Anda di halaman 1dari 9

‫صلُّوا قِيَا ًما فإذا َر َك َع فَارْ َكعُوا وإذا َرفَ َع فَارْ فَعُوا‬

َ َ‫إنما ُج ِع َل اإْل ِ َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه فإذا صلى قَائِ ًما ف‬
َ َ‫وإذا قال سمع هللا لِ َم ْن َح ِم َدهُ فَقُولُوا َربَّنَ))ا َولَ))كَ ْال َح ْم) ُد وإذا ص))لى قَائِ ًم))ا ف‬
‫ص)لُّوا قِيَا ًم))ا وإذا‬
َ‫صلُّوا ُجلُوسًا أَجْ َمعُون‬ َ َ‫صلى َجالِسًا ف‬
Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka "
sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku' maka ruku'lah
kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata "Sami'allahu
liman hamidahu" ucapkanlah "Robbanaa wa lakalhamdu". Jika imam sholat berdiri
maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya
dengan duduk" (HR Al-Bukhari no 657)

Rasulullah juga bersabda:


‫إنما ج ُِع َل اإْل ِ َما ُم لِي ُْؤتَ َّم بِ ِه فال تَ ْختَلِفُوا عليه فإذا َر َك َع فَارْ َكعُوا‬
"Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia
ruku' maka ruku'lah kalian…" (HR Al-Bukhari no 689)

Ibnu Hajar berkata, "Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang
yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di
hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera
menyusul sebagaimana gerakan sang imam" (Fathul Baari 2/178)

Berkata An-Nawawi : "Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam
dalam takbir, berdiri, duduk, ruku', sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam.
Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul
ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku' setelah imam
mulai ruku' dan sebelum imam berdiri dari ruku'. Jika ia menyertai imam (dalam ruku'-
pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak
batal. Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia
salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk
memisahkan diri dari jama'ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini..." (Al-
Minhaaj 4/131)

An-Nawawi juga berkata, "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah
dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi'i dan sekelompok
ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak),
karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat
sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada
orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.

Malik dan Abu Hanifah radhiallahu 'anhumaa dan para ulama yang lain berkata
bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits
adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara
imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu 'anhu- dan para ulama yang sepakat
dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami
(dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali
bersama kelompok pertama dan yang kdua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat
beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang
bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu'adz
tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi
kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu'adz dan
wajib di sisi kaumnya.

Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan
(gerakan-gerakan) yang dzohir (Al-Minhaaj 4/134)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-
Nawawi ini (madzhab As-Syafi'i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada
gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah
ruku', takbir, bangkit dari ruku' dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan
dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan
dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk
maka ia segera ruku' juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini
dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.

Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam berupa


mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.

Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh dengan tawarruk
sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka tidak wajib bagi sang
makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini sama sekali tidak berkaitan
dengan penyelisihan berupa mendahului atau keterlambatan.

Demikian juga jika ternyata sang imam tidak menggerak-gerakan jarinya sementara sang
makmum meyakini sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud maka tidak
wajib bagi sang makmum untuk mengikuti sang imam.

Syaikh Al-'Utsaimiin berkata, "Adapun perkara yang mengantarkan kepada penyelisihan


imam maka imam harus diikuti (tidak boleh diselisihi-pent), adapun perkara yang tidak
menyelisihi imam –seperti mengangkat kedua tangan tatkala hendak ruku' jika ternyata
sang imam tidak mengangkat kedua tangannya sedangkan makmum memandang
disyari'atkannya mengangkat kedua tangan- maka tidak mengapa bagi makmum untuk
mengangkat kedua tangannya. Karena hal ini tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap
imam atau keterlambatan (dalam mengikuti imam).

Demikian juga halnya dalam masalah duduk, jika imam tidak duduk tawarruk sedangkan
sang makmum memandang disyari'atkannya duduk tawarruk atau sebaliknya maka sang
makmum tidak mengikuti sang imam, karena sang makmum tidak menyelisihi sang imam
dan juga tidak terlambat (dalam mengikuti sang imam). (Majmuu' Fataawaa wa rosaail
As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)

Bagaimana jika sang imam tidak duduk istirahat?

