Anda di halaman 1dari 19

BUDAYA KEMISKINAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA

CULTURE OF POVERTY IN POVERTY REDUCTION IN INDONESIA

Johan Arifin
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI
Gd. Cawang Kencana Lt. 2, Jl. Mayjen Sutoyo, Kav. 22 Cawang, Jakarta Timur, Indonesia
E-mail: masjohan81@gmail.com

Abstrak
Penanggulangan kemiskinan menjadi sasaran utama program pembangunan sesuai dengan pengarusutamaan
agenda MDGs dan SDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025).
Program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah berhasil menurunkan persentase angka
kemiskinan, meskipun secara nominal jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi. Upaya penanggulangan
kemiskinan yang pernah dan sedang dijalankan masih menghadapi berbagai tantangan dalam nilai-nilai
budaya masyarakat Indonesia. Pada satu sisi pembangunan selama ini belum bisa “membebaskan” si miskin
karena faktor budaya yang membelenggu. Pada sisi lain budaya kemiskinan menjadi pelampiasan masyarakat
miskin yang tidak berdaya menghadapi cengkraman kapitalisme. Karakter khas kemiskinan masyarakat
Indonesia menghendaki pendekatan struktural dan kultural secara seimbang. Nilai-nilai budaya dalam
masyarakat yang mendorong pada perubahan pola fikir menanggulangi kemiskinan perlu diangkat dalam
program kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan lebih dulu memaknai ulang nilai-nilai budaya
tersebut. Perlu diciptakan “budaya tanding”, yaitu memunculkan sebagian dari populasi suatu masyarakat
yang secara kuat menganut atau memeluk satu atau lebih nilai-nilai budaya yang berbeda dengan nilai-nilai
yang ada dalam kebudayaan yang dominan. Kajian ini menjelaskan secara kualitatif deskriptif hambatan
kultural dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Analisis didukung oleh data dan informasi sekunder
yang diperoleh dari berbagai literatur yang relevan.

Kata Kunci: penanggulangan kemiskinan, pembangunan, budaya kemiskinan, memaknai ulang, budaya
tanding.
Abstract
Poverty reduction is the main target of development programs in accordance with the mainstreaming of the
MDGs and SDGs agenda in the National Long-Term Development Plan (RPJPN 2005-2025). The poverty
reduction program initiated by the government has succeeded in reducing the percentage of the poverty rate,
even though nominally the number of poor people is still quite high. Poverty reduction efforts that have been
and are being carried out are still facing various challenges in the cultural values of the Indonesian people.
On the one hand, development so far has not been able to "free" the poor because of cultural factors that
shackle them. On the other hand, a culture of poverty becomes an outlet for the poor who are powerless to
face the grip of capitalism. The characteristic character of poverty in Indonesian society demands a balanced
structural and cultural approach. Cultural values in society that lead to a change in mindset to alleviate
poverty need to be raised in poverty reduction policy programs by first re-interpreting these cultural values.
It is necessary to create a "counter culture", which is to create a part of the population of a society that
strongly adheres to or embraces one or more cultural values that are different from the values that exist in
the dominant culture. This study describes qualitatively descriptive cultural barriers in poverty reduction in
Indonesia. The analysis is supported by secondary data and information obtained from various relevant
literatures.

Keywords: poverty reduction, development, culture of poverty, redefine, counterculture.

114 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
PENDAHULUAN negara dalam forum resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). SDGs melanjutkan
Menurunkan angka kemiskinan adalah
agenda MDGs, disertai pengembangan menjadi
agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan
17 tujuan pembangunan berkelanjutan dengan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025).
169 target. Perluasan cakupan agenda ini
Hal ini sejalan dengan Agenda Pembangunan
diharapkan mampu untuk lebih tanggap atas
Milenium, deklarasi yang diadopsi 189 negara,
penyebab utama kemiskinan serta kebutuhan
lahir dari kesepakatan 147 kepala pemerintahan
universal. Tujuan SDGs mencakup tiga dimensi
dan kepala negara pada Konferensi Tingkat
dari pembangunan berkelanjutan, yaitu
Tinggi (KTT) Millenium di New York,
pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, serta
September 2000. Deklarasi ini diberi tajuk
perlindungan terhadap lingkungan. Pendekatan
“Tujuan Pembangunan Millenium” (Millenium
SDGs ini memperkuat pencapaian sasaran
Development Goals – MDGs), yang terdiri dari
agenda MDGs, tertuju pada sasaran akhir
8 tujuan: (1) Menanggulangi kemiskinan dan
mengentaskan kemiskinan di tahun 2030 dengan
kelaparan ekstrim; (2) Mewujudkan pendidikan
semangat “no one left behind” (Alisjahbana dan
dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan
Murniningtyas, 2018).
gender dan pemberdayaan perempuan (4)
Menurunkan angka kematian anak; (5) Penanggulangan kemiskinan di Indonesia
Meningkatkan kesehatan ibu hamil; (6) dinilai cukup berhasil menurunkan persentase
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit penduduk miskin hingga berada pada angka 9 -
lainnya; (7) Memastikan kelestarian lingkungan; 11 persen. Angka kemiskinan tercatat 10,12
dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk persen pada September 2017, pada periode yang
pembangunan. Delapan tujuan itu diukur dengan sama turun menjadi 9,82 persen pada 2018,
target kualitatif dan kuantitatif, dengan rentang kembali turun menjadi 9,41 persen pada 2019,
waktu perhitungan mulai tahun 1990 dan namun mengalami lonjakan ke angka 9,78
diharapkan tercapai pada tahun 2015 (BPS dan persen pada Maret 2020 (BPS, 2020). Periode
UNICEF, 2009). Semester 1 2020 menjadi semacam anomali,
ketika pandemi COVID-19 melanda seluruh
Secara keseluruhan, hingga tahun 2015
dunia yang mengakibatkan lonjakan angka
pencapaian MDGs di Indonesia adalah 71
kemiskinan, di mana banyak penduduk pada
persen, di mana dari total 72 indikator, 51
posisi rentan miskin yang kembali jatuh miskin.
indikator berhasil tercapai. Tujuan MDGs ketiga
Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut
dan keempat semua indikatornya berhasil
hingga 1-2 tahun mendatang karena resesi
dicapai, dengan masing-masing sebanyak tujuh
ekonomi telah memperlambat pertumbuhan
dan empat indikator. Sementara sasaran MDGs
ekonomi sehingga menambah beban pemerintah
yang indikatornya paling banyak belum tercapai
dalam penanggulangan kemiskinan.
adalah kesatu dan ketujuh yakni masing-masing
sebanyak tujuh dan enam indikator (Alisjahbana Selama tiga tahun terakhir dalam kondisi
dan Murniningtyas, 2018). sebelum pandemi, jika dicermati lebih jauh,
jumlah penduduk miskin secara nominal tidak
Pada 21 Oktober 2015 dideklarasikan
jauh mengalami penurunan. Menurunnya
SDG’s (Sustainable Development Goals)
tingkat kemiskinan pada September 2019
sebagai tujuan pembangunan bersama sampai
sebesar 0,19 persen dibandingkan dengan Maret
tahun 2030. Disepakati dan diadopsi oleh 193

