PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir reflektif. Menurut
Rahmy berpikir reflektif merupakan suatu kegiatan berpikir yang dapat membuat bidan
berusaha menghubungkan pengetahuan yang diperolehnya untuk menyelesaikan
permasalahan baru yang berkaitan dengan pengetahuan lamanya. Keterampilan berpikir
reflektif merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang penting untuk dilatihkan
kepada bidan dalam rangka mengembangkan keterampilan mereka dalam menyelesaikan
masalah. Hal ini didukung oleh Wulan (Ellianawati, dkk., 2013), yang menyatakan bahwa
keterampilan berpikir reflektif sejatinya merupakan irisan dari keterampilan berpikir kritis
dan kreatif masuk pada tataran berpikir tingkat tinggi yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi
dalam ranah berpikir Bloom. Sezer menyatakan berpikir reflektif didefinisikan sebagai
kesadaran tentang apa yang diketahui dan yang dibutuhkan (Suharna, dkk., 2013, hlm. 281) 2
Kemampuan berpikir reflektif dapat mendukung bidan untuk memilih, menyotir, dan
mempertimbangkan keputusan yang harus diambil untuk berperilaku secara matang dan
bertanggung jawab.
Menurut Sani, B. (2016), salah satu kemampuan berpikir yang harus dimiliki bidan
adalah berpikir reflektif. Kemampuan reflektif merupakan salah satu kemampuan berpikir
tingkat lanjut. Tujuan pengembangan keterampilan berpikir reflektif dalam pembelajaran
adalah untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah bidan. Kemampuan berpikir
reflektif merupakan salah satu kemampuan orang untuk melihat dan memantau dalam
menyelesaikan masalah(Nindiasari, 2011). Hal inilah yang menyebabkan keterampilan
berpikir reflektif sebagai dasar untuk memperoleh keterampilan berpikir kritis... Oleh karena
itu, berpikir reflektif sangat penting bagi bidan dalam menyelesaikan masalah pasien. Pada
proses berpikir reflektif matematis tidak hanya bergantung pada pengetahuan bidan, tetapi
juga bergantung dalam menggunakan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk
memecahkan masalah. Jika siswa dapat menemukan solusi masalah untuk mencapai
tujuannya, maka bidan tersebut akan melakukan refleksi dan meningkatkan kemampuan
berpikir reflektif matematisnya dalam menyelesaikan masalah tersebut (Fuady, 2017).
Rudd (dalam Choy & Oo, 2012) menjelaskan bahwa peran penting dari pemikiran
reflektif adalah untuk mendorong kemampuan berpikir tentang masalah, yang juga
memberikan kesempatan kepada bidan untuk mengambil langkah yang lebih baik dan
memikirkan strategi terbaik untuk mencapai tujuan mereka. Menurut Rudd, ketika
menyelesaikan masalah, bidan akan melakukan pemikiran reflektif untuk melihat solusi yang
didapat, dan mereka dapat mengoreksi masalah pemecahan masalah tersebut dengan cara
merefleksikan pemikiran reflektif siswa atau mengecek solusi yang diperoleh, solusi yang
diperoleh memiliki nilai kebenaran yang lebih tinggi. Dalam pembelajaran, selain aspek
kognitif bidan juga harus memperhatikan aspek penting lainnya (Zakiah, 2017).
Menanggapi masalah di atas, maka diperlukan sebuah pembelajaran yang tepat dan
sesuai sebagai pola interaksi bidan dengan pasien yang diterapkan dalam pelaksanaan
pengambilan keputusan secara refletif kritis. Pembelajaran yang akan mendorong bidan untuk
aktif dalam menggali pengetahuannya dan menyampaikan gagasannya dalam menyelesaikan
masalah diperlukan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir reflektif matematis bidan.
Berdasarkan paparan diatas mengenai pentingnya kemampuan berpikir reflektif matematis
yang harus dimiliki bidan maka penulis menulis tugas yang berjudul tentang ‘Reflektif,
kritikal reflektif, reflektif terhadap kasus yang telah dan sedang terjadi, siklus reflection
menurut Kolb’s dan Gibbs, analisis kritis terhadap kejadian, konseling berpusat pada individu
dan model bantuan Herons’.
