Tubuh dalam proses agama merupakan entitas yang melekat paling purba. Jika
kita cermati pertama kali agama mengajarkan pada manusia bukan ditekankan pada
knowledge dan ide melainkan penekanan pada gerak tubuh. Seorang anak sebelum
mengenal ide dan nilai tentang agama, ia diajarkan cara bergerak, sujud atau
mengucapkan Allahu Akbar. Kata terakhir ini bukan mengacu pada nilai ketika anak
diajarkan, melainkan pada gerak dengan mengangkat tangan. Agama dalam hal ini
membiasakan pertama kali menggerakkan tubuh untuk mendapatkan tingkat ritual
pertama kalinya. Karena itu di dalam agama, selalu mengatur berbagai prosesi gerakan
tubuh dalam bentuk ritualisasi tubuh.
Merubah fisik dalam tubuh, juga dianggap sebagai perubahan pemaknaan
terhadap tubuh. Ini yang kemudian kita bisa lihat tubuh dan agama merupakan entitas
yang saling melekat. Hal terpenting dari manusia kemudian adalah segi fisiknya untuk
mendapatkan tingkatan ritual. Perangkat tubuh secara umum dijadikan modal simbol
dalam agama. Agama menciptakan mitos untuk menyucikan serta mementingkan
perangkat tubuh. Sebagai misal, dalam proses ber-wudhu umat Islam, ketika umat
membasuh bagian telinga bukan dalam penegertian telinga umat ini kotor secara
harfiah, melainkan bagaian dari simbol pencerahan dan kemampuan manusia
membersihkan dari berbagai suara-suara yang dapat membawa kerusakan dalam sistem
sosial dan individu.
Tubuh terkait penting dengan simbol. Mengapa seseorang jika meninggal harus
diberi sebentuk ciuman terakhir. Ini tak lepas dari simbol perpisahan dari sebuah garis
penghubung antara dunia nyata yang kini dihadapi dan dunia di atas yang akan
dijalani oleh si mati. Karena itu, sebenarnya proses pengelolaan tubuh dalam agama
dipengaruhi oleh sebua keyakinan tentang berbagai keutuhan hubungan yang
disimbolisasi melalui berbagai ritual. Proses pemaknaan ini pertama kali ditegaskan
bahwa tubuh manusia selalu menjadi instrument tentang ada atau tidaknya agama.
Tubuh menjadi penegas dari adanya konsep perbatasan atau liminalitas, dan batas atau
limit. Pada konsep pertama mengacu pada perjalanan manusia secara fisik dan simbol
selama tubuh dilahirkan hingga tubuh mengalami kematian. Tubuh digambarkan pada
110
penekanan transisi secara simbolik dan fisikal. Liminal tubuh memberikan identitas
penegasan antara ruang ada dan tidak ada, ruang di sana dan disini.
Sedangkan pemaknaan pada konsep kedua mengacu kepada kekuasaan. Tubuh
dibatasi oleh batas-batas kekuasaan. Dalam hal ini adalah kekuasaan Tuhan, yang
dipercayai oleh tubuh tersebut. Karena itu tatkala manusia meninggal, tubuh mayat
akan diberlakukan berbeda sekali. Tubuh yang mati akan dihormati dibanding yang
masih hidup. Hal ini juga mengacu kepada kekuasaan. Pada saat mengalami kematian,
maka tubuh dianggap mengalami hubungan yang lebih dekat dan abadi dengan
penguasa, yakni Tuhan.
Jika kita mencermati tubuh-tubuh yang tak bernyawa pada kasus bencana yang
menghilangkan nyawa ribuan jutaan. Tubuh yang bergelimpangan merupakan alasan
munculnya manusia untuk membentuk refleksifitas manusia untuk menciptakan
sebuah sistem sosial baru. Pemaknaan agama menjadi direvisi kembali, untuk lebih
dalam diyakini dan dipraktikkan. Bencana melahirkan ritual, manusia kemudian
menciptakan suatu kebersamaan baru dan ritual-ritual yang lebih dihayati. Ritual
justeru dirayakan (celebration of society). Sehingga bentuk yang paling elementer dari
masyarakat justeru pada saat didorong oleh bencana. Dengan kata lain, bencana
memang mendorong orang untuk semakin taat dan menemukan agamanya. Karena
tanpa itu agama justeru tidak berkibar dan dilirik orang. Ini merupakan salah satu
perspektif, dimana tubuh membutuhkan bencana demi pengalaman relijiusitas manusia.
Dari bencana, bentuk traumatik dan kepanikan manusia menggugah kesadaran tubuh
dan jiwa untuk diunifikasikan ke dalam serangkaian gerak masyarakat yang sakral.
Terbentuknya asumsi diatas, menunjukkan bahwa masyarakat tercipta dari
adanya moblisasi fisik yang bersifat sakral. Dasar dari gerakan fisik tubuh manusia
menghasilkan simbol yang dijadikan identitas keimanan. Tradisi dan prinsip dalam
agama menekankan dalam hal ini menekankan tubuh untuk selalu berada pada satu sisi
kesamaan yang tak boleh dilanggar batas dan kerangka aturannya. Apa yang saya
asumsikan diatas menunjukkan bahwa gerak tubuh dan berbagai pilihannya masih
dalam kerangka pemaknaan publik yang terbungkus melalui etika agama. Pilihan-
pilihan tubuh yang sesuai dengan kerangka agama akan dinikmati secara emosi,
seragam dan dipahami oleh publik.
111
Tubuh yang sakit berdasarkan agama, dianggap sebagai orang yang dipilih.
Kontrol dan emosi tubuh dijadikan simbol dan mediator di dalam proses komunikasi.
