Anda di halaman 1dari 9

BAB VI

BEBERAPA TEORI DAKWAH

Kemapanan sebuah disiplin ilmu ditandai dengan teori-teori yang dimilikinya, sama halnya
dengan ilmu dakwah, tanpa teori dakwah, maka apa yang disebut ilmu dakwah tidak lebih dari
sekedar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisis atas fakta dakwah atau
sebaliknya hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah yang tidak akan bisa
dijelaskan hubungan kausalitasnya antar fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan
dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks. Teori dakwah menjadi substansi ilmu dakwah
sebab isi suatu ilmu itu adalah teori tentang objek kajiannya. Jika kita mengkaji ilmu dakwah maka
isinya adalah teori-teori tentang dakwah, mengkaji tentang fiqh tentu isinya teori teori fiqh, ilmu
alam isinya teori-teori tentang alam, ilmu hayat isinya teori teori tentang makhluk hidup begitu
seterusnya. Apa teori itu? Secara sederhana teori itu pendapat yang beralasan.

Secara akademik dengan adanya teori dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-
fakta dakwah, memandu analisis dan klasifikasi fakta dakwah, memahami hubungan antar variabel
dakwah, menjelaskan fakta dakwah (eksplanasi), menaksir kondisi dan masalah dakwah baru seiring
dengan perubahan sosial dimasa depan (prediksi), serta menghubungkan pengetahuan dakwah
masa lalu, masa kini dan yang akan datang. Ketika mampu mengeksplanasi gejala maka akan dapat
memprediksi dan membuat kontrol terhadap gejala. Dengan adanya teori-teori dakwah yang telah
menyebabkan keberhasilan dakwah masa lalu dapat diuji kembali relevansi teori dengan fakta
dakwah yang ada pada saat sekarang, dan yang akan terjadi di masa depan (evaluasi). Apa yang
menyebabkan tidak berhasilnya dakwah masa lalu, maka akan mampu membuat kontrol dengan
upaya upaya antisipatif. Diantara teori-teori dakwah yang akan diuraikan disini adalah:

A. Teori Citra Da'i

Pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan dalam
suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan. Hal tersebut dilaksanakan
secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, bersikap dan bertindak manusia secara individual
dan sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam kehidupan manusia.

Selain itu makna dakwah tidak hanya sekedar menyeru atau mengajak manusia, tapi lebih
dari itu dakwah adalah mengubah manusia sebagai pribadi maupun kelompok- agar dapat tumbuh
dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Dengan kata lain dakwah Islam memuat konsep
perubahan individu dan transformasi sosial dengan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kultur
universal sehingga terwujud kondisi yang baik dan kondusif untuk berbuat baik.

Dalam rangka menegakan dakwah sehingga ajaran Islam diketahui, dipahami, dihayati dan
dilaksanakan oleh umat diperlukan juru dakwah yang berkualitas. Juru dakwah tersebut sejatinya
adalah orang yang mengerti hakikat Islam dan mengetahui apa yang sedang berkembang dalam
kehidupan masyarakat. Kesuksesan kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh kualitas dan
kepribadian seorang da'i. Dengan kualitas yang dimiliki seorang da'i, maka ia akan mendapatkan
kepercayaan (kredibilitas) serta citra yang positif di mata mad'u baik individu atau masyarakat.

Citra dalam pemahaman sehari-hari biasa diartikan kesan berkenaan dengan penilaian
terhadap seseorang, intansi, lembaga dan lain-lain. Citra yang berhubungan dengan seorang da'i
dalam perspektif komunikasi erat kaitannya dengan kredibilitas yang dimilikinya. Kredibilitas akan
sangat menentukan citra seseorang. Teori citra da'i menjelaskan penilaian mad'u terhadap
kredibilitas da'i, apakah da'i mendapat penilaian positif atau negatif dimata mad'unya. Persepsi
mad'u, baik positif maupun negatif, terhadap diri seorang da'i sangat berpengaruh dalam
menentukan apakah mereka akan menerima informasi, wejangan atau pesan tersebut atau tidak.
Semakin tinggi kredibilitas seorang da'i maka semakin mudah mad'u menerima pesan-pesan yang
disampaikannya, begitu juga sebaliknya.

