Anda di halaman 1dari 24

KEBUTUHAN NUTRISI PADA BAYI/ANAK DARI IBU HIV

OLEH: KELOMPOK 9

NI LUH LINDA AYUNI TANIA (17089014108)

FAHMI FERDINAN FAUZAN (17089014109)

NI NENGAH PANIARI (17089014060)

TRI KARTINI DEWI MAU RESI (17089014089)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nya lah sehingga
penulis dapat meyelesaikan makalah ini dalam waktu yang telah ditentukan. Dengan
adanya penulisan makalah ini semoga dapat membantu dalam pembelajaran kita dan
bisa menyelesaikan masalah-masalah,. Disamping itu kami menyadari bahwa mungkin
terdapat banyak kesalahan baik dari penulisan ataupun dalam penyusunannya yang tidak
kami ketahui.
Penulispun menyadari bahwa susunan pembuatan makalah ini belum mencapai
hasil yang sempurna. oleh karena itu, kritikan dan saran sangat diharapkan
yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis
mengucapkan Terimakasih dan semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam
mengupas imajinasi mengenai hal-hal yang masih belum diungkapkan dalam
membahas tentang “Nurtsi bayi/anak dari ibu HIV”.

Singaraja, Maret 2020

Penyusun, Kelompok 9
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................
1.2 Rumusan Masalah................................................................................
1.3 Tujuan..................................................................................................
1.4 Manfaat................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Nutrisi..................................................................................


2.2 Kebutuhan nutrisi pada anak normal.................................................
2.3 Kebutuhan nutrisi pada bayi normal.................................................
2.4 Definisi kebutuhan nutrisi pada bayi dan anak dengan HIV............
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………

3.2 Saran………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Masalah gizi terkait dengan infeksi HIV perlu mendapat perhatian. Infeksi HIV
merupakan masalah yang cukup serius dan kekurangan nutrisi sering menjadi
komplikasi dari penyakit ini (Swaminathan et al., 2008). Penelitian yang dilakukan di
RSUP Dr.Kariadi Semarang pada Desember 2010 – Mei 2011 menunjukan bahwa
terdapat 22 pasien (52,38%) dengan status gizi dibawah normal/ underweight
berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Andersen, 2017). Status gizi yang buruk pada
pasien HIV/AIDS disebabkan karena asupan gizi yang tidak adekuat, adanya perubahan
laju metabolism tubuh, perubahan mekanisme kerja traktus digestivus, interaksi obat
dengan zat gizi (Stambullian, Feliu, & Slobodianik, 2007). Hal ini dapat dimanfaatkan
oleh HIV untuk berkembang lebih cepat dan daya tahan tubuh untuk melawan HIV
menjadi berkurang sehingga menyebabkan meningkatkan resiko terkena infeksi
oportunistik, dan mempengaruhi absorbsi obat ARV dalam tubuh (Nursalam &
Kurniati, 2009).
Menurut Nursing Intervensions Clasfifications (NIC), upaya yang dilakukan untuk
mengatasi masalah defisit nutrisi yaitu memonitoring nutrisi pasien serta memanajemen
nutrisi dari pasien HIV/AIDS tersebut (M.Bulecheck, K.Butcher, M.Dochterman, &
M.Wagner, 2016). Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) harus diberikan makanan tinggi
kalori-tinggi protein (TKTP), kaya vitamin dan mineral, serta cukup air. Syarat diet
ODHA yaitu: 1) kebutuhan zat gizi ditambah 10-25% lebih banyak dari kebutuhan
minimum yang dianjurkan, 2) diberikan dalam porsi kecil tapi teratur, 3) menghindari
makanan yang diawetkan dan beragi, 4) bila pasien mendapat terapi ARV pemberian
makanan disesuaikan dengan jadwal minum obat, 5) berikan makanan rendah serat dan
makanan lunak atau cair jika ada masalah pencernaan, 6) hindari rokok, alcohol dan
kafein, 7) rendah latosa dan rendah lemak jika ada diare, 8) disesuaikan dengan
penyakit infeksi yang menyertai. Jika pasien tidak bisa makan secara oral berikan dalam
bentuk enteral dan parental secara aman (NGT atau IV) (Nursalam & Kurniati, 2009)

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah “ seperti
apakah perbedaan nutrisi bayi/amak normal dengan anak dari ibu HIV dan yang
terpenting Bagaimanakah gambaran Asuhan keperawatan pada bayi/anak dari ibu HIV”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui seperti apa pemberian nutrisi pada bayi/anak dari ibu HIV dan
terpenting bagaimana kita mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada bayi/anak
dari ibu HIV

1.3.2 Tujuan Kusus


1. Untuk mengetahui definisi nutrisi
2. Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi pada anak normal
3. Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi pada bayi normal
4. Untuk mengetahui definisi kebutuhan nutrisi pada bayi dan anak dengan HIV
5.
1.4 Manfaat

Manfaat dalam penulisan makalah dan meteri ini adalah untuk menambah
pengetahuan bagi pembaca agar dapat menerapkaan dan berbagi ilmu pengetahuan ini
berguna untuk memajukan pengetahuan tentang kesehatann.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Nutrisi