Seperti misalnya jika kita lihat praktik tubuh yang sebenarnya menghubungkan dengan
Tuhannya. Tubuh menghubungkan dengan dunia masa kini dan masa depannya.
Konsep mediator tubuh yang sebenarnya fisik, dibuat sebagai tubuh yang halus dan
kosong, agar ia bisa menerima sebagai mediator antara dua dunia yang berbeda.
Disinilah kemudian tubuh dianggap suci, dalam artian ia mengalami
refinement/penyaringan dengan tubuh yang berkualitas lebih bagus ketika ia
menyangkal kenikmatan dengan cara membebaskan kenikmatan dari dunia materi.
Selain simbol mediator, konsep yang penting dalam tubuh adalah munculnya believes,
dimana tubuh dilakukan dalam berbagai cara bukan berdasarkan fungsi semata,
melainkan juga didasarkan pada keyakinan pula. Tiga rangkaian antara mediator,
penyampai simbol dan keyakinan pada tubuh inilah yang kemudian direspon
masyarakat sebagai orang yang dianggap perwalian dengan ruang akherat dan
Ketuhanan.
Yang tak kalah penting adalah sebuah proses pemaknaan tubuh didasarkan
pada gerak dan pembakatan. Seringkali kita mendengar istilah orang yang mempunyai
indera keenam. Dimana perangkat tubuh mempunyai kemampuan lebih untuk
menangkap sebuah makna dan simbol yang bisa dikomunikasikan. Di dalam
keseluruhan konteks apakah itu tentang simbol, mediator dan keyakinan. Kita bisa
melihat batas-batasnya. Batas pada relijiusitas menjadi penting. Batas ini didasarkan
pada jenis kelamin, seperti yang akan saya jelaskan lebih lanjut dibawah nanti.
Jika kita melihat pada perspektif konstruktivis, seperti yang diusung oleh Peter
L Berger, maka didalam tubuh sebenarnya terdapat kredibilitas sebuah agama. Jika
tubuh manusia berubah, maka kredibilitas agama akan berubah. Agama tidak kredibel
lagi jika agama tidak ada lagi di badan. Agama tidak lagi melalui pakaian, agama tidak
sampai pada makanan, karena umat tidak perduli lagi pada halal-haram. Agama juga
tidak lagi menjadi tempat berteduh bagi tubuh. Manusia tidak lagi akan melihat malam
minggu orang keluar dari Gereja atau dari masjid di hari Jum’at, ketika pengalaman
tubuh tak lagi memerlukan kredibilitas agama. Jika kita lihat konteks gereja di Eropa
secara kekinian, mobilisasi tubuh lebih terkonsentrasi pada sakralisasi secara misal
aktivitas yang sebelumnya dianggap profan. Contoh yang paling jelas adalah suporter
112
sepak bola yang menganggap olahraga ini sebagai bagian dari ritus dan agama.
Sehingga gereja sebagai suatu bangunan menjadi kehilangan kredibilitas dan hanya
menjadi pengalaman masa lalu. Di Den Haag gereja yang ditinggalkan tersebut,
dikenakan oleh muslim migran sebagai masjid. Saya masih ingat pada waktu kakak dari
Probosutedjo sakit, dirawat dan meninggal disana. Probosutedjo kemudian membeli
sebuah gereja yang direka menjadi masjid. Tempat ibadah ini disediakan sebagai rasa
terima kasih untuk orang-orang Indonesia di Belanda yang telah merawat sang kakak.
Saya masih ingat pada waktu masih sekolah disana, dan sempat sholat Iedul Fithri.
Fenomena ini dikarenakan mobilisasi tubuh manusia yang mengalami konteks
perubahan pada pengalaman tubuhnya.
Ketika tubuh terkait dengan kekuasaan maka dia akan terkait dengan
pernyataan. Tubuh menjadi ruang pernyataan berdasarkan agama, karena agama
bagaimanapun tak lepas dengan bangunan kekuasaan. Pada saat manusia mulai
berubah baik dalam believe, simbol dan mediator. Maka menegaskan adanya sebuah
keruntuhan dari kekuatan agama itu sendiri. Ketika pernyataan simbolis tak lagi
dianggap sebagai kekuatan, ini tak lepas dari hilangnya tubuh terhadap kesensivitasan
kharisma dan ikon kekuasaan yang dimunculkan dalam agama.
Dari kasus agama dan tubuh terlihat bahwa permasalahan kemudian menjadi
tidak sesederhana antara boleh dan tidak boleh, dilarang atau dianjurkan. Tapi agama
berhubungan untuk membuat suatu tatanan yang kompleks terhadap tubuh. Ada
manajemen dalam tatanan tersebut yang mempunyai implikasi yang luas terhadap
kekuasaan struktural, pengalaman diri dan juga pengalaman dalam suatu sistem dan
peraturan sosial masyarakat. Dalam konsep Berger ini mengacu pada konsep World
Maintenance, maka perawatan dan peraturan terhadap tubuh berhubungan dengan
sebuah tatanan dunia yang lebih besar, makro dan menentukan.
