ ‫ح‬ ‫ال‬ ‫َل‬‫إ‬ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫ى‬ ‫ل‬
ََ ‫ُ أ َ َ َ ُ ُ أ‬
‫ع‬ ‫وا‬ ‫ول‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ن‬‫ي‬ ‫د‬ ‫ي‬ ‫ف‬
‫َ َ أُ أ‬
‫وا‬ ‫ل‬ ‫غ‬ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫اب‬‫ت‬َ ‫َيا َأ أُ َل أالك‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫أ‬ َ َ َ َ ‫َ َ َ ُ ُ َأ‬
-١٧١- ‫َم أرَي َم َر ُسو ُل الل ِه وك ِلمته ألقاُا ِإلى مريم وروح ِمنه‬
ٌ ُ َ َ ‫أ‬ َ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya
Al Masih, ‘Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan
dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya….” (QS An Nisa’/4: 171)
Dalam ayat ini Allah memperingatkan agar tidak ghuluw dalam
beragama. Yang dimaksud ghuluw adalah berlebihan dalam mengagungkan
baik dengan ucapan maupun dengan keyakinan. Meskipun konteks ayat ini
untuk ahli kitab tetapi maknanya umum mencakup peringatan bagi seluruh
umat agar tidak ghuluw terhadap nabi mereka seperti yang dilakukan Nasrani
terhadap Nabi Isa. Mereka ghuluw terhadap Nabi Isa, bahkan akhirnya
menjadikan beliau sebagai sesembahan selain Allah. Begitu juga Yahudi,
mereka ghuluw terhadap Uzzair, mengatakan beliau adalah anak Allah. Umat
ini jangan sampai mengikuti jejak mereka.
8. Ghulluw terhadap kedudukan orang shaleh
Ghuluw tehadap para Nabi tidak diperbolehkan apalagi yang lebih rendah
kedudukannya dari mereka seperti orang-orang yang shalih seperti kyai, ustadz,
wali, ahli sufi dan syekh. Bahkan kalau kita lihat dalam sejarah, kita dapati
ghuluw terhadap orang shalih inilah yang menyebabkan pertama kali
munculnya kesyirikan atau kekufuran di muka bumi, yaitu di zaman Nabi
Nuh ‘alaihissalam. Sebelumnya, sejak zaman Nabi Adam ‘alahissalam manusia
senantiasa berada diatas agama yang lurus. Meskipun mungkin ada diantara
mereka yang jatuh dalam dosa atau kemaksiatan tetapi belum ada yang
terjerumus dalam kesyirikan.

305
Abdullah bin Muhammad bin Abudrrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Juz 2.
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2012), hal. 466

261
Dalam shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuyang menjelaskan tentang firman Allah:
ً َ َ َ ُ َ ً َ ً َّ َ َ َ ُ َّ َ َ َ ُ َ
٢٣- ‫ َوقالوا َل تذ ُرن ِآل َه َتك أَم َوَل تذ ُرن َودا َوَل ُس َواعا َوَل َيغوث َو َي ُعوق َون أسرا‬-
23. dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq
dan nasr]". (QS Nuh/71: 23)
Wadd, suwwa', yaghuts, ya'uq dan Nasr adalah nama-nama orang shaleh
dari kaum Nabi Nuh. Setelah mereka meninggal, syaitan membisikan kepada
kaum dari orang-orang shaleh tersebut agar mereka membuatkan patung-
patung mereka di majelis-majelis yang menjadi tempat duduk merekam, yang
sekaligus diberi nama dengan nama-nama mereka. Kemudian kaumnya itu pun
mengerjakan bisikan syaitan tersebut sehingga ketika orang-orang shaleh itu
telah wafat (generasi pertama) dan ilmu pun sudah terkikis, maka patung-
patung itu pun akhirnya dijadikan sesembahan oleh generasi tersebut. 306
9. Ghuluw terhadap pengikut orang-orang saleh
Mereka berlebih-lebihan pula dalam menyikapi pengikutnya yang diduga
berada diatas agamanya, dengan mengakui terpeliharanya (al-ishmah), serta
mengikuti apa saja yang mereka katakan, baik haq maupun bathil, kesesatan
atau petunjuk, kebenaran atau kedustaan.307 Mereka mematuhi ajaran-ajaran
orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun
orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau
mengharamkan yang halal.
Hal ini sebagaimana Allah firmankan:
mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera
Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan.
Diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa Isa adalah illah, ada pula
yang berkeyakinan ia sekutu (Allah) dan ada pula yang berkeyakinan bahwa dia
adalah anak-Nya. Mereka terpecah menjadi kelompok yang banyak sekali dan
masing-masing memilki pendapat yang berbeda-beda dan bermacam-macam.
Alangkah indahnya pendapat sebagian ahli kalam yang menyatakan:

306
Abdullah bin Muhammad bin Abudrrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Juz 10.
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2012), hal. 110.
307
Abdullah bin Muhammad bin Abudrrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Juz 2.
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2012), hal. 466

262
“Seandainya sepuluh orang Nasrani berkumpul, niscaya mereka terpecah
menjadi sebelah pendapat” 308
Diantara penyimpangan lain yang lebih nampak adalah dari sekte Syiah, yaitu
ghuluw terhadap imam mereka. Ajaran Syiah menyatakan bahwa para imam
mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari para Nabi dan Rasul. Kesesatan
mereka juga menyakini bahwa para imam syiah memiliki sifat ma’shum. 309
E. KULTUS INDIVIDU DAN BENDA
Komitmen sejati seorang muslim adalah membersihkan hati dan jiwanya dari
berbagai noda kemusyrikan. Seorang muslim meyakini tiada kekuatan kecuali
kekuatan Allah, dia tidak akan bersandar lagi kepada kekuatan benda-benda
seperti keris kamenyeng, ruwatan, atau kekuatan spiritual dari paranormal atau
dukun. Dia tidak akan memelihara jin meskipun mengaku jin muslim, karena semua
itu tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Dirinya
juga bersih dari mengagung-agungkan jabatan dan kedudukan dan menggantinya
dengan mengagungkan serta memuliakan Allah. Komitmen sejati seorang muslim
adalah menyambut seruan Allah untuk melaksanakan syariat-Nya di muka bumi.
Dengan meyakini Allah sebagai Raja yang memimpin Alam semesta ini sehingga
segala puji itu hanyalah bagi Allah semata.
Manusia adalah makhluk Allah yang khas. Masing-masing memiliki
keistimewaan. Karena itu Al-Quran mengingkari manusia yang menghilangkan
kepribadiannya dan menjadi pembebek (pengikut) orang lain dalam kekeliruannya.
Biasanya manusia sangat terpengaruh untuk mengikuti para pemimpin, pejabat
dan penguasa dengan berlebih-lebihan sehingga mereka mengkultuskannya.
Adapula yang menyucikan para tokoh pujaannya sehingga ia menjadikan orang itu
sebagai tuhan-tuhan yang ia patuhi dalam setiap yang ia putuskan.
Di masa lalu, Fir’aun – yang mengaku dirinya sebagai tuhan – dipuja-puja
oleh pengikutnya sehingga dianggap tak pernah bersalah. Demikian juga Hitler dan
Musolini yang merupakan diktator yang diagungkan kehebatannya. Di negeri kita
Presiden Soekarno punya pengikut fanatik yang banyak. Pada masa kejayaannya
Soeharto punya pengikut yang menganggapnya manusia yang lain dari yang lain
sehingga mereka memberi gelar “Bapak Pembangunan”. Sekarang ini juga muncul
para pemuja yang menganggap bahwa tindakan pemimpinnya selalu benar.
Bahkan meskipun aneh dan menyimpang tetap saja dianggap perbuatan wali
(orang suci). Dibela habis-habisan meskipun jelas-jelas salah dan kebenaran pun
dijungkirbalikkan.
Sungguh keliru pandangan seperti itu. Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa
Sallam saja tidak boleh diagungkan melampaui batas yang ditentukan. Beliau
menyatakan dirinya sebagai manusia biasa sebagaimana kita. Penghormatan
kepada beliau pun sebatas sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya.