2.1.1 pengertian nutrisi

Nutrisi adalah salah satu komponen penting yang menunjang kelangsungan


proses tumbuh kembang. Selama masa tumbuh kembang, anak sangat membutuhkan zat
gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan air. Apabila kebutuhan
tersebut kurang terpenuhi, maka proses tumbuh kembang selanjutnya dapat terhambat
(Hidayat, 2006). Nutrisi berfungsi menghasilkan energi bagi fungsi organ, gerak dan
fungsi fisik, sebagai bahan dasar untuk pembentukan dan perbaikan jaringan sel-sel
tubuh dan sebagai pelindung dan pengatur suhu tubuh (Tarwoto & Wartonah, 2006).
Nutrisi adalah elemen yang dibutuhkan untuk proses dan fungsi tubuh. Kebutuhan
energi didapatkan dari berbagai nutrisi, seperti: karbohidrat, protein, lemak, air, vitamin,
dan mineral (A. P. Potter & Perry, 2010).

2.1.2 Macam nutrisi


Nutrisi yang dibutuhkan tubuh secara umum dapat dikelompokkan menjadi
lima, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Terdapat beberapa zat gizi
yang berperan penting dalam proses pertumbuhan yaitu :
a. Karbohidat
Fungsi utama karbohidrat ialah sebagai penyedia sumber tenaga utama bagi tubuh
berbentuk energi. 1 gram karbohidrat menyediakan energi sebesar 4 kilokalori (Kal)
bagi tubuh. Karbohidrat berbentuk glukosa merupakan satu-satunya sumber energi bagi
otak dan sistem saraf. Karbohidrat disimpan sebagai cadangan energi dalam tubuh
berbentuk glikogen yang disimpan dalam hati dan otot (Fikawati, Syafiq, & Veratamala,
2017). Karbohidrat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu karbohidrat sederhana dan
karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana seperti fruktosa, glukosa, dan laktosa,
dapat dijumpai dalam buah-buahan, gula dan susu. Sedangkan karbohidrat kompleks
dapat ditemukan dalam sayuran berserat, gandum, nasi, sereal, oat dan lain sebagainya
(Boyle & Roth, 2010).
b. Protein
Protein merupakan komponen utama protoplasma di dalam sel, selain ia dapat menjadi
sumber energy juga berperan penting dalam proses pertumbuhan. Protein berperan
dalam pemeliharaan jaringan, perubahan komposisi tubuh, serta proses regenerasi
jaringan. Komponen protein di dalam tubuh meningkat dari 14,6% pada masa
pertumbuhan menjadi 18-19% ketika berusia 4 tahun. Estimasi kebutuhan protein pada
masa pertumbuhan sekitar 1-4g/kg BB (Boyle & Roth, 2010).
c. Lemak
Lemak menyumbangkan 40-50% energi yang dikonsumsi oleh bayi. Lemak
menyediakan sekitar 60% energi yang diperlukan tubuh selama beristirahat. Walaupun
kelebihan karbohidrat dan protein dapat diubah dalam bentuk lemak, namun lemak tidak
dapat diubah dalam bentuk karbohidrat dan protein. Lemak sebagai komponen utama
pembentuk membran sel. Lemak juga membantu penyerapan dan penyimpanan vitamin
larut lemak, seperti vitamin A, D, E dan K. Asam lemak esensial, seperti asam lemak
omega 3 dan omega 6 merupakan zat nutrisi penting yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan otak. Namun, asam lemak ini diperoleh dari luar, tidak disintesis sendiri
oleh tubuh (Boyle & Roth, 2010).
d. Kalsium
Kalsium berfungsi untuk pertumbuhan dan mineralisasi tulang. Lebih dari 98% kalsium
tubuh berebntuk tulamg dan 1% nya lagi ada dalam cairan tubuh dan otot. Sebanyak 30-
60% asupan kalsium diserap oleh tubuh. Selain itu, kalsium juga membantu menjaga
detak jantung agar teratur dan mengirimkan impuls saraf. Kalsium juga digunakan
dalam pembentukan protein RNA dan DNA untuk membantu aktivitas neuromuskuler.
Kekurangan kalsium dapat mengakibatkan insomnia, kram otot, gugup, mati rasa,
gangguan kognitif, depresi dan hiperaktif (Boyle & Roth, 2010).
e. Zat besi
Zat besi adalah bahan dasar dalam pembentukan hemoglobin dan juga berperan dalam
pengangkutan oksigen dan sari-sari makanan ke seluruh sel di dalam tubuh. Hal ini
penting untuk pertumbuhan, sistem kekebalan tubuh dan produksi energy. Kekurangan
zat besi dapat disebabkan oleh aktivitas berlebih, kurangnya asupan, pencernaan yang
buruk, atau konsumsi teh dan kopi yang berlebih. Tanda-tanda kekurangan zat besi,
seperti pusing, kelelahan, gugup, dan reaksi mental melambat (Boyle & Roth, 2010).
3. Penilaian status nutrisi

a. Penilaian status nutrisi secara langsung

1) Antropometri
Antropometri memiliki arti sebagai ukuran tubuh manusia. Pengukuran menggunakan
metode ini dilakukan karena manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Metode antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan nutrisi (asupan
karbohidrat dan protein). Metode ini memiliki keunggulan dimana alat mudah, dapat
digunakan berulang-ulang & objektif (Mardalena, 2017).
Antropometri sebagai indikator status nutrisi dapat dilakukan dengan mengukur
beberapa parameter. Parameter ini disebut dengan Indeks Antropometri yang terdiri dari
:
a) Berat badan menurut umur (BB/U)

b) Tinggi badan menurut umur (TB/U)

c) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

d) Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U)

e) Indeks masa tubuh (IMT)


