KELOMPOK 10:
1
DAFTAR ISI
Sampul
DAFTAR ISI............................................................................................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................................6
A. Pengertian Wali Sembilan (Wali Songo).........................................................................6
B. Pemikiran Ekonomi Islam Wali Sembilan.......................................................................7
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................................19
A. Kesimpulan...................................................................................................................19
B. Saran..............................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................20
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua yang berupa ilmu dan amal. Dan berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya pula, kami dapat menyelesaikan MAKALAH
“Pemikiran Ekonomi Islam Abad X-XI (H)/16-17 M (Pemikiran Ekonomi Wali
Sembilan” yang insya allah kami selesaikan tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan tuntas
tanpa adanya bimbingan dari bunda. . Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
menyadari bahwa makalah ini , masih terdapat banyak kekurangan. Kami sangat
mengharapkan adanya kritik, saran, dan masukan yang membangun. Dan kami
butuhkan untuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat. Amiin.
Kelompok 10
3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi kesepakatan, bahwa para penyebar agama Islam di Tanah Jawa
adalah para ulama yang disebut Wali Songo. "Wali Songo" berarti sembilan orang
wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan
Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama
lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan
guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak
Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang
berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak
Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang.
Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan
Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang
lebih dahulu meninggal.
1
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam Di Nusantara: Sejarah dan Perkembangannya
Hingga Abad Ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h. 24-30.
4
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di
tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-
Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para
intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan
berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga,
kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Kisah Wali Songo sebenarnya penuh kontroversi, tetapi kisah itu sendiri
cukup menarik dan memikat hati. Bahkan banyak sekali hikmah yang didapat untuk
berjuang melalui dakwah Islam dan strategi mereka dalam menjaring masyarakat,
antara lain Jawa, Sunda dan Madura untuk memeluk agama Islam. Strategi melalui
tahapan dakwah mereka, benar-benar patut dibanggakan. Mereka bisa diterima di
berbagai kalangan masyarakat, dari kelas bawah hingga kelas atas yaitu para
bangsawan dan raja. Selama berdakwah, mereka banyak melakukan terobosan dalam
tahapan strategi dakwah di kalangan masyarakat. Hingga saat ini, Wali Songo
dianggap sebagai pelopor dan ulama besar yang telah memberikan keteladanan dalam
berdakwah, baik bil lisan maupun bilhal. Prestasi itu dijadikan sesuatu fenomenal dan
sekaligus menjadikan nama besar yang dihormati oleh setiap lapisan masyarakat,
khususnya masyarakat Jawa. Kuburan Wali Songo menjadi tradisi tempat ziarah,
sampai saat ini ramai dikunjungi, tidak saja oleh masyarakat Jawa, tetapi juga
masyarakat Nusantara para umumnya. Bahkan tidak jarang kuburan Wali Songo
menjadi tempat atau tujuan nazar masyarakat bila terkabulnya sebuah hajat.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang permasalahan di atas, ada beberapa poin yang
penulis rumuskan sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Wali Sembilan/Wali Sembilan/Songo?
2. Bagaimana Pemikiran Ekonomi Islam Wali Sembilan?
C. Tujuan Penulisan
Disesuaikan dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian Wali Sembilan/Songo ?
2. Untuk mengetahui pemikiran ekonomi islam Wali Sembilan?
5
BAB 2 PEMBAHASAN
Ungkapan ‘Wali’ dalam bahasa Arab bisa berarti ‘orang yang mencintai atau
orang yang dicintai’. Kata ‘Wali’ dalam konteks ini sebenarnya kependekan dari
Waliyullah artinya orang yang mencintai dan dicintai Allah. Ada pula yang
mengartikan ‘Wali’ dengan ‘kedekatan’. Sehingga Waliyullah berarti pula ‘orang
yang kedudukannya dekat dengan Allah swt’. Kata ‘Songo’ adalah bahasa Jawa yang
berarti ‘Sembilan’. Tetapi ada pendapat bahwa kata Songo merupakan kerancuan dari
pengucapan kata ‘Sana’ yang dalam bahasa Jawa berhubungan dengan tempat
tertentu. Untuk yang pertama, Wali Songo berarti Wali yang jumlahnya sembilan
orang. Dan yang kedua, Wali Songo (Wali Sana), berarti Wali bagi suatu tempat
tertentu. Kata‘Sana’ ada kedekatan pengucapan lafal bahasa Arab untuk kata
‘Tsana’berarti ‘terpuji’. Sehingga Wali Songo berarti ‘Wali yang terpuji’.