308
Abdullah bin Muhammad bin Abudrrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Juz 2.
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2012), hal. 469
309
Majelis Ulama Indonesia, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia

263
Perbuatan kultus kepada pemimpin merupakan sikap yang tidak sesuai
dengan tuntunan Islam. Sebab Islam tidak pernah mengajarkan mengagungkan
manusia melebihi kadar yang dibolehkan. Pada hari kiamat nanti orang-orang yang
mengkultuskan para pembesar ini akan menyesal dan menyadari kesalahan
mereka,
َ َّ َ ُّ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ ‫َ َ ُ َ َّ َ َّ َ َ أ‬
٦٧- ‫يَل‬
َ ‫الس ِب‬ ‫وقالوا ربنا ِإنا أطعنا سادتنا وكبراءنا فأضلونا‬-
“Dan mereka berkata, “Ya Tuhan Kami, sesungguhnya Kami telah menaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka
menyesatkan Kami dari jalan yang benar”.” (QS. Al-Ahzab: 67).

Di antara manusia yang Allah takdirkan menjadi penguasa memang ada jenis
manusia yang membawa kepada kemunkaran dan kezhaliman. Setiap muslim wajib
mewaspadainya dan mereka berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar terhadap penguasa yang zhalim. Tidak boleh membiarkan kesalahannya
merembet kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Meluruskan yang bengkok dan memperbaiki yang salah adalah kewajiban
setiap muslim. Bukan menjadi pembebek-pembebek orang-orang yang
menegakkan kebathilan itu meskipun kebanyakan orang telah menjadi
pengikutnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam
bersabda, “Janganlah seseorang di antara kamu menjadi ima’ah”. Seorang sahabat
bertanya, “Apakah ima’ah itu ya Rasulullah?” “Ima’ah itu adalah orang yang
berkata, ‘Saya mengikuti bagaimana masyarakat saja, jika masyarakat baik, maka
saya akan menjadi baik, namun jika masyarakat buruk, saya pun akan bersikap
buruk’”, jawab Rasulullah. Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Tetapi perkuatlah
jiwa kalian, jika masyarakat baik ikutilah kebaikan mereka, dan jika masyarakat
buruk maka jauhilah keburukan mereka”. (HR. Turmudzi)
Masyarakat ima’ah (pembebek) itu terjerumus mengikuti pemimpin yang
mengajak pada kesesatan. Allah memperingatkan,
َ ‫َ َ َّ َ َ أ َ أ َ َ َ أ َ أ‬ ‫أ‬ َ ُّ َ ُ َّ ُ َ َّ َ َ َ ‫َ َ أ‬
‫س الق َر ُار‬ ‫) جهنم يصلونها و ِبئ‬28( ‫ين َب َّدلوا ِن أع َم َت الل ِه ك أف ًرا َوأ َحلوا ق أو َم ُه أم َد َار ال َب َو ِار‬ ‫ألم تر ِإلى ال ِذ‬
َّ َ ‫ُ أ َ َ َّ ُ َ َّ َ َ ُ أ‬ ‫أ‬ َ ُّ ً َ ‫أ‬ َ َّ ُ َ َ
َِ ‫ج َعلوا ِلل ِه أندادا ِل ُي ِضلوا عن َس ِب ِيل ِه قل تمتعوا ف ِإن م ِصيركم ِإلى الن‬
‫ار‬ َ ‫) و‬29(
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah
dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu
neraka jahanam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat
kediaman. Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi. Allah
supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah:
‘Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah
neraka’.” (QS. Ibrahim: 28-30).
Yang dimaksud menukar nikmat Allah dengan kekafiran adalah menukar
kepemimpinan yang Allah berikan dengan menolak melaksanakan syariat Allah di
muka bumi. Kekuasaan hanyalah amanat dari Allah dan para penguasa harus

