Dalam era globalisasi dan era keterbukaan informasi saat ini, jarak suatu tempat dan bbatas
wilayah suatu Negara sudah terasa semakin dekat dan sempit. Bahkan untuk beberapa hal
tetentu (secara geografis) sudah tidak mengenal teritori atau batas Negara (borderless) Hal ini
dapat dirasakan dalam dunia usaha, bisnis dan perdagangan antar Negara. Begitu juga
pergerakan aliran modal dan investasi dari/ke berbagai penjuru dunia sudah semakin mudah
sehingga mendorong terjadinya migrasi penduduk serta pergerakan tenaga kerja antar Negara.
Dalam hal pertukaran tenaga kerja antar Negara dan benua secara umum sudah tidak
mengenal batas Negara. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke luar negeri baik yang
dikirim melalui perusahaan jasa pengerah tenaga kerja luar negeri atau yang mendapatkan
pekerjaan dan berangkat secara pribadi ( melalui colling visa) sudah menjadi hal biasa dan
lumrah. Demikian juga dalam bentuk hubungan hokum lainnya, semisal intra corporate
transfert, installer, after sales service.
Sebaliknya tenaga kerja asing (TKA) yang masuk di suatu Negara (hostcountry) sebagai migrant
workers termasuk ke Indonesia sudah menjadi kebutuhan (bahkan saling ketergantungan) antar
satu Negara terhadap Negara lainnya, Ini disebabkan karena informasi pasar kerja dunia sudah
dapat diakses dengan mudah, sangat cepat dan dengan proses yang langsung ke
pengguna (employer). Terlebih adanya jenis pekerjaan/jabatan tertentu yang sudah tidak
diminati oleh warga Negara suatu Negara sementara tersedia (banyak) di Negara lainnya.
Bahkan dalam batasan wilayah (regional) tertentu, seperti ASEAN, telah ada konsep dan
rencana AFLA (Asean Free Labour Agreement) sebagai bentuk perwujudan dari AEC, ASEAN
Economis Community yang sudah mendekati realisasi (Tahun 2015) yang masih menunggu
ratifikasi ASEAN Agreement on the Movement of Natural Person untuk memenuhi saling
ketergantungan (tenaga kerja) tersebut.
Namun pada sisi lain sangat disayangkan,hampir setiap saat bangsa Indonesia disuguhi dengan
berita-berita (pengiriman dan pemulangan) TKI ke/dari luar negeri menjadi masalah,khususnya
TKI sector informal dan pekerjaan untuk unskilled labour.
Sebaliknya tenaga kerja asing (expatriate) yang masuk dan bekerja di Indonesia kian hari
semakin marak, datang dan pergi silih berganti dengan jumlah yang (berfluktuasi) relative besar
dan menduduki jabatan-jabatan top management ( skilled workers). Ini merupakan suatu
kelemahan dan dilema.
UU CIPTA KERJA
Stephen menjelaskan PP No.10 Tahun 2018 mengatur beberapa jenis RPTKA yaitu RPTKA biasa;
RPTKA pekerjaan bersifat sementara (paling lama 6 bulan); dan RPTKA bersifat darurat dan
mendesak. Saat ini melalui PP No.34 Tahun 2021 mengenalkan konsep baru yakni pekerjaan
bersifat sementara, paling lama 6 bulan dan tidak dapat diperpanjang; pekerjaan lebih dari 6
bulan, paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang; non Dana Kompensasi Penggunaan TKA
(DKP-TKA), paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang; Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), paling
lama 5 tahun dan dapat diperpanjang.
Dalam PP No.34 Tahun 2021 menjelaskan secara detail dokumen apa saja yang dibutuhkan
dalam proses penggunaan TKA, dimana sebelummya penjelasan tersebut tidak disebut detail
dalam Permenaker No.10 Tahun 2018. Misalnya, dokumen yang diperlukan untuk
permohonan pengesahan RPTKA, antara lain identitas pemberi kerja; alasan penggunaan TKA;
jabatan atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan; jumlah TKA; jangka waktu
penggunaan TKA; lokasi kerja TKA; identitas tenaga kerja pendamping TKA; dan rencana
penyerapan tenaga kerja Indonesia setiap tahun.
Dokumen pendukung yang dibutuhkan dalam permohonan pengesahan RPTKA meliputi surat
permohonan; nomor induk berusaha dan/atau izin usaha pemberi kerja TKA; akta dan
keputusan pengesahan pendirian dan/atau perubahan dari instansi yang berwenang; bukti
wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan; rancangan perjanjian kerja atau perjanjian lain;
bagan struktur organisasi perusahaan; surat pernyataan untuk penunjukan tenaga kerja
pendamping TKA; surat pernyataan untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi
tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang di duduki oleh TKA; dan surat
pernyataan untuk memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bahasa Indonesia kepada TKA.
