Johan Arifin
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI
Gd. Cawang Kencana Lt. 2, Jl. Mayjen Sutoyo, Kav. 22 Cawang, Jakarta Timur, Indonesia
E-mail: masjohan81@gmail.com
Abstrak
Penanggulangan kemiskinan menjadi sasaran utama program pembangunan sesuai dengan pengarusutamaan
agenda MDGs dan SDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025).
Program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah berhasil menurunkan persentase angka
kemiskinan, meskipun secara nominal jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi. Upaya penanggulangan
kemiskinan yang pernah dan sedang dijalankan masih menghadapi berbagai tantangan dalam nilai-nilai
budaya masyarakat Indonesia. Pada satu sisi pembangunan selama ini belum bisa “membebaskan” si miskin
karena faktor budaya yang membelenggu. Pada sisi lain budaya kemiskinan menjadi pelampiasan masyarakat
miskin yang tidak berdaya menghadapi cengkraman kapitalisme. Karakter khas kemiskinan masyarakat
Indonesia menghendaki pendekatan struktural dan kultural secara seimbang. Nilai-nilai budaya dalam
masyarakat yang mendorong pada perubahan pola fikir menanggulangi kemiskinan perlu diangkat dalam
program kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan lebih dulu memaknai ulang nilai-nilai budaya
tersebut. Perlu diciptakan “budaya tanding”, yaitu memunculkan sebagian dari populasi suatu masyarakat
yang secara kuat menganut atau memeluk satu atau lebih nilai-nilai budaya yang berbeda dengan nilai-nilai
yang ada dalam kebudayaan yang dominan. Kajian ini menjelaskan secara kualitatif deskriptif hambatan
kultural dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Analisis didukung oleh data dan informasi sekunder
yang diperoleh dari berbagai literatur yang relevan.
Kata Kunci: penanggulangan kemiskinan, pembangunan, budaya kemiskinan, memaknai ulang, budaya
tanding.
Abstract
Poverty reduction is the main target of development programs in accordance with the mainstreaming of the
MDGs and SDGs agenda in the National Long-Term Development Plan (RPJPN 2005-2025). The poverty
reduction program initiated by the government has succeeded in reducing the percentage of the poverty rate,
even though nominally the number of poor people is still quite high. Poverty reduction efforts that have been
and are being carried out are still facing various challenges in the cultural values of the Indonesian people.
On the one hand, development so far has not been able to "free" the poor because of cultural factors that
shackle them. On the other hand, a culture of poverty becomes an outlet for the poor who are powerless to
face the grip of capitalism. The characteristic character of poverty in Indonesian society demands a balanced
structural and cultural approach. Cultural values in society that lead to a change in mindset to alleviate
poverty need to be raised in poverty reduction policy programs by first re-interpreting these cultural values.
It is necessary to create a "counter culture", which is to create a part of the population of a society that
strongly adheres to or embraces one or more cultural values that are different from the values that exist in
the dominant culture. This study describes qualitatively descriptive cultural barriers in poverty reduction in
Indonesia. The analysis is supported by secondary data and information obtained from various relevant
literatures.
114 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
PENDAHULUAN negara dalam forum resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). SDGs melanjutkan
Menurunkan angka kemiskinan adalah
agenda MDGs, disertai pengembangan menjadi
agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan
17 tujuan pembangunan berkelanjutan dengan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025).
169 target. Perluasan cakupan agenda ini
Hal ini sejalan dengan Agenda Pembangunan
diharapkan mampu untuk lebih tanggap atas
Milenium, deklarasi yang diadopsi 189 negara,
penyebab utama kemiskinan serta kebutuhan
lahir dari kesepakatan 147 kepala pemerintahan
universal. Tujuan SDGs mencakup tiga dimensi
dan kepala negara pada Konferensi Tingkat
dari pembangunan berkelanjutan, yaitu
Tinggi (KTT) Millenium di New York,
pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, serta
September 2000. Deklarasi ini diberi tajuk
perlindungan terhadap lingkungan. Pendekatan
“Tujuan Pembangunan Millenium” (Millenium
SDGs ini memperkuat pencapaian sasaran
Development Goals – MDGs), yang terdiri dari
agenda MDGs, tertuju pada sasaran akhir
8 tujuan: (1) Menanggulangi kemiskinan dan
mengentaskan kemiskinan di tahun 2030 dengan
kelaparan ekstrim; (2) Mewujudkan pendidikan
semangat “no one left behind” (Alisjahbana dan
dasar untuk semua; (3) Mendorong kesetaraan
Murniningtyas, 2018).