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 115


Johan Arifin
2019 dan menurun 0,44 persen terhadap Pendekatan dalam penanggulangan
September 2018 belum menggambarkan kemiskinan selama ini dinilai masih banyak
kesuksesan penanggulangan kemiskinan. kekurangan, diantaranya: pertama, masih
Menurut ekonom senior INDEF, Enny Sri berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek
Hartati, penurunan ini hanya mencerminkan lain kemiskinan multidimensional; kedua, lebih
turunnya kemiskinan absolut. Penurunan itu bernuansa karitatif (bantuan sosial) daripada
belum sebanding dengan anggaran program produktivitas; ketiga, lebih memposisikan
penanggulangan kemiskinan yang lebih dari masyarakat miskin sebagai obyek daripada
Rp100 triliun (ekonomi.bisnis.com, 2020). subyek; keempat, pemerintah masih sebagai
penguasa (program terpusat yang seragam, top-
Diperlukan kajian lebih mendalam, bahwa
down) daripada fasilitator. Wajah kemiskinan
meskipun telah banyak program dan kebijakan
yang multidimensional memerlukan pendekatan
digulirkan (strategi struktural) dengan dukungan
yang seimbang antara ekonomi dan non
anggaran yang tidak sedikit, penanggulangan
ekonomi. Dengan kata lain, pemenuhan
kemiskinan masih belum berjalan dengan hasil
kebutuhan pokok memang perlu mendapat
yang optimal. Wajah kemiskinan yang
prioritas, namun perlu juga mengatasi
dipengaruhi oleh banyak faktor
kemiskinan dari faktor non-ekonomi. Strategi
(multidimensional), sangat dimungkinkan
pengentasan kemiskinan perlu diarahkan pada
karena sebab-sebab kultural (strategi budaya)
mengikis nilai-nilai budaya yang negatif seperti
masih menjadi salah satu bagian dari hambatan
apatis, apolitis, fatalistik, merasa tidak berdaya,
penanggulangan kemiskinan.
dan lain-lain (Huraerah, 2005).
Penanggulangan kemiskinan selama ini
Penanggulangan kemiskinan memerlukan
berpijak pada konsep kemiskinan dari Badan
kajian yang mendalam dan akurat untuk
Pusat Statistik (BPS). Untuk mengukur
merumuskan strategi terbaik, yang diawali
kemiskinan, BPS menggunakan konsep
dengan mengenali secara mendalam karakter
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic
dasar masyarakat dan penyebab kemiskinan itu
needs approach). Kemiskinan dipandang
sendiri. Penyamaan persepsi yang tepat tentang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi
konsep, indikator serta target prioritas
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
penanggulangan kemiskinan, menjadi dasar
bukan makanan yang diukur dari sisi
penyusunan kebijakan yang tepat sasaran.
pengeluaran. Jadi “penduduk miskin” adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran Kajian-kajian tentang penanggulangan
per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan kemiskinan telah banyak dilakukan, di antaranya
(BPS, 2020). Dari konsep ini maka banyak menjelaskan sebab-sebab kemiskinan
konsekuensinya adalah penanggulangan dari sudut pandang struktural. Pembangunan
kemiskinan dominan menggunakan skema ekonomi yang tidak adil membawa dampak pada
peningkatan pendapatan untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan yang parah, di
beban pengeluaran penduduk miskin. Dengan mana kebijakan pemerintah tidak berpihak pada
demikian, ukuran-ukuran dimensi ekonomi si miskin (Syawie, 2011). Hal ini erat kaitannya
adalah prioritas utama dan tujuan dengan sebagian besar program pemerintah
penanggulangan kemiskinan itu sendiri, untuk penanggulangan kemiskinan yang tidak
dibandingkan dimensi lain, misalnya faktor begitu berhasil karena terjadi penyimpangan
budaya. dalam pelaksanaan dari rencana mereka
(Prawoto, 2009). Sementara pemberdayaan

116 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
masyarakat miskin dirasakan belum berjalan disentuh seperti adat-istiadat, tradisi, kebiasaan
dengan baik untuk mengentaskan masyarakat normatif, moral, etika, gagasan, ilmu
miskin karena desain program yang kurang pengetahuan, dan lain-lain (Joesoef, 1996).
tajam (Sutikno et al, 2015). Warisan kebudayaan secara turun-
Kajian-kajian yang membahas tentang temurun dijadikan oleh kelompok masyarakat
hambatan-hambatan budaya dalam sebagai pegangan hidup dan kebiasaan
penanggulangan kemiskinan belum banyak kelompok masyarakat. Demikian halnya yang
dilakukan. Padahal, faktor kultural (budaya) dirumuskan Oscar Lewis dengan mengamati
memiliki andil yang relatif seimbang dengan perilaku masyarakat miskin dan budayanya.
faktor struktural sebagai penyebab kemiskinan Budaya kemiskinan dalam pandangan Oscar
di Indonesia. Kajian tentang budaya kemiskinan Lewis mencakup apa yang diyakini (nilai-nilai),
menjadi penting dilakukan mengingat program respons dalam tindakan (sikap), dan abstraksi-
anti kemiskinan akan lebih efektif digulirkan abstraksi dari kelakuan (pola-pola kelakuan)
jika sejalan dengan budaya yang eksis di yang berlangsung terus-menerus. Lewis
masyarakat melalui pendayagunaan potensi, mengidentifikasi budaya kemiskinan merupakan
sumberdaya dan budaya lokal (Royat, 2007). suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum
miskin terhadap kedudukan marginal mereka
Budaya secara umum bisa dilihat sebagai
dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat
ciptaan manusia yang berkembang dan dimiliki
individualistis berciri kapitalistik, yang
suatu kelompok masyarakat, kemudian
kemungkinan besar dimiliki oleh kelompok
dikembangkan menjadi suatu kebiasaan aktifitas
masyarakat yang berstrata rendah dan
turun-temurun. Kebudayaan dimaknai sebagai
mengalami perubahan sosial yang drastis
suatu sistim simbolik atau sistim perlambangan
(Lewis, 1959). Perilaku yang mencirikan budaya
(Kaplan, 2012). Sutrisno (2005) menguraikan
kemiskinan ini dijalankan secara turun-temurun
budaya dalam berbagai sudut, yaitu: (1) secara
antar generasi, sehingga menghambat suatu
deskriptif adalah totalitas komprehensif yang
kelompok dalam mayarakat tertentu untuk
menyusun keseluruhan hidup manusia; (2)
keluar dari garis kemiskinan.
secara historis adalah warisan yang turun-
temurun; (3) secara normatif adalah aturan hidup Wujud budaya kemiskinan misalnya
dan gugus nilai; (4) secara psikologis adalah terdapat pada masyarakat pemulung di kawasan
piranti pemecahan masalah yang membuat perkotaan. Terdapat wujud budaya yang
orang bisa hidup dan berinteraksi; (5) secara diwariskan dari generasi ke generasi di
struktural adalah abstraksi yang berbeda dari perkampungan kumuh, antara lain
perilaku konkret; dan (6) budaya lahir dari ketergantungan dengan tengkulak/pengepul,
interaksi antar manusia dan terwariskan kepada singkatnya masa anak-anak, rendahnya
generasi berikutnya. partisipasi dan integrasi pada pranata
masyarakat (Wahyudi dan Handoyo, 2014).
Sementara menurut Daoed Joesoef budaya
adalah sistem nilai yang dihayati, dan segala Tulisan ini merupakan kajian dengan
sesuatu yang mencirikan budaya adalah pendekatan deskriptif kualitatif tentang budaya
kebudayaan. Nilai itu meliputi: (1) sesuatu yang kemiskinan. Teori Oscar Lewis tentang Culture
berbentuk atau berwujud dan dapat disentuh of Poverty ditampilkan sebagai konsep awal
seperti bangunan, karya seni, dan lain-lain; (2) untuk melihat eksistensi budaya kemiskinan di
sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak dapat Indonesia. Lewis memahami budaya

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 117


Johan Arifin
kemiskinan sebagai suatu sub-kebudayaan yang Suparlan (1984) mengatakan bahwa kemiskinan
diwarisi dari generasi ke generasi. Menurut merupakan suatu keadaan kekurangan harta atau
Lewis (1959) kemiskinan bukan hanya masalah benda berharga yang diderita oleh seseorang
kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan
kelangkaan sumber daya. Budaya kemiskinan harta atau benda tersebut maka seseorang atau
dalam beberapa hal bersifat positif karena sekelompok orang itu merasa kurang mampu
memberikan jalan keluar bagi kaum miskin membiayai kebutuhan-kebutuhan hidupnya
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. dengan layak. Ketidakmampuan tersebut bisa
jadi hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan
Kajian ini bertujuan untuk
budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika),
mendiskripsikan beberapa nilai-nilai budaya
atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-
dalam masyarakat perkotaan yang menjadi
kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi
tantangan penanggulangan kemiskinan. Data
dan berinteraksi antar sesama) atau pada tingkat
dan informasi yang digunakan dalam kajian ini
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar
adalah data sekunder yang dikumpulkan dari
(makan-minum, pakaian, tempat tinggal,
hasil penelusuran literatur dan dokumentasi
kesehatan). Dengan demikian, kemiskinan
sumber-sumber lain yang relevan. Penelusuran
merupakan kondisi tidak terpenuhinya
literatur dilakukan berdasarkan atas karya
kebutuhan dasar yang menjadi syarat
tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang
kesejahteraan individu.
telah maupun yang belum dipublikasikan. Pada
metode penelusuran literatur, penelusuran Pandangan lain tentang kemiskinan
pustaka tidak hanya untuk langkah awal disampaikan oleh Gunawan Sumodiningrat yang
menyiapkan kerangka penelitian tapi sekaligus merumuskan tentang profil kemiskinan
memanfaatkan sumber-sumber kepustakaan itu (Sumodiningrat et al., 1999). Ia
untuk memperoleh data penelitian (Zed, 2014). menggarisbawahi bahwa timbulnya kemiskinan
Data dan informasi tersebut selanjutnya bukan saja masalah kesejahteraan (welfare),
dianalisis secara deskriptif. akan tetapi memuat berbagai sisi bahasan, yaitu:
pertama, masalah kemiskinan adalah masalah
PEMBAHASAN kerentanan (vulnerability). Misalnya adalah
pembangunan bidang pertanian yang telah
Kemiskinan: Beberapa Konsep Kunci
mampu meningkatkan pendapatan petani cukup
Kemiskinan telah menjadi kajian menarik signifikan, meskipun seandainya jika terjadi
seiring perkembangan ilmu-ilmu sosial. Laju musim kering berturut-turut dalam beberapa
industrialisasi dan berkembangnya berbagai tahun, maka tingkat kesejahteraan petani akan
konsep pembangunan ekonomi mendorong anjlok sampai titik yang terendah. Faktor alam
berbagai kajian sosial utamanya tentang dalam contoh ini menjadi penyumbang
dampaknya terhadap bertambahnya penduduk kerentanan nasib petani.
miskin. Studi tentang kemiskinan di Indonesia
Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya
mendapatkan momentum terbaiknya dengan
akses pada kesempatan-kesempatan kerja. Hal
gencarnya pemerintah Orde Baru melakukan
ini akibat dari hubungan produksi dalam
pembangunan di segala bidang termasuk di
masyarakat yang tidak memberikan kesempatan
dalamnya upaya penanggulangan kemiskinan.
akses untuk berpartisipasi dalam aktivitas
Beberapa ahli ilmu sosial di Indonesia produksi, atau sekalipun mereka bekerja tetapi
mengemukakan tentang konsep kemiskinan. mereka terjebak dalam hubungan produksi yang

