Anda di halaman 1dari 345

Dr. H. Mustaqiem, S.H., M.Si.

, lahir di Bantul, 6 Juni


 
1953. Ia beristrikan dr. Wiwit Widiastuti, M.Kes.,
dan dikaruniai empat orang anak: Aulia Hijriastuti,
S.T., dr. Berliani Hijriawati, Cahyani Hijrifitri,
S.Farm., dan Dzikri Hijriarahmah.
Menyelesaikan Strata 1 Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta tahun 1979, dan Strata 2 Program Studi Ilmu
Administrasi Negara pada Program Pascasarjana Universitas
Gajah Mada 1995. Melanjutkan pendidikan Strata 3 pada
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga
Surabaya lulus tahun 2005. Sejak tahun 1982, sebagai
pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Penelitian yang pernah dilakukan, “Sisitem Penarikan Iuran
pembangunan Daerah (IPEDA) di Kabupaten Daerah Tingkat II
Bantul dan Pengaruhnya Bagi Pembangunan di Daerah
Tersebut”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 1979; “Implementasi Kebijaksanaan
Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Di Kabupaten Daerah
Tingkat II Sleman Dan Kabupaten Daerah Tingkat II Kulon
Progo”, Tesis, Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada
Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
PAJAK DAERAH
1995; “Pengaturan Perpajakan Daerah Dalam Sistem Hukum
Pajak Indonesia”, Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum
pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2005. Aktif
menulis di berbagai media tentang hukum pajak.

I SB N 979 - 95412 - 6 - 3

9 799 799 54 126 9

   
Dr. MUSTAQIEM, S.H., M.Si.

FH UII Press
PAJAK DAERAH
DALAM TRANSISI OTONOMI DAERAH
Dr. MUSTAQIEM, S.H., M.Si.

Desain Cover: Rano

XV + 331 hlm
Cetakan Pertama: Januari 2008

Diterbitkan Oleh:
FH UII PRESS
Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta
Po. Box. 1133 Telp. (0274) 379178, 377043
Fax. (0274) 385909

ISBN: 979-95412-6-3
Persembahan:
Guru-guruku,
terutama ibu dan ayahku
yang telah memberi bekal ilmu.
KATA PENGANTAR

Selaksa Puji dan Syukur hanya pantas dihaturkan


kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha segala Maha. Dengan
kaunia-Nya, Alhamdulillah pembuatan, penyusunan dan
penerbitan buku ini dapat diselesaikan meskipun
memerlukan proses dan waktu yang lumayan panjang.
Buku ini menyajikan materi perpajakan yang dikemas
dengan pendekatan yuridis-normatif, yuridis-administratif,
yuridis-politis, yuridis-ekonomis maupun yuridis-historis.
Kesemua pendekatan tersebut menurut penulis sangat
relevan sebagai alat untuk mengkaji bidang perpajakan.
Buku ini ditulis karena kesadaran besar penulis bahwa
negara Indonesia ini sedang mengalami persoalan besar
berkaitan dengan perpajakan. Sengketa antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah yang tidak selesai salah
satunya dalah dikarenakan pengaturan sektor perpajakan
yang tidak adil. Secara metaforis, semua negara di muka bumi
ini adalah ibarat rumah tangga besar, rumah tangga tersebut
akan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan
kelangsungan hidup anggota keluarganya. Untuk memenuhi
keinginannya tersebut diperlukan berbagai unsur, antara
viii Kata Pengantar

lain Struktur Organisasi Negara, Konstitusi Negara, Tujuan


Negara, Sumber Daya Manusia maupun Sarana dan
Prasarana pendukung lainnya.
Semua unsur pembentuk dan penopang kehidupan
negara tersebut sangat membutuhkan biaya untuk dapat
berjalan dan bertahan. Pembiayaan tersebut dapat
bersumber dari berbagai sektor dan salah satunya adalah
sektor perpajakan. Berdasar pendekatan yuridis-historis,
sektor perpajakan sebenarnya sudah dikenal sejak beberapa
abad yang lalu, seperti pada jaman Romawi Kuno dan Mesir
Kuno. Sampai saat ini sektor perpajakan masih tetap penting
untuk menopang kelangsungan hidup negara dan tetap
sebagai sumber pendanaan utama bagi setiap negara.
Sistem perpajakan ini selalu mengalami perubahan terutama
pada sistem pemungutannya.
Sistem pemungutan pajak mengalami perubahan dan
perkembangan, dari yang sederhana sampai yang paling
maju. Perubahan terjadi seiring dengan derasnya arus
perubahan kehidupan masyarakat. Secara sosiologis,
kehidupan masyarakat akan selalu berubah dari waktu ke
waktu. Misalnya, masyarakat agraris akan berubah menjadi
masyarakat industri dan masyarakat industri akan berubah
menjadi masyarakat informasi dan seterusnya. Semua
perubahan masyarakat tersebut juga berpengaruh terhadap
pengaturan pajak dalam sebuah negara.
Indonesia misalnya, sebagai negara hukum, dasar
yuridis dalam memungut pajak maupun sistem pemungutan
pajak juga mengalami perubahan. Seperti Pasal 23 ayat (2)
Mustaqiem ix

UUD 1945 diamandemen menjadi Pasal 23 A UUD 1945,


sistem pemungutannya juga berubah dari Official Assesment
System diganti dengan Self Assesment System, dan masih
banyak perubahan sektor perpajakan yang lain. Perubahan
dalam sektor perpajakan dilakukan tentu bukan sekedar
strategi agar dana dari sektor perpajakan dapat mengalir
ke Kas Negara sebanyak-banyaknya, tetapi juga agar lebih
memberikan keadilan, kepastian hukum, maupun untuk
meningkatkan pelayanan pada masyarakat (public services).
Pilihan Indonesia untuk menerapkan sistem desentralisasi
pemerintahan, juga membawa dampak perubahan yang besar
bagi pengaturan sektor perpajakan daerah. Buku ini akan
memberikan pemahaman yang cukup tentang perubahan
pengaturan perpajakan khususnya pajak daerah.
Sebagai penutup tak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga buku
ini bisa diterbitkan. Khususnya terimakasih kepada Mas Eko
Riyadi, S.H. yang telah memberikan sentuhan editing terhadap
naskah buku ini, sehingga buku ini lebih apik dan enak dibaca
dan juga telah mengawal buku ini hingga diterbitkan. Harapan
penulis semoga isi buku ini dapat bermanfaat dalam
meningkatkan kecerdasan bangsa. Terakhir, penulis sangat
mengharapkan umpan balik serta kritik dari para pembaca
demi kesempurnaan buku ini. Terimakasih.

Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si


DAFTAR ISI

Data Pengantar ~ vii


Daftar Isi ~ x
Daftar Tabel ~ xv

BAB I : PENDAHULUAN
A. Pendapatan Dalam Negeri ~ 4
B. Penerimaan Pembangunan ~ 5
1. Alasan Pembenar Negara Memungut
Ppajak ~ 27
a. Teori Asuransi (Verzekering Theorie /
Assurantie Theorie) ~ 33
b. Teori Kepentingan (Belangen Theorie) ~ 35
c. Teori Daya Pikul (Draagkracht Theorie) ~ 36
d. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak
Mutlak) ~ 39
e. Teori Daya Beli (Koopkracht Beginsel) ~ 41
2. Definisi Dan Fungsi Pajak ~ 43
a. Definisi Pajak ~ 43
b. Fungsi Pajak ~ 46
I. Cara Umum ~ 56
a. Tarif sepadan/proposional
(evenredig, propotioneel) ~ 57
b. Tarif meningkat (progressief) ~ 57
Mustaqiem xi

1) Tarif Progressief Proportioneel


~ 60
2) Tarif Progressief Degressief ~60
3) Tarif Progressief Progressief ~ 61
c. Tarif Menurun (degressief) ~ 62
d. Tarif Tetap (vast) ~ 62
II. Cara Khusus ~ 64
a. Cara Positif ~ 64
b. Cara Negatif ~ 69
3. Asas Pemungutan Pajak ~ 70
a. Asas Domisili (Domicilie Beginsel) ~ 70
b. Asas Sumber (Bron Beginsel) ~ 71
c. Asas Kebangsaan (Nationaliteits Beginsel)
~ 72
4. Kewajiban Dan Sanksi Perpajakan ~ 72
a. Kewajiban Perpajakan ~ 72
1) Kewajiban Pajak Subjektif ~ 73
2) Kewajiban Pajak Objektif ~ 75
b. Sanksi Perpajakan ~ 77
1) Sanksi Administrasi (Administratieve
Sanctie) ~ 78
2) Sanksi Pidana (Strafrechtelijke Sanctie) ~ 79
5. Sistem Pengenaan Pajak ~ 88
a. Official Assesment System ~ 89
b. Semi Self Assesment System ~ 91
c. Self Assesment System ~ 91
d. With Holding System ~ 96
6. Pengelolaan Pajak ~97
a) Pajak Langsung dan Pajak Tidak
Langsung ~ 99
b) Pajak Subjektif dan Pajak Objektif ~ 106
c) Pajak Umum dan Pajak Daerah ~ 114
7. Sistem Hukum Pajak Indonesia ~ 118
xii Daaftar Isi

BAB II : PENGATURAN BIDANG PERPAJAKAN


DAERAH DALAM SISTEM HUKUM PAJAK
INDONESIA
A. Hukum Pajak Indonesia ~ 121
1. Pengertian Hukum Pajak Indonesia ~ 124
2. Jenis-Jenis Pajak Pusat ~ 130
a) Pajak Penghasilan ~ 131
b) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
Dan Pajak Atas Barang Mewah ~ 139
c) Pajak Bumi dan Bangunan ~ 143
d) Bea Meterai ~ 146
e) Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan ~ 151
B. Kriteria Penilaian Pajak di Indonesia ~ 154
C. Perpajakan Daerah ~ 166
1. Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah ~
166
2. Pengertian Pajak Daerah ~ 170
3. Periodisasi Pengaturan Bidang Perpajakan
Daerah ~ 186
a) Periode Undang-Undang No. 11/
Darurat/Tahun 1957 Tentang Peraturan
Umum Pajak Daerah ~ 186
b) Periode UU No. 18 Tahun 1997 Tentang
Pajak dan Retribusi Daerah ~ 200
c) Periode Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi
Daerah ~ 211
d) Periode Tahun 2004 ~ 218
Mustaqiem xiii

BAB III : PRODUK HUKUM PAJAK DAERAH DALAM


SISTEM HUKUM PAJAK INDONESIA
1. Hukum Pajak ~ 229
A. Syarat Pembuatan Hukum Pajak ~ 238
1. Ditinjau dari Aspek Keadilan Vertikal ~ 244
2. Ditinjau dari Aspek Keadilan Horizontal
~ 245
3. Dilihat dari Aspek Keadilan Geografis ~
247
B. Macam-Macam Hukum Pajak ~ 253
1. Hukum Pajak Materiel ~ 253
2. Hukum Pajak Formil ~ 259
C. Kegunaan Hukum Pajak ~ 263
D. Kebijaksanaan Hukum Pajak ~ 265
2. Hukum Pajak Daerah ~ 269
A. Kriteria Penilaian Pajak Daerah ~ 269
B. Ketentuan Pembuatan Hukum Pajak
Daerah ~ 275
C. Tipe–Tipe Pajak Daerah ~ 284
1) Pajak Kendaraan Bermotor ~ 289
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ~ 291
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
~ 295
4) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan ~ 296
D. Pajak Daerah di Daerah Istimewa
Yogyakarta ~ 298
1) Aspek Filosofis, Yuridis dan Politis ~ 299
2) Aspek Ketentuan Materiil dan Formil ~ 305
3) Ketentuan Sanksi di Bidang Perpajakan
~ 311
xiv Daaftar Isi

BAB IV : P E N U T U P
Kesimpulan ~ 318
Saran ~ 319

DAFTAR PUSTAKA ~ 320


Mustaqiem xv

Daftar Tabel

1. Penerimaan Negara Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam,


PajakDan Kontribusinya Terhadap APBN Tahun 1980-
1985(dalam triliun) ~ 7
2. Penerimaan Migas dan Pajak Tahun Anggaran 1999 s/
d 2004 (dalam triliun) ~ 8
3. Penerimaan Sektor Pajak dan Presentase
SumbanganTerhadap APBN Tahun Anggaran 1999 –
2004 (dalam trilliun) ~ 17
4. Penerimaan Sektor Pajak Daerah dan Prosentase
Sumbangan Terhadap APBD Propinsi DIYTahun
Anggaran 1999 – 2004 (dalam milyar) ~ 23
5. Macam Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah Dalam
Sistem Hukum Pajak Indonesia, 1957 ~ 227
6. Nama-Nama Pajak Daerah Menurut UU No. 34 Th.2000
dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta ~ 309
BAB
PENDAHULUAN
I

Pemerintah adalah entitas masyarakat dalam suatu


negara yang diberi kewenangan untuk menjalankan
pemerintahan. Pelaksanaan pemerintahan hanya dapat
dilaksanakan dengan adanya beberapa unsur pendukung,
salah satunya adalah tersedianya dana yang memadai. Sebab
tanpa dukungan dana, semua program pemerintah tidak
akan dapat dilaksanakan dan itu berarti fungsi pemerintah
dalam suatu negara tidak berjalan secara optimal. Dana yang
diperoleh negara merupakan penerimaan yang
dipergunakan untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Anggaran tersebut merupakan uraian
pembiayaan yang dipergunakan penyelenggaraan
pemerintahan dan keperluan pembangunan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah harus
memperoleh penguasaan atas sumber-sumber ekonomi
untuk dapat menjalankan kegiatan-kegiatannya. Sumber-
sumber tersebut dapat diperoleh secara merampas seperti
dalam zaman-zaman peradaban dahulu, terutama dari
musuh-musuh yang sudah dikalahkan dan bisa diperoleh
dengan diperintahkan berdasar prosedur-prosedur hukum,
2 Pendahuluan

seperti pada wajib dinas tertentu. Sumber-sumber ini dapat


dibeli dengan uang; seperti lazimnya dilakukan dalam
masyarakat modern. 1 Uang yang dibutuhkan dapat
diciptakan oleh pemerintah atau dapat diperoleh juga
melalui pinjaman, pembayaran-pembayaran untuk jasa dan
perpajakan yang merupakan sumber biasa pada jaman
sekarang.2
Penyelenggaraan pemerintahan secara rutin banyak
menggunakan sumber dana, apalagi disertai dengan
pembangunan.3 Sumber-sumber dana tersebut diperoleh baik
dari dalam negeri maupun luar negeri yang pada dasarnya
dikelola dengan ketat. Penerimaan pemerintah memiliki arti
yang luas, meliputi pajak, hasil penjualan barang dan jasa
yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman
pemerintah, mencetak uang dan sebagainya.4 Pendapat lain
mengatakan bahwa penerimaan negara berasal dari : (a)
pungutan, (b) pinjaman, dan (c) penciptaan uang baru.
Pungutan sendiri merupakan nama himpunan yang meliputi
pajak, retribusi, sumbangan, monopoli serta pungutan-
pungutan lain.5 Selain itu dikatakan pula bahwa apa yang
diterima oleh pemerintah suatu negara dapat bermacam-
macam antara lain pajak, retribusi, hasil perusahaan negara,

1
John F. Due, Government Finance: Economic Of The Public Sector,
diterjemahkan oleh Iskandarsyah, dkk, berjudul: Keuangan Negara,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 95
2
Ibid.
3
Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan
Negara Suatu Tinjauan Yuridis, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 3
4
Suparmoko, Keuangan Negara, BPFE, Yogyakarta, 1999, hlm. 93-94
5
Andriani dalam Chidir Ali, Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1993, hlm.18
Mustaqiem 3

dinas-dinas, pinjaman dan grant (jika ada). 6 Jika


disederhanakan, penerimaan negara dapat dibedakan atas
penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak.7
Di Indonesia kewajiban pemerintah menyusun
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara didasarkan pada
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menetapkan bahwa :
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai
wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan
setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan
secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal tersebut bukan hanya sekedar mewajibkan
kepada pemerintah agar setiap tahun menyusun anggaran
negara, namun juga ada keharusan bagi pemerintah agar
penerimaan negara dapat dimanfaatan atau dipergunakan
untuk kepentingan mewujudkan tujuan negara yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat.
Istilah anggaran negara (budget-negara) biasanya
digunakan untuk menamai perkiraan normatif dari semua
pengeluaran negara dan alat-alat pembiayaan yang
diperlukan untuk menutup pengeluaran mengenai sesuatu
pada jangka waktu tertentu di masa yang akan datang,

6
Ibnu Syamsi, Dasar-Dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Bina
Aksara, Jakarta, 1988, hlm. 87
7
Tomo, HS, dkk.; Penerimaan Negara Bukan Pajak, YPAPI, Yogyakarta,
2004, hlm. 16
4 Pendahuluan

dengan waktu-waktu yang disusun teratur secara sistematis.8


Dipandang dari sudut Hukum Tata Negara, anggaran negara
dapat dirumuskan sebagai keseluruhan undang-undang
yang ditetapkan secara periodik, yang memberi kuasa
kepada kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan
pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan
alat-alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup
pengeluaran tersebut. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 merupakan suatu kebijakan yang sangat
penting agar kegiatan pemerintah dapat dikendalikan, baik
dari segi pandapatan maupun pengeluaran. Oleh karena itu
anggaran atau budget negara harus disusun lebih dahulu
sebelum pemerintah melaksanakan program kegiatan, hal
tersebut harus dilakukan agar Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dapat dipergunakan sebagai alat kontrol bagi
kegiatan pemerintah selama satu tahun anggaran.
Dana yang dipergunakan sebagai bahan penyusunan
anggaran negara di Indonesia berasal dari berbagai sumber
pendapatan, meliputi :
A. Pendapatan Dalam Negeri;
a) Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas);
b) Penerimaan di Luar Minyak Bumi dan Gas Alam (Non-
Migas);
1. Pajak Penghasilan;
2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak
8
C. Goedhart, Hoofdlijnen Van De Leer Der Openbare Financien, 1975,
diterjemahkan oleh Ratmoko, berjudul : Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan
Negara, Djambatan, Jakarta, 1982, hlm. 302
Mustaqiem 5

Penjualan atas Barang Mewah;


3. Bea Masuk dan Cukai;
4. Pajak Ekspor;
5. Pajak Bumi dan Bangunan;
6. Pajak lainnya;
7. Penerimaan Non-Pajak.
B. Peneriman Pembangunan;
a) Bantuan Program;
b) Bantuan Proyek.9
Komposisi yang dibuat pemerintah pusat tersebut
menunjukkan bahwa asal-usul dana yang dipergunakan
untuk menyusun anggaran negara yang berasal dari sektor
pajak terdiri atas berbagai macam pajak, seperti :
a. Pajak Penghasilan;
b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah;
c. Pajak Bumi dan Bangunan;
d. Bea Meterai;
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa sektor pajak
memiliki posisi yang sangat strategis bagi pendapatan
negara, sehingga hampir tidak dapat disangkal bahwa pajak
merupakan andalan pemasukan uang bagi negara. Pajak
sebagai sumber utama penerimaan negara kemudian
dikualifikasikan ke dalam beberapa bentuk antara lain :

9
Suparmoko, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta,1998, hlm.
276
6 Pendahuluan

1. State taxes;
a. Income tax;
b. Value –added tax;
c. Sales tax on luxury goods;
d. Stamp tax;
e. Property tax (on land and buildings);
f. Fiscal exit tax;
2. Regional taxes;
a. development tax (PBI);
b. Motor vehicles tax;
c. Other minor taxes, including household tax, foreigners tax,
entertainment tax, road tax, advertisement tax and radio and
television tax;
3. Customs and excise taxes;
a. export tax;
b. import tax;
c. Tobacco, sugar, beer and alcohol and gasoline taxes.10
Negara menggunakan hasil pajak untuk membiayai
kesejahteraan umum, penyelenggaraan pemerintahan,
pertahanan, dan lain-lain.11 Sesuai dengan perjalanan waktu,
alat yang dipergunakan untuk membayar pajak mengalami
perubahan. Pada waktu yang lampau keperluan membayar
pajak cukup menggunakan natura (hasil alam) maupun
tenaga (phisik), tetapi saat ini keperluan membayar pajak
harus menggunakan uang.
10
Doing Business and Investing in Indonesia, Price Waterhouse Coopers,
1994, hlm. 129
11
Soeparman, Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1994, hlm.1
Mustaqiem 7

Mulai tahun 1983, sektor pajak di Indonesia telah


dikelola secara serius, sehingga lama-kelamaan hasil pajak
menggeser posisi pendapatan yang berasal dari sektor
Minyak Bumi dan Gas Alam yang pada tahun 1980-an
pernah menjadi “primadona” bagi penerimaan negara, sebab
sektor ini pernah menjadi penyumbang penerimaan negara
terbesar dibandingkan dengan penerimaaan yang berasal
dari sektor lain. Hal tersebut dapat diketahui dalam tabel
1 berikut ini.

Tabel 1
Penerimaan Negara
Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam, Pajak
Dan Kontribusinya Terhadap APBN Tahun 1980-1985
(dalam triliun)
Tahun APBN Hasil Migas Hasil Pajak
Anggaran
1980/1981 Rp. 11.716,0 Rp. 7.020,0 Rp. 2.551,0
1981/1982 13.928,0 8.628,0 3.081,0
1982/1983 14.356,0 8.179,0 3.670,0
1983/1984 18.311,0 9.520,0 4.238,0
1984/1985 19.381,0 10.430,0 4.583,0
1985/1986 23.046,0 11.144,0 6.613,0
Sumber data: Majalah Tempo No.46 Th.ke XIII, 14-1-1984, dan No.46 Th.
Ke XV, 11-1-1986.

Harapan terhadap pendapatan yang berasal dari Minyak


Bumi dan Gas Alam ternyata tidak dapat diandalkan terus
menerus, dikarenakan harga Minyak Bumi dan Gas Alam
sangat fluktuatif disebabkan oleh pengaruh keadaan atau
8 Pendahuluan

stabilitas politik internasional yang seringkali tidak menentu,


seperti terjadi peperangan antar negara pemakai atau
penghasil minyak dan bertambahnya negara industri baru yang
memerlukan minyak seperti Korea dan Republik Rakyat Cina.
Demikian pula negara produsen Minyak Bumi dan Gas Alam
selama ini tidak pernah dapat menentukan harga minyak dan
gas bumi secara sepihak ditambah dengan adanya pembatasan
kuota bagi negara penghasil minyak. Semuanya itu
mengakibatkan pendapatan negara dari sektor Minyak Bumi
dan Gas Alam peningkatannya tidak begitu pesat seperti
pendapatan yang berasal dari sektor pajak, hal tersebut dapat
diketahui melalui tabel ke-2 dibawah ini.

Tabel 2
Penerimaan Migas dan Pajak
Tahun Anggaran 1999 s/d 2004
(dalam triliun)
Tahun Anggaran Hasil Migas Hasil Pajak
1999/2000 Rp. 40.035,6 Rp. 94.739,7
2000/2001 40.035,6 101.436,8
2001/2002 60.137,4 174.188,6
2002/2003 59.877,6 219.627,1
2003/2004 57.677,6 254.140,2
2004/2005 63.344,1 272.175,1
Sumber data: Warta Perundang-undangan No.1632,1736, 1738, 1839, 1942,
2130; UU APBN No. 19 Th. 2001, UU APBN No. 29 Th. 2002,
UU APBN No. 28 Th. 2003.

Keberhasilan penerimaan negara dari sektor pajak


tersebut antara lain dikarenakan tahun 1983 Pemerintah
Indonesia melakukan penanganan secara serius dengan
Mustaqiem 9

cara mengadakan pembaharuan (reformasi) peraturan


perundang-undangan bidang perpajakan dengan tujuan
agar sesuai dengan perkembangan keadaan yang dialami
bangsa Indonesia dari 1945 sampai dengan 1983. Selain itu,
dasar pertimbangan pembaharuan bidang perpajakan
menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, adalah:
(1) Menempatkan perpajakan sebagai salah satu bentuk
kewajiban warga negara kepada negaranya yang
merupakan peran serta dalam pembiayaan negara dan
pembangunan nasional;
(2) Bahwa sistem perpajakan yang merupakan landasan
pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini
berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia;
(3) Bahwa sistem perpajakan yang tertuang di dalam
ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku selama ini
belum dapat menggerakkan peran serta semua subyek
pajak dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri
yang diperlukan guna kelangsungan dan peningkatan
pembangunan nasional.
Radius Prawiro (Menteri Keuangan Republik Indonesia)
pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 5 Oktober
1983 menyatakan bahwa tujuan utama dari pembaharuan
perpajakan ialah untuk lebih menegakkan kemandirian
bangsa dalam membiayai pembangunan nasional dengan
jalan lebih mengarahkan segenap potensi dan kemampuan
dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan
penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber
10 Pendahuluan

di luar minyak bumi dan gas alam.12


Meskipun sebelum 1983 tidak pernah terjadi
pembaharuan di bidang perpajakan, tetapi dalam
pelaksanaan pemungutan pajak tetap berdasarkan hukum.
Dasar hukum yang dipergunakan oleh negara pada waktu
itu adalah peraturan perundang-undangan perpajakan
(lama) yang merupakan modifikasi dari produk hukum
sebelum Indonesia merdeka. Dasar hukum penggunaan
peraturan perundang–undangan lama bidang perpajakan
sebelum tahun 1983 adalah Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1952, yang menetapkan bahwa sejak 1 Januari 1951
semua undang-undang, undang-undang darurat, dan
ordonansi tentang pajak yang dikeluarkan sebelum
pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dinyatakan tetap berlaku di seluruh Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
berlaku menurut undang-undang tersebut, adalah:13
a. Undang-Undang Pajak Radio ( Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1947) diserahkan kepada Daerah;
b. Undang-Undang Pajak Pembangunan I (Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1947) diserahkan kepada Daerah;
c. Undang-Undang Darurat Pajak Peredaran ( Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1950 ) menjadi Pajak Penjualan;
d. Ordonansi Pajak Peralihan 1944, Stbl.1944 Nomor 17,
menjadi Ordonansi Pajak Pendapatan 1944;
12
Rochmat Soemitro, Pajak Penghasilan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1984,
hlm. 5
13
Usman, dkk, Pajak-Pajak Indonesia, Yayasan Bina Pajak, Jakarta, 1980,
hlm.19-20
Mustaqiem 11

e. Ordonansi Pajak Upah, Stbl. 1934 Nomor 611;


f. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Stbl.1908 Nomor
13, diserahkan kepada Daerah;
g. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor1934, Stbl.1934
Nomor 718, diserahkan kepada Daerah;
h. Ordonansi Bea Balik Nama 1924, Stbl.1924 Nomor 291;
i. Ordonansi Pajak Potong 1936, Stbl. 1936 Nomor 671,
diserahkan kepada Daerah;
j. Aturan Bea Meterai 1921, Stbl. 1921 Nomor 498;
k. Ordonansi Successie 1901, Stbl. 1901 Nomor 471;
l. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Stbl. 1932 Nomor 405.
Di antara beberapa peraturan perundang-undangan
tersebut terdapat Ordonansi, yaitu peraturan perundang-
undangan yang dibentuk Gouverneur Generaal (Gubernur
Jenderal) dan Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta dan
berlaku bagi wilayah Hindia Belanda. Ordonansi yang
masih berlaku di Indonesia kedudukannya adalah setingkat
dengan Undang–Undang sehingga dalam penyebutannya
seyogyanya masih memakai nama jenis dari peraturan
tersebut sebagaimana aslinya.14 Semisal penyebutannya
Hinder Ordonantie sebaiknya disebut Ordonantie Gangguan,
karena Ordonantie merupakan perundang-undangan pada
jaman Hindia Belanda.
Penggunaan beberapa peraturan perundang-undangan
tersebut sebagai dasar pemungutan pajak secara yuridis
konstitusional adalah sah, hal tersebut dikuatkan adanya

14
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius,
Yogyakarta, 1998, hlm. 105
12 Pendahuluan

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang


menetapkan bahwa “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang undang Dasar ini”.
Berkaitan dengan hal tersebut, negara sebenarnya
mempunyai hak istimewa mengadopsi aturan-aturan
yang bermanfaat, termasuk aturan perpajakan baik
dengan persetujuan parlemen atau tidak. 15 Meskipun
begitu terdapat kendala dalam mengadopsi hukum
seperti materi yang tidak sama dengan keadaan yang
sebenarnya”.16 Begitu pula sebagai negara yang merdeka
dituntut melakukan pembaharuan atau penggantian atas
hukum-hukum yang telah ada sebelum merdeka. 17
Langkah tersebut perlu dilakukan karena Undang-
Undang Dasar setelah Proklamasi Kemerdekaan memiliki
muatan atau substansi yang berbeda dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya. 18 Menurut Friedman,
seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, bahwa
penggantian peraturan perundang-undangan merupakan
hal yang logis dilakukan oleh bangsa yang merdeka.19

15
Stephen G. Uzt, Tax Policy (An Introduction and Survey of The Principal
Debate), West Pu-blising CO. ST. Paul, MINN, 1993, p. 55
16
RWM. Dias, at all, Jurisprudence, Fifth Edition, Butterworths, London,
1985, p. 23
17
Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm.9
18
Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung,
1989, hlm. 1
19
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sejarah Dan Perubahan
Sosial Pada Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional,
Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hlm. 37
Mustaqiem 13

Apabila dihubungkan dengan persoalan pendapatan


negara, maka urgensi pembaharuan peraturan perundang-
undangan perpajakan selain disesuaikan dengan
perkembangan bangsa Indonesia, sekaligus juga untuk
mengatasi penurunan penerimaan negara yang berasal dari
sektor Minyak Bumi dan Gas Alam. Dengan kata lain bahwa
pembaharuan bidang perpajakan dilakukan dengan tujuan
untuk menjaring penerimaan negara sebanyak-banyaknya
dari sektor pajak. Tujuan seperti itu menimbulkan
kecenderungan bahwa pembaharuan peraturan perundang-
undangan bidang perpajakan menonjolkan fungsi pajak yang
pertama yaitu fungsi anggaran (budgetair). Untuk mendukung
keperluan tersebut maka titik berat pembaharuan pada sistem
perpajakan mencakup penyederhanaan jenis pajak, tarif
pajak, cara pembayaran pajak (misalkan : Official Assesment
System dirubah menjadi Semi Self Assessment System dan
terakhir dirubah menjadi Self Assessment System) supaya
pembayaran pajak semakin adil dan merata. Selain itu ciri
utama pembaharuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ialah :
(1) Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari
pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung dan bersama–sama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara
dan pembangunan nasional;
(2) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan
pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di
bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat
14 Pendahuluan

Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat


perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban
melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan
terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan
ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-
undngan perpajakan;
(3) Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan
untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional
melalui sistem perhitungan, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
terhutang (Self Assessment). Sehingga melalui sistem ini,
administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan
dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah
untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.20
Ciri utama pembaharuan tersebut tidak berbeda dengan
kebijakan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh negara
berkembang lain, yang pada umumnya bertujuan untuk
memenuhi kepentingan pertumbuhan ekonomi, stabilitas
internal dan eksternal, serta distribusi yang tepat sehingga
hal tersebut merupakan bagian yang esensial dari kebijakan
pengembangan dan pembangunan.21
Langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan untuk
mendukung dan mewujudkan tujuan pembaharuan di
bidang perpajakan ialah dengan menghasilkan beberapa
peraturan perundang–undangan di bidang perpajakan (tax

20
Cyrus Sihaloho, Ketentuan Perpajakan, Rajawali Pers, Jakarta, 1997,
hlm. 5
21
Richard M. Bird, Tax Policy and Economic Development, The Johns
Hopkin University Press, Baltimoreand London, p. 8
Mustaqiem 15

law), yang terdiri atas :


(1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan jis Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000; UU
No. 28 Tahun 2007.
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2000;
(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah jis Undang-Undang No. 1 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
(4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi
dan Bangunan, jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992;
(5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea dan
Materai;
(6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2000;
(7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000.
Secara historis, memang demikianlah urutan pembicaraan
mengenai perpajakan. Pertama-tama diputuskan dahulu
mengenai kebijaksanaan perpajakan (tax policy), kemudian
kebijakasanaan tersebut diolah dan ditetapkan dalam bentuk
undang-undang perpajakan (tax law) dan barulah kemudian
16 Pendahuluan

dibahas masalah yang menyangkut pemungutannya oleh


aparat perpajakan yang termasuk dalam ruang lingkup
administrasi perpajakan (tax administration).22
Akibat diadakan pembaharuan, maka beberapa
perundang-undangan perpajakan yang lama dicabut
berlakunya, meliputi :
a. Pajak Pendapatan dipungut berdasar Ordonansi Pajak
Pendapatan 1944 yang telah beberapa kali diubah dan
ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1970;
b. Pajak Kekayaan dipungut berdasar Ordonansi Pajak
Kekayaan 1932 sebagaimana beberapa kali telah diubah
dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 1964;
c. Pajak Perseroan dipungut berdasar Ordonansi Pajak
Perseroan 1925 sebagai mana berkali-kali telah diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970;
d. Pajak Penjualan dipungut berdasarkan Undang-Undang
Pajak Penjualan 1951 sebagaimana telah diubah dan
ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1968;
e. Bea Meterai dipungut berdasar Aturan Bea Meterai 1921
sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 2/Prp./Tahun 1965.
Pelaksanaan pembaharuan yang diawali tahun 1983
tidak berhenti begitu saja tetapi diikuti langkah-langkah

22
Moh. Zain, dkk, Pembaharuan Perpajakan Nasional, Alumni, Bandung,
1984, hlm. 8
Mustaqiem 17

berikutnya, hal tersebut menunjukkan bahwa bidang


perpajakan mengalami dinamika yang sangat cepat
mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, sebab perubahan dalam kehidupan masyarakat
tidak pernah berhenti. Tuntutan untuk mengikuti perubahan
yang terjadi di dalam kehidupan merupakan suatu
keharusan dan ternyata membawa dampak positif yaitu
pendapatan dari sektor pajak setiap tahun mengalami
kenaikan terus, hal ini dapat diketahui pada tabel 3.
Tabel 3
Penerimaan Sektor Pajak Dan Presentase Sumbangan
Terhadap APBN Tahun Anggaran 1999 - 2004
(dalam trilliun)
No. Tahun Anggaran Jumlah APBN Jumlah Pajak %
1 1999/2000 Rp.219.603,8 Rp. 94.739,7 43,1
2 2000/2001 252.896,5 101.436,8 66,3
3 2001/2002 299.851,2 174.188,8 58,0
4 2002/2003 301.874,3 219.627,4 72,7
5 2003/2004 336.155,5 254.140,2 75,6
6 2004/2005 349.933,7 272.175,1 77,7
Sumber data: Majalah Warta Perundang-undangan No.1632, 1736, 1738,
1942, 2130, UU APBN No.19 Th. 2001, UU APBN No. 29
Th. 2002, UU APBN No. 28 Th. 2003.

Penerimaan pajak oleh negara merupakan suatu


keniscayaan dari berdirinya negara modern. Negara modern
juga menunut adanya hirarki pemerintahan yaitu pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Dalam perkembangannya,
masing-masing hirarki pemerintahan diberi wewenang
18 Pendahuluan

untuk memungut pajak dari masyarakat, sehingga dikenal


adanya penggolongan pajak pemerintah pusat dan pajak
pemerintah daerah. Penggolongan pajak tersebut dapat
diterapkan di negara kesatuan yang menggunakan sistem
otonomi daerah termasuk di Indonesia. Berkaitan dengan
bentuk negara kesatuan, maka ciri khas Pajak Nasional (Pusat)
adalah pemungutannya berdasarkan undang-undang yang
kemudian hasilnya dipakai sebagai salah satu bahan untuk
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai
dengan kepentingan nasional. Di Indonesia, pajak pusat yang
berlaku sekarang meliputi : Pajak Penghasilan; Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa; Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah; Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai; Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Hasil dari pajak-
pajak tersebut akan dipergunakan untuk bahan menyusun
anggaran negara. Selain pajak pusat, terdapat pajak daerah
yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah
yang dipergunakan untuk menyusun Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. (APBD).
Pajak Daerah di Indonesia pada tahun 1957 dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
1. Pajak Daerah yang sejak semula memang sudah
merupakan pajak asli daerah;
2. Pajak Daerah yang berasal dari pelimpahan pemerintah
Pusat.
Pajak asli daerah yang dipungut oleh Daerah Tingkat I
pada tahun 1957 terdiri atas empat hal yaitu: a)Pajak atas
izin penangkapan ikan di perairan umum dalam wilayah
Mustaqiem 19

daerah tersebut; b) Pajak sekolah yang semata-mata


diperuntukkan bagi pembiayaan pembangunan sekolah
rakyat yang menjadi beban pemerintah daerah; c) Opsen
atas pokok pajak kekayaan (Ordonansi Pajak Kekayaan
1932); d) Opsen atas pajak cukai penjualan bensin ( Pasal
13 Undang-Undang Darurat Nomor 11 tahun 1957 Tentang
Peraturan Umum Pajak Daerah).
Pajak asli daerah yang dipungut Daerah Tingkat II
(pada waktu itu) terdiri atas:
a. Pajak atas pertunjukan dan keramaian umum;
b. Pajak atas reklame sepanjang tidak dimuat dalam
majalah atau warta harian;
c. Pajak anjing;
d. Pajak atas izin penjualan atau pembikinan petasan dan
kembang api;
e. Pajak atas penjualan minuman yang mengandung alkohol;
f. Pajak atas kendaraan bermotor;
g. Pajak atas izin mengadakan penjudian;
h. Pajak atas tanda kemewahan mengenai luas dan
perhiasan kubur;
i. Pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120 hari
dalam satu tahun pajak, kecuali untuk perawatan di dalam
rumah sakit atau sanatorium, juga atas penyediaan rumah
lengkap dengan parabotnya untuk diri sendiri atau
keluarganya selama lebih dari 120 hari dari satu tahun pajak,
semua itu tanpa bertinggal tetap di daerah itu, dengan
ketentuan bahwa mereka yang berdiam di luar daerahnya
guna menjalankan tugas yang diberikan oleh negara atau
daerah tidak boleh dikenakan pajak termaksud;
20 Pendahuluan

j. Pajak atas milik berupa bangunan serta keturutannya


atau tanah kosong yang terletak dalam bagian tertentu
dari aerah, pajak mana dipungut tiap-tiap tahun untuk
paling lama 30 tahun atas dasar sumbangan yang layak
guna pembiayaan pekerjaan yang diselenggarakan oleh
atau dengan bantuan daerah dan yang menguntungkan
milik-milik tersebut;
k. Pajak atas milik berupa bangunan serta halamannya yang
berbatasan dengan jalan umum di darat atau di air, atau
dengan lapangan atau pajak atas tanah yang yang menurut
rencana bangunan daerah yang telah disahkan akan
dipergunakan sebagai tanah bangunan dan terletak dalam
lingkungan yang ditentukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
l. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukan bagi
pembiayaan pembangunan rumah sekolah rendah untuk
pelajaran umum dan pembelian perlengkapan pertama;
m. Opsen atas pokok pajak daerah tingkat atasan sepanjang
kemungkinan pemungutan opsen itu diberikan dalam
peraturan pajak daerah tingkat itu (Pasal 14, UU/Drt/
Nomor 11 Tahun 1957 Tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah).
Selain pajak asli daerah terdapat beberapa pajak-pajak
negara yang diserahkan kepada daerah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1957 Tentang
Penyerahan Pajak Negara kepada Daerah, yang terdiri:
(1) Bagi Daerah Tingkat I, meliputi:
a) Pajak Rumah Tangga;
b) Pajak Kendaraan Bermotor;
Mustaqiem 21

c) Pajak Verponding.
(2) Bagi Daerah Tingkat II, meliputi :
a) Pajak Jalan;
b) Pajak Kopra;
c) Pajak Potong;
d) Pajak Pembangunan I;
e) Pajak Verponding Indonesia.
Bidang perpajakan daerah bersamaan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak dan Retribusi Daerah mengalami perubahan
baik yang berhubungan dengan nama maupun pihak yang
berwenang memungut Pajak Daerah. Menurut undang-
undang tersebut Pemerintah Daerah Tingkat I dan Daerah
Tingkat II sama–sama tetap memiliki sumber pendapatan
daerah yang berasal dari sektor Pajak Daerah, karena dua
tingkatan pemerintah tersebut berstatus sebagai daerah
otonom. Setiap daerah otonom harus memiliki sumber
pendapatan sendiri, demikian pula menurut Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Setiap Daerah Otonom (Propinsi dan
Kabupaten/Kota) memiliki beberapa macam Pajak Daerah:
(1) Pajak – pajak Daerah Propinsi terdiri atas :
a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air;
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di atas Air;
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan.
22 Pendahuluan

(2) Pajak Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas :


a) Pajak Hotel;
b) Pajak Restauran;
c) Pajak Hiburan;
d) Pajak Reklame;
e) Pajak Penerangan Jalan;
f) Pajak Pengambilan Bahan Galian C;
g) Pajak Parkir.
Pajak daerah menjadi pemasukan utama bagi
Penghasilan Asli Daerah di berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai contoh Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah
Istimewa Yogyakarta merupakan daerah otonom yang
memiliki berbagai sumber pendapatan daerah, sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran
Negara 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839. Dalam Pasal l79 undang-
undang tersebut menetapkan bahwa sumber pendapatan
daerah bukan hanya berasal dari Pajak Daerah tetapi berasal
dari berbagai sumber:
(1) Pendapatan Asli Daerah yaitu :
a) Hasil Pajak Daerah;
b) Hasil Retribusi Daerah ; dan
c) Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
(2) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yaitu :
a) Dana perimbangan;
b) Pinjaman daerah, dan
Mustaqiem 23

c) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.


Meskipun keberadaan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, tetapi undang undang yang terbaru ini
berdasarkan pasal 157 masih tetap menentukan sumber-
sumber pendapatan daerah yang meliputi : (1) pendapatan
asli daerah yang selanjutnya disebut PAD ( hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah), (2) dana
perimbangan, (3) lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta pendapatan daerah
yang berasal dari Pajak Daerah setiap tahun dapat diketahui
jumlahnya pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4
Penerimaan Sektor Pajak Daerah
Dan Presentase Sumbangan Terhadap APBD Propinsi DIY
Tahun Anggaran 1999 - 2004
(dalam milyard)

No. Tahun Anggaran Jumlah APBD Pajak Daerah %

1 1999/2000 Rp. 119.981.718 Rp. 33.288.766 27,74


2 2000/2001 233.438.672 74.226.339 31,79
3 2001/2002 356.759.480 96.004.234 26,91
4 2002/2003 452.184.422 151.400.413 33,48
5 2003/2004 497.215.369 181.334.683 36,47
6 2004/2005 581.888.751 256.636.191 44,10
Sumber data : Perpustakaan Bappeda dan DPRD DIY.
24 Pendahuluan

Dalam dasar pertimbangan Peraturan Daerah Provinsi


Daerah Istimewa Yogykarta Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pajak Daerah yang dipergunakan sebagai dasar
pemungutan pajak daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta
dikemukakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan daerah istimewa dengan area wilayah tidak luas
dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan provinsi
lain. Selain itu, kedudukan Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY tetap diakui
dan telah diberikan sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948 tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut tetap
dipertahankan terus oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957, Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974,23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
yang terakhir Undang Undang-Nomor 32 Tahun 2004. Pasal
2 ayat (8) UU No. 32 tahun 2004 menyatakan : “Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang”.
Meskipun pilihan sistem pemerintahan di Indonesia
adalah sistem desentralistik, namun pengaturan bidang
perpajakan daerah sejak tahun 1957 sampai saat ini tetap
dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Hal itu dilakukan berdasar
pada dua macam undang-undang, yaitu Undang-Undang

23
Sujamto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm. 89
Mustaqiem 25

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Pajak dan


Retribusi Daerah. Berdasar substansi dari perundang-
undangan tersebut, maka arah kebijakan (policy) pengaturan
bidang perpajakan daerah yang dilakukan pemerintah pusat
merupakan cerminan politik hukum yang dikehendaki.
Langkah yang dilakukan oleh pemerintah ini pararel dengan
pendapat salah seorang sarjana yang mengatakan bahwa :
“Menurut asas Negara Kesatuan yang
didesentralisasikan bahwa yang pemegang kekuasaan
tertinggi atas segenap urusan negara ialah Pemerintah
Pusat (Central Government) tanpa adanya gangguan oleh
suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada
Pemerintah Daerah (Local Government).24
Menurut F. Sugeng Istanto seperti yang dikutip oleh
Josep Riwu Kaho, dia menyatakan bahwa :
“Dalam suatu Negara Kesatuan terdapat asas bahwa
segenap urusan-urusan negara ini tidak dibagi antara
Pemerintah Pusat (Central Government) sedemikian
rupa, sehingga urusan-urusan negara dalam Negara
Kesatuan itu tetap merupakan suatu kebulatan
(eenheid) dan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi
di negara itu adalah Pemerintah Pusat”.25
Pendapat lain mengatakan bahwa negara merupakan
tatanan hukum (legal order), oleh karena itu pengertian
desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan
hukum dalam suatu negara; di dalam negara ada kaedah-
kaedah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah
24
Josep Riwu Kaho, 1991, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.5
25
Ibid.
26 Pendahuluan

negara yang sering disebut kaedah sentral (central norm) dan


ada pula kaedah hukum yang berlaku sah dalam bagian
wilayah yang berbeda disebut desentral atau kaedah lokal
(local norm).26
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
tidak lepas dari persoalan politik, sehingga konfigurasi
politik tertentu menyebabkan lahirnya produk hukum
dengan karakter tertentu pula.27
Berdasarkan teori tersebut, maka konsekuensi bagi
Pemerintah Daerah ialah substansi Peraturan Daerah
(khususnya yang dipergunakan sebagai dasar pemungutan
Pajak Daerah) tidak boleh bertentangan dengan keputusan
yang telah digariskan oleh Pemerintah Pusat, seperti halnya
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal
tersebut sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor: III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 4
menetapkan bahwa : “Setiap aturan hukum yang lebih
rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan
aturan hukum yang lebih tinggi”.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut
diperkuat dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999
Pasal 70 yang menegaskan bahwa “Peraturan Daerah tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih
26
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, alih bahasa oleh Somardi
berjudul : Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif), Rindi Press, Jakarta, 1995, hlm.125
27
Moh Mahfud, op. cit., hlm. 9
Mustaqiem 27

tinggi”. Ketentuan ini juga diatur dalam Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 136 ayat 4 : “ Peraturan Daerah
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Karena
ketentuan yang dimuat dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat maupun yang dimuat dalam
Undang- Undang Pemerintahan Daerah tersebut merupakan
norma hukum, maka hal ini harus dipatuhi oleh Pemerintah
Daerah.
Ketentuan tersebut sesuai dengan analisis hukum yang
mengungkapkan bahwa karakter dinamis sistem normatif
dan sistem norma dasar menjelaskan suatu norma hukum.
Dengan istilah lain, pembentukan norma yang rendah
ditentukan oleh norma yang lebih tinggi dan rangkaian
proses pembentukan hukum diakhiri oleh suatu norma
dasar tertinggi.28
Fokus utama buku ini membahas dua hal yaitu pertama,
pengaturan bidang perpajakan daerah dalam sistem hukum
pajak Indonesia dan kedua, kriteria produk hukum pajak
daerah dalam sistem hukum pajak Indonesia.