gender dan pemberdayaan perempuan (4)
Menurunkan angka kematian anak; (5) Penanggulangan kemiskinan di Indonesia
Meningkatkan kesehatan ibu hamil; (6) dinilai cukup berhasil menurunkan persentase
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit penduduk miskin hingga berada pada angka 9 -
lainnya; (7) Memastikan kelestarian lingkungan; 11 persen. Angka kemiskinan tercatat 10,12
dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk persen pada September 2017, pada periode yang
pembangunan. Delapan tujuan itu diukur dengan sama turun menjadi 9,82 persen pada 2018,
target kualitatif dan kuantitatif, dengan rentang kembali turun menjadi 9,41 persen pada 2019,
waktu perhitungan mulai tahun 1990 dan namun mengalami lonjakan ke angka 9,78
diharapkan tercapai pada tahun 2015 (BPS dan persen pada Maret 2020 (BPS, 2020). Periode
UNICEF, 2009). Semester 1 2020 menjadi semacam anomali,
ketika pandemi COVID-19 melanda seluruh
Secara keseluruhan, hingga tahun 2015
dunia yang mengakibatkan lonjakan angka
pencapaian MDGs di Indonesia adalah 71
kemiskinan, di mana banyak penduduk pada
persen, di mana dari total 72 indikator, 51
posisi rentan miskin yang kembali jatuh miskin.
indikator berhasil tercapai. Tujuan MDGs ketiga
Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut
dan keempat semua indikatornya berhasil
hingga 1-2 tahun mendatang karena resesi
dicapai, dengan masing-masing sebanyak tujuh
ekonomi telah memperlambat pertumbuhan
dan empat indikator. Sementara sasaran MDGs
ekonomi sehingga menambah beban pemerintah
yang indikatornya paling banyak belum tercapai
dalam penanggulangan kemiskinan.
adalah kesatu dan ketujuh yakni masing-masing
sebanyak tujuh dan enam indikator (Alisjahbana Selama tiga tahun terakhir dalam kondisi
dan Murniningtyas, 2018). sebelum pandemi, jika dicermati lebih jauh,
jumlah penduduk miskin secara nominal tidak
Pada 21 Oktober 2015 dideklarasikan
jauh mengalami penurunan. Menurunnya
SDG’s (Sustainable Development Goals)
tingkat kemiskinan pada September 2019
sebagai tujuan pembangunan bersama sampai
sebesar 0,19 persen dibandingkan dengan Maret
tahun 2030. Disepakati dan diadopsi oleh 193
116 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
masyarakat miskin dirasakan belum berjalan disentuh seperti adat-istiadat, tradisi, kebiasaan
dengan baik untuk mengentaskan masyarakat normatif, moral, etika, gagasan, ilmu
miskin karena desain program yang kurang pengetahuan, dan lain-lain (Joesoef, 1996).
tajam (Sutikno et al, 2015). Warisan kebudayaan secara turun-
Kajian-kajian yang membahas tentang temurun dijadikan oleh kelompok masyarakat
hambatan-hambatan budaya dalam sebagai pegangan hidup dan kebiasaan
penanggulangan kemiskinan belum banyak kelompok masyarakat. Demikian halnya yang
dilakukan. Padahal, faktor kultural (budaya) dirumuskan Oscar Lewis dengan mengamati
memiliki andil yang relatif seimbang dengan perilaku masyarakat miskin dan budayanya.
faktor struktural sebagai penyebab kemiskinan Budaya kemiskinan dalam pandangan Oscar
di Indonesia. Kajian tentang budaya kemiskinan Lewis mencakup apa yang diyakini (nilai-nilai),
menjadi penting dilakukan mengingat program respons dalam tindakan (sikap), dan abstraksi-
anti kemiskinan akan lebih efektif digulirkan abstraksi dari kelakuan (pola-pola kelakuan)
jika sejalan dengan budaya yang eksis di yang berlangsung terus-menerus. Lewis
masyarakat melalui pendayagunaan potensi, mengidentifikasi budaya kemiskinan merupakan
sumberdaya dan budaya lokal (Royat, 2007). suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum
miskin terhadap kedudukan marginal mereka
Budaya secara umum bisa dilihat sebagai
dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat
ciptaan manusia yang berkembang dan dimiliki
individualistis berciri kapitalistik, yang
suatu kelompok masyarakat, kemudian
kemungkinan besar dimiliki oleh kelompok
dikembangkan menjadi suatu kebiasaan aktifitas
masyarakat yang berstrata rendah dan
turun-temurun. Kebudayaan dimaknai sebagai
mengalami perubahan sosial yang drastis
suatu sistim simbolik atau sistim perlambangan
(Lewis, 1959). Perilaku yang mencirikan budaya
(Kaplan, 2012). Sutrisno (2005) menguraikan
kemiskinan ini dijalankan secara turun-temurun
budaya dalam berbagai sudut, yaitu: (1) secara
antar generasi, sehingga menghambat suatu
deskriptif adalah totalitas komprehensif yang
kelompok dalam mayarakat tertentu untuk
menyusun keseluruhan hidup manusia; (2)
keluar dari garis kemiskinan.