2
MB.Rahimsah, Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo, (Surabaya : Amanah, t.th), h.5
6
Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) bukan anggota Wali Songo, melainkan
data tersebut diambil sesuai dengan periode tertentu di mana Syekh Maulana Malik
Ibrahim sudah meninggal dunia, sehingga wali tertua atau sesepuh Wali Songo pada
waktu itu adalah Sunan Ampel, dan Raden Patah atau Sunan Kota masuk di dalam
anggota Wali Songo.3
Agaknya sembilan orang wali itu adalah mereka yang memegang jabatan
dalam pemerintahan sebagai pendamping raja atau sesepuh Kesultanan di samping
peranan mereka sebagai mubalig dan guru. Oleh karena mereka memegang jabatan
pemerintahan, mereka diberi gelar sunan, kependekan dari susuhunan atau sinuhun,
artinya “orang yang dijunjung tinggi”. Bahkan kadang-kadang disertai dengan
sebutan Kanjeng, kependekan dari kang jumeneng, pangeran atau sebutan lain yang
biasa dipakai oleh para raja atau penguasa pemerintahan di daerah Jawa.4
Maulana Magribi datang ke Jawa tahun 1404 M.5 Beberapa versi menyatakan
bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali
yakni desa Sembalo, saat itu masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa
Sembalo sekarang, dalam wilayah administratif daerah Leran, kecamatan Manyar, 9
kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Jika upaya membuka warung sebagai salah satu strategi
dakwahnya, setidaknya untuk merangkul masyarakat bawah - kasta yang disisihkan
dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati
masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
7
tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama
desa Gapura.
Maulana Malik Ibrahim wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 822 H/ 1419
M, dan dimakamkan di Gapura Wetan (Gapurosukolilo), Gresik, Jawa Timur. Pada
nisannya terdapat tulisan Arab yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang
penyebar agama yang cakap dan gigih.10 Hingga saat ini, setiap malam Jumat Legi,
masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau
haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada
prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan
(pembacaan riwayat Nabi Muhammad).
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam di Pulau
Jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan sebutan Sunan
merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta, atau Ngampel
Denta (menurut Babad Tanah Jawi versi Meinsme), itu dinisbahkan kepada tempat
tinggalnya, sebuah nama tempat dekat Surabaya.
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Ia
memulai aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, wilayah
yang kini menjadi bagian dari Surabaya, yang sekaligus menjadi pusat penyebaran
Islam yang pertama di Jawa.
Sunan Ampel menganut fikih Mahzab Hanafi. Sunan Ampel menyampaikan dakwah
kepada orang-orang dengan menggunakan dasar yang sederhana yaitu dasar aqidah
8
dan ibadah. Ajaran tersebut dikenal dengan Moh limo yang berarti tidak melakukan
lima hal yang tercela yaitu moh main, moh ngumbe, moh maling, moh madat, dan
moh madon. Dalam Bahasa Indonesia memiliki arti tidak berjudi, tidak minum-
minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzinah.
Selain hal tersebut, Sunan Ampel juga menggunakan pendekatan kultur budaya untuk
berdakwah. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan diri, menyerap, bersikap
pragmatis, dan menempuh cara yang berangsur-angsur.
3. Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Wali Songo dan pendiri kerajaan Giri
Kedaton, yang berkedudukan di Desa Giri, Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Ia lahir di Blambangan (nama lama dari daerah Banyuwangi) tahun 1442. Sunan Giri
memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu
Putri Pasai (di Aceh Utara) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan
Putri Pasai dengan Dipati Hangrok melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak
disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan
Pangeran Giri. Beberapa abad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah
Sunan Giri. Sebagian abad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang
muballigh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq menikah dengan Dewi
Sekardadu, yaitu putri dari Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan
(sekarang beralih nama Banyuwangi) pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit,
Maulana Ishaq menikah dengan Dewi Sekardadu menurunkan dua orang putera,
yakni pertama Raden Paku alias Sunan Giri dan kedua Dewi Saroh yang kemudian
9
menjadi isteri Sunan Kalijaga. Namun kelahiran Sunan Giri ini dianggap rakyat
Blambangan sebagai pembawa kutukan berupa wabah penyakit di kerajaan
Blambangan. Kelahiran Sunan Giri disambut Prabu Menak Sembuyu dengan
membuatkan peti terbuat dari besi untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada para
pengawal kerajaan untuk menghanyutkannya ke laut/selat bali sekarang ini. Berita itu
pun tak lama terdengar oleh Dewi Sekardadu. Dewi Sekardadu berlari mengejar bayi
yang baru saja dilahirkannya. Siang dan malam menyusuri pantai dengan tidak
memikirkan lagi akan nasib dirinya. Dewi Sekardadu pun meninggal dalam
pencariannya. Peti besi berisi bayi itu terombang-ambing ombak laut terbawa hinga
ke tengah laut. Peti itu bercahaya berkilauan laksana kapal kecil di tengah laut. Tak
ayal cahaya itu terlihat oleh sekelompok awak kapal (pelaut) yang hendak berdagang
ke pulau Bali. Awak kapal itu kemudian menghampiri, mengambil dan membukanya
peti yang bersinar itu. Awak kapal terkejut setelah tahu bahwa isi dari peti itu adalah
bayi laki-laki yang molek dan bercahaya. Awak kapal pun memutar haluan kembali
pulang ke Gresik untuk memberikan temuannya itu kepada Nyai Gede Pinatih
seorang saudagar perempuan di Gresik sebagai pemilik kapal. Nyai Gede Pinatih
sangat menyukai bayi itu dan mengangkatnya sebagai anak dengan memberikan
nama Joko Samudra.