1. Alasan Pembenar Negara Memungut Pajak


Negara adalah entitas yang menyerupai sebuah rumah
tangga besar yang selalu mengeluarkan belanja untuk
penyelenggaraan kebutuhan rumah tangga serta untuk
mencapai tujuan keluarga. Maka tidaklah berlebihan apabila
pajak sebagai alat pembiayaan normal dan digunakan secara

28
Hans Kelsen, op. cit., hlm.126
28 Pendahuluan

terus menerus oleh negara merupakan hal baru karena


sebelumnya pungutan telah ada tetapi tidak dinamakan
sebagai pajak, seperti yang terjadi sejak jaman kuno.29
Seperti halnya yang terjadi di Mesir, pengumpul pajak
digambarkan pada lukisan makam yang dibuat pada tahun
2000 SM. Orang Mesir kuno mengenakan pajak untuk
berbagai aspek kehidupan i, bahkan mencakup penggunaan
minyak untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Demikian
pula orang Roma kuno juga mempunyai sistem pajak yang
mencakup Pajak Penjualan, Pajak Warisan, dan Pajak Impor
dan Ekspor. Pada abad ke-4 SM, orang Roma membuat apa
yang digambarkan oleh penulis Charles Adam sebagai
“sejarah perlindungan pajak yang pertama”.
Pemungutan pajak oleh negara pada mulanya
berkembang di Inggris. Sejak abad ke XII, di Inggris telah
diadakan Pajak Kekayaan Umum meskipun masih dalam
bentuk yang primitive, pada pertengahan abad ke-17 sesudah
revolusi, pajak ini diganti dengan Pajak Kekayaan
berdasarkan fundasi yang lebih rasional dan ditambah
dengan pajak pendapatan umum.30 Di Perancis, kekuatan
pusat tidak begitu cepat seperti perkembangan pajak di
Inggris, karena pajak yang sifatnya tetap pertama terjadi di
Perancis baru pada abad ke-15. Kelas-kelas yang memiliki
previlege dibebaskan dari pembayaran “taille” yang untuk
sebagian terdiri dari Pajak Kebendaan Atas Barang Tak
Bergerak (taille reele) dan untuk sebagian lagi merupakan

29
C. Goedhart, op. cit., hlm.131
30
Ibid.
Mustaqiem 29

Pajak Perorangan (‘taille personelle”) yang dipungut secara


agak sukarela. Pembagian beban yang tidak merata,
pemungutan yang dilakukan semau-maunya dan adanya
privilege yang berkenaan dengan pemungutan “taille” sangat
berpengaruh terhadap timbulnya revolusi Perancis. Di
Perancis sistem perpajakan berdasar fundasi modern baru
mulai berkembang sesudah revolusi.
Kerajaan Jerman, yang merupakan keseluruhan dari
negara–negara yang berdiri sendiri–sendiri, baru mengadakan
pajak-pajak negara yang permanen pada abad ke-18. Di
Nederland, sejak abad ke-14 para tuan tanah secara teratur
dimintakan “bede” yang bersifat pungutan yang dikabulkan
oleh kota-kota dan yang dihasilkan oleh warga kota sebagai
penyerahan paksaan. Namun pungutan ini mula-mula
bersifat incidental, baru pada abad ke-15 berbagai daerah
dengan mengikuti kota-kota tersebut mulai mengenakan
pajak permanent atas bawahannya. Pada tahun 1569 Filips II
mengadakan pajak dengan perhitungan penning perseratus
(1%) dari kekayaan, penning perduapuluh (20%) dari
penjualan barang tak bergerak, dan penning persepuluh (10
%) dari penjualan barang bergerak. Usaha pengadaan pajak
oleh Filips II ini barangkali merupakan usaha pertama di
Nederland untuk sampai pada sistem permanent.
Pada tahun 1579, Uni Utrecht meletakkan dasar bagi
perkembangan sistem perpajakan. Namun dalam
Republiek der Verenigde Nederlanden “alat pembiayaan biasa”
(gemene middelen) masih tetap memegang peranan yang
sangat kecil. Baru setelah Bataafse Republiek sistem
30 Pendahuluan

perpajakan menjadi lengkap sesuai dengan yang


direncanakan oleh L.J.A. Gogel yang kemudian menjadi
dasar bagi sistem perpajakan Kerajaan Nederland yang
disahkan pada tahun 1821. Baik dalam praktek tentang
keuangan negara maupun pembahasan teoritis, mula-mula
pajak dianggap sebagai alat pembiayaan luar biasa yang
hanya dapat digunakan apabila sangat diperlukan. Sejak
dahulu alasan khusus yang terpenting bagi pemungutan
pajak ialah kebutuhan ekstra akan alat pembiayaan yang
ditimbulkan oleh peperangan.31
Pajak sebagai sumber permanen pendapatan negara
pertama-tama berkembang di kota-kota yang pada mulanya
merupakan rumah tangga publik yang berdiri sendiri.
Terbentuknya negara-negara nasional menimbulkan
kebutuhan negara akan pembiayaan yang begitu meluas,
sehingga di berbagai negara pada akhir abad pertengahan
dan permulaan jaman baru, perpajakan juga memiliki
peranan yang tidak berubah-ubah dalam keuangan negara.
Negara merupakan organisasi yang paling tinggi dan
mencakup pengertian yang paling luas.32 Larson, seperti
dikutip oleh Lawson (1991-5) dalam Arief Budiman,
mengatakan bahwa negara adalah “sebuah konsep inklusif
yang meliputi semua aspek perbuatan kebijakan dan
pelaksanaan sanksi hukuman”. Sementara Calvert, seperti
yang dikutip Arief Budiman, menyatakan negara adalah

31
Ibid.
32
Arief Budiman, Teori Negara (Negara, Kekuasaan dan Ideologi),
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 84
Mustaqiem 31

“komunitas yang diorganisir untuk suatu tujuan politik


sedangkan pemerintah adalah individu atau sebuah tim dari
individu-individu yang mengambil keputusan yang
memberi dampak bagi warga sebuah masyarakat”. 33
Pemerintah suatu bangsa adalah bagian istimewa dari
organisasi bangsa. Organisasi bangsa adalah negara dan
negara merupakan lembaga sosial yang diadakan manusia
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang vital, kolektif
dan tidak untuk memenuhi kebutuhan khusus kelompok
orang tertentu, tetapi untuk memenuhi kebutuhan seluruh
rakyat dalam negara yang bersangkutan. Hal ini bersangkut
paut dengan tujuan dan fungsi negara. Tujuan negara adalah
berkenaan dengan kepentingan seluruh rakyat, maka dapat
dimengerti bahwa biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk
mewujudkan tujuan tersebut menjadi tanggungjawab
bersama seluruh rakyat pula. Agar tujuan negara yang dicita-
citakan bersama dapat terwujud, maka negara mencari
pembiayaan dengan cara menarik pajak, artinya negara
mengumpulkan sumbangan dari penduduk maupun
lembaga yang lain. Selain memerlukan sumber pembiayaan,
dalam rangka mewujudkan tujuan negara diperlukan unsur
lain sebagai pendukung, yaitu sumber daya manusia,
peraturan perundang-undangan dan sarana prasarana.
Pemungutan pajak merupakan suatu fungsi esensial
yang harus dilaksanakan oleh negara dan hasilnya
digunakan sebagai alat penggerak kegiatan, baik untuk
kegiatan fungsi esensial itu sendiri maupun untuk kegiatan

33
Ibid.
32 Pendahuluan

fungsi jasa dan fungsi niaga.34 Di beberapa negara maju,


pajak merupakan conditio sine qua non bagi penambahan
keuangan negara, tanpa pemungutan pajak bisa dipastikan
keuangan negara akan lumpuh, terlebih bagi negara yang
sedang membangun seperti Indonesia. Sedangkan bagi
negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis, pajak
merupakan darah bagi “tubuh” negara yang bersangkutan.
Mempelajari dan memahami pajak sebagai pengisi kas
atau penerimaan negara menunjukkan bahwa negara
mempunyai pengeluaran-pengeluaran, jika negara tidak
memerlukan pembelanjaan atau pengeluaran maka tidak
akan timbul persoalan penerimaan pajak. Itulah sebabnya
negara tetap memerlukan pajak baik sebagai sumber kas
negara atau sebagai alat pengatur tergantung pada
keadaan.35 Negara sebagai salah satu asosiasi kehidupan
masyarakat merupakan organisasi yang paling penting.
Negara mempunyai spesifikasi tersendiri karena negara
adalah organisasi yang tinggi, luas dan kuat dengan
jangkauan kekuasaannya yang mencakup hampir semua
segi kehidupan warganya serta memiliki kekuasaan
memaksa (daya paksa) yang kuat.36 Negara mempunyai
sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan
yang dimiliki dan hanya terdapat pada negara saja, tidak
terdapat pada asosiasi atau organisasi lain. Umumnya

34
Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Pajak dan Keadilan, Eresco,
Bandung, hlm. 7
35
Ibid.
36
Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1993,
hlm. 8
Mustaqiem 33

negara mempunyai sifat memaksa, monopoli, dan sikap


mencakup semuanya.37 Salah satu yang dimonopoli oleh
negara adalah kebijakan pemungutan pajak (Principal taxes:
Taxes are imposed at both the national and regional levels).38
Monopoli di bidang perpajakan dapat dilakukan
dengan membuat aturan hukum yang dipakai sebagai dasar
pemungutannya. Pembuatan dasar hukum pemungutan
pajak sangat penting dalam sebuah negara hukum. Indo-
nesia sebagai negara berdaulat dan merupakan negara
hukum memiliki dasar hukum pemungutan pajak yaitu
Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945. Sejak abad ke-18,
“lahir” berbagai teori guna memberi dasar wewenang
negara untuk memungut pajak (rechts vaardigingsgrond) dari
rakyatnya. Sebagai dasar diberikannya wewenang kepada
negara untuk memungut pajak, berikut beberapa teori
pemungutan pajak.39
a. Teori Asuransi (Verzekering Theorie / Assurantie Theorie)
Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk
melindungi orang dan segala kepentingannya termasuk
keselamatan dan keamanan jiwa serta harta bendanya.
Sebagaimana halnya dengan setiap perjanjian asuransi
(pertanggungan) maka untuk perlindungan tersebut di atas
diperlukan pembayaran premi dan dalam hal ini pajak yang
dianggap sebagai preminya yang pada waktu tertentu harus

37
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, 1977, hlm. 40
38
Doing Business and Investing in Indonesia, Price Waterhouse Coopers,
1994, p. 130
39
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 10
34 Pendahuluan

dibayar oleh masing-masing. Namun penulis menganggap


bahwa perbandingan ini tidak tepat karena beberapa hal
antara lain :
1. Dalam hal timbul kerugian tidak ada suatu penggantian
dari negara, sebab jika ada imbalan yang diberikan oleh
negara dalam hal pajak maka hal ini sebenarnya
bertentangan dengan definisi pajak. Karena menurut
definisi pajak, tidak ada jasa balik secara langsung bagi
si pembayar pajak;
2. Antara jumlah pembayaran pajak dengan jasa yang
diberikan oleh negara tidak terdapat hubungan yang
langsung, karena sudah merupakan kewajiban setiap
negara memberikan (perlindungan) bagi semua warga
negaranya tanpa kecuali, baik yang berada di dalam
negeri maupun di luar negeri.
Teori ini oleh para penganutnya dipertahankan sekedar
untuk memberi dasar hukum kepada pemungutan pajak.
Teori ini sangat lemah karena persamaan tadi menimbulkan
ketidakpuasan ditambah dengan adanya ajaran yang
menyatakan bahwa pajak bukan retribusi (sehingga si
pembayar pajak tidak berhak mendapat kontraprestasi yang
lansung), dengan sendirinya teori ini mulai ditinggalkan
oleh penganutnya. Pembayaran pajak tidak dapat
disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang
kepada perusahaan pertanggungan, karena negara
mempunyai tugas memberi perlindungan kepada seluruh
rakyatnya, baik sebagai wajib pajak maupun bukan sebagai
wajib pajak. Perlindungan negara terhadap seluruh rakyat
Mustaqiem 35

dapat dibuktikan dengan tujuan negara Indonesia yang


dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alenia ke-IV, yaitu : (1) Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3)
Mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) Ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
b. Teori Kepentingan (Belangen Theorie)
Pertama kali teori ini dalam ajarannya hanya
memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut
dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus
didasarkan atas kepentingan masing-masing orang dalam
tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk
juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta
bendanya. Maka sudah selayaknya apabila biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya
dibebankan kepada masyarakat pembayar pajak. Terhadap
teori ini banyak yang mengajukan sanggahan, karena dalam
teori ini pajak disamakan dengan retribusi—untuk
kepentingan yang lebih besar yaitu perlindungan terhadap
harta benda orang yang kaya maka mereka diharuskan
membayar pajak lebih besar, dan penduduk miskin tidak
menjadi perhitungan— pada hal sangat mungkin penduduk
miskin mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal
tertentu misalnya perlindungan jaminan sosial (Jaringan
Pengaman Sosial Keluarga Miskin). Konsekuensi dari teori
ini adalah mereka harus membayar pajak lebih besar juga,
36 Pendahuluan

dan ini merupakan suatu hal yang bertentangan dengan


kenyataan. Pada tataran Pajak Daerah Kabupaten/Kota,
Pajak Penerangan Jalan (PPJ) dipungut kepada seluruh
konsumen Perusahaan Listrik Negara (PLN) tetapi yang
menikmati penerangan jalan bukan hanya pihak pembayar
pajak saja tetapi termasuk pihak yang tidak membayar
Pajak Penerangan Jalan yang dipasang oleh pemerintah
daerah.
Kadang-kadang orang berbicara tentang hak warga negara
untuk “dilindungi” oleh negaranya sebagai imbalan dari
kesetiaannya. 40 Kesetiaan dan perlindungan tidak
menunjukkan apa-apa selain kewajiban-kewajiban yang
dibebankan oleh tata hukum kepada warga negara yang
menjadi subyeknya. Secara hukum, kesetiaan dan
perlindungan berarti tidak lain bahwa organ–organ dan
subyek-subyek negara harus memenuhi kewajiban-kewajiban
hukum yang dibebankan kepadanya oleh tata hukum.41
c. Teori Daya Pikul (Draagkracht Theorie)
Teori ini pada hahikatnya mengandung kesimpulan
bahwa dasar keadilan pemungutan pajak adalah terletak pada
jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya berupa
perlindungan atas jiwa dan harta benda. Untuk keperluan ini
dibutuhkan biaya dan sewajarnya apabila biaya-biaya tersebut
dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan
negara yaitu dengan cara membayar pajak. Awal mula yang

40
Hans Kelsen, op. cit., hlm. 237
41
Ibid.
Mustaqiem 37

menjadi pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu


tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk setiap orang.
Pajak harus dibayar menurut daya pikul seseorang dan
sekedar untuk mengukur daya pikul dapat dipergunakan
berbagai cara, selain besarnya penghasilan dan kekayaan
juga pengeluaran belanja (vertering) seseorang. Semisal
dalam pemungutan pajak penghasilan yang menggunakan
tarif progresif menunjukkan bahwa pengenaan pajak
didasarkan atas besarnya Penghasilan Kena Pajak masing-
masing Wajib Pajak, hal tersebut dapat membedakan
kemampuan dalam membayar pajak penghasilan antara yang
satu dengan lainnya. Selanjutnya pada pemungutan Pajak
Daerah, misalnya Pajak Restoran, setiap konsumen restoran
akan dikenai pajak 10% dari jumlah uang yang dibelanjakan.
Jika konsumen yang bernama tuan A membelanjakan uangnya
sejumlah Rp. 300.000,- untuk membeli makanan di restoran,
ia akan dikenakan pajak 10%, maka kewajiban pajak yang harus
dibayar adalah = Rp. 300.000,- X 10% = Rp. 30.000,- ; sebaliknya
jika tuan C sebagai konsumen di restoran hanya
menghabiskan sejumlah uang Rp. 100.000,- maka ia hanya
akan dikenakan pajak restoran sebesar Rp. 100.000,- X 10% =
Rp. 10.000,- Ini menunjukkan bahwa konsumen yang
menghabiskan uang dengan jumlah besar untuk belanja di
restoran akan dikenakan pajak restoran dengan jumlah nomi-
nal besar, demikian juga sebaliknya. Teori ini sampai saat ini
masih dipertahankan dalam lapangan hukum pajak.
W.J. de Lengen seperti yang dikutip oleh Santoso
Brotodihardjo berpendapat dalam bukunya: “De
38 Pendahuluan

Grondbeginselen van het Ned. Belasting recht” bahwa asas daya-


pikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting
dalam hukum pajak, walaupun tidak dapat disangkal bahwa
ada asas-asas lain yang semenjak tahun 1919 makin menduduki
tempat yang utama pula, seperti : asas perolehan utama
(bevoorrechte verkrijging) dan asas kenikmatan (profijtbeginsel).42
W.J. de Langen, seperti yang dikutip oleh Santoso
Brotodihardjo mengatakan bahwa daya pikul ini
menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang
sama atas individu seimbang dengan luasnya pemuasan
kebutuhan (behoeftenbevrediging) yang dapat dicapai oleh
seseorang, sehingga pemuasan kebutuhan yang diperlukan
untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan dan sisanya
inilah yang disamakan dengan daya pikul seseorang.43
A.J. Cohen Stuart, seperti yang dikutip oleh Santoso
Brotodihardjo, sarjana yang telah memperdalam
penyelidikannya mengenai daya pikul ini dalam disertasinya
menyamakan daya pikul dengan sebuah jembatan. Dia
mengatakan bahwa sebuah jembatan harus bisa memikul
bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk dibebani dengan bobot
yang lain. Dia juga memberikan ajaran bahwa kebutuhan yang
sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat tidak boleh
dimasukkan dalam pengertian daya pikul.44 Kekuatan untuk
menyerahkan uang kepada negara barulah ada jika
kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia.

42
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung,
1986, hlm. 12
43
Ibid.
44
Ibid. hlm.13
Mustaqiem 39

Hak yang pertama setiap manusia adalah hak untuk hidup,


maka sebagai anasir pertama disarankan adanya standar
minimum kehidupan (bestaans-minimum).
Walaupun tidak pernah disebutkan secara eksplisit,
namun pada zaman modern ini para ahli pajak cenderung
menggantungkan jumlah pajak dari besarnya penghasilan.
Sehingga makin tinggi penghasilan seseorang maka semakin
naiklah prosentase pajaknya, namun pertama-tama yang
harus diperhatikan negara adalah besarnya tanggungan
keluarga dari masyarakat pembayar pajak. Hal semacam
ini dianggap sudah sesuai dengan rasa keadilan.
Indonesia menggunakan sistem pemungutan pajak seperti
ini. Dalam pemungutan pajak penghasilan di Indonesia
digunakan tarif pajak yang bersifat progresief, sehingga
semakin besar jumlah Penghasilan Kena Pajak maka
semakin besar pajak yang harus dibayar. Demikian pula
mengenai besarnya tanggungan keluarga antara wajib pajak
yang satu dengan lainnya bisa berbeda, sehinga hak
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) antara wajib pajak
yang satu dengan lainnya jumlahnya harus berbeda.
d. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak)
Tiga teori di atas samasekali tidak memposisikan
kepentingan negara di atas kepentingan masyarakat. Teori
Bakti ini memberikan pemahaman yang berlawanan dari
teori yang sebelumnya. Teori ini berdasar pada faham
“organische Staatsleer”, yaitu bahwa justru karena sifat negara
maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-
orang tidak berdiri sendiri, dengan ada persekutuan yang
40 Pendahuluan

bernama negara, maka tidak ada individu. Oleh karenanya


persekutuan yang menjelma dalam negara, berhak atas satu
dan lain. Semenjak berabad-abad hak ini telah diakui dan
orang selalu menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk
membuktikan tanda bakti atau kesetiaannya terhadap
negara dalam bentuk pembayaran pajak. Bakti atau kesetiaan
secara hukum berarti tidak lebih dari kewajiban umum
(termasuk membayar pajak) untuk memenuhi tata hukum,
suatu kewajiban yang dimiliki juga oleh orang-orang asing
dan kewajiban tersebut tidak dilahirkan oleh sumpah setia.
Seperti orang asing yang bertempat tinggal atau tidak
bertempat tinggal di Indonesia tetapi memiliki sumber
penghasilan di wilayah Indonesia maka ia akan dikenakan
pajak penghasilan oleh pemerintah Indonesia.
W.H. Van Den Berge dalam bukunya “Beginselen van de
Belastingheffing”, sebagaimana dikutip oleh Santoso
Brotodihardjo mengutarakan bahwa negara sebagai
“Groepverband” (organisasi dari golongan) dengan
memperhatikan syarat-syarat keadilan bertugas
menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat
dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya,
termasuk tindakan dalam lapangan pajak.45 Jadi menurut teori
ini dasar hukum pajak terletak dalam hubungan rakyat dengan
negara yang memungut pajak dari padanya. Meskipun
demikian, dalam negara-negara demokrasi pajak yang dibayar
penduduk harus atas persetujuannya sendiri atau partisipasi
aktifnya melalui lembaga perwakilan rakyat. Pajak yang
45
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 14-15
Mustaqiem 41

dipungut juga harus dipergunakan oleh pemerintah untuk


membiayai pengeluaran-pengeluaran dalam usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.46 Di Indonesia, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam hal
melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh serta merta
tetapi lebih dahulu harus dimintakan persetujuan kepada
rakyat yang diwakili oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini dilakukan
melalui perencanaan, pembuatan, pembahasan dan
persetujuan dan pengundangan peraturan perundang-
undangan yang akan dipakai sebagai dasar hukum
pemungutan pajak. Keharusan pelibatan masyarakat melalui
DPR itu terjadi karena rakyatlah yang nantinya akan menjadi
sasaran peraturan perundang-undangan perpajakan.
e. Teori Daya Beli (Koopkracht Beginsel)
Teori Daya Beli adalah teori modern. Sebab teori ini
tidak mempersoalkan asal-usul negara memungut pajak
melainkan hanya melihat kepada efeknya dan memandang
efek yang baik itu sebagai dasar keadilan pemungutannya.
Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan
masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu,
bukan pula kepentingan negara, melainkan kepentingan
masyarakat yang meliputi keduanya. Teori ini menitik
beratkan ajarannya kepada fungsi kedua pemungutan pajak
yaitu fungsi mengatur (regulerend).

46
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, 2003, hlm.6
42 Pendahuluan

Menurut para penganutnya, teori ini berlaku sepanjang


masa baik dalam masa ekonomi bebas maupun dalam masa
ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang
sosialistis, walaupun tidak terluput adanya variasi dalam
coraknya. Tidak demikian halnya dengan teori-teori lainnya
yang hanya berlaku pada masa tertentu saja.47
Indonesia mendasarkan pemungutan pajak pada
Undang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia yang
merupakan sebuah organisasi didirikan bukan tanpa tujuan,
tetapi memiliki tujuan yang dicantumkan pada alenia ke IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan yang telah
ditetapkan harus diwujudkan untuk memenuhi keperluan
masyarakat. Guna mewujudkan tujuan tersebut, negara
memerlukan sumber pendapatan, salah satu sumber
pendapatan berasal dari sektor pajak. Kewenangan negara
melakukan pemungutan pajak di Indonesia tidak begitu saja
dilakukan, tetapi didasarkan atas alasan yuridis
konstitusional yang diatur Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang
Dasar 1945 (telah diamandemen dengan Pasal 23 A Undang-
Undang Dasar 1945). Hal ini menunjukkan bahwa
pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara
(pusat maupun daerah) semata-mata didasarkan atas aturan
hukum bukan didasarkan pada alasan lain, dan pelaksanaan
pemungutan pajak seperti ini selaras dengan status Indone-
sia sebagai negara hukum. Hal tersebut, tidak jauh berbeda
dengan pendapat Julius Stahl, seperti yang dikutip oleh SF.
Marbun, bahwa salah satu unsur negara hukum adalah

47
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 15
Mustaqiem 43

pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan


hukum (wet matigheid van het bestuur).48

2. Definisi Dan Fungsi Pajak

a. Definisi Pajak
Menurut kebanyakan sarjana di bidang perpajakan,
sebenarnya pendefinisian pajak tidaklah sesukar
pendifinisian hukum. Namun demikian, banyak juga sarjana
yang memberikan definisi yang cukup rumit, beraneka-
ragam bahkan sering kali menimbulkan perbedaan
pendapat yang tajam diantara mereka. Kenyataan ini
nampak jelas dalam berbagai ragam definisi pengertian
pajak yang berasal dari para ahli dalam berbagai literatur.
Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Santoso
Brotodihardjo, pajak adalah iuran kepada negara yang dapat
dipaksakan, yang terhutang oleh wajib pajak menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.49
Menurut N.J. Feldmann, sebagaimana dikutip oleh Erly
Suandy, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh
dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang
ditetapkan secara umum) tanpa ada kontra prestasi dan

48
SF Marbun, at all; Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta,
2001, hlm. 7
49
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 2
44 Pendahuluan

semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-


pengeluaran umum.50
Menurut Smeet, sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali,
pajak adalah prestasi-prestasi kepada pemerintah yang
terhutang melalui norma-norma umum yang diterapkan,
dapat dipaksakan tanpa daya kontra prestasi terhadapnya,
dapat ditujukan dalam hal yang khusus pribadi dan
dimaksudkan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
negara.51
Pendapat Edwin Robert Anderson Seligman : “ a tax is
a compulsory contribution from the person to the Government to
defray the expenses incurred in the common interest of all without
reference to special benefits conferred.52
Dari beberapa definisi tersebut jika dirangkum dapat
menghasilkan rumusan pengertian pajak yang tidak akan
mengalami pergeseran meskipun terjadi perubahan
peraturan perundang-undangan pajak. Rumusannya adalah
“Pungutan yang dilakukan oleh negara, berdasarkan
undang-undang, pelaksanaannya dapat dipaksakan dan
kepada wajib pajak tidak ada jasa balik secara langsung”.
Selain itu, beberapa definisi pajak tersebut, cenderung
masih dalam lingkup fungsi pajak yang pertama yaitu pajak
untuk memasukkan dana sebanyak-banyaknya ke kas
negara (Budgetair). Menurut Asher dan Heij seperti yang
dikutip oleh Safri Nurmantu, unsur-unsur yang selalu

50
Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hlm. 9
51
Chidir Ali, op. cit., hlm. 39
52
Edwin R.A. Seligman, Essay on Taxation, New York, 1925, p. 432
Mustaqiem 45

berulang kali disebut dalam definisi-definisi pajak, ialah:


(1) a legal compulsory, (2) contribution in monetary form, (3) by indi-
viduals, organizations or other entities, (4) received by the government,
(5) for public purposes.53
Di manapun, pemungutan pajak merupakan kebijakan
yang dibuat oleh negara, sehingga pihak yang berhak
memungut pajak adalah negara pula. Kebijakan pemungutan
pajak di negara modern (hukum) tentu didasarkan pada
aturan hukum, seperti halnya di Indonesia pada awalnya
didasarkan pada Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Dasar
1945 yang kemudian diamandemen menjadi Psal 23 A
Undang Undang Dasar 1945. Di Amerika Serikat, kekuasaan
perpajakan didasarkan pada Konstitusi Amerika Serikat,54
Bagian 8, Artikel I. Konstitusi tersebut memberikan
kekuasaan kepada Congress untuk memungut pajak-pajak:
“ Congress mempunyai kekuasaan untuk mengenakan serta
memungut pajak-pajak, bea dan cukai, serta accijns untuk
membayar hutang negara serta memelihara pertahanan
umum dan kesejahteraan umum dari Amerika Serikat…”.
Sedangkan di Canada, kekuasaan memungut pajak
didasarkan pada Konstistusi Canada yang berbunyi: “
Pemerintah Dominion diberikan kekuasaan secara tak terbatas
untuk memungut pajak-pajak dan diberikan kekuasaan untuk
membuat undang-undang mengenai cara mendapatkan dana-
dana dengan tiap cara atau sistem perpajakan”.55

53
Safri Nurmntu, op. cit., hlm.13
54
John F. Due, Government Finance (Keuangan Negara), Terj. Iskndarsyah
& Arief Janin, UI-Press, Jakarta, 1985, hlm. 128-129
55
John F. Due, op. cit., hlm. 135
46 Pendahuluan

b. Fungsi Pajak
Penjelasan tentang fungsi pajak akan diawali dengan
pembicarakan tentang tujuan pajak. Sebab selain
mempunyai fungsi, secara otomatis pajak juga mempunyai
tujuan. Antara fungsi dan tujuan tentu saja memiliki
pengertian yang tidak sama. Guna mempertegas perbedaan
antara fungsi dan tujuan pajak, maka uraian selanjutnya
lebih dahulu akan membahas mengenai tujuan pajak.
Tujuan pemungutan pajak adalah untuk mencapai
kondisi ideal dari suatu negara. Oleh karena itu tujuan
pemungutan pajak mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan tujuan negara, sehingga tujuan pajak tidak dapat
dilepaskan dari tujuan negara. Tidaklah berlebihan apabila
tujuan pajak harus selaras dengan tujuan negara, dalam arti
pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara
yang dipergunakan untuk mendukung terwujudnya tujuan
negara dengan cara mengefektifkan fungsi pemerintah
dalam suatu negara. Berdasarkan uraian tersebut, negara
dapat dipandang sebagai asosiasi yang hidup dan bekerjasama
dan mengejar beberapa tujuan negara. Dapat dikatakan bahwa
tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan
bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal).
Selanjutnya, fungsi pemerintah dalam suatu negara dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, antara lain:56 (1)
Fungsi melaksanakan ketertiban (law and order). Untuk
mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan

56
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988,
hlm. 46
Mustaqiem 47

dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban.


Dalam hal ini negara bertindak sebagai “stabilisator”. (2) Fungsi
mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Fungsi
ini sangat penting terutama terutama bagi negara–negara baru.
(3) Fungsi pertahanan. Fungsi ini diperlukan untuk menjaga
kemungkinan serangan dari luar sehingga negara dilengkapi
dengan alat pertahanan. (4) Fungsi menegakkan keadilan.
Fungsi ini dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pengadilan
baik tujuan pajak maupun tujuan negara semuanya
bersumber pada tujuan masyarakat, yaitu suatu cita-cita
yang tumbuh dan terkandung dalam masyarakat untuk
dicapai dan diwujudkan oleh negara sebagai alat
perjuangan atau sebagai organisasi rakyat yang tinggi.
Tujuan masyarakat inilah yang menjadi filsafat bangsa atau
negara, sehingga pajak tanpa tujuan masyarakat tidak akan
mungkin dapat menunaikan tugasnya yang selaras dan
seirama dengan apa yang telah menjadi tujuan masyarakat
seluruhnya. Maksud dan tujuan masyarakat inilah yang
menjadi filsafat suatu bangsa atau negara dan unutk
kepentingan tersebut maka harus dicantumkan dalam
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara dan harus
diwujudkan melalui proses dan waktu yang tidak terbatas.
Tujuan dan fungsi pajak tidak mungkin terlepas dari
tujuan dan fungsi negara yang mendasarinya, sehingga
pajak yang dipungut dari masyarakat akan dipergunakan
untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Pajak tidak
mungkin lepas dari pertumbuhan dan perkembangan
negara, meskipun pajak bukan merupakan satu-satunya
48 Pendahuluan

sumber penerimaan negara. Negara memerlukan pajak


untuk memutar roda pemerintahan demi kelangsungan
hidup negara dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat
seluruhnya. Selain penerimaan yang berasal dari sektor
pajak, penerimaan negara juga berasal dari sektor lain
seperti minyak dan gas bumi, penerimaan bukan pajak dan
penerimaan pembangunan.
Fungsi pajak bukan hanya “budgeter” saja yaitu untuk
memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas
negara, melainkan masih ada fungsi lain yaitu “regulerend”
atau mengatur.57 Meskipun fungsi budgeter dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak, tetapi
tidak semua orang akan dikenakan pajak. Secara yuridis,
suatu pajak akan terutang apabila telah memenuhi syarat-
syarat subyektif dan obyektif. Syarat-syarat subyektif
merupakan ketentuan yang berhubungan dengan subyek
pajak (orang pribadi atau badan). Misalnya orang yang
bertempat tinggal di Indonesia pada prinsipnya memenuhi
syarat subyektif, tetapi bagi orang yang bertempat tinggal di
luar Indonesia dinilai telah memenuhi syarat subyektif apabila
telah memenuhi beberapa syarat tertentu, seperti memiliki
hubungan ekonomis dengan Indonesia sesuai yang disebut
dalam peraturan perundang-undangan pajak. Adapun syarat
obyektif itu berkaitan dengan hal-hal berikut, seperti memiliki
penghasilan, terjadi penyerahan barang atau jasa kena pajak,
timbulnya perolehan hak milik atas tanah dan bangunan.

57
Santoso Brotodihardjo, oc. cit., hlm.116
Mustaqiem 49

Menurut perspektif para sarjana yang konserfatif, pajak


haruslah ditujukan kepada usaha untuk semata-mata dapat
menutup biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk
menunaikan tugasnya. Maka dari itu, menurut pendapat
mereka, pengenaan pajak hanya dipandang dari sudut
ekonomi sehingga harus diatur senetral mungkin dan
sekali-kali tidak boleh dibelokkan untuk mencapai tujuan-
tujuan yang menyimpang dari padanya.
Sebaliknya, masih banyak para sarjana progresif yang
menentang keras teori di atas. Mereka mengatakan bahwa
bahwa di samping usaha untuk memasukkan uang ke kas
negara, pajak harus dimaksudkan pula sebagai usaha
pemerintah untuk turut campur tangan dalam hal mengatur
dan bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan
kekayaan dalam sektor partikelir.
Pendapat kedua semenjak akhir abad XIX makin
mendapat sambutan yang hangat dan lambat-laun maksud
pendapat ini semakin meluas bahkan dapat dikatakan teori
ini menjadi mazhab berbagai negara moderen. Artinya,
negara modern harus memasukkan tujuan pajak untuk
mengatur susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor
partikelir sebagai tujuan pokok dari sistem pajak. Setidak-
tidaknya, suatu sistem pemungutan pajak yang sewajarnya
harus tidak bertentangan dengan kebijakan negara dalam
lapangan ekonomi dan sosial.58
Teori semacam ini dalam prakteknya diselenggarakan
oleh pembuat undang-undang pajak, di samping melihat

58
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm.116
50 Pendahuluan

kepada fungsi budgetair selalu pula memperhatikan fungsi


regulerend (mengatur) dalam perundang-undangan pajak
yang dibuat. Dalam prakteknya, seringkali fungsi dalam
konteks politik ekonomi diposisikan pada temapt yang kedua,
sedangkan fungsi pengaturan lebih diutamakan. Meskipun
fungsi pertama dari pajak adalah untuk memasukkan uang
sebanyak-banyaknya ke kas negara, namun tidak semua
subyek pajak akan dikenakan pajak. Karena dari segi hukum
pajak, subyek pajak baru akan menjadi wajib pajak jika yang
bersangkutan memenuhi syarat-syarat subyektif ( yang
berhubungan dengan subyek pajak, apakah orang pribadi atau
badan) dan obyektif (berhubungan dengan obyek pajak,
seperti kepemilikan bumi dan bangunan, penghasilan,
penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak).
Aplikasi dari fungsi pajak yang kedua (regulerend),
seperti dalam hal pengenaan pajak yang tinggi terhadap
barang-barang yang tergolong mewah bertujuan untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif masyarakat. Tarif Pajak
Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima
persen). Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 968/
KMK.04/1983 tentang Macam dan Jenis Barang yang
dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terdiri atas:
a. Minuman ringan yang tidak mengandung alkohol yang
diproduksi dengan mempergunakan cara pengolahan
serba otomatis, seperti Coca-Cola, Pepsi Cola, Sprite,
Seven Up, Fanta, Mirinda, Canada Dry, The Botol, F&N,
Mustaqiem 51

dan minuman sejenis yang lain baik dalam kemasan


botol, kaleng, karton dan jenis kemasan lainnya;
b. Kendaraan bermotor beroda dua segala merk dan jenis;
c. Alat-alat mewah dengan tenaga listrik atau gas untuk
keperluan rumah tangga dan hiburan, seperti: refregerator,
mesin cuci, penghisap debu, kompor listrik/gas, televisi
berwarna, pesawat penerima, radio stereo, tuner, amplifier,
compact radio cassette recorder, equalizer, synthezier, loudspeaker,
cassette tape deack, stereo tape recorder & player, piringan hitam,
dan record changer (gramafon);
d. Alat-alat photografi dan perlengkapannya seperti
kamera, proyektor, lensa kamera dan segala jenis film;
e. Alat-alat olah raga mewah dan perlengkapannya seperti
alat olah raga golf, olah raga berkuda, bowling, bilyard,
dan perlengkapannya;
f. Segala jenis permadani;
g. Perlengkapan rumah tangga dan sanitair mewah.
Penggolongan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI
sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 4 Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa yang
menghendaki pengaturan seperti itu, hal ini menggunakan
sistem pendelegasian kewenangan.
Barang Kena Pajak berupa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Atas Barang Mewah diatur dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 145
Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2001
tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong
52 Pendahuluan

mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang


Mewah. Barang Kena Pajak tersbut antara lain :
a. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10%;
b. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebesar 20%;
c. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 30%;
d. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 40%;
e. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif 50%;
f. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 60%;
g. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan Atas Barang Kena Pajak dengan tari 75%.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2001 dijabarkan
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI
Nomor 460/KMK.03/2001 tentang Perubahan atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 569/KMK.04/2000
tentang Jenis kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Mustaqiem 53

Penjualan Atas Barang Mewah. Berdasarkan Peraturan


Pemerintah tersebut tidak semua kendaraan bermotor
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kendaraan
bermotor yang dibebaskan dari pajak terdiri atas :
a. Kendaraan bermotor yang digunakan untuk Kendaraan
Ambulan, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran,
mobil tahanan, dan mobil angkutan umum;
b. Kendaraan bermotor untuk keperluan protokoler negara;
c. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh)
orang atau lebih yang digunakan untuk TNI atau POLRI;
d. Kendaran bermotor yang digunakan untuk keperluan
patroli TNI atau POLRI.
Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dalam jangka waktu 5 tahun
sejak impor, kemudian perolehannya dipindahtangankan
atau diubah peruntukannya sehingga tidak sesuai dengan
tujuan semula, maka pajak penjualan atas barang mewah
yang terhutang pada saat impor atau perolehannya tersebut
wajib dibayar kembali dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak Barang Kena pajak tersebut dipindahtangankan atau
diubah peruntukannya.
Penggunaan fungsi pajak lainnya adalah pengenaan
tarif pajak sebesar 0% bagi barang-barang yang di ekspor
dengan tujuan untuk mendorong kegiatan ekspor barang-
barang produk dalam negeri suatu negara ke pasaran dunia.59
Khusus di Indonesia tarif 0% bagi barang-barang yang

59
Mardiasmo, op. cit., hlm. 2
54 Pendahuluan

diekspor diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983


jis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang- Undang
Nomor 18 Tahun 2000, Pasal 7 ayat (2) menetapkan: “Tarif pajak
pertambahan nilai atas ekspor barang kena pajak sebesar 0 %
(nol persen)”. Selain itu, tarif 0% dapat memberikan
kesempatan bagi Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan
pajak masukan dengan pajak keluaran.
Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang
seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak
karena perolehan barang kena pajak dan/atau penerimaan
jasa kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak
tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau
pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan/
atau impor barang kena pajak. Sedangkan yang dimaksud
pajak keluaran adalah pajak pertambahan nilai terutang
yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang
melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa
kena pajak, atau ekspor barang kena pajak.
Adalah sangat relevan jika tarif pajak dihubungkan
dengan fungsi pajak yang kedua (regulerend), karena
kebijakan pengaturan yang dilakukan oleh pemungut pajak
(fiscus) antara lain dapat menggunakan tarif pajak untuk
membuat suatu kebijakan tertentu dengan cara menaikkan
atau menurunkan pajak jika dipandang perlu. Hal tersebut
dapat dikuatkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 8
ayat (1) yang berbunyi :
Mustaqiem 55

(a) Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak (pajak pertambahan


nilai) dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen)
dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen);
(b) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75%
(tujuh puluh lima persen).
Berdasarkan ketentuan yang menetapkan bahwa
perubahan tarif pajak pertambahan nilai barang dan jasa
cukup berdasarkan Peraturan Pemerintah, hal ini
menunjukkan bahwa dalam perubahan tarif tersebut terjadi
pendelegasian wewenang. Dan praktek itulah yang
merupakan fungsi mengaturnya pajak.
Fungsi mengatur adalah bahwa pajak-pajak digunakan
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur
ini lazimnya di dalam sektor swasta.60 Pendapat Soemitro
Djojohadikusumo sebagaimana dikutip oleh Rochmat
Soemitro mengatakan bahwa untuk dapat mencapai fungsi
pajak yang kedua (regulerend) maka “Fiscal Policy” sebagai
suatu alat pembangunan harus didasarkan atas kombinasi
tarif pajak yang tinggi, baik pajak langsung maupun pajak
tidak langsung dengan suatu fleksibilitas yang berada dalam
sistem pengenaan pajak yang berupa pembebasan pajak-
pajak dan pemberian insentif atau dorongan untuk
merangsang private investment sebagaimana diharapkan”.61
Fungsi yang kedua (regulerend) lazimnya ditentukan oleh

60
Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, hlm. 9
61
Ibid.
56 Pendahuluan

pemerintah (fiscus) dengan menggunakan dua cara, antara


lain :
I. Cara Umum
Cara menggunakan tarif pajak untuk mengadakan
perubahan-perubahan tarif yang bersifat umum. Hubungan
antara fungsi pajak yang kedua (regulerend) dengan
perubahan tarif-tarif pajak yang dilakukan oleh pemerintah
sangat erat sekali, karena perubahan tarif-tarif pajak (impor)
yang lebih besar dapat digunakan untuk melindungi
produk-produk dalam negeri. Adapun perubahan tarif
pajak (bea masuk) minuman keras yang lebih besar dapat
dipergunakan untuk melindungi kehidupan sosial
masyarakat dari kehidupan yang negative. Perubahan tarif
pajak minuman keras berdasar Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 290/KMK.01/1994,
tanggal 27 Juni 1994 Tentang Perubahan Tarif Bea Masuk
Atas Impor Produk Yang Mengandung Alkohol Tertentu
tarifnya ada dua macam yaitu 80% dan 170%.
Pembicaraan mengenai perpajakan tidak akan lepas
dari persoalan tarif pajak. Tarif pajak adalah prosentase atau
jumlah uang yang ditetapkan untuk dikenakan atas basis
pajak. Basis pajak (taxbase / belastbaar/obyect) adalah obyek
pajak yang akan dipungut dengan menerapkan prosentase
tarif (rate). Tarif pajak dapat dibedakan menjadi 4 (empat)
macam,62 antara lain:

62
Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 37-39
Mustaqiem 57

a. Tarif sepadan/proposional (evenredig, propotioneel)


Tarif sepadan adalah penentuan tarif dengan prosentase
pengenaan yang tidak berubah walaupun jumlah pajak
yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang
dipakai sebagai dasar pemungutan pajak. Seperti pajak
daerah yang diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi
DIY Nomor 1 Tahun 2002, pajak daerah yang diatur
dengan peraturan daerah tersebut antara lain ialah Pajak
Hotel dengan tarif 10% akan dikenakan terhadap jumlah
uang yang dibayarkan oleh setiap konsumen kepada
pihak pengelola hotel, Pajak Restoran dengan tarif 10%
akan dikenakan terhadap jumlah uang yang akan
dibayarkan oleh konsumen kepada pengelola restoran.
Selain itu, Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1994 tarif pajaknya 0,5% akan
dikenakan terhadap Nilai Jual Obyek Pajak Kena Pajak
berapapun besarnya. Dilihat dari perspektif keadilan,
praktek ini berpedoman pada keadilan horizontal (tarif
pajak berlaku bagi semua orang, tidak membedakan sta-
tus sosial, usia, sex, keyakinan, warga negara) dan
keadilan geografis (berlaku bagi semua orang tanpa
membedakan daerah tempat tinggal).
b. Tarif meningkat (progressief)
Tarif meningkat adalah suatu tarif yang prosentase
pengenaannya mengalami kenaikan apabila jumlah
uang yang akan dikenakan pajak semakin banyak.
Pendapat lain menjelaskan bahwa hal tersebut dapat
58 Pendahuluan

disebut sebagai pajak progresif, yaitu pajak yang


dikenakan sedemikian rupa sehingga prosentase
pajaknya semakin tinggi dengan semakin tingginya
penghasilan wajib pajak.63 Seperti Pajak Penghasilan
yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000, Pasal 17 ayat 1 huruf a mengatur tarif
pajak yang dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Tarif
pajaknya pertahun adalah sebagai berikut :

Tarif/
Penghasilan Kena Pajak
tahun.
1. sampai dengan Rp. 25.000.000,- 5%.
2. di atas Rp.25.000.000,- s/d Rp.50.000.000,- 10 %.
3. di atas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 100.000.000,- 15 %.
4. di atas Rp. 100.000.000,- s/d Rp. 200.000.000,- 25 %.
5. di atas Rp. 200.000.000,- 35 %.

Ketentuan huruf (b), yang mengatur tarif pajak


pertahun bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan
Bentuk Usaha Tetap dengan ketentuan tarif sebagai
berikut :

63
Suparmoko, oc. cit., hlm. 278
Mustaqiem 59

Tarif/
Penghasilan Kena Pajak tahun.
1. sampai dengan Rp. 50.000.000,- 10 %.
2. di atas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 100.000.000,- 15 %.
3. di atas Rp. 100.000.000,- 30 %

Tarif ini pemberlakukannya didasarkan pada keadilan


vertikal yaitu wajib pajak yang memperoleh penghasilan
kena pajak berjumlah besar akan dikenakan pajak
dengan presentase besar yang besar pula, demikian juga
sebaliknya. Contoh penghitungannya adalah Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak bernama X dalam satu
tahun pajak memperoleh Penghasilan Kena Pajak
sebesar Rp. 25.000.000,- maka akan dikenakan satu
macam tarif sebesar 5%, pengeterapannya adalah
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 25.000.000,- X 5% =
Rp. 1.250.000,-. Tetapi bagi Wajib Pajak bernama Y dalam
satu tahun pajak memperoleh Penghasilan Kena Pajak
sebesar Rp. 30.000.000,- ia akan dikenakan dua macam
tarif pajak (5% dan 10%), penerapannya ialah
Penghasilan Kena Pajak : Rp. 25.000.000,- X 5% = Rp.
1.250.000,- dan Penghasilan Kena Pajak Rp. 5.000.000,-
X 10% = Rp. 500.000,- , berarti ini Wajib Pajak Y dikenakan
pajak penghasilan Rp. 1.250.000,- + Rp. 500.000,- = Rp.
1.750.000,- (lebih besar dari pada Wajib Pajak X ), tarif ini
juga berpedoman pada keadilan horizontal dan geografis.
Secara teoritis, pengenaan tarif meningkat (progressief)
masih dibagi lagi dalam tiga macam, yaitu :
60 Pendahuluan

1) Tarif Progressief Proportioneel


Penentuan tarif yang prosentase pemungutan akan
mengalami kenaikan apabila jumlah yang akan dikenai
pajak semakin besar, sedangkan kenaikan presentase untuk
setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) adalah tetap,
seperti yang dipaparkan sebagai berikut ini:
Kenaikan prosentase untuk setiap Rp. 5000,- adalah
merupakan prosentase tetap (konstan) yaitu 2%. Tetapi

Kenaikan
1. Rp. 0; s/d Rp. 5.000,- 3%
2. Rp. 5.001; s/d Rp. 10.000,- 5% 2%
3. Rp. 10.001; s/d Rp. 15.000,- 7% 2%
4. Rp. 5.001; s/d Rp. 20.000,- 9% 2%

tarif Pajak Penghasilan yang diatur Undang-Undang


Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf a merupakan
bentuk kenaikan progresief proposional meskipun
kenaikannya tidak konstan sama, karena kenaikannya
ada yang 5% dan ada yang 10%.
2) Tarif Progressief Degressief
Penentuan tarif yang presentase pemungutan akan
mengalami kenaikan apabila jumlah yang akan dikenai
pajak semakin besar, sedangkan kenaikan prosentase
untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marginal) adalah
menurun, seperti :
Mustaqiem 61

Kenaikan
1. Rp. 0,- s/d Rp. 5.000,- 3% 4 %
2. Rp. 5.001,- s/d Rp. 10.000,- 7% 3,5 %
3. Rp. 10.001,- s/d Rp. 15.000,- 10,5 % 3 %
4. Rp. 15.001,- s/d Rp. 20.000,- 13,5 % 2,5 %
5. Rp. 20.001,- s/d Rp. 25.000,- 16 % 2 %
6. Rp. 25.001,- s/d Rp. 30.000,- 18 %.

Ketentuan di atas menunjukan bahwa kenaikan


untuk setiap jumlah Rp. 5.000,- presentasenya menurun
yaitu kenaikan yang mula-mula berjumlah 4% turun
menjadi 3,5%, 3%, 2,5%, 2%, dan seterusnya.
3) Tarif Progressief Progressief.
Penentuan tarif yang presentase pemungutan akan
mengalami kenaikan apabila jumlah yang akan dikenai pajak
semakin besar, sedangkan kenaikan presentase untuk setiap
jumlah tertentu (kenaikan marginal) juga naik, seperti :

Kenaikan
1. Rp. 0,- s/d Rp. 5.000,- 3 %
2. Rp. 5.001,- s/d Rp. 10.000,- 4 % 1 %
3. Rp. 10.001,- s/d Rp. 15.000,- 5,5 % 1,5%
4. Rp. 15.001,- s/d Rp. 20.000,- 7,5 % 2 %
5. Rp. 20.001,- s/d Rp. 25.000,- 10 % 2,5%
6. Rp. 25.001,- s/d Rp. 30.000,- 13 % 3 %
62 Pendahuluan

Tarif di atas menunjukkan bahwa presentase


kenaikan marginal setiap kali menjadi bertambah yang
mula-mula 1% (satu persen), naik menjadi 1,5%, 2%,
2,5%, 3%, dan seterusnya.

c. Tarif Menurun (degressief)


Tarif yang besarnya prosentase akan menurun apabila
semakin besar jumlah yang akan dikenakan pajak. Istilah
lain, dinamakan pajak regresief karena pajak yang
dikenakan sedemikian rupa sehingga prosentase
pajaknya semakin kecil dengan semakin besar tingkat
penghasilan wajib pajak.64
Contoh tarif menurun, adalah sebagai berikut :

Kenaikan
1. Rp. 1.000,- = Rp. 100,- 10 %
2. Rp. 2.000,- = Rp. 180,- 9 %
3. Rp. 3.000,- = Rp. 255,- 8,5%
4. Rp. 4.000,- = Rp. 320,- 8 %

d. Tarif tetap (vast)


Merupakan tarif yang besarnya tetap dan tidak
tergantung kepada suatu jumlah. Seperti Bea Meterai
untuk kwitansi, bea meterai ini tidak tergantung kepada
jumlah uang yang diterima.

64
Ibid., hlm. 278
Mustaqiem 63

Jika dikontekskan pada kondisi sekarang, contoh tarif


tetap adalah Bea Meterai sudah tidak relevan lagi, sebab
di Indonesia nilai Bea Meterai dibedakan menjadi dua
macam yaitu Rp. 3.000,- dan Rp. 6.000,-. Ketentuannya adalah
jika suatu dokumen (kecuali cek dan giro) yang mempunyai
nilai nominal lebih dari Rp. 250.000,- tetapi tidak lebih dari
dari Rp. 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp. 3.000,-. Tetapi
surat yang memuat nilai uang lebih dari Rp. 1.000.000,- akan
dikenakan Bea Meterai Meterai Rp. 6.000,-. Ketentuan ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985,
Lembaran Negara 1985 Nomor 69. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3570. Hal tersebut
menunjukkan pula penggunaan Bea Meterai ( bernilai Rp.
3.000,- atau Rp. 6.000,-) dipengaruhi oleh jumlah nilai surat
yang dipergunakan sehingga tarif bea meterai tidak tetap.
Kebijakan perpajakan di Indonesia juga menggunakan
cara umum hal ini dapat diketahui melalui ketetapan
yang dipergunakan untuk mengatur tarif pajak. Seperti
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000, Pasal 7 yang menetapkan bahwa tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen);
tarif ini berdasar Peraturan Pemerintah dapat diubah
paling rendah 5% (lima persen) paling tinggi 15% (lima
belas persen). Kemudian Pasal 8 menetapkan bahwa tarif
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima
persen).
64 Pendahuluan

II. Cara Khusus


Cara khusus dibedakan menjadi dua,65 yaitu : (1)
Cara positif, (2) Cara negatif.
a. Cara Positif
Cara mengatur pajak yang bertujuan untuk memberi
dorongan ke arah suatu tujuan tertentu. Hal ini merupakan
keinginan atau hasrat pemerintah untuk mencapai sesuatu
yang dicita-citakan terhadap keadaan dalam negara. Untuk
keperluan tersebut pemerintah mengadakan “insentif
perpajakan” atau “tax incentive” yang dapat memberi
dorongan kepada Wajib Pajak untuk bekerja, menabung,
dan berinvestasi. Dalam istilah yang lain, pajak mempunyai
fungsi yang mendorong keinginan Wajib Pajak untuk
berproduksi. Pemberian dorongan dilakukan dengan cara
pemberian fasilitas perpajakan yang berupa:
a. Pemberian kelonggaran pembayaran pajak yang
berbentuk tax holiday (berupa pembebasan pajak,
keringanan pajak);
b. Mengadakan afshrrijfving (penghapusan pajak);
c. Pemberian pengecualian-pengecualian;
d. Pemberian pengurangan-pengurangan;
e. Pemberian kompensasi.
Pendapat Barry Spitz seperti yang dikutif oleh Erly
Suandy mengatakan bahwa insentif pajak (tax incentive)
dapat berupa :66

65
Rochmat Soemitro dalam Chidir Ali, oc. cit., hlm. 144-145
66
Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hlm. 18
Mustaqiem 65

a. Pengecualian dari pengenaan pajak (tax exemption);


b. Pengurangan dasar pengenaan pajak (deduction from the
taxable base);
c. Pengurangan tarif pajak (reduction in the rate of taxes);
d. Penangguhan pajak (tax deferment).
Cara–cara tersebut diterapkan juga di Indonesia berupa
kebijakan-kebijakan di bidang perpajakan, seperti dalam
beberapa kasus berikut :
1. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
menyatakan bahwa: “Kepada perusahaan-perusahaan
modal asing diberikan kelonggaran perpajakan”. Seperti
pembebasan dari Bea Meterai Modal atas penempatan
modal yang berasal dari penanaman modal asing.
2. Melalui Paket Kebijakan Ekonomi tahun 1986.
Pemerintah memberikan fasilitas–fasilitas perpajakan
baik kepada perusahaan modal asing maupun modal
dalam negeri, seperti : (a) pembebasan/keringanan bea
masuk untuk pengimporan mesin/peralatan suku
cadang, (b) pembebasan/keringanan bea masuk untuk
pengimporan bahan baku/bahan penolong untuk
keperluan produksi maksimal 2 (dua) tahun, (c)
penangguhan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai bagi
impor barang-barang modal yang dipergunakan dalam
produksi barang dan jasa, (d) pembebasan bea balik
nama atas akte pendaftaran kapal untuk yang pertama
kali di Indonesia.67

67
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, 1988,
Jakarta, hlm. 71-72
66 Pendahuluan

3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia


Nomor 949/KMK.04/1983 tentang tata cara mengansur
dan menunda pembayaran pajak. Menurut ketentuan
dalam keputusan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan secara tertulis untuk mengansur atau
menunda pembayaran pajak yang terhutang dalam Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan
Pajak Tambahan kepada Direktur Jenderal Pajak C.q
Kepala Inspeksi Pajak apabila ia sedang mengalami
kesulitan likuiditas sehingga tidak dapat memenuhi
kewajiban pajak pada waktunya.
4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 952/KMK. 04/1983 tentang tata cara
penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya
penghapusan. Ketetapannya adalah piutang pajak yang
dapat dihapuskan adalah piutang pajak yang tercantum
dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak dan Surat
Ketetapan Pajak Tambahan yang tidak dapat atau tidak
mungkin ditagih lagi, di-sebabkan karena Wajib Pajak
meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan
dan tidak mempunyai ahli waris, tidak dapat diketemukan,
tidak mempunyai harta kekayaan lagi atau karena hak
untuk melakukan penagihan sudah daluwarsa.
5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 955/KMK.04/1983 tentang penentuan
organisasi-organisasi Internasional dan pejabat-pejabat
perwakilannya tidak termasuk sebagai subjek pajak
penghasilan (penghapusan subjektif).
Mustaqiem 67

Terbitnya keputusan (poin 5) tersebut didasarkan atas


Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
menetapkan bahwa yang tidak termasuk Subjek Pajak
adalah :
1. Badan perwakilan negara asing;
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau
pejabat–pejabat lain dari negara asing dan orang-orang
yang diperbantukan kepada yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi international yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat : (1) Indonesia
menjadi anggota organisasi tersebut; (2) tidak menjalankan
usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah
yang dananya berasal dari iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi international yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia;
5. Kebijakan di muka sesuai dengan kelaziman international
bahwa badan perwakilan negara asing, beserta pejabat-
68 Pendahuluan

pejabat perwakilan deplomatik, konsulat dan pejabat-


pejabat lainnya dikecualikan sebagai Subyek Pajak di
tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai
Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku
apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar
jabatannya atau mereka adalah warga negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu
negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia
termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas
penghasilan lain tersebut;
6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor : 599/KMK.05/1995 tentang Pembebasan bea
masuk dan cukai serta Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penghasilan 22 tidak dipungut atas impor 400.000
ton Gula Pasir oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).
Wujud pemberian pembebasan bea masuk dan cukai
sebesar 0% serta tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penghasilan Pasal 22.
Selain itu, di bidang pasar modal seperti halnya pada
sektor penanaman modal, pada tahap pertama fasilitas
penunjang telah diberikan dalam serangkaian peraturan
perundang-undangan. Bentuk peraturan perundang-
undangan diwujudkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan. Cakupan fasilitas yang diberikan meliputi
bidang pajak.68 Kebijakan ini dilakukan untuk mengurangi

68
Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum Dan Potensi Pasar Modal di Indonesia,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 216
Mustaqiem 69

beban pajak tertentu demi mendorong perkembangan pasal


modal. Ini menjadi pertimbangan di hampir semua negara
sedang berkembang dalam rangka pengembangan pasar
modal yaitu dengan memberikan insentif pajak kepada
perusahaan emiten, pedagang perantara dalam pasar modal
dan para pemegang surat berharga.69
b. Cara Negatif
Cara mengatur pajak dengan maksud untuk mencegah
atau menghalang-halangi perkembangan masyarakat atau
justru menjuruskan kehidupan masyarakat ke arah suatu
tujuan tertentu. Hal ini merupakan keinginan dari pemerintah
(fiscus) sehingga dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan perpajakan sifatnya cenderung memberatkan orang
atau badan. Sehingga negara/pemerintah dapat memberantas
sesuatu yang ada di masyarakat. Tindakan pemerintah seperti
itu dinamakan “Des Incentive Tax”, yaitu pajak mempunyai
fungsi menghalang-halangi atau mencegah para wajib pajak
beRp.roduksi. Dalam mengadakan “Des Incentive Tax”,
pemerintah dapat melakukan beberapa cara : (1) Pencegahan
atas pemakaian atau pemasukan suatu barang tertentu, (2)
Penghambatan produroduksi. Dalam mengadakan “Des Incen-
tive Tax”, pemerintah dapat melakukan beberapa cara : (1)
Pencegahan atas pemakaian atau pemasukan suatu barang
tertentu, (2) Penghambatan produksi dan pemberantasan
khusus. Menurut Rochmat Soemitro,70 1965, kedua cara

69
Ibid., hlm. 293
70
Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 36
70 Pendahuluan

tersebut dapat dipergunakan secara terpisah-pisah satu dengan


yang lain (alternatif), tetapi dapat juga dipergunakan secara
bersama-sama (komulatif). Kebijakan seperti itu diberlakukan di
Indonesia seperti halnya pengenaan bea masuk yang tinggi bagi
impor mobil mewah dan juga kebijakan bea masuk bagi impor
gula dan beras yang tinggi untuk melindungi petani dalam
negeri.

