Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

BASIC CARDIAC LIFE SUPPORT

“KONSEP MANAJEMEN AIRWAY I & AIRWAY II”

Disusun Oleh :

KELOMPOK (2)

Nanda Pratiwi (B1F119046)

Asra Zainuddin (B1F119013)

Elis Puspasari (B1F119034)

PROGRAM STUDI D-3 TEKNIK KARDIOVASKULER

UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayat-Nya sehingga kami bisa menyusun makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.

Seperti yang kita ketahui bahwa “Basic cardiac life support” itu sangat penting
bagi kita semua. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
menyusun makalah ini. Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran jika ada
kesalahan dalam makalah kami dan kami mengucapkan terima kasih kepada
bapak Pembina mata kuliah Basic Cardiac Life Support. Atas perhatian dan
waktunya kami sampaikan banyak terima kasih.

Makassar, Desember 2020

Kelompok II

ii
DAFTAR ISI

JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
1.2. RUMUSAN MASALAH 1
1.3. TUJUAN MAKALAH 2
BAB II 3
TINJUAN TEORI 3
2.1. Definisi penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan 3
2.2. Contoh penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan 4
2.3. Cara penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan 7
2.4. Definisi Kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan jalan
nafas10
2.5. Contoh kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan jalan
nafas..............................................................................................…10
2.6. Cara penanganan kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan
jalan nafas………………………………………………………………...13
2.7. Contoh penanganan jalan nafas dengan alat bantu 18
BAB III 19
PENUTUP 19
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 19
Daftar Pustaka 20

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pembebasan Jalan Napas……………………………………......7

Gambar 2.2 A. Tindakan Cross-finger, B. Tindakan Finger sweep………….9

Gambar 2.3 Memeriksa Respon Korban ………………………………………14

Gambar 2.4 Pemeriksaan Nadi Karotis…………………………………………15

Gambar 2.5 Melakukan Komprensi dada ……………………………………...16

Gambar 2.6 Pemberian Nafas Buatan dari Mulut ke Mulut…………………..17

Gambar 2.7 Recovery Position…………………………………………………..17

iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat
sangat tergantung dari kecepatan dan ketetapan dalam
memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien ditemukan maka
semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan
sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.

Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian


yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem
pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem
tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh
dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga
memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan
oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen,
lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu
pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting
dilakukan secara efektif dan efisien.

Tahapan kegiatan dalam penanggulangan penderita gawat


darurat telah mengantisipasi hal tersebut.Pertolongan kepada
pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan
survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei
sekunder.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan penilaian jalan nafas dan sistem
pernafasan ?

1
2. Bagaimana contoh penilaian jalan nafas dan sistem
pernafasan ?
3. Bagaimana cara penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan ?
4. Apa yang dimaksud kegawatan pernafasan dan tatalaksana
sumbatan jalan nafas ?
5. Bagaimana contoh kegawatan pernafasan dan tatalaksana
sumbatan jalan nafas ?
6. Bagaimana cara penanganan kegawatan pernafasan dan
tatalaksana sumbatan jalan nafas ?
7. Bagaimana contoh penanganan jalan nafas dengan alat bantu ?

1.3. TUJUAN MAKALAH


1. Untuk mengetahuidefinisi penilaian jalan nafas dan sistem
pernafasan,
2. Untuk mengetahuicontoh penilaian jalan nafas dan sistem
pernafasan,
3. Untuk memahami Bagaimana cara penilaian jalan nafas dan
sistem pernafasan,
4. Untuk mengetahui definisi dari kegawatan pernafasan dan
tatalaksana sumbatan jalan nafas,
5. Untuk mengetahui contoh kegawatan pernafasan dan
tatalaksana sumbatan jalan nafas,
6. Untuk memahami cara penanganan kegawatan pernafasan dan
tatalaksana sumbatan jalan nafas, dan
7. Untuk mengetahui contoh penanganan jalan nafas dengan alat
bantu.