“Jika TKA sudah fasih berbahasa Indonesia, perusahaan hanya perlu memberikan surat
pernyataan yang menjelaskan TKA yang bersangkutan mampu berbahasa Indonesia,” ujar
Stephen.
PP No.34 Tahun 2021 juga mengatur pengecualian pengesahan RPTKA. Pengecualian itu
berlaku untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu, atau pemegang
saham; pegawai diplomatik dan konsuler; dan TKA yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi
yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up) berbasis teknologi,
kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Menurut Stephen, ketentuan pengecualian RPTKA untuk start-up dan vokasi, pemberi kerja TKA
harus menyampaikan data calon TKA secara daring kepada Kementerian Ketenagakerjaan.
Selanjutnya disampaikan kepada Ditjen Imigrasi untuk rekomendasi visa dan izin tinggal dalam
rangka bekerja. Jangka waktu pengecualian Pengesahan RPTKA untuk start-up dan vokasi paling
lama 3 bulan. Untuk kegiatan darurat, kunjungan bisnis dan penelitian TKA dapat masuk dan
tinggal di Indonesia dengan menggunakan visa dan izin tinggal sesuai dengan ketentuan di
bidang keimigrasian.
Untuk direksi atau komisaris yang mendapat pengecualian pengesahan RPTKA, Stephen
menyebut yang bersangkutan harus memiliki sejumlah saham tertentu sebagaimana diatur
dalam Peraturan Kepala BKPM No.5 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan BKPM No.6
Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal. Sebagai
pemegang saham dan direktur/komisaris kepemilikan saham minimal Rp1 miliar, dan sebagai
pemegang saham, tapi tidak menjabat direktur/komisaris minimal Rp1,125 miliar.
Direktur Izin Tinggal Keimigrasian pada Ditjen Keimigrasian Kemenkumham, Pramella Y
Pasaribu, mengatakan terkait TKA pihaknya hanya mengurus soal izin tinggal. Untuk
mendapatkan izin tinggal baik terbatas ataupun tetap, WNA harus memiliki penjamin baik itu
korporasi atau perusahaan. Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan WNA di
Indonesia. Penjamin juga melaporkan kepada keimigrasian jika ada perubahan terkait status
WNA, misalnya dia pindah bekerja di perusahaan lain.
Pramella menjelaskan WNA yang masuk di wilayah perlintasan, misalnya di bandar udara, akan
bertemu pihak imigrasi untuk diberikan tanda masuk. Pada saat masuk ke Indonesia, WNA
harus mendapat izin tinggal yang disesuaikan dengan jenis visa yang dikantonginya seperti visa
diplomatik, dinas, kunjungan terbatas, dan lainnya. “Izin tinggal terbatas paling lama 5 tahun,
bisa diberikan untuk 2 tahun dan bisa diperpanjang tidak lebih dari 10 tahun,” katanya.
REFERENSI
Salah satu tujuan pemerintah menyusun Omnibus Law adalah mendorong pertumbuhan
investasi dan ekonomi digital. Karena itu, selain mempermudah perizinan usaha, pemerintah
juga melonggarkan aturan penggunaan tenaga kerja asing, terutama yang terkait
dengan startup berbasis teknologi digital.
Ini bisa dilihat dalam peraturan tenaga kerja asing yang baru di PP 34 Tahun 2021 sebagai
turunan dari UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020. Sebagai contoh, rencana penggunaan tenaga
kerja asing untuk perusahaan startup tidak lagi membutuhkan pengesahan menteri apabila TKA
hanya bekerja jangka waktu pendek.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini aturan penggunaan tenaga kerja asing UU Cipta Kerja dan
perbandingannya dengan aturan lama di UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003. Beberapa
ketentuan diubah, namun beberapa lainnya dipertahankan.
1. Menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga kerja pendamping TKA untuk alih teknologi
dan alih keahlian dari TKA.
2. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja pendamping
3. Memulangkan TKA ke negara asalnya setelah perjanjian kerja berakhir
4. Memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bahasa Indonesia untuk TKA
5. Mendaftarkan TKA pada program jaminan sosial nasional bagi yang bekerja lebih dari 6 bulan
atau program asuransi bagi yang bekerja kurang dari 6 bulan, minimal perlindungan terhadap
risiko kecelakaan kerja.
6. Membayar kompensasi penggunaan TKA kepada negara, kecuali instansi pemerintah,
perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan
tertentu di lembaga pendidikan.