Banyak sumber yang dapat digunakan untuk menggolongkan status nutrisi dengan
menggunakan indeks antropometri tetapi diperlukan tabel bantu untuk mengetahui
parameter normal.
2) Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis sebagai salah satu metode penilaian status nutrisi secara
langsung, secara umum terdiri dari dua bagian yaitu riwayat medis dan pemeriksaan
fisik.
a) Riwayat medis
Dalam riwayat medis kita mencatat semua kejadian yang berhubungan dengan
gejala yang timbul pada penderita beserta faktor-faktor yang memengaruhinya. Data
yang berhubungan dengan gizi yang dikaji adalah riwayat alergi terhadap makanan,
jenis diet dan pengobatan yang sedang atau pernah dijalani oleh pasien (Mardalena,
2017)

b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi. Tanda – tanda klinis dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
(1) Kelompok 1, tanda-tanda yang benar berhubungan dengan malnutrisi. Baik itu
karena kekurangan salah satu zat nutrisi atau kelebihan dari yang dibutuhkan tubuh.
(2) Kelompok 2, tanda-tanda yang membutuhkan pengamatan lebih lanjut. Hal ini
karena tanda yang ada mungkin saja merupakan tanda nutrisi salah atau mungkin
disebabkan oleh faktor lain.

(3) Kelompok 3, tanda-tanda yang tidak berkaitan dengan nutrisi salah walaupun hampir
mirip. Untuk dapat mengelompokkan tanda-tanda yang ada pada pasien, pemeriksa
harus mengetahui tanda-tanda dan gejala akibat kekurangan atau kelebihan setiap zat
gizi (Mardalena, 2017).
3) Biokimia
Pemeriksaan status nutrisi menggunakan biokimia terdiri dari :
a) Penilaian status nutrisi dengan pemeriksaan hemoglobin (hb), hematokrit, besi serum,
ferritin serum, saturasi transferrin, free erytrocites protophoprin, unsaturated iron-
blinding capacity serum.

b) Penilaian status protein dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fraksi


protein yaitu albumin, globulin dan fibrinogen.

c) Penilaian status vitamin tergantung dari vitamin yang ingin kita ketahui.
d) Penilaian status mineral, misalnya iodium dinilai dengan memeriksa kadar yodium
dalam urine dan kadar hormone TSH (thyroid stimulating hormone) (Mardalena, 2017).

4) Biofisik
Pemeriksaan status nutrisi dengan biofisik adalah pemeriksaan yang melihat dari
kemampuan fungsi jaringan dan perubahan struktur. Penilaian secara biofisik dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu uji radiologi, tes fungsi fisik, sitologi (Mardalena,
2017).
b. Penilaian status nutrisi secara tidak langsung

1) Survei konsumsi makanan , Survei ini digunakan dalam menentukan status nutrisi
perorangan atau kelompok. Survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui
kebiasaan makan atau gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat nutrisi.

2) Pengukuran faktor ekologi


Faktor ekologi yang berhubungan dengan malnutrisi ada enam kelompok, yaitu keadaan
infeksi, konsumsi makanan, pengaruh budaya, sosial ekonomi, produksi pangan, serta
kesehatan dan pendidikan.
3) Statistic vital
Dengan menggunakan statistic kesehatan, kita dapat melihat indikator tidak langsung
pengukuran status nutrisi masyarakat. Beberapa statistik yang berhubungan dengan
keadaan kesehatan dan nutrisi antara lain angka kesakitan, angka kematian, pelayanan
kesehatan dan penyakit infeksi yang berhubungan dengan nutrisi (Mardalena, 2017).