B. Rumusan masalah
3. Apa itu reflektif terhadap kasus yang telah dan sedang terjadi?
C. Tujuan
D. Manfaat
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,
khususnya kepada mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
‘Reflektif, kritikal reflektif, reflektif terhadap kasus yang telah dan sedang terjadi, siklus
reflection menurut Kolb’s dan Gibbs, analisis kritis terhadap kejadian, konseling berpusat
pada individu dan model bantuan Herons’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi berfikir reflektif
1. Konsep berpikir
Berpikir berasal dari kata “pikir” yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan.
Berpikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu,
menimbang-nimbang dalam ingatan. Berpikir adalah satu keaktifan pribadi manusia yang
mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Pengertian berpikir menurut
Ross merupakan aktivitas mental dalam aspek teori dasar mengenai objek psikologis.
Berpikir merupakan suatu hal yang dipandang biasa-biasa saja yang diberikan Tuhan kepada
manusia, sehingga manusia menjadi makhluk yang dimuliakan.
Dasar aktifitas atau kegiatan berpikir merupakan sebuah proses yang kompleks dan
dinamis. Proses dinamis dalam berpikir mencakup tiga tahapan, yaitu proses pembentukan
pengertian, proses pembentukan pendapat, dan proses pembentukan keputusan. Atas dasar
pendapat tersebut, proses berpikir merupakan aktivitas memahami sesuatu atau memecahkan
suatu masalah melalui proses pemahaman terhadap sesuatu atau inti masalah yang sedang
dihadapi dan faktor-faktor lainnya. Tujuan dari berpikir merupakan suatu proses yang penting
dalam pendidikan, belajar, dan pembelajaran. Proses berpikir pada siswa merupakan wujud
keseriusannya dalam belajar. Berpikir membantu siswa untuk menghadapi persoalan atau
masalah dalam proses pembelajaran, ujian, dan kegiatan pendidikan lain seperti eksperimen,
observasi, dan praktik lapangan lainnya. Proses berpikir dalam pelaksanaan belajar mengajar
para siswa bertujuan untuk membangun dan membentuk kebiasaan siswa dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik, benar, efektif dan efisien. Tujuan
akhirnya adalah berharap siswa akan menggunakan keterampilan-keterampilan berpikirnya
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Salah satu keterampilan berfikir tingkat tinggi adalah berfikir reflektif. King
berpendapat bahwa “Higher order thinking skill include critical, logical, reflective thingking,
metacognitive, and creative thinking”. Yang termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat
tinggi adalah kritis, logis, berpikir reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif. Salah saat
keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah berpikir reflektif.
Lauren Resnick mendefinisikan berfikir tingkat tinggi sebagai berikut:
a. Berfikir tingkat tinggi bersifat non-algoritmik. Artinya, urutan tindakan itu tidak dapat
sepenuhnya ditetapkan terlebih dahulu.
b. Berpikir tingkat tinggi cenderung kompleks. Urutan atau langkah langkah keseluruhan itu
tidak dapat “dilihat” hanya dari satu sisipandangan tertentu.
c. Berpikir tingkat tinggi sering menghasilkan multisolusi, setiap solusi memiliki kekurangan
dan kelebihan.
g. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pengaturan diri dalam proses berpikir. Seorang individu
tidak dapat dipandang berpikir tingkat tinggi apabila ada orang lain yang membantu di
setiap tahap.
h. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penggalian makna, dan penemuan pola dalam
ketidakberaturan.
i. Berpikir tingkat tinggi merupakan upaya sekuat tenaga dan kerja keras. Berpikir tingkat
tinggi melibatkan kerja mental besar-besaran yang diperlukan dalam elaborasi dan
pemberian pertimbangan.
Dewey juga mengemukakan bahwa berpikir reflektif adalah suatu proses mental
tertentu yang memfokuskan dan mengendalikan pola pikiran. Dia juga menjelaskan bahwa
dalam hal proses yang dilakukan tidak hanya berupa urutan dari gagasan-gagasan, tetapi
suatu proses sedemikian sehingga masing-masing ide mengacu pada ide terdahulu untuk
menentukan langkah berikutnya. Dengan demikian, semua langkah yang berurutan saling
terhubung dan saling mendukung satu sama lain, untuk menuju suatu perubahan yang
berkelanjutan yang bersifat umum. Berpikir reflektif sebagai mata rantai pemikiran
intelektual, melalui penyelidikan untuk menyimpulkan.