264
menjalankannya sesuai dengan kehendak Allah. Para penguasa yang
mempertahankan kelemahannya dengan segala cara dan tipu daya tergolong
membawa rakyatnya pada kekufuran dan akan menanggung akibatnya di Hari
Akhirat nanti.
Bila penguasa tidak berjalan di atas syariat yang benar maka kebenaran dan
kebatilan akan menjadi jungkir balik. Bila penguasa tidak memiliki tanggung jawab
terhadap amanat yang dipikulnya maka dia akan membiarkan kondisi masyarakat
porak poranda. Dia tidak menjalankan fungsinya menimbulkan ketenteraman di
tengah masyarakat. Dia membiarkan rakyatnya saling bertikai bahkan mungkin
saling bunuh. Sebagai hamba Allah, manusia tentu punya kelebihan dan
kekurangan. Demikian juga para pemimpin di suatu negeri. Kelebihannya itu bukan
untuk disucikan dan diagungkan manusia lain, sedangkan kekurangannya pun
bukan untuk dihina manusia lain. Kelebihan manusia selayaknya didayagunakan
untuk hal-hal yang bermanfaat, dipadukan dengan kelebihan manusia lain agar
semakin kokoh dan kuat.
Sementara itu kekurangan setiap manusia harus diakui dan jangan sampai
dianggap kelebihan sehingga terjebak pada sikap membenarkan yang salah.
Kekurangan manusia dapat ditutupi dengan bekerja sama dengan manusia lain.
Manusia dituntut bekerja sama, bahu membahu, dan saling tolong menolong untuk
memunculkan kebajikan takwa. Manusia dilarang bekerja sama dalam dosa dan
permusuhan. Firman Allah Ta’ala,
َ‫َ أ‬ ‫َ أ‬ ‫َ َّ أ‬ َ ‫أ َ ُ ُّ أ‬
‫ين َآم ُنوا َل ت ِحلوا ش َعآ ِئ َر الل ِه َوَل الش أه َر ال َح َر َام َوَل ال َه أد َي َوَل ال َقآل ِئ َد َوَل ِآم َين‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها َّالذ‬
ِ
َ ُ َ
ُ ‫وا َوَل َي أجر َم َّنك أم ش َن‬ ‫أ‬ َ
ُ ‫اصط‬ َ ‫أ‬ َ َ ً
‫ض َوانا َوإذا َحلل ُت أم ف أ‬ ‫ضَل من َّربه أم َور أ‬ ً ‫أال َب أي َت أال َح َر َام َي أب َتغون ف أ‬
َ َ ُ
‫آن‬ ِ َ ‫اد‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ ‫أ َ َ َ َ أ َ ُ أ َ َ َ َ ُ أ َ َ أ َ َّ أ َ َ َ َ َ َ ُ أ‬ َ‫أ‬ ُ َ َ ‫َأ‬
‫التقوى وَل تعاونوا على‬ َ ‫ص ُّدوك أم َع ِن اَل أس ِج ِد الحر ِام أن تعتدوا وتعاونوا على ال ِبر و‬ ‫قوم أن‬
‫أ‬
َ ُ َ َ َّ َ ‫أ‬ ‫أ‬
ُ ‫اْل أثم َوال ُع أد َوان َو َّات‬
َ -٢- ‫اب‬ ِ ‫ق‬ ‫ع‬
ِ ‫ال‬ ‫يد‬ ‫د‬
ِ ‫ش‬ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫ن‬ ‫إ‬ِ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫وا‬ ‫ق‬ ِ ِ ِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya” (QS. Al-Maaidah: 2)
Dalam pandangan Islam, setiap orang dapat disebut baik sepanjang
pribadinya membawa kebajikan dan ketakwaan. Artinya, dalam hubungan
horizontalnya di tengah manusia dia bermanfaat dan menjadi sumber berbagai
kebaikan bagi orang lain. Orang merasakan kehadirannya sebagai manusia yang

