Anda di halaman 1dari 13

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “INTERAKSI SOSIAL
EDUKATIF ORANG TUA DALAM KELUARGA”.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak dosen yang telah membantu kami
dalam mengerjakan karya ilmiah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang telah memberi kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan
karya ilmiah ini.

Kami sebagai penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada karya ilmiah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari seluruh pihak senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan
karya kami. Semoga karya ilmiah ini dapat membawa pemahaman dan pengetahuan bagi kita
semua tentang INTERAKSI SOSIAL EDUKATIF ORANG TUA DALAM KELUARGA.

Entikong, Nopember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………. i

Daftar Isi ………………………………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………… 2

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………. 10

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. 11

ii
INTERAKSI SOSIAL EDUKATIF ORANG TUA DALAM KELUARGA
BAB I

Pendahuluan
Kemajuan ilmu dan teknologi terkhusus bidang komunikasi telah membawa dampak besar dalam
tatanan kehidupan keluarga, masyarakat bangsa dan negara. Memang dampak yang dirasakan
ada yang bermanfaat, memberikan efektif dan efisien dalam beraktifitas sehari-hari. Jarak
tempuh dan waktu kini sudah tidak menjadi masalah dalam komunikasi antar sesama manusia.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi
juga dirasakan manusia pada masa kini. Kejahatan disagala bidang, lunturnya komunikasi antar
manusia, terjadi degradasi mental dan etika. Dampak negatif tersebut telah membawa dampak
buruk dalam kehidupan keluarga, terjadi kejahatan dalam keluarga.
Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari
sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Ketika dianugerahi
seorang anak, orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing
anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu (kedewasaan) yang menghantarkan anak untuk
siap dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk dapat menjadi orang tua yang ideal menjalankan fungsinya dengan baik tidaklah mudah,
perlu memahami dan menghayati tanggungjawabnya dalam keluarga. Pada jaman sekarang
mungkin sebagian orang tua belum memahami secara utuh fungsinya dalam keluarga. Kondisi
ini menyebabkan banyak anak/siswa yang mengalami gangguan dan kesulitan dalam
menemukan jati dirinya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang ditemui dalam berbagai
kasus yang dialami siswa, tentu ada faktor penyebabnya adalah disfungsi dari orang tua terhadap
anak. Untuk itu dirasa sangat perlu disampaikan ulang akan tanggungjawab dan fungsi orang tua
dalam keluarga terhadap anak. Dengan harapan orang tua mampu membawa anak-anaknya
menjadi manusia yang dewasa bertanggungjawab, terhadap dirinya, terhadap keluarganya dan
terhadap masyarakat bangsa negaranya.

1
BAB II
PEMBAHASAN
Memahami Konsep Keluarga
Memahami pengertian keluarga dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain dari sisi thelogis
(agama), sosiologis, psikologis, hukum. Kesemuanya akan membawa konsekuensi yang berbeda
namun, kesemua aspek tersebut sangat integritet satu dengan yang lainya, artinya tidak bisa
dipisah-pisahkan. Ketiga mencoba memisahkannya maka akan terjadi ketidak kesimbangan
peran dan fungsi orang tua dalam keluarga. Untuk memahaminya berikut ini dipaparkan
pengertian keluarga berdasarkan pada ;
1.    Keluarga sebagai peristiwa Illahi (tinjauan Theologis)
Apabila kita memperhatikan peristiwa perkawinan, maka secara umum masyarakat dapat
menerima bahwa perkawinan adalah peristiwa yang sakral dalam kehidupan manusia. Dari
berbagai dogma agama dan kepercayaan tradisional setiap peristiwa perkawinan selalu
didasarkan pada ketentuan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menhendakinya.
Secara Kristiani, dinyakini bahwa perkawinan sejak semula adalah merupakan prakarsa dari
Tuhan Sang Pencipta dan Pemelihara manusia. Berdasarkan pada beberapa Kitab antara lain :
a.      Kejadian 1 : 27  Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 28  Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah
banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-
burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
b.      Kejadian 2 ; 18   TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
c.       Kejadian 2 ; 24  Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
d.     Matius 19 : 4  Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia
sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5  Dan firman-Nya: Sebab itu laki-
laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu
menjadi satu daging. 6  Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Berdasarkan beberapa kutipan
tersebut ada beberapa pokok pikiran penting tentang perkawinan (keluarga) antara lain :
-          Sejak semula Tuhan sendirilah yang menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, yang
ditugaskan untuk proses regenerasi dengan memenuhi bumi (prokreasi) – Kejadian 1 : 27 – 28.
-          Bahwa sesungguhnya perkawinan adalah prakarsa dari Tuhan sendiri, sehingga manusia
dalam perkawinan melakukan ketetapan Tuhan sendiri. Dalam kejadian 2 : 18 dengan jelas
Tuhan yang menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.