Kredibilitas (credibility) menurut Oxford Dictionary bermakna "the quality of being


believable or trustworthy (kualitas pribadi yang dapat dipercaya). Suatu kepribadian baru dapat
dipercaya atau memiliki kredibilitas apabila ia secara konstan dan konsisten selalu menjaga
ucapannya selaras dengan prilaku kesehariannya. Orang mempercayai ajakan pola hidup sederhana
dari Baharudin Lopa, karena dia melakukan hal yang dia serukan, walaupun

dia punya akses hidup mewah. Orang percaya pada ajakan Nurcholis Madjid untuk hidup toleran
antar umar beragama, karena dia memang selama puluhan tahun secara konsisten (tidak plin-plan)
telah dengan gigih mengkampanyekan hal itu. Orang percaya pada seruan Martin Luther King akan
perlunya persamaan hak antar sesama manusia tanpa memandang warna kulit dan agama karena ia
telah dengan gigih memperjuangkan sikapnya itu dengan penuh dedikasi dan pengorbanan,
termasuk nyawanya sendiri. Ia telah memiliki kredibilitas di bidang itu.

Kredibilitas seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, tidak gratis (it be erned), ia harus
dicapai melalui usaha yang terus menerus, harus dibina dan dipupuk, serta konsisten sepanjang
hidup. Kredibilitas dalam konteks dakwah perspektif komunikasi sama dengan persepsi mad'u
(khalayak) tentang da'i. Dakwah dalam salah satu bentuknya melalui lisan, maka ada empat cara
seorang da'i dinilai oleh mad'unya:

1. Da'i dinilai dari reputasi yang mendahuluinya. Apa yang sudah seorang da'i lakukan dan
berikan -karya-karya, kontribusi, jasa dan sikap-akan memperindah atau menghancurkan
reputasi seorang da'i.
2. Perkenalan tentang seorang da'i. Mad'u dapat menilai seorang da’i dari informasi yang
diterimanya. Dihadapan mad’u yang tidak mengetahui da'i, orang yang memperkenalkan da'i
dan bagaimana ia memperkenalkannya sangat menentukan kredibiltas seorang da'i.
3. Dari apa yang diucapkannya. Ali bin Abi Thalib mengatakan: "al-lian mizan al-insan" (lisan
adalah kriteria manusia). Lebih jauh "bahasa menunjukan bangsa". Jika seseorang
mengungkapkan hal-hal yang kotor, tidak berarti atau rendah, maka seperti itu pula
kualifikasi seseorang.
4. Cara seorang da'i menyampaikan pesan dakwahnya. Walaupun banyak materi atau
informasi yang dimiliki seorang da'i, akan tetapi penyampaiannya tidak sistematis, terbata-
bata, maka akan kurang efektif di mata mad'u. Berarti penguasaan materi dan metodologi
bagi seorang da'i adalah suatu kemestian.

Kredibilitas juga erat kaitannya dengan kharisma, walau demikian kredibilitas dapat
ditingkatkan sampai batas optimal. Seorang da'i yang berkredibilitas tinggi adalah seorang yang
mempunyai kompetensi di bidangnya, integritas kepribadian, ketulusan jiwa, serta mempunyai
status yang cukup walau tidak harus tinggi. Ketika kredibilitas ini dimiliki oleh seorang da'i, maka da'i
tersebut akan memiliki citra (penilaian) positif dihadapan mad'unya.
Sehubungan dengan kredibilitas da'i, Alwi Sihab memberikan utatan yang simpatik:
"Menjadi saksi kebenaran, menjadi teladan adalah penting untuk mencapai kesuksesan dalam
dakwah. Karena bagaimana mugkin kita dapat menyak orang untuk membangun karakter moral
yang tinggi dan mencegah aktivitas yang tidak Islami jika sang da'i itu sendiri tidak terang-terangan
memperlihatkan nilai akhlak yang baik yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Barangkali tidak keliru
jika dikatakan bahwa metode untuk mengkomunikasikan pesun tidak begitu penting sepanjang
kehidupan sang da'i sebagai komunikator pesan sudah baik."