118 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
eksploitatif, yang menuntut kerja keras dalam menghambat kemajuan dan harapan-harapan
jam kerja yang panjang dengan imbalan yang mereka di masa depan.
rendah dan tidak layak. Mubyarto (1995) memberikan definisi
Ketiga, kemiskinan adalah masalah kemiskinan adalah suatu situasi serba
ketidakpercayaan, perasaan impotensi kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam
emosional dan sosial menghadapi elit desa dan bentuk rendahnya pendapatan dan disebabkan
para birokrat dalam menentukan keputusan yang oleh rendahnya ketrampilan, produktivitas,
menyangkut dirinya tanpa memberikan lemahnya nilai tukar produksi dan terbatasnya
kesempatan untuk mengaktualisasikan kesempatan berperan serta dalam pembangunan.
ketidakberdayaan menghadapi penyakit, Rendahnya pendapatan penduduk miskin
kematian, kekumuhan, dan kekotoran. menyebabkan rendahnya produktivitas dan
meningkatkan beban ketergantungan bagi
Keempat, kemiskinan berarti
masyarakat.
menghabiskan semua atau sebagian besar
penghasilan golongan miskin untuk konsumsi Menurut Sajogyo (dalam Suyanto, 2013),
pangan dengan kuantitas dan kualitas yang kemiskinan bisa diukur dengan membuat suatu
terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka amat batasan atau klasifikasi kemiskinan, yakni: (1)
rendah yang mengakibatkan produktifitas dan Perkotaan, seseorang disebut miskin apabila
etos kerja mereka rendah pula. Di samping itu mengkonsumsi beras kurang dari 420 kilogram
juga akan menghasilkan ketahanan fisik yang per tahunnya; (2) Perdesaan, seseorang disebut
juga rendah. miskin apabila mengkonsumsi beras 320
kilogram per tahun, miskin sekali 240 kilogram
Kelima, kemiskinan ditandai oleh
per tahun dan paling miskin apabila
tingginya rasio ketergantungan, karena
mengkonsumai beras kurang dari 180 kilogram
banyaknya anggota keluarga dan beberapa
per tahunnya. Pengeluaran makanan merupakan
diantaranya masih balita atau bahkan lansia. Hal
fungsi dari Pendapatan, dimana Bank Dunia
ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi
mendefinisikan kemiskinan dalam standar
yang akan mengganggu tingkat kecerdasan
ukuran kemiskinan secara global, yakni
mereka, sehingga dalam kompetisi merebut
kemiskinan merupakan perihal keadaan
peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-
kekurangan dengan pendapatan minimum US$1
anak kaum miskin akan berada pada pihak yang
per orang per hari (Albornoz, 2007).
lemah.
Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan
Keenam, kemiskinan terefleksikan dalam
definisi kemiskinan untuk standar di Indonesia
budaya kemiskinan, yang diwariskan dari satu
sebagai keadaan atau kondisi kurang sejahtera
generasi ke generasi berikutnya. Penghapusan
yang dihitung dalam Rupiah per kapita per
physical poverty (kemiskinan yang kasat mata:
bulan. Di sisi yang lain, Kebutuhan Fisik
sandang, pangan, papan, sarana dan pra-sarana
Minimum (KFM) sebagai tolok ukur definisi
lingkungan, dan lain-lain) tidak secara otomatis
kemiskinan diterjemahkan sebagai kondisi
akan menghapuskan culture of poverty (budaya
kekurangan kebutuhan hidup (makanan,
kemiskinan: sikap mental, etos kerja, tingkat
minuman, pakaian, rumah) selama satu bulan
pendidikan, dan lain-lain). Budaya kemiskinan
berdasarkan jumlah kalori, protein, vitamin dan
yang terwariskan secara turun temurun antar
bahan mineral lainnya yang diperlukan untuk
generasi ini cenderung menghambat motivasi
hidup layak seorang pekerja. Kebutuhan
untuk melakukan mobilitas ke atas. Itu berarti

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 119


Johan Arifin
konsumsi harus memenuhi 2100 kalori per hari Mahbub ul Haq dalam bukunya Poverty
(kelompok makanan) ditambah dengan Curtain, 1976 (alih bahasa: “Tirai Kemiskinan,
kebutuhan (bukan makanan) minimal lainnya Tantangan Pembangunan untuk Dunia Ketiga”:
yang mencakup perumahan, pakaian, kesehatan 1983), menyajikan gambaran kondisi ini dalam
dan pendidikan (BPS, 2008). bukunya dengan serangkaian kalimat:
Kemiskinan dan Pembangunan “Tirai kemiskinan telah turun di muka bumi,
membelahnya, dari segi kebendaan dan
Pembangunan ekonomi di samping pandangan hidup, menjadi dunia berbeda, dua
sebagai salah satu upaya memajukan planet terpisah, dua kelompok manusia tidak
kesejahteraan masyarakat, juga dianggap sederajat, yang satu teramat kaya, yang lain
sangat melarat. Batas yang tidak terlihat oleh
sebagai salah satu yang membawa ekses negatif pandangan mata ini, kita jumpai dalam
yakni munculnya kemiskinan. Dorodjatun Negara dan antar Negara”.
Kuntjoro Jakti dalam buku “Kemiskinan di Kemiskinan sebagai ekses negatif dari
Indonesia” menghimpun sejumlah hasil pembangunan selama ini adalah karena ulah
penelitian kependudukan dan masalah para perencana pembangunan dunia itu sendiri.
kemiskinan (Jakti, 1986). Ia melihat masalah Pembangunan di berbagai negara menyebabkan
kemiskinan muncul sebagai dampak dari terbangunnya tirai kemiskinan, membuat para
kebijakan pembangunan khususnya perencana pembangunan menjadi seperti dewa
pembangunan desa-kota yang tidak seimbang, moral dunia yang memberi arah pada dunia baru.
sehingga berdampak pada berkembangnya Tata dunia baru internasional hasil
fenomena kemiskinan. Pembangunan perkotaan pembangunan mengandaikan pola hubungan
yang didukung oleh industrialisasi yang masif interaksi antar negara dalam melakukan
telah melahirkan sebuah dorongan masyarakat pemenuhan hajat hidup masing-masing
desa untuk berurbanisasi dan beralih profesi berlangsung dengan penuh keadilan (ul Haq,
menjadi buruh-buruh di sektor industri 1976).
perkotaan. Pada sisi lain sektor pertanian di desa
yang kekurangan tenaga kerja membawa Jalannya pembangunan yang membawa
dampak negatif pada menurunnya ketahanan ekses pada ketimpangan ini memerlukan revisi
pangan yang secara alami ditopang oleh yang mendasar secara konseptual. Mahbub ul
produksi di pedesaan. Haq mengemukakan pandangan baru dengan
mengajukan delapan ide mendasar terhadap pola
Fenomena semacam ini menjadi karakter pembangunan utamanya untuk mengangkat
khas dari negara-negara dunia ketiga yang derajat si miskin, yakni: Pertama, pembangunan
mengalami periode transisi modernisasi yang dengan berfokus pada pertumbuhan Gross
ditandai dengan munculnya pusat-pusat industri National Product (GDP) seringkali tidak sampai
baru. Namun, hadirnya industri justru merusak ke masyarakat bawah. Yang lebih dibutuhkan
akar fundamental ekonomi utamanya di adalah penanganan langsung atas kemiskinan
pedesaan yang berkarakter agraris beralih dan orang miskin itu sendiri. Kedua, mekanisme
menjadi berorientasi kerja sebagai buruh pada pasar seringkali mengalami kesenjangan akibat
pabrik-pabrik di perkotaan karena dianggap pembagian pendapatan dan kekayaan yang
lebih menjanjikan dan bercitarasa modern. berlaku secara tidak adil, padahal pasar
Pembangunan yang justru menyebabkan bukanlah pemberi arah yang dapat diandalkan
semakin melebarnya kesenjangan menjadi untuk menentukan tujuan-tujuan nasional suatu
sebuah kritik tajam pada dekade 1970-an. bangsa. Ketiga, model pembangunan harus lebih

