Nim : 190231100080
2. Kontribusi sektor pertanian yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB)
nasional, sebagaimana dilansir dari LINE Jobs, kini menurun secara signifikan.
Sektor pertanian tidak lagi menjadi salah satu sumber perekonomian terbesar di
Indonesia. Untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah, dunia
pertanian kemudian mengadopsi istilah Revolusi Pertanian 4.0, dimana pertanian
diharapkan melibatkan teknologi digital dalam proses pengembangannya.
Konsep pengembangan pertanian yang banyak dikembangkan pada saat ini
adalah konsep pertanian cerdas, yang biasa juga disebut smart farming atau
precision agriculture. Konsep ini merujuk pada penerapan TIK pada bidang
pertanian. Tujuan utama penerapan terknologi tersebut adalah untuk melakukan
optimasi berupa peningkatan hasil (kualitas dan kuantitas) dan efisiensi
penggunaan sumber daya yang ada.
Revolusi industri 4.0 dalam sektor agrikultur ternyata lebih dominan terjadi di
Eropa. Hal ini disebabkan oleh adanya bencana demografi, yaitu keadaan dimana
jumlah penduduk yang berusia produktif lebih sedikit dibanding penduduk yang
berusia non-produktif sehingga tenaga penduduk harus digantikan dengan
teknologi. Sedangkan di Indonesia sendiri, revolusi industri 4.0, terutama di sektor
pertanian belum begitu berhasil berkembang. Berikut adalah beberapa hal yang
menjadi penyebab revolusi industri 4.0 belum berhasil diterapkan di Indonesia
menurut LINE Jobs.
1. Sumber Daya Manusia
Faktanya, sebagian besar petani berusia lebih dari 40 tahun dan lebih dari 70
persen petani di Indonesia hanya berpendidikan setara SD bahkan di
bawahnya. Pendidikan formal yang rendah tersebut menyebabkan
pengetahuan dalam pengolahan pertanian tidak berkembang serta monoton.
Petani hanya mengolah pertanian seperti biasanya tanpa menciptakan inovasi-
inovasi terbaru demi peningkatan hasil pangan yang berlimpah.
2. Kondisi Lahan Pertanian di Indonesia
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebaran penduduk dan pembangunan di
Indonesia belum sepenuhnya merata. Hal tersebut dibuktikan dengan masih
banyaknya “Lahan Tidur” atau lahan yang belum tergarap oleh masyarakat di
daerah-daerah pedalaman, sementara, lahan di suatu wilayah strategis justru
menjadi rebutan dengan harga mahal. Mengingat harga tanah yang semakin
melonjak tinggi, luas kepemilikan lahan pertanian para petani di Indonesia pun
rata-rata kecil. Bahkan, sebagian besar petani hanya bisa menggarap lahan
milik orang lain sehingga hasilnya pun harus dibagi dua. Selain itu, dampak
akibat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang mencapai 150-200
ribu per tahun juga menyebabkan petani kekurangan lahan untuk bercocok
tanam.
3. Teknologi Belum Sepenuhnya Diterima Masyarakat
Sistem pengalihan teknologi dari tradisional menjadi modern dalam
pengelolaan pertanian belum mampu diterima secara luas oleh para petani
yang masih banyak memilih menggunakan peralatan tradisional dibanding
peralatan teknologi canggih. Selain karena keterbatasan biaya, keterbatasan
pengetahuan juga menjadi faktor yang menghambat laju teknologi untuk
merambah sektor pertanian secara luas.
Di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan edukasi yang
cukup bagi para petani agar dapat memajukan sektor pertanian di era revolusi
industri 4.0 ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan mungkin berupa
memberikan penyuluhan besar-besaran dan melakukan demo penggunaan
alat pertanian yang dilengkapi dengan teknologi modern.
Teknologi masa kini memang telah merambah ke berbagai sektor hingga ke
berbagai akses kehidupan. Namun, teknologi juga harus digunakan secara
bijak dengan tetap melihat dampaknya dari berbagai sisi. Dalam pertanian
misalnya, jangan sampai teknologi hanya dikuasai oleh segelintir orang atau
merusak ekosistem yang ada tanpa mempedulikan keseimbangan lingkungan
6. Kontribusi sektor pertanian yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB)
nasional, sebagaimana dilansir dari LINE Jobs, kini menurun secara signifikan.