secara historis adalah warisan yang turun-
temurun; (3) secara normatif adalah aturan hidup Wujud budaya kemiskinan misalnya
dan gugus nilai; (4) secara psikologis adalah terdapat pada masyarakat pemulung di kawasan
piranti pemecahan masalah yang membuat perkotaan. Terdapat wujud budaya yang
orang bisa hidup dan berinteraksi; (5) secara diwariskan dari generasi ke generasi di
struktural adalah abstraksi yang berbeda dari perkampungan kumuh, antara lain
perilaku konkret; dan (6) budaya lahir dari ketergantungan dengan tengkulak/pengepul,
interaksi antar manusia dan terwariskan kepada singkatnya masa anak-anak, rendahnya
generasi berikutnya. partisipasi dan integrasi pada pranata
masyarakat (Wahyudi dan Handoyo, 2014).
Sementara menurut Daoed Joesoef budaya
adalah sistem nilai yang dihayati, dan segala Tulisan ini merupakan kajian dengan
sesuatu yang mencirikan budaya adalah pendekatan deskriptif kualitatif tentang budaya
kebudayaan. Nilai itu meliputi: (1) sesuatu yang kemiskinan. Teori Oscar Lewis tentang Culture
berbentuk atau berwujud dan dapat disentuh of Poverty ditampilkan sebagai konsep awal
seperti bangunan, karya seni, dan lain-lain; (2) untuk melihat eksistensi budaya kemiskinan di
sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak dapat Indonesia. Lewis memahami budaya
118 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
eksploitatif, yang menuntut kerja keras dalam menghambat kemajuan dan harapan-harapan
jam kerja yang panjang dengan imbalan yang mereka di masa depan.
rendah dan tidak layak. Mubyarto (1995) memberikan definisi
Ketiga, kemiskinan adalah masalah kemiskinan adalah suatu situasi serba
ketidakpercayaan, perasaan impotensi kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam
emosional dan sosial menghadapi elit desa dan bentuk rendahnya pendapatan dan disebabkan
para birokrat dalam menentukan keputusan yang oleh rendahnya ketrampilan, produktivitas,
menyangkut dirinya tanpa memberikan lemahnya nilai tukar produksi dan terbatasnya
kesempatan untuk mengaktualisasikan kesempatan berperan serta dalam pembangunan.
ketidakberdayaan menghadapi penyakit, Rendahnya pendapatan penduduk miskin
kematian, kekumuhan, dan kekotoran. menyebabkan rendahnya produktivitas dan
meningkatkan beban ketergantungan bagi
Keempat, kemiskinan berarti
masyarakat.
menghabiskan semua atau sebagian besar
penghasilan golongan miskin untuk konsumsi Menurut Sajogyo (dalam Suyanto, 2013),
pangan dengan kuantitas dan kualitas yang kemiskinan bisa diukur dengan membuat suatu
terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka amat batasan atau klasifikasi kemiskinan, yakni: (1)
rendah yang mengakibatkan produktifitas dan Perkotaan, seseorang disebut miskin apabila
etos kerja mereka rendah pula. Di samping itu mengkonsumsi beras kurang dari 420 kilogram
juga akan menghasilkan ketahanan fisik yang per tahunnya; (2) Perdesaan, seseorang disebut
juga rendah. miskin apabila mengkonsumsi beras 320
kilogram per tahun, miskin sekali 240 kilogram
Kelima, kemiskinan ditandai oleh
per tahun dan paling miskin apabila
tingginya rasio ketergantungan, karena
mengkonsumai beras kurang dari 180 kilogram
banyaknya anggota keluarga dan beberapa
per tahunnya. Pengeluaran makanan merupakan
diantaranya masih balita atau bahkan lansia. Hal
fungsi dari Pendapatan, dimana Bank Dunia
ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi
mendefinisikan kemiskinan dalam standar
yang akan mengganggu tingkat kecerdasan
ukuran kemiskinan secara global, yakni
mereka, sehingga dalam kompetisi merebut
kemiskinan merupakan perihal keadaan
peluang dan kesempatan di masyarakat, anak-
kekurangan dengan pendapatan minimum US$1
anak kaum miskin akan berada pada pihak yang
per orang per hari (Albornoz, 2007).
lemah.
Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan
Keenam, kemiskinan terefleksikan dalam
definisi kemiskinan untuk standar di Indonesia
budaya kemiskinan, yang diwariskan dari satu
sebagai keadaan atau kondisi kurang sejahtera
generasi ke generasi berikutnya. Penghapusan
yang dihitung dalam Rupiah per kapita per
physical poverty (kemiskinan yang kasat mata:
bulan. Di sisi yang lain, Kebutuhan Fisik
sandang, pangan, papan, sarana dan pra-sarana
Minimum (KFM) sebagai tolok ukur definisi
lingkungan, dan lain-lain) tidak secara otomatis
kemiskinan diterjemahkan sebagai kondisi
akan menghapuskan culture of poverty (budaya
kekurangan kebutuhan hidup (makanan,
kemiskinan: sikap mental, etos kerja, tingkat
minuman, pakaian, rumah) selama satu bulan
pendidikan, dan lain-lain). Budaya kemiskinan
berdasarkan jumlah kalori, protein, vitamin dan
yang terwariskan secara turun temurun antar
bahan mineral lainnya yang diperlukan untuk
generasi ini cenderung menghambat motivasi
hidup layak seorang pekerja. Kebutuhan
untuk melakukan mobilitas ke atas. Itu berarti
120 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
manusiawi, sehingga bukan manusia yang peningkatan kesejahteraan dan kebebasan.
semata-mata menjadi obyek pembangunan Pertumbuhan ekonomi dengan demikian
tetapi pembangunanlah yang harus diarahkan tidaklah menjadi dasar yang kuat untuk
untuk melibatkan dan mensejahterakan mengukur tingkat kemajuan suatu negara.
sebanyak mungkin manusia di dalamnya. Karena bagaimanapun pembangunan
Keempat, perubahan kelembagaan lebih merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat
menentukan daripada sekedar perubahan standar (expansion of people's capability) dan lebih jauh
harga kebutuhan pokok manusia untuk lagi pembangunan merupakan pembebasan
menyusun strategi pembangunan yang lebih (development as freedom) (Sen, 1999).
tepat. Kelima, model baru pembangunan harus Kebebasan yang dimaksud adalah
berpijak pada tujuan memuaskan kebutuhan kebebasan yang bersifat instrumental
pokok manusia dan bukan mengutamakan (instrumental freedoms) meliputi: (1)
permintaan pasar semata. Keenam, kebijakan Kebebasan Politik (Political Freedoms); (2)
tentang pembagian dan penyediaan lapangan Fasilitas Ekonomi (Economic Facilities); (3)
kerja harus menjadi bagian yang tak terpisahkan Peluang Sosial (Social Opportunities); (4)
dari setiap rencana produksi, bukan Jaminan Transparansi (Transparency
mendahulukan produksi terlebih dahulu Guarantees); (5) Keamanan Protektif
kemudian baru membaginya. Ketujuh, (Protective Security).
menaikkan produktivitas orang-orang miskin
dengan mengarahkan penanaman modal ke Rumusan Sen mengarah pada pentingnya
sektor-sektor pro-miskin dalam masyarakat. mengutamakan pencapaian peningkatan
Kedelapan, hubungan kekuasaan politik dan kesejahteraan sosial dan penghormatan atas hak
ekonomi umumnya harus dirombak dan disusun asasi manusia dalam praktik-praktik
kembali agar pembangunan dapat lebih tersebar pembangunan. Rumusan ini memberikan
luas di masyarakat (ul Haq, 1976). kontribusi mendasar dalam konsep “welfare
economics” dan mengembangkan pemikiran
Lontaran pemikiran Mahbub ul Hag empat keberpihakan pada sisi kemanusiaan dalam
dekade silam ini ternyata masih relevan hingga mengatasi problem-problem ekonomi untuk
saat ini, yaitu pentingnya mengedepankan nilai- memajukan kesejahteraan sosial. Pengingkaran
nilai kemanusiaan dalam kebijakan atas hak asasi manusia menjadi kendala dalam
pembangunan. Strategi pembangunan dewasa pembangunan manusia, karena sebetulnya
ini diarahkan untuk “membangun manusia jaminan akan hak asasi manusia dapat
seutuhnya” selaras dengan tujuan utama mengurangi resiko bencana sosial ekonomi. Hal
Milennium Development Goals (MDGs) dan ini dapat berjalan dengan baik manakala
Sustainable Development Goals (SDGs), yakni masyarakat memiliki sarana atau akses untuk
mengentaskan sebanyak mungkin masyarakat menyampaikan aspirasi, memperoleh
miskin dari jurang kemiskinan ekstrim. kesempatan yang luas untuk mendapatkan
Kritik ul Haq tersebut sejalan dengan informasi dan pengajaran sehingga bisa
Amartya Sen memberikan pandangan bahwa membuka wawasan dan kesadaran akan hak-hak
pembangunan semestinya berfokus pada mereka.