113
membentuk keteraturan tatanan sosial yang terealisasikan melalui gerak upacara (ritus)
dan ibadah (worship). Agama menjadi tumpuan terhadap tekanan emosional umat dan
membuka jalan bagi setiap permasalahan riil yang buntu. Contoh konkritnya adalah
tangan yang memutar tasbih, sujud yang lama bagi umat muslim dan mencium tembok
sisi ratapan di Yerusalem bagi umat Yahudi. Sisi kedua tubuh sebagai penengah (The
Body as Mediator) antara ranah masyarakat dengan Tuhan yang ia sembah. Berikut bagan
sederhana yang menyampaikan itu:
Vertikal, Transending, Cosmic:Tuhan,Dewa
Body
114
1954. Pada kasus Indhia Rajiv Gandhi adalah seorang perdana menteri legendaris India,
yang harus rela dijemput nyawanya dalam bom bunuh diri gerilyawan macan Tamil
(Sinhala Srilanka) ketika ia melakukan kunjungan ke India Selatan. Bom bunuh diri
mengatasnamakan agama memang mujarab dan jitu untuk menyerang lawan. Jangan
anggap enteng, setidaknya 640 orang Israel tewas sepanjang tahun 2000 hingga 2004
akibat bom bunuh diri. Bom bunuh diri lainnya dapat kita temukan pada berbagai
kejadian mulai dari gerilyawan ibu-ibu di Chechnya melawan Rusia, Hamas,
Hizbulllah, Mujahidin, hingga Gerilyawan Sunni di Baghdad. Dalam bom bunuh diri,
tubuh selalu menjadi mediasi yang dianggap ampuh untuk menyampaikan suatu
ekspresi. Tubuh mempunyai peran penting dalam posisi agama karena ia mampu
menjadi simbol identitas dan keimanan seseorang.
****
Hingga abad 16 di barat, berbagai teknik pengakuan dosa (confession) kepada
pendeta ataupun pastor, merupakan sarana ampuh memproduksi kebenaran tubuh
berdasarkan agama. Meminjam istilah Foucault, tubuh manusia di sini dianggap sebagai
confessing animal, yang baru merasakan sebuah kelegaan ketika ia telah merasakan
“curhat” dengan pendeta yang menjadi rezim moral di sana. Pada abad ini rejim moral
menjadi dominan, sebelum diintervensi oleh rejim klinik.
Secara awal, pemaknaan agama terhadap tubuh merupakan respon manusia dari
situasi ketidak berdayaannya dalam menghadapi dunia yang tak dapat dikontrol
sepenuhnya. Seperti adanya bencana alam (banjir; tsunami; gunung meletus);
perang; kematian massal dan ketidakpastian terhadap masa depan (mis: pengangguran
stlh lulus). Dari berbagai hal kelabilan, ketidakpastian dan unsure yang sulit tertebak
inilah kemudian dibutuhkan Heavenly Father atau Bapak Spiritual yang
dianggap/dimohonkan mampu menjadi tumpuan dari anak-anak kecil yang tak
berdaya (baca: Manusia).
Masuknya agama mengatur dan mendisiplinkan tubuh, menandakan bahwa
tubuh bukan sesuatu yang given dan natural. Ia merupakan konstruk sosial. Karena itu
gerak tubuh, tingkah laku, hingga produktivitas tubuh diperebutkan maknanya oleh:
agama, negara dan kapital. Tubuh fisik disiksa, dikontrol, dikendalikan, didisiplinkan
demi peningkatan jiwa dan penyerahan diri total kepada Tuhan. Tubuh yang semakin
diperlakukan hingga sangat sengsara, menjadi parameter bagi keimanan umat.
115
Misalnya adalah perintah selibat; berpuasa; anjuran asketisme; tapa brata, hingga bom
bunuh diri. Seperti yang dilakukan oleh gerilyawan Palestina, kaum Taliban hingga
Fundamentalis Islam di Bali beberapa waktu lalu. Tubuh sebagai daging (The Body as
Flesh), oleh agama dianggap sebagai sumber dari ketidakstabilan, emosi, nafsu.
Sehingga tubuh harus dikendalikan, ditaklukan, didisplinkan. Karena kesulitannya
untuk diatur dan dianggap sebagai wadah mudah untuk kendaraan setan. Bentuk
pengendalian tubuh ini bisa kita lihat pada habitus umat melakukan sholat, rapa brata,
puasa hingga meditasi. Dalam etik cerita pewayangan Jawa mengenai Arjuna dalam
gubahan Mpu Kanwa. Ketika seorang Daitya, Raksasa Niwatakawaca yang sangat sakti
berusaha menggempur surga yang jadi kerajaan Indra. Tak ada salah satu pun penghuni
swargaloka ini yang mampu mengalahkannya. Kecuali seorang manusia di bawah sana
yakni Arjuna. Arjuna mampu mengalahkan raksasa ini setelah ia melakoni puasa dan
tapa brata di Gunung Indrakila. Puasa memang mempunyai kekuatan tersembunyi
yang luar biasa. Ibadah ini sesuai dengan filosofi Jawa “Sepi ing pamrih rame ing gawe”.
Selain itu agama menciptakan disiplin mendua terhadap tubuh dengan adanya
etika (yang kemudian diinstitusikan) dalam bentuk seperti halal-haram; dosa-pahala;
perintah-larangan; kematian-kehidupan. Dengan demikian, untuk meluaskan kajian
pembahasan tubuh maka, wacana pendisiplinan tubuh dalam agama ditekankan pada
beberapa diskursus yakni:
Pertama, tubuh yang terperangkap dalam rancangan struktur kekuasaan dan
pengetahuan yang diproduksi oleh agama (The body is an effect of structural arrangements
of power and knowledge).
Kedua, Keberadaan tubuh menjadi bagian dari sejarah panjang di dalam
masyarakat. Tubuh sebagai penggerak tradisi (The Body has a history).
Ketiga, religiusitas tubuh terbentuk melalui pengalaman keagamaan subjektif
individu. Khususnya pengalaman sehari-hari manusia (The Body in the Context of Lived
Experience.). Sebagai misal adalah “Saya yakin Tuhan ada, karena tubuh dan jiwa saya
merasakannya, ini bukan pengalaman saya sendiri, namun saya yakin ada jutaan umat yang
merasakannya pula”.
