Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

‘’Tentang imunisasi, malaria, infeksi cacing(kecacingan), dan infeksi jamur’’

OLEH :
KHAERUNNISA
PO713201191117
KELAS : 2C

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D.III KEPERAWATAN
INFEKSI CACING(KECACINGAN)

a. Kecacingan
Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui tanah dan
disebabkan oleh parasit cacing, dengan dampak mengganggu perkembangan fisik, kecerdasan, mental,
prestasi, dan menurunkan ketahanan tubuh (Soedarto, 2009).
Kecacingan merupakan salah satu mikroorganisme penyebab penyakit dari kelompok helminth
(cacing), membesar dan hidup dalam usus halus manusia, cacing ini terutama tumbuh dan berkembang
pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk, terutama pada
anak-anak. Cacing-cacing tersebut adalahcacing gelang, cacing cambuk, cacing tambang dan cacing pita
(Rahim Ali, 2006, dalam www.arali2008.wordpress.com).
Orang yang cacingan adalah apabila di dalam perutnya terdapat cacing.Seseorang diketahui ada
cacing di dalam perutnya apabila keluar cacing dari mulut, hidung, saat buang air besar, atau bila dalam
pemeriksaan terdapat telur cacing, maka orang tersebut
cacingan (Dinkes Provinsi DIY, 2010).
Dinas Kesehatan Provinsi kota Yogyakarta menyebutkan beberapa gejala-gejala cacingan sebagai
berikut :
1) Perut buncit
2) Badan kurus.
3) Rambut seperti rambut jagung.
4) Lemas, cepat lelah, pucat, dan mata belekan.
Dan bahaya yang ditimbulkan pada anak yang mengalami cacingan, sebagai berikut :
1) Kurang gizi (kurus).
2) Kurang darah (anemia).
3) Pertumbuhan terganggu, biasanya lebih pendek.
4) Daya tahan tubuh rendah sehingga sering sakit, lemah dan sering
menjadi letih sehingga menyebabkan malas belajar dan sering absen atau tidak masuk
sekolah dan mengakibatkan nilai pelajaran turun atau rendah.
b. Penularan kecacingan
Secara umum penularan kecacingan dapat melalui dua cara yaitu(Dinkes Provinsi DIY, 2010) :
1 Anak buang air besar sembarangan dengantinja yang mengandung telur cacing dapat mencemari
tanah. Telur menempel di tangan atau kuku ketika mereka sedang bermain. Dan ketika makan
atau minum, telur cacing masuk ke dalam mulut dan tertelan, kemudian orang akan cacingan dan
seterusnya terjadilah infestasi cacing.
2) Anak buang air besar sembarangan dengan tinja yang mengandung telur cacing dapat mencemari
tanah. Lalu dikerumuni lalat, dan lalat tersebut hinggap di makanan atau minuman. Makanan atau
minuman yang mengandung telur cacing masuk melalui mulut lalu tertelan dan selanjutnya orang
tersebut akan cacingan dan seterusnya terjadilah infestasi cacing.
c. Siklus penyakit kecacingan
Siklus masuknya penyakit kecacingan ke dalam tubuh manusia melalui (Dinkes Provinsi DIY, 2010) :
1) Telur yang infektif masuk melalui mulut, tertelan kemudian masuk usus besar , beberapa lama
hari kemudian menetas jadi larva lalu menjadi dewasa dan berkembang biak.
2) Telur menetas ditanah lalu menjadi larva infektif kemudian masuk melalui kulit kaki atau tangan
menerobos masuk ke pembuluh darah terus ke jantung berpindah paru-paru, lalu terjerat di
tenggorakan masuk kerongkongan lalu usus halus kemudian menjadi dewasa dan berkembang
biak.
d. Pencegahan Kecacingan
Dinas Kesehatan Provinsi Yogyakarta menyebutkan beberapa cara pencegahan kecacingan seperti
berikut ini :
1) Gunakan air yang bersih, yaitu :
a) Saat mengambil air pakailah wadah yang bersih dari sumber sampai ke tempat penyimpanan.
b) Simpanlah air di tempat yang bersih dan tertutup.
c) Memasak atau merebus air sampai mendidih terutama untuk air minum.
2) Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar.
3) Mencuci sayuran terutama yang akan di makan mentah (lalapan).
4) Menutup makanan yang tersaji di rumah.
5) Menutup makanan jajanan di sekolah.
6) Minum obat cacing setahun 2 kali.
7) Buang air besar di jamban yang sehat.
8) Memakai alas kaki, terutama saat bermain atau keluar dari rumah.
9) Memotong kuku dan membersihkannya secara rutin seminggu sekali.