2
-          Bahwa kehidupan keluarga sebuah ikatan yang suci dan mandiri sehingga memiliki
kebebasan dan kedaulatan, sehingga laki-laki dan perempuan yg mempunyai ikatan suami-istri
akan menjadi satu daging tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya (Kejadian 2 : 24)
-          Landasan Theologis ini diperkuat dan dipertajam dengan ajaran Tuhan Yesus sendiri
sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 19 : 4 – 6, dengan demikian nyakinkan bahwa
Perkawinan adalah sebagai peristiwa Illahi dimana Tuhan yang telah memprakarsainya.

2.    Keluarga sebagai peristiwa Sosial (tinjauan Sosiologis)


Keluarga sebagai lembaga sosial terkecil memiliki peran penting dalam hal pembentukan
karakter individu. Keluarga menjadi begitu penting karena melalui keluarga inilah kehidupan
seseorang terbentuk.  Sebagai lembaga sosial terkecil, keluarga merupakan miniatur masyarakat
yang kompleks, karena dimulai dari keluarga seorang anak mengalami proses  sosialisasi.
Keluarga merupakan unit sosial pertama dan utama sebagai pondasi primer bagi perkembangan
anak. Untuk itu baik buruknya keluarga sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
anak.
Dalam keluarga, seorang anak belajar bersosialisasi, memahami, menghayati, dan merasakan
segala aspek kehidupan yang tercermin dalam kebudayaan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai
kerangka acuan di setiap tindakannya dalam menjalani kehidupan.
Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peran individu dalam keluarga
didasari oleh harapan dan pola prilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
3.    Keluarga sebagai peristiwa Unik antar manusia (tinjauan psikologis)

4.    Keluarga sebagai peristiwa Normatif (tinjauan Hukum)


Sedangkan pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orang tua
merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah tergantikan oleh keluarga inti yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Menurut Arifin (dalam Suhendi, Wahyu, 2000:41) keluarga
diartikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang dihubungkan
dengan pertalian darah,perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal
bersama.Selanjutnya, Abu Ahmadi (dalam Suhendi, Wahyu, 2000: 44 -52), mengenai fungsi
keluarga adalah sebagai suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau diluar
keluarga. Adapun fungsi keluarga terdiri dari:
a.        Fungsi Sosialisasi Anak.
Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui
fungsi ini, keluarga berusaha mempersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan
memperkenalkan pola tingkah laku, sikap keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan oleh mereka. Dengan
demikian, sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak.