Sektor pertanian tidak lagi menjadi salah satu sumber perekonomian terbesar di
Indonesia. Untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah, dunia
pertanian kemudian mengadopsi istilah Revolusi Pertanian 4.0, dimana pertanian
diharapkan melibatkan teknologi digital dalam proses pengembangannya.
Konsep pengembangan pertanian yang banyak dikembangkan pada saat ini
adalah konsep pertanian cerdas, yang biasa juga disebut smart farming atau
precision agriculture. Konsep ini merujuk pada penerapan TIK pada bidang
pertanian. Tujuan utama penerapan terknologi tersebut adalah untuk melakukan
optimasi berupa peningkatan hasil (kualitas dan kuantitas) dan efisiensi
penggunaan sumber daya yang ada.
Revolusi industri 4.0 dalam sektor agrikultur ternyata lebih dominan terjadi di
Eropa. Hal ini disebabkan oleh adanya bencana demografi, yaitu keadaan dimana
jumlah penduduk yang berusia produktif lebih sedikit dibanding penduduk yang
berusia non-produktif sehingga tenaga penduduk harus digantikan dengan
teknologi. Sedangkan di Indonesia sendiri, revolusi industri 4.0, terutama di sektor
pertanian belum begitu berhasil berkembang. Berikut adalah beberapa hal yang
menjadi penyebab revolusi industri 4.0 belum berhasil diterapkan di Indonesia
menurut LINE Jobs.
4. Sumber Daya Manusia
Faktanya, sebagian besar petani berusia lebih dari 40 tahun dan lebih dari 70
persen petani di Indonesia hanya berpendidikan setara SD bahkan di
bawahnya. Pendidikan formal yang rendah tersebut menyebabkan
pengetahuan dalam pengolahan pertanian tidak berkembang serta monoton.
Petani hanya mengolah pertanian seperti biasanya tanpa menciptakan inovasi-
inovasi terbaru demi peningkatan hasil pangan yang berlimpah.
5. Kondisi Lahan Pertanian di Indonesia
Tidak bisa dipungkiri bahwa penyebaran penduduk dan pembangunan di
Indonesia belum sepenuhnya merata. Hal tersebut dibuktikan dengan masih
banyaknya “Lahan Tidur” atau lahan yang belum tergarap oleh masyarakat di
daerah-daerah pedalaman, sementara, lahan di suatu wilayah strategis justru
menjadi rebutan dengan harga mahal. Mengingat harga tanah yang semakin
melonjak tinggi, luas kepemilikan lahan pertanian para petani di Indonesia pun
rata-rata kecil. Bahkan, sebagian besar petani hanya bisa menggarap lahan
milik orang lain sehingga hasilnya pun harus dibagi dua. Selain itu, dampak
akibat konversi lahan pertanian menjadi non pertanian yang mencapai 150-200
ribu per tahun juga menyebabkan petani kekurangan lahan untuk bercocok
tanam.
6. Teknologi Belum Sepenuhnya Diterima Masyarakat
Sistem pengalihan teknologi dari tradisional menjadi modern dalam
pengelolaan pertanian belum mampu diterima secara luas oleh para petani
yang masih banyak memilih menggunakan peralatan tradisional dibanding
peralatan teknologi canggih. Selain karena keterbatasan biaya, keterbatasan
pengetahuan juga menjadi faktor yang menghambat laju teknologi untuk
merambah sektor pertanian secara luas.
Di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan edukasi yang
cukup bagi para petani agar dapat memajukan sektor pertanian di era revolusi
industri 4.0 ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan mungkin berupa
memberikan penyuluhan besar-besaran dan melakukan demo penggunaan
alat pertanian yang dilengkapi dengan teknologi modern.
Teknologi masa kini memang telah merambah ke berbagai sektor hingga ke
berbagai akses kehidupan. Namun, teknologi juga harus digunakan secara
bijak dengan tetap melihat dampaknya dari berbagai sisi. Dalam pertanian
misalnya, jangan sampai teknologi hanya dikuasai oleh segelintir orang atau
merusak ekosistem yang ada tanpa mempedulikan keseimbangan lingkungan
7. Kepanikan Bank, 1907
Kepanikan pada 1907 terjadi karena terjun bebasnya pasar saham Dow lebih dari
50% dibanding tahun sebelumnya. Pemicunya adalah over-ekspansi dan
spekulasi pasar yang buruk. Pasar saham jatuh pada Maret dan terulang kembali
pada Oktober, menyebabkan hilangnya kepercayaan pada bank disusul
bangkrutnya Bank Amerika Utara. Pada Februari 1908 kepercayaan publik mulai
pulih dan pada Mei, Kongress menyetujui Undang-undang Aldrich-Vreeland Act
dan membentuk Komisi Moneter Nasional untuk meredam setiap kepanikan pasar
di masa datang.