3. Asas Pemungutan Pajak


Kebijakan pemungutan pajak yang dilakukan oleh
negara didasarkan atas tiga macam asas, yaitu : (a) Asas
domisili (domicilie beginsel), (b) Asas sumber (bronbeginsel),
dan (c) Asas kebangsaan (nationaliteits beginsel).71 Pengertian
dari masing-masing asas tersebut adalah sebagai berikut :
a. Asas Domisili (Domicilie Beginsel)
Suatu asas pemungutan pajak yang digantungkan pada
domisili (tempat kediaman) wajib pajak di suatu negara.
Menurut asas ini negara di mana wajib pajak berkediaman
ialah yang berhak mengenakan pajak atas orang-orang itu dari
semua pendapatan di mana saja diperoleh (world wide income).
Seperti orang Indonesia atau orang asing yang berkediaman
di wilayah Indonesia (sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri) akan
dikenakan pajak atas penghasilan dari semua pendapatan
yang diperoleh di Indonesia maupun di luar negeri (UU
Nomor 17 Tahun 2000, bab III, Pasal 4 ayat 1). Semisal, Wajib
Pajak Dalam Negeri, Pajak Penghasilan selain sebagai

71
Ibid.
Mustaqiem 71

konsultan di Indonesia sekaligus juga sebagai konsultan di


negara asing, perolehan penghasilan dari dua negara yang akan
dikenai pajak di Indonesia. Untuk menghindari pembayaran
pajak ganda, maka pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terhutang.
b. Asas Sumber ( Bron Beginsel)
Suatu asas pemungutan pajak yang digantungkan
kepada adanya sesuatu sumber di suatu negara. Menurut
asas ini negara di mana sumber-sumber pendapatan itu
berada ialah yang berhak memungut pajak, dengan tidak
menghiraukan tempat di mana wajib pajak itu berada.
Seperti dalam peraturan perundang-undangan Pajak
Penghasilan ditetapkan bahwa seseorang yang bertempat
tinggal di luar Indonesia dikenakan pajak di Indonesia atas
penghasilannya dari sumber-sumber penghasilan yang
berada di wilayah Indonesia (UU Nomor 17 Tahun 2000,
bab II, Pasal 2 ayat 4). Ketentuan ini berlaku bagi Subyek
Pajak luar negeri. Pengertian subyek pajak luar negeri
menurut Pasal 2 ayat (4) adalah subyek pajak yang tidak
bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan
di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari wilayah Indonesia, melalui dua cara, yaitu
dengan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dan dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
72 Pendahuluan

melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (semisal sebagai


konsultan tetapi ia tetap berada di negaranya).
c. Asas Kebangsaan (Nationaliteits Beginsel)
Menurut asas ini pajak dikenakan oleh suatu negara pada
orang-orang yang mempunyai hubungan kebangsaan dengan
negara itu. Indonesia tidak menggunakan asas ini sebagai dasar
pemungutan pajak, karena yang dikenakan pajak selain Warga
Negara Indonesia juga Warga Negara Asing yang tidak
memiliki hubungan kebangsaan dengan Indonesia tetapi
memiliki hubungan ekonomis di Indonesia.
Istilah lain, cara yang didasarkan atas asas kebangsaan
menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari
suatu negara. Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa
fiscus Nederland selama perang dunia II pernah memungut
pajak pendapatan dari semua orang yang berkebangsaan
Belanda meskipun bertempat tinggal di luar Belanda.72

4. Kewajiban Dan Sanksi Perpajakan

a. Kewajiban Perpajakan
Pembayaran pajak yang dilakukan oleh rakyat merupakan
salah satu bentuk kewajiban rakyat kepada negara. Kewajiban
pajak dapat dibedakan menjadi dua, 73 yaitu :
1. Kewajiban pajak subjektif, merupakan kewajiban pajak
yang harus memenuhi syarat tertentu supaya orang
atau badan dapat dikenakan pajak; dan
72
Santoso Brorodihardjo, op. cit., hlm. 38
73
Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 35
Mustaqiem 73

2. Kewajiban pajak objektif, syarat kewajiban pajak ini


mengharuskan wajib pajak mempunyai penghasilan
yang melebihi batas minimum pengenaan pajak.
Penjelasan mengenai dua kewajiban pajak (subjektif
dan objektif) adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban Pajak Subjektif
Kewajiban pajak yang melekat pada subjeknya.
Pada prinsipnya semua orang yang bertempat
kediaman di Indonesia telah memenuhi syarat kewajiban
pajak subjektif. Bagi orang yang bertempat tinggal di luar
wilayah Indonesia, kewajiban pajak subyektif ini hanya
dipenuhi jika syarat dipenuhi. Seperti mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia yang disebut dalam
undang-undang pajak.74 Menurut Undang-Undang Pajak
Pendapatan, seseorang mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia jika mereka mempunyai perusahaan atau
pekerjaan bebas yang dilakukan di Indonesia atau
mempunyai harta tetap yang terletak di Indonesia (Pasal 2
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944). Ketentuan lain dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
jis Undang Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000, yang menetapkan seseorang dinilai mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia jika yang
bersangkutan mempunyai perusahaan atau pekerjaan
bebas yang dilakukan di Indonesia. Seperti orang asing atau

74
Ibid.
74 Pendahuluan

badan asing yang diangkat sebagai konsultan sebuah


perusahaan di Indonesia, dia memiliki penghasilan dari
Indonesia. Dasar pertimbangan yang dipergunakan
untuk mengenakan pajak karena mereka memiliki
penghasilan yang berasal dari wilayah Indonesia.
Perbedaan antara wajib pajak dalam negeri dengan
wajib pajak luar:

Wajib Pajak Dalam Wajib Pajak Luar


Negeri Negeri

1. dikenakan pajak atas 1. dikenakan pajak hanya


pengha silan baik yang atas penghasilan yang
diterima /diper oleh dari berasal dari sumber
dalam dan luar negeri. penghasilan di Indonesia.
2. dikenakan pajak atas 2. dikenakan pajak atas
penghasi lan neto. penghasi lan bruto.
3. Tarif pajak yang 3. Tarif pajak yang
dipergunakan adalah dipergunakan adalah
tarif umum (UU PPh. tarif sepadan (UU PPh.
Pasal 17). Pasal 26).
4. Wajib pajak menyampai- 4. Tidak wajib menyampi-
kan SPT. kan SPT.

Pemungutan pajak juga mempunyai waktu mulai


dan berakhirnya sebagai subyek pajak dalam negeri
maupun subyek pajak luar negeri. Pembagiannya adalah
sebagai berikut :
Mustaqiem 75

Mulai Berakhir

1. Subjek pajak DN Orang 1. Subjek Pajak DN Orang


Pribadi. Saat dilahirkan Pribadi. Saat meninggal
dan saat berada atau dan saat meninggalkan
berniat bertempat Indonesia untuk selama-
tinggal di Indonesia. lamanya.
2. Subjek Pajak DN Badan. 2. Subjek Pajak DN Badan.
Saat mendirikan/ Saat dibubarkan atau
bertempat kedudukan di tidak berkedudu-kan di
Indonesia. Indonesia.
3. Subjek Pajak LN-BUT. 3. Subjek Pajak LN-BUT.
Saat menjalankan usaha Saat tidak lagi
BUT di Indonesia. menjalankan usaha BUT
di Indonesia.
4. Subjek Pajak LN-Non- 4. Subjek Pajak LN-Non-
BUT. Saat memerima/ BUT. Saat tidak lagi
memperoleh penghasilan menerima /memperoleh
dari Indonesia. penghasilan dari
Indonesia.
5. Warisan Belum Terbagi. 5. Warisan Belum Terbagi.
Saat timbul warisan. Saat warisan dibagi.

2. Kewajiban Pajak Objektif


Kewajiban pajak objektif ialah kewajiban pajak yang
melekat pada objeknya. Seseorang memenuhi kewajiban
pajak objektif jika mendapat penghasilan atau
mempunyai kekayaan yang memenuhi syarat-syarat
yang disebut dalam undang-undang. Misal, pajak yang
dikenakan atas penghasilan seseorang yang mendapat
penghasilan yang melampaui batas pendapatan minimum
kena pajak, inilah yang menurut Pasal 8 ayat (1)
Ordonansi Pajak Pendapatan ditetapkan memenuhi
76 Pendahuluan

kewajiban pajak objektif. Selain itu, orang-orang yang


bertempat tinggal di luar negeri memenuhi kewajiban
objektif ini jika mereka memperoleh penghasilan dari
sumber-sumber tertentu (misal harta tetap atau
perusahaan) yang ada di Indonesia. Contoh ketentuannya
sebagai berikut :
a. Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944 menegaskan
bahwa pajak akan dikenakan atas pendapatan
seseorang yang melebihi batas pendapatan minimum
atau Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP);
b. Pasal 8 ayat (1) 0rdonansi Pajak Pendapatan tahun
1944 menetapkan bahwa yang memenuhi kewajiban
pajak objektif, adalah seseorang yang mendapatkan
penghasilan atau mempunyai kekayaan yang
memenuhi syarat-syarat yang disebut dalam undang-
undang. Orang-orang yang bertempat tinggal di luar
wilayah Indonesia memenuhi kewajiban pajak
objektif jika ia memperoleh penghasilan dari sumber-
sumber tertentu (misalnya harta tetap atau
perusahaan) di wilayah Indonesia;
c. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan antara
lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000, orang yang bertempat tinggal di luar
wilayah Indonesia dan mempunyai sumber
penghasilan di wilayah Indonesia akan dikenakan
pajak, karena yang bersangkutan telah memenuhi
Mustaqiem 77

kewajiban pajak objektif. Misal seorang warga negara


asing yang tidak bertempat tinggal di wilayah Indo-
nesia, tetapi ia bekerja sebagai konsultan jarak jauh
bagi sebuah perusahaan di Indonesia dan mendapat
upah sebagai hasilnya ia akan dikenai pajak
penghasilan.
Ketentuan untuk memenuhi kewajiban pajak
objektif tahun 1944 maupun berdasarkan peraturan
perundang-undangan pajak yang berlaku saat ini masih
sama meskipun peraturan perundang–undangan telah
telah mengalami beberapa kali perubahan.
b. Sanksi Perpajakan
Mengenai pemungutan pajak—dimana perlu dapat
dipaksakan—dalam perkembangannya sudah mengalami
perubahan baik dalam teori-teori dan konsep-konsep
perpajakan dalam lingkup wawasan hukum. Perubahan
yang terjadi menunjukkan bahwa bentuk paksaan yang
dilakukan bukan lagi berbentuk paksaan atau kekerasan
fisik melainkan paksaan berupa sanksi yang ditetapkan
dalam undang-undang.75 Sanksi merupakan suatu bentuk
jaminan supaya ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan (norma perpajakan) dituruti/ditaati/dipatuhi
oleh wajib pajak, pemungut pajak, serta pihak ketiga. Istilah
lain, sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif)
agar wajib pajak, pemungut pajak, serta pihak ketiga tidak
melakukan pelanggaran norma perpajakan yang sudah

75
Soeparman, oc. cit., hlm. 5
78 Pendahuluan

ditetapkan. Sanksi di bidang perpajakan ada dua macam,


yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Pengertian sanksi administrasi dan sanksi pidana
menurut peraturan perundang-undangan perpajakan
adalah sebagai berikut :
1) Sanksi Administrasi (Administratieve Sanctie)
Sanksi ini merupakan suatu hukuman yang
dikenakan oleh pemungut pajak (fiscus). Sanksi
administrasi dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu
bunga, denda administrasi dan kenaikan jumlah pajak
yang harus dibayar. Seperti sanksi administrasi yang
berhubungan dengan pelanggaran terhadap batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak. Ketentuan
hukumnya apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan atau Masa dalam jangka
waktu sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat
(3) atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian
sebagaimana diatur oleh Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dapat
dikenakan sanksi admisnistrasi sebesar Rp. 100.000,-;
bagi Surat Pemberitahuan Tahunan, dan sanksi
administrasi Rp. 50.000,- diperuntukan bagi Surat
Pemberitahuan Masa. Contoh lain adalah sanksi
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan, ditetapkan bahwa
pajak yang terhutang setelah jatuh tempo pembayaran jika
tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan denda
administrasi sebesar 2% perbulan yang dihitung dari saat
Mustaqiem 79

jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk


jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi
di bidang perpajakan diberikan oleh instansi pajak
sendiri, artinya ditetapkan dan dilaksanakan oleh instansi
pajak yang umumnya terdiri atas tambahan-tambahan
pada pajak terhutang.76 Dalam hukum administrasi
negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan
penerapan kewenangan pemerintah, karena kewenangan
itu berasal dari hukum administrasi. Pada umumnya,
hukum admiistrasi memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk menetapkan norma-norma hukum
administrasi tertentu diiringi pula dengan memberikan
kewenangan untuk menegakkan norma-norma itu melalui
penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar norma-
norma hukum administrasi.77
2) Sanksi Pidana (Strafrechtelijke Sanctie)
Sanksi pidana merupakan hukuman yang
diputuskan oleh hakim, karena itu setiap terjadi kasus
yang dapat dijatuhi sanksi pidana perkaranya harus
diajukan ke pengadilan umum. Sanksi pidana dapat
berupa denda pidana, pidana kurungan, maupun
pidana penjara. Penjabaran dari masing-masing sanksi
pidana, adalah sebagai berikut :78
1. Denda pidana berbeda dengan sanksi yang berupa
denda administrasi yang hanya diancam/dikenakan
76
Soeparman, op. cit., hlm. 56
77
Ridwan, op. cit,. hlm. 244
78
Erly Suandy, op. cit., hlm. 141
80 Pendahuluan

kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan


peraturan perpajakan. Sanksi yang berupa denda
pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada juga
yang diancamkan kepada pejabat pajak atau kepada
pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana
dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat
pelanggaran maupun yang bersifat kejahatan.
2. Pidana kurungan. Pidana kurungan hanya diancamkan
kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat
ditujukan kepada wajib pajak dan pihak ketiga. Karena
pidana kurungan yang diancamkan kepada si pelanggar
norma itu ketentuannya sama dengan yang diancamkan
dengan denda pidana, maka masalahnya hanya
ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti
dengan pidana kurungan dalam ukuran waktu tertentu.
3. Pidana penjara. Seperti halnya pidana kurungan,
pidana penjara merupakan hukuman perampasan
kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap
kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang
ditujukan kepada pihak ketiga, tetapi hanya kepada
pejabat dan kepada wajib pajak.
Sanksi pidana yang diatur oleh Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan dapat dijatuhkan kepada wajib
pajak, pemungut pajak, maupun pihak ketiga. Seperti
yang sudah ditetapkan pada:
a. Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2000 :
“Setiap orang karena kealpaannya tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan, sehingga negara dirugikan,
Mustaqiem 81

dipidana kurungan paling lama 1 tahun, dan/atau


denda setinggi-tingginya 2 kali jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar”
b. Pasal 39 UU Nomor 16 Tahun 2000 :
“Setiap orang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri,
menyalahgunakan NPWP, tidak menyampaikan surat
pemberitahuan, memberikan keterangan palsu, menolak
pemeriksaan, tidak membuat pembukuan, tidak
menyetorkan pajak, sehingga negara dirugikan dipidana
penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi 4
kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar”.
c. Pasal 41 UU Nomor 16 Tahun 2000 :
“Aparat pajak karena kealpaannya membocorkan
kerahasiaan dipidana kurungan paling lama 1 tahun
dan denda paling banyak Rp. 4.000.000, 00; atau pejabat
yang tidak memegang kerahasiaan atau seseorang yang
menyebabkan pejabat tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut dipidana penjara paling lama 2
tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000, 00”.
d. Pasal 41 A, UU Nomor 16 tahun 2000 :
“Setiap orang dengan sengaja tidak memberi
keterangan, atau memberi keterangan tidak benar,
dipidana penjara paling lama 1 tahun dan denda pal-
ing banyak Rp.10.000.000,00 “.
e Pasal 41 B, UU Nomor 16 Tahun 2000 :
“Setiap orang dengan sengaja menghalangi penyidikan
tindak pidana perpajakan, dipidana penjara paling lama
tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000, 00
82 Pendahuluan

“(Pasal-pasal di muka oleh UU No. 28 Tahun 2007


Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
telah dirubah bunyi redaksionalnya).
Beberapa pasal yang memuat sanksi pelanggaran
tersebut menunjukkan bahwa sanksi yang dijatuhkan
bagi setiap pelanggar dapat dibedakan menjadi tiga
macam sanksi, antara lain: (a) administrasi, (b) pidana,
(c) administrasi dan pidana.79 Uraian mengenai sanksi
tersebut adalah sebagai berikut :80
1) Pelanggaran yang dijatuhi sanksi administrasi,
meliputi:
a. Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 yang menyatakan bahwa pembayaran pajak
terhutang setelah jatuh tempo tidak atau kurang
dibayar, maka atas pajak yang tidak atau kurang
dibayar itu dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
seluruh masa yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau
tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan);
b. Pasal 13 ayat (1) jo Pasal 28 Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2000 menyatakan bahwa tidak
melaksanakan kewajiban membuat pembukuan
sehingga menyulitkan penghitungan pajak. Jumlah
kekurangan pajak ditambah sanksi administrasinya

79
Mardiasmo, Perpajakan, Andi, Yogyakarta, 2000, hlm. 42
80
Suparman, op. cit., hlm. 56-58
Mustaqiem 83

2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya 24


(dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat
terhutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar;
c. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 menyatakan bahwa wajib
pajak diberi Surat Ketetapan Pajak Tambahan
ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak.
2) Pelanggaran yang dikenakan sanksi pidana dan/atau
denda diatur dalam beberapa aturan sebagai berikut:
a. Pasal 38 huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 (karena kealpaannya tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan) “...dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang
terutang yang tidak atau kurang dibayar”;
b. Pasal 38 huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 (karena kealpaannya menyampaikan SPT yang
isinya tidak benar atau tidak lengkap). Sanksi sama
dengan pasal 38 huruf a;
c. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 (dengan sengaja tidak menyampaiakan SPT) “....
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah
pajak yang terutang yang tidak atau belum dibayar”;
84 Pendahuluan

d. Pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor


16 Tahun 2000 (dengan sengaja tidak mendaftarkan
diri atau menyalahgunakan tanpa hak NPWP).
Sanksi sama dengan pasal 39 ayat (1);
e. Pasal 39 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 (dengan sengaja menyampaiakn SPT
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap).
Sanksinya sama dengan pasal 39 ayat (1);
f. Pasal 39 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2000 (tidak menyetorkan pajak yang telah
dipotong atau dipungut). Sanksinya sama dengan
pasal 39 ayat (1);
Berkaitan dengan sanksi terhadap kealpaan dan
kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak
terdapat perbedaan. Sanksi terhadap kealpaan bisa
bersifat kumulatif atau alternatif, berupa sanksi pidana
dan/atau denda. Sanksi terhadap kesengajaan yang
dilakukan oleh wajib pajak bersifat kumulatif ialah
sanksi pidana dan sanksi denda.
g. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 ( pejabat karena kealpaannya membocorkan
rahasia wajib pajak ) “... dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah)”;
h. Pasal 41 ayat (2) Undang–Undang Nomor 16
tahun 2000 (penjabat karena kesengajaannya
membocorkan rahasia wajib pajak ) “... dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
Mustaqiem 85

dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh


juta rupiah)”.
Sanksi yang dikenakan kepada pejabat, baik karena
kealpaan maupun kesengajaan membocorkan rahasia
wajib pajak adalah bersifat kumulatif.
Sanksi yang berupa denda pidana tidak identik
dengan sanksi denda administrasi, sebab sanksi denda
administrasi hanya dijatuhkan bagi Wajib Pajak yang
melakukan pelanggaran peraturan perundang-
undangan perpajakan. Sanksi denda pidana selain
dijatuhkan kepada Wajib Pajak, juga dapat dijatuhkan
bagi aparat pajak maupun pihak ketiga yang melakukan
pelanggaran peraturan perundang-undangan perpajakan.
Perbedaan lainnya adalah bahwa sanksi denda pidana
terkait dengan persoalan penggelapan pajak yang
merugikan negara, keputusan pemberian sanksi denda
pidananya harus melalui proses pemeriksaan di lembaga
peradilan. Untuk denda administrasi diputuskan karena
terjadi pelanggaran administrasi, seperti Wajib Pajak tidak
tepat waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan,
penjatuhan sanksi denda administrasi tidak harus diputus
melalui lembaga peradilan, tetapi cukup dilakukan oleh
instansi perpajakan.
Menurut P. De Haan seperti yang dikutip Ridwan,
uang paksa administrasi dapat ditujukan untuk
mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma,
untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda
administrasi yang terdapat dalam hukum pajak.
86 Pendahuluan

Bagaimanapun juga, organ administrasi dapat


memberikan hukuman tanpa perantaraan hakim.81 Hal
tersebut sama dengan pendapat J.J. Oosternbrink yang
mengatakan bahwa sanksi administratif adalah sanksi
yang muncul dari hubungan antara Pemerintah dengan
Warga Negara dan yang dilaksanakan tanpa perantaraan
pihak ketiga (kekuasaan pengadilan) tetapi dapat secara
langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.82
Sanksi denda pidana hanya dapat dijatuhkan
terhadap tindak pidana yang bersifat pelanggaran
maupun yang bersifat kejahatan di bidang perpajakan.
Sanksi pidana kurungan diancamkan terhadap tindak
pidana yang bersifat pelanggaran, ketentuan sanksi ini
dapat dijatuhkan bagi wajib pajak, aparat pajak, maupun
pihak ketiga. Pidana penjara juga dapat diancamkan
terhadap tindak pidana kejahatan perpajakan yang
dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak, maupun pihak
ketiga. Sanksi pidana penjara seperti halnya sanksi
pidana kurungan merupakan bentuk hukuman
perampasan kemerdekaan, meskipun tujuan pemidanaan
terhadap Wajib Pajak bukan untuk balas dendam.83 Oleh
karena itu penderitaan yang ditimpakan kepadanya tidak
perlu terlalu menyakitkan. Terlebih-lebih apabila tindak
pidana itu terjadi karena kealpaan. Hubungannya dengan
sanksi pidana, terdapat ketentuan yang mengatur tentang

81
Ridwan, op. cit., hlm. 259
82
Ibid., hlm. 245
83
Suparman, op. cit., hlm. 162
Mustaqiem 87

pidana penjara dan/atau denda pidana dapat


dilipatduakan apabila pelanggar melakukan tindak
pidana perpajakan lagi sebelum lewat waktu 1 (satu)
tahun terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau
seluruh pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya.
Meskipun sanksi pidana perpajakan sudah pasti,
tetapi tidak selamanya tindak pidana perpajakan dapat
dituntut, karena Pasal 40 Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menetapkan bahwa : “Tindak pidana
di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah
lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terhutangnya
pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun
pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan”
(ketentuan daluwarsa).
Pelanggaran pidana di bidang perpajakan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak berbeda dengan yang
dilakukan oleh Aparat Pajak. Perbedaannya terletak
pada kualifikasi pelanggaran yang dilakukan, yaitu
bahwa tindak pidana di bidang perpajakan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak tergolong tindak pidana
biasa (delik biasa) sedangkan tindak pidana yang
dilakukan oleh aparat pajak tergolong delik aduan,
sehingga penuntutannya baru dapat dilakukan apabila
ada pengaduan dari Wajib Pajak yang kerahasiaannya
dilanggar dan menyebabkan kerugian atas dirinya. Jika
Wajib Pajak yang dirugikan tidak melakukan upaya
pengaduan maka tindak pidana ini tidak akan
ditindaklanjuti sampai dengan proses hukum. Hal ini
88 Pendahuluan

diatur dalam Pasal 41 ayat (3) Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan yang menetapkan : “Penuntutan
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas
pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar”.
Untuk kepentingan penuntutan tindak pidana ini
diperlukan kesadaran hukum dari Wajib Pajak yang
merasa dirugikan, dengan cara melakukan pengaduan
agar supaya proses penegakan hukum terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pajak dapat
ditindaklanjuti. Jika persoalan sanksi dikaitkan dengan
kekuasaan, maka yang dapat memberi atau memaksakan
sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah
penguasa, maka penegakan hukum dalam hal ada
pelanggaran merupakan menopoli penguasa. Penguasa
mempunyai kekuasaan untuk memaksakan sanksi
terhadap pelanggaran kaedah hukum, 84 termasuk
pelanggaran yang terjadi di bidang perpajakan.

5. Sistem Pengenaan Pajak


Cara untuk menentukan jumlah pajak dapat dilakukan
dengan beberapa sistem, antara lain Official Assesment Sistem,
Semi Self assessment Sistem, Self Assesment Sistem, dan With
Holding Sistem. Adapun penjelasan sistem-sistem yang
dimaksud adalah sebagai berikut :

84
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty,
Yogyakarta, 1999, hlm. 20
Mustaqiem 89

a. Official Assesment System


Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi kewenangan kepada pemerintah sebagai pihak
pemungut pajak atau fiscus untuk menghitung dan
menetapkan besar kecilnya jumlah hutang pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak sebagai penanggung pajak. Seperti
ketentuan sebelum tahun 1983 atau pada masa Pajak
Pendapatan, penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
berisikan ketetapan tentang besarnya pajak yang akhirnya
terutang dalam satu tahun yang harus dilunasi oleh wajib
pajak. Surat Ketetapan Pajak menurut Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983, Pasal 1 huruf k, adalah surat
keputusan yang berisi ketetapan jumlah pajak yang
terhutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Ciri-ciri pemungutan pajak yang didasarkan atas Surat
Ketetapan Pajak antara lain adalah :
1. Pemerintah sebagai pihak pemungut pajak atau fiscus
harus aktif menetapkan jumlah hutang pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak;
2. Wajib Pajak bersifat pasif, dalam arti tidak perlu
menghitung dan menentukan sendiri besar kecilnya
jumlah pajak yang terhutang, hutang pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak timbul setelah diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak oleh Pemerintah (fiscus).
Penentuan jumlah hutang pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak menurut sistem tersebut didasarkan atas
90 Pendahuluan

jabatan, sehingga penetapan jumlah hutang pajak tidak


obyektif dan posisi wajib pajak berada pada pihak yang
dirugikan.
Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dipakai sebagai dasar
pembayaran pajak oleh wajib pajak dapat dibedakan
menjadi empat, antara lain : 85
1). SKP-Sementara, ialah Surat Ketetapan Pajak yang dibuat
dalam tahun pajak berjalan. Dasar penetapannya adalah
perkiraan atau taksiran atas besarnya pendapatan yang
diperoleh, berhubung pendapatan yang sesungguhnya
diperoleh belum diketahui. Pada waktu itu dengan
diadakan tata-cara MPS-MPO, maka praktek SKP–
sementara tidak dilaksanakan lagi;
2). SKP-Masa, ialah Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan
dalam hal wajib pajak tidak atau tidak sepenuhnya
melakukan penyetoran/angsuran MPS bulanan;
3). SKP-Rampung, ialah Surat Ketetapan Pajak yang
dikeluarkan sesudah berakhirnya tahun takwim atau
tahun pajak yang memuat jumlah pajak yang masih
terhutang;
4). SKP-Tagihan Kemudian, dikeluarkan dalam hal : (a)
Ketetapan rampungnya dikenakan kerendahan, (b) Salah
diputuskan untuk tidak mengenakan ketetapan pajak,
(3) terjadi kesalahan dalam pengurangan atau
pembebasan pajaknya.

85
B. Usman, dkk, op. cit., hlm. 50-51
Mustaqiem 91

b. Semi Self Assesment System


Suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
kewenangan menentukan berapa jumlah pajak yang
terhutang berada pada kedua belah pihak (pemungut pajak
dan wajib pajak). Apabila pelaksanaan pemungutan pajak
menggunakan sistem ini, maka di awal tahun pajak, Wajib
Pajak diberi kewenangan melakukan kewajiban menghitung
atau menaksir dan menentukan besar kecilnya pajak
terhutang yang harus dibayar. Berdasarkan penghitungan
di awal waktu, Wajib Pajak sudah dapat melaksanakan
pembayaran pajak sebagai angsuran, tetapi pada akhir
tahun pajak penentuan jumlah hutang pajak yang riil akan
dihitung dan ditetapkan oleh pihak pemungut pajak.86
Sistem pemungutan pajak ini dapat disebut menggunakan
stelsel campuran (fiksi dan riil).
c. Self Assesment System
Pemungutan pajak di Indonesia sampai dengan tahun
1983 masih menggunakan sistem official assesment system,
kemudian setelah dilakukan pembaharuan peraturan
perundangan-undangan perpajakan, hasilnya menetapkan
bahwa pemungutan pajak tidak lagi menggunakan official
assesment system melainkan menggunakan self assesment system.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang 9 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang menetapkan
bahwa proses pemungutan pajak berdasar “self assesment

86
Munawir, op. cit., hlm. 3
92 Pendahuluan

system”. Penerapannya adalah pertama kali wajib pajak


mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak agar
dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak ialah suatu
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena
itu setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu nomor. Nomor
tersebut dapat dipergunakan untuk menjaga ketertiban
dalam membayar pajak dan pengawasan terhadap
adiminstrasi perpajakan. Oleh karena itu setiap melakukan
kegiatan yang ada hubungannya dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak harus mencantumkan Nomor
Pokok Wajib Pajak yang dimiliki.
Konsekuensi penggunaan self assesment system ialah setiap
Wajib Pajak harus aktif mengambil, mengisi, menandatangani,
dan menyampaikan kembali Surat Pemberitahuan ke
Direktorat Jenderal Pajak. Surat pemberitahuan merupakan
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek pajak,
dan/atau bukan obyek pajak, harta dan kewajiban, menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat
Pemberitahuan dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Surat
Pemberitahuan Masa, dan (2) Surat Pemberitahuan Tahunan.
Surat Pemberitahuan Masa merupakan surat pemberitahuan
untuk masa pajak, sedang Surat Pemberitahuan Tahunan
merupakan surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak
atau bagian tahun pajak.
Mustaqiem 93

Supaya Wajib Pajak dapat mengisi surat


pemberitahuan (SPT) dengan benar, maka setiap usaha atau
kegiatan harus dibuatkan pembukuan/catatan. Pembuatan
pembukuan atas usaha atau kegiatan tersebut berlaku bagi
perorangan maupun badan (dalam hal ini pengurusnya).
Karena kedua Wajib Pajak tersebut memiliki hak
Penghasilan Tidak Kena Pajak (bagi wajib pajak
perorangan), atau memiliki hak pengurangan terhadap
biaya-biaya yang telah dikeluarkan menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan bagi wajib pajak badan.
Self Assesment System merupakan sistem pengenaan
pajak yang memberi kewenangan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung dan menentukan jumlah hutang pajak yang
harus dibayar. Ciri sistem ini adalah :
1. Wewenang menghitung dan menentukan jumlah hutang
pajak ada pada pihak Wajib Pajak dan hasilnya
dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak;
2. Wajib Pajak harus aktif melaporkan, membayarkan atau
menyetorkan jumlah pajak yang terhutang ke Direktorat
Jenderal Pajak;
3. Pemerintah sebagai pihak pemungut pajak tidak ikut
campur dalam menghitung dan menentukan jumlah
pajak, tetapi hanya bertugas melaksanakan pengawasan.87
Apabila Wajib Pajak bersifat pasif dalam arti tidak
melakukan penghitungan dan penentuan jumlah pajak yang
harus dimuat dalam Surat Pemberitahuan serta tidak
melakukan kewajiban pembayaran pajak, maka menurut

87
Mardiasmo, op. cit., hlm. 8
94 Pendahuluan

Pasal 13 ayat (1) Undang Undang-Nomor 6 Tahun 1983 jis


Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara perpajakan dikatakan bahwa jika dalam jangka waktu
10 (sepuluh) tahun oleh UU No 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jangka waktu
10 tahun dirubah menjadi 5 tahun sesudah saat
terhutangnya pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak atau tahun pajak, pemerintah dalam hal ini
Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal :
1. Hasil pemeriksaan atau keterangan lain menunjukkan
bahwa pajak yang terhutang tidak atau masih kurang
dibayar;
2. Surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara
tertulis tetap tidak disampaikan (jangka waktu
penyampaiaan Surat Pemberitahuan Masa paling lambat
20 hari setelah akhir masa pajak, sedang bagi Surat
Pemberitahuan Tahunan paling lambat 3 bulan setelah
berakhirnya tahun pajak);
3. Berdasar hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
ternyata tidak seharusnnya dikompensasikan selisih lebih
pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol
persen).
Setelah tahun 1983 pelaksanaan pemungutan pajak di
Indonesia selain menggunakan self assesment system juga
Mustaqiem 95

masih menggunakan official assessment system meskipun


bersifat pasif baik yang berkenaan dengan pemungutan Pajak
Pusat maupun Pajak Daerah. Misalnya yang berkaitan dengan
pemungutan pajak pusat (Pajak Bumi dan Bangunan) yang
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 sebenarnya
menggunakan Self Assesment System, sebab setiap Wajib Pajak
telah ditetapkan harus mengisi Surat Pemberitahuan Obyek
Pajak (SPOP). Pengertian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak
ialah surat yang dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk
melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi dalam pelaksanaan
pemungutan pajak tersebut sama sekali tidak memberikan
kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mendata, menghitung,
dan menentukan sendiri jumlah pajak yang terhutang, karena
hal tersebut sudah ditetapkan oleh pemerintah atau fiscus dan
Wajib Pajak tinggal menerima Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang (SPPT) yang berisi jumlah hutang pajak yang harus
dibayar. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat
yang dipergunakan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib
Pajak. Karena jumlah hutang pajak sudah ditetapkan oleh
pihak pemungut pajak atau pemerintah maka Wajib Pajak
tingggal membayar atau melunasi hutang pajaknya. Seperti
juga dalam pemungutan pajak daerah (Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air), pemiliknya tinggal
melunasi karena jumlah pajak yang terhutang sudah
ditentukan oleh pihak pemerintah atau fiscus.
96 Pendahuluan

d. With Holding System


Sistem pemungutan pajak ini memberi kewenangan
kepada pihak ketiga untuk menghitung dan menetapkan
besar kecilnya jumlah pajak yang terhutang. Pihak ketiga
tersebut yang akan menghitung jumlah pajak terhutang dan
kemudian melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.88
Peranan aktif dalam with holding system adalah pihak ketiga,
buka fiscus dan bukan wajib pajak. Fiscus akan berperan jika
terjadi gejala bahwa pemotongan/pemungutan pajak tidak/
belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga. Aturan
pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga, dapat
ditemukan dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang menetapkan tentang wajib pajak. Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Pajak yang dipotong oleh pihak ketiga dalam with holding
system, mempunyai dua sifat yaitu provisional dan final.89
With holding system yang bersifat provisional (atau
sementrara) adalah pemungutan/pemotongan pajak yang
dapat diperhitungkan sesudah akhir tahun dengan jumlah
pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan.
Misalkan, pemungutan pajak atas pembayaran dividen
sebesar 15%. Pajak yang dipotong ini sebagai kredit pajak

88
Mardiasmo, op. cit., hlm. 9
89
Richard M. Bird, Tax Policy and Economic Development, Baltimor,
London, The Johns Hopkins, University Press, 1992, p. 99
Mustaqiem 97

dan dapat diperhitungkan atau dikreditkan dengan pajak


penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh pada tahun pajak yang bersangkutan,
termasuk deviden tersebut. Sedang with holding system yang
bersifat final adalah pemungutan atau pemotongan pajak yang
tidak dapat lagi diperhitungkan atau dikreditkan dengan pajak
terutang atas seluruh penghasilan. Seperti penghasilan berasal
dari jasa Bank yang setiap bulannya dipotong atau dipungut
langsung oleh penyelenggara perbankan.
6. Penggolongan Pajak
Penggolongan pajak sebagai sumber keuangan negara
dalam berbagai kategori telah diperhatikan sejak abad
pertengahan, namun berbagai usaha mengadakan klasifikasi
dan sistematika yang secara ilmiah dapat dipertanggung-
jawabkan baru dapat dilakukan sejak Revolusi Prancis yaitu
setelah ada perkembangan perpajakan modern.90
Adam Smith dengan karyanya “Wealth of Nation” tahun
1776 mengawali diskusi tentang penggolongan pajak. Smith
menghubungkan pembagian perpajakan dengan pembagian
bentuk-bentuk pendapatan, seperti rents (bunga), profits
(keuntungan usaha), upah, dan semua pajak yang bermaksud
membebani tiap bentuk pendapatan tersebut. Contoh terbaik
dari golongan terakhir ini, ialah pajak yang dikenakan terhadap
orang perorang (capitation taxes) dan pajak konsumsi.91
Adolph Wagner, seperti yang dikutip oleh C. Goedhart
melakukan pembagian pajak ke dalam kriteria pajak atas
90
C. Goedhart, op. cit., hlm. 133
91
Ibid.
98 Pendahuluan

pendapatan dan pajak atas kekayaan. 92 Keberatan


pembedaan ini ialah bahwa sukar untuk menentukan
apakah pajak tertentu itu benar-benar dibayar dari
pendapatan atau dari kekayaan. Di situ dapat dikatakan
bahwa pajak pendapatan, sebagian atau seluruhnya dibayar
oleh beberapa Wajib Pajak dari kekayaan mereka sedangka
di pihak lain pajak kekayaan umumnya dibayar dari
pendapatan. Oleh karena itu menurut dia, orang semakin
cenderung untuk membagi pajak bukan lagi menurut
sumbernya, melainkan menurut obyek yang dibebani pajak.
Hal itu terlepas dari persoalan apakah obyek yang dibebani
pajak tersebut juga merupakan sumber uang pajak atau
bukan. Sehingga penyebutannya adalah pajak atas
kekayaan atau pajak atas pendapatan dan bukan pajak itu
dibayar dari pendapatan atau dari kekayaan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka cara penggolongan
pajak didasarkan atas sifat-sifat tertentu yang terdapat pada
masing-masing pajak, seperti :
a. Pajak atas kekayaan dan pendapatan (pajak persoonlijk);
b. Pajak atas lalu - lintas (verkeersbelasting), yaitu lalu - lintas
hukum; lalu - lintas kekayaan dan lalu-lintas barang-barang;
c. Pajak yang bersifat kebendaan (zakelijk);
d. Pajak atas pemakaian (verbruiksbelasting).93
Pembagian lain didasarkan atas ciri-ciri tertentu. Setiap
pajak dengan ciri-ciri yang sama akan dimasukkan dalam satu
golongan, sehingga terjadi pembagian pajak sebagai berikut:

92
Ibid.
93
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 36
Mustaqiem 99

a. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung


Pembedaan yang paling banyak digunakan ialah
pembedaan dalam pajak langsung dan pajak tidak langsung.
Pembedaan antara kedua pajak tersebut untuk pertama kali
digunakan oleh kaum Physiokrat. Kaum ini merupakan
sekelompok orang yang menganggap pajak atas hasil tanah
sebagai satu-satunya pajak langsung karena tanah dianggap
sebagai satu-satunya sumber kekayaan. Pajak lain yang
menurut mereka akhirnya juga dialihkan atas pendapatan
dari tanah, dianggap sebagai pajak tidak langsung. Sejak itu
di mana-mana, baik dalam teori maupun praktek,
pembedaan yang demikian itu menjadi umum, namun tidak
selalu didasarkan atas kreterium yang sama.94
Secara ekonomis, untuk membedakan pajak langsung
dengan pajak tidak langsung dapat dilihat pada adanya 3
(tiga) unsur, yaitu :95
a). Penanggung jawab pajak (tax payer) adalah orang yang
secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak, bila
terdapat faktor/kejadian yang menimbulkan sebab
untuk dikenakan pajak;
b). Penanggung pajak adalah orang yang dalam faktanya
dalam arti ekonomis memikul beban pajak;
c). Pemikul beban pajak adalah orang yang menurut
maksud pembuat undang-undang harus memikul beban
pajak (destinataris).

94
C. Goedhart, op. cit., hlm 136
95
Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, Rajawali Press, Jakarta,
1999, hlm. 4
100 Pendahuluan

Jika ketiga unsur tersebut terdapat pada seseorang atau


suatu badan, maka pajak tersebut adalah pajak langsung.
Sebaliknya jika ketiga unsur tersebut terpisah, artinya
unsur-unsur terdapat pada lebih dari satu orang, maka pajak
tersebut adalah pajak tidak langsung. Sebagai contoh adalah
mengenai pemungutan cukai tembakau, di mana ketiga
unsur tersebut tidak berada pada satu orang atau badan
(tetapi terpisah), yaitu :96
a). Pabrikan : ditunjuk sebagai penanggung jawab pajak, ia
harus membeli pita cukai;
b). Agen rokok : merupakan penanggung jawab pajak, ia
setiap kali mengambil rokok dari pabrikan sekaligus
harus membayar cukai rokok;
c). Konsumen : adalah destinataris pajak, karena ia yang
sesungguhnya dituju oleh undang-undang untuk
memikul beban cukai tersebut”.
Di samping peninjauan secara ekonomis, pembagian
pajak langsung dan pajak tidak langsung dapat dilihat juga
secara yuridis. Secara yuridis, pada pajak langsung pihak
yang betanggungjawab atas pemenuhan kewajiban
pembayaran pajak ke kas negara ialah wajib pajak yang
secara ekonomis juga sebagai pemikul beban pajak. Sedang
dalam pajak tidak langsung, pihak yang bertanggungjawab
atas pemenuhan kewajiban membayar pajak ke Kas negara
adalah wajib pajak yang telah melimpahkan beban pajak
kepada pihak ketiga (pembeli/penerima jasa).97

96
Ibid.
97
Untung Sukardji, op. cit., hlm. 4
Mustaqiem 101

Berbagai literatur Jerman mengadakan pembedaan


antara pajak langsung dengan pajak tidak langsung yang
diidentifikasikan dengan pembedaan administrative-
organisatoris antara “katastersteurens” atau “ veranlagte steurens”
di satu pihak dan “tarifierte steuern” atau “gelegenheits steuern”
di pihak lain. “Katastersteuern” (pajak berkohir) adalah pajak
langsung yang dipungut secara periodik atas dasar data-
data terdaftar mengenai barang atau orang. Tarifierte steuern
(pajak tak langsung) diatur berdasarkan peristiwa tertentu,
seperti jual-beli, impor dan sebagainya yang dipungut dengan
menggunakan tarif tertentu.98 Pendapat lain mengatakan
bahwa dalam arti yuridis pajak itu merupakan pajak langsung
apabila dalam suatu undang-undang pajak ditetapkan sebagai
pajak langsung.99 Pajak lain dalam arti yuridis merupakan
pajak tidak langsung. Pembedaan ini penting karena berkaitan
dengan penerapan peraturan perundang-undangan tertentu,
yang hanya berlaku bagi pajak langsung maupun pajak tidak
langsung. Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang Pajak
Langsung dan Pajak Tidak Langsung, akan diuraikan secara
rinci sebagai berikut :
a. Pajak Langsung, ialah pajak yang dipungut secara
periodik (berkala) menurut kohir (daftar pajak) yang
sesungguhnya tidak lain dari tindasan surat ketetapan
pajak, disimpan menurut cara tertentu dalam bagian
Tata-Usaha Piutang Pajak dan dikerjakan menurut cara
tertentu pula. Contohnya adalah Pajak Pendapatan, Pajak

98
C. Goedhart, op. cit., hlm. 137
99
Ibid.
102 Pendahuluan

Kekayaan, Pajak Perseroan, Pajak Rumah Tangga dan


Verponding (di Indonesia pajak - pajak ini sudah dicabut
berlakunya). Selain itu, pajak yang dipungut merupakan
pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dialihkan
kepada orang atau pihak lain. Kebanyakan penulis lain
menjelaskan bahwa pembedaan antara pajak langsung
dengan pajak tak langsung dihubungkan dengan transfer
(pengalihan) beban pajak. Kadang-kadang dengan
mengikuti pendapat kaum Psysiokrat ( sekelompok orang
yang memiliki pendapat tentang pengertian pajak
langsung dan pajak tidak langsung) yang dianggap
sebagai pajak langsung adalah pajak yang beban
pajaknya dibayar oleh wajib pajak sendiri.
Ketentuan lain dalam hal pajak langsung adalah bahwa
yang membayar beban pajak ialah pihak yang dikenakan
pajak. Menurut pendapat ini, pajak langsung ialah
kewajiban membayar pajak yang beban pajaknya tidak
dapat dialihkan oleh pembayar pajak keapda pihak lain,
karena pajak yang beban pajaknya dialihkan kepada
pihak lain disebut pajak tak langsung. Namun
penggunaan kreterium ini menimbulkan kesukaran yang
tidak dapat diatasi, oleh karena dari sifat pajak itu sendiri
tidak dapat diambil kesimpulan dengan pasti, apakah
pajak itu dialihkan atau tidak. Untuk menghindari
kesukaran tersebut, maka beberapa penulis mengikuti
John Stuart Mill dengan mencari pembedaan tersebut
mengikuti kehendak atau maksud pembentuk undang-
Mustaqiem 103

undang mengenai transfer beban pajak oleh para wajib


pajak kepada para pemikul pajak lain. Dalam hubungan
ini digunakan nama “destinataris-pajak”, yaitu mereka
yang menurut maksud pembentukan undang-undang
harus dibebani pajak tersebut.100
Apabila wajib pajak (destinataris-pajak) itu satu orang, maka
pajak itu merupakan pajak langsung dan apabila tidak
demikian halnya, maka pajak yang bersangkutan itu
menurut kreterium ini ialah pajak tak langsung. Oleh
karena itu, menurut pendapat ini, ada kemungkinan
pemikul pajak adalah lain dari pada destinataris pajak.
Misalnya apabila bertentangan dengan maksud pembentuk
undang-undang, pengalihan oleh pembayar pajak kepada
destinataris-pajak itu tidak atau tidak seluruhnya terjadi, atau
apabila destinataris-pajak itu berhasil mengalihkan seluruh
bebannya atau untuk sebagian kepada pihak ketiga, maka
dipahami bahwa pajak telah diipikul oleh pihak lain.
Dengan menggunakan kreterium ini, maka orang biasa
menganggap pajak pendapatan, pajak kekayaan, pajak
personil sebagai pajak langsung, dan menganggap pajak
konsumsi (cukai, pajak penjualan, pajak impor, dan
kebanyakan pajak hiburan, dan sebagainya) sebagai
pajak tidak langsung.
Praktek di Negara Belanda misalnya, pada Pasal 1
(ketentuan umum) tiap undang-undang tentang pajak
akan disebutkan secara tegas apakah pajak tersebut
dalah pajak langsung atau pajak tidak langsung.

100
C. Goedhart, op. cit., hlm.136
104 Pendahuluan

Contohnya adalah yang terdapat dalam undang-undang


tentang pajak pendapatan, di sana disebutkan dalam pasal
1 bahwa : “Pajak Pendapatan adalah merupakan pajak
langsung yang dipungut dari seseorang”. Maka
pemahamannya adalah bahwa jika tidak disebut secara
tegas, maka pajak tersebut berarti Pajak Tidak Langsung.101
Menurut Smeets, untuk mencari ciri-ciri pajak yang oleh
undang-undang ditetapkan sebagai Pajak Langsung dapat
dilihat pada ciri yang nampak yaitu Pajak Langsung
dipungut dengan kohir. Selain itu sebagian besar dari Pajak
Langsung merupakan suatu pungutan yang dilakukan atas
suatu tahun pajak.102 Menurut Andriani, secara yuridis
Pajak Langsung umumnya dapat ditentukan jika
mempunyai tiga ciri utama, antara lain (1) periodisasi
(mempunyai tahun pajak), (2) harus dipungut dengan surat
penetapan (3) berdasarkan suatu kohir. Namun menurut
Andriani titik beratnya adalah pada periodisasinya.
Pajak langsung yang berlaku saat ini adalah Pajak
Penghasilan dengan obyek pajaknya adalah penghasilan.
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari wilayah Indonesia maupun dari luar
wilayah Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian,
setiap orang yang telah memiliki penghasilan dan

101
Ibid.
102
Ibid., hlm.160
Mustaqiem 105

memenuhi peraturan perundang-undangan perpajakan


mempunyai kewajiban membayar Pajak Penghasilan.
Selain contoh pajak langsung tersebut, masih terdapat pajak
langsung yang lain baik pajak pusat maupun pajak daerah
seperti Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Kendaraan
Bermotor. Kesimpulannya adalah bahwa pajak langsung
bisa berasal dari pajak pusat maupun pajak daerah.
b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang hanya
dipungut kalau pada suatu ketika terdapat peristiwa
atau perbuatan untuk itu, seperti penyerahan barang tak
gerak, pembuatan suatu akte, dan lain sebagainya. Pajak
ini tidak dipungut menurut kohir, misalnya Bea Meterai,
Bea Balik Nama, Bea Warisan, dan sebagian dari Pajak
Upah dan Pajak Pembangunan I (Pajak Upah dan Pajak
Pembangunan I sudah dicabut berlakunya). Selain itu,
Pajak ini merupakan pajak yang bebanya dapat
dilimpahkan kepada pihak atau orang lain dan
pemungutannya memerlukan peristiwa tertentu seperti
jual beli barang kena pajak, mengimpor barang kena
pajak, menginap di hotel ayau makan direstoran.
Ketentuan kedua macam pajak ini, mengharuskan pihak
konsumen (pembeli barang kena pajak maupun
konsumen hotel dan restoran) sebagai pihak yang
dibebani menanggung atau membayar pajak pihak.
Sedangkan penjual barang kena pajak maupun pengelola
hotel dan restoran hanya berposisi sebagai pihak yang
ditugasi memungut atau memotong pajak yang berasal
dari konsumen, selanjutnya pajak yang telah dipungut
106 Pendahuluan

atau dipotong harus disetorkan ke kas negara atau daerah.


Apabila hasil pemungutan pajak tidak disetorkan ke kas
negara atau daerah, maka akibatnya pihak pemungut akan
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tindakan tidak menyetorkan hasil pemungutan pajak ke
kas negara/daerah bukan merupakan bentuk hutang
pajak tetapi merupakan penggelapan pajak. Perbuatan
ini termasuk kategori perbuatan kriminal, maka
penanganannya tidak cukup dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pajak atau petugas pajak yang ditunjuk, tetapi
harus melibatkan instansi lain seperti penanganan tindak
kriminal penggelapan bidang lain.
b. Pajak Subjektif dan Pajak Objektif
Andriani sangat mengutamakan pembedaan dan
pembagian pajak berdasarkan ciri-ciri yang mempunyai arti
prinsipiil dan menyimpulkan bahwa pembedaan antara
pajak subjektif dan pajak objektif adalah sangat tepat.103
Sebaliknya ia tidak menyetujui pemakaian istilah-istilah
seperti pajak-pribadi (persoonlijk) dan pajak-kebendaan
(zakenlijk) sebagai nama lain dari pajak-subyektif dan pajak-
obyektif, karena istilah pajak (zakenlijk) dapat disalahartikan
dan ditafsirkan seolah-olah dalam menetapkan pajak ini
tidak diindahkan sama sekali pribadi seorang wajib pajak.
Padahal dalam banyak hal keadaan wajib pajak sangat
berpengaruh walaupun hanya bersifat sekunder. Dengan
sistematika ini sebagai dasar pokok, akan didapatkan

103
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm.40
Mustaqiem 107

pembedaan dan pembagian dari hal ihwal yang akan dapat


dikenakan pajak. Lebih-lebih untuk pajak-obyektif, dengan
sangat mudahnya dapat diperoleh pembagian dalam
detailnya, karena hal-hal yang menyebabkan timbulnya
hutang pajak umumnya dapat dibagi pula dalam : keadaan,
perbuatan atau peritiwa (tatbestand).
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, Andriani
membagi macam-macam pajak di Indonesia (pada waktu
itu) ke dalam beberapa kategori, antara lain :104
1. Golongan Pajak-pajak Subjektif, dipungut dari orang :
a. Pajak Pendapatan 1944 atas penduduk (Indonesia);
b. Pajak Kekayaan atas penduduk (Indonesia);
c. Pajak Jalan.
2. Golongan Pajak-pajak Objektif
a. Dipungut karena keadaan;
1) Pajak-pajak atas bagian-bagian dari kekayaan :
a) Pajak Kekayaan atas bukan penduduk;
b) Verponding – bangunan;
2) Pajak-pajak atas pendapatan;
a) Pajak Pendapatan atas bukan penduduk;
b) Pajak Upah;
c) Verponding bukan – bangunan;
3) Pajak-pajak karena mempunyai / mempergunakan
benda yang kena pajak :
a) Pajak Rumah Tangga;
b) Pajak Senjata-api;
c) Pajak Anjing;
104
Ibid.
108 Pendahuluan

d) Bea tetap karena mempunyai izin penyelidikan


atas konsesi tambang (mijn-concessie).;
e) Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Dipungut karena perbuatan;
1) Pajak-pajak atas lalulintas kekayaan;
a) Bea Bilik Nama karena perjanjian-penyerahan
atau atas akte mengenai kapal;
b) Bea Pemindahan karena hibah;
c) Bea Meterai Modal;
d) Bea Meterai dan Nota-Nota Efek;
e) Pajak Peredaran;
2) Pajak-Pajak Atas Lalu-lintas Hukum lainnya
berbagai Bea Meterai;
3) Pajak-Pajak atas lalu-lintas barang;
a) Bea Masuk dan Bea keluar;
b) Bea Statistik;
c) Upah Lelang;
4) Pajak-pajak atas pemakaian (verteringsbelasting);
a) Cukai-cukai;
b) Pajak potong-hewan;
c) Pajak lotere.
c. Dipungut karena peristiwa.
Bea pemindahan (sebagai sisa dari Ordonansi Bea
Warisan tahun 1901 yang telah dihapus mulai tahun 1949)
karena perolehan harta tetap oleh seseorang dari penduduk
Indonesia yang meninggal dunia.
Sesungguhnya tidaklah sukar untuk menunjukkan suatu
jenis pajak yang dalam pembagian di atas itu dapat
Mustaqiem 109

dimasukkan dalam lebih dari satu golongan, misalnya pajak-


pajak atas pemakaian untuk sebagaian besar dapat
dimasukkan dalam golongan pajak atas lalu-lintas barang.
Memang demikian adanya, tetapi kita harus ingat bahwa
keadaan semacam itu dapat dijumpai dalam setiap
pembagian, yang semata-mata ditujukan kepada
penggolongan yang formil saja.105
Pembagian pajak subjektif dan pajak objektif seperti
yang telah diuraikan di atas, dapat diperinci dengan
penjelasan sebagai berikut:
1. Pajak Subjektif.
Pajak subjektif adalah pajak-pajak yang berpangkal
kepada diri orangnya dan untuk dapat mengenakan pajak
pada orang-orang tersebut didasarkan pada ukuran
objeknya. Untuk dapat mengenakan pajak yang subjektif
ini diperlukan adanya hubungan antara negara pemungut
pajak dan subjek pajak, misalkan hubungan antara warga
negara dengan negara. Selain itu, pajak ini merupakan pajak
yang berpangkal pada subjek pajak. Artinya, hal pertama
yang dilihat adalah keadaan/status Wajib Pajak baru
kemudian ditetapkan objeknya. Keadaan lain bagi Wajib
Pajak, seperti bujangan atau sudah berkeluarga, akan sangat
berpengaruh terhadap besar kecilnya jumlah hutang pajak
yang harus dibayar. Demikian pula, perbedaan status Wajib
Pajak juga dapat membedakan jumlah hak Penghasilan
Tidak Kena Pajak pertahun yang akan diterimakan.