2.2 Kebutuhan nutrisi pada anak normal

Kekurangan gizi pada berkembang diantaranya terjadi karena pola pemberian


makan yang tidak sesuai (Ningsih et al., 2015). Pola pemberian makan yang diberikan
kepada balita akan mempengaruhi proses pertumbuhan balita karena dalam asupan gizi
tersebut mengandung zat gizi yang penting untuk pertumbuhan, kesehatan, dan
kecerdasan (Purwani & Mariyam, 2013). Pola pemenuhan status gizi pada anak
merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak akan asah, asih dan asuh
(Rachmawati, Ranuh, & Arief, 2016). Pola pemberian makan yang sehat akan
berdampak baik pada kesehatan di kemudian hari (Gibson et al., 2012). Asupan nutrisi
berlebihan atau kurang akan berpengaruh pada status gizi dan kesehatan anak (Lobstein
et al., 2004; Must & Strauss, 1999). Di Surabaya status gizi kurang masih ditemukan,
khususnya di wilayah Kalijudan Surabaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan
petugas gizi dari Puskesmas Kalijudan, dijelaskan bahwa penyebab status gizi kurang
disebabkan oleh pola pemberian makan yang kurang tepat, terkait dengan jumlah
asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan balita. Menurut Karp et al., (2012)
menjelaskan bahwa pola makan dan perilaku orang tua seperti memonitor asupan
nutrisi, membatasi jumlah makanan, respon terhadap pola makan, dan memperhatikan
status gizi anak memberikan dampak yang berarti bagi status gizi anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita secara umum dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung (Bappenas, 2010). Faktor
langsung atau faktor dari individu atau anak yaitu asupan makanan dan penyakit (Diare
dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA). Faktor tidak langsung atau faktor dari
keluarga yaitu ketersediaan pangan, sanitasi lingkungan, pola asuh orang tua
didalamnya adalah pola pemberian makan, pengetahuan, sikap, keterampilan, dan
pelayanan kesehatan
Pola pemberian makan merupakan perilaku seseorang yang dapat mempengaruhi status
gizi (Kemenkes RI, 2014). Pola makan dapat memberikan gambaran asupan gizi
mencakup jenis, jumlah, dan jadwal dalam pemenuhan nutrisi (Kemenkes RI, 2014).
Pola pemberian makan balita akan berpengaruh terhadap kesehatan dimasa depan
(Kudlova & Schneidrova, 2012). Prinsip kebutuhan nutrisi setiap usia berbeda-beda.
Anak pada usia 1–3 tahun bersifat konsumen pasif, kebutuhan nutrisi anak usia 1-3
tahun tergantung pada nutrisi yang disediakan oleh ibu (Fauziah, 2009). Pemenuhan
kebutuhan nutrisi oleh orang tua akan mempengaruhi kebiasaan makan selanjutnya
(Khosman, 2004).

Penilaian status gizi meliputi penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan


biofisik. Menurut Arija et al., (2015) pengukuran menggunakan Antropometri
merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk menilai dan
memantau status kesehatan, status gizi, serta pertumbuhan anak. Keunggulan
pengukuran antropometri adalah, prosedur aman dan sederhana, alatnya murah, mudah
dibawa, metode tepat dan akurat, dapat mengidentifikasi riwayat gizi masa lampau,
dapat mengevaluasi perubahan status gizi tertentu, mengidentifikasi status gizi (kurus,
sangat kurus, normal), dan memiliki ambang batas yang jelas (Supariasa et al., 2002).
Upaya perbaikan pola pemberian makan pada masalah gizi telah dimulai oleh Dinas
Kesehatan Jawa Timur pada tahun 2013 melalui program Pemberian makan tambahan
(PMT) pemulihan, bantuan makanan padat gizi, bantuan Makanan pendamping air susu
ibu (MP-ASI), pelaksanaan rujukan gizi dan perawatan penderita untuk balita gizi
buruk, pembentukan pusat pemulihan gizi buruk, penyuluhan PMT di posyandu, dan
meningkatkan dukungan lintas sektoral antara lain menemui tim pangan dan gizi
(Dinkes Jawa Timur, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden


memiliki pola pemberian makan tepat berdasarkan jenis makanan, jumlah makanan, dan
jadwal makan. Menurut Widjaja (2007) pemberian nutrisi yang adekuat dan seimbang
dapat dilakukan dengan memperhatikan pola pemberian makan yang bertujuan untuk
mendapatkan asupan gizi yang diperlukan oleh anak. Hal ini ditujukan agar dapat
memelihara dan memulihkan kesehatan anak melalui makanan (zat-zat) dalam makanan
yang dikonsumsi sangat mempengaruhi kesehatan (Prasetyawati, 2012). pendidikan
seorang ibu dalam pemenuhan nutrisi akan menentukan pada pemilihan bahan makanan
dan pemenuhan kebutuhan gizi, karena pendidikan tinggi cenderung memilih dan
menyeimbangkan kebutuhan gizi dari anak. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Sumaiyah (2008) di posyandu Desa Putat, Tanggulangin, Sidoarjo
menjelaskan bahwa sebagian besar responden dengan pola pemberian kategori baik
dilatarbelakangi oleh tingkat pendidikan yang baik. Faktor tersebut penting dalam hal
pemilihan jenis dan jumlah makanan serta penentuan jadwal makan anak sehingga pola
pemberian makan tepat dan sesuai dengan anak usia 1–3 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian responden memiliki status gizi