Hiperinflasi Jerman, 1918-1924
Meskipun hiperinflasi Jerman bukanlah yang terburuk dalam sejarah, tapi memiliki
dampak paling hebat. Pada 1914, nilai tukar USD terhadap Mark Jerman sekitar
1 berbanding 4. Namun pada 1923, angka tersebut meledak hingga menjadi 1USD
setara dengan 1 triliun (1.000.000.000.000) Mark Jerman. Sebagai buntut dari
Perang Dunia I, "sang pemenang" membebankan biaya rekonstruksi akibat
perang kepada Jerman, nilainya mencapai sepertiga dari defisit anggaran Jerman.
Dengan memperkenalkan jenis mata uang baru pada 1923 yakni Rentenmark dan
Reichsmark pada 1924, Jerman akhirnya dapat mengontrol inflasi tersebut.
The Great Depression, 1929
The Great Depression adalah depresi terpanjang dan paling parah dalam sejarah
ekonomi global, berlangsung antara 1929 hingga pecahnya Perang Dunia II. Awal
krisis ini ditandai dengan terpuruknya bursa Wall Street, yang menjadikannya
sebagai keruntuhan paling dahsyat dalam sejarah pasar saham. Pada 29 Oktober
1929, USD10 miliar (nilainya sekitar USD95 miliar saat ini) lenyap ditelan bumi.
Pada tahun-tahun menjelang Selasa Hitam (Black Tuesday), bursa saham Dow
terlahir banyak jutawan. Pasar saham menjadi hobi bagi investor bodoh yang siap
memborong saham perusahaan (banyak fiktif) tanpa mempelajari rekam jejaknya.
Krisis Minyak, 1973
Dibayang-bayangi perang Yom Kippur antara Suriah dan Mesir melawan Israel,
OPEC (organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia) menjadikan minyak
sebagai senjata dengan cara melakukan embargo minyak terhadap pihak yang
mendukung Israel. Biaya minyak mentah meningkat sementara produksi
dipangkas, terutama untuk AS dan Belanda. Embargo hanya berlangsung selama
lima bulan, namun efeknya terus dirasakan hingga kini. Pasar Saham New York
kehilangan hingga USD97 miliar.
Senin Hitam (Black Monday), 1987
Tidak ada yang tahu pasti apa penyebab terjadinya Black Monday pada 19
Oktober 1987. Yang jelas secara tiba-tiba miliaran USD hilang dari pasar saham
seluruh dunia. Hong Kong kehilangan 45,8% dari total nilai sahamnya, Inggris
kehilangan 26,4%, Australia lenyap 41,8% dan Selandia Baru drop hingga 60%.
Perdagangan program, perselisihan kebijakan moneter serta kekhawatiran akan
inflasi, semuanya ditengarai menjadi penyebab krisis ini.
Krisis Moneter Asia Tenggara, 1997
Awalnya banyak pengamat menyebut perekonomian Asia sebagai Macan Asia
yang sedang bangkit dan segera menggantikan dominasi ekonomi barat. Namun
tak butuh waktu lama untuk membalikkan pujian tersebut menjadi bencana besar
yang dimulai pada Juli 1997. Ini berawal dari hilangnya kepercayaan investor pada
mata uang Asia. Terjadilah efek domino, dimulai dari Thailand dan meluas ke
Filipina, Hong Kong, Malaysia dan Indonesia dan terus menyebar hingga memicu
krisis global. Pasar saham Thailand terkoreksi 75%, Hong Kong 23% dan
Singapura anjlok hingga 60% serta nilai tukar Rupiah terdevaluasi hingga 90%.