105
Ibid., hlm.42
110 Pendahuluan

Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang berstatus


bujangan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000, Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa ia akan mendapat
hak Penghasilan Tidak Kena Pajak sejumlah Rp. 2.880.000/
setahun. Sedang bagi Wajib Pajak yang sudah berumah
tangga memiliki hak Penghasilan Tidak Kena Pajak lebih
banyak jumlahnya (untuk diri Wajib Pajak Rp. 2.880.000,- +
bagi Istri yang bekerja Rp. 2.880.000,- + bonus karena sudah
berkeluarga Rp. 1.440.000,- = Rp. 6.200.000,-/per tahun.
Begitu juga bagi Wajib Pajak yang selain mempunyai
istri, juga memiliki tanggungan (anak atau pihak lain) yang
tidak memiliki penghasilan. Wajib Pajak ini akan mendapat
hak Penghasilan Tidak Kena Pajak yang jumlahnya lebih
banyak lagi yaitu untuk diri Wajib Pajak Rp. 2.880.000,- +
Istri yang bekerja Rp. 2.880.000,- + tanggungan seorang anak
Rp. 1.440.000,- + bonus karena sudah berkeluarga Rp.
1.440.000,- = Rp. 8.640.000,-
Berdasarkan uraian tersebut, apabila terdapat 3 (tiga)
Wajib Pajak yang memiliki jumlah penghasilan yang sama,
semisal Rp. 4.000.000,-/tahun, tentu saja ketika membayar
pajak jumlah hutang pajaknya akan berbeda antara yang
satu dengan lainnya. Hal ini terjadi karena hak penghasilan
tidak kena pajak antara wajib pajak tersebut tidak sama
jumlahnya. Perbedaan status Wajib Pajak serta banyaknya
tanggungan yang dimiliki menyebabkan hak Penghasilan
Tidak Kena Pajak jumlahnya tidak sama. Ketetapan ini
Mustaqiem 111

merupakan salah satu wujud keadilan di bidang perpajakan,


karena Wajib Pajak yang berstatus bujangan beban biaya
hidup pada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan
Wajib Pajak yang telah berumah tangga.
Ketentuan besarnya penghasilan tidak kena pajak yang
diatur oleh Pasal 7 ayat (1) di atas telah diubah berdasar
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
564/KMK.03/2004, tanggal 29 Nopember 2004. Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan tersebut, jumlah Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) mulai tahun 2005, menjadi :
a. Rp. 12.000.000,- untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp. 1.200.000,- untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp.12.000.000,-untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp. 1.200.000; untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
Perkembangan terbaru tentang ketentuan besarnya
penghasilan tidak kena pajak telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 137/
PMK.03/2005. Angka Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) berubah menjadi :
a. Rp. 13.200.000,- untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp.13.200.000,- untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami;
c. Rp. 1.200.000; untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat
112 Pendahuluan

yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3


(tiga) orang untuk setiap keluarga;
d. Rp. 1.200.000,- untuk bonus bagi wajib pajak yang
berkeluarga.
Perubahan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) yang didasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia tersebut secara hukum dapat
dibenarkan dan sah. Hal ini berpedoman pada Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000, Pasal 7 ayat (3) yang
menetapkan bahwa “ Penyesuaian besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan”.
2. Pajak Objektif
Pajak objektif ialah pajak yang pertama-tama melihat
kepada objeknya. Tidak harus berupa benda tetapi bisa
berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang
menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.
Setelah diketemukan objeknya, maka baru dicari subjeknya
(orang atau badan hukum) yang bersangkutan langsung,
dengan tiada mempersoalkan apakah subjek ini berkediaman
di Indonesia ataupun tidak. Subjek yang mempunyai
hubungan hukum tertentu dengan objek itulah yang ditunjuk
sebagai subjek yang harus membayar pajak. Atau pajak ini
merupakan pajak yang berpangkal pada objeknya, kemudian
baru ditetapkan subjeknya tanpa memperhatikan status Wajib
Pajak. Apakah Wajib Pajak berstatus bujangan atau sudah
berkeluarga tidak dipersoalkan, sebab status Wajib Pajak tidak
akan berpengaruh terhadap besar kecilnya jumlah pajak yang
harus dibayar. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai
Mustaqiem 113

Barang dan Jasa, Pajak Hotel dan Restauran, bagi Wajib Pajak
dengan status apapun jika membeli Barang Kena Pajak yang
dikonsumsi di dalam negeri akan dikenakan tarif pajak dengan
prosentase sama yaitu 10%. Demikian pula dalam hal
membayar Pajak Hotel dan Restoran tidak dikaitkan dengan
status Wajib Pajak, ia akan dikenakan pajak sebesar 10%,
demikian pula dalam pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan tidak juga didasarkan pada status wajib pajak.
Selain itu, pajak-pajak objektif dipungut karena :106
a) Keadaan
1. Adanya kekayaan dalam negara pemungut pajak,
misalnya pajak kekayaan wajib pajak luar negeri,
“Verponding Bangunanz;
2. Adanya pendapatan dalam negara pemungut pajak,
misalnya pajak pendapatan wajib pajak luar negeri,
pajak upah, “Verponding bukan bangunan” (ongebouwd);
3. Ada obyek dalam negara pemungut pajak, seperti
Pajak Rumah Tangga, Pajak Anjing, Pajak Senjata Api,
Pajak Kendaraan Bermotor, dan sebagainya.
b). Perbuatan-perbuatan
1. Ada pemindahan atau peralihan kekayaan dalam
wilayah negara pemungut pajak, misalnya Bea Balik
Nama dari persetujuan pemindahan (overeenkomst tot
overdracht ) harta tak gerak, Bea Pemindahan (Recht
van Overgang), Meterai Modal, Pajak Penjualan;

106
Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 31-32
114 Pendahuluan

2. Ada perbuatan-perbuatan hukum lainnya dalam


wilayah negara pemungut, misalnya bea meterai;
3. Ada pemindahan atau peralihan barang dalam
wilayah negara pemungut, misalnya bea masuk atau
bea keluar;
4. Dilakukan pemakaian pengeluaran (vertering) dalam
wilayah negara pemungut, misalnya Cukai, Pajak
Potong Pajak Lotere.
c). Kejadian
Bea balik nama karena pemindahan warisan.
c. Pajak Umum dan Pajak Daerah107
Kenyataannya, suatu negara bisa berbentuk federal
maupun kesatuan. Negara, berbentuk apapun pasti
membuat kebijakan yang mengatur bidang perpajakan.
Semisal di negara federal dikenal adanya Pajak Negara Federal
(Pajak umum) dan Pajak Negara Bagian. Demikian pula di
negara kesatuan terdapat dua macam pajak yaitu Pajak
Pusat dan Pajak Daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
di masing-masing tingkatan pemerintahan dalam negara
yang berbentuk apa pun memerlukan dana yang berasal
dari sektor pajak untuk kepentingan penyelenggaran
pemerintahan. Pemahaman Pajak Umum dan Pajak Daerah,
adalah sebagai berikut:
a. Pajak Umum, pajak ini dibagi dalam 7 golongan, ialah :
1. Pajak-pajak persoonlijk atas sisa-sisa (overschotten)

107
Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 36
Mustaqiem 115

termasuk Pajak Pendapatan atas penduduk. Sisa


adalah jumlah tertentu sebelum pemungutan pajak.
Dalam ketentuan pajak ini juga diperhatikan daya
pikul wajib pajak;
2. Pajak-pajak zakelijk atas sisa-sisa (overschotten)
termasuk Pajak Pendapatan atas bukan penduduk,
Pajak Perseroan, Pajak Upah, Pajak Verponding
bukan bangunan. Dalam pajak ini, keadaan wajib
pajak tidak diperhatikan;
3. Pajak-pajak atas kekayaan, seperti Pajak Kekayaan,
Verponding Pembangunan;
4. Pajak-pajak atas tambahannya kekayaan, seperti Bea
Balik Nama dan Bea pemindahan karena memperoleh
harta tetap sebagai warisan atau dalam hibah wasiat;
5. Pajak langsung atas pemakaian, seperti Pajak Rumah
Tangga, Pajak Anjing, Upah-lelang;
6. Pajak tidak langsung atas pemakaian, seperti Bea Masuk,
Cukai, Pajak Peredaran dan Pajak Potong Hewan;
7. Pajak-pajak yang menaikkan ongkos-ongkos produksi,
seperti Bea Balik Nama atas perjanjian penyerahan dan
atas akte-akte mengenai kapal dan juga Bea Meterai
atas tanda-tanda (stukken) yang bersifat “privaatrechtelijk”.
Pajak ini ditujukan sebagai pengganti kerugian kepada
Pemerintah yang telah mengerjakan sesuatu bagi para
produsen.
b. Pajak Daerah
Pajak daerah ini timbul karena kekuasaan yang
diberikan kepada Dewan-Dewan Daerah seperti tercantum
116 Pendahuluan

dalam Ordonansi Dewan-Dewan Lokal (Locale raden


Ordonnantie, Stbl. 1905 No. 181). Pasal 49 ayat (1)
menentukan bahwa “Dewan-dewan ini diberi kekuasaan
untuk dengan syarat memperhatikan ketentuan-ketentuan
dalam pasal ini, menetapkan peraturan peraturan bagi
daerahnya masing-masing tentang pemungutan pajak-pajak
untuk memperkuat keadaan keuangannya dalam daerah-
daerah itu”. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak
yang dibuat dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah yang bersangkutan, hasil pemungutan
pajak dipergunakan untuk membiayai keperluan rumah
tangga daerah yang bersangkutan sebagai badan hukum
publik.
Pendapat lain mengatakan bahwa Pajak Daerah adalah
Pajak yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan
pajak yang ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan
pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum
publik. 108 Pajak Daerah juga merupakan pajak yang
dipungut oleh Daerah Swatantra (Propinsi, Kabupaten, Kota)
untuk pembiayaan rumah tangganya.109 Perkembangan
selanjutnya, setiap peraturan perundang-undangan yang
dipakai sebagai dasar pengaturan Pemerintahan Daerah
memuat dasar kewenangan daerah memungut pajak, seperti
dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974, Pasal 55,
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 diatur dalam Pasal

108
Hamdani Aini, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm.196
109
Munawir, op. cit., hlm.47
Mustaqiem 117

79; demikian pula oleh Undang Undang Nomor 32 Tahun


2004 diatur dalam Pasal 157 (Pasal 55, 79, dan 157 semuanya
menetapkan sumber-sumber pendapatan daerah, salah
satunya berasal dari pendapatan asli daerah yang terdiri atas
hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan
milik daerah, hasil pengelolan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah).
Perubahan peraturan perundang-undangan tersebut
juga diikuti perubahan pengertian pajak, seperti pengertian
Pajak Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, Pasal 1 ayat (1) ialah:
“iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan
Daerah”.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Pajak Daerah
merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
sangat penting guna membiayai penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan Daerah, sehingga dapat
untuk memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab. Penggolongan pajak tersebut sudah
barang tentu kesemuanya juga mempunyai sifat maupun
fungsi. Sebab, dalam prakteknya penggolongan ini
seringkali hanya dipakai untuk memudahkan pekerjaan di
dalam praktek, jadi hanya sekedar sebagai alat untuk
menunjukkan pajak-pajak mana saja yang diperlukan dalam
118 Pendahuluan

bentuk peraturan perundang-undangan.


Namun, penggolongan pajak juga digunakan untuk
tujuan ilmiah (wetenschappelijk doel). Hukum pajak harus
selalu memperhatikan ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu itu,
tetapi yang lebih perlu adalah harus selalu awas dan
waspada terhadap prinsip yang menjadi dasar suatu
pengenaan pajak, memegangnya erat-erat sebagai pegangan
yang teguh dan mengawasi terjelmanya prinsip-prinsip itu.
Menurut Andriani, seperti yang dikutip Santoso
Brotodihardjo, yang terpenting adalah lebih mengutamakan
pembedaan dan pembagian yang didasarkan atas ciri-ciri
yang mempunyai arti prinsipil, yaitu yang terdapat pada
pembedaan antara pajak subjektif dan pajak objektif. 110

7. Sistem Hukum Pajak Indonesia


Pembahasan sistem hukum pajak Indonesia, akan
diawali dengan berbicara mengenai sistem hukum
nasional, karena hal ini dapat membantu dalam menjelaskan
hal tersebut. Dalam dunia ilmu pengetahuan, adanya
berbagai macam pendapat tentang suatu hal merupakan hal
yang wajar sering terjadi. Seperti halnya yang terjadi
terhadap sistem hukum nasional, adapun beberapa
pendapat tentang sistem hukum nasional, seperti yang
dikutip Abdurrahman ialah 111 adalah sebagai berikut:
a. Pendapat JCT. Simorangkir mengatakan bahwa sistem

110
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 36
111
Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Pembangunan Hukum Nasional,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.145-149
Mustaqiem 119

hukum nasional adalah segala hukum yang berlaku


secara nasional dan sah di seluruh tanah air dari Sabang
sampai Merauke, dari Banda Aceh sampai Irian Jaya
(Papua), yang dibuat oleh badan-badan atau lembaga-
lembaga nasional yang berwenang.
b. Pendapat Satjipto Rahardjo, sistem hukum nasional ialah
tata hukum baru yang lahir sebagai akibat dari
kemerdekaan bangsa Indonesia dengan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai intinya.
c. Menurut Daniel S. Lev mengatakan bahwa “The Term“
Hukum Nasional” (national law) has two connotation : one
meaning exacly, national in contrast with the local; the other more
prevalent during the last two decades meaning the law of inde-
pendent Indonesian as opposed to law originating in the colony”.
d. Pendapat Moh. Koesnoe, mengatakan bahwa :
1. Hukum Nasional ialah hukum yang dinyatakan
berlaku secara nasional oleh pembentuk undang-
undang nasional;
2. Hukum Nasional adalah hukum yang bersumber dan
menjadi pernyataan langsung dari tata budaya nasional;
3. Hukum Nasional ialah hukum yang bahan-bahannya
(baik idiil maupun riil) primair adalah dari
kebudayaan nasional sendiri dengan tidak menutup
kemungkinan memasukkan bahan-bahan dari luar
sebagai hasil pengolahan dibawa oleh perhubungan
dengan luar nasional;
4. Hukum Nasional sebagai pengertian politis yakni
perlawanan antara Nasional dan Kolonial.
120 Pendahuluan

Berdasarkan pengertian sistem hukum nasional


tersebut, maka pengertian sistem hukum pajak nasional
tidak akan jauh berbeda, karena secara konstitusional
kewajiban negara membuat hukum pajak sudah ditetapkan
dalam Pasal 23 A Undang Undang Dasar 1945. Begitu pula
syarat formal pembuatan hukum (pajak) telah ditetapkan
di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka yang
dimaksud sistem hukum pajak Indonesia, ialah :
“Sistem hukum di bidang perpajakan yang dibuat
sesuai dengan ketentuan formal dalam Undang
Undang Dasar 1945 maupun peraturan perundang-
undangan lainnya yang dipergunakan sebagai dasar
hukum pengaturan bidang perpajakan dan dasar
hukum pemungutan pajak di Indonesia”.
PENGATURAN
BAB BIDANG PERPAJAKAN
II DAERAH DALAM SISTEM
HUKUM PAJAK INDONESIA

A. Hukum Pajak Indonesia


Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas Staats-
souvereiniteit, yaitu kedaulatan setiap negara untuk dan
bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumahtangganya
sendiri dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum
antar Negara serta bebas dari pengaruh kekuasaan negara
lain.112 Sesuai dengan asas yang dimaksud di muka maka
Belasting-souvereiniteit sebagai species dari genus Staats-
souvereiniteit, merupakan kedaulatan suatu negara untuk
bertindak merdeka dalam lapangan pajak. Kekuasaan
ini terdiri atas :113
1. kekuasaan untuk membikin undang-undang nasional;
2. kekuasaan untuk melaksanakannya, yaitu kekuasaan untuk
menetapkan pajak sesuai dengan “Tatbestand” yang
berakibat timbulnya hutang pajak, untuk mengontrol
apakah dan sejauh mana keterangan-keterangan yang
diterimanya, baik dari pihak wajib pajak maupun pihak

112
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm.124
113
Ibid.
122 Pengaturan Bidang Perpajakan...

ketiga sesuai dengan kenyataan yuridis maupun ekonomis


serta menagih hutang pajak dari yang bersangkutan,
lengkap dengan tindakan-tindakan paksaannya
termasuk dalam kekuasaan eksekutif.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Staatssouvereiniteit
dibatasi norma-norma dalam hukum antar negara, demikian
juga halnya dengan Belasting-souvereiniteit. Sebagai bukti adalah
bahwa setiap negara boleh mengatur undang-undang
pajaknya menurut kehendak sendiri, asal saja tidak masuk
sebagai larangan-larangan yang tersimpul dalam norma-
norma hukum antar negara, seperti hukum antar negara yang
memuat asas “territorialiteit” yang menentukan bahwa suatu
negara, di luar wilayahnya (antara lain juga) dalam lapangan
pajak tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan penetapan,
kontrol dan eksekutif.114
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat,
perencanaan dan penetapan konsep mengenai sistem
pengelolaan kehidupan berbangsa diserahkan sepenuhnya
kepada sebuah bangsa sesuai dengan cita–cita untuk
kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.115
Secara teoritis dapat dikatakan bahwa semua bangsa
menuangkan pokok-pokok pandangan, pendirian, prinsip
konseptual, mengenai pengelolaan kehidupannya di dalam
Konstitusi, baik tertulis (written constitution) maupun tidak
tertulis (unwritten constitution). Undang-Undang Dasar

114
Ibid.
115
Solly Lubis, Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 2
Mustaqiem 123

sebagai konstitusi tertulis umumnya mengemukakan latar


belakang hasrat bernegara, landasan filosofi kenegaraan,
tujuan negara, struktur organisasi dan mekanisme
pemerintahan negara yang diinginkan oleh bangsa yang
mendirikan dan mempertahankan negara itu.116
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat memiliki hak untuk mengatur kehidupannya
(termasuk di bidang perpajakan) sesuai dengan Undang-
Undang Dasar. Hak mengatur bidang perpajakan yang
dilakukan oleh negara secara yuridis konstitusional saat ini
berpedoman pada Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945.
Jika ditelaah lebih lanjut, pasal tersebut menunjukkan bahwa
pengaturan bidang perpajakan bukan hanya sekedar hak,
tetapi merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh
negara, sekaligus sebagai bentuk identitas dalam pengaturan
bidang perpajakan.
Kewajiban negara mengatur bidang perpajakan harus
didasarkan atas hukum, karena Indonesia berstatus sebagai
negara hukum, maka segala tindakannya (termasuk bidang
perpajakan) harus didasarkan atas aturan hukum.
Sebagaimana pendapat van Wijk, seperti yang dikutip oleh
Sri Soemantri Martosuwignjo, bahwa unsur-unsur negara
hukum ada 4 (empat), terdiri atas :
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan
perundang-undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara);
116
Ibid., hlm. 4
124 Pengaturan Bidang Perpajakan...

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;


4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan
(rechterlijke controle).117
Sebagai konsekuensi logis dari pilihan untuk mendirikan
negara hukum, maka upaya untuk memungut pajak dari
masyarakat juga harus berdasarkan hukum. Hukum menjadi
syarat mutlak untuk memungut pajak, karena pemungutan
pajak yang tidak didasari hukum adalah perampokan.
Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pajak, berrikut
akan diuraikan lebih detil tentang beberapa pengertian
pokok dari terminologi perpajakan.
1. Pengertian Hukum Pajak Indonesia
Sebelum sampai pada pengertian hukum pajak
Indonesia, terlebih dahulu akan dibahas mengenai hukum
nasional. Menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh
Abdurrahman, hukum nasional dapat diartikan sebagai
hukum yang berlaku secara nasional dan dihadapkan secara
bertentangan dengan hukum yang berlaku secara lokal,
yaitu hukum adat.118 Meskipun hukum adat tidak dapat
disejajarkan dengan klasifikasi hukum yang lain, seperti
hukum tata negara, hukum administrasi dan sebagainya.119
Sekarang ini hukum yang berlaku secara lokal bukan hanya
terbatas hukum adat saja, tetapi juga Peraturan Daerah yang
117
Sri Soemantri Martosuwignjo, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya
Dalam sistem Hukum Nasional (makalah) dalam “Politik Pembangunan
Hukum Nasional”, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 28
118
Abdurrahman, Beberapa Aspekta Tentang Pembangunan Hukum
Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 147
119
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm.125
Mustaqiem 125

merupakan hukum tertulis, seperti Peraturan Daerah yang


dipergunakan untuk mengatur pemungutan Pajak Daerah.
Menurut Moh. Koesnoe, 1979, sebagaimana dikutip oleh
Sudikno Mertokusumo, bahwa istilah hukum nasional
sebetulnya hanyalah sekedar memberi sesuatu tekanan yang
lebih jelas untuk menyatakan hukum mana dilihat dari segi
tata ruang dan orangnya yang terdapat dalam suatu wilayah
tertentu bagi orang-orang yang hidup di dalam masyarakat
yang bersangkutan. 120 Mengenai konsep tersebut, ia
menyatakan bahwa: “hukum nasional sebagai hukum yang
dinyatakan berlaku secara nasional oleh pembentuk undang-
undang nasional”. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
dirumuskan bahwa pengertian hukum pajak Indonesia adalah
: “Peraturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang dipergunakan untuk mengatur bidang
perpajakan di Indonesia”.
Ketentuan formal yang harus dipergunakan sebagai
pedoman dalam pembuatan hukum pajak sudah diatur
dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945. Pasal-
pasalnya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 5 ayat (1) :
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang -
undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
b. Pasal 20 :
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang- undang;

120
Ibid., hlm. 148
126 Pengaturan Bidang Perpajakan...

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh


Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama;
c. Pasal 21 :
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
memajukan usul rancangan undang-undang”

Berdasarkan ketentuan tersebut, proses pembuatan


undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945 harus diikuti dan ditaati. Konstitusi
menurut pengertian hukum adalah norma-norma yang
mengatur proses pembuatan undang-undang.121 Apabila
proses pembuatan peraturan perundang-undangan bidang
pajak tidak memenuhi ketentuan atau syarat formal yang
ditetapkan, maka peraturan perundang-undangan yang
dimaksud adalah cacat hukum dan tidak layak untuk
diundangkan atau diberlakukan sebagai sebuah peraturan
perundang-undangan.
Produk hukum pajak pusat yang dibuat oleh
pemerintah selain dipergunakan sebagai landasan
pemungutan pajak pusat juga dipergunakan untuk
menetapkan macam atau jenis-jenis Pajak Daerah. Seperti
halnya Undang-Undang Nomor 11/Drt /1957 tentang Pajak
Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan

121
Hans Kelsen, op. cit., hlm. 258
Mustaqiem 127

perpajakan tersebut, selain untuk mengatur Pajak Pusat dan


menentukan jenis-jenis Pajak Daerah, sebenarnya secara
yuridis memiliki tujuan untuk memenuhi ketentuan yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara harus diatur undang-undang”.
Tanpa adanya peraturan perundang-undangan, maka
siapapun (termasuk negara) tidak mempunyai hak
melakukan pemungutan pajak. Apabila sebuah negara
melakukan pemungutan pajak terhadap masyarakat tanpa
peraturan perundang-undangan, maka tindakan tersebut
bukan merupakan pungutan pajak tetapi merupakan
pungutan liar. Ketentuan Pasal 23 A UUD 1945 harus ditaati
dalam pemungutan pajak, ketaatan itu merupakan
konsekuensi logis bagi Indonesia yang berstatus sebagai
negara hukum.
Asas legalitas (legalitietsbeginsel) merupakan salah satu
prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap
negara hukum, terutama bagi negara-negara hukum dalam
sistem continental.122 Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam
penarikan pajak oleh negara, seperti dalam praktek di Inggris
terkenal ungkapan : “No taxation without representation” atau
tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen. Sedangkan di
Amerika dikenal ungkapan “Taxation without representation
is robbery” atau pajak tanpa persetujuan parlemen adalah

122
L. Prakke en C.A.J.M. Kortmann, Het Bertuursrecht van de Landen der
Europese Gemeenschappen, Kluwer-Deventer, 1986
128 Pengaturan Bidang Perpajakan...

perampokan. Berdasar hal tersebut berarti pemungutan pajak


hanya boleh dilakukan oleh negara setelah ada peraturan
perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar hukum
penetapan dan pemungutan pajak. Asas ini dinamakan
kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet).123
Peraturan perundang-undangan dimaksud, seperti :
(1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, Undang-Undang Pajak
Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai dan
Undang Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan;
(2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 5 A ayat (1) mengatur
tentang pengawasan pemerintah terhadap produk
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa dalam
pengelolaan bidang Perpajakan Daerah, Pemerintah Daerah
tidak memiliki “kebebasan penuh” sebab masih ada
pengawasan dari Pemerintah Pusat. Pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah tidak sekedar mengawasi tetapi
sekaligus juga melakukan evaluasi terhadap substansi
Peraturan Daerah yang dipergunakan sebagai dasar hukum
Pajak Daerah. Pengawasan itu dilakukan untuk mengetahui
apakah substansi Peraturan Daerah bertentangan dengan
kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan

123
H.D. van Wijk / Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief
Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Utrecht, 1995, p. 41
Mustaqiem 129

perundangan-undangan diatasnya atau tidak, untuk


menentukan hasil evaluasi tersebut diperlukan adanya
keputusan dari pemerintah yang harus disampaikan kepada
Daerah. Keharusan Pemerintah Pusat membuat keputusan
terhadap hal yang dimaksud dibatasi oleh waktu. Apabila
melampui batas waktu yang sudah ditetapkan ternyata
Pemerintah Pusat tidak dapat membuat suatu keputusan
hasil evaluasi terhadap Peraturan Daerah dimaksud, maka
Peraturan Daerah boleh dilaksanakan demi hukum
walaupun secara substansi bertentangan dengan hukum
yang lebih tinggi.
Kondisi ini yang perlu dicegah agar tidak terjadi,
karena boleh jadi ada Peraturan Daerah yang secara yuridis
sudah diberlakukan tetapi dikemudian hari diketahui bahwa
substansinya bertentangan dengan kepentingan umum atau
dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Persoalan
yang muncul adalah siapa yang harus bertanggungjawab dan
bagaimana status hukum dari akibat yang ditimbulkan oleh
peraturan daerah tersebut baik bagi pemungut pajak maupun
bagi penanggung atau pembayar pajak.
Hukum pajak memberikan kejelasan posisi bagi semua
pihak yang terkait pemungutan pajak (Pemerintah Pusat
maupun Daerah dan pembayar pajak), sehingga mereka dapat
mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Implikasinya, jika Wajib Pajak merasa dirugikan oleh
pemerintah (fiscus), mereka dapat mengajukan Surat
Keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan selanjutnya
Direktur Jenderal Pajak akan membuat keputusan atas
130 Pengaturan Bidang Perpajakan...

keberatan yang diterima. Jika wajib pajak belum bisa


menerima keputusan tersebut, wajib pajak masih bisa
melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan banding
ke Pengadilan pajak.
2. Jenis-Jenis Pajak Pusat
Pembaruan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang dimulai tahun 1983 berhasil menetapkan beberapa
macam Pajak Nasional / Pusat yang terdiri atas:
a. Pajak Penghasilan;
b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah;
c. Bea Meterai;
d. Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Kelima jenis pajak tersebut diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang berbeda. Tidak semua peraturan
perundang-undangan pajak dipergunakan untuk mengatur
suatu jenis pajak tertentu, tetapi ada yang dipergunakan
untuk mengatur pedoman umum bidang pajak secara
keseluruhan, yaitu: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (hukum pajak formal umum) yang mengikat
terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan pajak
nasional (pusat) maupun daerah. Di luar peraturan tersebut,
terdapat (hukum pajak formal khusus), seperti yang tertulis
dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Uraian
selanjutkan akan dikemukakan mengenai karakteristik
Mustaqiem 131

masing-masing Pajak Pusat yang dapat diketahui dan


dipahami melalui paparan sebagai berikut.
a. Pajak Penghasilan
Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1984 adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Peraturan
perundang-undangan tersebut telah sesuai dengan falsafah
bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945, sebab di
dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak-hak
warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan
sebagai kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran
serta rakyat dalam pembiayaan negara maupun
pembangunan nasional.
Subjek Pajak Penghasilan adalah ialah (1) Orang
pribadi, (2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yang berhak, (3) Badan, (4) Bentuk
Usaha Tetap. Subjek Pajak tersebut dibedakan menjadi
dua golongan, yaitu : (a) Subjek Pajak Dalam Negeri, dan
(b) Subjek Pajak Luar Negeri. Dasar yang dipergunakan
untuk membedakan kedua Subjek Pajak tersebut tidak
terletak pada perbedaan status kewarganegaraan, tetapi
didasarkan pada hal- hal yang berkaitan dengan domisili
Wajib Pajak yang bersangkutan.
Subjek Pajak Dalam Negeri adalah : orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
132 Pengaturan Bidang Perpajakan...

tinggal di Indonesia dan/atau badan yang didirikan dan


bertempat kedudukan di Indonesia dan/atau warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak. Sedangkan subjek pajak luar negeri adalah orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia kurang dari 183 dalam jangka waktu 12 bulan
atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap yang dimaksud sebagai subyek
pajak luar negeri adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa :
1. Tempat kedudukan manajemen;
2. Cabang perusahaan;
3. Kantor perwakilan;
4. Gedung kantor;
5. Pabrik;
6. Bengkel;
7. Pertambangan atau penggalian sumber alam, wilayah
kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi
pertambangan;
8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan;
Mustaqiem 133

9. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;


10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau
oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari
dalam jangka waktu 12 bulan;
11. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
12. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau penanggung resiko
di Indonesia.
Perbedaan antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan
Wajib Pajak Luar Negeri adalah sebagai berikut :
1) Wajib Pajak Dalam Negeri
a. dikenakan pajak atas penghasilan, baik yang berasal
dari wilayah Indonesia maupun yang berasal dari luar
wilayah Indonesia (berpedoman pada asas domisili);
b. pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan netto
(Penghasilan Kena Pajak);
c. tarif pajak yang diberlakukan adalah tarif pajak umum
yang tergolong tarif progressief seperti diatur dalam
pasal 17 a, dan bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri
dan betuk usaha tetap diatur dengan pasal 17 b
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
d. wajib pajak mempunyai kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuan (menggunakan self assessment
sistem). Surat Pemberitahuan, merupakan surat yang
dipergunakan wajib pajak untuk menyampaikan
penghitungan dan jumlah pajak terhutang yang harus
dibayar kepada Direktur Jenderal Pajak.
134 Pengaturan Bidang Perpajakan...

2) Wajib Pajak Luar Negeri


a. Pajak hanya dikenakan atas penghasilan yang berasal
dari wilayah Indonesia (berpedoman pada asas sumber);
b. Pajak dikenakan berdasarkan penghasilan bruto (sifat
pajaknya final);
c. Tarif pajak yang diterapkan adalah tarif sepadan
(propotional) sebagaimana diatur pasal 26 Undang-
Undang Pajak Penghasilan;
d. Wajib pajak tidak mempunyai kewajiban
menyampaikan Surat Pem-beritahuan (tidak
menggunakan self assesment sistem).
Obyek Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Tarif progressieef merupakan pilihan tarif yang
dipergunakan atau diterapkan dalam pengenaan Pajak
Penghasilan. Tarif progressief adalah tarif pajak yang presentase
pengenaannya naik apabila semakin besar jumlah uang yang
akan dikenakan pajak. Tarif Pajak Penghasilan yang dikenakan
bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah 5%, 10%,
15%, 25% dan 35%. Tarif pajak yang dikenakan bagi Wajib
Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah
10%, 15% dan 30%.
Dilihat dari aspek keadilan, tarif progresif dapat
memberi rasa keadilan kepada wajib pajak. Sebab dengan
Mustaqiem 135

menggunakan tarif ini wajib pajak yang memiliki


penghasilan kena pajak berjumlah banyak, maka ia
memiliki kewajiban membayar pajak dengan jumlah yang
besar pula dan demikian sebaliknya. Penggunaan tarif ini
bisa juga menumbuhkan kembali sifat kegotong-royongan
dalam membiayai penyelenggaraan negara.
Sifat pembayaran pajak penghasilan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu pajak final dan pajak belum final.
Pajak final adalah pajak penghasilan yang sudah dibayarkan
dan tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor untuk
mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar dalam satu
tahun pajak. Sedang Pajak belum final adalah pajak
penghasilan yang sudah dibayarkan tetapi masih dapat
diperhitungkan sebagai faktor untuk mengurangi jumlah
pajak yang harus dibayar dalam satu tahun pajak.
Peraturan perundang-undangan pajak penghasilan
memberikan pengurangan bagi orang pribadi sebagai Wajib
Pajak dalam negeri yang berupa Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang besarnya sebagai berikut :
a. Rp. 2.880.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp. 1.440.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp. 2.880.000,- tambahan untuk seorang istri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp. 1.440.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga.
136 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ketenttuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diatas


sudah dirubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 564/KMK.03/2004 tanggal 29
Nopember 2004 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Keputusan tersebut mulai berlaku pada
tahun pajak 2005 dan perhitungannya berubah menjadi :
a. Rp. 12.000.000,- untuk diri wajib pajak;
b. Rp. 1.200.000,- tambahan untuk wajib pajak yang kawin;
c. Rp. 12.000.000,- untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp. 1.200.000,- untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak
angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Perkembangan terbaru tentang ketentuan besarnya
penghasilan tidak kena pajak telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 137/
PMK.03/2005. Angka Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) berubah menjadi :
a. Rp. 13.200.000,- untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp. 13.200.000,- untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami;
c. Rp. 1.200.000; untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga;
d. Rp. 1.200.000,- untuk bonus bagi wajib pajak yang
berkeluarga.
Mustaqiem 137

Perubahan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak


(PTKP) yang didasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan
dilihat dari aspek hukum adalah sah. Karena Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-Undang 7 Tahun
1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 7 ayat (3) menetapkan
bahwa : “penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”.
Bagi Wajib Pajak Badan, beban final akan dikurangi
dengan biaya-biaya yang diperbolehkan oleh peraturan
perundang-undangan Pajak Penghasilan. Biaya-biaya yang
dimaksud meliputi :
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk pembelian bahan, biaya yang
berkaitan dengan pekerjaan atau jasa, bunga, sewa, royalty,
biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya administrasi, pajak kecuali pajak penghasilan, piutang
yang tidak dapat ditagih;
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk hak
dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun;
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing;
e. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
dimiliki dan digunakan dalam perusahan atau yang dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan;
138 Pengaturan Bidang Perpajakan...

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang


dilakukan di Indonesia;
g. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan;
h. kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya dalam 5
tahun;
i. Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri.
j. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha
dengan hak opsi, cadangan usaha asuransi, dan cadangan
biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang
ditentukan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
k. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi bea siswa yang
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
l. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan kenikmatan yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Pengurangan yang diberikan kepada Wajib Pajak
dalam negeri sudah beberapa kali mengalami perubahan,
hal tersebut dilakukan untuk mengikuti perkembangan
kehidupan masyarakat yang senantiasa terjadi. Istilah
lainnya adalah bahwa kehidupan masyarakat itu bersifat
dinamis sedangkan hukum positif bersifat statis, sehingga
hukum positif yang tidak dapat dipergunakan untuk
mengatur kehidupan masyarakat yang dinamis tersebut
Mustaqiem 139

harus diperbaharui. Jadi perubahan kehidupan masyarakat


akan terus berlanjut dan yang tidak pernah berubah adalah
perubahan itu sendiri.
b. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak
Atas Barang Mewah
Pajak ini dipungut berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1994, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Sebenarnya
undang-undang ini tidak hanya mengatur Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, tetapi juga mengatur
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hal itu berarti bahwa
satu aturan hukum dipergunakan sebagai dasar hukum
untuk mengatur dua macam pajak yang memiliki obyek dan
tarif pajak yang tidak sama. Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dikenakan terhadap penyerahan Barang Kena Pajak
biasa maupun terhadap Penyerahan Jasa Kena Pajak,
sedangkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan
terhadap Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dapat dilakukan beberapa kali mengikuti perjalanan Barang
Kena Pajak (contoh Barang Kena Pajak dari Pabrikan ke
Agen, Agen ke Dealer, Dealer ke Konsumen). Pada
hakekatnya, yang akan menanggung beban Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa adalah pihak konsumen,
sedangkan pihak Pengusaha Kena Pajak bukan sebagai
pihak penanggung pajak akan tetapi terbatas sebagai pihak
yang dibebani tugas memungut Pajak Pertambahan Nilai
Barang dari para konsumen atau yang disebut sebagai pihak
140 Pengaturan Bidang Perpajakan...

ketiga. Hasil pemungutan tersebut oleh Pengusaha Kena


Pajak (pemungut) harus disetorkan ke Kas Negara dan
apabila tidak disetorkan ke Kas Negara maka pengusaha
dimaksud dinilai telah menggelapkan pajak dari pihak
ketiga, sehingga tindakan tersebut harus dijatuhi hukuman.
Akibat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dilakukan beberapa kali, maka setiap Pengusaha Kena
Pajak dapat mengkreditkan antara pajak masukan dengan
pajak keluaran. Pajak Masukan adalah pajak pertambahan nilai
yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak
karena perolehan barang kena pajak dan/atau penerimaan jasa
kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak tidak
berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa
kena pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor barang
kena pajak. Pajak Keluaran adalah pertambahan nilai terhutang
yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang
melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa
kena pajak atau ekspor barang kena pajak.
Untuk kepentingan mengkreditkan, pengusaha kena
pajak diwajibkan melakukan pembukuan atas usahanya
dan sekaligus membuat faktur pajak. Khusus Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah hanya dipungut satu kali,
yaitu pada tingkat Pabrikan dan/atau pada waktu impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dan tidak ada
ketentuan tentang menkreditkan antara Pajak Masukan
dengan Pajak Keluaran.
Pengusaha yang diperbolehkan mengkreditkan Pajak
Masukan dengan Pajak Keluaran terbatas bagi pengusaha
Mustaqiem 141

yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, sedangkan


Pengusaha Bukan Pengusaha Kena Pajak tidak boleh
mengkreditkan dan sekaligus tidak boleh membuat faktur
pajak. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dikenakan
atas :
1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
yang dilakukan oleh pengusaha;
2. impor Barang Kena Pajak;
3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
yang dilakukan oleh Pengusaha;
4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
5. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Tarif Pajak yang diberlakukan bagi Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa adalah tarif sepadan atau proportioneel.
Tarif sepadan atau propotioneel adalah tarif dengan presentase
pengenaan yang tidak berubah meskipun pajak yang harus
dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai
dasar pengenaan pajak.
Besar tarif pajak adalah 10% bagi Barang Kena Pajak
yang dikonsumsi di dalam negeri dan 0 % bagi Barang Kena
Pajak yang di ekspor atau dibawa ke luar negeri.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, tarif tersebut dapat
dirubah dengan Peraturan Pemerintah menjadi serendah-
rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%. Perubahan tarif
cukup berdasarkan Peraturan Pemerintah yang hal ini
menunjukkan adanya pendelegasian kewenangan.
142 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ditinjau dari aspek hukum, perubahan tarif yang


didasarkan pada Peraturan Pemerintah adalah sah karena
peraturannya menghendaki demikian (didasarkan pada
delegation of authority). Hal tersebut diatur dalam Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa,
Pasal 7 ayat (3) yang menetapkan : “Dengan Peraturan
Pemerintah tarif pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima
persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen)”.
Hal demikian akan berubah jika substansi peraturan
perundang-undangan tidak secara nyata menetapkan bahwa
perubahan tarif pajak harus melalui terbitnya Peraturan
Pemerintah, maka perubahan tarif pajak harus dilakukan
berdasarkan undang-undang. Bagi Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah diterapkan tarif progressief, sehingga presentase
tarifnya berbeda antara Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang satu dengan lainnya, hal ini disebabkan karena
perbedaan kemewahan barang yang bersangkutan.
Pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah dilakukan oleh Pemerintah dengan menerbitkan
Peraturan Pemerintah, sedangkan untuk penentuan jenis
barang yang akan dikenakan tarif pajak ditentukan dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Tarif pajak penjualan atas
barang mewah paling rendah 10% dan paling tinggi 75%
dan atas ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
dikenakan pajak dengan tarif 0%.
Di dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa tidak diketemukan ketentuan mengenai
Mustaqiem 143

dasar hukum apa yang dipergunakan untuk merubah tarif


Pajak Penjualan atas Barang Mewah, oleh karena itu apabila
dilakukan perubahan tarif pajak maka dianggap sah apabila
landasan hukum perubahannya adalah undang-undang.
Terdapat juga ketentuan yang menetapkan bahwa
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
hanya dapat dilakukan apabila ada peristiwa tertentu,
seperti “penyerahan” Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak, maka pajak ini tergolong Pajak Tidak Langsung.
Selain itu, pajak ini dapat dinamakan juga sebagai pajak
atas konsumsi dalam negeri, sebab yang dikenai pajak
terbatas hanya Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
dikonsumsi di dalam negeri.
c. Pajak Bumi dan Bangunan
Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan pada awalnya
berdasar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985. Selanjutnya
guna menampung perkembangan sistem hukum nasional
dan kehidupan masyarakat yang dinamis, serta untuk
memberikan kepastian hukum dan keadilan, mendorong
peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakan, maka perlu diadakan
perubahan atas undang-undang tersebut. Selanjutnya
undang-undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994. Perubahan juga dilakukan untuk
memberikan kemudahan dan kesederhanaan, memberikan
kepastian hukum, memberikan rasa keadilan, supaya mudah
dimengerti, serta untuk mencegah terjadinya pemungutan
pajak ganda.
144 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau


bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang
ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan
pedalaman, termasuk rawa-rawa tambak perairan, serta laut
wilayah Republik Indonesia. Pengertian bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di
atas tanah atau perairan. Tidak semua obyek pajak dikenai Pajak
Bumi dan Bangunan, sebab Undang Undang Pajak Bumi dan
Bangunan menetapkan adanya beberapa objek pajak yang
dikecualikan tidak dikenakan Pajak, dikarenakan:
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan
umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain :
a. bidang ibadah ( tempat - tempat ibadah);
b. bidang kesehatan (rumah sakit);
c. bidang pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren);
d. bidang sosial (panti asuhan);
e. bidang kebudayaan nasional (museum).
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau
yang sejenis dengan itu;
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa dan
tanah negara yang belum dibebani sesuatu;
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
Pada dasarnya Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan berpedoman pada self assesment sistem, menurut
sistem ini tugas Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
adalah menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak.
Mustaqiem 145

Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang


dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data
obyek pajak menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Setelah Surat Pemberitahuan Objek Pajak diterima
oleh aparat pajak, selanjutnya aparat pajak berpedoman
pada surat tersebut akan menentukan besar kecilnya Pajak
Bumi dan Bangunan yang terhutang.
Dasar pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
undang-undang, maka pajak ini termasuk Pajak Pusat. Atau
menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000
ditegaskan bahwa hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
merupakan penerimaan Negara. Meskipun termasuk pajak
pusat, tetapi presentase besar hasil pemungutannya
dikembalikan kepada Daerah. Ketetapan tersebut dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, Pasal 6 ayat (2) menetapkan bahwa: “Penerimaan
Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan
imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan
90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah”.
Berdasar Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
ditetapkan bahwa 90% yang merupakan bagian daerah
diperinci lagi ke dalam ketentuan sebagai berikut :
a. 16, 2% (enam belas koma dua perseratus) untuk daerah
Propinsi yang bersangkutan;
b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan perseratus)
146 Pengaturan Bidang Perpajakan...

untuk daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;


c. 9% (sembilan perseratus) untuk biaya pemungutan.
Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagian
Pemerintah Pusat sebesar 10% (sepuluh perseratus)
berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2000 akan dibagikan kepada seluruh daerah
Kabupaten/Kota ditentukan sebagai berikut:
a. 65% (enam puluh lima per-seratus) dibagikan secara
merata kepada Daerah Kabupaten/Kota;
b. 35% (tiga puluh lima per-seratus) dibagikan sebagai insentif
Daerah Kabupaten/Kota yang realisasi penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan perkotaan pada
tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampui rencana
penerimaan yang ditetapkan.
Ketetapan di atas dapat digarisbawahi bahwa posisi
Pemerintah Pusat dalam bidang Pajak Bumi dan Bangunan
hanya terbatas membuat serta menetapkan undang-undang,
melaksanakan pemungutan, mengadministrasikan kegiatan,
dan hasil penerimaan pajak dikembalikan ke Daerah
Kabupaten/Kota. Hasil penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan
dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah yang
akan digunakan untuk mendukung operasional pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan.
d. Bea Meterai
Bea Meterai merupakan salah satu pajak yang berlaku
di Indonesia. Pengenaan Bea Meterai pada awalnya
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985,
Mustaqiem 147

Lembaran Negara 1985 Nomor 69. Pengundangan undang-


undang ini bersamaan waktunya dengan pengundangan
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yaitu pada
tahun 1985. Dengan diundangkannya undang-undang ini,
maka Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921,
Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) telah dicabut dan
mengalami beberapa kali perubahan, terakhir kali adalah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Prp/Tahun1965
(Lembaran Negara 1965 Nomor 121) yang telah ditetapkan
menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38).
Bea Materai adalah pajak atas dokumen. Dokumen adalah
kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan, dan kenyataan bagi seseorang dan/
atau pihak-pihak yang berkepentingan. Klasifikasi dokumen
yang terkena tarif Bea Meterai Rp. 6.000,00, yaitu:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lain (antara lain: Surat
kuasa, Surat hibah dan Surat pernyataan) yang dibuat
dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata;
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah,
termasuk rangkapannya;
d. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.
1.000.000,00 yang menyebutkan penerimaan; menyatakan
pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di bank; berisi pemberitahuan saldo rekening
148 Pengaturan Bidang Perpajakan...

di bank; berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian


atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. Surat–surat berharga, seperti wessel, promes dan aksep
yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,00;
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang
harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00;
g. Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan, seperti surat-surat biasa
dan surat-surat kerumahtanggaan; Surat-surat yang semula
tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk
olahraga lain, lain dari maksud semula.
Dokumen-dokumen yang harus dikenakan Bea Meterai
seharga Rp. 3.000, 00 meliputi :
a. Surat yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.
250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00; yaitu : (1)
yang menyebutkan penerimaan uang; (2) yang menyatakan
pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
di bank; (3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di
bank; (4) berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau
seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan;
b. Surat-surat berharga, seperti : wessel, promes, dan aksep
yang harga nominalnya lebih dari Rp.. 250.000,00 tetapi
tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00;
c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang
harga nominalnya lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak
lebih dari Rp. 1.000.000,00
d. Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapapun.
Mustaqiem 149

Tarif Bea Meterai tidak menggunakan tarif sepadan


(proportioneel), pilihan pengenaan tarif Bea Meterai ditentuan
menurut jumlah uang yang ditulis dalam dokumen
maupun ditentuan oleh fungsi dokumen yang dimaksud.
Undang-Undang Bea Meterai menetapkan saat
terhutangnya Bea Meterai dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Jika terkait dengan dokumen yang dibuat oleh satu
pihak, maka saat terhutangnya Bea Meterai pada saat
dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak kedua
untuk siapa dokumen itu dibuat, jadi bukan saat
ditandatangani seperti kuitansi dan cek;
2. Apabila dokumen yang dimaksud dibuat oleh lebih dari
satu pihak, saat terhutangnya Bea Meterai pada saat
dokumen itu telah selesai dibuat dan diakhiri dengan
pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan.
Contoh perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa
rumah, perjanjian kerja;
3. Bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri, Bea Meterai
terhutang pada saat digunakan di Indonesia. Cara
Pelunasan Bea Meterai dengan pemeteraian kemudian.
Apabila terdapat dokumen yang tidak atau kurang
dilunasi Bea Meterainya, maka akan dikenai denda
adminsitarsi sebesar 200% dari Bea Meterai yang tidak atau
kurang di bayar. Adapun cara pelunasan terhadap tidak
atau kurang di lunasi Bea Meterainya adalah dengan cara
pemateraian kemudian. Dan pemateraian kemudian ini
dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
150 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Secara teknis langkah-langkah tersebut akan


mengalami kesulitan, kecuali muncul kasus sengketa yang
akhirnya dapat mengungkap masih ada Bea Meterai yang
terhutang karena belum atau tidak di bayar. Daluwarsa
kewajiban memenuhi Bea Meterai ditetapkan selama 5
(lima) tahun, terhitung semenjak tanggal dokumen dibuat.
Adanya batas waktu tersebut menunjukkan bahwa dalam
pengenaan Bea Meterai ada kepastian hukumnya.
Jika uraian tersebut diperhatikan, dapat disebutkan
bahwa dalam pengenaan Bea Materai menggunakan Self
Assesment System, sama sekali tidak menggunakan Official
Assesment System. Karena dalam memilih harga untuk
melunasi Bea Materai apakah Rp. 3.000,00 atau yang Rp.
6.000,00 sepenuhnya diserahkan kepada orang yang
memiliki kepentingan terhadap suatu dokumen tertentu,
tetapi penanggung Bea Meterai harus berpedoman pada
ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan Bea Materai.
Hal tersebut menunjukkan pula bahwa dalam
memenuhi kewajiban melunasi Bea Materai pada awalnya
bukan didasarkan adanya pemaksaan, akan tetapi berdasar
atas kesadaran dari pihak-pihak yang merasa berkepentingan
dengan dokumen yang harus dilunasi Bea Meterainya. Sebab
bisa terjadi Wajib Pajak atas Bea Meterai dengan sengaja tidak
mau melunasi kewajibannya membayar Bea Materai dengan
pertimbangan bahwa dokumen tidak akan dipergunakan
untuk menyelesaikan kasus sengketa dengan pihak lain. Hal
tersebut tentu saja tidak akan dapat terdeteksi, sehingga
Mustaqiem 151

negara dirugikan karena banyak yang tidak atau belum


membayar Bea Meterai.
e. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Undang-undang yang mengatur Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 jis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.
Berdasar Pasal 2 ayat (1) yang dimaksud objek pajak adalah
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan Perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan, meliputi pemindahan hak
karena (a) jual beli; (b) tukar-menukar; (c) hibah, (d) hibah
wasiat; (e) waris; (f) pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya; (g) pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan; (h) penunjukan pembeli dalam lelang; (i)
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap; (j) penggabungan usaha; (k) peleburan usaha;
(l) pemekaran usaha; (m) hadiah.
Berdasarkan undang-undang ini ada beberapa obyek
pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan yang diperoleh, antara lain :
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasar asas perlakuan
timbal-balik;
b. Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan/atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan
umum;
c. Badan/perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan/perwakilan organisasi tersebut;
152 Pengaturan Bidang Perpajakan...

d. Orang pribadi atau badan karena konvensi hak atau


karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama;
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk
kepentingan ibadah.
Subyek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Tarif yang
dikenakan bagi pajak ini adalah tarif yang bersifat sepadan
atau propotional, karena tarif yang diberlakukan hanya satu
macam yaitu 5% (lima persen). Besarnya pajak yang
terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan
Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak.
Pemungutan pajak tersebut menggunakan self assessment
system, hal ini didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) “Wajib Pajak
wajib membayar pajak yang terhutang dengan tidak
mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak”. Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan tergolong
Pajak Pusat, namun hasil pemungutan tidak hanya
diperuntukkan bagi Pemerintah Pusat, tetapi juga diberikan
kepada Daerah, hal tersebut diatur dalam Pasal (23) :
(1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh
persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh
persen) untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan”;
(2) Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibagikan kepada seluruh Pemerintah
Mustaqiem 153

Kabupaten/ Kota secara merata;


(3) Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh
persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan
dan 60% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Dalam hal pemungutan pajak tersebut, Pemerintah
Pusat bertindak sebagai pihak yang membuat landasan
hukum dan mengadministrasikan pemungutan sedangkan
pihak Pemerintah Daerah adalah pihak yang menikmati
sebagian besar hasilnya.
Sanksi pelanggaran terhadap ketentuan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak hanya berupa sanksi denda. Hal tersebut diatur
Pasal 13 ayat (2) yang menetapkan bahwa : “Jumlah pajak
yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam surat
tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan akan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan sejak saat terhutangnya pajak”.
Beberapa macam pajak nasional (pusat) yang didasarkan
pada aturan perundang-undangan yang berbeda tersebut
tidak memiliki keseragaman, seperti halnya dalam sistem
pemungutan pajak, ada yang menggunakan official assessment
system dan ada juga yang menggunakan self assessment sys-
tem. Demikian halnya dengan macam-macam tarif pajaknya,
ada yang menggunakan patokan tarif proposional (sepadan)
dan ada juga yang menggunakan tarif progresief.
154 Pengaturan Bidang Perpajakan...