e. Klasifikasi Kecacingan
Penyakit kecacingan disebabkan oleh parasit cacing, dalam tubuh manusia parasit cacing
mempunyai tubuh yang simetris bilateral dan tersusun dari banyak sel (multi seluler). Cacing yang
penting atau cacing yang sering menginfeksi tubuh manusia terdiri atas dua golongan besar yaitu
filum platy-helminthes dan filum nemat-helminthes. Filum platy-helminthes terdiri atas dua kelas
yang penting yaitu kelas cestoda dan kelas trematoda, sedangkan filum nemat-helminthes kelasnya
yang penting adalah nematoda. Cacing gelang, cacing cambuk, cacing tambang dan cacing pita adalah
kelas nematoda yang selalu parasitik pada tubuh manusia dan menjadikannya sebagai tempat hidup
dan berkembang (Soedarto, 2009).
Pada umumnya cacing yang sering menginfeksi tubuh manusia, yaitu sebagai berikut (Soedarto,
2009) :
1) Askariasis
a) Definisi
Askariasis disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides yang dikenal sebagai cacing gelang atau
cacing perut.Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropik dan subtropik yang
kelembaban udaranya tinggi dan suhunya hangat.Di beberapa daerah di Indonesia terutama di
pedesaan, infeksi cacing ini dapat diderita oleh lebih dari 60% penduduk yang diperiksa tinjanya.
b) Cara Penularan Askariasis
Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang
lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung
larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut melalui
makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak,
atau telur infektif terhirup melalui udara bersama debu.Pada keadaan terakhir ini, telur menetas di
mukosa jalan napas bagian atas, larva segera menembus pembuluh darah dan beredar bersama
aliran darah.Dua bulan sejak infeksi (masuknya telur infektif per oral) terjadi, seekor cacing betina
mulai mampu bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari.
c) Gejala Klinis Askariasis
Migrasi larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia dengan gejala berupa
demam, batuk, sesak, dan dahak berdarah.Pada infeksi berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-
anak, cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga
penderita mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi.
d) Pengobatan Askariasis
Obat-obat cacing yang baru dan efektif, dan hanya menimbulkan sedikit efek samping adalah
mebendazol, pirantel pamoat, albendazol dan levamisol.
e) Pencegahan Askariasis
Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya membuat kakus yang
baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja penderita, mencegah masuknya telur cacing
yang mencemari makanan atau minuman dengan selalu memasak makanan dan minuman sebelum
dimakan atau diminum, serta menjaga kebersihan perorangan, dan pendidikan kesehatan pada
penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan penyebaran dan pemberantasan
askariasis.

2) Enterobiosis
a) Definisi
Penyakit enterobiosis disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis
yang dikenal sebagai cacing keremi.Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, baik di daerah tropis
maupun subtropis.Di daerah dingin lebih banyak dijumpai, karena orang jarang mandi dan tidak sering
berganti pakaian dalam.
b) Cara Penularan Enterobiosis
Manusia adalah satu-satunya hospes definitif cacing ini.Tidak diperlukan hospes perantara untuk
melengkapi siklus hidupnya.Telur yang diletakkan di daerah sekitar perianal dan perineal, dalam waktu 6
jam telah tumbuh menjadi telur infektif karena telah mengandung larva cacing.
Infeksi enterobiosis terjadi melalui 3 jalan, yaitu infeksi melalui mulut dengan telur yang infektif
terbawa dari tangan ke mulut penderita sendiri atau terjadi karena memegang benda yang tercemar
telur infektif, infeksi melalui pernafasan dengan telur infektif yang beterbangan di udara terhirup oleh
penderita, dan infeksi melalui retrofeksi dengan penularan yang terjadi akibat larva cacing yang menetas
di daerah perianal masuk kembali ke dalam usus penderita, dan berkembang menjadi cacing dewasa.
c) Gejala Klinis Enterobiosis
Cacing dewasa jarang menimbulkan kerusakan jaringan.Migrasi induk cacing untuk bertelur di
daerah perianal dan perineal menimbulkan gatal-gatal (pruritus ani) yang mengganggu tidur penderita,
dan bila digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Jika cacing betina mengadakan migrasi ke vagina
dan tuba falopii, dapat terjadi radang ringan di daerah tersebut.
d) Pengobatan Enterobiosis
Mengingat penularan enterobiosis sangat mudah terjadi pada seluruh anggota keluarga yang
hidup dalam satu rumah, maka pengobatan infeksi cacing ini harus ditujukan pada seluruh anggota
keluarga dalam waktu bersamaan, dan sebaiknya sering diulang.Berbagai obat cacing dapat digunakan,
misalnya mebendazol, pirantel pamoat, pirvinium pamoat dan piperazin sitrat.
e) Pencegahan Enterobiosis
Mengobati penderita dan keluarganya atau yang hidup di dalam satu rumah, berarti memberantas
sumber infeksi. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan, terutama lingkungan kamar tidur, akan
mengurangi jumlah telur cacing yang infektif, baik yang ada di dalam perlengkapan kamar tidur maupun
yang beterbangan di udara.