120 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
manusiawi, sehingga bukan manusia yang peningkatan kesejahteraan dan kebebasan.
semata-mata menjadi obyek pembangunan Pertumbuhan ekonomi dengan demikian
tetapi pembangunanlah yang harus diarahkan tidaklah menjadi dasar yang kuat untuk
untuk melibatkan dan mensejahterakan mengukur tingkat kemajuan suatu negara.
sebanyak mungkin manusia di dalamnya. Karena bagaimanapun pembangunan
Keempat, perubahan kelembagaan lebih merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat
menentukan daripada sekedar perubahan standar (expansion of people's capability) dan lebih jauh
harga kebutuhan pokok manusia untuk lagi pembangunan merupakan pembebasan
menyusun strategi pembangunan yang lebih (development as freedom) (Sen, 1999).
tepat. Kelima, model baru pembangunan harus Kebebasan yang dimaksud adalah
berpijak pada tujuan memuaskan kebutuhan kebebasan yang bersifat instrumental
pokok manusia dan bukan mengutamakan (instrumental freedoms) meliputi: (1)
permintaan pasar semata. Keenam, kebijakan Kebebasan Politik (Political Freedoms); (2)
tentang pembagian dan penyediaan lapangan Fasilitas Ekonomi (Economic Facilities); (3)
kerja harus menjadi bagian yang tak terpisahkan Peluang Sosial (Social Opportunities); (4)
dari setiap rencana produksi, bukan Jaminan Transparansi (Transparency
mendahulukan produksi terlebih dahulu Guarantees); (5) Keamanan Protektif
kemudian baru membaginya. Ketujuh, (Protective Security).
menaikkan produktivitas orang-orang miskin
dengan mengarahkan penanaman modal ke Rumusan Sen mengarah pada pentingnya
sektor-sektor pro-miskin dalam masyarakat. mengutamakan pencapaian peningkatan
Kedelapan, hubungan kekuasaan politik dan kesejahteraan sosial dan penghormatan atas hak
ekonomi umumnya harus dirombak dan disusun asasi manusia dalam praktik-praktik
kembali agar pembangunan dapat lebih tersebar pembangunan. Rumusan ini memberikan
luas di masyarakat (ul Haq, 1976). kontribusi mendasar dalam konsep “welfare
economics” dan mengembangkan pemikiran
Lontaran pemikiran Mahbub ul Hag empat keberpihakan pada sisi kemanusiaan dalam
dekade silam ini ternyata masih relevan hingga mengatasi problem-problem ekonomi untuk
saat ini, yaitu pentingnya mengedepankan nilai- memajukan kesejahteraan sosial. Pengingkaran
nilai kemanusiaan dalam kebijakan atas hak asasi manusia menjadi kendala dalam
pembangunan. Strategi pembangunan dewasa pembangunan manusia, karena sebetulnya
ini diarahkan untuk “membangun manusia jaminan akan hak asasi manusia dapat
seutuhnya” selaras dengan tujuan utama mengurangi resiko bencana sosial ekonomi. Hal
Milennium Development Goals (MDGs) dan ini dapat berjalan dengan baik manakala
Sustainable Development Goals (SDGs), yakni masyarakat memiliki sarana atau akses untuk
mengentaskan sebanyak mungkin masyarakat menyampaikan aspirasi, memperoleh
miskin dari jurang kemiskinan ekstrim. kesempatan yang luas untuk mendapatkan
Kritik ul Haq tersebut sejalan dengan informasi dan pengajaran sehingga bisa
Amartya Sen memberikan pandangan bahwa membuka wawasan dan kesadaran akan hak-hak
pembangunan semestinya berfokus pada mereka.
memajukan kesejahteraan dan meningkatkan
kebebasan manusia. Peningkatan pendapatan
(income) sebagai salah satu parameter, hanya
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 121


Johan Arifin
Kemiskinan: Antara Penyebab Struktural UMKM) sebagian di antaranya juga masuk
dan Kultural golongan ini.
Kemiskinan dilihat dari penyebabnya, Patut diakui perjalanan penanggulangan
secara umum dibedakan menjadi dua yakni kemiskinan masih menghadapi banyak
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. tantangan baik struktural maupun kultural. Di
Keduanya bisa ditemui dan menemukan porsi satu sisi struktur masyarakat dan pola
yang seimbang dalam kondisi sosial masyarakat penguasaan sumber-sumber ekonomi yang tidak
Indonesia. merata menjadi hambatan struktural sehingga
memicu kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Pada awal era Orde Baru yang
Pada sisi lain kemiskinan kultural menjadi
memfokuskan agenda pada pembangunan
kenyataan yang masih berkembang dan tanpa
ekonomi, Himpunan Indonesia untuk
disadari melembaga dalam masyarakat
Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS), 13-17
Indonesia.
November 1979 di Malang, melakukan sebuah
kajian ilmiah melalui sebuah seminar Masalah kemiskinan dalam sudut pandang
mengusung tema besar pembangunan sosial kultural (budaya) bukan hanya terkait dengan
ekonomi. Hasil kajian ini disebut-sebut menjadi masalah kelangkaan sumber-sumber ekonomi,
salah satu rumusan penting tentang ketidakadilan distribusi sarana produksi, atau
“Kemiskinan Struktural”. dominasi akses modal finansial oleh golongan
tertentu saja. Di samping kendala struktural,
Hasil kajian tentang kemiskinan struktural
masalah kemiskinan menyangkut sikap mental,
tersebut selaras dengan rumusan Sosiolog
pola perilaku, dan pilihan sikap yang berasal dari
terkemuka Indonesia, Selo Soemardjan yang
state of mind (pola pikir dan sikap mental) yang
berpendapat bahwa kemiskinan struktural terjadi
tak mampu berjalan beriringan dengan semangat
pada individu miskin bukan karena malas
perubahan, kemajuan, dan peningkatan status
bekerja atau tidak berpenghasilan, tetapi lebih
serta kualitas kehidupan. Kajian antropologi
disebabkan struktur sosial masyarakat yang ada
pembangunan memunculkan sebuah ungkapan:
membatasi hak-hak mereka untuk mengakses
“poverty is a state of willingness rather than
sumber-sumber ekonomi yang tersedia untuk
scarcity” (kemiskinan lebih pada masalah
mereka (Soemardjan, 1980). Kelompok
kemauan daripada kelangkaan sumber daya).
masyarakat pada kondisi seperti itu umumnya
sadar bahwa nasibnya berbeda dengan golongan Salah satu tantangan paling berat dalam
masyarakat lain. Menurut Soemardjan, masuk upaya penanggulangan kemiskinan adalah
dalam golongan ini para petani yang tidak punya mengubah budaya masyarakat yang lekat
lahan atau lahan garapannya terlalu kecil, dengan kemiskinan, atau Oscar Lewis
sehingga seberapa giatpun mereka bekerja, menyebutnya sebagai Culture of Poverty
penghasilannya tidak akan mencukupi. (budaya kemiskinan). Lewis memberi
Termasuk juga dalam golongan ini para pekerja penegasan tentang budaya kemiskinan
yang tidak terdidik dan terlatih (unskilled (Suparlan, 1984): “Lebih mudah menghapuskan
labores) yang menghambat mereka memasuki kemiskinan daripada budaya kemiskinan.”
pasar kerja. Pengusaha bermodal kecil dan tanpa Menurut Lewis, Culture of Poverty bisa
fasilitas dari pemerintah (sering disebut dimaknai sebagai suatu sub-kebudayaan hasil
kalangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah – adaptasi dan reaksi kaum miskin terhadap
kedudukan marginal mereka dimana

