E
DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DAN NOK DI RUANG RAJAWALI 6B
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
Disusun oleh:
Nama : Inas Salsabila Rofi
NIM : 22020118140138
Kelas : A18.2
6. Riwayat Reproduksi:
Menarche : 15 tahun
Menopouse : 48 tahun
Sklus menstruasi : 1 bulan (teratur)
Lama : 7 hari
Keterangan : Tidak ada nyeri ketika haid
7. Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan bahwa bapaknya memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2
D. Genogram 3 generasi
E. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Compos mentis
2. Pemeriksaan tanda-tanda vital:
a) Tekanan Darah : 149/82 mmHg
b) Pernapasan (RR) : 20 kali/menit
c) Nadi (HR) : 96 kali/menit reguler
d) Suhu : 36,5°C
e) Saturasi Oksigen : 99%
f) CRT kurang dari 2 detik
3. Nutrisi dan Cairan
a) Berat Badan : 40 kg
b) Tinggi Badan : 149 cm
c) IMT
𝐵𝐵 40
𝐼𝑀𝑇 = 𝑇𝐵2 = (1,549)2 = 18,01 (normal)
4. Head to Toe
No. Bagian Hasil Pemeriksaan
1. Kepala Inspeksi:
Kulit kepala bersih, rambut bergelombang, beberapa bagian
rambut sudah mulai memutih, persebaran rambut merata.
Palpasi:
Tidak ada nyeri tekan.
2. Wajah Inspeksi:
Bentuk wajah simetris, tidak terdapat lesi di bagian wajah, kulit
wajah sudah mulai keriput, terdapat beberapa flek pada wajah,
tidak terdapat pembengkakan pada wajah, wajah terlihat pucat
dan lelah
Palpasi:
Tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan pada area wajah
3. Mata Inspeksi:
Konjungtiva anemis (+), dilatasi pupil normal, reflek pupil
baik, sklera ikterik (-)
Palpasi:
Tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan.
4. Telinga Inspeksi:
Telinga tampak bersih, tidak terdapat lesi/inflamasi, bentuk
telinga simetris kanan-kiri, klien dapat mendengar dengan baik
ditandai dengan klien dapat menjawab pertanyaan dan
nyambung ketika mengobrol.
Palpasi:
Tidak terdapat benjolan maupun nyeri tekan.
6. Hidung Inspeksi:
Lubang hidung simetris, tidak ada sekret, dan tidak ada
pembengkakan.
Palpasi:
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan.
7. Gigi dan Inspeksi:
mulut Bibir klien simetris, tidak ada sariawan, tidak ada xerostomia,
mukosa bibir lembab, bibir pucat
Palpasi:
Tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan.
8. Leher Inspeksi:
Tidak terdapat pembesaran kelenjar limfa, tidak ada defiasi
trakea
Palpasi:
Reflek menelan baik, tidak terdapat benjolan, dan tidak nyeri
tekan.
9. Dada Dada Depan
Inspeksi: Bentuk dada diameter anteroposterior dan lateral
simetris, frekuensi napas dalam 1 menit adalah 20 kali, tidak
terdapat penggunaan otot bantu pernafasan, postur tubuh (tidak
bungkuk) tidak mengganggu pernafsan, pola nafas tidak terlalu
cepat dan tidak terlalu lambat
Palpasi
Pengembangan dada antara kanan dan kiri sama, tidak ada
krepitasi, tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan,
pemeriksaan taktil fremitus antara kanan dan kiri sama
Perkusi:
Suara pekak antara dextra dan sinistra sama,
Auskultasi:
Nafas trakeal: lama inspirasi sama dengan lama ekspirasi,
intensitas keras dan peach tinggi
Bronkial: lama inspirasi lebih panjanag dari pada ekspirasi
Bronkovasikuler: intensitas sedang dan peach sedang
Vesikuler: pada seluruh lapang paru lama ekspirasi lebih panjang
dari pada inspirasi
10. Jantung Inspeksi:
Tidak ada lesi, warna kulit merata, iktus kordis teraba kuat
Palpasi:
Tidak terdapat nyeri tekan, tidak ada trill
Perkusi:
Terdengar suara sonor pada dada kanan dan kiri
Auskultasi:
Tidak ada suara whezzing maupun ronchi.
11. Abdomen Inspeksi:
Warna kulit sawo matang merata, tidak terdapat bekas luka,
abdomen terlihat membesar
Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan, teraba massa di region suprapubik,
konsistensi keras, tidak ada nyeri tekan
Auskultasi:
Bising usus 6 kali/menit
Perkusi:
Saat posisi supinasi terdengar suara timpani dari 1-6 region
abdomen dan suara berubah menjadi pekak dari region 8 dan
9. Ketika pasien posisi diminta miring suara antara perut atas dan
bawah berbeda, perut yang berada di bawah terdengar lebih
pekak dari perut bagian atas. pasien dicurigai asites
12. Ekstremitas Inspeksi:
atas Warna kulit coklat tua, tidak terdapat edema, aklar hangat
Palpasi:
Tidak terdapat benjolan maupun nyeri tekan.
13. Ekstremitas Inspeksi:
Bawah Tidak terdapat lesi, warna kulit merata, tidak ada edema, tampak
sedikit lemas.
Palpasi:
Tidak terdapat benjolan, tidak ada nyeri tekan.
Toileting 8 Ambulasi 5
Total 70
Keterangan:
Ketergantungan total (0-24)
Ketergantungan berat (25-49)
Ketergantungan sedang (50-74)
Ketergantungan ringan (75-90)
Ketergantungan minimal (91-99)
Hasil pengkajian menunjukan Ny. E mengalami ketergantungan sedang
5. Pola Peran dan Hubungan
Klien memiliki hubungan yang erat dan baik dengan keluarganya. Klien juga
mendapatkan dukungan dari keluarga dalam melewati masa sakitnya saat ini.
6. Pola Istirahat dan Tidur
Pasien mengatakan tidak ada kesulitan untuk memulai tidur, intensitas tidur
bertambah kueang lebih 8 jam sehari karena mudah mengantuk, tidur nyenyak,
jarang terbangun, dan tidak mengonsumsi obat tidur.
7. Pola Kognitif-Persepsi
Pasien tidak mengalami disorientasi waktu, tidak mengalami gangguan dalam
pendengaran, penglihatan, peraba, dan pengecap. Pasien mengeluhkan nyeri
setelah operasi:
Tanggal pengkajian: 20 November 2021
P : Ny. E mengatakan nyeri terasa ketika bergerak miring
Q : Ny. E mengatakan nyeri terasa teriris
R : Ny. E mengatakan nyeri terasa di perut bagian bekas operasi
S : Ny. E mengatakan nyeri nyeri skala 5
T : Ny. E mengatakan nyeri terasa hilang timbul
Pasien tampak meringis
8. Pola Seksualitas
Klien mengatakan tidak mempunyai anak.
9. Koping Pola Toleransi Stress
Klien menerima dengan ilas penyakitnya. Pasien tidak takut dan malah ingin segera
di operasi agar segera sehat. Ketika ada masalah keluarga pasien mengatakan bahwa
masalah diseleseikan secara bersama sama.
10. Pola Nilai dan Keyakinan
Klien mengatakan bahwa dirinya adalah seorang umat muslim dan melaksanakan
sholat 5 waktu dengan teratur.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil USG
a) USG Ginokologi
1) Tampak uterus 74.5 x 40.9X42.8 mm, EL (+) 19.0 mm, tekstur homogeny,
kontur regular
2) Tampak massa hipoekoik dengan bagian hipoekoik pada adneksa uk lebih
dari 111.3 x 102.8 x 96.8 mm, vollebih 579,91 mL tebal dinding 3,3 mm,
neovaskularisasi 0,20. ST: 3/2/3/4:12
3) Cairan bebas pada mourisson puch (+)
Kesimpulan: Neoplasma Ovari kistik dengan bagian padat
b) USG Abdomen
1) Massa lobulated batas sebagian tegas tapi ireguler (ukuran 12,63 cm x 11,41
cm x 12,85 cm) pada region suprapubic yang tampak mendesak struktur
vesika uriaria ke inferolateral kiri, cenderung massa intrs abdomen curiga
berasal dari organ ginekologis
2) Asites
3) Tak tampak kelainan pada songrafi organ intraabdomen tersebut di atas.
2. EKG
HEMATOLOGI
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Koagulasi
Plasma Prothombin time (PPT)
Waktu ptotombin 10.4 detik 9.4-11.3 Normal
Zink sulphate 20 mg / Oral Zinc sulphate adalah suplemen Hipersensitivitas Muntah, diare, muncul rasa seperti
tabdispersible 8 jam untuk mencegah atau logam, atau sakit perut
mengatasi kekurangan
(defisiensi) zinc atau seng.
Metformin 500gr / Po Mengontrol dan menurunkan Penyakit ginjal dengan kadar Gangguan gastrointestinal pusing,
8 jam kadar gula darah pada penderita kreatinin serum lebih dari 1.5 sakit kepala, infeksi saluran napas
diabetes tipe 2. Metformin mg/dl (pria) dan lebih dari atas, gangguan daya pengecapan.
menghambat produksi glukosa 1.4 mg/dl (wanita). Infark
(glukoneogenesis) di hati. miokard akut, septikemia,
gagal jantung kongestif,
penyakit hati kronik,
alkoholik, hipoksia, asidosis
metabolik, ketoasidosis
dibetes, dan wanita hamil.
Packed red 500 mg Oral anemia atau hemoglobin (hb) Tidak dianjurkan untuk Delayed immune hemolytic
cells/prc / rendah merupakan salah satu transfusi tukar pada neonatus reaction, acute immune hemolytic
8 jam kondisi yang mendasari pasien reaction, penyakit graft versus host,
diberikan prc. infeksi, kelebihan zat besi, reaksi
anafilaksis, reaksi alergi, demam
Nacl 500 ml Intravena Mengatur jumlah air dalam Reaksi alergi terhadap obat Diare yang cair atau berdarah,
(20 tpm) tubuh. Sodium digunakan kadar magnesium rendah (pusing,
untuk mengatasi atau bingung, detak jantung cepat)
mencegah kehilangan sodium
yang disebabkan dehidrasi,
keringat berlebih atau
penyebab lainnya
Bupivacain 12,5– Intravena Bupivacaine sebagai obat bius hipersensitivitas Penurunan gairah seksual, iritasi
150 mg regional untuk menghilangkan kulit, kemerahan, memar, atau
rasa nyeri atau memberi efek bengkak di area suntikan, mual,
mati rasa saat prosedur operasi, muntah, atau konstipas, pusing,
tindakan medis, atau sakit kepala, atau mengantuk,
persalinan. telinga berdenging, mati rasa yang
berkepanjangan, demam,
menggigil, atau hipertemia, tremor,
denyut jantung cepat atau lambat,
sulit berkemih
Asam 500 Intravena Obat generik golongan anti- Gangguan ginjal yang berat; Mual, muntah, diare, pusing pada
traneksamat mg/5 ml fibrinolitik yang digunakan penyakit tromboembolik. injeksi intravena cepat.
(tiap 8 untuk membantu menghentikan
jam) pendarahan pada sejumlah
kondisi, misalnya mimisan,
cedera, pendarahan akibat
menstruasi berlebihan, dan
pendarahan pada penderita
angio-edema turunan.
II. PHATWAY
III. ANALISIS DATA DAN DIAGNOSIS KEPERAWATAN
A. Analisa Data
1. Nama Klien : Ny. E
2. No. Rekam Medis : C893145
3. Ruang Rawat : Rajawali 6B
DO:
1. Pasien tampak meringis
B. Diagnosis Keperawatan
1. Nama Klien : Ny. E
2. No. Rekam Medis : C893145
3. Ruang Rawat : Rajawali 6B
Rencana Keperawatan
18/11/2021 Ketidakstabilan Setelah dilakukan intervensi Menejemen Hiperglikemia (I.03115) 1. Monitoring kadar glukosa
Kadar Glukosa keperawatan selama 35 menit Observasi darah ini bertujuan untuk
Darah b.d diharapkan kadar glukosa 1. Identifikasi kemungkinan penyebab mendeteksi secara dini
Resistensi pasien dalam rentan normal, hiperglikemia kemungkinana komplikasi
Insulin dengan kriteria hasil: 2. Monitor kadar glukosa darah 2. Olahraga dapat
(D.0027) 1. Ny. E tidak mengeluh 3. Monitor tanda dan gejala hiperglikemia meningkatkan fungsi
lelah pankreas dalam produksi
2. Kadar glukosa dalam insulin dan berperan
Edukasi
darah dalam rentan normal 1. Anjurkan menghindari olahraga saat kadar mengurangi kadar glukosa
3. Pasien memahami edukasi dalam tubuh
glukosa darah lebih dari 250 mg/L
tentang pentingnya 3. Pemberian terapi cairan
2. Anjurkan monitor kadar glukosa darah
pengontrolan kadar dapat menjadi pilihan
secara mandiri
glukosa darah intervensi untuk
3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan
menurunkan kadar glukosa
olahraga
darah dan kadar hormon
kontra insulin sehingga
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV (NaCl) memperbaiki sensitivitas
2. Kolaborasi pemberian obat antidiabetes insulin
4. Metformin membantu
mengontrol dan
menurunkan kadar gula
darah pada penderita
diabetes tipe 2. Metformin
menghambat produksi
glukosa (glukoneogenesis)
di hati.