normal. Status gizi normal adalah apabila tubuh memperoleh asupan gizi yang baik
maka pertumbuhan dan kesehatan secara umum pada kondisi baik. Menurut Sutomo dan
Anggraini (2010) status gizi adalah kondisi kesehatan yang tampak pada tubuh berkat
adanya asupan zat gizi melalui makanan dan minuman yang sesuai dengan kebutuhan.
Kesesuaian kebutuhan nutrisi dapat diperoleh dari susunan makanan yang memenuhi
kebutuhan tubuh. Status gizi normal diwujudkan dalam adanya keselarasan antara berat
badan terhadap tinggi badan anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak
diantaranya adalah asupan gizi dan pola asuh dalam pemberian makan (UNICEF, 1998).
Asupan gizi yang masuk dalam tubuh manusia akan menentukan status gizi dan
kesehatan. Gizi yang diperoleh bermanfaat untuk kelangsungan hidup manusia (Nix,
2013). Pola asuh orang tua akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Hal
tersebut dapat dilakukan melalui pemberian makan anak (Soekirman, 2000).
Anak dengan status gizi normal dapat dikatakan telah mendapatkan asupan gizi sesuai
dengan kebutuhan. Nutrisi berupa makanan yang telah dipilih bahannya dan

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pemberian makan


berhubungan dengan status gizi anak usia 1–3 tahun. Pola pemberian makan tepat
sebagian besar memiliki status gizi normal dan pola pemberian makan tidak tepat
sebagian besar memiliki status gizi sangat kurus dan kurus.
Kebutuhan nutrisi anak harus dipenuhi untuk mendapatkan status gizi normal. Hal
tersebut harus dilakukan oleh pengasuh khususnya ibu untuk proses tumbuh kembang
dan kecerdasan anak (Hidayat, 2008). Pemenuhan kebutuhan nutrisi diperoleh melalui
pemberian makan anak untuk mendapatkan status gizi yang sesuai dengan kebutuhan
(Handono, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Realita (2010) menjelaskan
bahwa pola pemberian makan tepat berpengaruh terhadap status gizi

Diperkuat oleh penelitian Tella (2012) di Mapaget bahwa pola pemberian makan
yang seimbang berhubungan dengan status gizi anak. Hal tersebut penting terhadap
pertumbuhan anak. Pola pemberian makan yang baik harus dilakukan sejak dini dengan
cara memberikan makanan yang bervariasi dan memberikan informasi kepada anak
waktu makan yang baik. Dengan demikian, anak akan terbiasa dengan pola makan
sehat.
Hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa pola pemberian makan yang diberikan orang tua
mampu meningkatkan status gizi anak. Pola pemberian makan yang diberikan orang tua
berdasarkan jenis makanan, jumlah makanan, dan jadwal makan yang tepat mampu
memberikan status gizi normal. Sebaliknya, pola pemberian makan yang tidak tepat
sesuai dengan jumlah, jenis, dan jadwal akan memiliki status gizi anak sangat kurus dan
kurus. Perlu ditekankan kepada orang tua bahwa pola pemberian makan yang sesuai
atau tepat harus dipenuhi dengan pemilihan bahan makanan yang mengandung gizi
seimbang. Dengan makanan bergizi dan menu yang seimbang diharapkan anak
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Apabila pemenuhan nutrisi tercapai
dengan baik maka status gizi anak normal, anak sehat dan mampu beraktivitas dengan
baik

