Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme secara genetik


dan klinis yang dimanifestasikan dengan hilangnya toleransi karbohidrat dan
hiperglikemia yang menimbulkan tanda gejala fisik berupa penurunan berat badan,
kelelahan, poliuri, polifagi dan polidipsi (Dagogo, 2016; Eisenbarth & Buse,
2011; Greenstein & Wood, 2010). Hiperglikemia yang kronis dapat menimbulkan
kerusakan jangka panjang pada organ-organ tubuh, seperti kebutaan pada mata,
glomerulosklerosis pada ginjal, neuropati dan stroke pada saraf, hipertensi dan
gagal jantung pada kardiovaskular, serta penyakit kaki diabetik (Browlee Aiello,
Cooper, Vinik, Nesto, Boulton, 2011; Greenstein & Wood, 2010; ADA, 2004;).

Penderita DM di dunia terus meningkat dari 108 juta di tahun 1980


mencapai 422 juta pada tahun 2014 (World Health Organization (WHO) 2016).
Indonesia memiliki 7 juta orang dewasa dengan diabetes melitus, yang
menjadikan Indonesia sebagai negara ke 9 dengan penderita diabetes melitus
terbanyak di dunia pada tahun 2010 dan diestimasikan akan menjadi peringkat ke
6 pada tahun 2030 (Shaw, Sicree & Zimmet, 2010 dalam Niswah; Chinnawong &
Manasurakam, 2014).

Peningkatan jumlah penderita DM di dunia semakin tinggi dikarenakan


faktor gaya hidup dan diet yang tidak baik. Angka kematian akibat DM yang
tinggi menjadikannya menduduki peringkat ke 8 penyakit mematikan di negara
maju (WHO, 2016). Pada tanggal 20 Desember 2006, PBB mengeluarkan resolusi
nomor 61/225 yang mendeklarasikan bahwa epidemic diabetes melitus merupakan
ancaman global dan serius sebagai salah satu penyakit tidak menular yang
menitikberatkan pada pencegahan dan pelayanan diabetes diseluruh dunia
(Depkes, 2009).

1
WHO memiliki misi khusus untuk menangani DM yaitu pencegahan
diabetes tipe 2 dan meminimalisir komplikasi serta memaksimalkan kualitas hidup
untuk orang yang DM (WHO, 2016). Peraturan menteri kesehatan RI No 1575
tahun 2005, telah dibentuk direktorat pengendalian PTM yang mempunyai tugas
pokok memandirikan masyarakat untuk hidup sehat melalui pengendalian faktor
resiko penyakit tidak menular, khususnya diabetes (Depkes, 2009). Konsesus
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) tahun 2015 tentang
pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia menghasilkan
standar penatalaksanaan yang juga memiliki tujuan yang mirip dengan misi WHO
yaitu memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah atau menghambat komplikasi
dengan tujuan akhir turunnya angka morbiditas dan mortalitas DM di Indonesia.
Penatalaksanaan yang di gagas PERKENI berupa 5 pilar penatalaksanaan khusus
untuk DM tipe 2 yaitu edukasi, terapi nutrisi medis (diet DM), latihan jasmani,
terapi farmakologis, dan monitoring (PERKENI, 2015).

Kurangnya kontak penderita DM tipe 2 di desa dengan petugas kesehatan


yang mengakibatkan minimnya edukasi yang didapat tentang penyakitnya.
Perilaku kesehatan yang tidak baik. Petugas kesehatan ingin melakukan
penyuluhan tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan
tentang penyakit diabetes melitus pada penderita diabetes melitus tipe 2 di desa
Kecamatan Muara Dua.

B. Rumusan Masalah

DM merupakan penyakit kronik degeneratif yang banyak dialami penduduk


Indonesia, dan prevalensinya terus meningkat dari tahun ke tahun bersamaan
dengan komplikasinya. Pengetahuan yang baik terhadap penyakit merupakan
bekal sebagai dasar aplikasi perilaku kesehatan penderita diabetes melitus
dalam melakukan manajemen pada dirinya untuk mencapai kualitas hidup yang
lebih baik. Hasil studi pendahuluan pada penderita diabetes di desa Kecamatan

2
Muara dua didapatkan penderita belum mengetahui penyebab dan faktor risiko
DM seperti obesitas, dan gaya hidup kurang gerak. Pengetahuan yang kurang tepat
seperti tidak perlu monitor kadar gula darah dan tidak memakai alas kaki saat
berolahraga juga ditemukan pada saat studi pendahuluan. Mengetahui bahwa
pendidikan kesehatan memiliki tujuan untuk mengubah perilaku mulai dari
perubahan pengetahuan, membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan penderita DM tipe 2
tentang DM di desa Kecamatan Muara Dua.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengidentifikasi


pengaruh pendidikan/ pengetahuan kesehatan Terhadap Tingkat Pengetahuan
tentang penyakit diabetes melitus pada penderita diabetes melitus tipe 2 di
desa Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe.

2. Tujuan Khusus

a) Mengidentifikasi karakteristik responden yang meliputi usia, jenis


kelamin, lama didiagnosa DM, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat
DM keluarga, dan riwayat edukasi tentang DM pada penderita DM tipe
2 di desa Kecamatan Muara Dua.

b) Mengidentifikasi gambaran pengetahuan penderita DM tipe 2 tentang


penyakit DM di desa Kecamatan Muara Dua sebelum diberikan
pendidikan kesehatan.

c) Mengidentifikasi gambaran pengetahuan penderita DM tipe 2 tentang


penyakit DM di desa Kecamatan Muara Dua setelah diberikan
pendidikan/ pengetahuan kesehatan.