122 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
kebudayaan tersebut cenderung melanggengkan marginal mereka di dalam masyarakat yang
dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan berstrata kelas, sangat individualistik, dan
tersebut mencerminkan upaya mengatasi berciri kapitalistik. Sebagian masyarakat yang
keputusasaan dari keinginan untuk sukses di tergolong miskin konsisten pada nilai-nilai
dalam kehidupan sesuai dengan nilai dan tujuan tradisional dan menolak modernisasi untuk
masyarakat yang lebih luas. Ia berpandangan melindungi komunitasnya dari penetrasi
bahwa kemiskinan bukan hanya masalah kapitalisme.
kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau Beberapa suku tradisional di Indonesia
kelangkaan sumber daya, melainkan muncul bisa menjadi contoh, misalnya Suku Badui
sebagai sikap mental yang kurang mampu Dalam di Banten, komunitas Samin di Jawa
mengikuti perubahan. Tengah bagian utara, dan Suku Anak Dalam di
Kebudayaan ini terdapat pada mereka Sumatera. Konsistensi beberapa komunitas ini
yang berasal dari strata sosial paling rendah, untuk tetap hidup secara subsisten (hanya
sedang mengalami perubahan pesat dan yang memenuhi kebutuhan sendiri) dan menolak
telah terasing dari masyarakat tersebut. Adapun industrialisasi merupakan suatu pilihan sikap
ciri-ciri budaya ini (Lewis, 1959) adalah: (1) secara sadar. Mempertahankan adat istiadat dan
Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum kelestarian lingkungan sementara ini masih
miskin ke dalam lembaga-lembaga utama menjadi alasan yang paling kuat. Pilihan
masyarakat. Mereka umumnya berpenghasilan tindakan semacam ini di satu sisi merupakan
rendah namun mengakui nilai-nilai kelas pilihan paling rasional di tengah keterbatasan
menengah ada pada diri mereka. Mereka sangat pengetahuan dan sumberdaya manusia pada
sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status masa lalu. Namun di sisi lain, perkembangan
namun tidak memiliki kesadaran kelas; (2) Di zaman tidaklah mungkin dibendung dan pilihan
tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah berikutnya adalah menyesuaikan diri atau
bobrok, penuh sesak, bergerombol dan tergilas oleh laju zaman itu sendiri.
rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga Masyarakat modern kerap kali menyebut
inti; (3) Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa tindakan ini sebagai wujud budaya kemiskinan
kanak-kanak yang singkat dan kurang karena penolakan terhadap modernisasi dan
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, hidup memilih untuk tetap “miskin”. Perspektif
bersama/ kawin bersyarat, tingginya jumlah manusia modern mensyaratkan masyarakat yang
perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung maju haruslah mengadopsi teknologi mutakhir
matrilineal dan otoritarianisme, kurangnya hak- yang tercermin dari pola mekanisasi industri
hak pribadi, solidaritas semu; (4) Di tingkat barang dan jasa. Dalam konteks ini kebudayaan
individu, ditandai dengan kuatnya perasaan tak kemiskinan bisa dimaknai sebagai: (1)
berharga, tak berdaya, ketergantungan dan Penolakan terhadap kapitalisme; Budaya
rendah diri (fatalisme). kemiskinan sebagai bentuk ketidakberdayaan
Meskipun demikian, dalam beberapa hal menghadapi kekuatan ekonomi kapitalisme
budaya kemiskinan justru bisa bersifat positif yang telah mengeksploitasi kehidupan
karena menjadi jalan keluar bagi kaum miskin sekelompok orang; (2) Sebagai proses adaptasi;
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Kemiskinan sebagai proses adaptasi keluarga
Budaya kemiskinan merupakan adaptasi atau miskin karena perubahan sistem ekonomi dari
penyesuaian dan sekaligus juga merupakan tradisional ke kapitalisme dalam memenuhi
reaksi kaum miskin terhadap kedudukan kebutuhannya; (3) Sebagai sub budaya sendiri;

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 123


Johan Arifin
Kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor dari bantuan pemerintah. Kebiasaan ini membudaya
dalam diri individu sendiri dan kelompok dan menjadi suatu bentuk pilihan adaptasi yang
miskin, misalnya; malas, fatalisme, rendah diri, rasional dalam upaya mengatasi kemiskinan.
ketergantungan dan lainnya (Lewis, 1959). Namun, sesungguhnya di balik itu, sikap ini
merupakan bentuk kecemburuan sosial ketika
Lewis menambahkan, wujud Culture of
merespon program-program penanggulangan
Poverty dapat ditemukan dalam beberapa
kemiskinan dari pemerintah yang bersifat
karakter kondisi masyarakat seperti: sistem
karitatif dan langsung. Bahkan respon ini juga
ekonomi uang, buruh upahan dan sistem
dikaitkan dengan hak dan kewajiban sebagai
produksi berorientasi keuntungan (profit
warga negara (Harianto, 2015).
oriented); tingkat pengangguran dan setengah
pengangguran tinggi; upah buruh rendah yang Pendapat lain tentang budaya kemiskinan
tak lebih sekedar cukup untuk bertahan hidup; dikemukakan oleh Mudjahirin Thohir bahwa
tidak berhasilnya golongan berpenghasilan budaya kemiskinan terkait dengan pemahaman
rendah mendayagunakan organisasi sosial, keagamaan yang keliru, yaitu cara pandang
ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun jabariyah, di mana keberadaan nasib diri
atas prakarsa pemerintah; sistem keluarga seseorang (jatuh miskin) dimaknai sebagai
bilateral yang lebih menonjol; kuatnya takdir Tuhan, bukan disebabkan oleh usaha yang
seperangkat nilai pada kelas yang berkuasa yang kurang optimal dalam mengusahakan
menekankan penumpukan kekayaan disertai penghidupan sehari-hari (Thohir, 2005). Dari
anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sisi sosial, orang dengan pemahaman seperti ini
sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi menjustifikasi dirinya sebagai orang yang
(kemalasan). memang digariskan dengan rejeki yang hanya
sebesar itu. Dalam ungkapan budaya Jawa
Pemaknaan atas budaya kemiskinan di
dikenal dengan istilah “trah wadahe cilik”
Indonesia pada era sekarang ini berkaitan erat
(keturunan dengan penghasilan kecil). Dari sisi
dengan pelaksanaan program-program
budaya, mereka cenderung menikmati
penanggulangan kemiskinan. Pemberian
kemiskinannya itu, sehingga muncul ungkapan
berbagai program bantuan sosial yang bersifat
“luwih becik mikul dawet kanthi rengeng-
charity sesungguhnya benar-benar ditujukan
rengeng, tinimbang numpak Mercy nanging
bagi orang miskin agar terpenuhi hak-hak
mbrebes mili” (lebih baik membawa minuman
dasarnya dan menjadi lebih berdaya lepas dari
cendol sambil berdendang daripada naik mobil
budaya kemiskinan yang membelenggu mereka.
Mercy tapi sambil menangis). Dengan justifikasi
Namun, pilihan kebijakan penanggulangan
keagamaan kalangan abangan di Jawa
kemiskinan semacam ini ternyata memunculkan
menyatakan dengan istilah “donya kuwi
fenomena baru tentang budaya kemiskinan.
nerakane wong Islam, surgane wong kafir”
Sugeng Harianto (2015) dalam sebuah
(dunia itu nerakanya orang islam, surganya
penelitian di Jawa Timur menemukan fakta
orang kafir), sebuah ungkapan yang tak lebih
menarik tentang budaya kemiskinan. Program-
sebagai penghibur diri dan wujud kepasrahan
program anti kemiskinan selama ini selain tidak
atas kekalahan (fatalistik).
efektif menurunkan jumlah orang miskin, justru
memunculkan kemiskinan baru dengan adanya Karakteristik budaya kemiskinan seperti
fenomena kalangan tertentu yang “memiskinkan di atas yang lebih cenderung pada sikap pasrah
diri”. Sebagian kalangan masyarakat seolah- dan kurang produktif ini tidak sejalan dengan
olah berpura-pura miskin agar mendapatkan karakter manusia modern. Alex Inkeles dan