2.3 Kebutuhan Nutrisi Pada Bayi Normal


Bayi (usia 0-11 bulan) merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang
pesat yang mencapai puncaknya pada usia 24 bulan, sehingga kerap diistilahkan sebagai
periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada
masa ini bayi memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal.
Sebaliknya apabila bayi pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan
gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan
mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa
selanjutnya.
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant
and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang
harus dilakukan yaitu; pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam
waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau
pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga
memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan
sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24
bulan atau lebih (WHO, 2003)
Kebutuhan energi bayi yang cukup selama tahun pertama kehidupan sangat
bervariasi menurut usia dan berat badan. Taksiran kebutuhan energi selama 2 bulan
pertama, yaitu masa pertumbuhan cepat, adalah 120 kkal/kg BB/hari. Secara umum,
selama 6 bulan pertama kehidupan, bayi memerlukan energi sebesar kira-kira 115-120
kkal/Kg/hari, yang kemudian berkurang sampai sekitar 105 – 110 kkal/Kg/hari pada 6
bulan sesudahnya (Budiyanto, 2002)
Energi dipasok terutama oleh karbohidrat dan lemak. Protein juga dapat
digunakan sebagai sumber energi, terutama jika sumber lain sangat terbatas. Kebutuhan
akan energi dapat ditaksir dengan cara mengukur luas permukaan tubuh, atau
menghitung secara langsung konsumsi energi itu: yang hilang dan terpakai. Namun cara
yang terbaik adalah dengan mengamati pola pertumbuhan yang meliputi berat dan
tinggi badan, lingkar kepala, kesehatan dan kepuasan bayi (Almatsier, 2001)
Asupan energi dapat diperkirakan dengan jalan menghitung besaran energi yang
dikeluarkan. Jumlah energi dapat ditentukan secara “sangat” sederhana berdasarkan
berat badan. Bayi seberat 0 – 10 Kg memerlukan 100 kkal/Kg BB. Mereka yang
beratnya 11-20 Kg membutuhkan 1000 Kg kkal ditambah dengan 50 kkal/Kg BB untuk
kelebihan berat diatas 10 Kg, misalnya untuk 1 Kg pada 11 Kg.
Angka kecukupan energi berdasarkan tabel AKG 2004 adalah 550 kkal untuk
usia 0-6 bulan dan 650 kkal untuk usia 7-11 bulan (Arisman, 2007) Bayi membutuhkan
lemak yang tinggi dibandingkan usia yang lebih tua, sebab lemak digunakan sebagai
penyuplai energi. Lebih dari 54% suplai energi berasal dari lemak.
Energi dari lemak terutama dibutuhkan oleh bayi dalam keadaan sakit atau
dalam tahap penyembuhan (Brown and Isaacs, 2002) Air Susu Ibu memasok sekitar 40
- 50% energi sebagai lemak (34g/100cc). Lemak minimal harus menyediakan 30%
energi, yang dibutuhkan bukan saja untuk mencukupi kebutuhan energi, tetapi juga
untuk memudahkan penyerapan asam lemak esensial, vitamin yang larut dalam lemak,
kalsium serta mineral lainnya, dan juga untuk menyeimbangkan diet agar zat gizi lain
tidak terpakai sebagai sumber energi. Setidaknya 10% asam lemak sebaiknya dalam
bentuk tak jenuh ganda, yang biasanya dalam bentuk asam linoleat.
Asam linoleat juga merupakan asam lemak esensial. Asam ini terkandung dalam
sebagian besar minyak tetumbuhan. Sayang sekali jumlah kebutuhan yang tepat belum
diketahui dengan pasti. Dari Air Susu ibu, bayi menyerap sekitar 85-90% lemak. Enzim
lipase didalam mulut (lingual lipase) mencerna zat lemak sebesar 5070% (Arisman,
2007) Kebutuhan akan karbohidrat bergantung pada besarnya kebutuhan akan energi.
Sebaiknya 60-70% energi dipasok oleh karbohidrat. Jenis karbohidrat yang sebaiknya
diberikan adalah laktosa, bukan sukrosa, karena laktosa bermanfaat untuk saluran
pencernaan bayi. Manfaat ini berupa pembentukan flora yang bersifat asam dalam usus
besar sehingga penyerapan kalsium meningkat dan penyerapan fenol dapat dikurangi.
Pada ASI dan sebagian susu formula, laktosa menjadi sumber karbohidrat utama.(GOI,
2016) (Subarkah et al., 2017)

2.4 Kebutuhan Nutrisi pada Bayi / Anak dengan Ibu HIV


Menurut Nursalam dan Kurniawati (2009), asupan gizi yang sehat dan seimbang
sangat diperlukan bagi anakyang terinfeksi HIV untuk mempertahankan kekuatan,
meningkatkan fungsi sistem imun, meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi
infeksi, dan menjaga tubuh agar tetap aktif dan produktif. Sementara itu, Gillespie dan
Kadiyala (2005 )menyatakan bahwa program perawatan tanpa komponen gizi akan sia-
sia, karena khasiat ART (AntiretroviralTherapy) dapat berkurang akibat kekurangan
gizi.
Jumlah penderita HIV pada anak semakin lama semakin meningkat. Infeksi HIV
pada anak merupakan masalah kesehatan yang sangat besar dan berkembang dengan
kecepatan yang sangat berbahaya.Oleh karena itu, asupan gizi yang sehat dan seimbang
sangat diperlukan bagi anak yang terinfeksi HIV untuk mempertahankan kekuatan,
meningkatkan fungsi sistem imun, meningkatkan kemampuan tubuhuntukmemerangi
infeksi, dan menjaga tubuh agar tetap aktif dan produktif.
HIV melemahkan respon imunitas tubuh dan kemampuan tubuh untuk melawan
penyakit, sehingga sering kali anak yang terinfeksi HIV mengalami infeksi oportunistik
yang menyebabkan meningkatnya penggunaan tubuh terhadap energi dan zat gizi
lainnya. Selain itu, HIV juga mempengaruhi asupan makanan anak, sehingga kebutuhan
tubuh akan zat gizi tidak terpenuhi, yang apabila berlanjut akan menyebabkan gizi
buruk (Tushemerirwe, 2011).
Gizi buruk yang terjadi pada anak yang terinfeksi HIV dapat mengurangi
keefektifan Anti Retroviral Therapy(ART), merusak sistem kekebalan tubuh, dan
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik sehingga mempercepat
perkembangan HIV menjadi AIDS (East, Central and Southern African Health
Community) (ECSA-HC dkk, 2008)
Sementatra itu RCQHC (Regional Centre for Quality of Health Care) (2008)
menyatakan bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang dapat mempengaruhi asupan
makanan dan mengakibatkan kekurangan gizi, sehingga ART kurang manjur.
Sebaliknya, ART juga dapat mempengaruhi konsumsi, penyerapan, metabolisme dan
ekskresi makanan melalui efek samping (misalnya anemia, mual dan muntah) (Food and
Nutrition Technical Assistance) (FANTA, 2004)
`Anak – anak yang terlahir dari Ibu yang menidap HIV memerlukan asupan gizi
Makro sebagai berikut :
1. Energi Menurut WHO (2003) kebutuhanenergi bagi anak yang terinfeksi HIV
berbeda-beda tergantung tipe dan seberapa lama anak terinfeksi HIV, dan
apakah terdapat penurunan berat badan selama terkena infeksi akut.
Penemuanmenunjukkan terjadinya kenaikan REE (Resting Energy
Expenditure)pada periode asymtomaticpada anak yang terinfeksi HIV. Sama
dengan asymtomaticpada orang dewasa yang terinfeksi HIV,rata-rata kenaikan
asupan energi yang direkomendasikan pada anak sebesar10% untuk menunjang
pertumbuhan.
USAID (2007) menambahkan bahwa ketika anak terinfeksi HIV dan
sudah terdapat gelaja (symptomatic) akan tetapi tidak mengalami penurunan
berat badan , energy yang dibutuhkan mengalami peningkatan 20% − 30% dari
kebutuhan energy anak sehat