18/11/2021 Resiko Defisit Setelah dilakukan intervensi Edukasi diet (I.12369) 1. Makanan sangat erat
Nutrisi b.d keperawatan selama 30 menit Observasi kaitannya dengan kadar
Peningkatan diharapkan status nutrisi 1. Identifikasi tingkat pengetahuan saat ini gula darah pasien sehingga
Kebutuhan pasien tetap dalam keadaan 2. Identifikasi kebiasaan pola makan saat ini perlu pengaturan yang
metabolism baik, dengan kriteria hasil: dan masa lalu ketat
(D.0032) 1. Kepatuhan pasien dalam 2. Pemberian tranfusi darah
menerapkan progam diet Terapeutik PRC dapat menambah
meningkat kadar hemoglobin
1. Persiapkan materi dan media Edukasi
2. Pengetahuan Ny. E tentang sehingga dapat mengatasi
2. Jadwalkan waktu yang tepat untuk
pilihan makanan yang masalah anemia pasien
memberikan pendidikan kesehatan
sehat meningkat
3. Pengetahuan Ny. E tentang 3. Berikan kesempatan pasien dan keluarga
pilihan minuman yang bertanya
sehat meningkat
Edukasi
1. Jelaskan tujuan kepatuhan diet terhadap
kesehatan
2. Informasikan makanan yang diperbolehkan
dan dilarang
3. Anjurkan mengganti bahan makanan sesuai
dengan diet yang diprogramkan
4. Anjurkan hanya memakan makanan dari
rumah sakit
Kolaborasi
1. Rujuk ke ahli gizi
2. Berikan tranfusi darah PRC
20/11/2021 Nyeri Akut b.d Setelah dilakukan intervensi Pemberian Analgesik (I.08243) Menurut Profil Analgesik
Agen keperawatan selama 15 menit Observasi Pascaoperasi Elektif RSUP Dr.
pencedera nyeri pasien dapat berkurang 1. Identifikasi karakteristik nyeri Hasan Sadikin nyeri skala 5
fisiologis dengan kriteria hasil sebagai 2. Identifikasi riwayat alergi obat akan efektif jika diberi Opioid
(D.0077) berikut: 5 – tramadol 100 mg/500 mL/8
1. Tingkat rasa nyeri yang Edukasi jam IV +paracetamol 1 gr/6
dirasakan Ny. E dapat 1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat jam IV.
berkurang dari skala 5 ke
skala 2 Kolaborasi
2. Ny. E tak tampak meringis 1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
20/11/2021 Resiko Infeksi Setelah dilakukan intervensi Perawatan luka (I.14564) Perawatan luka akan
d.d Ketidak keperawatan sebanyak 15 Observasi mencegah adanya resiko
seimbangan menit diharapkan pengetahuan 1. Monitor karakteristik luka infeksi pada luka. Hal ini
gula darah tentang control resiko 2. Monitor tanda tanda infeksi harus dilakuakan dengan
(D.0142) meningkat, dengan kriteria prinsip steril
hasil: Terapeutik
1. Pengetahuan pasien 1. Lepaskan balutan dan plester secara
tentang resiko infeksi perlahan
meningkat 2. Bersihkan dengan cairan NaCl atau
2. Komitmen pasien dalam pembersih non toksik, sesuai kebutuhan
mengubah perilaku dan 3. Berikan salap yang sesuai ke kulit atau
gaya hidup meningkat
Lesi jika perlu
4. Pasang balutan sesuai jenis luka
5. Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka
Edukasi
1. Jelaskan Gejala infeksi
2. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori dan protein
3. Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri
4. Informasikan tentang fasilitas kesehatan
yang cocok untuk perawatan luka
5. Ajarkan tentang pentingnya pengendalian
kadar guladarah terhadap proses
penyembuhan luka
V. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
1. Nama Klien : Ny. E
2. No. Rekam Medis : C893145
3. Ruang Rawat : Rajawali 6B
Catatan Tindakan
Abstract
Hypoglycemia, or low blood glucose results when too much insulin is comparable with the
available glucose in the blood. This causes blood glucose levels dropped to less than 70 mg / dl.
The aim of research to determine the relationship of self-monitoring of blood glucose with
hypoglycemia in type 2 diabetes mellitus descriptive analytic method with cross sectional
approach, sample size 91, chi-square test statistic. The results of the study most of the clients do
not perform blood sugar checks as many as 62 people (68.1%). The results of statistical tests of
blood glucose self-monitoring relationship with hypoglycemia had a significant relationship to the
client type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Kebun Jeruk. P value of 0.000, p <α (0.05).
Conclusion there is relationship with the self-monitoring of blood glucose hypoglycemia in type 2
diabetes mellitus is recommended for patients with type 2 diabetes mellitus monitoring of blood
sugar levels is very important because it helps the proper medical treatment, thereby reducing the
risk of severe complications.
Abstrak
Hipoglikemia atau glukosa darah rendah terjadi ketika terlalu banyak insulin sebanding dengan
tersedia glukosa dalam darah. Ini menyebabkan tingkat glukosa darah turun menjadi kurang dari 70
mg /dl. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pemantuan glukosa darah mandiri dengan
hipoglikemia pada diabetes mellitus tipe 2. Metode penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional, besaran sampel 91 orang, uji statistic chi-square. Hasil penelitian sebagian besar
klien tidak melakukan cek gula darah sebanyak 62 orang (68,1%). Hasil uji statistic hubungan
pemantuan glukosa darah mandiri dengan hipoglikemia memiliki hubungan yang signifikan pada
klien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Kebun Jeruk. Nilai p value sebesar 0,000, nilai p < α
(0,05). Kesimpulan ada hubungan pemantuan glukosa darah mandiri dengan hipoglikemia pada
diabetes mellitus tipe 2. Disarankan Bagi penderita DM tipe 2 pemantauan kadar gula darah sangat
penting karena membantu penanganan medis yang tepat sehingga mengurangi resiko komplikasi
yang berat.
Kata Kunci: Pemantuan glukosa darah mandiri, hipoglikemia, diabetes mellitus tipe 2
diabetes melitus total kunjungan selama 1 bulan tidur untuk mewaspadai hipoglikemia yang tak
terdapat 990 orang penderita diabetes mellitus. bergejala, dan saat mengalami gejala hipoglikemia.
Tingginya prevalensi diabetes mellitus, Kelompok kerja yang bergabung dalam Self
resiko kematian pasien diabetes dua kali lebih besar Monitoring Blood Glucose (SMBG) Working Group
ketimbang orang nondiabetes. Komplikasi (2009) merekomendasikan bahwa Pemantuan
penyebabnya, ujung dari penyakit diabetes adalah Glukosa Darah Mandiri (PGDM) akan bermakna
timbulnya berbagai komplikasi yang membuat jika penyandang DM memiliki pengetahuan dan
semakin menderita, kualitas hidup menurun, serta mendapat pelatihan menggunakan alat atau
biaya berobat melonjak.Jika gula darah tidak glukometer. Pemeriksaan gula darah mandiri secara
terkontrol baik maka dapat dipastikan beberapa rutin dapat memberikan informasi kepada
tahun kemudian timbul komplikasi.Ada dua jenis penyadang diabetes mellitus mengenai evaluasi
komplikasi, yaitu komplikasi akut dan kronis. asupan makanan, latihan jasmani, serta jika ada obat
Komplikasi akut timbul mendadak, merupakan yang digunakan sehingga kadar gula darah dapat
keadaan gawat darurat, keadaan ini dapat fatal terkendali.
apabila tidak segera ditangani, termasuk Pasien diabetes mellitus yang mengalami
hipoglikemia (gula darah terlalu rendah), gangguan kronis perlu waktu adaptasi dan juga
hiperglikemi (gula darah terlalu tinggi) dan belajar banyak perubahan yang terjadi. Pasien harus
kebanyakan asam dalam darah (ketoasidosis didorong untuk cara pemberian insulin dan
diabetik). Sedangkan komplikasi kronik timbul bagaimana memantau kadar glukosa darah dan
perlahan, bahkan tidak ketahuan. Kadar gula darah makanan yang dimakan. Pasien perlu terus
terlalu rendah, sampai dibawah 60 mg/dl maka memantau kemampuan perawatan mandiri pasien.
disebut dengan hipoglikemia (Tandra Hans, 2014).
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada Metode Penelitian
penderita DM tipe 1 yang bergantung pada insulin, Penelitian ini menggunakan pendekatan
namun karena kejadian DM tipe 2 lebih banyak cross sectional, yaitu suatu penelitian yang
dibandingkan dengan DM tipe 1 dan dewasa ini dilakukan dengan cara mengukur variable pada
penggunaan insulin pada DM tipe 2 sudah semakin suatu saat tertentu (Sastroasmoro & Ismael, 2011).
banyak. Sebanyak 50% kasus hipoglikemia terjadi Pengukuran variable pada studi cross sectional tidak
saat tengah malam.Ini bisa terjadi karena aktivitas terbatas harus tepat pada waktu bersamaan, namun
yang terlalu berat, dosis insulin yang tinggi, atau mempunyai makna setiap subyek hanya dikenai satu
kurangnya asupan makan sebelum tidur kali pengukuran (Saryono, 2011).
(Prihaningtyas, 2013). 1. Populasi
Diabetesi harus mengenali gejala hipogli- Populasi adalah wilayah generalisasi yang
kemia seperti pusing, lemas, rasa kelaparan, tidak terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai
bisa berkonsentrasi, gemetar, berdebar-debar, kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan
cemas, nadi cepat, muncul keringat dingin, oleh penelitian untuk dipelajari dan dikemudian
pandangan kabur, pucat, mengantuk, mudah ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2010).Populasi
tersinggung, kesemutan, hingga penurunan dalam penelitian ini diambil di Puskesmas Kebun
kesadaran. Terkadang hipoglikemia terjadi pada Jeruk. Populasi yang diambil dalam penelitian 990
malam hari setelah menyuntikan insulin sebelum pasien DM tipe 2
tidur.Kondisi ini membuat diabetisi terbangun dan 2. Sampel
mengeluhkan gejala-gejala tersebut (Prihaningtyas, Sampel adalah bagian dari jumlah dan
2013). karateristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono,
Diabetes yang sering mengalami episode 2010).Teknik pengambilan sampel pada penelitian
hipoglikemia harus berhati-hati mengontrol gula adalah purposive sampling, yaitu teknik penentuan
darahnya. Jangan sampai gula darah terlalu turun sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,
hingga menganggu atau membahayakan. Bagi 2010). Sampe yang diambil sebanyak 91 pasien DM
diabetisi yang menggunakan insulin perlu memiliki tipe 2
alat glukometer sendiri untuk mengetahui kadar
gula darahnya disaat tertentu, misalnya apabila Hasil Penelitian
muncul gejala hipoglikemia. Control gula darah Analisis univariate bertujuan untuk melihat
sendiri pada hakiketnya untuk mengetahui distribusi frekuensi dari seluruh variable independen
keberhasilan pengobatan diabetes. dan dependen. Variable independen meliputi
Menurut PERKENI (2006), merekomen- pemantuan glukosa darah mandiri pada DM tipe2.
dasikan pengukuran gula darah mandiri saat Sedangkan variable dependen hipoglikemia pada
sebelum makan, 2 jam setelah makan, sebelum tidur DM tipe 2.
untuk mewaspadai hipoglikemia diantara waktu
tolak HO artinya cek gula darah memiliki hubungan paling lama 20 tahun dipoli PKU Muhammadiyah
yang signifikan terhadap hipoglikemia pada klien Yogyakarta.
diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Kebun Jeruk. Semakin lama menderita DM dan ditambah
dengan control gula darah yang kurang dapat
Pembahasan menimbulkan komplikasi. Oleh sebab itu sangat
Karateristik Demografi Responden penting bagi penyandang DM untuk selalu dipantau
Hasil penelitian tentang karateristik kemungkinan terkenanya komplikasi, agar
demografi responden, data umur responden intervensi bisa dilakukan untuk mencegah
menunjukkan 35-65 tahun. Hal ini menunjukkan kerusakan yang fatal.
bahwa usia diatas 40 tahun kemungkinan terkena
diabetes menjadi 8 persen. Diatas 50 tahun Hubungan Pemantuan Gula Darah Mandiri
kemungkinan mengidap diabetes naik sampai 20 Dengan Hipoglikemia
persen.Kemungkinan penduduk di atas 60 tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
menjadi diabetes menjadi 25 persen. Semakin tua melakukan cek gula darah sekitar 25,9% sebagian
usia, fungsi pancreas akan menurun sehingga besar akan mengalami hipoglikemia dengan nilai P
kemampuan insulin tubuh untuk mengatur gula value 0.000 membuktikan bahwa cek gula darah 2
darah melemah (Tandra Hans, 2014). Sejalan jam setelah makan memiliki hubungan yang
dengan penelitian Puspitasari Farida (2014), signifikan terhadap hipoglikemia. Memantau kadar
mengemukakan bahwa rata-rata usia responden gula sendiri merupakan cara yang paling efektif
57,90 menderita DM tipe 2 dipoli RS PKU untuk mengevaluasi kadar gula darah dalam jangka
Muhammadiyah Yogyakarta. pendek. Pemantuan ini memberikan evaluasi dini
Semakin bertambah usia, kemungkinan akan dampak dari makanan, tingkat stress, aktivitas
kena diabetes menjadi semakin besar. Pada awalnya fisik, dan obat-obatan. Misalnya memeriksa kadar
banyak orang tidak tahu dirinya menderita diabetes. gula darah 2 jam setelah makan siang, maka akan
Resiko kena diabetes meningkat seiring segera tahu bagaimana dampak makanan yang di
pertambahan umur,terutama setelah usia 40 tahun. makan terhadap gula darah. Fungsi pengukuran
Data penelitian menunjukkan bahwa jenis kadar gula darah sesudah makan disebut post-
kelamin laki-laki (53,8%) lebih banyak daripada prandial glucose, merupakan factor resiko yang
perempuan (46,2%). Pria ternyata lebih berisiko independen untuk timbulnya penyakit jantung
menderita diabetes mellitus (58%) dibandingkan (Kurniali C. Peter, 2013). Pengukuran gula darah
dengan wanita (42%).Pria lebih beresiko dapat dapat dilakukan pada sewaktu-waktu atau
didekati dari pemahaman umum bahwa pria pengukuran gula sewaktu yaitu pasien tanpa
memiliki peran yang cukup berat sebagai kepala melakukan puasa, pengukuran 2 jam setelah makan
keluarga. Biasanya mereka akan mengalami dan pengukuran pada saat puasa (Tarwoto, dkk,
penurunan kesehatan sejalan dengan beban yang 2012). Pemeriksaan pemantuan kadar glokusa darah
dipikul sebagai pencari nafkah (Utami Prapti & Tim dapat dilakukan kapan saja, sebelum makan,
Lantera, 2005). Seriring dengan penelitian sesudah makan, sewaktu puasa atau ketika diabetesi
Puspitasari Farida (2014), menunjukkan bahwa memang memerlukan pemeriksaan khusus.
jenis kelamin laki-laki (59,4%) lebih banyak dari Misalnya pada saat muncul gejala hipoglikemia atau
pada perempuan (40,6%) dipoli RS PKU pada saat badan terasa lemas tanpa sebab.dengan
Muhammadiyah Yogyakarta. Hal tersebut pemeriksaan mandiri, seganjil apapun dapat segera
mengindikasikan bahwa laki-laki lebih rentan terdektesi dan ditindaklanjuti (Kariadi KS Hartini
terkena penyakit seperti diabetes mellitus daripada Sri, 2009). Seiring dengan penelitian Finfer et al,
perempuan. (2012) di Australia menguatkan bahwa kadar gula
Hasil penelitian menunjukkan lama darah rendah berkaitan dengan meningkatnya angka
menderita diabetes mellitus diatas 1 tahun (74,7%). kematian pada pasien yang dirawat di unit
Diantara para penyandang diabetes mellitus perawatan intensif. Kenyataannya kadar gula darah
memang terdapat 2-25% yang beruntung, walaupun yang rendah atau hipoglisemia juga dapat
sudah lama mengidap diabetes mellitus, tetapi tidak membunuh pada pasien diabetes yang tidak sedang
menunjukkan kelainan vascular yang berarti, dan sakit. Ditambahkan sebuah studi yang dilakukan
didapatkannya 5% kadar glukosa darahnya hanya oleh Stephen Martin, ddk (2013) untuk mengamati
sedikit meningkat dan belum lama manfaat pemantuan gula darah mandiri oleh setiap
meningkatnya,tetapi sudah mengidap kelainan pasien diabetes tipe 2 diperoleh hasil pemantauan
vascular yang lanjut (Soegondo dkk,2013). Sejalan gula darah mandiri dapat menurunkan resiko
dengan penelitian Puspitasari Farida (2014), munculnya komplikasi 32% lebih rendah dan resiko
menunjukkan bahwa rata-rata 7,21 tahun, lama kematian 52% lebih rendah pada pasien diabetes
menderita DM paling rendah 3 tahun dan yang mellitus tipe 2.
