KLPK 2
KLPK 2
Disusun Oleh :
KELOMPOK (2)
2020
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayat-Nya sehingga kami bisa menyusun makalah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Seperti yang kita ketahui bahwa “Basic cardiac life support” itu sangat penting
bagi kita semua. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
menyusun makalah ini. Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran jika ada
kesalahan dalam makalah kami dan kami mengucapkan terima kasih kepada
bapak Pembina mata kuliah Basic Cardiac Life Support. Atas perhatian dan
waktunya kami sampaikan banyak terima kasih.
Kelompok II
ii
DAFTAR ISI
JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
1.2. RUMUSAN MASALAH 1
1.3. TUJUAN MAKALAH 2
BAB II 3
TINJUAN TEORI 3
2.1. Definisi penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan 3
2.2. Contoh penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan 4
2.3. Cara penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan 7
2.4. Definisi Kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan jalan
nafas10
2.5. Contoh kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan jalan
nafas..............................................................................................…10
2.6. Cara penanganan kegawatan pernafasan dan tatalaksana sumbatan
jalan nafas………………………………………………………………...13
2.7. Contoh penanganan jalan nafas dengan alat bantu 18
BAB III 19
PENUTUP 19
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 19
Daftar Pustaka 20
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat
sangat tergantung dari kecepatan dan ketetapan dalam
memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien ditemukan maka
semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan
sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
1
2. Bagaimana contoh penilaian jalan nafas dan sistem
pernafasan ?
3. Bagaimana cara penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan ?
4. Apa yang dimaksud kegawatan pernafasan dan tatalaksana
sumbatan jalan nafas ?
5. Bagaimana contoh kegawatan pernafasan dan tatalaksana
sumbatan jalan nafas ?
6. Bagaimana cara penanganan kegawatan pernafasan dan
tatalaksana sumbatan jalan nafas ?
7. Bagaimana contoh penanganan jalan nafas dengan alat bantu ?
2
BAB II
TINJUAN TEORI
3
2.2. Contoh penilaian jalan nafas dan sistem pernafasan
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk
mengembalikan fungsi pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang
mengalami henti napas dan henti jantung yang tidak diharapkan
mati pada saat itu.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan
oleh banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat,
tenggelam ,inhalasi asp/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda
asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung,
radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan
aliran udara pernafasan dari korban dan ini merupakan kasus yang
harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada awal
henti napas, jantung masih berdenyut dan nadinya masih teraba,
dimana oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke
otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan memberikan
bantuan resusitasi, ia dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih
baik dan mencegah kegagalan perfusi organ.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel atau takikardi tanpa denyut, kemudian disusun oleh
ventrikel asistol dan terakhirnya oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua
jenis henti jantung yang berakhir lebih sulit ditanggulangi kerana
akibat gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi
karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar yang tidak
teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis),
pernafasan berhenti atau gasping, tidak terdapat dilatasi pupil
karena bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
Pengiriman oxygen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oxygen dan fungsi
4
pernapasan. Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan
menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu
dapat membuat jantung berdenyut kembali.
Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu
dilakukan prosedur awal pada korban, yaitu memastikan situasi dan
keadaan pasien aman atau tidak dengan memanggil nama atau
sebutan Pak!!!, Bu!!!!, Mas!!!, Mbak!!!, dll yang umum dengan keras
disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan mantap,
sambil memanggil namanya. Prosedur ini disebut sebagai teknik
“touch and talk”. Hal ini cukup untuk membangunkan orang tidur
atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak ada respon,
kemungkinan pasien tidak sadar. Terdapat tiga derajat tingkat
kesadaran, yaitu, sadar penuh, setengah sadar, dan tidak sadar.
Sadar penuh yang bererti pasien dalam keadaan sadar,
berorientasi baik terhadap diri, waktu dan tempat, setengah sadar
yang bererti pasien mengantuk atau bingung, manakala pasien
tidak sadar bererti pasien tidak ada apa-apa respon.
Jika pasien berespon tinggalkan pada posisi dimana
ditemukan dan hindari kemungkinan resiko cedera lain yang bisa
terjadi dan analisa kebutuhan tim gawat darurat. Jika sendirian,
tinggalkan pasien sementara, mencari bantuan. Observasi dan kaji
ulang secara regular. Jika pasien tidak berespon berteriak minta
tolong. Kemudian atur posisi pasien, sebaiknya pasien terlentang
pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi
terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, secara
bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan. Atur posisi
untuk penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara
efektif dapat memberikan resusitasi jantung paru (RJP)
Terakhirnya, nadi karotis diperiksa. Menurut AHA Guideline
2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai
mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering
5
mengalami kesulitan mendeteksi nadi. Jika dalam lebih dari 10
detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus dimulai.
Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis.
Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak
bernapas atau bernapas tapi tidak normal (hanya gasping).
Pada korban yang tidak sadar tonus otot menghilang, maka lidah
dan epiglotis akan menutup faring dan laring sehingga
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Keadaan ini dapat
dibebaskan dengan dorong dahi ke belakang (Head tild Chin lift)
dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush manuver). Cara
melakukan teknik Head tilt chin lift (gambar 1a) ialah letakkan
tangan pada dahi korban, kemudian tekan dahi sedikit mengarah
ke depan dengan telapak tangan penolong. Letakkan ujung jari
tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang korban.
Tengadahkan kepala dan tahan serta tekan dahi korban secara
bersamaan sampai kepala pasien/korban pada posisi ekstensi.
Manakala, cara untuk melakukan teknik jaw thrust manuvere
(gambar 2.1b) adalah letakkan kedua siku penolong sejajar dengan
6
posisi korban. Kemudian, kedua tangan memegang sisi kepala
korban. Penolong memegang kedua sisi rahang dan kedua tangan
penolong menggerakkan rahang ke posisi depan secara perlahaan.
Akhirnya, pertahankan posisi mulut korban tetap terbuka.
a) b)
Gambar 2.1. Pembebasan Jalan Napas (a) teknik Head tilt chin lift
dan (b) teknik jaw thrust manuver
7
Lihat: lihat gerakan napas atau pengembangan dada, adanya
retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Pasien
diamati untuk mendapat tanda objektif seperti sianosis, frekuensi
dan pola nafas. Napas yang lambat atau cepat merupakan tanda
telah terjadi gangguan respirasi. Kelelahan otot pernafasan terjadi
akibat keterlibatan otot-otot bantu nafas berupa retraksi otot
suprasteral, supraklavikula, atau iterkostal. Lihat pengembangan
dada apakah simetris atau asimetris. Cedera dinding dada dapat
mengakibatkan gerakan paradoksal dinding dada. Inspeksi dan
palpasi bagian tengah wajah dan mandibula harus dilakukan
karena cedera di daerah ini akan mengakibatkan kerusakan jalan
nafas. Leher harus dilihat secara seksama apakah ada luka
tembus, asimetris, atau pembengkakan yang dapat menyebabkan
gangguan jalan nafas.Empisema subkuttis menandakan adanya
cedera pada jalan nafas.
8
untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan). Crowing suara dengan
nada tinggi, biasanya disebabkan karena pembengkakan (edema)
pada trakea, utuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver
head tilt dan chin lift atau jaw thrust saja. Hilangnya suara napas
dapat disebabkan oleh pneumotoraks, hemotorkas dan efusi
pleura. Sesak menandakan adanya obstruksi jalan napas bagian
napas.
A B
9
reflek seringkali berkaitan dengan hilangnya refleks proteksi jalan
nafas.
10
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
a) Suara berkumur
b) Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
c) asien gelisah karena hipoksia
d) Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak
dada paradok
e) Sianosis
4. Menjaga stabilitas tulang leher
5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan
Indikasi tindakan ini adalah :
a) Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
b) Luka tembus leher dengan hematoma yang
membesar
c) Apnea
d) Hipoksia
e) Trauma kepala berat
f) Trauma dada
g) Trauma wajah / maxillo-facial
11
d) Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau
pneumotoraks
3. Auskultasi / dengar (LISTEN)
a) Suara nafas, detak jantung, bising usus
b) Suara nafas menurun pada pneumotoraks
c) Suara nafas tambahan / abnormal
4. Tindakan Resusitasi
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus
dikosongkan dari udara dan darah dengan memasang
drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar
X. Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka
kerjakan krikotiroidotomi (tindakan untuk mengatasi
sumbatan jalan nafas di laring).
Catatan Khusus
12
Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan.
Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka
resusitasi cairan merupakan prioritas
13
Gambar 2.3 Memeriksa Respon Korban
14
Gambar 2.4 Pemeriksaan Nadi Karotis
2. Kompresi dada (RJP)
AHA (2015) menjelaskan bahwa kompresi dada (RJP)
dapat dilakukan apabila syaratnya terpenuhi yaitu : tidak
adanya nadi pada korban. Efektifitas kompresi dada
maksimal dilakukan jika posisi pasien dan penolong
harus tepat. Pasien ditempatkan pada permukaan yang
datar dan keras, serta dengan posisi supinasi
(terlentang).Kedua lutut penolong berada disamping
dada korban. Letakkan 2 jari tangan di atas prosessus
xiphoideus (PX)/ di antara kedua putting susu. Letakkan
kedua telapak tangan dengan cara saling menumpuk,
satu pangkal telapak tangan diletakkan ditengah tulang
sternumdan telapak tangan yang satunya diletakkan di
atas telapak tangan yangpertama dengan jari-jari saling
mengunci. Pemberian kompresi padamasyarakat awam
dengan tenaga kesehatan dan masyarakat awam
terlatihberbeda. Masyarakat awam hanya melakukan
kompresi dada dengan system“push hard and push fast”
atau tekan yang kuat dan cepat (American
HeartAssociation, 2015). Tenaga kesehatan harus
melakukan resusitasi jantung paru dengankombinasi dari
kompresi dada dan bantuan terhadap pernapasan
korban.Tenaga kesehatan harus menyediakan “high
quality CPR” atau resusitasi yang berkualitas tinggi
dengan ketentuan sebagai berikut:
15
a) Kedalaman kompresi dada adalah 2 inci atau 5 cm
b) Recoil atau pengembalian dinding dada sempurna
c) Meminimalkan enterupsi dalam pemberian kompresi
dada
d) Rasio pemberian kompresi dada dengan bantuan
napas adalah 30:2
e) Kecepatan kompresi dada minimal 100-120 x/menit
E. Airway control
Tindakan airway control dilakukan untuk membebaskan jalan
napas dari sumbatan. Sumbatan jalan napas dapat disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu lidah atau benda asing yang
menyumbat jalan napas. Tindakan yang dapat dilakukan adalah
head tilt chin lift (untuk pasien non trauma servikal) atau
jawthrust (dilakukan apabila korban dicurigai mengalami cedera
pada servikal). Benda asing dapat diambil dengan tindakan
cross finger untuk membuka mulut dan finger sweep untuk
membersihkannya.
F. Breathing support
Bantuan napas harus diberikan dalam waktu 1 detik.Tindakan
ini tidak harus dilakukan oleh masyarakat awam yang belum
mendapatkan pelatihan atau tidak percaya diri untuk
melakukannya. Pemberian napas bantuan harus cukup untuk
meningkatkan pengembangan dada. Pemberian dapat
16
dilakukan secara mouth to mouth dan mouth to barrier device
breathingBantuan napas untuk korban henti napas tanpa henti
jantung adalah 10-12x/menit (1 bantuan napas setiap 5-6 detik)
pada korban dewasa.Korban anakanak atau bayi dilakukan
sebanyak 12-20 x/menit (1 bantuan napas setian 3-5detik).
G. Recovery position
Recovery position dilakukan pada pasien tidak sadarkan diri
setelah pernapasannya normal dan sirkulasinya efektif. Posisi
ini dibuat untuk menjaga patensi jalan napas dan menurunkan
risiko obstruksi jalan napas dan aspirasi. Posisi korban harus
stabil tanpa penekanan pada dada serta kepala yang
menggantung. Posisi ini diharapkan dapat mencegah terjadinya
sumbatandan jika ada cairan maka cairan tersebut akan
mengalir melalui mulut dantidak masuk ke dalam saluran nafas.
Tindakan ini dilakukan setelah RJP. Indikasi penghentian RJP
adalah pasien meninggal, penolong kelelahan, atau bantuan
datang.
17
waktu untuk RJP: 4 menit sejak kejadian henti jantung dan
waktu untuk BHL: 8 menit setelah kejadian henti jantung.
(Krisanty et al., 2016).
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manajemen jalan nafas adalah tindakan yang dikerjakan utuk
melapangkan atau membebaskan jalan nafas dengan tetap
memperhatikan kontrol servikal, yang bertujuan untuk
membebaskan saluran nafas untuk menjamin keluar masuknya
udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecakupan
oksigen dalam tubuh.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat,
tenggelam ,inhalasi asp/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda
asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung,
radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-
lainnya.Untuk memastikan jalan napas bebas dari sumbatan
karena benda asing. Bila sumbatan ada dapat dibersihkan dengan
tehnik cross finger (ibu jari diletakkan berlawan dengan jari telunjuk
pada mulut korban).
Penilaian awal jalan nafas dilakukan dengan inspeksi, palpasi
dan auskultasi yang ditunjukkan untuk menentukan apakah jalan
nafas terbuka dan terlindung dan apakah masih ada jalan nafas
dan adekuat.
3.2 Saran
Penulis berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan pembaca dapat mengetahui bagaimana cara
menolong dengan menggunakan konsep manajemen airway I dan
airway II.
19
Daftar Pustaka
20