Seorang da'i yang akan bertugas menyebarkan nilai-nilai Tuhan, niscaya harus membangun
kredibiltas diri. Membekali diri dengan keilmuan, keahlian, integritas kepribadian, dan sikap-sikap
mental lainya. Ia akan dihadapkan pada bermacam situasi sosial, serta macam-macam pribadi yang
sudah tentu membutuhkan cara-cara tersendiri untuk menghadapinya. Untuk itu, diperlukan da'i-
da'i yang kreatif dan tercerahkan.

Seorang da'i yang kreatif harus memiliki wawasan manajemen Muhammad. Manajemen
Muhammad adalah perkawinan substansi metode Nabi Musa yang kukuh dalam menggenggam
aspirasi kebenaran dengan Nabi Isa yang lemah lembut dan indah. Kalau sisi Musa saja yang dipakai,
bisa jadi akan terbentur tembok. Kalau sisi Isa saja yang ditonjolkan, bisa jadi akan lembek dan
bertele-tele. Rasulullah saw merupakan manajer dari keberbagaian kemungkinan dalam kehidupan
umat manusia: kapan efektif memposisikan Allah sebagai Dia, kapan diperlukan kesadaran internal
di mana empati keilahian sangat dianjurkan. Bukan mengatakan bahwa Aku adalah Allah', kesadaran
logis bahwa sesungguhnya kita dan semua ciptaan ini aslinya tiada, sekedar diselenggarakan olehNya
dan pertunjukan bisa diakhiri oleh Allah kapan saja Dia mau.

Wacana utama bagi setiap da'i dalam rangka mengoptimalkan kredibilitas dan membangun
citra positif melingkupi tiga dimensi: kebersihan bati, kecerdasan pikiran, dan keberanian mental.
Jika seorang da'i hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya tanpa didukung oleh kecerdasan
intelektual dan keberanian mental, maka pekerjaan dakwahnya bisa gampang stagnan. Begitu pula
sebaliknya, jika seorang da'i hanya memiliki kecerdasan intelektual belaka tanpa didukung oleh
kebersihan hati dan keberanian mental, maka jadinya seperti menara gading alias monumen yang
bukan hanya tanpa makna, tapi juga mengganggu kehidupan rakyatnya. Apalagi kalau da'i hanya
memiliki keberanian tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan menjadi
kacau dan buruk.

Ada da’i yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni,
gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan
modem, maupun sekurang kurangnya sebagai narasumber pengamatan, akan tetapi efektivitas
fungsinya bisa mandul, ternyata karena ketercerahan intelektulnya tidak didukung oleh kecerahan
spiritual dan mental. Pintar tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga
ilmunya berdiri sendiri. Prilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak
mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa
semakin banyaknya orang pintar bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa,
tetapi ada gejala malah memperburuknya. Dengan kata lain produknya bukan moralitas kehidupan
berbangsa yang baik.

Ada da’i yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian kejuangan. Kalau
bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tapi ia juga tidak banyak
mampu berbuat apa apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu
elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan. Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada
tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, ekstrimis- justru karena
terbiasa berpikir linier dan hitam putih dalam memahami sesuatu. Keadaan ini tidak ditolong pula
oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak bisa banyak
menolong perbaikan moral bangsa.

Terakhir ada da’i yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalehannya,
kekhusuan hidupnya, intensitas ibadahnya. Tapi ia tidak bisa berbuat banyak untuk pertarungan-
pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua
persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang
dihadapinya, sehingga tidak bisa pula menerapkan kehebatannya, mentalitasnya, karena tidak ada
agenda untuk menyalurkannya. Hasilnya ia mandul terhadap perjuangan moral sosial
masyarakatnya.

Rasulullah Muhammad saw sosok pigur da’i yang paling ideal ketiga kriteria di atas:
kebersihan hati, kecerdasan intelektual dan keberanian mental secara sempurna dimiliki oleh
Rasulullah. Sehingga beliau memiliki citra positif di tengah-tengah masyarakatnya. Sejak masa belia
beliau sudah dikenal oleh masyarakatnya sebagai seorang al-amin, beliau mampu memberikan solusi
yang adil ketika terjadi perselisihan antara kabilah Arab berkenaan dengan peletakan Hajar Aswad.
Ketika diangkat menjadi rasul, beliau menjadi suri tauladan dalam berbagai aspek: aqidah, ibadah,
muamalah dan akhlak, terpancar kesejatian, menjadi figur nyata bagi masyarakatnya, dan yang lebih
penting lagi dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya beliau mampu menjadi pemimpin agama
sekaligus negara. Kurang dari 23 tahun beliau mampu melakukan perubahan dari kejahiliahan
kepada peradaban dunia yang tinggi.