memajukan kesejahteraan dan meningkatkan
kebebasan manusia. Peningkatan pendapatan
(income) sebagai salah satu parameter, hanya
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
122 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
kebudayaan tersebut cenderung melanggengkan marginal mereka di dalam masyarakat yang
dirinya dari generasi ke generasi. Kebudayaan berstrata kelas, sangat individualistik, dan
tersebut mencerminkan upaya mengatasi berciri kapitalistik. Sebagian masyarakat yang
keputusasaan dari keinginan untuk sukses di tergolong miskin konsisten pada nilai-nilai
dalam kehidupan sesuai dengan nilai dan tujuan tradisional dan menolak modernisasi untuk
masyarakat yang lebih luas. Ia berpandangan melindungi komunitasnya dari penetrasi
bahwa kemiskinan bukan hanya masalah kapitalisme.
kelumpuhan ekonomi, disorganisasi atau Beberapa suku tradisional di Indonesia
kelangkaan sumber daya, melainkan muncul bisa menjadi contoh, misalnya Suku Badui
sebagai sikap mental yang kurang mampu Dalam di Banten, komunitas Samin di Jawa
mengikuti perubahan. Tengah bagian utara, dan Suku Anak Dalam di
Kebudayaan ini terdapat pada mereka Sumatera. Konsistensi beberapa komunitas ini
yang berasal dari strata sosial paling rendah, untuk tetap hidup secara subsisten (hanya
sedang mengalami perubahan pesat dan yang memenuhi kebutuhan sendiri) dan menolak
telah terasing dari masyarakat tersebut. Adapun industrialisasi merupakan suatu pilihan sikap
ciri-ciri budaya ini (Lewis, 1959) adalah: (1) secara sadar. Mempertahankan adat istiadat dan
Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum kelestarian lingkungan sementara ini masih
miskin ke dalam lembaga-lembaga utama menjadi alasan yang paling kuat. Pilihan
masyarakat. Mereka umumnya berpenghasilan tindakan semacam ini di satu sisi merupakan
rendah namun mengakui nilai-nilai kelas pilihan paling rasional di tengah keterbatasan
menengah ada pada diri mereka. Mereka sangat pengetahuan dan sumberdaya manusia pada
sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status masa lalu. Namun di sisi lain, perkembangan
namun tidak memiliki kesadaran kelas; (2) Di zaman tidaklah mungkin dibendung dan pilihan
tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah berikutnya adalah menyesuaikan diri atau
bobrok, penuh sesak, bergerombol dan tergilas oleh laju zaman itu sendiri.
rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga Masyarakat modern kerap kali menyebut
inti; (3) Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa tindakan ini sebagai wujud budaya kemiskinan
kanak-kanak yang singkat dan kurang karena penolakan terhadap modernisasi dan
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, hidup memilih untuk tetap “miskin”. Perspektif
bersama/ kawin bersyarat, tingginya jumlah manusia modern mensyaratkan masyarakat yang
perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung maju haruslah mengadopsi teknologi mutakhir
matrilineal dan otoritarianisme, kurangnya hak- yang tercermin dari pola mekanisasi industri
hak pribadi, solidaritas semu; (4) Di tingkat barang dan jasa. Dalam konteks ini kebudayaan
individu, ditandai dengan kuatnya perasaan tak kemiskinan bisa dimaknai sebagai: (1)
berharga, tak berdaya, ketergantungan dan Penolakan terhadap kapitalisme; Budaya
rendah diri (fatalisme). kemiskinan sebagai bentuk ketidakberdayaan
Meskipun demikian, dalam beberapa hal menghadapi kekuatan ekonomi kapitalisme
budaya kemiskinan justru bisa bersifat positif yang telah mengeksploitasi kehidupan
karena menjadi jalan keluar bagi kaum miskin sekelompok orang; (2) Sebagai proses adaptasi;
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Kemiskinan sebagai proses adaptasi keluarga
Budaya kemiskinan merupakan adaptasi atau miskin karena perubahan sistem ekonomi dari
penyesuaian dan sekaligus juga merupakan tradisional ke kapitalisme dalam memenuhi
reaksi kaum miskin terhadap kedudukan kebutuhannya; (3) Sebagai sub budaya sendiri;
124 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
David Smith dalam Becoming Modern, sebagai pendorong berkembang pesatnya
menggambarkan ciri-ciri manusia modern yaitu kapitalisme modern.
terbuka terhadap pengalaman dan ide baru, Pemahaman nilai keagamaan semacam ini
punya kesanggupan merencanakan, percaya tentunya punya pengaruh positif mendorong
bahwa manusia bisa menguasai alam kemajuan atau dengan kata lain mendorong
mengutamakan kerja keras, memiliki dorongan masyarakat untuk menjadi tidak miskin. Islam
untuk maju, mengejar pencapaian prestasi, dan sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia
berorientasi pada masa sekarang dan juga masa perlu menemukenali nilai-nilai dasar di
depan (Inkeles dan Smith, 1974). Inkeles dalamnya seperti contoh ungkapan
menemukan bahwa pendidikan tiga kali lebih “beribadahlah seperti engkau akan mati esok
kuat untuk mengubah manusia dibandingkan hari, namun bekerjalah seperti engkau akan
yang lainnya. Karakter-karakter tersebut hidup selamanya”.
