Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

“KONFLIK DI POSO”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK
RACHEL ANGELRICA MECA
INDAH PUTRI YANTI
RAFLY AGUNG FIRDANA
YOGI PRASETYO

KELAS : XI IPS 4

SMA NEGERI 2 BANGKINANG


TP. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bangkinang, 2021
Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................6
C. Tujuan Penelitian....................................................................................................................6
D. Metode Penelitian....................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................8
A. Demografi Poso........................................................................................................................8
B. Latar Belakang........................................................................................................................9
C. Penyebab Konflik Poso..........................................................................................................13
D. Kronologi Konflik Poso.........................................................................................................24
E. Dampak Kerusuhan di Poso.................................................................................................27
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................29
A. KESIMPULAN......................................................................................................................29
B. Saran.......................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konflik adalah fenomena yang tidak pernah luput dalam kehidupan manusia.
Di era globalisasi yang serba modern ini, konflik masih marak terjadi bahkan
cenderung lebih berbahaya karena canggihnya teknologi baru hasil perkembangan
ilmu pengetahuan dan komunikasi. Ciri-ciri konflik di era modern adalah lebih
banyaknya korban yang berjatuhan dari kalangan sipil, terutama perempuan dan anak-
anak jika dibandingkan dengan korban dari pasukan militer maupun kombatan.
Apabila dibandingkan dengan Perang Dunia I tahun 1914-1918, hanya sekitar
14% warga sipil yang menjadi korban. Pada Perang Dunia II tahun 1939-1945,
menunjukan peningkatan pesat angka korban dari kalangan sipil menjadi 67%. Pada
dekade 1980-an, angka korban dari kalangan sipil akibat konflik maupun perang
bertambah menjadi 75%. Pada dekade 1990-an, empat juta orang meninggal karena
konflik dan perang yang terjadi di seluruh dunia dimana 90% diantaranya adalah
korban dari kalangan sipil dan 80% dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.
( Indonesian Irib, 2014)
Tingginya angka perempuan dan anak-anak yang menjadi korban konflik juga
terjadi di Poso pada konflik 1998-2001. Dalam sejarah komprehensif, Poso pernah
menjadi lokasi kerusuhan antar agama terpanjang di Indonesia pasca Reformasi antara
Islam dan Kristen. Poso juga pernah menjadi sorotan dunia internasional karena
menjadi tempat operasi terpenting jaringan terorisme Jamaah Islamiyah. Meski
demikian, seorang peneliti asal Australia Dave McRae percaya bahwa Poso adalah
korban kepentingan politik yang dibalut dengan isu agama. Meskipun pada awalnya
konflik tahun 1998 berupa pertikaian antara pemuda Islam dan Kristen yang dapat
dikatakan sebagai konflik ketidaksengajaan atau murni kriminalitas.
Dalam fokus ini, Penulis akan membahas lebih jauh tentang perempuan dan
anak-anak sebagai korban dalam konflik Poso tersebut. Tingginya angka korban
perempuan dan anak-anak korban konflik di Poso diduga karena kapasitas mereka
yang rendah untuk menyelamatkan diri atau melakukan perlawanan. Oleh sebab itu,
hal ini menjadikan mereka sebagai obyek yang tepat dalam sebuah konflik atau
kekerasan dari pihak lawan. Serangan dan kekerasan yang mereka terima tentu
tergolong pelanggaran hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam konflik Poso yang

1
terjadi selama tahun 1998-2001 dapat digolongkan ke dalam bentuk kejahatan
kemanusiaan.
Konflik Poso yang terjadi selama tahun 1998-2001 telah menimbulkan
berbagai kerugian dan persoalan-persoalan baru bagi masyarakat sekitar. Selain
dirugikan secara materi berupa penjarahan properti rumah, akuisisi hak kepemilikan
tanah, pembakaran dan penghancuran fasilitas-fasilitas umum seperti tempat ibadah
baik masjid maupun gereja dan pengeboman di pasar, konflik Poso juga menimbulkan
kerugian lain yang berdampak pada beban-beban kehidupan yang harus ditanggung
oleh anak-anak dan perempuan.
Para perempuan korban konflik harus menjalankan peran ganda sebagai
orangtua bagi anak-anaknya, terutama yang menjadi janda karena menjadi aktor
tunggal yang diandalkan untuk melakukan berbagai hal yang pada umumnya
dilakukan oleh kaum laki-laki seperti membuka lahan di kebun, mencangkul,
memanen, menjual hasil kebun dan sawah di pasar. Sebagian lainnya bekerja sebagai
pembantu atau buruh cuci untuk menghidupi keluarganya yang masih tersisa. Apabila
konflik mulai mereda, perempuan pula yang akan turun gunung atau keluar dari hutan
untuk memastikan kondisi di pemukiman sudah aman atau belum. Bahkan tidak
jarang perempuan korban konflik terjun ke dunia prostitusi untuk mencari nafkah
dimana keputusan ini justru menjadikan posisi mereka semakin rentan terhadap
pelecehan seksual. Hal inilah yang menyebabkan banyak kasus kehamilan di luar
nikah, aborsi, atau pembunuhan pada bayi pasca konflik yang menjadi salah satu
fokus Penulis untuk membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan akibat konflik bagi
perempuan dan anak-anak.
Bagi perempuan dan anak-anak korban konflik yang tidak menyerah akibat
pelecehan seksual, mereka membentuk komunitas baru yang jauh dari pemukiman
bernama “Kampung Janda”. Tidak pasti kapan Kampung Janda ini dibentuk, namun
Kampung Janda mulai dikenal masyarakat sejak bulan Mei tahun 2000. Kampung
Janda adalah tujuan bagi para perempuan korban konflik yang putus asa akan keadilan
yang tidak bisa mereka dapatkan di keluarga atau lingkungan sekitarnya. Mereka
memilih untuk membangun kehidupan baru agar tetap bertahan bersama perempuan-
perempuan lain yang memiliki nasib yang sama. ( Gogali, 2009, p. 55)
Kampung Janda adalah salah satu wujud nyata adanya kejahatan kemanusiaan
yang diterima perempuan Poso akibat konflik 1998-2001 . Berbeda dengan

2
perempuan, anak-anak juga menerima dampak konflik yang lebih kompleks. Tidak
hanya menjadi anak yatim karena terlahir tanpa ayah, bagi anakanak yang sempat
hidup di ranah konlik mereka mengalami trauma masa lalu yang mengancam
kesehatan lahir dan batin serta masa depannya. Di sisi lain, beberapa dari mereka juga
harus lebih bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri karena tidak memiliki orang
tua yang utuh seperti anak-anak pada umumnya. Di tempat-tempat pemukiman
misalnya, banyak sekali anak-anak yang harus bekerja agar mendapatkan uang untuk
menyambung hidup seperti Mora, salah satu anak korban konflik yang masih berusia
11 tahun ketika konflik berlangsung. Anakanak seperti Mora tidak bisa menikmati
masa kanak-kanaknya dengan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain, belajar,
dan dimanjakan oleh orang tua.
Selain masa kanak-kanak dan hak pendidikan yang hilang, kebutuhan
makanan juga sulit didapatkan terlebih bagi balita yang masih mengkonsumi Air Susu
Ibu (ASI). Selain makanan, obat-obatan juga sulit didapat pasca konflik padahal
kondisi anak-anak jauh lebih rentan terhadap berbagai virus maupun bakteri yang
dapat menyerang kapan saja. Bahkan dalam beberapa kasus di pengungsian, 5 anak
meninggal di penampungan Kodim Kawua karena kekurangan cairan dan demam
tinggi dan tidak adanya sarana kesehatan yang memadai. Kesehatan anak-anak korban
konflik menjadi tidak terjamin, banyak dari mereka bahkan mengungsi di hutan,
gunung, atau kebun tanpa alas maupun atap selama berhari-hari. Ketersediaan air dan
makanan yang terbatas di hutan, gunung, maupun kebun semakin menyulitkan anak-
anak untuk mendapatkan kesehatan yang layak. Terlebih bagi anak-anak yang sudah
tidak memiliki orang tua karena harus mencari makanannya sendiri.
Pada masa pasca konflik seperti “janda” lainnya, anak-anak juga memiliki
tuntutan ekonomi untuk bertahan hidup. Mereka sadar tidak ada lagi sandaran yang
mampu menopang segala kebutuhan hidupnya sehingga mereka harus belajar mandiri.
Mora misalnya, anak berusia 14 tahun memilih untuk berjualan ikan di pasar untuk
mendapatkan uang sementara kedua orangtuanya memilih untuk mengungsi ke desa
lain (Gogali, 2009, pp. 63-64).
Pria, wanita, tua, muda, bahkan anak-anak tidak luput dari serangan konflik
Poso. Masa-masa konflik seperti ini memang sangat menyulitkan bagi perempuan dan
anak-anak karena mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus segera
dipenuhi seperti ASI, obat-obatan, pembalut wanita, dan lain sebagainya yang

3
sifatnya urgensi. Penulis setuju dengan pendapat Lian Gogali 1, bahwa terdapat dua
tipe korban dalam konflik Poso, yaitu golongan pria yang syarat akan narasi besar
konflik itu sendiri seperti periodisasi kerusuhan; dan wanita dan anak-anak yang lebih
dekat dengan konflik dan memiliki dampak langsung seperti kehamilan di luar nikah,
atau gangguan psikis hebat seperti keterbelakangan mental dan gangguan jiwa yang
diderita oleh anak-anak karena peristiwa-peristiwa masa lalu yang mengakar kuat
dalam ingatan mereka. Menurut Lian, bagaimanapun posisi perempuan dan anak-anak
dalam sebuah konflik, selamanya mereka akan tetap menjadi korban. Konsep ini
disebut dengan Konsep Kekorbanan. ( Gogali, 2009) Atas terjadinya suatu
konflik/peperangan, mampu mengundang berbagai respon nasional maupun
internasional untuk meringankan beban para korban. Mulai dari Pemerintah hingga
lembaga swadaya masyarakat bersama-sama meringankan beban korban dengan
caranya masing-masing. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan konsep
Organisasi Internasional sebagai subyek utama dalam membangun perdamaian pasca
konflik di Poso, Search for Common Ground.
SFCG sampai saat ini masih mengawal jalannya rekonsiliasi konflik dan
perdamaian di Poso sejak tahun 2004. Beberapa macam kegiatan sudah dilakukan
untuk membangun kembali perdamaian di Poso melalui tiga pilar utama yaitu Dialog,
Media, dan Komunitas. Tujuan utama SFCG adalah untuk mengakhiri konflik dan
kekerasan yang banyak terjadi di negara-negara berkembang melalui jenis
peacebuilding yang disebut dengan transformasi konflik. Singkatnya, SFCG ingin
merubah cara pandang dunia dalam menangani konflik. NGO ini dibentuk oleh John
Mark pada masa Perang Dingin di Washington DC tahun 1982. (www.sfcg.org, 2016)
Sejak awal beroperasinya di Indonesia, SFCG sudah melaksanakan banyak
kegiatan dan aktivitas untuk membangun perdamaian, mengakhiri konflik dan
kekerasan, dan membangun kerja sama pada masyarakat Indonesia yang dikenal
plural. Dari berbagai rangkaian kegiatan tersebut ternyata mampu mengantarkan
SFCG ke beberapa prestasi tingkat dunia sebagai organisasi internasional yang efektif
dalam menyebarkan pesan damai, menjunjung kesetaraan terhadap umat manusia, dan
sebagai organisasi yang demokratis (Institute for Economic and Peace, 2016).
Prestasi-prestasi tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai kebudayaan (moral wisdom)
masyarakat yang digunakan oleh SFCG dalam menjalankan tugasnya. Namun pada

4
kesempatan peacebuilding di Poso, SFCG tidak menggunakan moral wisdom tertentu
karena kedudukan adat berada di bawah agama. Sehingga beberapa masalah yang
ditangani oleh SFCG akan diselesaikan secara keagamaan, bukan menurut hukum
adat atau nilai-nilai kebudayaan yang dianut di Poso dan sekitarnya.
Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain seperti (www.sfcg.org, 2015):
1. Leading Fellowship Program
2. Peace Leaders Camp: Collaboration in Diversity
3. Student Initiatives on Peacebuilding Workshop
4. Peace 360
5. Forum perempuan dengan tema Refleksi Partisipasi Perempuan dalam Pemilu
2014.
6. Empowering Inter-faith Collaboration to Respect and Protect Holy Sites in
Indonesia yang bekerjasama dengan Religion for Peace ( RfP ) dan Inter-
Religious Council (IRC) Indonesia yang didukung oleh Kedutaan Norwegia di
Indonesia.
7. Peace Pledge: Youth’s Commitment to Peacebuilding
yang dilaksanakan pada 25 November 2014 di @america.
8. Pelepasan yang efektif bagi 40 narapidana yang bekerjasama dengan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) sejak tahun 2009.
9. Conflict Management Training (CMT), Life Skill Training ( LST) bagi para
tahanan, Training of Trainers (ToT) dan profiling workshop bagi petugas
Ditjenpas yang dilakukan di beberapa penjara.
10. Latihan gabungan Densus 88 dengan tim anti teror Amerika pada tahun 2015.
11. Perilisan lima video speed drawing sebagai sarana yang efektif dalam
menyebarkan pesan damai yang menghibur yang memuat isu perempuan,
Prinsip-Prinsip Common Ground, Bahaya Ekstrimisme dan Pentingnya
Toleransi.

Dari kesebelas kegiatan di atas, hanya terdapat lima kegiatan yang menjadi
subyek penelitian penulis yang akan dibahas pada bab selanjutnya, antara lain Komik
Perjalanan Mencari Sahabat, Leading Fellowship Program, Peace Leaders Camp:
Collaboration in Diversity, Student Innitiatives on Peacebuilding, dan Festival
Perdamaian Peace 360.

5
B. Rumusan Masalah
Bagaimana efektivitas peran Search for Common Ground Indonesia dalam
menangani dampak kejahatan kemanusiaan pasca konflik di Poso tahun 2009-2016 ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, antara lain:
1. Memberikan gambaran singkat tentang konflik Poso 1998-2001
2. Memberikan gambaran mengenai kejahatan kemanusiaan yang menimpa
perempuan dan anak-anak di Poso
3. Menjelaskan peran SFCG dalam membangun perdamaian di Poso terutama bagi
perempuan dan anak-anak

D. Metode Penelitian
Pada penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian campuran atau
mixed methods. Mixed methods adalah gabungan dari metode penelitian kualitatif dan
kuantitatif yang berfokus pada pengumpulan data dan analisis, dimana salah satu
metodenya mendominasi penelitian ini dan metode lainnya hanya menjadi pelengkap
data (Creswell, 2011). Dalam penelitian ini, metode yang mendominasi adalah
kualitatif dan metode pelengkapnya adalah kuantitatif. Dalam menganalisa data,
Penulis menggunakan rumus Rata-Rata (Mean) dan terakhir dirumuskan
menggunakan indikator efektivitas yang dikemukakan oleh Nelson sesuai pada
kerangka pemikiran teori Organisasi Internasional pada penelitian ini.
Dalam penelitian ini, indikator Efektivitas yang digunakan dalam
mengukur evektifitas peran SFCG sesuai fungsi NGO di bidang konflik dan
perdamaian oleh Nelson sebagai berikut:
1. NGO melakukan advokasi, analisis, dan peningkatan kesadaran masyarakat dengan
bertindak sebagai suara rakyat baik secara langsung maupun tidak; meneliti,
menganalisis, dan menginformasikan masyarakat mengenai suatu isu; mendorong
masyarakat untuk ikut bertindak dalam suatu isu melalui kampanye media dan
bentuk-bentuk aktivisme lain.

6
2. Perantaraan, yaitu bertindak sebagai pihak penengah negosiasi di antara kelompok-
kelompok dan sektor-sektor yang berbeda.
3. Resolusi konflik, yaitu bertindak sebagai mediator dan fasilitator bagi pihak-pihak
yang sedang bersitegang.
4. Peningkatan sumber daya masyarakat, yaitu menyediakan pendidikan, pelatihan,
dan informasi.
5. Pelayanan masyarakat, yaitu memberikan layanan kemanusiaan,
pembinaan, dan/atau sosial yang dibutuhkan masyarakat.
6. Evaluasi dan pengawasan, yaitu bertindak sebagai pengawas pihak
ketiga/independen, baik secara sukarela atau atas permintan suatu pihak, terhadap
kinerja, akuntabilitas, dan transparansi suatu pemerintahan, perusahaan, maupun
organisasi. Pengawasan juga dilakukan sebagai bentuk peningkatan kepuasan
terhadap masyarakat atas program-program yang dilaksanakan.

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Demografi Poso
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki
luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09
BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi
211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan
pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama. Di samping
tanah pertanian yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan
dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan),
fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang
mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup
majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun
banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya; Morowali dan
Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok
besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan
Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah
Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di
Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk
wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo
yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok
pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga memiliki latar
belakang sejarah dan peradaban yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan
kebudayaan Megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e
dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan Sintuwu Maroso
(persatuan yang kuat). Jadi, sangat kontradiksi dengan semboyan mereka apabila
masyarakat di Poso bisa berseteru sengit (Canolly, 2009:2003).

8
B. Latar Belakang
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum
terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu
belum bisa menjamin keamanan di Poso. Berbagai macam konflik terus bermunculan di
Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar
belakang agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan
berbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar,
Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun
setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang
mendominasi adalah agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-
agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal
ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul
Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatar belakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan
Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan
alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada
sintimen keagamaan yang melatar belakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya
pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku
(Sangaji, 2006: 9-10). Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap
konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar personal pun
bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat
perkelahian. Yang satu beragama Islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Karena
salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara
keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke
kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan
bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa
konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar
komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992

9
terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso,
Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut
Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15
Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegal Rejo oleh
sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan
balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan
rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam oleh
aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara
wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran
”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan
Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih akif. Awal
kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah
kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih
terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada
November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara
satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu
sampai lima (Basueki,194:123).
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan
itu, mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap
memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan
yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula
terjadi di Poso kota dan selanjutnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah
Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan
yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal
dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan
kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana,
kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan
ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar
dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik
itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak
mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan

10
dengan benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada
kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan
senjata api.
Pola keempat adalah kesalah pahaman informasi dari kedua belah pihak. Pada
kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen,
yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar
dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa
kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat
disebut ”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong,
intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota.
Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan
kelompok lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras,
kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001
konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada
upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa
pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah
terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu
agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan
korban) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik
sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga
pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga
konflik keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma
psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan
sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam
kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras,
isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh
petualang politik melalui instrumen isu pendatang vspenduduk asli dengan dijejali oleh
sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-
jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan,

11
sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang
saudara antar komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat
kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis.
Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda
yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan
finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada
semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi
pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image
utama dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni: Poso identik dengan komunitas
Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era
kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pembalikan. Jika tahun 1938 jumlah
umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. Data
tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen
Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan
Hindu (Sangaji, 2006:11-13).
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadtan, melainkan akibat migrasi
kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks
Poso, konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan
komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk
asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat
kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah
ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan Poso ikut
membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke
wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai
jaringan perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu
membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja
menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas
keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan,

12
kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing
dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula
dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai
dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula
didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik
agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan
masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik
birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat,
telah menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.
Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat
kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping
kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan
dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan,
birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk
kepentingan.
C. Penyebab Konflik Poso
Konflik sosial yang terjadi di Poso adalah akibat dari keberagaman masyarakat
Indonesia yang saling berbenturan kepentingan antara individu satu dengan individu
lainnya yang seharusnya tidak perlu terjadi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa akar
dari masalah yang bertumpu pada masalah budaya dalam hal ini menyangkut soal suku
dan agama. Argumen yang mengemukan bahwa adanya unsur suku dan agama yang
mendasari konflik sosial itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan
poso pertama berawal dari :
 Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa Lembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan.
 Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti Bugis, Jawa, dan
Gorontalo,
 Pemaksaan agama Kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten
terutama di daerah Tentena dusun III, Salena, Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yang
memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara
paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD Tentena.
 Penyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan
keagamaan Kristiani pada kerusuhan ke III.

13
 Pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan
III. Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar rumah penduduk antara pihak
Kristen dan Islam.
Terjadi pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua
belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli Poso di Lombogia, Sayo, dan Kasintuvu.
Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku Flores, Toraja dan
Manado. Adanya pelatihan militer Kristen di desa Kelei yang berlangsung 1 tahun 6
bulan sebelum meledak kerusuhan III.
Sesungguhnya budaya yang beragam pada masyarakat Poso mempunyai fungsi
untuk mempertahankan kerukunan antara masyarakat asli Poso dan pendatang. Adanya
Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa lembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai
yang selama ini manjadi landasan hidup bersama. Pada satu sisi muslim terusik
ketentramannya dalam menjalankan ibadah di bulan ramadhan kemudian menimbulkan
reaksi balik untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap pelaku pelanggaran nilai-
nilai tersebut. Disisi lain bagi masyarakat Kristiani hal ini menimbulkann masalah baru
mengingat aksi masa tidak di tujukan terhadap pelaku melainkan pada perusakan hotel
dan sarana maksiat serta operasi miras, yang di anggap telah menggangu kehidmatan
masyrakat Kristiani merayakan natal, karena harapan mereka operasi – operasi tersebut
di laksanakan setelah hari Natal.
Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik sosial yang terjadi di Poso adalah
adanya perkelahian antar pemuda yang di akibatkan oleh minuman keras. Tidak
diterapkan hukum secara adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapat keadilan
misalnya adanya keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain- lain. Pendapat
ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di Poso terletak pada
masalah politik. Bermula dari suksesi Bupati, jabatan Sekretaris wilayah daerah
Kabupaten dan terutama menyangkut soal keseimbangan jabatan-jabatan dalam
pemerintahan.
Pendapat keempat mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan Poso adalah
justru terletak karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara
panduduk asli Poso dan kaum pendatang seperti Bugis, Jawa, Gorontalo, dan Kaili.
Kecemburuan sosial penduduk asli cukup beralasan dimana pendapatan mereka sebagai
masyarakat asli malah tertinggal dari kaum pendatang.

14
Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang
berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Para
pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Pendatang
umumnya lebih kuat, muda dan mempunyai daya juang untuk mampu bertahan di daerah
baru. Kedatangan para pendatang ini juga menyebab-kan terjadinya peralihan lahan dari
yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepemilikan-nya
kepada para pendatang. Proses peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program
pemerintah dalam bentuk transmigrasi maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran.
Arus migrasi masuk ini semakin banyak ketika program transmigrasi dilakukan dan
dibukanya jalur prasarana angkutan darat sekitar tahun 80-an. Dikembangkannya
tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para
pendatang tentunya telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan para pemiliknya.
Walau penduduk asli mengikuti pola tanam yang sama dengan pendatang, akan tetapi
penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang. Penduduk asli
merasa dirugikan dengan keadaan tersebut karena beberapa alasan antara lain lahan
pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang, hasil dan
keuntungan yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para
pendatang.
Ada pendapat lain juga yang menyatakan bahwa konflik Poso yang terjadi tahun
1998 dan 2001 lebih didorong oleh isu belaka, baik melalui penyebaran informasi lewat
jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang
sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial. Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas
ini membuat konflik Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi
konflik antar agama yang mendapat perhatian internasional (Basueki, 199:125).
 Kondisi Masyarakat Poso
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin yakni com dan fligere. Bila diartikan
secara harfiah bisa berarti saling tubruk atau saling bentur. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dapat selalu mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebab
dalam kancah keragaman di mana manusia yang satu saling bertatap muka dengan
manusia lain dalam komunitas masyarakat tentu memiliki perbedaan yang bisa

15
mengarah pada silang pendapat dan lebih jauh menimbulkan konflik fisik. Karenanya
konflik akan menghilang apabila masyarakat juga lenyap.
Menurut Max van der Stoel, konflik, termasuk konflik etnik tidak dapat
dihindari namun bisa dicegah. Pencegahannya membutuhkan berbagai upaya
misalkan dengan mengidentifikasi sumber potensial dari konflik dan menganalisanya
sebagai resolusi awal. Namun bila pencegahan tidak berhasil maka peringatan dini
perlu diberikan untuk merespons konflik yang lebih serius.
Ada berbagai hal yang bisa menjadi pemicu konflik. Ketidak cocokan antar
pribadi, perbedaan sistem nilai, persaingan, ketidak jelasan batas-batas wewenang dan
tanggung jawab, perbedaan fungsi, miss communication, dan pertentangan
kepentingan adalah contoh kondisi dan situasi tertentu dalam masyarakat yang
menjadi penyebab munculnya konflik. Sebagaimana di negara-negara lainnya, di
Indonesia terdapat konflik horizontal dan konflik vertikal. Namun konflik horizontal
lebih sering dijumpai di Indonesia sebagai konsekuensi atas keragaman yang
dimilikinya.
Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari
sumber potensi konflik yang ada. Menurut Koentjoraningrat, setidaknya ada 4 sumber
konflik dalam masyarakat majemuk. Keempatnya adalah persaingan antara kelompok
etnik dalam memperoleh sumber kehidupan, adanya kelompok etnik yang
memaksakan kebudayaan kepada kelompok etnik lainnya, adanya golongan agama
yang memaksakan ajarannya kepada golongan agama lain, dan adanya potensi konflik
yang sudah mengakar dalam masyarakat.
 Politikal (Political)
Kepentingan politik beberapa orang tertentu yang duduk di pemerintahan
daerah ditengarai menjadi penyebab awal munculnya konflik di Poso. Meskipun
pemicu awal munculnya konflik di Poso pada 1998 adalah karena pertikaian dua
pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi
bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalahan konflik.
Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa
kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai
yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai
akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah

16
kelompok-kelompok di masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan
politisi partai.
Sebelum reformasi 1998 biasanya orang yang ingin menjadi pejabat cukup
berhubungan dengan Partai Golkar, ABRI, atau birokrasi. Tetapi setelah reformasi,
ketiga patron itu tidak dapat digunakan. Karena kebetulan para politisi yang ingin
berkuasa dan yang menginginkan perubahan berbeda agama, maka masing-masing
kandidat menggalang dukungan dengan mengeksploitasi sentimen agama. Upaya
sistematis pun dilakukan oleh elite politik lokal untuk menggunakan identitas
agama demi mengkotak-kotakkan masyarakat Poso. Karena itulah konflik yang
terjadi lantas bertopeng suku dan agama.
Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief
Patanga membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi bermula
dari pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh
pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang
yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan
isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran berisi penyerangan tokoh
Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu kemudian semakin
memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.
Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari
aparat keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas.
Karena pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi
pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di
Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas
Kristen.
Beredarnya senjata api baik organik dan rakitan serta amunisi yang
digunakan oleh kedua kelompok yang bertikai merupakan salah satu bukti bahwa
konflik dan kekerasan yang terjadi sengaja dipelihara. Karena itulah konflik di
Poso terjadi hingga berjilid-jilid.
 Ekonomi (Economy)
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial,
namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa Orde Baru. Hal itu
terjadi sejak dibangunnya prasarana jalan trans-Sulawesi dan pembangunan

17
berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan
penduduk.
Para pendatang masuk dari utara dan selatan, akibatnya proporsi pendatang
terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen,
baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak
mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam secara ekonomi.
Keterancaman masyarakat beragama Kristen di Poso dikarenakan kegiatan
perdagangan secara perlahan tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi
pertanian. Sektor perdagangan yang terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai
pendatang beragama Islam. Kesenjangan ekonomi pun tercipta. Keadaan ini
semakin menebalkan rasa keterdesakan penduduk asli yang berbasis pertanian dan
beragama Kristen.
Rasa saling tidak suka antar kelompok yang juga diprovokasi pihak-pihak
lain membuat masyarakat mudah tersulut konflik. Pembangunan ekonomi yang
tengah mengalami kemajuan seketika terhempas karena harus menanggung
kerugian materil akibat konflik yang terjadi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi pada 1997 mencapai angka rata-rata 5,15
persen. Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi sempat membaik 2,12 persen di tahun
1999. Namun, seiring dengan meledaknya kembali kerusuhan pada Mei 2000 yang
mengakibatkan kerugian sekitar Rp 250 miliar, pertumbuhan ekonomi terjun bebas
ke angka minus 4,78 persen.
 Sosial Kebudayaan (Socio Cultural)
Daerah Poso dihuni oleh masyarakat asli dan pendatang. Suku Toraja di Poso
yang terbagi dalam 3 kelompok besar yakni Toraja Koro, Toraja Palu dan Toraja
Sa’dan adalah penduduk asli Sulawesi Tengah. Tinggal pula suku To Bungku, To
Mori, dan Togean.
Sedangkan para pendatang yang datang ke Poso berasal dari suku Bugis,
Gorontalo, Toraja, Minahasa, Jawa, Bali, suku-suku dari Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur, Tionghoa dan Arab. Suku-suku itu umumnya memasuki
Poso, baik melalui migrasi secara spontan, juga melalui program-program
transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah. Arus transmigrasi intensif terjadi
sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, terutama setelah dibukanya jalur prasarana
angkutan darat Trans-Sulawesi.

18
Kedatangan para pendatang menyebabkan terjadinya peralihan lahan dari
yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepada para
pendatang. Para pendatang kemudian mengembangkan tanaman bernilai ekonomi
tinggi seperti kakao dan kelapa (kopra). Pengembangan tanaman itu lantas
menghasilkan peningkatan kesejahteraan pemiliknya. Meski penduduk asli
mengikuti pola tanam tersebut, namun pemasaran hasil-hasil perkebunan dikuasai
para pendatang. Karena keadaan sosial ekonominya tidak sebaik para pendatang,
akibatnya penduduk asli merasa dirugikan.
Penduduk asli Poso yang beragama Kristen awalnya banyak tinggal di bagian
tengah. Namun lama kelamaan mereka merasa terjepit oleh proporsi pendatang
terutama yang beragama Islam. Sebab semakin lama semakin mendekati proporsi
umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan.
 Resolusi Konflik Poso
Untuk menyelesaikan konflik di Poso, telah dilakukan Deklarasi Malino untuk
Poso (dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I). Deklarasi itu ditandatangani pada 20
Desember 2001 oleh 24 anggota delegasi Kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota
dari delegasi Kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut
yakni:
1) Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2) Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian
sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3) Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4) Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan
darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5) Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan
menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi
terciptanya kerukunan hidup bersama.
6) Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara
memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat
istiadat setempat.
7) Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah
sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8) Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.

19
9) Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara
menyeluruh.
10) Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling
menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk
UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.
Setelah Deklarasi Malino untuk Poso diberlakukan, konflik terbuka antar
kelompok di Poso berhasil dihentikan sementara. Namun dalam perjalanannya,
kekerasan di Poso masih kerap terjadi. Berbagai kasus bermunculan seperti teror,
upaya mengadu domba yang dapat dilihat melalui penembakan-penembakan
misterius, pembunuhan, peledakan bom, bahkan dengan tulisan-tulisan di dinding
rumah penduduk yang sifatnya provokasi. Pada 2002 hingga 2005 telah terjadi
setidaknya 10 kali terror bom yang merenggut puluhan nyawa. Pengeboman di
antaranya terjadi pada 28 Mei 2002 di Pasar Sentral Poso dan pada 5 Juni 2002 di
sebuah bus umum, PO Antariksa jurusan Palu – Tentena. Peristiwa-peritiwa tersebut
kembali menimbulkan rasa trauma, saling curiga dan meningkatkan sensitivitas di
tingkat masyarakat.
Konflik Poso bisa dilihat dari perspektif teori ABC Galtung, di mana konflik
dapat dilihat sebagai segitiga vertikal Contradiction (C), Attitude (A), dan Behavior
(B). Kontradiksi (contradiction), merujuk pada sesuatu yang tersembunyi dan berada
di bawah situasi konflik, termasuk kenyataan ataupun persepsi tentang
ketidaksejajaran tujuan (incompatibility of goals) diantara para pihak di dalam
konflik.
Faktor pertama adalah attitude baik dari etnik yang berkonflik dengan aparat
keamanan. Kecurigaan dari etnik yang berkonflik kepada aparat keamanan justru
diyakini sebagai aktor baru dalam konflik. Bertambahnya pasukan keamanan yang
dikirim ke Poso dalam batas tertentu belum menyebabkan de-eskalasi konflik, namun
sebaliknya justru menjadi pemicu eskalasi konflik itu sendiri.
Penempatan pasukan keamanan dilakukan untuk menjaga keamanan di Poso.
Pada April hingga Juni 2000, Polda Sulteng mulai menggelar operasi keamanan
bertitel Operasi Sadar Maleo. Operasi digelar hingga lima tahap ini efektif dimulai 1
Juli 2000. Ada 14 Satuan Setingkat Kompi (SSK) aparat TNI dan Polri diterjunkan
untuk mengamankan Poso.

20
Kodam VII Wirabuana, komando daerah militer yang membawahi Komando
Resort Militer se-Sulawesi, juga menggelar Operasi Cinta Damai. Meski sempat
menekan letupan pertikaian, hingga berakhirnya operasi tersebut pada 10 Desember
2001, hasil yang dicapai belum optimal. Saat Poso belum aman juga, pasukan
keamanan ditingkatkan menjadi 23 SSK. Namun serangkaian penyerangan,
pembakaran rumah warga, penculikan, dan pembunuhah masih saja terjadi.
Hingga akhirnya digelar Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Poso
dengan sandi Operasi Sintuvu Maroso pada Desember 2001. Pada 17 Juni 2002,
setelah dilakukan monitoring, analisa dan evaluasi (monev), diputuskan Opslihkam
Sintuwu Maroso tetap dilanjutkan selama tiga bulan dengan operasi kemandirian
wilayah, mulai 1 Juli hingga 30 September 2002 dengan sandi Sintuwu Maroso-1.
Sesuai Deklarasi Malino, pemulihan keamanan dengan operasi terpusat
tersebut semestinya berakhir 30 Juni 2002. Namun dalam perjalanannya operasi
tersebut terus diperpanjang hingga 7 kali pada tahun 2005 tanpa evaluasi yang
menyeluruh atas operasi sebelumnya. Meski diperpanjang beberapa kali, operasi
tersebut tidak mampu mengurangi angka kekerasan yang terjadi di Poso. Bahkan
sering kali hal itu menimbulkan peningkatan eskalasi konflik di masyarakat lantaran
aparat keamanan justru menjadi pelaku kekerasan berupa pemukulan, penembakan,
pencurian, kekerasan terhadap perempuan, penangkapan sewenang-wenang disertai
penyiksaan, dan stigmatisasi terorisme kepada warga.
Hal itu lantas berimbas ke dalam behavior (B) dari bingkai konflik di Poso.
Konflik etnik yang awalnya menggunakan senjata seadanya kemudian mengalami
eskalasi cukup signifikan karena bertambahnya peredaran senjata baik rakitan ataupun
organik sebagai akibat meluasnya konflik.
Pada peristiwa kekerasan yang terjadi di Poso pada Desember 1998 dan April
2000, pola penyerangan antarkomunitas berlangsung terbuka. Serangan tersebut
melibatkan massa kedua pihak berjumlah ratusan hingga ribuan. Massa yang
berkonflik menggunakan batu, senjata tajam, senapan angin, bom ikan, dan senjata
rakitan dalam jumlah amat terbatas.
Lalu pada peristiwa Poso Mei-Juni 2000, serangan antarkomunitas terjadi
secara terbuka dengan melibatkan massa ribuan. Penyerangan yang dilakukan oleh
kedua pihak yang berkonflik masih menggunakan senjata tajam, tetapi pemakaian
senjata rakitan kian marak, selain senjata api organik.

21
Pola ini terus berlanjut hingga Deklarasi Malino. Perang terbuka kerap terjadi
dengan melibatkan pasukan dalam jumlah besar. Penggunaan senjata api rakitan dan
organik, selain bom dan senjata tajam tetap terjadi. Serangan dilakukan kapan saja
oleh para penyerang yang tidak berusaha menyembunyikan identitasnya. Setelah
Deklarasi Malino, kekerasan (pengeboman, ancaman bom, pembunuhan,
penyerangan) yang terjadi bersifat misterius lantaran dilakukan pada malam hari oleh
orang-orang yang menyembunyikan identitasnya. Hal itu dikarenakan aparat
keamanan telah menarik sejumlah senjata yang dimiliki pihak-pihak yang bertikai.
Terkait kepemilikan senjata, hal itu sepertinya menjadi sebuah keharusan bagi
setiap pihak yang berkonflik untuk bisa meningkatkan preferensi rasa aman. Dengan
memiliki senjata berarti akan bisa segera melakukan pembalasan apabila
kelompoknya diserang oleh kelompok lainnya. Tidak heran senjata yang dimiliki
pihak bertikai semakin banyak sejak konflik mencuat di Poso.
Meningkatnya ekskalasi konflik di Poso juga tidak bisa dilepaskan dari
persoalan contradiction (C). Terlalu banyaknya rumor yang berkembang sekitar
konflik Poso menyebabkan arah konflik menjadi serba tidak jelas. Apakah konflik
yang terjadi karena agama murni, bersintesis dengan konflik ekonomi, politik, atau
rekayasa elite, selalu berseliweran di tengah publik Poso. Penyebab konflik seolah
kabur.
Apalagi terjadi kesenjangan sosial yang semakin melebar dan ketidakadilan
terutama terkait marjinalisasi politik antara penduduk asli dengan pendatang. Para
provokator yang tidak menginginkan perdamaian di tanah Poso sengaja
menghembuskan isu yang sensitif dan mengundang emosi yakni etnis dan agama.
Apalagi kebanyakan masyarakat Poso memiliki tingkat intelektualitas yang relatif
rendah sehingga mudah terprovokasi.
Penyelesaian konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih
mengedepankan pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena itu apa yang
diinginkan oleh pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab konflik tidak pernah
tersentuh. Akhirnya yang terjadi situasi keamanan di Poso bersifat fluktuatif.
Agar keamanan di Poso bersifat permanen, perlu dilakukan mediasi kedua
pihak yang bertikai yakni masyarakat beragama Islam dengan yang beragama Kristen,
dan dimediatori oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang netral. Selain itu perlu
pendekatan budaya mengingat Poso adalah daerah yang sangat heterogen. Terlebih

22
sebelumnya, masyarakat di Poso baik yang asli maupun pendatang hidup
berdampingan dengan damai dengan mengusung nilai-nilai kearifan lokal.
Nilai kearifan lokal yang dikenal masyarakat Poso, Sintuwu, perlu dipupuk
dan diperkenalkan kepada generasi muda setempat. Sintuwu adalah mufakat bersama
untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Karena konflik yang terjadi
sejak 1998 di Poso, nilai kearifan lokal ini seolah luntur dan dilupakan.
Dengan memegang nilai sintuwu maka masyarakat Poso bisa bekerjasama
dengan penuh kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama
dalam konteks sosial dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab
sosial dalam membantu anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.
Sintuwu juga mengandung pengertian adanya nasialapale atau keterbukaan
dalam keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda,
rasa solidaritas dan kekeluargaan yang meningkat diantara sesama warga, serta rasa
simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu terkandung makna membetulungi
dan mombepelae atau kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu
membahu.
Kearifan lokal Poso lain yang bisa dimaksimalkan adalah tradisi padungku
yang merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan oleh
Tuhan. Apabila nilai ini dikembangkan sebagai bagian dari penyelesaian konflik di
Poso maka perdamaian abadi akan bisa diwujudkan.
Keragaman agama, etnik, dan budaya, tanpa disadari telah menciptakan
building block yang mengganggu harmoni kohesi dan interrelasi sosial. Hal ini
sebenarnya merupakan akibat dari sistem otoritarian Orde Baru yang tidak merancang
kerukunan dan kedamaian antar etnis dan agama dengan basis keragaman melainkan
dengan basis keseregaman. Karena itu, begitu Orde Baru jatuh, konflik yang tertahan
pun mencuat.
Nilai-nilai kearifan lokal semacam itulah yang dilupakan pemerintah ketika
melakukan proses perdamaian di Poso. Sehingga keadilan dan kesetaraan di bidang
politik, sosial budaya, dan ekonomi antara masyarakat asli dan pendatang tidak bisa
terwujud. Padahal nilai kearifan lokal adalah bagian penting kehidupan sehari-hari
masyarakat. Sehingga tidak seharusnya pendekatan budaya lokal dipidahkan dari
upaya menyelesaikan konflik yang terjadi pada masyarakat yang heterogen seperti di
Poso (Dwa, 2006:19-21).

23
D. Kronologi Konflik Poso
Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye
enam kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh
kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik politik
yang bertopeng kepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama
yakni, Islam dan Kristen.
Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan
1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras (minuman keras) membuat
keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha
mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan area
masjid.
Pukul. 02.00 Wita Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap
Korban yang bernama Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo,
pekerjaan mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh Roy Runtu Bisalemba,
umur 18 tahun, agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jalan
tabatoki – sayo. Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian bahu kanan
dan siku kanan,selanjutnya dirawat di RSU Poso.
Pukul 02.30. Timbul reaksi dari pemuda/ pemuda Remaja mesjid terhadap kasus
yang dimaksud dan beredar isu –isu sebagai berikut: Pelaku penganiayaan (Roy
Bisalemba) terpengaruh minuman keras, sehabis minum di toko lima di jalan
Samratulangi, anak kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan telah
melontarkan kata-kata “Umat Islam kalau buka puasa pake RW saja, Imam masjid di Sajo
telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I Rumah Sakit.
Pukul 14.30 Wita Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya
berjumlah 50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso, menengok Korban Lk.
LUKMAN RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA dijalan Samratulangi
melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu.
Pukul 14.45 Wita. Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal
penduduk milik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel. Kasintuwu dan

24
beberapa rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo. Massa merusak bangunan
dan isi perabot rumah tangga dengan batu,kayu, dan senjata tajam.
Pukul 15.15 Wita. Sekelompok pemuda/ remaja berjumlah sekitar 300 orang
merusak penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA di jalan .P.Nias Kel. Kayamanya,
menggunakan batu dan kayu.
Pukul 18.45. Wita. Massa berjumlah 300 orang merusak tempat Billyard dijalan
P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan
massa kelurahan Moenko berjumlah sekitar 1000 orang melakukan pengrusakan
losmen/diskotik LASTI dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo,hingga bangunan rumah dan
diskotik serta isi rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan.
Pukul 19.00 Wita. Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan
penyembrangan kuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa remaja Islam
Masjid kel. Bone Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit ketegangan antara aparat
dengan massa yang tetap memaksakan kehendaknya menembus barisan PHH, namun
massa dapat dikendalikan.
Pukul. 20.20 Wita. Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju
kompleks pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual
miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan pengrusakan dengan cara
melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan besi dan senjata
tajam /parang:
1. Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.
2. Toko Hero diJln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
3. Pabrik Minuman Keras merek SAR di Kel.Kayamanya dilempar mengenai atap Seng.
4. Toko Asia di Jln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
5. Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar diJalan Raya.
6. Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang Resepsionis
dan ruang penerima tamu hotel.
7. Penginapan Wati Lembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan tempat/hotel
pecah.
8. Rumah makan Arisa diJln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh minuman keras
dikeluarkan dan dipecahkan diJalan Raya dan sebagaian lagi dibakar.

25
Sedangkan massa berjumlah 500 orang dari masyarakat Kel.Bonesompe dan Lawanga
juga melakukan pengrusakan Hotel NELCON CYTY HOTEL dan Toko TIGA DARAH.
Pukul. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan
Sabtu, 26 Desember 1998. Pukul. 07.00 Wita. Massa dan Risma dari arah Gerbang
Rejo, Kayamanya, Moenko bergerak mencari Toko dan Gudang yang diduga ada Miras .
Demikian -bleep- massa dan Risma dari Arah kelurahan Lawanga , Bonemsompe dan Sayo
masing-masing bergerak mencari miras yang ada diToko dan Gudang.Kemudian semua miras
dikumpul pada tempat parkir lapangn MAROSO, sampai pada pukul 15.30 Wita miras yang
terkumpul dari berbagai jenis sejumlah 15 truk yang diperkirakan puluhan ribu botol yang
besar maupun kecil.
Pukul 16.00 bupati bersama Kapolda Sul-teng Muspida Tingkat II Poso bersama tokoh
Agama dan masyarakat menyaksikan pemberantasan miras dengan menggunakan alat berat
sten wals maka lembah got lapangan Maroso mengalirlah cairan miras laksana bah air hujan
dengan bau yang menusuk hidung sementara umat Islam sedang berpuasa. Demikianlah
selanjutnya miras senentiasa terkumpul lalu dimusnakan. Kemudian sore itu juga Kapolda
Sul-teng kempali kepalu.
Pukul 17.00 Massa dari arah lawangga Bonesompe dan Gebangrejo bergerak menuju
kel. Untuk menuntaskan miras yang ada di Toko lima yang diduga masih ada sekitar ribuan
botol yang terdapat diruang bawah tanah. Pada waktu massa ingin mengambil miras tersebut
maka toko Lima telah dibendung oleh massa pemuda Kristen dan masyarakatnya. Tidak
diizinkan untuk diganggu termaksuk mengamankan kel. Lombogu dari. Demikianlah keadaan
berlangsung sampai malam hari kerusuhan demi kerusuhan terjadi.
Pukul 19.00 Massa dan Risma kembali berjalan ditambah lagi massa dari desa
Tokorondo Kec. Poso Pesisir sehingga masssa besar ini terpaksa berhadapan dengan pasukan
PPH dijembatan besar sungai Poso di tengah kota dengan massa yang diduga dipimpin
Herman Parimo + 20 truk.
Pukul 19.30 Rapat dan musyawarah Tokoh Agama Kristen dan Islam serta tokoh
pemudanya yang dipimpin oleh bupati bersama Muspida dan ketua DPR Tingkat II Poso.
Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa semuanya sepakat dan menyatakan
perdamaian. Keadaan itu di sosialisasikan dan dinyatakan aman. Namun suara massa sudah
ribut dan hiruk pikuk karena sudah terjadi bentrok tawuran.
Pukul 20.00 Toko agama ulama dan pendeta serta toko pemuda Islam dan Kristen
dipimpin oleh Muspida Tingkat II Poso bergerak menuju tempat kerusuhan untuk