B. Kriteria Penilaian Pajak di Indonesia


Falsafah dan landasan kriteria penilaian pajak di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan khususnya terdapat dalam ketentuan yang
mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem
dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri
dalam perpajakan Indonesia karena kedudukan peraturan
perundang-undangan tersebut yang akan menjadi “ketentuan
umum” bagi peraturan perundang-undangan pajak lainnya.
Ketentuan umum ini merupakan salah satu hukum pajak yang
mulai diberlakukan di Indonesia mulai tahun 1983.
Ketentuan hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu
lex generalis dan lex specialis. Lex Generalis adalah hukum yang
berlaku umum dan merupakan dasar, sedangkan Lex
Specialis adalah hukum khusus. Lex Generalis merupakan
dasar dari Lex Specialis. 124 Berdasarkan kerangka teori
tersebut, peraturan perundang-undangan tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan hukum umum
yang berlaku umum dan merupakan dasar (lex generalis).
Tentu saja yang harus berpedoman pada peraturan
perundang-undangan tersebut bukan hanya peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan sebagai landasan
hukum atau lex specialis pajak pusat, tetapi juga Peraturan
Daerah yang dipergunakan sebagai dasar hukum atau lex

124
Soedikno Mertokoesoemo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta,
hlm.122
Mustaqiem 155

specialis Pajak Daerah. Konsekuensi dari pola pikir ini adalah


bahwa pengaturan pajak di daerah dan pusat harus sama
dan tidak boleh berbeda. Kesamaan itu tercermin dalam ciri
atau karakteristik sistem pemungutan pajak nasional yang
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari
pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan dan
pembangunan nasional;
2. Tanggungjawab atas kewajiban pelaksanaan
pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di
bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat
Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini sebagai
aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya
berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan
pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan
berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan;
3. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan
untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional
melalui sistem menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang
(self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi
perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi,
terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh
anggota masyarakat Wajib Pajak.
156 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Sistem pemungutan pajak tersebut, mempunyai arti


bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang
dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan
secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan yang telah
dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Sistem perpajakan yang
baik harus mengandung segi-segi pengurusan yang baik,
termasuk kepastian, biaya-biaya pembayaran dan
pungutan-pungutan yang rendah, penegakannya secara
hukum dan penerimaannya oleh mereka yang terkena.125
Selain itu, sistem perpajakan yang baik adalah harus
independen, artinya tidak boleh memihak.126
Berdasar sistem “self assessment” semua Wajib Pajak
mempunyai kewajiban mendaftarkan diri ke Kantor
Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak
dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. Oleh
karena itu kepada setiap wajib pajak hanya diberikan satu
nomor dan nomor tersebut dipergunakan juga untuk
menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak maupun
dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Orang pribadi atau Badan setelah berstatus sebagai
Wajib Pajak kemudian mempunyai kewajiban lainnya yaitu
mengambil, mengisi dan menyampaikan Surat

125
Soedikno Mertokoesoemo, op. cit., hlm. 137
126
Ibid., hlm. 141
Mustaqiem 157

Pemberitahuan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-


Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Pasal 12 ayat (1) yang menetapkan bahwa : “
Setiap wajib pajak, wajib membayar pajak yang terhutang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, tidak menggantungkan pada adanya Surat
Ketetapan Pajak (Self Assesment System).
Surat Pemberitahuan merupakan surat yang oleh wajib
pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak
dan/atau harta dan kewajiban menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan
dibedakan menjadi dua, yaitu Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT) dan Surat Pemberitahuan Masa (SPM). Surat
Pemberitahuan Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk
suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Surat
Pemberitahuan Masa merupakan surat pemberitahuan untuk
suatu masa pajak. Fungsi Surat Pemberitahuan adalah :
a. Sebagai sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terhutang;
b. Laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang
telah dilaksanakan sendiri dalam satu tahun pajak atau
bagian tahun pajak;
c. Laporan pembayaran dari pemotong atau pemungut
tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang atau
badan lain dalam satu masa pajak yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
158 Pengaturan Bidang Perpajakan...

d. Merupakan bahan penelitian atas kebenaran perhitungan


pajak yang terhutang yang dilaporkan oleh para Wajib Pajak.
Ketentuan batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan adalah paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya tahun pajak, sedangkan bagi Surat
Pemberitahuan Masa batas waktu penyampaian paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya masa pajak.
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam
jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, maka Wajib
Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi surat
pemberitahuan tahunan dan sebesar Rp. 50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) bagi surat pemberitahuan masa. Agar
Wajib Pajak dapat mengisi Surat Pemberitahuan, maka ia
harus membuat pembukuan atas usahanya. Menurut Pasal
1 angka 26 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak
berakhir. Jika dalam Tahun Pajak, Wajib Pajak tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan sesuai ketentuan yang
berlaku, pihak pemungut pajak (fiscus) tetap dibolehkan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
secara jabatan yang dilakukan oleh aparat pajak (Official
Mustaqiem 159

Assesment System). Berdasar uraian tersebut, maka dalam sistem


perpajakan nasional official assessment system masih perlu
diberlakukan sanksi apabila wajib pajak tidak memanfaatkan
self assessment system. Ketentuan ini, bukan merupakan suatu
penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sebab substansi peraturan perundang-undangan
yang berlaku secara yuridis membolehkan cara menyelesaikan
dengan Official Assessment System.
Selain pihak pemungut pajak masih diperkenankan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam
penyelesaian hutang pajak, pihak pemerintah (fiscus) masih
dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak. Surat Tagihan Pajak
diterbitkan apabila :
1. Pajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan tidak atau
kurang dibayar;
2. Hasil penelitian surat pemberitahuan menunjukkan
bahwa masih terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda
dan/ atau bunga;
4. Pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
tidak melaporkan kegiatan usahanya sehingga tidak
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
5. Pengusaha Kena Pajak tidak membuat faktur pajak atau
Pengusaha Bukan Pengusaha Kena Pajak membuat
faktur pajak, sehingga kedua-duanya mengakibatkan
kerugian bagi Negara.
160 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Fungsi Surat Tagihan Pajak adalah sebagai koreksi atas


jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Pemberitahuan
dan juga untuk mengenakan sanksi denda atau bunga, serta
sebagai alat menagih hutang pajak. Tetapi ada kalanya
Wajib Pajak setelah menerima Surat Tagihan Pajak tetap
tidak mau membayar atau melunasi hutang pajaknya. Untuk
mengatasi persoalan ini Pemerintah menetapkan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Surat ini merupakan surat perintah membayar hutang pajak
dan biaya penagihan pajak. Berdasar Pasal 8 ayat (2) Surat
Paksa diterbitkan apabila :
a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan
kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau Surat lain yang sejenis;
b. Terhadap penanggung pajak setelah dilaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus; atau
c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan
angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat Paksa diberitahukan oleh Juru Sita Pajak dengan
pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada
penanggung pajak atau wajib pajak. Dalam hal wajib pajak
dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada
Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan.
Sedangkan dalam hal wajib pajak dinyatakan bubar atau
dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang
atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan,
Mustaqiem 161

atau likuidator. Penyampaian Surat Paksa tidak begitu saja


dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 X 24
jam setelah Surat Paksa diberitahukan kepada penanggung
pajak. Untuk menghindari penanggung-jawab pajak
beriktikat tidak baik, maka terdapat ketentuan pencegahan
maupun penyanderaan.
Pencegahan dilakukan terhadap penanggung pajak
yang mempunyai jumlah hutang pajak sekurang-kurangnya
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang diketahui
memiliki iktikad tidak baik dalam melunasi hutang pajak.
Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan
dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. Pencegahan
tidak mengakibatkan hapusnya hutang pajak dan
berhentinya penagihan pajak. Keputusan pencegahan
disampaikan kepada : (1) Pihak yang dicegah, (2) Menteri
Kehakiman, (3) Pejabat yang memohon pencegahan, (4)
Kepala Daerah setempat.
Langkah penyanderaan dapat dilakukan terhadap
penanggung pajak yang memiliki hutang pajak sekurang-
kurangnya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan
diragukan iktikad baiknya dalam melunasi hutang pajak.
Penyanderaan dilakukan berdasar surat perintah yang
diterbitkan oleh pejabat dan memperoleh izin tertulis dari
Menteri/Gubernur. Penyanderaan dilakukan paling lama
6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam)
bulan. Penyanderaan tidak boleh dilakukan jika
penanggung pajak baru melaksanakan ibadah, mengikuti
sidang resmi, dan mengikuti pemilihan umum (pemilu).
162 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Pendapat Otto Eckstein, 1981, mengatakan bahwa jika


sebuah sistem suka rela dapat berhasil, maka orang-orang
harus yakin bahwa pajak dikenakan dengan adil dan setiap
orang membayar pajak atas bagiannya. Jika terdapat
perasaan umum bahwa sistem perpajakan itu hanyalah upaya
untuk mengejar orang-orang yang menghindar dari
kewajiban membayar pajak, para penyelundup pajak dan
mereka melihat tetangga-tetangganya sesama orang kaya
membayar jauh lebih sedikit dan menikmati kehidupan atas
biaya perusahaan yang bebas pajak, maka moral di kalangan
Wajib Pajak akan menurun dengan deras.127
Selanjutnya pengembalian Surat Pemberitahuan untuk
perhitungan pajak secara jujur tidak lagi merupakan
tindakan yang didasarkan atas dasar dorongan hati nurani.
Di banyak negara di dunia, baik yang kaya maupun yang
miskin, tata susila di bidang pajak adalah terpisah sama
sekali dari nilai-nilai sopan santun di bidang-bidang lain.
Di Italia dan Perancis, yang merupakan negara-negara
dengan kebudayaan tua, anggota masyarakatnya baik dari
kalangan terhormat dan dari kalangan pedagang, mereka
melaporkan Pendapatan Kena Pajak hanya sepersekian dari
pendapatan mereka yang sesungguhnya.128
Perusahaan-perusahaan biasanya mempunyai dua macam
buku, yang satu untuk keperluan sendiri dan yang lainnya untuk
keperluan pemeriksaan pajak.129 Hal seperti ini tidak terjadi di
127
Otto Eckstein, Keuangan Negara, Terjemahan, Bina Aksara, Jakarta,
1981, hlm.100-101
128
Ibid.
129
Ibid., hlm. 103
Mustaqiem 163

negara Amerika Serikat, karena kesediaan membayar pajak


merupakan salah satu sumber kekuatan negara itu. Di negara
AS, keadilan dalam pengenaan pajak inilah yang menjadi tulang
punggung bagi terpeliharanya sistem wajib suka rela disana.130
Apa yang dimaksud dengan sistem yang adil bukanlah
merupakan suatu persoalan tehnis ekonomis, melainkan suatu
masalah falsafah pribadi. Meskipun demikian, beberapa prinsip
telah berhasil dikembangkan sepanjang masa sehingga
memberikan suatu kerangka yang dapat digunakan. Prinsip-
prinsip tersebut antara lain adalah prinsip manfaat131 dan prinsip
kemampuan membayar.132 Prinsip kemampuan membayar
mempunyai dua bagian terpisah, tidak hanya dinyatakan
bahwa yang kaya harus membayar lebih banyak akan tetapi
dinyatakan juga bahwa mereka yang berkedudukan serupa
(misalnya berpenghasilan sama) harus membayar pajak yang
sama pula. Gagasan yang kedua ini menuntut bahwa “yang
sama harus diperlakukan sama” yang kemudian dikenal
dengan nama kewajaran horizontal. Sedangkan pembagian beban

130
Otto Eckstein, op. cit., hlm. 105
131
Ibid. Prinsip manfaat menghendaki distribusi pajak yang sesuai dengan
manfaat yang diterima dari pengeluaran-pengeluaran hasil pajaknya. Orang-
orang bersedia membayar bagi barang-barang serta jasa-jasa yang mereka
terima dalam pasar bebas, mengapa tidak juga di sektor pemerintahan. Jika
perpajakan melanggar prinsip manfaat, maka jasa-jasa umum merupakan suatu
bentuk subsidi bagi para pemakainya, karena jasa-jasa itu diterima atas beban
orang-orang lain.
132
Ibid. Prinsip kemampuan membayar adalah pedoman bagi keadilan. Di
Tahun 1776, Adam Smith sudah mencatat ini sebagai hokum yang pertama
dalam perpajakan, dan kebanyakan hukum tidak lagi mempersoalkan bahwa
suatu sistem perpajakan yang adil menghendaki agar anggota-anggota
masyarakat yang lebih kaya juga membayar pajak yang lebih besar dari pada
kaum miskin.
164 Pengaturan Bidang Perpajakan...

pajak yang disesuaikan dengan perbedaan kemampuan orang-


orang yang membayarnya dinamakan kewajaran vertical.133
Baik kewajaran horizontal maupun vertical keduanya
diterapkan dalam pemungutan pajak di Indonesia. Untuk
menjelaskan hal tersebut selanjutnya akan diuraikan
ketentuan-ketentuan yang mendukung, sebagai berikut :
1) Dalam hal pemungutan Pajak Penghasilan, apabila ada
dua Wajib Pajak yang berbeda profesi tetapi penghasilan
kena pajak besarnya sama, yaitu Rp. 5.000. 000,- maka
keduannya akan dikenakan pajak yang sama. Masing–
masing dikenakan pajak : Rp. 5.000.000,- X 5% = Rp.
250.000,-/tahun (kewajaran horizontal);
2) Dalam pemungutan Pajak Penghasilan jika ada dua
Wajib Pajak yang satu mempunyai penghasilan kena
pajak sebesar Rp. 25.000.000,-/tahun dan yang lain
memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp. 30.000.000,-
tahun; maka kewajiban membayar pajaknya berbeda, hal
tersebut dapat diketahui sebagai berikut :
(a) Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan kena pajak
Rp. 25.000. 000,- ia mempunyai kewajiban membayar
pajak : Rp. 25.000.000,- X 5% = Rp.1.250.000,-/tahun.
(b) Bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan kena
pajak sebesar Rp.30.000.000,- / tahun, ia mempunyai
kewajiban membayar pajak lebih besar, yaitu terkena dua
macam tari pajak :

133
Ibid., hlm. 106
Mustaqiem 165

1) Rp. 25.000.000 X 5% = Rp. 1.250.000,-


2) Rp. 5.000.000 X 10% = Rp. 500.000,-
Jumlah pajak = Rp. 1.750.000,-/th (kewajaran vertical).
Menurut sistem perpajakan nasional, negara
mempunyai hak “istimewa” yang dinamakan Hak
Mendahulu Negara. Hak Mendahulu Negara adalah hak
didahulukan untuk tagihan pajak atas barang-barang milik
penanggung pajak. Hak tersebut meliputi pokok pajak,
sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan
biaya penagihan pajak. Hak mendahulu negara akan gugur
setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam
jangka waktu dua tahun tersebut, Surat Paksa untuk
membayar pajak diberitahukan secara resmi atau diberikan
penundaan pembayaran pajak. Dalam kasus seperti ini,
maka jangka waktu 2 tahun dihitung sejak pemberitahuan
Surat paksa atau dalam hal diberikan penundaan jangka
waktu 2 tahun ditambah dengan jangka waktu penundaan
pembayaran.
Meskipun dalam penagihan piutang pajak hak
mendahului negara merupakan hak istimewa bagi negara,
namun menurut Pasal 21 ayat (3) UU No. 9 Tahun 1994
Tetang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, hak tersebut
166 Pengaturan Bidang Perpajakan...

dapat dikalahkan oleh : (1) Biaya perkara yang semata-mata


disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak, (2) Biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
dimaksud, (3) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

C. Perpajakan Daerah

1. Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah


Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, para founding father telah menjatuhkan pilihannya
pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara.134 Cita desentralisasi ini senantiasa
menjadi bagian dalam praktik pemerintahan negara sejak
berlakunya UUD 1945, dilanjutkan setelah memasuki era
Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali ke UUD
1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit 5 Juli 1959. Garis
perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita
desentralisasi senantiasa dipegang teguh oleh Negara
Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke periode
lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya. Sebagai
perwujudan cita-cita desentralisasi ini, langkah-langkah
penting sudah dilakukan oleh Pemerintah, seperti lahirnya
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pemerintahan daerah yang membuktikan bahwa
keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut.

134
Josep Riwu Kaho, loc. cit, hlm. ix
Mustaqiem 167

Pemencaran kekuasaan yang menjadi pilihan di


Indonesia menyebabkan ada dua tingkatan kekuasaan (Pusat
dan Daerah), masing-masing tingkatan kekuasaan memiliki
tugas dan kewajiban untuk menyusun anggaran pendapatan
dan belanja untuk menopang penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunannya sendiri. Untuk memenuhi keperluan
tersebut setiap tingkatan kekuasaan mempunyai keharusan
memiliki sumber- sumber pendapatan. Sumber-sumber
pendapatan yang dimiliki oleh kedua tingkat kekuasaan
tersebut satu di antaranya berasal dari sektor pajak. Berkaitan
dengan hal ini, maka pajak dibedakan menjadi dua golongan
yaitu Pajak Nasional (Pusat) dan Pajak Daerah. Berdasarkan
UUD 1945, pemungutan Pajak Pusat dan Daerah harus
didasarkan pada peraturan perundangan-undangan.
Menurut SF Marbun, seperti yang dikutip oleh Ridwan
mengatakan bahwa Peraturan perundang-undangan adalah
merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang
sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya
adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).135
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, seperti yang
dikutip oleh Ridwan, dia mengatakan bahwa secara teoritik
istilah “perundang-undangan” (legislation, wetgeving, atau
gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yaitu pertama :
perundang-undangan merupakan proses pembentukan/
membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat
Pusat maupun di tingkat Daerah, kedua : perundang-
undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan

135
Ridwan, op. cit., hlm. 99
168 Pengaturan Bidang Perpajakan...

hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik tingkat Pusat


maupun tingkat Daerah.136
Menurut A. Hamid S. Attamimi, istilah perundang-
undangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat diartikan
sebagai peraturan yang berkaitan dengan undang-undang,
baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun
peraturan yang lebih rendah yang merupakan atribusi
ataupun delegasi undang-undang.137 Suatu perundang-
undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau
derajatnya.138 Hubungan antara norma yang mengatur
pembentukan norma lain dengan lainnya ini dapat
digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan
“subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan.139 Norma
yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma
yang lebih tinggi, norma yang dibentuk menurut peraturan
ini adalah norma yang lebih rendah.
Tata hukum, terutama tata hukum yang dipersonifikasikan
dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama
lain dikoordinasikan semata yang berdiri sejajar atau
sederajat, melainkan suatu tata urutan norma-norma dari
tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma
ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang

136
Ibid.
137
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Dalam Penyelengga raan Pemerintahan Negara, Desertasi, UI, 1990, Jakarta,
hlm. 347
138
Amiroeddin Syarif, op. cit., hlm. 78.
139
Hans Kelsen, op cit, hlm. 126
Mustaqiem 169

satu, yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma


lain yang lebih tinggi yang pembentukannya ditentukan
oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus
ini (rangkaian proses pembentukan hukum) diakhiri oleh
suatu norma dasar tertinggi, yang menjadi dasar tertinggi
dari validitas keseluruhan tata hukum untuk membentuk
keseluruhan tata hukum ini.
Secara teoritik, teknik yang dipergunakan untuk
menetapkan bidang mana yang menjadi urusan Pemerintah
Pusat dan mana yang merupakan wewenang Pemerintah
Daerah dilakukan dengan empat cara, antara lain: (1) Sistem
Residu (teori sisa), (2) Sistem material, (3) Sistem Formal, 4)
Sistem Otonomi Riil.140 Dari empat sistem tersebut, ada dua
sistem yaitu Residu dan Material yang dapat diadopsi untuk
menetapkan pola pengaturan bidang perpajakan Daerah.
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
a) Pemerintah Pusat dapat menetapkan macam-macam Pajak
Pusat dan di luar yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat merupakan Pajak Daerah (Sistem Residu). Pemerintah
Daerah dengan sistem ini akan leluasa dalam menetapkan
dan mengatur macam-macam Pajak Daerah. Apabila timbul
persoalan-persoalan baru, Pemerintah Daerah akan cepat
mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan tidak
perlu menunggu keputusan dari Pemerintah Pusat.
Kendala menggunakan sistem ini adalah bahwa di wilayah
Indonesia terdapat tingkatan Daerah Otonom yang masing-
masing mempunyai kewenangan memungut Pajak
140
Josep Riwu Kaho, op. cit., hlm. 15
170 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota);


b) Jumlah dan jenis-jenis Pajak Daerah ditetapkan secara riil
oleh pemerintah Pusat, di luar yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai Pajak Pusat (Sistem materiil). Pola
ini menyebabkan terpasungnya Daerah dalam menggali
sumber-sumber pendapatan yang berasal dari sektor
Pajak Daerah, karena pemerintah daerah tidak dapat
leluasa menambah sendiri macam-macam pajaknya;
c) Kedua pola penetapan Pajak Daerah tersebut jika
dihubungkan dengan desentralisasi yang bertujuan
untuk mewujudkan demokratisasi di Daerah, maka pola
huruf (a) dapat juga dipergunakan untuk mewujudkan
desentralisasi bidang perpajakan daerah..

2. Pengertian Pajak Daerah


Sejarah teori sistem merupakan sejarah penjelajahan
intelektual manusia dalam menemukan cara yang paling
tepat untuk mempelajari suatu kesatuan yang kompleks
(complex entity or system). Menenius Agrippa pada jaman
Romawi purba telah menggunakan cara itu untuk
menjelaskan hakekat negara. Ia menyatakan negara sebagai
suatu kesatuan yang hidup, sebagai suatu keseluruhan
yang utuh dan sebagai kesatuan yang tersusun atas berbagai
bagian yang tak terpisahkan.141
Teori tersebut kemudian dikenal dengan teori Analogi
Organis (organic analogy). Pada abad ke 16-17, teori ini

141
Lili Rosjidi , dkk., Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993, hlm. 35
Mustaqiem 171

mendapat tantangan hebat dari pandangan yang


bertentangan dengannya. Teori yang lahir belakangan
dikenal dengan nama teori Analitis Mekanis atau metode
mekanis (piece-meal method analytic method). Konsep dasar
teori ini adalah bahwa “setiap bagian dipandang sebagai
bagian yang tidak terpisah dari keseluruhan itu”. 142
Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan bidang
perpajakan daerah tentunya tidak dapat terlepas dari sistem
perpajakan Indonesia sebab daerah merupakan bagian dari
negara, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan :
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur
dengan undang-undang;
2. Pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota
mangatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pembagian kegiatan-kegiatan pemerintahan pada
beberapa tingkatan memerlukan pembagian struktur pajak
keseluruhan dalam pengertian bahwa bagian-bagian
struktur dipungut dan diurus oleh beberapa satuan-satuan
Pemerintahan. Pembagian tersebut diperlukan jika setiap
tingkat Pemerintahan akan memperoleh sumber-sumber
keuangan yang otonom dari pada semata-mata bertindak
sebagai perantara untuk mngeluarkan uang yang
142
Ibid.
172 Pengaturan Bidang Perpajakan...

dikumpulkan oleh pemerintah pusat.143 Pembagian pajak


antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintahan
yang lebih rendah mengakibatkan pengumpulan pada
kedua tingkat (fragmentasi vertical) dan oleh satuan-satuan
rendahan yang terpisah (fragmentasi horizontal).144
Berpedoman pada sistem pemerintahan yang berlaku,
maka dua bidang perpajakan (Pusat dan Daerah) masih tetap
relevan, sebab dalam sistem pemerintahan selalu ada
pembagian kewenangan memungut pajak antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, baik dalam negara yang berbentuk kesatuan
maupun federasi. Adanya dua kategori bidang perpajakan
tersebut terkait juga dengan kewenangan menetapkan,
mengatur, maupun memungut pajak. Jika kewenangannya
berada pada pihak Pemerintah Pusat, maka bidang tersebut
merupakan perpajakan Pusat dan demikian sebaliknya jika
kewenangannya berada pada pemerintah dareah, maka bidang
tersebut merupakan perpajakan daerah. Dalam pemahaman
lain, banyak orang yeng memperdebatkan bahwa suatu jenis
pajak bukan merupakan pajak “regional” atau “daerah”
kecuali jika pajak tersebut dikenakan berdasarkan peraturan
perundangan regional dan bukan berdasar ketentuan
nasional.145
Suatu negara disebut sebagai negara kesatuan apabila
kekuasaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak
sama dan tidak sederajat,146 dan kekuasaan Pemerintah

143
John F. Due, op. cit., hlm. 418-419
144
Ibid.
145
K.J. Davey, op. cit., hlm. 29
146
M. Koeswardi, Ilmu Negara, Perintis Press, Jakarta, 1985, hlm. 155
Mustaqiem 173

Pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara.


Menurut C.F. Strong, 1960, seperti yang dikutip oleh M.
Koeswardi, dia menjelaskan bahwa ciri negara kesatuan,
ialah : “kedaulatan tidak terbagi” atau dengan kata lain
kekuasaan Pemerintah Pusat tidak dibatasi, karena
konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan
legislatif lain selain badan legislatif pusat.147 Pendapat
Kranenburg mengatakan bahwa kedaulatan itu mempunyai
pengertian yang kabur sehingga tak dapat dijadikan kriteria
untuk membedakan negara.148
Menurut Duguit, seperti yang dikutip oleh M.
Koeswardi, Ia mengatakan bahwa kedaulatan itu hanya
digunakan untuk menunjukkan sifat dan tabiat kekuasaan
raja yang merupakan kekuasaan tertinggi.149 Jean Bodin,
seperti yang dikutip M. Koeswardi, berpendapat bahwa
kedaulatan adalah kekuasaan absolut yang tak terbatas dari
negara untuk membuat undang-undang atau peraturan,
baik yang berlaku untuk umum maupun urusan tertentu
tanpa minta persetujuan orang lain atau badan yang lebih
tinggi atau sederajat.150 Roussen, seperti yang dikutip M.
Koewardi, mengemukakan bahwa kedaulatan tidak dapat
dibagi. Tetapi Mahkamah Agung Amerika Serikat
berpendapat bahwa kedaulatan bisa dibagi, hal mana
terbukti bahwa pada tahun 1819, Marshall mengatakan

147
Ibid., hlm. 156
148
Kranenburg, Ilmu Negara Umum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986,
hlm. 22
149
M. Koeswardi, op. cit., hlm. 156
150
M. Koeswardi, op. cit., hlm. 156
174 Pengaturan Bidang Perpajakan...

bahwa di Amerika Serikat kedaulatan terbagi atas


Pemerintah Pusat dan Pemerintah negara-negara bagian.
Kedaulatan dalam negara kesatuan ada pada Pemerintah
Pusat, hanya saja kewenangan yang dimiliki sebagian dapat
diserahkan kepada daerah berdasar asas desentralisasi.
Dalam negara yang berpedoman pada asas desentralisasi,
maka setiap daerah akan diberi kesempatan mengurus rumah
tangganya sendiri yang disebut dengan otonomi daerah. Pada
penyelenggaraan otonomi daerah dikenal ada tiga sistem
rumah tangga daerah, yaitu: 1) materiel, 2) formeel, dan 3) riil.151
Sistem rumah tangga materiel, berpijak dari suatu pemikiran
yang menyatakan bahwa urusan pemerintah itu dapat dipisah-
pisahkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.152
Berdasar pemikiran tersebut, otonomi daerah bukan
merupakan suatu hak, wewenang, tanggungjawab yang
tumbuh dan berkembang secara alami, melainkan hanya
sebatas suatu pemberian atau penyerahan dari pemerintah
pusat kepada daerah dan ada tidaknya urusan rumah tangga
daerah tergantung kepada sifat urusan tersebut. Apabila

151
B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah Titik Berat Otonomi dan
Urusan Rumah Tangga Daerah (pokok-pokok pikiran menuju reformasi hukum
di bidang pemerintahan daerah), Atmajaya, Yog-yakarta, 1998, hlm. 28
152
Ibid., hlm. 29-30.Bagir Manan mengemukakan bahwa suatu daerah
hanya dapat mengatur dan mengurus rumah tangga daerah kalau urusan itu
diserahkan kepada daerah yang bersangkutan.Menurut Sujamto, pada dasarnya
pemerintah pusatlah yang menentukan apakah suatu daerah itu diberi
status sebagai daerah otonom atau sebagai wilayah administrasi. Dasar
pertimbangan untuk menentukan pilihan dalam hal ini bukan pemikiran
demokratisasi tetapi pertimbangan doelmatigheid (keserasian dengan tujuan),
yaitu untuk meningkatkan effisiensi dan effektivitas atau aktivitas, atau
dayaguna dan hasilguna bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Mustaqiem 175

dalam suatu negara seluruh urusan pemerintahan dianggap


sebagai urusan pemerintah pusat, maka daerah hanya
berfungsi sebagai organ pelaksana dari urusan-urusan
pemerintah pusat. Sebaliknya apabila terdapat sebagian dari
urusan pemerintah pusat secara kodrati dapat dikategorikan
sebagai urusan pemerintah daerah, maka urusan tersebut
sudah selayaknya diserahkan kepada daerah supaya menjadi
urusan rumah tangganya. Oleh sebab itu, ada tidaknya otonomi
daerah dalam sistem rumah tangga materiel merupakan
konsekuensi logis dari ada tidaknya penyerahan suatu urusan
pemerintah kepada daerah berdasar dari sifat urusan tersebut.
Dengan demikian hakekat otonomi daerah dalam
sistem rumah tangga materiel bukanlah merupakan suatu
yang tumbuh dan berkembang secara alamiah, tetapi
keberadaannya diakui dengan peraturan perundang-
undangan yang diterbitkan oleh pemerintah, sehingga hal
tersebut hanya merupakan hasil dari adanya penyerahan
yang didasarkan pada sifat dan kodrat urusan pemerintahan
yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, Dann
Suganda, 1986, seperti yang dikutip oleh B. Hestu Cipto
Handoyo, berpendapat bahwa dalam pemberian otonomi
materiel pemerintah pusat menentukan secara terperinci
wewenang yang diserahkan kepada pemerintah daerah.
Wewenang tersebut ditetapkan dalam undang-undang
desentralisasi maupun dalam undang-undang pembentukan
suatu daerah menjadi daerah otonom. Daerah hanya berhak
melaksanakan kekuasaan yang telah disebut satu-persatu,
sedang wewenang lainnya yang ada di luar itu akan tetap
176 Pengaturan Bidang Perpajakan...

menjadi wewenang pusat sampai waktunya dapat diserahkan


kepada daerah.153
Berdasarkan beberapa pemahaman otonomi daerah
seperti di atas, maka hakekat otonomi apabila dihubungkan
dengan sistem rumah tangga materiel dapat diambil
beberapa pengertian sebagai berikut :154
1. Dengan adanya ajaran sistem rumah tangga materiel, maka
hakekat otonomi daerah bukan merupakan suatu hal
yang sifatnya alamiah, maksudnya ada atau tidak ada
otonomi daerah sangat tergantung kepada kewenangan
dari pusat atau daerah tingkat yang lebih atas;
2. Urusan-urusan pemerintahan dapat dijadikan sebagai
wewenang dan kewajiban daerah, untuk diatur dan
diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri berdasarkan
pada aspek penyerahan. Dengan demikian otonomi
daerah tidak mungkin ada kalau terlebih dahulu tidak
diadakan langkah-langkah penyerahan, baik itu dari pusat
maupun daerah tingkat yang lebih atas;
3. Pada dasarnya, pihak yang berwenang untuk menentukan
suatu urusan pemerintahan itu dapat diserahkan kepada
daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah
tangga sendiri adalah pemerintah pusat. Oleh sebab itu
ada tidaknya otonomi bagi suatu daerah sudah barang
tentu sangat tergantung pada hakekat politik (political will)
dari pemerintah pusat;
4. Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor

153
B. Hestu Cipto Handoyo, op cit., hlm. 31
154
Ibid.
Mustaqiem 177

5 tahun 1974 (waktu itu), maka pemberian otonomi


kepada daerah semata-mata hanya ditujukan kepada
aspek kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Oleh sebab itu, apabila suatu urusan
pemerintahan itu lebih bermanfaat (berdayaguna dan
berhasilguna) apabila diatur dan diurus oleh daerah,
maka urusan tersebut baru akan diserahkan. Hal ini
mengandung arti bahwa pemberian otonomi kepada
suatu daerah juga akan berlandaskan pada aspek
kemanfaatan, demikian pula sebaliknya.
Pangkal tolak rumah tangga formal adalah tidak ada
perbedaan sifat antara aturan pemerintahan yang
diselenggarakan oleh pusat maupun daerah. Setiap urusan
pemerintahan yang diselenggarakan oleh pusat pada
hakikatnya dapat juga diselenggarakan oleh daerah. Sistem
rumah tangga ini menganut pemikiran bahwa pada
prinsipnya daerah dapat mengatur dan mengurus suatu
urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya
sendiri atas dasar kebebasan dan inisiatif sendiri meskipun
urusan tersebut belum diserahkan.
Menurut Bagir Manan, 1991, sebagaimana dikutip oleh B.
Hestu Cipto Handoyo, “isi rumah tangga daerah dalam sistem
rumah tangga formal atau toekennen, merupakan sesuatu yang
dibiarkan tumbuh (toelaten) atau diberi pengakuan (erkaennen).155
Hakikat otonomi daerah menurut sistem rumah tangga
formal bukanlah merupakan sesuatu yang sifatnya
pemberian, melainkan sesuatu yang dibiarkan tumbuh secara
155
B. Hestu Cipto Handoyo, op cit., hlm. 32
178 Pengaturan Bidang Perpajakan...

alami dan diberi pengakuan.156 Hal ini merupakan indikasi


bahwa otonomi daerah secara kodrati telah melekat dalam
diri suatu Daerah sebagaimana layaknya hak yang melekat
dalam diri manusia untuk melakukan segala sesuatu yang
dianggap penting bagi dirinya sendiri. Pemahaman seperti
itu muncul karena menurut sistem rumah tangga formal, sifat
urusan rumah tangga daerah bukan merupakan pemberian
melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang serta
diberi pengakuan oleh Pemerintah Pusat ataupun
Pemerintah Daerah tingkat yang lebih atas.157
Meskipun penjelasannya seperti itu, ternyata dalam
sistem rumah tangga formal tidak tertutup kemungkinan ada
urusan rumah tangga daerah yang berasal dari pemberian.
Mengingat dalam sistem rumah tangga formal juga diakui
asas kemanfaatan penyelenggaraan pemerintahan secara
umum, maksudnya adalah apabila ada sesuatu jenis urusan
pemerintahan yang oleh pemerintah pusat atau pemerintah
daerah yang lebih atas dianggap layak untuk diserahkan
kepada daerah dengan pertimbangan bahwa urusan tersebut
akan lebih baik atau bermanfaat bila diurus oleh daerah yang
bersangkutan, maka urusan pemerintahan tersebut akan
diserahkan atau diberikan kepada daerah untuk diatur atau
diurus sebagai urusan rumah tangganya sendiri.
Daan Suganda, 1986, sebagaimana dikutip B. Hestu
Cipto Handoyo mengatakan bahwa “pemberian otonomi
formal dalam hal ini wewenang yang diserahkan kepada

156
Ibid., hlm. 33
157
Ibid.
Mustaqiem 179

daerah tidak diperinci satu persatu melainkan menunggu


apa yang telah diatur oleh pusat untuk menjadi wewenang
pusat. Segala urusan yang tidak diatur dan diselenggarakan
oleh pusat itulah lapangan wewenang daerah, dalam hal
ini daerah hanya mendapatkan sisa dari urusan-urusan
pemerintahan, daerah tidak boleh mengatur apa yang telah
diatur dan diurus oleh pemerintah pusat. Kebijaksaan ini
sering disebut teori sisa (Residu theorie).158 Nampak bahwa
dalam sistem rumah tangga formil menghendaki adanya
kesejajaran kedudukan pusat atau daerah yang lebih atas
tingkatnya dengan suatu daerah. Daerah bukanlah
merupakan suatu organ bawahan dari pusat atau daerah
tingkat yang lebih atas, melainkan sebagai mitra (partner)
dalam penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya.
Tetapi konsep-konsep otonomi daerah seperti ini jelas
menimbulkan kelemahan khususnya apabila dikaitkan
dengan bentuk negara kesatuan, hal ini menyebabkan :
1. Adanya kebebasan daerah untuk mengatur atau
mengurus segala macam urusan pemerintahan sebagai
urusan rumah tangga sendiri tanpa lebih dahulu
menunggu adanya penyerahan baik dari pusat atau
daerah tingkat yang lebih atas memungkinkan terjadi
perluasan wewenang otonomi yang pada gilirannya
akan mengakibatkan peningkatan sifat dari daerah itu.
Daerah yang merupakan satuan pemerintahan lokal di
bawah pemerintahan pusat menjadi suatu daerah state
sebagaimana dalam Negara Serikat atau Federasi;

158
B. Hestu Cipto Handoyo, op. cit., hlm. 33
180 Pengaturan Bidang Perpajakan...

2. Adanya kesejajaran kedudukan antara daerah dengan


pusat atau daerah tingkat yang lebih atas kemungkinan
dapat menimbulkan ketegangan hubungan atau spanning
khususnya dalam hal hubungan koordinasi dan
pengawasan yang dilakukan oleh pusat dan daerah
tingkat yang lebih atas. Hal ini disebabkan karena daerah
merasa bukan merupakan organ bawahan dari
pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas;
3. Sepintas lalu sistem rumah tanggga formal memberikan
keleluasaan pada daerah, tetapi karena urusan rumah
tangga tidak ditentukan maka daerah dihadapkan pada
kondisi ketidakpastian.159
Istilah sistem rumah tangga riil dapat dijumpai dalam
penjelasan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat (1) : “Yang
dimaksud dengan daerah dalam undang-undang ini ialah
daerah yang berhak mengurus rumah-tangganya sendiri,
yang disebut juga “ Daerah swatantra” dan “ Daerah
istimewa”). Selain undang-undang tersebut, juga terdapat
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XXI/MPRS/1966 yang menambah dengan kata-kata “seluas-
luasnya”. Kedua ketentuan ini berdasarkan Pasal 131 ayat (2)
UUD Sementara 1950.160
Sistem rumah tangga riil memberikan ketentuan bahwa
urusan rumah tangga daerah didasarkan pada keadaan-
keadaan atau faktor-faktor nyata yang ada di dalam suatu

159
B. Hestu Cipto Handoyo, op. cit., hlm. 35
160
Ibid.
Mustaqiem 181

daerah. Konsep yang demikian ini memberikan peluang


kepada daerah untuk mengatur dan mengurus suatu urusan
pemerintahan tertentu menjadi urusan rumah tangga sendiri
asalkan urusan pemerintahan tersebut berdasarkan keadaan–
keadaan/ faktor-faktor yang nyata-nyata memang layak
menjadi urusan rumah tangga daerah.161 Dengan demikian
otonomi daerah menurut sistem rumah tangga riil pada
hakikatnya berawal dari adanya pengakuan dari Pemerintah
terhadap faktor riil yang tumbuh dan berkembang di
lingkungan masyarakat di suatu daerah, oleh sebab itu
kandungan atau isi otonomi daerah dalam sistem rumah
tangga ini akan berbeda antara satu daerah dengan lainnya.162
Sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah otonom
salah satunya berasal dari hasil pemungutan Pajak Daerah.
Sumber pajak sangat penting bagi pemerintah daerah untuk
memperoleh pendapatan dari sumber tersebut. Hal itu dapat
dilaksanakan dengan memungut, mengadministrasikan,
menetapkan tarif dan lain-lain. Banyak cara yang bisa
digunakan pemerintah daerah untuk meningkatkan
penghasilan dari sektor pajak, namun kebanyakan
pemerintah Propinsi dan Kota masih menggantungkan
bantuan dari anggaran pemerintah pusat.163 Hal tersebut
terjadi karena pemerintah pusat terlalu dominan terhadap
daerah, sehingga pola pendekatan yang sentralistik dan

161
B. Hestu Cipto Handoyo, op. cit., hlm. 35
162
Ibid., hlm. 36
163
Richard L. Siegel at all., Comparing Public Policy – United State –
Soviet Union and Europe, The Dorsey Press, Homewood Illinois 60430 Irwin-
Dorsey Limited Georgetown, Ontario, 1977, p. 96
182 Pengaturan Bidang Perpajakan...

seragam yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah


pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas daerah.164
Seperti penentuan obyek dan tarif pajak daerah.
Persyaratan yang harus diperhatikan untuk suatu
sumber pendapatan adalah sumber tersebut harus
menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya
dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan
dikeluarkan.165 Sering kali dalam peraturan daerah memiliki
banyak jenis pajak tetapi tidak ada yang menghasilkan lebih
dari prosentase yang lebih kecil dibandingkan dari
anggaran pengeluaran.166 Hal tersebut banyak menimbulkan
kerugian, ongkos pungut akan menjadi besar, upaya
administrasi terbagi-bagi, pembebanan sulit dicapai secara
adil, kesabaran masyarakat akan hilang dengan banyaknya
pungutan yang kecil-kecil dan kesan yang tidak benar dapat
timbul terhadap kemampuan keuangan Pemerintah
Daerah.167
Meskipun pemerintah memiliki kewenangan
menetapkan perpajakan daerah tetapi kelayakan pajak perlu
diperhatikan. Nick Devas memberikan ketentuan dengan
mengatakan bahwa “ Criteria for Evaluating Local Taxes : As a
means of evaluating the present range of local taxes I shall use the
following set of criteria : (1) Tax Yeild, (2) Equity, (3) Economic
efficiency, (4) Ability to implement, (5) Suitabiliy as a Local Revenue

164
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daearah, Andi,
Yogyakarta, 2002, hlm. 96
165
KJ. Davey, op. cit., hlm. 40
166
KJ. Davey, op. cit., hlm. 40
167
Ibid., hlm. 41
Mustaqiem 183

Source”. 168 Penjabaran pertimbangan tersebut, adalah


sebagai berikut:169
1. Aspek perolehan pajak (Tax Yield)
(a)Hasil pajak cukup besar, pajak yang memberikan hasil
yang kecil justru akan menimbulkan inefisiensi dan
menciptakan perlawanan pajak (tax payer resistence);
(b) Hasilnya lebih pasti dan dapat diprediksi, hasil pajak
hendaknya relative stabil, tidak berfluktuasi dari
tahun ke tahun agar mudah dalam melakukan
perencanaan belanja;
(c) Elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan
penduduk dan kenaikan pendapatan;
(d) Perbandingan antara biaya pungut (collection cost)
dengan hasil pajak (tax yield) kecil.
2. Aspek keadilan (Equity)
(a)Dasar pengenaan pajak (tax base) dan kewajiban pajak
harus jelas tidak bersifat arbitrer;
(b) Horizontal equity, pajak yang dilakukan harus menciptakan
keadilan horisontal yaitu mereka yang kondisi
ekonominya sama memiliki beban pajak yang sama;
(c) Vertical equity, beban pajak harus disesuaikan dengan
kemampuan masyarakat untuk membayar, yang kaya
harus membayar pajak lebih tinggi dari pada yang miskin;
(d)Benefit principle, mereka yang menikmati fasilitas publik

168
Nick Devas, 1989, Financing Local Government In Indonesia, Ohio
University Monograph in International Stidies Southheast Asia Series No. 84.
p. 58-59
169
Mardiasmo, op. cit., hlm. 150-151
184 Pengaturan Bidang Perpajakan...

secara lebih baik harus membayar pajak lebih tinggi.


3. Aspek daya guna ekonomi (Economic efficiency)
Pajak hendaknya mendorong penggunaan sumber daya
secara produktif dan tidak mengganggu perekonomian.
Sistem perpajakan hendaknya memberikan netralitas
ekonomi, sehingga mengurangi distorsi ekonomi.
4. Aspek kemampun melaksanakan (Ebility to implement)
(a)Adanya political acceptability untuk menerapkan pajak;
(b) Terdapat dukungan kapasitas administrasi dan skill
aparat pajak yang memadai.
5. Aspek cocok sebagai sumber pendapatan (Suitability as a
local revenue cource).
(a)Harus jelas pemerintah daerah mana yang harus
menerima pajak. Sebagai contoh, pajak penghasilan
seharusnya dibayarkan kepada pemerintah daerah
tempat di mana orang tersebut bekerja atau tempat
tinggal wajib pajak;
(b) Kedudukan obyek pajak harus jelas, agar pajak tidak
mudah dihindari dengan cara memindahkan obyek
pajak dari satu daerah ke daerah lain.
6. Masalah tarif pajak deferensial (the problem of deferential
tax rate).
7. Pengaruh tempat (lokasi) terhadap beban pajak (location
responses to taxation). Jika jenis pajak dan tarif pajak
berbeda-beda untuk tiap daerah, maka pembayar pajak
cenderung berusaha untuk mengurangi beban pajak
(misal memindahkan kantor pusat). Idealnya, pajak
daerah dapat meminimalkan distorsi yang menyebabkan
Mustaqiem 185

masyarakat dan pelaku bisnis meninggalkan suatu daerah;


8. Masalah keadilan antar wilayah (the problem of inter-regional
equity). Beberapa pemerintah daerah memiliki potensi pajak
daerah yang lebih besar dari yang lainnya. Pajak daerah
hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan
antar daerah dari segi potensi masing-masing daerah.
9. Kapasitas untuk mengimplementasikan (capacity to
implement).
Kebijakan perpajakan merupakan suatu hubungan yang
kompleks antara program peningkatan pajak dengan ekonomi
maupun program kebijakan social (kemasyarakatan).170 Oleh
karena itu membuat kebijakan pajak harus sempurna, sebab
kebijakan yang tidak sempurna akan menimbulkan
ketidakadilan.171 Guna meminimalisir persoalan kebijakan di
bidang perpajakan (khususnya bidang perpajakan daerah)
secara yuridis telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000, Pasal 2 ayat (4) mengenai syarat-syarat bagi
Kabupaten/Kota yang akan menetapkan jenis pajak daerah
di luar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3. Periodisasi Pengaturan Bidang Perpajakan Daerah
Pengaturan bidang perpajakan daerah sejak tahun 1957
sampai sekarang sudah mengalami beberapa kali
perubahan, terjadinya perubahan merupakan salah satu
bentuk “inovasi” yang tidak lepas dari dinamika kehidupan

170
Arnold J. Heidenheimer at all., Comparative Public Policy- The Politics
of Social Choice in America, Europe, and Japan, ST., Martin’s Press, New
York, p. 183
171
Stephen G. Utz, op. cit., p. 55
186 Pengaturan Bidang Perpajakan...

berbangsa dan bernegara yang selalu muncul. Seperti pada


awal kemerdekaan keadaannya masih labil sehingga terjadi
perubahan Undang-Undang Dasar yang dipakai sebagai
landasan hukum berbangsa dan bernegara. Pengaturan
bidang perpajakan daerah selama ini dapat dibedakan
menjadi 4 periode, sebagai berikut :
a. Periode Undang-Undang No. 11/Darurat/Tahun 1957
Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah
Struktur pemerintahan Indonesia pertama kali secara garis
besar diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, kemudian
dielaborasi melalui undang-undang agar sesuai dengan
pekembangan.172 Pada awalnya, yang diberlakukan adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang merupakan
ketentuan pokok mengenai Pemerintahan di Daerah yang
terdiri atas 6 (enam) pasal, undang-undang ini dapat
digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan yang
sangat sederhana, sehingga bidang perpajakan belum
diatur. Kemudian undang–undang tersebut disusul
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang
merupakan undang-undang pertama kali yang mengatur
tentang Pemerintahan Daerah.173 Setelah berlakunya undang-
undang ini peraturan perundang-undangan yang mengatur
Pemerintahan Daerah tidak berhenti begitu saja, tetapi
kemudian disusul dengan terbitnya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1957 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah

172
Ateng Syafruddin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II
Dan Perkembangannya, Mandar maju, Bandung, 1991, hlm. 30
Mustaqiem 187

(Lembaran Negara 1957 Nomor 6 Tambahan Lembaran


Negara Nomor 1143). Undang-undang ini merupakan upaya
lanjutan guna menentukan hubungan Pusat dan Daerah,
sekaligus untuk menentukan struktur Pemerintahan dalam
berbagai Propinsi.174 Keistimewaan dari sistem ini adalah
adanya kebijakan pelimpahan kekuasaan yang sungguh-
sungguh kepada daerah.175 Menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1957, daerah berhak mengurus rumah tangganya
sendiri, yang juga disebut “Daerah Swatantra” dan “Daerah
Istimewa”. Berdasar pengertian tentang daerah tersebut,
maka bagi kedua daerah diberikan otonomi yang luas atau
yang sering disebut dengan istilah desentralisasi.
Paham desentralisasi merupakan paham modern yang
timbul bukan karena luasnya daerah, tetapi karena tingkat
kemajuan sehingga daerah dapat dinilai sudah mampu
mengurus rumah tangganya sendiri.176 Adanya kemampuan
tersebut merupakan ukuran mutlak bagi suatu daerah untuk
dapat diberikan kekuasaan otonomi. Konsekuensi
pemberian otonomi yang luas atau desentralisasi kepada
daerah berpengaruh juga terhadap pengaturan bidang
perpajakan daerah yang harus mencerminkan kekhasan
otonomi yang dimaksud.
Usaha untuk memperkuat Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 didukung oleh dua undang-undang yaitu
pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang

174
Ibid., hlm. 31
175
Ibid.
176
Soedargo, op. cit., hlm. 10
188 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah yang


berhak mengurus rumah tangga sendiri. Undang-undang
ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1957, undang-undang
ini disebut juga sebagai “Undang-Undang Perimbangan
Keuangan 1957” dan kedua, Undang-Undang Nomor 11/Drt/
Tahun 1957 tentang Pajak Daerah. Pajak Daerah adalah
“Pungutan daerah menurut peraturan pajak yang
ditetapkan oleh daerah untuk pembiyaan rumah tangganya
sebagai badan hukum publik”.
Pada periode Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957,
daerah diberi hak menangani perpajakan daerah secara
otonom. Sebagai indikator pemberian otonomi yang luas
atau desentralisasi di bidang perpajakan daerah tercermin
dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dengan
diberlakukannya undang-undang ini, maka kepada daerah-
daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak.
Ketetapan Pasal 56, adalah sebagai berikut :
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
2. Dalam undang–undang ditetapkan peraturan umum
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
3. Peraturan Daerah yang mengadakan, merubah dan
meniadakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak dapat
berlaku sebelum disahkan oleh penguasa dan menurut cara
yang ditetapkan dalam undang-undang seperti dimaksud
dalam ayat (2) mengelola perpajakan daerah secara otonom.
Mustaqiem 189

Maksud ketentuan yang mensyaratkan Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam undang-undang
(Pasal 56 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1957) adalah agar daerah
mendapat pegangan yang umum, sehingga rakyat tidak
akan dibebani pajak yang melebihi batas, sebab dalam
menentukan besarnya pajak atau retribusi harus
memperhatikan beberapa faktor, yaitu :
1. Tarif-tarif yang berlaku di lain daerah sekitarnya;
2. Kekuatan keuangan serta kemampuan penduduk;
3. Tarif-tarif yang progressief dan sebagainya, sehingga
pajak daerah dan retribusi daerah yang diadakan itu
terasa adil dan layak oleh penduduk dan merupakan
sumber pendapatan yang berarti bagi daerah.177
Oleh karena itu Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
merupakan pendapatan yang tidak kecil artinya bagi daerah.
Karena pajak yang akan dipungut oleh daerah akan
membebani penduduk, maka berlakunya harus ditetapkan
sesuai peraturan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yang harus disahkan lebih dahulu oleh pemerintah menurut
cara-cara yang ditetapkan dalam UU. No. 1 Tahun 1957
(Pasal 56 ayat 3).178 Substansi Pasal 56 ayat (2) dan (3)
menunjukkan bahwa dalam bidang perpajakan daerah pada
masa ini pernah diberlakukan sistem desentralisasi.
Dalam hal kewenangan membuat Peraturan Daerah,
secara umum diatur oleh Pasal 36 Undang-Undang Pokok

177
Rochmat Soemitro, Peraturan Perundang-undangan Tentang
Pemerintahan Daerah, Eresco -Tarate, Bandung-Jakarta, 1983, hlm. 199-200
178
Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 200
190 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah guna kepentingan pelaksanaan
apa yang menjadi kekuasaan, tugas, dan kewajibannya
dapat membuat peraturan-peraturan yang disebut Peraturan
Daerah (local verordening) dengan ditambah nama daerah.179
Ketentuan lain menyatakan bahwa pengundangan
peraturan daerah merupakan syarat tunggal untuk kekuatan
yang mengikat. Pengundangan itu dilakukan oleh Kepala
Daerah dengan menempatkan dalam lembaran daerah
tingkat ke-I bagi Peraturan Daerah tingkat ke-I dan daerah-
daerah di tingkat bawahnya, dan dalam lembaran
Kotapraja-Jakarta Raya bagi peraturan daerah Kotapraja.
Peraturan Daerah yang mengatur suatu Pajak Daerah berarti
akan memberikan beban keuangan kepada rakyat, maka
pada prinsipnya harus dijaga supaya peraturan itu jangan
sampai diberi daya surut. 180 Bagi Pemerintah Daerah
berdasarkan Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957,
Pasal 2 ayat (1) ditetapkan pendapatan pokok daerah,
terdiri atas : a) Pajak Daerah; )b Retribusi Daerah; c)
Pendapatan Negara yang diserahkan kepada Daerah;
d) Hasil Perusahaan Daerah.
Selanjutnya berdasar Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Perimbangan Keuangan 1957 ditetapkan beberapa Pajak
Negara yang diserahkan kepada daerah, meliputi :
1. Pajak Rumah Tangga (Ordonansi Pajak Rumah Tangga
1908 );

179
Soedargo, op. cit., hlm. 12
180
Soedargo, op. cit., hlm. 13
Mustaqiem 191

2. Pajak Kendaraan Bermotor (Ordonansi Pajak Kendaraan


Bermotor 1934);
3. Pajak Verponding (Ordonansi Verponding 1928).
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 1957, Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 10, pajak–
pajak nomor 1, 2, dan 3 diserahkan kepada Daerah Tingkat
I, dan berdasarkan Pasal 2 pajak-pajak nomor 4, 5, 6, 7, 8
dibawah ini diserahkan kepada Daerah Tingkat II. Adapun
pajak-pajaknya adalah sebagai berikut:
1. Pajak Verponding Indonesia (Ordonansi Verponding
Indonesia);
2. Pajak Jalan (Ordonansi Pajak Jalan 1942);
3. Pajak Potong ( Ordonansi Pajak Potong 1936);
4. Pajak Kopra;
5. Pajak Pembangunan (Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 1947 Tentang Pajak
Pembangunan I).
Selain itu, berdasarkan Paraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 1957, Pasal 4 ayat (1) ditetapkan bahwa kepada
Daerah diserahkan minimum 75% dan maksimum 90% dari
penerimaan yang berasal dari :
1. Pajak Peralihan (Ordonansi Pajak Peralihan 1944);
2. Pajak Upah (Ordonansi Pajak Upah 1934);
3. Pajak Materai (Peraturan Bea Meterai 1921).
Ayat 2 menetapkan bahwa tiap-tiap tahun dengan
Peraturan Pemerintah kepada Daerah diserahkan sebagian
penerimaan yang berasal dari :
1. Pajak Kekayaan (Ordonansi Pajak Kekayaan 1932);
192 Pengaturan Bidang Perpajakan...