Jika sang imam tidak duduk istirahat tatkala bangkit ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke
empat, sedangkan makmum memandang disyari'atkannya hal ini, maka apakah makmum
tetap boleh duduk istirahat menyelisihi imam? Dan bagaimana jika perkaranya
sebaliknya?

Syaikh Al-'Utsaimiin rahimahullah berkata, "Adapun jika (penyelisihan gerakan-pent)


mengakibatkan keterlambatan makmum –misalnya makmum memandang
disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang imam tidak- maka makmum tidak duduk
istirahat. Karena jika sang makmum duduk istirahat maka ia akan terlambat dari imam,
padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kita untuk bersegera dalam
mengikuti imam, beliau bersabda, "Jika imam bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan
jika imam ruku maka ruku'lah…". Demikian juga jika perkaranya sebaliknya. Jika imam
memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang makmum tidak, maka jika
imam duduk istirahat hendaknya sang makmum juga duduk meskipun sang makmum
tidak memandang disyari'atkannya duduk istirahat, namun demi mengikuti imam. Inilah
kaidah dalam mengikuti imam, yaitu makmum tidak melakukan hal yang menyebabkan
penyelisihan atau keterlambatan" (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh
Al-'Utsaimiin15/79)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Telah valid bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam duduk istirahat, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi
melakukannya karena beliau sudah tua sehingga butuh untuk duduk istirahat?, ataukah
Nabi melakukannya karena duduk istirahat merupakan sunnah dalam sholat?.
Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka menganggap duduk
istirahat hukumnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi'i dan salah satu riwayat
dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka
tidak menganggap mutahabnya duduk istirahat kecuali jika memerlukannya sebagaimana
pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun
posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya-pent) karena
keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak
termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan
mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini perbuatan yang merupakan perkara ijtihad?
Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu
menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih
utama daripada terlamabat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka
perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum
menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya
menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat
beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa
sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu
doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan
yang paling kuat adalah bersegera mengikuti imam lebih utama dari pada terlambat
karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A'lam (Majmuu' Al-Fataawaa
22/452-453).

Bagaimana jika sang imam qunut subuh?

Ibnu Taimiyyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata


َّ‫َام لُِي ْؤمَت‬ ِ
ُ ‫" إِمَّنَا ُجع َل ا ِإلم‬Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti" dan juga bersabda : Janganlah
kalian menyelisihi imam-imam kalian", dan telah valid juga dalam shahih bahwasanya
beliau bersabda "Mereka (para imam) sholat bagi kalian, jika mereka benar maka
pahalanya buat kalian dan buat mereka, dan jika mereka salah maka pahalanya bagi
kalian dan kesalahan bagi mereka. Bukankah jika imam membaca surat setelah membaca
Al-Fatihah pada dua rakaat yang terakhir dan memanjangkan bacaan surat tersebut maka
wajib bagi makmum untuk mengikutinya (menunggunya-pent)?. Adapun mendahului
imam maka hal ini tidak diperbolehkan, maka jika imam qunut maka tidak boleh
makmum mendahuluinya, akan tetapi harus mengikuti imam. Oleh karenanya Abdullah
bin Mas'uud mengingkari Utsman karena sholat empat rakaat (tatkala safar-pent) akan
tetapi beliau sholat empat rakaat diimami oleh Utsman. Maka dikatakan kepada beliau
kenapa beliau berbuat demikian, maka beliau berkata Perselisihan itu buruk" (Al-
Fataawa Al-Kubro 1/229)