2. Protein
WHO saat ini tidak merekomendasikan peningkatan asupanprotein pada
anak terinfeksi HIV. Kebutuhan protein tetap normal, yaitu 12 - 15% dari total
asupan energi. Namun, karena kebutuhan energi meningkat sebesar 10% atau
20-30%, maka kebutuhan protein juga meningkat, karena protein dihitung
sebagai persentase dari total asupan energi (ECSA-HC dkk, 2008).Sementara
itu, Almatsier (2005) menganjurkan untuk memberikan diet protein tinggi pada
anak terinfeksi HIV, yaitu 1,1-1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti
jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein juga disesuaikan bila ada
kelainan ginjal dan hati.
3. Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral sangat penting dalam perkembangan dan daya tahan
tubuh, jika tubuh tidak didukung oleh asupan vitamin dan mineral yang baik
maka virus akan mudah menyerang dalam kata lain penyakit sangat mudah
untuk memasuki tubuh penderita HIV/AIDS (Jafar, 2004). Menurut Almatsier
(2005) dianjurkan untuk memberikan vitamin dan mineral 1 ½ kali (150%)
Angka Kecukupan Gizi (AKG), terutama vitamin A, B12,C, E, folat, kalsium,
magnesium, seng dan selenium. Bila perlu, dapat ditambahkan vitamin berupa
suplemen, akan tetapi megadosis harus dihindari karena dapat menekan
kekebalan tubuh.
Kemudian Anak – anak yang terlahir dari Ibu yang menidap HIV juga
memerlukan asupan gizi Mikro sebagai berikut :
1. Vitamin A
Vitamin AMenurut Almatsier (2004), vitamin A berpengaruh terhadap
fungsi kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Retinol berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses
kekebalan tubuh humoral). Di samping itu kekurangan vitamin A dapat
menurunkan respon antibodi yang bergantung padasel-T (limfosit yang berperan
pada kekebalan tubuh selular)
2. Vitamin B12
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2009), vitamin B12 bagi penderita
HIV penting untuk fungsi dan pengantaran saraf dan mencegah kelainan
sumsum tulang. Sementara itu Nadhiroh (2006) menyatakan bahwa kelompok
vitamin B diperlukan untuk menjaga sistem kekebalan tubuh dan saraf yang
sehat.
3. Vitamin C
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2009), peran vitamin C pada infeksi
diantaranya memperkuat sel-sel imun dalam melawan dan menetralkan radikal
bebas. Sel-sel imun mengeluarkan bahan toksik untuk membunuh jamur, kuman,
atau virus yang masuk ke dalam tubuh; “perang” antara sel-sel imun dengan zat
asing membuat jaringan disekitarnya juga ikut rusak; dan radikal bebas yang
dihasilkan dapat memperluas kerusakan itu lebih lanjut. Inilah hal khusus yang
dikhawatirkan pada orang dengan HIV, mengingat virus memerlukan
lingkungan seperti itu.Buah-buahan berwarna dan sayur-sayuran berwarna gelap
merupakan sumber vitamin C yangdapatmembantu meningkatkan daya
tahan tubuh dalam melawan infeksi seperti tomat, kubis, jeruk, anggur, lemon,
jambu, nanas, buah beri, dan lain-lain yang dapat dikonsumsi secara bergantian
setiap harinya(Nursalam & Kurniawati, 2009)
4. Vitamin E
Menurut Almatsier (2004), fungsi utama vitamin E adalah sebagai
antioksidan yang larut dalam lemak. Sifat antioksidannya berfungsimelindungi
dan menstabilkan membran sel (Nursalam & Kurniawati, 2009).Sumber utama
vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah
gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung
vitaminE. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang
baik. Daging, unggas, ikan, dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam
jumlah terbatas (Almatsier, 2004).
5. Folat
Menurut Almatsier (2004), folat dibutuhkan untuk pembentukan sel
darah merah dan sel darah putih dalam sumsum tulang dan untuk
pendewasaannya. Folat terutama terdapat di dalam sayuran hijau, hati, daging
tanpa lemak, serelia utuh, biji-bijian, kacang-kacangan, dan jeruk. Vitamin C
yang ada dalam jeruk menghambat kerusakan folat.Bahan makanan yang tidak
banyak mengandung folat adalah susu, telur, umbi-umbian, dan buah, kecuali
jeruk
6. Selenium
Menurut Almatsier (2004), selenium bekerja sama dengan vitamin E
dalam perannya sebagai antioksidan. Selenium berperan serta dalam sistem
enzim yang mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan
konsentrasiperoksida dalam sel, sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya
radikal bebas setelah terbentuk. Dengan demikian konsumsi selenium dalam
jumlah cukup dapat menghemat penggunaan vitamin E
Sumber utama selenium adalah makanan laut, hati dan ginjal. Daging
dan unggas merupakan sumber selenium yang baik. Kandungan selenium dalam
serealia, biji-bijian, dan kacang-kacangan tergantung pada kondisi tanah tempat
tumbuhnya bahan makanan tersebut. kandungan selenium pada sayur dan buah
tergolong rendah (Almatsier, 2004).
7. Fe (Besi)
Menurut ECSA-HC, dkk(2008), anak yang terinfeksi HIV harus
diberikan suplemen zat besi untuk mencegah anemia. Rekomendasi
suplementasi zat besi pada anak (usia 6-11 tahun) yaitu sebesar 30-60 mg/hari
yang bertujuan untuk mencegah anemia. Besi memegang peranan dalam sistem
kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena
berkurangnyapembentukkan sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan
oleh berkurangnya sistesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan
oleh gangguan enzimreduktase ribonukleotida yang membutuhkan besi untuk
dapat berfungsi. (Oktaviani, 2013)
BAB III
PENUTUP