124 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
David Smith dalam Becoming Modern, sebagai pendorong berkembang pesatnya
menggambarkan ciri-ciri manusia modern yaitu kapitalisme modern.
terbuka terhadap pengalaman dan ide baru, Pemahaman nilai keagamaan semacam ini
punya kesanggupan merencanakan, percaya tentunya punya pengaruh positif mendorong
bahwa manusia bisa menguasai alam kemajuan atau dengan kata lain mendorong
mengutamakan kerja keras, memiliki dorongan masyarakat untuk menjadi tidak miskin. Islam
untuk maju, mengejar pencapaian prestasi, dan sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia
berorientasi pada masa sekarang dan juga masa perlu menemukenali nilai-nilai dasar di
depan (Inkeles dan Smith, 1974). Inkeles dalamnya seperti contoh ungkapan
menemukan bahwa pendidikan tiga kali lebih “beribadahlah seperti engkau akan mati esok
kuat untuk mengubah manusia dibandingkan hari, namun bekerjalah seperti engkau akan
yang lainnya. Karakter-karakter tersebut hidup selamanya”.
mempertegas kesimpulan bahwa faktor internal
yakni mentalitas orang miskin turut memiliki Budaya Kemiskinan dan Tantangan Upaya
andil sangat penting dalam masalah kemiskinan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
sebanding dengan faktor eksternal atau masalah Penyebab kemiskinan di Indonesia tidak
struktural. bisa hanya dilihat dari satu faktor saja, akan
Pemahaman keagamaan yang cenderung tetapi harus mempertimbangkan berbagai segi
“pasrah pada takdir” ini tentu berbeda dengan (multi dimensional). Baik faktor struktural
upaya peningkatan taraf hidup melalui maupun kultural punya kontribusi yang hampir
pelipatgandaan keuntungan yang menjadi tujuan seimbang. Kemiskinan di Indonesia terlihat
utama kapitalisme. Perkembangnan kapitalisme dengan adanya budaya miskin yang seolah
didorong oleh pemahaman agama yaitu ajaran terpelihara dalam masyarakat, seperti kurangnya
Protestan di Eropa. Dalam karya fenomenalnya semangat untuk memperbesar penghasilan,
“The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism”, sekalipun hal ini pastilah masih bisa
Max Weber menunjukkan dengan baik diperdebatkan. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan
keterkaitan doktrin agama dengan semangat ekonomi di Indonesia belum mampu membuat
kapitalisme (Weber, 1958). Etika Protestan seluruh lapisan masyarakat terlibat secara setara
memunculkan ajaran yang menyatakan dalam pemenuhan hak-hak dasarnya. Salah satu
seseorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk akibatnya penduduk miskin kesulitan
masuk surga atau neraka. Untuk mengetahui mengakses sumber-sumber modal untuk dapat
apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur memperbesar pendapatan.
melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika Mengatasi hambatan struktural selama ini
seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) lebih dominan menjadi concern para penyusun
maka hampir dapat dipastikan bahwa ia kebijakan penanggulangan kemiskinan.
ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika Bagaimana pemangku kebijakan hendaknya
sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami menyusun program anti kemiskinan,
kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu digambarkan dengan baik oleh Edi Suharto.
ditakdirkan untuk masuk neraka. Pemaknaan Suharto (2005) memberikan pandangan bahwa
atas ajaran Protestan ini terwujud dalam etos penanggulangan kemiskinan dapat dianalogikan
kerja untuk memperoleh kesejahteraan dengan dengan ikan dan kail. Banyak pihak mengatakan
memajukan industri yang berbasis kapitalisme bahwa memberi ikan kepada orang miskin tidak
pada masyarakat Barat. Hal inilah yang diakui dapat menyelesaikan masalah karena hanya

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 125


Johan Arifin
akan menjadikan ketergantungan bagi orang (Mohiuddin, 2005; Kasim, 2005; Yunus 1998,
miskin itu. Kemudian, banyak orang percaya dalam Aryo, 2012).
memberi kail akan lebih baik karena Strategi struktural sebagaimana
menimbulkan jiwa kemandirian. Analogi ini dicontohkan diatas, perlu diimbangi dengan
perlu diperluas, bahwa memberi kail saja strategi berbasis kultural (budaya). Strategi
ternyata tidak cukup dan harus diikuti dengan pengentasan kemiskinan dengan mengatasi
kemampuan untuk memperoleh ikan itu. hambatan budaya memberi peluang keterlibatan
Pendidikan, dalam hal ini pemberian masyarakat awam dalam ikut serta menyusun
keterampilan (capacity building), kemudian strategi-strategi kebudayaan dengan memaknai
menjadi kata kunci dalam proses pemberdayaan ulang nilai-nilai budaya yang telah dan masih
masyarakat miskin. Suharto melanjutkan, eksis di masyarakat. Budaya yang berkembang
setelah orang punya kail dan memiliki harus mampu menjadi semangat kolektif dengan
ketrampilan mengail, tidak dengan serta merta ia melakukan reproduksi atas modal sosial yang
dapat mengumpulkan ikan, jikalau lautan, menjadi kekayaan kultural masyarakat.
sungai dan kolam dikuasai kelompok “elit”.
Harus dipastikan bahwa kolam yang terdapat Kajian untuk menemukenali nilai-nilai
ikan di dalamnya itu masih ada dan bisa diakses dasar budaya masyarakat Indonesia telah banyak
secara adil. Karenanya, penanganan kemiskinan dilakukan. Salah satunya dilakukan Mochtar
memerlukan pendekatan struktural dan makro Lubis (2012). Pada pidatonya tahun 1977, Lubis
kelembagaan. mengemukakan karakter dasar masyarakat
Indonesia dilihat dari sisi budaya, ditandai
Lebih lanjut penanggulangan kemiskinan
dengan beberapa ciri-cirinya yaitu: (1) Hipokrit
harus menyentuh pula pada perubahan struktur atau munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di
ekonomi yang diharapkan lebih berpihak pada belakang. Hal ini dikarenakan adanya kekuatan-
rakyat kecil, mendukung produktivitas dan kekuatan dari luar yang memaksa
mendekatkan pada akses pemasaran. Salah satu menyembunyikan apa yang sesungguhnya
ide yang dikedepankan adalah bagaimana dirasakan atau dipikirkan. Sebab, jika berterus
membuka sebanyak mungkin akses modal untuk terang, takut dikenai sanksi atau dianggap
menggerakkan ekonomi pengusaha kecil membawa bencana. (2) Segan dan enggan
melalui kredit mikro (microfinance). bertanggung jawab atas perbuatannya,
Microfinance diposisikan sebagai sebuah sarana keputusannya, kelakuannya, pikirannya, dan
penanggulangan kemiskinan yang kental dengan sebagainya. Atasan yang bersalah, lebih suka
nuansa ‘sosial-ekonomi’ dan market friendly. menjawab “bukan saya” sambil melimpahkan
Microfinance diharapkan mampu meningkatkan kesalahan kepada bawahan, sementara bawahan
pendapatan dan pada sisi yang lain terdapat berdalih “Saya hanya melaksanakan perintah
lonjakan pengetahuan, ketrampilan dan modal dari atasan”. (3) Jiwa feodal. Di masyarakat kita
sosial dari para anggotanya (Aryo, 2012). lebih dikenal dengan istilah asal bapak senang
Microfinance dimaksudkan untuk merubah (ABS). ABS ini melahirkan, “yang berkuasa
“lingkaran setan” kemiskinan “low income, no sangat tidak suka mendengar kritik, dan orang
savings, no investment, lower income”, menjadi lain amat segan untuk melontarkan kritik
spiral kesejahteraan yaitu “an expanding system terhadap atasan”. (4) Masih percaya takhayul.
of low income, access to credit, investment, Takhayul direproduksi di era modern dengan
higher income, small savings, and still more istilah-istilah “sakti”, seperti: Nekolim, Vivere
credit lending to even higher income” Pericoloso, Berdikari, Tritura, Ampera, Orde

126 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
Baru, the rule of law, insan pembangunan, dan masyarakat harus dibudayakan untuk bersikap
sebagainya. Tidak jarang konsep dan istilah jujur sehingga pemerintah dapat mengukur
tertentu sengaja diciptakan penguasa tanpa pencapaian program-program anti-kemiskinan
operasionalisasi yang jelas sehingga cenderung secara akurat. Sementara pada sisi lain para
sekedar jargon kosong. (5) Manusia Indonesia teknokrat diharapkan berani mengambil sikap
itu artistik. Ciri ini menjadi yang paling menarik tegas atas kualitas pencapaian dengan
dan mempesonakan serta merupakan sumber menjunjung tinggi kaidah-kaidah keilmuan
dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia sehingga tidak sekedar mengafirmasi
Indonesia. (6) Manusia Indonesia memiliki keberlangsungan program-program tersebut
karakter yang lemah. Ciri ini masih dapat kita dengan dalih perluasan akses untuk masyarakat
temui sampai sekarang. Manusia Indonesia miskin.
kurang kuat mempertahankan dan Meskipun demikian selain ciri-ciri di atas,
memperjuangkan keyakinannya. Karenanya di Mochtar Lubis menyampaikan juga beberapa
kalangan terpelajar muncul istilah “pelacuran kelebihan manusia Indonesia yang bisa
intelektual”. dijadikan sebagai modal utama bagi kemajuan
Karakter negatif manusia Indonesia yang bangsa ini, antara lain: kasih bapak kepada anak-
hipokrit menurut Mochtar Lubis tersebut, anaknya (paternalistik), pada dasarnya berhati
relevan dengan respon sebagian masyarakat atas lembut dan suka damai; punya selera humor
program-program bantuan sosial pemerintah yang cukup baik; cepat belajar dan otaknya
seperti temuan Sugeng Harianto pada bagian cukup encer. Sifat-sifat itu, menurutnya bisa
sebelumnya. Saat-saat tertentu menjelang menjadi modal manusia Indonesia untuk
bantuan akan digulirkan, sering ditandai dengan berkembang.
munculnya fenomena “naiknya” angka Kajian lain terhadap pengaruh nilai-nilai
kemiskinan. Pendataan penerima bantuan selain budaya terhadap kemiskinan diantaranya
menambah penerima baru juga melanjutkan dilakukan oleh antropolog terkemuka Indonesia,
penerima sebelumnya dan hampir bisa Koentjaraningrat. Ia menyebut beberapa budaya
dipastikan jumlah penerima akan bertambah. kemiskinan sebagai mentalitas yang
Menjadi sulit bagi pemerintah untuk berkembang dalam masyarakat Indonesia,
mengurangi jumlah penerima bantuan karena seperti masyarakat yang pasrah dengan
sebetulnya ada sebagian masyarakat itu tidak keadaannya (nrimo ing pandum) dan
lagi berhak menerima bantuan. Padahal, menganggap bahwa mereka miskin karena
paradigma pemberian bantuan untuk faktor keturunan, yang tidak bisa diubah
memberdayakan masyarakat miskin seharusnya (takdir). Beberapa mentalitas dominan bangsa
hanyalah stimulus agar tumbuh kemampuan Indonesia menurut Koenjtaraningrat, yaitu: (1)
untuk menanggung beban hidup mereka sendiri. Meremehkan waktu; (2) Suka menerabas; (3)
Lebih memprihatinkan lagi manakala Tidak percaya diri; (4) Tidak disiplin; (5) Suka
penambahan jumlah penerima bantuan dianggap mengorbankan tanggung jawab
menjadi salah satu “prestasi” aparat pemerintah (Koentjaraningrat, 1983).
setempat untuk kepentingan politik sesaat.
Beberapa karakter nilai budaya yang
Fenomena semacam ini semestinya tidak diungkapkan para ilmuwan sosial tersebut perlu
perlu terjadi jika masyarakat menjauhkan diri
dimaknai ulang dalam era modern sekarang ini.
dari sikap hipokrit atau munafik yang jelas-jelas Mengatasi budaya yang dominan itu, perlu
jauh dari nilai-nilai keadilan. Pada satu sisi