Sezer menyatakan bahwa berpikir reflektif merupakan kesadaran tentang apa yang
diketahui dan apa yang dibutuhkan. Dalam hal ini diperlukan untuk menjembatani
kesenjangan situasi belajar. Sedangkan menurut Gurol definisi dari berpikir reflektif adalah
proses terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi,
mendapatkan makna mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Rogers
menyatakan bahwa kurangnya definisi atau pengertian yang jelas mengenai berpikir reflektif
dan kriterianya, tentu hal tersebut berpengaruh terhadap pelaksanaan pembelajaran. Dan dari
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa masih belum ada definisi yang jelas mengenai
berpikir reflektif.
Boody, Hamilton dan Schon menjelaskan tentang karakteristik dari dari berpikir
reflektif sebagai berikut:
a. Refleksi sebagai analisis retrospektif atau mengingat kembali (kemampuan untuk menilai
diri sendiri). Dimana pendekatan ini siswa maupun guru merefleksikan pemikirannya
untuk menggabungkan dari pengalaman sebelumnya dan bagaimana dari pengalaman
tersebut berpengaruh dalam prakteknya.
c. Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus menerus). Refleksi
kritis dapat dianggap sebagai proses analisis, mempertimbangkan kembali dan
mempertanyakan pengalaman dalam konteks yang luas dari suatu permasalahan.
d. Refleksi pada keyakinan dan keberhasilan diri. Keyakinan lebih efektif dibandingkan
dengan pengetahuan dalam mempengaruhi seseorang pada saat menyelesaikan tugas
maupun masalah.
Selain itu, keberhasilan merupakan peran yang sangat penting dalam menentukan
praktik dari kemampuan berpikir reflektif. Menurut Santrock, siswa yang memiliki gaya
reflektif cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan merenungkan
akurasi jawaban. Individu reflektif sangat lamban dan berhati-hati dalam memberikan
respons, tetapi cenderung memberikan jawaban secara benar. Siswa yang reflektif lebih
mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat informasi yang terstruktur, membaca
dengan memahami dan menginterpretasikan teks, memecahkan masalah dan membuat
keputusan. Selain itu, siswa yang reflektif juga mungkin lebih menentukan sendiri tujuan
belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Dan biasanya memiliki standar kerja
yang tinggi. Berpikir reflektif sangat mempengaruhi perilaku baik atau buruk, percaya diri
atau tidaknya seseorang. Dengan demikian guru harus mengetahui berpikir reflektif agar
disesuaikan dengan pembelajaran. Hatton dan Smith mengemukakan bahwa berpikir reflektif
merupakan suatu cara dalam mengubah perilaku seseorang, dan ini merupakan cara untuk
mengatasi masalah praktis.
B. KRITIKAL REFLEKTIF
Berpikir kritis dalam pandangan John Dewey adalah, "berpikir reflektif", yang artinya
adalah pertimbangan yang sifatnya aktif, persisten (terus-menerus) dan teliti, mengenai
sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja, dengan dipandang dari
sudut alasan yang mendukungnya, dan kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya
(Dewey, 1909:9). Apa yang dimaksudkan Dewey di sini adalah, bahwa secara essensial,
berpikir kritis adalah sebuah proses aktif dengan beberapa prinsip berpikir kritis-reflektif
berikut:
b) menghindari pelbagai hal yang datangnya dari orang lain, yang cenderung pasif;
Berpikir terus-menerus dalam diri sendiri dengan teliti. Tidak buru-buru menuju
kesimpulan.
Pikirkan apa hal-hal yang menjadi alasan untuk meyakini sesuatu, dan implikasinya dari
keyakinan-keyakinan.
Dalam perkembangannya, muncul seorang penulis terkenal, Edward Glaser (1941:5), yang
mengembangkan konsep Dewey ini dengan mendefenisikan berpikir kritis dengan tiga
pengertian berikut:
1. Berpikir kritis adalah suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-
masalah yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang.
2. Berpikir kritis adalah pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran
yang logis.