AIDS disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu


suatu lentivirus dari golongan retroviridae. Transmisi infeksi HIV dapat melalui
hubungan seksual, darah atau produk darah yang terinfeksi, jarum yang terkontaminasi,
serta transmisi vertikal dari ibu ke anak Gejala klinis pada infeksi HIV meliputi
stadium: Serokonversi, periode inkubasi, AIDS – related complex atau persistent
generalized lymphadenopathy, periode AIDS Diagnosis infeksi HIV dan AIDS dapat
dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang
meliputi pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.
Penatalaksanaan penderita dengan infeksi HIV atau AIDS meliputi pengobatan suportif,
pengobatan infeksi oportunistik dengan antibiotik, antijamur, antiparasit, antivirus dan
glukokortikoid, pengobatan neoplasma, serta pengobatan dengan antiretroviral (ARV).
Dalam penatalaksanaan infeksi HIV, saat ini digunakan kombinasi dari beberapa obat
sekaligus, yang disebut highly active antiretroviral therapy (HAART).
Penatalaksanaan HIV secara klinis pada kehamilan terus dikembangkan untuk
menekan transmisi secara vertikal. Salah satunya dengan pemberian antiretrovirus yang
bertujuan untuk mengurangi viral load serendah mungkin. Penatalaksanaan yang efektif
untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak tergantung pada saat kapan
wanita tersebut mengetahui status HIV-nya sehingga dapat ditentukan penatalaksanaan
secepatnya. Oleh karena itu, peranan konseling dan tes HIV bagi ibu hamil sangat
penting sebagai deteksi dini terhadap infeksi HIV. Untuk menghilangkan stigma dan
diskriminasi masyarakat terhadap ODHA perlu diadakannya penyuluhan dan edukasi
yang benar tentang apa itu HIV/AIDS dan bagaimana cara penularannya sehingga
masyarakat tidak perlu sampai mengucilkan ODHA tetapi justru dapat memberikan
dukungan dan motivasi kepada mereka untuk dapat bertahan hidup dan berdaya di
lingkungan masyarakat.
3.2 Saran
1. Masyarakat membutuhkan edukasi tentang bahaya penyakit HIV/AIDS dan
bagaimana cara penularannya yang benar agar stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
dapat diluruskan. Untuk itu perlu diadakannya seminar dan penyuluhan tentang
HIV/AIDS serta diselenggarakannya acara testimonial dari para ODHA untuk pelajar
dan mahasiswa.
2. ODHA butuh mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat dan pemerintah,
selain itu Dukungan Kawan Sebaya juga dapat memberikan semangat hidup bagi
penderita HIV/AIDS
DAFTAR PUSTAKA
GOI, M. (2016). Gizi pada Bayi dan Anak normal. Ejurnal Keperawatan.
file:///D:/Kebutuhan Gizi Pada Bayi.pdf%0D
Oktaviani, O. (2013). Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi pada Bayi dan Anak terinfeksi
HIV. In Ejurnal Keperawatan. file:///D:/Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Pada Anak
terinfeksi HIV.pdf%0D
Subarkah, T., Nursalam, & Rachmawati, P. D. (2017). Pemenuhan Nutrisi Pada Anak.
Ejurnal Keperawatan. file:///D:/Pmenuhan nutrisi Pada Anak.pdf%0D

Anda mungkin juga menyukai