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel.
Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.22Sunan Bonang adalah
putra keempat Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila putri Arya
10
Teja, Bupati Tuban. Menurut Babad Risaking Majapahit dan Babad Cerbon,
kakakkakak Sunan Bonang adalah Nyai Patimah bergelar Nyai Gedeng Panyuran,
Nyai Wilis alias Nyai Pengulu, dan Nyai Taluki bergelar Nyai Gedeng Maloka. Adik
Sunan Bonang adalah Raden Qasim yang kelak menjadi anggota Wali Songo dan
dikenal dengan sebutan Sunan Drajat. Sunan Bonang lahir dengan nama kecil
Mahdum Ibrahim. Menurut perhitungan, B.J.O. Schrieke dalam Het Book van
Bonang (1916), Sunan Bonang diperkirakan lahir sekitar tahun 1465 Masehi dan
tidak bisa lebih awal dari tahun itu. Selain memiliki empat saudari seibu, Sunan
Bonang juga memiliki beberapa orang saudari dari lain ibu. Di antaranya adalah Dewi
Murtosiyah yang diperistri Sunan Giri dan Dewi Murtosimah yang diperisteri Raden
Patah. Dalam hal keilmuan, Sunan Bonang belajar pengetahuan dan ilmu agama dari
ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama santri-santri Sunan
Ampel yang lain seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden Kusen. Selain dari
Sunan Ampel, Sunan Bonang juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishak,
yaitu sewaktu bersama-sama dengan Raden Paku Sunan Giri ke Malaka dalam
perjalanan haji ke Tanah Suci. Sunan Bonang dikenal sebagai seorang penyebar Islam
yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan ilmu silat
dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan. Bahkan, masyarakat mengenal
Sunan Bonang sebagai seseorang yang sangat pandai mencari sumber air di tempat-
tempat yang sulit air.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu
menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat
menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan
tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke
dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap
menyembah Allah SWT. dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi
dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang mengiranya kini
dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri
menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang
melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah.6 Sunan Bonang wafat di pulau
Bawean pada tahun 1525 M.
6
Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX
Semester 1 dan 2. 29
11
5. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Ada sumber yang lain yang
mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu
bernama Dewi Candrawati. Jadi Raden Qasim itu adalah saudaranya Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang). Sunan Drajat yang lahir dengan nama Raden Qasim,
diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Sunan Drajat adalah putra bungsu Sunan
Ampel dengan Nyi Ageng Manila. Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang
berjiwa sosial tinggi dan sangat memerhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih
mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat.. Ajarannya lebih
menekankan pada empati dan etos kerja keras berupa kedermawanan, pengentasan
kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong-royong.
6. Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra
Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang
patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan
sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari
gudang kadipaten dan dibagikan kepada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga
dihukum yaitu tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.
12
Setelah diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan
Bonang. Lalau Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui
tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut.
Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga. Sunan kalijaga menggunakan kesenian
dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai
kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam
seperti Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan
tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaranajaran Islam sekalipun, karena pada
awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga
adalah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah meminta para penonton untuk
mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari
cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama
dan nama-nama pahlawan Islam.7 Seperti wali-wali lain, dalam berdakwah, Sunan
Kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang
sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan agama lama.
Dengan kemampuannya yang menakjubkan sebagai dalang yang ahli memainkan
wayang.