3
d) Mengidentifikasi pengaruh pendidikan kesehatan Terhadap Tingkat
Pengetahuan tentang penyakit diabetes melitus pada penderita diabetes
melitus tipe 2 di desa Kecamatan Muara Dua.

D. Manfaat Penulisan

Hasil dari penyuluhan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pelayanan Kesehatan

Sebagai informasi terkait gambaran pengetahuan tentang DM dan


penatalaksanaan DM di masyarakat khususnya penderita DM di desa
Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe, dan sebagai gambaran pengaruh
intervensi pendidikan kesehatan, sehingga dapat menjadi acuan untuk
membuat program pelayanan kesehatan yang sesuai.

2. Bagi Petugas Kesehatan

Hasil dari penyuluhan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan
penyuluhan lebih lanjut terkait diabetes melitus di Indonesia.

3. Masyarakat

Penuluhan ini diharapkan dapat menjadi awal agar penderita diabetes melitus
tipe 2 di desa Kecamatan Muara Dua menjalankan pengobatan dengan baik
dan benar, dan menjadi pedoman bagi masyarakat untuk semakin
meningkatkan pengetahuammya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang bersifat


kronik progresif, disertai gejala hiperglikemi yang dikarenakan oleh gangguan
sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya (Sudoyo, 2006). Menurut
American Diabetes Association (ADA) diabetes melitus adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya
peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif
(ADA, 2015). Diabetes melitus merupakan sekumpulan penyakit metabolisme
yang disebabkan karena berbagai sebab dan dikarakteristikan dengan
hiperglikemi bersamaan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein akibat dari masalah pada sekresi insulin, atau kerja insulin atau keduanya
(Wass & Stewart, 2011).

B. Klasifikasi

Menurut ADA (2016) DM diklasifikasikan kedalam:

1. Diabetes melitus tipe 1 (mengarah pada kerusakan sel B, biasanya


mengarah pada defisiensi insulin absolut)

2. Diabetes melitus tipe 2 (mengarah pada kehilangan sekresi insulin yang


progresif dan resisten insulin)

3. Diabetes melitus gestasional (diabetes yang didiagnosa pada trimester


kedua atau ketiga pada kehamilan, ini bukan diabetes yang jelas)

4. Diabetes tipe spesifik dikarenakan karena penyebab lain,


diantaranya yaitu:

a) Monogenic diabetes syndromes (seperti diabetes neonatal dan

5
maturity-onset diabetes of the young (MODY)).

b) Penyakit pancreas exocrine (seperti fibrosis crystic)

c) Dan diabetes yang diinduksi oleh obat atau bahan kimia (seperti
penggunaan glukokortikoid, pada treatment HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)

C. Etiologi

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya


kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu:

1. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia,
gangguan autoimun, dll) yang menjadi penyebab dari diabetes tipe 1.

2. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas yang


menjadi penyebab dari diabetes tipe 2.

3. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer yang


menjadi penyebab dari diabetes tipe 2 (Fatimah, 2015; Eisenbarth & Buse,
2011; Greenstein & Wood, 2010).

D. Faktor Resiko

1. Faktor genetik; (penanda genetik, riwayat keluarga, “thrifty gene”) seperti


keturunan pertama penderita DM.

2. Karakteristik demografi; (jenis kelamin, usia, dan etnis) etnis berisiko


tinggi seperti Afrika-Amerika, Latin, penduduk pribumi Amerika, Asia-
Amerika, kepulauan pasifik. Wanita dengan riwayat lahir bayi dengan
BBL > 4,08 Kg atau dengan diabetes melitus gestasional.

a) Usia

6
Kelompok usia < 45 tahun memiliki resiko 72% lebih rendah
dibandingkan kelompok usia ≥ 45 tahun. Dalam penelitian lain juga
mendapatkan hasil bahwa kelompok usia yang paling banyak
menderita diabetes adalah 45-52 tahun (Trisnawati & Setyorogo,
2013).

1) Jenis kelamin

Wanita lebih beresiko mengidap penyakit DM karena fisik wanita


mempunyai peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih
besar. Kondisi hormonal wanita membuat distribusi lemak tubuh
menjadi mudah terakumulasi sehingga wanita beresiko menderita
DM tipe 2 (Irawan, 2010).

2) Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan menjadi faktor resiko terkena DM karena orang


yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan memiliki banyak
pengetahuan tentang kesehatan (Irawan, 2010).

3) Jenis pekerjaan

Pekerjaan seseorang mempengaruhi tingkat aktivitas fisiknya


(Trisnawati & Setyorogo, 2013).

4) Kebiasaan dan faktor risiko yang berhubungan dengan gaya


hidup; obesitas, tidak aktif beraktivitas, diet, stres, westernisasi,
urbanisasi, modernisasi.

5) Faktor metabolik dan kategori risiko menengah DM tipe 2;


gangguan toleansi glukosa, “insulin resistance”, berhubungan
dengan kehamilan (Eisenbarth & Buse, 2011).