Beliau juga berkata, "Wajib bagi makmum untuk mengikuti imam pada perkara-perkara
yang diperbolehkan ijtihad msekipun sang makmum tidak sependapat. Sebagaimana jika
imam qunut subuh atau menambah jumlah takbir tatkala sholat janazah hingga tujuh kali.
Akan tetapi jika sang imam meninggalkan satu perkara yang perkara tersebut menurut
makmum adalah rukun atau syarat sholat maka ada khilaf (apakah makmum tetap
mengikuti imam atau tidak?-pent)" (Jaami'ul Masaail 5/388)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar
memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh
adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam
yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi
persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita
terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86)
NIAT.Tidak diragukan lagi kesesuaian niat imam dengan makmum adalah perkara yang
disyariatkan baik tatkala shalat sunnah ataupun shalat wajib. Akan tetapi para ulama
berbeda pendapat bagaimana bila keduanya berbeda niat? Sebagai contoh imam shalat
‘Ashar sementara si makmum shalat Dzuhur atau imam shalat Tarawih sementara
makmum shalat Isya dan seterusnya.
Pendapat paling kuat -insyaallah- yang menyebutkan bahwa tidak disyaratkan kesamaan
niat antara imam dan makmum . Demikianlah pendapat Al Imam As Syafi’i dan Al Imam
Ibnu Hazm rahimahumullah. (Shahih Fiqh Sunnah I/309)
Diantara dalil pedapat tersebut adalah
1 Firman Allah Ta’ala,
‫ف اللَّهُ َن ْف ًسا إِال ُو ْس َع َها‬
ُ ِّ‫ال يُ َكل‬
“Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kadar kesanggupannya”
(Qs. Al Baqarah: 286)
Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Dan bukan termasuk kesanggupan kita
untuk mengetahui perkara ghaib seperti mengetahui niat imam (karena niat letaknya di
hati hanya Allah yang mengetahui kemudian hamba tersebut -pen) sehingga niat kita bisa
sama dengan niat imam. Akan tetapi yang menjadi kewajiban kita adalah sebatas
kesanggupan yang bisa kita lakukan yaitu mengetahui niat kita masing-masing dan
menunaikan (rukun-rukun shalat) yang diperintahkan syariat.” (Al Muhalla, 4/224)
‫ وإمنا علينا ما يسعنا ونقدر عليه من القصد‬،‫وليس يف وسعنا علم ما غيب عنا من نية االمام حىت نوافقها‬
‫بنياتنا تأدية ما امرنا به كما امرنا‬
2 Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
‫ وامنا لكل امرئ ما نوى‬،‫امنا االعمال بالنيات‬
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai
dengan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari & Muslim)
Ibnu Hazm berkata, “Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wasallam menegaskan,
bahwa setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Sehingga benarlah
bahwa imam mendapatkan nilai sesuai niatnya, dan makmum juga mendapatkan sesuai
niatnya. Tidak ada sangkut paut antara satu dengan yang lainnya.” (Al- Muhalla 4/225)
‫ ال تعلق الحدامها‬،‫ وللمأموم نيته‬،‫ فصح يقينا ان لالمام نيته‬،‫فنص عليه السالم نصا جليا على ان لكل احد ما نوى‬
‫باالخرى‬
Adapun hadits,
‫إمنا ُجعِ َل اإْلِ َم ُام لُِي ْؤمَتَّ بِِه فال خَت ْتَلِ ُفوا عليه‬
“Dijadikan Imam (dalam shalat) itu hanya untuk diikuti. Maka janganlah kamu
menyelisihinya…” (HR. Bukhari 689 dan Muslim 411).
Yang dimaksudkan di sini adalah ‘Janganlah kalian menyeselisihi imam dalam amalan
dzahir (gerakan-gerakan shalat -pen)’. Dalil akan hal ini adalah kelanjutuan dari hadits di
atas yang menyatakan,
“Apabila imam rukuk maka rukulah kalian dan ketika imam sujud maka sujudlah kalian.
Ketika imam shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semua dengan duduk..”
Hadits tersebut tidak berkaitan dengan perbedaan niat (imam). Dan yang menunjukkan
akan hal ini adalah kesepakatan umum ulama bahwa diperbolehkan seorang yang sedang
shalat sunnah, bermakmum di belakang imam yang sedang shalat fardhu. (Sahih Fiqh
Sunnah I/310)
3 Hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhuberkata,
‫ مث يرجع إىل قومه فيصلى هبم تلك الصالة‬،‫ان معاذ بن جبل كان يصلى مع رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم عشاء اآلخرة‬
“Bahwa Mu’adz bin Jabbal pernah shalat Isya bersama Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
kemudian beliau kembali kepada kaumnya dan mengimami shalat tersebut (Isya) bersama
mereka.”
4 Tidak adanya dalil tegas yang mewajibkan imam dan makmum harus memiliki
niat yang sama.Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
“Tidak ada satupun dalil baik dari Al-Qur’an, sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
ijma’ maupun qiyas yang mewajibkan kesamaan niat imam dengan makmum. Dan semua
syari’at yang tidak diwajibkan oleh Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ maka bukanlah
termasuk perkara yang wajib dikerjakan. Demikian juga syariat islam ini tidak
mewajibkan imam dan makmum harus memilliki niat yang sama maka pendapat yang
mewajibkan kesamaan niat imam dengan makmum adalah pendapat yang batil.
Penjelasan ini sebagai bantahan atas pendapat keliru tersebut. Cukuplah tidak adanya
dalil yang mewajibkan hal tersebut sebagai penggugur akan pendapat yang
mewajibkannya.”
‫ وكل ش ريعة مل يوجبها قرآن وال‬،‫ يوجب اتفاق نية االمام واملأموم‬:‫ وال قياس‬. ‫ وال إمجاع‬. ‫ وال سنة‬. ‫ قرآن‬،‫إنه مل يأت قط‬
‫ فهى باطل * مث الربه ان يق وم على سقوط وجوب‬،‫ وهذه ش ريعة مل يوجبها ش ي مما ذكرن ا‬،‫سنة وال إمجاع فهى غري واجبة‬
‫ وقد كان يكفى من سقوطه عدم الربهان على وجوبه‬،‫ذلك‬
Bentuk perbedaan niat imam dengan makmum
5 Imam shalat fardhu makmum shalat sunnahHukumnya boleh. Diantara
dalilnya adalah
1 Hadits Abu Dzar radhiallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika engkau
mendapati seorang pemimpin yang mengakhirkan shalat hingga berakhir
waktunya atau melewatkan shalat hingga berakhir waktunya?” Aku bertanya,
“Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku? Beliau shallallahu’alaihi
wasallam menjawab, ‘Tunaikanlah shalat tersebut tepat pada waktunya lalu
jika engkau menadapati shalat tersebut dilakukan berjamaa’ah (bersama
pemimpin tersebut) maka shalatlah bersama mereka. Karena shalat (kedua)
yang engkau kerjakan adalah shalat sunnah bagimu.’”
2 Hadits Yazid Ibnul Aswad berkata, “Aku pernah menunaikan haji bersama
Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Lalu aku shalat Subuh bersama beliau di
masjid Khaif. Tatkala beliau selesai shalat dan memalingkan (wajahnya), tiba-
tiba ada dua orang laki-laki dari daerah lain yang tidak ikut shalat bersama
beliau.” Beliau shallallahu’alaihi wasallam berkata, “Bawalah dua orang
tersebut padaku.” Maka keduanya pun didatangkan dengan urat leher yang
gemetar. Beliau shallallahu’alaihi wasallam pun bertanya, “Apa yang
menghalangi kalain berdua untuk shalat berjama’ah bersama kami?” Mereka
menjawab, “Wahai Rasulullah kami telah menunaikan shalat tersebut
diperjalanan” Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Janganlah
kalian berbuat demikian. Jika kalian berdua sudah shalat diperjalanan
kemudian mendatangi masjid yang sedang dilakukan shalat berjam’ah maka
shalatlah bersama mereka. Karena statusnya sebagai shalat sunnah untuk
kalian. ”
6 Imam shalat sunnah makmum shalat fardhuHukumnya boleh.
Berdalil dengan
1 Hadits Jabir bin Abdillah, “Bahwasanya Mu’adz bin Jabal shalat Isya
bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Kemudian ia kembali
kepada kamunya dan menunaikan shalat tersebut (untuk kedua kalinya-pen)”.
(HR. Bukhari 711 dan Muslim 465). Sebagian mereka (perawi)
menambahkan lafadz, “Bagi Mu’adz sebagai shalat sunnah dan bagi kaumnya
sebagai shalat fardhu.”
2 Hadits Abu Bakrah beliau berkata, “Nabi shallallahualaihi wasallam
shalat khuf waktu dzuhur. Sebagian sahabat makmum di belakang beliau dan