3
b.       Fungsi Afeksi
Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa cinta. Pandangan
psikiatrik mengatakan bahwa penyebab utama gangguan emosional, perilaku dan bahkan
kesehatan fisik adalah ketiadaan cinta, yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih syang
dalam suatu lingkungan yang intim. Banyak fakta menunjukan bahwa kebutuhan persahabatan
dan keintiman sangat penting bagi anak. Data-data menunjukan bahwa kenakalan anak serius
adalah salah satu ciri khas dari anak yang tidak mendapatkan perhatian atau merasakan kasih
sayang.
c.         Fungsi Edukatif
Keluarga merupakan guru pertama dalam mendidik anak. Hal itu dapat dilihat dari pertumbuhan
sorang anak mulai dari bayi, belajar jalan, hingga mampu berjalan.
d.       Fungsi Religius
Dalam masyarakat Indonesia dewasa ini fungsi di keluarga semakin berkembang, diantaranya
fungsi keagamaan yang mendorong dikembangkannya keluarga dan seluruh anggotanya menjadi
insan-insan agama yang penuh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Model pendidikan agama dalam keluarga dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1)           Cara hidup yang sungguh-sungguh dengan menampilkan penghayatan dan perilaku
keagamaan dalam keluarga.
2)           Menampilkan aspek fisik berupa sarana ibadah dalam keluarga.
3)           Aspek sosial berupa hubungan sosial antara anggota keluarga dan lembaga-lembaga
keagamaan. Pendidikan agama dalam keluarga, tidak saja bisa dijalankan dalam keluarga,
menawarkan pendidikan agama, seperti pesantren, tempat pengajian, majelis taklim, dan
sebagainya.

e.        Fungsi Protektif
Keluarga merupakan tempat yang nyaman bagi para anggotanya. Fungsi ini bertujuan agar para
anggota keluarga dapat terhindar dari hal-hal yang negatif. Dalam setiap masyarakat, keluarga
memberikan perlindungan fisik, ekonomis, dan psikologis bagi seluruh anggotanya.
f.         Fungsi Rekreatif
Fungsi ini bertujuan untuk memberikan suasana yang sangat gembira dalam lingkungan. Fungsi
rekreatif dijalankan untuk mencari hiburan. Dewasa ini, tempat hiburan banyak berkembang
diluar rumah karena berbagai fasilitas dan aktivitas rekreasi berkembang dengan pesatnya. Media
TV termasuk dalam keluarga sebagai sarana hiburan bagi anggota keluarga.

g.        Fungsi Ekonomis
Pada masa lalu keluarga di Amerika berusaha memproduksi beberapa unit kebutuhan rumah
tangga dan menjualnya sendiri. Keperluan rumah tangga itu, seperti seni membuat kursi,
makanan, dan pakaian dikerjakan sendiri oleh ayah, ibu, anak dan sanak saudara yang lain untuk
menjalankan fungsi ekonominya sehingga mereka mampu mempertahankan hidupnya.
4
h.       Fungsi Penemuan Status
Dalam sebuah keluarga, seseorang menerima serangkaian status berdasarkan umur, urutan
kelahiran, dan sebagainya. Status/kedudukan ialah suatu peringkat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok atau posisi kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Status
tidak bisa dipisahkan dari peran. Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang
mempunyai status.
Pola Bimbingan Orang Tua Pada Anak Selain bimbingan disekolah, bimbingan dirumah sangat
penting, karena anak lebih banyak menghabiskan waktunya dilingkungan keluarga. Untuk itu
keluarga dituntut untuk dapat menerapkan pendidikan keimanan guna sebagai pegangan anak di
masa depan.
Menurut Shochib,menyebutkan ada delapan yang perlu dilakukan orang tua dalam membimbing
anaknya;
1.      Perilaku yang patut dicontoh Artinya, setiap perilakunya tidak sekedar bersifat mekanik,
tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan
identifikasi bagi anak-anaknya. Oleh karena itu pengaktualisasiannya harus senantiasa dirujukan
pada ketaatan pada nilai-nilai moral.
2.      Kesadaran diri ini juga harus ditularkan pada anak-anaknya dengan mendorong mereka
agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun
nonverbal tentang prilaku yang taat moral. Karena dengan komunikasi yang dialogis akan
menjembatani kesenjangan dan tujuan diantara dirinya dan anak-anaknya.
3.      Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang
berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalan, berkenaan
dengan nilai-nilai moral. Dengan perkataan lain orang tua telah mampu melakukan kontrol
terhadap perilaku-perilaku anak-anaknya agar tetap memiliki dan meningkatkan nilai-nilai moral
sebagai dasar berperilaku.
4.      Upaya selanjutnya untuk menyuburkan ketaatan anak-anak terhadap nilai-nilai
moral data diaktualisasikan dalam menata lingkungan fisik yang disebut momen fisik. Hal ini
data mendukung terciptanya iklim yang mengundang anak berdialog terhadap nilai-nilai moral
yang dikemasnya. Misalnya adanya hiasan dinding, mushola, lemari atau rak-rak buku yang
berisi buku agama yang mencerminkan nafas agama; ruangan yang bersih, teratur, dan barang-
barang yang tertata rapi mencerminkan nafas keteraturan dan kebersihan; pengaturan tempat
belajar dan suasana yang sunyi mencerminkan nafas kenyamanan dan ketenangan anak dalam
melakukan belajar, pemilihan tempat tinggal dapat berisonansi untuk mengaktifkan,
menggumulkan, dan menggulatkan anak-anak dengan nilai-nilai moral.
5.      Penataan lingkungan fisik yang melibatkan anak-anak dan berangkat dari dunianya akan
menjadikan anak semakin kokoh dalam kepemilikan terhadap nilai-nilai moral dan semakin
terundang untuk meningkatkannya. Hal tersebut akan terjadi jika orang tua dapat mengupayakan
anak-anak untuk semakin dekat, akrab, dan intim dengan nilai-nilai moral.