3. Berpikir kritis adalah semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-
metode, yang menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau
pengetahuan asumtif (dugaan) berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-
kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Dari apa yang didefenisikan Glaser di atas, prinsip berpikir kritis-reflektif dapat diringkas
menjadi 2 poin penting berikut ini:
- Memiliki keterampilan berpikir tertentu
- Menggunakan keterampilan itu
Sementara itu, Robert Ennis yang merupakan pakar perkembangan tradisi berpikir
kritis, menegaskan bahwa berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif,
yang bertugas untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya dan dilakukan (dalam Norris &
Ennis, 1989). Prinsip-prinsip utama dari berpikir kritis menurut pengertian Robert Ennis ini
adalah, masuk akal, reflektif (aktif danpresisten), dan mengambil keputusan.
Berdasarkan pengertian dan prinsip-prinsip berpikir kritis para ahli di atas, maka
berpikir kritis-reflektif adalah berpikir secara terus-menerus dan mendalam, demi mencapai
keterampilan berpikir tertentu, untuk dapat mengambil suatu keputusan yang tepat. Dan
didalam berpikir kristis-relektif ini, dapat dilakukan dengan prinsip-prinsipnya seperti:
Fokus berpikir dalam diri sendiri---mediasi diri
Essensial (aktif dan resisten)---terus menerus dan teratur
Menghindari masukan negatif yang pasif
Meyakini hal yang masuk akal---wajar
Mengajukan pertanyaan-pertanyan positif
Tidak terburu-buru memutuskan---pertimbangan matang
Mengambil keputusan---memutuskan dengan cara terampil
1. Debat
2. Individual decision
3. Group discusion
4. Persuasi
5. Propaganda
6. Coercion
7. Kombinasi beberapa metode
David Kolb sekitar awal tahun 1980-an, mengenalkan metodologi belajar yang nyaris
mirip “Daur Belajar” dari pengalaman yang distrukturkan (stuctural experiences learning
cyrcle) yang telah dieksperimenkan di Sanggar Anak Alam (SALAM) dalam kurun waktu 17
tahun ini. Dalam pemikiran, Kolb mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan
diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan dianggap sebagai perpaduan
antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Experiential Learninng Theory
kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning yang menekankan pada
model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Pembelajaran experiential Kolb
bekerja pada dua level : empat tahapan siklus belajar dan empat gaya belajar yg terpisah.
Pemikiran Kolb banyak terkait dengan proses kognitif internal si pembelajar. Belajar
melibatkan penguasaan konsep abstrak yang dapat diterapkan secara fleksibel tergantung
pada situasi. Pada teori Kolb, perkembangan konsep baru muncul dari pengalaman baru.
2. The Experiential Learning Cycle
Gaya belajar eksperiensial Kolb ditampilkan dalam empat tahapan siklus belajar di mana
pembelajar ‘menyentuh semua dasar’.
3. Gaya Belajar
Ada empat gaya belajar berbeda yg didasarkan dari siklus belajar empat-tahap di atas.
Kolb menjelaskan bahwa seseorang secara alami akan memilih satu gaya belajar tertentu.
Beberapa faktor memengaruhi pilihan gaya ini. Misalnya, lingkungan sosial, pengalaman
pendidikan, atau struktur kognitif dasar dari setiap individu. Apapun yg memengaruhi pilihan
itu, pilihan gaya belajar sebenarnya adalah hasil dari gabungan dua pasang variabel, atau dua
‘pilihan’ terpisah yg kita buat, yg disajikan oleh Kolb dalam grafik kurva,: Sumbu Y
disebut processing continuum (sumbu pemrosesan, bagaimana pendekatan kita terhadap suatu
tugas), dan sumbu X disebut perception continuum (sumbu persepsi, respons emosi, atau
bagaimana kita berpikir atau merasakannya).