3) Trikuriasis
a) Definisi
Karena bentuknya mirip cambuk, cacing penyebab trikuriasis (Trichuris trichiura) sering disebut
sebagai cacing cambuk.Penyakitnya disebut trikuriasis.Cacing ini tersebar luas di daerah tropis yang
berhawa panas dan lembab.
b) Cara Penularan Trikuriasis
Trichuris trichiura hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia, sehingga parasit ini bukan
parasit zoonosis.Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur cacing yang infektif, sesudah telur mengalami
pematangan di tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanya. Di dalam usus halus dinding telur pecah dan
larva cacing ke luar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa.Satu bulan sejak masuknya
telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa
dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia.
c) Gejala Klinis Trikuriasis
Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan pada jaringan
usus.Selain itu cacing juga menghasilkan toksin yang menimbulkan iritasi dan peradangan.
Pada infeksi ringan dengan beberapa ekor cacing, tidak tampak atau keluhan penderita. Tetapi
pada infeksi yang berat, penderita akan mengalami gejala dan keluhan berupaanemia berat dengan
hemoglobin yang dapat kurang dari tiga persen, diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah, berat
badan menurun, dan kadang-kadang terjadi prolaps rektum yang dengan pemeriksaan proktoskopi
dapat dilihat adanya cacing-cacing dewasa pada kolon atau rektum penderita.
d) Pengobatan Trikuriasis
Untuk memberantas trikuriasis diberikan kombinasi obatobat cacing yaitu Pirantel pamoat dan
oksantel pamoat yang diberikan bersama dalam bentuk dosis tunggal, atau kombinasi Mebendazol dan
pirantel pamoat.
e) Pencegahan Trikuriasis
Pencegahan penularan trikuriasis dilakukan melalui pengobatan penderita dan pengobatan masal
sebagai terapi pencegahan terhadap terjadinya penyakit reinfeksi di daerah endemis.
Memperbaiki higiene sanitasi perorangan dan lingkungan, agar tak terjadi pencemaran lingkungan
oleh tinja penderita, misalnya membuat WC atau jamban yang baik di setiap rumah.Memasak makanan
dan minuman dengan baik dapat membunuh telur infektif cacing.

2. Upaya Untuk Mengatasi Permasalahan Kecacingan


a. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu konsep (upaya) yang diterapkan untuk dapat meningkatkan
pengetahuan,sikap, dan praktik anak serta penerapan konsep pendidikan di dalam bidang kesehatan.
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang
pada diri individu, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2003), tujuan pendidikan kesehatan adalah terjadi perubahan perilaku
sasaran meliputi :
1) Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar.
2) Perilaku dalam bentuk sikap,yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar
subjek.
3) Perilaku dalam bentuk praktik atau tindakan yang sudah konkrit yang berupa perbuatan (action)
terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

b. Metode Pendidikan Kesehatan


Pendidikan kesehatan juga sebagai suatu proses, dimana proses tersebut mempunyai masukkan
(input) dan keluaran (output). Di dalam suatu proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya
tujuan pendidikan yakni perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang
mempengaruhi perubahan perilaku adalah metode pendidikan (Notoatmodjo, 2007).
Imunisasi

1. Definisi imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap
suatu antigen, sehingga bila kelak ia terkena antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit
(Ranuh,2008,p.10).
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar
merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu. Sistem imun
tubuh mempunyai suatu sistem memori (daya ingat), ketika vaksin masuk kedalam tubuh, maka akan
dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan sistem memori akan menyimpannya sebagai
suatu pengalaman. Jika nantinya tubuh terpapar dua atau tiga kali oleh antigen yang sama dengan
vaksin maka antibodi akan tercipta lebih kuat dari vaksin yang pernah dihadapi sebelumnya
(Atikah,2010,p.8).

2. Jenis-jenis imunisasi
Imunisasi telah dipersiapkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan.
Imunisasi ada 2 macam, yaitu:
a. Imunisasi aktif
Merupakan suatu pemberian bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem
imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika
terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan merespon.
b. Imunisasi pasif
Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara pemberian zat
immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma
manusia (kekebalan yang didapat bayi dari ibu melalui placenta) atau binatang yang digunakan untuk
mengatasi mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi (Atikah,2010,pp.1011).

3. Macam-macam imunisasi
a. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin)
1) Pengertian
Bacillus Calmette Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan hasil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai
imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin, tidak mencegah infeksi
tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis
milier (Ranuh,2008,p.132).
2) Cara pemberian dan dosis:
a) Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu. Melarutkan dengan
mengggunakan alat suntik steril Auto Distruct Scheering (ADS) 5 ml.
b) Dosisi pemberian: 0,05 ml.
c) Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas (insertion musculus deltoideus).
Dengan menggunakan Auto Distruct Scheering (ADS) 0,05 ml.
d) Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum lewat 3 jam.

3) Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberculosis.
4) Kontra indikasi:
a) Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksim, furunkulosis dan sebagainya.
b) Mereka yang sedang menderita TBC.

5) Efek samping
Imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti deman. Setelah 1-2 minggu
akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah
menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda parut.
Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan atau leher, terasa padat, tidak sakit
dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan dan akan menghilang
dengan sendirinya (Departemen Kesehatan RI,2006,p.21-22).

b. Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus)


1) Pengertian
Vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang
dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi (Departemen Kesehatan RI,2006,p.23 )
Difteri merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria. Difteri
bersifat ganas, mudah menular dan menyerang terutama saluran nafas bagian atas. Penularannya bisa
karena kontak langsung dengan penderita melalui bersin atau batuk atau kontak tidak langsung karena
adanya makanan yang terkontaminasi bakteri difteri.Penderita akan mengalami beberapa gejala seperti
demam lebih kurang 38°C, mual, muntah, sakit waktu menelan dan terdapat pseudomembran putih
keabu-abuan di faring, laring, atau tonsil.
Pertusis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman Bordetella Pertusis. Kuman ini
mengeluarkan toksin yang menyebabkan ambang rangsang batuk yang hebat dan lama. Serangan batuk
lebih sering pada malam hari, batuk terjadi beruntun dan akhir batuk menarik nafas panjang, biasanya
disertai muntah. Batuk bisa mencapai 1-3 bulan, oleh karena itu pertusis disebut juga dengan “batuk
seratus hari”.
Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Clostridium tetani. Kuman ini
bersifat anaerob, sehingga dapat hidup pada lingkungan yang tidak terdapat zat asam (oksigen). Tetanus
dapat menyerang bayi, anak-anak bahkan orang dewasa. Pada bayi penularan disebabkan karena
pemotongan tali pusat tanpa alat yang steril atau dengan cara tradisional dimana alat pemotong
dibubuhi ramuan tradisional yang terkontaminasi spora kuman tetanus. Pada anak-anak atau orang
dewasa bisa terinfeksi karena luka yang kotor atau luka terkontaminasi spora tetanus. Kuman ini paling
banyak terdapat di usus kuda berbentuk spora yang tersebar luas di tanah (Atikah,2010,pp.42-48).
Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) melalui
imunisasi DPT, DT atau TT dilaksanakan berdasarkan perkiraan lama waktu perlindungan sebagai
berikut:
a) Imunisasi DPT 3x akan memberikan imunitas 1-3 tahun.
Dengan 3 dosis toksoid tetanus pada bayi dihitung setara dengan 2 dosis pada anak yang lebih
besar atau dewasa.
b) Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu sampai
dengan umur 6-7 tahun. Dengan 4 dosis toksoid tetanus pada bayi dan anak dihitung setara dengan 3
dosis pada dewasa (Sudarti,2010,pp.150-151).

2) Cara pemberian dan dosis:


a) Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen.
b) Disuntik secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling
cepat 4 minggu (1 bulan) (Departemen Kesehatan RI,2006,
p.23).
c) Cara memberikan vaksin ini, sebagai barikut:
(1) Letakkan bayi dengan posisi miring diatas
pangkuan ibu dengan seluruh kaki terlentang
(2) Orang tua sebaiknya memegang kaki bayi
(3) Pegang paha dengan ibu jari dan jari telunjuk
(4) Masukkan jarum dengan sudut 90 derajat
(5) Tekan seluruh jarum langsung ke bawah melalui
kulit sehingga masuk kedalam otot (Atikah.2010,p.48)

3) Indikasi
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis, dan tetanus.
4) Kontra indikasi
Gejala- gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan pada
syaraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak-anak yang mengalami gejala-gejala parah pada dosis
pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis kedua, dan untuk
meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.
5) Efek samping
Gejal-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam tinggi, iritabilitas, dan meracau yang
biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi (Departemen Kesehatan RI,2006,p.23 )

c. Vaksin Hepatitis B
1) Pengertian
Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus rekombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat in
infectious, berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorph) menggunakan
teknologi DNA rekombinan.
2) Cara pemberian dan dosis:
a) Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen.
b) Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml, pemberian suntikan secara intramuskuler sebaiknya
pada anterolateral paha.
c) Pemberian sebanyak 3 dosis.
d) Dosis pertama diberikan pada usia 0-7 hari, dosis berikutnya dengan interval minimum 4 minggu
(1 bulan).
3) Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan virus hepatitis B.
4) Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksin- vaksin lain, vaksin ini tidak
boleh diberikan kepada penderita infeksi berat disertai kejang.
5) Efek samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan disekitar tempat penyuntikan. Reaksi
yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari. (Departemen Kesehatan RI,2006,p.28)

d. Vaksin Polio (Oral Polio Vaccine)