Abstrak : Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena adanya resistensi insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia
(glukosa darah >126 mg/dl), dan biasanya terjadi pada berat badan yang lebih dari normal (Soeparman, 1991;
Christine, 2002).Olahraga merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat bagi diabetisi karena dapat
menurunkan gula darah. Saat berolahraga, tubuh membutuhkan tenaga, tenaga ini sebagian besar
diperoleh dari glukosa (gula) dalam tubuh. Saat berolahraga, terjadi peningkatan kebutuhan tenaga. Dengan
demikian, terjadi pula peningkatan pemakaian glukosa sehingga gula darah pun menurun.Olahraga yang
bermanfaat pada tubuh bukanlah sembarang aktifitas berat olahraga, yang bermanfaat tidak dilihat dari lelah
atau capek yag di rasakan ataupun banyak nya keringat yang di keluarkan tetapi dari pencapaian denyut nadi
sasaran. Bila denyut nadi yang ingin dicapai harus mampu merangsang fungsi organ, tubuh akan selalu
merespon tiap beban dan disesuaikan dengan FITT (frekwensi, intensitas, tempo dan tipe), frekwensi 3x
seminggu, intensitas aerobik 60-70 % DNM, tempo 20-30 menit, tipe jalan, jogging, lari dll (Wiarto,
2013).Manfaat dari olahraga adalah mengontrol gula darah, meningkatkan kadar kolestrol baik HDL,
menurunkan berat badan, memperbaiki gejala-gejala musuloskeletal, memperbaiki kualitas hidup, mencegah
terjadinya diabetes mellitus. Jika olahraga dilakukan secara benar maka idikator keberhasilannya adalah gula
darah puasa 80 sampai < 100 mg/ dL, gula darah 2 jam setelah makan 80 sampai <145 mg/dL, HbAlc < 7%,
LDL < 100 mg/dL, HDL untuk laki-laki >_ 40 mg/dL, untuk perempuan >_ 50 mg/dL, trigliserida < 150 mg/dL,
kolesterol total < 200 mg/dL, ekanan darah 120/80 mmHg (Suryono E, 2013).
Abstract : Diabetes mellitus type 2 is caused by insulin resistance, thus it produces hyperglicemia (blood
glucose > 126 mg/dl) and usually occurs in weight more than normal (Soeparman, 1991; Christine, 2002). The
exercise is an activity which is useful for diabetic as it can reduce blood glucose. When exercising, the body
needs energy which is mostly obtained from glucose in body. While exercising, there is enhancement of power
needs. Therefore, the glucose level in body will reduce because of that activity. The exercise is useful to the
body is not just any sport activities, it can be said useful if there is achievement of target pulse, it does not seen
from fatigue which is felt or amount of sweat that is produced. When the pulse to be achieved can stimulate
organ function, the body will always respond each burden and accustomed with FITT (frequency, intensity, time
and type), in terms of frequency 3 times a week, aerobic intensity 60-70% DNM, time 20-30 minutes, and type;
jogging, run and other types of exercises (Wiarto, 2013). The advantage of exercise is to control blood-glucose,
enhance high-quality cholesterol level (HDL), lose weight, improve musculoskeletal symptoms, improve quality
of life, and prevent the occurence of diabetes mellitus. If the exercise is concucted appropriately, thus the
indicator of its success is fasting blood glucose 80 to < 100 mg/dL, blood glucose after meal 80 to <145 mg/dL,
HbAlc < 7%, LDL < 100 mg/dL, HDL for men ≥ 40 mg/dL, for women ≥ 50 mg/dL, trigliserida < 150 mg/dL,
total cholesterol < 200 mg/dL, and blood pressure is 120/80 mmHG (Suryono E, 2013)).
___________________________________________________________________________
Awan dramawan, Cembun, Akhmad Fathoni : Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Mataram, Jl. Kesehatan V/10 Mataram
1618
JURNAL KESEHATAN PRIMA VOL. 10 NO. 1, PEBRUARI 2016
1619
Awan Dramawan, Olah Raga Pada Diabetes Melitus Tipe 2
Seringkali kita tidak berolahraga dengan alasan senam, bersepeda diluar ruang dan bersepeda,
sudah capek setelah seharian bekerja di kantor. berenang dan mendayung, (Suryono E, 2013).
Sering juga kita menganggap bahwa olahraga Olah raga raga yang bermanfaat juga di
tidak perlu lagi dilakukan karena kita sudah tentukan dari porsinya, bila porsi berlebih olahraga
melakukan aktivitas berat seperti mencuci, dapat membahayakan, misalnya mengakibatkan
mengepel, berkebun, dan masih banyak lagi. hipo ataupun hiperglikemia. Namun, bila porsi
Padahal, itu semua tidak bisa disebut olahraga. kurang, olahraga tidak akan bermanfaat. Porsi ini
Olahraga yang bermanfaat bagi tubuh yaitu bergantung pada intensitas, durasi, dan frekuensi.
olahraga yang berpengaruh pada metabolisme tubuh. Berdasarkan hal itu, saya jalan pagi
Dengan demikian, olahraga dapat meningkatkan sebanyak 3 - 5 kali dalam seminggu. Pada
fungsi pankreas dan memperbaiki fungsi insulin. mulanya, saya tidak memaksakan diri untuk
Olahraga haruslah bersifat aerobik, kontinyu mencapai TNS. Namun saya selalu berusaha
ritmitikal dan progresif. Olahraga yang sesuai mencapainya.
dengan sifat-sifat tersebut antara lain jalan kaki,
Untuk mengetahui manfaat olah raga marilah melihat skema di bawah ini
Mengontrol Gula darah
Memperbaiki Gejala
Gejala muscoloskeletas
Diatas adalah 6 manfaat dari olahraga, berikut 2. Meningkatkan kadar kolestrol baik HDL,
penjelasannya: olahraga teratur dapat menurunkan kadar
1. Mengontrol gula darah, untuk diabetes mellitus kolestrol LDL yang dapat menyumbat arteri
tipe 2 olahraga yang teratur dapat menurunkan koroner sedangkan HLD megumpulkan
resistensi insulin meningkatkan sensitivitas kolestrol-kolestrol untuk dikirimnya ke hati
insulin di otot-otot dan jaringan lain sehingga selanjutnya di buang.
kadar gula darah mengalami perbaikan. 3. Menurunkan berat badan, untuk diabetis yang
memiliki kelebihan berat badan dengan
1620
JURNAL KESEHATAN PRIMA VOL. 10 NO. 1, PEBRUARI 2016
Disamping itu Menurut Tandra H, 2015 Menurut Suryono E, 2013, Olahraga yang
manfaat olahraga, berolahraga dengan teratur baik untuk penyandang diabetes adalah olahraga yang
banyak manfaatnya, antara lain: bersifat erobik, kontinyu, ritmikal, dan progresif.
1. Menjadi lebih bugar, lebih mudah melakukan Manfaat olahraga bagi tubuh hanya bertahan sekitar
aktivitas sehari-hari. 48 jam, jadi olahraga yang dilakukan bertahun tahun
2. Jarang merasa capek. yang lalu tidak lagi bermanfaat, sifat olahraga
3. Otot dan sendi lebih lentur. penderita diabetes mellitus adalah:
4. Tonus otot lebih balk. 1. Erobik, olahraga yang gerakannya tidak hanya
5. Merasa lebih enak. melibatkan satu otot tertentu, tetapi melibatkan
6. Mengurangi stres. semua otot otot besar.
7. Lebih mudah berkonsentrasi. 2. Kontinyu, olahraga yang dapat dilakukan secara
8. Lebih percaya diri. terus menerus, bukan sekali waktu seperti
9. Nafsu makan bisa lebih terkontrol. angkat besi.
10. Mencegah tulang keropos (osteoporosis). 3. Ritmikal, olahraga yang gerakannya berirama,
1621
Awan Dramawan, Olah Raga Pada Diabetes Melitus Tipe 2
yakni otot berkontraksi dan berelaksasi secara melibatkan otot-otot besar. Prinsip yang harus
teratur. diterapkan di sini adalah frekuensi, intensitas, dan
4. Progresif, olahraga yang bisa dilakukan secara tempo latihan, seperti berikut.
bertahap, yakni dimulai dengan pemanasan, 1. Frekuensi latihan, 3 – 4 kali seminggu,
latihan inti, dan pendinginan. dengan teratur. Selang sehari sebaiknya
Karena kebutuhan olahraga setiap orang dipergunakan untuk beristirahat atau pemulihan.
berbeda, tentunya porsi olahraga juga berbeda. Porsi 2. Intensitas latihan, sebaiknya dipilih yang sedang,
olahraga untuk penyandang diabetes haruslah yaitu sekitar 70 persen dari detak jantung maksimal.
bergantung pada intensitas, durasi, dan frekuensi. Detak jantung maksimal seseorang adalah 220
1. Intentitas, kualitas olahraga yang diukur dengan dikurangi usia orang yang bersangkutan.
jumlalr denyut nadi atau target nadi sasaran 3. Tempo latihan, sebaiknya 30 sampai 60 menit
(TNS). TNS = 70%-80% (220 - usia) setiap kali berolahraga.
Misalnya, pada usia 55 tahun, TNS-nya adalah, 4. Jangan lupa melakukan pemanasan (warming up)
TNS = 70% - 80% dari (220 - 55) 70% - 80% sebelum latihan. Selain menaikkan suhu tubuh,
dari 165 dapat meningkatkan jantung untuk mendekatI
= 115 -132 kali per, menit atau 19 - 22 kali intensitas latihan.
per 10 detik 5. Setelah melakukan latihan inti selama 30 – 60
Intensita latihan dapat dilakukan dengan menit, diakhiri dengan pendinginan (cooling
mengukur denyut nadi maksimal (DNM) dengan down). Pendinginan diharapkan dapat mencegah
rumus DNM =220 – umur, kemudian ditentukan terjadinya timbunan zat racun (asam laktat)
takaran intensitasnya untuk olahraga kesehatan akibat gangguan metabolisme sewaktu
60%-70% (Hadisasmita & Syarifudin, 1996; berolahraga.
Bompa & Haff, 2009). 6. Lakukan pula gerakan tambahan. setelah pen-
2. Durasi, lamanya olahraga yang ideal, yakni 20 -- dinginan untuk melemaskan kembali otot-otot
30 menit. yang masih merasa tegang, dengan peregangan
3 . Frekuensi, olahraga sebaiknya dilakukan selang (stretching).
seling sebanyak 3 - 5 kali dalam seminggu. Ini
dilakukan karena manfaat olahraga bagi tubuh
yang diperolah dari olahraga akan menurun
setelah 48 jam.
Menurut Anies, 2006 Olahraga yang sangat PERHATIAN SELAMA MELAKUKAN
dianjurkan adalah olahraga aerobik, misalnya jalan, OLAHRAGA
jogging, bersepeda, berenang. Olahraga jenis ini
dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran, serta
1622
JURNAL KESEHATAN PRIMA VOL. 10 NO. 1, PEBRUARI 2016
1623
Awan Dramawan, Olah Raga Pada Diabetes Melitus Tipe 2
1624
JURNAL KESEHATAN PRIMA VOL. 10 NO. 1, PEBRUARI 2016
6. Tekanan darah 120/80 mmHg (Suryono E, Anies, 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak
Menular. Aex Media Komputindo.
2013).
Bompa TO and Haff G, 2009.Periodization Theory
KESIMPULAN DAN SARAN and Methodology of Training, fifth edition.
Olahraga yang bermanfaat bagi tubuh yaitu Cristine Y, 2002. Exercise Training Improves Muscle
Insulin Resistance but not Insulin Receptor
olahraga yang berpengaruh pada metabolisme tubuh.
signaling in Obese Zucker rats, vol 92,
Dengan demikian, olahraga dapat meningkatkan pp736-744.
fungsi pankreas dan memperbaiki fungsi insulin. Hadisasmita Y dan Syarifudin A, 1996. Ilmu
Olahraga haruslah bersifat aerobik, kontinyu Kepelatihan Dasar, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendral
ritmitikal dan progresif. Olahraga yang sesuai
Pendidikan Tinggi, Jakarta.
dengan sifat-sifat tersebut antara lain jalan kaki,
Russel DM, 2011. Bebas dari 6 Penyakit Paling
senam, bersepeda diluar ruang dan bersepeda, Mematikan. MedPress Yogyakarta.
berenang dan mendayung, (Suryono E, 2013).
Sari RN, 2012. Diabetes Mellitus. Nuha Medika
Olah raga raga yang bermanfaat juga di
Jogjakarta.
tentukan dari porsinya, bila porsi berlebih olahraga
Soeparman, 1991. Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi
dapat membahayakan, misalnya mengakibatkan hipo kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 407-
ataupun hiperglikemia. Namun, bila porsi kurang, 411.
olahraga tidak akan bermanfaat. Porsi ini bergantung
Suryono E, 2013. Bersahabat dengan Diabetes.
pada intensitas, durasi, dan frekuensi Yrama Widya Bandung.