265
penuh keberkahan. Sedangkan dalam hubungan vertikalnya, dia dapat
meningkatkan ketakwaan dirinya dan ketakwaan orang lain kepada Allah. Manusia
yang hidupnya menyusahkan orang lain atau menjauhkan manusia dari jalan Allah
adalah manusia yang buruk.
Bila suatu masyarakat bersepakat bahwa seorang pemimpin itu hidupnya
menyulitkan orang lain, hampir dapat dipastikan bahwa orang tersebut memang
jelek. Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Ada tiga orang yang
dibenci Allah (salah satu di antaranya) seseorang yang memimpin suatu masyarakat
sedangkan mereka membenci pemimpin itu”. (Al Hadits).
Memuliakan manusia ada batasnya. Kita wajib memberikan hak manusia
untuk dihargai sesuai dengan dhawabith (patok-patok berpikir) yang ditentukan
ajaran Islam menghormati manusia lain tidak boleh sampai menyanjung atau
memujanya. Setiap orang berhak memperoleh penghargaan sesuai dengan
tuntutan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam, “Man lam yasykurinaas lam
yasykurillah” (Barang siapa yang tidak pandai mensyukuri kebaikan manusia berarti
belum disebut bersyukur kepada Allah). Tetapi penghargaan itu tidak boleh sesuatu
yang menjerumuskan kita pada kemungkaran dalam aqidah.
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Hubbuka fissyai
yu’ma wa yu’sham” (Kecintaanmu kepada sesuatu itu dapat membutakan dan
menulikan kamu). Menyukai sesuatu tidaklah dilarang sepanjang tidak melanggar
kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam ajaran Islam.
Ada dua kaidah yang harus dipegang teguh: Pertama, menyukai orang
tertentu tidak boleh sampai jatuh kepada kultus yang dilarang. Kedua, mencintai
harus karena Allah. Artinya, seseorang itu disukai kalau memang disukai Allah dan
seseorang itu dibenci jikalau dibenci Allah. Jadi bukan ukuran masyarakat banyak
yang menjadi standar. Orang yang mencintai orang lain secara buta tuli sangat
berbahaya karena menimbulkan kultus individu dan kemurkaan Allah.
Di antara akibat buruk dari kultus individu dan benda adalah,
1. Membawa pada kemusyrikan, sedang syirik merupakan dosa besar yang tidak
diampuni Allah sampai pelakunya benar-benar bertaubat.
2. Menyeret pelakunya pada kekafiran yaitu bila orang yang menjadi tokoh
pujaannya mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Allah dan
Rasul-Nya.
3. Mudah dibodohi orang lain karena pertimbangan akalnya sudah hilang diganti
oleh pertimbangan emosi dan kedangkalan berpikir.
4. Tidak mampu melihat kebenaran pada pendapat orang lain, bagaikan orang
yang buta matanya, hati orang yang sedang kultus pun buta dari melihat
kebenaran. Dia selalu menyalahkan orang lain.
5. Mudah menyesal dan putus asa sebab tatkala yang dipujanya mengalami
kebangkrutan dia pun akan frustrasi dan bangkrut pula.

266
6. Menimbulkan berbagai pertentangan, kebencian, dan permusuhan dalam
masyarakat karena pembelaan orang yang kultus terhadap pujaannya
menimbulkan pertentangan.
F. Patung dan Gambar
Islam bangkit untuk seluruh umat manusia agar beribadah kepada Allah saja,
dan menghindarkannya dari penyembahan kepada selain Allah seperti para wali
dan orang sholeh yang dilukiskan dalam patung dan arca-arca. Ajakan seperti ini
sudah lama terjadi sejak Allah mengutus Rasul-rasulnya untuk memberikan
petunjuk kepada manusia.

Patung-patung itu telah disebut dalam surah Nuh. Dalil yang paling jelas
mengenai patung sebagai gambar orang shalih adalah hadits riwayat Bukhari dari
Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah :
َ
َ ‫وث ُ َو َي ُعو‬
َ َ‫ ُ َوقَ ٌْ ُأ‬-٢٣-ُ ً‫ق ُ َونَسْرا‬
ُ‫ضلُّواُ َكثِيراً ُ َو َال ُت َِز ِد‬ َ ‫س َواعا ً ُ َو َال ُيَ ُغ‬
ُُ ُ ‫ُو َال ُتَ َذ ُر َّن ُ َو ّداً ُ َو َال‬ َ ُ‫َوقَال‬
َ ‫واُال ُتَ َذر َُّن ُآلِهَتَ ُك ْم‬
-٢٤-ًُ‫ض ََلال‬ َ ُ‫الظَّالِ ِمينَ ُإِ َّال‬
Dan mereka berkata : “Dan jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula meninggalkan “wadd,
suwa, yaghuts, ya’uq dan nasr, dan sungguh mereka telah menyesatkan
kebanyakan manusia.” (Nuh/71 : 23-24).