2. Pajak Perseroan (Ordonansi Pajak Perseroan 1925).


Pauuw, sebagaimana dikutip oleh Colin Mc Andrew
mengatakan bahwa meskipun telah berlaku undang-undang
perimbangan keuangan 1957 yang bermaksud memberikan
kekuasaan keuangan kepada daerah, namun hasil pajak
yang diberikan kepada Pemerintah Daerah hanya sekitar 1
% dari hasil pajak yang diterima oleh Pemerintah Pusat.181
Kebijakan yang terkait dengan mengadakan, merubah,
dan meniadakan pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Peraturan Daerahh tentang pajak daerah harus
memuat berbagai hal antara lain objek yang dikenakan pajak
serta dasarnya, jumlah uang pajak daerah, penunjukan
wilayah dimana suatu pajak daerah akan dipungut dan juga
syarat-syarat kewajiban membayar pajak daerah. Peraturan
Daerah tentang pajak tidak boleh memuat pasal yang bersifat
diskriminasi yaitu adanya perbedaan atau pemberian
keistimewaan yang menguntungkan perorangan, golongan,
dan keagamaan. Selain hal itu barang-barang yang
merupakan keperluan hidup sehari-hari tidak boleh
langsung dikenakan pajak daerah.
Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957
memberikan ketentuan bahwa pelaksanaan pemungutan
pajak daerah menggunakan Official Assessment System. Hal
itu dapat dilihat dari ketentuan untuk menentukan besar
kecilnya pajak didasarkan pada keterangan (isian) yang
dibuat oleh Wajib Pajak. Contoh dalam hal membayar Pajak

181
Colin Mc Andrew at all, Hubungan Pusat-Daerah Dalam Pembangunan,
Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 103
Mustaqiem 193

Kendaraan Bermotor, pihak pemilik kendaraan bermotor


sebelum membayar pajak lebih dahulu harus menjelaskan
tentang identitas (tahun pembuatan, isi cylinder, warna cat,
nomor kendaraan, dan lain-lain) kendaraannya, kemudian
baru dapat ditetapkan jumlah pajak yang harus dibayar.
Bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan ini
akan dikenai sanksi denda fiscal. Selain itu, dalam peraturan
pajak daerah dapat diadakan ketentuan yang mengatur
tentang sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak tepat melunasi
pajak. Sanksinya adalah jumlah yang harus dibayar
ditambah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam
peraturan pajak daerah. Peraturan pajak daerah juga
diperbolehkan mengatur tentang tagihan susulan, apabila
pajak daerah yang ditetapkan ternyata kurang dari yang
semestinya, atau apabila keputusan untuk mengurangi,
meniadakan atau tidak mengenakan pajak daerah ternyata
salah. Dikecualikan dari ketentuan tentang tagihan pajak
jika kekurangan atau kesalahan itu disebabkan oleh
kesalahan tata usaha pajak daerah yang bersangkutan.
Sebagai ilustrasi bahwa dalam penentuan besar
kecilnya Pajak Kendaraan Bermotor antara lain didasarkan
pada tahun pembuatan. Apabila pemilik kendaraan
bermotor keliru dalam memberikan keterangan tentang
tahun pembuatan kendaraanya, hal ini akan mengakibatkan
jumlah Pajak Kendaraan Bermotor yang harus dibayar lebih
kecil dari pada yang seharusnya, kekeliruan atau kesalahan
tersebut bukan disebabkan oleh tata usaha pajak daerah yang
bersangkutan tetapi kesalahan berasal dari Wajib Pajak. Jika
194 Pengaturan Bidang Perpajakan...

hal ini yang terjadi maka tagihan terhadap kekurangan


pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor boleh dilakukan
kepada wajib pajak. Tagihan susulan tersebut hanya dapat
ditetapkan atau dilakukan dalam waktu 3 (tiga) tahun
dihitung dari permulaan tahun pajak yang bersangkutan dan
tagihan susulan tersebut dapat ditetapkan setinggi-tingginya
sampai empat kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
Ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 3 tahun 1957, menetapkan bahwa lapangan pajak
daerah ialah lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh
negara. Selain itu ditetapkan pula mengenai lapangan pajak
daerah tingkat bawahan dan yang masuk lingkup ini adalah
lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh negara atau
daerah tingkat atasannya. Apabila daerah tingkat atasan
telah mempergunakan suatu lapangan pajak, maka daerah
tingkat bawahan tidak boleh diperkenankan memasuki
lapangan itu, tetapi pemerintah daerah tingkat bawahannya
diperkenankan memungut opsen pajak daerah dari tingkat
atasannya. Selain yang telah ditetapkan dengan undang-
undang, pajak daerah lain yang dapat dipungut oleh Daerah
Tingkat I, meliputi :
1. Pajak atas izin menangkap ikan di perairan umum
wilayahnya;
2. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan
membiayai pembangunan rumah-rumah sekolah rakyat
yang menjadi beban dari pemerintah daerah;
3. Opsen atas pajak atau cukai penjualan bensin.
Mustaqiem 195

Persoalan apakah opsen itu pajak atau bukan, masih


menjadi perdebatan, meskipun demikian dapat dijelaskan
bahwa :
1. Opsen adalah suatu tambahan (bijslag) yang dihitung
dalam perseratusan atas pokok pajak (hoofdsom);
2. Berhubung dengan itu maka logislah opsen harus selalu
mengikuti hoofdsom dalam kenaikan, pengurangan dan
pemungutannya. Kenyataan ini dapat dijelaskan juga
dengan Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 11/
Drt/1957 Tetang Peraturan Umum Pajak Daerah, yang
menyatakan bahwa ketentuan yang berlaku bagi pokok
pajak berlaku juga pula terhadap opsen dimaksud.
Selanjutnya dirumuskan pula bahwa opsen atas pajak dan
denda fiscal karena tidak dibayar pada waktunya dapat
dituntut atas barang-barang pokok pajak. Hal tersebut
sebagaimana ketentuan tentang tagihan pembayaran
pokok pajak beserta dendanya dan tagihan opsen beserta
dendanya kepada Wajib Pajak. Dalam kasus seperti ini
negara mempunyai hak didahulukan pembayarannya
dari pada tagihan lainnya. Perlu dikemukakan di sini
bahwa denda yang dipungut karena tidak menepati
pembayaran opsen pada waktu yang telah ditetapkan
adalah untuk negara berkaitan dengan pajak negara dan
bagi daerah berkaitan dengan pajak daerah.
3. Pihak yang berwenang menetapkan besarnya opsen
adalah pihak yang memiliki kekuasaan menetapkan
hoofdsom. Asas ini dimuat dalam Pasal 24 Undang-Undang
Nomor 11/Drt/1957 Tentang Peraturan Umum Pajak
196 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Daerah yang menyatakan bahwa jumlah uang opsen


yang dipungut berdasarkan suatu peraturan daerah
ditetapkan oleh instansi yang menetapkan jumlah pokok
pajak yang dikenakan opsen tersebut. Makna dari asas
ini adalah tidak semua pajak masih dapat dibebani suatu
opsen. Pajak-pajak yang tarifnya sudah tinggi tidak
mungkin dibebani lagi dengan opsen, karena tekanannya
akan menjadi sangat berat bagi rakyat. Pihak yang diberi
kewenangan untuk menentukan batas mana suatu pajak
masih mungkin dibebani lagi dengan suatu opsen adalah
pihak (instansi) pencipta pajak itu sendiri. Oleh karena
itu tekanan opsen harus dapat diawasi supaya jangan
melampaui batas dan dirasakan merata. Berdasar
kenyataan tersebut, maka Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 11/Drt/1957 Tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah mengharuskan perlunya pengesahan dari
Presiden lebih dahulu untuk mengadakan, merubah,
maupun meniadakan opsen atas suatu pajak.
4. Daerah dapat mengadakan pemungutan opsen atas
pajak-pajak negara, pajak daerah tingkat atasnya dan
juga atas pajaknya sendiri.182 Contoh adalah pungutan
atas pajaknya sendiri seperti yang terdapat pada sistem
pemungutan pajak perseroan untuk keuntungan-
keuntungan yang diperoleh dari tahun pembukuan
sebelum 1951. Tarif pajak perseroan pada waktu itu
sebesar 10% yang merupakan pengenaan pokok dan
kemudian ditambah dengan opsen sebesar 30%, akhirnya

182
Soedargo, op. cit., hlm. 20-21
Mustaqiem 197

tarif pajak perseroan dinaikkan sebesar 40% dari jumlah


keuntungan bersih yang dikenakan pajak.
Selanjutnya Pajak Daerah yang lain dan dapat dipungut
oleh Pemerintah Daerah yang berasal dari Daerah Tingkat
I, terdiri atas :
1. Pajak atas pertunjukan dan keramaian umum. Peraturan
untuk memungut dan menagih pajak atas pertunjukan
dan keramaian dalam wilayah Kotapraja Jakarta Raya
tgl. 16 Nopember 1936 (Prov. Blad. tgl. 20 Januari 1937
No. 3), diubah dengan peraturan tgl. 21 Juni 1937 (Prov.
Blad. tgl. 31 Juli 1937 No. 16);
2. Pajak atas reklame sepanjang tidak diadakan dengan
memuat dalam majalah atau warta harian (Tambahan
Berita Negara No. 22 Tahun 1957);
3. Pajak atas anjing (ex UU No. 11 Drt. Th. 1957);
4. Pajak atas ijin penjualan atau pembikinan petasan dan
kembang api (Staatsblad 1932 No. 143 jo Lembaran
Kotapraja Jakarta Raya No. 7 Tahun 1959);
5. Pajak atas penjualan minuman yang mengandung
alkohol (Peraturan bagi penjualan minuman keras dan
memungut serta menagih pajak atas penjualan minuman
keras dalam wilayah Kotapraja Jakarta Raya tgl. 5
Agustus 1935 (Lembaran Propinsi tgl. 31 Oktober 1935
No. 15) diubah dengan peraturan tgl. 21 Juni 1937
(Lembaran Propinsi tanggal 31 Juli Tahun 1937 No. 16)
diubah lagi dengan peraturan tanggal 30 Juni 1938
(Lembaran Propinsi 30 September 1938 No. 24);
6. Pajak atas kendaraan tidak bermotor (ex UU No. 11 Drt.
Th. 1957);
198 Pengaturan Bidang Perpajakan...

7. Pajak atas ijin mengadakan perjudian (ex UU No. 11 Drt.


Th. 1957);
8. Pajak atas tanda kemewahan mengenai luas dan
perhiasan kubur (ex UU No. 11 Drt.Th, 1957);
9. Pajak karena berdiam di suatu daerah lebih dari 120
hari dalam suatu tahun pajak, kecuali untuk perawatan
di dalam Rumah Sakit atau Sanatorium dan juga atas
penyediaan rumah lengkap dengan parabotnya untuk
diri sendiri atau keluarganya selama lebih dari 120 hari
dalam suatu tahun pajak, semua itu tanpa bertempat
tinggal tetap di daerah itu dengan ketentuan bahwa
mereka yang berdiam di luar daerahnya tidak boleh
dikenakan pajak dimaksud (ex UU No. 11 Drt. Th. 1957);
10. Opsen atas pokok pajak daerah tingkat atasan sepanjang
kemungkinan pemungutan opsen itu diberikan dalam
peraturan pajak daerah tingkat itu (ex Undang Undang
No. 11 Drt /Tahun 1957);
11. Pajak sekolah yang semata-mata diperuntukkan
membiayai pembangunan rumah sekolah rendah untuk
pelajaran umum dan pembelian perlengkapan pertama
(ex UU No. 11 Drt. Th. 1957);
Meskipun sudah ada dua undang-undang yang
mengatur pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah yang
memuat pengawasan yang bersifat preventief terhadap
keinginan daerah membuat sebanyak mungkin pajak dan
retribusi daerah tanpa memperhatikan kepentingan
Pemerintah Pusat, maka masih dirasa perlu pemerintah
mengadakan pengawasan repressief untuk mengoreksi
Mustaqiem 199

keinginan daerah tersebut yang ditinjau dari teknik perpajakan


sering kali bersifat sangat fantastis.183 Ketentuan yang sifatnya
repressief dirumuskan dalam Pasal 56 ayat 3 Undang-Undang
Pokok Pokok Pemerintahan Daerah, Pasal tersebut
menyatakan bahwa Peraturan Daerah yang mengadakan,
merubah dan meniadakan Pajak atau Retribusi Daerah tidak
dapat berlaku sebelum disahkan oleh penguasa menurut cara
yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 11/Drt/Tahun
1957 Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah.
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 11/Drt/Tahun 1957
Tentang Peraturan Umum Pajak Daerah menyatakan bahwa
peraturan Pajak Daerah tidak dapat berlaku sebelum
mendapat pengesahan Presiden dan untuk sampai mendapat
persetujuan Presiden memerlukan prosedur yang lama.
Ketentuan atau prosedur yang berlaku pada Pemerintah
Swatantra Tingkat I adalah dalam kurun waktu 14 hari sesudah
rencana peraturan Pajak Daerah ditetapkan harus dikirim lebih
dahulu kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah untuk memperoleh pengesahan. Peraturan
Pajak Daerah Swatantra Tingkat II setelah ditetapkan harus
dimintakan juga persetujuan kepada Presiden melalui
prosedur yang berbeda yaitu peraturan Pajak Daerah yang
sudah ditetapkan dalam tempo 14 hari harus dikirimkan
kepada Dewan Pemerintahan Daerah Swatantra Tingkat I,
kemudian dalam tempo 28 hari akan dikirimkan kepada
Presiden dengan perantaraan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah untuk mendapatkan pengesahan. Dalam
183
Soedargo, op. cit., hlm. 13
200 Pengaturan Bidang Perpajakan...

tempo 3 (tiga) bulan setelah Presiden menerima peraturan


pajak daerah, Presiden harus mengambil keputusan atas
permintaan daerah tersebut dan apabila dalam tempo 3 bulan
tersebut belum dapat memberikan keputusan maka akan
diperpanjang selama 3 bulan lagi oleh Presiden. Keputusan
perpanjangan ini harus diberitahukan kepada Dewan
Pemerintahan Daerah Swatantra Tingkat I yang bersangkutan,
kemudian baru akan diteruskan kepada Dewan Pemerintahan
Daerah Tingkat II yang berkepentingan. Jika setelah tempo 6
(enam) bulan dilewati ternyata Presiden tidak mengambil
keputusan terhadap peraturan pajak daerah tersebut, maka
peraturan pajak daerah itu dianggap sebagai telah disahkan.
Ketentuan ini merupakan konsekuensi bagi pemerintah agar
pemerintah selalu merespon dengan tepat dan benar setiap
peraturan pajak daerah. Sebaliknya jika Presiden memberi
keputusan yang menyatakan tidak dapat menyetujui atas
peraturan pajak daerah yang diterima, hal tersebut harus
diberitahukan kepada pihak Pemerintah Daerah yang
bersangkutan dengan disertai alasan-alasan penolakan.
b. Periode UU No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah
Pada periode ini juga diberlakukan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 38).
Ketentuan yang digunakan sebagai dasar pedoman
berlakunya undang-undang ini adalah hasil evaluasi atau
penilaian terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran
Mustaqiem 201

Negara Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara


Nomor 2778) yang menunjukkan bahwa undang-undang
tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan yang dialami oleh bangsa Indonesia sehingga perlu
diganti. Pada awal berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, pengaturan Pajak dan Retribusi Daerah masih
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11/Drt/Tahun
1957 yang berlaku sampai dengan 1997, karena undang-
undang ini tidak termasuk dalam ketentuan UU No. 5 Tahun
1974. Pada Bab VII Penutup, Pasal 93 menetapkan bahwa pada
saat berlakunya undang-undang ini, tidak berlaku lagi (b):
“Segala ketentuan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai
dengan undang-undang ini yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan lain”. Selanjutnya Undang-Undang
Nomor 11/Drt/ Tahun 1957 baru dapat diganti pada tahun
1997 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 4)
yang berlaku mulai 1997 sampai dengan 1999. Pada masa
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Pajak
Daerah pengaturannya dengan Pasal 58 yang menetapkan:
1. Dengan undang-undang ditetapkan Ketentuan Pokok
Pajak dan Retribusi Daerah;
2. Dengan Peraturan Daerah ditetapkan pungutan Pajak
dan Retribusi Daerah;
3. Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) berlaku
sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang
menurut cara yang diatur dalam undang-undang yang
202 Pengaturan Bidang Perpajakan...

tidak boleh berlaku surut.


Pengertian Pajak Daerah menurut undang-undang ini,
adalah :
“Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang–undangan yang berlaku, hasil pemungutan
pajak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.”
Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 prinsip otonomi yang dipergunakan adalah otonomi
nyata dan bertanggungjawab, berbeda dengan prinsip
otonomi sebelumnya. Otonomi nyata adalah keleluasaan
Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan
di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan, serta
tumbuh, hidup dan berkembang di Daerah. Sedangkan yang
dimaksud otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak
dan kewenangan kepada Daerah. 184 Prinsip otonomi
sebelumnya adalah otonomi luas yaitu keleluasaan Daerah
untuk menyelesaikan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan (termasuk bidang
perpajakan daerah).
Maksud dan tujuan diberlakukannya UU No. 5 tahun
1974 adalah untuk menyeragamkan kedudukan Pemerintah
Daerah guna menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan.
Untuk kepentingan tersebut wilayah Indonesia dibagi atas
184
Muchsan, Kajian Yuridis Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial, Unisia No. 42/XXIII/I/2000, Yogyakarta, hlm. 355-356
Mustaqiem 203

daerah besar dan daerah kecil baik bersifat otonom maupun


administratif. Sistem penyelenggaraan pemerintahan
menurut undang-undang tersebut bukan hanya berpedoman
pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, tetapi juga asas
pembantuan. Desentralisasi menurut undang-undang
tersebut adalah penyerahan urusan pemerintahan dari
pemerintah atau daerah tingkat yang lebih tinggi kepada
daerah agar menjadi urusan rumah tangganya. Guna
merealisir asas desentralisasi, maka dibentuklah daerah
otonom yang meletakkan otonomi pada pada Daerah Tingkat
II. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu berhak, berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,
sumber pendapatan daerah otonom terdiri atas :
a) Pendapatan Asli Daerah Sendiri, terdiri atas :
1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil purusahaan daerah
4. Lain-lain hasil usaha daerah yang sah
b) Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah, yang
terdiri atas :
1. Sumbangan dari pemerintah
2. Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan
c) Lain-lain pendapatan yang sah.
204 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa daerah


memiliki pendapatan yang berasal dari Pajak Daerah
meskipun hal itu bukan merupakan satu-satunya, sebab
berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
suatu Pajak Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada
Daerah. Sampai tahun 1997 Pajak pusat yang diserahkan
kepada daerah masih seperti yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11/Drt/1957 tentang Peraturan Umum
Pajak Daerah. Selanjutnya, pada masa Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu :
1. Pajak Daerah Tingkat I, meliputi:
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
2. Pajak Daerah Tingkat II, meliputi :
a. Pajak Hotel dan Restoran
b. Pajak Hiburan
c. Pajak Reklame
d. Pajak Penerangan Jalan
e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian
Golongan C
f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan
Selain pajak-pajak daerah yang sudah ditetapkan oleh
Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah (bersifat
sentralistik), masih dapat ditetapkan juga jenis–jenis pajak
daerah yang lain (Pasal 2 ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 1997)
Mustaqiem 205

yang memenuhi kriteria sebagai berikut :


a. bersifat sebagai pajak bukan retribusi,
b. obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan
dengan kepentingan umum,
c. potensi memadai,
d. tidak memberikan dampak ekonomi yang negative,
e. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan
masyarakat,
f. menjaga kelestarian lingkungan.
Ketetapan Pasal 2 ayat (3) ini berlaku baik bagi Daerah
Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, hal ini berarti masing-
masing tingkatan memiliki kesempatan menambah pajak
daerah di luar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan tarif maksimal pajak daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 merupakan
kewenangan Pemerintah (sentralistik), tarif yang ditetapkan
sebagai berikut :
1. Pajak Kendaraan Bermotor sebesar 5%
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebesar 10%
3. Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor sebesar 5%
4. Pajak Hotel dan Restoran sebesar 10%
5. Pajak Hiburan sebesar 35%
6. Pajak Reklame sebesar 25%
7. Pajak Penerangan Jalan sebesar 0%
8. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian
Golongan C sebesar 20%
9. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
sebesar 20%
206 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Tujuan penetapan tarif tersebut adalah untuk memberi


perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang
terlalu membebani. Tarif yang paling rendah tidak
ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah
Daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif pajak yang
sesuai dengan kondisi masyarakat daerahnya, termasuk di
dalamnya untuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang
tidak mampu. Ketetapan ini menunjukkan bahwa
Pemerintah Pusat memiliki dominasi dalam menetapkan
macam pajak daerah dan tarif paling tinggi Pajak Daerah.
Kebijakan ini merupakan kebijakan yang bersifat sentralistik.
Sehubungan dengan penentuan objek (nama) dan tarif
maksimal Pajak Daerah menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat
tidak memberi keleluasaan bagi Pemerintah Daerah Tingkat I
maupun Tingkat II membuat kebijakan pengaturan perpajakan
daerah secara mandiri, sehingga pada masa ini tidak dikenal
adanya desentralisasi di bidang perpajakan daerah. Posisi
Pemerintah Daerah sekedar pelaksana teknis kebijakan
Pemerintah Pusat, meskipun dibuatkan Peraturan Daerah,
kebijakan tersebut dapat menghambat upaya Pemerintah
Daerah mencari pendapatan sebanyak-banyaknya guna
menopang pelaksanaan otonomi dan pembangunan daerah.
Landasan hukum penetapan tarif minimal bagi pajak
daerah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a) tarif
nomor 1, 2, dan 3 di seluruh Indonesia ditetapkan seragam
seluruh Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah
(kebijakan ini bersifat sentralistik), dan b). tarif pajak nomor 4,
5, 6, 7, 8, 9, ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
Mustaqiem 207

setempat ( kebijakan ini bersifat desentralistik). Kebijakan ini


akan menyebabkan perbedaan tarif antara Daerah Tingkat
II yang satu dengan lainnya.
Daerah otonom dalam melaksanakan desentralisasi
diberi hak membuat aturan hukum yang disebut Peraturan
Daerah. Akan tetapi Peraturan Daerah yang dipergunakan
untuk mengatur bidang perpajakan daerah seperti yang
ditetapkan oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1997 (hanya bersifat kebijakan tehnis) dengan ketentuan sebagai
berikut :
1. Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
2. Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur
pajak daerah tidak dapat berlaku surut;
3. Peraturan Daerah tentang pajak daerah sekurang-
kurangnya mengatur ketentuan mengenai :
a. nama, subjek, dan objek pajak;
b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c. wilayah pemungutan;
d. masa pajak;
e. penetapan;
f. tata cara pembayaran dan penagihan pajak;
g. kadaluwarsa;
h. sanksi administrasi;
i. tanggal mulai berlaku;
Selain itu, Pasal 4 ayat (4) menetapkan bahwa
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dapat mengatur
ketentuan mengenai : 1) Pemberian pengurangan,
keringanan dan pembebasan dalam hal tertentu atas pokok
208 Pengaturan Bidang Perpajakan...

pajak dan /atau sanksinya; 2) Tata cara penghapusan


piutang pajak kadaluwarsa; 3) Asas timbal balik.
Peraturan Daerah yang akan dipergunakan untuk
mengatur Pajak Daerah tidak begitu saja dapat langsung
diberlakukan tetapi lebih dahulu harus dimintakan
persetujuan Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan dari
Menteri Keuangan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat
pemungutan Pajak Daerah merupakan bagian dari sistem
perpajakan nasional yang memerlukan pembinaan yang
terus menerus dan terpadu. Setelah memperoleh
persetujuan Menteri Keuangan, selanjutnya Menteri Dalam
Negeri mengambil keputusan untuk mengesahkan atau
menolak mengesahkan atau meminta penyempurnaan
Peraturan Daerah yang diajukan. Langkah-langkah
keputusan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengambilan keputusan dilakukan dalam waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah
dimaksud. Jangka waktu 3 (tiga) bulan dapat diperpanjang
selama tiga bulan lagi dengan memberitahukan kepada
Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu
tiga bulan yang pertama berakhir. Apabila ketentuan waktu 6
(enam) bulan terlewati dan ternyata Menteri Dalam Negeri
tidak mengambil keputusan apapun, maka Peraturan Daerah
yang pernah diajukan dianggap telah disahkan sehingga dapat
diberlakukan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Jika Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah
disahkan dikemudian hari ditetapkan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka
Mustaqiem 209

Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri


Keuangan dapat membatalkan atau meminta penyempurnaan
Peraturan Daerah dimaksud, hal ini merupakan bentuk
pengawasan represif yang dilakukan oleh pemerintah.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dapat menetapkan Peraturan
Daerah, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Peraturan daerah atau keputusan kepala daerah tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah
yang lebih tinggi tingkatannya;
2. Peraturan daerah tidak boleh mengatur suatu hal yang
telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, atau
peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya;
3. Peraturan daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang
termasuk urusan rumah tangga daerah tingkat bawahannya.
Ketentuan pasal tersebut merupakan bentuk
pengawasan preventif yang dilakukan pemerintah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, tata cara pemungutan
pajak daerah menggunakan Official Assesment System, hal ini
didasarkan pada Pasal 7:
(1) Pajak dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah;
(2) Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut
dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah
atau dokumen lain yang dipersamakan.
210 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat


terhutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan :
1. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SDPKDP) : (a)
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain pajak yang terutang, tidak atau kurang dibayar, (b)
apabila Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak
disampaikan, (c) apabila kewajiban mengisi Surat
pemberitahuan Pajak Daerah tidak dipenuhi;
2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
apabila ditemukan data baru yang menambah jumlah
pajak, dan
3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil.
Bagi Wajib Pajak yang menerima SKPDKB angka 1
huruf a dan b dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
2% (dua persen) untuk satu bulan terhitung dari pajak
daerah yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung
sejak saat terhutangnya pajak. Sedangkan bagi wajib pajak
yang melanggar ketentuan angka 2 dikenakan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen)
dari jumlah kekurangan pajak daerah.
Upaya hukum bagi wajib pajak yang merasa dirugikan
dijamin oleh Undang-Undang ini dengan dua tahapan hak,
yaitu : (1) hak mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah
atau pejabat yang ditunjuk atas suatu Surat Ketetapan Pajak
Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Mustaqiem 211

Daerah Nihil, pemotongan atau pemungutan pajak oleh


pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah yang berlaku; dan (2) hak mengajukan
permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) terhadap keputusan mengenai
keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
c. Periode Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar
1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk
melaksanakan desentralisasi dengan cara menyelenggarakan
otonomi daerah. Penyelenggaraan Otonomi Daerah perlu
lebih ditekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah. Selain itu,
penyelenggaraan otonomi daerah akan memberikan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada
daerah secara proposional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sehubungan dengan uraian di atas, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974, Nomor 38, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3037) kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Menurut undang-undang ini, wilayah Indonesia di
bagi menjadi dua tingkatan, yaitu (1) Daerah Propinsi, (2)
Daerah Kabupaten/Kota bersifat otonom.
212 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun


1999, maka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Dasar pertimbangan diadakan pergantian ini adalah
karena menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan dengan
cara memberikan kewenangan lebih luas, nyata, dan
bertanggungjawab kepada daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penyebutan
Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengalami perubahan
menjadi Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/
Kota. Demikian juga yang menyangkut kebijakan (policy)
penempatan Pajak Daerah mengalami perubahan jika
dibandingkan dengan yang diatur oleh undang-undang
sebelumnya. Menurut undang-undang sebelumnya,
Pemerintah Daerah Tingkat I hanya memiliki tiga macam Pajak
Daerah, tetapi berdasar Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999,
Pemerintah Propinsi mendapat tambahan satu macam Pajak
Daerah, sehingga menjadi empat macam Pajak Daerah. Pajak
Daerah yang ditambahkan kepada Pemerintah Propinsi ialah
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan yang berasal dari Daerah Tingkat II, kemudian
kepada Daerah Tingkat II diberi pajak parkir sebagai
pengganti. Perlu diketahui bahwa Pajak Parkir tidak sama
dengan Retribusi Parkir.
Mustaqiem 213

Daerah otonom adalah daerah yang mengatur dan


mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
undang-undang ini daerah diberikan status sebagai daerah
otonom, maka dalam undang-undang ini juga ditetapkan
sumber-sumber pendapatan bagi daerah. Sumber-sumber
pendapatan daerah menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, Pasal 79 terdiri atas :
1. Pendapatan Asli Daerah, meliputi :
a. hasil pajak daerah;
b. hasil retribusi daerah;
c. hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
2. Dana perimbangan;
3. Pinjaman daerah, dan
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Berdasar Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah , ditetapkan bahwa dana
perimbangan yang diperoleh daerah terdiri atas : (a) Bagian
daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan
dari sumber daya alam; (b) Dana Alokasi Umum, dan (c)
Dana Alokasi Khusus.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
membedakan pajak daerah sebagai pendapatan asli daerah
214 Pengaturan Bidang Perpajakan...

yang berasal dari hasil pajak daerah menjadi dua yaitu


Pajak Daerah Propinsi ( Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di atas air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan); dan Pajak Daerah
Kabupaten/Kota ( Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir).
Penentuan pajak–pajak ini sesuai dengan Pasal 82 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menetapkan:
“Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-
undang”. Guna merealisir ketetapan ini diperlukan
dukungan dari Pasal 82 ayat (2) yang menetapkan bahwa:
“Penentuan tarif dan tata cara pemungutan Pajak dan
Retribusi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Tarif pajak daerah
yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh melebihi tarif
maksimal yang ditentukan oleh Pemerintah, sebab berdasar
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 3 ayat (1)
ditetapkan bahwa : “tarif jenis pajak sebagaimana dimaksud
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Pajak Daerah Propinsi dan
Kabupaten / Kota ditetapkan paling tinggi…”
Ketetapan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah tersebut menunjukkan bahwa terjadinya perubahan
peraturan perundang-undangan Pemerintahan Daerah (dari
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 ke Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999) tidak berpengaruh terhadap kebijakan
Mustaqiem 215

Pemerintah dalam bidang perpajakan daerah, sebab


Pemerintah tetap sebagai pihak yang menentukan nama
(objek) Pajak Daerah (kebijakannya bersifat sentralistik). Demikian
pula tarif Pajak Daerah paling tinggi prosentasenya
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan ketetapan prosentase
tarif pajak tertinggi masih seperti yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 (kebijakannya bersifat
sentralistik). Dasar hukum pengaturan tarif maksimal pajak
daerah dibedakan menjadi dua yaitu tarif pajak daerah
Propinsi yang diatur dengan Peraturan Pemerintah dan
ketentuan tarif pajak daerah Kabupaten/Kota yang diatur
dengan Peraturan Daerah. Meskipun tarif maksimal pajak
daerah yang menetapkan adalah Pemerintah berdasarkan
undang-undang, kebijakan ini menunjukkan bahwa
Pemerintah tetap memiliki dominasi terhadap pengaturan
bidang perpajakan Daerah, sehingga daerah tidak memiliki
keleluasaan mengatur.
Guna mendukung Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, maka diberlakukanlah Pasal 4
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang menetapkan :
1. Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
2. Peraturan Daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut;
3. Peraturan Daerah tentang pajak sekurang-kurangnya
mengatur ketentuan mengenai : a) nama, objek, dan subjek
pajak; b) dasar pengenaan, tarif,dan cara penghitungan
pajak; c) wilayah pemungutan; d) penetapan; e) tata cara
pembayaran dan penagihan; f) kadaluwarsa; g) sanksi
administrasi, dan h) tanggal mulai berlakunya.
216 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Ketentuan lain menetapkan bahwa Peraturan Daerah


yang dipergunakan untuk mengatur pajak boleh juga
memuat tentang :
1. pemberian pengurangan, keringanan, pembebasan hal
hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
2. tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa;
3. asas timbal balik.
Selain pajak-pajak tersebut, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (4)
dimungkinkan bagi Kabupaten atau Kota menetapkan jenis
Pajak Daerah yang lain dan landasan hukumnya cukup
berdasarkan Peraturan Daerah, tetapi harus memenuhi
kriteria sebagai berikut : a) Harus bersifat pajak bukan
retribusi; b) Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah
daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan
mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya
melayani masyarakat di wilayah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan; c) Objek dan dasar pemungutan pajak tidak
bertentangan dengan kepentingan umum; d) Objek pajak
bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau objek
pajak pusat; e) Potensi memadai; f) Tidak memberikan
dampak ekonomi yang negatif; g) Memperhatikan dampak
ekonomi yang negatif; h) Memperhatikan aspek keadilan
dan kemampuan masyarakat;
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini dapat dipergunakan untuk
mewujudkan desentralisasi bidang perpajakan daerah, seperti
yang pernah ada pada masa Undang-Undang Nomor 11/Drt/
1957 meskipun diikuti dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Mustaqiem 217

Selanjutnya dalam hal pengawasan terhadap


pengaturan bidang perpajakan Daerah tidak boleh
meninggalkan hubungan antara Pemerintah Daerah dengan
Pusat. Hal tersebut diatur oleh Pasal 5A Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa Peraturan
Daerah yang mengatur dan menetapkan jenis pajak
Kabupaten/Kota harus disampaikan kepada Pemerintah
paling lama 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. Jika
penilaian terhadap Peraturan Daerah yang disampaikan
tersebut hasilnya menunjukkan bahwa substansi Peraturan
Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka
Pemerintah dapat membatalkan peraturan yang dimaksud
(bersifat represief). Pembatalan harus dilakukan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan dihitung sejak saat diterimanya
Peraturan Daerah dimaksud.
Dalam hal pengawasan yang menjadi tugas kewajiban
Pemerintah terhadap produk Peraturan Daerah di bidang
perpajakan ternyata lebih tegas dibandingkan dengan
sistem pengawasan yang berdasar peraturan perundang-
undangan Pajak dan Retribusi Daerah sebelumnya. Sebab
menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dalam
melakukan pengawasan Pemerintah harus memberikan
keputusan terhadap Peraturan Daerah yang mengatur
bidang perpajakan yang diterima, apakah keputusannya
membatalkan atau tidak membatalkan.
Pemerintah Propinsi atau Kabupaten/Kota meskipun
sudah mendapatkan jatah beberapa macam Pajak Daerah
218 Pengaturan Bidang Perpajakan...

dan sudah menjadi tanggungjawabnya, tetapi hasil


pemungutannya tidak semua diperuntukkan baginya. Sebab
hasil pajak Propinsi akan dibagikan juga kepada
Kabupaten/Kota, demikian pula hasil pajak Kabupaten/
Kota, sebagian hasilnya akan dibagikan kepada Pemerintah
Desa. Mengenai penerimaan pajak Kabupaten/Kota yang
diserahkan kepada Pemerintah Desa di wilayahnya paling
sedikit 10 % (sepuluh persen).
Adapun pembagian hasil Pajak Daerah yang berasal dari
Propinsi yang diperuntukkan bagi Kabupaten/Kota terdiri
atas: (1) Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air; (2) Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Hasil pajak tersebut
yang paling sedikit diserahkan kepada Kabupaten / Kota
sebesar 30% (tiga puluh persen); (3) Penerimaan Pajak Bahan
Bakar Kendaran Bermotor, paling sedikit diserahkan kepada
Kabupaten / Kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); (4) Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan, diserahkan kepada Kabupaten/Kota paling
sedikit 70% (tujuh puluh persen).
d. Periode Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober 2004 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah telah dicabut
berlakunya dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 125). Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 239 menetapkan: “Pada
saat berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang
Mustaqiem 219

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


dinyatakan tidak berlaku”. Latar belakang pencabutan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 karena undang-undang
ini tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi
daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Selain itu, dalam undang-
undang ini dijelaskan juga tentang desentralisasi. Pengertian
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Konsekuensi daerah otonom
ialah harus memiliki sumber pendapatan daerah yang
dipergunakan untuk mendukung tugas dan kewenangan yang
dimiliki. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
Pasal 157, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas :
a) Pendapatan Asli Daerah, meliputi :
1. hasil pajak daerah;
2. hasil retribusi daerah;
3. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan;
4. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
b) dana perimbangan;
c) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
Ketentuan mengenai sumber-sumber pendapatan
daerah dimuat pula dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 ayat
220 Pengaturan Bidang Perpajakan...

(1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang


Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah. Pajak
Daerah yang merupakan bagian dari pendapatan asli daerah
pengaturannya berdasarkan Pasal 158 yaitu :
(1) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan
undang-undang yang pelaksanaannya di daerah diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
(2) Pemerintah Daerah dilarang melakukan pemungutan
atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan
dengan undang-undang”.
Pengaturan bidang perpajakan daerah berdasarkan
Pasal 158 ternyata bersifat sentralistik, hal ini terjadi karena
menurut Pasal 10 ayat (1): “Pemerintah daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah”.
Menurut ayat (3): “Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah meliputi : (a) Politik luar negeri, (b)
Pertahanan; (c) Keamanan; (d) Yustisi; (e) Moneter dan fiskal
nasional, dan (f) agama.
Selain pengaturannya bersifat sentralistik, secara umum
Pemerintah Pusat melakukan pencegahan dengan cara
preventif maupun represif. Ketentuan ini berdasarkan pada
Pasal 136 ayat (4) : “Peraturan Daerah dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”; dan Pasal 145 ayat (2):
“Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”.
Mustaqiem 221

Pencegahan yang bersifat preventif dan represif tersebut


dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah
Daerah, Pasal 7 menetapkan bahwa dalam upaya
meningkatkan pendapatan asli Daerah, Daerah dilarang: (1)
menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan (2) menetapkan
Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah,
dan kegiatan impor/ekspor.
Saat berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
belum secara otomatis diikuti perubahan Undang-Undang
Pajak dan Retribusi Daerah seperti yang pernah terjadi
sebelumnya. Pada masa ini pengaturan Pajak dan Retribusi
Daerah masih tetap berpedoman pada Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000. Hal ini didasarkan pada Pasal 238
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
menetapkan : “Semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum
diganti dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku”.
Perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah
berlangsung ribuan tahun yang lalu. Tetapi harus diakui
bahwa dalam perjalanan sejarah negara Indonesia telah
menampakkan dimensi-dimensi sejarah yang pada
akhirnya mempunyai suatu bentuk persatuan dan kesatuan
seperti apa adanya sekarang. Meskipun kita katakan
melalui suatu proses dinamis yang sesuai dengan jiwa
222 Pengaturan Bidang Perpajakan...

jamannya.185 Sejalan dengan proses dinamis sesuai dengan


jiwa jamannya itu, maka secara umum perjalanan sejarah
negara Indonesia dapat dibagi dalam 3 (tiga) babakan, yaitu
1) Nusantara, 2) Hindia Belanda dan, 3) Republik Indonesia.
Republik Indonesia adalah suatu negara yang
merupakan sebuah organ. Organ ini telah mengalami
beberapa kali perubahan dari bentuk kesatuan berubah
menjadi bentuk federalis, dan kembali lagi ke bentuk
kesatuan pada 5 Juli 1959. Negara merupakan sebuah or-
gan secara yuridis konstitusional terdiri dari rakyat, wilayah
dan pemerintahan yang ketiganya tidak dapat dipisah-
pisahkan. Meskipun sejak 17 Agustus 1950 negara Republik
Indonesia kembali berbentuk kesatuan, namun Undang-
Undang Dasar 1945 tidak dapat digunakan untuk menata
negara kesatuan yang “baru” ini. Hal itu disebabkan karena
adanya kesepakatan di dalam bentuk kabinet yang akan
digunakan untuk menjalankan pemerintahan negara. Sistem
kabinet pada negara kesatuan yang “baru” ini adalah sistem
Kabinet Parlementer, sedangkan sebagaimana yang kita
ketahui Undang-Undang Dasar 1945 adalah mengggunakan
sistem Kabinet Presidensiil.
Supaya negara kesatuan yang “baru” ini bisa ditata
berdasar kesepakatan elit politik pada waktu itu selanjutnya
diciptakanlah sebuah Undang-Undang Dasar baru dan
Undang-Undang Dasar baru dimaksud dikenal dengan
nama Undang Undang Dasar Sementara tahun 1950. Undang

185
Anhar Gonggong, Amandemen Konstitusi, Otonomi Daerah, Dan
Federalisme, Media Pressindo, Jogyakarta, 2001, hlm. 1
Mustaqiem 223

Undang Dasar ini mengandung pasal-pasal yang


menampakkan sistem Kabinet Parlementer atau demokrasi
liberal.186 Pada masa UUD-Sementera 1950 ini lahir Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pokok
Pemerintahan Daerah, yang sebenarnya memutuskan
pelimpahan kewenangan dengan sungguh-sungguh atau
nyata kepada Pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya
bidang perpajakan daerah. Bidang ini diatur dengan Pasal
56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang menetapkan:
“Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”.
Ketetapan tersebut menunjukkan adanya keleluasaan
Daerah mengadakan, menambah, meniadakan Pajak Daerah
( pengaturannya bersifat desentralistik). Pajak Daerah menurut
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah Pajak
Asli Daerah, sebab ada beberapa Pajak Pusat yang
diserahkan kepada Daerah. Pasal tersebut juga
menunjukkan bahwa “hadirnya” Pajak Daerah bukan atas
dasar keputusan Pemerintah Pusat, melainkan atas dasar
inisiatif Pemerintah Daerah sendiri. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka pada masa itu dapat disebut juga sebagai
masa desentralisasi Pajak Daerah yang nyata (riil). Semua itu
tidak lepas dari ketentuan Pasal 131 UUD-Sementara 1950
yang menetapkan: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri (autonomi)...”. Undang-Undang Dasar Sementara 1950
memiliki sifat sementara, sebab di dalam Undang-Undang
186
Ibid., hlm. 35
224 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Dasar tersebut terdapat Pasal 134 yang menetapkan bahwa


“Konstituante (yang membuat Undang Undang Dasar)
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang
akan menggantikan UUD-Sementara.187 Kenyataannya,
Konstituante tidak dapat membuat Undang-Undang Dasar
sehingga terbitlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai dasar
hukum kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
pembagian daerah Indonesia atas besar dan kecil dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang. Untuk merealisir kehendak pasal tersebut
pada tahun 1974 diberlakukan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Lahirnya Undang-Undang ini dapat dikatakan sebagai proses
awal (yuridis-formal) kembalinya semangat sentralisasi.188 Sebab
dalam undang-undang ini disebutkan “...sesuai dengan sifat
Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan
Pemerintah Daerah sejauh mungkin diseragamkan”. Hal ini
berdampak terhadap pengaturan pajak daerah yang tidak
lagi menggunakan sistem riil, tetapi beralih menggunakan
sistem materiil. Menurut sistem itu, urusan pemerintahan
menjadi wewenang dan kewajiban daerah untuk diatur dan
diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri berdasarkan
pada aspek penyerahan baik dari Pemerintah Pusat maupun

187
Ibid., hlm. 59
188
Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara (Kajian kritis atas kebijakan
otonomi daerah), Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2000, hlm. 43
Mustaqiem 225

Daerah tingkat yang lebih atas. Berdasarkan uraian tersebut


serta dihubungkan dengan substansi Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 menunjukkan bahwa pengaturan
bidang Perpajakan Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat memiliki sifat penyerahan kepada Pemerintah Daerah.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang
menetapkan jenis pajak daerah Daerah Tingkat I dan Tingkat
II, sehingga hal ini menunjukkan bahwa pengaturan bidang
perpajakan daerah bersifat sentralistik, karena Pemerintah
Pusat yang menetapkan nama objek pajak daerah (nama-
nama pajak daerah) dan batas maksimal presentase tarif
pajak daerah.
Berdasarkan ketetapan seperti itu, maka Pemerintah
Daerah hanya terbatas sebagai pihak pelaksana teknis
meskipun harus membuat Peraturan Daerah. Hal ini terjadi
karena tidak lepas dari arah politik hukum Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 yang tidak memberikan otonomi
seluas-luasnya kepada daerah, tetapi hanya memberikan
otonomi nyata dan bertanggung jawab. Berlakunya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 sampai dengan tahun 1999,
karena mulai tahun 1999 diberlakukan peraturan perundang-
undangan yang baru ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disesuiakan dengan
amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa ini juga
diundangkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
226 Pengaturan Bidang Perpajakan...

Substansi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000


dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 berbeda.
Letak perbedaanya adalah Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000 dalam mengatur bidang perpajakan daerah
menggunakan dua sifat, ialah : 1) sifat sentralistik ( penetapan
objek pajak atau nama–nama pajak dan penetapan
maksimal presentase tarif pajak daerah), dan 2) sifat
desentralistik (dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis
pajak daerah Kabupaten/Kota selain yang ditetapkan dalam
Pasal 2 ayat 2 ). Ketentuan tersebut memberikan kesempatan
bagi Kabupaten/Kota meningkatkan pendapatan asli daerah
dengan menciptakan landasan hukum pemungutan pajak
daerah berdasarkan inisiatif daerah. Tentu saja pengaturan
tersebut tidak lepas dari pengetrapan sistem desentralisasi
yang merupakan suatu delegasi tanggung-jawab, yaitu suatu
penyerahan (diffusion) kekuasaan dan kewenangan untuk
membuat keputusan-keputusan.189 Sebelumnya pengaturan
bidang perpajakan daerah menurut Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 bersifat sentralistik (Pemerintah sebagai pihak
yang menetapkan objek (nama) pajak daerah dan tarif
maksimal pajak daerah).
Pengaturan bidang perpajakan daerah menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
pengaturannya tetap bersifat sentralistik dan bersifat desentralistik,
karena Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap

189
KJ. Davey, op. cit., hlm. 181
Mustaqiem 227

berlaku. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa


kebijakan pengaturan bidang perpajakan daerah masih tetap
berada di pihak Pemerintah, sedang pihak daerah posisinya
sebatas sebagai penerima dan pelaksana kebijakan yang telah
ditetapan oleh pemerintah. Kebiasaan tersebut menghasilkan
produk hukum seperti yang dinyatakan oleh Moh. Mahfud,
bahwa: “Karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi
oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya konfigurasi
politik tertentu ternyata selalu melahirkan produk hukum
tertentu pula. 190 Pendapat Moh. Mahfud dapat
dipergunakan untuk membaca pengaturan bidang
Perpajakan Daerah selama ini, hal tersebut dapat diketahui
melalui tabel 5 sebagai berikut :

Tabel 5
Macam Pengaturan Bidang
Perpajakan Daerah Dalam Sistem Hukum Pajak
Indonesia.
1957 - 2004
UU Pajak Pengaturan Pajak Pengaturan
No
Daerah Daerah Daerah
1 UU No.11/1957 DPRD berhak mengadakan pajak Otonomi seluas-
dan retribusi daerah (pengaturan luasnya.
bidang perpajakan daerah
bersifat desentralistik).

190
Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 376
228 Pengaturan Bidang Perpajakan...

2 UU No.18/1997 Pajak dan Retribusi Daerah Otonomi nyata, dan


ditetapkan Pemerintah bertanggungjawab
(pengaturan bidang perpajakan (UU No. 5 Tahun
daerah bersifat sentralistik). 1974).
Dengan PP dapat ditetapkan jenis
pajak selain yang sudah
ditetapkan (pengaturannya
bersifat sentralistik).
3 UU No.34/2000 Pajak dan Retribusi Daerah Otonomi luas,
ditetapkan Pemerintah (pe nyata dan
ngaturan bidang perpajakan bertanggungjawab
daerah bersifat sentralistik) (UU No. 22 Tahun
Pemda (Kab./Kota) berhak 1999)
menetapkan pajak daerah di luar
yang sudah ditetapkan
Pemerintah (pengaturan bidang
perpajakan daerah bersifat
desentralistik).
4 UU No.34/2000 Pajak dan Retribusi Daerah Otonomi seluas-
ditetapkan pemerintah luasnya (UU No.
(pengaturan bidang 32 Tahun 2004)
perpajakan daerah bersifat
sentralistik) Pemda
(Kab./Kota) berhak menetapkan
pajak daerah di luar yang sudah
ditetapkan pemerintah
(pengaturan bidang
perpajakan daerah bersifat
desentralistik).

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulanya adalah


bahwa pengaturan bidang perpajakan daerah dalam sistem
hukum pajak Indonesia selama ini dapat dibedakan
menjadi tiga sistem, ialah : 1) sistem desentralisasi, 2) sistem
sentralisasi, dan 3) sistem campuran (sentralisasi dan
desentralisasi).
PRODUK HUKUM PAJAK
BAB DAERAH DALAM SISTEM
III HUKUM PAJAK
INDONESIA

1. Hukum Pajak
Pengertian hukum pada dasarnya dapat ditafsirkan
secara terbatas, ialah sebagai keputusan penguasa.191 Begitu
juga hukum pajak merupakan keputusan penguasa. Di
Indonesia hal tersebut didasarkan atas Pasal 23 A Undang
Undang Dasar 1945: “Segala pajak dan pungutan lain yang
sifatnya memaksa harus berdasarkan undang-undang”.
Hukum pajak merupakan lapangan hukum yang masih
sangat tidak populer, namun demikian beberepa sarjana
menganggap hukum pajak merupakan suatu cabang ilmu
pengetahuan sendiri yang akhir-akhir ini maju pesat,
sebagai obyek studi ilmu hukum pajak atau hukum fiskal.192
Kusumadi Pudjosewojo, 193 dalam bukunya Pedoman
Pengantar Tata Hukum Indonesia mengatakan bahwa

191
Yudha Bangkit Ardhiwisastra, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum,
Alumni, Bandung, 2000, hlm. 6
192
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. iii
193
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia,
Universsitas, Bandung, 1961, hlm. 177
230 Produk Hukum Pajak...

“Nama lain Hukum Pajak adalah Hukum Fiskal”. Hal itu


dikuatkan oleh Sindian Isa Djajadiningrat dalam pidatonya,
dia menyatakan bahwa “Hukum Pajak harus berdekatan
dengan keadilan” dan dia juga menyebut istilah “Hukum
Pajak” adalah sama dengan “Hukum Fiskal”.
Rochmat Soemitro menyatakan bahwa hukum pajak
ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan
antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat
sebagai pembayar pajak. Hukum pajak menerangkan : siapa
wajib pajak (subyek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka
terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, obyek-obyek apa
yang dikenakan pemerintah, cara penagihan, cara
pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.194
Pihak yang menjadi subyek pajak adalah orang pribadi
dan badan, keduanya ini harus menuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan pajak. Semisal subyek pajak harus
memiliki penghasilan kena pajak (Pajak Penghasilan),
memiliki tanah dan/atau bangunan (Pajak Bumi dan
Bangunan), memiliki dan/atau menguasai Kendaraan
Bermotor atau Kendaraan di atas Air (Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan Diatas Air). Ketika orang pribadi
dan/atau badan yang sudah berstatus sebagai subyek pajak,
maka melekat pada dirinya kewajiban membayar pajak
sesuai waktu yang ditetapkan. Kewajiban itu juga sangat
tergantung dari obyek pajak yang dimiliki oleh wajib pajak.
Objek yang dikenakan pajak adalah sangat beragam,
baik yang termasuk pajak pusat maupun pajak daerah

194
Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 24-25
Mustaqiem 231

(misalnya adalah Pajak Penghasilan obyeknya penghasilan;


Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa obyeknya
penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean
yang dilakukan oleh pengusaha, impor barang kena pajak,
penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena pajak
tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean, pemanfaatan jasa kena pajak dari daerah pabean di
dalam daerah pabean, ekspor barang kena pajak oleh
pengusaha kena pajak; Pajak Bumi dan Bangunan obyeknya
bumi dan/atau bangunan; Pajak Kendaraan Bermotor obyeknya
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor)
Cara pemungutan pajak dapat dilakukan pada awal tahun
pajak, akhir tahun pajak, maupun pada setiap saat. Selanjutnya
bagi subyek pajak yang merasa dirugikan dapat melakukan
upaya hukum dengan cara mengajukan keberatan kepada
Direktur Jendral Pajak. Selain memiliki hak mengajukan
keberatan, subyek pajak masih memiliki upaya hukum lain
yaitu mengajukan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak
maupun Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Di bidang perpajakan daerah dikenal juga hak Wajib Pajak
untuk mengajukan keberatan dan banding. Hal ini diatur dalam
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
1 Tahun 2002, Pasal 45 ayat (1) : “ Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk atas
“suatu” Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Ketetapan Pajak Daerah
Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT), Surat Ketetapan Pajak
232 Produk Hukum Pajak...

Daerah Lebih Bayar (SKPDLB), maupun Surat Ketetapan Pajak


Daerah Nihil (SKPDN).
Jika Wajib Pajak belum dapat menerima keputusan
dari Gubenur atas keberatan yang diajukan, Wajib Pajak
masih boleh menggunakan hak mengajukan banding, hal
ini diatur dalam Pasal 46 ayat (1) ;” Wajib Pajak dapat
mengajukan banding kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP)”. Badan inilah yang oleh Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 diganti dengan Pengadilan Pajak.
Banyak pendapat tentang definisi hukum pajak, salah satu
yang relatif komprehensif adalah yang diungkapkan oleh
Santoso Brotodiharjo yang menyatakan bahwa Hukum Pajak
disebut juga Hukum Fiskal,195 secara lengkapnya adalah :
“Keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan
seseorang dan menyerahkannya kembali kepada
masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia
merupakan bagian dari Hukum Publik yang mengatur
hubungan–hubungan hukum antara Negara dan orang-
orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak)”
Kedua pendapat tentang hukum pajak tersebut pada
dasarnya tidak ada perbedaan, sebab keduanya berpendapat
bahwa dalam kebijakan pemungutan pajak akan selalu muncul
pemaknaan saling berhadapan antara dua pihak yaitu
pemungut pajak (fiscus) dan masyarakat (wajib pajak) yang
diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan. Hal itu
selaras dengan kewjiban pajak subyektif yang dimungkinkan

195
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 1
Mustaqiem 233

Wajib Pajak berstatus sebagai orang pribadi maupun badan.


Pengertian tersebut dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (1):
Wajib Pajak adalah Orang atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditetapkan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut/
pemotong pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (2) Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha, meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
daerah, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
Ditambah lagi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (1) yang
menetapkan bahwa Subyek Pajak Penghasilan adalah orang
pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak, badan, bentuk usaha tetap.
Pengertian Bentuk Usaha Tetap menurut Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (5) adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
234 Produk Hukum Pajak...

bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia


tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat tinggal di Indonesia dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia (maksudnya badan yang didirikan
dan berada di luar wilayah Indonesia) untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang berupa
tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor
perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan
dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
dipergunakan untuk eksplorasi pertambangan, perikanan,
peternakan, perkebunan, kehutanan, proyek konstruksi,
instalasi, atau proyek perakitan pemberian jasa dalam bentuk
apapun oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan; orang atau badan yang bertindak selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari
perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.
Suatu bentuk usaha tetap juga mengandung pengertian
adanya suatu tempat usaha (place of business), yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin
dan peralatan. Tempat usaha tetap ini bersifat permanent dan
digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi
Mustaqiem 235

atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas


yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau
badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau
badan dalam menjalankan usahanya atau melakukan kegiatan
di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, kecuali agen atau perantara
tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam
rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Term “tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal di
Indonesia” mengandung pengertian bahwa badan yang
didirikan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan
di Indonesia atau suatu badan yang didirikan dan bertempat
tinggal di wilayah negara asing dan tempat kedudukan badan
tersebut tetap di negara yang bersangkutan. Contohnya, Subjek
Pajak Penghasilan terdiri atas Subjek Pajak dalam negeri dan
Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri adalah
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, atau
orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, badan
yang didirikan atau bertempat tinggal di Indonesia, warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
236 Produk Hukum Pajak...

Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak


bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan
yang tidak didirikan di Indonesia dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pembedaan antara kedua Subjek Pajak tersebut bukan
disebabkan oleh perbedaan status kewarganegaraan, karena
pada suatu saat warga negara Indonesia dapat menjadi
Subjek Pajak Dalam Negeri dan dapat berubah sebagai
Subjek Pajak Luar Negeri, demikian pula sebaliknya
asalkan semuanya memenuhi kriteria yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain alasan
tersebut, perbedaan status antara Wajib Pajak dalam negeri
dan Wajib Pajak luar negeri dapat didasarkan pada asas
pemungutan pajak yang dianut Indonesia, yaitu 1) Asas
domisili, dan 2) Asas sumber.
Berdasarkan uraian tentang subjek pajak, pada dasarnya
subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) subyek
pajak yang bersifat umum, (2) subjek pajak yang bersifat
khusus. Subjek pajak yang bersifat umum diatur dengan
Undang- Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, sedangkan subjek pajak yang bersifat khusus
(disebut sebagai wajib pajak) diatur oleh masing-masing
Undang-Undang yang bersangkutan, semisal UU Pajak
Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa,
dan Pajak Atas Barang Mewah, UU Pajak Bumi dan Bangunan,
demikian juga yang berkaitan dengan pajak-pajak daerah.
Mustaqiem 237

Meskipun uraian sebelumnya menjelaskan adanya


Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri,
tetapi dalam hal pajak daerah tidak dikenal adanya
perbedaan status tersebut. Sebab pajak daerah bisa dikenakan
kepada semua wajib pajak. Seperti ketetapan dalam Peraturan
Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 1 :
a) ayat (10) :
“Pajak Kendaraan Bermotor, adalah pajak yang dipungut
atas pemilikan dan/atau penguasan kendaraan bermotor.
b) ayat (11) :
“Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, adalah pajak
yang dipungut oleh Daerah atas setiap penyerahan
kendaraan bermotor dalam hak milik,
c) ayat (20) :
“Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, ialah pajak atas
bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan
untuk kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air.
d) ayat (21) :
“Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah
dan air permukaan, adalah pungutan daerah atas
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Ketentuan–ketentuan tersebut menunjukkan bahwa
Wajib Pajak pajak daerah terdiri Wajib Pajak Dalam Negeri
maupun Wajib Pajak Luar Negeri, karena kedua wajib pajak
tersebut bisa memiliki kendaraan bermotor, menyerahkan
kendaraan bermotor kepada pihak lain, membeli bahan
bakar kendaraan bermotor, maupun memanfaatkan air di
permukaan maupun di bawah tanah.
238 Produk Hukum Pajak...