7
E. Patofisiologi

1. Diabetes Melitus Tipe 1

Pada DM Tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan


insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Kerusakan sel-sel beta pankreas membuat defisiensi insulin
yang mengganggu metabolisme glukosa, protein dan lemak.
Metabolisme glukosa yang terganggu menyebabkan hiperglikemi puasa
yang diakibatkan oleh produksi gula oleh hati yang tidak terukur, dan
hiperglikemi postprandial (sesudah makan) karena glukosa dari makanan
tidak dapat tersimpan dalam hati. Gangguan metabolisme lemak dan
protein menyebabkan terjadinya penurunan berat badan (Brunner dan
Suddarth, 2012).

2. Diabetes Melitus Tipe 2

Dua masalah utama pada DM tipe 2 yang berkaitan dengan insulin


yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin
merupakan gangguan ikatan antara insulin dan reseptor khusus insulin di
permukaan sel yang mengakibatkan penurunan reaksi intrasel dan insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan gula jaringan.
Gangguan sekresi insulin merupakan penurunan sekresi insulin namun
jumlah insulin masih adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya (Brunner dan Suddarth, 2012).

8
F. Manifestasi Klinis

1. Hiperglikemi

Keadaan tingginya kadar glukosa darah, karena glukosa tidak bisa


diambil oleh sel tanpa adanya insulin.

2. Poliuria

Hiperglikemi yang disebabkan oleh penurunan aktivitas insulin


mengakibatkan hiperosmolaritas cairan intravaskuler. Tingginya
osmolaritas intravaskuler membuat cairan intrasel berdifusi kedalam
sirkulasi sehingga volum dan aliran darah meningkat yang pada
akhirnya mengakibatkan diuresis osmotik sehingga produksi urin
meningkat

3. Polidipsi

Peningkatan difusi cairan intrasel kedalam vaskuler membuat volum


cairan intrasel menurun sehingga menimbulkan dehidrasi sel yang akan
mengaktifkan sensor haus. Glukosa darah diekskresi melalui urin dalam
bentuk diuresis bersamaan cairan dan elektrolit tubuh sehingga pasien
menjadi dehidrasi. Dehidrasi inilah yang membuat pasien selalu merasa
haus dan meminum air dalam jumlah banyak.

4. Poliphagia

Penurunan masukan glukosa darah kedalam intrasel menstimulasi rasa


lapar yang menjadikan penderita DM selalu ingin makan.

5. Penurunan berat badan

Faktor penyebab penurunan berat badan adalah ketidakmampuan


glukosa masuk kedalam sel sehingga tubuh merespon bahwa
kekurangan glukosa. Kondisi ini meranggsang tbuh untuk mencari
sumber glukosa baru, yakni lemak dan protein. Protein dan lemak tubuh

9
dipecah secara terus menerus untuk mendapatkan glukosa, proses ini
disebut wasting (Bare & Suzanne, 2002).

6. Asidosis

Asidosis terjadi karena adanya peningkatan kadar badan keton akibat


pemecahan lemak. Asidosis dapat menyebabkan vasodilatasi dan
hipotermia, dan hiperventilasi dalam upaya membuang karbondioksida.

7. Kelelahan

Kelelahan terjadi sebagai akibat penurunan masuknya glukosa kedalam


sel sehingga mengurangi proses pembentukan energy.

G. Diagnosis

DM bisa didiagnosa secara biokimiawi berdasarkan kadar gula darah


puasa dan kadar gula darah postprandial (2 jam setelah makan) dengan
konsumsi 75 gram (OGTT). Seseorang didiagnosa DM apabila mengalami
gejala umum hiperglikemi (poliuria, polipagia, polidipsia dan penurunan
berat badan), disertai dengan hasil pemeriksaan gula darah sewaktu atau
postprandial ≥ 11.1 mmol/L atau gula darah puasa ≥7 mmol/L. Pada tahun
2010, ADA dan WHO memperkenalkan HbA1c ≥ 48 mmol/mol atau
6.5% sebagai salah satu kriteria diagnosis untuk DM (Wass dan Owen,
2015).

H. Komplikasi

1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut dari diabetes melitus terdiri dari diabetik ketoasidosis


(DKA) dan Hiperglikemi hiperosmolar sindrom (HHS) yang disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut maupun relatif bersamaan dengan peningkatan pusat

10
regulasi hormon, serta iatrogenik hipoglikemi yang merupakan komplikasi
dari pengaturan glukosa yang terlalu kuat (Chawla, 2012).

Komplikasi akut yang lain berupa hipoglikemi, yaitu penurunan kadar


gula darah. Tanda-tanda hipoglikemi pada orang yang diabetes antara lain
haus, mual, perubahan mood, lemah, cemas, perubahan perilaku, pucat,
berkeringat, takikardi, hipotensi, kehilangan kesadaran (Hupp, 2008).

2. Komplikasi Kronis
Keadaan hiperglikemi yang lama pada penderita DM menimbulkan efek
adanya kerusakan mikrovascular yang menyebabkan gangguan pada mata
(retinopati), ginjal (nefropati), dan sistem saraf (neuropati). Bersamaan dengan
itu resiko mengalami keruusakan makrovaskular (coronary, cerebrovascular,
dan penyakit arteri perifer) pada orang DM meningkat (Wass & Stewart,
2011).

I. Penatalaksanaan

Hasil konsensus PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) tentang


pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 tahun 2015 di Indonesia
menyatakan bahwa secara umum, tujuan dari penatalaksanaan Diabetes melitus
adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes dan dikelompokkan
menjadi tiga tujuan yaitu:

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas


hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit


mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan


mortilitas DM.