1) Pengertian
Vaksin Oral Polio adalah vaksin yang terdiri dari suspense virus poliomyelitis tipe 1,2,3 (Strain
Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dibiakkan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
2) Cara pemberian dan dosis:
a) Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis ada 2 (dua) tetes sebanyak 4 kali (disis) pemberian
dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
b) Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru.
3) Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
4) Kontra indikasi
Pada individu yang mnderita “immune deficiency” tidak ada efek yang berbahaya yang timbul
akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada keraguan, misalnya sedang
menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh.
5) Efek samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralisis yang disebabkan oleh
vaksin sangat jarang terjadi. (Departemen Kesehatan RI,2006,p.26)

e. Vaksin Campak
1) Pengertian
Vaksin Campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml) mengandung
tidak kurang dari 1000 inektive unit virus strain dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30
mcg residu erithromycin.
2) Cara pemberian dan dosis:
a) Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutlan dengan pelarut steril yang
telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut.
b) Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas, pada usia 9-11 bulan.
Dan ulang (booster) pada usia 6-7 tahun (kelas 1 SD) setelah catchup campaign campak pada anak
Sekolah Dasar kelas 1-6.
3) Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.
4) Kontra indikasi
Individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga menderita
gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.
5) Efek samping
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari yang dapat
terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi (Departemen Kesehatan RI,2006,p. 27).

4. Manfaat imunisasi
a. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau
kematian.
b. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong
pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya menjalani masa kanakkanak yang
nyaman.
c. Untuk Negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan negara (Atikah,2010,pp.5-6).

5. Tujuan imunisasi
Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan
penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit
tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. (Ranuh,2008,p.10).
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar dapat mencegah
penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. Secara
umum tujuan imunisasi, antara lain:
a) Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular.
b) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular.
c) Imunisasi menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada
balita.

6. Jadwal imunisasi
Tabel 2.1 Jadwal imunisas
Umur Jenis kelamin
0 – 7 hari HB 0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT/HB 1, Polio 2
3 bulan DPT/HB 2, Polio 3
4 bulan DPT/HB 3, Polio 4
9 bulan Campak

7. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)


a. Pengertian
Menurut Komite Nasional Pengajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI (Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi ) dalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah
imunisasi. Umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin merupakan reaksi simpang (adverse events),
merupakan kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi samping vaksin antara
lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping, interaksi obat dan reaksi alergi.

b. Penyebab
Komite Nasional Pengajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP KIPI) membagi penyebab KIPI menjadi
5 kelompok fakor etiolog menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1) Kesalahan program atau teknik pelaksanaan.
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkat prosedur imunisasi, misalnya:
a) Dosisi antigen (terlalu banyak)
b) Lokasi dan cara penyuntikan
c) Sterilisasi semprit dan jarum suntik
d) Jarum bekas pakai
e) Tindakan aseptik dan antiseptik
f) Kontaminasi vaksin dengan peralatan suntik
g) Penyimpanan vaksin
h) Pemakaian sisa vaksin
i) Jenis dan jumlah pelarut vaksin
j) Tidak memperhatikan petunjuk prosedur.
2) Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus
KIPI berulang pada petugas yang sama
3) Reaksi suntikan
4) Induksi vaksin (reaksi vaksin)
5) Faktor kebetulan
6) Penyebab tidak diketahu.
c. Angka kejadian KIPI
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaks anafilaksis
dipekirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-banar reaksi anafilksis hanya 1-3 kasus
diantara 1 juta dosis (Atikah,2010.pp.82-87).
MALARIA

A. MALARIA
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasite dan genus plasmodium,
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anophelesdengan gambaran penyakit berupa demam yang
sering periodic, anemia. Pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena
pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.

Malaria adalah penyakit akut dan dapat menjadi kronik yang disebabkan oleh protozoa (genus
plasmodium) yang hidup intra sel (Iskandar Zulkarnain, 1999).
Malaria adalah penyakit infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh protozoa
genus plasmodium ditandai dengan demam anemia dan splenomegali.

B. ETIOLOGI
Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum protozoa, kelas sporozoa. Terdapat empat spesies
plasmodium pada manusia yaitu : plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax (malaria tertian
ringan). Plasmodium falcifarum menimbulkan malaria falsifarum (malaria tertian berat), malaria
pemisiosa dan blackwater faver. Plasmodium malaria menimbulkan malaria kuartana, dan
plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale, (Nelson, 1999)

Keempat spesies plasmodium tersebut dapat dibedakan morfologinya dengan membandingkan


bentuk skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang terdapat di dalam darah perifer maupun
bentuk pre-eritrositik dari skizon yang terdapat di dalam sel parenkim hati.