1. Izin dipermudah
Dalam UU Ketenagakerjaan, TKA wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat terkait.
Ketentuan ini ada dalam Pasal 42 Ayat (1). Sejumlah izin itu diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 20 Tahun 2018, antara lain Visa Tingga; Terbatas (Vitas), Rencana Penggunaan TKA, dan
Izin Menggunakan TKA.
Akan tetapi, ketentuan ini diubah dalam UU Cipta Kerja, sehingga TKA hanya perlu memiliki
Rencana Penggunaan TKA (RPTKA). Berikut perubahan Pasal 42 Ayat (1) tersebut: "Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan
tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat".
Pada UU Ketenagakerjaan, izin tertulis dipermudah hanya untuk pegawai diplomatik dan
konsuler. Hal ini tercantum dalam Pasal 42 Ayat (3). Akan tetapi, di UU Cipta Kerja, hal ini
diperluas. Bukan hanya tidak perlu mendapatkan izin tertulis, bahkan ada sejumlah posisi
yang tidak perlu memiliki RPTKA, seperti direksi, komisaris, atau pemegang saham.
Berikut aturan dalam Pasal 42 Ayat (3): Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi: a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau
pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. pegawai
diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau c. tenaga kerja asing
yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena
keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi, kunjungan bisnis,
dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Dalam UU Ketenagekerjaan, terdapat aturan detail mengenai RPTKA. Hal ini tercantum
dalam Pasal 43. Keterangan yang perlu dicantumkan itu antara lain mengenai alasan
penggunaan TKA, jabatan atau kedudukan TKA dalam struktur perusahaan, jangka waktu
kerja, hingga penunjukan TKA WNI sebagai pendamping. Namun, keterangan detail
mengenai RPTKA dalam Pasal 43 UU Ketenagakerjaan itu dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan ini terdapat dalam perubahan terhadap Pasal 43 Ayat (5)
UU Ketenagakerjaan. "Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurLlsi
personalia," demikian ketentuan dalam UU Cipta Kerja. Sebelumnya, ketentuan ini ada
dalam Pasal 46 UU Ketenagakerjaan. Dengan adanya ayat itu, maka Pasal 46 UU
Ketenagakerjaan dihapus di UU Cipta Kerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan, hal ini tercantum dalam Pasal 44. Akan tetapi, UU Cipta Kerja
menghapus ketentuan ini.
Ketentuan ini sebelumnya tercantum dalam Pasal 48 UU Ketenagakerjaan. Isi beleid itu:
"Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir". Aturan ini dihapus dalam UU
Cipta Kerja.
Salah satu regulasi terbaru yang bisa mendorong peningkatan investasi asing adalah pasal yang
mengatur perizinan masuk bagi tenaga kerja asing (TKA). Sebagai informasi, UU Cipta Kerja
mengubah dan menghapus sejumlah aturan terkait izin masuk TKA dalam UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
menteri atau pejabat yang ditunjuk," bunyi Pasal 42 UU Nomor 13 Tahun 2003. Dengan
berlakunya UU Cipta Kerja, maka TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja karena tak lagi
membutuhkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Izin masuk TKA dipangkas
dan kini hanya membutuhkan RPTKA saja.
"Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan
rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat," bunyi Pasal 42 UU Cipta Kerja.
Kemudian di Pasal 46 UU Ketenagakerjaan, TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi
personalia dan jabatan tertentu yang rinciannya diatur Keputusan Menteri. Di UU Cipta Kerja,
pembatasan jabatan bagi TKA di perusahaan Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 46 UU
Ketenagakerjaan dihapus. Kemudahan lainnya bagi masuknya TKA yakni dihapusnya pasal 43
UU Ketenagakerjaan. Sebelumnya di pasal tersebut, RPTKA sekurang-kurangnya memuat
keterangan alasan penggunaan TKA, jabatan TKA di perusahaan, jangka waktu penggunaan TKA,
dan penunjukan WNI sebagai pendamping.
“Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga negara asing yang
telah menjadi subjek pajak dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia, dengan ketentuan: a. memiliki keahlian tertentu; dan b.
berlaku selama 4 (empat) Tahun Pajak yang dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri,”
bunyi pasal 111 UU Cipta Kerja. Yang dimaksud penghasilan dalam beleid tersebut yakni
penghasilan yang diperoleh dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar Indonesia. Namun demikian, pembebasan
PPh tersebut tidak berlak bagi WNA yang memanfaatkan Ppersetujuan Penghindaran Pajak
Berganda antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra. "Atau atau yurisdiksi
mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tempat warga negara asing memperoleh
penghasilan dari luar Indonesia," jelas aturan tersebut.