1625
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
ABSTRAK
Pola makan yang salah dapat menyebabkan kenaikan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pola makan dengan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe
2 di wilayah kerja puskesmas Kota Makassar. Desain penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan
pendekatan studi cross-sectional, dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di wilayah kerja Puskesmas Batua
Raya dan Bara-barayya. Populasi penelitian, yaitu rata-rata jumlah pasien yang berkunjung perbulan di Puskesmas
Batua Raya dan Bara-barayya, yaitu 67 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan purposive
sampling dengan jumlah sampel 46 orang. Instrumen penelitian adalah kuesioner identitas diri, food recall 24
jam, food picture, alat pemeriksaan gula darah, nutrisurvey, dan SPSS. Hasil yang diperoleh, pada asupan energi,
karbohidrat, dan lemak bermakna dengan nilai p<0,05, yaitu secara berturut-turut 0,012, 0,001, 0,028. Variabel
asupan protein nilai p>0,05 yaitu 0,162. Variabel Jenis, gula dan hasil olahannya (p>0,05) yaitu 0,133. Sedangkan
variabel sayur dan buah bermakna dengan nilai p 0,000. Variabel jadwal makan nilai p 0,460. Beban glikemik
sendiri memiliki hubungan dengan kadar gula darah dibuktikan nilai p<0,05 yaitu, 0,004. Kesimpulan dari pene-
litian bahwa ada hubungan pola makan dengan kadar gula darah pasien DM tipe 2 wilayah kerja puskesmas Kota
Makassar Tahun 2014.
Kata kunci : Pola makan, diabetes, gula darah
ABSTRACT
The wrong diet can cause increases in blood sugar levels in patients with type 2 diabetes mellitus. This
research aims to identify the relation betweendiet andblood sugar levels of type 2 diabetes mellitus patients in the
Makassar City Health Center Service Area. The research design used was the analytical survey with cross sectio-
nal study approach, which was carried out in April-May 2014 in the Batua Raya and Bara-barayya Health Center
Service Area. The population of this research was the average total of visitors each month in the Batua Raya and
Bara-barayya Health Center which was 67 people. Samples were selected using the purposive sampling method,
with the number of samples of 46 people. Research instruments wereidentity questionnaires, the 24-hour food
recall, food picture, blood sugar tester, nutrisurvey and SPSS. The results obtained were: on the intake of energy,
carbohydrates, and fats are meaningful with a value of p<0.05 withp=0,012, p=0,001, and p= 0,028 respectively.
While the value of protein intake was p>0,05 was 0,162. Type, sugar and processed product variables (p>0,05)
was 0,133. While the vegetable and fruit was meaningful with the value p=0,000. For the eating schedule vari-
able the value of p=0,460. The glycemic load itself correlates with blood sugar levels verified by the p<0,05 was
p=0,004. The implications of this research was there is a relationship between diet and blood sugar levels of type
2 DM patients in the Makassar City Health Care Service Areain 2014.
Keywords : Diet, type 2 DM, blood sugar
211
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
212
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
bentuk table dan disertai narasi. kan bahwa ada hubungan asupan energi dengan
kontrol kadar gula darah (p<0,05). Untuk asupan
HASIL karbohidrat sebagian besar, yaitu 78,3% masih
kurang dari kebutuhan dan tersebar pada kadar
Pasien yang menjadi sampel paling banyak
gula darah tidak terkontrol sebesar 88,9% dan
berjenis kelamin perempuan (78,3%). Mayoritas
11,1% pada kadar gula darah terkontrol. Hasil
sampel berusia 41-55 tahun, usia ini merupakan
analisis uji pearson chi square menunjukkan bah-
kategori dewasa akhir dan lansia, penderita pe-
wa asupan karbohidrat memiliki hubungan yang
nyakit tidak menular seperti DM tipe 2 banyak
bermakna dengan kontrol kadar gula darah pada
diderita pada usia tersebut. Variabel pekerjaan
pasien diabetes melitus (p<0,05). Tingkat asupan
sendiri, terlihat bahwa pasien DM tipe 2 yang
protein sebagian besar pasien yaitu 69,6% kurang
menjadi sampel paling banyak tidak bekerja/IRT,
dari kebutuhan, hal ini terutama pada pasien yang
sebab dapat dilihat bahwa kebanyakan responden
memiliki kadar gula darah tidak terkontrol sebe-
adalah perempuan (78,3%). Variabel pendidikan,
sar 81,2% dan 18,8% pada kadar gula darah ter-
terlihat bahwa pasien DM tipe 2 yang menjadi
kontrol, sedangkan dari 13% asupan protein baik
sampel, yaitu mayoritas berlatarbelakang pendi-
sebanyak 16,7% pada pasien dengan kadar gula
dikan SMA (50 %). Adapun variabelstatus gizi
darah terkontrol dan 83,3% pada pasien de-ngan
pasien DM tipe 2 yang terbanyak terdapat pada
kadar gula darah tidak terkontrol. Analisis uji
status gizi normal (IMT:18-24,44), yaitu 47,8%
pearson chi square menunjukkan bahwa asupan
(Tabel 1).
protein tidak berhubungan dengan kontrol kadar
Sebagian besar pasien berada pada asupan gula darah pada pasien diabetes melitus (p>0,05)
energi baik (76,1%) yang tersebar pada kategori
Hasil pengolahan data konsumsi lemak
kadar gula darah tidak terkontrol sebesar 85,7%.
menunjukkan bahwa mayoritas pasien yang men-
Hasil analisis uji pearson chi square menunjuk-
jadi sampel memiliki asupan lemak yang kurang
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan dan tersebar paling besar pada kadar gula darah ti-
Karakteristik Sosio Demografi dak terkontrol (87,1%), sedangkan pasien dengan
Pasien Rawat Jalan DM Tipe 2 asupan baik juga paling besar berada dalam ka-
Karakteristik Responden n % tegori kadar gula darah tidak terkontrol (62,5%).
JenisKelamin Analisis uji pearson chi square ini menunjukkan
Laki-laki 10 21,7 bahwa ada hubungan yang bermakna tingkat asu-
Perempuan 36 78,3 pan lemak dengan kontrol kadar gula darah pada
Kelompok Umur (tahun) pasien diabetes melitus (p<0,05) (Tabel 2).
26-40 4 8,7 Konsumsi gula dan hasil olahnya pada se-
41-45 27 58,7 bagian besar pasien, yaitu 69,6% sudah sesuai
56-70 15 32,6
dengan yang dianjurkan. Pada pasien dengan ka-
Pekerjaan
IRT/TidakBekerja 24 52,2 dar gula darah terkontrol 31,2% memiliki asupan
Jasa 5 10,9 baik dan 7,1% tidak baik, sedangkan pada pasien
PegawaiNegeri 9 19,6 dengan kadar gula darah tidak terkontrol 68,8%
Wiraswasta 8 17,4 asupan baik dan 92,9% tidak baik. Hasil anali-
Pendidikan sis uji fisher’s exact test menunjukkan konsumsi
SD 3 6,5 bahan makanan jenis gula dan hasil olahnya ti-
SMP 11 23,9 dak memiliki hubungan yang bermakna dengan
SMA 23 50 kontrol kadar gula darah (p>0,05). Menurut hasil
Diploma/Sarjana 9 19,6 recall menunjukkan bahwa sebagian besar, yaitu
Status Gizi
71,7% memiliki pola konsumsi bahan makanan
Normal 22 47,8
Overweight 16 34,8 jenis sayuran tidak baik, yang tersebar sebesar
Obesitas 8 17,4 3,0% pada pasien dengan kadar gula darah ter-
Sumber : Data Primer, 2014
kontrol dan 97,0% pada pasien dengan kadar
213
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
Tabel 2. Hubungan Jumlah Asupan Zat Gizi dengan Kadar Gula Darah Pasien
DM Tipe 2
Kadar Gula Darah
Total
Jumlah Asupan Zat Gizi Terkontrol Tidak Terkontrol
n % n % n=46 %
Energi
Kurang 5 14,3 30 85,7 35 76,1
Baik 3 42,9 4 57,1 7 15,2
Lebih 3 75,0 1 25,0 4 8,7
Karbohidrat
Kurang 4 11,1 32 88,9 36 78,3
Baik 5 71,4 2 28,6 7 15,2
Lebih 2 66,7 1 33,3 3 6,5
Protein
Kurang 6 18,8 26 81,2 32 69,6
Baik 1 16,7 5 83,3 6 13,0
Lebih 4 50,0 4 50,0 8 17,4
Lemak
Kurang 4 12,9 27 87,1 31 67,4
Baik 3 37,5 5 62,5 8 17,4
Lebih 4 57,1 3 42,9 7 15,2
Sumber : Data Primer, 2014
gula darah tidak terkontrol. Hal ini membukti- makanan dengan beban glikemik yang tidak baik,
kan berdasarkan analisis uji fisher’s exact test jadi pada analisis uji fisher’s exact test dapat dik-
menunjukkan ada hubungan konsumsi sayuran etahui bahwa beban glikemik indeks makanan
dengan kontrol kadar gula darah (p<0,05). Hasil pasien memiliki hubungan dengan kadar gula da-
pengumpulan data konsumsi buah dapat dijelas- rah (p<0,05) (Tabel 3).
kan bahwa sebagian besar mengonsumsi buah
dengan porsi yang tidak baik yaitu 65,2%. Pada PEMBAHASAN
pasien yang memiliki kadar gula darah terkontrol
Hasil penelitian ini diketahui bahwa seba-
sebesar 68,8% dengan porsi baik dan 0,0% de-
gian besar, yaitu 85,7% pengidap dengan tingkat
ngan porsi tidak baik. Secara keseluruhan pasien
asupan energi kurang memiliki kadar glukosa
dengan konsumsi porsi buah yang baik berada
darah tidak terkontrol sedangkan yang asupan
pada gula darah terkontrol (100%). Analisis uji
energi baik sesuai kebutuhan 42,9% glukosa
fisher’s exact test menunjukkan bahwa konsumsi
darah terkontrol, hasil uji pearson chi square
buah memiliki hubungan dengan kontrol kadar
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermak-
gula darah (p<0,05) (Tabel 3).
na asupan energi dengan pengendalian kadar glu-
Hasil pengumpulan data jadwal makan kosa darah pada pengidap diabetes melitus. Hasil
diketahui bahwa sebesar 69,6% termasuk baik. penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada,
Adapun pasien dengan kadar gula darah yang kecenderungan asupan energi yang kurang terha-
tidak terkontrol 85,7% pada jarak antar waktu dap kadar gula darah yang tidak terkontrol. Masih
makan yang tidak baik, analisis uji fisher’s exact ada banyak faktor yang menyebabkan kadar gula
test diketahui bahwa jarak antar waktu makan ti- darah tidak terkontrol pada pasien diabetes meli-
dak memiliki hubungan dengan kadar gula darah tus tipe 2 seperti keturunan, kurang berolahraga,
(p>0,05) (Tabel 3). Hasil pengolahan data recall kegemukan, penuaan sel, dll.
diperoleh bahwa sebesar 50,0% termasuk baik
Hasil penelitian membuktikan bahwa
dan 50% termasuk tidak baik (kurang dan lebih).
pasien DM tipe 2 yang memiliki asupan karbo-
Adapun pasien dengan kadar gula darah yang ti-
hidrat kurang dari kebutuhan cenderung tidak
dak terkontrol paling besar 95,7% pada konsumsi mampu melakukan kontrol kadar gula darah
214
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
Tabel 3. Hubungan Konsumsi Jenis Makanan, Jarak Waktu Makan, Beban Glikemik dengan
Kadar Gula Darah Pasien DM Tipe 2
Kadar Gula Darah
Total
Variabel Terkontrol Tidak Terkontrol p
n % n % n=46 %
Gula dan olahannya
Baik 10 31,2 22 68,8 32 69,6 0,133
Tidak Baik 1 7,1 13 92,9 14 30,4
Porsi Sayur
Baik 10 76,9 3 76,1 13 28,3 0,000
Tidak Baik 1 3,0 32 23,1 34 71,7
Porsi Buah
Baik 11 68,8 5 76,1 16 34,8 0,000
Tidak Baik 0 0,0 30 31,2 30 65,2
Jarak Waktu Makan
Baik 9 28,1 23 71,9 32 69,6 0,460
Tidak Baik 2 14,3 12 85,7 14 30,4
Beban Glikemik
Baik 10 43,5 13 56,5 23 50,0 0,004
Tidak Baik 1 4,3 22 95,7 23 50,0
Sumber : Data Primer, 2014
dibandingkan dengan pasien yang asupan karbo- yaitu 81,2% memiliki kadar gula darah tidak
hidratnya sesuai kebutuhan, dan hasil uji pearson terkontrol dibandingkan pasien yang memiliki
chi square menunjukkan bahwa ada hubungan kadar gula darah terkontrol 18,8%. Hasil uji
yang bermakna jumlah asupan karbohidrat de- pearson chi square menunjukkan bahwa tidak
ngan kontrol kadar gula darah. Jumlah karbohid- ada hubungan bermakna antara asupan protein
rat yang dikonsumsi dari makanan utama dan se- dengan kadar gula darah pasien diabetes mellitus
lingan lebih penting daripada sumber karbohidrat tipe 2. Defisiensi asam amino esensial akan me-
tersebut. Hal ini disebabkan jumlah karbohidrat lemahkan kinerja sel yang bertugas memproses
yang dikonsumsi dari makanan utama dan seli- gula. Selain itu, proses penyembuhan akan ber-
ngan mempengaruhi kadar gula darah dan sekresi langsung lama karena ketiadaan asam amino
insulin. Hasil penelitian ini didukung oleh pene- penting yang diperlukan tubuh untuk meregen-
litian Samaha dkk, menyatakan bahwa pengu- erasi sel yang rusak akibat level gula darah yang
rangan asupan karbohidrat dapat meningkatkan tinggi. Selain itu, defisiensi asam amino terutama
sensitivitas insulin pada individu sehat dan penu- sistein dan taurin menyebabkan peningkatan le-
runan kadar gula darah puasa pada pasien DM vel insulin terkait dengan stres yang disebabkan
tipe 2.4 oleh tidak terpenuhinya asam amino yang bekerja
Secara teori, tidak terkontrolnya kadar gula sebagai neurotransmitter di otak.6 Tidak adanya
darah pada pasien DM tipe 2 yang asupan karbo- hubungan yang bermakna tingkat asupan protein
hidratnya melebihi kebutuhan disebabkan oleh dengan kontrol kadar gula darah dikarenakan
tingginya pembentukan gula yang bersumber dari fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan
karbohidrat dan rendahnya reseptor insulin, se- dan mengganti sel-sel yang rusak. Protein akan
perti yang diungkapkan oleh Edgren, bahwa pada digunakan sebagai sumber energi apabila keterse-
pasien DM tipe 2, jumlah insulin bisa normal atau diaan energi dari sumber lain yaitu karbohidrat
lebih, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat dan lemak tidak mencukupi melalui proses gliko-
dalam permukaan sel yang kurang.5 neogenesis.7
Hasil penelitian pada pasien diabetes meli- Pada penelitian ini diketahui pada pasien
tus tipe 2 diketahui bahwa sebesar 69,6% pasien yang memiliki asupan lemak sesuai dengan kebu-
dengan konsumsi protein kurang sebagian besar tuhan sebagian besar memiliki kadar gula darah
215
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
tidak terkontrol, yaitu sebanyak 62,5%, hal terse- tangga lebih banyak bersantai di siang hari hingga
but dikarenakan walaupun asupan lemak baik petang setelah masak, berolahraga secara teratur
namun asupan energi lebih dari kebutuhan yang dapat mengoptimalkan penggunaan energi dalam
bersumber dari karbohidrat dan beban glike- tubuh dan mencegah kelebihan energi tersimpan
mik. Tubuh membutuhkan lemak esensial guna sebagai lemak. Olahraga pun dapat melancarkan
kelangsungan fungsi sel dan berbagai aktivitas peredaran darah dan meningkatkan sensitivitas
biologi di dalam tubuh. Lemak esensial terdiri insulin.