mempertegas kesimpulan bahwa faktor internal
yakni mentalitas orang miskin turut memiliki Budaya Kemiskinan dan Tantangan Upaya
andil sangat penting dalam masalah kemiskinan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
sebanding dengan faktor eksternal atau masalah Penyebab kemiskinan di Indonesia tidak
struktural. bisa hanya dilihat dari satu faktor saja, akan
Pemahaman keagamaan yang cenderung tetapi harus mempertimbangkan berbagai segi
“pasrah pada takdir” ini tentu berbeda dengan (multi dimensional). Baik faktor struktural
upaya peningkatan taraf hidup melalui maupun kultural punya kontribusi yang hampir
pelipatgandaan keuntungan yang menjadi tujuan seimbang. Kemiskinan di Indonesia terlihat
utama kapitalisme. Perkembangnan kapitalisme dengan adanya budaya miskin yang seolah
didorong oleh pemahaman agama yaitu ajaran terpelihara dalam masyarakat, seperti kurangnya
Protestan di Eropa. Dalam karya fenomenalnya semangat untuk memperbesar penghasilan,
“The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism”, sekalipun hal ini pastilah masih bisa
Max Weber menunjukkan dengan baik diperdebatkan. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan
keterkaitan doktrin agama dengan semangat ekonomi di Indonesia belum mampu membuat
kapitalisme (Weber, 1958). Etika Protestan seluruh lapisan masyarakat terlibat secara setara
memunculkan ajaran yang menyatakan dalam pemenuhan hak-hak dasarnya. Salah satu
seseorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk akibatnya penduduk miskin kesulitan
masuk surga atau neraka. Untuk mengetahui mengakses sumber-sumber modal untuk dapat
apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur memperbesar pendapatan.
melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika Mengatasi hambatan struktural selama ini
seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) lebih dominan menjadi concern para penyusun
maka hampir dapat dipastikan bahwa ia kebijakan penanggulangan kemiskinan.
ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika Bagaimana pemangku kebijakan hendaknya
sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami menyusun program anti kemiskinan,
kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu digambarkan dengan baik oleh Edi Suharto.
ditakdirkan untuk masuk neraka. Pemaknaan Suharto (2005) memberikan pandangan bahwa
atas ajaran Protestan ini terwujud dalam etos penanggulangan kemiskinan dapat dianalogikan
kerja untuk memperoleh kesejahteraan dengan dengan ikan dan kail. Banyak pihak mengatakan
memajukan industri yang berbasis kapitalisme bahwa memberi ikan kepada orang miskin tidak
pada masyarakat Barat. Hal inilah yang diakui dapat menyelesaikan masalah karena hanya
126 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
Baru, the rule of law, insan pembangunan, dan masyarakat harus dibudayakan untuk bersikap
sebagainya. Tidak jarang konsep dan istilah jujur sehingga pemerintah dapat mengukur
tertentu sengaja diciptakan penguasa tanpa pencapaian program-program anti-kemiskinan
operasionalisasi yang jelas sehingga cenderung secara akurat. Sementara pada sisi lain para
sekedar jargon kosong. (5) Manusia Indonesia teknokrat diharapkan berani mengambil sikap
itu artistik. Ciri ini menjadi yang paling menarik tegas atas kualitas pencapaian dengan
dan mempesonakan serta merupakan sumber menjunjung tinggi kaidah-kaidah keilmuan
dan tumpuan harapan bagi hari depan manusia sehingga tidak sekedar mengafirmasi
Indonesia. (6) Manusia Indonesia memiliki keberlangsungan program-program tersebut
karakter yang lemah. Ciri ini masih dapat kita dengan dalih perluasan akses untuk masyarakat
temui sampai sekarang. Manusia Indonesia miskin.
kurang kuat mempertahankan dan Meskipun demikian selain ciri-ciri di atas,
memperjuangkan keyakinannya. Karenanya di Mochtar Lubis menyampaikan juga beberapa
kalangan terpelajar muncul istilah “pelacuran kelebihan manusia Indonesia yang bisa
intelektual”. dijadikan sebagai modal utama bagi kemajuan
Karakter negatif manusia Indonesia yang bangsa ini, antara lain: kasih bapak kepada anak-
hipokrit menurut Mochtar Lubis tersebut, anaknya (paternalistik), pada dasarnya berhati
relevan dengan respon sebagian masyarakat atas lembut dan suka damai; punya selera humor
program-program bantuan sosial pemerintah yang cukup baik; cepat belajar dan otaknya
seperti temuan Sugeng Harianto pada bagian cukup encer. Sifat-sifat itu, menurutnya bisa
sebelumnya. Saat-saat tertentu menjelang menjadi modal manusia Indonesia untuk
bantuan akan digulirkan, sering ditandai dengan berkembang.