Pendekatan logis dan ringkas. Ide dan konsep lebh penting daripada orang. Mereka
lebih suka penjelasan yg jelas daripada kesempatan praktis. Mereka mampu memahami
informasi yg luas dan mengolahnya dalam format yg logis dan jelas. Mereka tidak terlalu
terfokus pada orang dan lebih tertarik pada ide dan konsep abstrak. Lebih tertarik pada teori-
teori yg terdengar logis ketimbang pendekatan yg berbasis nilai-nilai praktis. Gaya belajar ini
penting untuk keefektifan informasi dan karir keilmuan. Dalam situasi belajar formal, mereka
memilih membaca, ceramah, model eksplorasi analitis, dan banyak waktu memikirkan
sesuatu secara menyeluruh. Mereka bisa memecahkan masalah dan menggunakan
pembelajarannya untuk menemukan solusi atas isu-isu praktis. Mereka memilih tugas-tugas
teknis, tidak terlalu terfokus pada orang dan aspek-aspek interpersonal. Mereka paling
mampu menemukan praktik-prakti terbaik atas ide-ide dan teori-teori. Mampu memecahkan
masalah dan membuat keputusan atas pertanyaan dan masalah. Mereka lebih tertarik pada
tugas dan masalah teknis ketimbang isu-isu sosial atau interpersonal. Mereka suka
bereksperimen dengan ide baru, simulasi, dan bekerja pada penerapan praktis. Karenanya
mereka memiliki kemmampuan teknologi dan spesialisasi yg baik.
Gaya ini adalah yg paling umum. Bergantung pada intuisi ketimbang logika. Mereka
menggunakan analisis orang lain, memilih pendekatan eksperiensial yg praktis. Tertarik pada
tantangan dan pengalaman baru, serta membuat rencana. Biasanya bertindak atas dasar
insting ‘nekat’ ketimbang analisis logis. Mereka cenderung bergantung pada informasi orang
lain daripada menganalisis sendiri. Fasilitator harus memastikan bahwa aktivitas dirancang
dan dijalankan dengan cara yg memungkinkan setiap pembelajar menggunakan cara yg
paling sesuai bagi mereka. Idealnya, aktivitas dan materi harus dikembangkan dalam cara yg
mendekati kemampuan dari setiap tahap siklus belajar eksperiensial dan membawa siswa
melalui seluruh proses secara berurutan. Pembelajaran efektif hanya terjadi jika seseorang
mampu melakukan keempat tahapan tersebut. Karenanya, tak satu tahapan pun efektif
sebagai cara belajar jika berdiri sendiri. Pada dasarnya, orang yang sedang belajar, mereka
tidak akan sadar bahwa tahap-tahap tersebut berlangsung pada diri mereka—begitu saja
terjadi.
Instrumen penelitian kolb’s didasarkan pada teori belajar eksperiensial. Dalam siklus
belajar eksperiensial yang ideal, seseorang belajar dari pengalaman kongkrit, kemudian
mengamati sekaligus memikirkan pengalaman tersebut dan pengalaman-pengalaman masa
lalu secara mendalam melalui observasi reflectif. Hasil observasi reflektif akan menghasilkan
hipotesis atau praduga tertentu, yang di istilahkan sebagai konseptualisasi abstrak. Praduga-
praduga ini akandi cobakan dan menghasilkan pengalaman baru lewat eksperimentasi aktif.
Pengalam kongkrit baru akan di olah kembali melalui observasi refleksi, demikian seterusnya
sehungga siklus belajar ini akan berulang.
Kolb mendasarkan model EL-nya pada problem-solving model versi Lewin yang secara
luas digunakan dalam organisasi perkembangan. Kolb membuktikan bahwa model tersebut
sangat mirip dengan karya Dewey dan Piaget.
Kolb menawarkan empat tahap Experiential Learning Cycle (Siklus EL) (Knowles, 1998:
146-147):
a. Concrete Experience (CE): Keterlibatan penuh (peserta didik) dalam pengalaman baru di
sini dan sekarang ini (here-and-now);
b. Reflective Observation (RO): Mengamati secara reflektif terhadap pengalaman peserta
didik dari banyak perspektif;
Serta empat tipe gaya belajar (masing-masing merepresentasikan kombinasi dua gaya
belajar), di mana Kolb menggunakan istilah:
a) Divergen (CE/RO);
b) Asimilasi (AC/RO);
c) Konvergen (AC/AE);
d) Akomodasi (CE/AE).
4. Reflection gibbs
2) Feelings
Identifikasi reaksi, perasaan, pikiran yang muncul dan dirasakan saat kejadian.