C. Manifestasi klinik
1. Plasmodium vivax (malaria tertian)
a. Meriang
b. Panas dingin menggigil/demam (8 sampai 2 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah gejala
pertama terjadi dapat terjadi selama 32 minggu setalahh infesi)
c. Keringat dingin
d. Kejang-kejang
e. Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi
2. Plasmodium falcifarum (malaria tropika)
a. Meriang
b. Panas dingin menggigil/demam (lebih dari 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah
gejala pertama terjadi dapat terjadi selama 2 minggu setelah 2 minggu setelah infeksi)
c. Keringat dingin
d. Kejang-kejang
e. Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi
3. Plasmodium malaria (malaria kuartana)
a. Meriang
b. Panas dingin menggigil/demam (gejala pertama tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari
setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari)
c. Keringat dingin
d. Kejang-kejang
e. Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi
4. Plasmodium ovale (jarang ditemukan)
Dimana manifestasi klinisnya mirip malaria tertian :
a. Meriang
b. Panas dingin menggigil/demam (8 sampai 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah
gejala pertama terjadi dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi)
c. Keringat dingin
d. Kejang-kejang
e. Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi

D. PATOFISIOLOGI
Terjadinya infeksi oleh parasite plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua
cara yaitu :
1. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang menganddung parasit malaria
2. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya
melalui transfusi darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang
terinfeksi (congenital)

Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Penghancuran erotrosit yang terjadi oleh karena :
 Pecahnya eritrosit yang mengandung parasite
 Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit akibatnya terjadi
anemia dan anoksia jaringan dan hemolysis intravaskuler
b. Pelapasan mediator endotoksin-makrofag pada proses skizoni yang melepaskan endotoksin,
makrofag melepaskan berbagai mediator endotoksin
c. Pelepasan TNF (Tumor necrosing factor atau factor nekrosis tumor)
Merupakan suatu monokin yang dilepas oleh adanya parasit malaria. TNF ini bertanggungjawab
terhadap demam, hipoglikemia, ARDS
d. Sekuetrasi eritrosit
Eritrosit yang terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya. Knob ini mengandung
antigen malaria yang kemudian akan bereaksi dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi akan
menempel pada endotel kapiler alat dalam dan membentuk gumpalan sehingga terjaddi
bendungan

E. DATA PENUNJANG
a. Laboratorium
Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronik, pada keadaan akut terjadi penurunan
yang cepat dari HB. Penyebab anemia pada malaria adalah pengrusakan eritrosit oleh parasit,
penekanan eritropoesis dan mungkin sangat penting adalah hemolisis oleh proses imunologis.
Pada malaria akut juga terjadi penghambatan eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila
parasitemia menghilang, sumsum tulang menjadi hiperemik, pigmentasi aktif dengan
hyperplasia dari normoblas. Pada darah tepi dapat dijumpai poikilositosis, anisositosis,
polikromasia dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia pernisioasa. Juga dapat
dijumpai trombositopenia yang dapat mengganggu proses koagulasi.

Pada malaria tropika yang berat maka plasma fibrinogen dapat menurun yang disebabkan
peningkatan konsumsi fibrinogen, karena terjadinya koagulasi intravaskuler. Terjadi icterus
ringan dengan peningkatan bilirubin indirek yang lebih banyak dan tes fungsi hati yang
abnormal seperti meningkatnya transaminase, tes flokulasi sefalin positif, kadar glukosa dan
fosfatase alkali menurun. Plasma protein menurun terutama albumin, walaupun globulin
mningkat. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh demam semata melainkan juga karena
meningkatkan fungsi hati. Hipokolesterolemia juga dapat terjadi pada malaria. Glukosa penting
untuk respirasi dari plasmodia dan peningkatan glukosa darah dijumpai pada malaria tropika
dan tertian, mungkin berhubungan dengan kelenjar suprarenalisis. Kalium dalam plasma
meningkat pada waktu demam, mungkin karena deskruksi dari sel-sel darah merah. LED
meningkat pada malaria namun kembali normal setelah diberi pengobatan.

b. Diagnosis
Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal
penderita apakah dari daerah endemic malaria, riwayat bepergian ke daerah malaria, riwayat
pengobatan kuratip maupun preventip.
1. Pemeriksaan tetes darah untuk malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat
penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negative tidak
mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi tiga kali dan hasil negative
maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat
dilakukan melalui:
a. Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit
malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan
mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan
perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5
menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat
dinyatakan negative bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran
700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada teteas tebal
dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka
hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per
mikro-liter darah.
b. Tetesan preparat darah tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila
dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai
hitung parasit (dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per
1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang
berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria.
Pengecatan dilakukan dengan pewarnaan Giemsa, atau Leishman’s, atau Field’s dan
juga Romanowsky.
Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan
pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik.