A. Syarat Pembuatan Hukum Pajak


Sejarah pemungutan pajak pada umumnya secara
singkat dapat diawali pada jaman purbakala.196 Pada jaman
itu orang menganggap sangat bijaksana dan berbudi luhur
untuk secara sukarela turut serta memelihara kelangsungan
kehidupan negaranya, seperti halnya dengan pikiran rakyat
dari Negara Yunani purba. Pandangan seperti ini dianggap
sebagai pandangan yang baik sampai pada abad
pertengahan yaitu antara tahun 476 Masehi tahun jatuhnya
kerajaan Romawi Barat dan tahun 1492 yaitu tahun
diketemukannya benua Amerika, sehingga pungutan pajak
secara paksa belum dikenal. Pengeluaran-pengeluaran para
raja pada waktu itu dibiayai dengan penghasilan dan
kekayaan pribadi, bahkan pengeluaran-pengeluaran bagi
keperluan negarapun ditutup dengan penghasilan dan
kekayaan pribadi para raja. Hanya dalam keadaan yang
sangat mendesak sekali apabila pengeluaran-pengeluaran
akan melebihi pendapatan pribadi raja, baru kemudian raja
menyampaikan permintaan kepada rakyat akan sumbangan
berupa barang atau uang. Permintaan raja seperti itu dalam
bahasa Belanda disebut “Bede”. Lambat laun sifat
permintaan itu berubah menjadi suatu paksaan.
Proses sifat paksaan tersebut dimulai setelah kerajaan-
kerajaan memperluas wilayahnya dengan cara menundukkan
suku-suku bangsa lain, karena rakyat yang berada di bawah
kekuasaannya tanpa adanya paksaan tidak akan memberikan
sumbangan untuk memelihara berlangsungnya negara.
196
Soedargo, op. cit., hlm. 2
Mustaqiem 239

Pelaksanaan pemungutan pajak pada waktu itu


diserahkan kepada alat-alat bersenjata yang pada saat
tertentu mendatangi pasar-pasar atau menghadang
pedagang-pedagang di persimpangan jalan untuk meminta
sebagian harta kekayaannya bagi keperluan pemeliharaan
negara. Pemungutan pajak secara sewenang-wenang
tersebut dalam jaman modern sekarang sudah tidak pada
tempatnya. Jaman sekarang pelaksanaan pemungutan pajak
harus didasarkan pada asas-asas dan norma-norma hukum,
dan dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal seperti :
1. Keadilan dalam arti bahwa pungutan itu harus bersifat
umum, merata dan menurut kekuatan;
2. Ekonomis dapat diterima, yakni pungutan itu tidak akan
merusak sumber-sumber kemakmuran rakyat;
3. Dapat mencapai tujuannya, dalam arti pungutan itu
jangan sampai mengakibatkan adanya kemungkinan
penyelundupan atau pengurangan hasil karena tarifnya
terlalu tinggi.
Hukum pajak dalam kebijakan di bidang perpajakan
harus mengabdi kepada keadilan. Keadilan inilah yang kita
namakan asas pemungutan pajak yang termasuk dalam
lapangan filsafat hukum (Rechtsfilosofisch) di sampaing asas-
asas lainnya seperti yuridis, ekonomis, dan finansiil.197 Lepas
dari kenyataan bahwa pada proses pembuatan peraturan
perundang-undangan pajak harus selalu memegang teguh
asas keadilan sering kali juga dipersoalkan, yaitu apakah
pemungutan pajak yang dilakukan oleh suatu negara

197
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 10
240 Produk Hukum Pajak...

berdasarkan atas keadilan. Dari abad ke abad selalu timbul


pertanyaan di dalam benak banyak orang, apa dasar hukum
kewajiban membayar pajak? Istilah lainnya adalah atas dasar
apa negara seakan-akan memberi hak kepada diri sendiri
untuk membebani rakyat dengan sebutan pajak.
Sesuai dengan tujuan hukum, kebanyakan sarjana
menganggap bahwa tujuan hukum pajak adalah membuat
adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak. 198
Persoalan keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh,
baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya,
maupun prakteknya sehari-hari, inilah sendi pokok yang
harus diperhatikan baik-baik oleh setiap negara dalam
melancarkan usahanya melakukan pemungutan pajak.
Dengan demikian, syarat mutlak bagi pembuat undang-
undang pajak merupakan juga syarat mutlak bagi aparatur
setiap pemerintah yang berkewajiban melaksanakan, hal
tersebut merupakan pertimbangan-pertimbangan dan
perbuatan-perbuatan yang adil pula.199
Sebaliknya menurut sejarah, pemungutan pajak tidak
selalu mengabdi kepada keadilan. Seperti pada jaman para
raja, ada suatu pemungutan pajak yang tidak terbatas tetapi
tetap dirasakan adil pada waktu itu, tetapi pada saat
sekarang ini tidak demikian karena pemungutan pajak
didasarkan pada peraturan perundang-undangan agar
dapat mencerminkan rasa keadilan. Contoh lainnya, pada
jaman dahulu suatu negara yang kalah dalam peperangan

198
Ibid.
199
Ibid.
Mustaqiem 241

harus membayar sejumlah uang atau hasil bumi setiap tahun


kepada yang menaklukkannya, hal seperti ini pada waktu
dahulu dianggap adil, tapi pada negara modern waktu
sekarang ini hal tersebut dinilai tidak adil. Sebaliknya Prins
berpendapat bahwa hukum pajak sebagai himpunan
peraturan-peraturan yang mengatur pemungutan pajak
akan selalu mengabdi pada keadilan.
Membicarakan hukum adalah membicarakan
hubungan antar manusia, membicarakan hubungan antar
manusia sama dengan membicarakan masalah keadilan.200
Salah satu pengertian keadilan adalah kemauan yang
bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada
setiap orang apa yang semestinya untuknya.201 Keadilan
ini merupakan keadilan rasional tidak memerlukan instansi
yang transcendental, melainkan bertumpu pada pemahaman
akal manusia terhadap dunia pengalaman.202
Menurut Charles Merriam E. seperti yang dikutip
Satjipto Rahardjo, keadilan atau adil akan terbayang apabila
di dalam perumusannya haruslah mengandung beberapa
unsur : 1) A system of understanding, 2)Prosedures through which
each is according.203 Selain persoalan keadilan, peraturan
perundang-undangan pemungutan pajak harus memuat
ketentuan yang menjelaskan bahwa pemungutan pajak itu
bersifat umum dan merata.

200
Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm. 159
201
Ibid., hlm. 163
202
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil (Problematik Filsafat
Hukum), Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 129
203
Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm. 84
242 Produk Hukum Pajak...

Adagium ini berasal dari paham liberalistis yang


berpangkal tolak pada diktum individualisme: “man are
created free and equal”, manusia bebas merdeka terpisah satu
sama lain dan sejajar. Karena itu terhadap pemungutan
pajak dinyatakan bahwa setiap orang harus membayar
pajak, tidak dibedakan kelas, keturunan, keyakinan dan
pembebasan pajak hanya masuk akal terhadap mereka yang
tidak ada kemampuan tetapi bukan terhadap mereka yang
justru makmur. Selain itu, unsur keadilan dalam pajak
dapat ditemukan dalam cara pemungutannya, keadilan juga
akan terasa apabila pajak dipergunakan untuk merealisasi
tujuan negara yang berfungsi untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyat.
Di Indonesia keadilan yang diikuti dalam pemungutan
pajak adalah keadilan “umum dan merata”. Karena kebijakan
tersebut tidak akan menimbulkan diskriminasi, baik dari aspek
sosial ekonomi, keyakinan, maupun status kewarganegaraan.
Hal tersebut terlihat dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Wajib Pajak adalah
: “orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak
atau pemotong pajak tertentu”. Ketetapan Pasal 1 ayat (1) ini
dikuatkan oleh penjelasan Pasal 16 B ayat (1) yang menegaskan
bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh dalam
Undang-undang Pajak adalah diberlakukan dan diterapkan
perlakukan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
Mustaqiem 243

terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada


hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini
bertujuan untuk mencegah timbulnya diskriminasi dalam
pemungutan pajak. Keadilan dalam perpajakan memiliki
tiga demensi antara lain :
1. Keadilan secara vertikal, hubungan dalam pembebanan
pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Secara
umum pajak itu baik kalau pajak tersebut”progressief”,
yaitu persentase pendapatan seseorang yang dibayarkan
untuk pajak bertambah sesuai dengan tingkat
pendapatannya. Pembebanan masih dapat diterima kalau
dikenakan secara proposional, yaitu kalau persentase
pendapatan yang dibayarkan untuk pajak sama untuk
semua tingkatan pendapatan. Pajak tidak baik apabila
pembebanannya “regresif” maksudnya adalah persentase
pendapatan yang dibayarkan untuk pajak mengalami
penurunan dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan.
Meskipun pandangan tersebut diterima secara luas, tetapi
terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahwa pajak
itu dinilai adil kalau bebannya proposional atas pendapatan
atau kekayaan. Apabila dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan, baik penyimpangan progresif atau maupun
regresif akan berakibat negative;
2. Keadilan secara horizontal, hubungan pembebanan pajak
dengan sumber pendapatan. Seseorang yang menerima
gaji seharusnya tidak membayar pajak lebih besar dari
pada seseorang dengan pendapatan yang sama dari
244 Produk Hukum Pajak...

bisnis atau pertanian. Seorang petani yang mengusahakan


tananam ekspor seharusnya tidak membayar pajak lebih
besar dari pada petani dengan pendapatan yang sama di
bidang tanaman pangan;
3. Keadilan secara geografis, maksudnya pembebanan pajak
harus adil antara penduduk di berbagai daerah. Orang
seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya karena
mereka tinggal di suatu daerah tertentu seperti halnya
kadang-kadang terjadi pada perbatasan kota.204
Dihubungkan dengan keadilan vertical, horizontal, dan
geografis, maka pemungutan pajak di Indonesia dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Ditinjau dari Aspek Keadilan Vertikal
Pemungutan pajak di Indonesia menganut juga
keadilan vertikal, hal ini dapat diketahui dalam pengenaan
pajak penghasilan. Subjek pajak penghasilan yang
mempunyai penghasilan kena pajak akan dikenakan tarif
pajak yang bersifat progressief, artinya subyek pajak yang
mempunyai penghasilan kena pajak berjumlah besar akan
dikenakan pajak yang besar pula demikian sebaliknya.
Contoh pemberlakukan keadilan vertikal, sebagai berikut :
1. Wajib Pajak bernama X masih bujangan dalam tahun
pajak 2004 mempunyai penghasilan kena pajak sebesar
Rp. 10.000.000,- ia akan dikenakan pajak penghasilan
dengan satu tarif pajak, ialah: Rp.10.000.000,-X 5% = Rp.
500.000,-/pajak penghasilan.

204
KJ. Davey, op. cit., hlm. 43
Mustaqiem 245

2. Wajib Pajak bernama Y, masih bujangan selama tahun


pajak 2004 mempunyai Penghasilan Kena Pajak Rp.
30.000.000,-, selanjutnya yang bersangkutan akan
dikenakan pajak dengan dua tarif pajak penghasilan,
yaitu : 5% dan 10%. Adapun tentang proses penentuan
besarnya pajak adalah sebagai berikut :
a) Rp. 25.000.000,- x 5% = Rp. 1.250.000,-
b) Rp. 5.000.000,- x 10% = Rp. 500.000,-
Jumlah = Rp. 1.750.000,- /pajak penghasilan.
Keadilan vertikal dipergunakan pula dalam
pemungutan pajak daerah seperti pemungutan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor. Penetapan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor didasarkan atas penyerahan pertama
dan penyerahan kedua. Penyerahan pertama memiliki arti
bahwa kendaraan yang diserahkan masih baru, sehubungan
hal tersebut Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenai
tarif yang lebih tinggi dari pada atas penyerahan kedua,
maupun penyerahan karena warisan kendaraan bermotor.
2. Ditinjau dari Aspek Keadilan Horizontal
Sasaran pemungutan pajak di Indonesia khususnya
Pajak Penghasilan tidak didasarkan atas perbedaan status
sosial, tetapi didasarkan pada banyak sedikitnya jumlah
Penghasilan Kena Pajak. Apakah Wajib Pajak adalah
seorang pengusaha, pegawai, maupun petani tidak
mempengaruhi pengenakan pajak. Bagi semua subyek
pajak tersebut akan diterapkan tarif pajak yang sama dan
tergantung pula dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak.
246 Produk Hukum Pajak...

Contoh pemungutan pajak yang berpedoman pada


keadilan horizontal akan diawali dengan ketentuan Pasal
17 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000 yang mengatur tentang tarif pajak penghasilan.
Ketentuan tarif pajak sebagai berikut :

Tarif
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Pajak
a. sampai dengan Rp. 25.000.000,00 5%
b. di atas Rp.25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00 10 %
c. di atas Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00 15 %
d. di atas Rp. 100.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00 25 %
e. di atas Rp. 200.000.000,00 35 %

Sehubungan dengan ketentuan tarif tersebut, maka


wajib pajak yang memiliki Penghasilan Kena Pajak dengan
jumlah yang sama (misalnya masing-masing Rp.
25.000.000,00) akan dikenai prosentase tarif pajak yang sama
(keadilan horizontal) yaitu masing-masing 5% X Rp.
25.000.000,- meskipun status wajib pajak berbeda (pegawai,
pedagang, atau petani). Tetapi bagi wajib pajak yang memiliki
penghasilan kena pajak lebih banyak jumlahnya dari pada
wajib pajak yang lain, maka dia akan dikenakan presentase
tarif pajak lebih dari satu macam (menggunakan tarif progresif
atau keadilan vertical ). Semisal, Wajib Pajak bernama X memiliki
Penghasilan Kena Pajak berjumlah Rp. 30.000.0000,-/tahun,
Mustaqiem 247

maka akan dikenakan dua macam tarif pajak ialah : 5% X Rp.


25.000.000,- dan 10% X Rp. 5.000.000,-.
Keadilan horizontal berlaku pula dalam pemungutan
pajak daerah, seperti pemungutan Pajak Kendaraan
Bermotor yang tidak didasarkan atas status wajib pajak.
Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Daerah Propinsi
DIY Nomor 1 Tahun 2000, pasal 1 ayat (10): “Pajak
Kendaraan Bermotor yang selanjutnya dapat disingkat PKB
adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan/atau
penguasaan kendaraan bermotor”. Semua pemilik
kendaraan bermotor tanpa melihat statusnya (pria, wanita,
usia, agama) setiap tahun akan dikenakan pajak kendaraan
bermotor.
3. Dilihat dari Aspek Keadilan Geografis
Pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya
didasarkan atas satu tempat domisili Wajib Pajak tetapi
didasarkan pada berbagai tempat domisili, sehingga Wajib
Pajak yang berdomisili di perkotaan, pedesaan, pegunungan,
maupun di pantai apabila memenuhi persyaratan peraturan
perundang-undangan perpajakan akan dikenakan pajak.
Semua Wajib Pajak yang berdomisili di berbagai tempat di
Indonesia tersebut diberlakukan satu peraturan perundang-
undangan perpajakan yang sama. Berdasarkan uraian tersebut,
maka aspek keadilan geografis dipergunakan juga sebagai
salah satu pedoman pelaksanaan pemungutan pajak selama
ini (baik pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah).
Adil dalam peraturan perundang-undangan diantaranya
adalah dengan mengenakan pajak secara umum dan merata,
248 Produk Hukum Pajak...

serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing orang


atau badan. Sedangkan adil dalam pelaksanaan adalah
dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan
keberatan, banding, maupun mengajukan permohonan
penundaan dalam pembayaran.205 Berdasarkan Pasal 25 ayat
(1) dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
ditetapkan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan
hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas “suatu” : (a) Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, (b) Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, (c) Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, (d) Surat Ketetapan Pajak Nihil, (e) Pemotongan atau
pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasar ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ketentuan pengajuan permohonan keberatan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal
Pajak adalah sebagai berikut :
1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan mengemukakan jumlah pajak yang terhutang
atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau
jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan-alasan yang jelas.
2. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan kecuali apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

205
Mardiasmo, op. cit., hlm. 2
Mustaqiem 249

3. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap


sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
4. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh
pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu
atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos
tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
5. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan
pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi,
pemotongan atau pemungutan pajak.
6. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar pajak maupun pelaksanaan penagihan pajak.
Menurut Pasal 26 ayat (1) dalam Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak saat surat
keberaatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan
yang diajukan. Adapun keputusan Direktur Jenderal Pajak atas
keberatan yang diterima dapat berupa : (a) menerima
seluruhnya, (b) menerima sebagian, (c) menolak, (d) menambah
besarnya jumlah pajak yang terhutang. Jika Wajib Pajak belum
bisa menerima putusan atas keberatan dari Direktur Jenderal
Pajak, maka wajib pajak masih memiliki hak melakukan
upaya hukum dengan cara mengajukan banding ke
Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak ini didirikan pada 12 April
2002 berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2004.
Menurut Pasal 31 ayat (1) : “ Pengadilan Pajak mempunyai
tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa
250 Produk Hukum Pajak...

pajak”. Adapun ketentuan pengajuan banding adalah


sebagai berikut :
1. Permohonan pengajuan banding diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas.
2. Waktu pengajuan permohonan banding dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima.
3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan
pajak.
4. Pengajuan banding hanya kepada badan peradilan pajak
terhadap keputusan mengenai keberatan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain memeriksa pengajuan banding dari Wajib Pajak,
Pengadilan Pajak mempunyai kewenangan memeriksa
gugatan yang terkait dengan sengketa pajak. Sengketa pajak
merupakan sengketa antara wajib pajak dengan pejabat
yang berwenang akibat suatu keputusan yang dapat
diajukan banding atau gugatan. Adapun ketentuan
pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagai berikut:
1) Gugatan ditulis dengan Bahasa Indonesia;
2) Jangka waktu pengajuan gugatan 14 (empat belas) hari
sejak pelaksanaan penagihan, atau 30 (tiga puluh) hari
sejak keputusan selain pelaksanaan penagihan pajak
diterima;
3) Setiap surat gugatan hanya boleh memuat satu
persoalan.
Pengadilan pajak yang menerima permohonan banding
atau gugatan dari wajib pajak harus melakukan
Mustaqiem 251

pemeriksaan dan memberikan putusan. Sifat pemeriksaan


yang dilakukan Pengadilan Pajak merupakan pemeriksaan
tingkat pertama dan terakhir, sehingga keputusannya
merupakan keputusan final. Pengertiannya ialah putusan
pengadilan pajak tidak dapat dibanding atau dikasasi, tetapi
wajib pajak yang belum dapat menerima putusan
pengadilan Pajak dapat mengajukan Peninjauan Kembali
(PK) ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
Alasan pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung :
1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan atas
kebohongan/tipu muslihat pihak lawan yang diketahui
setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-
bukti yang kemudian oleh hakim dinyatakan palsu;
2. Apabila diketemukan bukti baru (novum);
3. Apabila telah dikabulkan sesuatu yang tidak dituntut
atau melebihi yang dituntut;
4. Adanya suatu bagian tuntutan belum diputus, tanpa
dipertimbangkan alasan-alasannya;
5. Jika terdapat putusan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan jangka waktu pengajuan Peninjauan
Kembali (PK) adalah :
1. Dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak diketahui terjadinya kebohongan atau tipu
muslihat, atau sejak keputusan dijatuhkan;
2. Dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak ditemukan surat-surat sebagai bukti baru
252 Produk Hukum Pajak...

(novum) yang hari dan tanggal ditemukan bukti baru


harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh
pejabat yang berwenang;
3. Dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
putusan dikirim.
Macam-macam keputusan Pengadilan pajak antara lain :
(a) Menolak permohonan banding atau gugatan, (b)
mengabulkan sebagian atau seluruhnya atas banding atau
gugatan yang diajukan, (c) Menambah pajak yang harus
dibayar, (d) Permohonan banding atau gugatan tidak dapat
diterima, (e) membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung, dan (f) membatalkan.
Ciri Keputusan Pengadilan Pajak antara lain :
1. Dalam hal keputusan pengadilan Pajak diambil terhadap
sengketa yang bukan merupakan wewenang Pengadilan
Pajak, sehingga keputusannya berupa tidak dapat diterima,
selanjutnya pemohon banding dapat mengajukan
gugatan kepada Peradilan yang berwenang memeriksa;
2. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan
bersifat tetap;
3. Putusan Pengadilan Pajak tidak dapat lagi diajukan
banding atau kasasi;
4. Putusan Pengadilan Pajak diucapkan dalam sidang
terbuka dan untuk umum;
5. Putusan harus ditandatangani oleh Majelis/atau Hakim
tunggal yang memutus dan panitera.
Mustaqiem 253

B. Macam-Macam Hukum Pajak


Hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua,206 yaitu
hukum pajak materiil dan hukum pajak formil. Pembedaan
ini didasarkan pada pemikiran bahwa yang menimbulkan
hutang pajak adalah hukum pajak materiil dan bukan
hukum pajak formil.
1. Hukum Pajak Materiel
Kategori hukum pajak ini memuat norma-norma yang
menerangkan keadaan- keadaan, perbuatan-perbuatan dan
peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak,
siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya
pajak. Dengan bahasa lain adalah segala sesuatu tentang
timbul, besar dan hapusnya hutang pajak dan hubungan
hukum antara Pemerintah dan Wajib Pajak. Termasuk di
dalamnya peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-
kenaikan, denda-denda, hukuman-hukuman, serta cara-cara
pembebasan-pembebasan dan pengembalian pajak dan
ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiscus.207
Adapun penjelasan selanjutnya adalah sebagai berikut :
(a) Keadaan-keadaan, semisal hak pemerintah (fiscus)
melakukan penagihan pajak kepada wajib pajak,
meliputi pokok pajak, bunga, denda, kenaikan dan biaya
penagihan, kurun waktu daluwarsa setelah lampau
waktu 10 tahun (sepuluh tahun) terhitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian

206
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 19
207
Ibid.
254 Produk Hukum Pajak...

Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Semua


hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Contohnya,
orang asing yang berdomisili di luar wilayah Indonesia
tetapi kenyataannya memperoleh penghasilan dari
wilayah Indonesia, dia akan dikenakan Pajak Penghasilan
(Wajib Pajak Luar Negeri). Demikian pula bagi Wajib
Pajak Dalam Negeri orang pribadi yang memiliki
penghasilan yang jumlahnya melebihi jumlah Penghaslan
Tidak Kena Pajak akan dikenakan pajak penghasilan
karena keadaan tersebut.
(b) Peristiwa-peristiwa hukum, seperti kehidupan manusia
selalu merupakan suatu rentetan peristiwa dan selalu
mengalami perubahan dan berlangsung dalam berbagai
peristiwa atau kejadian. Peristiwa-peristiwa itu dapat
berupa peristiwa alamiah yang bukan perbuatan
manusia, seperti tumbuh menjadi besar, hujan, angin dan
bahkan bencana alam seperti gunung meletus dan banjir.
Dapat juga berupa peristiwa yang ditimbulkan oleh
perbuatan manusia, baik disengaja secara sadar maupun
yang tidak disadari.208 Dipandang dari sudut hukum,
berbagai peristiwa itu dibedakan ke dalam peristiwa
hukum (rechtsfeit) dan bukan peristiwa hukum. Peristiwa
hukum adalah peristiwa yang oleh kaidah hukum diberi
akibat hukum, yakni berupa timbulnya atau hapusnya

208
Arief Sidharta, op. cit., hlm. 85
Mustaqiem 255

hak dan/atau kewajiban tertentu bagi subyek hukum yang


terkait pada peristiwa tersebut.209 Menurut Apeldoorn,
seperti yang dikutip oleh Soerojo Wignjodipoero, dia
mengatakan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa
yang berdasarkan hukum dapat menimbulkan dan
menghapuskan hak.210 Peristiwa hukum dibedakan ke
dalam peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek
hukum dan peristiwa hukum yang merupakan perbuatan
subyek hukum. Contoh peristiwa hukum seperti dalam
Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa, yang mengatur dan menetapkan bahwa Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas : 1) Penyerahan Barang
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha, 2) Impor Barang Kena Pajak, 3) Penyerahan Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha, 4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean,
5) Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
ke dalam Daerah Pabean, 6) Ekspor Barang Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak.
(c) Perbuatan–perbuatan hukum, perbuatan hukum
merupakan perbuatan subyek hukum. Contohnya dalam
ketentuan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa yang
menetapkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak

209
Ibid.
210
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung,
Jakarta, 1969, hlm. 35
256 Produk Hukum Pajak...

(peristiwa hukum yang merupakan perbuatan subyek


hukum pajak) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha, hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Peristiwa
hukum yang merupakan perbuatan subjek hukum pajak
yang lainnya adalah peristiwa jual beli tanah yang
menimbulkan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (Pasal 2 ayat (2) a. Undang-Undang
21 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000).
Demikian pula Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor juga
merupakan salah satu peristiwa hukum.
(d) Subjek hukum pajak, pengertian yang tidak kalah
penting dalam bidang hukum adalah subjek hukum
(subjectum juris). Subjek hukum adalah segala sesuatu
yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut
hukum atau suatu pendukung hak dan kewajiban, jadi
memiliki wewenang hukum (rechtsbevoegd).211 Subjek
hukum dibedakan menjadi dua, yaitu Manusia dan
Badan hukum.212 Tiap Warga Negara atau Bangsa Asing,
tidak peduli agamanya adalah subjek hukum. Perampasan
sebagai pendukung hak sehingga mengakibatkan
terjadinya kematian perdata (burgerlijk dood) adalah
dilarang. Badan hukum sebagai subjek hukum merupakan

211
Soerojo Wignjodipoero, op cit., hlm. 39
212
Ibid., hlm. 40
Mustaqiem 257

tiap pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia.


Misalnya, terdapat beberapa orang yang mengadakan
kerja sama dan merupakan kesatuan, maka kesatuan ini
merupakan Badan hukum setelah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh hukum, seperti memiliki
kekayaan terpisah dari kekayaan anggota-anggotannya,
hak/kewajiban badan hukum terpisah dengan hak/
kewajiban anggota. Di dalam pergaulan hukum terdapat
dua macam badan hukum, yaitu Badan Hukum Publik
dan Badan Hukum Perdata.213
Guna memperkuat uraian tersebut, terdapat ajaran hukum
yang kemudian dilegalkan menjadi undang-undang yaitu
ajaran yang mengakui adanya purusa (subjek hukum) yang
lain dari pada manusia.214 Untuk membedakannya,
manusia disebut purusa kodrat (natuurlijke personen) dan
yang lain disebut purusa hukum. Akan tetapi hal ini tidak
berarti purusa yang demikian itu juga benar-benar ada, itu
hanya berarti sesuatu yang bukan purusa atau tak dapat
merupakan purusa, diperlakukan seolah-olah ia adalah
sesuatu purusa. Contohnya ialah dalam bidang perpajakan,
pihak yang menjadi Subjek hukum ialah Orang pribadi dan
badan. Tetapi dalam ketentuan Pajak Penghasilan, subjek
hukum meliputi : (1) Orang pribadi, (2) Warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak, (3) Badan, dan (4) Bentuk Usaha Tetap. Ketentuan

213
Ibid., hlm. 41
214
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1996, hlm. 192
258 Produk Hukum Pajak...

ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bidang Pajak
Penghasilan, subjek pajak yang jumlahnya lebih dari satu
adalah hal yang wajar dan bukan merupakan suatu
keanehan.
(e) Besarnya tarif pajak, perbedaan pajak lebih dari satu
macam menyebabkan bermacam-macamnya tarif pajak,
hal itu dapat menimbulkan perbedaan tarif antara pajak
yang satu dengan yang lain, termasuk tarif Pajak Pusat
dan Daerah. Contohnya tarif Pajak Penghasilan yang
merupakan tarif progresif. Bagi Wajib Pajak dalam
negeri orang pribadi tarifnya adalah 5%, 10%, 15%, 20%,
25%, dan 30%. Sedangkan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri
Badan dan Badan Usaha Tetap tarifnya adalah 10%,
15%, 30%. Ketentuan tentang tarif ini diatur dalam Pasal
17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Demikian juga tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa sebesar 10% dikenakan bagi Barang Kena Pajak yang
dikonsumsi di dalam negeri dan tarif 0% dikenakan bagi
Barang Kena Pajak yang diekspor. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Mustaqiem 259

Latar belakang terjadinya perbedaan tarif pajak antara


pajak yang satu dengan lainnya dipengaruhi oleh berbagai
aspek, antara lain aspek keadilan maupun aspek ekonomis.
Semisal tarif progresif tidak lepas dari aspek keadilan
vertikal, selanjutnya tarif 0% bagi barang kena pajak yang
diekspor untuk memberi motivasi kepada wajib pajak
supaya berani bersaing dengan produk negara lain, supaya
indisutri dalam negeri dapat berkembang (aspek ekonomis).
2. Hukum Pajak Formil
Disebut hukum pajak formil kalau mengenai bentuk
dalam mana hukum pajak materiil dilaksanakan. Pengertian
hukum pajak formil adalah untuk melindungi baik fiscus
maupun Wajib Pajak atau untuk memberi jaminan bahwa
hukum pajak materiil akan dapat diselenggarakan setepat-
tepatnya. Termasuk hukum pajak formil adalah peraturan-
peraturan mengenai cara–cara untuk menjelmakan hukum
pajak materiil menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini
memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan
suatu hutang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap
penyelenggaraannya, kewajiban para Wajib Pajak, kewajiban
pihak ketiga dan prosedur dalam pemungutannya. Luasnya
hukum pajak formil mengenai pajak yang satu tidaklah selalu
sama dengan pajak yang lain. Pengaturan di bidang hukum
pajak formil sebagai berikut :
a) Ketetapan hutang pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
hal : (1) Pajak yang terhutang tidak atau kurang dibayar,
(2) Jika Surat pemberitahuan tidak disampaikan pada
260 Produk Hukum Pajak...

waktu yang telah ditetapkan, (3) Apabila tidak


seharusnya dikenakan tarif 0%. Ketentuan tersebut diatur
dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2000. Isi lengkap Pasal 13 ayat
(1) berbunyi “Dalam jangka waktu sepuluh tahun
sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar dalam hal :
1) Apabila berdasar hasil pemeriksaan atau keterangan
lain, menunjukkan bahwa pajak yang terhutang tidak
atau kurang dibayar;
2) Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah ternyata tidak seharusnya
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen);
4) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 dan Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak
dapat diketahui besarnya pajak yang terhutang.
b) Kontrol oleh Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak atas
nama Pemerintah berwenang melakukan pengawasan
Mustaqiem 261

dan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan


kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Kewenangan tersebut diatur oleh
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000. Untuk keperluan pemeriksaan,
petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak
yang diperiksa. Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
1) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar dan dokumen
lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, atau objek yang terutang pajak;
2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
3) Memberikan keterangan yang diperlukan. Apabila
dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau
dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak
terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan,
maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan
oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
c) Prosedur pemungutannya, bisa berbeda-beda antara
prosedur pemungutan pajak yang satu dengan lainnya.
Prosedur pemungutan pajak bisa menggunakan salah
262 Produk Hukum Pajak...

satu sistem (official assessment system, semi self assessment


system, self assessment system, white holding system) baik
secara mutlak maupun secara tidak mutlak. Pajak yang
terhutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai selanjutnya harus disetor ke Kas Negara,
dan dilaporkan oleh pemungut kepada Direktorat Jenderal
Pajak, ketentuan ini diatur oleh Pasal 16 A Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Muatan Pasal 16 A: “Pajak yang terhutang atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, dipungut, disetor,
dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Di
Indonesia pada dasarnya Wajib Pajak berpedoman pada “self
assessment system”, sebab Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri
pada Kantor Direktorat Jenderal untuk dicatat sebagai wajib
pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan). Kata
“pada dasarnya” tersebut menjelaskan bahwa hasil pembaruan
(tax reform) disektor perpajakan menetapkan penggunaan “self
assessment system” merupakan keputusan dari pembaruan
bidang perpajakan tahun 1983. Akan tetapi realitas dalam
pemungutan pajak masih ada yang tidak berpedoman pada
sistem tersebut (baik dalam pemungutan pajak pusat maupun
pajak daerah).
Mustaqiem 263

C. Kegunaan Hukum Pajak


Kegunaan hukum pada umumnya tidak lepas dari
tujuan hukum. Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan
hidup secara damai. 215 Perdamian antara manusia
dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan–
kepentingan manusia yang tertentu, seperti kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap
yang merugikannya.216
Kepentingan dari perseorangan dan kepentingan
golongan-golongan manusia kadangkala bertentangan satu
sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan
menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua
orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak
sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian, maka
manusia tidak akan dapat menikmati kedamaian. Hukum
mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan
keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat
mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai)
jika ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan yang
dibuat harus memuat keseimbangan antara kepentingan-
kepentingan yang dilindungi, karena setiap orang ingin
memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Hukum yang dipergunakan untuk mengatur kehidupan
manusia dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : 1) Hukum Perdata
(Privaatsrecht), dan 2) Hukum Publik (Publiekrecht). Termasuk
215
van Apeldoorn, op. cit., hlm. 10
216
Ibid., hlm. 11
264 Produk Hukum Pajak...

dalam lingkup hukum publik adalah Hukum Tata Negara,


Hukum Administrasi (hukum tata usaha), Hukum Pidana, dan
Hukum Pajak.217 Berdasarkan uraian tersebut, hukum pajak
merupakan hukum yang berada dalam lingkup hukum
publik. Jika hukum publik untuk mengatur hubungan antara
Pemerintah selaku penguasa dengan rakyatnya, maka hukum
pajak mengatur hubungan antara Pemerintah selaku
pemungut pajak (fiscus) dengan rakyatnya sebagai wajib pajak.
Dengan demikian seakan-akan hukum pajak merupakan suatu
bagian saja dari suatu hukum publik yang disebut hukum
administratif (hukum tata usaha negara). Sehingga seolah-olah
status hukum pajak segolongan dengan hukum yang meliputi
antara lain undang-undang dan peraturan-peraturan lalu lintas,
pengawasan perdagangan (lesensi, retribusi), pengawasan
perburuhan, dan sebagainya.218
Menurut Andriani, sebagaimana dikutip oleh Sartan, dia
mengatakan bahwa bagaimanapun lebih tepat memberi tempat
sendiri untuk hukum pajak di samping (sederajat dengan)
hukum administratif, alasan-alasannya sebagai berikut : 219
1. Tugas hukum pajak bersifat lain dari pada hukum admin-
istratif pada umumnya, sebab hukum pajak dipakai untuk
mengatur hubungan pemungut pajak dengan pembayar
pajak;
2. Hukum pajak dapat secara langsung digunakan sebagai
sarana politik perekonomian, seperti kebijaksanaan
insentif perpajakan (tax incentive plan);
217
Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 25
218
Sartan, op. cit., hlm. 7
219
Ibid.
Mustaqiem 265

3. Hukum pajak memiliki tata tertib dan istilah–istilah


yang khas untuk bidang pekerjaannya.
Sehubungan hal tersebut, setiap pemungutan pajak yang
akan dilakukan oleh pemerintah lebih dahulu harus dibuatkan
landasan hukumnya. Di Indonesia keharusan ini diatur oleh
Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan terhadap
pendapat Andriani tersebut dapat dijelaskan melalui sengketa
pajak. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul di dalam
bidang perpajakan antara Wajib Pajak dengan pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan
Pajak berdasar peraturan perundang-undangan perpajakan.
Hal ini menunjukkan hukum pajak memiliki kekhasan sendiri
yang berbeda dengan lainnya.

D. Kebijaksanaan Hukum Pajak


Menurut konsep demokrasi modern, kebijaksanaan
negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat
para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik
(public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya
untuk diisikan (tercermin) dalam kebijaksanaan-
kebijaksanaan negara. 220 Hadirnya kebijaksanaan akan
menimbulkan dua pemahaman, yaitu:221
1. Suatu kebijaksanaan dapat terkait dengan suatu
keputusan politis;

220
Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negrara, Bumi
Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 10
221
Ibid.
266 Produk Hukum Pajak...

2. Suatu kebijaksanaan dapat juga terkait dengan masalah


teknis pelaksanaan suatu keputusan yang berbentuk
peraturan perundang-undangan.
Bila pemerintah membuat suatu kebijaksanaan mengenai
pembaharuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
maka hal ini terkait dengan keputusan politis, sedangkan
kebijaksanaan teknis adalah ketika pemerintah membuat
kebijaksanaan dalam rangka merealisasi peraturan perundang-
undangan tersebut. Kebijaksanaan hukum yang bersifat
keputusan politis dapat dilihat ketika pemerintah membuat
keputusan pembaharuan hukum perpajakan pada tahun 1983.
Dasar pemikiran dilakukan pembaharuan tersebut, tertuang
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor :
II /MPR/1983 yang menetapkan bahwa :
“Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan
pajak diintensifkan, dan aparat perpajakan harus semakin
mampu dan bersih. Semua itu diarahkan agar kemampuan
negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan
dari sumber dalam negeri makin meningkat, pembagian
beban pembangunan antara golongan yang berpendapatan
tinggi dengan golongan yang berpendapatan rendah
makin sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Di samping
itu sistem perpajakan harus memungkinkan pemanfaatan
sumber-sumber alam secara optimal mendorong ekspor dan
mengembangkan kegiatan ekonomi pada umumnya”.
Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam
mewujudkan kebijaksanaan pembaruan hukum
perpajakan, ialah :222

222
Moh. Zain, dkk, Pembaharuan perpajakan Nasional, Alumni, Jakarta,
1984, hlm. 25
Mustaqiem 267

1) Penyederhanaan sistem perpajakan meliputi jenis pajak,


tarif pajak. Tujuan dari penyederhanaan adalah untuk
mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan
mematuhinya. Selain itu, tarif pajak ditetapkan secara wajar
berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam
pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak.
2) Pembayaran pajak semakin adil, karena berlakunya tarif
yang sama bagi tingkat penghasilan yang sama dari
manapun diterima atau diperoleh.
3) Memberi kesempatan kegotong-royongan dalam sistem
pembayaran pajak. Seperti di bidang Pajak Penghasilan
yang menggunakan tarif progresif, sehingga bagi wajib
pajak dalam membayar hutang pajak tidak lepas dari
banyak sedikitnya jumlah penghasilan kena pajak yang
diperoleh.
Tujuan yang akan dicapai melalui kebijaksanaan
pembaruan, adalah :
1) Agar sistem perpajakan tidak rumit sehingga mudah
untuk dipahami;
2) Supaya kemampuan negara dan masyarakat untuk
membiayai pembangunan dari sumber-sumber dalam
negeri semakin meningkat;
3) Agar pembagian beban pembangunan antara golongan
yang berpenghasilan tinggi dengan golongan yang
berpenghasilan rendah makin sesuai dengan rasa keadilan.
Pembaruan hukum perpajakan menunjukkan pula
adanya usaha bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka yang selalu dapat “melahirkan” peraturan
268 Produk Hukum Pajak...

perundang-undangan yang sesuai dengan prosedur formal


yang diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, maupun untuk
mengikuti perubahan kehidupan masyarakat yang begitu
pesat dan dinamis. Sebab kehidupan masyarakat biasanya
bersifat dinamis tetapi peraturan perundang-undangan
(hukum positif) bersifat statis, sehingga diperlukan langkah-
langkah untuk melakukan pembaharuan.
Kebijaksanaan yang bersifat teknis atau aplikatif
merupakan hal yang berpihak kepada Wajib Pajak, karena
kebijaksanaan tersebut memberikan kesempatan kepada
Wajib Pajak agar melakukan upaya disiplin agar tidak
terkena sanksi administrasi maupun sanksi hukuman lain.
Bentuk kebijaksanaan teknis atau aplikatif dalam bidang
perpajakan tentu banyak ragamnya. Seperti yang diatur
dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 : “Wajib Pajak dengan kemauan
sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak, lebih dahulu
menyampaikan permohonan secara tertulis dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan ketentuan
Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan. Demikian pula bagi Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya dapat diwakili oleh
pihak lain, dalam hal :
1. Badan oleh pengurusnya;
2. Badan dalam pembubaran atau pailit dapat dilakukan
Mustaqiem 269

oleh orang atau badan yang dibebani untuk melakukan


pemberesan (kurator);
3. Warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli
warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus
harta peninggalan;
4. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dibawah
pengampuan dilakukan oleh wali atau pengampunya.

2. Hukum Pajak Daerah


Seperti yang pernah dijelaskan, bahwa di Indonesia
terdapat pajak nasional (pusat) dan pajak daerah. Adanya
dua macam tingkatan pajak ini membawa konsekuensi
bahwa dasar pemungutan dua tingkatan pajak tersebut
berbeda, dasar pemungutan pajak nasional (pusat) adalah
hukum pajak nasional (undang-undang), sedang dasar
pemungutan pajak daerah adalah hukum pajak daerah
(Peraturan Daerah). Untuk kepentingan menjelaskan kriteria
pajak daerah, di bawah ini akan diuaraikan penjelasannya
sebagai berikut :
A. Kriteria Penilaian Pajak Daerah
Pada awal timbulnya pembagian pajak umum dan
pajak daerah, karena kekuasaan yang diberikan kepada
dewan-dewan daerah, seperti tercantum dalam Ordonansi
Dewan-Dewan Lokal (Locale raden Ordonantie, Stbl. 1905 No.
181) dalam Pasal 49 ayat (1), menetapkan bahwa:223
“Dewan-dewan ini diberi kekuasaan untuk dengan
223
Santoso Brotodihardjo, op. cit., hlm. 49
270 Produk Hukum Pajak...

syarat memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal


ini menetapkan peraturan-peraturan bagi daerahnya
masing-masing tentang pemungutan pajak-pajak untuk
memperkuat keadaan keuangannya dalam daerah-
daerah itu”.
Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut, maka
timbulah pajak-pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi,
Swapraja, Kotapraja, seperti : Pajak Tontonan, Pajak Sepeda
(penning) dan pajak-pajak kendaraan lainnya. Golongan ini
dapat ditempatkan sebagai kebalikan dari golongan lainnya,
yaitu pajak umum yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
yang dilaksanakan pemungutannya oleh Inspeksi-Inspeksi
Keuangan yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti Pajak
Pendapatan, Pajak Kekayaan, Pajak Perseroan, Pajak
Rumah Tangga, Verponding, Pajak Penjualan, Pajak
Pembangunan I, Bea Meterai dan oleh kantor-kantor Pabean,
seperti Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai Tembakau, Cukai
Gula, Cukai Minuman Keras.224
Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan dengan
terbitnya beberapa peraturan perundang-undangan, seperti
Undang-Undang Nomor : 11/Drt/Tahun 1957 tentang Pajak
Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan paling akhir adalah
Undang-Undang Nomor : 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Demikian pula beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
Pemerintahan Daerah, sebagian dari isinya mengatur juga

224
Ibid.
Mustaqiem 271

hal-hal yang berkaitan dengan pajak daerah seperti :


1) Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1974 tentang Pokok
Pokok Peme-rintahan Di Daerah, Pasal 58 ayat (2) :
“Dengan Peraturan Daerah ditetapkan ketentuan pokok
tentang Pajak dan Retribusi Daerah”.
2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 82 ayat (2) : “Penentuan
tarif dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi
Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”. Menurut
Pasal 82 ayat (3) ditetapkan bahwa : “Peraturan Daerah
yang dipergunakan untuk mengatur bidang perpajakan
Daerah tidak boleh bertentangan dengan sistem
perpajakan nasional yang telah diatur dengan peraturan
perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Ketentuan tersebut sesuai dengan Undang-Undang
Nomor: 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 5 A ayat (2): “Dalam hal
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah
dimaksud”. Pasal 5 A ayat (2) memberi isyarat bahwa
Peraturan Daerah yang dipergunakan untuk mengatur
Pajak Daerah substansinya harus selaras dengan
substansi peraturan perundang-udangan yang lebih
tinggi tingkatannya, agar sistem perpajakan Daerah tidak
bertentangan dengan sistem perpajakan nasional baik
272 Produk Hukum Pajak...

substansi maupun prosedur pembuatannya.


3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 158 ayat (1) : “Pajak daerah
dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang
yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut
dengan Perda”. Ayat (2) ; “ Pemerintah daerah dilarang
melakukan pemungutan atau dengan sebutan lain di luar
yang telah ditetapkan undang-undang” Ketetapan ayat
(2) ini lebih bersifat sentralistis dalam penetapan jenis-
jenis pajak daerah, jika dibandingkan dengan ketetapan
dalam Undang-Undang tentang pemerintahan daerah
yang lebih dahulu.
Menurut KJ. Davey, 1988, suatu jenis pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah mungkin ditetapkan berdasar
ketentuan perundang-undangan Pemerintah Pusat, yang pada
gilirannya bisa bersifat memerintahkan atau mengizinkan.
Dengan kata lain Pemerintah Pusat dapat memerintahkan
Pemerintah Daerah untuk memungutnya atau semata-mata
memberikan wewenang untuk melaksanakannya.225 Badan
legislatif pusat menentukan rincian tarif atau menyerahkan
ketentuan kepada kewenangan Pemerintahan regional dengan
atau tanpa batas-batas tertentu. Sebagai alternatif pajak dapat
dikenakan oleh Pemerintah regional berdasarkan atas
kekuasaan legislatif sendiri.
Sehubungan dengan pendapat tersebut, bagaimana
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah di Indonesia?
Dalam prakteknya, Jenis-jenis pajak daerah yang dipungut

225
KJ. Davey, op. cit., hlm. 29
Mustaqiem 273

oleh pemerintah daerah selalu ditentukan oleh pemerintah


pusat, termasuk dalam penentuan tarif maksimal dari
masing-masing pajak daerah, dengan berdasarkan Undang-
Undang Pajak dan Retribusi Daerah, terakhir berdasarkan
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000. Sifat yang diberikan
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam
kaitannya dengan pajak daerah adalah bersifat mengijinkan
untuk memungut pajak daerah (sebagai pelaksana teknis)
meskipun daerah diberi hak membuat peraturan daerah yang
akan dipergunakan sebagai landasan hukum pelaksanaan
pemungutan pajak daerah.
Suatu jenis pajak bukan merupakan pajak “regional” atau
“daerah” kecuali jika pajak tersebut dikenakan berdasar
peraturan perundang-undangan regional, dan bukan berdasar
ketentuan nasional.226 Pihak lain lagi beranggapan bahwa
pengendalian tarif pajak oleh daerah dipakai sebagai tolok
ukurnya. Dalam hal kecermatan semantik atau hukum,
pemilihan definisi tidak merupakan hal yang sangat penting.
Namun demikian, makna yang lebih penting adalah bahwa
bahwa perpajakan yang didasarkan atas peraturan perundang-
undangan pemerintah regional membawa akibat kewenangan
yang lebih luas dan kebebasan berkarya dalam arti keuangan
yang lebih leluasa.227 Hal semacam ini nampaknya tidak perlu
diragukan lagi kebenarannya dalam hal pengendalian tarif
pajak, Pemerintah Regional pasti akan mempunyai kebebasan
lebih besar dalam tindakan di bidang keuangan jika mereka

226
Ibid.
227
Ibid., hlm. 30
274 Produk Hukum Pajak...

dapat mengubah tarif sumber-sumber pajak mereka.228


Didasarkan pada cara pemungutannya, Pajak Daerah
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Pajak langsung
dan Pajak tidak langsung. Termasuk Pajak Langsung antara
lain Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air,
Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Parkir. Pajak tersebut
merupakan pajak yang setiap tahun dibayar terus menerus
tanpa harus menunggu adanya peristiwa tertentu dan beban
pajak tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan
yang tergolong Pajak Tidak Langsung antara lain Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air,
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan pada tingkat
Kabupaten/Kota adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Pengambilan dan
Pengelolaan Bahan Galian Golongan C, Pajak Pemanfaatan
Air Bawah Tanah, dan Air Permukaan. Semua jenis pajak
ini apabila akan dilakukan pemungutan pajak lebih dahulu
harus di awali adanya peristiwa tertentu. Seperti adanya
proses Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air, Pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
menginap di Hotel, makan di Restoran, menyelenggarakan
Hiburan, memasang Reklame, pengambilan dan
pemanfaatan galian golongan C, maupun pemanfaatan air
bawah atau permukaan tanah.
Suatu sumber pajak menjadi menarik apabila
Pemerintah Daerah memperoleh pendapatan dari sumber
tersebut, apakah memungut atau mengadministrasikannya

228
KJ. Davey, op. cit., hlm. 31
Mustaqiem 275

atau tidak, atau menetapkan tarifnya.229 Apabila suatu pajak


harus diatur dengan Peraturan Daerah, maka Pemerintah
Daerah akan mempunyai banyak jenis pajak tetapi tidak
ada yang menghasilkan lebih dari persentase yang kecil dari
anggaran pengeluarannya.230 Hal tersebut menimbulkan
banyak kerugian, misalnya ongkos pungut akan menjadi
besar, upaya administrasi terbagi-bagi, pembebanan sulit
dicapai secara adil, kesabaran masyarakat akan hilang
dengan banyaknya pungutan yang kecil-kecil dan kesan
yang tidak benar dapat timbul terhadap kemampuan
keuangan Pemerintah daerah.231 Contohnya Pajak Sepeda
(penning) yang sekarang sudah dihapuskan.
B. Ketentuan Pembuatan Hukum Pajak Daerah
Hans Kelsen,1973, berpendapat bahwa suatu norma
hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang
ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya, dan norma
hukum lainnya ini merupakan landasan validitas norma
hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma yang
mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya
ini dapat digambarkan sebagai hubungan antara
“superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan
keruangan.232 Norma yang menentukan pembentukan
norma lain adalah norma yang lebih tinggi, norma yang
dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih

229
KJ. Davey, op. cit., hlm. 40
230
Ibid, hlm. 41
231
Ibid.
232
Hans Kelsen, op. cit., hlm. 126
276 Produk Hukum Pajak...

rendah.233 Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta


bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang
lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi,
dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan
hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, karena
menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum
membentuk kesatuan tata hukum ini.234
Menurut Apeldoorn, undang-undang dapat dibagi
dalam dua tingkatan, yaitu: (1) undang-undang yang
tingkatannya lebih tinggi, dan (2) undang-undang yang
tingkatannya lebih rendah. 235 Undang-undang yang
tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi tingkatannya. Hierarchie
peraturan perundang-undangan susunan tingkatannya
sebagai berikut :
1) Undang-undang dalam arti formal;
2) Algemene Maattregelen van Bestuur;
3) Peraturan-peraturan propinsi;
4) Peraturan-peraturan kota praja dan menurut
tingkatannya sederajat dengan itu ialah peraturan-
peratauran daerah.236
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan peraturan
perundang–undangan dalam arti formil, sehingga merupakan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya
dari pada peraturan perundang-undangan dalam arti formil

233
Ibid., hlm. 127
234
Ibid.
235
van Apeldoorn, op. cit., hlm. 81
236
Ibid.
Mustaqiem 277

yang lain yang berada dibawahnya. Sehingga peraturan


perundang-undangan yang terakhir tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selaras dengan pendapat
Hans Kelsen dan Apeldoorn, di Indonesia terdapat ketentuan yang
dimuat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor : III /MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 2
menetapkan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, adalah sebagai berikut :
1) Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3) Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5) Peraturan Pemerintah;
6) Peraturan Presiden;
7) Peraturan Daerah.
Ketentuan Pasal 2, Tap. MPR Nomor : III/MPR/2000
ini ditetapkan pula dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, pada Pasal 7 ayat (1): “Jenis dan hierarki
Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
278 Produk Hukum Pajak...

e. Peraturan Daerah.
Kekuatan mengikatnya peraturan perundang-
undangan, menurut Pasal 7 ayat (5) adalah sesuai dengan
hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kaitan dengan posisi Peraturan Daerah, oleh Pasal 3
ayat (7) Ketetapan Majelis Perumusyawaratan Rakyat
Nomor : III/MPR/2000 telah ditetapkan bahwa Peraturan
Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan
hukum di atasnya, serta menampung kondisi khusus dari
Daerah yang bersangkutan. Selain itu, berdasar Pasal 4 ayat
(1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : III
/MPR/2000, ditetapkan bahwa : “Sesuai dengan tata urutan
peraturan perundang -undangan ini maka setiap aturan
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
aturan hukum yang lebih tinggi”.
Ketentuan di atas dikuatkan oleh Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 “Materi muatan Peraturan
Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.
Tatkala membuat kebijaksanaan di bidang hukum
(termasuk bidang hukum perpajakan) ketentuan itu harus
diperhatikan, sebab jika tidak diperhatikan baik secara
filsafati, ideologi, politik, dan yuridis, maka kebijaksanaan
yang dibuat sesungguhnya adalah batal. Hal ini tidak lepas
dari Indonesia sebagai negara hukum dan salah satu ciri
khas negara hukum adalah penerapan asas legalitas.
Mustaqiem 279

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pembuatan


peraturan perundang-undangan perpajakan daerah secara
yuridis harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah, karena di dalam negara
kesatuan, pemerintah memiliki kewenangan menetapkan
ketentuan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya bidang
perpajakan daerah.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa dalam realitas
kehidupan masyarakat modern apa yang dimaksud hukum
sebagian besar dapat ditemukan dan dirumuskan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan.237 Oleh sebab itu dapat
dinyatakan bahwa dasar-dasar pengetahuan tentang peraturan
perundang-undangan dengan segala macam aspek yang terlibat
di dalamnya merupakan hal yang sangat penting dan strategis
dalam proses pengembangan hukum baik secara teoritis
maupun secara praktis.238 Hukum tertulis dipandang orang
lebih dapat memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid)
kepada masyarakat dibandingkan dengan hukum tidak tertulis.
Maka jelaslah bahwa peraturan perundang-undangan sebagai
salah satu bentuk hukum tertulis menjadi lebih penting di masa
kini dan di masa yang akan datang.239
Perundang-undangan adalah suatu gejala yang relatif
kompleks dan proses pembentukannya melibatkan berbagai
faktor kemasyarakatan lainnya serta dipengaruhi oleh
berbagai cabang pengetahuan hukum yang ada dan

237
Ketrampilan Perancangan Hukum, Laboratorium Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Parahuyangan, Bandungm 1997, hlm.1
238
Ibid.
239
Amiroeddin Syarif, op. cit., hlm. 3-4
280 Produk Hukum Pajak...

pengetahuan lainnya. Apa yang dimaksud dengan peraturan


perundang-undangan, syarat-syarat apa saja yang harus
dipenuhi agar suatu peraturan dapat dinyatakan sebagai
peraturan perundang-undangan yang baik, bagaimana
proses, metoda dan teknik untuk merumuskan sebuah
peraturan perundang-undangan, asas hukum apa saja yang
melatar belakanginya, bagaimana menempatkan berbagai
jenis peraturan perundang-undangan dalam suatu tata urutan
yang bersifat hirarkis, merupakan beberapa masalah yang
terkandung dalam gejala perundang-undangan tersebut.240
Kompleksitas permasalahan yang terdapat dalam
gejala perundang-undangan, dalam perkembangan
pemikiran selanjutnya melahirkan seperangkat teori
perundang-undangan yang menjadi dasar berdirinya suatu
cabang pengetahuan spesifik dalam rangka studi hukum yang
disebut ilmu perundang-undangan (wetgevingswetenschap).
Salah satu aspek dari teori dan ilmu perundang-undangan
tersebut adalah berkenaan dengan proses pembentukan
peraturan perundang-undangan.241 Pembentukan peraturan
perundang-undangan (Staatliche rechtssetzung) adalah
ikhtiar/upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti
mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam
konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan
dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan
kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintah.
Sedang tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada

240
Ibid.
241
Ibid.
Mustaqiem 281

umumnya mengacu kepada idea atau tujuan hukum secara


umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban, dan
kepastian hukum.242
Menurut teori perundang-undangan, pembentukan
peraturan perundang-undangan meliputi dua masalah
pokok, yaitu Aspek Materiil/Substansial dan Aspek Formal/
Prosedural.243 Aspek materiil/Substansial berkenaan dengan
masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-
undangan yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah hukum
sampai dengan pedoman perilaku konkrit dalam bentuk
aturan-aturan hukum. Seperti, ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 138 :
(1) “Materi muatan Peraturam Daerah mengandung asas:
(a) pengayoman, (b) kemanusiaan, (c) kebangsaan, (d)
kekeluargaan, (e) kenusantaraan, (f) bhineka tunggal ika,
(g) keadilan, (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, (i) ketertiban dan kepastian hukum, dan/
atau, (j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Asas-asas tersebut sangat diperlukan dalam Peraturan
Daerah khususnya yang mengatur pajak daerah. Seperi
setiap kepemilikan kendaraan bermotor harus
mendapatkan pengayoman hukum, semua orang yang
memiliki atau menguasai secara sah untuk mewujudkan
rasa keadilan dan kesamaan di hadapan hukum maka
akan dikenakan Pajak kendaraan bermotor, demikian
pula peraturan daerah tentang pajak daerah untuk

242
Ketrampilan Perancacangan Hukum, op. cit., hlm. 2
243
Ibid .
282 Produk Hukum Pajak...

mewujudkan ketertiban maupun kepastian hukum.