Krisis Rubel, 1998
Korupsi, kebijakan reformasi ekonomi yang tidak efektif, devaluasi nilai Rubel, dan
ketidakstabilan politik membawa Rusia ke dalam krisis moneter masif. Selain itu,
posisi Rusia sebagai eksportir sepertiga dari jumlah minyak dan gas di dunia,
menyebabkan negeri beruang merah ini sangat rentan terhadap terjadinya
fluktuasi harga minyak. Ketika investor asing menarik uangnya keluar Rusia, bank
menjadi lumpuh dan dengan terpaksa meminjam pada IMF.
"Dekade yang Hilang" dari Jepang, 1990-2000
Runtuhnya gelembung aset (asset bubble) di Jepang pada 1991 menyebabkan
pertumbuhan ekonomi rendah dan berkepanjangan hingga 2000. Penyebab
sebenarnya dari krisis ini adalah akibat tidak sehatnya spekulasi, tingginya angka
kredit dan rendahnya tingkat suku bunga. Ketika pemerintah mencoba
mengendalikannya, kredit semakin sulit didapat dan penyertaan modal turun
drastis. Inilah penyebab melemahnya ekspansi ekonomi sepanjang 1990an,
menjadikannya satu dekade yang hilang. Jepang beruntung dapat menghindari
depresi, tapi efek di 1991 tersebut masih terasa sampai hari ini.
Resesi Hebat, 2008
Pada 2008, bangkrutnya Bank Lehman Brothers yang memiliki aset bernilai
USD600 miliar menjadi simbol dimulainya krisis moneter paling dramatis sejak
masa Depresi Hebat. Penyebabnya berkaitan dengan dideregulasinya beberapa
kebijakan sektor keuangan, kebijakan moneter yang buruk dan runtuhnya ekonomi
internasional akibat tingkat hutang tinggi di sektor publik dan swasta. Efek yang
disebabkan krisis ini begitu hebat. Hingga Maret 2009, 45% dari kekayaan global
telah lenyap akibat krisis ini.
Krisis Utang Sovereign Eropa, 2009 hingga kini
Inilah krisis moneter terkini yang berlangsung sampai hari ini dan tak ada seorang
pun tahu kapan krisis ini akan berakhir. Saat ini pasar makin khawatir terhadap
kemampuan sejumlah negara, khususnya Yunani, Irlandia, Spanyol, Portugal, dan
Italia, untuk membayar utang mereka. Keterlibatan bank-bank Internasional yang
terus memberi utang terhadap negara-negara ini diduga semakin membuat
jatuhnya pasar.
9. Secara umum, bentuk kerja sama ekonomi internasional dapat dibagi menjadi
empat jenis.
1. Kerja sama ekonomi bilateral
Kerja sama ekonomi bilateral melibatkan 2 negara dan bersifat saling
membantu. Misalnya, kerja sama Indonesia-Amerika untuk perdagangan
komoditas perkebunan, atau kerja sama Indonesia-Malaysia, dan sebagainya.
2. Kerja sama ekonomi regional
Kerja sama ekonomi regional dilakukan oleh beberapa negara yang berada di
kawasan tertentu. Misalnya, kerja sama ekonomi antara negara-negara di
kawasan Asia Tenggara (ASEAN), kerja sama ekonomi antara negara-negara
di kawasan Eropa (MEE), kerja sama ekonomi antara negara-negara di
kawasan Asia Pasifik (APEC), dan sebagainya.
3. Kerja sama ekonomi multilateral atau internasional
Kerja sama ekonomi multilateral adalah kerja sama yang melibatkan banyak
negara dan tidak terikat batasan wilayah (region) atau kawasan negara
tertentu. Contohnya, kerja sama negara-negara penghasil minyak (OPEC),
kerja sama perdagangan antar negara (WTO), kerja sama keuangan
internasional (IMF), dan sebagainya.
4. Kerja sama ekonomi antar-regional
Dalam kerja sama ekonomi ini terjalin antara dua kelompok kerja sama
ekonomi regional. Misalnya yaitu terjalin kerja sama ekonomi antara MEE
dengan ASEAN.