2. Tes Antigen : p-f test


Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksi sangat cepat
hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan
alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode
ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan
cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat
mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah infeksi
P.falciparum atau P.vivax. Sensitivitas sampai 95 % dan hasil positif salah lebih rendah dari
tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid test).

3. Tes serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tekhnik indirect
fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibody specific terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat
sebagai alat diagnostic sebab antibody baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor
darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru ; dan test > 1:20 dinyatakan positif .
Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test,
immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay.
4.  Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) --->pemeriksaan infeksi
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi DNA, waktu dipakai
cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun
jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai
sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P.falciparum dan sering disebut pernicious
manifestasions. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebeumnya, dan sering terjadi pada
penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5-10 %
pada seluruh penderita yang dirawat di RS dan 20 % diantaranya merupakan kasus yang fatal.
Penderita malaria dengan kompikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut
WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut :
1. Malaria serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit
setelah serangan kejang ; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan penilaian berdasar
GCS (Glasgow Coma Scale) ialah dibawah 7 atau equal dengan keadaan klinis soporous.
2. Acidemia/acidosis ; PH darah <>respiratory distress.
3. Anemia berat (Hb <> 10.000/ul; bila anemianya hipokromik atau miktositik harus
dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg BB pada
anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg/dl.
5. Edema paru non-kardiogenik/ARDS (adult respiratory distress syndrome).
6. Hipoglikemi : gula darah <>
7. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik <> C:8).°10
8. Perdarahan spontan dari hidung atau gusi, saluran cerna dan disertai kelainan laboratorik
adanya gangguan koagulasi intravaskuler
9. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam
10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti
malaria/kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD)
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler pada
jaringan otak.

G. PENATALAKSANAAN
Pengobatan malaria dapat dilakukan dengan memberikan obat antimalari. Obat antimalaria dapat
dibagi dalam 9 golongan yaitu :
a. kuinin (kina)
b. mepakrin
c. klorokuin, amodiakuin
d. proguanil, klorproguanil
e. Primakuin
f. Pirimetamin
g. sulfon dan sulfonamide
h. kuinolin methanol
i. antibiotic
Berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap obat antimalaria,
maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu :
a. Skizontisida jaringan primer yang dapat membunuh parasit stadium praeritrositik dalam hati
sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai obat profilaksis
kausal. Obatnya adalah proguanil, pirimetamin.
b. Skizontisida jaringan sekunder dapat membunuh parasit siklus eksoeritrositik P. vivax dan P.
ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, obatnya adala
primakuin.
c. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrositik, yang berhubungan dengan
penyakit akut disertai gejala klinik. Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi
keempat spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P.
malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah
kuinin, klorokuin atau amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek
terbatas.
d. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosit P.
falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan
kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P.
ovale.
e. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk
membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat – obat yang termasuk
golongan ini adalah primakuin dan proguanil
INFEKSI JAMUR

A. PENGERTIAN
Infeksi jamur merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penyakit ini dapat dialami oleh
siapa saja. Namun demikian, individu dengan sistem kekebalan tubuh lemah lebih berisiko
terserang infeksi jamur. Misalnya, penderita HIV/AIDS, pasien kemoterapi, serta pasien pasca
transplantasi organ.
Jamur adalah organisme yang terdapat hidup secara alami di tanah atau tumbuhan. Bahkan
jamur bisa hidup di kulit manusia. Meskipun normalnya tidak berbahaya, namun beberapa jamur
dapat mengakibatkan gangguan kesehatan serius.

Fungus (jamur) yang merupakan anggota dunia tanaman yang berukuran kecil dan makan dari
bahan organic, merupakan penyebab berbagai jenis infeksi kulit yang sering ditemukan, antara lain:
a. Tinea pedis (jamur kaki/athlete’s foot)
Merupakan infeksi jamur yang paling sering ditemukan infeksi ini sering menjangkiti para
remaja dan dewasa muda kendati dapat terjadi pada setiap kelompok usia serta kedua jenis
kelamin
b. Tinea korporis (penyakit jamur badan)
Menjangkiti bagian muka, leher, batang tubuh dan etrimitas. Pada bagian yang terinfeksi akan
tampak lesi berbentuk cincin atau lingkaran yang khas
c. Tinea kapitia (penyakit jamur kulit kepala)
Merupakan infeksi jamur menular yang menyerang batang rambut dan penyebab kerontokan
rambut yang sering ditemukan di antara anak-anak
d. Tinea unguiun (inikomikosis)
Merupakan infeksi jamur yang kronis pada kuku jari atau kuku jari tangan. Biasanya disertai
dengan infeksi jamur yang lama pada kaki