Keempat, Tubuh yang berada pada posisi perdebatan antara Phenomena dan
Noumena. Berikut karakter berikut:
116
Gempa Bumi
Hujan
Phenomena: Sesuatu yang dapat ditangkap indera tubuh
Petir
Gunung Meletus
Tuhan
Malaikat
Noumena: Realitas yang tak dapat tangkap indera tubuh
Surga
Neraka
Agama dalam hal ini juga menentukan batas-batas terhadap tubuh. Pembatasan
tersebut secara garis besar dibagi ke dalam empat tahap, yakni:
Pertama. Perspektif usia. Agama membedakan antara masa pra dewasa dan
masa dewasa. Misal, seorang anak kecil akan dibebaskan dari berbagai macam aturan
berpakaian yang ketat layaknya orang dewasa. Dalam hal berpakaian, gerak-gerik,
ekspresi beberapa bagian tubuh akan cenderung terbebas dari berbagai peraturan
Aturan ini tentu tak berlaku bagi orang dewasa. Dalam agama, Islam anaknya anak
berusia tujuh tahun diberlakukan berbeda dengan sebelum baligh. “Dia telah tujuh
tahun, maka dia harus sholat, dia harus puasa, jika tidak maka orang tua akan ikut
berdosa”. Dalam hal ini ukuran tubuh menjadi parameter sejauh mana keterlibatan
agama terhadap tubuh. Pada usia tua, konstruk sosial mengharuskan orang yang
berusia tua untuk lebih relijius dan berorientasi ke kiblat semata.
Kedua, Jenis kelamin. agama memberikan batasan yang jelas serta berbeda
antara laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam berpakaian yang berkenaan dengan
aurat, tingkah laku, hak dan kewajibannya dalam kehidupan sosial. Pada tingkatan
praktik relijius misalnya, pendefinisian agama didasarkan pada komposisi hormonal,
sehingga status praktik keagamaan menjadikan laki-laki dan perempuan diposisikan
berbeda.
Ketiga, Konsep cinta kasih. Cinta (love) dan nafsu (lust). Ikatan pernikahan
merupakan elemen resmi sebagai pembeda seksualitas sebagai lust, karena didalam
pernikahan tersebut terdapat ikatan lahir bathin (physical emotion tie). Ikatan cinta dan
117
gerak tubuh pada agama meberikan batas dan gerak sejauh mana ia diijinkan dalam
sebuah hubungan cinta kasih.
Keempat, Roh dan jasmani/ tubuh. Penyucian merupakan bentuk rekonsiliasi
antara jiwa manusia dengan ketubuhannya. Agama memandang bahwa tubuh
mempunyai daya ketertarikan dan penuh godaan. Jika berbagai rintangan yang penuh
godaan tersebut dapat dilalui maka iming-iming yang ditawarkan bersifat hadiah
transcendental. Seperti nirvana, surga. Dalam berbagai ajaran agama, penyubordinasian
tubuh merupakan anjuran yang diharuskan, misalnya: berpuasa, sunat, bertapa, tidak
melakukan hubungan seks dan sejenisnya. Dalam hubungan kekinian agama
memberlakukan jasmani dan rohaniah tidak lagi dibebaskan secara tegas. Pemaknaan
ini tak lain dari gerak tafsir dan mobilitas umat yang demikian cepat berubah. Jika kita
lihat dalam terminologi yang lain, agama menjadikan manusia mempunyai pengalaman
hidup. Karena di dalam agama terdapat pada tubuh. Agama akan mati, tatkala tubuh
manusia mengalami kematian. Agama menjadi pengalaman yang hilang disaat manusia
juga mati. Agama berhasil dihidupkan seperti yang saya sebutkan diatas bahwa agama
berasal dari serangkaian gerak masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan kohesi
sosial dalam masyarakat. Agama juga menjadi pengalaman historis. Terkait dengan
factor masa lalu, dalam artian bahwa kita mengatakan suatu proses tersebut
berkontinyu atau berhenti pada satu titik, justeru pada saat manusia tidak lagi melalui
tubuhnya melakukan berbagai praktik keagamaan, maka agamapun menjadi bagian
dari masa lalu. Tubuh kemudian menganggap aagama bagian dari masa depan. Bisa
dikatakan bahwa tubuh juga menentukan keberlanjutan sebuah agama itu sendiri.
Dengan belajar tubuh dan agama, akan mengungkapkan bahwa emosi; mood;
perasaan dan semangat tubuh, tidak semata ditentukan oleh perspektif biologis
(biological determinism hormon, gen). Agama juga memberikan peranan penting
dalam hal ini (Khususnya pada pandangan Weberian). Selanjutnya pandangan filosof
yang menekankan hubungan tubuh dengan agama adalah, yakni Friedrich Nietszche.
Nietszche memandang, moralitas tubuh yang berpatokan pada agama merupakan
bentukan komunal. Ia menegasikan kemerdekaan individu. Karena itulah Nietszche
dipandang sebagai anti komunalisme. Tubuh dan jiwa bukan skema yang dikotomistik,
perpaduan dari keduanya merupakan keutuhan sebuah manusia. Tubuh dipandang
sebagai sebuah perangkat kolektif yang kompak dan sinergis, serta terorganisisr secara
118
baik dengan jiwa. Agama membuat jiwa berlaku tidak adil terhadap tubuh. Istilah
Nietszche “the religious mood”. Yakni kenikmatan yang didapat dari pengikut agama
(The Salvation Army) yang rela berkorban demi kebenaran dan kenikmatan yang mereka
alami. Tubuh yang disengsarakan mempunyai sebuah kenikmatan tersendiri dalam
selimut agama, yang sifatnya mengadiksi dan membunuh rasa kritis.