dari omega 3, omega 6, dan omega 9. Semua le- Sayuran merupakan sumber vitamin,
mak esensial memang penting, tetapi kecukupan mineral dan serat. Serat makanan adalah meru-
omega 3 harus mendapat perhatian yang serius pakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman
bagi pengidap diabetes. Omega 3 memiliki fung- atau karbohidrat analog yang resisten terhadap
si khusus terkait dengan perannya untuk menin- pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan
gkatkan sensitivitas insulin yang diperlukan oleh fermentasi lengkap atau partial pada usus besar,
penderita diabetes tipe 2. Salah satu pemicu ke- serat makanan tersebut meliputi pati, polisakhari-
gagalan sel dalam memproses gula adalah akibat da, oligosakharida, lignin dan bagian tanaman
peradangan. Peradangan terjadi karena banyak lainnya, secara fisis serat dapat dijumpai dalam 2
penyebab. Salah satu penyebab peradangan yang bentuk, yaitu yang larut dan tidak larut air.9 Hasil
perlu diwaspadai adalah lemak buruk. Lemak penelitian menunjukkan sebagian pasien DM tipe
trans merupakan lemak terburuk yang tidak bo- 2 dengan kadar gula darah tidak terkontrol memi-
leh dikonsumsi meski hanya dalam jumlah yang liki tingkat konsumsi sayuran yang tidak baik dari
sedikit.6 Sutanto, mengemukakan bahwa orang kebutuhan yaitu sebesar 97,1% dan hanya 2,9%
denganberatbadanberlebih memiliki resiko lebih pada pasien yang kadar gula darah terkontrol.
tinggi mengalami resisten insulin, karena lemak Uji fisher’s exact test menyatakan ada hubungan
mengganggu kemampuan sel-sel tubuh untuk yang bermakna konsumsi sayuran dengan kontrol
menggunakan insulin. Namun, tidak menutup ke- kadar gula darah. Adanya hubungan konsumsi
mungkinan orang yang berbadan kurus juga bisa sayuran dengan kontrol kadar gula darah pada
terserang diabetes tipe ini.8 pasien DM tipe 2 dapat dijelaskan bahwa dengan
Gula bisa menjadi racun jika melebihi 8 konsumsi serat sesuai kebutuhan dapat menim-
sendok sehari (gula murni). Makin sederhana bulkan rasa kenyang akibat masuknya karbohid-
struktur gulanya, makin mudah diserap oleh tu- rat komplek yang menyebabkan menurunnya se-
buh, sehingga lebih cepat menaikkan kadar gula lera makan dan akhirnya menurunkan konsumsi
dalam darah.8 Hasil pengolahan data food recall makan, disamping itu serat juga mengandung
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien ter- kalori rendah sehingga dapat menurunkan kadar
masuk dalam kelompok baik yaitu 69,6%, tetapi gula darah dan lemak dalam tubuh.9
lebih banyak dalam kelompok gula darah tidak Hasil pengumpulan data konsumsi buah
terkontrol, yaitu 68,8% dan 31,2% pada gula da- dapat dijelaskan pasien yang memiliki kadar gula
rah tidak terkontrol. Berdasarkan uji fisher’s ex- darah terkontrol sebagian besar mengonsumsi
act test menunjukkan tidak ada hubungan yang buah baik, yaitu 68,8%, sedangkan pada pasien
bermakna antara konsumsi gula dan hasil olah- dengan kadar gula darah tidak terkontrol semua
annya terhadap kadar gula darah. Hal ini tidak termasuk dalam kelompok konsumsi buah kurang
sesuai dengan teori yang ada karena kadar gula baik, yaitu 100,0%. Seperti yang dinyatakan oleh
darah yang tidak terkontrol pada pasien diabetes Waspadji, et al, bahwa faktor-faktor yang mung-
tidak hanya disebabkan konsumsi gula berlebih kin mempengaruhi kenaikan kadar gula darah
tetapi juga oleh gaya hidup yang kurang sehat. adalah kandungan serat, adanya zat anti nutrien,
Tingginya asupan lemak, obesitas, dan kurang- bentuk fisis, pemasakan, keadaan dan besar par-
nya aktivitas fisik pun dapat menyebabkan tidak tikel pada pati, protein dan adanya interaksi anta-
terkontrolnya kadar gula dalam darah. Sebagian ra protein dan zat pati. Bila dibandingkan dengan
besar pasien yang berprofesi sebagai ibu rumah bahan makanan tinggi serat lain buah-buahan me-
216
JURNAL MKMI, Desember 2014, hal 211-218
miliki indeks glikemik relatif lebih rendah setelah menekan sekresi hormon insulin pankreas se-
kacang-kacangan, yaitu 50,0%, biji-bijian 60,0%, hingga tidak terjadi lonjakan kadar gula darah.15
sayuran 65,0%, sedangkan kacang-kacangan Hasil penelitian ini menunjukkan pasien dengan
hanya 31,0%.10 Hal tersebut dapat disebabkan se- jumlah beban glikemik baik sama dengan jumlah
lain memiliki indeks glikemik yang relatif rendah beban glikemik tidak baik, yaitu masing-masing
buah-buahan juga mengandung serat yang cukup 50%. Namun, pada jumlah beban glikemik tidak
tinggi sehingga dapat menimbulkan perasaan ke- baik menunjukkan kelompok kadar gula darah
nyang dan puas yang membantu mengendalikan pasien tidak terkontrol yang paling besar, yaitu
nafsu makan dan menghindari intake energi yang 95,7%. Berdasarkan hasil uji fisher’s exact test
berlebihan,13 sehingga dapat dijelaskan bahwa menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
pada pasien yang mengkonsumsi buah dalam antara jumlah beban glikemik makanan dengan
jumlah yang kurang akan cenderung memiliki kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe
intake energi yang melebihi kebutuhan karena 2. Hal ini sesuai dengan penelitian Qurratuaini,
pasien DM cenderung merasa lapar akibat sel- bahwa jumlah indeks glikemik seseorang yang
sel yang kekurangan gula. Hal ini didukung oleh sedang menderita diabetes memiliki hubungan
Gropper, bahwa gel dapat memperlambat gerak secara langsung dengan kadar gula darah.13
peristaltik zat gizi (gula darah) dari dinding usus
halus menuju daerah penyerapan sehingga terjadi KESIMPULAN DAN SARAN
penurunan kadar gula darah.14
Asupan energi, karbohidrat, dan lemak
Hasil penelitian ini diketahui bahwa 69,6% yang kurang berhubungan dengan tidak terkon-
pasien DM tipe 2 mempunyai jarak waktu makan trolnya kadar gula darah pada pasien diabetes
sesuai dengan yang dianjurkan, yaitu 2,5-3,5 jam. melitus tipe 2 sedangkan asupan protein tidak
Namun, terdapat 71,9% yang memiliki kadar gula berhubungan dengan kadar gula darah. Konsumsi
darah tidak terkontrol, dari hasil uji fisher’s exact jenis bahan makanan gula dan hasil olahannya ti-
test juga menunjukkan jarak antar waktu makan dak berhubungan dengan kadar gula darah pasien
tidak berhubungan secara nyata dengan kontrol diabetes melitus tipe 2, sedangkan konsumsi
kadar gula darah. Tidak adanya hubungan jarak sayuran dan buah yang tidak baik berhubungan
antar waktu makan dengan kontrol kadar gula dengan tidak terkontrolnya kadar guladarah pada
darah pada pasien DM tipe 2 dapat disebabkan pasien diabetes melitus tipe 2. Jadwal makan pada
oleh jadwal makan yang baik tidak diikuti den- pasien diabetes melitus tipe 2 tidak berhubungan
gan jumlah porsi makanan yang dianjurkan, hal dengan kadar gula darah. Jumlah beban glikemik
ini mengakibatkan asupan zat gizi seperti energi, makanan yang tidak baik berhubungan dengan ti-
karbohidrat dan lemak tidak sesuai dengan kebu- dak terkontrolnya kadar gula darah pada pasien
tuhan.9 Hal tersebut didukung oleh Jazilah yang diabetes melitus tipe 2.
dalam penelitiannya membuktikan bahwa pasien
Perlu adanya penelitian lebih lanjut me-
DM yang melaksanakan pengelolaan DM dengan
ngenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
baik, termasuk dalam hal pengaturan makan yang
kontrol gula darah pasien diabetes mellitus tipe
sesuai dengan anjuran akan dapat mengendalikan
2 seperti hubungannya dengan usia sel, faktor
kadar gula darah.11
stress, obesitas sentral, asupan zak gizi mikro,
Cepat lambatnya suatu karbohidrat mening- dll.Kepada pengidap diabetes melitus tipe 2 agar
katkan kadar gula darah tergantung pada indeks memperhatikan pola makan terutama berkaitan
glikemik yang dimiliki. Karbohidrat yang ber- dengan asupan energi, karbohidrat dan lemak
indeks glikemik tinggi bereaksi cepat, sehingga serta konsumsi gula dan hasil olahnya, sayuran
menyebabkan kenaikan kadar gula darah. Seba- dan buah.
liknya yang berindeks glikemik rendah bereaksi
lambat terhadap peningkatan kadar gula darah.6
Makanan dengan beban glikemik rendah akan DAFTAR PUSTAKA
menurunkan laju penyerapan gula darah dan 1. WHO. Prevalention of Diabetes Mellitus.
217
Andi Mardhiyah Idris : Pola Makan dengan Kadar Glukosa Darah Pasien DM Tipe 2
Report of Joint WHO/FAO Expert Consul- 10. Waspadji, al e. Indeks Glikemik Berbagai
tation; 2007 [diakses 5November 2013]; Makanan Indonesia. Jakarta: Universitas In-
Avaible at:http://www.who.int/diabetes/en. donesia; 2003.
2. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar (Ris- 11. Jazilah. Hubungan Tingkat Pengetahuan,
kesdas) Laporan Provinsi Sulawesi Selatan. Sikap dan Praktik(PSP)Penderita Diabe-
Badan Penelitian dan Pengembangan Ke- tes Melitus Mengenai Pengelolaan Diabe-
sehatan: Departemen Kesehatan Republik tesMelitus dengan Kendali Kadar Glukosa
Indonesia; 2007. Darah [Tesis];Yogyakarta: Program Studi
3. Dinas Kesehatan Kota Makassar. Laporan IlmuKesehatan Masyarakat Universitas Gad-
Tahunan Dinas Kesehatan Kota Makassar jah Mada; 2002.
Tahun 2012; 2013. 12. Soegondo, S. Pradona, S. Gatut, S. Suharko,
4. Arora SK, Mc Farlane SI. The Case For Low S. The Status ofDiabetes Control in Indone-
Carbohydratediets in Diabetes Management. sia : A National Edit Of Patients With Type 2
Nutr & Metab.2005;16(2):187-194. Diabetes Mellitus in The Year 2001. 2003;53
(6): 283 – 289.
5. Edgren,A.R. Diabetes Mellitus, Health Sites,
Inc.653 West 23rd Street; Panama City. 2004; 13. Qurratuaeni. Faktor-faktor yang Berhubung-
3(2) 41-53. an dengan Terkendalinya Kadar Gula Darah
pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit
6. Lingga L. Bebas Diabetes Tipe-2 Tanpa Obat
Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta;
Jakarta: AgroMedia Pustaka; 2012.
2009.
7. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu gizi. Jakarta:
14. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advance
Gramedia Pustaka Utama; 2009.
Nutrition and Human Metabolism. 4th ed.
8. Sutanto T. Diabetes Deteksi, Pencegahan, Australia: ThomsonWadsworth. 2005; 72-
Pengobatan. Yogyakarta: Buku Pintar; 2013. 83,108-19.
9. Juleka. Hubungan Pola Makan dengan Pe- 15. Willet WC, Manson J, Liu S. Glycemic In-
ngendalian Kadar Glukosa Darah Pengidap dex, Glycemicload and Risk of Type 2 Diabe-
Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan Di RSU tes. Am S Clin Nutr. 2005; 76(1):274S-80S.
Gunung Jati Cirebon [Thesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada; 2005.
218
Journal of Holistic Nursing and Health Science
Volume 2, No. 1, Juni 2019 (Hal. 39-44)
Available Online at https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/hnhs
erik.irham@unik-kediri.ac.id
Abstract
Introduction: Uncontrolled DM hyperglycaemia will cause an increase in osmolarity which
will disrupt the body's fluid and electrolyte balance. Rehydration therapy will replace the
composition of body fluids caused by hyperosmolarity. Observation of management of
hyperglycaemia only focuses on looking at blood sugar levels after rehydration therapy is
given without looking at the body's osmolarity as an indicator of body fluid balance. This
study aims to analyse changes in osmolarity in hyperglycaemic patients receiving rehydration
therapy.
Methods: This study was a comparative study with a prospective cohort approach. The
number of samples in this study were 56 respondents with data collection using the
consecutive sampling technique. Study sample of hyperglycaemic DM patients receiving
rehydration therapy at the emergency room at a hospital in Tulungagung. The research
instrument used an observation sheet. Data analysis used paired t-test.
Results: Based on bivariate analysis there are changes due to rehydration therapy in the
osmolarity variable with p value 0.000.
Conclusion: Changes in osmolarity occur due to a decrease in blood glucose levels after
fluid rehydration is carried out. This further proves that rehydration therapy is very effective
in reducing blood glucose levels (hyperosmolarity) in the blood. Continuous osmolarity and
hemodynamic examination are very necessary for hyperglycaemic patients with rehydration
therapy to determine the effects of rehydration therapy as well as to determine the side effects
of rehydration therapy so prevention can be done so that it does not become a problem
causing emergency emergency situations.
Abstrak
Pendahuluan: Hiperglikemia yang tidak terkontrol menyebabkan peningkatan osmolaritas yang akan
menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Terapi rehidrasi akan mengganti komposisi
cairan tubuh yang ditimbulkan akibat hiperosmolaritas. Observasi tatalaksana hiperglikemia hanya
berfokus melihat kadar gula darah sewaktu setelah terapi rehidrasi tanpa melihat osmolaritas tubuh
sebagai indikator keseimbangan cairan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan
osmolaritas pada pasien hiperglikemia yang mendapatkan terapi rehidrasi.
Metode: Jenis Penelitian termasuk penelitian komparatif dengan pendekatan cohort prospektif.
Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 56 responden dengan pengambilan data menggunakan
teknik consequtive sampling. Sampel penelitian pasien DM hiperglikemia yang mendapatkan terapi
rehidrasi di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung. Instrumen penelitian mengguanakan lembar observasi.
Analisa data bivariat mengunakan paired t-test.
Hasil: berdasarkan uji analisis bivariat terdapat perubahan akibat terapi rehidrasi pada variabel
osmolaritas dengan p value 0,000.
Kesimpulan: Perubahan osmolaritas terjadi akibat adanya penurunan kadar glukosa darah setelah
dilakukan rehidrasi cairan. Hal ini semakin membuktikan bahwa terapi rehidrasi sangat efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah (hiperosmolaritas) di dalam darah. Pemeriksaan osmolaritas dan
hemodinamika yang berkesinambungan sangat diperlukan bagi pasien hiperglikemia yang
mendapatkan terapi rehidrasi untuk mengetahui efek terapi rehidrasi maupun untuk mengetahui efek
samping dari terapi rehidrasi.
PENDAHULUAN
Hiperglikemia menjadi permasalahan menyebabkan dehidrasi (Tokuda et al.,
global tidak terkecuali di Indonesia 2010).
(Soelistijo et al., 2015). Kekurangan Tatalaksana utama hiperglikemia
insulin merupakan penyebab terjadinya dengan pemberian terapi cairan atau
hiperglikemia (Gotera, & Budiyasa, 2010); rehidrasi (Bajwa, Baruah, Kalra, &
American Diabetes Association [ADA], Kapoor, 2014; Nyenwe & Kitabchi, 2016).
2014). Kejadian hiperglikemia dapat Terapi cairan pasien hiperglikemia akut
memicu terjadinya penurunan sekresi akan memberikan efek adanya penurunan
insulin yang akibatnya meningkatkan kadar glukosa darah pada pasien
resistensi insulin (Arifin, Natalia, & hiperglikemia (80% pasien pada empat jam
Kariadi, 2010). Resistensi insulin akan pertama (Gotera & Budiyasa, 2010).
membentuk suatu lingkaran yang sama- Terapi cairan pada awalnya ditujukan
sama membuat kerugian dimana untuk memperbaiki volume intravaskular
hiperglikemia meningkat akan dan extravaskular dan mempertahankan
menyebabkan produksi insulin dalam perfusi ginjal (Leksana, 2015). Terapi
tubuh semakin berkurang (Arifin et al., cairan juga akan menurunkan kadar
2010). glukosa darah tanpa bergantung pada
Hiperglikemia yang tidak terkontrol insulin, dan menurunkan kadar hormon
akan menyebabkan hiperosmolaritas kontra insulin sehingga memperbaiki
(Barski, Kezerle, Zeller, Zektser, & sensitivitas terhadap insulin (Zeitler, Haqq,
Jotkowitz, 2013). Hiperosmolaritas Rosenbloom, & Glaser, 2011).
menstimulasi proses diuresis osmotik Jenis cairan yang diberikan sesuai
dalam tubuh, sehingga cairan dan elektrolit dengan pedoman tatalaksana kegawatan
intra sel keluar ke ekstra sel. Perpindahan hiperglikemia adalah cairan isotonik (NaCl
cairan ini menyebabkan sel mengalami 0,9%) dengan dosis pemberian sebanyak
penurunan komposisi cairan tubuh dan 10-20 ml/kgBB/jam menyesuaikan dengan
kondisi tubuh (fungsi jantung, pembuluh
darah dan fungsi ginjal) (ADA, 2014). pembagian waktu (sebelum, di dalam
Pemberian larutan isotonis sangat efektif program terapi dan sesudah pemberian
dalam pemenuhan kebutuhan cairan dari terapi rehidrasi diberikan). Pengambilan
pada cairan lainnya terutama cairan data dilaksanakan selama 6 minggu
isotonis normal saline 0,9% (Chua et al., dimulai pada tanggal 05 Juni-16 Juli 2017,
2012). Hal terpenting dalam koreksi bertempat di Instalasi Gawat Darurat
hiperglikemia dengan rehidrasi cairan (IGD) di sebuah rumah sakit di
adalah pemantauan pasien terus menerus Tulungagung. Jumlah responden dalam
terkait dengan status hemodinamikanya. penelitian ini sebanyak 56 responden.
Hal ini bertujuan untuk mencegah Karakteristik responden pada penelitian ini
munculnya komplikasi akibat pemberian adalah pasien hiperglikemia akut maupun
terapi, yaitu kelebihan volume cairan pada hiperglikemia krisis yang dilakukan
ekstra sel dan gangguan keseimbangan perawatan di IGD baik di ruang red zone
elektrolit akibat pemberian elektrolit tubuh maupun yellow zone yang mendapatkan
dari luar (Bakes et al., 2016). terapi rehidrasi. Pengumpulan data
Terdapat beberapa penelitian, responden dengan menggunakan teknik
tentang efek rehidrasi terhadap komponen consecutive sampling sesuai dengan
osmolaritas, yaitu kadar gula darah, seperti kriteria inklusi yaitu: pasien hiperglikemia
Chua et al. (2012) dan Bakes et al. (2016), dengan kadar gula darah sewaktu lebih dari
dimana rehidrasi dapat menurunkan kadar 200 mg/dl, menjalani terapi rehidrasi
gula darah pasien hiperglikemia, akan cairan isotonis NaCl 0,9% sebanyak 10-20
tetapi belum mengambarkan kondisi ml/kgBB/Jam, dan bersedia menjadi
osmolaritas tubuh secara keseluruhan yang responden. Analisis data dalam penelitian
ditimbulkan akibat hiperglikemia, karena ini menggunakan paired t-test.
osmolaritas diketahui dengan menghitung
nilai dari serum elektrolit natrium, ureum HASIL
dan kadar glukosa darah (Nyenwe & Dari tabel 1 hampir setengah
Kitabchi, 2016). Oleh karena itu, penelitian responden penelitian berusia diantara 41-
ini Ingin menganalisis perubahan 45 tahun sebesar 33,9%, usia terendah
keseluruhan komponen osmolaritas pada responden berada pada kisaran 31-40 tahun
pasien hiperglikemia dengan terapi sebanyak 3,6% responden dan terdapat
rehidrasi. 7,1% responden yang berada pada rentang
usia 71-90 tahun ketika mengalami
METODE hiperglikemia.
Penelitian ini termasuk penelitian
analitik komparatif dengan pendekatan Tabel 1. Distribusi Usia Responden
cohort prospektif. Pendekatan ini Kategori Usia Jumlah %
digunakan karena peneliti mengambil data 31 – 40 tahun 2 3,6
setelah program terapi rehidrasi diberikan
41 – 50 tahun 19 33,9
sampai program terapi dihentikan atau
dimodifikasi dengan metode lain seperti 51 – 60 tahun 16 28,6
terapi rehidrasi kombinasi insulin. 61 – 70 tahun 15 26,8
Pengukuran hemodinamika di lakukan 71 – 90 tahun 4 7,1
sebanyak 3 kali pengukuran dengan Total 56 100%
Kategori n %
Lama DM
1 – 5 tahun 39 69,6
6 - 10 tahun 12 21,4 Berdasarkan grafik di atas, diketahui
11 - 15 tahun 4 7,1 rerata sebelum terapi adalah 303,8 dengan
16 - 20 tahun 1 1,8 SD 21,21 sedangkan setelah dilakukan
terapi rehidrasi didapatkan adanya
Total 56 100% penurunan sebesar 5,91 menjadi 297,89
dengan SD 20,982. Hasil analisis
Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir memperlihatkan ada perubahan
seluruh responden mendapatkan terapi osmolaritas tubuh sebelum dan sesudah
rehidrasi sejumlah 1.000 ml selama dilakukan terapi rehidrasi dengan
program terapi rehidrasi. perbedaan sebesar 5,91 mengarah ke nilai
normal dengan p value = 0,000 (α <
Tabel 3. Distribusi jumlah terapi rehidrasi
0,005).
Jumlah n %
Tabel 4. Perubahan Osmolaritas Tubuh
Terapi Rehidrasi
Sebelum dan Setelah Terapi Rehidrasi
500 ml 7 12,5
1000 ml 46 82,1 Perlakuan n Mean SD p
2500 ml 2 3,6 Sebelum 56 303,8 21,211 0,000
3000 ml 1 1,8 Sesudah 56 297,8 20,982
Total 56 100%
PEMBAHASAN
Grafik 1 menunjukkan bahwa terdapat Penilaian osmolaritas pada
perubahan rerata osmolaritas sebelum dan penelitian ini mempertimbangkan tiga
sesudah diberikan terapi rehidrasi rerata indikator utama osmolaritas, yaitu nilai
sebelum terapi adalah 303,8 dengan SD natrium, ureum, dan kadar gula darah
21,21 sedangkan setelah dilakukan terapi sewaktu. Nilai osmolaritas didapatkan
rehidrasi didapatkan adanya penurunan dengan cara nilai Natrium yang dikalikan
sebesar 5,91 menjadi 297,89 dengan SD dua ditambah nilai Ureum yang dibagi 2,8
20,982. dan ditambah nilai kadar gula darah
sewaktu yang dibagi 18.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan osmolaritas
sebelum dan sesudah dilakukan terapi
Abstract
Hypoglycemia, or low blood glucose results when too much insulin is comparable with the
available glucose in the blood. This causes blood glucose levels dropped to less than 70 mg / dl.
The aim of research to determine the relationship of self-monitoring of blood glucose with
hypoglycemia in type 2 diabetes mellitus descriptive analytic method with cross sectional
approach, sample size 91, chi-square test statistic. The results of the study most of the clients do
not perform blood sugar checks as many as 62 people (68.1%). The results of statistical tests of
blood glucose self-monitoring relationship with hypoglycemia had a significant relationship to the
client type 2 diabetes mellitus in Puskesmas Kebun Jeruk. P value of 0.000, p <α (0.05).
Conclusion there is relationship with the self-monitoring of blood glucose hypoglycemia in type 2
diabetes mellitus is recommended for patients with type 2 diabetes mellitus monitoring of blood
sugar levels is very important because it helps the proper medical treatment, thereby reducing the
risk of severe complications.
Abstrak
Hipoglikemia atau glukosa darah rendah terjadi ketika terlalu banyak insulin sebanding dengan
tersedia glukosa dalam darah. Ini menyebabkan tingkat glukosa darah turun menjadi kurang dari 70
mg /dl. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pemantuan glukosa darah mandiri dengan
hipoglikemia pada diabetes mellitus tipe 2. Metode penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan
cross sectional, besaran sampel 91 orang, uji statistic chi-square. Hasil penelitian sebagian besar
klien tidak melakukan cek gula darah sebanyak 62 orang (68,1%). Hasil uji statistic hubungan
pemantuan glukosa darah mandiri dengan hipoglikemia memiliki hubungan yang signifikan pada
klien diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Kebun Jeruk. Nilai p value sebesar 0,000, nilai p < α
(0,05). Kesimpulan ada hubungan pemantuan glukosa darah mandiri dengan hipoglikemia pada
diabetes mellitus tipe 2. Disarankan Bagi penderita DM tipe 2 pemantauan kadar gula darah sangat
penting karena membantu penanganan medis yang tepat sehingga mengurangi resiko komplikasi
yang berat.
Kata Kunci: Pemantuan glukosa darah mandiri, hipoglikemia, diabetes mellitus tipe 2
diabetes melitus total kunjungan selama 1 bulan tidur untuk mewaspadai hipoglikemia yang tak
terdapat 990 orang penderita diabetes mellitus. bergejala, dan saat mengalami gejala hipoglikemia.
Tingginya prevalensi diabetes mellitus, Kelompok kerja yang bergabung dalam Self
resiko kematian pasien diabetes dua kali lebih besar Monitoring Blood Glucose (SMBG) Working Group
ketimbang orang nondiabetes. Komplikasi (2009) merekomendasikan bahwa Pemantuan
penyebabnya, ujung dari penyakit diabetes adalah Glukosa Darah Mandiri (PGDM) akan bermakna
timbulnya berbagai komplikasi yang membuat jika penyandang DM memiliki pengetahuan dan
semakin menderita, kualitas hidup menurun, serta mendapat pelatihan menggunakan alat atau
biaya berobat melonjak.Jika gula darah tidak glukometer. Pemeriksaan gula darah mandiri secara
terkontrol baik maka dapat dipastikan beberapa rutin dapat memberikan informasi kepada
tahun kemudian timbul komplikasi.Ada dua jenis penyadang diabetes mellitus mengenai evaluasi
komplikasi, yaitu komplikasi akut dan kronis. asupan makanan, latihan jasmani, serta jika ada obat
Komplikasi akut timbul mendadak, merupakan yang digunakan sehingga kadar gula darah dapat
keadaan gawat darurat, keadaan ini dapat fatal terkendali.
apabila tidak segera ditangani, termasuk Pasien diabetes mellitus yang mengalami
hipoglikemia (gula darah terlalu rendah), gangguan kronis perlu waktu adaptasi dan juga
hiperglikemi (gula darah terlalu tinggi) dan belajar banyak perubahan yang terjadi. Pasien harus
kebanyakan asam dalam darah (ketoasidosis didorong untuk cara pemberian insulin dan
diabetik). Sedangkan komplikasi kronik timbul bagaimana memantau kadar glukosa darah dan
perlahan, bahkan tidak ketahuan. Kadar gula darah makanan yang dimakan. Pasien perlu terus
terlalu rendah, sampai dibawah 60 mg/dl maka memantau kemampuan perawatan mandiri pasien.
disebut dengan hipoglikemia (Tandra Hans, 2014).
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada Metode Penelitian
penderita DM tipe 1 yang bergantung pada insulin, Penelitian ini menggunakan pendekatan
namun karena kejadian DM tipe 2 lebih banyak cross sectional, yaitu suatu penelitian yang
dibandingkan dengan DM tipe 1 dan dewasa ini dilakukan dengan cara mengukur variable pada
penggunaan insulin pada DM tipe 2 sudah semakin suatu saat tertentu (Sastroasmoro & Ismael, 2011).
banyak. Sebanyak 50% kasus hipoglikemia terjadi Pengukuran variable pada studi cross sectional tidak
saat tengah malam.Ini bisa terjadi karena aktivitas terbatas harus tepat pada waktu bersamaan, namun
yang terlalu berat, dosis insulin yang tinggi, atau mempunyai makna setiap subyek hanya dikenai satu
kurangnya asupan makan sebelum tidur kali pengukuran (Saryono, 2011).
(Prihaningtyas, 2013). 1. Populasi
Diabetesi harus mengenali gejala hipogli- Populasi adalah wilayah generalisasi yang
kemia seperti pusing, lemas, rasa kelaparan, tidak terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai
bisa berkonsentrasi, gemetar, berdebar-debar, kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan
cemas, nadi cepat, muncul keringat dingin, oleh penelitian untuk dipelajari dan dikemudian
pandangan kabur, pucat, mengantuk, mudah ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2010).Populasi
tersinggung, kesemutan, hingga penurunan dalam penelitian ini diambil di Puskesmas Kebun
kesadaran. Terkadang hipoglikemia terjadi pada Jeruk. Populasi yang diambil dalam penelitian 990
malam hari setelah menyuntikan insulin sebelum pasien DM tipe 2
tidur.Kondisi ini membuat diabetisi terbangun dan 2. Sampel
mengeluhkan gejala-gejala tersebut (Prihaningtyas, Sampel adalah bagian dari jumlah dan
2013). karateristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono,
Diabetes yang sering mengalami episode 2010).Teknik pengambilan sampel pada penelitian
hipoglikemia harus berhati-hati mengontrol gula adalah purposive sampling, yaitu teknik penentuan
darahnya. Jangan sampai gula darah terlalu turun sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,
hingga menganggu atau membahayakan. Bagi 2010). Sampe yang diambil sebanyak 91 pasien DM
diabetisi yang menggunakan insulin perlu memiliki tipe 2
alat glukometer sendiri untuk mengetahui kadar
gula darahnya disaat tertentu, misalnya apabila Hasil Penelitian
muncul gejala hipoglikemia. Control gula darah Analisis univariate bertujuan untuk melihat
sendiri pada hakiketnya untuk mengetahui distribusi frekuensi dari seluruh variable independen
keberhasilan pengobatan diabetes. dan dependen. Variable independen meliputi
Menurut PERKENI (2006), merekomen- pemantuan glukosa darah mandiri pada DM tipe2.
dasikan pengukuran gula darah mandiri saat Sedangkan variable dependen hipoglikemia pada
sebelum makan, 2 jam setelah makan, sebelum tidur DM tipe 2.
untuk mewaspadai hipoglikemia diantara waktu
tolak HO artinya cek gula darah memiliki hubungan paling lama 20 tahun dipoli PKU Muhammadiyah
yang signifikan terhadap hipoglikemia pada klien Yogyakarta.
diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Kebun Jeruk. Semakin lama menderita DM dan ditambah
dengan control gula darah yang kurang dapat
Pembahasan menimbulkan komplikasi. Oleh sebab itu sangat
Karateristik Demografi Responden penting bagi penyandang DM untuk selalu dipantau
Hasil penelitian tentang karateristik kemungkinan terkenanya komplikasi, agar
demografi responden, data umur responden intervensi bisa dilakukan untuk mencegah
menunjukkan 35-65 tahun. Hal ini menunjukkan kerusakan yang fatal.
bahwa usia diatas 40 tahun kemungkinan terkena
diabetes menjadi 8 persen. Diatas 50 tahun Hubungan Pemantuan Gula Darah Mandiri
kemungkinan mengidap diabetes naik sampai 20 Dengan Hipoglikemia
persen.Kemungkinan penduduk di atas 60 tahun Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
menjadi diabetes menjadi 25 persen. Semakin tua melakukan cek gula darah sekitar 25,9% sebagian
usia, fungsi pancreas akan menurun sehingga besar akan mengalami hipoglikemia dengan nilai P
kemampuan insulin tubuh untuk mengatur gula value 0.000 membuktikan bahwa cek gula darah 2
darah melemah (Tandra Hans, 2014). Sejalan jam setelah makan memiliki hubungan yang
dengan penelitian Puspitasari Farida (2014), signifikan terhadap hipoglikemia. Memantau kadar
mengemukakan bahwa rata-rata usia responden gula sendiri merupakan cara yang paling efektif
57,90 menderita DM tipe 2 dipoli RS PKU untuk mengevaluasi kadar gula darah dalam jangka
Muhammadiyah Yogyakarta. pendek. Pemantuan ini memberikan evaluasi dini
Semakin bertambah usia, kemungkinan akan dampak dari makanan, tingkat stress, aktivitas
kena diabetes menjadi semakin besar. Pada awalnya fisik, dan obat-obatan. Misalnya memeriksa kadar
banyak orang tidak tahu dirinya menderita diabetes. gula darah 2 jam setelah makan siang, maka akan
Resiko kena diabetes meningkat seiring segera tahu bagaimana dampak makanan yang di
pertambahan umur,terutama setelah usia 40 tahun. makan terhadap gula darah. Fungsi pengukuran
Data penelitian menunjukkan bahwa jenis kadar gula darah sesudah makan disebut post-
kelamin laki-laki (53,8%) lebih banyak daripada prandial glucose, merupakan factor resiko yang
perempuan (46,2%). Pria ternyata lebih berisiko independen untuk timbulnya penyakit jantung
menderita diabetes mellitus (58%) dibandingkan (Kurniali C. Peter, 2013). Pengukuran gula darah
dengan wanita (42%).Pria lebih beresiko dapat dapat dilakukan pada sewaktu-waktu atau
didekati dari pemahaman umum bahwa pria pengukuran gula sewaktu yaitu pasien tanpa
memiliki peran yang cukup berat sebagai kepala melakukan puasa, pengukuran 2 jam setelah makan
keluarga. Biasanya mereka akan mengalami dan pengukuran pada saat puasa (Tarwoto, dkk,
penurunan kesehatan sejalan dengan beban yang 2012). Pemeriksaan pemantuan kadar glokusa darah
dipikul sebagai pencari nafkah (Utami Prapti & Tim dapat dilakukan kapan saja, sebelum makan,
Lantera, 2005). Seriring dengan penelitian sesudah makan, sewaktu puasa atau ketika diabetesi
Puspitasari Farida (2014), menunjukkan bahwa memang memerlukan pemeriksaan khusus.
jenis kelamin laki-laki (59,4%) lebih banyak dari Misalnya pada saat muncul gejala hipoglikemia atau
pada perempuan (40,6%) dipoli RS PKU pada saat badan terasa lemas tanpa sebab.dengan
Muhammadiyah Yogyakarta. Hal tersebut pemeriksaan mandiri, seganjil apapun dapat segera
mengindikasikan bahwa laki-laki lebih rentan terdektesi dan ditindaklanjuti (Kariadi KS Hartini
terkena penyakit seperti diabetes mellitus daripada Sri, 2009). Seiring dengan penelitian Finfer et al,
perempuan. (2012) di Australia menguatkan bahwa kadar gula
Hasil penelitian menunjukkan lama darah rendah berkaitan dengan meningkatnya angka
menderita diabetes mellitus diatas 1 tahun (74,7%). kematian pada pasien yang dirawat di unit
Diantara para penyandang diabetes mellitus perawatan intensif. Kenyataannya kadar gula darah
memang terdapat 2-25% yang beruntung, walaupun yang rendah atau hipoglisemia juga dapat
sudah lama mengidap diabetes mellitus, tetapi tidak membunuh pada pasien diabetes yang tidak sedang
menunjukkan kelainan vascular yang berarti, dan sakit. Ditambahkan sebuah studi yang dilakukan
didapatkannya 5% kadar glukosa darahnya hanya oleh Stephen Martin, ddk (2013) untuk mengamati
sedikit meningkat dan belum lama manfaat pemantuan gula darah mandiri oleh setiap
meningkatnya,tetapi sudah mengidap kelainan pasien diabetes tipe 2 diperoleh hasil pemantauan
vascular yang lanjut (Soegondo dkk,2013). Sejalan gula darah mandiri dapat menurunkan resiko
dengan penelitian Puspitasari Farida (2014), munculnya komplikasi 32% lebih rendah dan resiko
menunjukkan bahwa rata-rata 7,21 tahun, lama kematian 52% lebih rendah pada pasien diabetes
menderita DM paling rendah 3 tahun dan yang mellitus tipe 2.
Nyeri akut pascaoperasi masih merupakan permasalahan dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia.
Hampir 50% pasien pascaoperasi elektif mengalami nyeri yang berujung terhadap peningkatan kejadian
nyeri kronik dan penurunan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan. Penelitian ini bertujuan
memberikan gambaran mengenai analgesik yang digunakan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan
efektivitasnya terhadap nyeri pascaoperasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional
prospektif cross-sectional yang dilakukan pada pasien usia 18–65 tahun dengan status fisik American Society
of Anaesthesiologist (ASA) kelas I–III di ruang perawatan pada jam ke-24 pascaoperasi selama tahun 2017
sebanyak 476 pasien. Subjek penelitian dikelompokkan berdasar atas jenis operasi yang menyebabkan
nyeri ringan, sedang dan berat. Jenis analgesik pascaoperasi yang digunakan dan skala nyeri menggunakan
numeric rating scale (NRS) dicatat. Efektif bila skala nyeri menggunakan NRS pada jam ke-24 pascaoperasi
<4 dan tidak efektif bila NRS ≥4. Hasil penelitian didapatkan jenis analgesik terbanyak yang digunakan
pada pasien pascaoperasi elektif adalah kombinasi petidin dan ketorolak i.v. dan derajat nyeri pada jam
ke-24 pascaoperasi elektif yang dialami pasien adalah nyeri ringan NRS 1–3 (57,8%), nyeri sedang NRS 4–6
(26,9%), dan nyeri berat NRS 7–10 (2,7%). Simpulan penelitian ini adalah efektivitas analgesik pascaoperasi
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung masih belum baik karena masih terdapat sepertiga pasien mengalami
nyeri NRS ≥4 dari target rumah sakit 100% bebas nyeri.
Kata kunci: Analgesik pascaoperasi, derajat nyeri pascaoperasi, efektivitas analgesik pascaoperasi
Acute post-operative pain is still a worldwide issue in healthcare services. Nearly 50% of post-elective
surgery patientspost- experience post-post-operative pain, causing increased chronic pain and decreased
patient satisfaction towards healthcare services. This study aimed to provide description on the types of
analgesics used in Dr,Hasan Sadikin General Hospital and their effectiveness on post-operative pain. This
was a cross-sectional descriptive observational prospective study performed on 476 patients aged 18–65
years old with a physical status American Society of Anaesthesiologist (ASA) class I–III, treated in the ward
24 hours post- surgery in 2017. Subjects were classified based on the type of surgery that induced mild,
moderate, and severe pain. The types of post-operative analgesics used and post-surgery Numeric Rating
Scale (NRS) were documented. Analgesics was considered effective if the 24 hour post-surgery NRS was
<4 and ineffective if the NRS was ≥4. This study showed that the type of analgesicsa mostly used for post-
operative pain was the combination of pethidine and ketorolac i.v. Pain scales experienced by patients at
24 hours post- surgery were mild withNRS 1–3 (57.8%), moderate pain with NRS 4–6 (26.9%), and severe
pain with NRS 7–10 (2.7%). In conclusion, the post-operative analgesics provided in Dr. Hasan Sadikin
General Hospital has not met the 100% pain free target set by the hospital target because some patients still
experience pain with NRS ≥4. . Hence, the effectiveness is still not adequate.
Key words: Effectivity of post- operative analgesia, post- operative analgesia, post- operative pain scale
Korespondensi: Dita Aryanti Prabandari, dr., SpAn, RSUD Pagelaran Cianjur, Kecamatan Pagelaran Kabupaten Cianjur
Selatan Jawa Barat 43266, Email ditaprabandari@gmail.com
pasien dengan nyeri kanker, tidak kooperatif, statistical product and service solution (SPSS)
ketergantungan opioid, dan pasien dengan versi 24.0 for windows.
pengobatan opioid kontinu sebelum operasi.
Penentuan besar sampel dilakukan berdasar Hasil
atas perhitungan statistik menurut teori Gay
dan Diehl, yaitu 10% dari total populasi dan Total terdapat 476 pasien yang menjalani
didapatkan bahwa jumlah sampel minimal operasi elektif selama penelitian ini. Tidak
adalah 456 pasien. Teknik untuk pengambilan ada data yang dieksklusikan.
sampel dengan consecutive sampling. Karakteristik subjek penelitian berusia
Penelitian dilakukan setelah mendapatkan rerata 40,77±14,01 tahun, jenis kelamin
persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan perempuan lebih banyak dibanding dengan
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ laki-laki (61,3%). Status fisik pasien yang
RSHS. Data mengenai karakteristik pasien, menjalani operasi elektif terbanyak ASA kelas
jenis dan rute pemberian analgesik dicatat II (55,7%). Jenis operasi dibagi berdasar
dari rekam medis. Subjek penelitian diberikan atas nyeri pascaoperasi yang dihasilkannya.
pertanyaan mengenai nyeri yang dirasa Jenis operasi ringan dengan dengan skala
menggunakan numeric rating scale (NRS) nyeri pascaoperasi NRS 1–3 (urologi, operasi
pada jam ke-24 pascaoperasi. Pasien dengan vaskular), jenis operasi sedang dengan skala
NRS <4 dinyatakan efektif terhadap responss nyeri pascaoperasi NRS 4–6 (operasi non-
analgesik, sedangkan pasien dengan NRS ≥4 abdomen, operasi oral dan maksilofasial,
dinyatakan tidak efektif. Data hasil penelitian ginekologis) dan jenis operasi besar dengan
dicatat dan diolah menggunakan program skala nyeri pascaoperasi NRS 7–10 (obstetri,
ortopedi, bedah saraf, kardiotorasik, operasi
abdomen). Pada penelitian ini jenis operasi
Tabel 1 Karakteristik Umum Pasien terbanyak yang dilakukan adalah jenis operasi
Variabel n=476 yang menghasilkan derajat nyeri sedang
Usia (tahun) (55%; Tabel 1).