11
Dalam menggapai tujuan tersebut, terdapat lima langkah- langkah
penatalaksanaan khusus yang juga dikenal sebagai pilar penatalaksanaan DM tipe
2 yaitu edukasi, Terapi Nutrisi Medis (TNM), latihan jasmani, terapi
farmakologis, dan monitoring (PERKENI, 2015).

a. Edukasi
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi
edukasi tingkat lanjutan (PERKENI, 2015). Materi edukasi tingkat awal
dilaksanakan di pelayanan kesehatan primer yang meliputi:
1) Materi tentang penyakit DM.
2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
3) Penyulit DM dan risikonya.
4) Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
5) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
6) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tesedia).
7) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
8) Pentingnya latihan jasmani yang teratur
9) Pentingnya perawatan kaki
10) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di


pelayanan kesehatan sekunder dan atau Tersier, yang meliputi:

1) Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.


2) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
3) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
4) Rencana untuk kegiatan khusus (ex. olahraga prestasi).

12
5) Kondisi khusus yang dihadapi (ex. hamil, puasa, hari-hari sakit).
6) Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi
mutakhir tentang DM.
7) Pemeliharaan/perawatan kaki (PERKENI, 2015).

Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada


semua penderita diabetes, elemen-elemen edukasinya meliputi:
1) Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di
air.
2) Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila
kulit terkelupas, kemerahan, atau luka.
3) Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.
5) Potong kuku secara teratur.
6) Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah
dari kamar mandi.
7) Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak
menyebabkan lipatan pada ujung-ujung jari kaki.
8) Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9) Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang
dibuat khusus.
10) Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan
gunakan hak tinggi.
11) Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu
untuk menghangatkan kaki (PERKENI, 2015).

Edukasi self management diabetes merupakan hal


yang harus dilakukan. Menurut ADA edukasi self
management DM adalah sebuah proses edukasi tentang

13
pengetahuan diabetes dan skill yang dibutuhkan mengenai self
care pada diabetes, memanagement keadaan gawat, dan membuat
perubahan gaya hidup. Hasil pada edukasi ini, diharapkan pasien
mempunyai pengetahuan dan aktif dalam menanggulangi DM-nya
(Melmed, 2011).

b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai


pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan
kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

1) Karbohidrat, jumlah yang dianjurkan sebesar 45-65% total


asupan energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi,
Pembatasan karbohidrat <130 g/hari tidak dianjurkan.
Dianjurkan makan tiga kali sehari dengan selingan buah dan
makanan lain sesuai dengan perhitungan kebutuhan kalori.

2) Lemak terutama lemak jenuh dan lemak trans (daging berlemak


dan susu fullcream) jumlah yang dikonsumsi harus dibatasi.

3) Protein, pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan


asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari
kebutuhan energi. Kecuali pada penderita DM yang sudah
menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB
perhari.

4) Serat, konsumsi yang dianjurkan adalah 20-35 gram/hari yang


dapat berasal dari kacang-kcangan, buah dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat.

14
5) Pemanis alternatif, aman digunakan oleh penderita diabetes tipe
2 selama tidak melebihi batas aman. Pemanis alternatif berkalori
seperti glukosa alkohol, dan fruktosa perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori.
Fruktosa tidak aman digunakan karena dapat meningkatkan
kadarLDL, namun fruktosa alami yang terkandung dalan buah
dan sayuran tidak perlu dihindari (PERKENI, 2015).

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani merupakan hal yang penting untuk mengontrol


kadar gula darah. Kekurangan olah raga mungkin saja bisa menjadi
masalah yang lebih besar dari pada makan berlebihan. Ada beberapa
bukti yang menjelaskan bahwa seseorang dengan berat tubuh
berlebih namun memiliki aktivitas fisik yang baik lebih sehat dari
pada seseorang yang kurus namun pasif (Watkins, drury, Howell,
2003).

Pada penderita DM tipe 2 kegiatan jasmani yang dianjurkan


untuk dilakukan secara rutin sebanyak 3-5 kali perminggu selama
sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminnggu dengan jeda
antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani
aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal)
seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Selalu
aktif setiap hari adalah hal yang dianjurkan, namun aktivitas sehati-
hari tidak termasuk latihan jasmani (Melmed, 2011).

d. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis, pengaturan makan dan latihan jasmani


dijalani secara bersamaan. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan obat suntikan (Insulin).

Obat hipoglikemi oral bekerja untuk mengontrol gula darah

15
melalui beberapa mekanisme :

1) Insulin sensitizer dengan reaksi utama di hati.


2) Insulin sensitizer dengan reaksi utama di jaringan perifer
3) Insulin sekretagogues
4) Agen yang menghambat penyerapan karbohidrat
5) Agen yang meningkatkan aktivitas sistem inkretin
6) Dan agen baru yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat (Melmed,
2011).

e. Monitoring
Pada praktik sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang meliputi pemantauan kadar gula darah,
pemeriksaan HbA1C setiap 3 bulan atau setiap 1 bulan pada pasien dengan
kadar HbA1C sangat tinggi yaitu > 10%, pemantaian glukosa darah mandiri
(PGDM), dan Glycated Albumin (GA) untuk menilai indeks kontrol
glikemik.

Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, pada pasien yang tidak stabil


dilakukan tes setiap hari, pada pasien yang stabil sebaiknya tetap dilakukan
tes secara rutin. Pemantauan dapat lebih jarang (minggu sampai bulan)
apabila pasien terkontrol secara konsisten. Pada pengguna obat pemacu
sekresi insulin dilakukan beberapa kali perhari, tergantung pada tujuan
pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah
makan, menjelang tidur dan diantara siklus tidur.

Monitorig kadar gula darah bertujuan utuk mengevaluasi pencapaian


dari sasaran terapi dan menyesuaikan dosis obat bila belum tercapai sasaran
terapi sebelumnya (PERKENI, 2015).

16
BAB III
PEMBAHASAN

A. Karakteristi Masyarakat Desa

Masyarakat desa Kecamatan Muara Dua dalam penyuluhan ini memiliki


karakteristik yang beragam dalam hal usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir,
pekerjaan, riwayat DM keluarga lama didiagnosa DM dan riwayat edukasi terakhir
mengenai DM. Karakteristik usia masyarakat desa Kecamatan Muara Dua
sebagian besar masuk pada kelompok usia dewasa tengah (14 orang) dan sebagian
lainnya, masuk kedalam kelompok usia lansia (4 orang). Usia berhubungan
diabetes melitus karena penurunan fungsi pulau langerhans dan penurunan
kapasitas untuk proliferasi sel-beta pada pankreas (Maedler, 2006).

Penurunan fungsi pancreas pada penderita diabetes juga dipengaruhi oleh


faktor genetik. Pada diaebtes type 2 beberapa gen diduga menjadi penyebab
genetik menjadi faktor predisposisi penyakit ini, yaitu gen calpain 10 dan
hepatocrit nuclear factor 4 alpha (L Dean, 2004). Wu (2014) menemukan dalam
penelitiannya bahwa 40% keturunan pertama dari penderita DM mungkin akan
terkena DM juga, sedangkan rata-rata insiden 6% dalam populasi (Wu, 2014).
Dalam penyuluhan ini 100% masyarakat yang mengikuti penyuluhan kurang lebih
30% memiliki riwayat DM dalam keluarga.

Karakteristik masyarakat berdasarkan jenis kelamin pada penyuluhan ini


menunjukkan lebih banyak responden wanita dari pada laki-laki. Seperti dalam
Riskesdes tahun 2013 keseluruhan total jumlah penderita DM yang terlah
terdiagnosis, pada laki-laki sebanyak 5,6% dan wanita sebanyak 7,7% (Riskesdas,

17
2013). Kebanyakan wanita mengalami peningkatan berat badan dan obesitas
setelah usia 45 tahun yang menjadi faktor predisposisi DM. Lebih dari setengah
pasien diabetes merupakan middle aged pada kedua usia, dan seiring peningkatan
usia mencapai rata- rata tertinggi pada usia wanita yang sangat tua (Willaer,
Alexandra kautzky. 2016).

Diabetes merupakan penyakit kronis yang berarti memiliki jangka


waktu yang lama. Dalam penyuluhan ini rata-rata lama menderita DM
selama 4,39 tahun dengan durasi paling sedikit adalah 1 tahun dan paling
lama 11 tahun.

Jenjang pendidikan terakhir masyarakat dalam penelitian ini terdiri 2


jenjang yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan beberapa lainnya
diploma III. Dalam hal partisipasi sekolah di desa Kecamatan Muara Dua
memang masih kurang, dilihat dari data tingkat pendidikan tahun 2010-
2015 terbanyak adalah pada tamatan SD atau sederajat, kemudian tidak
tamat SD menjadi terbanyak ke 2 (Profil desa Kecamatan Muara Dua,
2015). Tingkat pendidikan yang rendah memang berhubungan dengan angka
kejadian diabetes karena berkaitan pengetahuan yang rendah dan
ketidakmampuan glycemic control. (Derakhshan, 2014; Kikman & Use,
2012).

B. Sebelum Diberikan Intevensi Pendidikan/ Pengetahuan Kesehatan.

Gambaran pengetahuan masyarakat dalam penyuluhan ini dikategorikan


menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Pengetahuan sebelum
diberikan intervensi pada 18 responden masyarakat desa menunjukkan 15 orang
(83,3%) mempunyai pengetahuan yang rendah tentang diabetes melitus, 3 orang
(16,7%) mempunyai pengetahuan sedang dan tidak ada yang memiliki tingkat
pengetahuan tinggi. Rata-rata pengetahuan responden sebelum diberikan intevensi
pendidikan kesehatan dalam penelitian ini adalah 21,11 (nilai maksimum 48)

18
dengan simpangan baku 5,14. Dari uji homogenitas menggunakan uji ANOVA
tidak didapatkan adanya variasi responden masyarakat desa dalam penyuluhan ini
yang berarti bahwa seluruh responden memiliki karakteristik pengetahuan yang
berbeda, yaitu rata-rata memiliki pengetahuan yang rendah dan responden yang
memiliki pengetahuan masih minim.

Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan responden adalah tingkat


pendidikan terakhir, responden dalam penyuluhan ini memiliki tingkat pendidikan
terakhir yang bervariasi dengan tingkat tertinggi SMA (pendidikan
menengah). Dalam penelitian Cannonier (2011) ditemukan bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pengetahuan tentang kesehatan
yang dimiliki, namun hal tersebut tidak berlaku pada tingkat pendidikan SMA
kebawah. Tingkat pengetahuan kesehatan yang baik dimiliki oleh seseorang yang
telah menginjak jenjang pendidikan terakhir perguruan tinggi. Hal tersebut juga
ditemukan dalam penelitian Cantaro (2016) yang mengemukakan bahwa tidak ada
hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang diabetes melitus
untuk penderita diabetes melitus yang memiliki pendidikan terakhir SMA
sederajat, namun terlihat pengetahuan yang lebih tinggi pada jenjang pendidikan
terakhir sarjana.

Hasil dalam penyuluhan ini menunjukkan bahwa tidak ada variasi


pengetahuan dalam hal pekerjaan artinya tidak ada pengaruh pekerjaan responden
terhadap pengetahuan responden, hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Jasper (2014) yang menyatakan bahwa pekerjaan tidak
mempengaruhi pengetahuan. Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nirnaya (2015) yang mendapatkan hasil bahwa pekerjaan
merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pengetahuan penderita diabetes.
Nimaya menyatakan bahwa pegawai negeri, pegawai swasta, dan pengusaha
memiliki pengetahuan yang lebih baik dari pada ibu rumah tangga. Pekerjaan yang
berhubungan dengan pendidikan tinggi mempengaruhi pengetahuan tentang
diabetes karena kemungkinan akan mendapatkan pengetahuan dari seminar-

19
seminar yang diikuti dan dari kemampuan menggunakan internet (Jasper,
2014). Pengetahuan yang rendah dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh
karakteristik responden yang mayoritas memiliki pekerjaan yang tidak
memungkinkan adanya penambahan informasi melalui seminar dan minimnya
penggunaan internet sebagai sarana untuk mendapatkan informasi.

Proses penuaan merupakan perubahan anatomi dan fisiologi secara normal


terjadi, namun diabetes melitus membuat proses penuaan tersebut menjadi lebih
cepat, misalnya pada seseorang yang berusia 55 sampai 64 tahun, diabetes
menurunkan angka perkiraan hidup selama 8 tahun, seseorang yang berusia 57
tahun dengan diabetes setara dengan orang yang berusia 65 tahun dengan diabetes
(Casperen, 2012), hal tersebut mungkin berhubungan dengan tingkat pengetahuan
responden yang sama walaupun responden terdiri dari dua kelompok usia.

Lama didiagnosa DM (durasi DM) juga seharusnya mempengaruhi


pengetahuan penderita diabetes melitus, seperti dalam penelitian Cantaro (2016)
yang menemukan bahwa terdapat hubungan antara lama durasi DM dengan
pengetahuan tetang DM, yaitu penderita diabetes dengan durasi penyakit lebih dari
12 tahun memiliki pengetahuan yang baik tentang DM. Sesuai dengan hasil
penyuluhan tersebut dalam penyuluhan ini, durasi terpanjang menderita DM
adalah 11 dan rata-rata responden memiliki pengetahuan yang rendah.

C. Setelah Diberikan Intervensi Pendidikan/ Pengetahuan Kesehatan.

Pengetahuan responden masyarakat desa setelah diberikan pendidikan


kesehatan melalui penyuluhan adalah hampir semua yang mengikuti serta
memahami dan mengerti bahayanya diabetes mellitus dan mereka pun mau
memeriksakan diri dan juga mau mengubah hidup lebih sehat dari segi makanan
dan olah raga.
Dalam hal ini, gambaran pengetahuan responden setelah diberikan pendidikan
kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama terkait kemampuan

20
seseorang untuk belajar. Seseorang mempunyai kemampuan yang berbeda
bergantung pada faktor fisik dan kognitif, tingkat perkembangan, kesehatan
fisik, dan proses belajar intelektual (Potter dan Perry, 2012).

Pada usia lanjut terjadi perubahan-perubahan yang dapat mempengaruhi


proses belajar saat pendidikan kesehatan, diantaranya perubahan fisik dan
fisiologis. Perubahan fisik degeneratif dapat menyebabkan penurunan fungsi
sensori yaitu pendengaran, penglihatan, perasaan dan kemampuan merespon.
Perubahan fisiologis lain mungkin dapat menyebabkan perubahan persepsi dan
memori, kemampuan belajar dan menyelesaikan masalah (Tabloski, 2010,
Cornett, 2011). Perubahan- perubahan tersebut dapat mempengaruhi
kemampuan belajar lansia saat pendidikan kesehatan, namun sebuah
penelitian menunjukkan bahwa lansia dapat belajar dan mengingat secara efektif
jika proses belajar dilakukan secara tepat dan materi yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya (Deakins, 1994 dalam Potter dan Perry 2012).

D. Keterbatasan Penyuluhan

1. Kemampuan responden mengisi kuesioner

Terdapat beberapa kendala saat mengisi kuesioner diatntaranya


responden yang kurang terbiasa dalam hal membaca dan menulis, tidak
semua responden dapat membaca dengan baik, dan beberapa respon
mengaku memiliki gangguan penglihatan. Hal tersebut membuat waktu
pengisian kuesioner menjadi memanjang karena setiap pertanyaan
harus dibacakan satu-persatu secara perlahan dan menunggu setiap
responden memahami pertanyaannya.

2. Hubungan petugas kesehatan dengan responden.

Hubungan petugas kesehatan sebagai edukator yang belum terbangun


menjadikan interaksi dalam pendidikan kesehatan menjadi kurang hidup.