Kedua adalah Jean Paul Sartre. Sartre melihat bahwa tubuh dan pemikiran yang
mengikuti alur pemikiran komunal (agama), merupakan alur pikiran yang semu. Ia
tidak berasal benar-benar dai keinginan individu. Nyaris sama dengan Nietszche, Sartre
menganggap bahwa Tuhan adalah hasil bayangan dari komunitas yang meniadakan
individu. Tuhan diciptakan oleh jiwa dan pemikiran manusia. Dan agama adalah
kepercayaan dan nilai-nilai yang tidak didapat dari diri sendiri.
119
Pemberlakuan diskriminasi terhadap tubuh berdasarkan perspektif gender, juga
terjadi tatkala perempuan menjadi saksi di wilayah Syariat Islam, dua orang perempuan
sama dengan seorang laki-laki. Selanjutnya dengan dari perspektif hukum dapat kita
lihat contoh kasus seperti berikut. Jika terdapat seorang perempuan diperkosa, dan ia
mengadu ke peradilan, maka perempuan korban ini harus mampu membuktikan bahwa
ia benar-benar diperkosa. Sementara prasyarat pembuktian dalam syariat Islam, ia
harus menghadirkan empat laki-laki sebagai saksi. Prasyarat ini hampir mustahil.
Bagaimana mungkin suatu pemerkosaan disaksikan oleh empat orang laki-laki dan laki-
laki itu mau menjadi saksi. Hal ini mengindikasikan pula bahwa jika terdapat korban
perempuan yang diperkosa ia berada dalam posisi sangat lemah. Dengan demikian apa
yang ditekankan dalam syariat Islam sangat perlu diperdebatkan pula diranah hukum.
Tubuh selain dipatuhkan dalam kerangka institusi agama juga harus mengalami
nasib homogenisasi dan menghilangkan khasanah lokal yang dimiliki kaum
perempuan.
120
kaum Zoroaster. Purifikasi simbolik tampak pada penampilan fisik hingga
penggabungan dalam satu komunitas. Penampilan dalam purifikasi simbolik tampak
pada empat ciri fisik, yakni Padyab Kusti adalah penyucian tubuh dengan air pada
bagian muka dan tangan, khususnya ketika bangun tidur, buang air kecil dan besar,
serta sebelum makan dan minum. Nahn adalah Doa-doa ritual yang dipanjatkan
sepanjang masa krisis. Adapun doa masa krisis tersebut dilakukan pada waktu 40 hari
kaum perempuan sebelum menikah; doa kaum muda pada hari suci akhir tahun. Riman
adalah itus bagi orang-orang yang tidak suci, terkena kotoran. Dilakukan dengan
melakukan si-suy, yakni pensucian sebanyak tiga puluh kali dengan air kencing sapi
jantan dan pasir. Sedangkan Barsnom-i no sab adalah do’a agama Zoroaster yang
dikirimkan kepada tubuh dan jiwa yang telah meninggalkan dunia untuk selamanya 1.
Inisiasi pada upacara tersebut melibatkan beberapa pertangkat tubuh dengan cara
mengunyah daun delima sebagai tanda kesuburan, mencicipi sedikit urine sapi jantan
(nirangdin) yang dicampur dengan abu suci sisa api dari kuil (bhasam). dan
mencampurkan urin sapi jantan+pasir+air digosokkan pada bagian tubuh sebanyak tiga
kali. Kemudian diteteskan air dan diletakkan pada bagian pakaian suci yang dililitkan
ke pinggang.
121
dilarang karena tindakan seks ini cenderung promisquity (hubungan seks dengan
berbagai partner), tidak untuk melahirkan, sehingga tidak ada ritual-ritual keagamaan
pada masa-masa krisis dalam kehidupan kekeluargaan yang sesuai dengan agama,
seperti menstruasi, mengandung, masa iddah, doa-doa kepada anak ketika ia dilahirkan,
doa-doa perkawinan dan lain sebagainya.
Istilah homoseksual dalam Islam adalah liwat tindakan seseorang yang
menyintai sesama jenis. Sedangkan Luti adalah pelaku dari liwat. Terdapat istilah al-
shudhudh al jinsi yang mempunyai makna literer seksual tidak umum atau tidak biasa.
Istilah ini tidak terdapat kutukan atau kecaman secara eksplisit terhadap tindakan yang
dianggap minor dan tidak biasa tersebut. Namun penekannya hanya secara numerical
yakni jarang, tidak biasa dan tidak umum dibanding hasrat terhadap seksualitas lawan
jenis yang menjadi mayoritas secara numerical/ jumlah.
Setidaknya terdapat 14 surah di Al-Qur’an yang memuat kisah nabi Luth
dengan komunitas Soddom tempat dimana ia diutus menjad nabi. Dalam beberapa ayat,
kata homoseks juga disinonimkan dengan Shahwa atau Fahisha yang berarti praktek
seksual dengan jenis kelamin sama. Luth yang menetap di tengah-tengah masyarakat
Soddom selama 30 tahun, sebenarnya diutus oleh Tuhan dan bukan semata mengurus
persoalan homoseksualitas. Namun terdapat unsur lainnya yang lebih pokok, seperti
tindakan menghasut, iri hati, menipu, mengadu hewan dan lainnya yang ternyata di
antara para pelaku mempunyai orientasi seksual sejenis. Dengan demikian bukan
orientasi seksual itu sendiri yang menjadi kecaman. Luth sebagai nabi Tuhan
mempunyai karakteristik sama dengan munculnya beberapa nabi sebelum dan
sesudahnya. Yakni datangnya nabi ke suatu tempat demi tugas suci dalam meluruskan
berbagai tindakan yang diangap saling merugikan antar sesame. Dan diwajibkan
terhadap pengakuan adanya Tuhan secara Monotheis. Dalam tafsir lainnya,
mendetailkan bahwa Al-Qur’an mengungkapkan secara tegas bahwa terdapat lima dosa
besar (hadd/ hudud) yakni pembunuhan, perampokan, pencurian, zina dan bersaksi
palsu. Zina dalam hal ini bisa kita tafsirkan sebagai tindakan hubungan seksual di luar
ikatan formal pernikahan. Jika kita perhatikan pada surat Al-A’raf pada ayat 80-84
hanya mengungkapkan bahwa Tuhan melarang secara tegas untuk mendekati zina.
Hukum penetrasi seksual laki- laki yang berzina dengan perempuan di luar pernikahan
122
adalah dosa dan tentunya sejajar dengan hukum penetrasi seksual laki- laki terhadap
laki- laki atau perempuan terhadap perempuan yang juga di luar pernikahan sah.
Di sisi lain Muhammad sebagai nabi pun tidak pernah melarang secara tegas
bahkan menghukum hubungan seksual sesama jenis pada masanya. Dan hampir tak
ada bahkan memang tak ada hadits yang melarang adanya hubungan seksual antar
sejenis.
123
tersatukan di dalam tubuh umat Hindu. Dimana didalam semua kasta terdapat tiga
elemen kebaikan tubuh, yakni, Sattiva atau tubuh sebagai penerang, kemudian Rajas
yakni tubuh dianggap sebagai sumber energy. Dan Tamas yakni tubuh sebagai bagian
dari ketumpulan hidup. Dalam ilmu pengetahuan Hindu tentang medis, makanan
merupakan sumber utama terhadap keadaan tubuh. Makanan yang buruk berakibat
pada penyakit, demikian juga sebaliknya.
Pentingnya unsur tubuh dalam umat Hindu tampak ketika mencermati dua
perangkatnya yakni mata yang mampu menyimbolkan hasrat seksualitas. Hal ini dapat
dilihat pada peran mitos yang tercipta antara Gautama, Ahalya dan Indera. Terdapat
seorang bijak bernama Gautama, yang mempunyai istri cantik bernama Ahalya. Suatu
waktu Indra sangat bernafsu melihat kecantikan Ahalya. Nafsu tersebut ditanggapi oleh
Ahalya. Mengetahui hal ini Gautama dan mengutuk Indra sehingga tubuhnya penuh
dengan kemaluan perempuan. Sedangkan isterinya dikutuk menjadi batu (Kathasarit
Sagara 17.137-48). Karena di dalam mitologi Hindu, genital dipercaya terlepas dari
tubuh. Ia mempunyai kehidupan sendiri. Biasa disebut dengan Linggam atau Phallus
milik Dewa Shiwa. Genital harus dipisahkan karena mengandung potensi berbahaya.
Berdasarkan pandangan emik, kasta di India mempunyai hubungan yang saling
mendukung. Masing-masing kasta menjamin keamanan pada setiap hubungan. Kasta
yang lebih rendah memberikan pelayanan kepada kasta yang lebih tinggi. Sedangkan
kasta yang lebih tinggi memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada kasta yang
lebih rendah. Di masa krisis kasta yang lebih tinggi akan membantu berbagai makanan
kepada mereka kasta yang lebih rendah. Hal ini sesuai dalam anjuran agama Hindu
untuk selalu membantu kaum yang lebih lemah. Sedangkan kasta yang lebih rendah
mendendam kepada kasta atas akan dianggap sebagai bentuk dari rusak dan
terpolusinya diri. Inilah yang kemudian membuat sistem klasifikasi klas di India
berbeda dengan yang ada di barat.
124
tubuh secara spiritual. Untuk mengontrol dan mengeliminasi hasrat dan nafsu tubuh.
Tubuh dan hasrat ditujukan kepada ke ruang-ruang religius agar mencapai Nirvana.
Gerak inti dalam Yoga ini dijalankan dengan empat postur pengendalian tubuh melalui
yakni berbaring, duduk, berdiri dan bergerak.
Adapun caranya melakukan Yoga adalah:
1) Konsentrasi pada keluar masuknya nafas
2) Konsentrasi pada perilaku berdiri, duduk, berbaring dan bergerak
3) Konsentrasi pada gerakan dan posisi fisik ketika makan, minum,
mencuci, berpakaian dan lain sebagainya
4) Refleksi terhadap empat elemen materi yakni:
Bumi= Padat
Air= Cair
Api= Panas
Udara= Gerak
5) Refleksi terhadap kotornya makanan
6) Refleksi pada 31 perangkat tubuh seperti rambut, kepala, kulit,
tulang, ginjal, jantung, darah keringat dll.
7) Refleksi pada kesalahan-kesalahan.
Dengan demikian gerak tubuh Yoga dalam agama Buddha Theravada terbagi menjadi
dua, yakni:
Dhammakaya: (a Body of Thruth) kebenaran tubuh yang ditujukan kepada manusia
di sekitar. Hubungan antar tubuh manusia. Tubuh dipandang untuk pelayanan
terhadap entitas yang berkarakter horizontal. Sedangkan Rupakaya (a Body of Form) biasa
juga disebut Buddarupa. Tubuh ini berupa fisik atau materi, namun tetap bermuatan
transedental. Misalnya, tubuh Sidartha Gotama (5-6 masehi). Karakter tubuh ini dapat
ditemui pada beberapa stupa dan candi.