B. ETIOLOGI
Infeksi jamur dapat terjadi di superfisial, subkutan, atau sistemik, hal ini tergantung dari
karakteristik organisme yang menginfeksi host nya. Pada infeksi jamur superfisial, yaitu pada
stratum korneum, rambut, dan kuku, dapat dibagi menjadi dua yaitu infeksi yang memicu respon
inflamasi dan yang tidak memicu respon inflamasi. Infeksi yang memicu respon inflamasi
disebabkan oleh dermatofit sedangkan yang tidak memicu respon inflamasi disebabkan oleh piedra.
Penyebab terjadinya infeksi jamur ini adalah kelompok jamur dari dermatofit seperti
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Yang terbanyak di Indonesia adalah T. Rubrum
dermatofita yang lain adalah E. Floccosum, T. Mentagrophytes, M. Canis, M. gypseum, T.
cocentricum, T. schoenleini dan T. tonsurans. Kemudian juga disebabkan dari jamur candida
pathogen yaitu candida albican. Kemudian juga disebabkan dari jamur candida pathogen yaitu
candida albican.
Infeksi jamur dibagi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan tempat yang diserang dan jenis
jamur yang menjadi penyebabnya, yaitu daerah jari-jari tangan dan kaki, rambut, kuku, daerah
lipatan paha, ketiak, punggung, glutea.
C. PATOFISIOLOGI
Ada 3 cara penularan yaitu:
1.) “Anthropophilic” (manusia ke manusia”
2.) “Zoophilic” (binatang ke manusia), dan
3.) “Geophilic” (tanah ke manusia)

Jamur dermatophita hanya tumbuh di dalam lapisan kerantin (stratumkorneum) oleh karena adanya
suatu serum faktor penghambat jamur yang memasuki ruang ekstravaskular dan melindungi jaringan,
sehingga mencegah elemen jamur penestrasi ke lapisan lebih dalam.

Faktor predisposisi yaitu higieni sanitasi yang jelek, daerah tropis, penderita sakit parah dan kontak
dengan binatang, manusia atau tanah yang terinfeksi jamur.
 Microsporum spesies menyerang rambut dan kulit
 Trichophyton spesies menyerang rambut, kulit dan kuku
 Epidermophyton spesies menyerang kulit dan jarang pada kuku

D. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi jamur yaitu peradangan kulit disertai eritema dan gatal, dapat ditemukan sisik pada tepi
kulit, nyeri, terjadi penebalan (pembengkakan), terdapat lesi, infeksi di vagina menimbulkan rabas
yang berwarna putih seperti keju, infeksi di mulut menimbulkan ulkus-ulkus putih yang dikelilingi
eritema dan sangat nyeri dan lesi berisik, kemerahan-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat disebut kerion pada dermatofitosis.

E. PENATALAKSANAAN
 Health Education:
a. Keringkan handuk setelah dipakai dang anti sesering mungkin
b. Mandi rutin (min : 2x/hari), memakai sabun dan bersih
c. Simpan atau gantung pakian di tempat kering
d. Pola hidup sehat. Hal-hal yang mempengaruhi tumbuhnya jamur adanya udara yang
panas, lembab, kebersihan diri yang kurang, kegemukan, sosial ekonomi rendah,
pemakaian obat-obatan yang lama, adanya penyakit kronis seperti TBC atau keganasan,
dan penyakit endokrin (diabetes mellitus)
e. Rajin menjemur kasur, agar bila ada jamur ataupun mikroorganisme patologi bisa mati
terkena terik matahari
 Kolaborasi
a. Infeksi kulit diobati dengan obat anti jamur khusus yang diberikan secara topical atau
kadang-kadang sistemik
b. Kandidiasis diterapi dengan krim atau supositoria antijamur
c. Mitra seksual dari wanita dengan inveksi ragi vagina yang kronik juga mungkin perlu
diterapi
d. Infeksi dalam mungkin memerlukan terapi anti jamur spesifik
Terdapat banyak obat anti jamur topical untuk pengobatan infeksi dermatofit, antara lain
mikonazol, sulkonazol, dan terbinafin. obat oral (bersifat sistemik) seperti griseofulvin, terbinafin atau
itrakonazol. Obat topical tidak efektif pada tinea kapitis
Obat pilihan untuk infeksi kuku adalah terbinafin oral 250 mg perhari selama 6 minggu intuk
infeksi kuku jari tangan dan selama 3 bulan untuk infeksi kuku jari kaki.

F. KOMPLIKASI
 Iinfeksi mendalam menyebabkan morbiditas yang bermakna
 Jaringan parut kulit atau alopesia (rambut rontok) akibat tinea kapitis
 Lesi mulut yang nyeri dan menurunnya berat badan pada penderita AIDS
 Kelinan kulit karena mikosis yang dalam menyerupai infeksi kronis

Anda mungkin juga menyukai