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 127


Johan Arifin
diciptakan “budaya tanding”, yaitu dialog yang produktif agar sesuai dengan
memunculkan sebagian dari populasi suatu konteks potensi wilayah dan budaya lokal
masyarakat yang secara kuat menganut atau masyarakat setempat.
memeluk satu atau lebih nilai-nilai budaya yang Maka dalam hal ini, pihak dari luar diri
berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat miskin diletakkan pada posisi
kebudayaan yang dominan (Sujono, 2013). fasilitator pemberdayaan, bukan lagi aktor
Budaya tanding dalam konteks nilai-nilai utama pengusung program yang bersifat top-
budaya kemiskinan, bisa dimunculkan beberapa down. Masyarakat miskin perlu diberi
di antaranya: (1) Budaya hipokrit dilawan kesempatan lebih luas dan bahkan didorong
dengan budaya jujur dan lugas; (2) Budaya untuk mengorganisasi diri agar bisa
feodal dilawan dengan budaya egaliter; (3) menemukenali potensi diri dan kemudian
Budaya meremehkan waktu dilawan dengan menyusun rencana aksi untuk pemberdayaan
budaya menghargai waktu (time is money); (4) diri mereka sendiri.
Budaya suka menerabas dilawan dengan budaya
antri; (5) Budaya ceroboh dilawan dengan Perlunya kesadaran berorganisasi ini
budaya disiplin. Beberapa nilai budaya ini bisa sejalan dengan saran Lewis bahwa untuk
menjadi bekal awal pemahaman akan potensi menghilangkan budaya kemiskinan orang-orang
nilai-nilai budaya yang lebih progresif miskin perlu bersatu dalam suatu organisasi.
mendorong kemajuan. Lewis (1966) menulis dalam buku The Study of
Slum Culture - Backgrounds for La Vida seperti
Setelah satu generasi berlalu sejak berikut:
Mochtar Lubis menyampaikan pidatonya di
1977 itu, ciri-ciri manusia Indonesia masih “Any movement - be it religious, pacifist, or
revolutionary - that organizes and gives hope
sama bahkan berkembang dalam format lain. to the poor and effectively promotes solidarity
Kejujuran merupakan hal yang langka dalam and a sense of identification with larger
dinamika kehidupan masyarakat Indonesia groups, destroys the psychological and social
yang hipokrit, padahal salah satu nilai utama core of the culture of proverty”.
profetik adalah kejujuran (Ekawati dan Katrini, (Setiap gerakan baik itu gerakan bersifat
2018). Kesimpulan ini menjadi menjadi satu religius, pasifis, ataupun revolusioner yang
mengorganisasikan dan memberikan harapan
keprihatinan di tengah upaya kita melakukan bagi si miskin dan secara efektif
perubahan perilaku kearah kemajuan. mempromosikan solidaritas dan perasaan
identitas yang sama dengan kelompok
Upaya penanggulangan kemiskinan lebih masyarakat yang lebih luas, akan
bernilai strategis dengan melibatkan keluarga menghancurkan (masalah) psikologis dan
miskin dan komunitasnya untuk secara mandiri sosial utama (yang merupakan ciri) dari
mengatasi masalah berangkat dari potensi budaya kemiskinan).
wilayah dan budaya lokal yang mereka miliki.
Pemaknaan ulang atas nilai-nilai budaya dalam PENUTUP
masyarakat bisa dimulai dari identifikasi atas Budaya kemiskinan dalam
potensi lokal yang selaras dengan semangat penanggulangan kemiskinan di Indonesia
pemberdayaan masyarakat. Input dari luar yang muncul mengiringi kompleksitas perkembangan
masuk dalam proses pemberdayaan harus struktur masyarakat kita. Kebijakan
mengacu pada kebutuhan dan desain aksi yang penanggulangan kemiskinan selain
dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan
komunitasnya. Proses ini dilakukan melalui orang miskin, harus pula menyertakan nilai-nilai

128 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
budaya menjadi modal dasar semangat Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis
pengentasan kemiskinan itu sendiri. Tantangan mengajukan saran untuk dapat ditindaklanjuti
utamanya adalah bagaimana membuat dalam kajian-kajian berikutnya. Pemaknaan
masyarakat bisa menyadari bahwa mereka ulang atas nilai-nilai budaya yang telah eksis dan
miskin karena sebab-sebab budaya yang upaya memunculkan budaya baru yang sesuai
mempengaruhi pola pikir dan menghambat semangat zaman perlu menjadi kajian lebih
kemajuan (adanya kemiskinan kultural). lanjut para ilmuwan sosial. Penelitian tentang
Perilaku yang tidak produktif bisa dikaitkan budaya kemiskinan di Indonesia bisa bertolak
dengan adanya perilaku boros, atau perilaku dari konsep Oscar Lewis untuk melihat sejauh
mengedepankan gengsi dalam masyarakat. mana budaya menjadi faktor penghambat atau
Ritual-ritual adat yang berlebihan dan sebaliknya pendorong kemajuan. Kondisi sosial
memerlukan biaya besar misalnya, bisa menjadi ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin
titik masuk untuk dimaknai ulang menjadi komplek dengan pola industrialisasi kapitalistik
budaya positif yang mendorong kemajuan. Di menemukan relevansinya dengan kondisi
sinilah dituntut peran lebih besar para pemuka masyarakat di Amerika Latin, tempat di mana
agama dan tokoh-tokoh adat untuk memaknai teori ini bermula. Karakter khas masyarakat
ulang pemahaman masyarakat atas nilai-nilai Indonesia memberikan warna tersendiri
dasar itu. sehingga pemahaman akan budaya kemiskinan
akan mengalami penyempurnaan secara empiris.
Menyimpulkan dari pemaparan di atas,
ada beberapa sifat-sifat manusia Indonesia yang Upaya penanggulangan kemiskinan
berkembang menjadi nilai-nilai budaya hendaknya lebih memperhitungkan potensi
kemiskinan dalam masyarakat yang masih wilayah dan budaya lokal sehingga
berlangsung hingga sekarang dengan segala meminimalkan resistensi terhadap nilai-nilai
modifikasinya. Sifat hipokrit terlihat dari budaya masyarakat setempat. Penulis
sebagian masyarakat kita yang sangat pragmatis, mengajukan satu rumusan dasar pelibatan
di mana mereka memilih “menjadi miskin” agar beberapa potensi masyarakat yang di antaranya
bisa menerima program bantuan sosial dengan bisa dimulai dengan: pertama, meningkatkan
dalih ikut menikmati “uang negara”. Kebiasaan kapasitas institusi agama dan adat untuk
suka menerabas mengambil jalan pintas berperan aktif dalam menemukenali nilai-nilai
mewujud dalam penggunaan jalur tidak resmi budaya yang mendorong kemajuan; kedua,
pada birokrasi layanan publik yang berkembang menata kembali sistem sosial dan budaya
menjadi perilaku koruptif dalam berbagai segi masyarakat, dan merevitalisasi sistem nilai lokal
kehidupan. Warisan nilai feodal “asal bapak yang memungkinkan diadopsi dalam program-
senang” membuat pelaksanaan program- program penanggulangan kemiskinan; ketiga,
program pemerintah tidak mencapai hasil memberi kesempatan lebih luas bahkan
optimal sesuai harapan. Lemahnya dorongan mendorong orang-orang miskin mengorganisasi
berkompetisi (nrimo) untuk melakukan ekspansi diri agar mampu mengenali potensi kulturalnya
usaha menjadi salah satu sebab kurangnya untuk mengentaskan diri dari kemiskinan;
keberhasilan program-program pemberdayaan keempat, menjadikan upaya penanggulangan
ekonomi. Hal-hal tersebut menjadi penghambat kemiskinan sebagai bagian dari gerakan kultural
dalam upaya penanggulangan kemiskinan di melalui institusi-institusi lokal yang telah eksis;
Indonesia. kelima, menyeimbangkan antara pendekatan
kultural dengan pendekatan ekonomi dalam