munculnya fenomena “naiknya” angka Kajian lain terhadap pengaruh nilai-nilai
kemiskinan. Pendataan penerima bantuan selain budaya terhadap kemiskinan diantaranya
menambah penerima baru juga melanjutkan dilakukan oleh antropolog terkemuka Indonesia,
penerima sebelumnya dan hampir bisa Koentjaraningrat. Ia menyebut beberapa budaya
dipastikan jumlah penerima akan bertambah. kemiskinan sebagai mentalitas yang
Menjadi sulit bagi pemerintah untuk berkembang dalam masyarakat Indonesia,
mengurangi jumlah penerima bantuan karena seperti masyarakat yang pasrah dengan
sebetulnya ada sebagian masyarakat itu tidak keadaannya (nrimo ing pandum) dan
lagi berhak menerima bantuan. Padahal, menganggap bahwa mereka miskin karena
paradigma pemberian bantuan untuk faktor keturunan, yang tidak bisa diubah
memberdayakan masyarakat miskin seharusnya (takdir). Beberapa mentalitas dominan bangsa
hanyalah stimulus agar tumbuh kemampuan Indonesia menurut Koenjtaraningrat, yaitu: (1)
untuk menanggung beban hidup mereka sendiri. Meremehkan waktu; (2) Suka menerabas; (3)
Lebih memprihatinkan lagi manakala Tidak percaya diri; (4) Tidak disiplin; (5) Suka
penambahan jumlah penerima bantuan dianggap mengorbankan tanggung jawab
menjadi salah satu “prestasi” aparat pemerintah (Koentjaraningrat, 1983).
setempat untuk kepentingan politik sesaat.
Beberapa karakter nilai budaya yang
Fenomena semacam ini semestinya tidak diungkapkan para ilmuwan sosial tersebut perlu
perlu terjadi jika masyarakat menjauhkan diri
dimaknai ulang dalam era modern sekarang ini.
dari sikap hipokrit atau munafik yang jelas-jelas Mengatasi budaya yang dominan itu, perlu
jauh dari nilai-nilai keadilan. Pada satu sisi
128 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
budaya menjadi modal dasar semangat Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis
pengentasan kemiskinan itu sendiri. Tantangan mengajukan saran untuk dapat ditindaklanjuti
utamanya adalah bagaimana membuat dalam kajian-kajian berikutnya. Pemaknaan
masyarakat bisa menyadari bahwa mereka ulang atas nilai-nilai budaya yang telah eksis dan
miskin karena sebab-sebab budaya yang upaya memunculkan budaya baru yang sesuai
mempengaruhi pola pikir dan menghambat semangat zaman perlu menjadi kajian lebih
kemajuan (adanya kemiskinan kultural). lanjut para ilmuwan sosial. Penelitian tentang
Perilaku yang tidak produktif bisa dikaitkan budaya kemiskinan di Indonesia bisa bertolak
dengan adanya perilaku boros, atau perilaku dari konsep Oscar Lewis untuk melihat sejauh
mengedepankan gengsi dalam masyarakat. mana budaya menjadi faktor penghambat atau
Ritual-ritual adat yang berlebihan dan sebaliknya pendorong kemajuan. Kondisi sosial
memerlukan biaya besar misalnya, bisa menjadi ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin
titik masuk untuk dimaknai ulang menjadi komplek dengan pola industrialisasi kapitalistik
budaya positif yang mendorong kemajuan. Di menemukan relevansinya dengan kondisi
sinilah dituntut peran lebih besar para pemuka masyarakat di Amerika Latin, tempat di mana
agama dan tokoh-tokoh adat untuk memaknai teori ini bermula. Karakter khas masyarakat
ulang pemahaman masyarakat atas nilai-nilai Indonesia memberikan warna tersendiri
dasar itu. sehingga pemahaman akan budaya kemiskinan
akan mengalami penyempurnaan secara empiris.