7
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010). 308
8
Ibid,336
13
. Raden Jakfar Shadiq atau Sunan Kudus banyak memanfaatkan jalur seni dan
budaya beserta teknologi terapan yang bersifat tepat guna, yang dibutuhkan
masyarakat, Raden Jakfar Shadiq dalam menjalankan dakwahnya mendapat tugas
memberi bimbingan dan keteladanan kepada masyarakat. Usaha dakwah sunan kudus
meliputi:
a. Menggunakan jalur seni, budaya, dan teknologi terapan yang bersifat tepat
guna,seperti menyempurnakam alat-alat pertukangan, menyempurnakan perkakas
pandai besi, serta membuat keris pusaka dan sejenisnya, tampaknya memberikan
pengaruh dalam arsitektur yang berkembang di tengah masyarakat Kudus dan
sekitarnya.
b. Memadukan antara bentuk bangunan yang berciri khas arsitektur Islam dan Hindu
yang dibuktikan melalui bangunan Menara Kudus dan lawang kembar Masjid Kudus,
c. Memadukan unsur Islam dan unsur lokal. Tampak pada cerita legenda yang
mengaitkan tokoh Sunan Kudus dengan pelarangan masyarakat untuk menyembelih
dan memakan daging sapi, hewan yang di hormati oleh orangorang Hindu,
.Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di pintu
makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun
1296 H atau 1878 M.
Sunan Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah
para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satusatunya wali yang
mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau
9
Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2.
14
pulalah yang menciptakan tembang Sinom (meneladani perilaku baik) dan kinanthi
(ajakan melatih diri dan hati) berarti meraih wahyu atau ilham agar cerdas,jangan
Cuma bermalas-malasan,kecakapan harus di miliki,siapkan jiwa dan raga , kurangilah
makan dan tidur. Beliau juga banyak mengisi tradisi Jawa slametan kematiaan dengan
nuansa Islami seperti nelung dino (slametan tiga hari), mitung dino (slametan tujuh
hari), nyatus dino ( slametan setelah 100 hari ) dan sebagainya.
Kisah dakwah Islam yang dilakukan Syarif Hidayat Susuhunan Jati, selain
ditandai kisah pernikahan, pencarian ilmu, dan peperangan, Syarif Hidayatullah
menyebarkan Islam melalui peperangan pada saat memperjuangkan Kasultanan
Cirebon. Metode penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Raden Syarif dikenal
cukup unik usaha dakwah Sunan Gunung Jati meliputi:
10
Ibid,373
11
Ibid,282
15
tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon,
c. Menggalang kekuatan para tokoh yang dikenal memiliki kesaktian dan kekuatan
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan
12
Ibid,299
16
Agama Islam merupakan agama yang universal, yang tidak hanya membawa
hal-hal tentang agama, tetapi juga membawa kebudayaannya dan mempengaruhi
terhadap berbagai hal, di antaranya pegaruh dibidang bahasa, pengaruh di bidang
pendidikan, arsitektur dan juga kesenian. Kedatangan islam membawa pengaruh yang
sangat besar dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun politik di dunia. Walisongo
dipercaya sebagai peletak batu pertama Islam di pulau Jawa. Kiprah Walisongo
dalam peta dakwah Islam di Indonesia pada umumnya, di pulau Jawa khususnya
memang merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Para Walisongo dalam
melakukan aktivitas dakwahnya antara lain sangat memperhitungkan wilayah
strategis. Beranjak dari sinilah, para Walisongo yang dikenal jumlahnya ada
sembilan orang tersebut melakukan pemilihan wilayah dakwahnya. Walisongo ketika
itu sangat bijak memanfaatkan seni yang telah berakar dan berkembang dalam
masyarakat untuk menopang keberhasilan dakwah mereka.
B. Saran
Saran dalam penulisan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah ini masih
memiliki kekurangan, baik dari segi isi maupun cara penulisannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati saya sangat berharap ada kritikan dan saran yang
sifatnya untuk membangun. Terakhir saya berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi saya begitu juga pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
17
1. Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam Di Nusantara: Sejarah dan
Perkembangannya Hingga Abad Ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h.
24-30.
2.MB.Rahimsah, Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo, (Surabaya : Amanah, t.th), h.5
3.MB Rahimsah, op.cit, h.6
4.Badri Yatim (Ed.), Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta :Logos Wacana
Ilmu, 1996), h.170
5.Raffles, Sir Thomas Stamford, F.R.S., 1830. The History of Java, from the earliest Traditions
till
6. Kedatangannya ini jauh sesudah agama Islam masuk di Jawa Timur. Hal ini dapat
diketahui dari batu nisan seorang wanita muslim bernama Fatimah binti Maimun yang wafat
pada tahun 476 H, atau 1087M.
7. Solichin Salam,(1960).Sekitar Walisanga. Kudus : Menara Kudus, hlm.30
8. Amen Budiman, (1978). Semarang Riwayatmu Dulu, Jilid I, Semarang: Tanjung Sari, hlm.88
9. 13Solichin Salam, Sekitar Wali Songo, (Menara Kudus, 1960), h.28
10. Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX
Semester 1 dan 2. 29
11. Ibid,304
12. Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010). 308
13. Ibid,336
18