B. Teori Medan Dakwah

Teori Medan dakwah adalah teori yang menjelaskan situasi teologis, kultural dan struktural
mad'u (masyarakat) pada saat permulaan pelaksanaan dakwah Islam. Dakwah Islam adalah sebuah
ikhtiar Muslim dalam mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi (fandiyab), keluarga (ra),
komunitas (jama'ab), dan masyarakat (ma) dalam semua segi kehidupan sampai terwujud khairul
ummah (masyarakat terbaik). Khairul umah adalah tata sosial yang sebagian besar anggotanya
bertauhid (beriman), senantiasa menegakan yang ma'ruf (tata sosial yang adil) dan secara berjamaah
senantiasa mencegah yang munkar (tata sosial yang dhalim) yang inti penggerak interaksinya adalah
nilai hirr (kebaikan) dan taqua (ketundukan dan keparuhan terhadap aturan-aturn Allah,
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya). Dalam khairul ummah, menyampaikan
yang ma'ruf (menegakan keadilan) dan mencegah yang munkar (kedhaliman) adalah kewajiban
bukan hak, artinya menegakan keadilan merupakan imperative moril-fitri yang terdalam, bagian
integral fungsi sosial Islam dan sekaligus merupakan refleksi tauhid yang jika tidak ditunaikan
dinyatakan menyimpang dari kebenaran (dosa).

Dalam perspektif yang demikian, maka tegaknya tata sosial yang adil dalam ridha Allah
merupakan komitmen semua muslim karena dakwah diwajibkan kepada semua muslimin.
Masalahnya adalah bahwa dakwah Islam dilaksanakan dalam situasi sosio-kultural tertentu bukan
dalam masyarakat nihil budaya dan nihil system. Masyarakat merupakan kumpulan sekian banyak
individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus, atau hukum khas, dan hidup bersama.
Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya, mereka melangkah berdasarkan
kesadaran tentang hal tersebut. inilah yang melahirkan watak dan kepribadiannya yang khas. Letak
masalahnya sebagaimana dinyatakan oleh sayed Qutub "bahwa orang-orang berpikir 'annidhamal
Islami dan problematikanya pasti mengalami kesulitan, karena mereka berhadapan dengan sistem
jahiliyah (hathil) dan orang yang menegakan dan mempertahankannya kejahiliyahan tersebut.
Demikian halnya, maka yang melakukan da'watu al-baq berhadapan dengan da'watu al-bathil Setiap
Nabiullah dalam melaksanakan dakwah senantiasa menjumpai sistem dan struktur masyarakat yang
didalamnya sudah ada al-mala (penguasa masyarakat), al-mutrafin (penguasa ekonomi masyarakat,
konglomerat, dan agnia), dan kaumn al-mustad afin (masyarakat umum yang tertindas/dilemahkan
hak-haknya). Al-malu adalah mereka orang-orang terkemuka di dalam masyarakatnya berperan
sebagai penguasa (birokrat). pemimpin, kepala, penghulu yang selalu tampil dan menentukan arah
bagi masyarakatnya. Al-mutrafin adalah kaum elit dalam aspek ekonomi, kaum agniya, kaum
konglomerat, kelompok ini pun kelompok yang sangat berpengaruh dalam masyarakatnya. Al-
mustad'afin biasanya kaum mayoritas pengikut al-mala atau al-mitrafin, atau kelompok yang
biasanya tertindas oleh dominasi al-mala atau al-mutrafin. Hal ini nampak jelas pada dakwah Nabi
Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, dan Nabi Muhammad SAW.