(2) “Selain asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Peraturan daerah memuat asas lain sesuai dengan
substansi Peraturan Daerah yang bersangkutan”. Hal ini
berarti antara peraturan daerah yang satu dengan lainnya
“asas lain” yang dipegunakan dimungkinkan bisa
berbeda sesuai dengan substansinya.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
ditetapkan pula asas peraturan perundang-undangan yang
diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1). Pasal 5, menetapkan
bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan
harus didasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Selain beberapa asas-asas tersebut, masih ada beberapa
asas yang harus diperhatikan yang diatur pada Pasal 6 ayat
(1) yang menetapkan bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan mengandung asas antara lain :
(a) Pengayoman,
(b) Kemanusian,
(c) Kebangsaan,
(d) Kekeluargaan,
Mustaqiem 283

(e) kenusantaraan,
(f) kebhinekaan tunggal ika,
(g) keadilan,
(h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
(i) Ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau,
(j) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Menurut Pasal 12, materi muatan Peraturan Daerah
adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada bagian lain,
aspek materiil ini berkenaan dengan masalah pembentukan
struktur, seperti struktur Peraturan Daerah yang dibuat dan
dipergunakan sebagai dasar pemungutan pajak daerah harus
memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000,
Pasal 4 ayat (3): Peraturan Daerah tentang pajak sekurang-
kurangnya mengatur ketentuan mengenai :
(a) nama, objek, dan subjek pajak;
(b) dasar pengenaan pajak, tarif, dan cara penghitungan pajak;
(c) wilayah pemungutan;
(d) penetapan;
(e) tata cara pembayaran dan penagihan;
(f) kadaluarsa.
Aspek formal/prosedural berhubungan dengan
kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berlangsung dalam suatu negara tertentu. Seperti yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 20: ayat (2) : “ Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
284 Produk Hukum Pajak...

Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan


bersama”. Dan pada ayat (4): “Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang”.
Pada tingkat daerah aspek formal (procedural) juga harus
diperhatikan karena sudah ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1 : “Peraturan daerah ditetapkan
oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
C.Tipe–tipe Pajak Daerah
Peraturan perundang-undangan bidang perpajakan
merupakan salah satu produk hukum, oleh karena itu harus
tunduk pada norma–norma hukum, baik mengenai
pembuatan, pelaksanaan, maupun materinya.244 Hukum
selalu bertujuan memberi keadilan, dan sebagai alat
digunakan untuk mengatur tata tertib/tertib (order) hukum.245
Seperti uraian di tempat lain dalam tulisan ini, bahwa bidang
perpajakan di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Dasar
1945, Pasal 23 ayat (2) sebagaimana telah diamandemen dengan
Pasal 23 A UUD 1945.
Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tersebut
merupakan dasar konstitusional bagi pembuatan kebijakan
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara. Ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar yang dipakai untuk mengatur
bidang perpajakan masih bersifat global sehingga secara
244
Rochmat Soemitro, 1991, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum,
Eresco,Bandung, hlm. 1
245
Ibid.
Mustaqiem 285

yuridis perlu dibuatkan peraturan perundang-undangan


yang lebih spesifik yang tingkatannya berada di bawah
Undang-Undang Dasar 1945. Seperti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Daerah.
Secara riel mulai 1983 sudah dibuatkan berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan, seperti :
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan;
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah;
d. Dan untuk keperluan pengaturan Pajak Daerah
diterbitkan Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, serta Peraturan Daerah yang dipakai untuk
mengatur Pajak Daerah.
Secara yuridis pembuatan berbagai macam tingkatan
peraturan perundang-undangan tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sebab proses
pembuatannya telah memenuhi ketentuan formal yang
ditetapkan dalam beberapa ketentuan sebagai berikut :
286 Produk Hukum Pajak...

(a) Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945:


“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang “
(b) Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 34 Tahun 2000 :
“Ketentuan tentang objek, subjek, dan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
(c) Pasal 3 ayat (3) UU Nomor 34 Tahun 2000:
“Tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
e, huruf f, huruf g, dan huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf
k, ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Pembuatan tingkatan peraturan perundang-
undangan bidang perpajakan tersebut menunjukkan
adanya pola delegation of Authority yaitu pendelegasian
kekuasaan undang–undang kepada peraturan lain yang lebih
rendah tingkatannya.246 Berdasarkan uraian tersebut,
menunjukkan bahwa Peraturan Daerah yang dipergunakan
untuk mengatur macam-macam Pajak Daerah merupakan
peraturan yang bersifat lex specialis, yang tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, maupun Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagai lex generalisnya. Lex generalis ini harus
dipakai sebagai pedoman dalam pembuatan Peraturan
Daerah yang dipergunakan untuk mengatur Pajak Daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Pajak
Daerah dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Pajak Daerah
246
Muqodim, Perpajakan, UII Press, Yogyakarta, 1999, hlm. 10
Mustaqiem 287

Propinsi dan Pajak Daerah Kabupaten atau Kota. Berdasarkan


Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, menetapkan
bahwa Pajak Daerah yang merupakan kewenangan
pemerintah Propinsi menjadi 4 (empat) jenis meliputi: Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan Tanah.
Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
menetapkan Peraturan Daerah Nomor : 1 Tahun 2002 sebagai
dasar hukum pemungutan 4 (empat) macam Pajak Daerah
yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan di
atasnya. Peraturan Daerah yang dipergunakan mengatur Pajak
Daerah merupakan lex specialis dari lex generalis (Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 Jo Undang-Undang Nomor 9
tahun 1994 Jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
tentang ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan dan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah).
Setelah dianalisis, ternyata salah satu dari lex generalis
yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan tidak ditemukan dalam konsiderans mengingat
yang merupakan bagian “tubuh” dalam Peraturan Daerah
288 Produk Hukum Pajak...

Nomor 1 Tahun 2002. Di dalam perda tersebut hanya terdapat


Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sebagai lex generalisnya. Hal tersebut
dapat dibaca dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Peraturan
Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 yang
sebagian substansinya mengadopsi Undang-Undang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dimaksud. Hal ini sudah sesuai,
karena sebutan peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah merupakan lex spicialis dari
lex generalis yang dinamakan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
2. Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pajak Daerah merupakan lex spicialis
dari lex generalis yang dinamakan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, pajak daerah terdiri
atas Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air permukaan. Meskipun pajak daerah tersebut hanya
diatur dengan satu Peraturan Daerah tetapi masing-masing
Pajak Daerah mempunyai tipe sendiri-sendiri. Tipe masing-
masing Pajak Daerah adalah sebagai berikut :
Mustaqiem 289

1) Pajak Kendaraan Bermotor


Subjek pajak kendaraan bermotor adalah orang pribadi
atau badan yang memiliki dan menguasai kendaraan
bermotor. Kendaraan bermotor ialah semua kendaraan roda
dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di
semua jenis jalan darat dan digerakkan oleh peralatan teknik
berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk
mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga
gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-
alat berat dan alat-alat besar yang bergerak. Objek pajaknya
adalah kepemilikian dan/atau penguasaan kendaraan
bermotor. Pajak ini dapat digolongkan dalam tipe pajak
langsung, karena memenuhi ciri khas pajak langsung yaitu
dikenakan berulang-ulang pada waktu yang tertentu
(periodik), seperti pajak ini dipungut setiap tahun.
Pajak Kendaraan Bermotor dipungut secara periodik
tiap-tiap tahun, ketentuan ini ditegaskan dalam Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 22 ayat (1) :” Masa pajak
adalah 12 (dua belas) bulan berturut-turut yang merupakan
tahun pajak, dimulai pada saat pendaftaran kendaraan
bermotor”. Substansi Pasal 22 ayat (1) ini sudah cukup
mencerminkan bahwa Pajak Kendaraan Bermotor termasuk
tipe pajak langsung, meskipun dalam Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pajak Daerah tidak disebutkan
secara nyata sebagai pajak langsung.
Menurut Peraturan Daerah Nomor Pemerintah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 Pasal 8 ditentukan bahwa
tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan sebesar: (a) 1,5
290 Produk Hukum Pajak...

% (satu setengah persen) untuk kendaraan bermotor bukan


umum; (b) 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor
umum; (c) 0,5% (setengah persen) untuk kendaraan
bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. Perbedaan tarif
pajak tersebut didasarkan pada perbedaan penggunaan
maupun status kendaraan bermotor. Berdasar teori tarif
pajak, maka tarif Pajak Kendaraan Bermotor termasuk tarif
yang bersifat degresif, yang dipengaruhi oleh status
kepemilikan kendaraan bermotor
Pelaksanaan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor
menggunakan Official Assesment System, karena yang
menetapkan jumlah Pajak Kendaraan Bermotor yang harus
dibayar adalah aparat pajak daerah. Meskipun menurut
Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
2002, Pasal 24 ayat (1) “ setiap wajib pajak diwajibkan mengisi
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) atau dokumen
lain yang dipersamakan, sekurang-kurangnya memuat : (1)
nama dan alamat lengkap pemilik, (2) jenis, merk, tipe, isi
cylinder, tahun pembuatan, warna, nomor rangka, dan nomor
mesin, (3) gandengan dan jumlah sumbu.
Selain itu, dasar yuridis penggunaan official assessment
system adalah Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY
Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 6 ayat (5) yang menetapkan
bahwa : “Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini, ditetapkan
oleh Gubernur sesuai tabel yang ditetapkan oleh Menteri”.
Mustaqiem 291

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor


Subyek Pajak BBN-Kendaraan Bermotor pengertiannya
sama dengan Wajib Pajak BBN-Kendararaan Bermotor,
karena Subjek/Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau
badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor.
Dalam Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor :
1 Tahun 2002 ditetapkan setiap penyerahan kendaraan
bermotor akan menimbulkan objek Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor. Penyerahan kendaraan bermotor
dilihat dari aspek hukum menyebabkan pengalihan hak
milik atas kendaraan bermotor dan/atau kendaraan diatas
air sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan
sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar
menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan,
atau pemasukan kedalam badan usaha. Ketentuan Tersebut
menunjukkan bahwa objek Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor baru timbul apabila ada hubungan hukum yang
mempengaruhi peristiwa penyerahan.
Peristiwa penyerahan bukan hanya dilihat dari aspek
ekonomi tetapi dapat dilihat juga dari aspek hukum. Jika
dilihat dari aspek hukum, peristiwa penyerahan Kendaraan
Bermotor dan/atau Kendaraan di atas Air merupakan suatu
hubungan yang menimbulkan akibat beralihnya hak milik
atas kendaraan. Selain itu, karena pemungutannya
didasarkan pada suatu peristiwa tertentu maka tidak memiliki
sifat periodisasi, karena tidak memiliki sifat ini maka Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor tergolong pajak tidak langsung.
Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Daerah Pemerintah
292 Produk Hukum Pajak...

Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 Pasal 27 ayat (1) “Saat


pajak terhutang dihitung sejak terjadinya penyerahan
kendaraan bermotor”.
Adapun Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBN-KB) penetapannya diatur dengan Pasal 12 Peraturan
Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002
sebagai berikut :
1) Besarnya tarif BBN-KB atas penyerahan pertama ditetapkan
sebesar :
a. 10% (sepuluh persen) untuk kendaraan bermotor
umum dan bukan umum;
b. 3% ( tiga persen ) untuk kendaraan bermotor alat-alat
berat dan alat-alat berat.
2) Besarnya tarif BBN-KB atas penyerahan kedua dan
ditetapkan sebesar :
a. 1% (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum
dan bukan umum;
b. 0,3% (nol koma nol tiga persen) untuk kendaraan
bermotor alat-alat berat dan alat-alat berat.
3) Besarnya tarif BBN-KB atas penyerahan karena warisan
sebesar:
a. 0,1% (nol koma satu persen) untuk kendaraan
bermotor umum dan bukan umum;
b. 0,03% (nol koma nol tiga persen) untuk kendaraan
bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.
Sifat tarif pajak ini adalah degresif yang dipengaruhi
oleh katagori penyerahan. Penggunaan tarif bea balik nama
kendaraan bermotor tersebut atas dasar peristiwa
Mustaqiem 293

penyerahan ke-1 atau ke-2, yang didasarkan pada status


kendaraan bermotor (umum/tidak umum/alat-alat berat/
besar), dan penyerahan karena warisan. Tarif Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor atas penyerahan pertama (balik
nama pertama) lebih tinggi dibandingkan dengan
penyerahan kedua (balik nama kedua) dapat dikaji dari dua
aspek yaitu aspek nilai dan aspek lingkungan.
Berdasarkan aspek nilai, maka kendaraan yang
pertama kali diserahkan (balik nama pertama) nilainya lebih
tinggi dibandingkan dengan kendaraan yang diserahkan
kedua (balik nama kedua), sehubungan dengan hal tersebut
maka penetapan tarif ini sudah memuat rasa keadilan.
Selanjutnya jika dikaji dari aspek lingkungan penyerahan
kendaraan yang kedua (balik nama kedua) seharusnya
dikenakan tarif balik nama lebih tinggi dibandingkan dengan
penyerahan pertama (balik nama pertama) karena kendaraan
yang diserahkan yang kedua dan seterusnya (balik nama yang
kedua dan seterusnya) dapat menyebabkan atau
menimbulkan polusi lingkungan yang lebih besar dibanding
dengan kendaraan yang diserahkan pertama (balik nama
pertama), dengan demikian apabila kendaraan yang
diserahkan kedua dikenai tarif bea balik nama lebih tinggi
dari pada kendaraan yang diserahkan pertama (balik nama
pertama), hal ini sudah mencerminkan rasa keadilan yang
dihubungkan dengan persoalan lingkungan hidup. Sedang
penyerahan kendaraan (balik nama kendaraan) atas warisan
tarifnya paling rendah dibandingkan lainnya, karena
penerimaan warisan tidak perlu diukur dengan nilai
294 Produk Hukum Pajak...

maupun kemapuan ekonomis ahli waris, sehingga sudah


selayaknya jika tarif balik nama kendaraan atas warisan
tergolong paling rendah.
Pelaksanaan pemungutan bea balik nama–kendaraan
bermotor menggunakan official assesment system, karena yang
menetapkan besar kecilnya jumlah bea balik nama–
kendaraan bermotor adalah pihak aparat pajak daerah.
Sistem ini didasarkan pada Peraturan Daerah Pemerintah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000 Pasal 10 ayat (1) :”Dalam
hal Nilai Jual Kendaraan Bermotor belum tercantum dalam
tabel yang ditetapkan oleh Menteri, maka Gubernur
menetapkan Nilai Jual Kendaraan Bermotor dengan
Keputusan Gubernur”.
Meskipun Wajib Pajak mengisi dan menyampaikan
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), yang sekurang-
kurangnya memuat :
a. nama, nomor induk kependudukan, dan alamat lengkap
yang menyerahkan dan yang menerima penyerahan;
b. tanggal penyerahan;
c. jenis, merk, tipe, isi cylinder, tahun pembuatan, warna,
nomor rangka, dan nomor mesin;
d. dasar penyerahan;
e. harga penjualan.
Sebagai dasar penguat sistem pemungutan pajak
daerah yang meng-gunakan official assessment system adalah
Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
2002, Pasal 37 ayat (1) : “berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak daerah sebagaimana dimaksud Pasal 24, 27, 31 dan
Mustaqiem 295

35 Peraturan Daerah ini, PKB, BBN-KB, PBB-KB, dan Pajak


ABT ditetapkan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan”.
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pihak yang menjadi subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor adalah konsumen bahan bakar kendaraan bermotor,
sedang wajib pajaknya adalah orang atau badan yang
menggunakan bahan bakar kendaraan bermotor. Objek pajak
ini ialah bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan
atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor,
termasuk bahan bakar yang dipergunakan untuk kendaraan
di atas air. Pelaksanaan pemungutan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor melibatkan pihak ketiga sebagai wajib
pungut, yaitu pihak yang melayani pengisian bahan bakar
kendaran bermotor. Wajib Pungut memiliki kewajiban yang
diatur Pasal 31 ayat (1): “Setiap Wajib Pungut diwajibkan
mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau dokumen
lain yang dipersamakan”.
Berdasarkan Pasal 29, masa Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor adalah jangka waktu lamanya sama
dengan 1 (satu) bulan takwim, berarti pajak ini tergolong
pajak langsung. Karena pajak ini tergolong pajak langsung,
maka setiap wajib pungut diwajibkan mengisi Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) atau dokumen lain
yang dipersamakan. Menurut Peraturan Daerah Propinsi
DIY Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 32 ayat (1) dinyatakan
bahwa dalam SPTPD sekurang-kurangnya memuat: (1)
nama dan alamat lengkap, (2) Volume penjualan, (3) Harga
296 Produk Hukum Pajak...

jual bahan bakar kendaraan bermotor, (4) Jenis bahan bakar


kendaraan bermotor (karena tidak memuat besar kecilnya
hutang pajak yang harus dibayar maka pemungutan pajak
ini menggunakan official assessment system). Dilihat dari aspek
tarif, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor menggunakan
satu macam tarif yaitu sebesar 5% (lima persen), tarif ini
tergolong tarif sepadan (propotional) yang akan diberlakukan
bagi setiap orang atau badan yang membeli Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor. Perbedaan jumlah pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor bagi masing-masing Wajib Pajak
didasarkan atas banyak sedikitnya bahan bakar kendaraan
bermotor yang dibeli.
4) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan
Salah satu pajak daerah yang pemungutannya menjadi
kewenangan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah Pajak Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan. Objek pajak ini adalah : (a) pengambilan air
bawah tanah dan/atau air permukaan, (b) pemanfaatan air
bawah tanah dan/atau air permukaan, (c) pengambilan atau
pemanfaatan air bawah dan/atau air permukaan. Pihak
yang menjadi subjek pajak ini adalah orang pribadi dan
badan yang mengambil dan/atau memanfaatkan air bawah
tanah dan air permukaan.
Dikecualikan dari objek pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ini adalah
pengambilan/pemanfatan yang dilakukan atau
diperuntukkan :
Mustaqiem 297

1) Oleh pemerintah pusat atau daerah.


2) Oleh BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk
menyelenggarakan usaha eksploitasi dan pemeliharaan
pengairan pertanian rakyat.
3) Untuk kepentingan pengairan pertanian.
4) Untuk keperluan dasar rumah tangga sampai dengan 48 M3.
5) Untuk keperluan lembaga sosial keagamaan.
6) Untuk keperluan lembaga pendidikan dasar/Madrasah
ibtida’iyah.
7) Untuk keperluan asrama mahasiswa/pelajar milik
pemrintah.
Pelaksanaan pemungutan pajak dilakukan terus
menerus setiap bulan, oleh karena itu diperlukan pengisian
dan penyampaian Surat Pemberitahuan yang harus
dilakukan oleh Wajib Pajak. Ketentuan ini diatur Pasal 35
ayat (1): “Setiap Wajib Pajak diwajibkan mengisi Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) atau dokumen lain yang
dipersamakan”, dengan ketentuan sekurang-kurangnya
memuat : (a) nama dan alamat lengkap, (b) volume pemakaian,
(c) harga dasar air, (d) nilai faktor untuk menghitung nilai
perolehan air (karena tidak ada pencantuman besar kecilnya
jumlah pajak yang terhutang maka pemungutan pajak ini
menggunakan official assessment system).
Penetapan tarif pajak yang terdiri atas dua macam
mengindikasikan bahwa tarif ini tergolong tarif pajak yang
bersifat progresif yang dipengaruhi asal-usul tempat air yang
dimanfaatkan berasal. Dua macam tarif pajak dimaksud yang
ditetapkan Pasal 18 adalah sebagai berikut:
298 Pengaturan Bidang Perpajakan...

1) Tarif Pajak Air untuk pengambilan dan pemanfaatan Air


Bawah tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen);
2) Tarif Pajak Air untuk pengambilan dan pemanfaatan Air
Permukaan ditetapkan sebesar 10% ( sepuluh persen).
Perbedaan tarif ini dikarenakan efek samping
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah lebih besar
daripada pengambilan dan pemanfaatan air permukaan.
Pendapatan Asli Daerah Propinsi DIY yang berasal dari
pajak ini dalam waktu tiga tahun terakhir adalah Tahun
Anggaran 2002/2003 : Rp. 874.236.260,00; Tahun Anggaran
2003/2004 : Rp. 1.941.974.165,00; Tahun Anggaran 2004/2005
(awal) : Rp. 852. 029.775,00.
D. Pajak Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah kecil
yang berada di selatan pulau Jawa. Namun demikian
Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai berbagai
keistimewaan, salah satunya adalah daerah sentra kaum
terdidik yang berimplikasi pada upaya perbaikan pola
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Upaya tersebut
dilakukan dengan berupaya sekuat mungkin untuk
menciptakan transparansi dan akuntabilitas pemungutan
berbagai iuran wajib daerah, baik pajak maupun retribusi.
Urusan perpajakan daerah merupakan urusan yang
sentral karena pajak daerah merupakan salah satu sumber
utama pendanaan pemerintahan daerah. Pemerintah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membuat aturan
tentang Pajak Daerah dengan Peraturan Daerah No. 1 tahun
2002. Secara umum PERDA tersebut sudah sesuai dengan
Mustaqiem 299

ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun


konteks teoritis tentang proses penyusunan PERDA.
Beberapa aspek yang berkaitan dengan penyusunan
Peraturan Daerah Propinsi DIY No. 1 tahun 2002 ini diungkap
untuk alasan studi kasus dan pelekatan konteks teoritis
dengan konteks praktis, sekaligus sebagai panduan kecil bagi
aparat Pemerintah Daerah yang akan menyusun PERDA
tentang Pajak Daerah. Terdapat 3 (tiga) aspek yang akan dikaji
dalam tulisan ini, antara lain pertama, aspek filosofis, yuridis
dan politis, kedua, aspek materiil dan formil, dan ketiga,
ketentuan tentang sanksi dalam bidang perpajakan.
Demi kebutuhan kemudahan membaca buku ini,
berikut akan diuraikan ketiga aspek di atas secara lebih rinci.
1. Aspek Filosofis, Yuridis dan Politis
Pemahaman sederhana tentang tiga aspek di atas
adalah bahwa landasan filosofis merupakan dasar filsafat
atau pandangan, atau idée yang menjadi dasar cita-cita
sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan
pemerintahan ke dalam suatu rencana atau draf peraturan
perundang-undangan. Landasan yuridis berkaitan dengan
ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechts-grond)
bagi pembuatan suatu peraturan perundang-undangan,
sedangkan landasan politik adalah garis kebijaksanaan
politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan dan
ketatalaksanaan pemerintahan negara selanjutnya.
Ketiga aspek di atas harus dipenuhi oleh peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah dalam
hal ini adalah Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa
300 Produk Hukum Pajak...

Yogyakarta. Secara rinci, implikasi dari ketentuan tiga aspek


ke dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY No. 1 tahun 2002
adalah sebagai berikut :
1. Landasan Filosofis
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara
filosofis mengamatkan kepada bangsa negara untuk
menegakkan : Faham negara persatuan, Negara
berkedaulatan rakyat (Demokrasi), dan Negara hukum
(Rechtsstaat).247 Untuk memenuhi landasan filosofis
tersebut, dalam bidang perpajakan pada awalnya
dibuatkan landasan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa : “Segala
pajak untuk keperluan negara berdasar undang-undang”.
Ditetapkannya pasal ini dalam Undang-Undang Dasar
1945 pada waktu itu tentu ada hubungannya dengan sta-
tus Indonesia sebagai negara hukum. Berbagai pendapat
mengatakan bahwa salah satu ciri negara hukum adalah
tindakan negara harus berdasarkan hukum (asas legalitas).
Apabila dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak
ditemukan pasal tersebut, maka siapapun (termasuk
negara) tidak punya kewenangan melakukan
pemungutan pajak. Mengikuti perkembangan maupun
perubahan yang terjadi, ahirnya Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 diamandemen dan diganti dengan
Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan pasal

247
M. Noor Syam, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum
(sebagai landasan pembinaan sistem hukum nasional), Lab. Pancasila, Malang,
1998, hlm. vii
Mustaqiem 301

hasil amandemen rumusannya lebih luas dari pada


rumusan pasal sebelumnya, karena yang diatur tidak
terbatas masalah pajak tetapi pungutan-pungutan lain
di luar pajak.
2. Landasan Politis
Dasar atau landasan politis Peraturan Daerah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah
adalah :
a) Dalam rangka mendukung pelaksanaan Otonomi
Daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab untuk
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan
Pembangunan Daerah perlu dukungan pembiayaan
yang memadai dari Pendapatan Asli Daerah, khususnya
Pajak Daerah. Kebijaksanaan yang berkaitan dengan
otonomi daerah, memiliki tujuan agar “melahirkan”
kemandirian daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Jika daerah berstatus sebagai daerah
otonom, maka daerah harus memiliki sumber
pendapatan asli daerah sendiri, sehingga tidak
menggantungkan kepada pemerintah pusat. Penetapan
sumber–sumber pendapatan asli daerah selama ini
didasarkan pada sebuah undang-undang yang tentu
saja merupakan produk pemerintah pusat.
Dalam dasawarsa terakhir ini, salah satu fenomena pal-
ing menonjol dari hubungan antara sistem pemerintahan
daerah dan pembangunan daerah adalah
ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap
pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari
302 Produk Hukum Pajak...

aspek keuangan. Pemerintah daerah kehilangan


keleluasaan bertindak (local discretion) untuk
mengambil keputusan penting dan adanya campur
tangan pemerintah pusat yang besar terhadap
pemerintah daerah.248
Meskipun daerah otonom memiliki sumber Pendapatan
Asli Daerah (termasuk pajak daerah), tetapi keberadaan
pajak daerah tidak tergantung pada ada/tidaknya
otonomi daerah, tetapi tergantung ada/tidaknya
peraturan perundang-undangan yang mengatur
keberadaan pajak daerah, seperti Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Pajak dan
Retribusi Daerah. Jika kedua undang-undang tersebut
tidak pernah ada maka pajak daerah yang merupakan
salah satu sumber pendapatan asli daerah secara
otomatis tidak ada. Selanjutnya pajak daerah bisa
dijadikan sebagai pajak pusat dan pihak yang mengatur,
memungut, dan menggunakan adalah pemerintah pusat.
b) Bahwa Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor pernah diatur dengan Peraturan Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berturut-turut
Nomor 3, 4, 13 Tahun 1998. Sedangkan untuk Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan belum diatur dalam Peraturan Daerah
tersebut, sehingga keempat jenis Pajak Daerah tersebut

248
Mudrajad Kuncoro, Desentralisasi Fiskal di Indonesia” Prisma”, No.4
Tahun 1999, Jakarta, hlm. 3
Mustaqiem 303

perlu diatur dan disesuaikan dengan Undang-Undang


Nomor 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor
65 tahun 2002 (poin menimbang Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2002).
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis ditetapkannya Peraturan Daerah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah
adalah sebagai berikut :
a) Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf h, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Otonomi Daerah yang
menyatakan bahwa daerah otonom berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 21.
b) Bagian V Kewajiban Kepala Daerah, Pasal 43 huruf g
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa Kepala Daerah mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya
sebagai Peraturan Daerah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 136 ayat (1) : Peraturan
Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
c) Bab VI Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Kepala
304 Produk Hukum Pajak...

Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Ketentuan ini dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 diatur pada Pasal 136.
d) Pasal 70 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, Peraturan Daerah lain, dan
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Ketentuan tersebut kemudian diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal
136 ayat (4): “Peraturan daerah dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”.
e) Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas :
1) Pendapatan asli Daerah, yaitu : a) hasil pajak daerah;
b) hasil retribusi daerah; c) hasil perusahaan milik
daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan d) lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah;
2) dana perimbangan,
3) pinjaman daerah; dan
4) lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Ketentuan seperti ini dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 157 : “ Sumber-
sumber pendapatan daerah terdiri atas : (1)
Mustaqiem 305

Pendapatan Asli Daerah (hasil pajak daerah, hasil


retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah
yang sah), (2) Dana perimbangan, (3) lain-lain
pendapatan daerah yang sah.
f) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
dan Retribusi Daerah, Pasal 4 ayat (1), Pajak
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
g) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 158 ayat
(1) : Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan
dengan undang-undang yang pelaksanaannya di
daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.
2. Aspek Ketentuan Materiil dan Formil
Kerangka atau struktur lain yang harus diikuti dalam
proses penyusunan peraturan perundang-udangan adalah
ketentuan formil dan ketentuan materiil. Secara sederhana,
Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pajak Daerah dianggap sudah memenuhi Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000, Pasal 4 ayat (3) atau telah mentaati
(konsisten) terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Uraian tentang ketentuan formil
dan materiil, adalah sebagai berikut :
A. Ketentuan Formil
Berdasarkan kewenangan (kompetensi) pembuatan
peraturan perundang-undangan, maka pembuatan
Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 oleh
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah memenuhi
306 Produk Hukum Pajak...

syarat yang bersifat formil. Ketentuan formil diatur


dalam :
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 69: “Kepala Daerah
menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang - undangan
yang lebih tinggi”.
Pasal 82 ayat (2): “Penentuan tarif dan tata cara
pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang - undangan”.
b. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak
Dan Retribusi Daerah, Pasal 4 ayat (1) : “Pajak Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 136 ayat
(1) : Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah
setelah mendapat persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Berdasarkan substansi beberapa pasal, baik dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berkaitan dengan
ketentuan formil penyelenggaraan pemungutan pajak
daerah menunjukkan tidak terdapat perbedaan. Sehingga
Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 jika
diukur dengan kedua Undang-Undang tersebut telah
memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Mustaqiem 307

B. Ketentuan Materiil
Merupakan ketentuan yang berhubungan dengan
segi isi atau kandungan hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketentuan yang bersifat materiil ditetapkan dalam :
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 70 : “Peraturan Daerah
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
Peraturan Daerah lain, dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 136 ayat (4): “Perda
sebagaimana dimaksu dpada ayat (1) dilarang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.
c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak
dan Retribusi Daerah, Pasal 4 ayat (2) “Peraturan
Daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut”.
Ketentuan tersebut telah dipenuhi oleh Peraturan
Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 (Lembaran
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
2002 Nomor 1 Seri B), Pasal 60 menyatakan bahwa :
“Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan, ialah diundangkan di Yogyakarta pada
tanggal 15 Pebruari 2002”.
Ayat (3) : “Peraturan Daerah tentang pajak sekurang-
kurangnya mengatur ketentuan mengenai : (1) nama,
objek, dan subjek pajak; (2) dasar pengenaan, tarif, dan
308 Produk Hukum Pajak...

cara penghitungan pajak; (3) wilayah pemungutan; (4)


penetapan, (5) tata cara pembayaran dan penagihan; (6)
Kedaluarsa; (7) sanksi administrasi; (8) tanggal mulai
berlakunya.
Ayat (4) : “Peraturan Daerah tentang pajak dapat
mengatur ketentuan mengenai”:
a. Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan
dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau
sanksinya;
b. Tata cara penghapusan piutang pajak yang
kadaluarsa;
c. Asas timbal balik.
Dilihat dari ketentuan yang ditetapkan dalam pasal-
pasal tersebut, menunjukkan bahwa Peraturan Daerah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 secara materiil sudah
sesuai dengan ketetapan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000, meskipun ketetapan tentang
penamaan objek Pajak Daerah dalam Peraturan Daerah
tersebut tidak lengkap seperti yang ditetapkan oleh Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Menurut pasal tersebut jenis pajak Propinsi terdiri atas :
(1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas
Air, (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor, (4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Dibawah Tanah dan Air Permukaan.
Ketidaklengkapan penamaan objek pajak daerah
dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
Mustaqiem 309

2002 seperti yang diatur pada Pasal 3 ayat (1) : “Objek


Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan atau
penguasaan kendaraan bermotor”, dan ayat (2) : “Objek
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan
kendaraan bermotor”.
Rumusan tersebut secara yuridis tidak menjangkau
kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan di Atas
Air. Begitu pula objek Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor adalah penyerahan kendaraan bermotor, maka
secara yuridis hal tersebut tidak dapat menjangkau
pihak-pihak yang melakukan penyerahan Kendaraan di
Atas Air. Oleh karena itu, jika diukur ruang lingkupnya
maka Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
2002 ruang lingkupnya lebih sempit dari pada yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000. Lebih jelasnya dua objek Pajak Daerah tersebut
dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
2002 tidak lengkap seperti pada Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000. untuk lebih jelasnya hal tersebut
dapat diketahui melalui tabel sebagai berikut :
Tabel 6
Nama-Nama Pajak Daerah Menurut UU No. 34 Th.2000
Dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2002
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Menurut UU No. 34 Menurut Perda No. 1


Tahun 2000 Tahun 2002

1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Kendaraan


dan Kendaraan di atas Air Bermotor
310 Produk Hukum Pajak...

2. Bea Balik Nama 2. Bea Balik Nama


Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor
Kendaraan di Atas Air 3. Pajak Bahan Bakar
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Kendaraan Bermotor
4. Pajak Pengambilan dan 4. Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan Tanah dan Air Permukaan

Di sisi lain, bahwa ketetapan tarif Pajak Daerah yang


diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1
Tahun 2002 persentasenya tidak bertentangan dengan
ketetapan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Berdasarkan ketentuan batas maksimal tarif pajak daerah
yang sudah ditetapkan pemerintah berdasar undang-
undang tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah
Daerah posisinya terbatas sebagai pelaksana teknis di
bidang perpajakan daerah, meskipun untuk melaksanakan
kebijakan tersebut harus diterbitkan Peraturan Daerah. Hal
ini menunjukkan bahwa berdasarkan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000, Pemerintah tetap memiliki
dominasi (kekuasaan) yang besar di bidang Pajak
Daerah, seperti pengaturan tarif pajak daerah dalam
Pasal 3 ayat (1) : “Tarif jenis pajak daerah (Propinsi dan
Kabupaten/Kota) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling tinggi sebesar : “
Pasal di atas ditulis guna menunjukkan bahwa
kebijakan pengaturan pembatasan maksimal tarif pajak
Mustaqiem 311

daerah berdasar Pasal 3 tersebut bersifat sentralistis.


Akibat dari kebijakan tersebut daerah tidak memiliki hak
menentukan tarif pajak daerah secara leluasa, karena
maksimal tarif pajak daerah sudah dibatasi oleh
pemerintah pusat. Hal ini dapat menyebabkan fungsi
pajak yang pertama (fungsi budgeter) tidak dapat
dimanfaatkan secara optimal oleh Daerah.
3. Ketentuan Sanksi di Bidang Perpajakan
Aspek lain yang tidak dapat dipisahkan ketika
membahas peraturan perundang-undangan adalah
pengaturan tentang sanksi. Pada dasarnya sanksi bagi
pelaku pelanggaran di bidang perpajakan dibedakan
menjadi dua, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Hal
demikian juga berlaku di bidang perpajakan daerah. Sanksi
administrasi ditujukan bagi Wajib Pajak yang memiliki
pajak terutang, tidak atau kurang dibayar (Peraturan
Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 38 ayat (1)
huruf a, angka 1) dan apabila Surat Pemberitahuan Pajak
Daerah tidak disampaikan kepada Gubernur dalam jangka
waktu yang sudah ditentukan meskipun sudah ditegur
secara tertulis (Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1
Tahun 2002, Pasal 38 ayat (1) huruf a, angka 2.
Penggunaan sanksi administrasi ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
2002, Pasal 38 ayat (2) : “ jumlah kekurangan pajak yang
terhutang dalam SKPPDKB sebagaimana dimaksud (Pasal
38 ayat (1) huruf a, angka 1 dan angka 2) dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
312 Produk Hukum Pajak...

dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar


untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terhutangnya pajak”.
Mengenai ancaman sanksi pidana ditetapkan berdasarkan
Pasal 54 ayat (1) Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun
2002 : “Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24, 27, 31, dan 35 Peraturan Daerah ini sehingga merugikan
keuangan daerah, dapat dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang. Bagi wajib
pajak yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, 27, 31, dan 35
Peraturan Daerah ini sehingga merugikan keuangan negara
dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya 4 (empat) kali
jumlah pajak terhutang”.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, sanksi pidana yang
terdiri dari kurungan dan denda bersifat kumulatif atau
bersifat alternative (...dan/ atau ...). Kategori tindak pidana
sebagaimana tersebut pada Peraturan Daerah Propinsi DIY
Nomor 1 Tahun, Pasal 54 ayat (1) dan (2) adalah pelanggaran.
Pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak tidak
dapat dituntut setelah melampaui jangka waktu 10
(sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak (ayat 4). Ketentuan dalam ayat (4),
selaras dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-
Mustaqiem 313

Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17


Tahun 2000 Pasal 12 ayat (1) : “Hak untuk penagihan pajak,
termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
pajak, daluarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak saat terutangnya atau berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang
bersangkutan”. Konsekuensi lama waktu daluarsa bagi
Wajib Pajak adalah bahwa ia harus menyimpan data atau
berkas-berkas perpajakan yang dimiliki minimal selama 10
(sepuluh) tahun agar dalam menghadapi permasalahan
perpajakan sewaktu-waktu mudah mempersiapkan data/
berkas-berkas yang diperlukan.
Untuk menegakkan rasa keadilan, sanksi di bidang
perpajakan daerah tidak hanya ditujukan kepada wajib
pajak yang melakukan pelanggaran, tetapi ditujukan juga
kepada aparat pajak apabila ia melakukan pelanggaran
larangan di bidang perpajakan daerah. Larangan tersebut
diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1
Tahun 2002, Pasal 52 ayat (1) yang berbunyi :
“setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak
lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah,
kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan”.
Larangan ini berlaku juga terhadap ahli-ahli yang
ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan
314 Produk Hukum Pajak...

daerah, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang


pengadilan. Aparat yang melakukan pelanggaran larangan
menurut menurut Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1
Tahun 2002, Pasal 52 ayat (1) dan (2) diancam dengan Pasal
55 ayat (1) dan (2). Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) pejabat
yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah). Sedang menurut Pasal 55 ayat
(2) “Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Berkaitan dengan
tindak pidana menurut Pasal 55 ayat (1) dan (2) tersebut,
penuntutannya hanya dilakukan atas pengaduan orang
yang kerahasiannya dilanggar.
Kategori tindak pidana yang dimuat dalam Peraturan
Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 selaras dengan
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 jis Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Pasal 41 :
(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi
kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan pal-
ing lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
Mustaqiem 315

4.000.000,00 (empat juta rupiah);


(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp. 10.000. 000,00;
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan
atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat seperti yang
dijelaskan dalam Peraturan Daerah maupun Undang-Undang
Ketetntuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat delik
aduan, sehingga pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat
agar dapat ditindaklanjuti melalui proses hukum memerlukan
keberanian wajib pajak yang dirugikan mau mengadu atau
melaporkan tindak pelanggaran yang terjadi. Sehingga
kasadaran hukum wajib pajak perlu selalu dibangkitkan.
Selain itu terdapat pula perbedaan sanksi pidana yang
diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1
Tahun 2002 bagi wajib pajak dengan pejabat, adapun
perbedaannya ialah sanksi bagi wajib pajak bersifat alternatif
atau kumulatif (… dan/ atau…), sedangkan sanksi bagi
pejabat bersifat alternatif (… atau …) saja, ketentuan tersebut
menyebabkan sanksi bagi wajib pajak lebih berat jika
dibandingkan dengan sanksi bagi pejabat. Proses sampai
penjatuhan sanksi baik bagi wajib pajak maupun pejabat
diawali dengan penyidikan yang dilakukan oleh Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah
316 Produk Hukum Pajak...

Daerah yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik


untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah. Sedangkan mengenai sanksi pidana bagi
wajib pajak dan aparat yang diatur dalam Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan terdapat perbedaan.
Perbedaannya sanksi bagi wajib pajak yang melakukan
pelanggaran karena kealpaan bersifat kumulatif atau
alternatif (dan / atau), sedang sanksi pelanggaran karena
kesengajaan bersifat kumulatif. Bagi aparat yang melakukan
pelanggaran baik karena kealpaan maupun kesengajaan
sanksinya bersifat kumulatif (... dan ...).
Di bidang perpajakan baik yang diatur dengan
Undang-Undang maupun Peraturan Daerah, setiap wajib
pajak memiliki hak dan kewajiban. Hak wajib pajak di
bidang perpajakan daerah diatur dalam Peraturan Daerah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 43 ayat (1) :
“Gubernur karena jabatannya atau atas permohonan
wajib pajak dapat membetulkan SKPD atau SKPDKB
atau SKPDKBT, atau STPD yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah”.
Hak wajib pajak yang lain menurut Peraturan Daerah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 Pasal 45 ayat (1) ialah :
“wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur
atau pejabat yang ditunjuk atas suatu: SKPD, SKPDKB,
SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN. Pasal 46 ayat 1
menetapkan bahwa: “ wajib pajak dapat mengajukan band-
ing kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dalam
Mustaqiem 317

jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya keputusan


keberatan dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk”.
Pada tahun 2002, Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP) telah diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Sehubungan dengan
hal tersebut maka rumusan Pasal 46 ayat (1) Peraturan Daerah
Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2002 harus disesuaikan.
BAB
PENUTUP
IV

Pengaturan bidang perpajakan daerah di Indonesia


dapat dibedakan menjadi 4 (empat) sistem, yaitu: a) sistem
desentralisasi dengan otonomi seluas-luasnya ketika
berlakunya UU No. 1 Tahun 1957; b) sistem sentralisasi
dengan otonomi nyata dan bertanggungjawab ketika
berlakunya UU No. 5 Tahun 1974; c) sistem sentralisasi
dan desentralisasi dengan otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab ketika berlakunya UU No. 22 Tahun 1999;
d) sistem sentralisasi dan desentralisasi dengan otonomi
seluas-luasnya ketika berlakunya UU No. 32 Tahun 2004.
Pembentukan peraturan daerah tentang Pajak Daerah
harus memenuhi aspek filosofis, yuridis dan politis, serta
memenuhi ketentuan formil dan materiil.
Di dalam peraturan daerah tentang Pajak Daerah
dikenal adanya dua bentuk sanksi yaitu sanksi administra-
tif dan sanksi pidana.
Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang
berasal dari sektor pajak daerah, sudah saatnya Pemerintah
Daerah diberi kebebasan untuk menentukan, mengatur, dan
Mustaqiem 319

mengelola jenis-jenis pajak daerah dengan menggunakan


sistem desentralisasi.
Persoalan kepentingan umum yang merupakan salah
satu ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh produk
hukum pajak daerah perlu ditinjau kembali karena
kepentingan umum mempunyai pengertian yang tidak
terbatas dan bersifat global, atau tidak mempunyai muatan
yang bersifat kepastian sehingga menyebabkan multitafsir.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdurrahman, Beberapa Aspek Pembangunan Hukum Nasional,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
----------, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Ilmu Perundang-undangan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Aini, Hamdani, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta, 1985
Ali, Chidir, Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1993
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Renika Cipta,
Jakarta, 1996
Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
(Desertasi), Universitas Indonesia, Jakarta, 1990
B. Usman dkk., Pajak-Pajak Indonesia, Yayasan Bina Pajak,
Jakarta, 1980
Bhakti Ardhiwisastra, Yudha, Penafsiran dan Konstruksi
Hukum, Alumni, Bandung, 2000
Bambang Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah Titik berat
Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah (pokok-
pokok pikiran menuju reformasi hukum di bidang
pemerintahan daerah), Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, 1998
Mustaqiem 321

Bird, Richard M., Tax Policy and Economic Development, Thr. Johns
Hopkins University Press Baltimor and London, 1992
Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco,
Bandung, 1986
Budihardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia,
Jakarta, 1977
Budiman, Arief, Teori Negara (negrara, kekuasaan dan ideologi),
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
C. Goedhart, Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara,
Djambatan, Jakarta, 1975
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1984
Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta,
1993
Devas, Nick, Financing Local Government In Indonesia, Ohio
University Monographs in International Studies
Southeast Asia Series No. 84, 1989
Doing Business and Investing in Indonesia, Price Water House
Coopers, Jakarta, 1999
Due, John F., Keuangan Negara (terjemahan), UI - Press,
Jakarta, 1985
Eckstein, Otto, Keuangan Negara, Bina Aksara, Jakarta. 1981
Ersnta and Young LPP, History of the Income Tax in the United
States.
Ferdinan H.M. Grapperhaus, Tax Tales For the Second
Millineum, Amsterdam IBFD, 1998
Gonggong, Anhar, Amandemen Konstitusi, Otonomi Daerah,
dan Federalisme (solusi masa depan), Media
Pressindo, Yogyakarta, 2001
Heidenheimer, Arnold J., at all. Comparative Public Policy-The
Polities of Social Choise in America, Europe, and Japan,
322 Daftar Pustaka

ST. Martin’s Press, New York


K.J. Davey, Pembiayaan Pemerintahan Daerah Praktek–Praktek
Internasional dan Relevansinya bagi Dunia ketiga
(terjemahan), UI-Press, Jakarta
Kasten, Richard, Trends is Federal Tax Progressivity, 1980-
1993, Office of Tax Policy Research, University of
Michigan, 1993
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, alih bahasa
oleh Somardi berjudul Teori Hukum Murni (dasar-
dasar ilmu hukum normative sebagai ilmu hukum empirik-
deskriptif), Rimdi Press, Jakarta, 1995
Ketrampilan Perencanaan Hukum (laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Bandung, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Kortman, Prakke, L. en C.A.J.M., het Bestuursrecht van de
Landen der Europese Gemeenschappen, Kluwer-
Deventer, 1985
Kranenburg, at all, Ilmu Negara Umum,Pradnya Paramita,
Jakarta, 1986
Kusumohamidjojo, Budiono, Ketertiban Yang Adil
(Problematik Filsafat Hukum), Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 1999
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2000
Lubis, Solly ., Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 1989
----------, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1992
----------, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Mandar
Maju, Bandung, 1989
M. Koeswardi, Ilmu Negara, Perintis Press, Jakarta, 1985
M. Suparmoko, Pengantar Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta, 1998
Mustaqiem 323

----------, Keuangan Negara, BPFE, Yogyakarta, 2000


M. Zain, dkk, Pembaharuan Perpajakan Nasional, Alumni,
Bandung, 1984
Mac Andrews, Colin, at all., Hubungan Pusat Dengan Daerah
Dalam Pembangunan, Rajawali Press, Jakarta, 1995
Machmudin, Dudu, D., Pengantar Ilmu Hukum,, Refika
Aditama, Bandung, 2001
Mardiasmo, Perpajakan, Andi, Yogyakarta, 2001
----------, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi,
Yogyakarta, 2002
Marsono, Himpunan Peraturan Tentang Pemerintahan Di Daerah,
Djambatan, Jakarta, 1986
Mertokusumo, Sudikno; Penemuan Hukum, Liberty,
Yogyakata, 1996
Moh. Mahfud; Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta,
1998
Muchsan, Kajian Yuridis Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Unisia No.42/XXIII/
I/2000, Yogyakarta
Munawir; Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, 1992
Munir, Badrul; Perencanaan Anggaran Kinerja(memangkas inefisiensi
anggaran daerah),Samawa Center, Mataram, 2003
Muqodim, Perpajakan, FE - UII Press, Yogyakarta, 1999
Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, 2003
Nusantara, Abdul Hakim G.,Politik Hukum Indonesia, YLBHI,
Jakarta, 1988
Oliver, Philip D. at all, Tax Policy, Westbury, New York, The
Foundation Press, Inc., 1996
Pandiangan, Liberty, Pemahaman Praktis Undang Undang
Perpajakan Indonesia, Airlangga, Jakarta, 2002
324 Daftar Pustaka

Prakoso, Kesit B. Pajak Dan Retribusi Daerah, UII-Press,


Yogyakarta, 2003
Pringgodigdo; Tiga Undang Undang Dasar, Pembangunan,
Jakarta, 1989
R.W.M. Dias; Jurisprudence, Fifth Edition, Butterworths,
London, 1985
Rahardjo, Satjipto; Hukum Dalam Perspektif Sejarah dan
Perubahan Sosial, Pada Pembangunan Hukum Dalam
Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Press,
Jakarta, 1986
----------, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta,
2002
Riwu Kaho, Josep; Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, Rajawali pers, Jakarta, 1991
Samudra, Azhari A.; Perpajakan Di Indonesia (keuangan, pajak,
dan retribusi daerah), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1995
Saragih, Juli P., Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam
otonomi, Ghalia-Indonesia, Jakarta, 2003
Sartan, Perpajakan (hukum pajak positip di Indonesia),
Djambatan, Jakarta, 1980
Seligmann, Edwin R.A., Essay on Taxation, New York, 1925
Sidharta, Arief, at all, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 2000
Siegel, Richard L.; Comparing Public Policies – United State, Soviet
Union, and Europe, The Dorsey Press, Homewood Illi-
nois, Irwin-Dorsey Imited, Georgetown, Ontario, 1977
Sihaloho,Cyrus; Ketentuan perpajakan, Rajawali Pers, Jakarta,
1997
Mustaqiem 325

Soekanto, Soerjono; Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,


Jakarta, 1982
----------, Penelitian Hukum Normatif ( suatu tinjauan singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 1985
----------, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,Mandar
Maju, Bandung, 1989 Soemitro, Rochmat; Perdilan
Administrasi Negara Dalam Hukum Pajak di Indonsia
, Eresco, Jakarta-Bandung, 1976.
----------, Dasar -Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944,
Eresco, Bandung, 1979
----------, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Jakarta, 1974
----------,Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemerintahan
Daerah, Eresco-Tarate, Jakarta - Bandung, 1983
----------, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum,Eresco, Bandung, 1991
Suandy, Erly, Perencanaan Perpajakan, Salemba Empat,
Jakarta, 2001
Sukardji, Untung; Pajak Pertambahan Nilai, Rajawli Pers,
Jakarta, 2000
Sumantoro; Aspek-Aspek Hukum Dan Potensi Pasar Modal di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988
Sunggono, Bambang; Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 1997
Syafruddin, Ateng, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II
Dan Perkembangannya, Mandar Maju, Bandung, 1991
Syam, M. Noor; Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat
Hukum (sebagai landasan pembinaan sistem hukum
nasional), Laboratorium Pancasila, IKIP Malang, 1998
Syarif, Amiroeddin, Perundang-undangan (dasar, jenis, dan
teknik membuatnya), Reneka Cipta, Jakarta, 1997
----------, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
326 Daftar Pustaka

Soedargo, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Eresco, Bandung,


1964
----------, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999
Soeparman, Tindak Pidana Di bidang Perpajakan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994
Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara (Kajian kritis atas
kebijakan otonomi daerah), Lapera Pustaka Utama,
Yogyakarta, 2000
Utz, Stephen G.; Tax Policy (An Introduction and Survey of
The Principal Debate) West Publishing CO., ST.
Paul, MINN. 1993
van Wijk, H.D., en Willem Konijnenbelt; Hoofdstuukken van
Administratief Recht, Vuga,s Gravenhage, 1995
Wignjodipoero, Soerojo; Pengantar Ilmu Hukum, Gunung
Agung, Jakarta, 1985

Kamus.
Black’s Law Dictionary, editor Bryan A. Garner (Editor in
Chief), Copyrigt @ 1999, By West Group St. Paul MN.
Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986
Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Aneka Ilmu,
Semarang, 1977
W.J.S. Poerwodarminto, (ed), Kamus Umum Bahasa Indone-
sia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
W. Van Hoeve, Kamus Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1996

Jurnal
Unisia No. 42/XXIII/ /1/ 2000, ISSN: 0215-1412
Mustaqiem 327

Majalah
Prisma, No. 4 Tahun XXIV April 1995, hlaman 3-17, Jakarta.
Warta Perundang-undangan No. 1632, 1736, 1738, 1839, 1942,
2130
Tempo No. 46 Th. Ke XIII, Tgl. 14-1-1984; dan No. 46 Th. Ke
XV, Tgl. 11-1-1986
Undang Undang Dasar

Undang Undang Dasar 1945

Undang Undang Dasar-Sementara 1950

Perundang-undangan Perpajakan.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459)
328 Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indone-
sia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3985).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak
Penjualan Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3986)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi
dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3569)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 3570)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688),
Mustaqiem 329

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan


Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4189)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316)
Perundang-undangan Pajak dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957 Tentang Peraturan
Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia 1957 Nomor 56, beserta penjelasannya
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1287)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia, Nomor 3685 )
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048)
Perundang-undangan Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Ketentuan
Pokok Pemerintahan di Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan
Daerah
330 Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-


Pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1143)
Undang-Undang Perimbangan Keuangan 1957 (U.No.32 th.
1956, tgl. 31 Desember, diiundangkan pada tgl. 31-
12-1956, LN. No. 77/1956)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik In-
donesia Nomor 3952)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Mustaqiem 331

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 4389).

Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2000 Tentang Pembagian
Hasil Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 115 Tahun 2000 Tentang
Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi Dalam Negeri Dan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah
Daerah
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak
Daerah

Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2000
Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2002 Nomor 1
Seri B)

Anda mungkin juga menyukai