5
6.      Penataan lingkungan sosial dapat menghadirkan situasi kebersamaan antara anak-anak
dengan orang tua. Situasi kebersamaan merupakan sarat utama bagi terciptanya penghayatan dan
pertemuan makna antara orang tua dan anak-anak. Pertemuan makna ini merupakan kulminasi
dari penataan lingkungan sosial yang berindikasikan penataan lingkungan pendidikan.
7.      Penataan lingkungan pendidikan akan semakin bermakna bagi anak jika mampu
menghadirkan iklim yang menggelitik dan mendorong kejiwaannya untuk mempelajari nilai-
nilai moral.
8.      Penataan suasana psikologis semakin kokoh jika nilai-nilai moral secara transparan
dijabarkan dan diterjemahkan menjadi tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan keluarga.
Inilah yang dinamakan penataan sosiobudaya dalam keluarga.
Dari kedelapan pola pembinaan terhadap anak di atas sangat diperlukan sebagai panduan dalam
membuat perubahan dan pertumbuhan anak, memelihara harga diri anak, dan dalam menjaga
hubungan erat antara orang tua dengan anak
Unsur paling vital dalam proses belajar mengajar adalah pendidik (guru) dan peserta didik
(murid). Kita tahu, seluruh proses dan aktifitas belajar mengajar selalu melibatkan pendidik dan
peserta didik sebagai pelaksana. Pendidik dan peserta didik terikat oleh suatu hubungan timbal
balik antara pendidik dan peserta didik, baik secara langsung maupun tidak langsung demi
mencapai tujuan kegiatan. Hubungan timbal balik ini menentukan berhasil atau tidak berhasilnya
kegiatan belajar mengajar yang ditandai dengan adanya pemahaman peserta didik terkait dengan
kemampuan pribadi, baik pada ranah kognitif, affektif, dan psikomotorik.
Pengertian
            Apakah hubungan timbal balik yang dimaksudkan disini sama dengan hubungan timbal
balik dalam interaksi orang pada umumnya? Hakekatnya memang demikian. Namun dalam
pendidikan, hubungan timbal balik antara pendidik dengan peserta didik merupakan interaksi
edukatif, yakni interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku
dan perbuatan seseorang. Dalam bahasa saya, interaksi edukatif merupakan interaksi yang
sengaja diciptakan untuk untuk mencapai tujuan tertentu yaitu meningkatkan dan mengubah
kemampuan peserta didik secara kognitif, affektif, dan psikomotorik.
Alasan Pembahasan
Mungkin, ada pertanyaan mengapa saya membahas hubungan antara pendidik dan peserta didik
hari ini? Jawabannya adalah karena telah terjadi penyimpangan dalm hubungan antara pendidik
dengan peserta didik. Penyimpangan yang saya maksudkan adalah situasi dimana oknum
pendidik memanfaatkan posisinya untuk memperdayai peserta didik. Misalnya, kasus oknum
pendidik menjalin hubungan spesial dengan peserta didik, melakukan pelecehan terhadap peserta
didik dengan iming-iming kelulusan, dsb.
Ciri-ciri Relasi Guru dengan Peserta Didik
Kita tahu, proses belajar mengajar senantiasa merupakan proses kegiatan interaksi aantara
pendidik dan peserta didik dimana pendidik sebagai pihak yang mengajar dan peserta didik

