Anda di halaman 1dari 8

PREKLINIK KEPERAWATAN JIWA II

RESUME FILM SPLIT MIND


Oleh:
LUTHI PRATIWI (1911113562)

A. Sinopsis
Pada tahun 2007 di Tanggerang, Jawa Barat terdapat keluarga kecil dengan
seorang anak yang menderita skizofrenia. Pada saat itu kakaknya mempermasalahkan
penggunaan uang anak tersebut untuk membeli buku Sidney Sheldon’s dengan judul Sisi
Lain Diriku. Kakaknya marah-marah kepada anak tersebut karena uang kuliah digunakan
untuk membeli buku yang tidak berguna. Padahal buku itu sangat bermanfaat bagi anak
itu, namun kakaknya tidak mau mengerti sehingga membuat anak itu tertekan.
Permasalahan itu membuat ia depresi berat sehingga menambah beban baginya.
Hal tersebut memutuskan Si Anak untuk pergi kerumah kakak ketiganya dengan
menggunakan bis. Selama perjalanan menuju rumah kakak ketiganya, emosinya
berkecambuk tentang apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Pada saat anak tersebut tiba
di rumah kakak ketiganya, kakanya tidak menyambut dia dengan hangat sehingga dia
berfikir bahwa tidak ada lagi yang peduli dengannya dan ia mengatakan tidak ada lagi
gunanya dia hidup, semuanya sudah berakhir. Kemudian anak tersebut meminum 27 butir
obat anti psikotik dan 60 butir obat anti ansietas jumlahnya kira-kira 750 mg dosis dan
berfikir dia akan mati jika meminum obat tersebut.
Anak tersebut mengalami skizofrenia. Skizofrenia yang dialami anak terbut
adalah halusinasi pendengaran, dimana ia mendengar suara-sura yang banyak dan berisik.
Semuanya adalah suara yang menghinanya di mana pun ia berada. Ia merasa orang-orang
disekitarnya mengejeknya setiap saat. Anak tersebut tidak nyaman tinggal di rumah
sehingga membuatnya sering keluar rumah. Ia paling sering ke masjid, karena di sana ia
bisa berdoa dan beribadah kepada Tuhan. Akan tetapi, ketika di masjid itu ia masih
paranoid dengan orang dan suara azan, sehingga ketika akan shalat ia akan menunggu
semua orang pergi kemudian ia akan shalat sendirian.
Keluarga anak tersebut masih menganut paham lama dalam hal pengobatan,
sedangkan anak tersebut menduga bahwa apa yang sekarang dialaminya merupakan
penyakit medis. Hal tersebut membuatnya sulit untuk melakukan pengobatan ke fasilitas
kesehatan. Keluarganya menganggap ia terkena penyakit guna-guna sehingga
membawanya ke paranormal untuk melakukan pengobatan. Kakak dan Bibinya juga
membawa ia ke pesantren. Di pesantren itu banyak teman-teman yang suka
mengganggunya. Selama di sana ia diharuskan mandi di sumur keramat, ia tidak boleh
meminum obat-obatan medis, dan ia hanya diperbolehkan meminum air kelapa untuk
membersihkan darah-darahnya yang masih terpengaruh obat.
Ketika ia tidak mengonsumsi obat-obat medis, ia merasa tidak mengalami
halusinasi dalam jangka waktu 2 minggu. Tetapi, setelah itu ia bisa mengalami halusinasi
yang lebih parah dari sebelumnya. Ia mendengar suara yang lebih keras, suara yang lebih
banyak, dan suara yang lebih menyakitkan setiap saat.
Keadaan di pesantren yang seperti itu membuat halusinasinya bertambah parah
hingga ia tak tahan dan memutuskan untuk kabur dan kembali kerumah kakaknya yang
ketiga. Di rumah kakaknya tersebut, ia disambut oleh ayahnya yang memandang dingin
dan kakak ipar serta kakak kandungnya yang memarahi dan menghinanya. Ia merasa
semua orang yang ia temui menghinanya.
Keluarga anak tersebut suka pindah-pindah rumah. Pada saat penyakit skizofrenia