Kata Ibnu Abbas : “Itu semua adalah nama-nama orang shalih dari kaum
Nabi Nuh Alaihis salam, ketika mereka meninggal setan membisiki mereka agar
membuat patung-patung mereka di tempat-tempat duduk mereka dan memberi
nama patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Kaum itu melaksanakannya.
Pada waktu itu belum disembah, setelah mereka meninggal dan ilmu sudah
dilupakan, barulah patung-patung itu disembah orang.”310
Kisah ini memberikan pengertian bahwa sebab penyembahan selain Allah,
adalah patung-patung pemimpin suatu kaum. Banyak orang yang beranggapan
bahwa patung, gambar-gambar itu halal karena pada saat ini tidak ada lagi yang
menyembah patung.
Pendapat itu dapat dibantah sebagai berikut :
1. Penyembahan patung masih ada pada saat ini, yaitu gambar Isa dan bunda
Maryam di gereja-gereja sehiggga orang Kristen menundukkan kepala kepada
salib. Banyak juga gambar Isa itu dijual dengan harga tinggi untuk diagungkan,
digantungkan di rumah-rumah dan sebagainya.
2. Patung para pemimpin negara maju dalam materi tetapi mundur di bidang
rohani, bila lewat di depan patung membuka topinya sambil membungkukkan

310
Abdullah bin Muhammad bin Abudrrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 10.
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2012), hal. 110

267
punggungnya seperti George Washington di Amerika, patung Napoleon di
prancis, patung Lenin dan Stalin di rusia dan lain-lain. Ide membuat patung ini
menjalar ke negara-negara Arab. Mereka membuat patung di pinggir-pinggir
jalan meniru orang kafir dan patung-patung itu masih dipasang di negeri arab
maupun di negeri Islam lainnya. (Di Indonesia, gambar dan patung dianggap
bagian dari pelestarian budaya, red). Alangkah baiknya jika dana untuk
membuat patung itu dipergunakan untuk membangun masjid, sekolah, rumah
sakit santunan sosial yang lebih bermanfaat.
3. Patung-patung semacam itu lama-kelamaan akan disembah orang seperti yang
terjadi di Eropa dan Turki. Mereka sebenarnya telah ketularan warisan kaum
Nabi Nuh yang mempelopori pembuatan patung pamimpin-pemimpin mereka
yang pada mulanya hanya sekedar kenang-kenangan penghormatan kepada
pemimpinnya yang akhirnya berubah mejadi sesembahan.
4. Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam sungguh telah memerintahkan Ali bin Abi
Tholib dengan sabdanya :
“Jangan kau biarkan patung-patung itu sebelum kau hancurkan dan jangan pula
kau tinggalkan kuburan yang menggunduk tinggi sebelum kau ratakan.”
(riwayat Muslim).
Bahaya Gambar dan Patung
Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali ada bahaya yang mengancam
agama, akhlak dan harta manusia. Orang Islam yang sejati adalah yang tanpa
reserve menerima perintah Allah dan Rasulnya meskipun belum mengerti sebab
atau alasan perintah Allah tersebut.
Agama melarang patung dan gambar karena banyak mendatangkan bahaya
seperti :
1. Dalam agama dan aqidah : patung dan gambar merusak aqidah orang banyak
seperti orang Kristen menyembah patung Isa dan bunda Maryam serta salib.
Orang Eropa dan Rusia menyembah patung pemimpin mereka, menghormati
dan mengagungkannya. Orang-orang Islam telah meniru orang eropa membuat
patung pemimpin mereka baik di negeri Islam Arab maupun bukan Arab.
Para Ahli tariqat dan tasawwuf kemudian membuat pula gambar guru-guru
mereka yang diletakkan di muka mereka pada waktu shalat dengan maksud
menerima bantuan kepada patung atau gambar untuk mengkhusyu’kan
shalatnya.