26
mengendalikan massa yang sudah terjadi bentrok tawuran, dalam keadaan hujan batu tersebut
massa tidak bisa diterobos terpaksa pasukan PPH Brimob dan Polisi melepaskan tembakan
peluru hampa dan peluru karet kemudian massa kembali lalu tokoh memberi nasehat dan
berdoa bersama kemudian bubar, namun dilain pihak massa masih terjadi tauran diarah
kelurahan Lawanga dengan Lombogia masih terjadi tauran sporadis sampai pagi hari.
Minggu, 27 desember 1998, Pukul 08.00 bupati bersama muspida dan tokoh agama dan
tokoh pemuda dan tokoh masyarakat begerak menuju pasar sentral untuk mensosialisasikan
kesepakan damai dan dinyatakan aman. Demikianlah tiem bergerak dari pasar kemasing-
masing kelurahan sampai tuntas kelurahan dan dinyatakan aman dan damai.
Pukul 18.30 malam hari sesudah buka puasa bupati bergerak bersama tiemnya menuju
desa Tagolu untuk mensosialisasikan perdamaian dengan massa yang dipimpin oleh Herman
parimo (tokoh GPST semasa perang dengan PERMESTA). Massa tersebut diperkirakan dari
12 desa dari kecamatan Pamona utara dan lage + 40 truk, namun herman ternyata acuh karena
sementara Bupati berpidato herman meninggalkan tempat sehingga bupati bersama tim
pulang kekota Poso.
Pukul 22.00 Pasukan herman parimo bergerak menuju kota Poso dan melakukan
demonstrasi kekuatan sambil melempar rumah-rumah dan toko-toko disekitar Jl. P.
Kalimantan dan Sumatra sehingga masyarakat gebangrejo kaget karena sudah damai dan
aman mengapa masih ada kerusuhan dengan serangan tiba-tiba sementara masyarakat sudah
tenang istirahat setelah sholat tarawih.
Pukul 22.30 Pasukan PPH mengundurkan pasukan massa Herman Parimo dan
diundurkan dari arah pasar sentral. Kantor Polres hingga jembatan sampai dibundaran ujung
utara jembatan poso. Massa Gebangrejo yang minus mengadakan perlawanan hanya puluhan
orang hingga pagi hari (Canolly, 2003:138).

E. Dampak Kerusuhan di Poso


Kerusuhan yang terjadi di Poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar jika
di liat dari kerugian yang di akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta
benda, secara psikologis juga berdampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan
itu, Dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari
keseluruhan, kerusuhan Poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu
tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan
secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap penduduk muslim kota Poso dan minoritas

27
penduduk muslim di pedalaman kabupaten Poso yang tidak mengerti sama sekali dengan
permasalahan yang muncul di kota Poso.

Dampak kerusuhan poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :


1. Bidang Budaya
a. Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam
mencapai tujuan politiknya.
b. Runtuhnya nilai – nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesatuan yang menjadi
bingkai dalam hubungan sosial masyarakat Poso.
2. Bidang Hukum
a. Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitu
kelompok merah dan kelompok putih.
b. Tidak dapat dipertahankan nilai-nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan
terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan
terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
c. Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hukum di
masyarakat Kabupaten Poso.
d. Munculnya perasaan dendam dari korban-korban kerusuhan terhadap pelaku
kerusuhan.
3. Bidang Politik
a. Terhentinya roda pemerintahan.
b. Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah di mata masyarakat.
c. Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat
masing – masing kelompok kepentingan.
d. Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian
tujuannya.
4. Dibidang Ekonomi
a. Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat,
seperti sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah
makan, hotel dan lain sebagainya.
b. Terhentinya roda perekonomian.
c. Rawan pangan.
d. Munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja

28
F.

29
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Poso menyebar 13
kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa
(sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas
etnis dan agama. Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis,
ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa
dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan
pegunungan.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar,
Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam. Baru
kemudian disusul Kristen masuk ke Poso. Keberagaman inilah yang menjadi salah satu
pemantik seringnya terjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan
yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatar belakang agama,
seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama
seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Pembacokan Ahmad Yahya oleh Roy Tuntuh Bisa Lembah didalam masjid
pesantren Darusalam pada bulan ramadhan, pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-
suku pendatang seperti Bugis, Jawa, dan Gorontalo, pemaksaan agama Kristen kepada
masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten terutama di daerah Tentena dusun III,
Salena, Sangira, Toinase, Boe, dan Meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini
merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode
GKSD Tentena, terjadi pembakaran rumah ibadah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke
dua belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli Poso di Lombogia, Sayo, dan
Kasintuvu. Pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419 H, Pukul. 02.00 Wita:
Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo lalu Sabtu, 26 Desember 1998.
Pukul. 07.00 Wita. Massa dan Risma dari arah Gerbang Rejo, Kayamanya, Moenko
bergerak mencari Toko dan Gudang dan Minggu, 27 desember 1998, Pukul 08.00 bupati
bersama muspida dan tokoh agama dan tokoh pemuda dan tokoh masyarakat begerak
menuju pasar sentral untuk mensosialisasikan kesepakan damai dan dinyatakan aman.

30
B. Saran
Terhentinya roda pemerintahan, hilangnya sikap demokratis dan penghormatan
terhadap perbedaan pendapat masing – masing kelompok kepentingan, legalisasi
pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya, lepas dan
hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman
kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya,
terhentinya roda perekonomian, rawan pangan dan munculnya pengangguran dan
kelangkaan kesempatan kerja.

31
DAFTAR PUSTAKA

Basueki, Soepranata.1984.Jangan Lupakan Poso.Jakarta:Kompas.


Canolly, Peter.2003.Aneka Pendekatan Study Agama.Yogyakarta:Ksi.
Dwa, Espul.2006.Tgmatisasi Teniris oleh Aparat.Bandung:Kompas.
http://hery15061993.blogspot.co.id/2012/01/penyebab-konflik-poso.html

32

Anda mungkin juga menyukai