Terbentuknya struktur kemasyarakatan yang demikian ditentukan oleh beberapa faktor:


Pertama, sistem teologis yang ada menempatkan keinginan subjektif manusia (al-Hawa) sebagai ilah
yang menentukan semua orientasi hidupnya yang biasanya didominasi oleh keinginan subjektif al
malanya. Dengan berbagai nama simbol keinginan subjektif itu diyakini sebagai jalan hidup (din) baik
yang dianggap sebagai warisan nenek moyangnya maupun hasil rekayasa subjektif para
pemimpinnya yang lebih ditampilkan sebagai wawasan ideologisnya. Kedua, secara Sunnatullah
kekuasaan dalam masyarakat akan didominasi oleh seseorang atau sekelompok orang yang
dipandang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu menurut masyarakat yang bersangkutan sampai
mengkristal menjadi sistem kepemimpinan yang dipandang syah. Ketiga, bahwa kekuatan
kepemimpinan masyarakat akan mudah goyah jika tidak memperoleh dukungan kaum aghniya yang
mengendalikan roda perekonomian masayarakat. Oleh karena itu, kerjasama saling menguntungkan
dengan merugikan pihak mayoritas masyarakat (ta'awanu 'alal ismi wal aduan) antara al-mala dan
aghniya (al mutrafin) merupakan peristiwa alami yang senantiasa ada dalam masyarakat. Keempat,
pola kerjasama dua kekuatan sosial, al-mala dan al-mutrafin melahirkan kaum al-mustad'afin yang
secara alami mereka adalah kaum yang serba kekurangan yang direkayasa untuk tetap lemah. Hak-
haknya tidak dipenuhi oleh sistem sosial yang ada dan secara ekonomis pendapatan mereka dibatasi
oleh al-mutrafin dengan perlindungan al-mala.

Struktur sosial yang demikian ketika merespons dakwah para nabiullah serta para Penerus
risalahnya, memiliki kecenderungan bahwa al mala dan al-mutrafin selalu berusaha menolak dakwah
Islam. Penolakan ini karena ada beberapa sebab: Pertama, mereka merasa telah memiliki jalan hidup
(din) yang diwarisi dari nenek moyangnya sehingga ketika disampaikan kebenaran oleh para
Nabiullah mereka pandang sebagai kepalsuan dan kesesatan. Penolakan ini bersifat teologis dan
paradigmatik. Kedua, mereka merasa dirinya memiliki nilai lebih baik dari sisi status sosial politik-
ekonomi maupun kecerdasan intelektual sehingga memandang Nabiullah tidak berfikir sehat dan
bodoh. Ketiga, materi dakwah para Nabiullah sesuai dengan hakikat ajaran Allah mengandung kritik
yang mendasar atas kemapanan mereka dalam kejahatan dan kedhaliman. Hal ini karena esensi
dakwah adalah melakukan amar ma'ruf (mengajak ummat manusia memilih Jalan Keadilan dan
Kebenaran) dan nahi mungkar (diajak mencegah tindakan kedhaliman dan kesesatan).

Sedangkan respons positif terhadap dakwah biasanya diperoleh dari kaum al-musth l'afin.
Kondisi ini disebabkan beberapa hal : Pertama, posisi mereka yang dilemahkan hak-haknya
(tertindas) dan kejernihan hatinya yang sedikit berpeluang melakukan kejahatan secara sengaja
telah menyebabkan hati mereka mudah menerima dakwah Islam (Kebenaran). Kedua, para
Nabiullah dipandang oleh kaum al-musthad'afin sebagai tokoh pembebas mereka untuk keluar dari
situasi yang secara struktural maupun kultural tidak menguntungkan kehidupannya.

Bahwa dalam situasi sistem kemasyarakatan yang demikian, pembobolan dari dalam'
struktur al-mala dan al-mutrafin dimungkinkan dapat berjalan secara bertahap jika ada diantara al-
mala dan al-mutrafin yang memiliki kejernihan hati untuk menangkap pesan Islam dan keberanian
untuk bertindak melepas diri' dari kungkungan teologis, kultural dan struktural (faktor hidayah) dan
adanya kenyataan sikap istiqomah da'i dalam melaksanakan tugas dan kekuatan ukhuwah Islamiah
diantara pendukung dakwah.