2
BAB II

TINJUAN TEORI

2.1. Definisi penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan


Manajemen jalan nafas memerlukan penilaian,
mempertahankan dan melindungi jalan nafas dengan memberikan
oksigenase dan ventilasi yang efektif. Manajemen jalan nafas
adalah tindakan yang dikerjakan untuk melapangkan atau
membebaskan jalan nafas dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal, yang bertujuan untuk membebaskan saluran nafas untuk
menjamin keluar masuknya udara ke paru secara normal sehingga
menjamin kecakupan oksigen dalam tubuh.Tubuh memiliki
simpanan oksigen yang terbatas dan cepat habis dalam satu kali
berheni nafas.

Oksigenase dan ventilasi merupakan tujuan esensial dari


manajemen jalan nafas. Ventilasi yang tidak adekuat dapat
disebabkan oleh beberapa hal. Pasien dengan napas spontan
dapat terjadi obstruksi jalan napas oleh karena makanan, darah,
sekresi mukus berlebih dan obstruksi oleh jaringan sekitarnya
akibat berkurangnya tonus farigeal. Pasien yang sadar dengan
obstruksi saluran nafas akan tampak distress napas yang lebih
jelas, hal ini mungkin obstruksi akibat benda asing, pembengkakan
jaringan akibat infeksi, edema laring, tumor ataupun spame laring.
Pada pasien yang tidak sadar meskipun pernafasan spontan tetap
berisiko terjadi aspirasi cairan/bahan dari lambung. Pasien tidak
sadar harus dijamin jalan napas tetap lapang dan terjaga bila perlu
dengan pemasangan ventilator mekanik.

3
2.2. Contoh penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk
mengembalikan fungsi pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang
mengalami henti napas dan henti jantung yang tidak diharapkan
mati pada saat itu.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan
oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat,
tenggelam ,inhalasi asp/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda
asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung,
radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan
aliran udara pernafasan dari korban dan ini merupakan kasus yang
harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada awal
henti napas, jantung masih berdenyut dan nadinya masih teraba,
dimana oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke
otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan memberikan
bantuan resusitasi, ia dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih
baik dan mencegah kegagalan perfusi organ.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel atau takikardi tanpa denyut, kemudian disusun oleh
ventrikel asistol dan terakhirnya oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua
jenis henti jantung yang berakhir lebih sulit ditanggulangi kerana
akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi
karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar yang tidak
teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis),
pernafasan berhenti atau gasping, tidak terdapat dilatasi pupil
karena bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
Pengiriman oxygen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oxygen dan fungsi

4
pernapasan. Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan
menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu
dapat membuat jantung berdenyut kembali.
Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu
dilakukan prosedur awal pada korban, yaitu memastikan situasi dan
keadaan pasien aman atau tidak dengan memanggil nama atau
sebutan Pak!!!, Bu!!!!, Mas!!!, Mbak!!!, dll yang umum dengan keras
disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan mantap,
sambil memanggil namanya. Prosedur ini disebut sebagai teknik
“touch and talk”. Hal ini cukup untuk membangunkan orang tidur
atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak ada respon,
kemungkinan pasien tidak sadar. Terdapat tiga derajat tingkat
kesadaran, yaitu, sadar penuh, setengah sadar, dan tidak sadar.
Sadar penuh yang bererti pasien dalam keadaan sadar,
berorientasi baik terhadap diri, waktu dan tempat, setengah sadar
yang bererti pasien mengantuk atau bingung, manakala pasien
tidak sadar bererti pasien tidak ada apa-apa respon.
Jika pasien berespon tinggalkan pada posisi dimana
ditemukan dan hindari kemungkinan resiko cedera lain yang bisa
terjadi dan analisa kebutuhan tim gawat darurat. Jika sendirian,
tinggalkan pasien sementara, mencari bantuan. Observasi dan kaji
ulang secara regular. Jika pasien tidak berespon berteriak minta
tolong. Kemudian atur posisi pasien, sebaiknya pasien terlentang
pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi
terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, secara
bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan. Atur posisi
untuk penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara
efektif dapat memberikan resusitasi jantung paru (RJP)
Terakhirnya, nadi karotis diperiksa. Menurut AHA Guideline
2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai
mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering

5
mengalami kesulitan mendeteksi nadi. Jika dalam lebih dari 10
detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus dimulai.
Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis.
Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak
bernapas atau bernapas tapi tidak normal (hanya gasping).