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 129


Johan Arifin
desain program-program penanggulangan https://www.bps.go.id/pressrelease/
kemiskinan untuk memberikan penghargaan 2019/07/15/1629/persentase-penduduk-
lebih pada nilai-nilai kemanusiaan. miskin-maret-2019-sebesar-9-41-
persen.html. Diakses 20 Agustus 2020
Patut diakui, menghilangkan kemiskinan
fisik semata tidaklah cukup jika tidak diiringi Badan Pusat Statistik. (2019). Kemiskinan dan
perubahan mindset tentang nilai-nilai budaya Ketimpangan.
yang cenderung melanggengkan kemiskinan. https://www.bps.go.id/subject/23/kemiski
Pada sisi lain, tindakan-tindakan yang bersifat nan-dan-ketimpangan.html. Diakses 22
struktural perlu terus didorong agar penguasaan September 2020.
atas sumber-sumber ekonomi dan faktor-faktor BPS dan UNICEF. (2009). Membumikan
produksi lainnya lebih merata. Peningkatan taraf Milennium Development Goals (MDGs)
hidup si miskin diarahkan agar mereka “naik di Seantero Nusantara. Jakarta: Badan
kelas” ke dalam golongan masyarakat kelas Pusat Statistik
menengah dengan kemampuan untuk mandiri, Ekawati, M. & Katrini Y.E. 2018. Merefleksi
berpikiran maju dan lepas dari hambatan- Sifat Manusia Indonesia Menurut
hambatan kultural yang menghambat kemajuan. Mohctar Lubis Pada Era Revolusi
Tidak kalah penting upaya terstruktur perlu Industry 4.0. Pertemuan Ilmiah Bahasa
ditingkatkan untuk mengorganisasi dan dan Sastra Indonesia (PIBSI) XL
memberdayakan kaum miskin agar membuat ekonomi.bisnis.com. (2020). Penurunan
mereka mempunyai perasaan bahwa mereka Angka Kemiskinan Belum Pantas
memiliki kekuatan dan kepemimpinan untuk
Dibanggakan.
lepas dari belenggu kemiskinan, karena pada https://ekonomi.bisnis.com/read/202001
hakekatnya “Tuhan tidak akan mengubah nasib 16/9/1190803/penurunan-angka-
suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah kemiskinan-belum-pantas-dibanggakan.
nasibnya sendiri”. Diakses 22 September 2020.
Harianto, S. (2015). Relasi Orang Miskin dan
DAFTAR PUSTAKA
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan.
Albornoz, M.A. et al. (2007). Menuju Bali: Makalah Seminar Nasional Riset
Kesejahteraan dalam Masyarakat Hutan: Inovatif (SENARI) III.
Buku Panduan untuk Pemerintah Daerah. Huraerah, A. (2005). Strategi Penanggulangan
Bogor: Cifor Kemiskinan. Jurnal Paradigma Polistaat
Alisjahbana, A.S. & Murniningtyas, E. (2018). Universitas Pasundan Bandung. Vol. 6
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di No. 2 Tahun 2005.
Indonesia: Konsep, Target dan Strategi Inkeles, A. & Smith. D.H. (1974). Becoming
Implementasi. Bandung: Unpad Press Modern. Cambridge: Harvard University
Aryo, B. (2012). Is it the Magic Bullet? Micro- Press.
finance untuk Penanggulangan Joesoef, D. (1996). Era Kebudayaan:
Kemiskinan. Jakarta: Makalah Seminar Pemberdayaan Manusia dalam
Badan Pusat Statistik. (2019). Profil Perkembangan Zaman. Tulisan dalam
Kemiskinan di Indonesia Maret 2019, buku Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan
PersentasePenduduk Miskin Maret 2019 dan Implementasi. Onny S, Prijono, et
Sebesar 9,41 persen.

130 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
all. Jakarta: Center for Strategic and Sen, A. (1999). Development as Freedom. New
International Studies. York : Alfred Knof.
Kaplan, D. & Manners, A.A. (2012). Teori Sujono, M. Herdyanto. (2013). Budaya Tanding
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Orang Muda.
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan, https://www.kompasiana.com/dendisujon
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: o/552bfa006ea83441098b4578/budaya-
Gramedia tanding-dan-orang-muda
Kuntjoro Jakti, D. (1986). Kemiskinan di Diakses 11 September 2020.
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Suharto, E. (2005). Analisis Kebijakan Publik:
Obor Indonesia. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Lewis, O. (1959). Five Families; Mexican Case Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Studies in the Culture of Poverty. (alih Suharto, E. (2005). Konsep Kemiskinan dan
bahasa: Lewis, Oscar. 2016. Kisah Lima Strategi Penanggulangannya. Jakarta:
Keluarga; Telaah-Telaah Kasus Orang Agenda Strategi DEPSOS RI
Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Sumodiningrat, G, Santoso, B., Maiwan, M.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. (1999). Kemiskinan: Teori, Fakta dan
Lewis, O. (1959). A Study of Slum Culture: Kebijakan. Jakarta: IMPAC.
Backgrounds for La Vida. New York: Suparlan, Parsudi. et al. (1984). Kemiskinan di
Random House Perkotaan, Bacaan Untuk Antropo-logi
Lubis, M. (2012). Manusia Indonesia (sebuah Perkotaan. Jakarta: Penerbit Sinar
pertanggungan jawab). Jakarta: Yayasan Harapan dan Yayasan Pustaka Obor
Pustaka Obor Indonesia. Indonesia.
Mubyarto. (1995). Program IDT dan Sutrisno, M. dan Putranto, H. (2005). Teori-
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Aditya Media Kanisius.
Mubyarto. (1996). Ekonomi Rakyat dan Suyanto, B. (2013). Anatomi Kemiskinan dan
Program IDT. Yogyakarta: Aditya Strategi Penanganannya. Malang:
Media. Penerbit Intrans Publishing.
Prawoto, N. (2009). Memahami Kemiskinan Syawie, M. (2011). Kemiskinan dan
dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Kesenjangan, Jurnal Informasi
Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vol. 9 Kementerian Sosial. Vol. 16 No. 03
No. 01 Tahun 2009. Tahun 2011.
Royat, S. (2007). Kebijakan Pemerintah Dalam Sutikno, S., Soejono, E., Rumiati, A. (2015).
Penanggulangan Kemiskinan. Materi Pemilihan Program Pengentasan
Assisten Deputi Menko Kesra Bidang Kemiskinan Melalui Pengembangan
Penanggulangan Kemiskinan pada Model Pemberdayaan Masyarakat
Seminar Nasional: Meningkatkan Peran dengan Pendekatan Sistem. Jurnal
Sektor Pertanian Dalam Pe-nanggulangan Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah
Kemiskinan, tanggal 21 Agustus 2007 di Ekonomi dan Pembangunan. Vol. 11
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan No.3 Tahun 2015
Kebijakan Pertanian, Departemen
Pertanian. Bogor.

Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia, 131


Johan Arifin
Thohir, M. (2005). Makalah Advokasi
Anggaran yang Pro Poor. Semarang
ul Haq, M. (1976). Poverty Curtain. (alih
bahasa: ul Haq, Mahbub. 1983. Tirai
Kemiskinan, Tantangan Pembangunan
untuk Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia).
Weber, M. (1958). The Protestant Ethic and
The Spirit of Capitalism. New York:
Charles Scribner’s Sons.
Wahyudi, S.F. & Handoyo, P. (2014). Budaya
Kemiskinan Masyarakat Pemulung.
Jurnal Paradigma. Volume 02 Nomor 02
Tahun 2014
Zed, M. (2014). Metode Penelitian
Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.

132 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial

Anda mungkin juga menyukai