Hal ini dapat kita kaji melalui dakwah yang dilaksanakan Rosulullah saw. Ketika mengawali
dakwahnya ketika itu Makkah sebenarnya merupakan kota yang sudah cukup maju berkat
pembaharuan yang dilakukan oleh Qusaiy bin Kilaab yang kemudian menjadi penguasa tunggal kota
(al mala), Kota Makkah digambarkan sebagai ummul qura (ibu kota), baladil amiin (kota yang aman)
dan bahkan Allah menjadikan Makkah sebagai bagian dari sumpah Allah (bihaadzal baladi). Setelah
Qusaiy meninggal, kemudian dibuat sistem pengelolaan kota dan pengaturan hidup bermasyarakat
secara jelas. Banu Hasyim urusan Siqayah, Banu Umayah urusan Liwaa, Banu Naufal urusan Rifadah,
Banu Abdid Daar urusan Liwaa, Sadanah dan Hijabah dan Banu Asad untuk urusan Musyawarah.

Dalam Hal urusan pemerintahan misalriya: Abu Bakar Shidiq (Banu Taim) mengurus diyat,
Khalid bin Walid (Bani Mahzum) mengurus Qubbah untuk tentara sebelum perang dan tugas sebagai
A’innah (kepala pasukan kuda), Umar bin Khatab adalah wakil Quraisy urusan perang, Sofyan bin
Umayah sebagai Azlaam dan Haris bin Qais urusan keuangan. Semuanya termasuk al mala (pemuka
masyarakat) Quraisy yang mengatur roda pemerintahan Makkah.

Disamping itu, juga ada kelompok pedagang-kaya (aghniya) yang terdiri dari: Banu Mahzum
dan Banu Umayah, dua banu terkaya di kota Makkah. Orang terkaya di kota Makkah ketika itu
adalah: Walid ibnul Mughirah, Abu Lahab, Abdun bin Abi Rabi’ah, Abu Akhihah. Kelompok kaya
kedua: Abdullah bin Ju’dan dan Abbas bin Abdul Muthalib. Dari kalangan penguasa wanita ada dua
orang terkaya: Siti Khadijah binti Khuwailid dan Khandhaliah binti Abdul Jahal. Mereka termasuk
yang sebagian besar dapat dikategorikan al mutrafin (aghniya).

Dalam kehidupan sehari-hari al mala dan al mutrafin merupakan struktur dominan dalam
mengatur kahidupan ummul qura, Makkah. Sedangkan mayoritas masyarakat Makkah adalah ummi
(buta huruf). Berhadapan dengan struktur al mala dan al mutrafin yang memiliki nilai lebih dan
mendominasi sistem masyarakat, mereka menjadi kaum al musthad’afin. Mereka sering dimusuhi al
mala dan al mutrafin sebagaimana pernah dituturkan Ja’far bin Abu Thalib ketika bertemu dengan
raja Najasyi.

Kegiatan ekonomi Kota Makkah sudah maju baik dari sisi pasar yang dibagi sesuai dengan
jenis barang yang dijual maupun dari segi kegiatan “Import” dan perdaganagan antara kota ke Syam
dan Syiria. Memang kegiatan industri tidak berkembang di Mekkah karena mayoritas penduduknya
ummi. Namun sebagai pusat kota, Makkah sudah menyimpan aneka masalah esensial teologi, sosial
dan ekonomi yang senantiasa akan muncul dalam sepanjang dakwah Islam. Karena itu, dakwah Nabi
saw di tengah kota yang cukup maju itu sebenarnya sudah dapat memberikan gambaran bagaimana
Nabi saw menjawab tantangan esensial baik yang bersifat teologis, sosio-kultural maupun struktural.
Hasilnya dapat dilihat bahwa secara bertahap terjadi proses pembobolan dari dalam yang ditandai
masuknya Islam sebagian al-mala dan al-Mutrafin seperti Siti Khadijah ra. (pemuka ekonomi), Ali bin
Abu Thalib ra (elite generasi muda dan muslim-cendekia terkemuka), Abu Bakar al-Sidiq ta (elite
politik), dan Umar bin Khatab ra (elite "militer") dan Usman bin Affan ra (elite ekonomi) disamping
juga ada Abu Dzar al-Ghifari ra (tokoh al-mustad'afin yang menjauh dari kekuasaan) dan juga Bilal ra.

C. Teori Proses dan Tahapan Dakwah

Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi
beberapa tahapan: Pertama, tahap pembentukan (takwin), Kadma, tahap penataan (tandhim), dan
keriga tahap perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada generasi penerus dalam haji
wada (taudi). Pada setiap tahap memiliki karakteristik kegiatan dengan tantangan khusus dengan
model pemecahan yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Dalam tahapan ini dapat dinyatakan
ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas Islam (ummatan khairan).