6
sebagai pihak yang belajar. Dalam interaksi edukatif, terdapat sejumlah ciri-ciri yang
menjelaskan tentang interaksi belajar mengajar, yaitu:
1. Tujuan. Interaksi belajar mengajar memiliki tujuan. Jelas, tujuan interaksi edukatif tidak lain
dari pada membantu anak dalam perkembangan tertentu. Oleh karena tujuan inilah, interaksi
edukatif merupakan interaksi yang sadar tujuan dengan menempatkan peserta didik sebagai pusat
perhatian. Dalam hal ini peserta didik pun mempunyai tujuan.
2. Ada prosedur yang didesain, direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan tidak mungkin dicapai secara optimal tanpa prosedur atau langkah-langkah sistematis dan
relevan.
3. Penggarapan materi khusus. Oleh karena ada tujuan yang hendak dicapai dalam interaksi
edukatif, maka materi perlu didesain sedemikian rupa sehingga cocok untuk mencapai tujuan.
4. Adanya aktivitas peserta didik. Aktivitas yang dimaksudkan disini adalah aktivitas fisik
maupun mental. Interaksi edukatif menjadi tidak berguna apabila peserta didik pasif selama
kegiatan belajar mengajar
5. Pendidik sebagai pembimbing. Dalam interaksi edukatif pendidik berperan sebagai
pembimbing. Dalam perannya ini, pendidik berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi
peserta didik agar terjadi proses interaksi edukatif yang kondusif. Pendidik akan menjadi tokoh
yang dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik.
6. Disiplin. Interaksi edukatif membutuhkan disiplin, yaitu suatu pola tingkah laku yang diatur
sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh semua pihak dengan sadar, baik
pendidik maupun peserta didik.
7. Ada limit waktu. Tanpa batasan waktu, tujuan interaksi edukatif menjadi sulit tercapai. Limit
waktulah yang akan memebritahukan kapan tujuan itu tercapai. Dengan demikian, limit waktu
penting!
8. Evaluasi. Tujuan interaksi edukatif pun dapat diketahu dengan mengadakan evaluasi.
Bentuk Interaksi Edukatif
Interaksi edukatif dilakukan dalam beberapa bentuk dengan mempergunakan pola komunikasi,
antara lain: komunikasi sebagai aksi, yaitu komunikasi satu arah dimana pendidik
ditempatkan sebagai pemberi aksi dan anak didik sebagai penerima aksi. Dalam interaksi ini
pendidik aktif sementara peserta didik pasif. Kegiatan belajar mengajar dipandang sebagai
momen untuk menyampaikan bahan pelajaran; komunikasi sebagai interaksi, komunikasi dua
arah dimana pendidik berperan sebagai pemberi aksi atau penerima aksi. Demikian pula
halnya anak didik, bisa sebagai penerima aksi, bisa pula sebagai pemberi aksi. Terjadi dialog
antara pendidik dan peserta didik; Dan komunikasi sebagai transaksi, adalah komunikasi
banyak arah yaitu komunikasi yang tidak hanya terjadi antara guru dan peserta didik, tetapi
juga adanya tuntutan terhadap anak didik supaya aktif lebih daripada pendidik. Peserta didik
dapat berfungsi sebagai sumber belajar bagi peserta didik lainnya, seperti halnya pendidik.