Menyimpulkan dari pemaparan di atas,
ada beberapa sifat-sifat manusia Indonesia yang Upaya penanggulangan kemiskinan
berkembang menjadi nilai-nilai budaya hendaknya lebih memperhitungkan potensi
kemiskinan dalam masyarakat yang masih wilayah dan budaya lokal sehingga
berlangsung hingga sekarang dengan segala meminimalkan resistensi terhadap nilai-nilai
modifikasinya. Sifat hipokrit terlihat dari budaya masyarakat setempat. Penulis
sebagian masyarakat kita yang sangat pragmatis, mengajukan satu rumusan dasar pelibatan
di mana mereka memilih “menjadi miskin” agar beberapa potensi masyarakat yang di antaranya
bisa menerima program bantuan sosial dengan bisa dimulai dengan: pertama, meningkatkan
dalih ikut menikmati “uang negara”. Kebiasaan kapasitas institusi agama dan adat untuk
suka menerabas mengambil jalan pintas berperan aktif dalam menemukenali nilai-nilai
mewujud dalam penggunaan jalur tidak resmi budaya yang mendorong kemajuan; kedua,
pada birokrasi layanan publik yang berkembang menata kembali sistem sosial dan budaya
menjadi perilaku koruptif dalam berbagai segi masyarakat, dan merevitalisasi sistem nilai lokal
kehidupan. Warisan nilai feodal “asal bapak yang memungkinkan diadopsi dalam program-
senang” membuat pelaksanaan program- program penanggulangan kemiskinan; ketiga,
program pemerintah tidak mencapai hasil memberi kesempatan lebih luas bahkan
optimal sesuai harapan. Lemahnya dorongan mendorong orang-orang miskin mengorganisasi
berkompetisi (nrimo) untuk melakukan ekspansi diri agar mampu mengenali potensi kulturalnya
usaha menjadi salah satu sebab kurangnya untuk mengentaskan diri dari kemiskinan;
keberhasilan program-program pemberdayaan keempat, menjadikan upaya penanggulangan
ekonomi. Hal-hal tersebut menjadi penghambat kemiskinan sebagai bagian dari gerakan kultural
dalam upaya penanggulangan kemiskinan di melalui institusi-institusi lokal yang telah eksis;
Indonesia. kelima, menyeimbangkan antara pendekatan
kultural dengan pendekatan ekonomi dalam
130 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial
all. Jakarta: Center for Strategic and Sen, A. (1999). Development as Freedom. New
International Studies. York : Alfred Knof.
Kaplan, D. & Manners, A.A. (2012). Teori Sujono, M. Herdyanto. (2013). Budaya Tanding
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Orang Muda.
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan, https://www.kompasiana.com/dendisujon
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: o/552bfa006ea83441098b4578/budaya-
Gramedia tanding-dan-orang-muda
Kuntjoro Jakti, D. (1986). Kemiskinan di Diakses 11 September 2020.
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Suharto, E. (2005). Analisis Kebijakan Publik:
Obor Indonesia. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Lewis, O. (1959). Five Families; Mexican Case Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Studies in the Culture of Poverty. (alih Suharto, E. (2005). Konsep Kemiskinan dan
bahasa: Lewis, Oscar. 2016. Kisah Lima Strategi Penanggulangannya. Jakarta:
Keluarga; Telaah-Telaah Kasus Orang Agenda Strategi DEPSOS RI
Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Sumodiningrat, G, Santoso, B., Maiwan, M.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. (1999). Kemiskinan: Teori, Fakta dan
Lewis, O. (1959). A Study of Slum Culture: Kebijakan. Jakarta: IMPAC.
Backgrounds for La Vida. New York: Suparlan, Parsudi. et al. (1984). Kemiskinan di
Random House Perkotaan, Bacaan Untuk Antropo-logi
Lubis, M. (2012). Manusia Indonesia (sebuah Perkotaan. Jakarta: Penerbit Sinar
pertanggungan jawab). Jakarta: Yayasan Harapan dan Yayasan Pustaka Obor
Pustaka Obor Indonesia. Indonesia.
Mubyarto. (1995). Program IDT dan Sutrisno, M. dan Putranto, H. (2005). Teori-
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Aditya Media Kanisius.
Mubyarto. (1996). Ekonomi Rakyat dan Suyanto, B. (2013). Anatomi Kemiskinan dan
Program IDT. Yogyakarta: Aditya Strategi Penanganannya. Malang:
Media. Penerbit Intrans Publishing.
Prawoto, N. (2009). Memahami Kemiskinan Syawie, M. (2011). Kemiskinan dan
dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Kesenjangan, Jurnal Informasi
Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vol. 9 Kementerian Sosial. Vol. 16 No. 03
No. 01 Tahun 2009. Tahun 2011.
Royat, S. (2007). Kebijakan Pemerintah Dalam Sutikno, S., Soejono, E., Rumiati, A. (2015).
Penanggulangan Kemiskinan. Materi Pemilihan Program Pengentasan
Assisten Deputi Menko Kesra Bidang Kemiskinan Melalui Pengembangan
Penanggulangan Kemiskinan pada Model Pemberdayaan Masyarakat
Seminar Nasional: Meningkatkan Peran dengan Pendekatan Sistem. Jurnal
Sektor Pertanian Dalam Pe-nanggulangan Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah
Kemiskinan, tanggal 21 Agustus 2007 di Ekonomi dan Pembangunan. Vol. 11
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan No.3 Tahun 2015
Kebijakan Pertanian, Departemen
Pertanian. Bogor.
132 Sosio Informa Vol. 6 No. 02, Mei – Agustus, Tahun 2020. Kesejahteraan Sosial