sebagian lagi berperang menghadapi musuh. Beliau shallallahu’alaihi
wasallam shalat dua rokaat kemudian salam. Lalu para shabat yang telah
selesai shalat pergi dan mengambil alih posisi sahabat yang berperang
sebelumnya. Kemudian datang rombngan sahabat (yang belum shalat) tersebut
untuk bermakmum kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Lalu beliau
shalat bersama mereka dua rakaat kemudian salam. Dengan demikian Nabi
mengerjakan empat rakaat sementara para sahabat dua rakaat dua rakaat.”
(HR. Abu Dawud)
Sehingga dapat disimpulkan diperbolehkan bagi orang yang belum melaksanakan shalat
isya bermakmum dibelakang imam yang sedang shalat Tarawih. Ketika imam selesai
salam, si makmum berdiri menggenapkan bilangan raka’at shalat isya’.
7 Imam shalat fardhu makum shalat fardhu yang lainDalam masalah ini ada
tiga keadaan:
Pertama: Kedua shalat fardhu tersebut memiliki jumlah rakaat yang sama. Contohnya
orang yang menqadha shalat dzuhur bermakmum dibelakang imam yang sedang shalat
‘Ashar atau ‘Isya. Hukumnya boleh.
Kedua: Jumlah raka’at makmum lebih banyak dari pada raka’at imam. Seperti orang
yang shalat dzuhur bermakmum dibelakang imam yang sedang shalat shubuh atau
maghrib. Hukumnya boleh.
Ketiga: Jumlah raka’at makmum lebih sedikit daripada raka’at imam. Seperti orang yang
shalat shubuh bermakmum dibelakang imam yang shalat dzuhur. Hukumnya tidak boleh.
8 Imam shalat qashar makmum shalat tidak qashar (shalat
sempurna)Hukumnya boleh. Yang menjadi kewajiban si makmum adalah
menggenapkan bilangan raka’at shalat hingga sempurna setelah imam salam.
Diriwayatkan dari ‘Imran bi Hushain radhiyallahu’anhu, “Aku ikut berperang bersama
Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan menyaksikan langsung al fath (penaklukan kota
Makkah). Beliau tinggal di Makkah selama 18 malam dan tidaklah shalat kecuali dua
raka’at (di qashar). Kemudian beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,’Wahai
penduduk negeri, shalatlah empat raka’at sesungguhnya kami ini adalah kaum yang
sedang safar.’”(HR. Abu Dawud)
9 Imam shalat tidak di qashar (shalat sempurna) dan makmum shalat
qasharHukumnya boleh. Akan tetapi yang menjadi kewajiban makmum adalah
menyempurnakan bilangan raka’atnya menjadi empat raka’at.
Dalilnya dari Musa bin Salamah berkata, “Kami pernah berada di Makkah bersama Ibnu
‘Abbas. Kukatakan, ‘Jika kami shalat bersama kalian kami shalat empat raka’at dan jika
kami kembali melanjutkan perjalanan, kami shalat dua raka’at.’ Beliau menjawab,
‘’Demikianlah sunnah Abul Qasim shallallahu’alaihi wasallam” (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Umar bahwasnya jika beliau (tatkala safar-pen) shalat bersama imam, maka
beliau shalat empat raka’at namun jika sendirian shalat dua raka’at. (HR. Muslim).
(Shahih Fiqh Sunnah I/309-313)
Contoh-contoh shalat dimana sang makmum berbeda niat dengan niat Imam:
Pertama:
Shalat Sunnah dibelakang Imam Shalat Wajib
Yaitu seseorang yang melakukan shalat sunnah tetapi bermakmum kepada
Imam yang sedang melakukan shalat fardhu. Shalat semacam ini dibolehkan
oleh jumhur ulama dari 4 Imam Mazhab bahkan, berdasarkan beberapa dalil:
Dalil pertama
Hadits Yazid bin Al-Aswad yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ketika itu sedang dalam hajinya. Dan pada waktu
shubuh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para sahabat
melaksanakan shalat Subuh di Masjid Khaif. Setelah melakukan shalat,
Nabi melihat ada dua orang yang hanya berdiri di depan masjid tanpa
mengikuti shalat berjamaah.
Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar 2 orang tadi
dihadapkan kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Setelah
menghadap Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Apa yang
menyebabkan kalian tidak ikut berjamaah dengan kami?”. Salah satu dari