21
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka kesimpulan pada penyuluhan ini


adalah pendidikan/ pengetahuan kesehatan memiliki pengaruh terhadap
pengetahuan penderita diabetes melitus tipe 2, dimana pengetahuan responden
tentang diabetes melitus mengalami peningkatan. Berikut ini adalah rincian
kesimpulan pada penyuluhan ini:

1. Responden/ masyarakat desa yang ikut berpartisipasi dalam penyuluhan


ini memiliki karakteristik berdasarkan usia terdiri dari dua kelompok
usia yaitu dewasa muda sebanyak 20 orang dan 5 orang lansia.
Berdasarkan jenis kelamin jumlah respon laki-laki sebanyak kurang
lebih 8 orang dan perempuan kurang lebih 40 orang dan lainnya anak-
anak maupun remaja, tingkat pendidikan terakhirnya didominasi oleh
pendidikan dasar, SLTP, SLTA/SMA dan sedikitnya diploma II/ III.
Pengetahuan responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan/
penyuluhan tentang penyakit DM yaitu dari 100% masyarakat,
kebanyakan dari masyarakat masih berpengetahuan rendah, disebabkan
kurangnya pengetahuan baik dari pendidikan dan lainnya.

3. Pengetahuan responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang


penyakit diabetes yaitu ± 32% mampu menjawab dengan benar dan
lainnya masi banyak yang salah/ kurang.

4. Setelah diberikan pendidikan / pengetahuan tentang diabetes mellitus

22
kemudian responden di uji dengan mengisi kuisioner, dari hasil jawaban
yang didapat responden / masyarakat desa ± 89 % mereka mampu
menjawab dengan benar dan lainnya masih kurang.

B. Saran

1. Pelayanan Kesehatan

Lebih meningkatkan program promosi kesehatan/ penyuluhan kesehatan


terutama dalam bidang pendidikan kesehatan dan semakin memperhatikan
tingkat pengetahuan masyarakat terutama dalam bidang kesehatan diabetes
mellitus maupun lainnya.

2. Bagi Petugas Kesehatan Selanjutnya.

Melakukan penyuluhan pengaruh pendidikan kesehatan diabetes


terhadap aspek-aspek lain yang berhubungan dengan perilaku kesehatan agar
tercapai kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita diabetes.

Melakukan penyuluhan pengaruh pendidikan kesehatan yang sesuai


untuk penduduk dengan setiap karakteristik khusus yang dimiliki agar dapat
diterima secara maksimal oleh responden penelitian yang memiliki
karakteristik yang berbeda.

3. Bagi Masyarakat

Masyarakat menjadi lebih proaktif dalam mencari pengetahuan tentang


penyakitnya, dan lebih rajin mengikuti kegiatan-kegiatan pendidikan
kesehatan.

23
Daftar Pustaka

Agrimon, Orizati Hilman, 2014. Exploring The Feasibility of Implementing Self-


Management And Patient Empowerment Through A Structured Diabetes
Education Programme in Yogyakarta City Indonesia : A Pilot Cluster
Randomised Controlld Trial. Thesis. Discipline of General Practice and
Dicipline of Public Health School of Population Health. Faculty of Health
Sciences The University of Adelaide.

American Diabetes Association (ADA). 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5 diakses pada 14
Desember 2016

Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti
Sehati.2006. Buku Ajar Imu Penyakit dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakt dalam Fkultas Kedokteran Uinversitas
Indonesia. Hal. 1890.

Bare dan Suzzanne.2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 10 volume 2.
Jakarta EGC.
Bensley, Robert J. 2009. Metode Pendidikan Kesehatan Masyarakat. Ed. 2.
Jakarta: EGC.

Brownlee, Michael., Lloyd P. Aiello., Mark E. Cooper., Aaron I. Vinik., Richard


W. Nesto., and Andrew J.M. Boulton. 2011. Complications of Diabetes
Mellitus., in Melmed, Shlomo., Kenneth S. Polonsky., P. Reed Larsen., Henry
M. Kronenberg. Williams Textbook of Endocrinology, 12th ed. Philadelphia:
Elsevier.

Brunner dan Suddarth. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 10
volume 2. Jakarta EGC.

24
Burns, Nancy and Grove K Susan. 2005. The Practice of Nursing Research
Conduct, Critique and Utilization. USA: Elsevier,
Buse, Jhon B., Kenneth S. Polonsky., Charles F. Burant. 2011. Type 2 Diabetes
Mellitus., in Melmed, Shlomo., Kenneth S. Polonsky., P. Reed Larsen.,
Henry M. Kronenberg. Williams Textbook of Endocrinology, 12th ed.
Philadelphia: Elsevier.

Cantaro, Katherine. 2015. Association Between Information Sources And Level Of


Knowledge About Diabetes In Patients With Type 2 Diabetes . Endocrinol
Nutr. 2016 63 (5). pg 202 -211.

Carl j Caspersen, Daerlene Thomson dkk, 2012.Aging, Diabetes, and The Public Health

System in The United States.American Journal of Public Health.102 (8) pg


1482-1497. PMC3464829.

Chawla, Rajee. 2012. Complication of Diabetes. India: Jitendar P Vij.