7
Sebagai pemerhati pendidikan, saya mengusulkan agar interaksi edukatif dapat menggunakan
pola komunikasi sebagai transaksi. Pertimbangan saya adalah komunikasi sebagai transaksi
dapat menumbuhkan rasa kebersamaan (sense of colective) peserta didik. Rasa kebersamaan
merupakan puncak dari merasa diterima (sense of membership), yaitu perasaan yang dapat
menumbuhkembangkan peserta didik. Ketika peserta didik merasa diterima, dihormati, dan
disenangi dengan segala keadaan dirinya, maka peserta didik cenderung meningkatkan
penerimaan dirinya yang berujung pada tumbuh kembang yang sesuai harapan pendidik.
Fungsi Interaksi Edukatif
Beberapa fungsi interaksi edukatif, sebagai berikut:
1. Dapat mentransfer pengetahuan (kognitif) secara optimal. Hal ini terkait dengan pengertian
yaitu menyangkut penerimaan yang cermat pada isi pesan, ide, atau gagasan seperti yang
dikemukakan oleh pendidik. Ini pennting, oleh karena kegagalan meneriman isi pesan, ide atau
gagasan secara cermat dapat menimbulkan kesalahpahaman.
2. Memungkin terjadinya transfer norma (affektif). Hal ini erat kaitannya dengan perubahan
sikap peserta didik. Tidak hanya menyangkut norma-norma tetapi juga menyangkut kesenangan
dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Perasaan senang dapat meningkatkan motivasi
belajar peserta didik. Dalam hal ini pendidik sebaiknya bersikap luwes dan humoris. Sebuah
survey nasional terhadap 1000 peserta didik berusia antara 13 – 17 tahun menyebutkan
bahwa peserta didik lebih senang dan tertarik atau lebih menyukai pendidik yang memiliki
selera humor (Santrock, 2004 dalam Kristiandi, 2009).
3. Dapat mendukung pengetahuan yang diterima peserta didik.
4. Mengarahkan perbuatan atau tingkahlaku peserta didik sesuai dengan pengetahuan yang
diterimanya. Ini merupakan titik akhir dari interaksi edukatif.
5. Dapat meningkatkan atau menciptakan hubungan yang baik. Relasi yang baik antara pendidik
dengan peserta didik memungkinkan pendidik dapat mengetahui kebutuhan peserta didik peserta
didik. Dengan mengetahui kebutuhan peserta didik, pendidik dapat menciptakan iklim kondusif
dalam kegiatan belajar mengajar.
6. Sebagai momentum pengakuan, baik dari pendidik terhadap peserta didik maupun dari peserta
didik lainnya. Peserta didik membutuhkan pengakuan dari pendidik dan peserta didik sebagai
sumber motivasi dalam belajar. Kenyataannya, tak sedikit peserta didik yang termotivasi atau
bergairah dalam belajar bukan hanya karena motivasi berprestasi tetapi juga karena sokongan
sosial. Inilah peserta didik yang menampakkan kegairahan belajar apabila mempunyai interaksi
sosial yang akrab dengan pendidik dan teman-teman sekelas.
Kiat-kiat Membangun Interaksi Edukatif
1. Berperilaku secara profesional.
2. Berupaya sedemikia rupa untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi
perkembangan peserta didik.

8
3. Menjunjung tinggi harga diri dan integritas. Perlu diingat, relasi pendidik dengan peserta didik
merupakan relasi kewibawaan.
4. Tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didik
5. Memandang setiap tindakan peserta didik secara adil

9
BAB III
PENUTUP

            Situasi kegiatan belajar mengajar atau interaksi edukatif terjadi untuk mengaktifkan
potensi peserta didik. Sebab bagimana pun juga kunci keberhasilan proses belajar mengajar
adalah interaksi edukatif.
Kiranya mencerahkan!

10
DAFTAR PUSTAKA

http://ayubjoko0223.blogspot.com/2016/01/peran-edukatif-ortu-dalam-keluarga.html

11

Anda mungkin juga menyukai