2 orang itu menjawab: “Kami telah melaksanakan shalat dirumah kami,
wahai Rasul!”.
Kemudian Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
‫صلِّيَا َم َعهُ ْم فَإِنَّهَا لَ ُك َما نَافِلَة‬ ِ ‫صلَّ ْيتُ َما فِي ِر َحالِ ُك َما ثُ َّم أَتَ ْيتُ َما َمس‬
َ َ‫ْج َد َج َما َع ٍة ف‬ َ ‫فَاَل تَ ْف َعاَل إِ َذا‬
“Jangan kau seperti itu lagi! Jika kalian telah shalat dirumah kalian
masing-masing kemudian kalian mendatangi masjid dan melihat ada shalat
Jamaah, shalatlah kalian bersama mereka!” (HR Tirmidzi dan Nasa’i)
Hadits diatas jelas sekali menunjukkan bahwa shalat yang dilakukan itu
ialah bukan shalat wajib karena telah dilakukan sebelumnya, akan tetapi
itu menjadi shalat sunnah. Dan rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan agar mereka ikut kembali shalat berjamaah, itu berarti
boleh shalat Sunnah dibelakang Imam yang shalat fardhu.
Dalil Kedua:
Hadits Abu Dzar ra yang beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam tentangbagaimana jika ia harus mengikuti pemimpin yang sering
mengakhirkan shalat fardhu. Kemudian Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab:
َ َ‫صاَل ةَ ِل َو ْق ِتهَا فَإ ِ ْن أَ ْد َر ْكتَهَا َم َعهُ ْم ف‬
ٌ‫صلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَا ِفلَة‬ َّ ‫صلِّ ال‬
َ
“Shalatlah (shalat fardhu) tepat pada waktunya! Dan jika kau harus
ikut shalat bersama pemimpinmu (yang mengakhirkan shalat), maka
shalatlah bersama mereka! Sesungguhnya itu menjadi Sunnah untukmu” (HR
Muslim)
Kedua:
Shalat Wajib dibelakang Imam Shalat Sunnah
Contoh yang paling sering ialah seperti yang telah disebutkan
dipembukaan artikel ini. Dan juga yang apling sering ialah ketika harus
melakukan shalat Isya sedangkan Imam beserta Jamaah lainnya sedang
melakukan shalat taraweh. Apakah bisa dan boleh melakukan shalat wajib
tapi bermakmum kepada Imam yang sedang shalat sunnah?
Shalat model semacam ini dibolehkan menurut kebanyakan Ulama, seperti
penjelasan diatas tadi berdasarkan beberapa dalil, dinataranya:
Dalil Pertama:
Hadits Jabir ra yang menyebutkan bahwa Mu’adz bin jabal ra pernah
melaksanakan shalat isya berjamaah bersma Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam beserta sahabat. Kemudian ia pulang menemui kaumnya
dan menjadi Imam shalat yang sama yaitu shalat isya untuk kaumnya
tersebut. (HR Muslim)
Dan Imam Nawawi menyebutkan riwayat tambahan dari hadits ini yang
diriwayatkan oleh Imam Syafi’i, bahwa perkara tersebut dilaporkan
kepada Nabi SAW, dan Nabi tidak mengingkarinya. (Al-majmu’ jil 4 hal
272)
Dalil Kedua:
Hadits Abu Bakroh ra tentang salah satu cara lain shalat Khauf yang
dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disebutkan: bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat zuhur dalam keadaan
khauf (peperangan), kemudian para sahabat membagi barisan menjadi 2
kelompok. Satu kelompok shalat bersama Rasul dan yang lain berjaga-
jaga.
Nabi melaksanakan shalat bersama Kelompok pertama sebanyak 2 rokaat
kemudian salam. Lalu masuklah kelompok yang tadi berjaga-jaga untuk
shalat bersama Rasul SAW. Berjamaah 2 rokaat kemudian salam. (HR Abu
Daud)
Imam Sayfi’i dalam Kitabnya Al-Umm menyebutkan bahwa: 2 rokaat terakhir
Nabi adalah sunnah dan yang pertama wajib. Jadi kelompok kedua yang
shalat bersama Nabi itu shalat wajib sedangkan Imam mereka yakni Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan Shalat Sunnah. (Al-Umm, jil
1 hal 173)
Kesimpulan:
Kesimpulannya bahwa perbedaan niat antara Imam dan makmum tidak membuat
shalatnya terganggu atau batal, baik Imam ataupu makmum sah-sah saja
shalat dengan niat yang berbeda. Jadi tidak ada masalah jika kita shalat
fardhu tetapi bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, seperti
shalat isya bermakmum dengan Imam tarawih. Atau juga sebaliknya, shalat
Sunnah tetapi bermakmum kepda Imam shalat Fardhu.

Anda mungkin juga menyukai