Cobalah untuk jujur mengenai apa yang dirasakan dan pikirkan meskipun hal ini mungkin
tidak mudah. Cobalah untuk mengingat dan mengeksplorasi apa yang terjadi di dalam
pikiran, termasuk: bagaimana perasaan ketika kejadian ini terjadi, apa yang dipikirkan saat
itu, bagaimana perasaan anda, bagaimana perasaan orang lain, bagaimana perasaan anda dari
apa yang terjadi, apa yang anda pikirkan tentang hal itu sekarang. Dalam kerangka pemikiran
Gibbs, kesadaran juga termasuk yang bukan hanya dalam bentuk aspek kognitif melainkan
juga bentuk perasaan. Oleh karena itu tahap emosi dan pikiran dalam siklus Gibbs ini
menjadi hal penting. Pentingnya tahap ini terutama karena dalam pengalaman kehidupan
yang negatif, seseorang cenderung akan mengalami berbagai perasaaan seperti tertekan,
marah, sedih, khawatir, dan sebagainya.
Refleksi membantu untuk mengambil jarak terhadap emosi negatif tersebut dan tahap-
demi tahap menemukan maknanya. Apabila individu cenderung memikirkan situasi negatif
tersebut secara kompulsif, dikhawatirkan yang terjadi bukan proses refleksi melainkan
ruminasi. Ruminasi adalah suatu cara merespon terhadap distress yang meliputi pemusatan
pikiran atau aktivitas berpikir terhadap distres secara terus-menerus dan berulang-uilang,
tentang penyebab dan konsekuensinya. Kecenderungan respon terhadap peristiwa negatif
akan menyebabkan depresi.
3) Evaluation
Mengevaluasi atau membuat keputusan tentang apa yang telah terjadi, Pertimbangkan
apa yang baik tentang pengalaman dan apa yang buruk tentang pengalaman. Penilaian dalam
evalusi ini meliputi dua proses yaitu self judgment dan casual attribution. Self
judgment merupakan penilaian diri yang merujuk pada perbandingan pengamatan terhadap
penampilan orang lain. Casual atribution berarti keyakinan akan penyebab terjadinya
kegagalan atau kesuksesan.
4) Analysis
Tahap analisis akan menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu hal dapat
terjadi serta penjelasan mengenai pengalaman yang terjadi. Langkah selanjutnya adalah
mengeksplorasi alternatif dimana individu diharapkan dapat mencari kemungkinan lain
dalam bertindak/pilihan lainnya, berpikir dan menemukan cara pandang baru terhadap
pengalaman yang ada dalam konteks nyata di kehidupan.
5) Conclusion
Kesimpulan dari pengalaman dan analisis yang telah dilakukan, hasil dari tahap ini
suatu pembelajaran bagi individu yang ditandai oleh kemampuan mengkritik diri sendiri dan
dapat menumbuhkan emansipasi terhadap sesama ataupun lingkungan.
6) Action plan
Tahap ini seseorang diminta merumuskan suatu rencana tindakan yang akan
dilakukan seandainya diwaktu yang akan datang akan mengalami peristiwa serupa.
Berdasarkan hasil belajar dari pengalaman, tindakan apa yang akan anda lakukan dalam
kehidupan selanjutnya.
Evaluation : menilai hal baik dan hal buruk dari pengalaman tersebut.
Pendekatan terpusat pada pribadi didasarkan suatu konsep dari psikologi humanistic,
dan pendekatan ini juga bisa diklasifikasikan sebagi cabang dari perspektif eksistensial. Pada
awal tahun 1940 Rogers mengembangkan apa yang disebut nondirective counseling
(konseling yang non direktif). Asumsi dasar Rogers adalah bahwa orang itu secara esensial
bisa dipercaya, bahwa mereka memiliki dari potensi yang besar untuk bisa memahami diri
mereka sendiri dan menyelesaikan masalah mereka tanpa intervensi langsung dari pihak
terapis, dan bahwa mereka ada kemampuan untuk tumbuh sesuai dengan arahan mereka
sendiri apabila mereka terlibat dalam hubungan terapeutik. Kemudian dikembangkannya teori
kepribadian yang sistematik dan menerapkan teori kepribadian ini pada praktek konseling
individual.
Untuk merefleksi fokusnya ini dia namakan pendekatannya ini terapi terpusat pada
klien (Rogers, 1951). Lambat laun pendekatan ini memperluas kawasan pengaruhnya ke
berbagai lapangan jauh dari titik asalnya. Falsafah terpusat pada klien ini diterapkan pada
pendidikan, misalnya, dan disebut pengajaran terpusat pada siswa. Selama tahun-tahun 1950-
an dan 1960-an Rogers dan kawan-kawan meneruskan untuk menguji hipotesis yang
melandasi pendekatan terpusat pada klien dengan mengadakan penelitian yang ekstensif pada
proses dan hasil akhir dari psikoterapi. Oleh karena itu pengaruh Rogers yang makin meluas
itu, termasuk minatnya pada bagaimana orang bisa mendapatkan, memiliki, berbagai, atau
mengalahkan kekuasaan dan control pada orang lain dan diri sendiri, teorinya menjadi di
kenal orang dengan nama pendekatan terpusat pada pribadi (person centered
approach). Pada tahun 1960-an dan 1970-an dia berbuat banyak untuk mendorong
berkembangnya kelompok pertumbuhan pribadi dan di terapkannya idenya itu pada azaz
kelompok yang bertemu dengan populasi yang banyak (Rogers,1970).
Konseling berpusat pada person ini memperoleh sambutan positif dari kalangan
ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Hingga saat ini,
pendekatan konseling ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan. Dalam kaitan ini
Geldard (1989) menyatakan bahwa karya Rogers ini memiliki kekuatan (powerfull) dan
manfaat (userfull) dalam membantu klien. Konseling berpusat pada person (person centred
therapy) dikembangkan oleh Carl Person Rogers, salah seorang psikolog klinis yang sangat
menekuni bidang konseling dan psikoterapi. Dia dilahirkan pada 1920 di Loak Park, Illinois.
Psikoterapi ini berkembang pada tahun 1960an, psikoterapi ini menekankan bahwa
prinsip terapi ini tidak hanya diterapakan dalam proses terapi tetapi prinsip-prinsip terapi ini
dapat diterapkan di berbagai setting seperti dalam masyarakat. Titik berat dari PCT
meningkatkan keterlibatan hubungan personal dengan klien, terapist lebih aktif & terbuka,
lebih memperhatikan pengaruh lingkungan. Periode ini memperkenalkan unsur-unsur penting
dari sikap-sikap terapis, yakni keselarasan, pandangan dan penerimaan positif, dan pengertian
yang empatik sebagai prasyarat bagi terapi yang efektif.
2. Tujuan konseling
Menurut Rogers (dalam Corey, 2009:169) manusia pada dasarnya dapat dipercaya ,
memiliki akal, mampu memahami diri dan pengarahan diri sendiri, mampu membuat
perubahan yang konstruktif, dan mampu untuk hidup efektif dan produktif. Rogers
menyatakan tiga atribut terapis yang dapat menciptakan iklm pertumbuhan di mana individu
dapat bergerak maju dan menjadi apa yang mereka inginkan: (1) kesesuaian (keaslian, atau
realitas), (2) penghargaan positif tak bersyarat (pemahaman dan peduli), dan (3) pemahaman
empatik akurat (kemampuan untuk sangat memahami dunia subjektif dari orang lain). Jika
terapis mengkomunikasikan sekap tersebut, mereka yang dibantu akan menjadi kurang
defensive dan lebih terbuka terhadap diri mereka, dan mereka akan berperilaku dengan cara
proporsial dan konstruktif.
Sejumlah perubahan yang diharapkan muncul dengan sukses dari penggunaan pendekatan ni
(rogers,1959b) adalah :
Jika intervensi membantu adalah "fasilitatif", itu berarti bahwa orang yg "membantu"
merupakan menggambar pandangan baru-inspirasi, solusi, kepercayaan diri, & sebagainya,
dari orang lain, membantu dia atau beliau buat mencapai nya solusi sendiri atau keputusan .
Model Heron memiliki dua kategori dasar atau gaya – "otoritatif" dan "fasilitatif dan
quot”. Mereka dua kategori rincian lebih lanjut ke dalam enam kategori total buat
menyebutkan bagaimana orang hegemoni waktu membantu. untuk menjelaskan bagaimana
orang intervensi ketika membantu antara lain :
A. Otoritatif
1. Bersifat menentukan
Memberikan saran dan bimbingan
Beritahu orang lain bagaimana mereka harus berperilaku
Katakan kepada mereka apa yang harus dilakukan
2. Informatif
Memberi Anda melihat dan mengalami
Jelaskan latar belakang dan prinsip-prinsip
Membantu orang lain mendapatkan pemahaman yang lebih baik
3. Menghadapi
Menantang pemikiran orang lain
Memutar ulang persis apa yang telah dikatakan atau dilakukan
Beritahu mereka apa yang Anda pikirkan adalah menahan mereka kembali
Membantu mereka menghindari membuat kesalahan yang sama lagi
B. Fasilitatif
4. Obat pencahar
5. Katalis
6. Mendukung
Beritahu orang lain Anda menghargai mereka (kontribusi mereka, niat baik atau
prestasi)
Pujilah mereka Menunjukkan bahwa mereka memiliki dukungan dan komitmen
2. Resmi Intervensi
Ini merupakan:
Ini merupakan:
Apabila Anda membantu seseorang buat memecahkan suatu perkara eksklusif atau masalah,
menggunakan model buat rencana hegemoni Anda sehingga Anda membantu anggota tim
Anda atau klien dengan cara terbaik mungkin. Gunakan nomor 1 buat memilih gaya yg sesuai
& merencanakan apa yg wajib dikatakan dan meminta orang lain.
Poin Penting :
Enam Kategori Klien Heron Intervensi bisa dipakai sebagai kerangka kerja buat membantu
Anda tahu dan meningkatkan keterampilan komunikasi usaha Anda.
Apakah Anda membantu anggota tim, karyawan, klien atau pelanggan, contoh bisa
membantu Anda menyebarkan pencerahan yang lebih akbar berdasarkan Anda sendiri gaya
"membantudanquot; dan dampaknya, & dapat membantu Anda menyesuaikan cara Anda
membantu buat menaikkan output & "Anda membantu "hubungan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penulis dapat menyimpulkan bahwa berpikir reflektif adalah serangkaian langkah –
langkah pengetahuan yang telah dimiliki dan sedang dipelajari dalam menganalisa masalah,
mengevaluasi, menyimpulkan dan memutuskan penyelesaian yang terbaik terhadap masalah
yang dihadapi. Kemampuan yang di miliki oleh bidan dalam memecahkan suatu masalah,
perlu ada beberapa indikator – indikator dari kemampuan pemecahan masalah. Pemecahan
masalah dapat didefinisikan sebagai proses mencari pemecahan terhadap masalah yang
menantang dan belum atau tidak serta merta pemecahannya diperoleh yang melibatkan proses
berpikir dan penalaran. Pemecahan masalah dapat dianggap sebagai metode pembelajaran
dimana siswa berlatih memecahkan persoalan. Persoalan tersebut dapat datang dari guru
maupun suatu fenomena atau persoalan sehari-hari yang dijumpai siswa. Pemecahan masalah
mengacu pada fungsi otak anak, mengembangkan daya pikir secara kreatif untuk mengenali
masalah dan mencari alternatif pemecahannya. Belajar pemecahan masalah pada dasarnya
adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis,
teratur, dan teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif
untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Sehingga kemampuan siswa
dalam menguasai konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal)
sangat diperlukan. Diharapkan agar bidan mampu memiliki kritikal reflektif dalam
memecahkan masalah yang dihadapi oleh pasiennya.
B. SARAN
Saya ucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang sudah berpartisipasi did alam
pembuatan makalah ini sehingga bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan serta sangat jauh dari kesempurnaan dalam
mengerjakan tugas kuliah ini. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Selvia, Anisya, Desi Ernita Amru. 2020. Komunikasi Efektif dalam Praktek Kebidanan.
Jakarta. Trans info media.
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/15901/5/BAB%202.pdf
https://www.kompasiana.com/abdibusthan/59524921c81c6349030840d3/berpikir-kritis-
reflektif-dan-kreatif
https://www.salamyogyakarta.com/mengenal-david-kolb/
Oleh
EMA SUSANTI
NIM. 21170025P
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………..............................................
A. Kesimpulan ……………………………………………………............
B. Saran ………………………………………………………….................................................
DAFTAR PUSTAKA ………………………………… ......................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
yang yang berisi tentang ‘Reflektif, kritikal reflektif, reflektif terhadap kasus yang telah dan
sedang terjadi, siklus reflection menurut Kolb’s dan Gibbs, analisis kritis terhadap kejadian,
konseling berpusat pada individu dan model bantuan Herons’ ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi. Kami
berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun
demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat
Ema Susanti