Sedangkan perspektif tubuh Buddha Mahayana yang banyak ditemukan pada
masyarakat Tibet menyangkut dua karakter yang menganggap tubuh sebagai entitas
profan atau horizontal yakni Kaya, dimana tubuh dianggap merupakan tumpukan dari
kolektivitas material yang sifatnya saling bersambungan, seperti mata dan otak, hidung
dan mulut, yang hubungan-hubungan tersebut melahirkan suatu sense atau rasa
tesendiri yang tentu akan berbeda dengan hubungan mata dan mulut atau hubungan
125
organ lainnya. Sedangkan Sarira merupakan tubuh fisik menurut perspekeif modis.
Dimana tubuh merupakan sumber dari segala bencana dan kesalahan. Karena itu
meditasi merupakan jalan untuk melihat kesucian dari tubuh. Melalui meditasi tubuh
dibuat tidak berhasrat. Untuk, dalam agama ini tubuh dianjurkan menjalankan
Bodhisattva (motivasi tertinggi dalam ibadah) umat ini membakar jempol kaki atau
lengan. Pada penganut buddha mahayana di China mereka membakar kepala dan
seluruh jari sebagai bentuk pengorbanan tubuh (body as useless object). Agama Mahayana
juga menerapkan etika mengenai sembilan lubang yang dimiliki tubuh manusia
mempunyai najis. Karena Makanan merupakan efek yang paling buruk terhadap tubuh.
Bisa mengakibatkan seksualitas yang kasar, pencurian, immoralitas dan dekadensi
spiritual.
126
yang penting dalam agama Yahudi adalah tangan. Dalam surat shefatal:16, tercatat 15
kata Hebrew yang berkaitan dengan tangan, kuku, jari dan telapak. Ini tersampaikan
melalui ujaran suci yang mengatakan God sending the blessing as it were through the
opening between the finger of the priest. Tubuh dan Jiwa menjadi perdebatan tiada henti
oleh pemikir Yahudi dan para Rabbi (pendeta-pendeta Talmud). Khususnya pada dua
kejadian penting, yakni Hari Sabbath dimana tubuh diberhentikan dari 40 jenis
pekerjaan yang berhubungan dengan dunia materi. Seperti: membajak, membersihkan
rumput, membakar, menampi. Pada hari ini tubuh juga dilarang berpuasa. Menjelang
hari Sabbath, sang suami dianjurkan menyetubuhi isteri, karena besoknya adalah hari
suci Sabbath, dimana nafsu telah terlampiskan sebelumnya. Kejadian penting lainnya
adalah Kematian. Sebelum dikuburkan purifikasi dilakukan terhadap tubuh. Tubuh
mayat dicuci, dengan setengah galon air. Termasuk rambut yang disisir dengan indah
dan kuku yang dihias hingga sangat molek. Prosedur ini juga dilakukan oleh agama
Zoroaster, Katholik Roma, dan Islam Sufi. Dalam agama Yahudi tubuh mayat dibagi
berdasarkan 3 jiwa yang di bagi antara lain, Nefesh, jiwa terendah yang masih tertinggal
di tubuh mayat. Ruah, jiwa yang berdosa, ia dihukum terdahulu dalam kubur. Dan
setelah lepas dari tubuh ia boleh masuk surga terendah. Ketiga adalah Neshaman yang
merupakan jiwa tertinggi. Jiwa ini langsung lepas dari tubuh dan langsung menuju ke
taman surga tertinggi.
127
Selanjutnya adalah Simon Stylites, adalah seorang santo yang paling radikal di
abad kelima masehi, dimana ritual yang dilakukan hingga benar-benar membusukkan
tubuhnya dibanding santo sebelumnya (bahkan sesudahnya). Simon pernah berpuasa
selama 40 tahun, meskipun pada akhirnya ia pingsan. Ia terus melanjutkan kegiatan
ritual tersebut dengan tinggal di sebuah pilar diketinggian antara 4-5 kaki. Ketinggian
pilar ini ditambah setiap tahunnya. Hingga pada puncaknya Simon tinggal di pilar
berketinggian 60 kaki. Simon tinggal di ketinggian ini hingga selama 40 tahun.
Sedangkan untuk makanan beberapa orang mengantarkannya. Hingga mengalami
berbagai pergantian cuaca dan iklim terus-menerus. Hingga kulitnya melepus dan
tumbuh luka yang menyebar dengan cepat, dan lalat pun menyapa ia dengan terbang
disekitarnya. Pada bagian kakinya yang mulai lubang, tumbuh telur-telur lalat dan
belatung. Baginya ini adalah upaya penduplikasian kesengseraan milik Yesus. Dan
beberapa belatung yang merayap di luka tubuhnya diletakkannya ke tempat semula.
Tentunya dengan alasan bahwa belatung tersebut datang ke lukanya tak lain adalah
kiriman dari Tuhan.
Dualitas tubuh Kristen Yunani membagi tubuh ke dua tradisi penting, yakni
Tradisi Biblical Hebraic dimana tubuh dan jatidiri melebur menjadi satu makna. Dengan
demikian makna tubuh secara harfiah menghilang (I do not have a body, I am my body).
Dan kedua adalah Tradisi Platonic-Hellenistik, dimana Jiwa dan tubuh yang terpisah.
Jiwa lebih tinggi dan punya tiga aspek intelligent, intelektual (logistikon), dan
keabadian. Tubuh harus tetap di bawah kontrol. Kristen Yunani memanifestasikan
Tuhan ke bentuk tubuh dan sifat manusia tampak pada epik yang menceritakan
tentang kelahiran dan fisik Yesus, yang keluar dari rahim seorang perempuan
(Galatians 4:4). Selain itu Jesus juga mengalami lapar dan haus (Matthew 21:8; Mark
4:31; John 4:6; 19:28).