1. Model Dakwah Dalam Tahap Pembentukan (Takwin)

Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ikhtiar
sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah dengan para madu
mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, perorangan, dan kemudian kepada kaum
musyrikin, masyarakat umum. Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam
kepribadian mad'u. Kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam
ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan struktural al-mala, al-mutrafin Qureisy
Makkah. Hasilnya sangat signifikan, para elite dan massa masyarakat menerima dakwahnya.
Beberapa diantaranya Khadijah binti Khuwalid, Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ali bin Abu Talib,
Usman bin Affan, Bilal, Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu Dzar al-Gifari, dan pemuka Qureisy lainnya.

Pada tahap takwin, hakikatnya Rasulullah saw sedang melaksanakan dakwah untuk
pembebasan akidah masyarakat dari sistem akidah yang menjadikan keinginan subyektif manusia
(al-hawa) yang dipersonifikasikan dalam bentuk berhala (asnam) Hubal dan teman-temannya
sebanyak 359 buah, menuju sistem akidah alamiah (asli, fitri) dengan hanya mengikatkan diri dengan
mengesakan Allah secara murni. Karakteristik teologis Arab jahiliyah menggunakan sistem berpikir
bertingkat: mereka mempercayai adanya Allah tetapi untuk mendekati dan menuju-Nya mereka
membuat sarana berupa berhala (sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat berhala simbol
nilai-nilai yang mencerminkan sistem yang ada dalam masyarakat). Inilah sebabnya mengapa mereka
disebut musyrik. Implikasi epistemologis Syirik dalam cara berpikir adalah dikotomik, memandang
segala sesuatu dengan dua pijakan visi: Allah dan berhala.

Implikasi sosiologis dan kulturlnya, sistem akidah yang mendua (syirik) telah melahirkan
sebuah tata sosial dan budaya yang tiranik (tughyan), melijitimasi perbudakan, pemasungan hak-hak
esensial manusia, dan stratifikasi sosial dan kesetaraan dalam pemilikan aset ekonomi menunjukan
jurang yang tajam. Sebab dalam sistem keberhalaan itu, pemimpin kota Makkah dalam memutuskan
masalah bukan bersandar pada nilai-nilai di luar al-hawa (diri manusia) elite dalam struktur sosial,
tetapi tetap nilai yang dominan adalah nilai al-mala dan al-mutrafin. Berhalanya sendiri tak
menawarkan nilai apa-apa, kecuali sejauh yang diasumsikan oleh para elite tersebut. Dalam
kerangka yang demikian, maka nilai-nilai “akidah” menjadi sangat nisbi dan tidak mampu
menjembatani perbedaan alamiah masyarakat dalam bentuk stratifikasi sosial. Bahkan jarak antar
strata semakin tajam dibuktikan denga perlakukan rendah kaum buruh (budak) di mata tuannya.
Sistem keyakinan yang tidak berdampak praktis kearah perubahan.

Paling tidak ada dua hal yang dapat dibangun oleh Rasulullah dalam tahap takwin ini.
Pertama, Rasulullah mampu meletakan fundamen tata sosial Islam (khairul ummah) dalam bentuk
akidah, ukhuwah islamiah, ta’awun, dan shalat. Demikian juga tauhid telah menjadi instrumen
sosiologis dalam mempersatukan para sahabat dan jamaah muslimin dengan ghirah dan semangat
Islam yang sangat mendalam untuk meneruskan dakwah Islam meskipun rintangannya semakin hari
semakin berat. Semua pengikut Rasulullah saw merasa saling bersaudara dekat, jarak sosial alamiah
diperdekat dengan kewajiban tolong-menolong antar muslim sehingga dapat dinyatakan mereka di
telan tauhid: menjadi satu jamaah muslimin dengan tu tujuan mencari ridha Allah dengan satu
kepemimpinan Rasulullah saw. Kedua, Rasulullah mampu membangun jamaah Islam swadaya yang
akan menjadi community base kegiatan dakwah di Yatsrib. Hal ini dibangun ketika Rasulullah
berhasil meraih kabilah Yatsrib, yang kemudian menghasilkan bai’atul Aqabah I dan II. Inilah sebuah
jembatan yang akan membuka perspektif dan strategi baru dakwah Nabi saw. Dalam kerangka
community development, baiatul Aqabah adalah semacam Memorandum Understanding
(kesepakatan untuk saling memahami dan mengerti) yang akan ditindaklanjuti dengan
Memorandum of Agreement (kesepakatan bersama untuk melaksanakan program tertentu). Tanpa
terwujudnya bai’atul Aqabah, secara sosiolgis dakwah Nabi saw di Yatsib tidak akan berjalan semulus
yang nyatanya terjadi. Karena itu kesepakatan (bai’at) antara da’i dan madu merupakan sunatullah
dalam sejarah yang menentukan keberhasilan dakwah Islam. Karena bai’at merupakan prinsip
pengorganisasian Islam, maka berarti adanya organisasi dakwah merupakan sunatullah untuk
keberhasilan dakwah Islam dan secara syar’i termasuk fardlu kifayah.

2. Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)

Tahap tandzim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk
institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah
Nabi saw. Hijrah dilaksanakan setelah Nabi saw memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui
informasi yang diterima dari Mus’a bin umair maupun interaksi Nabi saw dengan jemaah haji
peserta bai’atul Aqabah. Dari segi strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural,
struktural dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah, dakwah
dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh..

Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunatullah. Mad’u (masyarakat) diajak memutus
hubungan dari lingkungn dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya pembebasan manusia untuk
menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya yang telah terendam lingkungan sosio-kultural
yang tidak islami. Hal ini berarti merupakan peristiwa “menjadi” Muslim dalam sejarah sebagai
perwujudan “muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukan bahwa tanpa hijrah secara
komprehensip, maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya.

Setelah Nabi saw memperoleh ijin hijrah (Q.S. 22:39), dan setelah sampai di Madinah ada
beberapa langkah Nabi saw yang mendasar yan perlu diperhatikan: Pertama, membangun masjid
Quba dan masjid Nabawi di Madinah. Kedua, membentuk lembaga ukhuwah Islamiah antara
Muhajirin dan Anshar, dan Ketiga, membuat “piagam madinah” yang disepakati berbagai suku dan
kaum Yahudi. Tiga peristiwa dakwah yang strategis itu memberikan kerangka kerja dakwah Islam.
Pertama, berpijak dari Masjid dakwah Nabi saw menata dan mengembangkan masyarakat Islam.
Kedua, untuk memperkuat basis komunitas muslim awal, dakwah Islam sangat memerlukan
organisasi atau lembaga yang merepresentasikan kekuatan ukhuwah islamiah (integritas jamaah
Muslim) baru di Madinah antara Muhajirin dan Anshar sebagai wadah tunggal (organisasi) dakwah
Islam di Madinah. Ini merupakan penataan kelembagaan yang akan dijadikan alat untuk
mempertahankan bangunan inti umat Islam yang berfungsi mempertahankan, membina dan
mengembangkan masyarakat Islam Madinah. Ketiga, berpijak dari dan bersama kekuatan yang ada
dalam organisasi dakwah itu, Nabi saw menciptakan landasan kehidupan politik Madinah dengan
“menandatangani perjanjian dengan semua kekuatan sosial dan politik yang berasal dari suku-suku
yang ada dan kaum Yahudi. Dalam perspektif pengembangan masyarakat, tindakan Nabi saw dapat
disebut menciptakan memorandum of Agreement (MoA) antara da’i dengan mad’u sebagai landasan
kerja membangun masyarakat Madinah. Tindakan Nabi saw sangat tepat dan mendasar, karena
dengan “piagam” itu maka dakwah memiliki standar dan kriteria kerja dan pada hubungan dengan
berbagai kekuatan politik yang ada, kapan dakwah bersifat defensip dan kapan harus bersifat
ofensip dan dalam hal apa kerjasama antar kekuatan dapat dilaksanakan.

3. Tahap Pelepasan dan Kemandirian (Taudi’)

Pada tahap ini umat dakwah (masyarakat bina) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri,
dan karena itu merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial, Umat dakwah telah
siap melanjutkan estapeta kepemimpinan dan perjuangan dakwah. Apa yang dilakukan Rasulullah
saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap
meneruskan risalahnya.

Anda mungkin juga menyukai