Pemeriksaan Jalan napas

Untuk memastikan jalan napas bebas dari sumbatan karena benda


asing. Bila sumbatan ada dapat dibersihkan dengan tehnik cross
finger ( ibu jari diletakkan berlawan dengan jari telunjuk pada mulut
korban). Cara melakukan tehnik cross finger adalah pertama sekali
silangkan ibu jari dan telunjuk penolong. Kemudian, letakkan ibu
jari pada gigi seri bawah korban dan jari telunjuk pada gigi seri
atas. Lakukan gerakan seperti menggunting untuk membuka mulut
korban. Akhirnya, periksa mulut setelah terbuka apakah ada cairan,
benda asing yang menyumbat jalan napas.

Membuka Jalan Napas

Pada korban yang tidak sadar tonus otot menghilang, maka lidah
dan epiglotis akan menutup faring dan laring sehingga
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Keadaan ini dapat
dibebaskan dengan dorong dahi ke belakang (Head tild Chin lift)
dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush manuver). Cara
melakukan teknik Head tilt chin lift (gambar 1a) ialah letakkan
tangan pada dahi korban, kemudian tekan dahi sedikit mengarah
ke depan dengan telapak tangan penolong. Letakkan ujung jari
tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang korban.
Tengadahkan kepala dan tahan serta tekan dahi korban secara
bersamaan sampai kepala pasien/korban pada posisi ekstensi.
Manakala, cara untuk melakukan teknik jaw thrust manuvere
(gambar 2.1b) adalah letakkan kedua siku penolong sejajar dengan

6
posisi korban. Kemudian, kedua tangan memegang sisi kepala
korban. Penolong memegang kedua sisi rahang dan kedua tangan
penolong menggerakkan rahang ke posisi depan secara perlahaan.
Akhirnya, pertahankan posisi mulut korban tetap terbuka.

Apabila terdapat benda asing yang mengobstruksi jalur nafas


pasien, ia dikeluarkan. Kemudian cek tanda kehidupan yaitu respon
dan suara napas pasien. Jangan mendongakkan dahi secara
berlebihan, secukupnya untuk membuka jalan napas saja, karena
pasien boleh ada cedera leher.

Menurut AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk gunakan


head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa
ada trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera
spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami
cedera kraniofasial dan/atau GCS.

a) b)

Gambar 2.1. Pembebasan Jalan Napas (a) teknik Head tilt chin lift
dan (b) teknik jaw thrust manuver

2.3. Cara penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan


Penilaian awal jalan nafas dilakukan dengan inspeksi,
palpasi dan auskultasi yang ditunjukkan untuk menentukan apakah
jalan nafas terbuka dan terlindung dan apakah masih ada jalan
nafas dan adekuat. Langkah – langkah yang dilakukan dalam
pengelolaan jalan nafas adalah:

7
Lihat: lihat gerakan napas atau pengembangan dada, adanya
retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Pasien
diamati untuk mendapat tanda objektif seperti sianosis, frekuensi
dan pola nafas. Napas yang lambat atau cepat merupakan tanda
telah terjadi gangguan respirasi. Kelelahan otot pernafasan terjadi
akibat keterlibatan otot-otot bantu nafas berupa retraksi otot
suprasteral, supraklavikula, atau iterkostal. Lihat pengembangan
dada apakah simetris atau asimetris. Cedera dinding dada dapat
mengakibatkan gerakan paradoksal dinding dada. Inspeksi dan
palpasi bagian tengah wajah dan mandibula harus dilakukan
karena cedera di daerah ini akan mengakibatkan kerusakan jalan
nafas. Leher harus dilihat secara seksama apakah ada luka
tembus, asimetris, atau pembengkakan yang dapat menyebabkan
gangguan jalan nafas.Empisema subkuttis menandakan adanya
cedera pada jalan nafas.