Mean±STD 40,77±14,01 Gambaran derajat nyeri 24 jam
pascaoperasi elektif yang dirasakan oleh
Median 41,50
pasien terbanyak adalah nyeri ringan
Range (min.-maks.) 18,00–65,00 sebanyak 275 (57,8%; Tabel 2).
Jenis kelamin Gambaran efektivitas analgesik terhadap
Laki-laki 184 (38,7%) jenis operasi didapatkan bahwa sebanyak
Perempuan 292 (61,3%) 335 (70,3%) pasien mengalami nyeri dengan
skor NRS <4 pascaoperasi, sedangkan masih
ASA
terdapat 141 (29,7%) pasien yang mengalami
I 186 (39,1%) nyeri dengan skor pascaoperasi ≥4 (Tabel 3).
II 265 (55,7%)
III 25 (5,3%)
Jenis operasi Tabel 2 Gambaran Derajat Nyeri 24 Jam
Pascaoperasi Elektif
Nyeri ringan 79 (16,6%)
Derajat Nyeri n=476
Nyeri sedang 262 (55,0%)
Tidak nyeri 60 (12,6%)
Nyeri berat 135 (28,4%)
Nyeri ringan 275 (57,8%)
Keterangan: untuk data kategorik disajikan dengan Nyeri sedang 128 (26,9%)
jumlah/frekuensi dan persentase,
sedangkan data numerik disajikan Nyeri berat 13 (2,7%)
dengan rerata, median, standar Keterangan: untuk data kategorik disajikan dengan
deviasi dan range jumlah/frekuensi dan persentase
Jenis analgesik terbanyak yang digunakan Kombinasi opioid kuat dengan atau
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah tanpa non-opioid atau anestesi lokal
kombinasi petidin dan ketorolak i.v. sebanyak digunakan untuk derajat nyeri berat, namun
290 (60,9%) pasien dan yang paling sedikit efektivitasnya hanya terdata sebanyak 53%,
digunakan adalah kombinasi tramadol dan sedangkan untuk operasi dengan derajat nyeri
parasetamol i.v. sebanyak 3 pasien (0,6%; ringan efektivitasnya hanya 75% dan untuk
Tabel 4). derajat nyeri sedang hanya 70% (Tabel 5).
Jenis analgesik non-opioid digunakan tidak
hanya pada jenis operasi derajat nyeri ringan, Pembahasan
namun terhadap operasi derajat nyeri sedang
dan berat. Efektivitasnya terhadap jenis Pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel
operasi derajat nyeri ringan sebanyak 100%, sebanyak 476 pasien, lebih dari 60% pasien
nyeri sedang sebanyak 86%, dan derajat nyeri yang menjalani operasi elektif berjenis kelamin
berat sebanyak 0% (Tabel 4). perempuan. Usia rerata yang menjalani
Opioid lemah dengan atau tanpa kombinasi operasi elektif adalah 40,77±14,01.
non-opioid digunakan terutama pada jenis Terdapat beberapa hal yang dapat
operasi derajat nyeri sedang dan efektif memengaruhi persepsi dan tingkah laku
sebanyak 75%. Kombinasi jenis anlgesik ini seseorang terhadap nyeri, yaitu (1) jenis
masih digunakan juga pada operasi derajat kelamin; (2) usia; (3) ras; (4) sosial budaya.
nyeri ringan hanya efektif sebanyak 96,2% dan Hasil penelitian ASA mengatakan bahwa nyeri
derajat nyeri berat efektif pada 80% pasien. pascaoperasi lebih dirasakan pada pasien
Tabel 5 Gambaran Pilihan dan Efektivitas Analgesik Pascaoperasi terhadap Jenis Operasi
Opioid Lemah +/- Non- Opioid Kuat +/- Non-
Jenis Operasi Non-Opioid Opioid Opioid/Anestesi Lokal
berdasar (n=48) (n=88) (n=340)
atas Skala
Nyeri Tidak
Efektif Tidak Efektif Efektif Tidak Efektif Efektif Efektif
Nyeri ringan 33 (100%) 0 (0%) 25 (96,2%) 1 (3,8%) 15 (75%) 5 (25%)
Nyeri sedang 12 (86%) 2 (14%) 39 (75%) 13 (25%) 137 (70%) 59 (30%)
Nyeri berat 0 (0%) 1 (100%) 8 (80%) 2 (20%) 66 (53%) 58 (47%)
Keterangan: untuk data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase
usia tua dikarenakan kelompok usia tersebut Nigeria menunjukkan bahwa dua per tiga dari
lebih sensitif dalam merasakan nyeri dan seluruh pasien pascaoperasi mengalami nyeri
lebih ingin melaporkan nyerinya dibanding yang tidak tertahankan 24 jam pascaoperasi.3,10
dengan usia yang lebih muda. Penelitian di Efektivitas analgesik di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Croatia menyatakan bahwa intensitas nyeri Bandung terhadap jenis operasi terlihat untuk
pascaoperasi lebih banyak dilaporkan oleh jenis operasi nyeri sedang hanya 71,7%
perempuan karena lebih sensitif terhadap dan jenis operasi nyeri berat hanya 54,8%.
nyeri dan memiliki toleransi yang rendah Masih terdapat 29,7% penanganan nyeri
terhadap nyeri.6–8 pascaoperasi yang tidak efektif, hal ini masih
Prediktor nyeri pascaoperasi dipengaruhi jauh dari target rumah sakit 100% bebas nyeri.
oleh beberapa faktor, yaitu (1) nyeri pra- Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
operasi; (2) kecemasan; (3) jenis operasi. Pada suatu analgesik tidak efektif dalam menangani
hasil penelitian ini terdata jenis operasi yang nyeri adalah: (1) sikap tenaga medis dalam
paling banyak dilakukan di RSUP Dr. Hasan melakukan perawatan terhadap nyeri; (2)
Sadikin Bandung adalah jenis operasi dengan tidak ada pengkajian nyeri yang berulang; (3)
skala nyeri sedang sebanyak 55%. Hal ini kurang edukasi mengenai nyeri pascaoperasi;
sejalan dengan penelitian yang menyatakan (4) komunikasi yang tidak baik antara tenaga
bahwa jenis operasi sebagai prediktor nyeri kesehatan dan pasien dalam penyampaian rasa
pascaoperasi yang paling kuat. Perbedaan nyeri; (5) kurang jenis obat-obat analgesik;
jenis operasi memiliki derajat kerusakan serta (6) kurang pengetahuan tenaga medis
jaringan dan tulang yang berbeda, misal untuk mengenai nyeri.11
periosteum memiliki ambang nyeri yang Nyeri bersifat subjektif, sehingga pengkajian
rendah dibanding dengan struktur somatik nyeri merupakan hal yang menantang, namun
dalam.9 penting dalam penanganan nyeri yang sukses.
Hal ini tidak sesuai dengan derajat nyeri Meskipun tiap-tiap individu mengalami nyeri
pascaoperasi terbanyak di RSUP Dr. Hasan yang berbeda dan respons terhadap nyeri
Sadikin Bandung, yaitu nyeri ringan NRS 1–3 dapat beragam, pengkajian nyeri harus tetap
sejumlah 275 (57,8%) pasien, sedangkan dilakukan untuk semua pasien. Nyeri telah
untuk derajat nyeri sedang NRS 4-6 terdata ditetapkan sebagai tanda vital kelima, oleh
sebanyak 128 (26,9%) pasien. Penelitian sebab itu nyeri harus dikaji secara berkala
yang pernah dilakukan di Amerika dinyatakan agar respons terhadap pengobatan dan efek
bahwa dari 86% pasien yang mengalami nyeri samping dapat terdeteksi.12
pascaoperasi, 75% di antaranya mengeluhkan Berdasar atas World Federation of Societies
nyeri sedang (NRS 4–6) dan berat NRS (7–10). of Anaesthesiologist (WFSA), pemakaian opioid
Secara global prevalensi nyeri pascaoperasi parenteral dengan atau tanpa kombinasi
berkisar antara 50% dan 70%. Penelitian di obat anestesi lokal diberikan pada pasien
pascaoperasi dengan nyeri berat dan dengan memberikan kontribusi pada ketidakefektifan
berkurangnya rasa nyeri, jenis analgesik yang analgesik pascaoperasi.
digunakan pun akan menurun menjadi hanya Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa
non-steroidal anti-inflamatory drugs (NSAIDs) epidural (5,9%) dan peripheral nerve block
atau parasetamol saja.13 Pada penelitian ini (PNB; 2,9%) sebagai analgesik pascaoperasi
masih didapatkan ketidaksesuaian antara sangat jarang digunakan. Hal ini berhubungan
penggunaan analgesik dan juga derajat nyeri dengan ketersediaan obat -obatan dan alat.
pascaoperasi. Jenis obat non-opioid masih Alat epidural sempat mengalami kekosongan
dipergunakan untuk jenis operasi derajat nyeri di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin
sedang dan berat, hal ini memberi kontribusi Bandung, hal ini mungkin yang mengakibatkan
tidak efektif sebesar 14% untuk derajat nyeri penggunaan analgesik melalui metode ini
sedang dan 100% untuk derajat nyeri berat. berkurang yang akan berkontribusi terhadap
Analgesik kombinasi opioid lemah dengan penurunan efektivitas analgesik pascaoperasi.
atau tanpa non-opioid digunakan pada jenis
operasi dengan derajat nyeri berat dan Simpulan
memberikan kontribusi untuk ketidakefektifan
sebesar 20%. Kombinasi opioid kuat dengan Efektivitas analgesik pascaoperasi di RSUP Dr.
atau tanpa non-opioid atau anestesi lokal Hasan Sadikin Bandung selama tahun 2017
ditemukan tidak efektif untuk derajat nyeri masih belum memenuhi target bebas nyeri
sedang sebanyak 30% dan derajat nyeri ringan 100%. Pasien yang mengeluhkan nyeri NRS ≥4
sebanyak 25%. Pemakaian jenis kombinasi pascaoperasi masih mencapai sepertiganya.
opioid kuat dengan non-opioid terbanyak
adalah petidin dan ketorolak i.v. yang pada Daftar Pustaka
penelitian ini digunakan pada 60,9%,
sedangkan jenis operasi dengan derajat nyeri 1. Biocic M, Vidosevic D, Boric T, Boric T,
berat terdata hanya sebanyak 28,4%, dari data Giunio L, Fabijanic D, dkk. Anesthesia and
ini masih terdapat pasien yang mengeluhkan perioperative pain management during
derajat nyeri NRS ≥4 pascaoperasi. Kontribusi cardiac electronic device implantation. J
dari ketidakefektifan ini dapat disebabkan Pain Res. 2017;10:927–32.
oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di 2. Garcia JB, Bonilla P, Kraychette DC, Flores
atas. FC, Perez de Valtolina ED, Guerrero
World Health Organization (WHO) C. Optimizing post-operative pain
merekomendasikan lima prinsip penggunaan management in Latin America. Rev Bras
analgesik yang tepat untuk meningkatkan Anestesiol. 2017;67(4):395–403.
efektivitas penanganan nyeri: (1) segera 3. Meissner W, Coluzzi F, Fletcher D, Huygen
mengganti pemberian analgesik melalui oral F, Morlion B, Neugebauer E, dkk. Improving
(by mouth) setelah nyeri NRS <4; (2) analgesik the management of post-operative acute
harus diberikan dengan interval yang sama pain: priorities for change. Curr Med Res
(by the clock); (3) pemberian analgesik harus Opin. 2015;31(11):2131–43.
sesuai dengan derajat nyeri yang dievaluasi 4. Eldor J, Kotlovker V, Orkin D. Pain
menggunakan skala nyeri (by the ladder); (4) free hospital – availability (24 hours)
dosis analgesik disesuaikan untuk tiap-tiap of anesthesiologists. J Anesthesiol
individu (for individual); dan (5) pemberian Clin Sci. 2013;2:17. http://dx.doi.
resep analgesik harus diperhatikan secara org/10.7243/2049-9752-2-17.
rinci (attention to detail).14 Pada penelitian ini 5. Kolettas A, Lazaridis G, Baka S,
selain ketidaksesuaian jenis analgesik pada Mpoukovinas I, Karavasilis V, Kioumis I,
derajat nyeri pascaoperasi, kemungkinan dkk. Review article: postoperative pain
pemberian analgesik yang tidak tepat waktu management. J Thorac Dis. 2015;7(1):62–
dan pemberian dosis yang tidak sesuai dapat 72.
6. Wandner LD, Scipio CD, Hirsh AT, Torres among adults treated at a tertiary hospital
CA, Robinson ME. The perception of pain in in Moshi, Tanzania. Tanzan J Health Res.
others: how gender, race, and age influence 2014;16(1):47–53.
pain expectation. J Pain. 2012;13(3):220– 11. Woldehaimanot TE, Eshetie TC, Kerie MW.
7. Doi:10.1016/j.jpain.2011.10.014. Postoperative pain management among
7. Callister LC. Cultural influence on surgically treated patients in an Ethiopian
pain perception and behaviors. Home Hospital. PLos One. 2014;9(7):e102835.
Health Care Management Practice. doi:10.1371/journal.pone.0102835.
2003;15(3):207–11. eCollection 2014.
8. Matijevic M, Uzarevic Z, Gvozdic V, Mikelic 12. Mowat I, Johson D. Acute pain management
VM, Leovic D, Macan D. The influence of part 2 assesment and managmenet.
surgical experience, type of instruction Anaesth Tutorial Week-295. 2013;1(1):1–
given to patients and patient sex on 10.
postoperative pain intensity following 13. Size M, Soyannwo A, Justins DM. Pain
lower wisdom tooth surgery. Acta Clin management in developing countries.
Croat. 2013;52:23–8. journal compilation 2007 the association
9. Vivian HY, Abrishami A, Peng PWH, Wong of anaesthetics of great britain and ireland.
J, Chung F. Predictors of postoperative pain Anaesthesia. 2007;67(1):38–43.
and analgesic consumption a qualitative 14. Fotedar KK. WHO Ladder-Relevance in
review. Anesthesiology. 2009;111:657–77. today’s world. Intern J Perioperative
10. Herbert G, Masigati, Chilonga KS. Ultrasound Applied Technologies.
Postoperative pain management outcomes 2013;2(2):49–53.