12. Stabilitas sistem keuangan pada triwulan II tahun 2021 berada dalam kondisi
normal di tengah meningkatnya kasus varian delta Covid-19. Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan menyepakati komitmen
bersama untuk terus memperkuat sinergi untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan dan terus mempertahankan momentum pemulihan ekonomi. Menteri
Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) pada Jumat (06/08) menyebut bahwa adanya
momentum penguatan kinerja ekonomi global, adanya kebijakan countercyclical
pemerintah, serta kebijakan moneter dan sektor keuangan yang tepat telah
mampu mendorong arah pemulihan ekonomi nasional. “Faktornya adalah
memang ada faktor ekonomi global (membaik) yang menyumbang, kebijakan
countercyclical dari pemerintah yaitu dalam bentuk fiskal dan non fiskal, serta
kebijakan moneter dan sektor keuangan dari Bank Indonesia dan OJK yang
akomodatif telah mendorong berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional kita,” jelas
Menkeu. Stabilitas sistem keuangan masih terkendali, tetapi kewaspadaan terus
ditingkatkan untuk menghadapi ketidakpastian. Perekonomian menunjukkan tren
pertumbuhan yang positif dan semakin membaik, namun adanya lonjakan kasus
Covid-19 yang diikuti dengan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat
diproyeksikan akan kembali menahan laju pemulihan ekonomi.
13. Berdasarkan laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) dalam The
Global Competitiveness Report Tahun 2019, daya saing Indonesia masih berada
di peringkat 50 dari 141 negara. Dengan begitu, posisi Indonesia masih tertinggal
dibandingkan negeri tetangga Malaysia. "Jadi, (Indonesia) masih sedikit di bawah
Malaysia, Thailand, dan Singapura di peringkat pertama," terangnya. Merespons
rendahnya peringkat daya saing Indonesia ini, pemerintah akan mendorong upaya
pembangunan sumber daya manusia dilakukan secara holistik dan terintegrasi.
Salah satunya dengan menyediakan sistem informasi pasar kerja yang kredibel
dan berkelas. "Karena (sistem informasi pasar kerja) salah satu prasyarat yang
harus dipenuhi. Ini sebagai bagian dari upaya reformasi pendidikan dan pelatihan
vokasi.
14. Bank Dunia merilis laporan International Debt Statistics (IDS) 2021 atau Statistik
Utang Internasional negara-negara berpenghasilan rendah-menengah. Dalam
laporan itu, Indonesia merupakan negara dengan utang luar negeri terbesar di
antara 7 negara Asia Tenggara lainnya yang berpenghasilan rendah-menengah.
Laporan tersebut mencakup data utang negara-negara berpendapatan
rendahmenengah hingga tahun 2019. Utang luar negeri Indonesia menempati
posisi nomor 1 terbesar dengan total US$ 402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940
triliun. diantara Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, Timor-Leste, dan
Vietnam.
15. Selama Juli hingga Desember 1997 rupiah mengalami depresiasi yang sangat
besar. Berdasarkan kajian Bank Dunia bertajuk “Indonesia in Crisis, A
Macroeconomic Update” yang diterbitkan pada Juli 1998, nilai rupiah terhadap
dolar AS merosot 10,7% pada Juli, 25,7% pada Agustus, 39,8% pada September,
55,6% pada Oktober dan November, serta 109,6% pada Desember. Bank
Indonesia kemudian memperketat kebijakan moneter dan fiskal untuk mengatasi
kondisi tersebut. Dari sisi moneter, suku bunga SBI dinaikkan dari 11,625%
menjadi 30%. Gebrakan Sumarlin, yang dilakukan untuk mencegah efek devaluasi
pada 1987, diulang: BUMN-BUMN besar diminta untuk membeli SBI. Dari sisi
fiskal, pemerintah mengatur ulang APBN dan menunda proyek-proyek raksasa
yang menyerap dana cukup besar. Menurut Boediono, total nilai proyek yang
ditunda mencapai 13 miliar dolar AS. Pemerintahan Soeharto akhirnya
memutuskan untuk meminta pertolongan IMF. Misi IMF datang pada 13 Oktober
1997. Sebesar 12,3 miliar dolar AS berasal dari IMF, sisanya dari Bank Dunia,
ADB, dan negara-negara tetangga seperti Jepang dan Singapura. Dana itu
merupakan komitmen untuk tiga tahun dan dipantau ketat oleh ahli dari IMF, Bank
Dunia, serta ADB dalam pelaksanaannya. Langkah pertama adalah restrukturisasi
finansial. Pada tahap pertama, IMF mencairkan 3 miliar dolar AS. Untuk pencairan
dana tersebut, Indonesia harus menyepakati letter of intent (LoI). Pada LoI
pertama ini, salah satu poinnya adalah pemerintah harus menutup 16 bank yang
sedang “sakit” sebagai upaya untuk membenahi sektor perbankan.