Dagogo, sam .2016. Diabetes Mellitus in Developing Countries and Underserved


Communities. USA : Science Center.
Dahlan, M. Sopiyudin. 2010. Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang
Kedokteran dan Kesehatan Berdasarkan Prinsip IKVE (1741), Seri Evidence
Based Medicine 3, 2th ed. Jakarta: Sagung Seto.

Davey, Patrick .2005. At a glance Medicine. Jakarta : Erlangga

Depkes. 2009. Tahun 2030 Prevalensi diabetes melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta
orang. Depkes.go.id diakses pada 22 Januari 2017 pukul 15.30 WIB

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.2014.Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah


2014. Dinkesjatengprov.go.id diakses pada 14 Desember 2016.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Departemen Kesehatan RI .2005.

Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus.

Eisenbarth, George S dan Jhon b. Buse. 2011. Type 1 Diabetes Mellitus., in Melmed,
Shlomo., Kenneth S. Polonsky., P. Reed Larsen., Henry M. Kronenberg.
Williams Textbook of Endocrinology, 12th ed. Philadelphia: Elsevier.

25
Fatimah, Restyana Noor. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority vol 4 no 5 pg 101-93.
Fitriani, Sinta. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Grant, Janet F. Dkk. 2009. Gender-Spesific Epidemiology of Diabetes: A


Representative Cross-Sectional Study. International Journal for Equality
in Health 8:6 DOI 10.1186/1475-9276-8-6 .

Greenstein, Ben dan Diana Wood. 2010. At Glance: Sistem Endokrin ed 2.Jkt: Erlangga

Hawthorne, K. 2010. Culturally Appropiate Health Education For Type 2


Diabetes In Rthnic Minority Grups: A Systematic And Narrative
Review Of Randomiza Controlled Trial. Diabetic Medicine 27(6) 613-
623. DOI 10.1111/j. 1464-5491.2010.02954.x

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta: Medika Salemba

Hunt, W Caralise .2015. Technology And Diabetes Self-Management: An Integrative


Review. Ncbi.nlm.nih.gov

Hupp. James R. Ellis, Edward. Trucker, Myroon R. 2008. Contemporary oral


and maxillofacial surgery. 6th Edition. China: Elsevier.

Irawan DEdy. 2010. Prevalensi dan Faktor Resiko Kejadian Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Daerah Urban Indonesia (Analisis Data Sekunder Riskesdas
2007). Tesis. Depok: FKMUI.

Jasper, Unyime Sunday. 2014. Determinants of Diabetes Knowledge In A Cohort


of Nigerian Diabetik. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders. 13:39
DOI : 10.1186/2251-6581-13-39

Kathrin Maedler et al.2006.Aging Correlates with Decresed B Cell Proliferative


Capacity And Enhanced Sensitivity To Apoptosis. A potential Role for Fas
and Pancreatic Duodenal homeobox-1.Diabetes 55 (9): 2455-2464.

Kusrini, 2006. Sistem Pakar, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: C.V Andi Offset.

L, Dean, McEntyre J, 2004 National Center for Biotchnology information (US),


The genetic Landscape of diabetes.

26
M Use Kikman dkk. 2012.Diabetes In Older Adult. Diabetes Care 35 (12) 2650- 2664.
Doi : 10.2337/dc12-1801

Malini, Hema dkk. 2014. Consideration in Adopting A Culturally Relevant


Diabetes Health Education Programme: An Indonesian Example.
Collegian 2017_ 24, 185-190.

Manya, K., Champion, B., & Dunning, T. 2012. The Use Of Complementary
And Alternative Medicine Among People Living With Diabetes In
Sydney. BioMed Central Complementary and Alternative Medicine,
12(2), 1-5.

Mubarak, Wahit Iqbal., dkk. 2007. Promosi Kesehatan. Sebuah Pengantar


Proses Belajar Mengajar dalam pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nirmaya, Shrestha N.2015. Diabetes Knowledge And Associated Factors


Among Diabetes Patients In Central Nepal. International Journal of
Collaborative Research on internal medicine & Public Health. Vol 7 no
5 pg 82-91.

PERKENI.2015.Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabtes Melitus Tipe 2 Di


Indonesia 2015. Pengurus Besar PERKENI
Peter J Watkins, Stephanie A. Amiel, Sinon L. Howell, Eileen Turner . 2003.
Diabetes and Its Management. 6th Ed Hongkong: Blackwell Publishing.

Potter, P.A, Perry, A.G. 2012. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses
dan Praktik. Edisi 4. Volume 2. Alih bahasa : Renata Komalasari, dkk. Jakarta: EGC

Trisnawati, S. K., & Setyorogo, S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe
II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 6-11.

Wass, John A. H dan Stewart, Paul. 2011. Oxford Textbook Of Endocrinology And
Diabetes. New York: Oxford University press.
Willaer, Alexandra kautzky. 2016. Sex and Gender Differences in Risk,
Pathophysiology and Complications of Type 2 Diabetes Mellitus. Endocrine
reviews.37(3) : pg 278-316. DOI : 10.1210/er.
World Health Organization (WHO).2016.Global Report On Diabetes

27
http://www.who.int/diabetes diakses pada 14 Desember 2016.

Wu, Yanlin, dkk. 2014. Risk Factor Contributing to Type 2 Diabetes and Recent
Advances in the Treatment And Prevention. International Journal of Medical
Siences. 11(11). pg 1185-1200.

28

Anda mungkin juga menyukai