Rasul paul berpendapat bahwa membedakan antara tubuh (soma) dan jiwa
(psyche) bukan tempatnya lagi. Namun lebih pada makna Flesh (sarx) dan Spirit
(pneuma). Flesh (sarx) mengacu tidak hanya kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan
akan pemenuhan rasa kemanusiaan (tubuh dan jiwa menjadi satu). Sedangkan Spirit
(pneuma) mengacu kepada desain tanda komunal. Dan humanitas bersama antar
individu. Misalnya adalah melakukan ibadah dan berdagang.
128
Penyucian tubuh dalam ibadah agama Kristen, dilakukan ketika umat
melakukan tiga aktivitas suci, yakni Baptisme dimana tubuh dicuci dengan air dan
dicelupkan. Merupakan tanda orang yang beriman. Sebelum pembaptisan tubuh
dilumuri oleh minyak zaitun. Minyak suci ini dioleskan membentuk silang pada dahi,
mata, bibir, telinga, tangan hingga kaki. Bermakna untuk menyembuhkan tubuh dan
jiwa serta simbol kesucian. Baptisme merupakan garda awal dimana aktivitas tubuh
kemudian diposisikan sebagai bentuk yang harus ditelanjangi segala kerahasiaannya di
depan wakil-wakil Tuhan. Sebagaimana cuplikan perbincangan dalam The Crime of
Padre Amaro, sebuah pengakuan (Confession) di sebuah gereja, Amelia (Ana Claudi
Talancon) menghadap sang pastor (Father) yang diperankan oleh Gael Garcia Bernal.
Laki-laki ganteng yang pernah mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik Mexico
dua tahun yang lalu.
Berikut petikan pembicaraan tersebut:
Father: Tell me your sins child.
Amelia: I confess, that I’m very sensual, Father.
Father: What do you means by sensual?
Amelia: I like to kiss my boy friend, and touch my self. In the shower
alone, taking a bath. I like to feel the water falling on my
body. And I caress my self. Is that a sin?
Father: No, sensuality is no sin. The body and the soul are the same
essence. It’s normal.
Amelia: But when I caress my self, I close my eyes and I think….Jesus.
Jesus our Lord, Father. Is that a sin?
Sejenak sang Father terkesiap kemudian, dengan setengah
menghela nafas ia berkata “Yes, that is a sin”.
Penyucian tubuh kedua adalah Ekaristi dengan memakan kepingan gandum dan
meminum wine hanya ketika beribadah ekaristi sebagai simbol, bahwa makanan,
minuman tersebut bukan barang konsumsi sehari-hari yang bersifat profan seperti susu,
roti dan lainnya. Ketiga tatkala tubuh mengalami kematian. Peti mati dibiarkan terbuka,
agar mayat dapat diberi ciuman terakhir. Tubuh terakhir sebagai objek cinta kasih dan
bukan kebencian. Kremasi (pembakaran mayat) tidak dilakukan karena dipercaya pada
akhirnya tubuh akan kembali bangkit.
Peletakkan tubuh dengan menyakitkan beberapa perangkatnya tak lepas dari
keinginan umat untuk berempati sekaligus menduplikasi kesakitan dan kesengseraan
yang dialami oleh Yesus menjelang penyaliban dirinya. Seperti upacara jalan salib yang
129
dialami di beberapa tempat, maka Mel Gibson dengan penuh kontroversial membuat
orang-orang Yahudi seantero dunia geram dan murka. Pasalnya, melalui film The
Passion of the Christ (2004) yang diproduksi Newmarket Film Group sangat dianggap
menghina agama Yahudi pada awal abad-abad Masehi tersebut. Film berdurasi 2 hrs. 5
menit yang diperankan dengan menawan oleh Jim Caviezel, Maia Morgenstern, dan
aktris cantik Monica Bellucci ini penuh dengan adegan berdarah-darah penyiksaan
Yesus.
Caliston Ware pada The Body in Greek Christianty, di konsepkan bahwa Tuhan yang
dimaterialkan dalam bentuk tubuh manusia seperti Yesus. Dan pada akhirnya tubuh Tuhan ini
menjadi berdarah-darah dalam sebuah pengorbanan yang besar terhadap umatnya.
***
130
Kiri: Myrna Nazzour - Damaskus, Syria Timur, 2001. Mengalami luka stigmata pada dahinya, yang
membentuk salib Kristus. Kanan: Stigmatic yang terjadi b\pada bunda bunda Theresa Neumann (1898-1962). Di Jerman.
131
Kajian Pustaka:
Alan Williams. “Zoroastrianism and the Body” in Sarah Coakley (ed), The Religion of the
Body. 155-166: 1997
Kallistos Ware. “My Helper and My Enemy: The Body in Greek Christianity” in Sarah
Coakley (ed), The Religion of the Body. 90-109: 1997.
Louis Jacob “The Body in Jewis Worship: Three Rituals Examined” in Sarah Coakley
(ed), The Religion of the Body 71-89:1997
Paul Williams. “Some Mahayana Buddhist Perspectives on the Body” in Sarah Coakley
(ed), The Religion of the Body. 205-229: 1997.
Scott Siraj Al Haqq Kugle. “Sexuality, Diversity and Ethics” in Omid Safi (ed) Progressive
Muslim on Justice, Gender and Pluralism,. One World Publication. Oxford. 200-219: 2003
Steven Collins. “The Body in Theravada Buddhist Monasticism”. in Sarah Coakley (ed),
The Religion of the Body. 185-204: 1997.
Wendy Doniger. “Medical and Mythical Construction of the Body in Hindu Texts”. in
Sarah Coakley (ed), The Religion of the Body. 167-184-1997.
132