Demikian pula yang diperbuat oleh para pencinta nyanyian. Mereka


menggantungkan gambar para penyanyi untuk diagungkan. Begitu pula para
penyiar radio pada waktu perang dengan yahudi tahun 1967 berteriak :
“maju terus ke depan, penari fulan dan fulanah bersamamu,” seharusnya ia
berseru :

268
“Maju terus, Allah bersamamu.”
Karena itu maka tentara Arab kalah total, sebab Allah tidak membantu mereka.
Demikian juga penari-penyanyi yang mereka sebut-sebut pun tidak kunjung
memberikan bantuan apapun.

2. Adapun bahaya gambar dalam merusak akhlak generasi muda sangat nyata. Di
jalan-jalan utama terpampang gambar-gambar penari telanjang yang memang
sangat digandrungi oleh mereka, sehingga dengan sembunyi atau terang-
terangan mereka berbuat keji yang merusak akhlak mereka. Mereka sudah
tidak lagi mau memikirkan agama dan negara, jiwa kesucian, kehormatan dan
jihad sudah luntur dari jiwa mereka.

Demikianlah gambar-gambar itu menghias poster-poster, majalah dan surat


kabar, buku iklan bahkan di pakaian pun gambar porno itu sudah dipasang
orang, belum lagi apa yang disebut blue film. Ada lagi model karikatur yang
memperjelek gambar makhluk Allah dengan hidung panjang, kuping lebar dan
sebagainya, padahal Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling
bagus.

3. Adapun secara material bahaya gambar sudah jelas dan tidak perlu dalil lagi.
Patung-patung itu dibuat dengan biaya mahal sampai jutaan rupiah, dan
banyak orang membelinya untuk digantung di dinding rumah, demikian pula
lukisan-lukidan orang tua yang telah meninggal dibuat dengan biaya yang tidak
sedikit, yang apabila disedekahkan dengan niat agar pahalanya sampai kepada
almarhum akan lebih bermanfaat baginya. Yang lebih jelek lagi adalah gambar
seorang laki-laki bersama isterinya waktu malam perkawinan dipasang di
rumah agar orang melihatnya. Ini seakan-akan isterinya itu bukan miliknya
sendiri tetapi milik setiap orang yang melihat.

Gambar dan Patung yang diperbolehkan

1. Gambar dan lukisan pohon, binatang matahari, bulan, gunung, batu, laut,
sungai, tempat-tempat suci seperti masjid, Ka’bah yang tidak memuat gambar
orang dan binatang, pemandangan yang indah. Dalilnya adalah kata Ibnu
Abbas Radiyallahu ‘anhu :

“Apabila anda harus membuat gambar, gambarlah pohon atau sesuatu


yang tidak ada nyawanya.” (Riwayat Bukari).

2. Foto yang dipasang di kartu pengenal seperti paspor, SIM, dan lain-lain yang
mengharuskan adanya foto. Semuanya itu dibolehkan karena darurat
(keperluan yang tidak bisa ditinggalkan).

269
3. Foto pembunuh, pencuri, penjahat agar mereka dapat ditangkap untuk
dihukum.

4. Barang mainan anak perempuan yang dibuat dari kain sebangsa boneka
berupa anak kecil yang dipakaikan baju dan sebagainya dengan maksud untuk
mendidik anak perempuan rasa kasih sayang terhadap anak kecil. Aisyah
Radhiyallahu ‘anha berkata :

“Saya bermain-main dengan boneka berbentuk anak perempuan di depan


Nabi Shallallahu’alaihi wasallam.” (Riwayat Bukhari).

Tidak boleh membeli mainan negara asing untuk anak-anak, terutama


mainan yang membuka aurat sebab anak-anak akan menirunya yang
berakibat merusak akhlak serta pemborosan dengan membelanjakan
kekayaan untuk negara asing dan negara yahudi.

5. Diperbolehkan gambar yang dipotong kepalanya sehingga tidak


menggambarkan makhluk bernyawa lagi seperti benda mati.

Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah mengenai gambar :

“Perintahkanlah orang untuk memotong kepala gambar itu, dan


perintahkanlah untuk memotong kain penutup (yang ada gambarnya)
supaya dijadikan dua bantal yang dapat diduduki.” (shahih, riwayat Abu
Daud).
Berdasarkan Himpunan putusan Tarjih (HPT), hukum dari gambar adalah
bergantung dari illat-nya (sebabnya) yaitu berkisar 3 macam

1. Untuk disembah hukumnya haram, berdasarkan nash.


2. Untuk sarana pengajaran, hukumnya mubah
3. Untuk perhiasan, ada dua macam: pertama tidak khawatir mendatangkan
fitnah, hukumnya mubah. Kedua Jika mendatangkan fitnah ada dua macam,
jika fitnah itu kepada maksiat, hukumnya makruh. Jika fitnah itu kepada
musyrik, hukumnya haram seperti gambar Nabi-nabi dan orang-orang shalih.
311

311
Himpunan Putusan Tarjih. 2016. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Hal 283.

270
G. Menyambut Dan Ikut Merayakan Hari Raya Atau Pesta Orang Kafir Serta
Berbelasungkawa dalam Hari Duka Mereka
1. Hukum Menyambut dan Bergembira dengan Hari Raya Mereka
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-
orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka
yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat
maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan
meninggalkannya.
Ada seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasul Shallallaahu alaihi
wa Salam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di
Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam
menyatakan kepadanya; “Apakah di sana ada berhala dari berhala-hala orang
Jahiliyah yang disembah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di
sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya mereka?” Dia
menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda,“Tepatilah nadzarmu, karena
sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah
dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam.” (HR. Abu Daud dengan sanad
yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di
tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-
orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti
mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka atau
menjadi wasilah yang menghantar-kan kepada syirik.
Begitupula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung
wala’ kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar
mereka. Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya
mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makan-makanan sehubungan
dengan hari raya mereka.
Dan di antaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal
itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para
sahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka
tidak diperbolehkan karena dua alasan:
Pertama: Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa
hal tersebut berarti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan
tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan
meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka. Bahkan seandainya
kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketepatan semata, bukan karena
mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihinya telah
diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan
maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apa pun, terlebih
lagi kalau dia melakukannya.

271
Kedua: karena hal itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas
menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu.
Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin ber-tasyabbuh
(menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka; seperti
makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja
dan beribadah atau pun yang lain-nya. Tidak halal mengadakan kenduri atau
memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya
tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak atau pun yang lainnya melakukan
permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.”
Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari
syi’ar mereka pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti
hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam.
Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja maka
berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh.
Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada
perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang
melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran.
Segolongan ulama mengatakan, “Siapa yang menyembelih kambing pada
hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi.”
Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti negara-negara ‘ajam
(non-Islam) dan melakukan perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai
mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan
dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.”
2. Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka
Dengan Hal-hal yang Mubah serta Ber-ta’ziyah pada Musibah Mereka

Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahni’ah) atau ucapan bela-


sungkawa (ta’ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala’
dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung
arti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka.
Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini.
Sebagaimana haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan
bagi mereka. Ibnul Qayyim berkata, “Hendaklah berhati-hati jangan sampai
ter-jerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang
menunjukkan ridha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka,
“Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau
“memberkatimu dalam agamamu”, atau berkata, “Semoga Allah
memuliakanmu”.
Kecuali jika berkata, “Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”,
atau yang senada dengan itu. Itu semua tahni’ah dengan perkara-perkara
umum. Tetapi jika tahni’ah dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka
seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya

272
Natal” umpamanya atau “Berbahagialah dengan hari raya ini” atau yang
senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari kekufuran,
dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman.
Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap
sujud mereka kepada salib; bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada
memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau
berzina atau yang sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari
keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada
seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia telah
menantang murka Allah. Para ulama wira’i (sangat menjauhi yang makruh,
apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni’ah kepada para
pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai
hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka Allah dan
laknat-Nya.
Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahni’ah kepada orang-orang
kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika
mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun
memberikan tahni’ah atas hari-hari raya mereka atau syi’ar-syi’ar mereka
adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada
kekufuran.

273

Anda mungkin juga menyukai