anak tersebut dalam fase akut, ia tinggal di Sumedang bersama ayah, ibu, dan kakak
keempatnya yang bernama Yayan. Walaupun ia tinggal bersama ayahnya, tetapi ia
merasa tidak mendapatkan simpati dari ayahnya.
Di Sumedang ia mengalami halusinasi pendengaran akut, hingga membuatnya
ketakutan. Ia tidak nyaman dengan tetangganya, sehingga ia sering berada di luar rumah
daripada di dalam rumah. Ia juga sering ke tengah sawah untuk menenangkan diri sambil
mendengarkan musik untuk menghilangkan suara-suara yang ia dengar. Namun, hal
tersebut tidak berhasil membuatnya tenang. Ia masih saja mendengar suara-suara
tersebut. Kondisi ini membuat ia merasa mengalami gangguan kejiwaan.
Biasanya, ketika halusinasinya kumat ibunya sering memberi makan nasi dan
minum padanya. Hanya ibunya yang mengurus anak tersebut. Ibunya mengalami
penyakit tumor di otaknya yang membuat ibu anak tersebut meninggal dunia. Setelah
ibunya meninggal dunia ia merasa tidak ada lagi yang memperhatikannya dan merasa
hidup ini telah berakhir. Kakak anak tersebut yang melihat kondisi adiknya yang semakin
memburuk kemudian mengajak adiknya untuk tinggal dengannya di Tanggerang.
Kakaknya yang menggantikan posisi ibunya dalam merawatnya kala itu.
Kondisi anak tersebut ketika tinggal di Tanggerang jauh lebih parah yang
membuat kakaknya khawatir. Kemudian kakaknya tersebut memutuskan bahwa adiknya
tersebut harus dirawat Rumah Sakit di Sanatorium Dharmawangsa. Di sana anak tersebut
menemui banyak orang dengan kondisi yang sama dengannya sehingga membuat ia
shock hingga mentalnya jatuh. Kemudian ia dirujuk ke Proffesor Sasanto untuk
melakukan konsultasi. Bersama Proffesor Sasonto ia bertanya apakah ia harus
beradaptasi pada lingkungan atau lingkungan yang harus beradaptasi padanya, kemudian
Proffesor Sasonto menjawab “kamulah yang harus beradaptasi dengan lingkungan”.
Di Sanatorium, anak tersebut akrab dengan beberapa orang dari beberapa daerah
hingga membuatnya merasa tempat teraman adalah rumah sakit dan teman yang
ternyaman adalah teman yang mengalami masalah sakit jiwa karena teman-temannya
langsung bisa mengertinya. Anak tersebut dirawat di Sanatorium selama 10 hari dan
kemudian ia dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di sana ia juga melakukan
konsultasi dengan Dokter Ferdy. Ketika dokter bertanya mengenai cita-cita anak tersebut,
ia menjawan bahwa ia mau menjadi penulis buku. Kemudian dokter tersebut berkata ia
memiliki buku tentang kesehatan jiwa dan meminjamkannya pada anak tersebut. Setelah
beberapa hari kemudian, anak tersebut memulai untuk menulis artikel dengan judul
“Melawan Stigma Lewat Bahasa” dan kemudan diterbitkan. Di rumah sakit, anak
tersebut meminum obat secara terus menerus dan rutin hingga penyakitnya jauh lebih
berkurang dan juga merasakan manfaat dari obat yang diminumnya tersebut.
Pada tahun 2008 anak tersebut bergabung dengan sebuah komunitas. ia merasa
komunitas tersebut sangat banyak membantunya dalam pergaulan. Ia mulai mengenal dan
berteman dengan banyak orang serta ia merasa banyak yang mendukungnya. Dalam
komunitas tersebut ternyata banyak yang mengalami masalah kesehatan jiwa akan tetapi
dapat berarti bagi orang lain. Sekarang ia sudah mampu mengendalikan halusinasinya
dan dapat beradaptasi dengan lingkungan serta memotivasi banyak orang. Ia sadar tidak