Dengar: dengarkan aliran udara pernafasan. Perubahan dan atau


hilangnya suara merupakan tanda adanya gangguan jalan napas.
Suara normal menandakan jalan napas baik. Adapun jenis – jenis
suara napas tambahan yaitu: Snoring suara seperti ngorok, kondisi
ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas oleh
benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan
langsung dengan cara cross-finger untuk membuka mulut
(menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang
digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke
atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah
ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu
dll). Pindahkan benda tersebut. Gargling suara seperti berkumur,
kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh
cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger, lalu lakukanlah
finger-sweep (menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain

8
untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan). Crowing suara dengan
nada tinggi, biasanya disebabkan karena pembengkakan (edema)
pada trakea, utuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver
head tilt dan chin lift atau jaw thrust saja. Hilangnya suara napas
dapat disebabkan oleh pneumotoraks, hemotorkas dan efusi
pleura. Sesak menandakan adanya obstruksi jalan napas bagian
napas.

A B

Gambar 2.2 A. Tindakan Cross-finger, B. Tindakan Finger sweep

Rasakan: rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan


menggunakan pipi penolong. Buka mulut dan lihat jalan nafas
atas.Hati-hati jangan sampai leher terlalu ekstensi dan memutar.
Lihat dan keluarkan benda yang ada di dalam mulut. Kenali apakah
ada pembengkakan lidah atau uvula, sumber perdarahan atau
kelainan lain di orofaring. Penggunaan tounge blade akan sangat
menolong. Kemampuan pasien untuk secara spontan
mengeluarkan sekresi menandakan bahwa mekanisme proteksi
jalan nafas masih baik. Pada pasien tidak sadar hilangnya gag

9
reflek seringkali berkaitan dengan hilangnya refleks proteksi jalan
nafas.

2.4. Definisi Kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan


jalan nafas
Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat
adalah perlu mendapatkan penanganan atau tindakan segera
untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Jadi, gawat darurat
adalah keadaan yang mengancam nyawa yang harus dilakukan
tindakan segera untuk menghindari kecacatan bahkan kematian
korban (Hutabarat & Putra, 2016) kegawatan terjadi secara
mendadak , dimana saja, dan menyangkut siapa saja. Sifatnya
yang mengancam jiwa perlu penanganan segera secara cermat,
tepat dan tepat.

2.5. Contoh kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan


jalan nafas
Pengelolahan Jalan Nafas
Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan
mempertahankannya agar tetap bebas
1. Bicara kepada pasien
Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda
bahwa jalan nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar
mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan
pernafasan. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar
umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang. Jika
ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu
intubasi trakhea tulang leher (cervical spine) harus dilindungi
dengan imobilisasi in-line.
2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau
kantung nafas (selfinvlating)
3. Menilai jalan nafas

10
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
a) Suara berkumur
b) Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
c) asien gelisah karena hipoksia
d) Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak
dada paradok
e) Sianosis
4. Menjaga stabilitas tulang leher
5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan
Indikasi tindakan ini adalah :
a) Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
b) Luka tembus leher dengan hematoma yang
membesar
c) Apnea
d) Hipoksia
e) Trauma kepala berat
f) Trauma dada
g) Trauma wajah / maxillo-facial

Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.

1. Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)


Adakah hal-hal berikut :
a) Sianosis
b) luka tembus dada
c) Flail chest (nyeri dada atau sesak nafas)
d) Sucking wounds
e) Gerakan otot nafas tambahan
2. Palpasi / raba (FEEL)
a) Pergeseran letak trakhea
b) Patah tulang iga
c) Emfisema kulit

11
d) Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau
pneumotoraks
3. Auskultasi / dengar (LISTEN)
a) Suara nafas, detak jantung, bising usus
b) Suara nafas menurun pada pneumotoraks
c) Suara nafas tambahan / abnormal
4. Tindakan Resusitasi
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus
dikosongkan dari udara dan darah dengan memasang
drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar
X. Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka
kerjakan krikotiroidotomi (tindakan untuk mengatasi
sumbatan jalan nafas di laring).

Catatan Khusus

a) Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi


stabil
b) Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus
segera dilakukan dengan jarum besar yang ditusukkan
menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan pada
ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah
klavikula. Pertahankan posisi jarum hingga pemasangan
drain toraks selesai.
c) Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka
kerjakan krikotiroidotomi. Tentu hal ini juga tergantung pada
kemampuan tenaga medis yang ada dan kelengkapan alat.

Prioritas ketiga adalah perbaikan resusitasi sirkulasi

12
Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan.
Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka
resusitasi cairan merupakan prioritas

1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang.


Gunakan kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus
mungkin perlu vena sectie
2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu
tubuh karena hipotermia dapat menyababkan gangguan
pembekuan darah.
3. Hindari cairan yang mengandung glukose.
4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji
silang golongan darah.

2.6. Cara penanganan kegawatan pernafasan dan tatalaksana


sumbatan jalan nafas
Menurut AHA 2015 berikut ini adalah langkah-langkah dalam
memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD), antara lain:
A. Menganalisis keamanan (Danger)
Memastikan keadaan aman baik bagi penolong, korban,
maupun lingkungan disekitarnya atau dikenal dengan istilah 3A
(Amankan diri, Amankan korban, Amankan lingkungan).
Keamanan penolong harus diutamakan sebelum melakukan
pertolongan terhadap korban agar tidak menjadi korban
selanjutnya.
B. Memeriksa respon korban (Respon)
Pemeriksaan respon korban dapat dilakukan dengan
memberikanrangsangan verbal dan nyeri. Pemeriksaan ini
dilakukan jika keadaan lingkungan benar-benar sudah aman
agar tidak membahayakan korban dan penolong. Rangsangan
verbal dilakukan dengan cara memanggil korban sambil
menepuk bahunnya.

13
Gambar 2.3 Memeriksa Respon Korban

Apabila tidak ada respon, rangsangan nyeri dapat diberikan


dengan penekanan dengan keras di pangkal kuku atau
penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan yang
dikepalkan pada tulang sternum atau tulang dada.

C. Meminta Bantuan (Shout for help)


Jika korban tidak memberikan respon terhadap panggilan dan
rangsangan nyeri, segeralah meminta bantuan dengan cara
berteriak meminta tolong untuk segera mengaktifkan sistem
gawat darurat.
D. Circulation
1. Cek nadi
AHA (2015) membedakan pengecekan nadi antara
masyarakat awam dengan tenaga kesehatan dan
masyarakat awam terlatih. Masyarakat awam tidak harus
melakukan pemeriksaaan terhadap nadi korban. Henti
jantung ditegakkan apabila ditemukan adanya korban
tidak sadarkan diri dan pernafasannya tidak normal tanpa
memeriksa nadinya. Pada tenaga kesehatan dan orang
awam terlatih pemeriksaan nadi tidak lebih dari 10 detik
pada nadicarotis dan apabila ragu dengan hasil
pemeriksaannya maka kompresi dada harus segera
dimulai.

14
Gambar 2.4 Pemeriksaan Nadi Karotis
2. Kompresi dada (RJP)
AHA (2015) menjelaskan bahwa kompresi dada (RJP)
dapat dilakukan apabila syaratnya terpenuhi yaitu : tidak
adanya nadi pada korban. Efektifitas kompresi dada
maksimal dilakukan jika posisi pasien dan penolong
harus tepat. Pasien ditempatkan pada permukaan yang
datar dan keras, serta dengan posisi supinasi
(terlentang).Kedua lutut penolong berada disamping
dada korban. Letakkan 2 jari tangan di atas prosessus
xiphoideus (PX)/ di antara kedua putting susu. Letakkan
kedua telapak tangan dengan cara saling menumpuk,
satu pangkal telapak tangan diletakkan ditengah tulang
sternumdan telapak tangan yang satunya diletakkan di
atas telapak tangan yangpertama dengan jari-jari saling
mengunci. Pemberian kompresi padamasyarakat awam
dengan tenaga kesehatan dan masyarakat awam
terlatihberbeda. Masyarakat awam hanya melakukan
kompresi dada dengan system“push hard and push fast”
atau tekan yang kuat dan cepat (American
HeartAssociation, 2015). Tenaga kesehatan harus
melakukan resusitasi jantung paru dengankombinasi dari
kompresi dada dan bantuan terhadap pernapasan
korban.Tenaga kesehatan harus menyediakan “high
quality CPR” atau resusitasi yang berkualitas tinggi
dengan ketentuan sebagai berikut:

15
a) Kedalaman kompresi dada adalah 2 inci atau 5 cm
b) Recoil atau pengembalian dinding dada sempurna
c) Meminimalkan enterupsi dalam pemberian kompresi
dada
d) Rasio pemberian kompresi dada dengan bantuan
napas adalah 30:2
e) Kecepatan kompresi dada minimal 100-120 x/menit

Gambar 2.5 Melakukan Komprensi dada

E. Airway control
Tindakan airway control dilakukan untuk membebaskan jalan
napas dari sumbatan. Sumbatan jalan napas dapat disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu lidah atau benda asing yang
menyumbat jalan napas. Tindakan yang dapat dilakukan adalah
head tilt chin lift (untuk pasien non trauma servikal) atau
jawthrust (dilakukan apabila korban dicurigai mengalami cedera
pada servikal). Benda asing dapat diambil dengan tindakan
cross finger untuk membuka mulut dan finger sweep untuk
membersihkannya.
F. Breathing support
Bantuan napas harus diberikan dalam waktu 1 detik.Tindakan
ini tidak harus dilakukan oleh masyarakat awam yang belum
mendapatkan pelatihan atau tidak percaya diri untuk
melakukannya. Pemberian napas bantuan harus cukup untuk
meningkatkan pengembangan dada. Pemberian dapat

16
dilakukan secara mouth to mouth dan mouth to barrier device
breathingBantuan napas untuk korban henti napas tanpa henti
jantung adalah 10-12x/menit (1 bantuan napas setiap 5-6 detik)
pada korban dewasa.Korban anakanak atau bayi dilakukan
sebanyak 12-20 x/menit (1 bantuan napas setian 3-5detik).

Gambar 2.6 Pemberian Nafas Buatan dari Mulut ke Mulut

G. Recovery position
Recovery position dilakukan pada pasien tidak sadarkan diri
setelah pernapasannya normal dan sirkulasinya efektif. Posisi
ini dibuat untuk menjaga patensi jalan napas dan menurunkan
risiko obstruksi jalan napas dan aspirasi. Posisi korban harus
stabil tanpa penekanan pada dada serta kepala yang
menggantung. Posisi ini diharapkan dapat mencegah terjadinya
sumbatandan jika ada cairan maka cairan tersebut akan
mengalir melalui mulut dantidak masuk ke dalam saluran nafas.
Tindakan ini dilakukan setelah RJP. Indikasi penghentian RJP
adalah pasien meninggal, penolong kelelahan, atau bantuan
datang.

Gambar 2.7 Recovery Position


Waktu dan ketepatan memberikan BHD/BHL sangat
menentukanperbaikan neurologist dan angka keselamatan,

17
waktu untuk RJP: 4 menit sejak kejadian henti jantung dan
waktu untuk BHL: 8 menit setelah kejadian henti jantung.
(Krisanty et al., 2016).

2.7. Contoh penanganan jalan nafas dengan alat bantu


Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi adalah
memasukkan pipa jalan nafas buatan kedalam trachea melalui
mulut. Tindakan Intubasi baru dapat dilakukan bila : cara lain untuk
membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu memberikan nafas
buatan dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi aspirasi ke
paru. Yang Tujuannya Membebaskan jalan nafas, Untuk
pemberian pernafasan mekanis (dengan ventilator).

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Manajemen jalan nafas adalah tindakan yang dikerjakan utuk
melapangkan atau membebaskan jalan nafas dengan tetap
memperhatikan kontrol servikal, yang bertujuan untuk
membebaskan saluran nafas untuk menjamin keluar masuknya
udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecakupan
oksigen dalam tubuh.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat,
tenggelam ,inhalasi asp/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda
asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung,
radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-
lainnya.Untuk memastikan jalan napas bebas dari sumbatan
karena benda asing. Bila sumbatan ada dapat dibersihkan dengan
tehnik cross finger (ibu jari diletakkan berlawan dengan jari telunjuk
pada mulut korban).
Penilaian awal jalan nafas dilakukan dengan inspeksi, palpasi
dan auskultasi yang ditunjukkan untuk menentukan apakah jalan
nafas terbuka dan terlindung dan apakah masih ada jalan nafas
dan adekuat.

3.2 Saran
Penulis berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan pembaca dapat mengetahui bagaimana cara
menolong dengan menggunakan konsep manajemen airway I dan
airway II.

19
Daftar Pustaka

Ganthikumar, K. (2016). Indikasi dan Keterampilan resusitasi Jantung


Paru (RJP). 6(1), 58–64.

20

Anda mungkin juga menyukai