akan pernah terbebas dari skizofrenia. Sampai saat ini ia masih mengalami halusinasi dan
waham, tetapi skizofrenia menyadarkan ia bahwa derita bukanlah bencana akan tetapi
adalah pengalaman yang bermakna.
B. Analisa Data
1. Faktor Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen yang dikutip oleh Jallo (2008), faktor
predisposisi terjadinya gangguan halusinasi adalah :
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidak mampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. Didalam film tersebut pasien
tidak mau membuka diri sehingga pasien pernah mencoba membunuh dirinya
sendiri dengan menelan obat-obatan seperti 27 butir pil obat antipsikotik dan 60
butir pil obat anti kecemasan dengan jumlah 750 mg dosis obat yang membuat
passien hilang kendali terhadap tubuhnya.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku. Ketika klien tinggal di
pesantren ia mengalami hal buruk berupa teman-teman yang sering mengejeknya
sehingga membuat halusinasi pendengarannya semakin parah. Sedangkan
lingkungan (sosia budaya) yang masih berpacu pada paranormal membuat
pengobatan medis tidak di menjadi prioritas pada keluarga tersebut.
3) Sumber koping
Respon individu dalam menanggapi stress. Dalam film tersebut, pasien tidak
mempunyai mekanisme koping yang efektif terhadap masalah yang dihadapi
sehingga pasien cenderung merasa dirinya gagal dan tidak dibutuhkan orang
lain.
b. Faktor presipitasi
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang tergantung misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress. Didalam
film tersebut pasien hanya diperhatikan oleh ibunya, rendahnya kehangatan
keluarga membuat pasien tersebut menjadi stress.
2) Faktor Psikologis
Beberapa faktor psikologis penyebab halusinasi yaitu menjadi perilaku
kekerasan dan kurangnya kasih sayang dari orang-orang sekitar (Stuart &
Sundeen, 2007). Dalam film tersebut, klien sering mendapat perilaku kasar
secara fisik maupun verbal dari orang-orang sekutarnya. Klien mendapatkan
perlakuan kasar secara fisik dan vebal saat ia berada di pesantren oleh para
santri. Saat klien kabur dari pesantren dan tiba di rumah kakaknya, ia juga
mendapat perlakuan kasar secara verbal dari kakak kandung dan kakak iparnya.
Sebelumnya, klien juga pernah dimarahi oleh kakaknya ketika ia membeli buku
yang dibutuhkannya. Selain itu, klien juga kurang mendapatkan kasih sayang
dari orang tuanya, terlebih dari sang ayah yang kurang memperhatikan kondisi
klien dan sering berada di luar rumah untuk berkumpul dengan teman-temannya.
Saat pulang ke rumah, klien tidak pernah disambut hangat dan ramah oleh
ayahnya.
2. Tanda dan gejala
Menurut Stuart (2013), tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan
halusinasi pendengaran adalah sebagai berikut :
a. Klien sulit berkonsentrasi pada tugas
b. Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang
c. Respon verbal lambat atau diam
d. Duduk terpaku memandang sesuatu dan tiba-tiba berlari ke ruangan lain
e. Disorientasi (waktu tempat dan orang)
3. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang dialami klien pada film tersebut adalah:
a. Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran.
b. Resiko bunuh diri
c. Kerusakan interaksi sosial: menarik diri
d. Harga diri rendah kronis
4. Pohon Masalah
Pohon masalah menurut Rusdi (2014) adalah sebagai berikut:

Risiko Perilaku Kekerasan Effect

Gangguan persepsi sensori:


Core problem
halusinasi pendengaran

Isolasi Sosial Cause

Gangguan konsep diri:


HDR

Penolakan/kehilangan

5. Intervensi Keperawatan
Pengobatan yang telah dilakukan oleh klien dalam film tersebut adalah:
a. Klien pada awalnya dibawa ke Pesantren “R” dan diberikan minum air kelapa
setiap sore dan mandi di sumur keramat yang dipercayai oleh kiayi disana.
b. Klien dibawa ke Rumah Sakit di Senatorium Dharmawangsa oleh kakaknya
setelah kondisi klien bertambah buruk karena ibu klien meninggal dunia. Klien
bertemu dengan teman yang memiliki penyakit yang sama dengan klien. Klien
merasa aman dan nyaman dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, Di
sana klien dapat mengatasi halusinasinya dengan bercakap-cakap dengan orang
lain.
c. Klien mendapatkan beberapa cara melawan halusinasi di RSCM. Di RSCM, klien
dapat berbincang-bincang dengan dokter mengenai masalah halusinasinya dan cara
mengatasinya. Klien juga dapat melakukan aktivitas membaca dan menulis artikel
untuk mengatasi halusinasinya. Klien juga minum obat-obat secara teratur atas
bantuan perawat. Hal ini membuatnya merasa kondisinya berangsur membaik dan
ia mulai bisa mengontrol halusinasinya.
Intervensi keperawatan untuk klien dengan diagnosa keperawatan perubahan
sensori persepsi : halusinasi pendengaran adalah sebagai berikut:
a. Tujuan tindakan keperawatan
Untuk pasien:
1) Pasien mengenali halusinasinya
2) Pasien dapat mengontrol halusinasinya
3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
Untuk keluarga:
1) Keluarga dapat merawat di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif
b. Tindakan keperawatan untuk pasien
1) Membina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam
b) Merkenalan dengan klien
c) Buat kontrak asuhan keperawatan yang jelas
d) Dengarkan ungkapan klien dengan empati (mendengar keluhan, tidak
membantah)
2) Bantu mengenal halusinasinya
Jika klien tidak sedang mengalami halusinasi:
a) Diskusikan isi, waktu, dan frekuensi dari halusinasi yang terjadi.
b) Diskusikan hal yang menimbulkan atau yang tidak menimbulkan
halusinasi
c) Diskusikan apa yang dilakukan jika halusinasi timbul
d) Diskusikan dampak jika klien menikmati halusinasi
e) Diskusikan perasaan klien saat mengalami halusinasi.
3) Melatih klien mengontrol halusinasi
a) Identifikasi cara yang dilakukan klien untuk mengendalikan
halusinasinya.
b) Diskusikan cara yang digunakan, bila adaptif berikan pujian.
c) Diskusian cara mengendalikan halusinasi
i. Menghardik halusinasi
- Dilakukan saat sedang mengalami halusinasi
- Katakan pada diri “pergi kamu, kamu suara palsu, saya tidak
mau dengar kamu”.
ii. Berbincang dengan orang lain
- Dilakukan menjelang halusinasi muncul (tanda-tanda awal
halusinasi)
- Berbicara dengan orang lain mengalihkan focus perhatian dari
halusinasi
iii. Mengatur jadwal aktivitas
- Halusinasi terjadi karena banyak waktu luang
- Mengatur jadwal antivitas dapat meminimalisasi waktu luang
- Membuat jadwal harian, dan menepati jadwal yang telah dibuat
iv. Menggunakan obat secara teratur
- Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering kali
mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami
kekambuhan.
- Bila kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti
semula akan lebih sulit. Untuk itu pasien perlu dilatih
menggunakan obat sesuai program dan berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA:

Dermawan, R., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Jallo, Harnawati A. 2008. “Perilaku Kekerasan”. www.harnawatiaj.wordpress.com.

Stuart, G. W., Sundeen, J. S. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Stuart, G.W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed 5. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai