Anda di halaman 1dari 348

AKHLAK MULTI ASPEK

Dr. Abd. Rozak A. Sastra, MA


AKHLAK MULTI ASPEK

Editor :
Dr. Abd. Rozak A .Sastra, MA

Desain Sampul :
Abu Zarin

Tata Letak :
Abu Zarin

ISBN: 978-602-6902-58-0

Penerbit
Cinta Buku Media

Redaksi:
Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8
Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan
Hotline CBMedia 0858 1413 1928
e_mail: cintabuku_media@yahoo.com

Cetakan: Ke-1 Oktober 2016

All rights reserverd


Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
KATA PENGANTAR

P uji dan syukur, senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Rabbul


‘Alamin, yang senantiasa memberikan bimbingan dan kekuatan kepada
kami, sehingga kami diberikan kesempatan dan kemampuan untuk
menyusun buku Akhlak Multi Aspek.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi


Muhammad SAW, yang telah berhasil mengemban misi Allah, mengeluarkan
manusia dari kegelapan jahiliyah menuju keceriaan dan keselamatan. Beliau
juga telah berhasil mengentaskan manusia dari lembah kebodohan, kemiskinan
dan keterbelakangan, menjadi manusia yang merdeka, adil dan makmur.
Semoga kita tetap menjadi pengikutnya yang setia serta memperoleh
syafa’atnya kelak di hari kiamat. Amien.

Buku ini membahas Akhlak dan Etika dalam berbagai aspek. Tentunya,
pembahasan yang ada di buku ini telah dikaji secara mendalam, walaupun tidak
terlepas dari kekurangan.

Harapan kami, meskipun buku ini jauh dari sempurna, namun tetap dapat
memberikan kemudahan dalam memahami Akhlak dan Etika secara lebih luas,
serta dapat mendorong para pembaca untuk lebih giat lagi dalam belajar dan
memahami dan menerapkan akhlak positif dalam kesehariannya.

Akhirnya, kami berserah diri kepada Allah, semoga buku ini tercatat sebagai
amal shaleh. Amien.

Ciputat, Desember 2015

iii
DAFTAR ISI

Revitalisasi Akhlak Mulia dalam Generasi Muda _ 1

Etika Nge-Geng Positif _ 5

Urgensi Akhlak Mulia bagi Mahasiswa sebagai Calon Pemimpin Bangsa _ 15

Etika Berpolitik _ 28

Hubungan Etika dalam Bersilaturahmi _ 40

Ruang Lingkup Akhlak Mulia dalam Perspektif Dakwah _ 50

Peranan Akhlak dalam Berdakwah Melalui Media Massa _ 63

Peran Manajemen dalam Dakwah _ 70

Etika Berdakwah dalam Toleransi Beragama _ 77

Etika Dakwah _ 87

Pembinaan Moral Remaja dengan Berdakwah _ 95

Peran Akhlak dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah _ 101

Etika Pemberdayaan Etos Kerja Insan Akademis yang Profesional


dalam Perspektif Dakwah _ 111

Akhlak dan Etika Bekerja dalam Islam (Perspektif Dakwah) _ 120

Peranan Dakwah dalam Menghadapi Degradasi Moral _ 130

Etika Bermajelis _ 142

Akhlak Pergaulan _ 147

Etika Pemberitaan Media Massa dan Tabloid _ 159

Etika Islami dan Komunikasi/Media Massa terhadap Kajian Dakwah _ 174

Perilaku Orang yang Beretika dalam Majelis _ 183


iv
Dakwah dan Pembinaan Moral _ 191

Akhlak Dakwah dalam Konsep Etika _ 200

Akhlak Kepemimpinan dalam Perspektif Al-Qur’an _ 211

Peran Akhlaqul Karimah dalam Perkembangan Teknologi _ 240

Peranan Dakwah dalam Memperbaiki Moralitas Anak Jalanan _ 251

Etika Berdakwah dalam Lingkup Keluarga _ 260

Membenahi Lunturnya Moral Generasi Muda Melalui Dakwah _ 271

Urgensi Akhlak dalam Dakwah Era Konseptual _ 287

Mengaplikasikan Akhlak Rasulullah dalam Berdakwah _ 296

Etika Perbankan Islam _308

Etika Guru dalam Mengajar _ 320

v
vi
Revitalisasi Akhlak Mulia Dalam Generasi Muda
Oleh: Rizal Aryadi

Perubahan moral pada Generasi muda saat ini sangatlah penting dimulai dari diri sendiri,
revitalisasi pada Akhlak Pemuda Pemudi sejak dini sangat berpengaruh pada masa depan Bangsa
dan Agama karena pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan. Jika generasi muda sendiri
sudah tercemar akhlak dan kepribadiannya maka akan hancur Bangsa dan Agama kita. Pendidikan
karakter merupakan upaya yang membantu perkembangan revitalisasi moral dan akhlak generasi
muda, baik lahir maupun batin. Generasi muda harus diberikan pendidikan karakter karena
pendidikan karakter tidak hanya menunjukan mana yang benar dan salah akan tetapi lebih kepada
menanamkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga generasi muda
memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk
mengerjakan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian pendidikan karakter dan revitalisasi Akhlak terkait dengan pemahaman,
penghayatan dan sikap terhadap nilai-nilai yang dianggap luhur yang diwujudkan dalam perilaku
baik yang berhubungan dengan Tuhan, manusia dan alam. Revitalisasi akhlak generasi muda
sangat mengkhawatirkan, hal ini dapat ditujukan dengan meningkatnya praktek pelanggaran
hukum seperti: narkoba, prostitusi, konflik sosial, pergaulan bebas, premanisme, pembunuhan dan
lain sebagainya. Keadaan yang demikian menyebabkan timbulnya rasa cemas dan ketakutan serta
sangat mempengaruhi perkembangan masa depan.

Media masa juga memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan akhlak,
memiliki banyak sisi positif dan juga tidak sedikit sisi negatifnya. Peranan media massa jauh lebih
besar dari peranan pendidikan, berbagai tayangan hiburan yang dimuat. Jika generasi muda
memakai media massa dari sisi negatif akan menimbulkan pengaruh yang merusak kerja otak dan
akan terkontaminasi dengan perilaku yang buruk, akan tetapi jika dipergunakan untuk informasi
dan pengetahuan akan berdampak baik bahkan dapat memajukan kinerja generasi muda.1

1
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A – Akhlak Tasawuf dan karakter mulia (edisi revisi)

1
Kendala yang Dihadapi

Memang disadari bahwa dalam mempraktikkan tuntutan yang telah diwajibkan pemerintah
kepada sekolah agar semua guru dapat memberikan pesan moral pada semua mata pelajaran
memiliki banyak kendala. Salah satunya, tidak semua pelajaran bisa ditanamkan nilai-nilai
karakter. Sebut saja pelajaran kimia.

Katakanlah matematika masih bisa dikaitkan dengan nilai karakter, karena matematika
mengajarkan anak untuk berpikir kreatif, logis, sistematis, dan kejujuran. Bagaimana dengan
pelajaran yang lain. Apakah semua pelajaran dapat memberikan pesan moral? Tentunya wacana
integrasi karakter bangsa pada setiap pelajaran perlu dilakukan kajian yang mendalam terhadap
aspek materi yang dikandung pada masing-masing pelajaran.

Di samping itu, ketersediaan buku paket yang mempunyai pesan moral pada masing-
masing materi masih terbatas. Kemampuan interpretasi guru terhadap nilai-nilai karakter yang
dikaitkan pada tiap-tiap materi antara guru A dengan guru B, bisa berbeda-beda dan belum ada
contoh nyata, sehingga cenderung multitafsir. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Muchlas Samani,
"Kesulitan penerapan pola pendidikan karakter karena belum adanya contoh yang nyata dari para
pengajarnya.” (suparlan.com)

Oleh karena itu, ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam rangka memperkuat
kembali karakter dalam pendidikan. Pertama, melibatkan pihak keluarga dalam hal ini orangtua
untuk turut serta dalam mengawasi anak. Kedua, perlu adanya pengkajian yang komprehensif
tentang nilai-nilai karakter yang dikandung pada setiap materi pelajaran. Ketiga, melibatkan
perguruan tinggi untuk melakukan kajian terhadap materi-materi yang bisa dikaitkan dengan pesan
moral, sehingga multitafsir antara guru A dengan guru B dapat diminimalisir. Keempat,
memperbanyak buku-buku teks pelajaran yang bermuatan nilai-nilai agama.

Semoga dengan pendidikan karakter dapat mengembangkan nilai-nilai kebaikan pada diri
peserta didik. Dengan internalisasi nilai-nilai kebajikan pada diri peserta didik, diharapkan dapat
mewujudkan perilaku akhlakul karimah sesuai harapan bangsa.2

2
beritasatu.com 2573 revitalisasi karakter dalam pendidikan

2
Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik.

(HR. Abu Dawud)

Tidak adanya akhlak yang baik dalam diri individu atau suatu bangsa akan menyebabkan
krisis jati diri, kemerosotan moral, bahkan keruntuhan suatu negara. Akhlak memegang peran yang
sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena nasib suatu negara ada di
tangan bangsanya. Jadi, bangsa yang berakhlak baik secara otomatis akan berupaya mendirikan
dan membangun negara yang baik dan berakhlak mulia.
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (
HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Hakim, shahihul Jaami’ no. 1230)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi iman seseorang maka semakin baik
akhlaknya. Orang yang akhlaknya masih buruk berarti menunjukkan bahwa imannya lemah. Hal
ini menunjukkan bahwa akhlak dalam Islam merupakan refleksi keimanan dan buahnya.3 Cara
pandang religius inilah yang menjadi modal dasar pembangunan termasuk dalam pengembangan
pendidikan. Pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda
dengan karakter pembangunan manusia Barat yang sekuler. Pembangunan sumber daya manusia
(SDM) kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua lini kehidupan baik private
maupun publik.
Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi individu hal ini sesuai dengan hadits Nabi
yang mewajibkan menuntut ilmu bagi tiap muslim, tentunya ilmu yang dipelajari haruslah yang
baik dan bermanfaat bagi peserta didik sepanjang waktu. Dan pendidikan yang paling penting
adalah pendidikan Moral atau Agama atau biasa dalam dunia Islam dikenal dengan pendidikan
Akhlak. Nabi pernah bersabda “Sesungguhnya Aku diutus tidak lain hanyalah untuk
menyempurkanan Akhlak yang mulia”. Karena sebaik-baik makhluk adalah yang baik akhlaknya.
Apakah Pendidikan Nilai Moral? “Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua
perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar
dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.” (Soegarda Poerbakawaca, &
Harahap, H.A.H., 1981: 257).

3
senyumsakur.com 2013 revitalisasi jati diri bangsa indonesia

3
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat
(1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”Sedangkan “nilai
merupakan suatu ide, sebuah konsep mengenai sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan.
Ketika seseorang menilai sesuatu ia menganggap sesuatu tersebut berharga —berharga untuk
dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau berharga untuk dicoba maupun untuk diperoleh. Studi
tentang nilai biasanya terbagi ke dalam area estetik dan etik. Estetik berhubungan erat dengan studi
dan justifikasi terhadap sesuatu yang dianggap indah oleh manusia —apa yang mereka nikmati.
Etik merupakan studi dan justifikasi dari tingkah laku —bagaimana orang berperilaku. Dasar dari
studi etik adalah pertanyaan mengenai moral —yang merupakan suatu refleksi pertimbangan
mengenai sesuatu yang dianggap benar atau salah.” (Jack R. Fraenkel, 1977: 6). Moral menurut
kamus Poerwadarminta, (1989: 592) adalah “ajaran tertentu baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlaq, budi pekerti, susila.” Menurut Soegarda, P.,
dan Harahap, H.A.H., (1981: 434) ciri-ciri yang menunjukkan adanya pendidikan moral: (1) cukup
memperhatikan instink dan dorongan-dorongan spontan dan konstruktif, (2) cukup membuka
kondisi untuk membentuk pendapat yang baik, (3) cukup memperhatikan perlunya ada kepekaan
untuk menerima dan sikap responsive, (4) pendidikan moral memungkinkan memilih secara
bijaksana mana yang benar, mana yang tidak.”
Jadi Pendidikan Moral adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh manusia (orang
dewasa) yang terencana untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik (anak, generasi
penerus) menanamkan ketuhanan, nilai-nilai estetik dan etik, nilai baik dan buruk, benar dan salah,
mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban; akhlaq mulia, budi pekerti luhur agar mencapai
kedewasaannya dan bertanggungjawab.
Abu A’la Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam buku : Ethical Viewpoint of
Islam memberikan garis tegas antara moral sekuler dan Moral Islam. Moral sekuler bersumber dari
pikiran dan prasangka manusia yang beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar pada
bimbingan dan petunjuk dari Allah dalam Al-Qur’an.4

4
eliarifah revitalisasi pendidikan moral

4
ETIKA NGE-GENG POSITIF

Oleh: Arnol Rinaldi

5
A. Definisi Geng
Geng dalam Kamus Inggris-Indonesia menurut John M. Echols dan Hassan Shadily,
secara Etimologis Geng berasal dari bahasa inggris geng yang berarti gerombolan atau
kumpulan yang menguasai daerah tertentu dalam lingkungan tempat tinggal
(keberadaannya). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Geng adalah 1. Kelompok
remaja (yang terkenal karena kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah, dsb) 2.
Gerombolan. Dapat juga merupakan kependekan dari gengster yang terjemahannya adalah
bandit atau penjahat. Sedangkan penulisan geng merupakan kata serapan dalam bahasa
Indonesia dari bahasa asing. Geng adalah sebuah komunitas anak muda sebagai tempat
bertukar pikiran atau tempat yang digunakan untuk melakukan misi tertentu.
Kelompok remaja biasanya tersusun secara informal dan lebih beraneka ragam
dibanding teman sebaya pada masa kanak-kanak. Aturan-aturan dan hukum-hukum
disusun dengan baik, dan pemimpin atau kapten secara formal dipilih dan ditunjukkan
dalam kelompok remaja. Menurut psikolog Dra.Winarini Wilman yang mengutip psikolog
Santrock, biasanya dalam lingkungan sekolah banyak remaja yang membentuk kelompok-
kelompok pertemanan. Mereka terdiri atas orang-orang yang merasa punya ikatan kuat.
Mereka kelihatan selalu bersama dalam melakukan aktifitas kelompok-kelompok
pertemanan inilah yang dinamakan Peer Group yang biasanya kita menyebutnya Geng.
B. Budaya Nge-geng
Ada tren yang makin popular di kalangan para pelajar. Yaitu nge-geng, berkelompok
atau ngumpul bareng baik dalam lingkungan Sekolah, Rumah dan tempat lainnya, nge-
geng di zaman sekarang ini sudah menjadi suatu budaya dan fenomena yang modern.
Psikolog perkembangan remaja Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat,
Esri Rahayu Astuti, membenarkan, fenomena geng remaja yang sarat kekerasan tidak
cuma terjadi di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, tetapi juga di kota-kota kecil lain
di Indonesia.5
Kenyataanya sekarang banyak geng yang salah kaprah. Banyak geng yang dibentuk
cuma buat gaya-gayaan, bahkan untuk melegalkan perilaku kekerasan seperti tawuran yang
hampir setiap tahunnya terjadi, berbagai komentar dikemukakan oleh para pakar
pendidikan dan sosial, bahwa terjadinya tawuran di lingkungan pelajar itu dipengaruhi oleh

5
nasional.kompas.com

6
banyak faktor yang saling terkait dan sulit dipecahkan, bak lingkaran setan yang tiada
ujungnya.
Namun, faktor penting dari itu semua lebih dipengaruhi oleh budaya nge-geng yang
salah, yang tumbuh subur di kalangan para pelajar. Karena biasanya geng seperti itu
dipupuk oleh rasa solidaritas semu antar para anggota yang semuanya remaja. Bentuk dari
solidaritas itu cenderung berupa perlawanan bersama terhadap sekelompok pelajar lain
yang dianggap musuh, atau minimal berpotensi menjadi musuh.
Kenapa budaya nge-geng diantara para pelajar tumbuh subur? Karena para pelajar
yang hakekatnya masih remaja memang lagi senang-senangnya mencari temen dan
sosialisasi tentang identitas dirinya. Sehingga, ketika berkumpul dengan orang-orang
sebaya yang dianggap cocok dengan kebiasaan, hobi, status sosial, kepentingan dan
keinginan yang sama, maka terjadilah apa yang disebut pertemanan. Ketika mereka
bertemu dalam satu kepentingan untuk mencari identitas diri dan diwujudkan dalam
solidaritas yang sama, maka terjadilah apa yang disebut dengan istilah “sekelompok orang”
yang memiliki ciri-ciri khas, atau istilah popular disebut geng.
Bicara soal geng, menurut Esri Rahayu Astuti pada usia remaja, kebutuhan untuk
nge-geng itu lumrah. “Bahkan, buat sebagian orang jadi penting karena pada usia remaja,
mereka butuh pengakuan,” 6 Geng inilah yang membuat mereka bisa tampil dan diakui,
sekaligus untuk menunjukkan keberadaan mereka di lingkungannya. Punya geng jadi cara
supaya mereka dianggap gaul.

C. Faktor Dan Pembentukan Geng


Remaja akan bergabung dengan kelompok karena mereka akan memiliki kesempatan
untuk menerima penghargaan, baik yang berupa fisik maupun psikis. Tiap remaja memiliki
dua hal umum yang sama pada kelompok yang lain yaitu norma dan peran. Keduanya
menentukan bagaimana remaja harus bertingkah laku dalam kelompok tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa:
a. Kelompok remaja sulit ditiadakan, karena para remaja membutuhkan rasa aman dan
perlindungan yang diperolehnya dalam lingkungan kelompok.

6
Pakar Psikolog perkembangan remaja Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat.

7
b. Kelompok remaja memiliki sifat-sifat positif dalam hal memberikan kesempatan luas
untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku dan hubungan-hubungan sosial.
c. Kelompok remaja memiliki segi negatif, bila ikatan antara mereka menjadi kuat,
sehingga kelakuan mereka menjadi “over acting” dan energi mereka disalurkan ke
tujuan yang bersifat merusak.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa remaja yang menjadi anggota geng
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Adanya kesamaan latar belakang atau tujuan yang sama.
2. Mencari popularitas, ingin lebih dikenal di kalangan remaja sebaya.
3. Memperluas pergaulan dan ingin lebih akrab dengan teman.
4. Menghilangkan rasa sepi dan mencari kepuasan.
5. Mencari rasa aman dan terlindungi dalam suatu kelompok.
6. Dalam kelompok menyediakan dukungan fisik, psikis, maupun sosial.
7. Memenuhi kebutuhan kasih sayang.
8. Ingin mencari kebebasan, mandiri tanpa perhatian orang tua.
9. Meningkatkan harga diri, percaya diri dan butuh akan pengakuan.

D. Macam-Macam Geng
Menurut teori sosial, orang-orang yang berkelompok cenderung memiliki
kebanggaan dan keberanian diri lebih dibandingkan jika seorang diri atau berdua. Sebagai
contoh, ketika kamu berada dalam bus kota rame-rame sama teman, pasti kamu merasa
memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Biasanya, kepercayaan diri yang tinggi itu
diwujudkan dalam bentuk anggapan bahwa seakan-seakan bis yang ditumpanginnya itu
“milik” rombongan. Jadi, bisa bebas bercanda kesana kemari, saling ledek, saling ketawa-
ketawa lepas tanpa mempedulikan penumpang lain yang ada di bus. Bahkan tidak sedikit
tidak membayar ongkos bus atau bahkan ada ang maen paksa sopir untuk mengantar ke
suatu tempat ng ingin dituju. Dan biasanya, sekelompok orang yang merasa kuat dan berani
itu akan melakukan perlawanan terhadap siapapun, khususnya geng lawan dari sekolah
lain, jika salah satu dari mereka ada yang merasa “disakiti”; seperti diledek, dilecehkan,
dipukul dan seterusnya. Kalau sudah ada demikian adanya, tawuran tidak bisa dihindarkan
lagi. Korban pun berjatuhan. Ada yang harus dirawat di rumah sakit, ditahan polisi,

8
dikeluarkan dari sekolah, bahkan ada yang harus diantar ke kuburan alias meninggal dunia.
Anehnya, kelompok geng jenis ini cenderung mengembangkan diri sebagai kelompok yang
memiliki hobi tawuran.
Selain tawuran yang sering membuat pusing orang tua, guru, polisi, dan masyarakat
umum. Juga ada geng yang suka ngeceng di mall-mall, diskotik, kafe-kafe, dan tempat
hiburan lainnya. Kelompok geng yang suka ngeceng ini memang banyak yang
beranggotakan perempuan. Banyak hal yang dijadikan alas an untuk ikut serta dalam geng
ini. Karena, tujuan dari geng ngeceng ini adalah lebih ingin tampil gaya dengan pakaian
dan aksesoris yang mencolok dan terkesan mewah serta menantang untuk mencari
perhatian orang sambil menikmati hiburan, atau sekedar makan di restoran-restoran
terkenal.
Ada lagi geng yang sering berkumpul sekedar ingin memenuhi hobi para anggotanya,
seperti hobi olahraga basket, sepak bola, bermusik, dan lain-lain. Begitu mereka kumpul,
yang terjadi adalah pergumulan seru untuk melampiaskan hobi yang kebetulan sama.
Namun, corak geng hobi ini memang memiliki tingkatan-tingkatan. Ada yang lebih
mementingkan hobinya daripada sekolah sehingga mereka suka bolos, ada juga sama-sama
mementingkan keduanya, tapi ada juga yang ingin menyalurkan hobinya sekedar mengisi
waktu kosong setelah pulang sekolah. Tidak sedikit juga dari kelompok geng model ini
yang terlibat tawuran karena alasan solidaritas semu.
Ada juga sekelompok pelajar yang menghimpun diri dalam kegiatan-kegiatan
belajar. Biasanya angota kelompok ini pintar-pintar, dan ingin lebih mengembangkan
dirinya sebagai pribadi yang cerdas dan berprestasi. Geng jenis ini biasanya ditemukan di
sekolah-sekolah favorit atau sekolah yang memiliki budaya belajar yang baik. Di samping
itu juga ada geng yang ingin mempelajari Islam secara lebih mendalam dengan ciri-ciri
khusus; akhwatnya berkerudung dan ikhwannya terlihat sopan dan saleh, serta anti tawuran
dan hura-hura.
Dari bermacam-macam geng di atas, geng yang mengkhawatirkan dan berdampak
negatif terhadap perkembangan diri pelajar secara langsung adalah geng tawuran dan geng
ngeceng. Namun pada prinsipnya, geng apapun jika dibangun atas kesamaan dan
solidaritas semu bukan karena faktor pertemanan yang tumbuh dalam nurani ang suci,
maka geng itu lebih banyak berdampak negatif. Dampak negatif itu tampak dalam suasana

9
pergaulan mereka, di mana perilaku para anggotanya saling mempengaruhi. Ketika salah
satu anggota geng membawa perangai, kebiasaan atau budaya jelek seperti merokok,
narkoba, pergaulan bebas, suka bolos dan sebagainya, maka ini akan mempengaruhi
anggota lainnya.

Analisa Kasus:
Subkultur geng anak muda, akan tumbuh subur tergantung pada tipe atau cara
pertentangan di mana mereka tinggal. Ada tiga tipe geng, pertama, geng pencurian,
mereka berkelompok melakukan pencurian yang mula-mula hanya untuk menguji
keberanian anggota kelompok. Kedua geng konflik kelompok ini suka sekali
mengekpresikan dirinya melalui perkelahian berkelompok supaya tampak gagah dan
pemberani. Ketiga, geng pengasingan, kelompok geng ini sengaja mengasingkan dirinya
dengan kegiatan minum-minuman keras, atau napza yang kerap dianggap sebagai suatu
cara “pelarian” dari alam nyata. Tetapi bisa saja sebuah geng memiliki lebih dari satu
macam tipe.
Hal ini diperparah oleh adanya perubahan yang cepat (reformasi) dalam
masyarakat. Perubahan pada struktur sosial memperlemah nilai-nilai tradisional yang
berasosiasi dengan penundaan kepuasan, belum lagi peningkatan jumlah anak muda dari
kelas menengah yang tidak lagi memiliki keyakinan bahwa cara untuk mencapai tujuan
mereka adalah melalui kerja keras dan menunda kesenangan.
Karakteristik anggota geng motor di Kota Bandung adalah sebagai berikut: usia
antara 14-32 tahun; kebanyakan berjenis kelamin laki-laki; sangat bangga dengan
statusnya sebagai salah satu anggota geng motor; agresif dan menantang bahaya; tingkat
pendidikan antara SMP sampai dengan perguruan tinggi; menjadi anggota geng motor
atas ajakan rekan sekolah maupun lingkungan.
Apabila geng mereka diekspos di media massa, mereka merasa sangat bangga,
sehingga semakin berlomba-lomba untuk lebih banyak melakukan perilaku yang mereka
anggap menimbulkan sensasi yang akan dipublikasikan oleh media. Kadang-kadang
mereka tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan
kriminal. Misalnya merampas milik orang lain, melakukan tindak kekerasan, tawuran

10
antar geng, dan melakukan pembunuhan terhadap anggota geng lain maupun pengendara
motor lain atau masyarakat.
Inilah yang membuat polisi melakukan tindakan represif dan mempermaklumkan
tindakan tembak di tempat untuk para pelaku kekerasan dari geng motor. Namun
demikian, polisi harus berhati-hati menumpas perilaku kriminal tersebut, sehingga
masyarakat tidak resah, terutama bagi para orang tua yang kebetulan anak remajanya
terlibat dalam geng motor. Polisi harus benar-benar bekerja keras untuk menyisir mana
remaja yang delinquent dan mana para kriminal yang berkedok geng motor juga
provokator.
Membubarkan atau melarang tumbuhnya geng motor bukan merupakan jalan keluar
yang baik, bahkan akan jadi bumerang bagi penegakan hukum. Karena akan melahirkan
masalah sosial yang baru; remaja akan kehilangan ruang publik untuk berekspresi diri,
dan mencari kegiatan lain yang boleh jadi lebih patologis wujudnya, misalnya kebut-
kebutan di jalan.

Perlu digaris bawahi, bahwa tidak semua geng bersifat negatif, ada pula geng yang
sifatnya positif. Sebagai pembanding, berikut ini terdapat beberapa indikator untuk
membedakan geng positif dan geng negatif.
NO INDIKATOR GENG POSITIF INDIKATOR GENG NEGATIF

1. Kelompok bersifat formal. Bersifat informal.

2. Tidak terstruktur. Terstruktur.

3. Kegiatannya bersifat konstruktif. Kegiatannya bersifat destruktif.

4. Menghargai diri sendiri maupu orang Adanya penolakan dan pengabaian teman.
lain dan kelompok lain.

5. Tidak mengabaikan nilai-nilai dan Mengabaikan nila-nilai dan kontrol orang


peraturan sekolah dan orang tua. tua.

11
6. Memupuk solidaritas antar teman. Etnosentrisme atau superior terhadap
kelompok sendiri.

E. Ciri-ciri Geng Positif


Sesungguhnya hidup berkelompok (ngegeng) itu tidak ada salahnya, termasuk dalam
lingkungan remaja sekolah (pelajar, mahasiswa, dll). Karena memang hidup berkelompok
itu adalah rahmat Allah yang dimiliki oleh setiap insan. Justru manusia yang hidup sendiri
dan mandiri dalam kemanunggalan yang mutlak menyalahi fitrah kemanusiaannya.
Bukankah Allah berfirman dalam Alquran Q.S. Al-Hujurat: 13;
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal.” (QS: Al-Hujurat: 13)
Namun demikian, hidup berkelompok itu ada aturannya. Bukan asal berkelompok
dan membuat masalah pula. Dalam Al-Qur’an disebutkan kalimat “Supaya kamu saling
kenal”. Pengertian “saling mengenal” itu sangat luas cakupannya, seperti mengenal nama,
karakter, kebiasaan, status sosial, bahasa, agama, warna kulit, dan sebagainya. Ketika kita
sudah saling mengenal, maka otomatis kita akan saling menghargai dan menghormati
keberadaan masing-masing sehingga tidak terjadi tawuran.
Oleh karena itu, agar kita tidak salah memilih geng yang dapat menjadikan pribadi
kita kacau, sebaiknya kita memilih geng yang bisa menjadikan pribadi positif, dengan cara
sebagai berikut:
 Mengarahkan pada Pengembangan Diri
Geng yang selalu mengarahkan pada pengembangan diri, baik prestasi di
sekolah (keilmuan), kreativitas (pengembangan potensi diri atau bakat), moral (akhlak
terpuji) dan keimanan (kepatuhan terhadap ajaran agama). Jika tujuan ikut geng lebih
karena gengsi, ikut-ikutan yang tidak tahu arah sehingga terjadi tindakan atau budaya
yang negatif seperti tawuran, pergaulan bebas, langganan nonton BF (Blue Film),
merokok, narkoba, dan lain-lain, maka sebaiknya haruslah dihindari jauh-jauh geng
semacam itu.
 Menghasilkan kerja-kerja positif

12
Kerja positif misalnya belajar bersama, membuat ide-ide kreatif dan inovatif
serta saling memberikan motivasi untuk maju dalam banyak hal. Geng jenis ini
memiliki tujuan untuk memacu para anggotanya agar lebih baik lagi. Jadi, keberadaan
geng itu bukan sekedar wadah kongkow-kongkow, kumpul-kumpul, ketawa-ketawa
yang tidak memiliki tujuan apapun kecuali senang-senang atau kebanggaan diri.
 Memperhatikan Kepentingan Bersama
Yang tidak kalah menariknya, geng yang positif itu selalu memperhatikan
kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan pribadi yang
cenderung merusak. Contoh, jika ada anggotanya yang disakiti oleh kelompok geng
lain, maka tidak serta merta semua anggota geng harus terlibat pembalasan yang
akibatnya bisa fatal. Kalau memang ada anggota yang disakiti, maka geng ini harus
meluruskan dulu duduk persoalannya, kenapa bisa demikian. Jika memang betul
anggotanya disakiti tanpa kesalahan, maka harus dicarikan jalan keluar yang tidak
merugikan keberadaan geng misalnya minta bantuan pihak ketiga, seperti kepala
sekolah atau mungkin polisi agar dapat menyelesaikan masalahnya. Tapi jika memang
anggota yang bersalah, maka sebaiknya anggota tersebut harus minta maaf terhadap
orang yang disakiti, sehingga terhindari dari tawuran. Atau jika ada anggota yang
terlibat narkoba, maka sebaiknya diingatkan, ditegur, dengan bijak, dan apabila masih
nakal, maka dia harus dikeluarkan agar tidak mencemari nama baik geng dan tidak
mempengaruhi anggota lainnya.
Ciri-ciri seperti di atas itu adalah gambaran geng yang sangat ideal, namun bukan
berarti sulit ditemukan. Banyak geng yang baik dan paling tidak menjadikan diri kita
menjadi pribadi yang terbuka dalam urusan pertemanan. Kuncinya, geng yang positif itu
akan membawa diri kita lebih bisa menerima perbedaan-perbedaan dalam setiap kehidupan
manusia dengan terus mengembangkan diri untuk menjdi pribadi yang positif.

F. Membangun Kerja Sama Geng


Agar geng yang dipilih tetap solid dan berjalan dalam kerangka kebaikan, maka hal-
hal yang harus dilakukan adalah membangun kerjasama geng. Paling tidak kerja sama itu
bisa dilakukan dengan cara:
 Rela berkorban

13
Kerelaan dalam berkorban ini dalam arti yang positif, bukan faktor kenekatan
di medan tawuran demi membela teman tanpa memperhitungkan akibat yang
ditimbulkannya. Jika ada anggota yang sakit, atau kesulitan pembayaran SPP dan
sebagainya, semuanya membantu dengan mengadakan iuran seperlunya. Dengan
demikian keutuhan geng akan terus terjamin dan nama baik akan dijaga.
 Mengadakan musyawarah
Kalau ingin mengambil suatu keputusan apapun menyangkut keberadaan geng
harus dilakukan melalui mekanisme musyawarah. Sehingga dengan jalan ini akan
dapat memperhitungkan plus-minus dalam mengambil suatu tindakan.
 Menumbuhkan budaya saling menyemangati
Para anggota perlu menumbuhkan budaya saling menyemangati (memberikan
motivasi secara positif). Sehingga, ketika ada anggota yang merasa down (turun
semangat) dalam menjalani kehidupannya, misalnya karena nilainya banyak yang
tidak bagus, atau karena problem keluarganya, maka anggota lain harus memberikan
solusi atau minimal menenangkan jiwa dengan terus memberikan motivasi agar terus
bangkit.
 Saling menasihati antara para anggota geng.
Kalau ada anggota yang salah atau melakukan tindakan-tindakan yang
menyimpang, maka anggotayang lain harus mengingatkan dan memberikan masukan
yang positif agar yang bersangkutan kembali kepada kehidupan yang normal dan baik.
 Saling menjaga hati.
Agar tidak muncul sikap-sikap yang dapat menyakiti hati anggota lainnya,
seperti sombong, egois, tidak peduli, dan sebagainya, setiap anggota harus menjaga
hati.

14
Urgensi Akhlak Mulia Bagi Mahasiswa Sebagai Calon
Pemimpin Bangsa
Oleh: Elvarditma Gasam

A. Pengertian Karakter (Akhlak) Mahasiswa

Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara
lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak
(Oxford). Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada
umumnya di mana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor
kehidupannya sendiri.
Sementara, Hill dalam Crisiana (2005: 84) mengungkapkan bahwa, “Character
determines someone’s private thoughts and someone’s actions done. Good character is
the inward motivation to do what is right, according to the highest standard of behaviour,
in every situation.” Sedangkan, definisi dari “The stamp of individually or group
impressed by nature, education or habit. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan,
dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.
Karakter yang menjadi acuan seperti yang terdapat dalam The Six Pillars of
Character yang dikeluarkan oleh Character Counts! Coalition (a project of The Joseph
Institute of Ethics). Enam jenis karakter yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi: berintegritas,
jujur, dan loyal.
2. Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka serta
tidak suka memanfaatkan orang lain.
3. Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian
terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.

15
4. Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan
menghormati orang lain.
5. Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta
peduli terhadap lingkungan alam.
6. Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disiplin,
dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.7
Jadi, karakter dalam bahasan ini adalah nilai-nilai perilaku yang menjadi ciri khas
mahasiswa atau sekelompok mahasiswa yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.

B. Pendidikan Karakter Menurut Islam Lewat Kitab Ta’limul Muta’allim


Pendidikan karakter dalam perspektif Islam sejatinya adalah internalisasi nilai-
nilai adab ke dalam pribadi pelajar. Internalisasi ini merupakan proses pembangunan jiwa
yang berasaskan konsep keimanan. Gagalnya sebuah pendidikan karakter yang terjadi
selama ini, dapat disebabkan karena karakter yang diajarkan minus nilai keimanan dan
konsep adab. Sehingga, proses pembangunan karakter tersendat bahkan hilang sama
sekali.
Untuk membentuk penuntut ilmu berkarakter dan beradab, maka pendidikan
Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang
memahami tentang kedudukannya, baik kedudukan di hadapan Tuhan, di hadapan
masyarakat dan di dalam dirinya sendiri.
Syeikh al-Zarnuji, penulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum,
menekankan aspek nilai adab, baik adab batiniyah maupun adab lahiriyah, dalam
pembelajaran. Kitab ini mengajarkan bahwa, pendidikan bukan sekedar transfer ilmu
pengetahuan dan keterampilan (skill), namun paling penting adalah transfer nilai adab.
Kitab yang populer di pesantren-pesantren Indonesia ini memaparkan konsep pendidikan
Islam secara utuh, tidak dikotomis. Bahwa, karakter sejati itu karakter beradab, yaitu
sinergi antara adab batiniyah dan adab lahiriyah.

7
Wanda Chrisiana, Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa, hal. 84

16
Pendidikan karakter haruslah mendasarkan pada nilai religius, bukan justru anti
nilai agama. Pemahaman umum yang diyakini kebanyakan pendidik, pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan,
dan tindakan, dan menepikan nilai agama. Definisi pendidikan karakter ini masih
menyisakan problem.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, Syeikh al-Zarnuji merumuskan sejumlah
metode penting dalam pembentukan karakter, yang mencakup adab batin dan lahir.
Pertama, metode ilqa’ al-nasihah (pemberian nasehat). Nasihat diberikan berupa
penjelasan tentang prinsip khaq dan bathil.
Penjelasan ini merupakan pemasangan parameter ke dalam jiwa anak sehinggaa
bisa menjadi paradigma berpikir. Untuk itu, diisyaratkan guru harus terlebih dahulu
membersihkan diri dari sifat-sifat tercela agar nasihat yang diberikan membekas dalam
jiwa anak didik8 Pemberian nasehat harus dengan kesan yang baik, bijak, dan bahasa yang
mudah dimengerti.
Kedua, metode Mudzakarah (saling mengingatkan). Al-Zarnuji memberi rambu-rambu
agar ketika mengingatkan murid tidak melampaui batas karena bisa menyebabkan murid
tidak menerimanya. Oleh sebab itu, al-Zarnuji memberi arahan agar guru harus memiliki
sifat lemah lembut, menjaga diri dari sifat pemarah.9
Ketiga, strategi pembentukan mental jiwa. Dalam metode ini ditekankan beberapa aspek
yaitu; niat, menjaga sifat wara’, istifadah (mengambil faedah guru), dan tawakkal. Syeikh
al-Zarnuji menjelaskan, sukses dan gagalnya pendidikan Islam tergantung dari benar dan
salahnya dalam niat belajar. Niat yang benar yaitu niat yang ditujukan untuk mencari
ridha Allah subhanahu wa ta’ala, memperolah kebahagiaan (sa’adah) di dunia akhirat,
memerangi kebodohan yang menempel pada diri dan melestarikan ajaran Islam. Harus
ditekankan kepada anak didik bahwa belajar itu bukan untuk mendapatkan popularitas,
kekayaan atau kedudukan tertentu, tapi mendapatkan ridha Allah.
Selama dalam proses belajar, anak didik harus dibiasakan bersifat wara’ (menjaga
dari). Syeikh al-Zarnuji mengatakan, “hanya dengan wara’ ilmu akan berguna” 10. Sikap

8
Syeikh Burhan al-Islam al-Zarnuji, Ta’im al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, hal. 46
9
Iibid 35
10
Ibid 9
17
wara’ adalah; menjaga diri dari perbuatan maksiat, menjaga perut dari makanan haram
dan tidak berlebihan memakan makanan, tidak berlebihan dalam tidur, serta sedikit
bicara.
Sedangkan yang dimaksud metode istifadah adalah guru menyampaikan ilmu dan
hikmah, menjelaskan perbedaan antara yang haq dan batil dengan penyampaian yang baik
sehingga murid dapat menyerap faedah yang disampaikan guru. Seorang murid
dianjurkan untuk mencatat sesuatu yang lebih baik selama ia mendengarkan faedah dari
guru sampai ia mendapatkan keutamaan dari guru.
Nilai batiniyah berikutnya adalah tawakkal dalam mencari ilmu. Guru harus
menanam secara kuat dalam jiwa murid untuk bersikap tawakal selama mencari ilmu dan
tidak sibuk dalam mendapatkan duniawai. Sebab, menurut al-Zarnuji, kesibukan lebih
dalam mendapatkan duniawi dapat menjadi halangan untuk berakhlak mulia serta
merusakkan hati.
Sebaliknya, baik guru maupun murid harus menyibukkan dengan urusan ukhrawi.
Sebab pada hakikatnya kehidupan itu adalah dari Allah dan untuk Allah, maka seorang
siswa itu harus siap dengan segala konsekuensi kehidupan.

C. Urgensi Pendidikan Karakter (Akhlak) Bagi Mahasiswa


Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa menjelmanya kehidupan dunia yang serba
elegan dan instan telah membius kebanyakan pemuda ibu pertiwi. Sangat membanggakan
sekali bila bius itu membawa mereka ke arah yang lebih baik, membantu membentuk
kepribadian yang istiqamah dan membimbing mereka menemukan hakikat kehidupan,
namun sayangnya malah tidak. Sebagian besar bius yang disuntikkan oleh kehidupan
dunia malah bius yang belum disterilkan hingga di dalamnya masih mengandung virus-
virus berbahaya, yang senantiasa menggerogoti moral para pemuda, membawa mereka
pada aktivitas yang sia-sia, dan menjauhkan mereka dari kehidupan islami seperti yang
telah Rasul ajarkan.
Lihatlah fenomena saat ini, canggihnya teknologi yang tidak diimbangi dengan
pemahaman bijaksana tentang mana yang baik dan tidak baik untuk dilakukan membuat
kebanyakan pemuda lupa akan hakikat terciptanya teknologi itu, sebagiannya malah
menggunakannya untuk hal-hal yang mengundang setan dan kemaksiatan. Bagaimana

18
tidak? Penggunaan internet yang super-duper bebas di kalangan pemuda tentu saja akan
membuka peluang besar bagi mereka untuk mengakses apa saja, bahkan tayangan yang
tak pantas sekali pun. Tentu saja hal ini bisa menggerus keimanan dan mengusutkan
pikiran, akibatnya rasa untuk senantiasa takut dan merasa diawasi Allah akan berkurang
dan kelalaian bertambah sejadi-jadinya, bukankah janji Allah itu pasti? Bahwa Allah akan
menjauhi orang-orang yang menjauhi Nya dan dekat-sedekat-dekatnya pada orang yang
selalu berusaha datang kepada Nya.
Coba kita renungkan, ternyata pembatasan tentang mana yang pantas dan tidak
pantas di tengah-tengah maraknya perang pemikiran saat ini memang sangat penting.
Agar generasi Islam khususnya, menyadari hakikat keberadaan mereka di dunia ini.
Karena mereka, 10-15 tahun ke depan akan menjadi pemimpin-pemimpin besar. Lalu,
mau dibawa ke mana negeri ini jika calon pemimpinnya saja masih belum bisa membatasi
mana baik dan mana yang tidak baik.
Pengajaran tentang tingkah laku sungguh sangat mendapatkan tempat khusus
dalam Islam, sebab sejatinya Rasul diutus untuk memperbaiki tingkah laku manusia.
Seperti yang kita ketahui, akhlak merupakan karakter mendasar yang melekat pada diri
seorang muslim. Semua kepribadian, sikap, dan sifatnya akan terbaca dari cara bagaimana
ia bergaul, berbicara, berhubungan dengan orang lain dan lainnya. Sebagai pemuda
muslim, seharusnyalah alarm kesadaran akan rambu-rambu perilaku yang jauh dari
kemuliaan itu senantiasa dinyalakan, mengingat zaman yang semakin mendesak dan
terdesak oleh kegiatan sia-sia yang selalu mengintai korban untuk dijadikan budak-budak
kemaksiatan.
Pemeliharaan akhlak tidak boleh dianggap sebagai hal sepele, boleh jadi hati yang
sering berpaling dan condong pada hal-hal negatif karena hilangnya bimbingan bisa
menjadi penyebab rontoknya akhlak mulia dari dalam diri. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-tarmidzi menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya, adalah yang paling bagus akhlaknya”. Jelas
sudah, urgensi pembenahan akhlak para generasi tidak boleh dibelakangi lagi, sudah
menjadi kewajiban siapa saja untuk sama-sama menyokong pembentukan dan
pemeliharaan akhlak mulia di kalangan generasi muda.

19
Adalah hal wajar bila pemuda kita masih terlalu banyak berada di zona merah
ketidakpantasan, seperti pacaran dan pegang-pegangan, meninggalkan shalat, bermalas-
malasan, tidak punya visi hidup dan lain sebagainya, karena memang arus pembodohan
karakter itu telah mereka ‘iya kan’ sebagai sebuah budaya kemajuan zaman. Boleh kita
berkembang, beradaptasi dengan lingkungan dan kemajuan masa, tapi sehendaknyalah
karakter sejati kita sebagai seorang muslim tidak hilang karena kemajuan-kemajuan itu.
Miris sekali memang, melihat diskotik lebih penuh ketimbang masjid oleh para generasi,
warnet lebih padat ketimbang TPA oleh anak remaja, dan bahkan tutur katapun sudah di
luar rambu-rambu kepantasan, alias sering kali karena mereka merasa lebih gaul, lebih
segar dan lebih trendi, berbicara dengan orang tua tidak lagi ada sopan-sapanya.
Itu sebabnya, sudah saatnya kampus menggalakkan pendidikan karakter secara
kongkrit bagi mahasiswanya. Pencapaian intelektualitas dan nilai-nilai akademik harus
dibarengi dengan penanaman moral dan akhlak yang bagus. Kemampuan manajerial dan
sosial mahasiswa harus disertai dengan sifat-sifat jujur, ikhlas, orientasi pengabdian, dan
rendah hati. Ini ditujukan agar mahasiswa tak hanya pintar secara intelektual dan sosial,
namun juga memiliki integritas moral yang bagus, serta mempunyai empati dan
solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.
Pendidikan karakter yang idealnya ditanamkan sejak dini di lembaga pendidikan
dasar dan menengah, seharusnya lebih ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi.
Sebab peserta didik di lingkungan kampus mempunyai kepentingan langsung dan praktis
terhadap karakter-karakter positif, serta lebih dekat untuk terjun dalam kehidupan riil di
masyarakat. Dengan demikian, karakter-karakter positif bagi mahasiswa merupakan
keniscayaan dan kebutuhan yang mendesak.
Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif dan mengena apabila
dilakukan melalui keteladanan. Dalam hal ini pihak-pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pedidikan di kampus harus turut ambil bagian dalam memberikan
keteladanan yang baik kepada mahasiswa. Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus
memberikan contoh perilaku jujur, disiplin, kreatif, kritis, dan lain-lain kepada mahasiswa
yunior. Dengan lingkungan yang kondusif, penyemaian karakter positif akan lebih mudah
diterima dan diteladani mahasiswa baru.

20
Selain melalui keteladanan para sivitas akademika, pendidikan karakter bagi
mahasiswa juga bisa dilakukan melalui pembangunan kultur akademik yang baik di
lingkungan kampus. Dengan membiasakan diri mengerjakan tugas-tugas kuliah secara
jujur, berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya.
Satu hal lagi yang merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah
melalui integrasi pendidikan karakter tersebut ke dalam mata kuliah-mata kuliah yang
diajarkan. Penanaman karakter positif seyogianya menjadi satu kesatuan yang tak
terpisahkan dari bidang keilmuan yang dipelajari. Sebab sikap moral yang baik akan
menjadi pondasi yang bagus atas segala bidang keahlian. Dengan demikian, apapun
profesi yang ditekuni mahasiswa nantinya, jika dia memiliki integritas moral yang
tangguh, dia akan memberikan dampak positif bagi diri dan masyarakat kelak.
Karakter positif merupakan hasil pendidikan dan pembiasaan yang dimulai sedari
kecil, bukan hal yang instan. Karena itu, keluarga, masyarakat, dan sekolah berperan
sangat signifikan dalam pembentukan karakter seseorang. Pembentukan dan pematangan
karakter ini akan mencapai klimaksnya di lingkungan perguruan tinggi. Karena itu,
lingkungan kampus harus dibuat sebaik mungkin sebagai media pengembangan karakter
positif bagi calon-calon pemimpin di masa depan.

D. Urgensi Pembangunan Karakter (Akhlak Mulia) Mahasiswa


Perhatian Pemerintah terhadap pengembangan pendidikan karakter sangat besar,
hal ini ditunjukkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono pada puncak acara
Hardiknas 2010, memberikan penghargaan kepada para guru yang telah berhasil
mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter di sekolahnya. Pada kesempatan
yang sama Mendiknas maa pemerintahan SBY, M. Nuh mengatakan bahwa pendidikan
karakter sangat penting, beliau mengungkapkan bahwa pendidikan karakter sebagai
bagian dari upaya membangun karakter bangsa, karakter yang dijiwai nilai-nilai luhur
bangsa. Hingga pada saat ini presiden terpilih ketujuh, Ir. Joko Widodo membawa misi
“Revolusi Mental” dengan tujuan menjadikan negara Indonesia sebagai negara atau
bangsa yang berkarakter atau berakhlak mulia.
Kondisi real saat ini karakter bangsa Indonesia semakin lemah, hal ini dapat
dilihat makin banyak gejala penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, kecurangan,

21
kebohongan, ketidakjujuran, ketidakadilan, ketidakpercayaan. Penegak hukum yang
semestinya harus menegakkan hukum, ternyata harus dihukum; para pejabat yang
seharusnya melayani masyarakat, malah minta dilayani; anak didik kita kurang percaya
diri dalam menghadapi setiap persoalan, ini sebagian fenomena yang kita hadapi sehari-
hari, dan ini semua bersumber dari karakter.
Anis Matta dalam Sofyan (2002) mensinyalir terjadinya krisis karakter tersebut
antara lain disebabkan oleh (a) hilangnya model-model kepribadian yang integral, yang
memadukan keshalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, kekayaan dengan
kedermawanan, kekuasaan dengan keadilan, kecerdasan dengan kejujuran, (b)
munculnya antagonisme dalam pendidikan moral, sementara sekolah mengembangkan
kemampuan dasar individu untuk menjadi produktif, sementara itu pula media massa
mendidik masyarakat menjadi konsumtif.
Kondisi tersebut menyadarkan akan pentingnya pendidikan karakter khususnya
bagi mahasiswa sebagai calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan hal tersebut, Agung (2011), menyebutkan bahwa mahasiswa adalah
golongan yang harus menjadi garda terdepan dalam melakukan perubahan dikarenakan
mahasiswa merupakan kaum yang terdidik. Dengan ke”Maha”an yang melekat pada kata
Mahasiswa, artinya dari suatu hal yang besar dalam diri siswa. Bukan sekedar siswa saja
yang berperilaku sangat emosional, berpikir praktis, dan belum tereksplornya potensi,
maka ketika mahasiswa sifat tersebut berubah menjadi santun, cerdas, kritis, kreatif,
inovatif, menerika kritikan, terbuka, dan tanggap terhadap permasalahan di lingkungan.

E. Peran Mahasiswa Bagi Bangsa dan Negara


1. Fungsi Mahasiswa
Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M.Hatta yaitu
membentuk manusisa susila dan demokrat yang
a) Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat
b) Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan
c) Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat
Berdasarkan pemikiran M. Hatta tersebut, dapat kita sederhanakan bahwa
tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal

22
tersebut akan menjadi sebuah fungsi bagi mahasiswa itu sendiri. Insan akademis itu
sendiri memiliki dua ciri yaitu: memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan
dirinya. Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap
masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan
sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari
pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut maka
mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih
lagi menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Insan akademis
harus selalu mengembangkan dirinya sehingga mereka bisa menjadi generasi yang
tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan.
Dalam hal insan akademis sebagai orang yang selalu mengikuti watak ilmu, ini
juga berhubungan dengan peran mahasiswa sebagai penjaga nilai, dimana mahasiswa
harus mencari nilai-nilai kebenaran itu sendiri, kemudian meneruskannya kepada
masyarakat, dan yang terpenting adalah menjaga nilai kebenaran tersebut.

2. Posisi Mahasiswa
Mahasiswa dengan segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa
disamakan dengan rakyat dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa.
Mahasiswa pun masih tergolong kaum idealis, di mana keyakinan dan pemikiran
mereka belum dipengaruhi oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya. Sehingga
mahasiswa menurut penulis tepat bila dikatakan memiliki posisi diantara masyarakat
dan pemerintah.
Mahasiswa dalam hal hubungan masyarakat ke pemerintah dapat berperan
sebagai kontrol politik, yaitu mengawasi dan membahas segala pengambilan
keputusan beserta keputusan-keputusan yang telah dihasilkan sebelumnya. Mahasiswa
pun dapat berperan sebagai penyampai aspirasi rakyat, dengan melakukan interaksi
sosial dengan masyarakat dilanjutkan dengan analisis masalah yang tepat maka
diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan realita yang terjadi di masyarakat
beserta solusi ilmiah dan bertanggung jawab dalam menjawab berbagai masalah yang
terjadi di masyarakat.

23
Mahasiswa dalam hal hubungan pemerintah ke masyarakat dapat berperan
sebagai penyambung lidah pemerintah. Mahasiswa diharapkan mampu membantu
menyosialisasikan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tak jarang
kebijakan-kebijakan pemerintah mengandung banyak salah pengertian dari
masyarakat, oleh karena itu tugas mahasiswalah yang harus “menerjemahkan” maksud
dan tujuan berbagai kebijakan kontroversial tersebut agar mudah di mengerti
masyarakat.
Posisi mahasiswa cukuplah rentan, sebab mahasiswa berdiri di antara idealisme
dan realita. Tak jarang kita berat sebelah, saat kita membela idealisme ternyata kita
melihat realita masyarakat yang semakin buruk. Saat kita berpihak pada realita,
ternyata kita secara tak sadar sudah meninggalkan idealisme kita dan juga kadang
sudah meninggalkan watak ilmu yang seharusnya kita miliki. Contoh kasusnya yang
paling gampang adalah saat terjadi penaikkan harga BBM beberapa bulan yang lalu.
Mengenai posisi mahasiswa saat ini penulis berpendapat bahwa mahasiswa
terlalu menganggap dirinya “elit” sehingga terciptalah jurang lebar dengan
masyarakat. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan mahasiswa kini sudah kehilangan
esensinya, sehingga masyarakat sudah tidak menganggapnya suatu harapan
pembaruan lagi. Sedangkan golongan-golongan atas seperti pengusaha, dokter, dan
sebagainya merasa sudah tidak ada lagi kesamaan gerakan. Perjuangan mahasiswa kini
sudah berdiri sendiri dan tidak lagi “satu nafas” bersama rakyat.
Berdasarkan hal di atas peran mahasiswa terhadap bangsa dan negara dapat
dilihat atas tiga, yaitu:
1) Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”
Mahasiswa dapat menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi
manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang
nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Intinya mahasiswa
itu merupakan aset, cadangan, harapan bangsa untuk masa depan. Tak dapat
dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan bersifat mengalir, yaitu
ditandai dengan pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda, oleh
karena itu kaderisasi harus dilakukan terus-menerus. Dunia kampus dan

24
kemahasiswaannya merupakan momentum kaderisasi yang sangat sayang bila
tidak dimanfaatkan bagi mereka yang memiliki kesempatan.
Dalam konsep Islam sendiri, peran pemuda sebagai generasi pengganti
tersirat dalam Al-Maidah: 54, yaitu pemuda sebagai pengganti generasi yang
sudah rusak dan memiliki karakter mencintai dan dicintai, lemah lembut kepada
orang yang beriman, dan bersikap keras terhadap kaum kafir. Sejarah telah
membuktikan bahwa di tangan generasi mudalah perubahan-perubahan besar
terjadi, dari zaman Nabi, kolonialisme, hingga reformasi, pemudalah yang
menjadi garda depan perubah kondisi bangsa.
Oleh karenanya yang harus dilakukan mahasiswa dalam memenuhi peran
Iron Stock tak lain adalah dengan memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan
baik itu dari segi keprofesian maupun kemasyarakatan, dan tak lupa untuk
mempelajari berbagai kesalahan yang pernah terjadi di generasi-generasi
sebelumnya. kenapa harus Iron Stock ? Bukan Golden Stock saja, kan lebih bagus
dan mahal? Mungkin didasarkan atas sifat besi itu sendiri yang akan berkarat
dalam jangka waktu lama, sehingga diperlukanlah penggantian dengan besi-besi
baru yang lebih bagus dan kokoh. Hal itu sesuai dengan kodrat manusia yang
memiliki keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran.

2) Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value”


Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai
penjaga nilai-nilai di masyarakat. Lalu sekarang pertanyaannya adalah, “Nilai
seperti apa yang harus dijaga?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus
melihat mahasiswa sebagai insan akademis yang selalu berpikir ilmiah dalam
mencari kebenaran. Kita harus memulainya dari hal tersebut karena bila kita
renungkan kembali sifat nilai yang harus dijaga tersebut haruslah mutlak
kebenarannya sehingga mahasiswa diwajibkan menjaganya. Sedikit sudah jelas,
bahwa nilai yang harus dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak
ada keraguan lagi di dalamnya. Nilai itu jelas bukan hasil dari pragmatisme, nilai
itu haruslah bersumber dari suatu dzat yang Maha Benar dan Maha Mengetahui.

25
Selain nilai yang di atas, masih ada satu nilai lagi yang memenuhi kriteria
sebagai nilai yang wajib dijaga oleh mahasiswa, nilai tersebut adalah nilai-nilai
dari kebenaran ilmiah. Walaupun memang kebenaran ilmiah tersebutmerupakan
representasi dari kebesaran dan keeksisan Allah, sebagai dzat yang Maha
Mengetahui. Kita sebagai mahasiswa harus mampu mencari berbagai kebenaran
berlandaskan watak ilmiah yang bersumber dari ilmu-ilmu yang kita dapatkan dan
selanjutnya harus kita terapkan dan jaga di masyarakat.
Pemikiran Guardian of Value yang berkembang selama ini hanyalah sebagai
penjaga nilai-nilai yang sudah ada sebelumya, atau menjaga nilai-nilai kebaikan
seperti kejujuran, kesigapan, dan lain sebagainya. Hal itu tidaklah salah, namun
apakah sesederhana itu nilai yang harus mahasiswa jaga? Lantas apa hubungannya
nilai-nilai tersebut dengan watak ilmu yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa?
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa Guardian of Value adalah penyampai,
dan penjaga nilai-nilai kebenaran mutlak di mana nilai-nilai tersebut diperoleh
berdasarkan watak ilmu yang dimiliki mahasiswa itu sendiri. Watak ilmu sendiri
adalah selalu mencari kebenaran ilmiah. Penjelasan Guardian of Value hanya
sebagai penjaga nilai-nilai yang sudah ada juga memiliki kelemahan yaitu
bilamana terjadi sebuah pergeseran nilai, dan nilai yang telah bergeser tersebut
sudah terlanjur menjadi sebuah perimeter kebaikan di masyarakat, maka kita akan
kesulitan dalam memandang arti kebenaran nilai itu sendiri.

3) Mahasiswa Sebagai “Agent of Change”


Mahasiswa sebagai Agent of Change. Artinya mahasiswa sebagai agen suatu
perubahan. Lalu kini masalah kembali muncul, “Kenapa harus ada perubahan?”
Untuk menjawab pertanyaan itu mari kita pandang kondisi bangsa saat ini.
Menurut penulis kondisi bangsa saat ini jauh dari kondisi ideal, di mana banyak
sekali penyakit masyarakat yang menghinggapi hati bangsa ini, mulai dari pejabat
atas hingga bawah, dan menular kepada banyak rakyat. Sudah seharusnya kita
melakukan terhadap hal ini. Lalu alasan selanjutnya mengapa kita harus
melakukan perubahan adalah karena perubahan itu sendiri merupakan harga
mutlak dan pasti akan terjadi walaupun kita diam. Bila kita diam secara tidak sadar

26
kita telah berkontribusi dalam melakukan perubahan, namun tentunya perubahan
yang terjadi akan berbeda dengan ideologi yang kita anut dan kita anggap benar.
Perubahan merupakan sebuah perintah yang Allah SWT berikan.
Berdasarkan Qur’an surat Ar-Ra’d: 11, dijelaskan bahwa suatu kaum harus mau
berubah bila mereka menginginkan sesuatu keadaan yang lebih baik. Lalu
berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari
hari kemarin adalah orang yang beruntung, sedangkan orang yang hari ini tidak
lebih baik dari kemarin adalah orang yang merugi. Oleh karena itu, betapa
pentingnya arti sebuah perubahan yang harus kita lakukan.
Mahasiswa adalah golongan yang harus menjadi garda terdepan dalam
melakukan perubahan dikarenakan mahasiswa merupakan kaum yang “eksklusif”,
hanya 5% dari pemuda yang bisa menyandang status mahasiswa, dan dari jumlah
itu bisa dihitung pula berapa persen lagi yang mau mengkaji tentang peran-peran
mahasiswa di bangsa dan negaranya ini. Mahasiswa-mahasiswa yang telah sadar
tersebut sudah seharusnya tidak lepas tangan begitu saja. Mereka tidak boleh
membiarkan bangsa ini melakukan perubahan ke arah yang salah. Merekalah yang
seharusnya melakukan perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan itu sendiri sebenarnya dapat dilihat dari dua pandangan.
Pandangan pertama, bahwa tatanan kehidupan bermasyarakat sangat dipengaruhi
oleh hal-hal bersifat materialistik seperti teknologi, misalnya kincir angin akan
menciptakan masyarakat feodal, mesin industri akan menciptakan mayarakat
kapitalis, internet akan menciptakan menciptakan masyarakat yang informatif,
dan lain sebagainya. Pandangan selanjutnya bahwa ideologi atau nilai sebagai
faktor yang mempengaruhi perubahan. Sebagai mahasiswa nampaknya kita harus
bisa mengakomodasi kedua pandangan tersebut demi terjadinya perubahan yang
diharapkan. Itu semua karena kita berpotensi lebih untuk mewujudkan hal-hal
tersebut. Sudah jelas kenapa perubahan itu perlu dilakukan dan kenapa pula
mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam perubahan tersebut, lantas dalam
melakukan perubahan tersebut haruslah dibuat metode yang tidak tergesa-gesa,
dimulai dari ruang lingkup terkecil yaitu diri sendiri, lalu menyebar terus hingga
akhirnya sampai ke ruang lingkup yang kita harapkan, yaitu bangsa ini.

27
Etika Berpolitik
Oleh: Hafiz Kamil

Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena berbagai
alasan. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahi
ta’ala. Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah,
karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah dapat merusak "kesucian" politik.
Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan
prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan
antarmanusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling
menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah prinsip-prinsip hubungan
antarmanusia yang harus berlaku di dalam dunia politik.

Kecuali itu, keberadaan masyarakat dan negara merupakan hal yang sangat penting dan
mutlak dalam Islam. Karena itu, beberapa para ahli fikih politik Islam mengemukakan adalah
suatu kewajiban bagi orang Islam untuk mendirikan negara. Dengan adanya negara bisa
diciptakan sebuah keteraturan kehidupan masyarakat yang baik, sehingga pada gilirannya
umat Islam bisa menyelenggarakan ibadah-ibadahnya dengan baik pula.

Bila hubungan antar masyarakat dan dan penyelenggaran negara tidak sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalah kekacauan dan muncul anarki yang sangat
dikecam oleh para ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatu masyarakat dan negara dapat
mengganggu penyelenggaraan ibadah. Etika memilih elite politik. Memilih seorang pemimpin
alias mencoblos dalam pemilihan umum (pemilu) adalah hak setiap individu atau warga.
Namun, menjelang pemilu 2004 lalu, sebagian masyarakat mencoba melakukan pemboikotan
pemilu. Gerakan boikot pemilu ini kemudian dikenal sebagai golongan putih atau golput.
Fenomena golput bukan hal baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Gerakan golput
sebenarnya telah dimulai pada pemilu 1971.

28
Ketika itu, pemilu yang diselenggarakan pemerintah Orde Baru tersebut diikuti 10 partai
politik (parpol), yang justru "direstui" oleh rezim Soeharto. Dan, setelah pemilu 1971, jumlah
parpol yang boleh hidup di dunia politik Indonesia menjadi 3 parpol: PPP, Golkar, dan PDI.
Munculnya gerakan golput pada pemilu 1971 tersebut, karena pemerintah dianggap
melanggar dan gagal dalam membangun asas-asas demokrasi. Belakangan ini, ketika
masyarakat Indonesia hendak menghadapi pesta demokrasi (pemilu) 2004, fenomena golput
kembali dibicarakan.

Memang, sejak 1998 lalu, Indonesia telah mengalami beberapa perubahan menuju
demokrasi. Partai politik didirikan dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, banyaknya
partai politik itu tidak dibarengi dengan kualitas elite alias pemimpin politik, yang kemudian
dikenal dengan gerakan antipolitisi busuk. Dan, golput pun kembali menjadi pilihan alternatif.
Artinya, munculnya gerakan golput pada pemilu 2004 ini, karena masyarakat atau elite politik
gagal memberikan alternatif pemimpin yang baik, jujur, dan akhlaqul karimah.

Yang menjadi masalah, kalau memang ada golput di dalam masyarakat, lalu kepada
siapa kita menyerahkan urusan negara ini, dan mekanisme apa yang akan dilakukan dalam
suatu pemilihan pemimpin? Dengan demikian, sebenarnya di dalam golput sendiri ada
persoalan bagi masyarakat. Bahkan, tidak hanya golputnya yang menjadi masalah, tetapi ada
yang lebih substansial, yaitu mekanisme apa yang bisa menyelamatkan negara untuk
menciptakan keamanan, kenyamanan, ketertiban politik, dan lain-lain.

Islam menyayangkan sikap-sikap golput atau tidak berpartisipasi dalam pemilihan


pemimpin. Sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin, Islam sangat mementingkan suatu
kepemimpinan dalam sebuah negara. Bahkan, setelah Nabi Muhammad wafat timbul
persoalan politik yang berkaitan dengan pergantian kepemimpinan. Mekanisme pemilihan
pemimpin memang tidak ada pada zaman Rasulullah. Nabi SAW tidak memberikan pedoman
khusus atau model-model kepemimpinan bagi umat Islam. Selama beberapa tahun
sepeninggal Rasulullah, umat Islam mengalami beberapa model kepemimpinan, antara lain,
kepemimpinan model khilafah dan dinasti.

Belakangan ini, dinamika politik semakin berkembang, dan muncul bentuk-bentuk


negara, seperti republik, aristokrasi, dan lain-lain. Dinamika politik yang luar biasa itu

29
didorong oleh semangat teologi Islam, yang menyebutkan bahwa "Hai, orang-orang yang
beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu." (Q.S. Al-
Nisaa [4]: 59). Realitas politik dan adanya semangat teologi Islam tersebut mendorong para
filosof dan para ahli etika politik Islam untuk membuat aturan-aturan pemilihan seorang
pemimpin pemerintahan demi terwujudnya negara ideal dalam beberapa karya tulis. Misalnya,
Al-Farabi dalam karyanya, Al-Madiinah Al-Faadhilah, Ibnu Maskawih dalam bukunya
Tahziib Al-Akhlak, dan Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkaam Al-Shultaaniyah. Ini
artinya, para pemikir Islam menyadari betapa Islam memperhatikan dalam menciptakan dan
mengembangkan negara ideal.

Memasuki abad 20 sekarang ini, umat Islam tetap dan terus dituntut untuk mendirikan
sebuah negara ideal. Untuk merealisasikan tuntutan itu, umat Islam dihadapkan pada beberapa
pilihan sistem politik, antara lain demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu mekanisme
untuk memilih seorang pemimpin. Meskipun beberapa negara Islam telah menjalankan proses
demokrasi, dan belum berhasil, tetapi mekanisme demokrasi tetap diandalkan sebagai
mekanisme yang baik. Sebab, di dalam mekanisme demokrasi terdapat sistem check and
balance-nya, memperkuat civil society, mewujudkan good governance, tausiyah, dan lainnya
yang selalu berproses dan membutuhkan kesabaran, ketangguhan, dan lainnya untuk bisa maju
ke depan. Jahiliyah politik: melanggar etika.

Secara sederhana, jahiliyah itu kita artikan sebagai sebuah kebodohan, bisa juga tidak
peduli pada kebenaran. Dalam konteks situasi politik kita sekarang-dalam batas-batas tertentu,
hal-hal yang bersifat jahiliyah itu memang sering terjadi di dalam dunia politik kita.
Kebodohan dalam berpolitik terjadi, misalnya, menduduki kantor-kantor partai politik,
melakukan kekerasan, tokoh politiknya asal main pecat kalau ada anak buahnya beda
pendapat, atau tidak bermusyawarah dengan baik-padahal Islam mengajarkan, "Hendaknya
kamu bermusyawarah di antara kamu. " Hal-hal tersebut cerminan jahiliyah.

Fenomena seperti itu memang susah kita elakkan, karena manusia memiliki hawa nafsu
yang tidak terkendali yang menjadi bagian dari dirinya. Setiap orang bisa lebih dikuasai oleh
hawa nafsunya, apalagi menyangkut politik dan berhubungan dengan kekuasaan. Ada kata-
kata seorang politisi asal dari Inggris yang menyebutkan, bahwa the power tends to corrupt.

30
Apalagi kalau kekuasaan itu absolut yang tidak bisa dikontrol dengan check dan balance,
maka akan lebih merusak lagi.

Karena itulah maka sesuai dengan prinsip Islam, kita harus melakukan tausiyah bi al-
haq wa bi al-shabr (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran). Apalagi pada masa
sekarang, ada kecendrungan di dalam dunia politik kita, bahwa kita sering kehilangan
kesabaran, yang bisa dalam bentuk tindakan anarkis, golput, tidak mau memilih dalam pemilu.
Hal-hal tersebut menggambarkan realitas jahiliyah dalam politik kita. Realitas jahiliyah
politik bisa dapat kita lihat dari adanya sekelompok orang yang menginginkan adanya satu
partai tunggal bagi umat Islam. Keinginan itu tidak mungkin bisa terjadi dan terwujud dalam
politik kita. Pada masa-masa awal Islam saja, kita melihat adanya kelompok Muhajirin dan
Anshar yang bertentangan dalam pemilihan siapa yang menjadi pemimpin setelah Nabi wafat.
Pengelompokan itu harus kita sikapi sebagai suatu sunnatullah. Yang penting adalah
penyikapan secara bijak, toleran, dan tidak hanya memandang hizb (partai/golongan) kita
sendiri sebagai yang paling baik, benar, yang bisa mengantarkan ke surga. Wallahu a'lam.

Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena berbagai
alasan. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip ibadah.Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan
lillahita’ala. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu
berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering
menyangkut hubungan antar manusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak
orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Adapun beberapa
prinsip etika politik dalam perspektif Islam yaitu meliputi:

1. Kekuasaan sebagai Amanah


Prinsip amanah tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nissaa: 58;
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada orang yang
berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum-hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan
Maha Melihat.”

31
Dalam konteks kenegaraan, amanah dapat berupa kekuasaan ataupun
kepemimpinan. Sebab pada prinsipnya kekuasaan atau kepemimpinan adalah suatu bentuk
pendelegasian atau pelimpahan kewenangan orang-orang yang dipimpinnya. Islam secara
tegas melarang terhadap para pemegang kekuasaan agar tidak melakukan penyalahgunaan
kekuasaan yang diamanatkan kepadanya. Sebab apapun yang dilakukan oleh seorang
penguasa atau pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah.
2. Musyawarah
Prinsip secara musyawarah dalam Al-Qur’an tercantum dengan jelas dalam surat As-Syura
38:
“Dan (bagi)orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Dengan musyawarah potensi-potensi hegemoni pihak-pihak kuat atas pihak yang
lemah menjadi tereliminir. Sebab dalam musyawarah dibuka pintu partisipasi aktif seluruh
umat dengan posisi dan kedudukan yang sama. Musyawarah itu sendiri dapat diartikan
sebagai forum tukar menukar pendapat, ide, gagasan, dan pikiran dalam menyelesaikan
sebuah masalah sebelum tiba masa pengambilan sebuah keputusan.
Pentingnya musyawarah dalam Islam adalah upaya untuk mencari sebuah
pandangan objektif dalam sebuah perkara, sehingga pengambilan keputusannya dapat
dilakukan secara bulat atau dengan resiko yang relatif kecil.
Dalam tradisi Islam, dikenal juga upaya pengambilan keputusan secara bersama-
sama dan berdasarkan suara terbanyak,cara ini disebut dengan Ijma’. Sebagai bagian dari
upaya musyawarah dalam ajaran Islam yang dipentingkan adalah adanya jiwa persaudaraan
ataupun keputusan yang didasarkan atas pertimbangan nurani dan akal sehat secara
bertanggungjawab terhadap suatu masalah yang menyangkut kemaslahatan bersama dan
bukan atas pertimbangan sesaat. Sifat pengambilan keputusan dalam musyawarah hanya
dilakukan untuk hal-hal kebaikan (ma’ruf) dan Islam melarang pengambilan keputusan
untuk hal-hal yang buruk (mungkar). Sehingga pengambilan suatu keputusan dalam
musyawarah didalam ajaran Islam berkaitan dengan prinsip “amarma’rufnahimunkar”
(menyuruh pada kebaikan dan melarang pada keburukan).
3. Keadilan Sosial

32
Dalam upaya mewujudkan keadilan ini, Islam banyak menyeru kepada para
pemimpin agar mampu menjalankan dan menanamkan hikmah kepada masyarakat. Sebab,
pemimpinlah yang memiliki amanat untuk menjalankan hak-hak orang-orang yang
diwakilkannya, baik hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan ekonomi,
dan perlindungan-perlindungan lainnya. Selain itu, penindasan biasanya lebih banyak
datang dari para pemimpin dari pada orang-orang yang dipimpin.
Islam mengarkan untuk menegakkan keadilan terhadap sesama manusia. Islam
tidak menghendaki bahwa dunia beserta isinya hanya dimiliki oleh orang-orang yang kuat,
sementara mereka yang lemah tidak mendapatkan apa-apa. Diantara seruan Allah tentang
keadilan ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah: 8;
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Bersikap adillah
kamu, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, dan bertakwalah kepada Allah karena
sesungguhnya Allah sangat mengetahui apa yang kamu lakukan.”
Etika Islam tentang keadilan adalah perintah untuk menjadi manusia yang lurus,
bertanggungjawab, dan berlaku ataupun bertindak sesuai dengan kontrak sosial hingga
terwujud keharmonisan dan keadilan hidup.
4. Ketaatan Rakyat
Dalam hal ini ketaatan rakyat terhadap pemerintahan bersifat wajib selama ketaatan
itu menuju pada kebenaran. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka rakyat
berhak untuk mengkritik setiap kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa agar kembali
pada jalur kebenaran. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta
ulil amri diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasulnya (sunnah) jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih
baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa: 59)
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa posisi rakyat sangat berkuasa. Rakyat
adalah pemegang kedaulatan atas sebuah sistem pemerintahan. Pemerintahan yang berjalan
diatas sistem yang tidak dikehendaki rakyat boleh ditentang dan dilawan. Membiarkannya

33
berarti telah membiarkan kezaliman hidup dimuka bumi. Dan itu dilarang keras dalam
Islam.
Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena berbagai
alasan. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan lillahi
ta’ala. Dalam berpolitik, kita tidak boleh melanggar perintah-perintah dalam beribadah,
karena pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip ibadah dapat merusak "kesucian" politik.
Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu berkenaan dengan
prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering menyangkut hubungan
antarmanusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling
menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Itulah prinsip-prinsip hubungan
antarmanusia yang harus berlaku di dalam dunia politik.

Kecuali itu, keberadaan masyarakat dan negara merupakan hal yang sangat penting dan
mutlak dalam Islam. Karena itu, beberapa para ahli fikih politik Islam mengemukakan adalah
suatu kewajiban bagi orang Islam untuk mendirikan negara. Dengan adanya negara bisa
diciptakan sebuah keteraturan kehidupan masyarakat yang baik, sehingga pada gilirannya
umat Islam bisa menyelenggarakan ibadah-ibadahnya dengan baik pula.

Bila hubungan antar masyarakat dan dan penyelenggaran negara tidak sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam, maka yang akan muncul adalah kekacauan dan muncul anarki yang sangat
dikecam oleh para ulama. Kekacauan dan anarki dalam suatu masyarakat dan negara dapat
mengganggu penyelenggaraan ibadah. Etika memilih elite politik. Memilih seorang pemimpin
alias mencoblos dalam pemilihan umum (pemilu) adalah hak setiap individu atau warga.
Namun, menjelang pemilu 2004 lalu, sebagian masyarakat mencoba melakukan pemboikotan
pemilu. Gerakan boikot pemilu ini kemudian dikenal sebagai golongan putih atau golput.
Fenomena golput bukan hal baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Gerakan golput
sebenarnya telah dimulai pada pemilu 1971.

Ketika itu, pemilu yang diselenggarakan pemerintah Orde Baru tersebut diikuti 10 partai
politik (parpol), yang justru "direstui" oleh rezim Soeharto. Dan, setelah pemilu 1971, jumlah
parpol yang boleh hidup di dunia politik Indonesia menjadi 3 parpol: PPP, Golkar, dan PDI.
Munculnya gerakan golput pada pemilu 1971 tersebut, karena pemerintah dianggap

34
melanggar dan gagal dalam membangun asas-asas demokrasi. Belakangan ini, ketika
masyarakat Indonesia hendak menghadapi pesta demokrasi (pemilu) 2004, fenomena golput
kembali dibicarakan.

Memang, sejak 1998 lalu, Indonesia telah mengalami beberapa perubahan menuju
demokrasi. Partai politik didirikan dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, banyaknya
partai politik itu tidak dibarengi dengan kualitas elite alias pemimpin politik, yang kemudian
dikenal dengan gerakan antipolitisi busuk. Dan, golput pun kembali menjadi pilihan alternatif.
Artinya, munculnya gerakan golput pada pemilu 2004 ini, karena masyarakat atau elite politik
gagal memberikan alternatif pemimpin yang baik, jujur, dan akhlaqul karimah.

Yang menjadi masalah, kalau memang ada golput di dalam masyarakat, lalu kepada
siapa kita menyerahkan urusan negara ini, dan mekanisme apa yang akan dilakukan dalam
suatu pemilihan pemimpin? Dengan demikian, sebenarnya di dalam golput sendiri ada
persoalan bagi masyarakat. Bahkan, tidak hanya golputnya yang menjadi masalah, tetapi ada
yang lebih substansial, yaitu mekanisme apa yang bisa menyelamatkan negara untuk
menciptakan keamanan, kenyamanan, ketertiban politik, dan lain-lain.

Islam menyayangkan sikap-sikap golput atau tidak berpartisipasi dalam pemilihan


pemimpin. Sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin, Islam sangat mementingkan suatu
kepemimpinan dalam sebuah negara. Bahkan, setelah Nabi Muhammad wafat timbul
persoalan politik yang berkaitan dengan pergantian kepemimpinan. Mekanisme pemilihan
pemimpin memang tidak ada pada zaman Rasulullah. Nabi SAW tidak memberikan pedoman
khusus atau model-model kepemimpinan bagi umat Islam. Selama beberapa tahun
sepeninggal Rasulullah, umat Islam mengalami beberapa model kepemimpinan, antara lain,
kepemimpinan model khilafah dan dinasti.

Belakangan ini, dinamika politik semakin berkembang, dan muncul bentuk-bentuk


negara, seperti republik, aristokrasi, dan lain-lain. Dinamika politik yang luar biasa itu
didorong oleh semangat teologi Islam, yang menyebutkan bahwa "Hai, orang-orang yang
beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu." (Q.S. Al-
Nisaa [4]: 59). Realitas politik dan adanya semangat teologi Islam tersebut mendorong para
filosof dan para ahli etika politik Islam untuk membuat aturan-aturan pemilihan seorang

35
pemimpin pemerintahan demi terwujudnya negara ideal dalam beberapa karya tulis. Misalnya,
Al-Farabi dalam karyanya, Al-Madiinah Al-Faadhilah, Ibnu Maskawih dalam bukunya
Tahziib Al-Akhlak, dan Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkaam Al-Shultaaniyah. Ini
artinya, para pemikir Islam menyadari betapa Islam memperhatikan dalam menciptakan dan
mengembangkan negara ideal.

Memasuki abad 20 sekarang ini, umat Islam tetap dan terus dituntut untuk mendirikan
sebuah negara ideal. Untuk merealisasikan tuntutan itu, umat Islam dihadapkan pada beberapa
pilihan sistem politik, antara lain demokrasi. Demokrasi merupakan salah satu mekanisme
untuk memilih seorang pemimpin. Meskipun beberapa negara Islam telah menjalankan proses
demokrasi, dan belum berhasil, tetapi mekanisme demokrasi tetap diandalkan sebagai
mekanisme yang baik. Sebab, di dalam mekanisme demokrasi terdapat sistem check and
balance-nya, memperkuat civil society, mewujudkan good governance, tausiyah, dan lainnya
yang selalu berproses dan membutuhkan kesabaran, ketangguhan, dan lainnya untuk bisa maju
ke depan. Jahiliyah politik: melanggar etika.

Secara sederhana, jahiliyah itu kita artikan sebagai sebuah kebodohan, bisa juga tidak
peduli pada kebenaran. Dalam konteks situasi politik kita sekarang-dalam batas-batas tertentu,
hal-hal yang bersifat jahiliyah itu memang sering terjadi di dalam dunia politik kita.
Kebodohan dalam berpolitik terjadi, misalnya, menduduki kantor-kantor partai politik,
melakukan kekerasan, tokoh politiknya asal main pecat kalau ada anak buahnya beda
pendapat, atau tidak bermusyawarah dengan baik-padahal Islam mengajarkan, "Hendaknya
kamu bermusyawarah di antara kamu. " Hal-hal tersebut cerminan jahiliyah.

Fenomena seperti itu memang susah kita elakkan, karena manusia memiliki hawa nafsu
yang tidak terkendali yang menjadi bagian dari dirinya. Setiap orang bisa lebih dikuasai oleh
hawa nafsunya, apalagi menyangkut politik dan berhubungan dengan kekuasaan. Ada kata-
kata seorang politisi asal dari Inggris yang menyebutkan, bahwa the power tends to corrupt.
Apalagi kalau kekuasaan itu absolut yang tidak bisa dikontrol dengan check dan balance,
maka akan lebih merusak lagi.

Karena itulah maka sesuai dengan prinsip Islam, kita harus melakukan tausiyah bi al-
haq wa bi al-shabr (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran). Apalagi pada masa

36
sekarang, ada kecendrungan di dalam dunia politik kita, bahwa kita sering kehilangan
kesabaran, yang bisa dalam bentuk tindakan anarkis, golput, tidak mau memilih dalam pemilu.
Hal-hal tersebut menggambarkan realitas jahiliyah dalam politik kita. Realitas jahiliyah
politik bisa dapat kita lihat dari adanya sekelompok orang yang menginginkan adanya satu
partai tunggal bagi umat Islam. Keinginan itu tidak mungkin bisa terjadi dan terwujud dalam
politik kita. Pada masa-masa awal Islam saja, kita melihat adanya kelompok Muhajirin dan
Anshar yang bertentangan dalam pemilihan siapa yang menjadi pemimpin setelah Nabi wafat.
Pengelompokan itu harus kita sikapi sebagai suatu sunnatullah. Yang penting adalah
penyikapan secara bijak, toleran, dan tidak hanya memandang hizb (partai/golongan) kita
sendiri sebagai yang paling baik, benar, yang bisa mengantarkan ke surga. Wallahu a'lam.

Persoalan etika politik adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena berbagai
alasan. Pertama, politik itu dipandang sebagai bagian dari ibadah, karena itu harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam berpolitik harus diniatkan dengan
lillahita’ala. Kedua, etika politik dipandang sangat perlu dalam Islam, karena politik itu
berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan masyarakat. Dalam berpolitik sering
menyangkut hubungan antar manusia, misalnya saling menghormati, saling menghargai hak
orang lain, saling menerima dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Adapun beberapa
prinsip etika politik dalam perspektif Islam yaitu meliputi:

1. Kekuasaan sebagai Amanah


Prinsip amanah tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nissaa: 58;
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada orang yang
berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum-hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan
Maha Melihat.”
Dalam konteks kenegaraan, amanah dapat berupa kekuasaan ataupun
kepemimpinan. Sebab pada prinsipnya kekuasaan atau kepemimpinan adalah suatu bentuk
pendelegasian atau pelimpahan kewenangan orang-orang yang dipimpinnya. Islam secara
tegas melarang terhadap para pemegang kekuasaan agar tidak melakukan penyalahgunaan

37
kekuasaan yang diamanatkan kepadanya. Sebab apapun yang dilakukan oleh seorang
penguasa atau pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah.
2. Musyawarah
Prinsip secara musyawarah dalam Al-Qur’an tercantum jelas dalam surat As-Syura 38:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Dengan musyawarah potensi-potensi hegemoni pihak-pihak kuat atas pihak yang
lemah menjadi tereliminir. Sebab dalam musyawarah dibuka pintu partisipasi aktif seluruh
umat dengan posisi dan kedudukan yang sama. Musyawarah itu sendiri dapat diartikan
sebagai forum tukar menukar pendapat, ide, gagasan, dan pikiran dalam menyelesaikan
sebuah masalah sebelum tiba masa pengambilan sebuah keputusan.
Pentingnya musyawarah dalam Islam adalah upaya untuk mencari sebuah
pandangan objektif dalam sebuah perkara, sehingga pengambilan keputusannya dapat
dilakukan secara bulat atau dengan resiko yang relatif kecil.
Dalam tradisi Islam, dikenal juga upaya pengambilan keputusan secara bersama-
sama dan berdasarkan suara terbanyak,cara ini disebut dengan Ijma’. Sebagai bagian dari
upaya musyawarah dalam ajaran Islam yang dipentingkan adalah adanya jiwa persaudaraan
ataupun keputusan yang didasarkan atas pertimbangan nurani dan akal sehat secara
bertanggungjawab terhadap suatu masalah yang menyangkut kemaslahatan bersama dan
bukan atas pertimbangan sesaat. Sifat pengambilan keputusan dalam musyawarah hanya
dilakukan untuk hal-hal kebaikan (ma’ruf) dan Islam melarang pengambilan keputusan
untuk hal-hal yang buruk (mungkar). Sehingga pengambilan suatu keputusan dalam
musyawarah didalam ajaran Islam berkaitan dengan prinsip “amarma’rufnahimunkar”
(menyuruh pada kebaikan dan melarang pada keburukan).
3. Keadilan Sosial
Dalam upaya mewujudkan keadilan ini, Islam banyak menyeru kepada para
pemimpin agar mampu menjalankan dan menanamkan hikmah kepada masyarakat. Sebab,
pemimpinlah yang memiliki amanat untuk menjalankan hak-hak orang-orang yang
diwakilkannya, baik hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan ekonomi,

38
dan perlindungan-perlindungan lainnya. Selain itu, penindasan biasanya lebih banyak
datang dari para pemimpin dari pada orang-orang yang dipimpin.
Islam mengarkan untuk menegakkan keadilan terhadap sesama manusia. Islam
tidak menghendaki bahwa dunia beserta isinya hanya dimiliki oleh orang-orang yang kuat,
sementara mereka yang lemah tidak mendapatkan apa-apa. Diantara seruan Allah tentang
keadilan ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah: 8;
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Bersikap adillah
kamu, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, dan bertakwalah kepada Allah karena
sesungguhnya Allah sangat mengetahui apa yang kamu lakukan.”
Etika Islam tentang keadilan adalah perintah untuk menjadi manusia yang lurus,
bertanggungjawab, dan berlaku ataupun bertindak sesuai dengan kontrak sosial hingga
terwujud keharmonisan dan keadilan hidup.
4. Ketaatan Rakyat
Dalam hal ini ketaatan rakyat terhadap pemerintahan bersifat wajib selama ketaatan
itu menuju pada kebenaran. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka rakyat
berhak untuk mengkritik setiap kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa agar kembali
pada jalur kebenaran. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta
ulil amri diantara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu hal, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasulnya (sunnah) jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih
baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa: 59)
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa posisi rakyat sangat berkuasa, pemegang
kedaulatan atas sebuah sistem pemerintahan. Pemerintahan yang berjalan di atas sistem
yang tidak dikehendaki rakyat boleh ditentang dan dilawan. Membiarkannya berarti telah
membiarkan kezaliman hidup dimuka bumi. Dan itu dilarang keras dalam Islam.

39
Hubungan Etika Dalam Bersilaturahmi
Oleh: Andriyani

1. Etika
A. Pengertian Etika
Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat.11 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu
pengetahuan tentang asas asas akhlak atau moral.12 Dari pengertian kebahasaan ini terlihat
bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.13
Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang
baik dan buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengetahuan
tentang nilai-nilai itu sendiri.14 Pengertian etika lebih lanjut dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantara. Menurutnya, etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan
di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan
rasa yang dapat berupa pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat
berupa perbuatan.15
Sementara itu, Austin Fogothey, sebagai dikutip Ahmad Charris Zubair
mengatakan bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia

11
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta : Rjawali Pers 1980) cet. II hlmn. 13.
12
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1991) cet XII, hlmn 278
13
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terjemah) K.H.Farid Ma’ruf, dari judul asli, al-Akhlaq, (Jakarta : Bulan Bintang,
1983), cet III hlmn.3.
14
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta : Gunug Agung, 1979), hlmn.82
15
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta : Taman Siswa, 1966), hlmn.138. 40
dan masyarakat sebagai Antropologi, Psikologi, Sosiologi, Ekonomi, Ilmu Politik, dan
Ilmu Hukum.16
Berikutnya dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral,
yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep konsep nilai baik, buruk,
harus, benar,salah, dan sebagainya. Selanjutnya Frankena, sebagai juga dikutip Ahmad
Charris Zubair mengatakan bahwa etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral
atau pmikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.17
Dari beberapa definisi etika tersebut di atas, dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut:
Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang
dilakukan oleh manusia.
Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai
hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolute, dan tidak pula bersifat universal.
Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya.
Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku
manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu
hukum, dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan
sama-sama memiliki objek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia.
Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfunsi sebagai penilai, penentu, dan penetap
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut
akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina, dan sebagainya.
Dengan demikian, etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah
perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit
atau hakim dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai
nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan oleh
manusia. Etika lebih mengacu pada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah ubah sesuai
dengan tuntutan zaman.

16
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, op.cit., hlmn.15.
17
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, op.cit., hlmn.16.

41
Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatakan baik atau untuk dikatakan buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para
filosof barat mengenai perbuatan yang baik atau yang buruk dapat dikelompokkan kepada
pemikiran etika, karena berasal dari hasil berpikir.

Dengan demikian, etika sifatnya humanistis dan anthropocentris, yakni berdasar pada
pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain, etika adalah aturan atau
pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua, yaitu: obyektivisme
dan subyektivisme.
1. Obyektivisme
Berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada
substansi tindakan itu sendiri. Paham ini melahirkan apa yang disebut faham
rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata paham ini, bukan karena
kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan
semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu.
2. Subyektivisme
Berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan
kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek di sini bisa saja berupa
subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan.

B. Etika Dibagi Atas Dua Macam

1. Etika Deskriptif
Etika yang berbicara mengenai suatu fakta yaitu tentang nilai dan pola perilaku manusia
terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat.

2. Etika Normatif

42
Etika yang memberikan penilaian serta himbauan kepada manusia tentang bagaimana
harus bertindak sesuai norma yang berlaku. Mengenai norma norma yang menuntun
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari hari.

Etika dalam keseharian sering dipandang sama denga etiket, padahal sebenarnya
etika dan etiket merupakan dua hal yang berbeda. Di mana etiket adalah suatu perbuatan
yang harus dilakukan. Sementa etika sendiri menegaskan bahwa suatu perbuatan boleh atau
tidak. Etiket juga terbatas pada pergaulan. Di sisi yang lain etika tidak bergantung pada
hadir tidaknya orang lain. Etiket itu sendiri bernilai relatif atau tidak sama antara satu orang
dengan orang lain. Sementa itu etika bernilaiabsolute atau tidak tergantung dengan apapun.
Etiket memandang manusia dipandang dari segi lahiriah. Sementara itu etika manusia
secara utuh.
Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang
dihasilkan oleh akal manusia.

C. Peran dan Fungsi Etika

1. Dengan etika seseorang atau kelompok dapat menegemukakan penilaian tentang


perilaku manusia.
2. Menjadi alat kontrol atau menjadi rambu-rambu bagi seseorang atau kelompok dalam
melakukan suatu tindakan atau aktivitasnya sebagai mahasiswa.
3. Etika dapat memberikan prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi
sekarang.
4. Etika dapat menjadi prinsip yang mendasar bagi mahasiswa dalam menjalankan aktivitas
kemahasiswaanya.
5. Etika menjadi penuntun agar dapat bersikap sopan, santun, dan dengan etika kita bisa di
cap sebagai orang baik di dalam masyarakat.

2. Silaturrahmi

A. Pengertian Silaturrahmi

43
Silaturrahmi adalah istilah yang cukup akrab dan popular di dalam pergaulan umat
Islam sehari-hari, namun pada hakekatnya istilah tersebut merupakan bentukan dari bahasa
Arab dari kata silaturrahim, dan istilah silaturrahim ini berasal dari dua kata Shilah yang
berarti hubungan atau sambungan dan rahim yang memiliki arti peranakan.18
Istilah-istilah tersebut merupakan sebuah simbol hubungan baik penuh kasih sayang
antar karib kerabat yang asal usulnya berasal dari satu rahim. Di sini dikatakan simbol
karena rahim atau peranakan secara materi tidak bisa disambung atau tidak bisa
dihubungkan dengan rahim lain. Dengan kata lain, rahim yang di maksud di sini adalah
qarabah atau nasab yang disatukan oleh rahim ibu, dimana hubungan antara satu dengan
yang lain diikaat dengan hubungan rahim.
Maka dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pemaknaan terhadap istilah
silaturrahim cenderung pada hubungan kasih sayang yang terbatas pada hubungan-
hubungan dalam sebuah keluarga besar atau qarabah.

Dengan demikian istilah silaturrahim dengan istilah silaturrahmi memiliki maksud


pengertian yang sama namun dalam penggunaan bahasa Indonesia istilah silaturrahmi
memiliki pengertian yang lebih luas, karena penggunaan istilah ini tidak hanya terbatas
pada hubungan kasih sayang antara sesama karib kerabat, akan tetapi juga mencakup
pengertian masyarakat yang lebih luas. Kemudian mengadakan silaturrahmi dapat
diaplikasikan dengan mendatangi famili atau teman dengan memberikan kebaikan baik
berupa ucapan maupun perbuatan.19

B. Bentuk dan Manfaat Sillaturrahmi

Silaturahmi secara konkret dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk, antara lain:

1. Berbuat baik atau ihsan terutama dengan memberikan bantuan materiil untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, adapun yang harus diprioritaskan untuk dibantu adalah karib
kerabat dibanding dengan pihak-pihak lain yakni diantaranya ada anak yatim, orang

18
Yunahar Ilyas, KuliahAkhlak, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2007 ), Cet. IX, hlm. 183

19
Hussein Bahresi, Hadits Shohih Bukhari-Muslim ( Surabaya : Karya Utama, Tt), hlm 140

44
miskin, ibnu sabil, dan lain-lain. Karena jika karib kerabat tersebut seorang yang miskin
maka bersedekah kepada kerabat tersebut bermakna ganda; yakni sedekah sekaligus
silaturrahmi.20 Dengan demikian, jelas bahwa dari ukhuwah antar karib kerabat adalah
lebih utama.
2. Memelihara dan meningkatkan rasa kasih sayang sesama kerabat maupun sesama
muslim maupun orang lain dapat dapat diaplikasikan dengan sikap saling kenal-
mengenal, hormat-menghormati, bertukar salam, kunjung-mengunjungi, surat-
menyurat, bertukar hadiah, jenguk-menjenguk, bantu-membantu, dan berkerja sama
menyelenggarakan walimahan, dan lain-lain.21

Dan itu semua bisa dikatakan silaturrahmi dengan catatan hal-hal tersebut diorientasikan
untuk meningkatkan persaudaraan.

Kemudian selain dapat meningkatkan dan mempererat hubungan persaudaraan


antara sesama karib kerabat pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya,
silaturrahmi juga dapat memberi manfaat lain baik di dunia maupun akhirat. Dan diantara
manfaat lain itu adalah :

1. Mendapat rahmat, nikmat, dan ihsan dari Allah SWT

Sebagaimana penjelasaan hadits yang telah dikemukakan dibagian awal bahwa


barang siapa yang menyambung rahim atau tali persaudaraan maka Allah SWT pun juga
akan menghubungkannya namun begitu pula sebaliknya, karena menurut sebagian
ulama, hakikat dari silaturrahmi adalah al-‘athfu wa ar-rahmah yang berarti lemah
lembut dan kasih sayang. Dan shilatullah dengan hamba-hamba-Nya. ’Athfullah berarti
ihsan dan nikmat-Nya.

Dengan demikian maka orang-orang yang melakukan silaturrahmi akan mendapatkan


rahmat, nikmat, dan ihsan dari Allah SWT.

20
Yunahar Ilyas, Op Cit, hlm.185
21
Yunahar Ilyas, Op Cit, hlm.187.

45
2. Masuk surga dan jauh dari neraka

Secara khusus disebut oleh Rasulullah saw bahwa sesudah amalan pokok,
silaturrahmi dapat mengantarkan seseorang ke surga dan menjauhkan dari neraka
sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Abu
Ayyub ibn Zaid al-Ansari sebagai berikut:

‫ يارسول هللا اخبر ني يعمل يدخلنى‬:‫ عن ارجال قال‬:‫عن ابى ايوب خالدابن زيد االنصاري رضىي هللا عنه قال‬
)‫الرحم (متفق عليه‬ ّ ‫ تعبدهللا وال تشركُ به شيا ًء وتقيم الصالة وتؤتي‬.‫م‬.‫الجنّةَ فقال النّبى ص‬
ّ ‫الزكاة وتصل‬

“Dari Ayyub Khalid bin Zaid Al- Anshariy ra. Ia berkata : ada seseorang bertanya
kepada Rasulullah : “ Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku amal yang dapat
memasukkanku kedalam surga. “ Nabi saw menjawab : “ sembahlah Allah dan jangan
mempersekutukan-Nya, dirikanlah salat, bayarlah zakat, dan sambunglah tali
kekerabatan.” 22(H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Lapang rizki dan panjang umur

Secara lebih konkret Rasulullah SAW menjanjikan rizki yang lapang dan umur yang
panjang bagi orang-orang yang melakukan sillaturrahmi sebagaimana sabda beliau:

ّ ‫ اخبرنى انّ ٍس بن مالك‬:‫ب قال‬


‫ من احبّ ان يبسط له فى رزق ِه وىينساءله فى‬:‫ قال‬.‫م‬.‫ان رسول هللا ص‬ ٍ ‫عن ابن شها‬
)‫اتر ِه فليصل رحمه (متفق عليه‬
ِ

“Dari Ibnu Syihab, dari Annas bin Malik berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah
saw bersabda : barang siapa ingin dilapangkan rizkinya dan ditangguhkan atau
dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung tali kasih dengan
keluarganya.”

C. Etika Bersilaturahmi Dalam Penerapan Kehidupan Sehari-hari

1. Etika bertamu

22
Juwariyah, Op Cit, hlmn 337-338.

46
a) Untuk orang yang mengundang:
- Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan
orang-orang fakir.
- Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan
dengan kewibawaan.
- Jangan kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah
kegembiraan dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
- Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu
berarti menghormatinya.
- Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan
penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian.
b) Bagi tamu:
- Hendaknya tidak membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang
yang kaya, karena tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan
(cambuk) terhadap perasaannya.
- Jangan tidak hadir sekalipun karena sedang berpuasa, tetapi hadirlah pada
waktunya.
- Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk
tinggal lebih dari itu.
- Hendaknya pulang dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang
terjadi pada tuan rumah.
2. Etika di jalan
a) Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan.
b) Atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain
karena takabbur.
c) Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
d) Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya
seseorang bisa masuk surga.
e) Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal.
3. Etika berbicara
a) Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan..

47
b) Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di pihak
yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.
c) Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
d) Menghindari perkataan jorok (keji).

4. Etika bertetangga
a) Menghormati tetangga dan berperilaku baik terhadap mereka.
b) Bangunan yang kita bangun jangan mengganggu tetangga kita, tidak membuat
mereka tertutup dari sinar matahari atau udara, dan kita tidak boleh melampaui
batasnya, apakah merusak atau mengubah miliknya, karena hal tersebut menyakiti
perasaannya.
c) Jangan kikir untuk memberikan nasihat dan saran kepada mereka, dan seharusnya
kita ajak mereka berbuat yang ma`ruf dan mencegah yang munkar dengan bijaksana
(hikmah) dan nasihat baik tanpa maksud menjatuhkan atau menjelek-jelekkan
mereka.
d) Hendaknya kita selalu memberikan makanan kepada tetangga kita.

5. Etika menjenguk orang sakit


a) Untuk orang yang berkunjung (menjenguk):
- Hendaknya tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk
berkunjung, dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk
menghibur dan membahagiakannya.
- Mendo`akan semoga cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan.
- Mengingatkan si sakit untuk bersabar atas taqdir Allah SWT.
b) Untuk orang yang sakit:
- Hendaknya segera bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih.
- Berbaik sangka kepada Allah, dan selalu mengingat bahwa sesungguhnya manusia
adalah makhluk yang lemah diantara makhluk Allah lainnya, dan bahwa
sesungguhnya Allah SWT tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak
membutuhkan ketaatannya.

48
- Hendaknya cepat meminta kehalalan atas kedzaliman-kedzaliman yang dilakukan
olehnya, dan segera membayar atau menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada
pemiliknya, dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

D. Hubungan Antara Etika Dengan Silaturrahmi


Dilihat dari fungsi dan peran etika adalah menentukan hukum atau nilai dari suatu
perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik dan buruknya suatu perbuatan
tersebut. Sedangkan silaturrahmi adalah hubungan kasih sayang antar kerabat baik
keluarga ataupun teman dengan cara berbuat baik, memelihara serta meningkatkan
kekerabatan antar sesama.
Dalam melakukan silaturrahmi kitapun harus memperhatikan etika sehingga
membuahkan faidah yang baik bagi kedua belah pihak baik yang ziarah maupun yang
diziarahi. Etika dalam bersilaturrahmi yang baik dapat ditanamkan pada jiwa anak anak
sejak dini agar tumbuh pula etika dan akhlak serta moral yang mulia dalam diri mereka.
Dengan demikian hubungan antara etika dengan terjalinnya silaturrahmi sangatlah
berkaitan erat, sebab tanpa adanya etika dalam bersilaturrahmi maka silaturahmi tidak akan
terjalin antara satu dengan yang lainnya begitu pula jika silaturrahmi tanpa etika atau
perbuatan yang baik dapat membuat orang lain berfikir negatif bahwa etika yang dimiliki
adalah etika buruk dalam bersilaturahmi.

49
Ruang Lingkup Akhlak Mulia Dalam Perspektif
Dakwah
Oleh: Iqbal Bayhaqy

Agama Islam adalah agama yang ajarannya bersifat universal, mencakup seluruh
aspek kehidupan di setiap ruang dan waktu. Keuniversalan ajaran Islam, diharapkan tampil
sebagai sebuah cerminan dalam melaksanakan segala aktifitasnya dalam bidang dakwah
dengan wujud ketauladanan. Rincian ini telah dijelaskan dalam sebuah ayat Al-Qur’an dan
sejak abad ke-19 yang lalu. Hal ini berarti, umat Islam benar-benar tertantang memasuki
dakwah yang perlu dimanage sedemikian rupa sesuai dengan tuntunan zaman, khususnya
dalam upaya menetralisir terjadinya berbagai macam penyimpangan akhlak yang terjadi,
seperti tawuran, perkelahian, narkoba, zina yang secara nyata melibatkan generasi muda. Hal
ini sering nampak berbagai media cetak dan elektronik yang ada.
Sehubungan dengan hal itu, tugas dakwah yang merupakan tanggung jawab bersama
mestinya berorientasi pada upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pembinaan
akhlakul karimah pada generasi muda. Dewasa ini, kesadaran generasi muda sangat
menentukan maju mundurnya suatu bangsa dan agam di masa yang akan datang.
Pembinaan akhlak pada prinsipnya merupakan hal yang sangat esensial dalam
kehidupan manusia yang hanya mampu dilakukan dengan pendekatan agama, karena
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta fasilitas komunikasi, ternyata sangat erat
kaitannya dengan mampu menjawab dampak negatif tersebut. Untuk mengetahui aplikasi
serta peran tersebut akan dibahas dalam penelitian ini sebagai suatu pendekatan yang ilmiah
yakni berusaha meneliti Ruang Lingkup Akhlakul Karimah dalam Perspektif Dakwah.

A. Pengertian Akhlakul Mulia dan Dakwah


Dilihat dari sudut etimologi perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu jamak
dari khuluqun, yang menurut lughat diartikan adat, kebiasaan, perangai, watak, tabiat, adab,

50
atau sopan santun.23 Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan
khalaqa yang berarti menciptakan dan khalqun yang berarti suatu kejadian.
Adapun secara terminologi, para ulama membatasi ilmu akhlak tentang
pengertiannya. Menurut Al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa
seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Menurut
Ibrahim Anis, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah
macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan.24
Abdul Karim Zaidan membatasinya sebagai “nilai dan sifat-sifat yang tertanam
dalam jiwa, yang dengan pertimbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau
buruk, untuk kemudian memilih untuk melakukan atau meninggalkannya.”
M. Abdullah Diroz, mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam kehendak
yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak
yang benar atau pihak yang jahat.25
Dari definisi-definisi yang telah dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlak
atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul
bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Banyak definisi akhlakul mulia yang disampaikan Ulama. Definisi yang cukup
mewakili, yaitu akhlakul mulia adalah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu
yang menyakitinya dan menahan diri ketika disakiti.26

Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam, yaitu:

a) Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang
lain, bermuka manis dan lain sebagainya.
b) Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak mencela, tidak
berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.

23
Yunahar Ilyash, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI), 2011), hlm. 1.
24
Yunahar Ilyash, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI), 2011), hlm. 1.
25
Musthafa Kamal Pasha, Akhlak Sunnah, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), hlm. 5.
26
Imam Ibnu Rajab, Ikhtiyar al-Ula fi Syarh Hadits al-Mala' al-A'la, (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1987), hlm.
318-319.
51
c) Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan
keburukan serupa.

Dan pengertian dakwah itu sendiri menurut etimologi berasal dari kata kerja bahasa
Arab, yaitu ‫ يدعو‬- ‫ دعا‬menjadi bentuk masdar ‫ دعوة‬yang berarti seruan, panggilan atau
ajakan.27 Sedangkan pengertian dakwah secara terminologi ada beberapa pendapat yang
berbeda yang telah banyak didefinisikan oleh para ahli yang mendalami masalah dakwah.
Namun antara definisi yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Beberapa contoh
definisi dakwah diantaranya, yaitu:

a. Drs. Shalahuddin Sanusi

Dakwah adalah usaha mengubah keadaan yang negatif menjadi keadaan yang
positif, memperjuangkan yang ma’ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas
yang bathil’.

b. H. Timur Djaelani, M.A.

Dakwah ialah menyeru kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi yang
buruk sebagai pangkal tolak kekuatan mengubah masyarakat dan keadaan yang kurang
baik kepada keadaan yang lebih baik sehingga merupakan suatu pembinaan.

c. Prof. H.M. Thoha Yahya Omar

Dakwah ialah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar
sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

d. Prof. A. Hasymi

Dakwah Islamiyah yaitu mengajak orang untuk menyakini dan mengamalkan


aqidah dan syariah Islamiyah yang terdahulu telah diyakini dan diamalkan oleh para
pendakwah.

e. Dr. Abdul Karim Zaidan

27
Aminuddin Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, (Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 1985) hlm. 5.

52
Dakwah ialah panggilan ke jalan Allah. Dakwah adalah kegiatan untuk mengajak
dan menyeru manusia kepada Islam, agar manusia memperoleh jalan hidup yang baik,
diridhai oleh Allah sehingga hidup dan kehidupannya selama berada di dunia dan akhirat
kelak, karena hakikat dari pada kehidupan dunia adalah penghantar untuk kehidupan
akhirat yang abadi.
Dari uraian di atas dakwah dengan akhlak mulia berarti seruan untuk berbuat
kebaikan untuk orang lain melalui kebiasaan-kebiasaan yang baik.

B. Perintah Untuk Mempunyai Akhlak Mulia


Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil
dalam al-Qur'an maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di
antaranya:
Firman Allâh Azza wa Jalla tatkala memuji Nabi-Nya SAW:
ٍ ُ‫َو ِإنَّكَ لَ َع َل ُخل‬
‫ق َع ِظي ٍْم‬
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam, 68:
4).
Dan juga sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
‫س ٍن‬ ٍ ‫اس بِخ َْل‬
َ ‫ق َح‬ َ َّ‫ق الن‬
ِ ‫َوخَا ِل‬
“Pergaulilah manusia dengan akhlak mulia.” (HR. At-Tirmidzi no. 1987 dari Abu Dzar,
dan beliau menilai hadits ini hasan shahih).
Dari dalil-dalil di atas jelas bahwa akhlak mulia sangat penting di dalam sarana
menyampaikan dakwah Islamiyah dari segi pergaulan, perbuatan, sifat, dan lain
sebagainya.

C. Berdakwah dengan Akhlak Mulia


Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian
materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga; semisal
praktek nyata, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang lazim dikenal dengan

53
dakwah bil hal. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah
dengan lisan dan lebih mengena sasaran.28
Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun
hanya sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi
adanya qudwah hasanah (potret keteladanan yang baik) di tengah masyarakat, yang
tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori
tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas.29
Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya mempraktekkan akhlak mulia
sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.

D. Dampak Positif Akhlak Mulia Dalam Dakwah


Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia ialah berbuat baik kepada
orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti.
Berdasarkan definisi ini, berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin
dipaparkan satu persatu. Contoh dari akhlak mulia dan hubungan positifnya dengan
dakwah antara lain:
1. Gemar Membantu Orang Lain.
Banyak nash dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk
mempraktekkan karakter mulia ini. Diantaranya, sabda Rasulullah SAW:
‫َوهللاُ فِى َع ْو ِن ْالعَ ْب ِد َما َكانَ ْالعَ ْبدُ فِى َع ْو ِن أ َ ِخ ْي ِه‬

“Allah akan membantu seorang hamba jika ia membantu saudaranya.” (HR.Muslim


no. 6793 dari Abu Hurairah)

Sifat gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar
biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Tatkala seseorang dalam
keadaan sangat membutuhkan bantuan, kemudian ada orang yang membantunya, jelas
susah baginya melupakan kebaikan orang tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik
itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih

28
Hamd Hasan Raqith, Munthalaqat Ad-Da'wah wa Wasa'il Nasyriha, (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1979), hlm.
97.
29
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyid, 1983), hlm. 377.
54
terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima
masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu bentuk "berbalas budi" atas kebaikan
yang kita sodorkan kepadanya.
Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam
kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia, kitalah yang
pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala
ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat
ada yang membutuhkan bantuan keuangan, kita berusaha memberikan hutangan pada
orang tersebut. Begitu seterusnya.
Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun jembatan yang
mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu,
sehingga dakwah salafiyah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.
2. Jujur dalam bertutur kata
Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam
Islam. Allah Azza wa Jalla berfiman:
َ ‫يَاأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ آ َمنُ ْوا اتَّقُ ْوا هللاَ َوقُ ْولُ ْوا قَ ْو ًال‬
‫س ِد ْيدًا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan


ucapkanlah perkataan yang benar.” (Q.S. Al-Ahzab 33: 70).

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan


masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi,
namun juga dalam perkara agama.
Seorang Muslim yang telah dikenal di masyarakat jujur dalam bertutur kata,
berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita, akan disegani. Ucapannya
akan didengar. Dan ini modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya
apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan
keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar
apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya mudah menyebarkan isu
yang belum jelas kebenarannya, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.
3. Bertindak ramah terhadap orang miskin dan kaum lemah

Rasulullah SAW bersabda:

55
‫ض َعفَاىِ ُك ْم‬ َ ‫َ فَإِنَ َما ت ُ ْرزَ قُ ْونَ َوت ُ ْن‬،‫ض َعفَا‬
ُ ‫ص ُر ْونَ ِب‬ ُّ ‫ا ْبغُ ْونِى ال‬

“Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang lemah. Sesungguhnya


kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin
di antara kalian." (H.R. Abu Daud no. 2594, dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh
An-Nawawi).30

Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk
berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan
Rasulullah SAW pernah ditegur langsung Allah SWT tatkala suatu hari beliau
bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena
saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allah
SWT abadikan dalam surat 'Abasa. Setelah itu, Rasulullah SAW amat memuliakan
orang lemah dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota Madinah.
Dialah 'Abdullah Ibn Ummi Maktum ra.
Bersikap ramah dan perhatian terhadap orang-orang lemah menguntungkan
dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang
menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.
Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah
untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka
memang lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para
ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi;
Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul SAW? Dia
menjawab, "Orang-orang lemah dan kaum miskin". Heraklius pun menimpali,
"Begitulah kondisi pengikut para Nabi di setiap masa."31
Sedangkan keuntungan kedua, dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang yang
menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut, termasuk orang-orang yang memiliki
status sosial tinggi. Masyarakat cenderung lebih respect kepada ulama atau Da'i yang
rendah hati serta akrab dengan orang-orang miskin dan lemah dibandingkan kepada
penceramah yang hanya berada dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan

30
Imam Nawawi, Riyadhus Shlihin, (Jakarta: Ummul Qura, 2001), hlm. 146.
31
Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), hlm. 471-472.

56
pemilik kekuasaan. Sebab masyarakat menganggap Da'i tersebut cenderung lebih
tulus. Adapun penceramah (Ulama) yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat
dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut?
Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?

4. Santun Dalam Menyampaikan Nasehat, Sambil Memperhatikan Kondisi Psikologis


Orang Yang Dinasehati.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

ٌ‫صدَقَة‬ َّ ‫َو ْال َك ِل َمةُ ال‬


َ ُ‫طيِّبَة‬

“Ucapan yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhâri no. 2989 dan Muslim no.
2332).

Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis seseorang sangat


menentukan keberhasilan dakwah. Penulis pernah mendapatkan cerita dari saksi mata
obrolan antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang
sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya
dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota tempat mereka
berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menangkis,
"Ya, itukan cuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya,
ternyata kosong dan rapuh!". Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang
awam tadi langsung berubah dan terdiam.
Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-
kata yang lebih santun? Haruskah kita 'menabrak' langsung lawan bicara kita.
Bukankah itu akan mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan
lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan
kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?
Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, "Betul Pak, pembangunan fisik
kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun alangkah indahnya jika pembangunan

57
fisik tersebut diiringi pula dengan pembangunan mental masyarakat, sehingga
timbulah keseimbangan antara dua sisi tersebut".
Tidak ada salahnya, kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu
sebelum mengenal dakwah Salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang
penuh dengan berkah ini. Apakah dulu serta-merta sekali diomongi, kita langsung
meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita pegangi? Atau melalui proses
panjang yang penuh dengan lika-liku?.
Tidaklah mudah, mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk
menganut sebuah keyakinan baru. Maka, langkah awal yang ditempuh, buatlah ia ragu
akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan (keistimewaan,
kebenaran) ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan berjalannya
waktu, dengan izin Allah SWT, sedikit demi sedikit ideologi lama akan
ditinggalkannya, kemudian beralih ke ideologi yang baru.
Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan
bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap, kita akan terdorong untuk
mendakwahi orang lain juga dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta secara bertahap.
5. Bersifat Pemaaf Terhadap Orang yang Menyakiti dan Membalas Keburukan dengan
Kebaikan.
Allah SWT berfirman:
ِ ‫ُخ ِذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِ ْالعُ ْر‬
ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
َ‫ض َع ِن ال َجا ِه ِليْن‬

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan
orang-orang jahil.” (QS. Al-‘A’raf, 7: 199).

Potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasulullah SAW amatlah
banyak, baik dengan sesama Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan
orang-orang kafir dan kaum musyrikin.
Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri, apalagi
mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan yang keliru dan telah
mendarah-daging dalam diri mereka. Pasti akan muncul tantangan, berupa cemoohan,
makian, atau bahkan mungkin juga berbentuk serangan fisik, dari pihak yang antipati
terhadap dakwah. Ketika seorang Da'i menghadapi semua halangan tadi dengan

58
ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru
membalas keburukan dengan kebaikan; Insya Allah dengan berjalannya waktu, hati
para “lawan” dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah yang penuh
berkah ini dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-tuduhan miring.32
Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Adapun
contoh dari kehidupan seorang ulama yang sangat masyhur keteguhannya dalam
mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-
sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah.
Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah menghadang Ibnu
Taimiyah rahimahullah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala
kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun
bergegas datang kepadanya, meminta izin guna membalas dendam perbuatan jahat
gerombolan ahlul bid’ah itu.
Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian
tidak boleh melakukan hal itu”.
“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan
lagi!”, tukas mereka.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak
untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allâh. Seandainya hak
untuk balas dendam itu adalah milikku, maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak
itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku
maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allah, maka Dia yang
akan membalas jika Dia berkehendak!”33
Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid'ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.
Sultan Muhammad Qalawun rahimahullah termasuk penguasa yang mencintai dan
mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pada suatu tahun,
Sultan Qalawun pergi berhaji ke Baitullah. Selama menjalankan ibadah haji,
pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya, Sultan Al-Muzhaffar

32
Jalaluddin bin Kamaluddin As-Suyuthi, Lubabul Hadits, (Surabaya: Al-Hidayah,2003) hlm. 155.
33
Ibnu 'Abdil Hadi, Al-'Uqûd ad-Durriyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 224-225.

59
Ruknuddin Piprus, yang merupakan murid salah satu tokoh sufi abad itu, Nashr Al-
Manbaji, dikenal sangat benci terhadap Ibnu Taimiyah.
Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera
menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu
Taimiyah rahimahullah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun
terlebih dahulu kembali dari haji.
Mendengar berita adanya makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun
marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku
makar tersebut. Namun, begitu sampai berita itu ke telinga Ibnu Taimiyah
rahimahullah , ulama ini bergegas mendatangi Sultan Qalawun , sambil mengatkan,
“Saya telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya, Sultan pun memaafkan mereka.
Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibnu Taimiyah rahimahullah,
Zainuddîn bin Makhluf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa
Ibnu Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya, kami berusaha untuk
memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun, tatkala dia memiliki
kesempatan untuk membalas, malah memaafkan kami!”34
Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan
lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan
yang berubah menjadi teman seperjuangan, berkat taufiq dari Allah Azza wa Jalla ,
kemudian dengan ketulusan hati para da'i.
6. Menahan Diri Dari Meminta-minta Apa yang Dimiliki Orang Lain
Sifat ini lebih dikenal para Ulama dengan istilah 'iffah atau 'afaf. Ini merupakan
salah satu karakter para Sahabat Nabi SAW, sebagaimana Allah SWT beritakan dalam
al-Qur'an;
...‫اس ِإ ْل َحافًا‬ ِ ‫َ ِمنَ الت َّ َع ُّف‬،‫سبُ ُه ُم ال َجا ِه ُل أ َ ْغ ِن َيآ‬
َ َّ‫ف ت َ ْع ِرفُ ُه ْم ِب ِس ْي َما ُه ْم َال َي ْس َىلُ ْونَ الن‬ َ ْ‫ َيح‬...

"...(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya;
karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad)
mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak
kepada orang lain..." (QS. Al-Baqarah 2: 273).

34
Ibnu 'Abdil Hadi, Al-'Uqûd ad-Durriyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 225-226.

60
Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka
dapat menyaksikan langsung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
mempraktekkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktekkannya
juga. Di antara nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,

ُ‫ َو َم ْن َي ْستَ ْغ ِن يُ ْغ ِن ِه هللا‬,ُ‫ف يُ ِغفَّهُ هللا‬


ُ ‫َم ْن َي ْست َ ِع‬

"Barangsiapa menahan diri untuk tidak minta-minta; maka Allah akan jadikan ia
memiliki sifat 'iffah. Dan barang siapa menampakkan diri berkecukupan; niscaya
Allah akan menjadikannya kaya." (H.R. Al-Bukhari no. 1427 dan Muslim no. 2421
dari Hakim bin Hizam ra).
Lantas apa korelasi antara bersifat 'iffah dengan keberhasilan dakwah?
Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga
tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara
tabiat, manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya.
Jika seorang da'i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk
menerima dakwahnya.
Kedua: Orang yang memiliki sifat 'afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai
bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allah SWT, bukan karena mengharapkan
balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat Da'i tersebut; jelas
dengan izin Allah SWT mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.

Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun, ada
kiat khusus yang dapat membantu kita menumbuhkan karakter mulia ini dalam diri
kita. Yaitu, dengan melatih diri bersifat qana'ah yang berarti menerima dan rela dengan
berapapun yang diberikan Allah SWT. Sebab, sebenarnya sifat 'afaf merupakan buah
dari sifat qana'ah.35
Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qona'ah?
Jawabannya, dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah
di tangan Allah SWT dan yang kita dapatkan telah dicatat Allah SWT, serta tidak

35
Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Bahjatun Nazhirin, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2004), hlm. 583

61
mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting
dalam bekerja.
Sebenarnya masih banyak contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan
membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah
dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur,
bahkan sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah
"Bisnis afwan akhi!", yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-
etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Semoga
yang sedikit ini dapat memberikan manfaat yang banyak dan menjadikan kita selalu
berupaya untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat yang jelas-jelas membutuhkan
pembinaan Islami untuk menjadi lebih baik.

62
Peranan Akhlak Dalam Berdakwah Melalui Media
Massa
Oleh: Muhammad Ripkih

1. Pengertian Akhlak
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan,
jamaknya khuluqun yang berarti perangai (al-sajiyah), adat kebiasaan (al’adat), budi
pekerti, tingkah laku atau tabiat (ath-thabi’ah), perbedaan yang baik (al-maru’ah), dan
agama (ad-din).36
Akhlak adalah suatu istilah agama yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia
apakah itu baik, atau buruk. Sedangkan ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan agama
Islam yang berguna untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada manusia, bagaimana
cara berbuat kebaikan dan menghindarkan keburukan. Dalam hal ini dapat dikemukakan
contohnya:
a) Perbuatan baik termasuk akhlak, karena membicarakan nilai atau kriteria suatu
perbuatan.
b) Perbuatan itu sesuai dengan petunjuk Ilmu Akhlak; ini termasuk ilmunya, karena
membicarakan ilmu yang telah dipelajari oleh manusia untuk melakukan suatu
perbuatan.37
Adapun ayat yang menjelaskan tentang akhlak yaitu terdapat dalam Q.S. al-Ahzab 33:
21)

1
Tiswarni, “Akhlak Tasawuf” (jakarta: Bina Pratama, 2007). Hal: 1.
2
Mahjuddin, “Akhlak Tasawuf” (jakarta:Kalam Mulia,2009). Hal: 7.
3
Departemen Agama,Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta:Serajaya Santra, 1987), Cet. Ke-1,
h.670

63
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
Dia banyak menyebut Allah.38

Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi dapat dilihat dari beberapa pendapat
para ahli:
1. Ibnu Maskawaih
Menyebutkan bahwa akhlak yaitu keadaan jiwa yang mendorong atau mengajak
melakukan sesuatu perbuatan tanpa melalui proses berpikir, dan pertimbangan terlebih
dahulu.
2. Prof. Dr. Ahmad Amin
Akhlak menurut Prof. Dr. Ahmad Amin yaitu suatu ilmu yang menjelaskan baik dan
buruk, menerangkan yang harus dilakukan, menyatakan tujuan yang harus dituju dan
menunjukkan apa yang harus di perbuat.
Akhlak mulia merupakan cermin seorang muslim, mencerminkan kesucian hati dan
fikirannya, sedangkan akhlak buruk mencerminkaan seseorang yang telah gelap hatinya
sehingga ia tidak bisa menentukan mana yang baik dan buruk baginya karena keburukan
itu telah mendarah daging dalam dirinya.

2. Pengertian Media Masa dan peranannya

Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa
cetak dan media elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media
massa adalah surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik yang memenuhi
kriteria media massa adalah radio siaran, televisi, film, media on-line (internet). Setiap
media cetak memiliki karakteristik yang khas.

64
Salah satu upaya terpenting dalam dakwah adalah komunikasi. Yaitu suatu transfer
(memindahkan) informasi dari seseorang kepada orang lain, baik perseorangan maupun
berkelompok sebagai suatu proses sosial secara berhadapan langsung ataupun melalui
media. Boleh dikatakan bahwa seorang manajer mempimpin lembaga dakwah atau seorang
Da’i dapat dikenal melalui apa yang mereka komunikasikan. Semakin baik komunikasi
yang dilakukan oleh seorang manager da’wah atau seorang Da’i sendiri semakin pula
wujud pekerjaan, dan hasil pekerjaan mereka.
Dalam kegiatan manajemen sang manager harus berkorban dengan para manajer
lain dalam berbagai tingkatan guna mengetahui tentang apa yang telah ,sedang dan akan
dilakukan oleh pihak lain, sebab apa yang apa yang akan dilakukan oleh pihak lain itu akan
berpengaruh dan menyangkut tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak yang
bersangkutan.
Demikian Pula halnya dengan kegiatan dakwah, sang da’i harus
berkomunikasi dengan jamaah yang dihadapi, komunikasi ini merupakan jalan untuk
menyebarkan luaskan pesan dalam bentuk seruan, anjuran, petunjuk, dan nasehat yang
bersumber dari ajaran agama Islam yang disajikan dan dikemas secara konstektual. Akan
tetapi, dalam penyampaian dakwah ini harus membawa sebuah akhlak yang baik entah itu
dalam segi pakaian, retorika bicaranya harus santun tidak menghina atau membuka aib
saudaranya sendiri.
Di sinilah dibutuhkannya seorang Da’i yang menyampaikan ajaran agama Islam di
dalam media massa, seperti media massa cetak atau media masa televisi harus
menggunakan akhlak yang dan uswah (suri tauladan yang baik) agar ajaran agama Islam
itu lebih banyak yang memeluk dan mencintai agama Islam itu sendiri. Karena banyak
yang kita liat di zaman modern ini seseorang yang menyampaikan agama Islam belum
memiliki akhlak atau suri tauladan yang baik.
Dakwah dan komunikasi merupakan dua hal yang tak mungkin dipisahkan, karena
komunikasi diperlukan untuk melancarkan kegiatan dakwah dan kegiatan manajemen.
Bahkan dapat dikatakan bahwa komunikasi boleh diibaratkan seperti minyak pelumas
untuk melancarkan jalannya suatu mesin. Dengan demikian, komunikasi menjadi bahan
kajian yang sangat penting dalam bidang dakwah dan manajemen.

65
Komunikasi dakwah secara verbal dan non-verbal serta komunikasi formal dan non
formal maupun informal telah mendapat tempat masing-masing dalam masyarakat,
permasalahan utama yang perlu dihadapi adalah pengaturan aneka ragam komunikasi
tersebut menjadi sebuah sistem komunikasi yang harmonis.
Media komunikasi massa yang sangat efektif dan efisien pada masa sekarang ini
adalah radio, televisi dan film, karena media komunikasi massa ini dapat menjangkau
sasaran yang sangat luas dalam tempo yang sangat singkat, meskipun dengan pembiayaan
yang tidak sedikit dan perencanaan yang matang. Di samping itu, komunikasi massa dalam
bentuk media cetak menepati urutan berikutnya karena tergantung kepada kesiapan dan
kesadaran membaca di lingkungan masyarakat luas.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa pada saat ini dan masa mendatang televisi
menjadi urat nadi dalam kehidupan masyarakat. Media komunikasi visual dan audio-visual
akan selalu menjadi sarana komunikasi yang sangat mempengaruhi masyarakat luas. Oleh
karena itu, pimpinan dakwah tidak dapat mengabaikan media komunikasi massa ini untuk
mendukung kegiatan dakwah mengingat pengaruhnya yang sangat luas dalam
pembentukan opini dan sikap masyarakat.
Penyusunan program siaran melalui media komuikasi massa (televisi, radio, dan
film) harus diatur sangat cermat dengan menentukan prioritas sasaran yang akan dicapai.
Apakah dakwah yang disiarkan dimaksudkan untuk memperkokoh ketaqwaan dan
memperteguh keimanan atau untuk memperluas wawasan keagamaan yang menyangkut
ibadah secara ritual (hablum minallah) atau mengenai hubungan kemasyarakatan yang
menyangkut aspek sosial, ekonomi dan politik atau etika sosial dan budaya (hablun
minanas). Pimpinan dakwah harus menyadari benar tentang besarnya biaya yang
diperlukan untuk melaksanakan siaran dalam rangka dakwah, sehingga perlu
memperhitungkan secara seksama prioritas bentuk dan jenis program siaran dan pengaruh
(impact) yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, program siaran dakwah harus menghindari suasana yang
membosankan (monotonous), artinya harus dapat menarik minat khalayak ramai (public
interest). Untuk itu, harus diketahui sesuai benar dalam bentuk apa dan jenis mana siaran
yang paling sesuai untuk disajikan kehadapan umum.

66
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas dan mengingat suatu situasi dan kondisi
sasaran serta thema tertentu, maka suatu program siaran boleh jadi disajikan kepada umum
dalam bentuk pidato, interview, panel diskusi, tanya jawab dengan pemirsa atau pendengar,
pagelaran drama, musik dan lain-lain. Jenis siaran harus pula dibedakan bedasarkan
kelompok umur anak, dewasa dan orang tua atau didasarkan atas jenis kelamin laki-laki
dan wanita, bahkan dapat pula didasarkan atas kelompok perhatian dan minat (interest)
atau kelompok profesi.

3. Peranan Akhlak dalam berdakwah melalui Media Masa

Dalam era globalisasi ini, berbagai media lahir bagi menyampaikan berita kepada
orang ramai dalam bentuk media tradisional (majalah, akhbar dan sebagainya) maupun
media baru (laman sesawang, internet dan sebagainya). Secara umumnya, pengamal media
dari rakyat jelata terikat dan terpengaruh dengan ‘konsep kebebasan akhbar’ dari Barat.
Namun begitu, setiap negara mempunyai undang-undang tersendiri bagi mengawal
‘kebebasan akhbar’. Pemikiran global khususnya dari Barat telah berpegang kepada
gagasan kebebasan, liberal dan hak asasi manusia dalam menyampaikan masej (berita)
kepada orang ramai (Abdul Latif, 2012). Pada prinsipnya, konsep kebebasan komunikasi
dan maklumat menurut kepahaman Barat tidak menjaga batas-batas negara dan perbezaan
sistem-sistem budaya. Siapa saja berhak atau bebas mempunyai, menerima, menyimpan
dan menyampaikan maklumat, pendapat dan ide-ide kepada siapa saja. Teori tersebut,
mempunyai implikasi yang luas dengan berbagai nilai-nilai asing bebas memasuki nilai-
nilai budaya nasional.
Di kala ini, media massa digunakan sebagai alat penting untuk memburuk-burukkan
Islam, memutarbalikkan fakta Islam dan menghebohkan suasana sehingga Islam
ditonjolkan sebagai pengancam. Penghinaan terhadap Islam oleh media massa berlaku
dalam beberapa cara. Antara lain melalui kecaman yang langsung terhadap Rasulullah
SAW, al-Qur’an, dan prinsip-prinsip Islam. Kedua adalah dengan memutarbalikkan
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Penghinaan juga berlaku dengan membuat
tafsiran-tafsiran yang salah terhadap konsep-konsep Islam seperti jihad, poligami dan
sebagainya. Beberapa waktu lalu terdapat isu film ‘Innocent of Muslim’ yang dikatakan
jalan ceritanya menghina Rasulullah SAW. Film ini merupakan hasil arahan pengarah

67
berketurunan Israel-Amerika (menurut pengakuannya pada AP dan Wall Street Journal),
Sam Bacile alias Nakoula Basseley Nakoula, California dengan pembiayaan ongkos
produksi menelan belanja US$5 juta. Film yang berdurasi selama 14 menit yang
mengkisahkan tentang kehidupan seorang pemuda bernama Muhammad yang berperan
sebagai seorang lelaki yang ‘womanizer’ yaitu gila perempuan. Bukan itu saja, bahkan
individu yang terlibat dalam menghasilkan video ini turut menghina Al-Qur’an dan para
sahabat Rasulullah SAW. Setelah terbitnya film ini, di laman Youtube, keseluruhan umat
Islam di dunia mengutuk keras atas ideologi yang dipamerkan. Berhubung dengan
penyiaran tersebut, beberapa orang warga Amerika di mana salah seorangnya Duta
Amerika Serikat (AS) ke Libya, Christopher Stevens terbunuh di Benghazi akibat ditembak
dalam insiden dibangunan Kedutaan AS (Utusan Malaysia, 2012). Dapat dilihat intisari
film ini didasarkan kepentingan pihak tertentu dan berbentuk provokasi terhadap umat
Islam agar bertindak menangani krisis ini berdasarkan hawa nafsu berbanding kepribadian
yang mulia.
Rasulullah SAW adalah seorang manusia agung dan terpuji yang harus diikuti oleh
segenap lapisan masyarakat, karena Bagindalah contoh tauladan yang terbaik. Kehidupan
Baginda memaparkan bagaimana kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT. Namun begitu,
dibalik akhlak terpuji dan indah yang dipamerkan oleh Rasulullah SAW, masih ada
manusia ataupun golongan kafir yang menghina Baginda demi kepentingan diri dan
pemahaman yang tertentu.
Namun begitu, media massa merupakan wahana yang paling berkesan untuk
menyampaikan informasi dan maklumat terkini kepada khalayak ramai. Kemunculan
berbagai bentuk dan saluran media massa, kini sama ada media cetak atau elektronik
membuktikan perkembangan yang sangat pesat ilmu pengetahuan dalam sebuah
masyarakat. Di sinilah yang harus kita bangun yaitu sebuah akhlak yang mulia yang
mensyiarkan agama Islam melalui media massa dengan akhlak yang dicontohkan Baginda
Nabi Muhammad SAW.
Penggunaan internet yang meluas melalui blog massa semakin mempercepat
penyebaran informasi di kalangan masyarakat. Media massa memainkan peranan dan
tanggungjawab yang penting serta amanah yang sangat berat dalam menyampaikan
maklumat yang benar, tepat dan berfaedah kepada masyarakat. Bukan itu saja maklumat

68
yang disebarkan oleh media massa juga perlu mendidik masyarakat ke arah kebaikan dan
kemungkaran.
Rasulullah SAW telah meletakkan beberapa prinsip dalam penyampaian dan
penerimaan suatu berita. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
maksudnya: “Siapa yang menyampaikan daripadaku hadis yang kelihatan dusta maka dia
merupakan salah seorang pendusta”. Sikap berhati-hati para sahabat seterusnya tabi’in
dalam menerima sesuatu berita membawa kepada perkembangan pesat ilmu ini yang
kemudian dikenal sebagai sistem sanad (Faisal, 2009). Ketelitian para sahabat dan tabi’in
jelas menunjukkan kepekaan dan keperihatinan mereka yang tinggi terhadap kualitas suatu
berita. Islam meletakkan beberapa prinsip dan kaedah dalam penyampaian dan penerimaan
suatu berita. Antaranya:
Prinsip pertama, berita yang disampaikan berdasarkan kepada prinsip kebenaran
dengan disokong oleh fakta dan bukti yang jelas. Berita yang disampaikan atas dasar
sangkaan, kabar angin ataupun pendustaan atau penipuan mesti ditolak sama sekali. Karena
berita seperti ini sudah tentu akan membawa perpecahan di kalangan umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda melalui riwayat Ibn Mas’ud sebagaimana yang terdapat dalam
Sahih al-Bukhari dan Muslim: “sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebaikan dan
kebaikan itu membawa kepada Surga.”
Prinsip kedua, media massa hendaklah mendukung al-amru bi al-ma’ruf wa al-
nahy’an al-munkar. Media massa harus memainkan peranan mereka yaitu mendidik
masyarakat kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Terdapat banyak program-
program atau slot-slot berbentuk agama, motivasi dan informasi disiarkan atau dipaparkan
di media massa pada masa kini yang menyeru kepada kebaikan dan akhlak yang murni.
Namun realitinya, program-program yang menyeru kepada kemungkaran, berita-berita
yang melalaikan dan gambar-gambar yang mengasyikkan lebih banyak disiarkan.
Program-program yang melalaikan inilah yang lebih menarik minat para pembaca,
pendengar, dan penonton seterusnya memberi kesan yang buruk dalam kehidupan mereka.

69
Peran Manajemen Dalam Dakwah

Oleh: Selvi Claudia Rahmatika

1. Definisi Manajemen
M. Munir dkk. (2004: 9) secara etimologis, kata manajemen berasal dari bahasa Inggris
“Management”, yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, dan pengelolaan. Artinya
manajemen adalah sebagai suatu proses yang diterapkan oleh individual atau kelompok dalam
upaya-upaya koordinasi untuk mencapai suatu tujuan. Dalam buku Drs. Ek. Mochtar Effendy
(1986:9) dikatakan, kata manajemen berasal dari bahasa Inggris dari kata kerja “To Manage”
yang sinonimnya antara lain “To Hand” yang berarti mengurus, ”To Control” memeriksa, “To
Guide” memimpin jadi, apabila hanya dari asal katanya, manajemen berarti pengurusan,
pengendalian, memimpin atau membimbing.
Dalam bahasa Arab, istilah manajemen diartikan sebagai “An-Tanzim” yang
merupakan suatu tempat untuk menyimpan segala sesuatu pada tempatnya. Pengertian
tersebut dalam skala aktivitas menerbitkan, mengatur dan berfikir yang dilakukan oleh
seseorang sehingga mampu mengemukakan, menata, dan merapikan segala sesuatu yang ada
disekitarnya, mengetahui prinsip-prinsipnya serta menjadikan hidup selaras dan serasi dengan
yang lainnya.
Sedangkan secara terminologi, menurut Jame A.F. Artoner yaitu sebuah proses
perencanaan, pengorganisasian, pengaturan terhadap para anggota organisasi serta
penggunaan seluruh sumber-sumber yang ada secara tepat untuk meraih tujuan organisasi
yang sudah diterapkan. Ada pula yang mengartikan manajemen adalah usaha dan kegiatan
untuk mengombinasikan unsur-unsur manusia (men), barang (metrial), uang (money), mesin-
mesin (mechanes), dengan metode (method) yang dapat disingkat 5 M.39
Manajemen adalah aktifitas untuk mengatur penggunaan sumber daya bagi
tercapainya tujuan organisasi secara efektif. Pimpinan yang mengatur aktifitas disebut
manager dan anggota yang terlibat dalam pelaksanaan disebut staf manajemen.40

39
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali pers,2012), h.283-284.
40
Hemlan Elhany, Ilmu Dakwah, (STAIN Jurai Siwo Metro,2010), h.116.

70
2. Unsur-unsur Manajemen
Unsur-unsur manajemen adalah apa-apa yang terkandung dalam manajemen. Sedangkan
menurut para ahli sebagai berikut:
a) Henry Fanyol (1916), dalam bukunya General and Industrial Management mengatakan
bahwa kegiatan managerial activites (kegiatan manajemen) terdiri : planning
(perencanaan), organizing (pengorganisasian), Commanding (pengomandoan),
coordinating (pengoordinasian) dan controling (pengkontrolan).
b) George R. Terry (2006), dalam bukunya Principles of Management mengatakan bahwa
manajemen itu terdiri dari : Planning (pengorganisasian), Organizing (pengorganisasian),
Actuiting (pergerakan), controling (pengawasan).

3. Manajemen Dakwah
Jika aktivitas dakwah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen, maka
citra profesional dalam dakwah akan terwujud pada kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
dakwah tidak dipandangn dalam objek ubudiyah saja, akan tetapi diinterpretasikan dalam
berbagai profesi. Inilah yang dijadikan inti dari peraturan secara manajerial organisasi
dakwah, sedangkan efektivitas dan efesiensi dalam penyelenggaraan dakwah adalah suatu hal
yang harus mendapatkan prioritas. Aktivitas dakwah dikatakan berjalan efektif jika apa yang
menjadi tujuan benar-benar dapat dicapai, dan dalam pencapaiannya dikeluarkan
pengorbanan-pengorbanan yang wajar.41
Manajemen dakwah sebagai proses perencanaan tugas, mengelompokkan tugas, dan
kemudian menggerakan kearah pencapaian tujuan dakwah.42
Lima fungsi manajemen yang sekaligus menjadi urutan proses pelaksanaan manajemen,
yaitu Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), command (perintah),

41
Wahidin Saputra,Ibid,hh.286-287.
42
Abd. Rosyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),h.123.

71
Coordination (koordinasi), Control (pengawasan). Lima faktor ini menjadi penentu dan
pelaksanaan manajemen tanpa memandang apapun yang menjadi tujuan sesuatu organisasi.43

o Perencanaan Dakwah
Rencana adalah suatu arah tindakan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam
perencanaan akan ditetapkan tentang tujuan organisasi yang ingin dicapai. Setiap segala
sesuatu itu membutuhkan rencana, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW:
“Jika anda ingin mengerjakan suatu pekerjaan, maka pikirkanlah akibatnya, maka jika
pekerjaan itu baik ambillah dan jika pekerjaan itu buruk, maka tinggalkanlah.”(HR. Abnu
Al-Mubarak).
o Pengorganisasian Dakwah
Pengorganisasian atau “Al-Thanzim” dengan pandangan Islam bukan semata-mata
merupakan wadah, akan tetapi lebih menekankan bagaimana pekerjaan dapat dilakukan
secara rapi, teratur, dan sistematis. Terdapat dalam QS AL-Shaff (61): 4;
‫ص‬
ٌ ‫ص ْو‬ ٌ
ُ ‫بنيان مر‬ ‫انَّاهلل يُحبُّ الذين يُقاتِلونَ في سبيله صفّاًكاَنهم‬
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan
berbaris seolah-olah mereka itu suatu bangunan yang tersusun.
Ada dua poin yang harus diperhatikan dalam pengorganisasian, yaitu :
 Organizational Design (desain organisasi)
 Organizational Structure (struktur organisasi)

4. Prinsip-prinsip Dasar Organisasi dan Manajemen Dakwah


 Prinsip konsolidasi, Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap organisasi dakwah
harus selalu dalam keadaan mantap dan stabil, jauh dari konflik, dan terhindar dari
perpecahan, baik lahiriah maupun batiniah. (Q.S. Al-Imran (3): 103).
 Prinsip kordinasi, Prinsip berarti organisasi dakwah harus mampu memperlihatkan
kesatuan gerak dalam satu komando. Ketertiban dan keteraturan merupakan ciri hasnya.
(Q.S. Al-Shaff: 14).

43
H. Zaini Muchtarom, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, Al-Amin, Yogyakarta, 1996, cet 1, h.35.

72
 Prinsip tajdid, (Q.S. Al-Mujadalah : 11)
 Prinsip Ijtihad, (Q.S. Al-Ankabut : 69)
 Prinsip pendanaan dan kaderisasi, (Q.S. Al-Fath : 29)
 Prinsip komunikasi, setiap organisasi dakwah pengelolaannya harus komunikatif dan
persuasif karena dakwah itu sifatnya mengajak bukan mengejek, dakwah itu harus sejuk
dan memikat. (Q.S. Az-Zumar : 18).
 Prinsip Tabsyir dan taisir, kegiatan dakwah harus dilaksanakan dengan prinsip
menggembirakan dan mudah. Menggembirakan berarti ada nilai yang membawa hati
menjadi senang dan tenang, membuka cakrawala dan wawasan yang mencarikan jalan
keluar dari kesulitan. (Q.S. Saba’: 28).
 Prinsip integral dan komprehensif
Pelaksanaan dakwah tidak hanya terpusat dimasjid atau di lembaga-lembaga keagamaan
semata, akan tetapi harus terintegrasi dalam kehidupan umat dan menyentuh kebutuhan
dan menyeluruh dari segenap strata sosial masyarakat, baik birokrat atau penguasa
maupun lapisan elite ekonomi dan masyarakat marginal. (Q.S. Al-Anbiya’: 107).
 Prinsip penelitian dan pengembangan, (QS Al-kahfi : 13 dan 14) serta (Q.S. Ar-Rahman
: 33).
 Prinsip sabar dan istiqomah, (Q.S. Fushilat : 30).

5. Bentuk-bentuk organisasi dakwah


a. Organisasi garis
Bentuk ini menjelaskan bahwa kekuasaan pimpinan langsung kepada kepala bagian dan
kemudian staff.
b. Organisasi garis dan staff
Bentuk ini merupakan kombinasi pemberdayaan antara pengawasan langsung oleh atasan
kepada bawahan dan spesialisasi bagi staff dalam organisasi tersebut.
c. Organisasi fungsional
Pada bentuk organisasi seperti ini masing-masing kepala bagian adalah spesialis dan para
staff masih dikendalikan oleh beberapa pimpinan.
d. Organisasi komite
Organisasi komite merupakan asas “Braintorming”.

73
e. Organisasi matriks
Organisasi ini biasa disebut dengan organisasi manajemen proyek, yaitu struktur
pengorganisasian yang spesialisasi antar bagiannya dipadukan untuk melaksanakan
aktivitas tertentu.

6. Tujuan pengorganisasian
a) Membagi kegiatan-kegiatan dakwah menjadi departemen-departemen atau divisi-divisi
dan tugas-tugas yang rinci dan spesifik.
b) Membagi kegiatan dakwah serta tanggung jawab yang berkaitan dengan masing-masing
jabatan atau tugas dakwah.
c) Mengoordinasikan berbagai tugas organisasi dakwah.
d) Mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan dakwah dalam unit-unit.
e) Membangun hubungan dikalangan da’i, baik secara individual, kelompok dan departemen.
f) Menetapkan garis-garis wewenang formal.
g) Mengalokasikan dan memberikan sumber daya organisasi dakwah.
h) Dapat menyalurkan kegiatan-kegiatan dakwah secara logis dan sistematis.

7. Aspek Penggerakan Dakwah


a. Ar-Ruhiyah (spiritual)
b. Al-faikriyah (Pemikiran)
c. Al-Maliyah (material)
d. Al-Maidaniyah (Penguasaan lapangan)
e. Al-Harakiyah (gerakan dakwah)

8. Pengendalian dan Evaluasi Dakwah


Penggunaan prosedur pengendalian dapat dimaksudkan sebagai sebuah kegiatan
mengukur penyimpangan dari prestasi yang direncanakan dan menggerakkan tindakan
korektif. Pada era sekarang ini pengendalian operasional dakwah dilakukan terintegrasi dari
suatu organisasi dakwah sudah menjadi suatu kebutuhan, dan dalam pengendalian ini selalu

74
disertakan unsur perbaikan yang berlangsung secara berkesinambungan (continous
improvement).
Program pengendalian dakwah:
a. Menentukan program pengendalian dan perbaikan aktivitas dakwah.
b. Menjelaskan mengapa operasi program itu dipilih.
c. Mengkaji pemantauan yang kondusif.
d. Menentukan rencana perbaikan.
e. Mengevaluasi program perbaikan tersebut.44

9. PROSES MANAJEMEN DAKWAH


Pemanfaatan tenaga dan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi dakwah
melalui serangkaian kegiatan merupakan proses manajemen. Rangkaian tersebut terbagi
dalam empat fungsi.
Pertama, menentukan pekerjaan apa saja yang akan dilaksanakan oleh para anggota organisasi
dan bagaimana cara melaksanakannya serta kapan setiap pekerjaan itu harus diselesaikan.
Kegiatan ini juga membuat perhitungan mengenai dana yang digunakan untuk membiayai
setiap pekerjaan yang akan dilakukan. Aktivitas ini disebut planning sebagai fungsi pertama
dalam manajemen.
Kedua, membagi pekerjaan yang telah ditetapkan tersebut kepada para anggota organisasi
sehingga pekerjaan terbagi habis kedalam unit-unit kerja. Pembagian pekerjaan ini disertai
pendelegasian kewenangan masing-masing melaksanakan tugasnya secara
bertanggungjawab. Untuk mengatur urutan jalannya arus pekerjaan perlu dibuat ketentuan
mengenai prosedur dan hubungan kerja antar unit. Kegiatan seperti ini disebut
Pengorganisasian sebagai fungsi kedua dari manajemen.
Ketiga, setelah setelah perencanaan disusun dan pekerjaan telah terbagi, maka langkah
selanjutnya yang dilakukan oleh manajer adalah menggerakan orang-orang untuk melakukan
pekerjaan secara efektif dan efesien berdasarkan perencanaan dan pembagian tugas masing-
masing. Untuk menggerakan orang-orang tersebut diperlukan tindakan untuk komunikasi,
memberikan motivasi, memberikan perintah, memimpin pertemuan, dan meminta laporan.

44
Wahidin Saputra,Op.Cit,h

75
Langkah-langkah manajer untuk menggerakkan organisasi sehingga berjalan kearah tujuan
yang ingin dicapai biasa disebut penggerak (actuating).
Keempat, selama organisasi bergerak menurut perintah dan petunjuk yang telah diberikan
maka selama itu pula manajer melaksanakan pengawasan agar aktifitas organisasi berjalan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.45

45
H. Zaini Muchtarom,Ibid,hh.120-121

76
Etika Berdakwah Dalam Toleransi Beragama

Oleh: Nubdzatus Saniyah

A. Pengertian Etika dan Toleransi


 Etika
Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar atau salah. Etika adalah jiwa atau
semangat yang menyertai suatu tindakan. Dengan demikian etika dilakukan oleh
seseorang untuk perlakuan yang baik agar tidak menimbulkan keresahan dan orang lain
menganggap bahwa tindakan tersebut memang memenuhi landasan etika. 46
Baik dan buruk berhubungan dengan kemanusiaan dan sering dikaitkan dengan
perasaan dan tujuan seseorang, tidak berlaku umum dan merata. Seorang yang
menganggap suatu perbuatan itu baik, belum tentu dianggap baik pula oleh orang lain,
tergantung pada kebiasaan yang dipakai oleh tiap-tiap kelompok. Meskipun demikian,
etika berlainan dengan adat, karena adat hanya memandang lahir, melihat tindakan yang
dilakukan, sementara etika lebih memperhatikan hati dan jiwa orang yang melakukan
dengan maksud apa dilakukan.
 Toleransi
Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu: “tolerance” berarti sikap
membiarkan, mengakui, dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan
persetujuan.47 Bahasa arab menterjemahkan dengan “tasamuh”, berarti saling
mengizinkan, saling memudahkan. Toleransi mengandung konsesi.48Artinya, konsesi
adalah pemberian yang hanya didasarkan kepada kemurahan dan kebaikan hati, dan
bukan didasarkan kepada hak. Pendapat lain mengatakan; Toleransi adalah istilah dalam
konteks sosial, budaya, dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang
adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat

46
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, ( Jakarta:Amzah ), 2009, hal.240.
47
Marcus Braybrooke, Pilgrimage of Hope, SCM Pess Chicago,1992: 35-36.
48
Emil Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, New York, The Free Preess, 1995, hlm. 2.
77
diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah, toleransi beragama,
di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-
agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi
"kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain.
Hingga saat ini, masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi,
baik dari kaum liberal maupun konservatif.49

B. Etika beragama dan Toleransi beragama


 Etika beragama
Nilai moral yang merupakan nilai etika tersebut bersifat berubah-ubah sesuai dengan
persetujuan dari pada nilai-nilai dasar yang dipandang sebagai nilai alamiah (universal),
etika bersifat teoritis yang memandang perbuatan manusia. 50
Dalam membangun etika kehidupan beragama terdapat 5 aspek penting, diantaranya:
1. Membangun kerukunan hidup antar umat beragama
2. Peran serta umat beragama dan kehidupan social ekonomi
3. Terpenuhinya sarana prasarana keagamaan
4. Pendidikan agama
5. Penerangan dakwah agama
Etika membangun kehidupan beragama di masyarakat :
1. Dasar-dasar etika dapat dikembangkan dengan mengambil sifat-sifat utama
Rasulullah SAW, dalam mengembangkan ajaran islam di tanah Mekah dan Madinah.
2. Untuk landasan etika kehidupan kita
- Memegang amanah dengan kuat
- Jujur (Shidiq)
- Tabligh (Menyampaikan dengan transparan)
- Fathanah (Cerdas dan Intelek)
 Memelihara Etika Manusia Berlandaskan Kaidah Agama

49
Wikipedia.Com or blog Islamic science 08 juni 2015.
50
http://rahmahtira.blogspot.com/2014/01/sikap-dan-etika-dalam-beragama.html (08 juni 2015)

78
Manusia tanpa etika seringkali memiliki kelakuan yang abnormal yang sering kita
sebut gangguan mental. Fungsi mental dan pengaruhnya pada ketidakwajaran dalam
berperilaku ini sesuai dengan Al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah 2: 10)
َ‫ًاولَ ُه ْمعَذَابٌأ َ ِلي ٌمبِ َماكَانُوا َي ْك ِذبُون‬
َ ‫ضفَزَ ادَ ُه ُماللَّ ُه َم َرض‬
ٌ ‫فِيقُلُوبِ ِه ْم َم َر‬

“Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka
siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Yakni, keyakinan mereka terdahap
kebenaran Nabi Muhammad SAW lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan
kedengkian, iri hati dan dendam terhadap Nabi SAW., agama dan orang-orang Islam.”

Banyak diantara kita selaku umat beragama, tidak sadar akan keberagamaan kita,
keberagamaan secara etika sosial. kebanyakan umat beragama hanya mendalami tentang
korelasi transendental dengan Tuhannya, ataupun segala sesuatu tentang agama yang
sifatnya "Eksklusif", sehingga praktek beragama atau keberagamaan seseorang akan
terlihat ketika dia beribadah saja, atau ketika seorang beragama tersebut berdakwah, atau
ketika membela agamanya di ranah publik.
Praktek beragama seperti itu bukanlah inti atau esensi dari keberagamaan yang
sesungguhnya, karena esensi agama adalah hubungan sosial, kemanusiaan, dan
perdamaian, yang perwujudannya adalah saling menghormati dan menerima keberadaan
golongan lain bahkan agama lain sekalipun, tanpa adanya rasa curiga atau perlawanan
terhadap agama atau keyakinan yang lain. Hal ini diaplikasikan oleh paham pluralisme,
yang menerima semua keyakinan beragama.
 Toleransi beragama
Toleran maknanya adalah bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian,
pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana
penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama
lainnya.
Dalam beragama pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah, Tuhan,
God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang
dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya

79
pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para Nabi dan
Rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman atau itikad, yang
kemudian berdampak pada adanya rasa suka, takut, hormat, dan lain-lain, itulah unsur
dasar agama. Agama adalah tata-cara hidup manusia yang dipercayai bersumber dari
Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang
mengatur kehidupan manusia, yang tertera di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi
(yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya)
yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama memiliki fungsi dalam kehidupan
manusia, diantaranya:
a) Menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati;
b) Menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan
c) Mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama telah
memiliki strategi, metode dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang
mengakibatkan boleh terjadinya perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya tidak boleh sampai terjadi
perpecahan yang akhirnya akan merugikan diri mereka sendiri dan agama yang mereka
percayai. Untuk menghindari terjadinya perpecahan dan supaya kita dapat berperilaku
toleran, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Kembali kepada Fitrah Beragama
Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca untuk fitrah beragama, yaitu
toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok (akidah) dalam beragama.
Toleransi atau toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang
sangat berat bagi pribadi yang belum terbiasa dan belum menyadarinya. Padahal
perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan
membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang. Toleran dalam
kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama
dalam kehidupan umat manusia ini.

80
Dalam kaitan ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia yang terkandung
dalam Q.S. Al-Imran: 103 “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan
janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang
intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama
maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu
memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah
menciptakan agama-agama untuk umat manusia. Tegakkanlah agama dan jangan
terpecah belah dalam beragama, merupakan dasar perilaku umat manusia dalam
beragama.
2. Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan merupakan keyakinan pokok
dalam beragama, hal itu dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan
sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan,
yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang
memiliki nilai itu.
Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan
perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang
menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk
mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat
dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan
dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian
sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Sifat
dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan
dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan
yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga.
3. Toleran dan Prinsip Hidup
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus
membuang prinsip hidup beragama yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru
akan menguatkan prinsip hidup keagamaan yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas

81
dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang
nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita,
sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap
sikap dan keyakinannya.

C. Etika di dalam berdakwah


1. Kode etik dakwah Nabi
 Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan. Hendaknya tidak memisahkan
antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia kerjakan.
 Tidak melakukan toleransi agama. Toleransi memang dianjurkan tetapi hanya
dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (keyakinan).
 Tidak menghina sesembahan non muslim. Da’i menyampaikan ajarannya sangat
dilarang untuk menghina atau mencerca agama lain.
 Tidak melakukan Diskriminasi Sosial. Semua harus mendapatkan perlawanan yang
sama. Karena keadilan sangatlah penting dalam dakwah Islam. Da’i harus
menjunjung tinggi hak universal.
 Tidak meminta imbalan.
 Tidak berteman dengan pelaku maksiat dan dikhawatirkan akan berdampak buruk
atau serius. Karena beranggapan bahwa seakan-akan perbuatan maksiatnya direstui
oleh dakwah. Di sisi lain integritas dakwahnya berkurang.
 Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak di ketahui. Da’i yang menyampaikan suatu
hukum, sementara ia tidak mengetahui hukum itu, ia pasti akan menyesatkan
umat.51
Beberapa perilaku etika yang berlaku dalam masyarakat, hendaklah dipahami oleh
setiap Da’i atau mubaligh dalam melakukan aktivitas dakwahnya. Sehingga dengan
demikian, aktivitas dakwah akan berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan keresahan
dan benturan-benturan baik di kalangan antar Da’i maupun di kalangan masyarakat pada
umumnya, karena Da’i bukanlah provokator. Etika dan kode etik dalam melaksanakan
dakwah hendaknya tetap dipertahankan oleh para aktivis dakwah, sehingga aktivitas
dakwah akan menuai simpatik.

51
AS, Enjang dan Hajir. 2009. Etika Dakwah. Bandung: Widya Padjajaran:136-142

82
D. Perwujudan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama
Perwujudan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama direalisasikan
dengan cara:
Pertama, setiap penganut agama mengakui eksistensi agama-agama lain dan menghormati
segala hak asasi penganutnya.
Kedua, dalam pergaulan bermasyarakat setiap golongan umat beragama menampakan
sikap saling mengerti, menghormati dan menghargai. Toleransi positif adalah toleransi
yang ditumbuhkan kesadaran yang bebas dari segala macam bentuk tekanan atau pengaruh
serta terhindar dari hipokrisi.
Oleh karena itu, pengertian toleransi agama adalah pengakuan adanya kebebasan
setiap warga untuk memeluk agama yang menjaga keyakinannya dan kebebasan untuk
menjalankan ibadahnya. Toleransi agama meminta kejujuran, kebesaran jiwa,
kebijaksanaan dan tanggung jawab, sehingga menunjukan perasaan solidaritas dan
mengeliminir egoistis golongan. Toleransi hidup beragama itu bukan suatu campur aduk,
melainkan terwujudnya ketenangan, saling menghargai bahkan lebih dari itu, antar
pemeluk agama harus dibina gotong royong di dalam membangun masyarakat kita sendiri
an demi kebahagiaan dari tujuan bersama, sikap permusuhan, sikap prasangka harus
dibuang jauh-jauh; diganti dengan saling menghormati dan menghargai setiap penganut
agama-agama.
Membicarakan tentang bentuk kerukunan antar umat beragama tidak dapat
dilepaskan kaitannya dari teori golongan; Menurut Von Weise (1867) golongan agama
adalah golongan gaib atau golongan abstrak, Maksud golongan gaib adalah golongan
dalam bentuk hasil hidup yang berdasarkan paham. Persatuan dalam golongan agama
sebagai golongan gaib diikat oleh hubungan batin antara anggotanya yang menjadikan
golongan itu sebagai golongan kekal, karena yang melihat dan yang menerima agama
bukan sebagai suatu yang membosankan, melainkan sebagai penggerak (spirit) yang hidup
dan menggetarkan seluruh jiwa dan tubuhnya serta mempunyai pengaruh besar terhadap
anggota-anggotanya.
Golongan agama berpegang kepada doktrin mutlak (wahyu Tuhan) yang dijadikan
sebagai landasan pertimbangan dalam cara berfikir, segala ucapan perbuatan dan tindakan

83
dari sudut sosiologi akan dipandang terpuji. Apalagi jika mempertanggungjawabkan
kebebasan berfikir dan menghilangkan rasa takut serta bimbang dalam menghadapi
kehidupan, dan menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan dalam masyarakat.
Agama akan kehilangan fungsi, bila penganutnya hanya mencurahkan perhatian
kepada ilmu pengetahuan saja, sehingga kehidupan penganut itu kehilangan nilai dan
makna. Tujuan agama tidak lain adalah untuk menjadikan kehidupan penganutnya bernilai
dan bermakna. Dengan perkataan lain, bila manusia hidup tanpa agama, berarti ia hidup
tanpa nilai dan makna.
Konsekuensi peganut agama mengandung dua pengertian kewajiban dan
tanggungjawab. Pertama, kewajiban tanggung jawab secara vertikal, yaitu kewajiban dan
taggung jawab secara langsung antar pribadi dengan Tuhannya. Kedua, tangung jawab
secara horizontal, dengan memfungsionalkan ajaran agama dan kehidupan bermasyarakat
dalam bentuk pegaulan. Direalisasikan dengan berbagai jenis hubungan. Walaupun pada
lahirnya merupakan hubungan antara manusia dengan sesamanya, namun hakikatnya tidak
berbeda dengan kewajiban dan tanggung jawab pertama, yaitu sama-sama karena dan
untuk Allah SWT.52
Pada kewajiban kedua, pemberi perintah tidak memberi pedoman dasar pelaksanaan.
Ia hanya memberikan perintah saja. Namun, walaupun tidak diberikan pedoman dasar,
apabila tidak dilaksanaan akan mendapat resiko atau dosa. Dalam konteks seperti ini Allah
menyuruh umat manusia untuk mempergunakan akal pikiran (ijtihad).
Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama
merupakan bagian usaha menciptakan kemaslahatan umat serta kelancaran hubungan
antara manusia yang berlainan agama, sehingga setiap golongan umat beragama dapat
melaksanakan bagian dan tuntutan agama masing-masing. Menurut Harun Nasution,
toleransi beragama mencakup tiga macam konsep, yaitu toleransi beragama antarumat
beragama, toleransi intern umat beragama, dan toleransi antara umat beragama dengan
pemerintah. Menurut Nasution, toleransi beragama antarumat beragama berarti kondisi
sosial yang memungkinkan semua penganut agama bisa hidup bersama-sama tanpa

52
Burhanuddin Daya, Hubungan Antaragama, dalam ed. M. Amin Abdullah dkk., Antologi Study Islam, Teori dan
Metodologi, DIP PTA IAIN Sunan Kali Jaga, 2000, hlm. 120.

84
mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya, hidup
sebagai penganut agama yang baik dalam keadaan damai.
Dari sini, pemikiran Nasution masih relevan dengan kehidupan sekarang.
Sebagaimana diketahui bahwa beberapa waktu lalu terjadi kasus perusakan terhadap
tempat-tempat kegiatan aliran Ahmadiyah, demikian pula peledakan bom di tempat
peribadatan seperti gereja dianggap sebagai persoalan sentimen keagamaan. Hal ini
dipandang kurangnya toleransi dalam beragama. Atas dasar itu pemikiran Nasution masih
relevan dengan kehidupan sekarang.
Dalam hubungan toleransi beragama dengan dakwah, bahwa dakwah dalam
hubungannya antara umat seagama dapat dilakukan dengan berupaya agar Mad'u
memahami bahwa perbedaan pendapat dalam aliran dan mazhab merupakan sesuatu yang
tidak bisa dihindari. Dengan demikian, tidak bisa satu aliran atau mazhab mengklaim
sebagai yang paling benar. Sedangkan pelaksanaan dakwah dalam hubungannya antar
umat beragama, dakwah diupayakan untuk meyakinkan Mad'u bahwa dalam beragama
harus menghargai dan menghormati agama yang berbeda karena Nabi Muhammad pun
sangat menghargai agama lain selain Islam.53
Secara teorotis, setiap agama bertujuan untuk menyelamatkan manusia di dunia dan
akhirat. Setiap umat wajib menyampaikan pesan agama kepada pemeluknya agar mereka
taat terhadap agama yang dipeluknya, tetapi bukan berarti, kita harus memaksakan agar
orang lain ikut kepada kita. Demokratisasi dalam agama harus dibangun untuk menjaga
etika kehidupan masyarakat yang secara riil saling membutuhkan dan saling berhubungan.
Dengan demikian, dakwah sebenarnya merupakan kewajiban bagi setiap orang yang
beragama. Dalam realitas kehidupan, orang yang taat beragama bahkan juru dakwah
seringkali bersifat ekstrem dan dan radikal dalam agama. Mаrk-mаrk agama seringkali
digunakan, bahkan seringkali politisasi agama dilakukan hanya untuk mencapai tujuan
yang sifatnya temporal. Organisasi keagamaan seharusnya tidak menggunakan mаrk
agama dalam berdakwah, terutama dalam kaitanya dengan Negara dan masyarakat secara
luas, apalagi mempolitisasi agama. Dakwah bernuansa toleran, khususnya kepada agama
lain, di dalam Al-Quran Surat An-Nahl ayat 125, Allah memberikan pijakan dalam
berdakwah yang dilakukan dengan Hikmah. Artinya, dakwah harus dilakukan tanpa

53
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Penilaian, JTPTIAIN Fakultas Dakwah IAIN Wali Sanga.

85
kebencian, kedengkian, permusuhan, dan menghancurkan obyek dakwah. Secara etika,
umat Islam tidak diperkenankan menghancurkan gereja, pure, dan tempat ibadah lainnya.
Demikian juga, umat Islam tidak diperkenankan menyampaikan materi yang nuansanya
mengantarkan kebencian dan permusuhan kepada pihak lain.
Konsep ini menjadi perilaku Walisongo ketika menyampaikan nilai-nilai Islam.
Masjid-masjid banyak yang dibangun berdampingan dengan gereja dan pure. Nuansa yang
dikembangkan adalah cinta kasih dan saling membantu. Dalam konteks sekarang, mungkin
umat Islam dan umat agama lain secara bersama-sama bisa berdialog dalam rangka
membangun solidaritas dan kemanusiaan untuk mencari titik temu persamaan, bukan
memperdebatkan dan mempermasalahkan perbedaan. Di samping itu, umat Islam yang
masuk dalam sekat-sekat organisasi perlu bekerjasama dalam rangka membangun
hubungan harmonis dan damai.
Dilakukan dengan Mauizah Hasanah. Artinya, dakwah disampaikan tidak
berdasarkan apologi dan apriori. Konsep yang sangat netral dalam agama adalah bahwa
setiap agama adalah benar, bukan agama yang dipeluknya benar dan agama lain adalah
salah atau sesat. Meskipun demikian, keyakinan bahwa agama yang dipeluk adalah lebih
benar jika dijadikan pegangan. Dakwah dengan mauizah hasanah juga dilakukan dalam
hubunganya dengan organisasi keislaman, jangan sampai terjadi pengklaiman dalam
organisasi. Dilakukan dengan Mujadalah, artinya dakwah dilakukan dengan tindakan yang
rasional, dialogis, dan argumentative. Interaksi wacana dan keilmuan perlu dikedepankan
agar tidak terjadi taklid buta. Jika perlu, interaksi tersebut multiagama dan organisasi.
Pemahaman terhadap agama secara menyeluruh perlu diberikan sesuai kebutuhan mereka.
Tiga konsep dasar di atas akan melahirkan demokratisasi agama dalam pengamalan.
Perbedaan dalam memeluk agama dianggap wajar dan merupakan Sunnatullah. Bahkan
merupakan anugerah Allah. Dengan demikian, tuntunan melaksanakan agama atau ajaran
kepada orang lain dalam berdakwah tidak muncul. Lebih dari itu, kompetisi dalam
kebaikan menjadi ajang yang harus dilestarikan, baik dalam satu agama maupun beda
agama.54

54
Admin, Posted On 12 Mar, 2012. Wikipidea.com. or http://irza-putra.blogspot.com/2014/12/toleransi-antar-
umat-beragama-dalam.html (08 juni 2015)

86
Etika Dakwah
Oleh: Meidiana Utami

A. Etika dalam berdakwah


1. Pengertian Etika Dan Dakwah

Etika berasal dari kata ethos yaitu untuk suatu kehendak baik yang tetap. Etika
berhubungan dengan soal baik atau buruk, benar, atau salah. Etika adalah jiwa atau
semangat yang menyertai suatu tindakan. Dengan demikian, etika dilakukan oleh seorang
untuk perlakuan yang baik agar tidak menimbulkan keresahan dan orang lain menganggap
bahwa tindakan tersebut memang memenuhi landasan etika.

Dakwah adalah suatu usaha dalam rangka proses Islamisasi manusia agar taat dan tetap
mentaati ajaran Islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Dakwah adalah suatu istilah yang khusus yang dipergunakan di dalam agama Islam.

2. Macam macam etika dalam berdakwah

Beberapa etika dalam berdakwah yang hendaknya di lakukan oleh para juru dakwah
dalam melakukan dakwahnya antara lain sebagai berikut:

a. Sopan

Sopan berhubungan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku secara umum
dalam tiap kelompok. Suatu kebiasaan yang berlaku secara umum dalam tiap
kelompok. Suatu pekerjaan dianggap tidak sopan, tatkala bertentangan dengan norma-
norma yang berlaku di suatu komunitas.
Standar atau ukuran suatu kesopanan bagi masing-masing komunitas tidak
sama. Masing-masing memiliki standar sendiri, akan tetapi aturan yang berlaku umum
dapat dijadikan rujukan dalam menentukan suatu standar kesopanan.

87
Kesopanan harus kita pelihara dalam perbuatan dan pembicaraan. Sesuatu yang
kita lahirkan di dalam dan di luar pembicaraan, cara mengenakan pakaian, harus dijaga
serapi mungkin, sehingga tidak melanggar norma-norma tertentu dan tidak
membosankan. Gerak-gerak yang tetap dan berulang-ulang akan membosankan bagi
penerima dakwah. Sekali-kali seorang Da’i harus berlainan dalam melakukan gerak
gerik, seperti memandang ke depan, ke kiri, ke kanan atau ke belakang dalam batas-
batas kesopanan dengan tetap memperhatikan respon dari pembicaraan yang
diucapkan. Cara berpakaian dan bentuk pakaian yang dikenakan harus dijaga sebaik
mungkin, tidak mencolok, dan tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat
setempat.
Yang perlu diingat oleh Da’i adalah ia bertindak sebagai mubaligh yaitu
penyampaian ajaran kebenaran Islam, bukan sebagai peragawan atau peragawati
ataupun model. Karena itu kesopanan dan kepantasan menjadi hal yang harus
dipertimbangkan oleh Da’i dalam melakukan aktivitas dakwahnya. Cara berpakaian
dan cara berbuat yang meskipun bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, tetapi
masih dapat diterima kehadirannya, yaitu dalam unsur propaganda yang disebut
“Flain fleks device”, yaitu berbuat yang sebagai biasa dilakukan oleh rakyat biasa.
Umpamanya seorang Da’i mengenakan kain sarung dan berpeci dalam suatu acara
umum. Akan tetapi, hal itu harus dilakukan dalam batas-batas tertentu, sehingga
perhatian kepada pakaian yang dikenakan tidak boleh lebih besar dari pada perhatian
kepada isi ceramah Da’i atau mubaligh tersebut.
Tindakan dan sikap yang dilakukan oleh Da’i juga harus sejalan dengan
pembicaraan yang disampaikan. Pembicaraan yang disampaikan haruslah benar, tidak
menyampaikan berita bohong dan memutarbalikan keadaan yang sebenarnya. Dalam
istilah propaganda hal demikian disebut “card stancking device”, yaitu tindakan dan
sikap yang dilakukan sejalan dengan pembicaraan yang disampaikan, tidak mengada-
ada bahkan menyampaikan berita bohong ataupun memutarbalikkan kenyataan.

b. Jujur

Dalam menyampaikan aktivitas dakwah, hendaklah Da’i menyampaikan suatu


informasi dengan jujur. Terutama dalam mengemukakan dalil-dalil pembuktian.

88
Kemahiran dalam mempergunakan kata-kata mungkin dapat memutarbalikan
persoalan yang sebenarnya, jadi Da’i harus mampu menyampaikan sesuatu yang
keluar dari lisannya dengan landasan kejujuran dan faktual. Seorang Da’i tidak boleh
berkata bohong apalagi sengaja berbohong dalam suatu tema atau topik pembicaraan.
Akibat kebohongan akan fatal dan dapat merendahkan reputasi dari Da’i sendiri,
apalagi yang disampaikan adalah ajaran-ajaran keagamaan.
Demikian pula apa yang disampaikan oleh Da’i atau mubaligh dalam bentuk
tulisan, tidak kurang pentingnya memelihara kejujuran. Apalagi materi dakwah dalam
bentuk tulisan dilihat kembali berdasarkan data yang nyata. Jika ternyata fakta yang
ditulis salah, tentu akan mengakibatkan ketidak percayaan orang lain kepada Da’i
tersebut, dan jika hal ini terjadi tentu akan merendahkan kredibilitas Da’i tersebut.
Dalam menyampaikan berita, umpamanya di media massa atau surat kabar,
dapat terjadi hal-hal yang melanggar etika kejujuran, misalnya dalam:
 Pencorakan berita (colorization of news)
Untuk menceritakan sesuatu kejadian pencurian misalnya, dapat saja
diberitakan dalam kalimat yang bermacam-macam, dari membenci pencurian itu
sampai pada menyukai pencurian tersebut. Dapat pula diselipkan di dalamnya
pujian, kritik, atau cacian kepada pihak yang berwajib tergantung pada kalimat yang
dipergunakan. Bahkan berita dalam kalimat yang sama dapat pula mempunyai
kesan yang berlainan bagi pembacanya, hanya karena berlainan tempatnya,
dilembar tertentu, berdekatan dengan berita lain, dicetak dengan huruf tebal,
diantara tanda petik dan sebagainya. Semua hal itu dapat menimbulkan kesan yang
lain disebut dengan “colorization of news”.
 Spekulasi (speculation)
Yaitu, tidak menceritakan semua berita, hanya memilih berita yang
menguntungkan kelompok saja, sedang berita yang dapat merugikan tidak dimuat.
Sebenarnya tidak semua kejadian dimuat di surat kabar, dan surat kabar tidak selalu
mengambarkan kejadian yang sebenarnya dalam arti sedetail-detailnya. Surat kabar
hanya selalu memuat kejadian-kejadian yang dianggap aktual, hangat, yang
menarik perhatian karena jarang atau tidak pernah terjadi.

89
c. Tidak Menghasut

Seorang Da’i dalam melaksanakan tugas dakwahnya, ia tidak boleh menghasut


apalagi memfitnah, baik kepada pribadi lain maupun kelompok lain yang berselisih
paham. Karena jika itu di lakukan, yang bingung dan resah adalah masyarakat
pendengar sebagai objek dakwah. Masyarakat akan merasa bingung pendapat Da’i
yang mana yaang benar dan harus diikuti.
Adapun yang perlu diingat oleh Da’i adalah bahwa dalam melakukan
tugas dakwahnya itu, ia harus menyampaikan kebenaran bukan harus menghasut.
Menyampaikan kebenaran tidak harus disampaikan dengan menghasut atau bahkan
melakukan provokasi. Tindakan ini sebenarnya tidak cocok dilakukan oleh seorang
Da’i. Apalagi jika perselisihan pendapat itu masih dalam tema khilafiyah (perselisihan
faham) yang bukan prinsip dalam agama. Akan tetapi, jika memang yang disampaikan
adalah masalah penegakan kebenaran secara hak, maka hendaklah Da’i
menyampaikan kebenaran tersebut walau pahit sekalipun. Sebagaimana disampaikan
oleh Nabi bahwa, “sampaikanlah kebenaran walau pahit sekalipun.”
Di dalam Alquran dijelaskan, ada tujuh etika bahasa dalam berdakwah, yaitu:

1. Perkataan yang ma’ruf

Maksud ma’ruf di sini adalah mengenal, pembiasaan. Jadi sebaiknya sebelum


kita berdakwah, kita berusaha mengenal orang-orang di sekitar kita, di lingkungan
kita berada. Membangun kedekatan personal lebih dulu dengan mereka. Bagaimana
kebiasaan mereka, kebudayaan mereka, dan lain sebagainya. Bukanlah hal yang
baik kalau kepada orang asing yang baru saja kita temui di jalan, tiba-tiba kita bicara
masalah khilafah, syariat Islam dan sebagainya, tanpa kita tahu bagaimana karakter,
pemahaman, atau pola pikir orang tersebut.

2. Perkataan yang benar

Ini tidak perlu penjelasan lebih panjang. Sudah menjadi kewajiban kita untuk
berbicara dengan kebenaran dan kejujuran.

90
3. Perkataan yang baligh, fasih, dewasa dan menyentuh kepada hati

Menggunakan pilihan kata yang menyentuh kepada hati seseorang juga


menjadi keutamaan. Karena dalam banyak kisah-kisah Islam kita temukan,
seseorang menerima kebenaran Islam justru bukan dari perdebatan dalil-dalil, tetapi
justru ketika hatinya tersentuh dengan kata-kata dan akhlak mulia Rasulullah SAW
dan para pengikutnya.

4. Perkataan yang karim, mulia, hormat, sopan

Lagi-lagi, kesantunan juga harus tetap diutamakan. Pemilihan kata yang


santun, menunjukkan rasa hormat pada lawan bicara. Ini juga akan menghadirkan
respect dari lawan bicara kepada kita. Ketika mereka merasa dihargai, maka insya
Allah, kebenaran yang ingin kita sampaikan akan lebih bisa diterima.

5. Perkataan yang memudahkan, Mudah dimengerti dan mudah dipahami

Allah SWT menurunkan perintah-perintahNya dalam Alquran menggunakan


bahasa Arab agar bisa mudah dimengerti manusia. Apa gunanya menggunakan
bahasa yang tinggi tapi tak bisa dipahami? Pesan kebenaran yang ingin kita
sampaikan bukannya diterima, malah justru akan ditinggalkan.

6. Perkataan yang lembut

Kelembutan selalu menjadi senjata yang ampuh dalam memenangkan hati


yang keras. Bukan hal yang mudah saya sadar. Tapi bukan berarti kita harus
menyerah untuk terus mencoba memperlembut bahasa kita. Karena keras lawan
keras, hanya akan melahirkan kehancuran.

7. Perkataan yang berbobot.

Terus belajar dan membekali diri dengan pengetahuan. Shalat tahajud


menjadi sarana ampuh agar kita terus berada dalam lindungan Allah Ta’ala, dan
selalu mendapat karunia agar kita bisa menyampaikan kebenaran dengan elegan
dan tentu saja sarat dengan ilmu. Banyak penelitian yang sudah mengemukakan
manfaat dari bangun malam untuk melaksanakan shalat tahajjud.

91
Ketujuh etika ini mungkin bisa dikatakan sedikit dari segi kuantitas, tapi berat dari
segi kualitas. Menerapkannya butuh doa dan usaha yang terus menerus. Dan saya rasa
tidak hanya untuk berdakwah saja etika bahasa ini harus diterapkan. Dalam keseharian kita
berbicara dengan siapapun, kapanpun, dan membicarakan apapun, ketujuh etika bahasa ini
harus diterapkan. Karena menurut saya, bahasa menunjukkan karakter kita sebagai
manusia, pun sebagai bangsa. Jika cara berbahasa kita baik, insya Allah karakter kita pun
menjadi baik.

B. Kode Etik Dakwah


1) Pengertian kode etik dakwah

Istilah kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang
merumuskan perilaku benar dan salah. Secara umum etika dakwah itu adalah etika Islam
itu sendiri dan pengertian kode etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki
seorang juru dakwah. Namun, secara khusus dalam dakwah terdapat kode etik tersendiri.
Dan sumber dari rambu-rambu etis bagi seorang pendakwah adalah Al-Qur’an seperti yang
telah dicontohkan Rasulullah SAW.

2) Macam-Macam Kode Etik Dakwah

Adapun kode etik dakwah diantaranya:

 Tidak Memisahkan Antara Ucapan Dan Perbuatan

Para Da’i hendaknya tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, dalam artian
apa saja yang diperintahkan kepada mad’u, harus pula dikerjakan oleh da’i. seorang da’i
yang tidak beramal sesuai dengan ucapannya ibarat pemanah tanpa busur. Hal ini
bersumber pada Q.S. Al-shaff: 2-3 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan? Amat besar murka di sisi
Allah, bahwa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan”.

 Tidak Melakukan Toleransi Agama

92
Tasamuh memang dianjurkan dalam Islam, tetapi hanya dalam batas-batas
tertentu dan tidak menyangkut masalah agama.

 Tidak Menghina Sesembahan Non Muslim

Kode Etik ini berdasarkan QS. Al-an’am:108


“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan”.

 Tidak Melakukan Diskriminasi Sosial

Hal ini berdasarkan QS. Abasa: 1-2:

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
padanya”.

 Tidak Memungut Imbalan

Dalam hal ini memang masih terjadi perbedaan anatara boleh atau tidaknya memungut
imbalan dalam berdakwah. Ada 3 kelompok yang berpendapat mengenai hal ini:

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam berdakwah


hukumnya haram secara mutlaq, baik dengan perjanjian sebelumya atau tidak.
2. Imam Malik bin anas, Imam Syafi’i, membolehkan memungut biaya atau imbalan
dalam menyebarkan islam baik dengan perjanjian sebelunya atau tidak.
3. Al-Hasan al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dan lainnya, mereka membolehkan
memungut biaya dalam berdakwah, tapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
 Tidak Berteman Dengan Pelaku Maksiat

Berkawan dengan pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan berdampak buruk,


karena orang yang bermaksiat itu beranggapan seakan-akan perbuatan maksiatnya itu
direstui dakwah, pada sisi lain integritas seorang Da’i tersebut akan berkurang.

 Tidak Menyampaikan Hal-Hal Yang Tidak Diketahui

93
Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui hukum itu
pasti ia akan menyesatkan umat. Seorang dakwah tidak boleh asal menjawab pertanyaan
orang menurut seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya. Hal ini berdasarkan QS.
Al-Isra’: 36.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta
pertanggung jawabannya.”

3) Hikmah kode etik dakwah

Rambu-rambu etis dalam berdakwah atau yang disebut dengan kode etik dakwah
apabila diaplikasiakn dengan sungguh-sungguh akan berdampak pada Mad’u atau oleh
sang Da’i. Pada Mad’u akan memperoleh simpati atau respon yang baik karena dengan
menggunakan etika dakwah yang benar akan tergambar bahwa Islam merupakan agama
yang harmonis, cinta damai, dan yang penuh dengan tatanan-tatanan dalam kehidupan
masyarakat. Namun, secara umum hikmah dalam pengaplikasian kode etik dakwah itu
adalah sebagai berikut:

 Kemajuan rohani, di mana bagi seorang juru dakwah ia akan selalu berpegang pada
rambu rambu etis Islam, maka secara otomatis ia akan memiliki akhlak yang mulia.
 Sebagai penuntun kebaikan, kode etik dakwah bukan menuntun sang Da’i pada jalan
kebaikan tetapi mendorong dan memotivasi membentuk kehidupan yang suci dengan
memproduksi kebaikan dan kebajikan yang mendatangkan kemanfaatan bagi sang Da’i
khususnya dan umat manusia pada umumnya.
 Membawa pada kesempurnaan iman. Iman yang sempurna akan melahirkan
kesempurnaan diri. Dengan bahasa lain, bahwa keindahan etika adalah manifestasi
kesempurnaan iman.
 Kerukunan antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara ekstern dan
intern pada diri sang Da’i.

94
Pembinaan Moral Remaja Dengan Berdakwah
Oleh: Anindya Putri Yustika

A. Karakteristik Moral dan Keagamaan Remaja

Dalam pandangan ilmu jiwa modern, remaja adalah fase perkembangan alami.
Seorang remaja tidak akan menghadapi krisis apapun selama perkembangan tersebut
berjalan secara wajar dan alami, sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan si remaja
yang bersifat emosional dan sosial.

Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja mengalami perubahan yang dramatis
dalam kesadaran diri mereka. Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain, karena
mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka
seperti mereka mengagumi atau mengkritik mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja
sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleklesikan. Remaja cenderung untuk
menganggap diri mereka sangat unik bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir
dengan kesuksesan dan ketenaran.

Di dalam psikologi perkembangan terdapat tiga aliran yang mempengaruhi


perkembangan remaja:

a. Aliran Nativisme, yang dipelopori oleh Arthur Schopenhauer, menitik beratkan


pandangannya pada peranan sifat bawaan dan keturunan sebagai penentu
perkembangan tingkah laku.
b. Aliran Empirisme, yang dipelopori oleh John Locke, menitik beratkan pandangannya
pada peranan lingkungan sebagai penentu perkembangan tingkah laku 55, asumsi
psikologinya adalah bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak memiliki pembawaan
apapun.

55
James P. Chaplin, kamus lengkap sikologi terjemahan kartino kartono, jakarta rajawali pers 1989 hal 319.

95
c. Aliran Konvergensi, yang dipelopori oleh William Stern, aliran ini menggabungkan
dua aliran di atas. Konvergensi adalah interaksi antara faktor hereditas (sifat-sifat
karakter seseorang) dan faktor lingkungan dalam proses perkembangan tingkah laku56.

Dalam hadist Nabi Muhammad SAW menjelaskan tentang pengaruh hereditas:

Seorang Bani Fazarah datang kepada Nabi SAW, dan berkata: ”Istriku telah melahirkan
anak berkulit hitam” ia seakan-akan tidak mengakuinya, Rasulullah SAW bersabda,
“Apakah engkau memilki unta?” lelaki itu menjawab, “Ya” Rasulullah SAW bertanya apa
warnanya? lelaki itu menjawab “Merah”, Rasulullah SAW bertanya lagi? apakah ada
warna hitam pada unta itu? lelaki itu menjawab “Sebenarnya kehitam-hitaman” lelaki itu
berkata lagi ”Entah darimana datangnya warna hitam itu?” Rasulullah SAW bersabda
Mungkin karena faktor keturunan.”.

Dari hadist di atas menggambarkan bahwa faktor hereditas mempengaruhi warna


kulit seseorang, ciri-ciri fisik tidak harus diwarisi dari orang tuanya saja tapi bisa juga dari
neneknya, sifat fisik inilah disebut sifat keturunan.

Faktor Lingkungan dalam perkembangan, pengaruh lingkungan juga tak kalah


pentingnya, hadist Nabi Saw yang menerangkan bagaimana pengaruh orang tua terhadap
agama, moral dan psikologi umum dan sosialisasi dan perkembangan remaja. Ada
beberapa faktor lingkungan yang secara jelas bisa dilihat dalam sebuah rumah yang dihuni
setiap remaja, dan berpengaruh pada tingkat adaptasinya. Sebagian dari faktor-faktor
tersebut terkait dengan iklim yang mewarnai sebuah rumah tangga. Dan sebagian lagi
adalah faktor-faktor yang tidak ada kaitanya dengan kondisi soasial dan ekonomi sebuah
keluarga.selain faktor-faktor tersebut, ada sejumlah faktor lain yang memainkan peranan
penting bagi perkembangan.

Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing
disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan dalam bahasa Arab qalb, fu’ad.
Moral lebih mengacu kepada satu nilai atau sistem hidup tersebut atau diyakini oleh

56
Ibid, hal 112.

96
masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan
ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional,
berlaku umum, dan kebebasan. Jika nila-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri
seorang remaja, maka akan membentuk kesadaran moralnya. Remaja akan dengan mudah
melakukan sesuatu perbuatan tanpa adanya dorongan atau pakasaan dari luar, dan menjadi
remaja yang memiliki kesadaran moral.

Masalah moral adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di mana saja, baik
dalam masyarakat yang masih terbelakang. Generasi muda adalah tulang punggung bangsa
yang diharapkan di masa depan mampu meneruskan kepemimpinan bangsa ini agar lebih
baik. Dalam mempersiapkan generasi muda juga sangat tergantung dengan persiapan
masyarakat salah satunya melalui dakwah.

Karakteristik yang menonjol pada perkembangan remaja adalah bahwa sesuai dengan
tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berpikir operasional formal,
yaitu mulai mampu memecahkan masalah-masalahyang besifat hipotesis yang menjadi
dasar kehidupan mereka.

Perkembangan keagamaan remaja, masa di mana anak mampu berpikir logis


hipotetik logis deduktif, mulai meragukan nilai-nilai yang dianutnya, figur orangtua
tergeser oleh idola lain, sering bereksperimen, bisa terjerumus atau terjadi konflik pada
periode ini pertumbuhan fisik menjadi sangat pesat dan mencapai taraf dewasa. Ia mampu
berpikir secara logis, bereksplorasi dan menyelesaikan persoalan atas dasar berbagai
kemungkinan. Pada remaja, perasaan kepada Tuhan tergantung pada perubahan emosi yang
sedang dialaminya, kadang-kadang ia merasa sangat membutuhkan Tuhan, terutama saat
menghadapi situasi-situasi yang menekan perasaannya, namun terkadang ia kurang
membutuhkan Tuhan tatkala ia merasa senang.

Dapat dikatakan bahwa kepercayaan remaja terhadap Tuhan kadang-kadang sangat


kuat dan kadang-kadang lemah bahkan ragu, hal ini tercermin pada cara melaksanakan
ibadah yang kadang-kadang rajin, kadang-kadang malas. Hendaknya dipahami, bahwa
keadaan anak yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang
berjalan sangat cepat itu dengan segala keinginan, dorongan dan ketidakstabilan

97
kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, sebaiknya penyajian agama dapat memilihkan cara
yang tepat bagi mereka, sehingga kegoncangan dapat di atasi. Sifat-sifat Tuhan yang dulu
telah dipercayai anak ditonjolkan kembali dengan dikaitkan kepada perasaan dan
pengalaman anak itu.

B. Ketentuan Allah SWT dalam Perkembangan Remaja

Dalam perspektif Islam terdapat faktor ketentuan Allah SWT yang juga sangat
berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan, karena Allah memiliki kontrol penuh
atas segalanya dengan kekuatan dan pengaruh. Terdapat bukti bahwa faktor hereditas dan
lingkungan semata-mata tidak dengan sendirinya ada hal yang paling utama dalam
persoalan tersebut, yaitu segalanya tergantung kehendak Allah SWT seperti bagaimana,
Nabi Isa As sudah dapat berbicara di dalam buaian ibunya, padahal perkembangan bahasa
merupakan integral dari perkembangan kognitif yang dalam situasi normal anak mulai bisa
berbicara pada usia dua tahun itupun hanya sepatah dua kata.

Peran kehendak Allah SWT dalam menentukan perkembangan individu seperti yang
dinyatakan dalam pendekatan Islam akan membantu memahami proses perkembangan
yang lebih baik dari pendekatan psikologi barat dalam berbagai cara. Artinya, tidak semua
konstruk dan kecenderungan psikologi dapat secara ketat dipengaruhi semata-mata
pengaruh hereditas dan lingkungan. Karena, bagaimanapun individu kadang-kadang
menunjukan kecenderungan yang menyimpang dari penjelasan pengaruh hereditas dan
lingkungan.

Perubahan fisik pada saat pubertas merupakan pengaruh antara faktor genetik dan
lingkungan. Berbagai faktor seperti nutrisi, sikap sosial, ukuran keluarga dan olahraga
dapat mempengaruhi proses pubertas. Namun juga perkembangan kognitif dan sosial.
Perubahan biologis dapat berdampak langsung dan tidak langsung bagi perkembangan
remaja, sedangkan perubahan hormonal masa ini berdampak pada dorongan seksual yang
meningkat sehingga dituntut tanggung jawab untuk mengelolanya.

98
C. Metedologi Dakwah Pada Remaja

Islam telah memberikaan gambaran yang benar bagi pembinaan seseorang manusia
yang sehat jiwa, akal dan badanya. Dakwah dalam islam menduduki posisi utama, dan
strategis. Kegagalan dan keberhasilan islam mengahadapi perkembangan zaman sangat
ditentukan oleh kegiatan dakwah yang dilakukan oleh umatnya.

Tujuan dakwah demikian tampak dengan definisi komunikasi persuasif, yakni


adanya perubahan situasi orang lain57. Perubahan dimaksud bukan hanya sekedar
perubahan yang bersifat sementara, melainkan perubahan yang mendasar berdasarkan
kesadaran dan keyakinan.

Masalah strategi yang ditentukan oleh kondisi obyektif komunikan persuasif, dan
keadaan lingkungan pada saat proses komunikasi berlangsung. Dalam kegiatan dakwah,
hal-hal yang mempengaruhi sampainya pesan dakwah ditentukan oleh dua faktor. Sekedar
contoh: antara orang desa dengan kota tentu berbeda metode penyampaian pesan yang
dipakai. Demikian pula antara petani, pegawai, mahasiswa, sarjana, anak-anak, remaja,
dewasa, orang tua, wanita, buruh, dan lain sebagainya. Dalam mempengaruhi akhlak dan
moral remaja dengan metode dakwah yang terdapat dalam firman Allah SWT.

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk ( Q.S. Al-Nahl:125)

Terdapat tiga metode yang dapat digunakan dalam menyeru untuk kebaikan, walau
sebenarnya terasa umum bukan hanya dipergunakan untuk medidik moral dan akhlak
remaja saja. Ketiga metode itu sebagai berikut:

1. Hikmah, orang yang mencari cinta dan kebenaran, dia akan lebih mementingkan
kebenaran daripada yang lainnya jika dia mengetahuinya. Maka orang seperti ini diseru
dengan al-hikmah atau ilmu, tidak membutuhkan bantahan.

57
Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, hal 67.

99
2. Mau’izhah Hasanah, mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-
kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif yang bisa dijadikan pedoman
dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Metode ini sangat
efektif apalagi jika dilakukan dengan suasana hati yang tenang sehingga dapat
menggugah hati.
3. Mujadalah yang baik, upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara
sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan diantra
keduanya.

Jika kita mau melihat sejarah Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan
dakwahnya ia tidak hanya bertabligh, mengajar, atau mendidik dan membimbing tetapi
juga sebagai usuwatun hasanah. Ia juga memberikan contoh dalam pelaksanaanya, sangat
memperhatikan dan memberi arahan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, seperti pertanian
dan sebagainya58.

Sedangkan untuk materi dakwah, mungkin kita bisa berkaca kepada apa yang
disampaikan oleh Luqman kepada anaknya, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:

1. Larangan berlaku syirik


2. Berbakti kepada orang tua
3. Setiap perbuatan ada balasannya
4. Mendirikan solat serta melakukan amar ma’ruf nahy mungkar
5. Tidak berlaku sombong
6. Berakhlak terpuji

Tiga materi pokok yang menjadi landasan utama pembinaan akhlak dan moral remaja
yaitu: Rukun Islam, Rukun Iman, dan Ihsan yang diformulasikan dengan metode dakwah.
Namun, ketiga metode tersebut dikembangkan lagi di berbagai media sesuai dengan usia
komunikannya.

58
H.S Projokusumo, dakwah bi al-hal sekilas pandang 1997, hal 222.

100
Peran Akhlak Dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah

Oleh: Ahmad Fairuz Zabadi

A. Pengertian Akhlaq
Akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab akhlaqa - yukhliqu - ikhlaqan,
jama’nya khuluqun yang berarti perangai (al-sajiyah), adat kebiasaan (al-a’adat), budi
pekerti, tingkah laku atau tabiat (ath-thabi’ah), dan alat ukur perbuatan baik.59

Akhlak adalah suatu istilah agama yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia,
apakah perbuatan itu baik ataupun buruk. Sedangkan ilmu akhlak adalah suatu ilmu
pengetahuan agama Islam yang berguna untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada
manusia, bagaimana cara berbuat kebaikan dan sebaliknya. Dalam hal ini dapat
dikemukakan dalam contoh sebagai berikut:

1) Perbuatan baik termasuk akhlaq, karena membicarakan nilai atau kriteria suatu
perbuatan.
2) Perbuatan itu sesuai dengan petunjuk ilmu akhlaq, ini termasuk ilmunya, karena
membicarakan ilmu yang telah dipeajari oleh manusia untuk melakukan suatu
perbuatan.60
Pengertian akhlak dari segi istilah ini dapat kita ambil dari berbagai para pendapat
para ahli dalam hal ini.

 Ibn Maskawih, mengatakan bahwa akhlak yaitu jiwa yang mendorong atau mengajak
suatu perbuatan tanpa melalui proses berfikir dan mempertimbangkan terlebih dahulu.
 Al-Ghazali, menyebutkan akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah tanpa melalui pemikiran dan
pertimbangan.
 Prof. Dr. Amad Amin, akhlak yaitu suatu ilmu yang menjelaskan baik dan buruk,

59
Tiswami,” Akhlak Tasawuf” (Jakarta: Bina Pratama,2007) Hal:1
60
Mahjuddin “Akhlak Tasawuf” (Jakarta: Kalam Mulia,2009) Hal:7

101
menerangkan yang harus dilakukan, menyatakan tujuan yang harus dituju dan
menunjukan apa yang harus di perbuat.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa
yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan secara spontan tanpa
pertimbangan dan proses berfikir terlebih dahulu dan tanpa unsur paksaan. Defnisi-
definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita
dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah tertanam menjadi kepribaannya.
2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4. Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesungguhan bukan
karena bersandiwara.
5. Perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah.61
Dorongan jiwa yang melahirkan perbuatan manusia pada dasarnya bersumber dari
kekuatan batin yang dimiliki oleh setiap manusia, yaitu :

a) Tabiat (pembawaan); yaitu suatu dorongan jiwa yang tidak dipengaruhi oleh
lingkungan manusia, tetapi disebabkan oleh naluri(gharizah) dan factor warisan sifat-
sifat dari orang tuanya atau nenek moyangnya.
b) Akal pikiran; yaitu dorongan jiwa yang dipengaruhi oleh lingkungan manusia setelah
melihat sesuatu, mendengarkanya, merasakan serta merabanya. Alat kejiwan ini hanya
dapat menilai sesuatu yang lahir (yang nyata).
c) Hati nurani; yaitu dorongan jiwa yang hanya berpengaruh oleh alat kejiwaan yang
dapat menilai hal-hal yang sifatnya abstrak (yang batin) karena dorongan ini
mendapatkan keterangan (ilham) dari Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda:

61
Abuddin Nata “Akhlak Tasawuf dan Krakter Mulia” (Jakarta:Rajawali Pers,2014) Hal4-5.

102
‫ الله ّم اهدني‬. َ‫ِإ ّن صالتى ونسكى ومحياي ومماتي هلل ربّ العالمين ال شريك له وبذلك امرتُ وأنامن المسلمين‬
‫ق ال َي ِقى َس ِيّئ َ َها ّإال‬
ِ ‫ئ األخال‬ َ ‫ وقنى‬,‫ق ال يهدى ِألخسنها ّإال أنت‬
َ ‫س ِّي‬ ِ ‫وأحسن األخال‬
ِ ‫ِألسن العمال‬

"Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Rabb
semesta alam tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah aku diperintahkan dan aku
bagian dari orang Islam, Ya Allah berilah aku amalan yang terbaik dan akhlak yang
paling mulia, tiada yang bisa memberi yang terbaik selain Engkau, dan lindungilah
aku dari amalan dan akhlak yang buruk, tidak ada yang bisa melindungiku dari hal
yang buruk selain Engkau." [Sunan An-Nasa'i: Sahih]

Hadist tersebut menjelaskan betapa pentingnya akhlak mulia itu, terutama untuk
umat Islam saat ini. Akhlak mulia merupakan cermin seorang muslim, mencerminkan
kesucian hati dan fikirannya, sedangkan akhlak buruk mencerminkaan seseorang yang
telah gelap hatinya sehingga ia tidak bisa menentukan mana yang baik dan buruk baginya
karena keburukan itu telah mendarah daging dalam dirinya.

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah
perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk sebagai individu maupun sosial.Tapi
sebagian orang juga menyebutkan ilmu akhlak adalah tingkah laku manusia, namun perlu
ditegaskan bahwa yang dijadikan obyek kajian ilmu akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya mendarah daging dan telah dilakukan
secara continue atau terus menerus sehingga mentradisi dalam kehidupannya.

Jadi sekarang kita bisa memahami yang di maksud ilmu akhlak adalah ilmu yang
mengkaji suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan
sadar,kemauan sendiri, tidak terpaksa, dan sungguh-sungguh atau sebenarnya bukan
perbuatan yang pura-pura. Perbuatan-perbuatan demikian selanjutnya diberi nilai baik
atau buruk.62

Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu ialah untuk
membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehinggahati menjadi

62
Ibid,. Hal8

103
suci bersih bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan. 63 Keterangan
tersebut memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan
suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk
perbuatan baik atau buruk.

B. Makna Dakwah Dalam Islam


Secara terminologis makna dakwah adalah dorongan atau ajakan (seruan) untuk
menjalakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Banyak sekali pendapat
tentang definisi dakwah di kalangan para ahli, antara lain:

1) Syekh Ali Mahfud, dakwah islam adalah motivasi manusia agar melakukan kebaikan
petunjuk, menyuruh mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka berbuat
kemungkaran, agar bahagia dunia dan akhirat.
2) A. Hasmy, mendefinisikan dakwah yaitu: mengajak orang lain untuk meyakini dan
mengamalkan akidah dan syariat Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan
diamalkan oleh pendakwah itu sendiri.64
3) Amrullah ahmad, dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang
dimanifestasikan dalamsuatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang
kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa,
berpikir, bersikap, dan bertindak pada tataran kegiatan manusia individual atau sosio
kultural dalam rangka mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua
segi kehidupan dalam rangka mengesahkan terwujudnya ajaran Islam dalam semua
segi kehidupan dengan cara tertentu.
Sedangkan dakwah Islam yang dimaksud adalah dakwah yang berorientasi kepada
membangun kepada masyarakat Islam, melakukan perbaikan kepada masyarakat Islam,
dan memelihara kelangsungan dakwah, di tengah masyarakat yang berpegang kepada

63
Mustafa Zahri “Kunci Memahami Ilmu Tasawuf” (Surabaya: Bina Ilmu,1995) hal 67
64
A.Hasmy, Dustur Dakwah menurut al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang,1997), hal. 18.

104
kebenaran untuk memelihara kelangsungan yaitu, dengan pengajian secara terus menerus,
tadzkir ( peringatan), tazkiyah (penyucian jiwa), dan ta’lim (pendidikan).

Maka dapat disimpulkan dakwah Islamiyah adalah:

ِ َّ‫دَع َْوة ُ الن‬


‫اس إلى هللا بالحكمة والموعظة الحسنة حتى يكفروا بالطاغوت ويؤمنوا با هلل ليخرجوا من الظلمات الجاهلية‬
‫الى نوراألسالم‬

“Mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik, sehingga
mereka mengkafirkan thagut dan beriman kepada Allah agar mereka keluar dari
kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.”

Pada dasarnya dakwah merupakan ajaran agama yang ditunjukkan sebagai rahmat
untuk semua, yang membawa nilai-nilai positif. Ada dua sisi dakwah yang yang tidak
dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan yaitu, menyangkut isi dan bentuk, subtansi dan
forma, pesan dan cara penyampaian, esensi dan metode.65

C. Peran Akhlak Dalam Dakwah

Peran akhlak sangatlah berkaitan erat dalam berdakwah, karena akhlak merupakan
sebuah pegangan dalam beragama. Akhlak menjadi tolak ukur seseorang dalam bertindak
ataupun berbuat sesuatu, apakah tindakannya dinilai baik ataupun buruk dalam agama
maupun kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, akhlak tidak bisa kita sepelekan dalam
orientasi berdakwah, hal utama yang harus kita sampaikan dalam berdakwah adalah
mengenai akhlak.

Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian


materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga; semisal
praktek nyata, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang lazim dikenal dengan

65
Asep Muhyiddin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia), 2002,cet.
ke.1,hlm. 25.

105
dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah
dengan lisan dan lebih mengena sasaran.66

Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar,
namun hanya sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek nyata. Di sinilah
terlihat urgensi adanya qudwah hasanah (potret keteladanan yang baik) di tengah
masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah
nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas.

Kekuatan akhlak mulia dalam menarik simpati masyarakat untuk menerima


dakwah al-khaq sangatlah besar. Telah banyak bukti sejarah yang membenarkan hal itu,
mulai sejak zaman Rasulullah SAW hingga zaman ini. Diantara contoh nyata kekuatan
akhak dalam menarik simpati orang kafir sehingga mau memeluk agama Islam adalah
sejarah masuknya Islam ke bumi pertiwi. Telepas dari polemik panjang kapan Islam
masuk ke Indonesia, apakah abad ke 7 atau abad ke 1 H? Juga terlepas dari polemik
apakah ajaran Islam yang masih murni atau ajaran Islam yang sudah tercemari pemikiran
tasawuf? Terlepas dari itu semua, para ahli sejarah yang berbicara tentang sejarah
masuknya Islam ke Indonesia mereka semua sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia
bukan dengan pedang (kekerasan).

Namun, Islam bisa diterima oleh masyarakat Indonesia yang notabene saat itu telah
memeluk agama Hindu dan Budha karena mereka sangat tertarik dengan mulianya budi
pekerti para pengemban Islam saat itu sehingga mereka berbondong-bondong memeluk
agama Islam dalam waktu kurang dari satu abad, karena takjub dengan keindahan akhlak
yang diajarkan Islam [Lihat: Induunisiiyaa karya Mahmud Syaakir, Menemukan Sejarah
karya Ahmad Mansur Suryanegara dan Sejarah Umat Islam Indonesia karya Taufiq
Abdullah. Juga Ash-Suufiyyah fii Induniisiyaa Nasya’tuhaa wa Tathawwuruhaa karya
Farhan Dhaifru].67

66
Abu abdirrahman “14 contoh praktek hikmah dalam berdakwah” (Jakarta:surya kencana)1996,hal 25-27.
67
http://www.facebook.com/notes/fandi-satia-engge/kisah-nyata-1-peran-besar-akhlak-dalam-dakwah-murid-
penulis-kitab-fathul-majid-d/10150120291660149
106
Diantara contoh nyata kekuatan akhlak dalam menarik Ahlul Bid’ah dari kaum
Muslimin untuk kembali ke sunnah adalah kisah perjuangan dakwah Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab. Diantara rahasia keberhasilan dakwah yang diusung beliau dan
murid-muridnya adalah besarnya peran akhlak mulia dalam menarik simpati orang-orang
yang pada awalnya sangat memusuhi dakwah itu.68

Seorang yang ingin berdakwah itu tidak cukup dengan ia memiliki ilmu, namun ia
juga harus paham bahwa dakwah pun memerlukan akhlak yang memikat, hikmah dalam
berdakwah, dan kelemahlembutan dalam berdakwah. Namun sayang, justru tiga prinsip
inilah yang sering terlupakan oleh banyak dai. Sehingga membuat dakwahnya tidak
berhasil mengajak kepada kebaikan, dan tak jarang pula malah membuat orang menjadi
musuh dakwah.

Seorang Da’i haruslah berperangai dengan akhlak yang mulia, di mana ilmunya
tampak terefleksikan di dalam aqidah, ibadah, perilaku dan semua jalan hidupnya,
sehingga ia dapat menjalankan peran sebagai seorang da’i di jalan Allah. Adapun apabila
ia dalam keadaan sebaliknya, maka sesungguhnya dakwahnya akan gagal, sekiranya
sukses maka kesuksesannya sedikit.

Wajib bagi Da’i mengamalkan apa yang ia dakwahkan, baik berupa ibadah,
mu’amalah, akhlak dan suluk (sifat atau karakter), sehingga dakwahnya diterima dan ia
tidak termasuk orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka. (Zad Ad Da’iyah
Ilallaah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)

Akhlak merupakan salah satu poin penting untuk berdakwah agar dakwah bisa
menjadi teladan. Sebagaimana:

‫يرا‬ َ ‫سو ِل هللاِ أُس َْوة ٌ َح‬


ً ِ‫سنَةٌ ِل َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو هللاَ َو ْاليَ ْو َم ْاْل ِخ َر َوذَك ََر هللاَ َكث‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر‬

68
Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Read more: http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2011/10/beradab-dan-berakhlak-dalam-
berdakwah.html#ixzz3cUN7QlcK

107
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW itu suri tauladan yang baik bagi
kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya adalah mempraktekkan akhlak mulia
sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.

D. Kekuatan Dakwah Melalui Akhlak

َ ‫سنُ إِ َّن َربَّكَ ه َُو أَ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬


َ ‫ض َّل َع ْن‬
‫سبِي ِل ِه‬ َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالَّتِي ه‬
َ ْ‫ِي أَح‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬
َ ‫سبِي ِل َربِّكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬
َ ‫ع إِلَى‬
ُ ْ‫أد‬
)٥٢١ :‫َوه َُواعلم بالمهتدين (النحل‬

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl: 125)

Sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Qur’an Surat an-Nahl: 125,
maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga metode dakwah yang bisa kita pergunakan untuk
mengajak umat manusia menjadi hamba-hamba Allah, yaitu dakwah bil-lisân (lisan), bit-
tadwin (tulisan), dan bil-hikmah (kebijaksanaan). Ketiga metode ini apabila dilakukan
dengan baik dan sistematis, maka kekuatan dari dakwah akan memberikan dampaknya
yang cukup signifikan kepada umat manusia.

Ketiga metode dakwah ini telah teruji dan terbukti keberhasilannya karena secara
praktis telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat ra. Ketiga metode ini
harus berjalan bersinergi satu sama lain. Akan tetapi, biasanya, banyak orang
beranggapan bahwa dakwah itu identik dengan menyampaikannya secara lisan atau
tertulis. Sedangkan metode dakwah bil-hikmah seringkali menjadi hal yang terlupa,
padahal kekuatan dari dakwah bil-hikmah dengan mengedepankan akhlaqul karimah bisa
menjadi senjata dakwah yang sangat ampuh.

108
Di dalam surat an-Nahl ayat 125 Allah telah berfirman kepada orang-orang yang
beriman untuk menyampaikan dakwah dengan penuh kebijaksanaan dan memberikan
nasehat yang baik. Oleh karena itu, dengan menunjukkan akhlak yang mulia kepada
mad’u (orang yang didakwahi), akan dapat memberikan pengaruh positif yang sangat
besar untuk bisa menundukkan hatinya. Karena pada dasarnya ketika berdakwah yang
harus ditundukkan adalah hati si mad’u. Dan memang dakwah bil-hikmah inilah yang
sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW.

E. Dampak Positif Akhlak Dalam Dakwah

Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia ialah berbuat baik kepada
orang lain, menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain, serta menahan diri ketika
disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak
mungkin dipaparkan satu persatu dalam pembahasan sekarang ini. Karena itulah penulis
hanya akan membawakan beberapa contoh saja.

1. Gemar Membantu Orang Lain


Banyak nash dalam al-Qur'ân maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk
mempraktekkan karakter mulia ini. Sifat gemar membantu orang lain akan
membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik
karakter tersebut. Tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan,
kemudian ada orang yang membantunya, jelas susah baginya melupakan kebaikan
orang tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita
menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar
ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita.
Sebagai salah satu bentuk 'berbalas budi' atas kebaikan yang kita sodorkan kepadanya.

Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam
kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia, kitalah yang
pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala
ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat

109
ada yang membutuhkan bantuan keuangan, kita berusaha memberikan hutangan pada
orang tersebut. Begitu seterusnya.

Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun jembatan yang
mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu,
sehingga dakwah salafiyah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.

2. Jujur Dalam Bertutur Kata


Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam
Islam. Allâh SWT berfiman:

َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬


َ ً‫اَّللَ َوقُولُوا قَ ْوال‬
ً ‫سدِيدا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh dan ucapkanlah
perkataan yang benar.” [Q.S. al-Ahzâb 33:70].

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan


masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi,
namun juga dalam perkara agama.

3. Menghilangkan Kesulitan
Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Barang siapa melepaskan kesulitan orang mukmin dari kehidupannya di dunia ini,
Maka Allah akan melepaskan kesulitan orang tersebut pada hari kiamat.”(HR.
Muslim).”

110
ETIKA PEMBERDAYAAN ETOS KERJA INSAN AKADEMIS
YANG PROFESIONAL DALAM PERSPEKTIF DAKWAH

Oleh: Ahmad Taufik

1. Definisi Etos Kerja


 Etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta
keyakinan akan sesuatu. Sikap ini tidak akan dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh
kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya
serta sistem nilai yang diyakininya.
 Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan.
 Jadi, etos kerja adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh
kemampuan dan usahanya untuk memenuhi kebutuhan (jasmani dan rohani) sebagai bukti
pengabdian dirinya kepada Allah SWT.

2. Etika Etos Kerja dalam Islam


a. Melakukan pekerjaan dengan baik.
Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:

َِِّ ‫ات ما رازقْنا ُكم وا ْش ُكروا‬


‫َلِل إِ ْن ُكنْ تُ ْم إِ ََّيهُ تا ْعبُ ُدو ان‬ ِ ِ ِ ِ َّ
ُ ‫آمنُوا ُكلُوا م ْن طايِّبا ا ا ا ْ ا‬
‫ين ا‬
‫اَي أايُّ اها الذ ا‬

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 172).

Dalam memilih seseorang untuk diserahi suatu tugas, Rasulullah SAW melakukannya
secara selektif, diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan, dan kedalaman
ilmunya. Beliau juga selalu mengajak mereka agar tekun dalam menunaikan pekerjaan.

b. Takwa dalam melakukan pekerjaan.

111
Al-Quran banyak sekali mengajarkan kita agar takwa dalam setiap perkara dan pekerjaan.
Jika Allah SWT ingin menyeru kepada orang-orang mukmin dengan nada panggilan
seperti “wahai orang-orang yang beriman,” biasanya diikuti oleh ayat yang berorientasi
pada kerja dengan muatan ketakwaan.

ِ ‫الز ِاد التَّ ْقوى واتَّ ُق‬


ِ ‫ون اَي أ ُْوِِل األالْبا‬
‫اب‬ َّ ‫ اوتا ازَّو ُدواْ فاِإ َّن اخ ْي ار‬...
‫ا ا‬

“…. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah
kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2] : 197).

Kerja mempunyai etika yang harus selalu diikutsertakan di dalamnya, oleh karena
kerja merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa. Hendaknya para
pekerja dapat meningkatkan tujuan akhirat dari pekerjaan yang mereka lakukan, dalam arti
bukan sekedar memperoleh upah dan imbalan, karena tujuan utama kerja adalah demi
memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus berkhidmat kepada umat. Etika bekerja yang
disertai dengan ketakwaan merupakan tuntunan Islam.

c. Adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah, tidak menipu, merampas,
mengabaikan sesuatu, dan semena-mena.
Pekerja harus memiliki komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban Allah, seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan
selalu memperbaiki muamalahnya. Di samping itu, mereka harus mengembangkan etika
yang berhubungan dengan masalah kerja sehingga menjadi suatu tradisi kerja yang
didasarkan pada prinsip-prinsip agama.

d. Adanya keterikatan individu terhadap diri dan kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
Sikap ini muncul dari iman dan rasa takut individu terhadap Allah. Kesadaran ketuhanan
dan spiritualitasnya mampu melahirkan sikap-sikap kerja positif. Kesadaran bahwa Allah
melihat, mengontrol dalam kondisi apapun, serta akan menghisab seluruh amal
perbuatannya secara adil dan fair, kemudian akan membalasnya dengan pahala atau
siksaan di dunia.

Allah SWT berfirman:

112
ِ َّ ‫شر الْم ْؤِمنِني الَّ ِذين ي عملُو ان‬
ِ ‫اِل‬ ِ ِ ِ ِ ِ
‫َنًا‬
‫اْ ًرا اَ ا‬ َّ ‫ات أ‬
ْ ‫ان اَلُ ْم أ‬ ‫الص ا‬ ً ‫قايِِّ ًما ليُ نْذ ار اَب‬
‫ْسا اشدي ًدا م ْن لا ُدنْهُ اويُبا ِّ ا ُ ا ا ا ْ ا‬

“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari
sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang
mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (Q.S.
Al-Kahfi [18] : 2).

e. Berusaha dengan cara halal dalam seluruh jenis pekerjaan.


Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Baik, mencintai yang baik, dan tidak menerima
(sesuatu) kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-
orang mukmin sesuatu yang diperintahkan kepada para utusan-Nya.” (H.R Muslim dan
Tirmidzi).

“Empat hal sekiranya ada pada diri anda maka sesuatu yang tidak ada pada diri anda
(dari hal keduniaan) tidak membahayakan anda, yaitu menjaga amanah, berbicara
benar, berperagai baik, dan iffah dalam hal makanan.” (HR. Ahmad dan Ath Thabrani)

f. Dilarang memaksakan (memporsir) seseorang, alat-alat produksi, atau binatang dalam


bekerja.
Semua harus dipekerjakan secara proporsional dan wajar, misalnya tidak boleh
mempekerjakan buruh atau hewan secara dzhalim. Termasuk di dalamnya penggunaan
alat-alat produksi secara terus-menerus. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
tubuhmu mempunyai hak atas dirimu.”

Para ahli fiqih telah menegaskan pentingnya kasih sayang terhadap para pekerja dan
hewan yang dipekerjakan. Mereka yang sadar amat memperhitungkan beban yang
semestinya dipikul oleh para pekerja. Mereka melarang membebani binatang diluar
kekuatannya. Mereka menyuruh para pekerja menurunkan barang-barang muatan dari
atas punggung hewan yang mengangkutnya jika sedang istirahat, agar tidak
membahayakan. Demikian pula terhadap alat-alat produksi.

g. Islam tidak mengenal pekerjaan yang mendurhakai Allah.

113
Dalam bekerja tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam seperti
memeras bahan-bahan minuman keras, sebagai pencatat riba, pelayan bar, pekerja seks
komersial (PSK), Narkoba, dan bekerja dengan penguasa yang menyuruh kejahatan
seperti membunuh orang dan sebagainya.

Rasulullah saw bersabda :“Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk mendurhakai
Sang Pencipta.” (HR. Ahmad bin Hambal dalam Musnad-Nya dan Hakim dalam Al
Mustadraknya, kategori hadits shahih).

h. Kuat dan dapat dipercaya (jujur) dalam bekerja.


Baik pekerja pemerintah, swasta, bekerja pada diri sendiri, ataukah di umara, para hakim,
para wali rakyat, maupun para pekerja biasa, mereka adalah orang-orang yang disebut
“pegawai tetap”. Begitupun kelompok pekerja lain, seperti tukang sepatu, penjahit, dan
lainnya; atau para pedagang barang-barang seperti beras; atau para petani, mereka juga
harus dapat dipercaya dan kuat, khususnya mereka mandiri dalam kategori terakhir.

i. Bekerja secara profesional (ahli).


Aspek profesionalisme ini amat penting bagi seorang pekerja. Maksudnya adalah,
kemampuan untuk memahami dan melaksankan pekerjaan sesuai dengan prinsipnya
(keahlian). Pekerja tidak cukup hanya dengan memegang teguh sifat-sifat amanah, kuat,
berakhlaq dan bertakwa, namun dia harus pula mengerti dan menguasai benar
pekerjaannnya.

Umar ra. sendiri pernah mempekerjakan orang dan beliau memilih dari mereka orang-
orang yang profesional dalam bidangnya. Bahkan Rasulullah saw mengingatkan: “Bila
suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (al-
Hadits)

Islam adalah agama yang benar-benar syamil (lengkap) dan komprehensif; Salah satu
ajarannya mendorong umatnya untuk memiliki semangat bekerja dan beramal, serta
menjauhkan diri dari sifat malas. Hal ini seperti do’a yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW dalam sabdanya,

114
ِ ِ ‫ك ِم ْن فِتْ نا‬ ِ ‫ك ِم ْن اع اذ‬ ِ ‫ك ِم ْن اع اذ‬ ِ ِ ُْ‫ك ِم ان الْعا ْج ِز اوالْ اكَ ِل اوا ْْل‬
‫اب النَّا ِر اوأاعُ ْوذُبِ ا‬ ‫ اوأاعُ ْوذُبِ ا‬،‫اب الْ اق ِْْب‬ ‫ اوأاعُ ْوذُبِ ا‬،‫ْب اوالْبُ ْخ ِل اوالْ اه ارم‬ ‫ا‬ ‫اللَّ ُه َّم إِِِّّن أاعُ ْوذُبِ ا‬
ِ ‫الْم ْحيا والْمم‬
.‫ات؛ رواه البخارى ومَلم‬ ‫ا ا ا اا‬

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir,
hilangnya kesadaran, terlilit hutang dan dikendalikan orang lain.” Dan aku berlindung
kepada-Mu dari siksa kubur, dan dari fitnah (di kala) hidup dan mati”. (HR. Bukhari dan
Muslim).

Pada hadits yang lain juga ditemukan Rasulullah SAW bersabda,

‫ض؛ رواه الطِّْباّن‬ ْ ِ ‫الر ْزقاا‬


‫ِف اخبا ااَي األ ْار ا‬ ِِّ ‫أُطْلُبُ ْوا‬

“Carilah oleh kalian semua rezeki di muka bumi”. (HR. Tabrani).

Ciri penting sekaligus ciri utama dari orang-orang mukmin yang akan berhasil dalam
hidupnya, adalah kemampuannya untuk meninggalkan perbuatan yang melahirkan
kemalasan (tidak produktif) dan digantinya dengan amalan yang bermanfaat. Lihatlah
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an,

ِ ِ‫لزكاة‬
.‫فاعلُو ان‬ َّ ِ‫ذين ُه ْم ل‬َّ ُ ‫ذين ُه ْم اع ِن اللَّغْ ِو ُم ْع ِر‬َّ ِ ِِ ‫ ٱلَّذين هم ِف‬- ‫قا ْد أافْ لاح الْم ْؤِمنُو ان‬
‫ او ال ا‬- ‫ضو ان‬ ‫ او ال ا‬- ‫صالِت ْم خاش ُعو ان‬
‫ا ُْ ا‬ ُ ‫ا‬

“Sungguh beruntung orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyuk di dalam


shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna”. (QS. Al-Mukminun [23]: 1-4).

Rasulullah SAW juga bersabda, sebagai berikut:

ِ
ِّ ‫ِم ْن َُ َْ ِن ا ْسالاِم ال اْم ْرِء تا ْرُكهُ اماالايا ْعنِْي ِه؛ رواه‬
.‫الّتمذي‬

“Sebaik-baiknya Islamnya seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak


bermanfaat”. (H.R. Turmudzi).

Bagi kaum muslimin, bekerja dalam rangka mendapatkan rizki yang halal dan
memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, merupakan bagian

115
dari ibadahnya kepada Allah SWT, demikian pula halnya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan. Allah SWT berfirman,

‫ادةِ فا يُ نا بِِّئُ ُك ْم ِِباا ُك ْن تُ ْم تا ْع املُو ان‬


‫الش اه ا‬ ِ ‫اَلِلُ اع املا ُك ْم اوار ُسولُهُ اوال ُْم ْؤِمنُو ان او استُ اردُّو ان إِ ا َٰل اع ِاِل الْغاْي‬
َّ ‫ب او‬ ‫اوقُ ِل ا ْع املُوا فا ا‬
َّ ‫َيا ارى‬

“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu’min akan melihay pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
Yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah [9]: 105).

Allah SWT berfirman:

‫ريا ل ااعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو ان‬ ِ ْ ‫ض واب ت غُوا ِمن فا‬


ِ َّ ‫اَلِل واذْ ُكروا‬ ِ ِ
ِ ‫ضي‬
ً ‫اَلِلا اكث‬ ُ ‫ض ِل َّ ا‬ ْ ْ ‫الصالةُ فاانْتاش ُروا ِِف‬
‫األر ِ ا ْ ا‬ َّ ‫ت‬ ‫فاِإذاا قُ ا‬

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah
karunia Allah dan berdzikirlah (ingatlah) pada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10)

Pada ayat lain Allah SWT juga berfirman:

.‫ور‬
ُ‫ش‬ ُ ُّ‫شوا ِِف امنااكِبِ اها اوُكلُوا ِمن ِِّر ْزقِ ِه اوإِل ْاي ِه الن‬
ُ ‫ُوال فا ْام‬
ً ‫ض ذال‬ ِ
‫ُه او الَّذي اْ اع ال لا ُك ُم ْاأل ْار ا‬

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan. (QS. Al-Mulk: 15).

Karena bekerja dan berusaha merupakan bagian dari ibadah maka aplikasi dan
implementasi dari bekerja tersebut perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika, yang
sering disebut dengan etika profesi.

3. Etika profesi itu antara lain tercermin dari kata-kata “SIFAT”, yaitu: Shiddiq, Istiqamah,
Fathanah, Amanah dan Tabligh.

Shiddiq artinya, mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal
perbuatan pada nilai-nilai yang benar, berdasarkan ajaran Islam. Tidak ada kontradiksi dan
pertentangan yang disengaja antara ucapan dengan perbuatan. Oleh karena itu, Allah SWT

116
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa memiliki sifat shiddiq dan
menciptakan lingkungan yang shiddiq.

Perhatikan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

‫ني‬ِ ِ َّ ‫َي أايُّها الَّ ِذين آمنُوا اتَّ ُقوا اللَّ ها وُكونُوا مع‬
‫الصادق ا‬ ‫اا‬ ‫ا‬ ‫ا ا‬ ‫ا ا‬

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah: 119).

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya kejujuran itu menghantarkan kepada kebaikan. Dan kebaikan akan


menghantarkan ke dalam syurga. Seseorang yang selalu berusaha untuk jujur, maka akan
dicatat oleh Allah SWT sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kamu sekalian kidzb
(dusta), karena dusta itu akan menghantarkan kepada kejahatan. Dan kejahatan aakan
menghantarkan ke dalam neraka. Seseorang yang selalu berdusta, maka akan dicatat oleh
Allah SWT sebagai pendusta”. (HR. Bukhari).

Dalam dunia kerja dan usaha, kejujuran ditampilkan dalam bentuk kesungguhan dan
ketepatan (mujahadah dan itqan), baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, pelaporan,
mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi) untuk kemudian diperbaiki secara
terus-menerus, dan menjauhkan diri dari berbuat bohong dan menipu (baik pada diri sendiri,
teman sejawat, perusahaan maupun mitra kerja).

Istiqamah, mempunyai arti konsisten dalam iman dan nilai-nilai yang baik, meskipun
menghadapi berbagai godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam
keteguhan dan kesabaran serta keuletan, sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal.
Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus, misalnya
interaksi yang kuat dengan Allah SWT dalam bentar shalat, dzikir, membaca Al-Qur’an, dan
lain-lain.

Istiqamah juga dapat diaplikasikan dengan menumbuh kembangkan suatu sistem yang
memungkinkan, kebaikan, kejujuran dan keterbukaan, teraplikasikan dengan baik;
Sebaliknya, keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi dan ternafikan secara nyata. Orang

117
dan lembaga yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus
mendapatkan solusi dan jalan keluar dari segala persoalan yang ada.

Perhatikan Allah SWT berfirman,

ِ‫﴾ اَْنن أاولِيا ُؤُكم ِِف ا ِْلياة‬٠٣﴿ ‫وع ُدو ان‬


‫اا‬ ْ ‫ُ ْا‬ ‫استا اق ُاموا تا تا نا َّز ُل اعلاْي ِه ُم ال اْم االئِ اك ُِ أَّاال اَتاافُوا اواال اَتْ ازنُوا اوأابْ ِش ُروا ِِب ْْلان َِّ ِ الَِِّت ُكنتُ ْم تُ ا‬
ْ َّ‫ين قاالُوا اربُّناا اللَّ هُ ُُث‬
ِ َّ
‫إِ َّن الذ ا‬
ِ ِ
ُ ‫َ ُك ْم اولا ُك ْم فِ ايها اما تاد‬
﴾٠٣﴿ ‫َّعو ان‬ ِ
ُ ‫الدُّنْ ياا اوِِف ْاْلخ ارة اولا ُك ْم ف ايها اما تا ْشتا ِهي أان ُف‬

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan) : “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) Syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan diakhirat; didalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) didalamnya apa yang kamu
minta”. (Q.S. Fushshilat [41]: 30-31).

Fathanah, mempunyai arti mengerti, memahami dan menghayati secara mendalam segala
yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menumbuhkan daya kreatifitas dan
kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Daya kreatif dan inovatif
hanya mungkin dimiliki manakala seseorang selalu berusaha untuk menambah berbagai ilmu
pengetahuan, pengalaman dan informasi, baik yang berhubungan dengan pekerjaannya
maupun perusahaan secara umum. Sifat fathanah (perpaduan antara ‘alim dan hafidz) telah
menghantarkan Nabi Yusuf A.S dan timnya berhasil membangun kembali negeri Mesir.

Perhatikan firman Allah SWT,

‫يم‬ ِ ٌ ‫ض إِِِِّن َ ِفي‬


ِ ‫اْ اعل ِِْن اعلا ٰى اخ ازائِ ِن ْاأل ْار‬
ٌ ‫ظ اعل‬ ‫ا‬ ْ ‫ال‬
‫قا ا‬

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (QS. Yusuf [12]: 55).

Sifat fathanah ini juga telah menghantarkan Nabi Muhammad SAW (sebelum menjadi
Nabi) pada keberhasilan di dalam kegiatan perdagangan (riwayat Imam Bukhari).

118
Amanah, mempunyai arti bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan
kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan
ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal. Sifat amanah harus dimiliki setiap mukmin,
apalagi yang mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat.

Perhatikan QS. 4: 58.

ِ ‫َّاس أان اَتْ ُكموا ِِبلْع ْد ِل إِ َّن اللَّ ها نِ ِع َّما ي ِعظُ ُكم بِ ِه إِ َّن اللَّ ها اكا ان اَِسيعا ب‬ ِ ِ ‫إِ َّن اللَّ ها َيْمر ُكم أان تُ اؤدُّوا ْاألام ااَن‬
‫صريًا‬ ‫ً ا‬ ‫ا‬ ‫ُ ا‬ ‫ت إِ ا َٰل أا ْهل اها اوإِ اذا اَ اك ْمتُم با ْا‬
ِ ‫ني الن‬ ‫ا‬ ْ ُُ ‫ا‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S.
An-Nisa [4]: 58).

Dalam sebuah hadits dikemukakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Amanah itu akan
menarik rezeki, dan sebaliknya, khianat itu akan mengakibatkan kefakiran.”

Rasulullah SAW bersabda,

ِ ِْ ‫الر ْز اق و‬ ِ
‫ب الْ اف ْق ار؛ رواه الديلمي‬
ُ ‫اْلياانا ُِ اَتْل‬ ‫ب ِِّ ا‬ ُ ‫األ ااماناهُ اَتْل‬

“Amanah itu akan menarik rizki, sebaliknya khianat itu akan mengakibatkan kefakiran.” (HR.
Ad-Dailamiy).

Tabligh, berarti mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan kita sehari-hari. Tabligh
yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentatif dan persuasif akan menumbuhkan
hubungan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat.

Jika sifat-sifat ini menjadi ruh serta etos dalam bekerja dan berusaha, dan pada saat yang
bersamaan juga merupakan bagian dari ibadah, maka pemberdayaan etos kerja insan akademis
yang professional akan segera terwujud.

119
AKHLAK DAN ETIKA BEKERJA DALAM ISLAM
(PERSPEKTIF DAKWAH)
Oleh: Eva Lutfia

A. Pengertian Akhlak dan Etika


 Pengertian akhlak menurut Ibn Miskawaih (w.421 H/1030 M) yang dikenal sebagai pakar
bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan, bahwa akhlak
adalah:69
.ِ ٍ‫ْع ِاَلاا ِم ْن غا ِْري فِ ْك ٍر اوالا ُر ِويا‬ ِ ِ ِ ‫ال لِلنَّ ْف‬
‫س اداعيا ٌِ اَلاا ا اَل اف ا‬ ٌ َ‫ا‬

Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
 Ahmad Amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus
dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan
apa yang seharusnya diperbuat.70

B. Karakteristik Etika Islam


1. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia pada tingkah laku yang baik dan
menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
2. Etika Islam menetapkan bahwa sumber moral, ukuran baik-buruknya perbuatan
didasarkan pada ajaran Allah SWT. (Al-Qur’an) dan ajaran Rasul-Nya (Sunnah).
3. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat
manusia dalam segala waktu dan tempat.
4. Dengan rumus-rumus yang praktis dan tepat, sesuai dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran
manusia, etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.
5. Etika islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia pada jenjang akhlak yang luhur
dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT.

69
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Edisi Revisi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013,
hlm. 3.
70
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj.) K. H. Farid Ma’ruf, dari judul asli, al-Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
cet. III, hlm.3.
120
menuju keridaan-Nya, sehingga terselamatkanlah menusia dari pikiran dan perbuatan
yang keliru dan menyesatkan. 71
C. Bekerja Sebagai Suatu Kewajiban
Bekerja sebagai satu kewajiban seorang hamba kepada Allah SWT. Allah SWT
memerintahkan bekerja kepada setiap hamba-hamba-Nya. Hal ini seperti yang tersurat
dalam firman Allah:
‫ادةِ فا يُ نا بِِّئُ ُك ْم ِِباا ُكنْ تُ ْم تا ْع املُو ان‬
‫الش اه ا‬ ِ ْ‫اَلِلُ اع املا ُك ْم اوار ُسولُهُ اوال ُْم ْؤِمنُو ان ۖ او استُ اردُّو ان إِ ا َٰل اع ِاِل الْغاي‬
َّ ‫ب او‬ ‫اوقُ ِل ا ْع املُوا فا ا‬
َّ ‫َيا ارى‬

“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui
akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan”.(Q.S At-Taubah [9]: 105)

Bekerja sebagai satu kewajiban seorang hamba kepada Allah SWT.


a) Setiap manusia diharuskan untuk dapat memberikan nafkah kepada dirinya sendiri, dan
juga kepada keluarganya.
b) Dalam Islam terdapat banyak sekali ibadah yang tidak mungkin dilakukan tanpa biaya dan
harta, seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, haji dan umrah. Sedangkan biaya/harta tidak
mungkin diperoleh tanpa proses kerja. Maka bekerjalah untuk memperoleh harta dalam
rangka ibadah kepada Allah menjadi wajib. 72 Kaidah Fiqhiyah mengatakan:
ِ ِِ ِ ِ
ُ ْ‫ب إِالَّ به فا ُه او اوا‬
.)ِ ‫ب؛ (القاعدت الفقهي‬ ُ ْ‫اماالا يات ُّم ال اْوا‬
“Suatu kewajiban yang tidak bisa dilakukan melainkan dengan pelaksanaan sesuatu, maka
sesuatu itu hukumnya wajib.” (Kaidah fiqh)

D. Keutamaan (fadhilah) Bekerja dalam Islam


a) Orang yang ikhlas bekerja akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Dalam sebuah
hadis, Rasulullah SAW bersabda:
ِ ِ
‫َى اكاالًّ م ْن اع ام ِل يا اديْه أ ْام ا‬
.‫ رواه الطْباّن‬.ُ‫َى امغْ ُف ْوًرا لاه‬ ‫ام ْن أ ْام ا‬

71
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Edisi Revisi), Bandung: CV, Pustaka Setia, 2010, hlm. 17.

72
KH. Dr. Didin Hafidhuddin, M.Sc, Mutiara Dakwah. Jakarta: Albi Publishing, 2006, hlm. 109-110.
121
“Barangsiapa di waktu sore hari duduk kelelahan karena pekerjaan yang telah
dilakukannya, maka ia dapat sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT.”
(HR. Thabrani dari Ibn Abbas).73
b) Akan diampuni suatu dosa yang tidak dapat diampuni jika hanya dengan ibadah shalat,
puasa, zakat, haji dan umrah. Rasulullah SAW bersabda,

.‫ش ِ ِ؛ رواه ابن عَاكر‬ ِ ‫ يُ اك ِِّف ُراها ا َْلُُم ْوُم ِِف طالا‬،ُ‫ام اوالا الْ اح ُّج اوالا ال ُْع ْم ارة‬
‫ب ال اْم ِعيْ ا‬ َّ ‫ب ذُنُ ْوًِب الا يُ اك ِِّف ُراها‬
ِِّ ‫الصالاةُ اوالا‬
ُ ‫الصيا‬ ُّ ‫إِ َّن ِم ان‬
ِ ‫الذنُ ْو‬

“Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu, terdapat suatu dosa yang tidak akan dihapuskan
dengan shalat, puasa, haji dan umrah. Para sahabat bertanya, Apa yang dapat
menghapusnya wahai Rasulullah? Rasul menjawab: “Semangat dalam mencari rizki.”
(HR. Ibn ‘Asakir)

c) Mendapatkan cinta Allah SWT. Perhatikan sabda Rasulullah SAW,

‫ب ال ُْم ْؤ ِم ان ال ُْم ْح اِّت ا‬


.‫ رواه الطْباّن‬.‫ف‬ ُّ ‫إِ َّن هللاا ُُِي‬

“Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mukmin yang giat bekerja.” (HR. Thabrani)
d) Terhindar dari adzab api neraka. 74
Dalam sebuah riwayat dikemukakan, “Pada suatu saat, Sa’ad bin Muadz al-Anshari
berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau
melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa
sengatan matahari. Rasulullah SAW bertanya, “Kenapa tanganmu? Sa’ad menjawab
“Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang
menjadi tanggunganku”. Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Sa’ad dan
menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api
neraka.” (HR. Thabrani)
Rumusan bekerja dalam Islam adalah: JAMSOS-AKH
JAMSOS-AKH yaitu Jaminan Sosial Akhirat atau SURGA
Allah SWT berfirman:

73
As-Sayyid Ahmad al-Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Ahadits, Penterj. H. Hadiyah Salim, Cet. 6, Bandung: Alma’rif,
1996, hlm, 753.
74
Ibid, hlm. 110-111.
122
ِِ ِ ِ َِّ ‫ت‬ ِ ‫ا ْشتا روا ِِبَي‬
‫صدُّوا اع ْن اسبيله إِنَّ ُه ْم اس ا‬
‫اء اما اكانُوا يا ْع املُو ان‬ ‫اَلِل َثاانًا قاليال فا ا‬ ‫اْ ا‬
“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya,
dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah
lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 72)

Bekerja yang shahih atau benar = SURGA (ُِ َّ‫الص ِح ْي ُح = ا ْْلان‬


َّ ‫)ال اْع ام ُل‬

Jadi, orang yang bekerja dengan benar, mendapat janji akan memperoleh
keberuntungan di akhirat berupa surga.

Pertanyaan besar tentang pekerjaan kita,


a. Apakah pekerjaan yang kita lakukan akan menghantarkan kita ke surga?
b. Apa syarat-syarat yang dapat menjadikan pekerjaan kita sebagai sarana untuk
mendapatkan surga Allah SWT?
c. Bagaimana menjadikan pekerjaan kita sebagai sarana untuk mendapatkan surga?

E. Syarat mendapatkan surga adalah dengan bekerja


ِ ُِ ‫)النِِّي ُِ الْ اخا لص‬
a) Niat ikhlas karena Allah SWT (‫هللا تا اع ااَل‬ ‫ا‬ ‫ا‬
Artinya ketika bekerja, niatan utamanya adalah karena Allah SWT sebagai
kewajiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap hamba. Dan konsekuensinya
adalah ia selalu memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah. Ketika
berangkat dari rumah, lisannya basah dengan do’a:
ِ ‫هللا الاَو ال والا قُ َّوةا إِالَّ ِِب‬
ِ ‫ْت علاى‬ ِ
‫هللا‬ ‫اْ ا‬ ‫بِ َْ ِم هللا تا اوَّكل ُ ا‬
“Dengan menyebut nama Allah, saya pasrah kepada Allah tiada daya, tiada upaya,
kecuali dengan kehendak Allah SWT”
Ketika pulang ke rumah pun, kalimat tahmid (memuji nama Allah dengan membaca:
menggema dalam dirinya yang keluar melalui lisannya).
b) Itqan, sungguh-sungguh dan profesional dalam bekerja (‫)اإلتقان في العمل‬
Syarat kedua agar pekerjaan dijadikan sebagai sarana mendapatkan surga dari
Allah SWT adalah profesional, sungguh-sungguh dan tekun dalam bekerja. Diantara

123
bentuknya adalah, pencapaian target (bahkan melebihi target), disiplin, tuntas
melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya, memiliki keahlian di bidangnya
dan sebagainya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
.‫ رواه البيهقي‬.ُ‫اَ ُد ُك ْم اع امالً أا ْن يٌ ْت ِقناه‬ ِ ُّ ‫إِ َّن هللاا ُُِي‬
‫ب إِذاا اعم ال أ ا‬
“Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang
apabila ia bekerja, ia menyempurnakan pekerjaannya (bekerja secara profesional).”
(HR. Baihaqiy dari ‘Aisyah)
c) Bersikap jujur dan amanah (‫)الصدق واألمانة‬
Karena pada hakikatnya pekerjaan yang dilakukannya tersebut merupakan
amanah, baik secaraa duniawi dari atasannya atau pemilik usaha, maupun secara duniawi
dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang
dilakukannya. Implementasinya jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah
dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif
dalam menilai, dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,
ِ ‫الشه اد‬
.‫ رواه ابن ماْه‬.ِ ِ ‫آء يا ْوام ال ِْقيا اام‬ ِ ِ ِ ‫الت‬
‫الص ُد ْو ُق ال ُْم َْل ُم ام اع ُّ ا‬
َّ ‫ني‬
ُْ ‫َّاْ ُر األام‬
“Seorang pebisnis yang jujur lagi dapat dipercaya (kelak akan dikumpulkan) dengan
syuhada nanti di hari kiamat.” (HR. Ibn Majah)

d) Menjaga etika sebagai seorang muslim (‫)التخلق باألخلق اإلسالمية‬


Bekerja juga harus memperhatikan adab dan etika sebagai seorang muslim, seperti
etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan
customer, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlaq atau etika ini merupakan ciri
kesempurnaan iman mukmin. Perhatikan sabda Rasulullah SAW:
ِ
.‫ رواه ابو داود‬.‫َنُ ُح ْم ُخلُ ًقا‬
‫اَ ا‬ ‫أا ْك ام ُل ال ُْم ْؤمنِ ْا‬
ْ ‫ني إِْْيا ًاَن أ‬
“Sesempurna-sempurnanya keimanan seorang mukmin adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)

124
e) Tidak melanggar prinsip-prinsip syari’ah
Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-
prinsip syari’ah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Tidak melanggar prinsip-prinsip
syari’ah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal,
Pertama, dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti tidak boleh memproduksi
barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi), mengandung unsur
riba, maysir, gharar, dan sebagainya.
Kedua, dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti risywah,
membuat fitnah dalam persaingan, tidak menutup aurat, ikhtilath antara laki-laki dengan
perempuan dan sebagainya,
Allah SWT berfirman:
‫ول اواال تُ ْب ِطلُوا أا ْع امالا ُك ْم‬
‫الر ُس ا‬
َّ ‫يعوا‬ ِ َّ ‫اطيعوا‬
ُ ‫اَلِلا اوأاط‬
ِ
ُ ‫آمنُوا أ‬
‫ين ا‬
ِ َّ
‫اَي أايُّ اها الذ ا‬
“Hai, orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul dan
janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

f) Menghindari syubhat (‫)اإلبتعاد عن الشبهات‬


Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau
sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharaman. Seperti unsur-
unsur pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan tertentu.
Atau seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzaliman
atau pelanggarannya terhadap syari’ah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari
internal maupun eksternal. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan
ini. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya terdpat persoalan yang samar-samar atau syubhat (yang) kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang dapat menjaga dirinya dari hal-hal yang
samar atau syubhat tersebut, maka ia telah membersihkan atau menjaga agama dan
kehormatannya, dan barangsiapa yang selalu melakukan perkara yang samar-samar
atau syubhat itu, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram seperti pengembala
yang mengembala di sekeliling tanah larangan (halaman) orang, lambat-laun ia akan
masuk ke dalamnya. Dan ingatlah bahwa di dalam tubuh itu terdapat segumpal daging,

125
apabila ia beres, maka bereslah tubuh itu, dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh
tubuh itu. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

g) Menjaga Ukhuwah Islamiyyah


Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah
Islamiyyah antara sesama muslim. Janganlah sampai dalam bekerja atau berusaha
melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin.
Rasulullah SAW pernah mengemukakan tentang hal yang bersifat prefentif agar
tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin. Beliau mengemukakan
agar kita tidak membeli barang yang sudah dibeli oleh saudara orang lain, karena jika hal
ini terjadi, maka tentu akan merenggangkaan juga ukhuwah Islamiyah diantara mereka;
karena akan berakibat saling curiga, Su’u Dzhan (buruk sangka) dan lain sebagainya.

F. Ranjau-ranjau Berbahaya dalam Dunia Kerja


Dunia kerja adalah dunia yang terkadang dikotori oleh ambisi-ambisi negatif manusia,
ketamakan, keserakahan, keinginan menang sendiri, dsb. Karena dalam dunia kerja, umumnya
manusia memiliki tujuan utama hanya untuk mencari materi. Dan tidak jarang untuk mencapai
tujuan tersebut, segala cara digunakan. Sehingga sering kita mendengar istilah, injak bawah,
jilat atas dan sikut kiri kanan. (Na'udzu billah min dzalik) 75

Oleh karenanya, di samping kita perlu untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik
dalam bekerja, kitapun harus mewaspadai ranjau-ranjau berbahaya dalam dunia kerja serta
berusaha untuk menghindarinya semaksimal mungkin. Karena dampak negatif dari ranjau-
ranjau ini sangat besar, diantaranya dapat memusnahkan seluruh pahala amal shaleh kita.
Berikut adalah beberapa sifat-sifat buruk dalam dunia kerja yang perlu dihindari dan
diwaspadai:
a. Hasad atau Dengki
Hasad atau dengki adalah suatu sifat, yang sering digambarkan oleh para ulama dengan
ungkapan "senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang." Sifat ini sangat

75
http://rikzamaulan.blogspot.com/2009/01/etika-dan-akhlak-bekerja-dalam-islam.html (Minggu, 7 Juni 2015)

126
berbahaya, karena akan "menghilangkan" pahala amal shaleh kita dalam bekerja. Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

‫ب رواه أبو‬
‫ال ال ُْع ْش ا‬
‫ب أ ْاو قا ا‬ ُ ‫َناات اك اما اَْ ُك ُل الن‬
‫َّار ا ِْلاطا ا‬ ‫اا ا ُ اا‬ ‫ْ ا اا‬ ‫اَلِلُ اعلا ْي ِه او اسلَّ ام قا ا‬
ِ ‫ال إِ ََّي ُكم وا ِْلَ اد فاِإ َّن ا ِْلَ اد َيْ ُكل ا ِْل‬ َّ ‫صلَّى‬
‫َِّب ا‬ َّ ‫اع ْن أِاِب ُه اريْ اراة أ‬
َّ ِ‫ان الن‬

‫داود‬

Dari Abu Hurairah ra berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah oleh
kalian sifat hasad (iri hati), karena sesungguhnya hasad itu dapat memakan kebaikan
sebagaimana api melalap kayu bakar. (HR. Abu Daud)

b. Saling Bermusuhan
Tidak jarang, ketika orang yang sama-sama memiliki ambisi dunia berkompetisi
untuk mendapatkan satu jabatan tertentu, atau ingin mendapatkan "kesan baik" di mata
atasan, atau sama-sama ingin mendapatkan proyek tertentu, kemudian saling fitnah, saling
tuduh, lalu saling bermusuhan. Jika sifat permusuhan merasuk dalam jiwa kita, dan tidak
berusaha kita hilangkan, maka akibatnya juga sangat fatal, yaitu bahwa amal shalehnya
akan "dipending" oleh Allah SWT, hingga mereka berbaikan. Dalam hadits lain Rasulullah
SAW bersabda :

َِّ ‫يس فا ي غْ افر لِ ُك ِل عب ٍد اال ي ْش ِر ُك ِِب‬


‫َلِل اش ْي ئًا إَِّال‬ ِ ْ ‫ني وي وم‬ ِ ِ ‫اَلِلُ اعلا ْي ِه او اسلَّ ام قا ا‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬
ُ ْ ‫اْلام ِ ُ ُ ِّ ا‬ ‫اب ا ْْلانَّ ِ يا ْوام االثْ نا ْ ِ ا ا ْ ا‬
ُ ‫ال تُ ْفتا ُح أابْ او‬ ‫اَلِل ا‬ َّ ‫اع ْن أاِِب ُه اريْ ارةا أ‬
‫ان ار ُس ا‬

‫صطالِ احا رواه مَلم‬ ِ ِ ‫ال أانْ ِظروا ه اذي ِن َ ََّّت يصطالِحا أانْ ِظروا ه اذي ِن َ ََّّت ي‬ ِ ِ ‫ت ب ي ناهُ وب‬
ْ ‫صطال احا أانْظ ُروا اه اذيْ ِن اَ ََّّت يا‬
ْ ‫ني أاخيه اش ْحنااءُ فا يُ اق ُ ُ ا ْ ا ا ْ ا ُ ا ْ ا ا‬ ‫ار ُْ ًال اكانا ْ ا ْ ا ا ْا‬

Dari Abu Hurairah ra berkata,bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pintu-pintu surga


dibuka pada hari senin dan kamis, maka pada hari itu akan diampuni dosa setiap hamba
yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, kecuali seseorang yang sedang
bermusuhan dengan saudaranya sesama muslim, maka dikatakan kepada para malaikat,
“Tangguhkan dua orang ini sampai mereka berbaikan.” (HR. Muslim)

c. Berprasangka Buruk
Sifat inipun tidak kalah negatifnya. Karena ambisi tertentu atau hal tertentu,
kemudian menjadikan kita bersu'udzon atau berprasangka buruk kepada saudara kita

127
sesama muslim, yang bekerja dalam satu atap bersama kita, khususnya ketika ia
mendapatkan reward yang lebih baik dari kita. Sifat ini perlu dihindari karena merupakan
sifat yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW, di samping juga bahwa sifat ini
merupakan pintu gerbang ke sifat negatif lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda:

‫َوا اواال‬ ِ ‫ال إِ ََّي ُكم والظَّ َّن فاِإ َّن الظَّ َّن أا ْك اذب ا ِْل ِدي‬
‫اَلِلُ اعلا ْي ِه او اسلَّ ام قا ا‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َّ ‫اع ْن أِاِب ُه اريْ اراة أ‬
ُ ‫َوا اواال تا ناافا‬
ََُّ ‫َوا اواال اَتا‬
ََُّ ‫ث اواال اَتا‬ ‫ُ ا‬ ‫ْ ا‬ ‫اَلِل ا‬ ‫ان ار ُس ا‬
َِّ ‫ضوا واال تا اداب روا وُكونُوا ِعباد‬
‫اَلِل إِ ْخ او ًاَن رواه مَلم‬ ‫اا‬ ‫اُ ا‬ ‫اس ُدوا اواال تا بااغا ُ ا‬
‫اَتا ا‬
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah oleh
kalian prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka buruk itu adalah sedusta-
dustanya perkataan. Dan janganlah kalian mencari-cari berita kesalahan orang lain, dan
janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah kalian saling
mementingkan diri sendiri, dan janganlah kalian saling dengki, dan janganlah kalian
saling marah, dan janganlah kalian saling memusuhi dan jadilah kalian hamba-hamba
Allah yang bersaudara. (HR. Muslim)

d. Sombong
Di sisi lain, terkadang kita yang mendapatkan prestasi sering terjebak pada satu
bentuk ke-arogansian yang mengakibatkan pada sifat kesombongan. Merasa paling pintar,
paling profesional, paling penting kedudukan dan posisinya di kantor, dsb. Kita harus
mewaspadai sifat ini, karena ini merupakan sifatnya syaitan yang kemudian menjadikan
mereka dilaknat oleh Allah SWT serta dijadikan makhluk paling hina di seluruh jagad raya
ini. Sifat ini pun sangat berbahaya, karena dapat menjadikan pelakunya di haramkan masuk
ke dalam surga (na'udzu billah min dzalik). Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW
bersabda
"Tidak akan pernah masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat satu
biji sawi sifat kesombongan" (HR. Muslim)
e. Namimah (Mengadu Domba)
Indahnya dunia terkadang membutakan mata. Keinginan mencapai sesuatu, meraih
kedudukan tinggi, memiliki gaji yang besar, tidak jarang menjerumuskan manusia untuk
saling fitnah dan adu domba. Sifat ini teramat sangat berbahaya, karena akan merusak

128
tatanan ukhuwah dalam dunia kerja. Di samping itu, sifat ini sangat dimurkai oleh Allah
serta di benci Rasulullah SAW.Dalam sebuah hadits rasulullah bersabda:

ُ ‫اَلِلُ اعلا ْي ِه او اسلَّ ام يا ُق‬ َِّ ‫ول‬ ‫ان ار ُْ ًال يانُ ُّم ا ِْلا ِد ا‬
ٌ ََّ‫ول اال يا ْد ُخ ُل ا ْْلانَّ ِا ا‬
‫ام‬ َّ ‫صلَّى‬
‫اَلِل ا‬ ُ ‫ال َُ اذيْ اف ُِ اَِس ْع‬
‫ت ار ُس ا‬ ‫يث فا اق ا‬ َّ ‫اع ْن َُ اذيْ اف ِا أانَّهُ بالاغاهُ أ‬

Dari Hudzaifah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersbada: “Tidak akan masuk surga
seseorang yang suka mengadu domba.” (HR Bukhari Muslim)

Masih banyak sesungguhnya sifat-sifat lain yang perlu dihindari. Namun setidaknya
kelima ranjau berbahaya tadi, dapat menggugah kita untuk menjauhi segala ranjau-ranjau
berbahaya lainnya khususnya dalam kehidupan dunia kerja. Jadi, sekarang bekerjalah
dengan niat ikhlas, hiasi dengan sifat-sifat positif dan songsonglah hari esok dengan penuh
kegemilangan serta keridhaan dari Allah SWT.

129
Peranan Dakwah Dalam Menghadapi Degradasi Moral

Oleh: Eliza Rahmawati

A. Moral

Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin, mores yaitu jamak
dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.76 Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.77

Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang
secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.

Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaner’s


Dictionary of Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral
sebagai berikut:

1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.

Berdasarkan kutipan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai
(ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan
bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksud adalah bahwa orang tersebut
tingkah lakunya baik.

Tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia
adalah adat-istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah moral sering pula didahului oleh kata kesadaran,
sehingga menjadi istilah kesadaran moral. Ahmad Charris Zubair dalam bukunya berjudul
Kuliah Etika mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan faktor penting untuk

76
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta Rajawali Pers, 1992), cet.1, hlm.8.
77
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, op.cit., hlm. 654.

130
memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan perbuatannya
sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang
benar-benar esensial, fundamental.

B. Peran Pemuda Islam dalam Menghadapi Degradasi Moral

Pemuda Islam itu, bergerak melalui idealita yang digariskan oleh Allah melalui dua
pusaka populer milik umat Islam: al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita tidak bisa memungkiri
itu, bagaimana jadinya membicarakan pemuda Islam tapi lepas dari sudut pandang al-
Qur’an dan as-Sunnah. Pemuda Islam dengan peranannya adalah sebuah integritas tiada
habis, sebuah perenungan sepanjang zaman yang terus diperbincangkan. Kita kutip saja
surat ali-Imraan ayat 104:

“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”

Ayat tersebut sebenarnya merupakan “teori umum” atau pedoman yang populer
bagi siapa saja yang ingin “menebarkan kebaikan.” Tak sulit mengatakan jika, tugas
tersebut dilimpahkan pada segolongan kelompok yang paling banyak berada di
masyarakat: Pemuda Islam! Maka, pemuda Islam adalah segolongan kelompok yang
berada di masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang cukup beridealisme hanya dengan
al-Qur’an dan sunnah Nabi-nya, adapun nilai-nilai dan ilmu lain yang digunakan untuk
mempertanyakan perannya adalah masalah metode, bukan metodologi. Sayyid Quthb
pernah mengatakan:

131
Referensi utama yang diadopsi oleh generasi pelopor adalah al-Qur’an, hanya al-Qur’an
semata, sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah SAW merupakan satu dari beberapa
konsekuensi yang bersumber dari al-Qur’an.78

Generasi pelopor yang dimaksud Sayyid Quthb adalah generasi sahabat


ridwanullah ‘alaihim. Namun, tidak menutup kemungkinan, jika kita katakan bahwa ada
generasi pelopor juga setelah generasi para sahabat tersebut, yaitu generasi pelopor yang
meniru generasi sahabat?

C. Pemuda dan Degradasi Moral: Revitalisasi Dakwah Aqidah Islam

Sejarawan membagi periode perjuangan Nabi Muhammad dalam dua tempat


penting di Arab: Makkah dan Madinah. Makkah adalah tempat Nabi Muhammad
menyeru tauhid dan membangun aqidah sahabat-sahabatnya ketika pertama kali masuk
Islam. Sedangkan periode Madinah adalah tempat Nabi Muhammad membangun
kekuatan, syari’at dan akhlak bagi umatnya. Ada satu cerita menarik yang didapat dari
periode Madinah tersebut. Suatu ketika, Nabi Muhammad tengah menemui para
sahabatnya yang sedang berada di dalam sebuah kedai minuman. Para Sahabat tersebut
sedang mabuk keras karena khamr yang dipesan mereka. Singkat kisah, Nabi Muhammad
membacakan suatu ayat tentang larangan meminum khamr di depan para sahabatnya itu.
Serentak setelah ayat tersebut dibacakan, para Sahabat Nabi yang sedang mabuk tersebut
lantas membuang khamr yang dipesannya, begitu pula dengan pemilik kedai minuman
tersebut. Mereka sama-sama membuang khamr tersebut tanpa pandang bulu atau bersikap
eman-eman.

Demikian iman dan tauhid yang begitu kuat melekat di dalam dada para Sahabat
tersebut. Iman dan tauhid tersebut adalah hasil binaan Nabi Muhammad pada periode
Makkah. Begitu taatnya mereka kepada Allah dan Rasul-Nya: Sahabat dengan begitu
saja, tanpa pikir panjang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya tersebut. Aqidah adalah
hal pertama yang dibina Nabi Muhammad SAW ketika menyampaikan risalah
kenabiannya. Pada Periode Makkah, kerusakan akhlak dan moral sedang terjadi di tengah

78
Sayyid Quthb, 2009, Ma’alim Fi Ath-Thariq, a.b. Mahmud Harun Muchtarom, Yogyakarta: Uswah, hlm. 34.

132
tatanan masyarakat Arab yang tradisional ortodoks. Terjadi sebuah konsekuen yang logis
ketika tatanan mayarakat yang tradisional ortodoks hasil buatan manusia tersebut
mengakibatkan kerusakan moral. Tak perlu penulis gambarkan kerusakan moral tersebut,
karena terlalu banyak buku sejarah Islam yang menggambarkannya.

Di tengah kerusakan akhlak dan moral tersebut, ada juga sekelompok masyarakat
yang masih ingin memperbaiki akhlak masyarakat Arab, namun kita tidak bisa
memungkiri, karena pada gilirannya, sekelompok masyarakat tersebut, walaupun ingin
memperbaiki kondisi moral masyarakat, namun juga masih melakukan peribadatan yang
salah, atau masih terdapat peribadatan yang hanya meniru nenek moyang mereka:
penyembahan terhadap berhala dan sejenisnya menjadi suatu hal yang biasa. Seaindainya
Rasulullah pada awal perjuangannya berjuang untuk mengatasi degradasi ahklak-moral,
Pan-Arabisme, dan pemberontakan melawan Romawi dan Persia (hal-hal lain yang
dihadapi bangsa Arab), maka dakwahnya akan sangat diterima, bahkan didukung karena
ia tidak akan menyinggung masalah-masalah peribadatan jahiliah. Sebaliknya, fakta
sejarah yang ada, beliau terlebih dahulu menegaskan laa ilaaha illallah (tiada
sesembahan lain yang patut disembah kecuali Allah) sebelum mengatasi masyarakat Arab
yang rusak karena tatanan jahiliah hasil tradisi manusia itu.

Bandingkan dengan sekarang, terlalu banyak orang yang menyeru terhadap


perbaikan moral, bahkan ada banyak juga yang bersembunyi dibalik slogan pendidikan
karakter, sebagai upaya membentuk masyarakat yang bermoral. Namun, kita juga tidak
dapat memungkiri, orang-orang yang menyeru tentang perbaikan moral tersebut adalah
orang Islam yang “Tak sadar dien Islam.” Mereka ingin memperbaiki moral masyarakat
dengan alternatif dan slogan-slogan lain, selain Islam, meskipun, sekali lagi, kebanyakan
dari mereka adalah muslim. Bukannya ingin membicarakan masyarakat yang sekuleristik,
namun konsekuensinya tetap saja mengacu pada hal tersebut. Masyarakat yang
sekuleristik tidak akan mengacu pada tindakan-tindakan non-relijius untuk mengatasi

133
persoalan-persoalan duniawi yang menurut mereka hanya bisa diselesaikan dengan
solusi-solusi duniawi pula.79 Akankah kita termasuk golongan yang seperti itu?

Inilah suatu awal untuk mempertanyakan peran pemuda Islam dalam membendung
degradasi moral. Pemuda Islam tidak hanya akan menyeru pada hal-hal yang frontal untuk
mengatasi degradasi moral. Lebih dari itu, memahamkan kepada pelaku degradasi moral
tentang “Mengapa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang mengakibatkan kerusakan
akhlak-moral,” melalui pemahaman dien Islam lebih penting dibanding terus-menerus
secara teratur meneriakkan “berantas kemaksiatan,” meskipun hal tersebut juga perlu
dilakukan sebagai nahi mungkar ketika kondisi masyarakat sudah tidak bisa diajak
“berkompromi” lagi.

Maka di sinilah perlunya untuk memulai gerakan pembendungan degradasi moral


tersebut melalui pemahaman aqidah Islam yang benar menurut tradisi pemikiran ahlus
sunnah wal jamaah. Dengan kata lain, pemuda Islam itu bukan hanya sekelompok insan
yang meneriakkan slogan-slogan “pembendungan degradasi moral”, namun pemuda
harus lebih dalam tenggelam pada perjuangan aqidah Islam sebagai cara yang prinsipil
untuk menangani masalah kerusakan moral, atau setidaknya, ia sadar bahwa berteriak
tentang “penegakkan Islam” di bumi adalah lebih penting, dibanding jika hanya berteriak
“Marilah kawan-kawan, kita perkuat national character building kita dengan semangat
nasionalisme!!” yang nampak emosional, persuasif dan retorik namun terefleksikan
dengan omong kosong belaka.

Apa yang harus dilakukan pemuda Islam? Dari penjelasan di atas, sudah jelas
bahwa poin terpenting dan utama yang harus diperbuat untuk memposisikan diri di tengah
masyarakat yang sebagian besar collapse akhlaknya adalah dakwah aqidah. Inilah yang
dicontohkan Rasulullah dalam membina ummat-nya, dan inilah yang harus diamalkan

79
Sekuleristik, atau sekulerisme secara umum merupakan salah satu “virus” yang menyerang Islam (secara historis
maupun normatif) yang hakikatnya, semua muslim sejati “berhak” melindungi dirinya dari virus ini. Seluruh ulama
Islam yang tahu tentang paham pemisahan agama dengan urusan-urusan publik ini, sadar tentang bahayanya yang
terus menggerogoti Islam. M. Natsir (dan kawan-kawannya), seorang ulama dan politikus pada masa Orde Lama,
telah menyadari tentang sekulerisme tersebut, di saat kebanyakan ulama ortodoks masih belum sadar terhadap
paham ini. Padahal paham ini sudah dihembuskan sejak kolonialisme modern bercokol di negeri-negeri Timur.
Lihat Thohir Luth, 2005 (cetakan kedua), M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani, hlm. 115.
134
pemuda Islam. Mereka yang memiliki visi mengadopsi dan belajar dari sejarah kenabian
untuk dijadikan pedoman langkah-langkahnya di zaman ini, maka tidak berlebihan jika
kita mengatakan pemuda Islam adalah golongan yang sadar sejarah. Secara aplikatif,
pemuda Islam adalah bagian yang unggul dan produktif secara usia. Mereka adalah
golongan yang relatif mampu menghidupkan pengajian-pengajian aqidah dalam
masyarakat. Ini tidak mudah, tantangan selalu dihadapi, karena dakwah aqidah yang
sesungguhnya pasti akan bertentangan dengan “apa yang diyakini masyarakat.”

Berkaitan dengan ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menuturkan:


Rasulullah Saw adalah suri teladan yang baik dalam memberikan jalan keluar bagi semua
problem umat Islam di dunia modern sekarang ini pada setiap waktu dan kondisi. Hal ini
yang mengharuskan kita memulai dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Nabi kita, yaitu
pertama-tama memperbaiki apa-apa yang telah rusak dari aqidah kaum muslimin. Dan
yang kedua adalah ibadah mereka. Serta yang ketiga adalah akhlak mereka sesungguhnya
urusannya tidaklah mudah sebagaimana yang disangka oleh sebagian mereka. Dan
diantara mayoritas kaum muslimin pada masa ini yang mengucapkan kalimat [thayyibah]
(laa ilaaha illallah –pen) tetapi tidak memahami maknanya secara benar.80

Demikian, sudah saatnya, pemuda Islam memberi perhatian lebih terhadap dakwah
aqidah ini jika menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang unggul akhlaknya, atau
dalam bahasa yang populer “masyarakat yang berakhlak mulia.” Sebuah masyarakat yang
didiami oleh pemuda Islam, sebagai “elemen tengah” telah memiliki sebuah kunci untuk
membentangkan sebuah peradaban. Maka tidak heran jika Rasulullah SAW menyebut Ali
bin Abi Tholib, seorang pemuda cerdas saat itu yang menjadi salah satu Khulafaur
Rasyidin yang terkenal itu, sebagai “kuncinya ilmu.” Kembali kita bertanya, adakah suatu
peradaban yang unggul akhlak-moralnya tanpa disertai pemuda dan aqidah Islam yang
kuat? Tidak terlalu berlebihan jika kita mengatakan, sepertinya mustahil mengawang-
awang atau membolak-balik buku sejarah untuk menemukan sebuah peradaban yang
lebih baik akhlak dan moralnya tanpa disertai dengan aqidah Islam yang mapan.

80
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2001, “At-Tauhid Awwalan Ya Du’atsal Islam”, a.b. Fariq Gasim Anuz,
Tauhid: Prioritas Pertama dan Utama, Jakarta: Darul Haq, hlm. 9 dan 32.

135
D. Solusi Untuk Meminimalisir Terjadinya Degradasi Moral

1. Pendidikan moral

Dalam sebuah Negara yang memiliki peranan penting dalam pembangunan


Negara adalah sektor pendidikan sebab pendidikan fungsinya sebagai penegak nilai
sistem masyarakat maka dari itu permasalahan budaya akibat dari globalisasi dapat
diselesaikan salah satunya dengan pendidikan moral.

Budaya sendiri diartikan sebagai way of life di dalamnya terdapat moral – moral
yang disepakati dan dijalankan bersama sehingga yang menjadi kunci di sini adalah
bagaimana melalui pendidikan moral ini bisa membentuk moral individu – individu
yang baik yang sesuai dengan masyarakat yang ideal yang akhirnya menjadi budaya.

Obyek yang dibidik

Dalam sebuah tujuan maka akan ada target obyek yang di bidik. Karena yang
menjadi masalah adalah budaya sehingga jelas targetnya adalah terhadap manusia atau
semua individu orang Indonesia bukan hanya kaum intelektual saja. Karena pendidikan
itu bermakna mendewasakan manusia yang isinya ada pembekalan ilmu, transformasi
nilai budaya dan pembentukan akhlak atau moral.

 Seberapa Jauh Kondisi Kekinian Pencetus Gagasan Dapat diperbaiki

1. Kekuatan Jati Diri dan Karakter Bangsa

Berbagai problematika yang muncul dalam kehidupan masyarakat


seringkali disinyalir sebagai kegagalan institusi pendidikan dalam pengembangan
moral. Menurut Jarolimek (Nurul Zuriah, 2007:19), pendidikan moral berusaha
untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak
masyarakatnya. Kehendak itu berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi
nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua
aspek : nilai-nilai dan kehidupan nyata maka pendidikan moral lebih banyak
membahas masalah dilema (seperti makan buah simalakama) yang berguna untuk

136
mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya. Sedangkan
pendidikan karakter sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang
dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan
keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral
dalam hidupnya.

Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak pikiran,


perasaan dan kehendak atau kemauan, lalu menimbulkan tenaga. Dengan adanya
budi pekerti itu, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi),
yang memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri). Inilah manusia yang
beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya (Ki Hadjar
Dewantara, 1977:25). Salah satu faktor terpenting dalam pembentukan karakter
ialah pengaruh kelompok terhadap individu selama masa kanak-kanak dan
pemuda. Banyak kegagalan integrasi dalam kepribadian terjadi karena adanya
konflik antara dua kelompok yang berbeda di mana seorang anak menjadi bagian
dari keduanya, sementara kegagalan-kegagalan lain yang timbul dari konflik
antara selera kelompok dan selera individu (Bertrand Russel, 1993:68).

Pendidikan yang selama ini cenderung lebih fokus pada transfer of


knowledge (pengetahuan-kognitif) seringkali disalahkan karena mengabaikan
transfer of values (nilai-afektif). Menurut Thomas Lickona sebagaimana
diungkapkan dalam (Nurul Zuriah 2007: 12-16) menawarkan sejumlah tugas
pendidik yang walaupun berat, namun perlu dilaksanakan sebagai ujung tombak
dan penanggung jawab pendidikan moral di sekolah, yaitu: Pendidik haruslah
menjadi seorang model sekaligus mentor dari peserta didik dalam mewujudkan
nilai-nilai moral dalam kehidupan sekolah, Masyarakat sekolah haruslah
merupakan masyarakat yang bermoral, Perlunya mempraktikkan disiplin moral,
Menciptakan situasi demokratis di ruang-ruang kelas, mewujudkan nilai-nilai
melalui kurikulum, budaya kerjasama (cooperative learning), menumbuhkan
kesadaran berkarya, mengembangkan refleksi moral, serta mengajarkan resolusi
konflik.

137
 Pihak-Pihak Yang Dipertimbangkan Dapat Membantu

1. Sekolah atau institusi pendidikan

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa Pendidikan adalah daya upaya


untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat
memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang
selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Suyata (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan


dari kebudayaan, karena mendidik anak dalam keterpisahan dengan kebudayaan,
ibarat mencabut siswa dari akar kebudayaannya. Kegiatan pendidikan yang
terlepas dari akar budaya, pandangan hidup, dan kesejarahan masyarakatnya
akan menimbulkan keterasingan yang mematikan semangat, gairah, atau
motivasi untuk membangun kemajuan budaya dalam masyarakatnya (Sodiq A.
Kuntoro, 2011:3). Dengan demikian, kita perlu mengembalikan posisi
pendidikan sebagai proses pembudayaan untuk mewujudkan manusia dan
masyarakat Indonesia yang beradab (civilized human beeing), sesuai dengan
konteks sosial budayanya.

2. Lembaga swadaya masyarakat pendidikan

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah organisasi non-pemerintah


yang indepanden dan mandiri. Lsm tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan
keinginan sendiri, ditengah masyarakat, dan berminat serta bergerak dalam
dalam serta lingkungan hidup. Lsm pendidikan bergerak dalam pelayanan
pendidikan dalam berbagai hal seperti pelatihan,advokasi, memberi informasi dll
.

 Langkah-Langkah Strategi Yang Harus Dilakukan

Ada empat cara atau media pendidikan Moral dapat dilaksanakan melalui:

Pertama, karena peranan pendidikan formal dianggap paling kuat dalam


pembentukan manusia yang berilmu dan berakhlak maka melalui pendidikan

138
formal ini pendidikan moral akan diberikan otomatis akan dimasukkan dalam
kurikulum nasional dimulai sejak tingkatan sekolah dasar sampai dengan ke
perguruan tinggi. Sehingga nanti yang ditekankan tidak hanya bagaimana bisa
menjadi manusia yang pandai saja akan tetapi bagaimana bisa manusia yang
berakhlak mulia. Sehingga di dalamnya tidak saja terjadi proses transfer ilmu
pengetahuan tetapi juga terdapat pembentukan moral dan tentu saja semua yang
berperanan dalam dunia kependidikan formal (mulai dari kepala sekolah sampai
tungkang kebun) harus bisa memberikan contoh moral bagi siswanya dan sesama
tenaga kependidikan.
Kedua, karena manusia adalah uswah bagi manusia yang lain maka setiap individu
diharapkan dapat memberikan contoh moral yang baik terhadap yang lainnya
sehingga dengan demikian secara tidak langsung akan membentuk moral – moral
yang telah di harapkan sesuai nilai ideal masyarakat yang seimbang
Ketiga, melalui lembaga swasta lembaga yang bersifat teknologi informasi dan
komunikasi yang membawa pengaruh besar dalam sebuah pendidikan di
masyarakat seperti televisi, surat kabar, dan lembaga perfilman sebagai media
pembawa pesan moral bagi masyarakat.
Keempat, Menguatkan identitas melalui pengembangan kreativitas. Dalam diri
manusia, kreativitas memainkan peran vital dan menentukan dalam gerak
hidupnya secara individual maupun kolektif. Kreativitas inilah yang mendorong
manusia untuk mengembangkan diri. Kreativitas ini terus berkembang dan
diwariskan dari generasi ke generasi, yang terakumulasi menjadi kebudayaan dan
peradaban. Kreativitas dalam diri manusia memiliki keistimewaan dibanding yang
lain, karena dialami secara sadar. Ia tidak hanya aktif, tetapi juga reflektif.
Manusia tidak sekedar memproduksi kreativitas, melainkan juga mampu
melakukan kritik, memperbaiki, memperbaharui, atau menghapus dan
menciptakan yang baru sama sekali. Selanjutnya, manusia bahkan mengkaji dan
dapat memahami hakikat kreativitas itu sendiri (Albert Camus, 1998).

Dengan kesadaran akan makna penting kreativitas sebagai daya hidup,


dicarilah kondisi-kondisi yang menjadi prasyarat munculnya kreativitas. Secara
umum, menurut Albert Camus (1998) ada beberapa prasyarat bagi munculnya

139
kreativitas, yaitu: Kebebasan,Adanya hubungan atau komunikasi, Keberanian.
Situasi dan kondisi lingkungan mestinya tidak dibiarkan sebagaimana adanya dan
manusia tidak membiarkan dirinya hanyut dalam perubahan sosial yang terjadi.
Manusia memiliki idealisme dan cita bagi masyarakat masa depan. Agar cita
masyarakat masa depan dapat tercapai, manusia membuat kreativitas dengan
menciptakan situasi dan kondisi tertentu (Noeng Muhadjir, 2000).

E. Peran Dakwah dalam Menghadapi Degradasi Moral

Sebenarnya dakwah itu sendiri adalah komunikasi. Dakwah tanpa komunikasi tidak
akan mampu berjalan menuju target-target yang diinginkan, demikian komunikasi tanpa
dakwah akan kehilangan nilai-nilai Ilahi dalam kehidupan. Dengan demikian dakwah
memiliki dua peran yang saling terkait, yaitu dakwah sebagai proses komunikasi dan proses
perubahan sosial. Sedangkan dakwah sebagai proses perubahan sosial, ia berperan dalam
upaya perubahan nilai dalam masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan dakwah Islam.
Sebab dakwah pada hakikatnya adalah aktualisasi imani yang dimanifestasikan dalam
suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan
secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak manusia,
pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural, dalam rangka mengusahakan
terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia dengan menggunakan cara
tertentu.
Di dalam memerankan perubahan sosial tersebut, dakwah tidak hanya merupakan
upaya yang terbatas pada tabligh (penyampaian) atau upaya tau’iyah (penyadaran) saja,
tetapi da’wah juga merupakan upaya-upaya yang bersifat lebih sistematis dalam kegiatan
yang dapat menopang dakwah dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya. Upaya
memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat, agar masyarakat tidak terjebak
dalam ranjau-ranjau kesesatan yang sengaja dibuat oleh musuh-musuh Islam, serta agar
masyarakat mampu memperbaiki diri akibat dekadensi moral, dan agar masyarakat juga
senantiasa terarah dan terbimbing dalam menghadapi tantangan, hambatan dalam
kehidupan, sehingga tidak dengan mudah tergoda oleh ‘iming-iming’ menggiurkan yang

140
berisi tipuan belaka, atau tidak pesimis dan frustasi lantaran beratnya problematika hidup
yang dihadapi.
Upaya aplikatif lain bagi dakwah dalam memerankan perubahan sosial adalah upaya
himayah (advokasi), yaitu memberikan perlindungan, baik terhadap nilai-nilai ajaran
dakwah itu sendiri, maupun terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya dalam
menghadapi bentuk-bentuk kedzhaliman. Semua upaya tersebut tersurat dalam firman
Allah SWT: “Inilah jalanku dan jalan pengikutku, terus berda’wah kepada Allah atas
dasar bashirah.” (QS. Yusuf: 108). “Dan ini jalanku yang lurus, ikutilah, jangan ikuti
jalan-jalan lain maka kalian akan bercerai berai dari jalannya, demikianlah yang Allah
wasiatkan kepada kalian.” (QS. al-An’am: 153). Dengan begitu, peran dakwah memang
sangat besar untuk menghadapi dekadensi moral yang dialami oleh masyarakat muslim.

F. Implementasi Dakwah terhadap Pendidikan Luar Sekolah dalam Menghadapi Degradasi


Moral

Untuk menangkal dampak negatif globalisasi, diperlukan peningkatan Sumber Daya


Manusia (SDM) dengan pendidikan dan dakwah yang diimplikasikan dengan membangun
pendidikan sekolah, madrasah yang berkualitas, meningkatkan syi’ar dakwah ke pelosok-
pelosok dan pedalaman.
Dalam hal ini Pendidikan Luar Sekolah memegang peranan yang sangat penting.
Pada dasarnya PLS merupakan Pendidikan berbasis masyarakat, yang bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat. Dengan memanfaatkan salah satu wadah untuk berdakwah
yakni majelis ta’lim, diharapkan dapat menghadapi perubahan zaman yang menyebabkan
dekadensi moral. Semua program PLS memuat program tentang keagaamaan sebagai bekal
bagi masyarakat untuk menghadapi dekadensi moral.

141
Etika Bermajelis
Oleh: M. Alam Agustian

A. Pengertian Etika dan Majelis


1. Pengertian Etika
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan
perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk
jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan
etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Etika dalam Islam disebut akhlak. Berasal dari bahasa Arab al-akhlak yang merupakan
bentuk jamak dari al-khuluq yang berarti budi pekerti, tabiat atau watak yang tercantum dalam
al-qur’an sebagai konsideran. (Pertimbangan yg menjadi dasar penetapan keputusan,
peraturan).
“Sesungguhnya engkau Muhammad berada di atas budi pekerti yang agung.” (Q.S. Al-
Qalam: 4 )
Menurut Magins Suseno, etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran.
Maksudnya, etika hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral, sedangkan
yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas atau kita bisa
juga mengatakan bahwa etika adalah perwujudan secara kritis dan rasional ajaran moral yang
siap pakai.81
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Atau kumpulan asas
atau nilai yang dianut suatu golongan masyarakat.82

81
Burhanuddin, Salam. Etika Sosial : Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta : Rineka Cipta,1997. hal.
82
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka,1990. hal 237.
142
Menurut Prof. Dr. Akhmad Amin, etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya di lakukan oleh manusia kepada lainnya,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus di perbuat.83
Menurut R.I. Sarumpaet (1976:10), Etika adalah kumpulan peraturan bergaul yaitu
kumpulan tata tertib dan cara-cara bergaul diantara orang-orang beradab. Etika merupakan
kumpulan aturan-aturan yang menerbitkan dan mengendalikan pergaulan manusia, Dengan
menurut peraturan itu manusia dapat hidup rukun bersama-sama.84
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa etika adalah merupakan aturan-
aturan konvensional mengenai tingkah laku individual dalam masyarakat beradab, tata cara
formal maupun tata cara karma lahiriah untuk mengatur hubungan antara pribadi sesuai
dengan status sosial masing-masing.
2. Pengertian Majelis
Majelis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu dewan yang mengemban tugas
tertentu mengenai kenegaraan dan sebagainya secara terbatas: ––hakim; ––Permusyawaratan
Rakyat; pertemuan (kumpulan) orang banyak; rapat; kerapatan; sidang: berhimpunlah
semuanya dl -- yg besar.85
Rasulullah SAW menyuruh kita untuk duduk berdekatan dengan para Ulama’ (orang-
orang yang berilmu) dalam suatu majelis ilmu. Dengan begitu kita akan mempunyai
kesempatan yang lebih banyak untuk bertanya kepada mereka terutama dalam masalah
Agama. Karena para Ulama’ dinilai lebih tinggi dari segi pengetahuannya. 86 Selain dekat
dengan ulama, kita juga diperintahkan untuk bertanya tentang ilmu kepada mereka.
Seseorang yang kembali kepada Allah SWT dan kembali kepada majelis Rasulullah
maka Allah akan membalasnya sebanding dengan perbuatannya yaitu dengan melimpahkan
rahmat dan ridha-Nya atau dengan memberikan kebaikan kepadanya dibawah perlindungan-
Nya kelak di hari kiamat.87 Dan barang siapa yang berpaling dari majelis Rasulullah yang

83
Amin, Akhmad. Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta : Bulan Bintang,1975. hal 3.
84
Ibid, hal. 4.
85
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: 1988.
86
Husaini A. Majid Hasyim, Syarah Riyadhusshalihin, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), hlm. 7.
87
Abi Al-Abbas Ahmad bin Muhammad As-Syafi’i Al-Qasthalani. Irsyad As-Sari Syarah Shahih Bukhari Juz 1
(Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah, 1996), hlm. 243. 143
mana merupakan majelis ilmu maka Allah akan berpaling darinya. Berpaling dari majelis ilmu
tanpa suatu halangan adalah tercela.88
Oleh karena itu, hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam mendatangi majelis ilmu
dan rajin bertanya kepada ulama apabila menemukan hal yang sekiranya masih mengganjal
atau belum paham terhadap masalah tersebut. Karena mencari ilmu hukumnya wajib dan juga
manfaat dari ilmu tersebut nantinya akan kembali kepada dirikita masing-masing.

B. Keutamaan Majelis Dzikir


Majelis dzikir sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam majelis dzikir terdapat banyak
manfa’at dan keutamaan, diantaranya adalah yang sudah disebutkan dalam hadits bahwa suatu
majelis ilmu akan dikelilingi malaikat dan mendapatkan rahmat, dikabulkan do’anya serta
akan mendapatkan ketenangan dalam hatinya (sakinah).
Imam At-Turabasyti berkata, orang yang duduk di majelis ilmu akan mendapat sakinah
(ketenagan) yaitu keadaan dimana seseorang tenang hatinya dan tidak condong kepada
syahwat dan tidak pula menurutinya.89
Majelis dzikir meliputi: shalat, membaca al-Qur’an, berdo’a untuk kebaikan dunia
akhirat, membaca hadits, belajar ilmu, berdiskusi dengan para ulama’dan sebagainya,
sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari’ beliau berkata bahwa yang
lebih tepat untuk majelis dzikir yaitu majelis-majelis tasbih, takbir, pembacaan al-Qur’an, dan
sebagainya. walaupun membaca hadits, belajar ilmu dan berdiskusi termasuk bagian dari
dzikir kepada Allah.90

C. Tata Cara di Majelis Ilmu


Supaya dalam majelis ilmu kita mendapatkan hasil yang maksimal dan benar-benar
bermanfaat bagi kita untuk itu kita perlu memperhatikan tatacara di majelis ilmu. Tatacara
tersebut diantaranya:
1. Menghormati Guru
Bersikap hormat pada guru agar ilmu yang kita peroleh bermanfaat.

88
Muhammad Bin Allan As-Shidiqi, Dalilul Falihin li Turuqi Riyadhis Shalihin juz 4, (Beirut: Dar al Kutub al-
Ilmiyah, 1990), Hlm. 223.
89
Muhammad Bin Allan As-Shidiqi, Dalilul Falihin li Turuqi..., Hlm. 224.
90
Muhammad Bin Allan As-Shidiqi, Dalilul Falihin li Turuqi..., Hlm. 220.
144
Hadits Nabi Muhammad SAW:
)‫َو ِقّ ُروا َم ْن تَت َ َعلَّ ُمونَ ِم ْنهُ (رواه ابو حسن المواردى‬
“Muliakanlah orang yang kamu belajar kepadanya.” (HR. Abu Hasan Al-Mawardi)91

2. Saling melapangkan tempat duduk


Dalam majelis ilmu atau pertemuan hendaknya kita memberi tempat duduk untuk
orang yang datang, dengan menggeser dari tempat duduk. Firman Allah QS. Al-Mujadalah:
11
”Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Mujadalah: 11)
3. Mengucap salam ketika memasuki dan meninggalkan majelis
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Abi Waqid di atas dalam riwayat lain seperti
An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan mayoritas perawi Muwatho’ menambahkan matan hadits
“Ketika keduanya hendak duduk, keduanya memberi salam. Hal ini dapat diambil
pelajaran bahwa orang yang hendak memasuki suatu majelis hendaknya memulai dengan
salam dan orang yang berdiri hendaknya memberi salam kepada orang yang duduk.”92
Islam menganjurkan kepada kita agar bertegur sapa dengan ucapan salam baik
ketika bertemu maupun akan berpisah, apabila seseorang sedang duduk bersama dalam
suatu perkumpulan atau majelis kemudian ia hendak meninggalkan mereka maka
hendaknya ia mengucapkan salam kepada mereka.
4. Mencari tempat duduk yang kosong
Dari hadits yang diriwayatkan Abi Waqid di atas juga dapat diambil pelajaran
tentang kesunahan membuat halaqah pada majelis dzikir dan majelis ilmu. Seseorang yang
lebih dahulu datang pada suatu tempat, maka ia lebih berhak atas tempat itu. Hadits ini juga
menjelaskan kesunahan beretika di majelis ilmu dan keutamaan mengisi tempat-tempat

91
Mahmud Sya’roni. Cermin Kehidupan Rasul, (Semarang: Aneka Ilmu, 2006), hlm. 83.
92
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Juz 1..., hlm.156-157.

145
yang kosong dalam suatu halaqah. Diperbolehkan bagi seseorang melangkahi untuk
mengisi tempat yang kosong, selama tidak menyakiti. Apabila dikhawatirkan menyakiti
maka disunahkan duduk di barisan terakhir. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang
kedua ada hadits riwayat Abi Waqid.93
Hendaknya mencari tempat duduk yang belum terisi dan jangan sekali-kali
menyingkirkan orang lain dari tempat duduknya, agar suasana tetap tenang dan orang
lainpun tidak tersinggung.
5. Tidak menduduki tempat duduk yang baru saja ditinggalkan orang
Tidak boleh menduduki tempat duduk yang baru saja ditinggalkan oleh seseorang
karena ia masih berhak ketempat tersebut ketika ia kembali.
6. Berdo’a sebelum meninggalkan majelis
: ‫وم ِمنَ ْال َمجْ ِل ِس‬َ ُ‫سلَّ َم يَقُو ُل ِباَخ ََرةٍ اِذَا ا َ َرادَ ا َ ْن يَق‬
َ ‫لى هللاُ َعلَي ِه َو‬
َ ‫ص‬َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ َكانَ َر‬:َ‫ي هللاُ َع ْنهُ َقال‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن اَ ِب ْي بَ ْرزَ ة َ َر‬
ُ‫وال َما ُك ْنت‬ ً ‫سو َل هللاِ اِنَّكَ لَتَقُو ُل َق‬ ُ ‫س ْب َحانَكَ اللَّ ُه َّم َو ِب َح ْمدِكَ ا َ ْش َهد ُ ا َ ْن َالاِلَهَ اِالَّ اَ ْنتَ ا َ ْست َ ْغ ِف ُركَ َوا َتُوبُ اِلَيْكَ فَقَا َل َر ُج ٌل َيا َر‬
ُ
)‫ارة ٌ ِل َما َي ُكونُ فِي ْال َمجْ ِل ِس (رواه ابوداود‬ َ ‫تَقُولُهُ فِ ْي َما َم‬
َ َّ‫ ذَلِكَ َكف‬:َ‫ضى قَال‬

Diriwayatkan dari Abi Barzah RA. Dia berkata: Rasulullah SAW jika bangun dari suatu
majelis membaca “subhanakallahumma wabihamdika asyhaduallailaha ila anta astagfiruka
waatuubu ilaika” (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagiMu, saya bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Engkau, saya minta ampun dan bertaubat kepadamu) maka ada
seorang berkata, wahai Rasulullah engkau telah membaca bacaan yang dahulu tidak biasa
engkau baca, Nabi SAW menjawab “itu sebagai penebus dosa yang terjadi pada majelis
itu”. (HR. Abu Dawud)94
Doa ini disebut juga dengan doa kaffaratul majelis yaitu menghapus dosa. Dan
disunahkan membacanya ketika hendak meninggalkan majelis.

93
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Juz 1..., hlm. 157.
94
Muhammad Syamsul Khaq Al -Adzim Abadi. Aunul Ma’bud Juz 13, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979), hlm. 205.

146
Akhlak Pergaulan
Oleh: Dina Hadiana

A. Pengertian akhlak
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau
kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai,
kebiasaan, bahkan agama. Akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang
terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angankan lagi.
Islam adalah agama yang sangat mementingkan Akhlak dari pada masalah-masalah lain.
Akhlak terbagi menjadi dua yaitu:
 Akhlaaqul Mahmudah (akhlak yang terpuji )
Berikut yang termasuk Akhlaaqul mahmudah: ikhlas, sabar, syukur, khauf (takut
kemurkaan Allah), Roja (mengharapkan keridhaan Allah), jujur adil, amanah, tawadhu’
(merendahkan diri sesama muslim), dan bersyukur.
 Akhlaaqul Madzmuumah (akhlak tercela )
Berikut yang termasuk Akhlaaqul madzmuumah adalah: tergesa-gesa, riya (melakukan
sesuatu dengan tujuan ingin menunjukkan kepada orang lain), dengki (hasad), takabbur
(membesarkan diri), ujub (kagum dengan diri sendiri), bakhil, buruk sangka, tamak dan
pemarah.

1. Ciri-ciri seseorang yg memiliki akhlak Islami:


 Tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu.
 Akhlaknya mencakup semua aspek kehidupan.
 Berhubungan dengan nilai-nilai keimanannya, (sesuai surat Al-Maidah ayat 8 )
 Berhubungan dengan hari kiamat atau tafakur alam.
 Memandang segala sesuatu dengan fitrah yang benar.
2. Pembentukan akhlak yang baik dapat dilakukan dengan:
 Ilmu atau dengan pendidikan.

147
 Latihan ibadah, mengurangi maksiat, membentuk lingkungan yang baik, melatih amal
atau kerja kita bergaul dengan orang shaleh, mengambil hal positif dari lingkungan di
sekitar kita).

3. Beberapa alasan betapa pentingnya akhlak Islam :


 Akhlak adalah faktor penentu derajat seseorang
 Akhlak merupakan buah ibadah, (seperti yng tercantum dalam surat al-Ankabut ayat 45)
 Keluhuran akhlak adalah amal terberat di akhirat
 Lambang kualitas masyarakat
 Untuk membentuk akhlak yg baik

B. Pengertian Pergaulan
Pergaulan adalah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul
dengan orang lain menjadi satu kebutuhan yang sangat mendasar, bahkan bisa dikatakan wajib
bagi setiap manusia yang “masih hidup” di dunia ini. Sungguh menjadi sesuatu yang aneh
atau bahkan sangat langka, jika ada orang yang mampu hidup sendiri. Karena memang
begitulah fitrah manusia. Manusia membutuhkan kehadiran orang lain dalam kehidupannya.
Tidak ada mahluk yang sama seratus persen di dunia ini. Semuanya diciptakan Allah
berbeda-beda. Meski ada persamaan, tapi tetap semuanya berbeda. Begitu halnya dengan
manusia. Lima milyar lebih manusia di dunia ini memiliki ciri, sifat, karakter, dan bentuk
khas. Karena perbedaan itulah, maka sangat wajar ketika nantinya dalam bergaul sesama
manusia akan terjadi banyak perbedaan sifat, karakter, maupun tingkah laku. Allah
mencipatakan kita dengan segala perbedaannya sebagai wujud keagungan dan kekuasaan-
Nya.
1. Etika Pergaulan Menurut Islam
Seorang mukmin dalam menjalankan kehidupannya tidak hanya menjalin hubungan
dengan Allah semata (habluuminallah), akan tetapi menjalin hubungan juga dengan
manusia (habluuminannas). Saling kasih sayang dan saling menghargai haruslah
diutamakan, supaya terjalin hubungan yang harmonis. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak”
dikatakan beriman salah seorang diantaramu, sehingga kamu menyayangi saudaramu,
sebagaimana kamu - menyayangi dirimu sendiri”. (HR. Bukhari Muslim)

148
Perbedaan bangsa, suku, bahasa, adat, dan kebiasaan menjadi satu paket ketika Allah
menciptakan manusia, sehingga manusia dapat saling mengenal satu sama lainnya. Sekali
lagi, tak ada yang dapat membedakan kecuali ketakwaannya.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu kita tumbuh kembangkan agar pergaulan kita
dengan sesama muslim menjadi sesuatu yang indah sehingga mewujudkan ukhuwah
islamiyah. Tiga kunci utama untuk mewujudkannya yaitu ta’aruf, tafahum, dan ta’awun.
Inilah tiga kunci utama yang harus kita lakukan dalam pergaulan.
 Ta’aruf
Apa jadinya ketika seseorang tidak mengenal orang lain? Mungkinkah mereka akan
saling menyapa? Mungkinkah mereka akan saling menolong, membantu, atau
memperhatikan? Atau mungkinkah ukhuwah islamiyah akan dapat terwujud?
Begitulah, ternyata ta’aruf atau saling mengenal menjadi suatu yang wajib ketika
kita akan melangkah keluar untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dengan ta’aruf
kita dapat membedakan sifat, kesukuan, agama, kegemaran, karakter, dan semua ciri
khas pada diri seseorang.
 Tafahum
Memahami, merupakan langkah kedua yang harus kita lakukan ketika kita
bergaul dengan orang lain. Setelah kita mengenal seseorang pastikan kita tahu juga
semua yang ia sukai dan yang ia benci. Inilah bagian terpenting dalam pergaulan.
Dengan memahami kita dapat memilah dan memilih siapa yang harus menjadi teman
bergaul kita dan siapa yang harus kita jauhi, karena mungkin sifatnya jahat. Sebab,
agama kita akan sangat ditentukan oleh agama teman dekat kita. Masih ingat, ”Bergaul
dengan orang shalih ibarat bergaul dengan penjual minyak wangi, yang selalu memberi
aroma yang harum setiap kita bersama dengannya. Sedang bergaul dengan yang jahat
ibarat bergaul dengan tukang pandai besi yang akan memberikan bau asap besi ketika
kita bersamanya.”
Tak dapat dipungkiri, ketika kita bergaul bersama dengan orang-orang shalih
akan banyak sedikit membawa kita menuju kepada kesalihan. Begitu juga sebaliknya,
ketika kita bergaul dengan orang yang akhlaknya buruk, pasti akan membawa kepada
keburukan perilaku kita pula (akhlakul majmumah).

149
 Ta’awun
Setelah mengenal dan memahami, rasanya ada yang kurang jika belum tumbuh
sikap ta’awun (saling menolong). Karena inilah sesungguhnya yang akan
menumbuhkan rasa cinta pada diri seseorang kepada kita. Bahkan Islam sangat
menganjurkan kepada umatnya untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa.
Rasullullah SAW telah mengatakan bahwa bukan termasuk umatnya orang yang tidak
peduli dengan urusan umat Islam yang lain.
Ta’aruf, tafahum, dan ta’awun telah menjadi bagian penting yang harus kita lakukan.
Tapi, semua itu tidak akan ada artinya jika dasarnya bukan ikhlas karena Allah. Ikhlas harus
menjadi sesuatu yang utama, termasuk ketika kita mengenal, memahami, dan saling
menolong. Selain itu, tumbuhkan rasa cinta dan benci karena Allah. Karena cinta dan benci
karena Allah akan mendatangkan keridhaan Allah dan seluruh makhluknya.
Adalah berikut ini beberapa contoh bergaul sesama umat:
a) Tata cara bergaul dengan orang tua atau guru
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan keluhuran budi pekerti dan
akhlak mulia. Segala sesuatu yang semestinya diiakukan dan segala sesuatu yang
semestinya ditinggalkan diatur dengan sangat rinci dalam ajaran Islam, sehingga
semakin banyak orang mengakui (termasuk non-muslim) bahwa Islam merupakan
ajaran agama yang sangat lengkap dan sempurna serta tidak ada yang terlewatkan
sedikit pun.
Rasulullah SAW diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,
sehingga setiap manusia dapat hidup secara damai, tenteram, berdampingan, saling
memahami, menghormati, dan menghargai satu sama lain, baik kepada yang lebih
tinggi, yang lebih rendah, kepada sesama atau teman sebaya, kepada lawan jenis, dan
sebagainya.
Rasulullah saw pernah bersabda:
“Aku diutus (ke dunia) hanya untuk menyempurnakan akhlak terpuji”. (HR. Bukhari
Muslim)
Hal pertama yang semestinya dilakukan setiap muslim dalam pergaulan sehari-
hari adalah memahami dan menerapkan etika atau tata cara bergaul dengan orang

150
tuanya. Adapun yang dimaksud dengan orang tua, dapat dipahami dalam tiga bagian,
yaitu:
1. Orangtua kandung, yakni orang yang telah melahirkan dan mengurus serta
membesarkan kita (Ibu - Bapak).
2. Orang tua yang telah menikahkan anaknya dan menyerahkan anak yang telah
diurus dan dibesarkannya untuk diserahkan kepada seseorang yang menjadi
pilihan anaknya dan disetujuinya. Orang tua ini, lazim disebut dengan “mertua”.
3. Orang tua yang telah mengajarkan suatu ilmu, sehingga kita mengerti, dan
memahami pengetahuan, mengenal Allah, dan memahami arti hidup, dialah
“guru” kita.
Dalam Al-Quran maupun hadits, dapat ditemukan banyak sekali keterangan
yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada orangtua. Sekalipun demikian, Islam
tidak menyebutkan jenis-jenis perbuatan baik kepada kedua orangtua secara rinci,
sebab berbuat baik kepada kedua orang tua bukan merupakan perbuatan yang dibatasi
beberapa batasan dan rincian. Kewajiban berbuat baik kepada kedua orangtua sangat
bergantung pada situasi dan kondisi, kemampuan, keperluan, perasaan manusiawi, dan
adat istiadat setiap masyarakat. Berbuat baik kepada kedua orangtua dalam berbagai
bentuknya, disebut dengan “biruul walidain”.
Kewajiban berbuat baik kepada kedua orangtua juga diungkapkan di dalam
bentuk kata ihsan, ma’ruf, dan rahmah. Islam memperingatkan setiap anak, bahwa
menyakiti perasaan orangtua merupakan suatu dosa besar dan waib atasnya untuk
selalu menjaga perasaan kedua orangtuanya. Hak orang tua dan anaknya tidak akan
pernah sama dengan hak siapa pun di dunia. Jadi, segala bentuk ucapan, perbuatan,
dan isyarat yang dapat menyakiti kedua orangtuanya atau salah satunya merupakan
perbuatan dosa, sekalipun hanya berupa perkataan “ah”, “cis”, atau “uff”, apalagi jika
sampai membentaknya.
Sesungguhnya Allah tidak akan penah meridai seseorang kecuali kita
merendahkan diri kepada keduanya disentai kelembutan dan kasih sayang. Allah SWT
berfirman dalam surat Al-Isra ayat 24:

151
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (QS. A1-lsra: 24)
Jadi, kewajiban kita kepada kedua orangctua ialah untuk selalu berbakti
kepadanya dan jangan sedikit pun melukai perasaan mereka, karena Allah tidak akan
ridha kepada kita. Adapun yang berkaitan dengan orang tua dalam makna yang ketiga,
yakni orang tua dalam arti orang yang telah mengajarkan dan mendidik kita tentang
pengetahuan dan kehidupan. Mereka adalah guru, ustadz, dosen, kyai, dan sebagainya.
Sebagai seorang muslim, kita juga diperintahkan untuk menghormati dan memuliakan
mereka.

1) Tata Cara Bergaul dengan yang Lebih Tua


Dalam pergaulan sosial, kita dituntut untuk menjunjung tinggi hak dan
kewajiban masing-masing, termasuk dalam pergaulan dengan orang yang lebih
tinggi atau lebih tua dari kita. orang yang lebih tinggi dari kita, dapat dikategorikan
menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
 Orang yang umurnya lebih tua atau sudah tua
 Orang yang ilmu, wawasan, dan pemikirannya lebih tinggi, sekali pun bisa jadi
umurnya lebih muda
 Orang yang harta dan kedudukannva lebih tinggi dan lebih banyak.
Dalam pergaulan sosial dengan mereka, hendaklah kita bersikap wajar dan
menghormatinya, mendengarkan pembicaraannya, serta wajib mengingatkan jika
mereka keliru dan berbuat kejahatan, dengan cara-cara yang lebih baik. Kita juga
dilarang memperlakukan mereka secara berlebihan, misalnya terlalu hormat dan
tunduk melebihi apa pun, sekalipun mereka salah. Hal ini sungguh tidak
dibenarkan, sebab yang paling mulia diantara kita bukan umur, ilmu, pangkat, harta,
dan kedudukannya, akan tetapi karena kualitas takwanya kepada Allah SWT. Hal
ini sesuai dengan salah satu hadis Rasulullah SAW dalam riwayat Thabrani:
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak melihat ruhmu, kedudukan, dan harta
kekayaanmu, tetapi Allah melihat apa yang ada dalam hatimu dan amal
perbuatanmu”. (HR. Thabrani)

152
2) Tata Cara Bergaul dengan yang Lebih Muda
Dalam menjalankan pergaulan social, Islam melarang umatnya untuk
membeda-bedakan manusia karena hal-hal yang bersifat duniawi, seperti harta,
tahta, umur, dan status sosial lainnya. akan tetapi yang terbaik adalah bersikap wajar
sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntutan ajaran agama dan tidak bertentangan
dengan norma-norma kehidupan.
Tidak dapat dihindari, kita juga pasti berkomunikasi dan bergaul dengan
orang yang umur dan strata sosialnya lebih rendah dan kita. Kita sama sekali
dilarang untuk merendahkan dan meremehkannya.
Kita diperintahkan untuk selalu berusaha menyayangi orang yang umurnya
lebih muda dari kita. Bahkan Rasulullah SAW menyatakan dalam satu hadisnya
bahwa bukan termasuk golongan umatku, mereka yang tidak menyayangi yang
lebih muda. Beliau bersabda:
“Bukan termasuk golongan umatku, orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil
(lebih muda), dan tidak memahami hak-hak orang yang lebih besar (tinggi atau
dewasa)”. (HR. Thabrani)
Seseorang yang usianya lebih muda, bisa saja amal perbuatannya
dan akhlaknya lebih baik dibandingkan dengan orang yang telah berumur dewasa,
bahkan telah berusia lanjut. Jadi, umur seseorang tidak menjamin hidupnya lebih
mulia dan berkualitas, sekali pun semestinya semakin bertambah (bilangan) umur
(hakikatnya berkurang), harus semakin baik amalnya, semakin mulia akhlaknya,
dan semakin bijak sikapnya.
Kenyataannya, dalam kehidupan sosial, kita menemukan hal yang justru
sebaliknya. Ada yang usianya sudah lebih tua dan dianugerahi panjang umur oleh
Allah SWT. akan tetapi kualitas hidupnya tidak Iebih baik dibandingkan dengan
yang lebih muda. Naudzubillah.
Dalam salah satu hadis Rasulullah SAW riwayat Ahmad, dikemukakan
bahwa terinasuk orang yang terbaik, jika umurya panjang dan amal perbuatannya
baik. Rasulullah SAW bersabda:

153
“Sebaik-baik manusia adalah, mereka yang panjang umurnya dan sangat baik
amalnya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya, tetapi
jelek amal perbuatannya” (H.R. Ahmad)
Jika kita bergaul dengan yang lebih muda, dan kebetulan kita merasa sudah
lebih dewasa serta berpengalaman, hendaklah kita membimbing, rnengarahkan dan
mengajarkan kepada mereka hal-hal yang baik agar bermakna bagi kehidupannya.
Inilah yang dikehendaki dalam ajaran agama Islam, sehingga orang yang
lebih tua hidupnya lebih bermanfaat karena wawasan dan pengalamannya,
sedangkan orang yang lebih mudah dapat memanfaatkan kelebihan yang dimiliki
orang yang lebih tua. Rasulullah SAW bersabda:
”Sebaik-baik diantara manusia adalah yang paling besar manfaatnya bagi
sesamanya”. (HR. Bukhari)
3) Tata Cara Bergaul dengan Teman Sebaya
Islam adalah agama yang dilandasi persatuan dan kasih sayang.
Kecenderungan untuk saling mengenal dan berkomunikasi satu dengan yang
lainnya merupakan suatu hal yang diatur dengan lengkap dalam ajaran Islam. Islam
tidak mengajarkan umatnya untuk hidup menyendiri, termasuk melakukan ibadah
ritual sendirian di tempat tersembunyi sepi, terpencil, dnn jauh dari peradaban
manusia.
Merupakan suatu hal yang wajar dan diajarkan oleh Islam, jika manusia
bergaul dengan sesamanya sebaik mungkin, dilandasi ketulusan,
keikhlasan, kesabaran, dan hanya mencari keridaan Allah Swt.
Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang mukmin yang bergaul dengan sesama manusia serta bersabar (tahan
uji) atas segala gangguan, mereka lebih baik daripada orang mukmin yang tidak
bergaul dengan yang lainnya serta tidak tahan uji atas gangguan mereka”. (HR.
Tirmidi)
Bergaul dengan sesama atau teman sebaya, baik dalam umur, pendidikan,
pengalaman, dan sebagainya, kadang-kadang tidak selalu berjalan mulus. Mungkin
saja terjadi hal-hal yang tidak diharapkan seperti terjadi salah pengertian (mis

154
understanding) atau bahkan ada teman yang zaim terhadap kita serta suka membuat
gara-gara dan masalah.

Menghadapi persoalan seperti itu, hendaklah kita menyikapi dengan sikap


terbaik yang kita miliki. Jika ada yang berbuat salah, hendaklah kita segera
memaafkan kesalahanya sekalipun orang yang berbuat salah tidak meminta maaf.
Begitu juga apabila kita berbuat kesalahan atau kekeliruan, hendaklah kita segera
meminta maaf kepada orang yang kita sakiti, baik disengaja maupun tidak
disengaja. Perkara orang itu memaafkan kita atau tidak, itu bukan urusan kita.
Kewajiban kita adalah segera meminta maaf dan memaafkan. Janganlah kita
termasuk orang yang sebagaimana dikemukakan Rasulullah SAW dalam sabdanya:

“Barangsiapa yang meminta maaf kepada saudaranya yang muslim sedangkan ia


tidak mau memaafkannya, maka ia mempunyai dosa sebesar dosa orang yang
merampok”. (H.R. lbnu Majah)

Jika memiliki masalah, bicarakanlah dengan sebaik-baiknya, sehingga


masing-masing bisa saling memahami dan saling memaafkan. Kita dilarang untuk
bermusuhan, apalagi dalam waktu yang cukup lama. Rasulullah Saw bersabda:

“Tidaklah halal bagi seorang muslmi mendiamkan (tidak mengajak bicara) sit van
in yang muslim lebih dari tiga hari. Jika keduanya bertemu, lalu ingin memalingkan
muka, dan yang lain pun demikian juga. Dan yang paling baik di antara keduanya
adalah yang terlebili dahulu mengucapkan salam”. (H.R. Bukhari Muslim)

Pergaulan dengan teman sebaya termasuk dengan siapa pun harus dilandasi
kasih sayang dan keikhlasan Allah tidak akan menyayangi seseorang jika tidak
menyayangi sesamaya. Dalam salah satu hadis, .Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang tidak menyayangi sesama manusia, niscaya tidak akan


disayangi oleh Allah”. (HR. Bukhari Muslim)

155
4) Tata Cara Bergaul dengan Lawan Jenis

Allah telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan sempurna, teratur,
dan berpasang-pasangan. Ada langit dan ada bumi, ada siang dan ada malam, ada
dunia ada akhirat, ada surga dan neraka, ada tua dan ada muda, ada laki-laki dan
ada perempuan.

Laki-laki dan perempuan: merupakan makhluk Allah yang telah diciptakan


secara berpasang-pasangan. Jadi, merupakan suatu keniscayaan dan sangat wajar,
jika terjadi pergaulan diantara mereka. Dalam pergaulan tersebut, masing-masing
berusaha untuk saling mengenal. Bahkan lebih jauh lagi, ada yang berusaha saling
memahami, saling mengerti dan ada yang sampai hidup bersama dalam kerangka
hidup berumah tangga. lnilah indahnya kehidupan.

Laki-laki dan perempuan ditentukan dalam sunah Allah untuk saling tertarik
satu dengan yang lainnya. Laki-laki tertarik dengan perempuan, demikian juga
sebaliknya, perempuan tertarik kepada laki-laki. Allah SWT memberikan rasa
indah untuk saling menyayangi diantara mereka. Tidak jarang juga masing-masing
merindukan yang lainnya. Rindu untuk saling menyapa, saling melihat, serta saling
membenci atas. dasar ketulusan dan kasih sayang.

Pergaulan yang baik dengan lawan jenis. hendaklah tidak didasarkan pada
nafsu (syahwat) yang dapat menjerumuskan pada pergaulan bebas yang dilarang
agama. Inilah yang tidak dikehendaki dalam Islam. Islam sangat memperhatikan
batasan-batasan yang sangat jelas dalam pergaulan antara laki-laki dengan
perempuan.

Seorang laki-laki yang bukan muhrim, dilarang untuk berduaan di tempat-


tempat yang memungkinkan melakukan perbuatan yang dilarang. Kalau pun
bersama-sama sebaiknya disertai oleh muhrimnya atau minimal ditemani tiga
orang, yaitu: dua laki-laki dan satu perempuan. atau Juga pergaulan untuk belajar
atau bergaul jika ada dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Hal ini
memungkinkan untuk lebih menjaga diri.

156
Salah satu hadis mengemukakan bahwa jika seseorang pergi dengan orang
lain yang bukan muhrimnya serta berlainan jenis kelamin, maka yang ketiganya
pasti syetan yang selalu berusaha untuk menjerumuskan dan menghinakan. ltulah
yang disinyalir dalam ayat Al-Qur’an, agar jangan mendekati zina. Mendekatinya
sudah dilarang dan haram, apalagi melakukannya. Allah Swt. berfirman dalam surat
Al-Isra ayat 32:

“Jadi janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra: 32)

Mencintai dan menyayangi seseorang merupakan hal yang wajar. Hendaklah


pikiran dan perasaan kita arahkan kepada hal-hal yang positif, dan bukan
sebaliknya. Contohnya, karena cinta dan sayang, seseorang mengorbankan
segalanya termasuk hal-hal yang paling “berharga” dan dilarang oleh Allah SWT.
Membuktikannya, hendaklah dengan sesuatu yang diridhai oleh Allah. Hal inilah
yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Abu Daud dan
Tirmidzi:

“Jika salah seorang diantara kamu mencintai saudaranya, hendaklah ia


membuktikannya”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Islam mengajarkan agar dalam pergaulan dengan lawan jenis untuk


senantiasa saling menjaga diri, menghormati dan menghargai atas dasar kasih
sayang yang tulus karena Allah, bukan karena derajat, pangkat, harta, keturunan,
tetapi semata-mata hanya karena Allah. Hal ini pernah diriwayatkan dalam salah
satu hadis dari Umar bin Khaththab, yang diriwayatkan oleh Abu Daud, suatu ketika
Rasulullah saw pernah bersabda,

“Bahwasannya diantara hamba-hamba Allah ada manusia yang bukan Nabi-nabi,


bukan pula para syuhada’, tetapi sangat tinggi kedudukan di sisi Allah. Para
sahabat bertanya: “Siapakah gerangan orang itu, ya Rasullullah”; Nabi SAW
menjawab: “Itulah orang yang saling mencintai (menyayangi), karena harta. Demi
Allah, maka wajah mereka bersinar-sinar, tiada merasa kekuatan di kala mereka
dalam keadaan ketakutan” (HR. Abu Daud).

157
Sesudah itu, Rasulullah SAW membaca ayat:
“Ketahuilah, bahwa Wali-wali (penolong) Allah, mereka tidak merasa takut dan
tidak merasa bersedih.” (Sumber Khuluqul Muslim karangan Muhammad Al-
Ghazali)

Cinta karena Allah merupakan titik puncak dan tingginya kualitas iman
seseorang Hasilnya tidak dapat dilihat, melainkan hanya dapat dirasakan oleh orang
yang telah nyaris sempurna keikhlasannya. Cinta yang mendalam, ini merupakan
bukti kesempurnaan serta ketulusan iman, yang kedua-duanya berhak untuk
mendapatkan pahala yang paling besar di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:

“Ada tiga perkara, barangsiapa yang terdapat padanya ketiga hal tersebut, maka
akan merasakan lezat (manisnya) iman: “Jika ia mencintai Allah dan rasulnya
melebihi yang lainnya; Mencintai dan membenci semata-mata hanya karena Allah;
Jika dilemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, lebih disukai daripada
syirik (menyekutukan) Allah”. (HR. Muslim)

Orang yang bersahabat, bergaul, dan berkomunikasi dengan yang lainnya


hanya karena Allah, tandanya adalah senantiasa berusaha untuk mendoakan dengan
tulus. Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah bersabda:

“Jika seseorang berdoa untuk sahabatnya di belakangnya (jaraknya berjauhan),


maka berkatalah malaikat: “Dan untukmu pun seperti itu”. (HR. Muslim)

158
ETIKA PEMBERITAAN MEDIA MASSA DAN TABLOID

Oleh: M. Anggi Syahrullah

A. Media Massa
a) Pengertian Media Massa
Salah satu unsur penting yang dapat berperan dalam penyebaran informasi dan
menumbuhkan kesadaran serta motivasi bagi sebuah perubahan masyarakat adalah
media. Apalagi di era modern seperti sekarang ini, kehidupan masyarakat tidak dapat
dipisahkan lagi dari kebutuhan komunikasi. Hal ini didasarkan pada satu persepsi
bahwa salah satu kebutuhan manusia yang sangat mendasar baik secara individu
maupun sebagai anggota masyarakat adalah adanya kebutuhan komunikasi untuk
berbagai tujuan. Dalam hubungan ini kehadiran media sebagai sarana penyampaian
informasi menjadi penting artinya. Kebutuhan manusia terhadap informasi semakin
banyak disebabkan tuntutan kehidupan.
Hal ini sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tanpa informasi manusia
akan mengalami kebuntuan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Selain sekedar
mengetahui informasi, manusia senantiasa memerlukan informasi untuk
merencanakan dan menentukan langkah yang akan ditempuh besok. Bagi seorang
pengusaha dan pedagang, informasi mengenai ekonomi sangat diperlukan. Bagi petani
tentu juga membutuhkan informasi mengenai harga produk pertanian. Pada prinsipnya
setiap manusia yang berfikir selalu memerlukan informasi sesuai dengan kebutuhan
hidup dan kehidupan. Untuk itu, media sebagai alat komunikasi harus mampu
menyampaikan informasi.
Beberapa hal di atas sebenarnya hanya untuk memberikan penjelasan berkaitan
dengan komunikasi, penggunaan media dan pada akhirnya akan mempermudah dalam
memberikan definisi terhadap media massa. Secara umum para ahli komunikasi
memberikan batasan terhadap media massa yakni sebagai sarana penghubung dengan
masyarakat seperti surat kabar, radio, televisi, film dan lain-lain.
Drs. J.B Wahyudi (1991:55) memberikan batasan media massa, yaitu sarana
untuk "menjual" informasi atau berita kepada konsumen yang dalam hal ini adalah
pembaca untuk media massa tercetak, pendengar untuk media massa radio dan pemirsa

159
untuk media massa televisi. Baik pembaca, pendengar, maupun pemirsa lazim disebut
audience.
M. Rachmadi memberikan definisi media massa yaitu berkisar pada media
elektronik dan media cetak. Media elektronik seperti radio, televisi, film dan
sebagainya, sedangkan media cetak (print media) seperti surat kabar, majalah dan lain-
lain.
Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi, M.A, memberikan prinsip bahwa majalah,
bulletin dan sebagainya termasuk dalam kategori media massa (Mafred Oepen, 1998:
113).
Sedangkan Ja'far H. Assegaf (1983:129) mengartikan media massa sebagai
sarana penghubung dengan masyarakat seperti surat kabar, majalah, buku, radio dan
televisi.
Sebagaimana disebutkan oleh Drs. Jalaludin Rahmat, M.Sc, bahwa komunikasi
massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah
khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media massa cetak atau
elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat
(Jalaludin, 1999: 189).
Dari beberapa definisi media massa yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa, media massa digunakan dalam proses komunikasi yang dilakukan
secara massal dengan menggunakan media teknologi komunikasi massa.
b) Perkembangan Media Massa
Usaha manusia mengirim pesan dari seseorang kepada orang lain sudah
dilakukan sekitar tahun 300.000 SM (Wahyudi, 1991: 67). Hal ini dibuktikan dengan
penemuan batu bergores atau terpahat, pada abad pertengahan. Batu bergores tersebut
lazim dinamakan pictogram yang saat ini disimpan di museum kerajaan Ontario,
Toronto, Canada. Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa batu bergores itu berusia
sekitar 300.000 tahun.
Batu bergores (pictogram) banyak ditemukan di Timur Tengah. Goresan atau
pahatan itu merupakan catatan manusia saat itu tentang kondisi tanah dan hasil
produksi pertanian.

160
Batu goresan semacam ini dapat ditemukan di gua-gua,dan membuktikan
bahwa tempat tinggal mansia pra sejarah adalah di gua-gua. Manusia pra sejarah belum
mengenal tulisan dan huruf, untuk itulah mereka mengirim pesan melalui goresan dan
pahatan batu.
Setelah perkembangan teknologi menyampaikan pesan atau berita tidak hanya
melalui radio karena perkembangan itulah, muncul media televisi. Media televisi ini
bermula dari ditemukannya elektrisce teleskop sebagai perwujudan gagasan seseorang
mahasiswa dari Berlin yang bernama Paul Nipkov untuk mengirim gambar dari udara
ke suatu tempat lain. Hal ini terjadi antara tahun 1883-1884, sehingga Nipkov diakui
sebagai bapak televisi (Wawan Kuswandi,1996:6).
Dengan semakin bertambah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi,
ditambah ditemukannya sistem satelit dan antena parabola, perkembangan televisi
sangat menggembirakan. Seiring perkembangan hal tersebut, muncul dalam istilah
jurnalistik yaitu (electronic journalism),di,mana mencakup televisi dan radio.
c) Ciri-ciri Media Massa
Untuk suksesnya komunikasi massa kita perlu mengetahui sedikit banyak ciri-
ciri komunikasi itu yang meliputi sifat-sifat, unsurunsur yang dicakupnya. Prof. Drs.
Onong Uchjana, MA, memberikan lima ciri (Onong Uchjana, 1993: 51-54),
diantaranya:
1) Sifat komunikan
Artinya komunikan ini ditujukan kepada khalayak yang jumlahnya relatif
besar, heterogen dan anonim. Sebagai contoh orang yang sedang menonton
televisi dalam jumlah besar. Jadi sasaran komunikasi melalui media massa seperti
surat kabar, radio, televisi, dan film meskipun tidak tampak oleh komunikator
yang menyampaikan pesan, dan ciri khas dari komunikan komunikasi melalui
media massa yang pertama, bahwa jumlah besar itu hanya dalam periode waktu
yang singkat saja. Kedua, komunikan massa sifatnya heterogen, maksudnya
komunikan tempatnya berbeda-beda letaknya, selain itu unsur pendidikan,
pekerjaan, pengalaman, agama, suku, bangsa dan sebagainya juga berbeda.
Ketiga, komunikan massa bersifat anonim, komunikator tidak mengenal mereka,

161
selain itu komunikator juga tidak tahu apakah pesan yang disampaikan itu menarik
perhatian mereka atau tidak.
2) Sifat Media Massa
Sifat media massa adalah serempak, maksudnya adalah keserempakan
kontak antara komunikator dan komunikan yang demikian besar jumlahnya.
Selain itu, sifat media massa ialah cepat. Dalam arti kata pesan yang disampaikan
kepada banyak orang dalam waktu yang cepat.
3) Sifat Pesan
Sifat pesan melalui media massa ialah umum (universal). Media massa
adalah sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak, bukan untuk
sekelompok orang tertentu. Sifat lain dari media massa adalah sejenak
(itrancient), hanya sajian seketika. Surat kabar merupakan bahan bacaan yang
setelah isi beritanya dibaca, kemudian dipakai bungkus dan dibuang. Pesan
melalui radio hanya sekilas sampai di telinga pendengarnya, lalu hilang diganti
oleh pesan lain, begitu juga yang terjadi pada pesan melalui televisi, setelah
didengar, dilihat, kemudian tiada lagi, diganti dengan pesan berikutnya.
4) Sifat Komunikator
Karena media massa merupakan lembaga atau organisasi, maka
komunikator pada komunikasi massa, seperti karyawan, sutradara, penyiar radio,
penyiar televisi, adalah komunikator terlembagakan (institutionalized
comunikator). Media massa adalah organisasi yang rumit, pesan-pesan yang
disampaikan pada khalayak adalah hasil kerja kolektif, oleh karena itu, berhasil
tidaknya komunikasi massa ditentukan oleh berbagai faktor yang terdapat dalam
organisasi media masa, berita yang susun oleh seorang wartawan tidak akan
sampai pada pembaca kalau tidak dikerjakan oleh redaktur, juru tata letak, juru
cetak dan karyawan lain dalam organisasi surat kabar tersebut.
5) Sifat efek
Sifat efek komunikasi melalui media massa yang timbul pada komunikan
bergantung pada tujuan komunikasi yang dilakukan oleh komunikator. Apakah
tujuannya agar tahu saja, atau agar komunikan berubah sikapnya dan
pandangannnya, atau komunikan berubah tingkah lakunya. Berdasarkan

162
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat yang menghasilkan teori "Two Step
Flow of Communication", para ahli berpendapat bahwa media massa tidak mampu
mengubah tingkah laku khalayak. Baru perilaku khalayak berubah setelah pesan
di media massa diteruskan oleh opinion leader yang dengan komunikasi antar
personal.

d) Fungsi dan Peran Media Massa


Asep Saeful Muhtadi, (1999: 74) juga menyebutkan dalam bukunya yang
berjudul Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktek bahwa Fungsi media cetak (surat
kabar, majalah, tabloid dan lain-lain) pada dasarnya hampir sama dengan media massa
lainnya yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi mendidik
Yaitu, sebagai sarana belajar atau buku pelajaran yang murah yang dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa.
2. Fungsi Menghubungkan
Surat kabar ini menyelenggarakan suatu hubungan sosial (social contact)
antara warga negara satu dengan warga negara yang lainnya.
3. Fungsi penyalur dan pembentuk pendapat
Umum Bahwa surat kabar selain berisi berita, juga berisi pandangan atau
pendapat seseorang, sehingga memungkinkan pembaca untuk ikut berpendapat.
4. Fungsi Kontrol Sosial
Fungsi ini merupakan fungsi yang sangat penting terutama pada suatu negara
yang menerapkan sistem demokrasi. Media massa mempunyai fungsi sebagai
pengawas 30 lingkungan, baik ditujukan pada pemerintah maupun masyarakat.

B. Tabloid
a) Pengertian Tabloid
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tabloid merupakan surat kabar ukuran
kecil (setengah dari ukuran surat kabar biasa) yang banyak membuat berita secara
singkat, padat dan bergambar, mudah dibaca umum, selain itu tabloid merupakan tulisan
dalam bentuk ringkas dan padat (tentang kritik, paparan dan sebagainya) (KBBI, 1995:

163
987). Tabloid di sini dikategorikan sebagai majalah, karena tipe suatu majalah
ditentukan oleh khalayak yang dituju. Maksudnya redaksi sudah menentukan siapa yang
akan menjadi pembacanya apakah remaja, ibu-ibu, wanita dewasa bahkan anak-anak.
Meskipun banyak ragam tabloid yang diterbitkan, tetapi pada dasarnya berbeda.

b) Perkembangan Tabloid
Tabloid merupakan surat kabar yang memuat berita-berita ringan, di mana
pertama kali di Inggris adalah tabloid review yang diterbitkan oleh Daniel Depoe tahun
1784 bentuknya antara tabloid, majalah dan surat kabar, hanya halamannya kecil, serta
terbit tiga kali satu minggu. Isinya mencakup berita, artikel, kebijakan nasional, aspek
moral dan lain-lain. Kemudian, pada tahun 1790 Richard Stede membuat tabloid The
Tatler, setelah itu dia dan Joseph Addison menerbitkan The Spectator. Tabloid tersebut
berisi masalah politik, berita-berita internasional serta berita-berita hiburan (teater) dan
gosip (Nuraini Juliastuti, 2002).
Dari sinilah tabloid berkembang hingga ke Amerika yang dipelopori oleh
Benyamin Franklin tahun 1740. Hingga tahun 1821 tabloid berkembang pesat, saat itu
nama tabloid tersebut adalah Saturday evening Post dan North American Review. Di
Amerika atau negara-negara maju lainnya tabloid dikenal sebagai bacaan kuning atau
Yellow paper, yang hanya memuat berita-berita ringan. Akibat perkembangan teknologi
komunikasi, tabloid berkembang di Indonesia tahun 1986, pertama kali yang terbit
adalah tabloid bola, kemudian berkembang tidak hanya menyajikan berita-berita sepak
bola tetapi juga menyajikan berita-berita selebritis baik dari dalam negeri maupun luar
negeri yang dipelopori oleh Arswendo Atmowiloto (Nuraini Juliastuti, 2002).

c) Fungsi Tabloid
Tabloid merupakan media yang paling simpel organisasinya, mudah
mengelolanya, serta tidak membutuhkan modal banyak, maka tabloid dapat diterbitkan
oleh setiap kelompok masyarakat, tetapi dalam hal ini tabloid merupakan salah satu
bentuk media massa khususnya media cetak, dimana fungsi media massa adalah
menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Untuk itulah tabloid
juga mempunyai fungsi sama.

164
Dalam hal ini, tabloid lebih mengacu pada sasaran khalayaknya, karena tabloid
banyak jenisnya, misalnya tabloid Femina, isi dari tabloid tersebut adalah
menginformasikan tips masalah kewanitaan. Tabloid remaja memberitakan tentang
masalah kehidupan remaja dan untuk itulah fungsi tabloid sesuai sasaran khalayak yang
dituju karena sejak awal redaksi sudah menentukan siapa yang akan menjadi
pembacanya apakah anak-anak, remaja, wanita remaja, bahkan ibu-ibu sekalipun. Jadi
fungsi tabloid berbeda satu dengan lainnya.

C. Berita
a) Pengertian Pemberitaan

Sebelum memaparkan pengertian pemberitaan, lebih dahulu penulis


menguraikan apa yang dimaksud dengan berita. Penjelasan mengenai hal ini menjadi
penting, karena banyaknya perbedaan pendapat mengenai berita, apabila tidak
ditentukan atau dibatasi, maka akan menimbulkan salah tangkap atau salah pengertian.
Dalam hal ini berita berasal dari bahasa Sansekerta "urit" dalam bahasa Inggris disebut
"Write" artinya "ada atau terjadi". Ada juga yang menyebut dengan "Uritta" artinya
"kejadian atau yang telah terjadi". Uritta dalam bahasa Indonesia menjadi "berita atau
warta" (Toto Djuroto, 2003:1).

Menurut Kamus Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta, berita berarti "kabar


atau warta". Kamus Besar Bahasa Indonesia rumusan departemen pendidikan dan
kebudayaan republik Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, memperjelas arti
berita, yakni laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang terjadi. Misalnya berita
acara, yaitu catatan laporan yang dibuat oleh polisi mengenai terjadinya peristiwa
seperti waktu, tempat, keterangan dan petunjuk lain sebagai sesuatu perkara atau
peristiwa (Totok Djurato, 2003:1-2).

Secara terminologi ada beberapa definisi mengenai berita yaitu Dean M. Lyle
Spencer (pakar komunikasi), menurutnya berita adalah suatu kenyataan atau ide yang
benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar pembaca. Menurut Mitshall V.
Chaila berita merupakan laporan tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang

165
faktual, penting dan menarik bagi sebagai besar pembaca, serta menyangkut
kepentingan publik (Asep Samsul Romli, 2003: 2).

b) Unsur-unsur Berita

Agar berita layak diberitakan maka diperlukan unsur-unsur berita (Hikmat


Kusumaningrat dkk, 2005: 47-58), yaitu sebagai berikut:

1. Berita harus akurat


Wartawan harus memiliki kehati-hatian yang sangat tinggi dalam melakukan
pekerjaannya mengingat dampak yang luas yang ditimbulkan oleh berita yang
dibuatnya kehati-hatian dimulai dari kecermatannya terhadap ejaan nama, angka,
tanggal dan usia serta disiplin diri untuk senantiasa melakukan periksa ulang atas
keterangan dan fakta yang ditemuinya. Tidak hanya itu, akurasi juga berarti benar
dalam memberikan kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang
dicapai secara detail serta diberi tekanan atas, fakta tersebut.
2. Berita harus lengkap, adil dan berimbang
Keakuratan suatu fakta tidak selalu menjamin keakuratan arti, yang
dimaksudkan dengan sikap adil dan berimbang adalah bahwa seorang wartawan
harus melaporkan apa sesungguhnya yang terjadi. Misalnya, manakala seorang
polisi memperoleh tepukan tangan yang hangat dari hadirin ketika menyampaikan
pidatonya, peristiwa itu haruslah ditulis apa adanya, tetapi ketika sebagian hadirin
walked out sebelum pidato berakhir, itu juga harus ditulis apa adanya. Jadi, ada
situasi yang berbeda, keduanya harus termuat dalam berita yang ditulis. Unsur adil
dan berimbang dalam berita mungkin sama sulitnya untuk dicapai seperti juga
keakuratan dalam menyajikan fakta.
3. Berita harus obyektif
Selain memiliki ketepatan (akurasi) dan kecepatan dalam bekerja. Seseorang
wartawan dituntut untuk bersikap obyektif dalam menulis. Dengan sikap
obyektifnya, berita yang tidak dimuat pun akan obyektif, artinya berita yang dibuat
itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas dari prasangka.

166
4. Berita harus ringkas dan jelas
Mitchel V. Charmey berpendapat, bahwa pelaporan berita dibuat dan ada
untuk melayani. Untuk melayani sebaik-baiknya, wartawan harus mengembangkan
ketentuan-ketentuan yang disepakati tentang bentuk dan cara membuat berita.
Berita yang disajikan haruslah dapat dicerna dengan cepat. Ini artinya suatu tulisan
yang ringkas, jelas dan sederhana. Tulisan berita tidak banyak menggunakan kata-
kata, harus langsung dan padu.
5. Berita harus hangat
Berita adalah padanan kata News dalam bahasa Inggris. Kata news sendiri
menunjukkan adanya unsur waktu - apa yang New, apa yang baru, yaitu lawan dari
lama. Berita memang selalu baru, selalu hangat. Penekanan pada konteks waktu
dalam berita kini dianggap sebagai hal biasa. Konsumen berita tidak pernah
mempertanyakan hal itu. Dalam hal ini dunia bergerak dengan cepat, untuk
mengikuti kecepatan gerakannya, konsumen berita menginginkan informasi segar,
hangat karena peristiwa nampak benar hari ini belum tentu benar esok hari.

c) Jenis-jenis Berita
Ada beberapa jenis berita yang disajikan wartawan (Haris Sumadirin, 2005: 69-
71).
1. Straight News report adalah laporan langsung mengenai suatu peristiwa.
Misalnya, sebuah pidato biasanya merupakan beritaberita langsung yang
hanya menyajikan apa yang terjadi dalam waktu singkat. Berita memiliki nilai
penyajian obyektif tentang fakta-fakta yang dapat dibuktikan. Berita jenis ini
ditulis dengan 48 unsur-unsur yang dimulai dari What, Who, When, Where,
Why, dan How (5W + 1H).
2. Depth News Report merupakan laporan yang sedikit berbeda dengan Straight
News report, yaitu berita mendalam, dikembangkan berdasarkan penelitian
atau penyelidikan dari berbagai sumber.
3. Comprehensive News merupakan laporan tentang fakta yang bersifat
menyeluruh ditinjau dari beberapa aspek, maksudnya mencoba

167
menggabungkan berbagai serpihan fakta itu dalam satu bangunan cerita
peristiwa sehingga benang merahnya terlihat dengan jelas.
4. Interpretetive report, berita ini memfokuskan sebuah isu, masalah atau
peristiwa-peristiwa kontroversial. Namun demikian, fokus laporan beritanya
masih berbicara mengenai fakta yang terbukti bukan opini.
5. Feature Story adalah berita yang menyajikan suatu pengalaman atau berita
yang pada gaya penulisan dan humor daripada pentingnya informasi yang
disajikan. Berita yang berisi cerita atau karangan khas yang berpijak pada
fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik.
6. Depth Reporting adalah pelaporan jurnalistik yang bersifat mendalam, tajam,
lengkap dan utuh tentang suatu peristiwa fenomena atau aktual.
7. Investigative Reporting adalah berita yang dikembangkan berdasarkan hasil
penelitian dan penyelidikan untuk memperoleh fakta yang tersembunyi demi
tujuan.
8. Editorial Writing adalah pikiran sebuah institusi yang diuji didepan sidang
pendapat umum. Editorial adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan
berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum.

D. Etika
a) Pengertian Etika

Etika dalam istilah Islam lebih dikenal dengan kata "akhlaq" perkataan akhlaq
berasal dari bahasa Arab '' ‫"اخلق‬. Secara luas akhlaq dapat diartikan sebagai interaksi
seorang hamba dengan Allah dan sesama manusia.

Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani kuno "ethos" dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti yaitu, padang rumput, kadang, kebiasaan, adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, cara berpikir.

Dalam bentuk jama' (ta etha) artinya adat kebiasaan (Bertens, 1993: 3). Ada
beberapa definisi makna etika secara terminologi diantaranya, dalam kamus filsafat,
diungkapkan ethies (berasal dari bahasa Yunani, Ethics, berarti penggunaan, karakter,

168
kebiasaan, kecenderungan, sikap) ada 3 makna yaitu, pertama analisis, konsepkonsep
seperti harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar salah, 50 wajib dan lain-lain.
Kedua, pencarian kedalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga,
pencarian kehidupan yang baik secara moral (Tim Penulis Rosda 1995: 100).

Menurut K. Bertens, menunjuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga
arti etika yang kemudian perumusannya dipertajam lagi. Pertama, kata "etika" bisa
dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, misalnya jika
berbicara tentang etika suku-suku Indian. Etika agama Budha dan sebagai ilmu,
melainkan agama secara tingkat dapat diartikan sebagai "sistem nilai". Sistem nilai ini
bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.

Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau moral, yang dimaksud disini
adalah kode etik. Misalnya Departemen Kesehatan RI menerbitkan kode etik untuk
rumah sakit yang diberi judul Etika 51 Rumah Sakit Indonesia (1986) disingkat
ERSI, jadi jelas bahwa yang dimaksud disini adalah kode etik.

Ketiga, etika berarti juga mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan
buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas
dan nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat yang seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral
(Amin Syukur, Jurnal: Edisi No. 28).

Menurut Ahmad Amin, etika merupakan suatu ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah
manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia
dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus
diperbuat (Amin, 1973: 15).

169
M. Amin Abdullah mengungkapkan bahwa etika harus dipahami tidak
semata-mata dari pengertian tradisional yang mencoba mempertahankan aspek
normatifnya dan mengabaikan aspek-aspek lainnya yang terlibat dalam
pembentukan suatu sikap dan tindakan. Wacana etika merupakan suatu bentuk
diskursus praktis secara umum. Pendeknya, mengungkapkan sikap keputusan
tentang prinsip atau peringatan tentang apa yang telah menjadi perhatian dan juga
pokok-pokok masalah penting dari etika (Abdullah, 2002: 37).

E. Jurnalism Muslim

Jurnalis muslim adalah sosok juru dakwah (Da'i) dibidang pers, yakni mengemban
dakwah bil qolam (dakwah melalui pena dan tulisan). Dalam hal ini terdapat peran-peran
jurnalis muslim yaitu (Asep Syamsul M. Romli, 2003: 39-40).

1) Mendidik (muaddib) yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami, mengajak


khalayak pembaca agar melakukan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Selain itu juga melindungi umat dari pengaruh buruk dan perilaku yang menyimpang
dari syariat Islam.
2) Sebagai Pelurus Informasi (musaddiq) Setidaknya ada hal yang harus diluruskan oleh
jurnalis muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam, informasi tentang
karya-karya atau prestasi umat Islam. Kedua, jurnalis muslim dituntut mampu
menggali, melakukan investigative reporting tentang kondisi umat Islam.
3) Sebagai Pembaharu (Mujaddid) yakni menyebarkan paham pembaharuan akan
pemahaman dan pengalaman ajaran Islam (reformasi Islam). Jurnalis muslim
hendaknya menjadi juru bicara dalam menyerukan umat Islam, memegang teguh Al-
Qur'an dan As-Sunnah untuk memurnikan pemahaman tentang Islam dan
pengalamannya (membersihkan di bid'ah, khurafat, takhayul dan isme-isme yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam).
4) Sebagai pemersatu (Muwahid) yaitu harus mampu menjadi jembatan yang
mempersatukan umat Islam.

170
Untuk menjalankan peran-peran di atas maka, jurnalis muslim mempunyai kode
etik jurnalistik sesuai dengan ajaran Islam (Asep Syamsul M. Romli, 2003: 41-43)
diantaranya:

1. Menginformasikan atau menyampaikan yang benar saja (tidak berbohong), juga


tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Sebagaimana firman Allah: "Dan
jauhilah perkataan-perkataan dusta" (Qs. Al-Hajj: 30) Nabi SAW juga menjelaskan
dalam haditsnya: "Hendaklah kamu berpegang teguh pada kebenaran karena
sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa
ke surga". (HR. Muttafaq 'Alaih).
2. Bijaksana, penuh nasehat yang baik, serta argumentasi yang jelas dan baik pula.
Karakter, pola pikir, kadar pemahaman obyek pembaca harus dipahami, sehingga
tulisan berita yang dibuat pun akan disesuaikan sehingga mudah dibaca dan dicerna.
"serulah kejalan Tuhanmu dengan penuh kebijakan (Hikmah), nasehat yang baik,
serta bantahlah mereka dengan bantahan yang baik" (Qs. An-Nahl: 125).
3. Meneliti kebenaran berita atau fakta sebelum dipublikasikan harus melakukan Check
and Recheck. "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik
membawa berita, carilah keterangan tentang kebenarannya (tabayyun) supaya
jangan kamu rugikan orang karena tidak tahu" (Qs. Al-Hujurat: 6).
4. Hindari olok-olok, penghinaan, mengejek, atau caci maki sehingga menumbuhkan
permusuhan dan kebencian. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah ada
diantara kamu yang mengejek orang lain, mungkin yang diejek itu lebih baik dari
mereka yang mengejek. Janganlah kamu saling mencaci dan janganlah memberi
nama ejekan." (Qs. Al-Hujurat: 11).
5. Hindarkan prasangka buruk (suudzhan). Dalam istilah hukum, pegang teguh "asas
praduga tak bersalah" disebutkan dalam Qs. 49: 2. Kaum mukmin dilarang terlalu
banyak prasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dilarang pula
saling memata-mematai (mencari kesalahan orang lain) dan saling memfitnah atau
menggunjing (ghibah, membicarakan aib orang lain). Dalam Al-Qur'an juga
dijelaskan tentang larangan mencari kesalahan orang lain (berprasangka buruk).
Sebagaimana terdapat dalam (surat Al-Hujurat: 12.)

171
Selain itu di dalam surat Al-Qalam juga terdapat seruan tentang larangan untuk
berprasangka dan menyebarkan fitnah. ''Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang
banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, dan kian kemari menghambur fitnah"
(Qs. Al-Qalam: 10-11).

Rasulullah juga mengingatkan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu


Hurairah ra Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kamu berprasangka,
karena sangkaan itu adalah sedusta-dusta percakapan" (HR. Mutafaq 'Alaih) (Minhajus
Sholikhin, 1978: 282).

F. Hubungan Etika dan Dakwah


Dalam buku "Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam", etika secara
terminologi diartikan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral, serta kumpulan nilai-nilai yang berkenaan dengan akhlak, maka dengan
standar akhlak, komunikasi akan bernuansa Islami (Mafri Amir, 1999: 33-34).
Menurut H. M. Syamsudin, Etika dapat diartikan secara sempit dan secara luas,
kalau secara sempit, etika sering dipahami sebagai hal-hal yang bersifat evaluatif, menilai
baik dan buruk. Sedangkan secara luas, etika dikaitkan dengan Islam yang menganjurkan
istilah akhlak (Mafri Amir, 1999: 39).
Dalam kehidupan sehari-hari pembicaraan kata etika dan akhlak sering tumpang
tindih, kedua istilah tersebut sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan
perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing.
Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur'an dan sunnah, bagi etika standarnya
pertimbangan akal pikiran (Yunahar Ilyas, 2001: 3).
Sedangkan dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik dan buruk, terpuji
dan tercela, semata-mata karena syara' (Al-Qur'an dan AsSunnah). Dalam hal ini, Islam
juga tidak menafikan peran hati nurani, akal dan pandangan masyarakat. Hati nurani atau
fitrah dalam bahasa Al-Qur'an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena
manusia diciptakan oleh manusia oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid, mengakui
keesaanNya (Qs. Ar-Rum: 30).
Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada
kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran

172
Tuhan, karena kebenaran itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber
kebenaran mutlak.
Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena
pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah hanyalah
merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Betapa banyak manusia
yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat lagi melihat kebenaran
(Yunahar Ilyas, 2001: 4-5).
Sebagaimana dakwah, merupakan seruan untuk mengajak kejalan Allah untuk
beramar ma'ruf nahi mungkar, di mana materi dakwah meliputi segala aspek kehidupan
yang mencakup segi tauhid, syari'ah dan akhlak.
Dari uraian di atas, pada dasarnya akhlak dan etika merupakan dimensi ketiga
(akhlak) dari ajaran Islam sebagai materi dakwah setelah aqidah dan syari'ah. Kalau aqidah
menyangkut permasalahan yang harus diimani dan diyakini oleh manusia sebagai sesuatu
yang hakiki. Syari'ah menyangkut berbagai ketentuan berbuat dan menata hubungan baik
dengan Allah dan sesama makhluk. Sementara akhlak menyangkut berbagai masalah
kehidupan yang berkaitan dengan ketentuan dan ukuran baik dan buruk atau benar salahnya
suatu perbuatan-perbuatan itu dapat berupa perbuatan lahir dan batin.
Jadi, manusia sebagai ciptaan Allah SWT harus tunduk kepada ajaran-ajaran
akhlak dan moral yang telah digariskan, dengan mentaati dan mengikuti nilai-nilai moral
yang telah ditetapkan oleh Allah. Sebaliknya, apabila manusia melanggar ajaran-ajaran
moral yang telah ditentukan oleh Allah, berarti tidak patuh kepada-Nya dan ia kembali
kederajat yang paling rendah. Karena Allah sebagai penguasa tunggal yang berhak
mengeluarkan aturan-aturan dan perintah moral.
Maka terdapat keseragaman dan kestabilan dalam menetapkan tolak ukur moralitas
dalam Islam, yaitu wahyu Tuhan dan ajaran-ajaran Allah, yang dicontohkan secara
sempurna dalam praktik-praktik kehidupan Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya, Nabi
SAW dipandang sebagai paripurna dan suri tauladan yang baik yang sosok kepribadiannya
digambarkan dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki budi pekerti
yang luhur". Nabi sendiri menyatakan bahwa salah satu misi pokok kerasulannya adalah
untuk mengajarkan dan menegakkan kemuliaan akhlak (Ismail, Faisal, 2002: 257).

173
Etika Islami dan Komunikasi/Media Massa terhadap Kajian
Dakwah

Oleh: Desi Nuryani

A. Pengertian Etika

Dari segi etimologi etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan
atau adat. Dalam Kamus Bahasa Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasan ini terlihat bahwa
etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.

Adapun etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Pengertian etika lebih lanjut dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantara, menurutnya etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan
dan keburukan di dalam hidup manusia semunya, teristimewa yang menenai gerak-gerik
pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai
tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.

Selanjutnya dalam Encyclopedia Britania, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu
studi sistematik mengenai sifatdasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah
dan sebagainya. Berikutnya Ahmad Amin mendefinisikan bahwa etika adalah ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusi,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Dari beberapa definisi etika di atas dapat diketahui bahwa etika berhubungan dengan
empat hal, sebagai berikut:

1. Dilihat dari segi objek pembahasannya


2. Dilihat dari segi sumbernya
3. Dilihat dari segi fungsinya
4. Dilihat dari segi sifatnya

174
Dengan ciri-ciri seperti tersebut di atas, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatakan baik atau buruk.

B. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam

Mafri mendalami wawasan Al-Qur’an dan Hadits mengenai kode etika komunikator di
media massa, wartawan, kolumnis, narasumber, pelaku peristiwa dan saksi mata harus
berhati-hati dalam menyampaikan informasi, karena istilah ralat merupakan komunikasi
baru.95

1) Fairness atau Kejujuran Komunikasi

Aspek kejujuran dalam komunikasi didasarkan pada data dan fakta, sehingga jurnalis
menulis suatu fakta dengan kejujuran. Dalam Al-Qur’an kejujuran dapat diistilahkan
dengan amanah, ghair al-takdzib, shidq, dan al-haq. Dengan dasar etika seperti istilah
tersebut, maka seseorang tidak akan berkomunikasi secara dusta atau dengan cerita palsu.

2) Adil atau Tidak Memihak

Dalam praktek jurnalistik berlaku prinsip etik adil dan berimbang. Artinya, tulisan
harus disajikan secara tidak memihak. Menyajikan berita yang bersumber dari berbagai
pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian suatu sudut pandang masing-masing
terhadap suatu kasus berdasarkan prinsip berimbang dan adil.

3) Keakuratan Informasi

Unsur accuracy merupakan salah satu pokok etika dalam komunikasi massa, informasi
tersebut telah diteliti dengan cermat dan seksama, sehingga informasi yang disajikan telah
mencapai ketepatan. Karena menyampaikan informasi secara tepat merupakan landasan
pokok untuk tidak mengakibatkan pembaca, pendengar, pemirsa mengalami kesalahan.
Ajaran Islam mengakomodasikan etika akurasi informasi tersebut melalui beberapa ayat.

95
Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam (Jakarta: Logos 2000), h. 53-64

175
Salah satunya dalam al-Qur’an adalah surah Al-Hujuraat 49: 6, dengan istilah tabayyur.
Yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.”

4) Bebas dan Bertanggung Jawab

Dalam pokok-pokok etika komunikasi massa, asas bebas dan bertanggung jawab
merupakan pedoman dalam perilaku dan perbuatan. Prinsip tersebut diaplikasikan dalam
cara mencari, mengumpul, dan menyajikan informasi terhadap publik. Yang paling penting
orang-orang pers Islam adalah bertanggung jawab terhadap apa yang disajikannya bukan
hanya dihadapan para penguasa di dunia, melainkan yang paling penting di hadapan Allah
SWT.

5) Kritik yang Konstruksif

Dakwah melalui komunikasi massa adalah menyampaikan dan menegakkan kebenaran,


menyajikan suatu gambaran di dunia yang utuh dan akurat terhadap para pembaca. Kritik
yang dimaksudkan untuk pembangunan bukan menjatuhkan seseorang atau sebuah intuisi.

C. Etika Menghadapi Mad’u / Khalayak

Mafri Amir juga menerangkan etika menghadapi berbagai mad’u, baik yang tua, yang
muda, yang lemah, yang kuat, heterogen maupun khalayak yang mempunyai kekuasaan.

1. Qawlan Ma’rufan terhadap masyarakat heterogen dan lemah


Qawlan ma’rufan dapat diterjemahkan dengan ungkapan yang baik dan pantas.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah 2 : 263

             

176
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun.”
2. Qawlan Kariiman menghadapi orang tua
Qawlan kariiman mengisyaratkan satu prinsip utama dalam etika komunikasi
Islam. Komunikasi dalam Islam harus memperlakukan orang lain dengan penuh rasa
hormat.96 Ungkapan qawlan kariman dalam Al-Qur’an disebutkan satu kali, yaitu dalam
Al-Qur’an surah Al-Isra 17: 23, yang artinya sebagai berikut:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang diantara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia.”
3. Qawlan Maysuran Komunikasi dengan Mudah dan Melegakkan Perasaan
Bila dilihat akar kata maysuran, yakni yasara, maka secara terminologis artinya
mudah. Menurut Jamaluddin, sebenarnya qawlan maysuran lebih tepat diartikan “ucapan
yang menyenangkan”, lawannya adalah ucapan yang menyulitkan. Para ahli komunikasi
menyebutkan dua dimensi komunikasi. Ketika kita berkomunikasi tidak hanya
menyampaikan isi, kita juga mendefinisikan hubungan sosial diantara kita. Isi yang sama
dapat mengakrabkan para komunikator atau menjauhkannya. Salah satu prinsip etika
komunikasi dalam Islam adalah setiap komunikasi harus dilakukan untuk mendekatkan
manusia dengan Tuhannya dan hambanya yang lain.
4. Qawlan Balighan Komunikasi Efektif Menyentuh Akal dan Pikiran
Qawlan balighan artinya perkataan yang mengena, qawlan balighan dapat
diartikan ke dalam komunikasi yang efektif. Jalaluddin Rahmat memberikan pengertian
“qawlan balighan” terjadi jika komunikator menyesuaikan pembicaraannya dengan
sifat-sifat khalayak yang dihadapinya. Qawlan balighan dapat terjadi juga jika

96
Jalaluddin Rahmat, “Etika Komunikasi:Perspektif Religi”, Makalah Seminar, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 18
Mei 1996

177
komunikatornya menyeru khalayaknya pada hati dan otaknya secara sekaligus.97
Komunikasi yang efektif tercapai jika bahasa yang dipakai disesuaikan dengan pembaca,
pendengar, dan pemirsa, sehingga mampu merubah tingkah laku khalayak.
5. Qawlan Layyinan atau Komunikasi Humanistik
Secara harfiah berarti komunikasi yang lemah lembut, disebut dengan layyinan
karena sebagaimana tersebut dalam surah Thaha 20: 44;

       

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Berkomunikasi harus dilakukan dengan lembut, tanpa emosi, apalagi mencaci maki
orang yang diajak berkomunikasi. Tentunya teknik komunikasi memerlukan etika
tertentu dalam Islam, sebagai salah satu pokok etika dalam bidang komunikasi massa.

D. Definisi dan Karakteristik Komunikasi Massa


1. Definisi Komunikasi Massa

Stanley mendefinisikan komunikasi Massa sebagai berikut: “When an


orgaization a theology as a medium to communicate with audience”. Komunikasi
adalah sesuatu yang telah terjadi, misalnya media cetak, koran atau yang lainnya
untuk meraih atau menjangkau pembacanya.98

2. Karakteristik Komunikasi Massa


a. Komunikator terlembagakan, dari proses penyusunan pesan sampai ke
khalayak.
b. Pesan bersifat umum, menarik bagi sebagian besar komunikan.
c. Komunikasi massa mengatakan unsur-unsur.

97
Lihat Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, Mizan, Bandung, 1996, h.83
98
Stanly, J, Baran,dan Dannis K. Davis, Mass comunnication Theory, Foundation, Ferment and Future, h.09

178
d. Komunikasi massa bersifat satu arah (bagi siaran tidak langsung) dan dua arah
(bagi siarang langsung).
e. Feed Back komunikasi massa tertunda (jika siaran tidak langsung) dan tidak
tertunda (jika siaran langsung).

E. Menerapkan Iklan yang Islami

Memahami substansi iklan, pemikir Islam menganggap iklan sebagai penerangan


Islam dan dakwah Islamiyah. Mereka mengharapkan umat Islam tidak meniru budaya
Barat yang negatif secara buta dan umat boleh meniru hal-hal yang positif dari budaya
Barat. Bukan saja pemikir Islam yang mengkhawatirkan etika iklan, pemikir non muslim
(Pusat Kajian Atmajaya) juga menyoroti iklan di layar kaca dalam jurnal Respons99
Dorien Kartikawati mengkhawatirkan beberapa hal.

Seperti Iklan dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi masyarakat karena
bertentangan dengan nilai-nilai moral. Iklan seolah-olah membenarkan hal-hal yang
buruk dan mengajarkan nilai-nilai yang kurang baik dan terakhir sebagai iklan cenderung
mengekspos kekacauan tetapi sekaligus mempermainkan nilai-nilai yang sesungguhnya
dalam masyarakat.

Nilai-nilai agama dicerminkan pada realitas, simbolik dan realitas objektif dan
individu, kelompok dan masyarakat, ketiga realitas tersebut saling mempengaruhi.
Media Massa sebagai salah satu sistem sosial dan pranata sosial merupakan realitas
simbolik dari masyarakat atau cerminan masyarakat. Media Massa sebagai pranata sosial
melayani dan menjalankan berbagai fungsinya.

Betapa pentingnya iklan bagi penerangan etika dan dakwah terhadap umat maka
kaum elit yang berada pada intuisi politik, ekonomi, hukum, agama, dan budaya agar
mereka tidak mengabaikan hukum penyiaran atau hukum komunikasi massa.

Iklan yang Islami yang ideal merujuk pada segala sesuatunya harus Islami, baik
dalam ide utamanya, filosofinya, isinya, misi medianya agar semua disesuaikan dengan

99
Dorien Kertikawangi, Iklan Komersil di Televisi dan Persoalan Etika, Jurnal Respons, Vol.6, No. 01, Agustus 2001,
Hal. 01

179
fungsi iklan yang bernilai ketuhanan, moral agama, dan mencerminkan tujuan yang
mulia. Dari wacana Islam tentang tata cara Dakwah Islam dan mempromosikan suatu
produk serta dalil-dalil hukum agama dapat diperoleh kaidah mengenal iklan yang
Islami.

Riwayat hidup Nabi dijadikan rujukan untuk membuat pedoman tentang iklan,
salah satu kisah yang masyhur terjadi di Madinah ketika Rasul hendak membeli makanan
di pasar, pada saat itu Rasul memasukkan tangannya di keranjang makanan terasa
olehnya ada makanan yang lembek atau rusak lalu Rasul berkata “apa ini wahai
penjual?” Kata penjual makanan itu “Makanan telah rusak yang di bawah”. Rasul
melanjutkan “Mengapa tidak diletakkan di atas agar terlihat oleh pembeli?”; Rasul
berkata “Barang siapa menipu bukan dari golongan saya.” (Hadits riwayat Abu
Hurairah dikutip oleh Muslim).

Hadits Rasul ini berpesan kepada pedagang agar mempromosikan barang


dagangannya secara jujur, jelas, dan transparan. Kekurangan dan keburukan barang
diberi tahu ke pembeli agar tidak terjadi penipuan dan pengelabuan. Dengan demikian,
Rasul telah memberikan prinsip-prinsip berdagang, cara-cara menyuplai barang dengan
baik dan benar sesuai dengan ajaran Islam. Rasul melarang pedagang untuk selalu
memuji barang-barang dagangannya atau tidak mengungkap hal-hal yang sebenarnya.

Pelajaran iklan dalam Islam, boleh dagang tapi caranya tidak ada tipu daya dan
ada kejelasan. Ahmad Isowi menerangkan beberapa ayat yang berkaitan dengan iklan,
lihat beberapa ayat berikut; Surah Al-Baqarah ayat 556, Surat Ali-Imran ayat 64 dan
Surat Yusuf ayat 108. Kesimpulan Substansi Iklan yang Islami:

a. Segala sesuatunya sesuai dengan hukum Islam.


b. Iklan memperpanjang tangan dari Dakwah Islamiyah, oleh karena itu harus
menampilkan hal-hal yang baik.
c. Dalam iklan dapat digunakan berbagai media yang mendukung penerangan Islam.
d. Dengan melalui iklan dan penerangan Islam diharapkan umat Islam tidak meniru
budaya barat.

180
Menurut Ahmad Isawi diantaranya Karakteristik Iklan yang Islami, yakni:
“Unsur dalam kegiatan iklan saling berkaitan dengan sumber, tujuan, dan implikasinya,
tidak bersifat personal (pengiklan dengan media iklan), kepribadian yang jelas, kegiatan
yang profesional dibatasi secara Islam, produksi, media sesuai dengan pemikiran Islam,
dikondisikan tempatnya halal dan terakhir iklan yang Islami merupakan kegiatan sosial,
budaya, pengajaran, bahasa yang sesuai dengan realitas budaya dan moral masyarakat
Islam”. Dan pandangannya mengenai kriteria terpenting dalam iklan menurut Islam
adalah membangun peradaban Islam masa depan.

F. Iklan dan Dakwah

Dakwah merupakan penerangan, pemberitaan dan iklan. Dakwah mempromosikan


dan memperkenalkan sesuatu. Ahmad Isawi menyimpulkan iklan berkaitan dengan
dakwah komoditi diiklankan harus halal, jangan yang haram atau yang maksiat.
Membumikan iklan substansi, Islam inklusif dan Islam kultural, banyak tantangan
mengekspresikan nilai Islam di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya.
Umat Islam kurang memanfaatkan media massa dalam membentuk citra umat dan
ajarannya menjadi positif.

Umat Islam sebagai konsumen dan pembayar pajak terbesar di Indonesia, namun
mereka tidak dilayani kebutuhan dan sosialisasi identitas diri berkaitan dengan budaya
lokal, budaya Indonesia dan budaya umat yang Islami.

Komentar kelebihan dan keburukan diberi tahu ke pembeli. Ada prinsip iklan
mengulas dua sisi yang menayangkan sisi positif dan sisi negatif. Ada hasil penelitian
misalnya; mahasiswa UI mengeksperimen iklan permen dalam dua sisi. Anak yang
kritis, biasa berkomunikasi demokratis di rumah dan ia tidak mengalami kesukaran, anak
menghadapi iklan yang dua sisi tidak canggung, sebaliknya anak yang kurang cerdas,
biasa didoktrin, menghadapi kebingungan dalam menerima iklan dua sisi.

G. Aplikasi Komunikasi/Media Massa dalam Dakwah

Media massa merupakan alat bantu utama dalam proses komunikasi massa.
Komunikasi massa sendiri, secara sederhana, berarti kegiatan komunikasi yang

181
menggunakan media (communicating with media). Menurut Bittner (1986 : 12) media
massa adalah suatu alat transisi informasi, seperti koran, majalah, buku, film, radio,
televisi, atau sudut kombinasi bentuk dari bentuk-bentuk media itu.

Bila dilihat dari sisi bentuk media yang digunakannya, media jurnalistik memiliki
ciri dan sifatnya masing-masing. Meskipun pada umunya memiliki kesamaan, antara
surat kabar, majalah, radio dan televisi, juga memiliki beberapa perbedaan. Unsur lain
yang harus diperhatikan dalam proses komunikasi bermedia, seperti pers harus
mempertimbangkan efek yang hendak dicapai.

Misalnya, seorang wartawan senior Harian Pikiran Rakyat, Achmad Setiyadji,


dalam tulisannya. “Redefinisi dan Format Haji Jurnalis”, mengungkapkan dilema
seorang jurnalis yang melaksanan ibadah haji. Produk dari kegiatan para jurnalis itu
malah bisa jadi merupakan khazanah baru gerakan dakwah untuk memperkenalkan
Islam melalui pendekatan yang khas, dalam bentuk karya-karya jurnalistik. Karena itu,
untuk menambah khazanah tersebut, melalui tulisan ini penulis ingin memberikan
“semacam” catatan kaki pada tulisan Achmad setiyaji dengan mengungkap kenyataan
lain yang juga dilakukan oleh profesi jurnalis. Media jurnalistik telah memainkan
peranannya cukup besar bagi kepentingan dakwah Islam khususnya.

182
Perilaku Orang yang Beretika Dalam Majelis

Oleh: Tiara ‘Adani

A. Pengertian Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat.100 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).101 Dari pengertian kebahasaan ini, terlihat
bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.

Adapun arti etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.102

Pengertian etika lebih lanjut dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurutnya etika
adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia
semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan
pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.103

Dari definisi etika di atas dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat
hal sebagai berikut. Pertama dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas
perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber
pada akal pikiran atau filsafat. Ketiga dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai
penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan yang dilakukan oleh
manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan

100
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1980), cet.II, hlm.13.
101
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet.XII, hlm.278
102
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj.) K.H. Farid Ma’ruf, dari judul asli, al-Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), cet.III, hlm.3.
103
Ki Hajar Dewantara Zubair, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1966), hlm.138.
183
sebagainya. Dengan demikian, etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah
perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit
atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-
nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia.
Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi
sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.

Ajaran Islam tidak hanya berisi tentang norma, moral dan hukum. Akan tetapi
mengandung norma etika, yaitu adat sopan sanun yang memberi tuntunan kepada manusia
tentang cara melakukan sesuatu sesuai dengan sopan santun yang berlaku.

Jika norma moral mengajarkan kepada kita tentang substansi perbuatannya, apakah ia
baik atau buruk, terhormat atau tercela, boleh atau tidak boleh maka norma etika mengajarkan
kepada kita tentang cara-cara melakukannya. Misalnya dalam etika makan, Islam telah
menetapkan cara yang baik dan sopan, seorang muslim sebaiknya tidak mengambil hidangan
yang jauh dari jangkauannya, tidak bersuara ketika mengunyah makanan, tidak menyisakan
makanan di atas piring, dan lain sebagainya. Banyak sekali hadits Rasulullah SAW. yang
menyinggung masalah etika. Salah satunya adalah yang akan dibahas pada makalah kali ini,
yakni eika di daam majelis. Makalah ini dimaksudkan agar kaum muslimin menjadi orang
yang terhormat, bermartabat dan bertabiat lembut.

B. Pengertian Majelis

Majelis Allah tempat berkumpul manusia untuk membahas berbagai masalah.


Sebagaimana hal itu dapat dilihat dari akar kata jalasa yang berarti duduk dan majelis (bentuk
jamak dari majlis) yang berarti tempat duduk. Maka kemudian digunakanlah kata majelis ini
untuk suatu perkumpulan atau pertemuan banyak orang.

184
Dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian majelis adalah lembaga (organisaasi)
sebagai wadah pengajian dan kata ‘majelis’ dalam kalangan ulama’ adalah lembaga
masyarakat non pemerintah yang terdiri atas para ulama’ islam.104

Di kalangan masyarakat, kata majelis lebih sering digunakan untuk maksud


“pengajian”, “taklim”, atau majelis ilmu. Jika maksud dari pengertian kata majelis ini adalah
majelis ilmu, tentu mengandung makna suatu tempat yang dipenuhi dengan rahmat, manfaat
dan keberkahan, karena di dalamnya dibahas dan dibicarakan berbagai hal yang berkaitan
dengan ilmu. Oleh sebab itu, terutama pada “majelis ilmu agama”, selayaknyalah orang-orang
yang hadir di dalamnya menjaga adab dan etika mereka, agar tujuan mulia dari majelis ini tidak
ternodai oleh tingkah-tingkah yang melanggar kesopanan dan norma.

Dalam majelis ilmu Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk berdzikir
kepada Allah, sebagaimana sabdanya:

‫ ما جلس قوم مجلسا يذكرون هللا حفت هم المالئكة‬: ‫عن ابى هريرة وابى سعيد يشهدان به على الني صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫وتغشتهم الرحمة وتنز لت عليهم السكينة وذكرهم هللا فيمن عنده‬

(‫( رواه ابن ماجه‬

“Tidaklah suatu kaum duduk dalam suatu majelis untuk berdzikir mengingat Allah, melainkan
mereka akan dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, dan Allah menyebut-nyebut
mereka dikalangan makhluk yang ada disisinya”. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah SAW merupakan suri tauladan yang baik, karena mempunyai sifat yang
sangat luhur yang tidak dimiliki manusia lain di dunia ini. Beliau mengajarkan sedemikian
rupa tentang semua aspek kehidupan manusia seperti adab dan etika. Beliau mengatur manusia
dalam segala hal dalam bertindak, sehingga mempunyai relevansi terhadap kehidupan sosial.
Pelajaran yang diberikan beliau dalam kehidupan ini juga sangat menyeluruh. Tidak hanya
terbatas dalam masalah-masalah besar saja tetapi sampai masalah kecil beliau juga
mengajarkannya seperti masalah etika dalam majelis ilmu juga diatur oleh Islam.

104
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), cet.IV, hal.859.

185
Sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat, orang yang datang ke suatu majelis
dengan tujuan-tujuan tertentu, seperti agar dipandang rajin, untuk menyebarkan petuah
terhadap salah satu anggotaa majelis, atau untuk mengadu domba diantara mereka, tentu saja
hal tersebut akan menodai kesucian dan keagungan majelis.

C. Etika Dalam Majelis yang Diajarkan Al-Qur’an

Berikut Q.S Al-Mujaadillah [58]: 11

                

               

“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam


majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-
orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Surah Al-Mujaadillah ayat 11 di atas menjelaskan tentang etika (sopan santun) ketika
berada di dalam suatu majelis, serta kedudukan orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang berilmu pengetahuan. Dan kaitannya dengan etika di dalam majelis adalah bahwa ketika
kita terlebih dahulu berada dalam suatu majelis, hendaklah memberikan kelapangan tempat
duduk bagi yang baru datang. Jika ada yang mengatakan bahwa tempatnya sempit, sehingga
tidak memberikan tempat duduk untuk yang lainnya maka sesungguhnya yang sempit itu
bukanlah tempatnya, melainkan hatinya. Sebagai orang yang beriman, kita harus melapangkan
hati demi saudaranya yang lain.

Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan, jika ilmu tersebut di manfaatkan untuk kemaslahatan umat. Allah SWT juga akan

186
membalas semua amal kita, orang yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan yang
jahat juga akan dibalas sesuai dengan kejahatannya.

D. Hadits tentang Etika dalam Majelis

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ْ ‫س فَ ْليَجْ ِل‬
‫س ث ُ َّم ِإذَا‬ َ ُ‫سلَّ َم قَا َل ِإذَا ا ْنت َ َهى أ َ َحد ُ ُك ْم ِإلَى َمجْ ِل ٍس فَ ْلي‬
َ ‫س ِلّ ْم فَإ ِ ْن بَدَا لَهُ أ َ ْن يَجْ ِل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫اَّلل‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫اَّلل‬ ُ ‫َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ أ َ َّن َر‬
ِ‫ت ْاألُولَى ِبأ َ َح َّق ِم ْن ْاْل ِخ َرة‬ ْ ‫س‬ َ ُ‫ام فَ ْلي‬
َ ‫س ِلّ ْم فَلَ ْي‬ َ َ‫ق‬

)‫(رواه الترمذي وأبو داود‬

“Jika salah seorang diantara kalian masuk majelis maka ucapkanlah salam, dan apabila mau
duduk maka dipersilahkan, dan jika ia berdiri ingin pulang maka hendaklah ia memberi salam
yang kedua.”

ُ : ‫وم ِمنَ ْال َمجْ ِل ِس‬


َ‫س ْب َحانَك‬ َ ُ‫سلَّ َم يَقُو ُل بِاَخ ََرةٍ اِذَا ا َ َرادَ ا َ ْن يَق‬
َ ‫لى هللاُ َعلَي ِه َو‬
َ ‫ص‬َ ِ‫سو ُل هللا‬ُ ‫ َكانَ َر‬:َ‫ي هللاُ َع ْنهُ قَال‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َع ْن اَبِ ْي بَ ْرزَ ة َ َر‬
‫ضى‬َ ‫وال َما ُك ْنتُ تَقُولُهُ فِ ْي َما َم‬
ً َ‫سو َل هللاِ اِنَّكَ لَتَقُو ُل ق‬ ُ ‫اللَّ ُه َّم َوبِ َح ْمدِكَ ا َ ْش َهد ُ ا َ ْن َالاِلَهَ اِالَّ ا َ ْنتَ ا َ ْست َ ْغ ِف ُركَ َواَتُوبُ اِلَيْكَ فَقَا َل َر ُج ٌل يَا َر‬
)‫ارة ٌ ِل َما يَ ُكونُ فِي ْال َمجْ ِل ِس (رواه ابوداود‬
َ َّ‫ ذَلِكَ َكف‬:َ‫قَال‬

“Diriwayatkan dari abi barzah RA. Dia berkata: Rasulullah SAW jika bangun dari suatu
majelis membaca “subhanakallahumma wabihamdika asyhaduallailaha ila anta astagfiruka
waatuubu ilaika” maha suci engkau ya Allah dan segala puji bagiMu, saya bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Engkau, saya minta ampun danbertaubat kepadamu) maka ada seorang
berkata, wahai Rasulullah engkau telah membaca bacaan yang dahulu tidak biasa engkau
baca, Nabi SAW menjawab “itu sebagai penebus dosa yang terjadi pada majelis itu.” (HR.
Abu Dawud)

Islam menganjurkan kepada kita agar bertegur sapa dengan ucapan salam baik ketika
bertemu maupun berpisah. Apabila seseorang sedang duduk bersama dalam suatu
perkumpulan atau majelis kemudian ia hendak meninggalkan mereka mereka maka hendaknya
ia mengucapkan salam kepada mereka.

187
Banyak sekali hadits Rasulullah SAW. yang menyinggung soal etika dalam majelis.
Salah satunya adalah hadits yang disebutkan di atas. Hal tersebut dimaksudkan agar kaum
muslimin menjadi orang yang terhormat, bermartabat, dan bertabiat lembut. Keberadaan
majelis bukan tempat untuk ajang melakukan sesuatu yang sia-sia, namun sebagai tempat yang
bermanfaat, baik untuk pengembangan ilmu atau kebaikan akhirat.

Jika seseorang masuk ke suatu majelis, baik majelis ilmu seperti pengajian, majelis zikir,
maupun majelis lainnya, sebelum duduk dianjurkan untuk mengucapkan salam. Ini
dimaksudkan agar ketenangan hati dan kedamaian menjelma dlam majelis tersebut, sehingga
segala sesuatu yang akan disampaikan dalam majelis dapat dicerna dan diterima dengan baik
dan sempurna. Seseorang yang berada di dalam majelis tidak akan mampu menyerap sesuatu
yang disampaikan dalam majelis, bila dalam hatinya masih tersimpan segala perasaan yang
menggangu. Dengan diucapkan salam, merupakan awal dari kedamaian dan ketenangan.

Lebih jauh, Nabi Muhammad SAW. menganjurkan untuk membaca do’a ketika hendak
menginggalkan majelis, yaitu:

‫س ْب َحانَكَ اللَّ ُه َّم َو ِب َح ْمدِكَ أ َ ْش َهد ُ أ َ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ أَ ْنتَ أ َ ْست َ ْغ ِف ُركَ َوأَتُوبُ ِإلَيْك‬
ُ

“Maha suci Engkau wahai Allah. Dengan sifat terpuji-Mu, saya bersaksi tiada Tuhan selain
Engkau ya Allah. Ampunilah dosa-dosa saya dan saya bertaubat kepada-Mu ya Allah.”

Do’a ini dimaksudkan untuk menghilangkan segala kesalahan dan kekeliruan dalam
majelis, karena sering kali tanpa disadari seseorang melakukan satu kekeliruan dalam majelis.
Hal inilah yang ditangkap oleh Rasulullah SAW. ketika hendak meninggalkan majelis.

E. Perilaku Orang yang Beretika Dalam Majelis

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, majelis merupakan tempat di mana orang-orang
berkumpul untuk melakukan kegiatan belajar. Dalam Islam, majelis diidentikkan dengan
tempat mengaji, berdzikir, dan mengadakan kegiatan-kegiatan agama.

Ketika berada di dalam majelis, seorang guru dan para jamaah hendaknya dapat bersifat
baik selama berada di dalam majelis. Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

188
dan para sahabat. Ketika memberikan pelajaran, Rasulullah SAW. selalu membuka taklim
dengan berdo’a memohon ampunan bagi jamaah yang hadir di majelis, begitu pula ketika
menutup taklim. Selain berdo’a, etika yang dicontohkan Rasulullah SAW. adalah bertutur kata
yang santun, menjelaskan materi dengan jelas, tidak menyinggung perasaan orang lain, duduk
dengan sopan, dan memberikan waktu bertanya untuk para jamaah yang belum memahami
materi yang diajarkan.

Para sahabat yang menimba ilmu dari Rasulullah SAW juga berperilaku sopan di
hadapan Rasulullah SAW. Ketika tiba di majelis mereka mengucapkan salam, lalu duduk rapi
dengan mengisi tempat yang terdepan. Ketika taklim berlangsung, para sahabat tidak ada yang
bersuara dan mendengarkan pelajaran dengan penuh kekhusukan, serta mencatat apa yang
diterangkan Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW membuat forum pertanyaan maka para
sahabat baru berani bertanya, para sahabat tidak pernah memotong pembicaraan Rasulullah
SAW.

Demikianlah etika Rasulullah SAW dan para sahabat ketika berada di dalam majelis.
Sebagai seorang mahasiswa sudah sewajarnya meniru akhlak para sahabat ketika menyimak
pelajaran yang diberikan Rasulullah SAW. Jika hal tersebut dilakukan maka akan dapat
mendatangkan keberkahan atas ilmu yang kita dapat.

F. Membiasakan Beretika yang Baik Dalam Majelis

Di bawah ini contoh sikap yang dapat dibiasakan ketika kita sedang berada di dalam
majelis, sesuai dengan perilaku yang telah dijelaskan pada ayat aAl-Qur’an dan hadits di atas,
diantaranya ialah:

1. Mengucapkan salam kepada para jamaah yang hadir dalam majelis ketika baru sampai di
majelis.
2. Duduk di tempat yang masih tersisa baginya, yaitu di tempat yang masih kosong.
3. Tidak menggeser mereka yang telah datang terlebih dahulu, kecuali jika memang
dipersilahkan.
4. Tidak boleh memisahkan dua orang yang sedang duduk, kecuali dengan seizinnya.

189
5. Tidak boleh duduk diantara orang tua dan anaknya dalam suatu majelis.
6. Tidak duduk di tengah-tengah halaqah (lingkaran majelis).
7. Tidak boleh menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu
keperluan.
8. Tidak berbisik berduaan dengan meninggalkan orang ketiga.
9. Tidak melakukan fitnah, ghibah (membicarakan orang lain), riya’ (pamer), dan namimah
(mengadu domba).
10. Para anggota majelis hendaknya tidak banyak tertawa.
11. Anggota majelis hendaknya tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
perasaan orang lain, seperti menguap tanpa menutup mulutnya, membuang ingus, atau
membuang gas di tengah-tengah anggota majelis, ataupun bersendawa dengan suara keras
di dalam majelis.
12. Menghormati guru dan para pengajar di majelis dengan mendengarkan penjelasan mereka
secara seksama dan tidak melakukan keributan.

190
Dakwah dan Pembinaan Moral
Oleh: Fema Raudhia Hasni

A. Pengertian Dakwah

Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang
untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis Aqidah, syariat dan akhlak Islam.
Kata dakwah merupakan masdar (kata dasar) dari kata kerja da’a yad’u yang berarti
panggilan, seruan atau ajakan. Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata “ilmu” dan
kata “Islam” sehingga menjadi “ilmu dakwah” dan “ilmu Islam” atau “ad-dakwah al
Islamiyah”.

Sedangkan pengertian dakwah secara istilah ada beberapa pendapat yang berbeda
yang telah banyak didefinisikan oleh para ahli yang mendalami masalah dakwah. Namun
antara definisi yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Beberapa contoh definisi
dakwah, antara lain:

1) Drs. Shalahudin Sanusi

Dakwah adalah usaha mengubah keadaan yang negatif menjadi keadaan yang
positif, memperjuangkan yang ma’ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas
yang bathil.

2) H. Timur Djaelani, M.A.

Dakwah ialah menyeru kepada manusia untuk berbuat baik dan menjauhi yang
buruk sebagai pangkal tolak kekuatan mengubah masyaratakat dan keadaan yang kurang
baik kepada keadaan yang lebih baik sehingga merupakan suatu pembinaan.

3) Prof. H.M Thoha Yahya Omar

Dakwah ialah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar
sesuai dengan perintah tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

191
4) Prof. A. Hasyim

Dakwah Islamiyah yaitu mengajak orang untuk meyakini dan mengamalkan


aqidah dan syariah Islamiyah yang terdahulu telah diyakini dan diamalkan oleh
pendakwah sendiri.

5) Dr. Abdul Karim Zaidan

Dakwah ialah panggilan kejalan Allah. Dakwah ialah kegiatan untuk mengajak
dan menyeru manusia kepada Islam, agar manusia memperoleh jalan hidup yang baik,
diridhai oleh Allah sehingga hidup dan kehidupannya selama berada di dunia dan akhirat
kelak, karena hakikat dari pada kehidupan dunia adalah pengantar untuk kehidupan
akhirat yang abadi.

Dari uraian pengertian dakwah di atas, baik secara lughawi atau etimologi maupun
secara istilah atau terminologi, maka dakwah adalah suatu usaha dalam rangka proses
Islamisasi manusia agar taat dan tetap. Mentaati ajaran Islam guna memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dakwah adalah suatu istilah yang khusus
yang dipergunakan di dalam agama Islam.

B. Tujuan Dakwah

Adapun mengenai tujuan dakwah yaitu: Pertama, mengubah pandangan hidup.


Seperti yang tersirat dalam Q.S Al-anfal: 24 bahwa yang menjadi maksud dari dakwah
adalah menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan,
minum dan tidur saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya.

Kedua, mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju terang benderang. Ini
diterangkan dalam firman Allah: “Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu untuk
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang benderang dengan izin tuhan
mereka kepada jalan perkasa, lagi terpuji.” (Q.S. Ibrahim: 1). Urgensi dan strategi amar
ma’ruf nahi munkar.

Dalam al-Qur’an dijumpai lafadz “amar ma’ruf nahi munkar” pada beberapa
tempat. Sebagaimana dalam QS Ali Imran: 104 “Hendaklah ada diantara kalian

192
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Hasbi As-
Shidiqy menafsirkan ayat ini, “Hendaklah ada diantara kamu suatau golongan yang
menyelesaikan urusan dakwah, menyuruh ma’ruf (segala yang dipandang tidak baik oleh
syara’ dan akal) mereka itulah orang yang beruntung”.

Dalam ayat lain disebutkan “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan bagi umat
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman
kepada Allah.” (Q.S. Ali-Imran: 110 ). Lafadz amar ma’ruf nahi munkar tersebut juga bisa
ditemukan dalam Q.S. At-Taubah: 71, Al-Hajj: 41, Al-A’raf: 165, Al-Maidah: 78-79 serta
masih banyak lagi dalam surat yang lain.

Bila dicermati, ayat-ayat di atas menyiratkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar
merupakan perkara yang benar-benar urgen dan harus diimplementasikan dalam realitas
kehidupan masyarakat. Secara global ayat-ayat tersebut menganjurkan terbentuknya suatu
kelompok atau segolongan umat yang intens mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari
kejelekan.

Namun tujuan utama dari dakwah adalah mewujudkan kebahagiaan dan


kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah. Nabi Muhammad
mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara, seperti melalui lisan,
tulisan, dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya dan teman-teman karibnya
hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Diantara raja-raja yang mendapat surat atau
risalah Nabi adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari
Persia (Iran) dan raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia)

C. Pengertian Moral

Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam
tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak mempunyai moral disebut amoral
artinya dia tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal
mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara eksplisit adalah hal-hal yang
berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan

193
proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak
orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit.

Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki
moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai keabsolutan dalam
kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan
masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan atau tingkah laku atau ucapan seseorang
dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan
lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga
sebaliknya.

Moral adalah produk dari agama dan budaya. Setiap budaya memiliki standar moral
yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan
lingkungan masyarakat, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga
sebaliknya. Dan setiap agama mempunyai standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan
sistem yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.

Moral dapat objektif dapat juga subjektif. Moral objektif memandang perbuatan
manusia semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh
pihak pelaku. Sedangkan moral subjektif adalah moral yang memandang perbuatan sebagai
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan pelaku, selain juga dipengaruhi dan
dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya, kemantapan emosinya dan sifat-sifat
pribadi lainnya.105

Istilah moral dalam kehidupan sehari-hari dipadankan dengan istilah budi pekerti,
sopan santun, susila dan lain-lain. Istilah moral sendiri berasal dari bahasa latin “mores”
yang berarti adat kebiasaan.106 Dalam kamus filsafat dan psikologi, moral berarti perilaku
yang secara oposisi akan selalu dihadapkan pada benar atau salah dan baik atau buruk.
Kategorisasi tersebut bersandar dan berdasar pada norma-norma sosial. Dengan kata lain,

105
Poesporodjo, Filsafat Moral, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hal. 118.
106
Asmara As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 8.

194
moral merupakan ajaran mengenai baik dan buruk suatu perbuatan.107 Selanjutnya moral
digunakan untuk menentukan batas dari sifat, perangai, kehendak pendapat atau perbuatan
secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, dan buruk.108

D. Moral Menurut Pandangan Islam

Moral dalam Islam identik dengan akhlak, di mana kata akhlak berasal dari bahasa
Arab, bentuk jama’ dari kata “khulk”, khulk di dalam kamus Munjid berarti budi pekerti
atau perangai. Di dalam kitab “Ihya ulumaldin” karya Imam Al-Ghazali diungkapkan
bahwa “al-Khulk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan perimbangan”
(Al-Ghazali, Ihya’ Ulumaldin, vol, III: 56)

Jadi pada hakekatnya akhlak (budi pekerti) ialah suatu kondisi atau sifat yang telah
meresap dalam jiwa dan telah menjadu kepribadian, hingga dari situ timbul berbagai
macam perbuatan dengan cara mudah dan spontan tanpa dibuat dan tanpa memerlukan
pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut
pandangan syariat dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti yang mulia dan
sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang
tercela.

Selain itu juga disyariatkan, bahwa suatu perbuatan dapat dinilai baik jika timbulnya
perbuatan itu dengan mudah sebagai suatu kebiasaan tanpa memerlukan pemikiran.
Mengenai syariat tersebut. Ada dua syarat yang perlu diperhatikan :

1. Situasi memungkinkan adanya pilihan (bukan karna paksaan) adanya kemauan bebas,
sehingga tidak dilakukan dengan sengaja.
2. Tahu apa yang dilakukan yakni mengenai nilai baik buruknya.

Suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk manakala memenuhi syarat-syarat
di atas. Dalam Islam, faktor kesengajaan merupakan penentu tingkah laku dalam penetapan

107
Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi , (Jakarta: Rajawali Rineka Cipta, 1993), hal. 159.
108
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo), hal. 3.

195
nilai tingkah laku atau keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan
subyektif.

E. Peranan Dakwah dalam Pembinaan Moral

Krisis moral yang menjangkiti negeri berpendudukan muslim terbesar di dunia jelas
menjadi sebuah aib sekaligus ironi tersendiri. Kasus-kasus korupsi di kalangan pejabat
marak terjadi. Suap dan money politic telah menjadi hal biasa dalam pencaturan politik.
Belum lagi, krisis moral generasi muda yang kian mengkhawatirkan akhir-akhir ini.
Politikus-politikus muda terjerat korupsi, meningkatnya kasus di luar nikah, maraknya
pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar dan kecurangan dalam
ujian nasional serta adanya kasus prostitusi semakin menambah potret buram generasi
muda bangsa ini. Padahal, salah satu tanda kehancuran suatu negeri adalah kehancuran
moral generasi mudanya. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bangsa ini bila krisis moral
yang menimpa tak segera teratasi.

Krisis moral generasi muda Indonesia mengindikasikan lemahnya karakter atau


identitas keislaman para pemeluknya. Nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam tak sepenuhnya
terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lainnya, pendidikan agama yang
seharusnya menjadi pondasi pembangunan karakter muslim sejati justru mendapat kursi
yang minim dalam kurikulum. Sementara itu, pola kehidupan dewasa ini telah bergeser
menjadi masyarakat sekuler. Gaya hidup materialistis dan hedonis turut menambah rancu
keadaan. Akibatnya tidak mengherankan bila generasi muda rentan terjebak dalam
pemikiran-pemikiran pragmatis dan gaya hidup yang hanya memperturutkan hawa nafsu.

Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral, akhlak, dan etika
generasi muda akan berpengaruh signifikan terhadap proses pembangunan peradaban suatu
bangsa. Sayangnya, justru hal inilah yang terkesan diabaikan hingga degradasi moral dan
akhlak menggerogoti generasi muda tanpa tedeng aling-aling.

Meskipun upaya perbaikan moral mulai bermunculan seperti dengan pendidikan


karakter, namun sejauh ini implementasinya masih minim dan kurang mendapat dukungan
dari lembaga sosial di luar pendidikan formal seperti keluarga dan masyarakat. Hambatan
lainnya, nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan karakter pada akhirnya terkesan

196
biasa akibat kontradiktif dengan kebobrokan moral yang terjadi di masyarakat yang secara
“intensif” dipublikasikan media massa secara gamblang. Dengan kata lain, tidak adanya
kesinambungan pendidikan karakter antara sekolah dan masyarakat hanya membuat
pendidikan karakter “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri”.

Langkah yang bisa ditempuh tidak lain adalah dengan optimalisasi perjuangan
dakwah. Syiar Islam dapat tersebar ke seantero dunia tak lepas dari dakwah yang terus
digalakkan dengan semangat jihad. Masyarakat Arab dapat dikeluarkan dari masa
jahiliyahnya karena adanya dakwah Islam yang dikomandai baginda Rasulullah SAW.
Patut dicermati bahwa para mujahid yang bahu-membahu menegakkan syiar islam diisi
oleh para kaum muda. Para khulafaur Rasyidin pun dulunya telah mendapat gemblengan
dari Rasulullah SAW sejak berusia muda. Bahkan Ali bin Abi Thalib sudah dibina sejak
usia 8 tahun. Proses regenerasipun berjalan dengan baik hingga mengantarkan Islam pada
puncak kejayaannya dengan serangkaian penaklukan yang mencenangkan dunia saat itu.
Lantas, bagaimana menciptakan kaum muda yang memiliki kapasitas untuk meneruskan
estafet dakwah tersebut.

Organisasi-organisasi kepemudaan Islam dapat dikedepankan sebagai media


sosialisasi dan pembekalan kaum muda guna menjadi pelopor perubahan di lingkungannya.
Organisasi tersebut sebenarnya sudah sejak lama dalam masyarakat. Karenanya,
optimalisasi organisasi-organisasi kepemudaan islam sangat esensial untuk mencetak
generasi muda yang tidak hanya berkarakter islam namun juga kritis dan kontributif dalam
pembangunan moral masyarakat secara luas. Dengan kata lain, karakter islam yang sudah
dimiliki secara individual hendaknya dapat ditularkan dan disebarluaskan dalam kehidupan
sosial sehingga menjadi alat penekan degradasi moral yang terjafi selama ini. Realisasinya
yakni dengan mengembangkan dakwah dan jihad amar ma’ruf nahi munkar.

Dilingkup pendidikan formal (sekolah) terdapat organisasi kerohanian Islam (Rohis).


Rohis sangat potensial untuk dijadikan media sosialisasi dan pembelajaran agama Islam di
luar mata pelajaran pendidikan Agama Islam (PAI) yang notabennya justru mendapat porsi
yang minim dalam kurikulum. Fokus organisasi rohis di sekolah tidak melulu mengurusi
kegiatan hari raya semata. Lebih dari itu rohis seyogyanya mampu menjadi lembaga

197
dakwah di sekolah guna menginternalisasikan nilai-niali Islam dalam pembentukan
karakter masyarakat sekolah.

Selain rohis, keberadaan “Remaja Masjid” pun dapat dijadikan sebagai wahana
pengkaderan yang efektif guna membentuk generasi muda berkarakter muslim sejati dan
tidak segan berkontribusi dalam perjuangan dakwah menghadapi krisis moral di
masyarakat. Pemahaman remaja masjid hendaknya tidak dipersempit dengan para pemuda
yang mengurusi kepanitiaan setiap hari raya atau mengajar anak-anak kecil membaca Al-
Qur’an. Justru sebaliknya, remaja masjid dapat menjadi media dakwah yang efektif karena
secara langsung melibatkan aspek pemuda di dalamnya. Langkah-langkah yang bisa
ditempuh diantaranya: membuat buletin dakwah, mengadakan pengajian bertema pemuda
(remaja), mengadakan bakti sosial, dan aktif membelajarkan al-Qur’an serta
menginternalisasikan nilai-nilai Islam pada generasi muda melalui TPA.

Dakwah bersifat fleksibel sehingga dapat dilakukan kapanpun dengan media apapun
asal sesuai dengan tuntunan Islam. Dakwah dengan media massa atau situs jejaring sosial
bisa dijadikan sarana dakwah alternatif yang mampu mengubah paradigma banyak orang
sekaligus. Pengguna situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter sangat banyak
sehingga sangat potensial untuk dijadikan media dakwah.

Media massa terutama koran yang notabenenya merupakan bacaan rakyat juga cocok
dijadikan media dakwah. Tidak ada salahnya mencoba mengirimkan artikel ke media
massa tersebut. Perkara termuat atau tidaknya bukan menjadi soal. Namun semangat
melanjutkan estafet dakwahlah yang lebih utama. Untuk mewujudkan hal tersebut,
kemampuan menulis harus ditingkatkan. Contohlah para tokoh Islam terdahulu macam
Imam Syafi’i dan Al-Banna yang mampu menulis hingga beribu-ribu halaman hingga
menjadi kumpulan kitab yang syarat ilmu bermanfaat.

Kiranya, sudah saatnya degradasi moral yang melanda bangsa ini tidak dilawan
dengan tindakan represif yang tidak manusiawi apalagi demonstrasi anarkis yang justru
dapat menjatuhkan citra Islam. Dakwah harus mengutamakan aspek penyadaran umat sama
halnya ketika Rasulullah SAW berdakwah di tengah masyarakat Arab Jahiliyah.
Pendekatan dengan penyadaran terbukti jauh lebih efektif dari pada pendekatan represif.

198
Keyakinan bahwa degradasi moral yang meracuni bangsa ini dapat teratasi harus tetap
menyala.

Adapun lembaga-lembaga yang dapat dijadikan media dakwah pembinaan moral


selain organisasi rohis, pemuda masjid juga media situs jejaring sosial antara lain :

1. Pondok Pesantren
Pondok pesantren berfungsi sebagai media sosialisasi nilai-nilai ajaran agama.
Sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas keagamaan, pesantren mempunyai
peluang lebih besar untuk berfungsi sebagai media sosialisasi nilai-nilai ajaran agama
kepada anak didik secara efektif karena diberikan secara dini. Maka anak-anak yang
mendapatkan pelajaran di pesantren bisa mendapatkan pembinaan moral dan dapat
membentuk moral generasi selanjutnya menjadi lebih baik dan berakhlak mulia.
2. Lembaga Dakwah Kampus
Lembaga dakwah kampus adalah lembaga yang bergerak di bidang dakwah
Islam. Lembaga dakwah kampus merupakan sumber rekruitmen generasi Islam
intelektual-mandiri yang secara tidak langsung mendukung suksesnya perkembangan
Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan dari kegiatan yang dilakukan mahasiswa
dalam berbagai acara seperti pengajian, pengkajian, bakti sosial dan lain-lain yang dapat
memberikan pembinaan moral di kalangan mahasiswa sebagai kader umat Islam.

199
Akhlak Dakwah Dalam Konsep Etika
Oleh: Wiwi Wihdatul Aliah

A. Pengertian Akhlaq

Secara etimologi akhlaq, menurut al-Munawwir (1984)109 diartikan sebagai tabiat,


karakter, perangai, watak, yaitu sifat yang telah tertanam dengan kuat atau mendarah
daging pada diri seseorang lantaran faktor pendidikan, pembiasaan, pembinaan, pelatihan
yang pernah ditekuninya.

Sedangkan secara terminologi, yang dikemukakan para ahli, sebagaimana dikutip


Abuddin Nata (1997)110 antara lain:

1. Menurut Ibn Maskawih, akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
2. Menurut Imam Al-Ghazali, sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan.
Berdasarkan ragam pendapat tersebut Abuddin Nata menyimpulkan ciri-ciri
perbuatan akhlaq menjadi:111

Pertama, perbuatan itu telah tertanam kuat dalam jiwanya sehingga telah menjadi
kepribadiannya. Jika kita mengatakan si A memiliki sifat taat beribadah, maka sikap
ketaatan itu dapat dibuktikan kapan dan di manapun si A akan tetap melaksanakan ketaatan
beribadah.
Kedua, perbuatan itu dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran serta dalam keadaan
sadar. Misalnya, karena telah terbiasa dan mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu
maka saat mendengar panggilan shalat ia sudah merasa tidak berat lagi mengerjakannya.

109
Ahmad warson Al Munawir, Al Munawir, Yogyakarta, Ponpes al Munawir, 1984
110
Abuddin Nata, akhlak Tasawuf. Jakarta: PT raja grafindo Persada, 1997
111
Ibid, abuddin Nata
200
Ketiga, perbuatan itu timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya atas dasar
kemauan, pilihan serta putusan dirinya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini
bisa diketahui pada sikap seseorang untuk menentukan pilihan mengenai calon pemimpin
yang didasarkan atas pertimbangan nuraninya.
Keempat, perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang berbuat kejam, sadis, jahat, dan seterusnya, tapi
perbuatan itu kita lihat dalam pertunjukan film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut
perbuatan akhlak, karena perbuatan tersebut buka perbuatan sebenarnya.
Kelima, perbuatan itu dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena
ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Berdasarkan pengertian akhlaq di atas, maka akhlaq Da’i dapat dirumuskan sebagai
kecenderungan positif dari para Da’i tentang cara berfikirnya, kebiasaan berperilaku Islami
sesuai ketentuan ajaran Islam, dilakukan secara terus menerus di berbagai situasi dan
kondisi sehingga menjadi watak dan tabiat atau kepribadiannya.

B. Pengertian Etika

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘ethos’ dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, akhlak, watak, perasaaan sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta eta) artinya
adalah adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika”. Secara etimolgis berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan.

Etika dikatakan baik apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakatnya. Namun, dalam
perkembangannya etika dipandang sebagai ilmu yang membicarakan perbuatan atau
tingkah laku manusia. Pada situasi tertentu ia dapat dinilai baik dan juga dapat dinilai tidak
baik. Namun demikian etika berkembang menjadi ilmu normatif yang berisi ketentuan-
ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-
hari.112

112
Wursanto, 1987

201
Abudin Nata menyimpulkan bahwa etika sedikitnya berkaitan dengan empat hal, yaitu:113
1) Dari segi pemahamannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
2) Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
3) Dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan manusia
tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya.
4) Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni berubah-rubah sesuai tuntutan
zaman.

C. Akhlak yang Harus Dimiliki Seorang Da’i


1. Pengertian Da’i

Kata Da’i berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang mengajak. Dalam
istilah ilmu komunikasi disebut komunikator. Di Indonesia, Da’i juga dikenal dengan
sebutan lain seperti muballigh, ustadz, kyai, ajengan, tuan guru, syaikh, dan lain-lain.
Hal ini didasarkan atas tugas dan eksistensinya sama seperti Da’i. padahal hakikatnya
tiap-tiap sebutan tersebut memiliki kadar kharisma dan keilmuan yang berbeda-beda
dalam pemahaman masyarakat Islam di Indonesia.

Dalam pengertian yang khusus, Da’i adalah orang mengajak orang lain baik secara
langsung atau tidak langsung dengan kata-kata, perbuatan atau tingkah laku kearah
kondisi yang baik atau lebih baik menurut syariat Al-Qur’an dan sunnah. Dalam
pengertian khusus tersebut Da’i identik dengan orang yang melakukan amar ma’ruf
nahi munkar. Secara garis besar juru dakwah atau Da’i mengandung dua pengertian:

Pertama, secara umum adalah setiap muslim atau muslimat yang berdakwah sebagai
kewajiban yang melekat dan tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam,
sesuai dengan perintah “Ballighu’anni walawayat”.

113
Enjang As, hlm: 133-134

202
Kedua, secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus
(mutakhashshish- spesialis) dalam bidang dakwah Islam, dengan kesungguhan luar
biasa dan dengan qudwah hasanah.114

Setiap orang yang menjalankan aktivitas dakwah, hendaklah memiliki


kepribadian yang baik sebagai seorang Da’i. Hal ini karena seorang Da’i adalah figur
yang dicontoh dalam segala tingkah laku dan geraknya. Oleh karenanya, ia hendaklah
menjadi uswatun hasanah bagi masyarakatnya.115 Setiap Muslim adalah Da’i dalam arti
luas, karena setiap Muslim memiliki kewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada
seluruh umat manusia (QS Al-Nahl [16]: 125)

Namun demikian, Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa dakwah bisa dilakukan


oleh Muslim yang memiliki kemampuan di bidang dakwah (professional di bidang
dakwah) seperti firman Allah surat At-Taubah [9]: 122.

2. Akhlak Seorang Da’i

Akhlak Da’i ialah akhlak Islam yang Allah nyatakan dalam Al-Qur’an dan
Rasulullah menjelaskan dalam sunnah beliau, serta para sahabat menerapkannya dalam
tingkah laku dan peri kehidupan mereka. Kita melihat dalam petunjuk, beliau selalu
mengedepankan cara-cara lembut dan menolak kekerasan, dengan cara rahmat dan tidak
dengan kekejaman, cara halus dan bukan dengan vulgarisme. Akhlak Islam yang
sebaiknya dimiliki Da’i diantaranya:

a. Al-Shidq (Benar, tidak dusta)


b. Al-Shabr (sabar, tabah)
c. Al-Rahmah (Rasa Kasih Sayang)
d. Tawadhu (merendahkan diri, tidak sombong)
e. Suka bergaul
f. Mempunyai sifat lemah lembut
g. Bertutur kata dengan baik

114
Dra. Siti Muriah, Metodologi Dakwah, Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000, hlm 27.
115
Untuk mengetahui secara jelas mengenai kriteria Da’i sebagai subyek dakwah, misalnya dapat dibaca dalam Dr.
Samith Athif Az-Zain, Sifat dan Karakteristik Para Da’i, Bandung: Husaini, 1988.
203
h. Menghormati dan menjamu tamu dengan baik
i. Bersosial dengan masyakat dan lainnya dengan baik
j. Tidak mempersulit

Maka yang meninggalkan kesan baik pada orang lain bila bertemu dengan kaum
muslimin ialah lemah lembut akhlaknya.116 Dalil Rasulullah kepada Muadz bin Jabal,
ketika Muadz akan melakukan dakwah ke negeri Yaman:

‫شِروا وال تُن ِفّروا‬ ّ َ‫س ُِروا وال تُع‬


ّ َ‫ ب‬,‫سِروا‬ ّ َ‫ي‬
“Permudahlah jangan dipersukar, gembirakan jangan dibuat kesan menjauh.”117

a. Sabar
Sabar adalah Menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam
menemukan sesuatu yang tidak diinginkan ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang
disenangi. Menurut Imam Al-Ghazali , sabar adalah suatu kondisi mental dalam
mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama.118

Tugas seorang Da’i bukanlah tugas yang ringan dan tentu dalam perjalanan
menjumpai berbagai rintangan yang menghadang. Oleh karena itu, menjadi seorang Da’i
harus mempunyai kesabaran yang besar pula untuk menghadapi berbagai tantangan.

b. Ikhlas

Ikhlas adalah rela, dengan tulus hati ataupun rela hati melaksanakan perkerjaan
semata-mata karena Allah, bukan karena hendak diminta atau dipuji orang lain (riya’).
Ikhlas merupakan inti dan ruhnya ibadah. Ikhlas merupakan pondasi dasar diterima dan
tidaknya sebuah amal yang mengantarkan kepada keberuntungan atau kerugian, jalan yang
menuntun kesurga atau neraka.119

116
Hamka. 1982. Prinsip dam kebijaksanaan da’wah islam.. Jakarta. UMMINDA. Hal: 153
117
Ibid. Hal 156
118
Ensiklopedia Hukum Islam.(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1997). Cet. 1. Jld 6. Hlm. 1520
119
Drs.Dyayadi. Kamus Lengkap Islamologi. (Yogyakarta: Qiyas Yogyakarta, 2009). Cet 1. Hlm. 242
204
              

    

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)

Seorang Da’i atau yang sering disebut muballigh ketika melakukan dakwah dalam
suatu acara, mendapatkan imbalan berupa uang. Namun, menjadi seorang Da’i sejati tidak
patut jika dakwahnya itu hanya untuk imbalan tersebut. Dakwah Islam harus dilandasi niat
yang ikhlas karena Allah SWT. Jika mendapat imbalan itu hanyalah bonus dari Allah saja,
namun seorang Da’i tidak boleh memintanya.

D. Kepribadian Da’i

Seorang Da’i hendaklah mengambil pelajaran dari Rasulullah SAW dan para sahabat
serta para ulama shaleh terdahulu yang telah berjuang menegakkan nilai-nilai luhur yang
ada dalam ajaran Islam. Menurut sifatnya kepribadian Da’i dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Kebribadian Yang Bersifat Rohaniah
 Beriman dan Bertaqwa Kepada Allah SWT
Kepribadian Da’i yang terpenting adalah iman dan taqwa kepada Allah SWT, sifat
ini merupakan dasar utama pada akhlaq Da’i.
 Ahli Tobat
Sifat tobat dalam diri Da’i, berarti ia harus mampu untuk lebih menjaga atau takut
berbuat maksiat atau dosa dibandingkan orang yang menjadi mad’u-nya.120
 Ahli Ibadah

120
Ibid. hal. 91

205
Seorang Da’i adalah mereka yang selalu beribadah kepada Allah dalam setiap
gerakan, perbuatan ataupun perkataan kapan pun dan dimana pun.
 Amanah dan Shidq
Sifat ini adalah sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang Da’i sebelum sifat-sifat
yang lain, karena itu merupakan sifat yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul.
 Pandai Bersyukur
Orang yang bersyukur adalah orang yang merasakan karunia Allah dalam dirinya,
sehingga perbuatan dan ungkapannya merupakan realisasi dari rasa kesyukuran
tersebut.
 Tulus Ikhlas dan Tidak Mementingkan Pribadi
Niat yang tulus tanpa pamrih duniawi,salah satu syarat yang mutlak yang harus
dimiliki seorang Da’i.
 Ramah dan Penuh Pengertian
Dakwah adalah pekerjaan yang bersifat propaganda kepada yang lain. Propaganda
dapat diterima,apabila orang yang mempropaganda berlaku ramah, sopan, dan ringan
tangan untuk melayani objeknya.
 Tawaddhu’ (Rendah Hati)
Rendah hati bukanlah rendah diri, rendah hati dalam hal ini adalah sopan dalam
pergaulan, tidak sombong, tidak suka mencela, dan tidak suka menghina orang lain.
 Sederhana
Kesederhanaan adalah merupakan pangkal keberhasilan dakwah.
 Tidak Memiliki Sifat Egois
Ego adalah suatu watak yang menonjolkan keangkuhan dalam pergaulan, merasa diri
paling hebat, terhormat, dan lain-lain.
 Sabar Dan Tawakal
Mengajak manusia kepada kebajikan bukan hal yang mudah, oleh karena itu apabila
dalam menunaikan tugas dakwah, Da’i mengalami hambatan dan cobaan hendaklah
Da’i tersebut bersikap sabar dan tawakal kepada Allah SWT.121
 Memiliki Jiwa Toleran

121
Ibid. hal. 95

206
 Toleransi dapat dipahami sebagai sikap pengertian dan dapat mengadaptasi diri
secara positif.
 Sifat Terbuka (Demokratis)
Seorang Da’i harus memiliki sifat terbuka dalam arti bila ada kritik dan saran
hendaklah diterima dengan gembira.
 Tidak Memiliki Penyakit Hati
Sombong, dengki, ujub, dan iri harus disingkirkan dari sanubari seorang Da’i.
2. Kepribadian yang Bersifat Jasmani
 Sehat Jasmani
Dakwah memerlukan akal yang sehat, sedangkan akal yang sehat terdapat pada
badan yang sehat pula. Di samping itu, dengan kesehatan jasmani seorang Da’i
mampu memikul beban dan tugas dakwah.
 Berpakaian Sopan dan Rapi
Pakaian yang sopan, praktis dan pantas mendorong rasa simpati seseorang pada
orang lain bahkan pakaian berdampak pada kewibawaan seseorang. Bagi seorang
Da’i masalah pakaian harus mendapat perhatian serius, sebab pakaian yang dipakai
menunjukkan kepribadiannya.122

E. Etika Seorang Da’i ketika Dakwah

Secara Islam etika dakwah itu adalah etika Islam itu sendiri , di mana secara umum
seorang Da’i harus melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan menjauhkan diri dari
perilaku-perilaku yang tercela. Sebagai sebuah profesi, Menurut M. Munir (2006) dakwah
memerlukan kode etik, yaitu sebuah istilah yang merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-
prinsip yang merumuskan perlakuan benar dan salah atau dengan kata lain, kode etik adalah
kumpulan kewajiban yang mengikat para pelaku profesi dalam menjalankan tugasnya. Dan
bagi para juru dakwah, pengertian kode etik dakwah berarti rambu-rambu etis juru dakwah
agar dakwah yang dilakukannya benar-benar efektif dan menimbulkan pencitraan yang
positif dari khalayak mad’u yang didakwahinya.123 Sehingga dapat dihasilkan dakwah yang

122
Ibid. hal. 99
123
M.Munir, metode dakwah, jakarta : kencana:2006

207
bersifat responsive. Dan sumber dari rambu-rambu etis dakwah bagi seorang Da’i adalah
Al-Qur’an, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun rambu-
rambu etis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan

Kode etik ini bersumber dari firman Allah dalam Surat Al-Shaff ayat 2-3:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak
melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah, bahwa kalian menngatakan apa yang
kalian tidak kerjakan.”

2. Tidak melakukan toleransi agama.

Toleransi memang dianjurkan oleh Islam, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu
dan tidak menyangkut masalah agama (kepercayaan). Dalam masalah prinsip keyakinan
(Aqidah), Islam memberikan garis tegas untuk tidak bertoleransi, kompromi dan
sebagainya.seperti yang tergambar dalam Surat Al-Kafirun ayat 1-6.

“Katakanlah: Hai orang-orang kafir , aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah . Dan kamu bukan penyembah Tuhan apa yang aku sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu lah agama mu,
dan untukku lah agama ku.”

Dalam hal ini pula bisa dilihat dalam surat Al-Kahfi ayat 29:

“Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka, itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”

3. Tidak menghina sesembahan non muslim

Kode etik ini diambil dari Q.S. Al-An’am ayat 108

208
“Dan janganlah kamu memakai sembah-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Peristiwa ini berawal ketika pada zaman Rasulullah orang-orang muslim pada
saat itu mencerca berhala sembahan orang-orang musyrikin, dan akhirnya karena hal itu
menyebabkan mereka mencerca Allah, maka Allah menurunkan ayat tersebut.

4. Tidak melakukan diskriminasi sosial

Apabila mensuri tauladani Nabi maka para Da’i hendaknya tidak membeda-
bedakan atau pilih kasih antara sesama, baik kaya maupun miskin, kelas elit maupun
kelas marjinal, ataupun status lainnya yang menimbulkan ketidakadilan. Semua harus
mendapatkan perlakuan yang sama. Karena keadilan sangatlah penting dalam dakwah.
Da’i harus menjunjung tinggi hak universal dalam berdakwah. Kode etik ini didasari
pada QS. Abasa ayat 1-2. Yang Artinya : “Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling, Karena karena telah datang seorang buta kepadanya.”

5. Tidak memungut imbalan

Ada perbedaan pendapat tentang dibolehkannya ataupun dilarang dalam


memungut biaya atau dalam bahasa lain memasang tarif, dalam hal ini berpendapat
menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbaan dalam berdakwah hukumnya
haram secara mutlak, baik dengan perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
b. Al-Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dkk. Mereka berpendapat boleh hukumnya
memungut bayaran dalam berdakwah tapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
c. Imam Malik bin Anas & Imam Syafi'i, memperbolehkan memungut biaya atau
imbalan dalam menyebarkan ajaran Islam baik ada perjanjian sebelumnya maupun
tidak
Perbedaan pendapat dari para ulama terjadi Karena banyaknya teks-teks Al-
Qur’an yang menjadi sumber etika sehingga muncul perbedaaan dalam penafsiran dan
pemahamannya.

6. Tidak berteman dengan pelaku maksiat

209
Berkawan dengan pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan berdampak buruk.
Karena orang bermaksiat itu beranggapan bahwa seakan-akan berbuat maksiat direstui
oleh dakwah, pada sisi lain integritas seorang da’i akan berkurang.

7. Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui

Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui, hukum itu
pasti akan menyesatkan umat. Seorang juru dakwah tidak boleh asal menjawab pertanyaan
orang menurut seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya.

Berbicara mengenai etika dalam Islam tidak dapat lepas dari ilmu akhlak sebagai
salah satu cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu, etika dalam Islam (bisa
dikatakan) identik dengan ilmu akhlak, yakni ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan
bagaimana cara mendapatkannya agar manusia berhias dengannya dan ilmu tentang hal-
hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas daripadanya. 124
Karena aturan dakwah bukanlah hal yang baru ditetapkan, tetapi sudah lama ada sejak
lama, yaitu sejak adanya Al-Qur’an dan hadits Nabi. Bahkan kalau dilihat lembaran
sejarah, akan ditemukan catatan mengenai kode etik dakwah, baik yang tersurat maupun
yang tersirat.

Kode etik dalam pelaksanaan aktivitas dakwah sebenarnya untuk kepentingan


dakah itu sendiri. Sehingga dengan demikian, aturan yang diberlakukan dalam kegiatan
dakwah dapat dilaksanakan agar tidak terjadi benturan atau hal yang tidak diinginkan
dalam proses penyebaran agama.

Dakwah harus dilakukan dengan bijaksana sebagaimana firman Allah SWT:

‫ادع إلى سبيل ربك بالحكمة‬

“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan cara yang bijaksana.” (Q.S. An-Nahl (16): 125).

124
Fakhry, 1996; Syukur, 2004: 3

210
Akhlak Kepemimpinan Dalam Perspektif Al-Qur’an

Oleh: Maulida Rahmah

A. Pengertian Akhlaq
1. Pengertian Akhlaq secara Etimologi

Dilihat dari sudut etimologi kata Akhlaq berasal dari bahasa Arab yaitu jamak dari
khuluqun, yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan, perangai, watak, tabiat, atau
pembawaan, adab atau sopan santun, dan agama. Kata tersebut mengandung segi-segi
persesuaian dengan perkataan khalaqa yang berarti menciptakan.125 Kata “Akhlak”
(bahasa arab: Al-Akhlaq) merupakan bentuk jama’ atau plural dari kata Khuluq atau
khuluq yang secara etimologis berarti Ath-thab’iy, as-sajiyyah, al-‘adah, al-muru’ah,
dan ad-din.126

Kata akhlak atau khuluqun disebut juga dengan istilah adab. Adab sering sekali
kita dengar sebagai pengganti dari istilah Akhlaq. Adab dan Akhlaq keduanya
bersumber dari Rasulullah SAW, sehingga dalam pembicaraan sehari-hari istilah Adab
dan Akhlaq sering sekali disamaartikan. Akan tetapi kalau perlu dibedakan maka
pengertian Adab lebih menunjuk pada sikap-sikap perilaku lahiriyah, seperti adab
makan, dan minum, adab tidur, adab mendatangi kamar kecil dan sebagainya. Sedang
pengertian Akhlaq lebih menunjuk pada sikap batin. 127

Ada persamaan dan perbedaan antara istilah Akhlak atau khuluqun, yakni etika,
moralitas, dan Norma. Persamaan diantaranya adalah terletak pada objek yang akan
dikaji, di mana semuanya sama-sama membahas tentang baik buruknya tingkah laku
dan perbuatan manusia. Etika berupaya membahas perbutaan yang dilakukan oleh
manusia. Moralitas adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai

125
Prof.Dr.H.Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta : Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI), 2011
h. 1

126
Drs. Taufiq Rahman, Moralitas Dalam Perspektif Al-Qur’an, Bandung: 1999 hal. 9
127
Drs.Musthafa Kamal Pasha, B.Ed. Drs. H.Chusnan Yusuf, Akhlak sunnah, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003,
hal. 11 211
perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Sedangkan perbedaannya sumber norma,
di mana akhlak mempunyai basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber
dari Al-Quran dan hadits.

Kata khuluqun dikenal juga dengan istilah moral asal kata dari ‘mores’ dalam
bahasa Inggris, dan jamak dari kata ‘mos’ dalam bahasa Latin, yang berarti adat
kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan, tabiat, watak, cara hidup (Lorens Bagus, 1996;
672).128 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S. Poerwadarminto terdapat
keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan.129
Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan
manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.

Adapun moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan


peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prisnip moral. Nilai-nilai moral iru seperti; (a) seruan
untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,
memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain dan (b) larangan mencuri,
berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.130

Dalam pengertian sehari-hari kata khuluqun umumnya disamakan artinya dengan


arti kata budi pekerti atau kesusilaan atau sopan santun. Kata budi pekerti, dalam bahasa
Indonesia, merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti. Perkataan budi berasal
dari bahasa Sansekerta,131 bentuk isim fa’il atau alat, yang berarti yang sadar atau yang
menyadarkan atau alat kesadaran. Bentuk mashdarnya (momenverbal) budh yang

128
Dr. Sjarkawi, M.Pd, Ibid. hal.27
129
Drs. H. Burhanudin salam,M.M, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta : PT Rineka Cipta, (cet.ke-1
Maret 2000) hal.2

130
Dr.H. Syamsu Yusuf LN., M.Pd.Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006,
hal.132
212
131
Dr. Sjarkawi, M.Pd, Ibid.,hal.32
berarti kesadaran. Sedang bentuk maf’ulnya (obyek) adalah budha, artinya yang
disadarkan. Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia sendiri, yang berarti kelakuan.132

Jadi, berdasarkan sudut pandang etimologi definisi Akhlak dalam pengertian


sehari-hari disamakan dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun, tata karma (versi
bahasa Indonesia) sedang bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic.

B. Pengertian Akhlaq secara Terminologi

Akhlak atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia
akan muncul bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dalam Mu’jam al-wasith disebutkan bahwa khuluqun itu adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Begitu pun dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din
dinyatakan pula bahwa khuluqun adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang karenanya
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan,133 sebab sudah menjadi kebiasaan, dengan kata lain
spontanitas.

Dengan perumusan pengertian Akhlak di atas muncul sebagai mediator yang


menjembatani komunikasi adanya hubungan baik antara Khalik dengan makhluk secara
timbal balik, kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum minallah
yang verbal ini, maka lahirlah pola hubungan antar sesama manusia, disebut dengan
hablum minannas.

Memahami ungkapan tersebut di atas dapat di mengerti bahwa Akhlak adalah sifat
(potensi) yang dibawa setiap manusia sejak lahir: artinya, sifat (potensi) tersebut sangat
tergantung dari cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya itu positif

132
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), cet.12,
133
Prof.Dr.H.Yunhar Ilyas, Ibid.,hal.2

213
maka outputnya adalah akhlak mulia atau Akhlaqul Karimah dan sebaliknya, apabila
pembinaannya itu negatif, yang terbentuk adalah akhlak madzmumah (tercela).134

C. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan dari seseorang (yaitu pemimpin


atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-
pengikutnya). Sehingga orang tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki
pemimpin tersebut.

Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal leadership) yaitu kepemimpinan


yang terdapat di dalam suatu jabatan, dan ada pula kepemimpinan karena pengakuan
dari masyarakat dan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Suatu
perbedaan antara kepemimpinan yang resmi dengan yang tidak resmi (informal
leadership) adalah: Kepemimpinan yang resmi berada di atas landasan-landasan atau
peraturan-peraturan resmi, sehingga dengan demikian daya cakupannya agak terbatas.
Kepemimpinan tidak resmi, mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi, oleh
karena itu, Kepemimpinan tersebut didasarkan atas pengakuan dan kepercayaan
masyarakat.

Apakah Kepemimpinan itu?

Ada beberapa definisi tentang kepemimpinan yang satu sama lain dapat saling
melengkapi:

 Menurut Boring, Langeved dan Weld

“Kepemimpinan adalah hubungan dari individu terhadap bentuk suatu kelompok


dengan maksud untuk dapat menyelesaikan beberapa tujuan.”

134
Alfutuchat, Pengertian Akhlaq Menurut Bahasa, dalam http://alfutuchat.wordpress.com/2010/06/24/1-
pengertian-akhlak-menurut-bahasa.html (download : 18:05 6 juli 2015)

214
 Menurut George R. Terry

“Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar dengan suka rela


bersedia mewujudkan kenyataan tujuan bersama.

 Menurut H. Goldhamer dan E. A. Shils

“Kepemimpinan adalah tindakan perilaku yang dapat mempengaruhi tingkah laku


orang-orang lain yang dipimpinnya.”

Kepemimpinan ditandai oleh ciri-ciri kepribadian di mana di dalam suatu situasi


yang khusus mengambil peranan penting dalam usaha mencapai tujuan kelompok
bersama-sama dengan anggota yang lain. Ciri-ciri ini secara fungsional berhubungan
dengan pencapaian tujuan. Pemeliharaan serta memperkuat kelompok.

D. Ayat-Ayat Tentang Kepemimpinan

Allah SWT telah memberi tahu kepada manusia, tentang pentingnya


Kepemimpinan dalam Islam, sebagaimana dalam Al-Qur’an kita menemukan banyak
ayat yang berkaitan dengan masalah Kepemimpinan. Mari kita simak dan mentadabburi
diantaranya Firman Allah SWT:

‫ض َخ ِليفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْ عَ ُل فِي َها َمن يُ ْف ِسدُ فِي َها َويَ ْس ِفكُ ال ِدّ َما َء‬ ِ ‫َوإِ ْذ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم َالئِ َك ِة إِ ِنّي َجا ِع ٌل فِي ْاأل َ ْر‬
َ‫ِّس لَكَ ۖ َقا َل إِ ِنّي أ َ ْعلَ ُم َما َال ت َ ْعلَ ُمون‬
ُ ‫سبِّ ُح بِ َح ْمدِكَ َونُ َقد‬ َ ُ‫َونَحْ ُن ن‬

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak
menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal
kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata:
Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa khalifah (pemimpin) adalah pemegang mandat


Allah SWT untuk mengemban amanah dan kepemimpinana langit di muka bumi. Ingat,
komunitas malaikat pernah memprotes terhadap kekhalifahan manusia di muka bumi.

215
ْ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاأل َ ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ش‬
‫َيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى‬ َّ ‫اَّللَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
‫يال‬ َ ْ‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ً ‫س ُن ت َأ ْ ِو‬ َّ ِ‫سو ِل إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ب‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫اَّللِ َو‬َّ

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah SWT dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 59)

Ayat ini menunjukan ketaatan kepada Ulil Amri (pemimpin) harus dalam rangka
ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulnya.

Yahya (2004:14) mengkaji ayat ini dengan berpendapat bahwa Kata “al-Amr”
dalam ayat itu artinya: urusan, persoalan, masalah, perintah. Ini menunjukkan bahwa
pemimpin itu tugas utamanya dan kesibukan sehari-harinya yaitu mengurus persoalan
rakyatnya, menyelesaikan problematika dan masalah yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat serta memiliki wewenang mengatur, memenej dan menyuruh bawahan serta
rakyat.

َ‫ضلُّون‬
ِ َ‫اَّللِ ۚ إِ َّن الَّذِينَ ي‬ ِ ‫ق َو َال تَتَّبِعِ ْال َه َو َٰى فَي‬
َ ‫ُضلَّكَ َعن‬
َّ ‫سبِي ِل‬ ِ ّ ‫اس بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ض فَاحْ ُكم بَيْنَ الن‬ ِ ‫يَا دَ ُاوودُ إِنَّا َجعَ ْلنَاكَ َخ ِليفَةً فِي ْاأل َ ْر‬
‫ب‬
ِ ‫سا‬ َ ‫سوا يَ ْو َم ْال ِح‬ َ ٌ‫عذَاب‬
ُ َ‫شدِيد ٌ بِ َما ن‬ َ ‫اَّللِ لَ ُه ْم‬
َّ ‫سبِي ِل‬َ ‫َعن‬

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah SWT akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS Shad: 26)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa: salah satu tugas dan kewajiban utama seorang
khalifah adalah menegakkan supremasi hukum secara Al-Haq. Seorang pemimpin tidak
boleh menjalankan kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Karena tugas
kepemimpinan adalah tugas fi sabilillah dan kedudukannyapun sangat mulia.

‫اجنَا َوذ ُ ِ ّريَّاتِنَا قُ َّرةَ أ َ ْعي ٍُن َواجْ عَ ْلنَا ِل ْل ُمتَّقِينَ ِإ َما ًما‬
ِ ‫َوالَّذِينَ يَقُولُونَ َربَّنَا هَبْ لَنَا ِم ْن أَ ْز َو‬

216
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-
istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al Furqan: 74)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa: Pada prinsipnya boleh-boleh saja seorang


memohon kepada Allah SWT agar dijadikan pemimpin. Dan karena ia memohon kepada
Allah SWT maka ia harus menjalankan kepemimpinannya sesuai keinginan Allah SWT.
Yang dilarang adalah meminta kedudukan padahal ia tidak punya kompetensi dan
kemampuan dalam bidang itu.

Yahya (2004:16) menyatakan bahwa: Jika masyarakat suatu negeri bertaqwa,


maka insya Allah yang muncul adalah pemimpin yang bertaqwa pula. Telah menjadi
kaidah bahwa pemimpin adalah cerminan dari orang-orang yang dipimpin secara umum.
Jadi, jika mau pemimpin yang baik maka perbaiki rakyat dan masyarakat. Di sinilah perlu
adanya pembinaan dengan pendidikan agama yang dimulai dari keluarga.

‫ف الَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل ِه ْم َولَيُ َم ِ ّكن ََّن لَ ُه ْم دِينَ ُه ُم‬ ِ ‫ت لَيَ ْست َْخ ِلفَنَّ ُه ْم فِي ْاأل َ ْر‬
َ ‫ض َك َما ا ْست َْخ َل‬ َّ ‫اَّللُ الَّذِينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َّ َ‫َو َعد‬
َ‫ش ْيئًا ۚ َو َمن َكفَ َر َب ْعدَ َٰذَلِكَ َفأُو َٰ َلئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬ َ ‫ض َٰى لَ ُه ْم َولَيُبَ ِدّلَنَّ ُهم ِ ّمن بَ ْع ِد خ َْوفِ ِه ْم أ َ ْمنًا ۚ يَ ْعبُدُونَنِي َال يُ ْش ِر ُكونَ ِبي‬ ْ ‫الَّذِي‬
َ َ ‫ارت‬

“Dan Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik.” (QS An Nur: 55)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa: Al-Khilafah atas dasar kebenaran dan keadilan
pada akhirnya akan kembali kepangkuan orang-orang beriman dan beramal shaleh.
Karena salah satu sifat seorang pemimpin adalah beriman dan beramal shaleh. Dan
tugasnya utamanya ialah menciptakan keamanan dan menghilangkan rasa takut serta
mempasilitasi rakyatnya untuk beribadah kepada Allah SWT secara total.

217
َ‫يال َّما تَذَ َّك ُرون‬ َّ ‫ض ۗ أَإِ َٰلَهٌ َّم َع‬
ً ‫اَّللِ ۚ قَ ِل‬ ِ ‫سو َء َويَجْ عَلُ ُك ْم ُخلَفَا َء ْاأل َ ْر‬ ُ ‫عاهُ َويَ ْكش‬
ُّ ‫ِف ال‬ ْ ‫يب ْال ُم‬
َ ‫ض‬
َ َ‫ط َّر إِذَا د‬ ُ ‫أ َ َّمن ي ُِج‬

“Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia
berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu
(manusia) sebagai Khalifah di bumi? Apakah di samping Allah SWT ada Tuhan (yang
lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).” (QS An Naml: 62)

ۚ ‫اَّللِ أَتْقَا ُك ْم‬


َّ َ‫ارفُوا ۚ ِإ َّن أ َ ْك َر َم ُك ْم ِعند‬ ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُكم ِ ّمن ذَ َك ٍر َوأُنث َ َٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم‬
َ ‫شعُوبًا َوقَ َبا ِئ َل ِلت َ َع‬ ُ َّ‫َيا أَيُّ َها الن‬
ٌ ِ‫ع ِلي ٌم َخب‬
‫ير‬ َّ ‫ِإ َّن‬
َ َ‫اَّلل‬

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
SWT ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah SWT Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al Hujurat: 13)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa: seorang pemimpin harus memahami sosiologis


dan antropologis rakyatnya, sehingga ia betul-betul memahami watak dan karakter rakyat
yang dipimpinnya.

Jadi, tugas dari pemimpin tersebut ialah memenej perbedaan dan keragaman
rakyatnya sebagai aset dan kekuatan Negara. Tugas pemimpin bukanlah memaksakan
kebersamaan dan persamaan. Namun, untuk mengelola perbadaan dan keragaman.

Perbedaan suku, ras dan apapun dikalangan rakyat seyogyanya menjadi ladang
kompetisi untuk menjadi mulia dan bertaqwa di sisi Allah SWT dan yang paling berperan
dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk itu adalah pemimpin.

E. Moral dan Karakteristik Seorang Pemimpin dalam Al-Qur’an


1. Pengenalan Diri dan Kesiapan Menjadi Pemimpin
Seseorang yang hendak diangkat menjadi pemimpin harus memperhitungkan
dan mengenali dirinya sendiri apakah ia layak atau tidak untuk memegang jabatan
kepemimpinan tersebut.

218
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan tentang pengenalan diri dan kesiapan
seseorang untuk menjadi pemimpin ini tersebar di dalam berbagai surat dalam Al-
Qur’an, diantaranya sebagai berikut:
‫علَ َٰى ُك ِّل‬ ِ ‫ق َوفِي أَنفُ ِس ِه ْم َحت َّ َٰى يَتَبَيَّنَ لَ ُه ْم أَنَّهُ ْال َح ُّق ۗ أ َ َولَ ْم َي ْك‬
َ ُ‫ف ِب َر ِبّكَ أَنَّه‬ ِ ‫سنُ ِري ِه ْم آ َياتِنَا فِي ْاْلفَا‬
َ
ٌ‫ش ِهيد‬
َ ٍ‫َيء‬
ْ ‫ش‬
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-
Qur’an itu adalah benar.” (QS. Fushilat: 53)
Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu? Pernyataan lain dari Al-Qur’an yang memperkuat ungkapan di atas adalah
firman Allah SWT. Yang berbunyi:

ِ ‫ َو ِفي أَنفُ ِس ُك ْم ۚ أَفَ َال تُب‬. َ‫ض آ َياتٌ ِلّ ْل ُمو ِقنِين‬
َ‫ْص ُرون‬ ِ ‫َو ِفي ْاأل َ ْر‬

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(Qs. Adz-Dzariyat: 20-21)
Secara umum, kedua ayat di atas menjelaskan bahwa di dalam diri manusia
terdapat berbagai potensi yang merupakan sumber perasaan akhlaki dan pintu menuju
jalan spiritual. Hal ini karena di dalam diri manusia terdapat embusan Ruh Ilahi yang
menjadi muara kesadaran etis manusia. Banyak petuah hikmah yang menekankan
keagungan dan kemuliaan diri, diantaranya adalah, “Hormatilah dirimu dengan
memeliharanya dari segala hal yang rendah dan tidak bernilai. Barang siapa yang
merasakan kemuliaan pada dirinya, maka mudah baginya untuk menentang nafsu
kebinatangannya. Begitu pula sebaliknya, barang siapa yang memandang hina
dirinya, maka ia tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga kita kita harus
mewaspadai kejahatan yang akan ditimbulkannya.”
Orang yang telah mengenal dirinya, ia dapat mengetahui tindakan apa yang
harus dilakukan dan sikap apa yang harus diambil dalam kehidupannya. Dengan kata
lain, orang yang telah mengenal dirinya akan mengetahui akhlak dan perbuatan apa
yang harus dilakukan dalam kehidupan di dunia. Dari sini jelas pula hubungan antara
pengenalan diri dengan pengenalan terhadap tuhannya, sebab orang yang telah

219
mengenal dirinya akan mengenal hembusan Ruh Ilahi yang ditiupkan ke dalam
dirinya, dan sekaligus ia akan menjadi manusia yang mulia, sebab ia dapat memahami
dan meralisasikan pesan-pesan tiupan Ruh Ilahi tersebut dalam kehidupannya.
Di samping itu, orang seperti itu tidak akan lupa diri yang merupakan perbuatan
tercela dan membawanya kejurang kenistaan diri. Sebaliknya ia akan selalu
mengingatkan dirinya kepada tuhan pemberi RuhI Ilahi. Orang seperti inilah yang
layak untuk dijadikan pemimpin umat, sebab ia akan mampu mempertahankan
eksistensi dirinya dan diri orang-orang yang dibawanya dalam rangka mewarisi dunia.
Orang seperti itu jauh dari kemungkinan untuk membuat kerusakan di muka bui ini,
sebab ia mampu memikirkan, memahami, dan menyadari keberadaan dirinya, Tuhan
dan alam sekitarnya. Sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah SWT berikut;

ِ ‫ت ِّألُو ِلي ْاأل َ ْلبَا‬


‫ب‬ ِ ‫ف اللَّ ْي ِل َوالنَّ َه‬
ٍ ‫ار َْليَا‬ ِ ‫اختِ َال‬ ِ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬
ْ ‫ض َو‬ ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫ِإ َّن فِي خ َْل‬
َّ ‫ق ال‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Qs. Ali ‘Imran: 190)
Isyarat Al-Qur’an yang menerangkan kesiapan seorang pemimpin lebih
spesifik lagi tercantum di dalam firman Allah SWT. berikut ini:

ُ ‫س‬
ۖ ‫ان‬ ِ ْ ‫ض َو ْال ِجبَا ِل فَأَبَيْنَ أَن يَحْ ِم ْلنَ َها َوأ َ ْش َف ْقنَ ِم ْن َها َو َح َملَ َها‬
َ ‫اإلن‬ ِ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ َ‫ضنَا ْاأل َ َمانَة‬
َّ ‫علَى ال‬ َ ‫إِنَّا‬
ْ ‫ع َر‬
ً ‫ظلُو ًما َج ُه‬
‫وال‬ َ َ‫إِنَّهُ َكان‬

“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat135kepada langit, bumi dan


gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Seorang pemimpin harus memiliki kesiapan yang Komprehensif, baik mental
maupun Fisikal material sehingga ia mampu menanggung amanat yang besar dan
mulia itu. Kesiapan ini sangatlah perlu dimiliki oleh manusia pengemban amanat,
sebab manusia memiliki potensi marah (Al-Quwwah, Al-Ghadabiyyah) yang akan
menyebabkannya berlaku dzalim dan memiliki potensi syahwat (Al-Quwwah, Al-

135
yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.

220
Syahwiyyah) yang akan menyebabkannya berlaku bodoh. Terlebih lagi seorang
pemimpin, sebab ia memiliki berbagai kesempatan yang sangat kondusif untuk
menyalurkan kedua potensi tersebut. Seorang yang telah didominasi oleh kedua
potensi ini, ia tidak akan mampu meralisasikan kemakmuran sebagai misi
kekhalifahan. Bahkan sebaliknya, Ia akan menjadi penyebab bencana dan kehancuran,
baik bagi dirinya maupun masyarakat. Allah SWT. Berfirman:

َ‫ع ِملُوا لَ َعلَّ ُه ْم َي ْر ِجعُون‬


َ ‫ض الَّذِي‬ ِ َّ‫ت أ َ ْيدِي الن‬
َ ‫اس ِليُذِيقَ ُهم َب ْع‬ َ ‫سادُ فِي ْال َب ِ ّر َو ْال َبحْ ِر ِب َما َك‬
ْ ‫س َب‬ َ َ‫ظ َه َر ْالف‬
َ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan
manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang membicarakan pengenalan diri dan dan
kesiapannya untuk menjadi seorang pemimpin adalah sebagai berikut: QS. Al-
Baqarah: 214, QS. Ali ‘Imran: 142, QS. Al-Araf: 51-52, QS. Al-Anfal: 30, dan lain-
lain.
2. Beragama dan Bertakwa Kepada Tuhan yang Maha Esa
Kenyataan manusia untuk hidup beragama, menyembah dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa merupakan suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dan menjadi
kebutuhan primer dalam kehidupan, baik dalam kehidupan perseorangan maupun
dalam kehidupan berkelompok. Agama dengan berbagai syari’atnya merupakan
petunjuk bagi manusia, dalam menjalani berbagai aktifitas kesehariannya sebab
syari’at, terutama syari’at agama Islam, bukanlah hanya sekedar tata cara keagamaan
bersifat abstrak yang menghubungkan manusia dengan hal-hal abstrak yang
terselubung dan berbagai aktivitas yang tidak bermakna bagi kehidupan manusia.
Berbagai tatanan kehidupan yang ditekankan oleh Islam kepada umat manusia, pada
dasarnya, merupakan pelatihan yang berkesinambungan untuk membiasakan manusia
hidup berakhlak baik dan berpegang teguh kepadanya, walaupun situasi dan kondisi
yang ada disekitarnya berubah-ubah.
Berkenaan dengan hal ini, Al-Qur’an telah banyak mengungkapkan berbagai
ayat di dalam berbagai surat diantaranya ayat sebagai berikut:

221
َّ ‫َاء َو ْال ُمن َك ِر ۗ َولَ ِذ ْك ُر‬
ۗ ‫اَّللِ أ َ ْكبَ ُر‬ ِ ‫ع ِن ْالفَحْ ش‬
َ ‫ص َالة َ ت َ ْن َه َٰى‬ ِ ‫ي إِلَيْكَ ِمنَ ْال ِكت َا‬
َّ ‫ب َوأَقِ ِم ال‬
َّ ‫ص َالة َ ۖ إِ َّن ال‬ ِ ُ ‫اتْ ُل َما أ‬
َ ‫وح‬
َ‫صنَعُون‬ْ َ ‫اَّللُ يَ ْعلَ ُم َما ت‬
َّ ‫َو‬

“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan
Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa penghindaran diri dari perbuatan-
perbuatan keji dan pensucian diri dari perkataan dan perbuatan tercela merupakan
hakikat shalat yang sebenarnya.
Selain shalat, yakni zakat, puasa dan pergi haji itu termasuk dalam bentuk
bertakwa kepada Allah SWT dan ditunjukkan untuk penyembahan kepada Tuhan yang
Maha Esa yang tidak ada sekutu baginnya, dan kepadanyalah semua manusia harus
berpasrah diri:

)261( َ‫اي َو َم َما ِتي ِ ََّّللِ َربّ ِ ْال َعالَ ِمين‬ َ ‫قُ ْل ِإ َّن‬
ُ ُ‫ص َال ِتي َون‬
َ َ‫س ِكي َو َمحْ ي‬

)261( َ‫ْل ش َِريكَ لَهُ ۖ َوبِ َٰذَلِكَ أ ُ ِم ْرتُ َوأَنَا أ َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِمين‬

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah


untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang
diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)". QS. Al-An’am: 162-163)

3. Al-‘Adl (Adil)
Seseorang yang hendak dijadikan pemimpin umat harus memiliki sifat-sifat
yang dapat menjaga citranya di hadapan orang-orang yang dipimpinnya. Umat Islam
telah mempunyai panutan kehidupan yakni Rasulullah SAW. Allah berfirman;

َّ ‫اَّللَ َو ْاليَ ْو َم ْاْل ِخ َر َوذَ َك َر‬


ً ِ‫اَّللَ َكث‬
‫يرا‬ َ ‫اَّللِ أُس َْوة ٌ َح‬
َّ ‫سنَةٌ ِلّ َمن َكانَ يَ ْر ُجو‬ ُ ‫لَّقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َر‬
َّ ‫سو ِل‬

222
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)

Diantara sifat-sifat keteladanan Rasulullah SAW. yang dinyatakan di dalam


Al-Qur’an dan harus diperhatikan oleh para pemegang jabatan kepemimpinan adalah
AdilI. Allah SWT berfirman:
ُ ‫َاء َو ْال ُمنك َِر َو ْالبَ ْغي ِ ۚ َي ِع‬
َ‫ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرون‬ ِ ‫ان َوإِيت َِاء ذِي ْالقُ ْربَ َٰى َويَ ْن َه َٰى َع ِن ْالفَحْ ش‬
ِ ‫س‬ ِ ‫اَّللَ يَأ ْ ُم ُر بِ ْالعَدْ ِل َو‬
َ ْ‫اإلح‬ َّ ‫إِ َّن‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)

Keadilan seorang pemimpin dalam memangku jabatannya dapat dibuktikan


melalui 10 macam hal, yaitu:
1. Tegak dan terpelihara teramalkannya tiang-tiang agama dan syi’ar-syi’arnya tanpa
ditambah dan dikurangi.
2. Terjaganya masyarakat dari serangan musuh, baik agama, jiwa, maupun hartanya.
3. Memakmurkan Negara dengan bersandar kemashlahatan dan jalur-jalur yang
terpuji dan mendidik. (lihat QS. Al-Alaq: 1-5, QS. Al-Infithar: 6-8, QS. Al-Isra:
106, dan QS. Al-Jumuah: 2.
4. Mengintrospeksi atau menginspeksi teman sejawat yang menjadi pembantunnya
sehingga dapat diketahui siapa yang menjadi penolong dan perusak rakyat.
5. Menginspeksi atau mengecek pihak-pihak yang berhubungan dengan keuangan
sehingga para pegawai dapat tersantuni sebagaimana mestinya.
6. Mengadakan pertemuan-pertemuan tertentu untuk mengungkap berbagai
kedzaliman dan menyelesaikan sesuai dengan syara’.
7. Mengalokasikan kepada pos-posnya secara adil dan memadai.
8. Menegakkan sangsi kepada para pelaku kejahatan berdasarkan kesepakatan (UUD
yang berlaku) dan sesuai dengan kadar pelanggaran yang dilakukannya.
9. Memilih para pembantu atau wakil dan para pekerja yang layak.

223
10. Memegang dan menentukan kebijakan tertinggi terhadap masalah-masalah yang
spesifik berdasarkan syari’at.
Apabila seorang pemimpin telah menjalankan kesepuluh persyaratan tersebut,
maka ia telah melaksanakan hak Allah terhadap hambanya dengan adil sebagaimana
perintahnya dan ia berhak untuk ditaati oleh bawahannya. Allah SWT berfirman:

‫علَ َٰى أَنفُ ِس ُك ْم أ َ ِو ْال َوا ِلدَي ِْن َو ْاأل َ ْق َربِينَ ۚ ِإن يَ ُك ْن‬
َ ‫ش َهدَا َء ِ ََّّللِ َولَ ْو‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ ِب ْال ِقس‬
ُ ‫ْط‬
َّ ‫ضوا فَإ ِ َّن‬
‫اَّللَ َكانَ ِب َما‬ ُ ‫اَّللُ أ َ ْولَ َٰى ِب ِه َما ۖ فَ َال تَت َّ ِبعُوا ْال َه َو َٰى أَن ت َ ْع ِدلُوا ۚ َو ِإن ت َْل ُووا أ َ ْو ت ُ ْع ِر‬ ً ‫غنِيًّا أ َ ْو فَ ِق‬
َّ َ‫يرا ف‬ َ
ً ِ‫ت َ ْع َملُونَ َخب‬
‫يرا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi Karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu
Bapak dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala
apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135)

Ayat di atas menerangkan bahwa keadilan seorang pemimpin tidak terbatas


pada proses peradilan semata, tetapi juga harus diwujudkan dalam berbagai aspek
kehidupan lainnya, seperti di dalam distribusi pekerjaan, pemerataan pendidikan, dan
lain-lain. Di samping itu, sikap adil seorang pemimpin tidak hanya diperuntukkan bagi
orang lain semata, melainkan juga terhadap dirinya sendiri, anak-anak, dan
keluarganya.
4. Ash-Shidq (Jujur)
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang mengisyaratkan kejujuran,
diantaranya firman Allah SWT berfirman:

َ ‫اَّللَ َوقُولُوا قَ ْو ًال‬


)07(‫سدِيدًا‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ‫سولَهُ فَقَ ْد فَازَ فَ ْو ًزا‬
)02(‫ع ِظي ًما‬ َّ ِ‫صلِحْ لَ ُك ْم أ َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم ۗ َو َمن ي ُِطع‬
ُ ‫اَّللَ َو َر‬ ْ ُ‫ي‬

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan

224
mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya,
Maka Sesungguhnya ia Telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab:
70-71)

Dengan demikian, kejujuran hendaknya dijadikan pegangan dalam berbagai


keadaan, diperhatikan dalam berbagai ketetapan, dan dijadikan rujukan dalam
berbagai keputusan, terutama bagi para birokrat yang menjadi pengemban amanat
rakyat, baik jujur kepada diri sendiri maupun jujur kepada orang lain dan Tuhannya
yang memberikan amanat tersebut.

5. Al-Amanah (Terpercaya)
Islam sangat memperhatikan pemeluknya agar memiliki hati dan naluri yang
hidup guna menjaga hak-hak Allah dan hak-hak manusia serta memelihara berbagai
aktivitas dari unsur-unsur kelalaian. Dari sini dapat dipahami bahwa umat Islam
umumnya, terlebih lagi seorang pemimpin harus menjadi orang yang terpercaya. Allah
SWT berfirman:

‫ض َو ْال ِج َبا ِل فَأَبَيْنَ أَن َيحْ ِم ْلنَ َها َوأ َ ْش َف ْقنَ ِم ْن َها َو َح َملَ َها‬
ِ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬ َ َ‫ضنَا ْاأل َ َمانَة‬
َّ ‫علَى ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ْ ‫ع َر‬َ ‫ِإنَّا‬
‫ظلُو ًما َج ُه ْوْل‬
َ َ‫ان ۖ إِنَّهُ َكان‬ُ ‫س‬ ِْ
َ ‫اإلن‬

“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)

Berdasarkan ayat di atas, amanat memiliki ruang lingkup yang luas dan
mengandung berbagai pengertian yang bermacam-macam. Namun demikian,
definisinya dapat disederhanakan menjadi suatu yang diwakilkan kepadanya dan
menyadari benar bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban tersebut di hadapan
Tuhannya.

225
Dengan demikian, sikap terpercaya atau amanah harus ada pada setiap orang
dan harus tetap dipertahankan dalam kondisi apapun dan di mana pun ia berada,
terutama di dalam dunia kepemimpinan.
6. Al-Wafa’ (Menepati Janji)
Menurut ajaran Al-Qur’an, seseorang yang telah membuat kesepakatan atau
memberi janji, maka ia harus menepati dan melaksanakan janji tersebut. Allah SWT
berfirman:
ً ‫علَ ْي ُك ْم َك ِف‬
َّ ‫يال ۚإِ َّن‬
َ‫اَّلل‬ َّ ‫ضوا ْاأل َ ْي َمانَ بَ ْعدَ ت َْو ِكي ِدهَا َوقَ ْد َجعَ ْلت ُ ُم‬
َ َ‫اَّلل‬ ُ ُ‫عا َه ْدت ُ ْم َو َال ت َ ْنق‬ َّ ‫َوأ َ ْوفُوا بِعَ ْه ِد‬
َ ‫اَّللِ إِذَا‬
)12( َ‫يَ ْع َل ُم َما ت َ ْف َعلُون‬
ُ
َ ‫ت غ َْزلَ َها ِم ْن بَ ْع ِد قُ َّوةٍ أ َ ْن َكاثًا تَت َّ ِخذُونَ أ َ ْي َمانَ ُك ْم دَخ ًَال بَ ْينَ ُك ْم أ َ ْن ت َ ُكونَ أ َّمةٌ ه‬
‫ِي‬ ْ ‫ض‬ َ َ‫َو َال ت َ ُكونُوا َكالَّتِي نَق‬
)11( َ‫اَّللُ ِب ِه َۚولَيُبَ ِيّن ََّن لَ ُك ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َما ُك ْنت ُ ْم فِي ِه ت َْخت َ ِلفُون‬ َّ ‫أ َ ْربَ َٰى ِم ْن أ ُ َّم ٍة ۚ ِإنَّ َما يَ ْبلُو ُك ُم‬

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di
antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain. Sesungguhnya Allah Hanya menguji kamu dengan hal itu. dan
Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu.” (QS. An-Nahl: 91-92)

Ayat di atas mempunyai sebab nuzul: kaum muslimin yang jumlahnya masih
sedikit itu telah mengadakan perjanjian yang kuat dengan Nabi di waktu mereka
melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu
timbullah keinginan mereka untuk membatalkan perjanjian dengan Nabi Muhammad
SAW itu. Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah SWT.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwasannya di dalam masalah
kepemimpinan tidak boleh adanya pengkhianatan terhadap janji atau kesepakatan

226
diantara atasan dan bawahan yang telah dibuat. Hal ini dapat menyebabkan hancurnya
sebuah komunitas, sebab di dalam sebuah kesepakatan terdapat rahasia-rahasia yang
hanya boleh diketahui oleh pihak-pihak yang bersepakat saja. Apabila salah satu orang
keluar dari kesepakatan tersebut, maka rahasia yang disepakati akan bocor dan
diketahui oleh musuh yang siap untuk menghancurkan komunitas yang bersepakat
tersebut.
Untuk meralisasikan sebuah janji, diperlukan dua karakteristik yang harus
dimiliki oleh orang yang menjadi pemimpin, yaitu kekuatan ingatan dan kekuatan
kehendak atau kecendrungan. Dengan kata lain, kedua kekuatan tersebut menjadi
pendukung bagi terwujudnya janji. Jika kedua kekuatan itu dimiliki oleh seseorang,
maka akan mudah baginya untuk melaksanakan janji tersebut.
7. Al-Ilm Wa Al-Aql (Berilmu Pengetahuan)
ُ ‫ْط ۚ َال إِ َٰلَهَ إِ َّال ُه َو ْالعَ ِز‬
‫يز ْال َح ِكي ُم‬ ِ ‫اَّللُ أَنَّهُ َال إِ َٰلَهَ إِ َّال ُه َو َو ْال َم َالئِ َكةُ َوأُولُو ْال ِع ْل ِم قَائِ ًما بِ ْال ِقس‬
َّ َ‫ش ِهد‬
َ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak
disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang
berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia
(yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran:
18)

Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu. Ilmu pengetahuan


merupakan gambaran kemuliaan dan karakteristik keagungan yang tidak mungkin
membatalkan yang hak (benar) dan membenarkan yang batil. Ilmu pengetahuan
merupakan sarana untuk mengetahui hakikat permasalahan dan memilah kebaikan dari
kejahatan. Diantara produk yang dihasilkannya adalah pikiran yang sehat dan
pandangan yang tajam serta penanganan permasalahan yang professional.
Pengetahuan seperti ini sangat di butuhkan oleh seorang pemimpin dalam rangka
menangani dan mengantifikasi berbagai permasalahan yang timbul.
8. Asy-Syaja’ah (Memiliki Keberanian)
Keberanian merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Sifat keberanian ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin sebab ia harus
menghadapi berbagai permasalahan yang membutuhkan keberanian. Realisasi

227
keberanian seorang pemimpin ada dua maca yakni, keberanian berpendapat atau
beragumentasi dan keberanian berjuang secara fisik. Allah SWT berfirman:

َ ْ‫صابَ ُه ُم ْالقَ ْر ُح ۚ ِللَّذِينَ أَح‬


)201(‫سنُوا ِم ْن ُه ْم َواتَّقَ ْوا أَجْ ٌر َع ِظي ٌم‬ َ َ ‫سو ِل ِمن بَ ْع ِد َما أ‬ َّ ‫الَّذِينَ ا ْست َ َجابُوا ِ ََّّللِ َو‬
ُ ‫الر‬

)201(ُ‫اَّللُ َونِ ْع َم ْال َو ِكيل‬


َّ ‫اخش َْو ُه ْم فَزَ ادَ ُه ْم إِي َمانًا َوقَالُوا َح ْسبُنَا‬
ْ َ‫اس قَدْ َج َمعُوا لَ ُك ْم ف‬ ُ َّ‫الَّذِينَ قَا َل لَ ُه ُم الن‬
َ َّ‫اس إِ َّن الن‬

ْ َ‫اَّللُ ذُو ف‬
)201(‫ض ٍل َع ِظي ٍم‬ َّ َ‫سو ٌء َواتَّ َبعُوا ِرض َْوان‬
َّ ‫اَّللِ ۗ َو‬ َ ‫ض ٍل لَّ ْم َي ْم‬
ُ ‫س ْس ُه ْم‬ َّ َ‫فَانقَلَبُوا ِب ِن ْع َم ٍة ِ ّمن‬
ْ َ‫اَّللِ َوف‬

“(yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan rasul-Nya sesudah mereka
mendapat luka (dalam peperangan Uhud). bagi orang-orang yang berbuat kebaikan
diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (yaitu) orang-orang
(yang mentaati Allah dan rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan: "Sesungguhnya manusia Telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, Karena itu takutlah kepada mereka", Maka perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali
dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana
apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang
besar.” (QS. Ali ‘Imran: 172-174)

Ayat di atas membicarakan tentang peristiwa perang Badar Shughra (Badar


kecil) yang terjadi setahun sesudah perang Uhud. Sewaktu meninggalkan perang Uhud
itu, Abu Sufyan pemimpin orang Quraisy menantang Nabi dan sahabat-sahabat beliau
bahwa dia bersedia bertemu kembali dengan kaum muslimin pada tahun berikutnya di
Badar. Tetapi karena tahun itu (4 H) musim paceklik dan Abu Sufyan sendiri waktu
itu merasa takut, maka dia beserta tentaranya tidak jadi meneruskan perjalanan ke
Badar, lalu dia menyuruh Nu'aim ibnu Mas'ud dan kawan-kawannya pergi ke Madinah
untuk menakut-nakuti kaum muslimin dengan menyebarkan kabar bohong, seperti
yang disebut dalam ayat 173. Namun, demikian Nabi beserta sahabat-sahabat tetap
maju ke Badar. Oleh karena itu perang Badar tidak terjadi, dan pada waktu itu di Badar
kebetulan musim pasar, maka kaum muslimin melakukan perdagangan dan
memperoleh laba yang besar. keuntungan Ini mereka bawa pulang ke Madinah seperti
yang tersebut pada ayat 174.

228
Dari ayat di atas dapat diambil pelajaran bahwa apabila seorang pemimpin
tidak memiliki keberanian tinggi yang dapat memberikan motivasi kepada
bawahannya, maka bawahnya akan merasa gentar kepada musuh. Padahal sikap
pengecut dalam menghadapi musuh ini dibenci oleh Allah SWT. Hal tersebut terdapat
dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal; 15-16.
9. As-Sakha (Dermawan)
Kedermawanan merupakan tiang kebaikan yang dapat menimbulkan
persahabatan dan persatuan. Oleh karena itu, Islam menyari’atkan penganutnya untuk
bersifat dermawan, sebab di dalam kedermawanan terdapat kemaslahatan umum,
dunia, dan akhirat, dan dapat menimbulkan keridhaan Allah dan keridhaan sesama
manusia. Allah SWT berfirman:

‫علَ ْي ِه ْم َو َال ُه ْم‬ ٌ ‫ع َالنِيَةً فَلَ ُه ْم أ َجْ ُر ُه ْم ِعندَ َر ِبّ ِه ْم َو َال خ َْو‬
َ ‫ف‬ ِ ‫الَّذِينَ يُن ِفقُونَ أ َ ْم َوالَ ُهم ِباللَّ ْي ِل َوالنَّ َه‬
َ ‫ار ِس ًّرا َو‬
َ‫يَحْ زَ نُون‬

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara


tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapatkan pahala dari sisi
Tuhannya. Tidak ada ke khawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (QS Al-Baqarah: 274)

Meskipun pendermaan tersebut dilakukan tanpa mengenal situasi, Al-Qur’an


juga memberikan batasan-batasan tertentu sehingga tidak menimbulkan kesan negatif
diantara kedua belah pihak, seperti merendahkan pihak penerima dan pemaksaan
kepada pihak pemberi. Diantara batasan-batasan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut
ini:
1. QS. Al-Baqarah ayat 219
َ‫اس َوإِثْ ُم ُه َما أ َ ْكبَ ُر ِمن نَّ ْف ِع ِه َما ۗ َويَسْأَلُونَك‬ِ َّ‫ير َو َمنَافِ ُع ِللن‬ ٌ ِ‫ع ِن ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر ۖ قُ ْل فِي ِه َما ِإثْ ٌم َكب‬ َ َ‫يَسْأَلُونَك‬
َ‫ت لَ َعلَّ ُك ْم تَتَفَ َّك ُرون‬ َّ ‫َماذَا يُن ِفقُونَ قُ ِل ْال َع ْف َو ۗ َك َٰذَلِكَ يُبَيِّ ُن‬
ِ ‫اَّللُ لَ ُك ُم ْاْليَا‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah

229
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS Al-Baqarah:
219)

Kata Al-Afwa dalam ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pendermaan


dilakukan pada kekayaan yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pemiliknya atau
berdasarkan keikhlasannya.

2. QS. Al-Isra ayat 26-29

َ‫ إِ َّن ْال ُمبَ ِذّ ِرينَ َكانُوا إِ ْخ َوان‬. ‫ِيرا‬


ً ‫سبِي ِل َوال تُبَ ِذّ ْر ت َ ْبذ‬ َّ ‫ت ذَا ْالقُ ْربَى َحقَّهُ َو ْال ِم ْسكِينَ َوابْنَ ال‬
ِ ‫َوآ‬
‫ع ْن ُه ُم ا ْبتِغَا َء َرحْ َم ٍة ِم ْن َربِّكَ ت َْر ُجوهَا فَقُ ْل‬
َ ‫ض َّن‬ َ ‫ َوإِ َّما ت ُ ْع ِر‬.‫ورا‬ ً ُ‫ان ِل َربِّ ِه َكف‬
ُ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ين َو َكانَ ال‬ِ ‫اط‬ َّ ‫ال‬
ِ َ‫شي‬
ِ ‫ط َها ُك َّل ْالبَس‬
‫ْط فَت َ ْقعُدَ َملُو ًما‬ ْ ‫س‬ ُ ‫ َوال تَجْ عَ ْل يَدَكَ َم ْغلُولَةً إِلَى‬. ‫ورا‬
ُ ‫عنُقِكَ َوال ت َ ْب‬ ً ‫س‬ُ ‫لَ ُه ْم قَ ْوال َم ْي‬
.‫ورا‬
ً ‫س‬ُ ْ‫َمح‬

“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah
saudara setan dan setan itu sangat kufur kepada Tuhannya. Dan jika engkau
berpaling dari merek untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau
harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut. Dan
janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula)
engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS Al-Isra: 26-29)

Ungkapan “Jangan menghambur-hamburkan kekayaan” di dalam ayat di


atas mengisyaratkan bahwa pendermaan tidak boleh berlebih-lebihan sehingga
menjadikannya fakir.

Kedua ayat di atas menunjukkan batasan pendemaan bagi pihak pemberi


dalam rangka keikhlasannya dan berderma. Sedangkan batasan yang diperuntukkan
bagi penerima dalam rangka menjaga perasaan hatinya, Allah SWT berfirman:

230
ِ َّ‫صدَقَاتِ ُكم بِ ْال َم ِّن َو ْاألَذَ َٰى َكالَّذِي يُن ِف ُق َمالَهُ ِرئ َا َء الن‬
َّ ِ‫اس َو َال يُؤْ ِم ُن ب‬
ِ‫اَّلل‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا َال تُب ِْطلُوا‬
ٍ‫َيء‬ْ ‫علَ َٰى ش‬ َ َ‫ص ْلدًا ۖ َّال يَ ْقد ُِرون‬ َ َ ‫علَ ْي ِه ت ُ َرابٌ فَأ‬
َ ُ‫صابَهُ َوابِ ٌل فَت ََر َكه‬ َ ‫ان‬ َ ‫َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۖ فَ َمثَلُهُ َك َمث َ ِل‬
ٍ ‫ص ْف َو‬
َ‫اَّللُ َال يَ ْهدِي ْالقَ ْو َم ْال َكافِ ِرين‬ َ ‫ِ ّم َّما َك‬
َّ ‫سبُوا ۗ َو‬

”Hai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu menghilangkan (pahala)


sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan) si penerima,
seperti orang yang menafkahkan hartanya karna riya kepada manusia” (QS. Al-
Baqarah: 264)

Dari sini dapat dipahami bahwa derma yang tulus dapat menjadi tiang
kebaikan yang dapat menimbulkan persahabatan dan persatuan. Ia dapat membuat
hati orang menjadi lega dan lunak atau lembut sehingga ia ridha kepada pelakunya,
dan berikutnya keridhaan Allah pun menyertainya. Oleh karena itu. Islam (Al-
Qur’an) mengsyari’atkan penganutnya untuk bersifat dermawan.

10. Ar-Rahmah (Kasih Sayang)

Keberadaan kasih sayang (Rahmah) dari seorang pemimpin diisyaratkan


Allah dalam firman-Nya:

‫ع ْن ُه ْم‬
َ ‫ْف‬ ُ ‫ب َالنفَضُّوا ِم ْن َح ْولِكَ ۖ فَاع‬ ِ ‫ظ ْالقَ ْل‬َ ‫غ ِلي‬
َ ‫ظا‬ًّ َ‫اَّللِ لِنتَ لَ ُه ْم ۖ َولَ ْو ُكنتَ ف‬َّ َ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِ ّمن‬
َ‫اَّللَ ي ُِحبُّ ْال ُمت َ َو ِ ّكلِين‬ َّ ‫علَى‬
َّ ‫اَّللِ ۚ إِ َّن‬ َ ‫عزَ ْمتَ فَت ََو َّك ْل‬ َ ‫َوا ْست َ ْغ ِف ْر لَ ُه ْم َوشَا ِو ْر ُه ْم فِي ْاأل َ ْم ِر ۖ فَإِذَا‬

“Maka disebabkan rahmat Allah-lah engkau berlaku lemah lembut terhadap


mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekeliling mu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkan
ampun bagi mereka, bermusyawarahlah dengan mereka dalam berbagai urusan.”
(QS. Ali ‘Imran: 159)

Ayat tersebut diturunkan kepada Nabi SAW. setelah perang uhud. Pada
waktu itu, sebagian sahabat Nabi mengingkari perintah beliau yang menyebabkan

231
kegagalan kaum muslimin dan kemenangan kaum musyrikin, bahkan Rasulullah
SAW. Dan orang-orang yang tinggal bersamanya terluka. Akan tetapi, Rasulullah
SAW. Menghadapinya dengan penuh kesabaran dan memperlakukan mereka dengan
lemah lembut dan kasih sayang, padahal mereka layak untuk mendapatkan perlakuan
keras dari Nabi SAW. Beliau menyadari bahwa adanya keberadaan kaum muslimin
pada waktu itu Masih lemah dalam berbagai bidang, baik dari segi aqidah maupun
syari’at.

11. As-Shabr (Sabar)

Moral dan karakteristik lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
menurut Al-Qur’an adalah kesabaran (Ash-Shabr). Secara bahasa, menurut pendapat
Al-Munjid, Ash-Shabr didefinisikan:

‫ش ْك َوى ِم ْن اَلَ ِم اْلبَ ْل َوى‬ ُ ‫اَلت َّ َجلُدُ َو ْال َحب‬


َ ‫ْس َو ْاإل ْم‬
َ ‫سا كُ َو‬
َ ‫عدَ ُم ال‬
“Menahan diri dan tidak mengeluh terhadap penderitaan yang menimpa.”

Sedangkan menurut istilah, para ulama berpendapat dalam mendefinisikan


kesabaran ini, diantaranya Al-Ghazali mengatakan sebagai berikut:“Sabar itu
merupakan dorongan kekuatan agama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.”

Selanjutnya ia mengatakan sabar itu ada dua macam:


1. Kesabaran yang bersifat badani, seperti keteguhan menghadapi beban kesulitan
dalam melakukan aktifitas keseharian dan melaksanakan ibadah ritual.
Kesabaran seperti ini sangat terpuji apabila dilakukan sesuai dengan syari’at.
2. Kesabaran yang bersifat batini atau nafsiy, seperti keteguhan dalam menghadapi
kecendrungan-kecendrungan tabi’at manusia dan tuntunan-tuntunan hawa nafsu.

Selain itu, ia mendefinisikan pula kesabaran sebagai Zuhud lawannya dari


Hirs dan Qana’ah yang lawannya As-shurrah, serta berbagai definisi karakteristik
keimanan lainnya yang tercakup dalam konsep sabar.

Sementara itu Al-Qur’an, melalui penelusuran terhadap ayat-ayat-Nya,


mendefinisikan sabar secara umum sebagai keteguhan dan ketabahan dalam

232
menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan, tanpa ada rasa bosan dan keluh
kesah. Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kesabaran tersebut adalah
sebagai berikut:

َ‫ق ِ ّم َّما يَ ْم ُك ُرون‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم َو َال ت َكُ فِي‬


ٍ ‫ض ْي‬ َّ ِ‫صب ُْركَ إِ َّال ب‬
َ ‫اَّللِ ۚ َو َال تَحْ زَ ْن‬ َ ‫صبِ ْر َو َما‬
ْ ‫َوا‬

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan


pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka
dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (QS.
An-Nahl: 127)

Ayat-ayat Al-Qur’an senada dengan definisi kesabaran diatas adalah sebagai


berikut: QS. Al-Baqarah: 177, QS. Ali ‘Imran: 142, QS. Al-An’am: 35, dan lain-lain.

Diantara isyarat-isyarat yang terdapat di dalam Al-Qur’an mengenai


kesabaran tersebut ada yang dikhitbahkan atau ditunjukkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Secara khusus dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat, dan ada pula
yang secara bersamaan ditunjukkan kepada umat manusia secara umum, Allah SWT
berfirman:

َ ‫س ِل َو َال ت َ ْست َ ْع ِجل لَّ ُه ْم ۚ َكأَنَّ ُه ْم يَ ْو َم يَ َر ْونَ َما يُو‬


‫عدُونَ لَ ْم‬ ُّ َ‫صبَ َر أُولُو ْالعَ ْز ِم ِمن‬
ُ ‫الر‬ َ ‫صبِ ْر َك َما‬ْ ‫فَا‬
َ‫غ ۚ فَ َه ْل يُ ْهلَكُ إِ َّال ْالقَ ْو ُم ْالفَا ِسقُون‬ ٍ ‫عةً ِ ّمن نَّ َه‬
ٌ ‫ار ۚ بَ َال‬ َ ‫يَ ْلبَثُوا إِ َّال‬
َ ‫سا‬
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari
rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa)
seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu
pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.”(QS. Al-
Ahqaf: 35)

Mereka (Ulul Azmi) telah bersabar menghadapi berbagai penderitaan.


Umpamanya, Nabi Nuh as telah bersabar tehadap pukulan-pukulan yang dilancarkan
oleh kaumnya hingga pingsan, Nabi Ibrahim as telah diuji kesabarannya ketika ia
dilemparkan ke dalam api oleh kaumnya, dan masih banyak lagi. Allah SWT
berfirman:

233
َ‫صابِ ِرين‬ َّ ‫ص َالةِ ۚ إِ َّن‬
َّ ‫اَّللَ َم َع ال‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ا ْست َ ِعينُوا بِال‬
َّ ‫صب ِْر َوال‬
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”(QS. Al-Baqarah: 153)

Ayat di atas menyatakan bahwa kesabaran hendaknya dijadikan penolong di


dalam berbagai aspek hidup, dan kehidupan, terutama bagi seorang pemimpin.

12. Al-Iffal Wa Al-Haya (Mengendalikan Diri dan Memiliki Rasa Malu)

Pengendalian diri dari perbuatan-perbuatan tercela dan menahan berbagai


anggota badan dari tindakan-tindakan yang diharamkan dan menyakitkan orang lain
merupakan tujuan pokok dari Akhlak karimah danbukti kesempurnaan Muru’ah
seseorang. Pemimpin yang tidak mampu mengendalikan diri dari perbuatan-
perbuatan tercela, maka ia tidak akan mampu mengendalikan orang-orang
terdekatnya, dan apalagi mengendalikan masyarakatnya.

Menurut Al-Maraghi, kemaslahatan umat akan terwujud di atas empat pilar,


diantaranya adalah (1) Dipimpin oleh ulama yang mampu berfikir (Ulama
Mufakkirun),(2) Diatur oleh para pemegang keadilan yang mampu menghindarkan
diri dari perbuatan-perbuatan zalim dan diskriminatif, (3) Mengadakan perbaikan
bagi umat, (4) Selalu memelihara diri dari hal-hal yang menjatuhkan Muru’ah-nya di
hadapan umatnya, baik siang maupun malam.

Ayat-ayat Al-Qur’an telah menunjukkan beberapa macam pengendalian diri,


diantaranya sebagai berikut:

1. QS. An-Nur Ayat 33


ْ َ‫اَّللُ ِمن ف‬
..‫ض ِل ِه‬ ِ ‫َو ْليَ ْست َ ْع ِف‬
َّ ‫ف الَّذِينَ َال يَ ِجدُونَ نِ َكا ًحا َحت َّ َٰى يُ ْغنِيَ ُه ُم‬
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”
2. QS. An-Nisa Ayat 6

234
‫َوا ْبتَلُوا ْاليَت َا َم َٰى َحت َّ َٰى إِذَا بَلَغُوا ال ِنّ َكا َح فَإ ِ ْن آنَ ْستُم ِ ّم ْن ُه ْم ُر ْشدًا فَا ْدفَعُوا إِلَ ْي ِه ْم أ َ ْم َوالَ ُه ْم ۖ َو َال ت َأ ْ ُكلُوهَا‬
...‫ف‬ ِ ‫يرا فَ ْليَأ ْ ُك ْل بِ ْال َم ْع ُرو‬ ً ‫ف ۖ َو َمن َكانَ فَ ِق‬ ْ ‫غنِيًّا فَ ْليَ ْست َ ْع ِف‬
َ َ‫ارا أَن يَ ْكبَ ُروا ۚ َو َمن َكان‬ ً َ‫إِس َْرافًا َوبِد‬

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan
harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta
itu menurut yang patut.”
3. Al-Baqarah ayat 273
‫سبُ ُه ُم ْال َجا ِه ُل‬ ِ ‫ض ْربًا فِي ْاأل َ ْر‬
َ ْ‫ض يَح‬ َ َ‫اَّللِ َال يَ ْست َِطيعُون‬
َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫ص ُروا فِي‬ ِ ْ‫اء الَّذِينَ أُح‬ِ ‫ِل ْلفُقَ َر‬
‫اس إِ ْل َحافًا‬
َ َّ‫ف ت َ ْع ِرفُ ُهم بِسِي َما ُه ْم َال يَسْأَلُونَ الن‬ِ ُّ‫أ َ ْغنِيَا َء ِمنَ التَّعَف‬
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak.”

Seorang pemimpin memiliki rasa malu dan mampu melakukan


pengendalian diri karena ia merasa bertanggung jawab terhadap apa yang
dipimpinnya dan ia meyakini bahwa ia akan diminta pertanggung jawabannya,
baik dihadapan umat maupun dihadapan tuhannya di akhirat nanti.

13. Al-Quwwah (Memiliki Kekuatan)

Yang di maksud kekuatan di sini adalah berbagai kemampuan dan tekad


yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang dapat memberikan pengaruh atau
wibawa dimata bawahannya baik kemampuan yang bersifat mental maupun
yang bersifat fisikal. Kemampuan pemimpin seperti itu akan menimbulkan
konfidensi dalam dirinya ia tidak mudah menyerah terhadap permasalahan-

235
permasalahan yang dihadapi, bai permasalahan yang timbul dari intern maupun
ekstern.

Berkenaan dengan kekuatan ini, Allah SWT berfirman:

‫علَ ْينَا َونَحْ ُن أ َ َح ُّق‬َ ُ‫ون لَهُ ْال ُم ْلك‬


ُ ‫طالُوتَ َم ِل ًكا ۚ قَالُوا أَنَّ َٰى َي ُك‬َ ‫ث لَ ُك ْم‬ َّ ‫َوقَا َل لَ ُه ْم نَ ِبيُّ ُه ْم ِإ َّن‬
َ ‫اَّللَ قَ ْد َب َع‬
‫طةً فِي ْال ِع ْل ِم‬َ ‫ع َل ْي ُك ْم َوزَ ادَهُ َب ْس‬ َ ‫ص‬
َ ُ‫طفَاه‬ َّ ‫س َعةً ِ ّمنَ ْال َما ِل ۚ قَا َل ِإ َّن‬
ْ ‫اَّللَ ا‬ َ َ‫ِب ْال ُم ْل ِك ِم ْنهُ َولَ ْم يُؤْ ت‬
‫ع ِلي ٌم‬ َّ ‫اَّللُ يُؤْ تِي ُم ْل َكهُ َمن َيشَا ُء ۚ َو‬
َ ‫اَّللُ َوا ِس ٌع‬ َّ ‫َو ْال ِجس ِْم ۖ َو‬

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah


mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut
memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi
(mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa". Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)

Dari ungkapan ayat diatas dapat dipahami bahwa seorang pemimpin


harus memiliki kelebihan sebagai berikut:

1. Kesiapan fitrah yang merupakan unsur pokok bagi seorang pemimpin.


2. Keluasan ilmu untuk mengatur dan mengetahui letak-letak kelemahan dan
kekuatan umat serta memiliki pemikiran yang berlian untuk mengenai
permasalahan mereka.
3. Keperkasaan tubuh dan kekuatannya yang sempurna yang menyebabkan ia
mampu berpikir sehat, dan memiliki keberanian dan kemampuan untuk
mempertahankan diri, wibawa, dan kehormatannya.
4. Petunjuk Allah untuk mengenai berbagai permasalahan yang merupakan
pemberian langsung dari Allah. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan
“Allah memberikan pemerintahan kepada orang yang di kehendakinnya.”

Pemimpin yang memenuhi keempat kulifikasi di atas, apabila


berbicara, maka pembicaraannya dapat memberikan keyakinan, apabila ia

236
bekerja, maka kerjaanya dapat memberikan kesan melekat atau monumental,
apabila ia memiliki tujuan atau berkehendak, maka tujuannya jelas dan
realistis. Dengan demikian, segala gerak langkahnya tidak bersifat spekulatif
dan ragu-ragu serta tidak mudah menyerah terhadap rintangan yang
menghalang.

14. Al-Khibrah As-Siyasiyyah Wa Al-Idariyyah (Kemampuan Managerial)

Di dalam mengelola masyarakat luas, seorang pemimpin tidak hanya cukup


bermodalkan niat yang ikhlas saja, yang hanya merupakan faktor pendorong
semata. Ia juga dituntut untuk meralisasikan niat yang ada dibenaknya itu ke dalam
sejumlah realitas yang dapat dirasakan oleh masyarakatnya. Mengingat luasnya
masyarakat yang harus disantuni, maka seorang pemimpin umat memerlukan
kemampuan managerial yang cermat dan akurat.

Hal ini mengenai kemampuan managerial seorang pemimpin adalah


mengidentifikasi kesamaan visinya dengan bawahan. Hal ini diisyaratkan di dalam
QS. Thaha ayat 29-32, sebagai berikut:

.‫ ا ْشدُ ْد ِّب ِّه أَ ْز ِّري‬.‫َارونَ أَ ِّخي‬


ُ ‫ ه‬.‫يرا ِّم ْن أَ ْه ِّلي‬
ً ‫اج َعل ِّلي َو ِّز‬ ْ ‫َو‬
.‫َوأَ ْش ِّر ْكهُ فِّي أَ ْم ِّري‬
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun,
saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia sekutu
dalam urusanku.” (QS. Thaha: 29-32)

Kesamaan visi ini hendaknya dimiliki oleh kedua belah pihak antara yang
memilih, yakni pemimpin dan yang dipilih, yakni pegawai, untuk memperoleh
kelancaran dan harmonisasi roda kepemimpinan. Dapat dipahami, sebab
ketidaksamaan kualifikasi atau ketidakseragaman visi akan menimbulkan stagnansi
dalam kepemimpinan. Bahkan, akan saling menghancurkan satu dan lainnya, Allah
SWT berfirman:

237
‫ يَا َو ْيلَت ََٰى لَ ْيتَنِي لَ ْم أَت َّ ِخ ْذ‬.‫يال‬
ً ِ‫سب‬
َ ‫سو ِل‬ َّ ‫علَ َٰى يَدَ ْي ِه يَقُو ُل يَا لَ ْيتَنِي ات َّ َخ ْذتُ َم َع‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫ض‬
َ ‫الظا ِل ُم‬ ُّ َ‫َويَ ْو َم يَع‬
ً ُ‫ان َخذ‬
.‫وال‬ ِ ‫س‬ ِ ْ ‫ان ِل‬
َ ‫ْلن‬ ُ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ َ ‫ضلَّنِي‬
َّ ‫ع ِن ال ِذّ ْك ِر بَ ْعدَ إِ ْذ َجا َءنِي ۗ َو َكانَ ال‬ َ َ ‫ لَّقَ ْد أ‬.‫يال‬
ً ‫فُ َالنًا َخ ِل‬

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya,
seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul". Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan
itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika
Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong
manusia.”(QS. Al-Furqan: 27-29)

15. Al-Qudrah ‘Ala At-Tasyiji (Kemampuan Memotivasi)

Berkenaan dengan kemampuan memotivasi ini Allah SWT berfirman:

َّ ‫ص َالةِ َوإِيت َا َء‬


‫الز َكاةِ ۖ َو َكانُوا‬ ِ ‫َو َجعَ ْلنَا ُه ْم أَئِ َّمةً يَ ْهدُونَ بِأ َ ْم ِرنَا َوأ َ ْو َح ْينَا إِلَ ْي ِه ْم فِ ْع َل ْال َخي َْرا‬
َ َ‫ت َوإِق‬
َّ ‫ام ال‬
َ ‫لَنَا‬
َ‫عا ِبدِين‬

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi


petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya
kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (Al-Anbiya: 73)

Ayat di atas mengkisahkan keluarga Ibrahim yang selalu selamat dari


berbagai ancaman pengikutnya. Beliau selalu memberikan motivasi konstruktif
untuk terciptanya masyarakat yang diidamkan sebagaimana do’anya dalam firman
Allah SWT sebagai berikut:

‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم‬


َّ ِ‫ت َم ْن آ َمنَ ِم ْن ُهم ب‬ ْ ‫َوإِ ْذ قَا َل إِب َْراهِي ُم َربّ ِ اجْ عَ ْل َٰ َهذَا بَلَدًا ِآمنًا َو‬
ِ ‫ار ُز ْق أ َ ْهلَهُ ِمنَ الث َّ َم َرا‬
‫ير‬
ُ ‫ص‬ ِ ‫س ْال َم‬َ ْ‫ار ۖ َوبِئ‬
ِ َّ‫ب الن‬ ِ ‫عذَا‬َ ‫ط ُّرهُ إِلَ َٰى‬َ ‫ض‬ ً ‫ْاْل ِخ ِر ۖ قَا َل َو َمن َكفَ َر فَأ ُ َم ِت ّعُهُ قَ ِل‬
ْ َ ‫يال ث ُ َّم أ‬

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.
Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan

238
sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-
buruk tempat kembali". (QS. Al-Baqarah: 126)

Diantara motivasi konstruktif yang diberikan oleh Ibrahim dan keluarganya


itu adalah mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Sesungguhnya peran pemimpin
dan kewajiban seorang pemimpin negara adalah merealisasikan tujuan-tujuan
negara itu sendiri berkisar pada dua poros, yaitu menjaga agama dan mengatur
dunia. 136

F. Urgensi Hubungan Antara Akhlak dengan Kepemimpinan

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Akhlak adalah sifat (potensi) yang dibawa
setiap manusia sejak lahir: artinya, sifat (potensi) tersebut sangat tergantung dari cara
pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya itu positif maka outputnya adalah
akhlak mulia atau Akhlaqul Karimah dan sebaliknya apabila pembinaannya itu negatif,
yang terbentuk adalah akhlak mazmumah (tercela).137

Sedangkan kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan dari seseorang (yaitu


pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-
pengikutnya). Sehingga orang tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki
pemimpin tersebut.

Peran Akhlak sangat penting bagi Kepemimpinan, sebab dari pengertian


kepemimpinan itu sendiri telah jelas bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dari
seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Pemimipin adalah Public Figure bagi
masyarakatnya. Jadi, jika pemimpin nya tidak berakhlak, maka bisa jadi masyarakatnya,
umatnya, bahkan negaranya akan hancur dengan ketiadaan berakhlak tersebut. Namun jika
pemimpinya ber akhlak insyallah masyarakatnya, umatnya, negaranya pun jaya, maju
sukses dengan berakhlak tersebut.

136
Drs. Taufiq Rahman, Moralitas Dalam Perspektif Al-Qur’an, Bandung: 1999 hal. 107-221
137
Alfutuchat, Pengertian Akhlaq Menurut Bahasa, dalam http://alfutuchat.wordpress.com/2010/06/24/1-
pengertian-akhlak-menurut-bahasa.html (download : 18:05 6 juli 2015)

239
Peran Akhlaqul Karimah Dalam Perkembangan
Teknologi
Oleh: Gatra Riady Putra

1. Pengertian Ilmu dan Teknologi

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima (ia telah mengetahui). Kata jadian; ‘ilmu
berarti pengetahuan. Dan memang dalam bahasa Indonesia sehari-hari ilmu diidentikkan
dengan pengetahuan.

Menurut Paul Freedman dari buku The Principlesof Scientific Research memberi
batasan ilmu sebagai berikut: Ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan
melakukannya umat manusia memperoleh sesuatu pengetahuan dan pemahaman yang
senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan
kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada
dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. Jadi, ilmu merupakan
pengetahuan ilmiah yang mempunyai sifat yang sistematik dalam cara memperolehnya.

Perkembangan ilmu tidak melulu tersimpan sebagai pengetahuan ilmiah belaka,


melainkan berlanjut dengan teknologi sebagai perpanjangannya. Teknik (asal katanya
technos = (per)alat(an) yang bisa dihasilkan oleh pengalaman. Pada tingkat peradaban lebih
lanjut, usaha untuk menciptakan berbagai perpanjangan itu didukung oleh kemajuan
teknologi (yaitu sekelompok) disiplin ilmiah yang mendasari perkembangan
teknik. Demikianlan ilmu dan teknologi merupakan dus sisi yang tidak dapat dipisahkan.

Teknologi menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains


(science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua
dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains
mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri

240
dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap
lainnya.

Memahami teknologi tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan alam (nature
science) dan rekayasa (engineering). Ilmu pengetahuan adalah input bagi proses ilmu
rekayasa, sedangkan teknologi merupakan hasil proses rekayasa.

Adapun kondisi umat Islam sekarang telah mengalami kemunduran dalam bidang
sains dan teknologi disebabkan faktor eksternal, seperti pengaruh penjajah yang sengaja
menghancurkan sistem ekonomi lokal yang menyokong kegiatan sains dan industri lokal.

2. Hubungan Kemajuan Teknologi dengan Penerapan Nilai Akhlak

Kemajuan teknologi di dunia berdampak bagi kehidupan kita. Misalnya, internet,


internet sudah menjadi suatu hal yang sangat umum bagi masyarakat di Indonesia.
Buktinya adalah sekarang warnet (warung internet) sudah sangat banyak tersebar di mana-
mana.

Internet sudah memiliki banyak dampak bagi banyak orang. Kita bisa menjadi lebih
berpengetahuan dan berwawasan luas karena dapat mengakses ensiklopedia atau search
engine melalui internet. Internet juga memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan
seluruh orang di dunia, sehingga kita lebih menghargai bahasa dan budaya orang-orang di
belahan bumi yang lain. Kita juga dapat megetahui berita dan kejadian yang sedang terjadi
di dunia. Di samping membawa dampak positif, internet juga membawa dampak negatif
bila disalah gunakan. Contohnya, untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran sesat, agama sesat
seperti satanisme untuk hal-hal yang berhubungan dengan pornografi, dan juga penipuan.
Orang-orang sangat banyak menyalahgunakan internet. Hal ini karena kurangnya akhlak
yang baik. Padahal akhlak sangat diperlukan dalam menyikapi perkembangan teknologi,
dengan bermodal akhlak kita dapat mengambil sesuatu yang bermanfaat dari teknologi
tersebut dan menghindar dari hal yang negatif.

Dalam pandangan ilmu pengetahuan akhlak dapat memberi konstribusi yang sangat
besar dalam menunjang prestasi dan produktifitas seseorang. TIdak sedikit orang yang
merasa bahwa tidak ada kaitannya secara nyata antara akhlak dengan prestasi, jelas ini

241
merupakan pandangan keliru. Bila kita memahami secara sungguh-sungguh nilai-nilai
akhlakul karimah , maka kita akan menemukan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan nilai-
nilai yang saling bersinergi dalam menumbuh kembangkan potensi manusia.

3. Peran Islam dalam Perkembangan Sains dan Teknologi

Peran Islam dalam perkembangan sains dan teknologi pada dasarnya ada dua, yaitu:

Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran
(qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti aqidah Islam
sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai
dengan aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedangkan yang bertentangan
dengannya wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Jadi, yang dimaksud menjadikan
aqidah Islam sebagai landasan sains dan teknologi bukanlah bahwa konsep sains dan
teknologi wajib bersumber kepada al-Qur’an dan Hadits, tetapi yang dimaksud bahwa sains
dan teknologi wajib berstandar pada al-Qur’an dan al-Hadits. Artinya, apapun konsep sains
dan teknologi yang dikembangkan harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, dan tidak
boleh bertentangan dengan keduanya. Jika suatu konsep itu bertentangan maka harus
ditolak. Misalnya saja, teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi
dari organisme sederhana yang selama jutaan tahun berevolusi melalui seleksi alam
menjadi organisme yang lebih kompleks hingga menjadi manusia modern sekarang. Berarti
manusia sekarang bukan keturunan manusi pertama yaitu Nabi Adam as, tapi hasil dari
evolusi organisme sederhana. Hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang
menegaskan, Adam as adalah manusia pertama, dan bahwa seluruh manusia sekarang
adalah keturunan Adam as.

Kedua, menjadikan Syariat Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi
pemanfaatan sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Standard atau criteria inilah
yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme atau
utilitarisme) seperti yang ada sekarang. Standar syari’ah ini mengatur bahwa boleh
tidaknya pemanfaatan sains dan teknologi, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum

242
syari’at Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh syari’ah
Islam. Sebaliknya jika suatu aspek sains dan teknologi telah diharamkan oleh syari’ah
Islam, maka umat Islam tidak boleh memanfaatkannya, walaupun menghasilkan manfaat
sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.

4. Dampak IPTEK Terhadap Kehidupan Manusia

Hampir menjadi pengetahuan umum bahwa dasar dari peradaban modern adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Iptek merupakan dasar dan fondasi yang menjadi penyangga
bangunan peradaban modern barat sekarang ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak
ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa terhadap iptek. Suatu bangsa tidak akan
memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan
mengembangkan iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini,
berlomba-lomba serta bersaing ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.

Diakui bahwa iptek, di satu sisi telah memberikan “berkah” dan anugerah yang luar
biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka”
yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek
telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan manusia. Perubahan ini,
selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi
kehidupan yang tidak disentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah
menimbulkan pergeseran nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan yang pada gilirannya
akan menimbulkan problematika masyarakat modern. Menurut Abuddin Nata terdapat
delapan problematika masyarakat modern akibat kehadiran iptek, yakni:

a) Desintegrasi Ilmu Pengetahuan ; Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya
spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki
paradigma (cara pandang) nya sendiri dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.Keadaan berbagai ilmu pengetahuan yang saling bertolak belakang itu
diakui oleh Max Scheler sebagai dikutip Komaruddin Hidayat. Menurutnya, bahwa
antara satu disiplin ilmu atau filsafat dan lainnya terdapat kerenggangan, bahkan tidak
tahu-menahu, mengingatkan ungkapan pragmented knowledge yang dikemukakan
Hussein Nasr merupakan pangkal terjadinya kekeringan spiritual, akibat pintu

243
masuknya tersumbat. Dengan menyempitnya pintu masuk bagi persepsi dan konsepsi
spiritual, maka manusia modern semakin berada pada garis tepi, sehingga tidak lagi
memiliki etika dan estetika yang mengacu pada sumber ilahi.
b) Kepribadian yang Terpecah (Split Personality); Karena kehidupan manusia modern
dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan
terkotak-kotak itu, maka manusia menjadi pribadi yang terpecah (split personality).
Kehidupan manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering.
Akibatnya tengah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah, karena
dibiarkannya perluasan ilmu-ilmu sosial. Kita sama sekali tidak meremehkan atau
tidak menghargai jasa yang diberikan ilmu pengetahuan eksak dan sosial, tetapi yang
kita inginkan agar ilmu-ilmu tersebut diintegrasikan satu dan lainnya melalui tali
pengikat, yaitu ajaran agama dari Tuhan, sehingga seluruh ilmu itu diarahkan pada
tujuan kemuliaan manusia, mengabdikan dirinya pada Tuhan, berakhlak mulia dan
seterusnya. Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada di bawah kendali
agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan
berlangsungnya proses tersebut, semua kekuatan yang lebih tinggi untuk
mempertinggi derajat kehidupan manusia menjadi hilang, sehingga bukan hanya
kehidupan kita yang mengalami kemerosotan, tetapi juga kecerdasan dan moral kita.
c) Penyalahgunaan Iptek ; Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan
teknologi dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala
implikasi negatifnya sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan membuat senjata
telah diarahka untuk tujuan penjajahan satu bangsa atau bangsa lain, subversi dan lain
sebagainya. Kemampuan di bidang rekayasa genetika diarahkan untuk tujuan-tujuan
jual-beli manusia. Kecanggihan di bidang teknologi komunikasi dan lainnya telah
digunakan untuk menghalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan
sebagainya.
d) Pendangkalan Iman ; Sebagai akibat lain dari pola pikiran keilmuan tersebut di atas,
khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris
menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh oleh informasi yang
diberikan oleh wahyu, bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu itu menjadi bahan
tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.

244
e) Pola Hubungan Materialistik; Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong-
menolong yang didasarkan atas panggilan iman sudah tidak tampak lagi, karena
imannya memang sudah dangkal. Pola hubungan satu dan lainnya ditentukan oleh
seberapa jauh antara satu dan lainnya dapat memberikan manfaat secara material.
Akibatnya is menempatkan pertimbangan material di atas pertimbangan akal sehat,
hati nurani, kemanusiaan dan imannya.
f) Menghalalkan Segala Cara; Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola
hidup materialistic sebagaimana disebutkan di atas, maka manusia dengan mudah
dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jika
hal ini terus terjadi, maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segala bidang, baik
ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya.
g) Stres dan Frustasi; Kehidupan modern yang demikian kompetitif menyebabkan
manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuannya. Mereka
terus bekerja dan bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasilnya yang dicapai
tak pernah disyukuri dan selalu merasa kurang. Apalagi jika usaha dan proyeknya
gagal, maka dengan mudah ia kehilangan pegangan, karena memang tidak lagi
memiliki pegangan yang kokoh yang berasal dari Tuhan.
h) Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya; Terdapat sejumlah orang yang
terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk
memperuntutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah ditempuhnya. Namun
ada suatu saat di mana ia sudah tua renta, fisiknya sudah tidak berday, tenaganya
sudah tidak mendukung, dan berbagai kegiatan sudah tidak dapat dilakukan. Fasilitas
dan berbagai kemewahan hidup sudah tidak berguna lagi, karena fisik dan mentalnya
sudah tidak memerlukan lagi. Manusia yang demikian ini merasa kehilangan harga
diri dan masa depannya.
Di negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini
sudah lama digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang menggagas
integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi antara apa
yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan
oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita
tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga

245
pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan
manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti
yang seluas-luasnya.

Kekhawatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak
cukup mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak
dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar, bahkan
mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan saham bagi
kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan
mengenai raport merah pendidikan nasional kita.

Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena
empat alasan, yaitu:

Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat
yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman
dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, tanpa asas imtak, iptek bisa disalahgunakan
pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai
kemanusiaan.

Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola
dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik, yang sangat
berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita.

Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan jasmani, tetapi juga
membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh karena itu,
penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan
berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan
manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan akhirat.

Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia
menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti harta,
pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia meraih

246
kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan,
hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan
palsu. Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga
keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan
dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat.

5. Penyikapan Terhadap Perkembangan Iptek

Terdapat tiga sikap dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi yang semakin pesat, yakni sikap optimis, pesimis, dan pertengahan antara
keduanya. Bagi kelompok yang optimis kemajuan teknologi justru menguntungkan.
Revolusi informasi yang kini dijajakan merupakan rahmat besar bagi umat manusia.
Penjajaannya yang agresif di televisi, surat-surat kabar dan majalah-majalah yang mewah
begitu menarik. Pada penelitian lingkungan-lingkungan yang terpelajar, yaitu di dalam
jurnal-jurnal dan buku-buku akademis, disebutkan bahwa revolusi informasi akan
menyebabkan timbulnya desentralisasi, dan karena itu akan melahirkan suatu masyarakat
yang lebih demokratis, telah meningkatkan keragaman budaya melalui penyediaan
informasi yang menyeluruh sesuaia dengan keragaman selera dan kemampuan ekonomi,
memberi orang kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan baru,
meningkatkan produksi, dan dengan demikian menciptakan kemakmuran untuk semua
lapisan masyarakat.

Sementara itu, bagi kelompok yang pesimis memandang kemajuan di bidang


teknologi akan memberikan dampak yang negatif, karena hanya memberikan kesempatan
dan peluang kepada orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki
kekuasaan, ekonomi, kesempatan, kecerdasan dan lain-lain. Sementara bagi mereka yang
terbelakang tetap semakin terbelakang. Penggunaan teknologi di bidang pertanian misalnya
akan mnyebabkan keuntungan bagi petani yang memiliki modal saja, sedangkan bagi yang
tidak memiliki modal semakin menghadapi masalah yang serius. Lapangan kerja yang
selama ini banyak menyerap tenaga kerja, sudah mulai ditangani oleh teknologi yang hemat
tenaga kerja, akibatnya terjadilah pengangguran.

247
Teknologi juga akan berbahaya jika berada ditangan orang yang secara mental dan
keyakinan agama belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan-
tujuan yang destruktif dan mengkhawatirkan. Penggunaan teknologi kontrasepsi misalnya
dapat menyebabkan orang dengan mudah dapat melakukan hubungan seksual tanpa harus
takut hamil atau berdosa. Demikian juga kemajuan di bidang teknologi farmasi atau obat-
obatan dapat menyebabkan diciptakannya berbagai bentuk obat yang membahayakan
dengan versi yang berlainan dan dapat diperoleh dengan cara-cara yang mudah.
Selanjutnya kemajuan di bidang teknologi rekayasa genetika, melalui apa yang disebut
dengan bayi tabung, dapat mendorong manusia memproduksi manusia untuk diperjual
belikan sebagaimana menjual buah-buahan, atau binatang.

Selanjutnya kemajuan di bidang teknologi persenjataan menyebabkan orang


berbisnis dalam bidang persenjataan, dan agar bisnis senjatanya ini lancar dan memperoleh
keuntungan, maka diciptakan situasi yang terus menerus konflik dan mencekam, yang pada
akhirnya mereka memerlukan pembelian senjata untuk mempertahankan daya dan
kelangsungan hidupnya. Keadaan ini terus berlanjut hingga dunia tak pernah aman.

Banyak negara yang sudah memiliki senjata-senjata biokimia yang dahsyat seperti
virus yang dapat mengubah kota ramai menjadi kumpulan bangkai, atau spesies baru yang
dapat menghancurkan ribuan hektar padi dalam sehari. Untuk menaklukan suatu negaa atau
kota, cukuplah orang memasukkan 500 gram LSD 25 dalam pusat air minum, dan seluruh
penduduk menjadi gila.

Kemajuan di bidang teknologi komunikasi seperti computer, faximale, internet dan


sebagainya juga akan membuka peluang bagi orang untuk lebih meningkatkan aktivitas
jahatnya dalam bentuk yang lebih canggih. Jaringan-jaringan peredaran oba-obatan
terlarang, tukar-menukar informasi, penyaluran data-data film yang berbau pornografi dan
sebagainya akan semakin intensif pelaksanaanya.

Setelah mengajukan sejumlah kekhawatiran dari dampak teknologi ini, maka kaum
pesimistis ini mengajukan pertanyaan: Bolehkah ilmu pengetahuan dan teknologi yang
netral etika itu terus dikembangkan? Bukannkah sebaiknya dibatasi penggunaannya,

248
sampai masyarakat benar-benar siap menerimanya? Dan kapankah datangnya saat di mana
manusia itu siap menerima kehadiran iptek tampaknya perlu dipersiapkan.

Sementara pertanyaan tersebut belum terjawab telah muncul pula persoalan baru.
Saat ini para ilmuwan sosial telah mencapai pula teknik-teknik pengendalian manusia
melalui teori-teori motivasi, proses persuasi, dan ketidaksadaran manusia. Pengetahuan
mereka telah dimanfaatkan oleh produsen untuk menyeret jutaan manusia kepada pola
konsumtif yang irasional, kepada apa yang disebut oleh Reinhold Neibuhr sebagai
perbudakan proses produksi.

Sikap manakah dari ketiga sikap yang dikemukakan di atas itu yang akan diambil,
itu tampaknya amat bergantung kepda cara pandang dan sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Bagi umat Islam yang selalu diajarkan bersikap adil
terhadap berbagai masalah, tampaknya sikap pertengahan yang perlu diambil, yaitu sikap
yang dari satu sisi mau menerima dan memanfaatkan kemajuan di bidang iptek, sedangkan
pada sisi lain kita berusuha menjaga agar iptek tidak disalahgunakan.

Kegiatan di bidang dakwah, jurnalistik, pengkajian islam, perbaikan masyarakat,


dan sosial kemasyarakatan lainnya akan lebih efektif dan berhasil secara efisien jika
didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga persaudaraan seiman dan
seagama, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad, bahwa umat Islam ini adalah sebagai
suatu bangunan jasad yang satu, dapat dilahirkan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun, bagaimanakah agar kegiatan-kegiatan yang bersifat positif dilakukan
umat, adalah bergantung pada sikap mental dan kepribadian umat.

Penggunaan iptek modern yang demikian itu masih lebih banyak dikendalikan oleh
orang-orang yang secara moral kurang dapat dipertanggung jawabkan. Sikap hidup yang
mengutamakan materi (materialistik), memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat
(hedonistik), ingin menguasai semua aspek kehidupan (totaliteristik), hanya percaya pada
rumus-rumus pengetahuan empiris saja, serta pahm hidup positifistis yang tertumpu pada
kemampuan akal pikiran manusia tampak lebih menguasai manusia yang memegang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di tangan mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu,
ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat mengkhawatirkan. Mereka akan

249
menjadi penyebab kerusakan di daratan dan di lautan sebagaimana diisyaratkan al-Quran
(Lihat QS.al-Rum, 30: 41).

Dalam kaitan ini terdapat tiga keadaan dalam mensikapi hal ini, menurut Mehdi
Ghulsyani (1995), dalam menghadapi perkembangan Iptek ilmuwan muslim dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok; (1) Kelompok yang menganggap Iptek moderen
bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil Iptek modern dengan mencari ayat-
ayat Al-Quran yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan Iptek moderen, tetapi
berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen
yang tidak Islami, (3) Kelompok yang percaya adanya Iptek Islam dan berusaha
membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi yang
mengintrodusir istilah “Islamisasi ilmu pengetahuan”. Dalam konsep Islam pada dasarnya
tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Sebab pada
dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan “jalan” untuk
menemukan kebenaran Allah itu sendiri. Sehingga Iptek menurut Islam haruslah bermakna
ibadah. Yang dikembangkan dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk Iptek yang mampu
mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritualitas, martabat manusia secara
alamiah. Bukan Iptek yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia ketingkat
yang lebih rendah martabatnya.

Dari uraian di atas “hakekat” penyikapan Iptek dalam kehidupan sehari-hari yang
Islami adalah memanfaatkan perkembangan Iptek untuk meningkatkan martabat manusia
dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT. Kebenaran Iptek menurut Islam
adalah sebanding dengan kemanfaatannya Iptek itu sendiri. Iptek akan bermanfaat apabila:

a. Mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya


b. Dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik)
c. Dapat memberikan pedoman bagi sesame
d. Dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan
mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.

250
Peranan Dakwah Dalam Memperbaiki Moralitas
Anak Jalanan
Oleh: Rifdah Affifah

1. Pengertian Judul dan Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini, berjudul Peranan Dakwah dalam Memperbaiki Moralitas Anak Jalanan.
Kaitannya dengan ini dan upaya untuk memperoleh pemahaman yang jelas tentang judul
tersebut, serta untuk menghindari kesalahpahaman (miss undertanding) terhadap ruang
lingkupnya, maka perlu dikemukakan beberapa variabel penting yang menjadi fokus utama
penelitianya, yakni ;

a. Peranan Dakwah

Peranan dapat berarti; bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Sedangkan
dakwah dapat berarti penyiaran dan atau propaganda. Dengan batasan seperti ini, maka
peranan dakwah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tugas utama yang harus
dilaksanakan dengan cara menyiarkan pesan-pesan agama melalui kegiatan pengajian.

b. Memperbaiki Moralitas

Memperbaiki artinya, membetulkan (kesalahan, kerusakan) atau menjadikan lebih


baik. Sedangkan moralitas adalah tata susila dan ajaran tentang baik buruknya perbuatan.
Kata “moral” tersebut kemudian melahirkan term “moralitas” yang berarti; sopan santun
atau segala sesuatu yang ber-hubungan dengan etika. Dengan batasan pengertian seperti
ini, maka dirumuskan bahwa memperbaiki moralitas adalah merubah penampilan dan
perilaku negatif ke arah yang lebih baik.

c. Anak Jalanan

251
Mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan
mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung
yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekedar buat
membeli makanan, pengamen di lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah,
bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan bencoleng. Anak-anak jalanan yang
masih polos sudah merasakan susah dan kejamnya kehidupan di negara Indonesia ini. Baju
compang camping dan kumuh selalu menyelimuti badan-badannya yang masih kecil.

Dalam benak anak-anak jalanan mungkin masih terlintas keinginan untuk sekolah.
Keinginan mereka untuk merubah nasibnya. Tapi keinginan itu hanya menjadi impian
belaka yang entah kapan impian itu akan terwujud. Untuk bersekolah mungkin adalah
prioritas kehidupan mereka yang terakhir, karena prioritas yang paling utama adalah
mencari sesuap nasi. Anak-anak jalanan sudah terbiasa untuk bekerja mulai dari mengamen
di jalanan, mengemis, mengelap mobil, ojek payung, dan lain-lain.

Anak-anak yang masih polos dan lugu sering kali hanya disalahgunakan oleh pihak
tertentu hanya untuk mencari keuntungan semata. Belum lagi, kehidupan mereka di jalanan
yang berhubungan dengan tindakan-tindakan kriminal, mulai dari mencopet, merokok, dan
lain-lain. Tidak hanya itu, anak-anak jalanan bisa menjadi sasaran dari keganasaan orang-
orang yang lebih dewasa darinya. Belum lagi ketika mengamen dan meminta-minta di
jalanan dan lampu merah nyawa seringkali menjadi ancaman. Begitu juga ketika ada razia,
anak-anak jalanan yang tidak tahu apa-apa menjadi korban sasaran dari razia tersebut.

Sungguh mengenaskan potret kehidupan anak-anak di negara Indonesia ini. Karena


hampir sebagian anak-anak yang tumbuh di negara Indonesia ini menjadi anak-anak
jalanan. Tidak hanya itu, kedinginan di kala malam dan kelaparan selalu menghantui
kehidupan mereka. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dari pemerintah. Pemerintah
sudah seharusnya mendirikan sekolah-sekolah gratis bagi anak-anak jalanan. Meskipun di
zaman sekarang sudah ada sekolah gratis, tapi kontribusinya belum sepenuhnya sampai di
tangan anak-anak jalanan. Dengan adanya sekolah, maka anak-anak jalanan dapat
membaca dan menulis serta dapat berpikir mandiri untuk maju lebih depan agar tidak
mudah dibohongi oleh pihak tertentu yang hanya mencari keuntungan semata saja.

252
d. Permasalahan yang dihadapi oleh Anak Jalanan

Secara umum permasalahan yang di hadapi oleh anak jalananan dapat dikategorikan
menjadi enam, yaitu :
o Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga. Hal itu
dilakukan justru atas perintah orang tua mereka untuk turun ke jalan mencari
tambahan pemasukan keluarga.
o Tempat tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga
perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.
o Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan
peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak.
o Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari
kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan
tidak terkoordinasi dengan baik.
o Peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah.
o Lembaga-lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong partisipasi
masyarakat menangani masalah anak jalanan.

2. Konsepsi Dakwah

Untuk mengetahui konsepsi dakwah, maka terlebih dahulu penulis akan mengemukakan
pengertian dakwah itu sendiri. Dalam hal ini, pengertian dakwah secara etimologi berasal dari
bahasa Arab, yakni da’watun (‫ )دعوة‬yang artinya; seruan, panggilan, ajakan dan jamuan. Kata
dakwah tersebut, kini telah menjadi perbendaharaan Bahasa Indonesia, yakni “dakwah” yang
berarti; penyiaran. Selanjutnya, kata dakwah dalam Ensiklopedia Islam diartikan sebagai
“ajakan kepada Islam”. Sedangkan pengertian dakwah secara terminologi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Dr. H. Harifuddin Cawidu adalah sebagai berikut: Dakwah didefinisikan
sebagai upaya mengajak atau menyeru manusia kepada kebaikan dan kebenaran serta

253
mencegah dari kekejian, kemungkaran dan kebatilan untuk mencapai keselamatan,
kemaslahatan, kebahagiaan dunia dan akhirat.

Jadi, dakwah secara substansial pada dasarnya adalah suatu proses yang
berkesinambungan berupa aktifitas-aktifitas dinamis yang mengarah kepada perbaikan,
pembinaan dan pembentukan masyarakat yang bahagia (muflihun) melalui ajakan yang
kontinyu kepada kebaikan dan ma’ruf serta mencegah mereka dari hal-hal yang munkar dalam
arti yang seluas-luasnya. Dalam ungkapan lain, dapat juga dikatakan bahwa dakwah adalah
upaya tanpa henti untuk mengaktualisasikan dan mengimplementasikan seluruh nilai dan
ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Berdasar dari pengertian di atas, maka dapat
diketahui bahwa tujuan dakwah adalah untuk membina dan membentuk masyarakat yang
bahagia sesuai dengan tuntutan agama. Pada sisi lain, Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa
tujuan dakwah adalah mengubah perilaku sasaran dakwah agar mau menerima ajaran Islam
dan mengamalkannya dalam dataran kenyataan kehidupan sehari-hari baik yang bersangkutan
dengan masalah pribadi, keluarga, maupun sosial kemasyarakatan.

Jika dianalisis lebih lanjut, maka implementasi dari tujuan dakwah tersebut adalah
sebagai suatu kegiatan, ajakan baik dalam bentuk tulisan dan lisan, maupun tingkah laku, dan
sebagainya. Hal itu dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang
lain, baik secara individual maupun secara berkelompok agar timbul dalam dirinya suatu
pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai
message (pesan) yang disampaikan kepada mereka tanpa adanya unsur paksaan.

Berdasar dari batasan pengertian dakwah dan tujuannya yang telah dipaparkan, maka
dapat diketahui bahwa konsep dasar dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan, motif,
rangsangan, serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh
kesadaran demi keuntungan dan kebahagiaan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di
akhirat kelak.

Secara normatif, Islam telah memberikan petunjuk tentang konsep dakwah yang antara
lain menjelaskan fungsi-fungsi yang diperankan oleh dakwah secara umum. Adapun dalil
yang terkait dengan ini adalah QS. al-Ahzāb (33): 45-46:

254
)٥٤( ‫منيرا‬
ً ‫) وداعيًاالى هللا باذن ِه وسرا ًجا‬٥١( ‫وتذيرا‬
ً ّ ‫ياايّهاالنّبي انّاارسلناك ساهدًا ومب‬
‫ش ًرا‬

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan
untuk jadi cahaya yang menerangi.”

Dengan memperhatikan ayat di atas dan kaitannya dengan uraian-uraian terdahulu,


maka dapat dirumuskan lebih lanjut mengenai konsepsi dakwah, sebagai berikut:

1. Dakwah adalah proses penyelenggaraan suatu usaha atau aktivitas yang dilakukan secara
sadar dan berencana.
2. Usaha yang diselenggarakan itu, berupa; amar ma’ruf perbaikan dan pembangunan
masyarakat; nahi munkar, menutup dan memberantas segala bentuk kemungkaran dalam
masyarakat.
3. Proses penyelenggaraan dakwah dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu
kebahagiaan hidup dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.
4. Teknik pelaksanaan dakwah adalah secara tulisan, misalnya melalui buku, koran dan
selainnya; juga secara lisan, misalnya melalui mimbar, forum diskusi dan selainnya.

Berdasar pada konsepsi dakwah di atas, maka dapat dipahami bahwa dakwah
merupakan aktualisasi salah satu fungsi kodrat seorang Muslim, fungsi kerisalahan, yang
merupakan proses pengkondisian agar seseorang atau masyarakat mengetahui, memahami,
mengimani dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.

Dalam ungkapan lain, bahwa dakwah adalah ikhtiar atau upaya untuk merubah suatu
situasi menjadi situasi yang lain, yang lebih menurut tolak ukur ajaran Islam. Pengkondisian
dalam kaitannya dengan perubahan tersebut, berarti upaya untuk menumbuhkan kesadaran
dan kekuatan pada diri obyek dakwah juga harus mempunyai makna bagi pemecahan masalah,
pertumbuhan dan perkembangannya, kemudian diarahkan kepada pemahaman kebutuhannya,
demi tercapainya tujuan hidup Muslim.

3. Konsepsi Moralitas

255
Perkataan “moralitas” berasal dari kata “moral”. Kata moral sendiri, berasal dari bahasa
latin, yakni “mores”. Ia merupakan kata jamak dari “mos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Sehingga, moral
merupakan suatu sikap yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima tentang tindakan
manusia, mana yang baik dan wajar. Dari pengertian di atas dapat digambarkan suatu
pengertian bahwa moralitas adalah sesuatu yang dapat menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju
oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.
Oleh karena itu, moralitas merupakan totalitas dari kaidah pasti dan jelas. Ia dapat
diumpamakan semacam cetakan dengan batas-batas yang jelas. Kita tidak perlu menyusun
kaidah-kaidah tersebut pada saat kita bertindak, sebab kaidah itu sudah ada, sudah dibuat dan
hidup serta berlaku di sekitar kita.

Bilamana bertolak dari ajaran agama Islam, maka akan didapati kurang lebih 53 sub
bahasan dalam Al-Qur’an yang membahas tentang pendidikan moral Islam. Demikian
pentingnya pendidikan moral, karena di dalamnya diajarkan berbagai prinsip dalam kehidupan
manusia, misalnya kejujuran, kebenaran, pengabdian kepada Allah dan hubungan dengan
sesama manusia serta lingkungan alam sekitar. Dari sudut apapun manusia mendasarkan
definisi tentang moralitas, maka definisi itu akan menunjukkan bahwa moralitas itu sangat
penting bagi setiap individu, kelompok masyarakat dan bangsa. Bahkan ukuran peradaban
suatu bangsa dapat diukur dari sejauh mana tingkat moralitas atau akhlak penduduknya. Moral
atau akhlak bukanlah sekedar menginformasikan mana yang baik dan mana yang buruk.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan dalam
bentuk kebaikan-kebaikan yang mendatangkan manfaat bagi sesama manusia.

Antara moral dan akhlak terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah,
keduanya membahas tentang baik dan buruk dari tingkah laku manusia. Sedang perbedaannya
adalah, apabila tingkah laku manusia dilihat dari aspek umum dan pemahaman barat, maka ia
cenderung disebut moral, sedang apabila dilihat dari ajaran Islam, maka ia disebut akhlak,
baik yang termasuk akhlak mulia (akhlak al-mahmudah) ataupun akhlak yang tercela (akhlak
al-mazmumah).

256
Sehubungan dengan itu, maka moralitas yang dimaksudkan di sini adalah sikap
keimanan sebagai dasar ajaran Islam dalam wujud tingkah laku yang benar dalam
menegakkan perintah agama sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah Saw yang
diriwayatkan oleh Dawud berikut ini:

)‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أكمل المؤمنين ايمانًا أحسنهم خلقًا (رواه أبو داود‬:‫عن أبى هريرة َ قال‬

"Dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: orang mukmin yang
paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya."

Hadis di atas menunjukkan suatu sikap agar umat Muslim hendaknya senantiasa
berbudi pekerti luhur. Karena yang demikian itulah yang terbaik untuk membina moral
masyarakat.

Dalam Islam, walaupun kaidah-kaidah tingkah laku bersumber dari wahyu, namun
tidak pernah bertentangan dengan pendapat akal sehat. Yang diajarkan wahyu adalah kebaikan
yang sejalan dengan akal, dan yang diajarkan sebagai kebaikan menurut wahyu adalah
kebenaran menurut akal sehat.

Karena itu, moralitas termasuk gerakan dalam jiwa seseorang yang menjadi sumber
perbuatannya yang bersifat alternatif, baik atau buruk, bagus atau jelek sesuai dengan
pengaruh pendidikan yang diberikan kepadanya. Dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan akhlak adalah suatu sifat yang terpatri dalam hati seseorang yang dilakukan secara
spontan tanpa direncanakan dan dipikirkan terlebih dahulu, baik berupa kebaikan ataupun
keburukan sesuai keinginannya.

4. Urgensi Dakwah terhadap Perbaikan Moralitas

Dr. H. Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa dakwah merupakan jantung dari agama,
karena kehidupan agama sangat tergantung pada gerak dinamis dari aktifitas dakwah yang
berjalan terus menerus tanpa akhir. Tanpa kegiatan dakwah, agama akan mengalami
kevakuman dan stagnasi dalam perkembangannya. Oleh sebab itu, bila dakwah berhenti,
berarti lonceng kematian agama telah berbunyi. Sehubungan dengan pernyataan ini di atas,

257
maka kegiatan dakwah merupakan kewajiban umat Islam secara keseluruhan baik secara
individual sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing, maupun secara
kelompok atau kelembagaan yang diorganisasikan secara rapi dan modern, dikemas secara
apik dan profesional serta dikembangkan terus menerus mengikuti irama dan dinamika
perubahan zaman dan masyarakat. Dalam QS. Saba (34): 28 Allah SWT berfirman:

ِ َّ‫ِيرا َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس َال َي ْعلَ ُمون‬ ً ‫ِيرا َونَذ‬ ِ َّ‫س ْلنَاكَ إِ َّال كَافَّةً ِللن‬
ً ‫اس بَش‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.”

Ayat di atas memberikan isyarat kepada setiap umat bahwa dalam melakukan dakwah,
akan ditemukan suatu kondisi berupa sejumlah orang sebagai sasaran dakwah yang tiada
peduli terhadap visi, misi, dan isi dakwah. Hal ini merupakan suatu tantangan yang
menggairahkan umat. Dikatakan sebagai tantangan yang menggairahkan karena umat dituntut
untuk meng-gunakan kaifiyat, mengedepankan masalah dan marhalah (tahapan-tahapan)
dakwah yang berkaitan dengan kondisi obyektif kelompok sasaran, serta pada era atau zaman
yang bagaimana mereka berada. Dengan demikian, dalam dakwah Islamiyah senantiasa
mengandung muatan reformatif dan aktualitatif. Berdasar pada keterangan di atas, maka
dipahami bahwa salah satu muatan dakwah adalah harus reformatif dan aktualitatif. Jadi, jika
dikaitkan dengan masalah moralitas, maka fungsi dakwah di sini adalah berusaha untuk
mereformasi moralitas buruk menjadi moralitas yang baik. Atau dengan kata lain, urgensi
dakwah di sini adalah berusaha untuk memperbaiki moralitas.

Perbaikan moralitas merupakan bagian yang sangat urgen dalam Islam. Oleh karena
itu, urgensi dakwah di sini, terletak pada usaha pembimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya moralitas utama menurut ukuran-
ukuran Islam. Moralitas utama yang dimaksudkan di sini adalah kepribadian Muslim yang
berasaskan nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan dan berbuat serta bertanggung
jawab berdasarkan nilai-nilai Islam.

258
Istilah “konsepsi” berasal dari bahasa Inggris, yakni conception yang secara leksikal
berarti “pembentukan ide”, dan secara terminologis berarti pengertian yang berkenaan dengan
obyek yang abstrak dan universal. Di dalamnya tidak terkandung pengertian dari obyek-obyek
yang konkrit atau khusus. Untuk obyek-obyek yang terakhir ini, dipergunakan istilah
“konsep’, yang juga berasal dari bahasa Inggris yang bermakna leksikal “ide pokok yang
mendasari suatu gagasan” dan “gagasan atau ide umum”. Sebagai istilah, selain makna
terdahulu, kata tersebut juga dipergunakan dengan makna “defenisi” dan konstruksi mental
yang menggambarkan titik tertentu dari sebuah pandangan dan tertuju pada aspek-aspek
tertentu dari sebuah gejala tanpa memperhatikan aspek lainnya. Disadur dari H. Abd. Muin
Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik.

259
Etika Berdakwah Dalam Lingkup Keluarga
Oleh: Arif Budiman

A. Etika Berdakwah

Dalam berdakwah etika yang baik sangatlah penting dimiliki bagi orang-orang yang
hendak menyampaikan dakwahnya, salah satunya adalah etika dalam berbahasa, di dalam Al-
Qur’an dijelaskan, ada tujuh etika bahasa dalam berdakwah, diantaranya:

1. Perkataan yang ma’ruf


Maksud ma’ruf di sini adalah mengenal, pembiasaan. Jadi, sebaiknya sebelum kita
berdakwah, kita berusaha mengenal orang-orang di sekitar kita, di lingkungan kita berada.
Membangun kedekatan personal lebih dulu dengan mereka. Bagaimana kebiasaan mereka,
kebudayaan mereka, dan lain sebagainya. Bukanlah hal yang baik jika kepada orang asing
yang baru saja kita temui di jalan, tiba-tiba kita bicara masalah khilafah, syariat Islam dan
sebagainya, tanpa kita tahu bagaimana karakter, pemahaman, atau pola pikir orang
tersebut.

2. Perkataan yang benar


Ini tidak perlu penjelasan lebih panjang. Sudah menjadi kewajiban kita untuk berbicara
dengan kebenaran dan kejujuran.

3. Perkataan yang baligh, fasih, dewasa, menyentuh hati


Menggunakan pilihan kata yang menyentuh kepada hati seseorang juga menjadi
keutamaan. Karena dalam banyak kisah-kisah Islam kita temukan, seseorang menerima
kebenaran Islam justru bukan dari perdebatan dalil-dalil, tetapi justru ketika hatinya
tersentuh dengan kata-kata dan akhlak mulia Rasulullah saw dan para pengikutnya.

4. Perkataan yang karim, mulia, hormat, serta sopan


Lagi-lagi, kesantunan juga harus tetap diutamakan. Pemilihan kata yang santun,
menunjukkan rasa hormat pada lawan bicara. Ini juga akan menghadirkan respect dari

260
lawan bicara kepada kita. Ketika mereka merasa dihargai, maka insyaAllah kebenaran yang
ingin kita sampaikan akan lebih bisa diterima.

5. Perkataan yang memudahkan mudah dimengerti, mudah dipahami


Allah SWT menurunkan perintah-perintahNya dalam Al-Qur’an menggunakan
bahasa Arab agar bisa mudah di mengerti manusia. Apa gunanya menggunakan bahasa
yang tinggi tapi tak bisa dipahami? Pesan kebenaran yang ingin kita sampaikan bukannya
diterima, malah justru akan ditinggalkan.

6. Perkataan yang lembut


Kelembutan selalu menjadi senjata yang ampuh dalam memenangkan hati yang
keras. Memang ini bukan hal yang mudah. Tapi, bukan berarti kita harus menyerah untuk
terus mencoba memperlembut bahasa kita. Karena keras dengan keras, hanya akan
melahirkan kehancuran.

7. Perkataan yang berbobot


Terus belajar dan membekali diri dengan pengetahuan. Shalat Tahajud menjadi
sarana ampuh agar kita terus berada dalam lindungan Allah Ta’ala, dan selalu mendapat
karunia agar kita bisa menyampaikan kebenaran dengan elegan dan tentu saja sarat dengan
ilmu. Banyak penelitian yang sudah mengemukakan manfaat dari bangun malam untuk
melaksanakan shalat Tahajud.

Ketujuh etika ini mungkin bisa dikatakan sedikit dari segi kuantitas, tapi berat dari segi
kualitas. Menerapkannya butuh doa dan usaha yang terus menerus. Dan saya rasa sih, ngga
cuma untuk berdakwah saja etika bahasa ini harus diterapkan. Dalam keseharian kita berbicara
dengan siapapun, kapanpun, dan membicarakan apapun, ketujuh etika bahasa ini harus
diterapkan. Karena menurut saya, bahasa menunjukkan karakter kita sebagai manusia, pun
sebagai bangsa. Kalau cara berbahasa kita baik, insya Allah karakter kita pun menjadi baik.138

B. Urgensi Berdakwah Kepada Orang Tua

138
Majalah Muslimah/Edisi XVII

261
Berdakwah merupakan kewajiban yang Allah ‘azza wajalla bebankan kepada siapa
saja yang memiliki ilmu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang
benar.139 Allah yang memikulkan ikatan perjanjian yang kuat di atas pundak-pundak
mereka untuk menyampaikan ilmunya kepada manusia secara umum dan tidak
menyembunyikannya. Sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam al-Qur’an:

              

       

“Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab
(yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya.’….” (Q.S. Ali-Imron [3]: 187)

Saat ini fenomena dakwah dalam keluarga telah menjadi sebuah dilema, apalagi bila
harus ditinjau dalam masyarakat yang lebih luas. Bila dalam sebuah keluarga orang tua
lebih alim dari anak-anaknya maka mungkin dilema itu tidak sedemikian menyiksa, sebab
dengan kedudukan serta wibawa para orang tua yang tinggi akan dengan mudah mereka
bisa melangsungkan kewajiban dakwah ini kepada anak-anaknya. Namun, ternyata fakta
menunjukkan bahwa banyaknya anak yang lebih berilmu ketimbang bapak maupun
ibunya, sehingga dakwah menjadi sebuah dilema. Di mana dakwah yang harus
dilakukan oleh anak-anak kepada orang tuanya terbentur dengan keagungan dan ketinggian
serta keluhuran kedudukan orang tua.140

Contoh kasus yang sering ditemui seperti:

Fulanah adalah seorang muslimah, yang sudah lama mengkaji ilmu Dien. Ia
mempunyai konflik yang cukup berat dengan orang tuanya, mungkin karena sedikitnya
komunikasi dengan orang tua, maka ia kurang bisa dalam bermuamalah dengan orang
tuanya, atau mungkin juga karena kurang fahamnya tentang bagaimana pengalaman dari

139
Majalah As-Sunnah, edisi 5
140
Sumber: Shahih Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury

262
Birrul-walidain (Berbakti kepada kedua orang tua). Masalahnya, ia akan dijodohkan
dengan lelaki pilihan orang tuanya, yang menurutnya tidak sepaham dalam hal manhaj
(pemahaman). Alasan ini adalah terpuji di dalam Islam, namun cara pendekatan dan cara
menolak kepada orang tuanya yang mungkin kurang baik. Akibatnya terjadi cekcok antara
ia dan orang tua.

Atau dalam kondisi lain (masih dalam masalah yang sama), seorang fulanah yang
menginginkan walimahannya berjalan secara syar’i, akan tetapi orang tuanya tidak mau
karena tidak mengerti dengan maksud putrinya yang beda dari cara kebanyakan orang.
Karena perbedaan pendapat ini, seringkali membuat fulanah dan orang tuanya tersebut
selalu cekcok dan berdebat.

Kenyataan ini makin meyakinkan kita akan arti penting hikmah atau bijak dalam
berdakwah, terlebih lagi dakwah kepada keluarga terutama orang tua. Hikmah artinya
seseorang harus benar-benar memahami dan menguasai keadaan dengan sebaik-
baiknya, sehingga ia akan menempatkan segala urusan pada posisinya dan
menyelesaikan masalah sekadar dengan proporsinya. Karena tidak menutup
kemungkinan, dakwah akan berakibat kedurhakaan anak kepada orang tuanya bila
kehilangan hikmah di dalamnya. Sebagaimana ia mungkin menimbulkan sikap menentang
dan mengingkari kebenaran bila dakwah itu kering dan kasar tiada sedikitpun kelembutan
hikmah padanya. Maka harus selalu diingat bahwa Allah memerintahkan agar dakwah
dilakukan dengan penuh hikmah, sebagaimana dalam firmanNya:

                 

       

Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik… (QS. an-Nahl: 125)

263
                 

         

“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’, janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” (Q.S. Al-Isra’:23)

Berkata Imam Ali Radiyallahu ‘anhu yang juga Mujahid dan Qatadah dalam
menafsirkan ayat di atas: “Jaga diri kalian dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga
kalian dengan nasehat kalian. Dan sesungguhnya penjagaan itu tidak akan sempurna
kecuali dengan iman dan amal yang baik setelah berupaya menjauhi syirik dan perbuatan
maksiat. Semuanya ini menuntut adanya ilmu dan persiapan diri untuk mengamalkan apa
yang telah diketahui.” (Lihat Aysaru At-Tafasir li Kalami Al-’Aliyul Kabir juz 5, hal. 387,
ta’lif Abu Bakar Jabir Al-Jazairi)

Al Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun
ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami, maka
bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami? Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang Allah larang pada kalian
untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan.”

Diantara beberapa hikmah bagi para para anak yang mendakwahi orang tuanya yaitu:

1. Berdakwahlah dengan akhlak

Jika kita berada dalam kondisi yang orang tua kita pemahamannya kurang
terhadap agama dibanding kita, maka berdakwah dengan menggunakan dalil bukan
solusinya. Karena akan terasa sulit menyentuh hati orang tua jika hanya menggunakan

264
dalil. Maka gunakanlah akhlak yang baik kepada orang tua. Tunjukkanlah, bahwa
dengan mentaati syari’at diri kita akan merasa jauh lebih baik dan lebih taat kepada
orang tua. Selebihnya biar orang tua yang menilai sendiri kita sebagai anaknya. Dan
insyaAllah, ini akan lebih menyentuh hati orang tua.141

2. Hendaknya tidak tergesa-gesa dalam mengharap hasil dakwahnya dan bersabar

Maka bersabar sangatlah dibutuhkan. Dakwah itu intinya proses, tidak ada yang
instan. Sedikit demi sedikit, berikanlah pemahaman kepada orang tua. Misalkan tentang
urgensi mengapa kita harus taat kepada Allah ta’ala dan Rasulullah SAW, mengapa
sebagai seorang muslimah harus berpakaian syar’i.

3. Hendaknya memahami keadaan orang tuanya

Karena tujuan kita adalah untuk memahamkan orang tua, maka haruslah kita
memahami keadaan orang tua. Hendaknya selalu diingat bahwa orang yang tidak tahu
tidaklah sama dengan orang yang tahu tetapi tidak melaksanakan apa yang ia tahu.
Begitu juga orang yang menentang tidak seperti orang yang lunak lagi mudah berserah
diri pada kebenaran. Sehingga harus dipahami bahwa dakwah yang disampaikan harus
sesuai dengan setiap situasi dan kondisi yang ada. Ajarkan dan tuntun orang tua tentang
Islam dengan lemah lembut dan baik.

4. Jaga terus komunikasi dengan orang tua

Ini penting. Sebagai anak tentunya banyak hal atau urusan kita yang tidak akan
pernah bisa lepas dari orang tua, meskipun kita selalu merasa ‘bisa sendiri’. Banyak
sekali fenomena yang penulis temukan tentang anak yang kurang menjaga komunikasi
dengan orang tuanya, terlebih masalah agama, masa depan, dan sebagian besar masalah
tentang menentukan pilihan karena tidak dari awal mengkomunikasikan kepada orang
tua secara baik-baik. Dan akibatnya terjadi salah paham. Seringlah ajak orang tua
berdiskusi mengenai suatu permasalahan.

141
Abu Ammar al-Ghoyami yang berjudul “Dilema Dakwah Dalam Rumah Tangga”

265
5. Doakan orang tua

Ini super penting. Ketika kita merasa sudah berupaya sekuat tenaga.
Menggunakan berbagai cara dan jalur alternatif berdakwah kepada orang tua agar orang
tua bisa paham, namun hasilnya tetap saja dirasa nihil. Orang tua sangat keras hatinya.
Maka, cara yang paling ampuh adalah dengan doa. Berdoa agar kedua orang tua kita
selalu diberi hidayah, dilembutkan hatinya dan diterangkan mata batinnya untuk
menerima setiap kebenaran. Kita semua punya kewajiban mendoakan agar Allah
memberikan hidayah kepada orang tua sebelum mereka meninggal dan mendakwahi
mereka sekuat tenaga, agar paling tidak, orang tua kita bisa mengenal akidah Islam yang
benar dan bertauhid dengan benar serta menjalankan ibadah shalat sebelum
meninggalnya. Lakukanlah pendekatan dan berusahalah menjelaskan kepadanya
hakikat Islam dan akidahnya, sehingga bisa terlepas dari kesyirikan, bid’ah dan dosa-
dosa yang lain.

Adapun hikmah bagi setiap yang didakwahi, yakni para orang tua, hendaknya
memahami kenyataan di mana memang mereka membutuhkan penerangan ilmu, sehingga
anak-anak yang penuh hikmah itu harus diterima dengan lapang dada dan jiwa yang
menerima. Janganlah ketinggian kedudukan dan martabat di atas orang yang
menyampaikan ilmu kepadanya dengan penuh kelembutan dan sejuknya hikmah justru
menjadikan diri menjadi silau menerima kebenaran yang merupakan pelita penerang jalan
hidup menuju keridhoan Allah azza wajalla.

Bukankah salah satu hal terindah di dunia ini adalah ketika kita mencintai orang tua
kita karena Allah, maka orang tua kita juga mencintai kita karena Allah? Karenanya,
sesuatu yang sangat manis adalah ketika kita bersama-sama (orang tua) menjalani ketaatan
sesuai apa yang telah Allah dan Rasulullah syari’atkan. Semoga kita semua diberi
kemudahan dalam menyampaikan dakwah yang haq ini pada orang tua kita. Aamin

C. Sasaran Dakwah Keluarga

266
               

      

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

1. Mengembalikan keluarga ke dalam pangkuan Islam yang benar

Kondisi keluarga yang Islami dapat mempengaruhi ketenangan sang dai yang
tentunya akan berpengaruh juga terhadap langkah-langkah dakwah yang dijalankan.
Dukungan dan peran serta keluarga di dalam dakwah pun sangat penting dan berarti. Hal
ini bisa kita lihat contohnya ketika peristiwa hijrah, bagaimana peran keluarga Abu Bakar
yang sangat penting. Mulai dari Abu Bakar sendiri, putranya Abdullah, putrinya Asma’,
dan ‘Aisyah serta pembantunya Amir. Kondisi keislaman keluarga juga sangat
berpengaruh terhadap kewibawaan sang Da’i. Bagi kalangan awam, ketsiqahan mereka
terhadap seorang dai seringkali dipengaruhi oleh kondisi keluarga dai tersebut. Ketika
keluarga seorang dai kondisinya jauh dari nilai-nilai, tak jarang orang akan mencemooh,
“Uruslah keluargamu, tak usah mengurus orang lain!”

2. Menjadi kekuatan pendukung

Kalaupun keluarga tak mengikuti jejak sang Da’i untuk berislam secara benar,
diharapkan mereka mendukung terhadap langkah dai atau paling tidak mereka tidak
menhalangi. Kita bisa mengambil ibrah dari sikap Abi Thalib terhadap dakwah Nabi saw.
Di sana beliau melindungi Nabi SAW. sekalipun tidak mau masuk Islam. Hambatan dan
pertentangan dari keluarga dapat memperlambat langkah seorang dai, terutama ketika dai
tersebut belum bisa mandiri atau belum menikah. Sering terjadi “kemoloran” proses
pernikahan akibat hambatan dari keluarga calon mempelai.

267
D. Strategi Dakwah Keluarga

Dakwah kepada keluarga bukanlah sesuatu yang mudah. Ketika seseorang salah
langkah, maka akan dapat menimbulkan masalah yang besar, misalnya terputusnya hubungan
keluarga, timbulnya fitnah, dsb. sehingga diperlukan langkah yang hati-hati.

1. Memulai dari diri sendiri

Tidak jarang seorang Da’i mempunyai latar belakang kehidupan yang jahil. Bukan
seuatu hal yang mustahil, ketika dia berhijrah kemudian berdakwah kepada keluarganya
maka mereka menanggapinya dengan mengungkit-ungkit masa lalunya. Seorang Da’i
harus berupaya untuk menghapus citra negatif diri yang telah melekat dalam pandangan
keluarganya dan harus menunjukkan bahwa dia benar-benar telah berubah serta
memberikan pemahaman bahwa langkah-langkah di masa lalunya itu adalah langkah-
langkah yang keliru.142

Sang Da’i harus memulai segala sesuatunya dari dirinya sendiri dan senantiasa
memberikan keteladanan. Ada suatu nasihat dari Ali bin Abi Thalib ra. yang cukup
bermanfaat, “Siapa yang telah mencetuskan dirinya untuk menjadi ikutan dan panduan
masyarakat, hendaklah memulai mendidik diri terlebih dahulu sebelum mendidik orang
lain dan kalau membina hendaklah terlebih dahulu dengan teladan sebelum ucapan.
Membina diri jauh lebih perlu daripada membina orang lain.”

2. Menjalin kedekatan

Sang Da’i harus berusaha senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan
keluarganya, baik dengan komunikasi langsung maupun tidak langsung melalui surat,
telepon, sms, dll. Tak jarang, karena kesibukan aktivitas di kampus misalnya, Da’i
menelantarkan hubungan dengan keluarga sehingga hubungan yang terjadi hanyalah
berupa hubungan uang semata. Menjalin komunikasi yang rutin, mengirimkan hadiah
misalnya buku, memberikan perhatian kepada keluarga, insyaAllah dapat menumbuhkan

142
Ya’kub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Akhlakulkarimah (suatu pengantar). CV Diponegoro:
Bandung. 1996.

268
kedekatan dengan keluarga yang akan dapat melahirkan ketsiqahan
(kepercayaan/ketentraman) mereka.

3. Menjaga kondisi keluarga

Dakwah kepada keluarga memerlukan pemahaman terhadap kondisi keluarga,


permasalahan-permasalahan yang ada, karakter dari masing-masing anggota keluarga dan
juga kondisi dari lingkungan sekitar. Pemahaman terhadap seputar keluarga sangat penting
untuk menentukan cara dan sarana yang digunakan. Semisal, jika keluarga termasuk
golongan yang tidak suka membaca, tentunya memberikan buletin, majalah, atau buku
merupakan langkah yang tidak efektif untuk dilakukan. Jika di dalam keluarga ada seorang
yang cukup disegani dan sangat berpengaruh, maka orang inilah yang harus dijadikan objek
utama, karena dia dapat menjadi motor perubahan dalam keluarga.

4. Sabar

Kesabaran dan keuletan sang Da’i sangat diperlukan untuk membimbing dan
mengarahkan keluarga secara pelan, bertahap, berkesinambungan dan telaten dengan cara
dan sarana yang tentunya tidak bisa disamakan dengan berdakwah di luar rumah, misalnya
di kampus. Sang Da’i pun harus membekali diri dengan ilmu dan senantiasa berusaha
menambah ilmunya sehingga bisa memberikan hujjah yang jelas dan tidak diremehkan,

Kondisi yang umum terjadi adalah masyarakat menjadikan kiai, ulama atau ustadz-
ustadz setempat sebagai panutan mereka yang tak jarang cenderung diikuti apa adanya
tanpa sikap kritis dan selektif. Umur dan dasar pendidikan seseorang pun ikut berpengaruh
untuk menentukan siapa yang akan diikuti sehingga tak jarang seseorang yang relatif muda
dan dengan latar belakang pendidikan umum tidak dipercaya ketika menyampaikan nilai-
nilai agama.

Tak jarang seorang dai bisa bersikap sabar, lembut dan telaten dalam menghadapi
orang lain, tetapi ketika berhadapan dengan keluarganya sendiri, bersikap keras, tergesa-
gesa dan dikotori oleh rasa emosi. Ibn Khaldun mengatakan, “Orang yang dididik dengan
kekerasan dan kekejaman akan tumbuh menjadi orang yang kejam, sempit hati, tidak

269
kreatif, mudah jemu, mudah bohong karena takut akan mendapat hukuman fisik, cenderung
terbiasa menipu…”

5. Evaluasi

Evaluasi sangat diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dakwah keluarga


yang telah dilakukan serta untuk membenahi cara dan sarana dakwah yang digunakan. Doa
merupakan suatu hal yang tidak boleh dilupakan, karena hanya Allahlah yang kuasa
memberikan hidayah dan petunjuk kepada seseorang. Manusia hanya bisa berusaha, tetapi
Allahlah yang menentukan hasilnya.

Wallahu a’lam.

270
Membenahi Lunturnya Moral Generasi Muda Melalui
Dakwah
Oleh: Ami Lufiah

1. Pengertian dan Ruang Lingkup


a. Pengertian Memperbaiki

Memperbaiki adalah membetulkan; memperbaiki (kesalahan, kerusakan) atau


menjadikan lebih baik.143

b. Pengertian Moral

Secara bahasa moral berasal dari bahasa Latin yaitu Mores yang merupakan bentuk
jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.144 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
dikatakan bahwa moral adalah penentuan perbuatan baik dan buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.145 Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu
perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau
tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai:

(1) Prinsip hidup yang berkenaan dengan benar, salah, baik, buruk.

(2) Kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah.

(3) Ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.

Pertama, moral merupakan ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.

143
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. Ke-X, hal. 667.
144
Asmaran AS, pengantar studi akhlak, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 8.
145
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Paradya Paramita, 1976), h.23.
271
Kedua, bahwa moral berpedoman pada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Suatu
perbuatan dinyatakan bermoral, apabila perbuatan tersebut sejalan dengan adat kebiasaan
yang berlaku di masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat.

Ketiga, bahwa moral merupakan penentu batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan
perangai dikatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, dilakukan oleh seorang
atau sekelompok orang dalam kehidupan di masyarakat.

Keempat, bahwa moral tidak tergantung kepada laki-laki atau perempuan, sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa laki-laki lebih bermoral dibandingkan dengan perempuan.146

Pengertian moral juga sepadan dengan kondisi mental yang membuat orang tetap
berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. Barangkali itulah mengapa,
dalam istilah militer sering kita dengar kata “moral prajurit meningkat” dan sebagainya.
Atau dengan kata lain, moral adalah isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap
dalam perbuatan.

Akhlak atau moral dalam Islam merupakan salah satu aspek yang sangat esensial
dalam hidup dan kehidupan. Jika Islam dapat disebut sebagai suatu sistem, maka akhlak
atau moral merupakan salah satu sub-sistemnya. Dengan demikian, maka pembagian
moralitas menurut penulis jika dikaitkan dengan dalil-dalil agama, maka setidaknya
moralitas dalam perspektif Islam terdiri atas lima jenis, yakni :

1. Moral Rabbani

Moral Rabbani adalah ajaran moral dalam Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi
yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Moral dalam ajaran Islam bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan
di akhirat nanti. Penegasan tentang moral Rabbani dalam ajaran Islam mengandung
makna bahwa moral Islam bukan moral yang bersifat situasional dan relatif. Tetapi

146
Dr. H. Asep Umar Ismail, MA; Dra. Wiwi St. Sajarah, MA; Sururin, M.Ag., Pusat studi wanita UIN, 2005.

272
mengandung nilai kebaikan mutlak, sebagaimana firman Allah SWT, dalam QS. Al-
An’am (6): 153;

َ‫صا ُك ْم بِ ِه لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬


َّ ‫سبِي ِل ِه ذَ ِل ُك ْم َو‬ ُّ ‫اطي ُم ْست َ ِقي ًما فَاتَّبِعُوهُ َو َال تَتَّبِعُوا ال‬
َ ‫سبُ َل فَتَفَ َّرقَ بِ ُك ْم‬
َ ‫ع ْن‬ ِ ‫َوأ َ َّن َهذَا‬
ِ ‫ص َر‬

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa.”147

Meskipun sumber kaidah-kaidah akhlak adalah wahyu, namun tidak satupun yang
bertentangan dengan akal sehat.

2. Moral Manusiawi

Moral manusiawi adalah bahwa moral dalam Islam sejalan dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, kerinduan jiwa manusia kepada kebaikan akan terpenuhi dengan
mengikuti ajaran moral dalam Islam.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling
mulia dibanding dengan mahkluk lainnya dan diberi kehormatan. Moral Islam
membimbing manusia agar dapat hidup sesuai watak asalnya atau fitrahnya,
sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Rum (30): 30, Allah SWT berfirman;

‫ّين ْالقَ ِيّ ُم َولَ ِك َّن‬


ُ ‫اَّللِ ذَلِكَ ال ِد‬
َّ ‫ق‬ ِ ‫علَ ْي َها َال ت َ ْبدِي َل ِلخ َْل‬ َ َ‫اَّللِ الَّتِي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬
َ ‫اس‬ ْ ِ‫ّين َحنِيفًا ف‬
َّ َ ‫ط َرة‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِلل ِد‬
ِ َّ‫أ َ ْكث َ َر الن‬
َ‫اس َال يَ ْع َل ُمون‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada

147
Departemen Agama RI, op. cit., h. 215.

273
fitrah Allah. (Itulah agama) yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya.”148

Dari aspek moral Rabbani dan aspek moral manusiawi tidak ada pertentangan
sama sekali, karena manusia dibimbing dengan moral Islam agar dapat hidup
sesuai dengan tuntunan fitrahnya.

3. Moral Universal

Moral Universal adalah suatu ajaran moral dalam Islam yang sesuai dengan
kemanusiaan yang universal, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah selain sebagai makhluk individu, sekaligus juga sebagai
makhluk sosial. Dengan demikian, ajaran moral dalam Islam memberikan pedoman
tentang bagaimana seharusnya manusia hidup dengan dirinya sendiri, berhadapan
dengan masyarakat, berhadapan dengan lingkungannya, dan lebih-lebih berhadapan
dengan Allah SWT Yang Maha Pencipta.

Untuk memperoleh gambaran tentang sifat ke-universalan moral Islam sebagai


landasannya, dapat kita lihat dalam QS. al-Baqarah (2): 177 sebagai berikut;

‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر َو ْال َم َال ِئ َك ِة‬


َّ ‫ب َولَ ِك َّن ْال ِب َّر َم ْن آ َمنَ ِب‬
ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِر‬
ِ ‫ْس ْال ِب َّر أ َ ْن ت ُ َولُّوا ُو ُجو َه ُك ْم قِ َب َل ْال َم ْش ِر‬
َ ‫لَي‬
َ‫سائِلِين‬ َّ ‫سبِي ِل َوال‬ َّ ‫ساكِينَ َوابْنَ ال‬ َ ‫علَى ُحبِّ ِه ذَ ِوي ْالقُ ْربَى َو ْاليَت َا َمى َو ْال َم‬ َ ‫ب َوالنَّبِيِّينَ َو َءات َى ْال َما َل‬ ِ ‫َو ْال ِكت َا‬
‫اء‬
ِ ‫س‬َ ْ ‫صابِ ِرينَ فِي ْالبَأ‬ َ ‫الز َكاة َ َو ْال ُموفُونَ بِعَ ْه ِد ِه ْم إِذَا‬
َّ ‫عا َهدُوا َوال‬ َّ ‫ص َالة َ َو َءات َى‬ َ َ‫ب َوأَق‬
َّ ‫ام ال‬ ِ ‫الرقَا‬
ّ ِ ‫َوفِي‬
َ‫صدَقُوا َوأُولَئِكَ ُه ُم ْال ُمتَّقُون‬ َ َ‫اء َو ِحينَ ْالبَأ ْ ِس أُولَئِكَ الَّذِين‬
ِ ‫َوالض ََّّر‬

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

148
Ibid, hal. 465.

274
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya);
dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”149

Dalam ayat di atas dipergunakan kata al-birr yang diterjemahkan dengan kebaikan,
keshalehan dan kebaktian yang merupakan kunci dalam pembahasan akhlak. Secara
substansial, makna kata al-birr cakupannya sangat luas, meliputi akhlak kepada Allah
berupa keimanan dan ibadah, akhlak sosial berupa pembelanjaan harta benda untuk
menyantuni anggota masyarakat yang membutuhkan, akhlak pribadi berupa ketabahan
jiwa menghadapi bencana, kesukaran hidup, dan peperangan.

4. Moral Keseimbangan

Moral keseimbangan adalah sistem moral dalam Islam yang berada pada posisi di
tengah, antara akhlak manusia dan malaikat yang menitikberatkan kebaikannya dan
terhindar dari perilaku buruk serta sifat-sifat tercela seperti yang dimiliki hewan yang
menitikberatkan pada sifat keburukannya yang tercela.

Manusia menurut pandangan Islam memiliki dua kekuatan dalam dirinya, kekuatan
baik ada pada hati nurani dan akalnya, dan kekuatan buruk ada pada hawa nafsunya.
Manusia memiliki naluri hewani sekaligus juga memiliki roh malaikat. Manusia
memiliki unsur rohani dan jasmani, dan keduanya memerlukan pelayanan kebutuhan
masing-masing, serta keseimbangan antara jasmani dan rohani, antara duniawi dan
ukhrawi, antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan masyarakat.

5. Moral Realistik

Moral realistik ialah suatu ajaran moral dalam Islam yang memperhatikan
kenyataan manusia. Meskipun manusia sebagai makhluk yang memiliki
kehormatan dan mempunyai kelebihan-kelebihan dari makhluk lainnya, namun dalam

149
Ibid, hal. 43.

275
realitasnya, manusia juga memiliki kelemahan-kelemahan atau memiliki berbagai
macam kecenderungan, dan berbagai macam kebutuhan baik yang bersifat material
maupun spritual.

Secara realistik, moral Islam bukan hanya memperhatikan hal-hal yang biasa, tetapi
juga hal-hal yang luar biasa. Misalnya, dalam keadaan biasa dilarang, maka dalam
keaadan luar biasa (darurat) justru diperbolehkan. Oleh karena itu, dapat dipahami
bahwa dalam perspektif ajaran Islam orang yang ada di dalam situasi dan kondisi
tertentu diperbolehkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa diharamkan dan
perbuatan tersebut bukan merupakan dosa bagi pelakunya.

c. Pengertian Pemuda

Pemuda merupakan salah satu fase dalam tingkat struktural kedewasaan pada manusia.
Masa kepemudaan inilah yang menjadi sorotan umum. Berbagai pandangan dan tanggapan
banyak terarah pada masa muda. Entah itu pandangan tentang kebaikan sikap manusia
ataupun pandangan tentang kejelekan budi pekertinya.

Prof. Yusuf al-Qaradhawi pernah mengatakan: “Apabila kita hendak melihat wajah
negara pada masa hadapan, lihatlah generasi muda pada hari ini.”

Princeton mendefinisikan kata pemuda (youth) dalam kamus Websternya sebagai “the
time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or
immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person.”
Sedangkan dalam usia, WHO menggolongkan usia 10-24 tahun sebagai young people,
sedangkan remaja atau adolescence dalam golongan usia 10-19 tahun. Contoh lain di
Kanada di mana negara tersebut menerapkan bahwa ”After age 24, youth areno longer
eligible for adolescent social service.”

Namun, definisi yang berbeda ditunjukkan oleh al-Qur’an. Dalam kaidah bahasa
Qur’ani, pemuda disebut asy-Syabab, dan didefinisikan dalam ungkapan sifat dan sikap
seperti:

276
1. Berani merombak dan bertindak revolusioner terhdap tatanan sistem yang rusak.
Seperti kisah Nabi Ibrahim as. “Mereka berkata: ‘Siapakah yang berani melakukan
perbuatan ini terhadap Tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya dia termasuk orang-orang
yang dzalim’, Mereka berkata: ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang (berani)
mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’ (QS. Al-Anbiya 21: 59-60)
2. Memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, bersatu, optimis, dan teguh dalam
pendirian, serta konsisten dalam dengan perkataan. Seperti tergambar pada kisah Ash-
Habul Kahfi (para pemuda penghuni gua). “Kami ceritakan kisah mereka kepdamu
(Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda
yang beriman kepada Tuham mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk;
dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka
mengatakan: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak
menyeru Tuhan selai Dia. Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan
perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (QS. Al-Kahfi 18: 13-14)
3. Seseorang yang tidak berputus-asa, pantang mundur sebelum cita-citanya tercapai.
Seperti digambarkan pada pribadi Nabi Musa. “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata
kepada muridnya, ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan
dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (QS. Al-Kahfi 18:
60)

Jika pemuda identik sebagai sosok individu yang berusia produktif dan mempunyai
karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, berpikir maju, memiliki moralitas,
dan sebagainya. Kelemahan mencolok dari seorang pemuda adalah kontrol diri dalam
artian mudah emosional, sedangkan kelebihan pemuda yang paling menonjol adalah mau
menghadapi perubahan, bak berupa perubahan sosial maupun kultural dengan menjadi
pelopor perubahan itu sendiri.150

Dalam kamus KBBI, pemuda adalah orang muda laki-laki; remaja; teruna. Atau bisa
diterjemahkan pemuda itu sebagai generasi muda.151 Sementara itu, di dalam kamus bahasa
Arab, makna Asy-Syabab atau pemuda itu adalah lelaki yang masih muda atau anak-anak

150
http://www.pemudapinggiran.blogspot.com/pengertian_pemuda.html.
151
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. Ke-X.
277
muda. Biasanya Asy-Syabab adalah sebutan untuk anak-anak usia sekolah. Tetapi di dalam
hadits, untuk lelaki di bawah usia 40 tahun masih disebut sebagai as syabab atau pemuda.

Menurut As Syahid Hasan Al Banna, As Syabab atau pemuda itu adalah:

1) Pilar kebangkitan Islam;


2) Rahasia kekuatan dalam kebandkitan; dan
3) Panji dari setiap fikrah.

Rasululullah SAW bersabda:

”Aku berpesan kepadamu supaya berbuat baik kepada golongan pemuda, sesungguhnya
hati mereka paling lembut. Sesungguhnya Allah telah mengutusku membawa agama Hanif
ini, lalu para pemuda bergabung denganku dan orang-orang tua menentangku.” (HR.
Bukhari)

Pemuda merupakan pilar kebangkitan bangsa. Dalam setiap kebangkitan, pemuda


merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji-
panjinya. Dengan demikian, sungguh banyak kewajiban seorang pemuda, tanggung jawab,
dan semakin berlipat hak-hak umat yang harus ditunaikan. Pemuda dituntut untuk berfikir
panjang, banyak bergerak dan bekerja serta bijak dalam menentukan sikap, dan yang paling
utama adalah maju untuk menjadi penyelamat dan hendaknya mampu menunaikan hak-
hak umat dengan baik. Dengan kata lain, pemuda sesungguhnya dituntut untuk mendidik
dirinya menjadi pemuda yang memiliki jiwa-jiwa pemimpin.

Kebaikan yang akan membuat mereka jaya di dunia dan juga di akhirat. Berjuang
hanya untuk kejayaan Islam dan bangsa, bekerja keras hanya untuk menegakkan kebenaran
yang sejati. Inilah jalan hidup seorang pemuda Islam dalam kehidupan bangsa. Muara akhir
dari seorang pemuda adalah menjadi pemimpin. Pemimpin dalam satu negara, ibarat kepala
bagi tubuh. Inilah yang menentukan seluruh tujuan, dan di sini pulalah tempat
berkumpulnya segala macam informasi. Pemimpin bertugas memikirkan, dan mengkaji
setiap masalah yang dihadapi oleh apa yang telah ia pimpin. Pemimpin juga merupakan
lambang kekuatan, persatuan, keutuhan dan disiplin barisan.

278
Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar peristiwa yang telah lalu
banyak dipengaruhi oleh mereka yang tergolong pemuda. Hampir seluruh gerakan di dunia,
sejak zaman purba hingga zaman satelit ini, pemuda memiliki peran yang cukup signifikan.
Bahkan ketika Islam mencetuskan gerakan dakwahnya belasan abad yang silam.
Kepemimpinan itu telah ada dari zaman Rasulullah Saw hingga kini.

Sebagai salah satu acuan pada zaman tabi’at tabi’in. Umar bin Abdul Aziz adalah salah
satu contoh sosok pemuda yang berhasil dalam memimpin di masanya. Pada masa itu,
Umar bin Abdul Aziz mampu merubah tradisi Daulat Bani Umayyah yang rendah yang
telah berlalu selama 60 tahun, menjadi masa pemerintahan yang indah, baik, adil, dan
sejahtera yang mirip dengan masa Rasulullah SAW.

Figur pemimpin seperti inilah yang layak direvitalisasi kembali dengan baik dan benar
khususnya bagi kaum muda, karena merekalah yang akan menjadi teladan konkrit bagi
masyarakat kontemporer dalam mewujudkan masyarakat berperadaban atau yang kita
kenal dengan istilah madani-Islami.

Setiap manusia, setiap kita, dan setiap umat memiliki kecenderungan untuk meraih
sebuah kemenangan. Dan kemenangan itulah merupakan suatu agenda besar yang dimiliki
oleh pemuda.

Perubahan yang diinginkan bersama adalah perubahan yang komprehensif dan


substantif, meliputi seluruh bidang kehidupan dan sisi normatif bagi seluruh umat. Bukan
sekedar perubahan yang sifatnya parsial dan hanya menjadi solusi sesaat, yang pada
akhirnya akan kembali melahirkan masalah-masalah baru. Untuk itulah sangat
dibutuhkannya peran pemuda yang bersungguh-sungguh dalam melakukan perubahan.
Selalu tegar dan tidak pernah gentar dalam menebarkan nilai kebenaran dan kebaikan.
Beramal dan bergerak juga merupakan indikator kebaikan hidup bagi seorang pemuda
Islam. Karena semua yang bergerak dan beramal akan mendatangkan kemashlahatan dan
kebaikan.

d. Pengertian Dakwah

279
Dakwah secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni da’watun (‫ )دعوة‬yang
artinya; seruan, panggilan, ajakan dan jamuan.152 Kata dakwah tersebut kini telah menjadi
perbendaharaan Bahasa Indonesia, yakni “dakwah” yang artinya; penyiaran.153
Selanjutnya, kata dakwah dalam Ensiklopedia Islam diartikan sebagai “ajakan kepada
Islam”.154

Sedangkan pengertian dakwah secara terminologi sebagaimana yang dikemukakan


oleh Dr. H. Harifuddin Cawidu adalah Dakwah didefinisikan sebagai upaya mengajak atau
menyeru manusia kepada kebaikan dan kebenaran serta mencegah dari kekejian,
kemungkaran, dan kebathilan untuk mencapai keselamatan, kemaslahatan, kebahagiaan
dunia akhirat.155

Pengertian dakwah yang dikemukakan oleh Dr. H. Harifuddin Cawidu di atas,


kelihatannya sangat sejalan dengan QS. Ali Imran (3): 104, yakni;

َ‫ع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوأُولَئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِل ُحون‬ ِ ‫َو ْلت َ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ ُ َّمةٌ َي ْدعُونَ ِإلَى ْال َخي ِْر َويَأ ْ ُم ُرونَ ِب ْال َم ْع ُر‬
َ َ‫وف َو َي ْن َه ْون‬

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.”156

Jadi, Dakwah secara substansial pada dasarnya adalah suatu proses yang
berkesinambungan, berupa aktifitas-aktifitas dinamis yang mengarah kepada perbaikan,
pembinaan, dan pembentukan masyarakat yang bahagia (muflihun) melalui ajakan yang
continue kepada kebaikan dan ma’ruf serta mencegah mereka dari hal-hal yang munkar
dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam ungkapan lain, dapat juga dikatakan bahwa dakwah

152
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992, cet. II, hal. 127.
153
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. Ke-X, hal. 181.
154
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Djambatan, 1992, hal. 207.
155
H. Harifuddin Cawidu, Strategi Pembinaan Dakwah Memasuki Millenium Baru Abad ke-21 Makalah, Makassar:
DPD-MDI Sulsel, 1999, hal. 1.
156
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci AL-Qur’an, 1989, hal. 280
93.
adalah upaya tanpa henti untuk mengaktualisasikan dan mengimplementasikan seluruh
nilai dan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.

Berdasar dari pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan dakwah adalah
untuk membina dan membentuk masyarakat yang bahagia sesuai dengan tuntutan agama.
Pada sisi lain Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa tujuan dakwah adalah mengubah
perilaku sasaran dakwah agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam
dataran kenyataan kehidupan sehari-hari baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi,
keluarga, maupun sosial kemasyarakatannya.157

Jika dianalisis lebih lanjut, maka implementasi dari tujuan dakwah tersebut adalah
sebagai suatu kegiatan, ajakan baik dalam bentuk tulisan dan lisan, maupun tingkah laku,
dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi
orang lain, baik secara individual maupun secara berkelompok agar timbul dalam dirinya
suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama
sebagai message (pesan) yang disampaikan kepada mereka tanpa adanya unsur paksaan.

2. Lunturnya Moral Pemuda di Era Globalisasi

Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara
saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi
batas negara. Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat,
diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai (values) yang dianut oleh
masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik
nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis, yaitu apa
yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting apabila disadari,
bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang
yang bersangkutan.

Namun, perkembangan globalisasi terjadi secara intensif pada awal abad ke-20 dengan
berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media, menggantikan kontak fisik

157
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, cet. 1, hal.78.

281
sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi
antar bangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan
globalisasi kebudayaan.

Dengan arus globalisasi yang sudah tidak mampu dibendung lagi, kini Bangsa Indonesia
mengalami krisis yang melanda para generasi penerus bangsa. Krisis tersebut berkenaan
dengan krisis moral atau degradasi (penurunan) moral—bahkan sampai-sampai dikatakan ada
semacam lost generation. Lost generation di sini bukan berarti generasi (dari anak sampai
pemuda) hilang, namun lebih pada ungkapan hiperbola yang menggambarkan bahwa para
generasi penerus bangsa kehilangan jati diri atau pegangan hidup. Pemuda minim memiliki
‘pertimbangan moral’ yang mumpuni dalam berperilaku atau menghadapi berbagai hal, lalu
muncul sikap permisif karena nihilnya nilai-nilai moral dalam diri mereka.

Kondisi kurang atau nihilnya nilai-nilai moral yang harus dipegang oleh tiap insan ini
lantas berkembang menjadi apa yang disebut dalam patologi sebagai Juvenile Delinquency.
Juvenille Delinquency ialah perilaku jahat, atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda
atau merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Sehingga mereka mengembangkan bentuk
tingkah-laku yang menyimpang (Kartini Kartono, 2011:6). Dalam Agama Islam, juvenile
delinquency ini menerabas hukum-hukum syar’i yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan
Hadis.

Kita dapat melihat hal demikian pada bukti empirik atau keadaan faktual sekarang banyak
terjadi perilaku amoral, seperti melihat gambar atau video porno, tawuran antar-remaja,
kriminalitas, mewabahnya penggunaan narkoba, pergaulan bebas, pacaran yang melampaui
batas, dan perzinaan yang dilakukan oleh para remaja. Komisi Nasional (Komnas)
Perlindungan Anak pernah melakukan survei tentang perilaku seksual remaja pada tahun 2010
di 12 provinsi dengan responden 4500 remaja. Survei tersebut menunjukan bahwa: 97%
remaja SMP dan SMA pernah melihat film porno; 93,7% pernah berciuman hingga petting
(bercumbu); 62,7 % remaja SMP sudah tidak perawan; dan 21,2 % remaja SMA pernah aborsi.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa perilaku anak muda sekarang semakin hari semakin
memprihatinkan, keadaan demikian secara moral dan agama tidak dapat dibenarkan. Ironis,

282
suatu kata yang tepat kiranya untuk menggambarkan hal-hal amoral terjadi di negara yang
mayoritas beragama Islam (Muslim).

Masalah moralitas masyarakat Indonesia sekarang ini sudah menjadi problema umum dan
merupakan pertanyaan yang belum ada jawabannya. Seperti mengapa para remaja kita sudah
mengkonsumsi obat-obatan terlarang? Mengapa para remaja kita dengan bebasnya bergaul
dengan lawan jenis tanpa merasa risih dan malu? Mengapa para pemimpin di negeri ini
sungguh mudah tersinggung, dan tidak malu juga mempertontonkan pertengkaran di muka
umum? Mengapa begitu banyak para pemimpin ini tidak merasa malu mengambil hak-hak
orang kecil, seperti melakukan korupsi? Pertanyaan-pertanyaan seperti yang telah
dikemukakan merupakan sederetan kecil dari masalah moral yang masih belum bisa hadapi.

Ketika berbicara tentang moral, kita perlu tahu bahwa hal ini erat kaitannya dengan
perilaku masyarakat itu sendiri. Perilaku masyarakat yang menyimpang dari aturan yang
seharusnya membuat moral bangsa kita semakin buruk di mata negara lain. Kemerosotan
moral ini bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan karena hal itulah yang membuat negara
kita tampak kurang berwibawa di dunia Internasional. Ada beberapa hal yang
melatarbelakangi kemerosotan moral bangsa Indonesia dan hal itu perlu diketahui sehingga
kita mampu menemukan solusi yang terbaik dan membantu dalam penyelesaian masalah
tersebut, diantaranya:

a) Penyalalah gunaan sebagian ajaran moral

Tidak diragukan lagi bahwa sebagian ajaran moral telah dan masih terus akan
disalahgunakan dalam berbagai bentuk dan cara. Mereka yang telah dirasuki ketamakan,
terutama apabila mempunyai kekuatan dan pengaruh, tidak akan ragu-ragu dalam memakai
segala cara untuk mencapai tujuannya. Penelitian ilmiah, terlepas dari kebenaran
landasannya, terkadang dipergunakan untuk melakukan penindasan, tirani, serta menyiksa
kelas buruh.

b) Penyalahgunaan Konsep-Konsep Moral

283
Sama halnya dengan ajaran moral, konsep-konsep dari moral pun disalahgunakan.
Seringkali ditemui, kemerdekaan ditindas atas nama kemerdekaan, dan ketidakadilan
diterapkan atas nama keadilan dan persamaan. Setiap hal yang baik dan bermanfaat bisa
disalahgunakan. Meskipun demikian, bagaimanapun nama keadilan itu disalahgunakan
tidak akan sama halnya dengan ketidakadilan itu sendiri. Keduanya tetap berbeda.
Demikian juga, bagaimanapun nama kemerdekaan disalahterapkan, tetapi kemerdekaan
sejati tidak akan sama dengan perbudakan.

Jadi tidak diragukan lagi ajaran Islam telah dieksploitasi untuk tujuan pribadi dan
kelompok tertentu. Tetapi tidak berarti bahwa ajaran-ajaran tersebut palsu atau rancu.
Sebaliknya, keadaan tersebut menuntut kewaspadaan sebagian masyarakat agar ajaran
tersebut tdak rusak, dan nilai-nilainya tidak disalahgunakan.

c) Masuknya Budaya Westernisasi (budaya kebarat-baratan)

Masuknya budaya barat bisa dikatakan sebagai penyebab turunnnya moral bangsa
Indonesia saat ini. Sebenarnya budaya tersebut tidaklah salah, yang salah adalah individu
yang tidak mampu menyaring hal-hal yang baik untuk dirinya. Dengan budaya asing yang
masuk ke negara kita sekarang ini, banyak orang menganggap bahwa free sex atau
materialisme adalah hal yang biasa. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat banyak
remaja yang melakukan hal tersebut dan hal itu yang sering jadi masalah remaja saat ini.
Tumbuhnya budaya materialisme juga bisa diliat dari banyaknya orang-orang yang sangat
memperhatikan gaya hidup yang terkesan mewah tanpa memperdulikan sekitar dan masa
depannya.

d) Perkembangan Teknologi

Turunnya moral bangsa Indonesia juga diakibatkan oleh perkembangan teknologi


saat ini. Dengan kemudahan akses internet, banyak orang memanfaatkan fasilitas tersebut
untuk mencari gambar atau video porno. Hal ini jika dilakukan terus menerus akan merusak
moral bangsa karena pikiran mereka sudah dimasuki oleh doktrin-doktrin barat yang
kadang salah tersebut.

284
e) Lemahnya Mental Generasi Bangsa

Penurunan kualitas moral dari generasi bangsa juga dapat disebabkan karena
lemahnya mental dari generasi bangsa yang terbentuk sejak dini, sehingga membentuk
karakter yang kurang baik. Karakter tersebut akan menjadi watak perilaku seseorang dalam
menjalani kehidupan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu diupayakan
pembentukan karakter sejak dini.

f) Kurangnya Materi Aplikasi tentang Budi Pekerti

Kurangnya materi pengaplikasian dari budi pekerti adalah salah satu penyebab
turunnya moral bangsa kita baik itu dalam bangku sekolah, dan kurangnya perhatian dari
guru sebagai pendidik dalam hal pembentukan karakter peserta didik, sehingga peserta
didik lebih banyak terfokus pada aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif
dalam pembelajaran. Hasilnya adalah peserta didik pintar dalam hal pelajaran tertentu,
namun mempunyai akhlak atau moral yang kurang bagus. Banyak diantara peserta didik
yang pintar jika mengerjakan soal pelajaran, namun tidak hormat terhadap gurunya, suka
mengganggu orang lain, tidak mempunyai sifat jujur, malas, dan sifat-sifat buruk lainnya.

Tingginya angka kenakalan dan kurangnya sikap sopan santun peserta didik,
dipandang sebagai akibat dari kurang efektifnya sistem pendidikan saat ini. Ditambah lagi
dengan masih minimnya perhatian guru terhadap pendidikan dan perkembangan karakter
peserta didik. Sehingga sebagian peserta didik tidak mempunyai karakter positif.
Pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu tumbuh secara parsial, menjadi
sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki pertumbuhan secara lebih penuh
sebagai manusia. Hal tersebut sudah dicontohkan dalam sistem pendidikan kita pasca
reformasi. Kurikulum yang dibangun untuk mencerdaskan kehidupan justru berujung
kepada penurunan moral dari sebagian perserta didiknya.

3. Meminimalisir Lunturnya Moral Pemuda


a. Memandang martabat manusia

285
Beberapa sifat tertentu seperti toleran dan pengorbanan diri adalah masalah
penghargaan diri dan tanda keterbukaan hati dan kebesaran jiwa. Orang yang selalu
mempunyai sikap rela berkorban dan melatih kendali dirinya, dan ditandai dengan
kepribadian yang baik seperti itu sehingga dia menjalani kepentingannya demi untuk
kebaikan orang lain, dan untuk mempertahankan tujuan yang diharapkan.

Merendahkan hati dalam pengertian menghormati orang lain dan mengakui prestasi
mereka, bukan dalam pengertian memalukan diri sendiri untuk tunduk pada kekuatan, juga
merupakan sifat yang mulia dan sesuai dengan martabat manusia. Kualitas seperti ini
dimiliki oleh mereka yang selalu bisa mengendalikan diri dan tidak egois (self-centered),
dan dengan realistis mengakui hal-hal baik dalam diri orang lain dan menghormatinya.

Sifat-sifat mulia tersebut yang membentuk landasan karakter yag mulia, adalah
bagian dari nilai-nilai moral Islam yang tinggi. Kita mempunyai contoh-contoh yang tak
terhitung mengenai sifat-sifat seperti itu, dan semua masalah etika mungkin
diperhitungkan berkaitan dengan martabat manusia. Karena itu Nabi Besar Umat Islam
dalam menyimpulkan pesan etikanya, menggambarkan sifat-sifat itu sebagai karakter
manusia yang sempurna dan mulia.

b. Mendekatkan diri dengan Allah

Hanya sifat-sifat mulia yang telah disebutkan di atas yang akan mendekatkan
manusia dengan Allah. Dengan demikian, manusia-manusia harus memiliki dan
mengembangkan sifat-sifat tersebut apabila kita membahas sifat-sifat Allah, dan
sebaliknya. Dia Maha mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha Kompeten. Semua tindakan-
Nya telah diperhitungkan dengan baik. Dia Maha Adil, Maha Pengasih, dan Penyayang.
Semua merasakan karunia-Nya. Dia menyukai kebenaran dan membenci keburukan. Dan
selanjutnya dan seterusnya. Manusia dekat dengn Allah sesuai dengan kualitas-kualitas
yang dia miliki. Jika sifat-sifat tersebut mendarah daging dalam dirinya dan menjadi
pelengkapnya, bisa dikatakan bahwa ia telah mendapatkan nilai-nilai moral Islam.
Rasulullah bersabda: “Binalah diri sendiri sesuai dengan sifat-sifat Allah.”

286
Urgensi Akhlak Dalam Dakwah Era Konseptual
Oleh: Nur Anisa

1. Pengertian Akhlak dan Etika


a) Akhlaq
Kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari kata “khuluqun” yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, atau tata karma, sopan santun,
adab, dan tindakan. Secara terminologis akhlaq merupakan pranata perilaku manusia
dalam segala aspek kehidupan.
Ibnu Maskawih (421H/1030M) mengatakan bahwa akhlaq adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara Imam Al Ghazali (1015-1111H)
mengartikan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-
macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
Sedangkan secara terminologi, yang dikemukakan para ahli, sebagaimana
dikutip Abuddin Nata (1997) antara lain:
 Menurut Ibrahim Anis, Akhlaq adalah sikap yang tertanam dalam jiwa yang
dengannya lahir macamm-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan
pertimbangan dan pemikiran.
 Menurut abdul Hamid, akhlaq adalah sifat-sifat manusia yang terdidik.

b) Etika
Istilah etika berasal dari bahasa yunani kuno yaitu ‘ethos’ dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,
adat, akhlak, watak, perasaaan sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta eta) artinya
adalah adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika”. Secara etimolgis berarti ilmu tentang apa yang bias dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan.

287
K. Bertens, membedakan etika menjadi tiga arti yaitu;
o Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
o Etika adalah kumpulan asas atau nilai moral.
o Etika adalah ilmu tentang yang baik dan buruk.

Abudin Nata menyimpulkan bahwa etika sedikitnya berkaitan dengan empat hal, yaitu:
 Dari segi pemahamannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
 Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
 Dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan manusia
tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya.
 Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni berubah-rubah sesuai tuntutan
zaman.

2. Akhlak dan Etika dalam Berdakwah


a) Akhlak Seorang Da’i

Akhlak Da’i ialah akhlak Islam yang Allah nyatakan dalam Al-Qur’an dan
Rasulullah menjelaskan dalam sunnah beliau serta para sahabat menerapkannya dalam
tingkah laku dan peri kehidupan mereka. Akhlak Islam yang sebaiknya dimiliki Da’i
diantaranya:

1. Al-Shidq (Benar, tidak dusta)


2. Al-Shabr (sabar, tabah)
3. Al-Rahmah (Rasa Kasih Sayang)
4. Tawadhu (merendahkan diri, tidak sombong)
5. Suka bergaul
6. Mempunyai sifat lemah lembut
7. Bertutur kata dengan baik
8. Menghormati dan menjamu tamu dengan baik
9. Bersosial dengan masyakat dan lainnya dengan baik

288
10. Tidak mempersulit

Maka yang meninggalkan kesan baik pada orang lain bila bertemu dengan kaum
muslimin ialah lemah lembut akhlaknya. Dalil Rasulullah kepada Muadz bin Jabal
ketika Muadz akan melakukan dakwah ke negeri yaman:

‫شِروا وال تُن ِفّروا‬ ّ َ‫س ُِروا وال تُع‬


ّ َ‫ ب‬,‫سِروا‬ ّ َ‫ي‬
“Permudahlah jangan dipersukar, gembirakan jangan dibuat kesan menjauh”.
Sabar
Sabar adalah Menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam
menemukan sesuatu yang tidak diinginkan ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu
yang disenangi. Menurut Imam Al-Ghazali , sabar adalah suatu kondisi mental dalam
mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama.
Tugas seorang Da’i bukanlah tugas yang ringan dan tentu dalam perjalanan
menjumpai berbagai rintangan yang menghadang. Oleh karena itu, menjadi seorang
Da’i harus mempunyai kesabaran yang besar pula untuk menghadapi berbagai
tantangan.
Ikhlas
Ikhlas adalah rela, dengan tulus hati ataupun rela hati melaksanakan perkerjaan
semata-mata karena Allah, bukan karena hendak diminta atau dipuji orang lain (riya’).
Ikhlas merupakan inti dan ruhnya ibadah. Ikhlas merupakan pondasi dasar diterima
dan tidaknya sebuah amal yang mengantarkan kepada keberuntungan atau kerugian,
jalan yang menuntun kesurga atau neraka.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas
tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas.
mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
Seorang Da’i atau yang sering disebut muballigh ketika melakukan dakwah
dalam suatu acara, mendapatkan imbalan berupa uang. Namun, menjadi seorang Da’i
sejati tidak patut jika dakwahnya itu hanya untuk imbalan tersebut. Dakwah Islam
harus dilandasi niat yang ikhlas karena Allah SWT. Jika mendapat imbalan itu
hanyalah bonus dari Allah saja, namun seorang Da’i tidak boleh memintanya.

289
3. Etika Seorang Da’i
Kode etik dakwah Nabi

a. Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan

Hendaknya tidak memisahkan antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia kerjakan.

b. Tidak melakukan toleransi agama

Toleransi memang dianjurkan tetapi hanya dalam batas-batas tertentu dan tidak
menyangkut masalah agama (keyakinan).

c. Tidak menghina sesembahan non muslim

Da’i menyampaikan ajarannya sangat dilarang untuk menghina atau mencerca agama
yang lain.

d. Tidak melakukan Diskriminasi Sosial


e. Semua harus mendapatkan perlawanan yang sama. Karena keadilan sangatlah penting
dalam dakwah Islam. Da’i harus menjunjung tinggi hak universal.
f. Tidak meminta imbalan

Memang masih terjadi perbedaan pendapat tentang dibolehkan atau dilarang


namun dalam konteks kekinian jasa dalam berdakwah itu merupakan salah satu
dukungan financial dalam dakwah. Dalam artian dakwah pada era sekarang dukungan
financial dalam dakwah sangatlah penting. karena akan member sumberdaya sang da’i
tersebut dari segi keilmuan, kesejahteraan hidup dan proses aktifitas dakwah.

g. Tidak berteman dengan pelaku maksiat

Berkawan dengan pelaku maksiat ini di khawatirkan akan berdampak buruk atau
serius. Karena beranggapan bahwa seakan-akan perbuatan maksiatnya direstui oleh
dakwah. Disisi lain integritas dakwahnya berkurang.

h. Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak di ketahui

Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui hukum itu,
ia pasti akan menyesatkan umat.

Kepribadian Da’i yang mempunyai pengaruh besar untuk diterima orang dakwahnya.
Imam Muhammad Abu Zahrah, Da’i wajib menghiasi diri dengan sifat berikut ini:

290
1. Punya niat yang baik sehingga dalam berdakwah tidak mengharapkan imbalan harta
atau kedudukan, tapi semata-mata mengharapkan keridhaan dari Allah
2. Berkemampuan dalam menerangkan
3. Punya kepribadian yang menarik
4. Mengetahui kandungan dan al-Hadist
5. Lemah lembut pergaulan tapi bukan sebagai tanda kelemahan
6. Tidak bertindak sebagai musuh
7. Tidak menyalahi ketentuan agama

Sifat-sifat atau karakter yang wajib dipunyai oleh Da’i menurut syekh Ali Mahfudz
adalah:

1. Memahami al-Qur’an dan al-Sunnah


2. Beramal menurut ilmunya
3. Sopan santun dan berlapang dada
4. Punya sifat berani. tidak gentar menghadapi seseorang dalam mengucapkan yang hak
5. Bersifat Qana’ah
6. Berkemampuan member keterangan dan penjelasan serta kepaseha berbicara
7. Mendalami beberapa cabang ilmu
8. Punya hubungan kuat dengan Allah
9. Tawadhu’ atau rendah hati
10. Tidak kikir dalam mengajarkan ilmu apa saja yang dipandang baik
11. Tidak tergopoh dan terburu-buru dalam semua urusan
12. Bercita-cita tinggi dan berjiwa besar
13. Bersifat sabar dalam melancarkan dakwah
14. Bertaqwa dan amanah

Beberapa perilaku etika yang berlaku dalam masyarakat, hendaklah dipahami oleh
setiap Da’i atau mubaligh dalam melakukan aktivitas dakwahnya. Sehingga dengan
demikian aktivitas dakwah akan berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan keresahan dan
benturan-benturan baik dikalangan antar Da’i maupun dikalangan masyarakat pada
umumnya, karena Da’i bukanlah provokator. Etika dan kode etik dalam melaksanakan

291
dakwah hendaknya tetap dipertahankan oleh para aktivis dakwah, sehingga aktivitas dakwah
akan menuai simpatik.

4. Rambu-Rambu Etis dalam Dakwah


a) Kode Etik Umum Dalam Dakwah
Secara Islam etika dakwah itu adalah etika Islam itu sendiri, di mana secara
umum seorang Da’i harus melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan menjauhkan
diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Sebagai sebuah profesi, Menurut M.
Munir(2006) dakwah memerlukan kode etik, yaitu sebuah istilah yang merujuk pada
aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang merumuskan perlakuan benar dan salah atau
dengan kata lain, kode etik adalah kumpulan kewajiban yang mengikat para pelaku
profesi dalam menjalankan tugasnya. Dan bagi para juru dakwah, pengertian kode etik
dakwah berarti rambu-rambu etis juru dakwah agar dakwah yang dilakukannya benar-
benar efektif dan menimbulkan pencitraan yang positif dari khalayak mad’u yang
didakwahinya. Sehingga dapat dihasilkan dakwah yang bersifat responsive. Dan sumber
dari rambu-rambu etis dakwah bagi seorang Da’i adalah Al-Qur’an, seperti yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun rambu-rambu etis tersebut adalah
sebagai berikut:
 Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan
Kode etik ini bersumber dari firman Allah dalam Surat Al-Shaff ayat 2-3:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian
tidak melakukannya? amat besar murka di sisi Allah, bahwa kalian menngatakan apa
yang kalian tidak kerjakan.”
 Tidak melakukan toleransi agama.
Toleransi memang dianjurkan oleh Islam, tetapi hanya dalam batas-batas
tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (kepercayaan). Dalam masalah prinsip
keyakinan (Aqidah), Islam memberikan garis tegas untuk tidak bertoleransi,
kompromi dan sebagainya.seperti yang tergambar dalam Surat Al-Kafirun ayat 1-6:
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah . Dan kamu bukan penyembah Tuhan apa yang aku sembah. Dan kamu tidak

292
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu lah agama mu,
dan untukku lah agama ku.”

Dalam hal ini pula bisa dilihat dalam surat Al-Khafi ayat 29:
“Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah
ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka
akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan
muka, itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
 Tidak menghina sesembahan non muslim
Kode etik ini diambil dari QS. Al-An’am ayat 108:
“Dan janganlah kamu memakai sembah-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.”
Peristiwa ini berawal ketika pada zaman Rasulullah orang-orang muslim pada
saat itu mencerca berhala-berhala sembahan orang-orang musyrikin, dan akhirnya
karena hal itu menyebabkan mereka mencerca Allah, maka Allah menurunkan ayat
tersebut.
 Tidak melakukan diskriminasi sosial
Apa bila menelusuri tauladan Nabi maka para Da’i hendaknya tidak
membeda-bedakan atau pilih kasih antara sesama, baik kaya maupun miskin, kelas
elit maupun kelas marjinal ataupun status lainnya yang menimbulkan ketidakadilan.
Semua harus mendapatkan perlakuan yang sama. Karena keadilan sangatlah penting
dalam dakwah. Da’i harus menjunjung tinggi hak universal dalam berdakwah. Kode
etik ini didasari pada QS. Abasa ayat 1-2: “Dia (Muhammad) bermuka musam dan
berpaling, Karena karena telah datang seorang buta kepadanya.”
 Tidak memungut imbalan
Ada perbedaan pendapat tentang dibolehkannya ataupun dilarang dalam
memungut biaya atau dalam bahasa lain memasang tarif, dalam hal ini berpendapat
menjadi 3 kelompok:

293
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbaan dalam berdakwah
hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian sebelumnya ataupun
tidak.
b. Al-Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dkk. Mereka berpendapat boleh
hukumnya memungut bayaran dalam berdakwah tapi harus diadakan perjanjian
terlebih dahulu.
c. Imam Malik bin Anas & Imam Syafi’i, memperbolehkan memungut biaya atau
imbalan dalam menyebarkan ajaran islam baik ada perjanjian sebelumnya
maupun tidak
Perbedaan pendapat dari para ulama terjadi karena banyaknya teks-teks Al-
Qur’an yang menjadi sumber etika sehingga muncul perbedaaan dalam penafsiran
dan pemahamannya.
 Tidak berteman dengan pelaku maksiat
Berkawan dengan pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan berdampak buruk.
Karena orang bermaksiat itu beranggapan bahwa seakan-akan berbuat maksiat
direstui oleh dakwah, pada sisi lain integritas seorang da’i akan berkurang.
 Tidak menyampaikan hal hal yang tidak diketahui
Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak mengetahui,
hukum itu pasti akan menyesatkan umat. Seorang juru dakwah tidak boleh asal
menjawab pertanyaan orang menurut seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya.

5. Kode Etik Bidang Profesi


Selain kerangka kode etik umum sebagaimana disebutkan di atas, penting dipatuhi
Da’i adalah kode etik dalam bidang keahlian. Kode etik ini mencakup kode etik sikap dan
kode etik pelaksanaan tugas.
a) Kode etik dalam sikap
Mengenai kode etik sikap, yang seharusnya mendapatkan perhatian para juru
dakwah antara lain:
1) Sikap tanggung jawab dan rasa hormat kepada orang lain, hal ini meliputi :
tanggung jawab atas pekerjaan dalam arti melakukan pekerjaan sebaik mungkin
untuk mencapai kualitas hasil terbaik/ tidak membahayakan, tidak mengurangi

294
mutu kehidupan manusia dan lingkungan, bertanggung jawab atas dampak
pekerjaan yang telah dilakukannya.
2) Berorientasi pada memaksimalkan pelayanan.
3) Menjunjung tinggi ciri kepribadian moral: tekad dan keberanian yang kuat untuk
bertindak sesuai tuntutan profesi, sadar akan kewajiban, bersungguh-sungguh
dengan penuh ketulusan dalam menjalankan profesi.

295
Mengaplikasikan Akhlak Rasulullah Dalam
Berdakwah
Oleh: Fitri Lutfiana

A. Perbedaan Akhlak dan Etika


1. Akhlak

Kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari kata “khluqun” yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, atau tata krama, sopan santun, adab, dan
tindakan. Secara terminologis akhlaq merupakan pranata perilaku manusia dalam segala
aspek kehidupan.

Ibnu Maskawih (421H/1030M) mengatakan bahwa akhlaq adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan. Sementara Imam Al-Ghazali (1015-1111H) mengatakan akhlak adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.158

Sedangkan secara terminologi, yang dikemukakan para ahli, sebagaimana dikutip


Abuddin Nata (1997) antara lain:159

a). Menurut Ibrahim Anis, Akhlaq adalah sikap yang tertanam dalam jiwa yang dengannya
lahir macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pertimbangan dan
pemikiran.

b). Menurut abdul Hamid, akhlaq adalah sifat-sifat manusia yang terdidik.

2. Etika

Istilah etika berasal dari bahasa yunani kuno yaitu ‘ethos’ dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan,

158
Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid, IlmuAkhlak, (Bandung, pustaka setia, 2010). hal. 14
159
Abuddin Nata, akhlak Tasawuf. Jakarta: PT raja grafindo Persada, 1997 Hal. 89

296
adat, akhlak, watak, perasaaan sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta eta) artinya
adalah adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika”. Sacara etimolgis berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan.

K. Bertens, membedakan etika menjadi tiga arti, yaitu;

 Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
 Etika adalah kumpulan asas atau nilai moral.
 Etika adalah ilmu tentang yang baik dan buruk.160

Abudin Nata menyimpulkan bahwa etika sedikitnya berkaitan dengan empat hal, yaitu:

 Dari segi pemahamannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
 Dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
 Dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan manusia tersebut akan
dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, dan sebagainya.

Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni berubah-rubah sesuai tuntutan
zaman. 161

B. Apa itu akhlak mulia?

Banyak definisi yang disampaikan ulama. Definisi yang cukup mewakili adalah :

“Berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri
ketika disakiti.”

Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam, yaitu:

160
K. Bertens. Etika, (.Jakarta:Gramedia, 2007)hal. 6
161
Enjang As, Etika hlm: 133-134

297
1. Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain,
bermuka manis, dan lain sebagainya.
2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak mencela, tidak
berkhianat, tidak berdusta, dan yang semisal.
3. Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan
serupa.

C. Apa yang dimaksud Dakwah dengan Akhlak?

Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian materi


secara lisan, padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga, semisal praktek nyata,
memberi, contoh amalan dan akhlak mulia atau yang lazim dikenal dengan dakwah bil hal,
bahkan yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena
sasarannya.

Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun hanya
sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek nyata, di sinilah terlihat urgensi adanya
qudwah hasanah (potret keteladanan yang baik) di tengah masyarakat, yang tugasnya adalah
menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu
banyak terlukis dalam lembaran-lembaran kertas.

D. Mengaplikasikan akhlak rasul dalam berdakwah

Akhlak Da’i ialah akhlak Islam yang Allah nyatakan dalam Al-Qur’an dan Rasulullah
menjelaskan dalam sunnah beliau, serta para sahabatnya menerapkannya dalam tingkah laku
dan peri hidup mereka. Akhlak Islam yang sebaiknya dimiliki oleh Da’i diantaranya, sebagai
berikut:

1. Al-Shidq (Benar, tidak dusta)


2. Al-Shabr (sabar, tabah)
3. Al-Rahmah (Rasa Kasih Sayang)
4. Tawadhu’ (merendahkan diri, tidak sombong)
5. Suka bergaul
6. Mempunyai sifat lemah lembut

298
7. Bertutur kata dengan baik
8. Menghormati dan menjamu tamu dengan baik
9. Bersosial dengan masyarakat dan lainnya dengan baik
10. Tidak mempersulit

Maka yang meninggalkan kesan baik pada orang lain bila bertemu dengan kaum
muslimin ialah lemah lembut akhlaknya.162 Dalil Rasulullah kepada Muadz bin Jabal ketika
Muadz akan melakukan dakwah ke negeri Yaman:

‫شِروا وال تُن ِفّروا‬ ّ ‫س ُِروا وال تُ َع‬


ّ ‫ َب‬,‫سِروا‬ ّ ‫َي‬
“Permudahlah jangan dipersukar, gembirakan jangan dibuat kesan menjauh.”163

Sabar

Sabar adalah Menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam
menemukan sesuatu yang tidak diinginkan ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang
disenangi. Menurut Imam Al-Ghazali, sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan
nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama.164

Tugas seorang Da’i bukanlah tugas yang ringan dan tentu dalam perjalanan menjumpai
berbagai rintangan yang menghadang. Oleh karena itu, menjadi seorang Da’i harus mempunyai
kesabaran yang besar pula untuk menghadapi berbagai tantangan.

Ikhlas

Ikhlas adalah rela, dengan tulus hati ataupun rela hati melaksanakan perkerjaan semata-
mata karena Allah, bukan karena hendak diminta atau dipuji orang lain (riya’). Ikhlas
merupakan inti dan ruhnya ibadah. Ikhlas merupakan pondasi dasar diterima dan tidaknya
sebuah amal yang mengantarkan kepada keberuntungan atau kerugian, jalan yang menuntun ke
surga atau neraka.

Allah berfirman :

162
Hamka. 1982. Prinsip dan kebijaksanaan da’wah islam.. Jakarta. UMMINDA. Hal: 153
163
Hamka. Prinsip dan kebijaksanaan da’wah islam.. Jakarta. UMMINDA. 1982. Hal: 156
164
Ensiklopedia Hukum Islam.(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1997). Cet. 1. Jld 6. Hlm. 1520
299
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)

Seorang Da’i atau yang sering disebut muballigh ketika melakukan dakwah dalam suatu
acara, mendapatkan imbalan berupa uang. Namun, menjadi seorang Da’i sejati tidak patut jika
dakwahnya itu hanya untuk imbalan tersebut. Dakwah Islam harus dilandasi niat yang ikhlas
karena Allah SWT. Jika mendapat imbalan itu hanyalah bonus dari Allah saja, namun seorang
Da’i tidak boleh memintanya.

Ada baiknya kita mempelajari cara Nabi dalam berdakwah. Sebab banyak “dakwah”
bukannya menyeru manusia ke dalam Islam, justru akhirnya mengkafirkan sesama Muslim.
Menjauhkan orang yang sudah bersyahadat dan shalat dari Islam. Padahal dakwah Nabi adalah
membuat orang-orang kafir dan jahil menjadi Islam.

Pertama dakwah Nabi adalah Tauhid. Menyeru manusia agar menyembah Allah.
Membuat manusia bersaksi: “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Nabi Muhammad pertama-tama
mendakwahi keluarga terdekatnya. Ini pun secara sembunyi-sembunyi, agar tidak terjadi
benturan dengan orang-orang yang masih kafir.

Pada awal periode Mekkah Rasulullah berdakwah secara sembunyi-sembunyi,


mendatangi orang-orang dekat Beliau antara lain istri Beliau Khadijah, keponakan Beliau Ali,
budak Beliau Zaid, untuk diajak masuk Islam. Ketika turun surat al-Muddatstsir: 1-2, Rasululah
mulai melakukan dakwah di tengah masyarakat, setiap bertemu orang Beliau selalu
mengajaknya untuk mengenal dan masuk Islam (masih dalam keadaan sembunyi-sembunyi).
Ketika Abu Bakar menyatakan masuk Islam, dan menampakkannya kepada orang-orang yang
dia percayai, maka muncullah nama-nama seperti ‘Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam,
Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash dan Thalhah bin Ubaidillah yang juga masuk
Islam. Dan seterusnya diikuti oleh yang lain seperti Abu ‘Ubaidah, Abu Salamah, Arqom bin
Abi al-Arqom, dan lain-lain.

Beliau menjadikan rumah Arqom bin Abi al-Arqom sebagai pusat pengajaran dan
sekaligus pusat kutlah (kelompok) yang dalam bahasa kita tepatnya disebut sekretariat. Di

300
tempat ini Rasulullah mengajarkan hukum-hukum Islam, membentuk kepribadian Islam serta
membangkitkan aktivitas berpikir para sahabatnya tersebut. Beliau menjalankan aktivitas ini
lebih kurang selama 3 tahun dan menghasilkan 40 orang lebih yang masuk Islam.

Setelah 3 tahun, turun surat al-Hijr: 94, yang memerintahkan Rasulullah untuk berdakwah
secara terang-terangan dan terbuka. Di tahap ini kaum kafir mulai memerangi dan menganiaya
Rasulullah dan para sahabatnya. Ini adalah periode yang paling berat dan menakutkan diantara
seluruh tahapan dakwah. Bahkan sebagian sahabat yang dipimpin oleh Ja’far bi Abi Thalib
diperintahkan oleh Rasul untuk melakukan hijrah ke Habsyi. Sementara Rasulullah dan sahabat
yang lain terus melakukan dakwah dan mendatangi para ketua kabilah atau ketua suku baik itu
suku yang ada di Mekkah maupun yang ada di luar Mekkah. Terutama ketika musim haji, di
mana banyak suku dan ketua sukunya datang ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji.
Rasulullah mendatangi dan mengajak mereka masuk Islam atau minimal memberikan
dukungan terhadap perjuangan Nabi.

Saat kondisi amat membahayakan, para sahabat dan Nabi pun hijrah ke Madinah. Hal ini
dilakukan agar tidak terjadi pertumpahan darah yang tidak perlu. Bisa saja Nabi melawan atau
memberontak karena beberapa sahabat seperti Abu Bakar, Abdurrahman bin ‘Auf, Umar, dan
sebagainya adalah bangsawan yang terpandang dan juga cukup disegani. Tapi itu akan
menimbulkan korban jiwa baik di kalangan Islam mau pun orang-orang kafir yang jadi target
dakwah Nabi. Pada akhirnya, orang-orang kafir ini akan masuk Islam dengan cara yang damai
lewat Futuh Makkah. Jadi Islam amat menghargai nyawa manusia.165

Nabi melakukan dakwah dengan cara yang baik dan bijak.

”Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (QS Al-Anbiyaa : 107)

Rasulullah SAW adalah sebaik-baiknya teladan bagi umat manusia. Dalam berdakwah,
Rasulallah SAW senantiasa mengajak umatnya dengan cara yang lembut, sopan, bijaksana,
kasih sayang, dan penuh keteladan.

165
Dr. Muhammad sayyid al-wakil, priiinsip dan kode etik dakwah, Jakarta : Akademika Pressindo, 2002

301
Sebab, sejatinya dakwah adalah menyeru dan mengajak umat manusia untuk menjadi
lebih baik. Bukan menakut-nakuti mereka dengan berbagai ancaman. Dalam Alquran, Allah
SWT memberikan tuntunan berdakwah dengan tiga cara, yakni bil hikmah, mau’izhotil hasanah
wa jaadilhum billati hiya ahsan.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS An-Nahl: 125).

Lihat cara Nabi berdakwah di bawah. Jika kita ditanya, mungkin kita jawab singkat: “Tidak
boleh. Zina itu haram!” Tapi bisa jadi kurang efektif dan tidak membekas.

Seorang pemuda pernah bertemu dan bertanya pada Rasul SAW. ”Ya Rasulullah, izinkan
saya berzina.” Rasul memandangi pemuda tersebut dengan penuh kasih sayang dan
mengajaknya berdialog. ”Sukakah kamu bila itu terjadi pada Ibumu?” tanya Rasul. ”Tidak,
demi Allah,” jawab anak muda itu. ”Sukakah kamu bila itu terjadi pada saudara
perempuanmu?” tanya Rasul. ”Tidak, demi Allah.” ”Sukakah kamu bila itu terjadi pada anak
perempuanmu?.” ”Tidak, demi Allah.” Sukakah kamu bila itu terjadi pada istrimu?” Anak
muda itu menjawab, ”Tidak, Demi Allah.”

Rasulullah lalu berkata, ”Demikianlah halnya dengan semua perempuan, mereka itu
berkedudukan sebagai Ibu, saudara perempuan, Istri, atau anak perempuan.” Kemudian beliau
meletakkan telapak tangannya di dada pemuda itu, lalu mendoakannya.

Kalau ada kelompok Islam yang melakukan buruk sangka atau su’udzhan, melakukan
ghibah dan fitnah, tidak tabayyun atau memeriksa berita dari orang fasik, melakukan adu domba
atau namimah, maka itu bukanlah dakwah yang benar karena bertentangan dengan surat Al-
Hujurat dan hadits Nabi di bawah:

“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak dapat masuk surga seorang yang gemar mengadu
domba.” (Muttafaq ‘alaih)166

166
Dr. Rabi’bin hadi al-madkhali, manhaj dakwah para nabi, Jakarta : Gema insani press, 1995

302
Islam itu akan tergambar kepada kemuliaan akhlak:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu…” [Al
Ahzab: 21]

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…” [Ali ‘Imran: 159]

Saat para sahabat disiksa di Mekkah dan Nabi juga dihina seperti dilempari kotoran unta
bahkan hendak dibunuh, namun Nabi tidak meminta para sahabat memerangi mereka. Karena
Nabi menghindari pertumpahan darah. Nabi memilih hijrah ke Madinah dan menghindari
peperangan. Saat diserang kaum kafir Quraisy di Madinah pun, Nabi memilih bertahan
membela diri pada perang Badar, perang Uhud, dan Perang Khandaq. Saat musuh kalah dan
mundur, beliau tidak mengejar dan menghabisi mereka. Tapi membiarkan mereka lari
menyelamatkan diri.

Setelah itu, baru Nabi menaklukkan kota Mekkah dengan Futuh Mekkah. Itu pun tidak
dengan peperangan. Dan nyaris tidak ada korban jiwa. Ini karena Nabiibukanlah orang yang
kejam dan haus darah.

Abu Sofyan dedengkot orang kafir yang jadi musuh bebuyutan, tetap Nabu hormati dan
dijadikan sahabat. Hindun yang membunuh paman Nabi, Sayyidina Hamzah, dengan keji
hingga tidak berbentuk lagi serta memakan jantungnya Beliau maafkan. Padahal bisa saja
Beliau jadikan dia sebagai penjahat perang yang dihukum mati karena telah bertindak kejam
melampaui batas. Nabi juga memaafkan Wahsyi yang membunuh paman beliau. Sehingga
Wahsyi bisa jadi Muslim yang baik dan kelak tombaknya membunuh satu Musuh Islam yang
mengaku sebagai Nabi, yaitu Musailamah Al-Kazzab.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia.”

303
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar.” [Fushshilat: 34-35]

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari
keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” [An Nisaa’:
114]

Dalam berdakwah, Nabi mengelola zakat sehingga uang bisa beredar dari yang kaya ke
orang-orang yang memerlukan seperti fakir miskin dan orang-orang yang berjuang di jalan
Allah.

Nabi juga hati-hati dalam menerima berita meski itu dari utusan kepercayaannya
sebagaimana diceritakan Allah dalam surat Al Hujuraat ayat 6. Saat ada berita bahwa satu kaum
tidak ingin membayar zakat, malah hendak membunuh utusannya, Nabi tidak langsung percaya
dan menyerang kaum tersebut. Tetapi mengirim utusan yang lain untuk memeriksa kebenaran
tersebut. Dan ternyata memang berita itu bohong.

Nabi tidak suka berburuk sangka (su’udzhan) dan juga tidak mudah mengkafirkan
seorang Muslim. Nabi meng-Islamkan orang kafir. Ini berbeda dengan sebagian “pendakwah”
yang justru menjauhkan orang dari Islam dengan mengkafirkan orang Islam (Paham Takfiri).

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan
mengenai salah seorang dari keduanya.” [HR Bukhari]

Nabi lemah-lembut dalam berdakwah:

Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan
kepada orang banyak dan Allah itu mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ali-
Imran: 134)

304
Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan itu. Tolaklah
kejahatan itu dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang yang bermusuhan antara
engkau dengan ia akan menjadi teman yang amat setia. Perbuatan sedemikian itu tidak akan
diberikan kepada siapapun, selain dari orang-orang yang berhati sabar dan tidak pula
diberikan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan besar.” (Fushshilat:
34-35)

Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah itu
Maha Lemah Lembut dan mencintai sikap yang lemah lembut dalam segala perkara.”
(Muttafaq ‘alaih)

Saat seorang Arab kampung kencing di masjid, banyak sahabat yang ingin memukulnya
karena “kurang ajar”.

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Ada seorang A’rab ––orang Arab dari daerah pedalaman
–– kencing dalam masjid, lalu berdirilah orang banyak padanya dengan maksud hendak
memberikan tindakan padanya. Kemudian Nabi SAW bersabda: “Biarkanlah orang itu, dan
di atas kencingnya itu siramkan saja setimba penuh air atau segayung yang berisi air.
Karena sesungguhnya engkau semua itu dibangkitkan untuk memberikan kemudahan dan
bukannya engkau semua itu dibangkitkan untuk memberikan kesukaran.” (Riwayat
Bukhari)

Namun, Nabi melarang mereka melakukan tindakan. Beliau malah menturuh para
sahabat untuk menyiramnya dengan air. Jika orang itu dipukul, niscaya dia akan benci terhadap
Islam dan mati sebagai orang kafir. Namun kelembutan Nabi membuat orang itu tetap di dalam
Islam.

Dari Jarir bin Abdullah r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala
macam kebaikan.” (Riwayat Muslim)

Meski demikian, terhadap orang-orang kafir yang memerangi Islam Nabi amat tegas
sehingga orang-orang kafir yang merupakan Super Power dunia saat itu seperti Kerajaan

305
Romawi dan Persia gentar menghadapi Nabi. Saat Kerajaan Romawi memprovokasi umat
Islam, Nabi segera berangkat ke Tabuk bersama 30 ribu pasukan Muslim. Meski satu bulan
menunggu, tentara Romawi tidak berani menyerang sehingga Nabi kembali ke Madinah.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka
ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada
muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan
pahala yang besar.” [Al Fath: 29]

Nabi juga tidak mudah menuduh bid’ah atau sesat kepada umatnya yang melakukan
zikir atau doa yang tidak pernah Beliau ajarkan selama tidak bertentangan dengan syar’i:

Hadis pertama: Seseorang tiba di masjid kemudian ia masuk ke dalam shaf shalat. Ia
tergopoh-gopoh karena mengejar shalat. Kemudian ia berkata: ”Alhamdulillah hamdan
kathiron thayyiban mubaarokan fiihi”. Ketika shalat selesai, Rasulullah bertanya: ”siapa
yang mengucapkan kata-kata tadi?” Sahabat tidak ada yang menjawab. Kemudian
Rasulullah saw mengulangi pertanyaanya: ”Siapa yang mengucapkan kata-kata tadi, Ia
tidak mengucapkan sesuatu yang jelek. ” Seseorang menjawab: ”Saya tiba di masjid dan
khawatir tertinggal shalat, maka saya mengucapkannya. ” Rasulullah berkata: ”Saya
melihat dua belas malaikat berlomba siapa di antara mereka yang mengangkatnya.” (HR
Muslim No. 600)

Hadis Kedua: Ibnu Umar berkata: ketika kami sedang shalat bersama Rasulullah saw tiba-
tiba ada seseorang yang mengucapkan: ”Allahu-akbar kabiroo, walhamdu-lillahi katsiroo,
wa subhanallahi bukrotaw-waashilaa.” Kemudian Rasulullah saw bertanya: ”Kalimat zikir
tadi, Siapa yang mengucapkannya?” salah seorang menjawab; “Saya wahai Rasulullah.”

306
Rasulullah berkata: ”Aku mengaguminya, dibukakan pintu langit bagi kalimat
tersebut!”(HR Muslim No.601)

Hadis Ketiga: Seseorang dari kaum Anshar menjadi imam di masjid Quba. Ia selalu
membaca surat al-Ikhlas sebelum membaca surat lain setelah al-Fatihah. Ia melakukannya
setiap rakaat. Jamaah masjid menegurnya: ”Kenapa anda selalu memulainya denga al-
Ikhlas, bukankah surat al-Ikhlas cukup dan tidak perlu membaca surat lain, atau engkau
memilih cukup membaca al-Ikhlas atau tidak perlu membacanya dan cukup surat lain. Ia
menjawab: “Saya tidak akan meninggalkan surat al-Ikhlas, kalau kalian setuju saya
mengimami dengan membaca al-Ikhlas maka saya akan mengimami kalian, tapi kalau
kalian tidak setuju maka saya tidak akan jadi imam.” Mereka tahu bahwa orang ini yang
paling baik dan tidak ingin kalau yang lain mengimami shalat. Ketika Rasulullah datang
mengunjungi, mereka menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW
bertanya pada orang tersebut; ”Apa yang membuatmu menolak saran teman-temanmu?
Dan Apa yang membuatmu selalu membaca surat al-Ikhlas setiap rakaat?” Ia menjawab:
”Saya mencintainya (al-Ikhlas). Rasulullah berkata: ”Kecintaanmu terhadap surat al-Ikhlas
memasukanmu kedalam syurga!” (HR Bukhori no.741). Meski Nabi tidak pernah
mengajarkan itu, dan sahabat ada yang melakukannya, Nabi tidak memaki mereka sebagai
bid’ah sesat dan masuk neraka. Sebaliknya memujinya bahwa mereka dapat pahala sehingga
masuk surga.

Mungkin ada yang berdalih: “Itukan sahabat yang sudah dapat persetujuan dari Nabi.
Sedang kita tidak”. Harusnya mereka paham bahwa saat Nabi mengatakan bahwa “Setiap yang
bid’ah itu sesat dan yang sesat itu masuk neraka”, Nabi mengatakan itu kepada para
SAHABAT. Bukan kita. Kalau bukan kepada sahabat kalimat itu diucapkan, kepada siapa lagi?
Bukankah Nabi diutus kepada kaumnya? Jadi saat ada Sahabat yang melakukan bid’ah, ternyata
tidak semua bid’ah itu sesat. Ada juga yang memang jika baik, dibolehkan oleh Nabi.167

167
Ibrahim, ibnu, dakwah, Jakarta : Republika Penerbit, 2011.

307
Etika Perbankan Islam

Oleh: Hesty Andreany

1. Pengertian Perbankan Islam

Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu
menerima uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang168. Kegiatan
menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan
memberikan jasa bank lainnya hanya sebagai kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun
dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan
dan deposit. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah
sebagai rangsangan bagi masyarakat169. Sistem ini termasuk kepada bank konvensional.

Jadi, Perbankan Islam adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariat islam, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk menyimpandana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Islam. Bank Islam berbeda dengan bank
konvensional. Perbedaan utamanya terletak pada landasan operasi yang digunakan. Bank
konvensional beroperasi berdasarkan bunga, bank Islam beroperasi berdasarkan bagi hasil,
ditambah dengan jual beli dan sewa.

Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa bunga mengandung unsur riba yang
dilarang oleh agama Islam. Menurut pandangan Islam, di dalam sistem bunga terdapat
unsur ketidakadilan karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari
pada yang dipinjam tanpa memperhatiakan apakah peminjam menghasilkan keuntungan
atau mengalami keruguian. Sebaliknya, Sistem bagi hasil yang digunakan bank Islam
merupakan sistem ketika pinjaman dan yang meminjamkan berbagi dalam resiko dan
keuntungan dengan pembagian sesuai kesepakatan. Bank Islam dapat pula didefinisikan
sebagai sebuah lembaga intermediasi yang mengalirkan investasi publik secara optimal (

168
Fatur Rozak., Muhammad Lutfi Ubaidilillah, “ pendidikan Agama IslamI”, ARYA DUTA, Depok 2007, hl.74
169
Id.m.Wikipedia.org/wiki/bank, Diubah 3 febuary 2015, pukul 20:58

308
dengan kewajiban zakat dan larangan riba) yang bersifat produktif (dengan larangan judi),
serta dijalankan sesuai nilai, etika, moral dan prinsip Islam.170

2. Prinsip bank islam

Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah
kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini untuk digunakan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini Allah tidak
meninggalkan manusia sendirian tetapi diberikan petunjuk melalui para Rasul-Nya. Dalam
petunjuk ini Allah berikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik akidah, akhlak
maupun syariah.171

Dalam menjalankan aktivitasnya, bank Islam menganut prinsip-prinsip berikut:

1. Prinsip Keadilan, prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil
dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan
nasabah.
2. Prinsip kemitraan atau kesederajatan, bank Islam menetapkan nasabah penyimpan
dana, nasabah penggunaan dana, maupun bank pada kedudukan yang sama atau
berimbang atau sederajat antara nasabah penyimpan dana, nasabah penggunaan dana,
maupun bank yang sederajat antara sebagai mitra usaha.
3. Prinsip ketentraman, produk-produk bank Islam telah sesuai dengan prinsip dan kaidah
muamalah Islam, antara tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta.
4. Prinsip tranparansi atau keterbukaan, melalui laporan keuangan bank yang terbuka
secara berkesinambungan, nasabah dapat mengetahui tingkat keamanan dana dan
kualitas manajemn bank.

170
Prof. Dr.H. Veithzhal Rivai, S.E., M.M., M.B.A., Ir. H. Arviyan Arifin. “Islamic Banking”, BUMI AKRASA 2010,
hl.130
171
Prof. Dr.H. Veithzhal Rivai, S.E., M.M., M.B.A., Ir. H. Arviyan Arifin. “Islamic Banking”, BUMI AKRASA 2010. Hl.
293
309
5. Prinsip universalitas, bank dalam mendukung operasionalnya tidak membeda-bedakan
suku agama, ras, golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai
rakhmatan Lil’alamin.
6. Tidak ribawi (nonusurious).
7. Laba yang wajar (legitimate profit).

Bagi masyarakat modern, membawa prinsip kepada dua ajaran dalam al-Qur’an:

1. Prinsip Al-Ta’wun
Merupakan konsep dasar yang dijadikan asas untuk mengaplikasikan teori Islam
atas harta dengan atau tanpa adanya ta’wun, maka teori tersebut tidak dapat diwujudkan.
Dan konsep untuk saling membantu serta kerja sama antara anggota masyarakat dalam
berbuat kebaikan. Masyarakat muslim mempunyai syi’ar sebagaimana firman Allah
dalam surah Az-Zukhruf ayat 32:

                

           

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan”.
Dalam arti, harta kekayaan bukanlah menjadi tujuan hidup, harta berfungsi
sebagai pokok kehidupan dan mempunyai tugas-tugas sosial yang cukup urgen, manusia
sama dihadapan Allah, dan yang membedakan kadar takwa yang akan menyampaikan
seseorang hamba pada rahmat Allah.172

172
Baitul-maal.com/konsep-tawuun-dalam-islam/, 28 april 2009.

310
2. Prinsip Menghindar Al-Iktinaz
Seperti memberikan uang menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang
bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-
Nisa ayat 29:

              

         

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Dalam perbankan Islam dilarang keras untuk melakukan transaksi apabila terdapat hal-
hal sebagai berikut:
1. Ghara, yaitu semu transaksi ekonomi yang melibatkan unsur ketidakjelasan,
penipuan,atau kejahatan. Jadi, ghara adalah suatu usaha secara buta tanpa memiliki
pengetahuan yang cukup, atau menjalankan suatu transaki yang resikonya
berlebihan tanpa mengetahui dengan pasti apa akibatnya atau memasuki kancah
resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Konsep Ghara terbagi menjadi dua,
yaitu:
a. Ghara karena adanya unsur resiko yang mengandung keraguan, probabilitas, dan
ketidakpastian secara dominan.
b. Ghara karena adanya unsur yang meragukan yang dikaitkan dengan penipuan
atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain.
2. Masysir, yaitu memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau
mendapatkan keuntungan kerja. Segala sesuatu yang mengandung unsur judi,
taruhan, atau permainan beresiko.

311
3. Riba, yaitu pembayaran premi yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada
pinjaman di samping pengembalian pokok, yang diterapkan sebelumnya atas setiap
jenis pinjaman.173
3. Kegiatan Usaha dalam Perbankan Islam

Produk-produk syariah dan melihat kemungkinan penerapannya dalam sistem


perbankan alternatif. Bank Islam juga mempunyai alternatif penghimpun dana dan
pemberian pembiayaan nonbagi hasil. Dalam penghimpunan dana, bank Islam dapat juga
menggunakan prinsip wadiah, qardh, maupun ijarah. Dalam pembiayaan, bank Islam
dapat juga menggunakan prinsip jual beli dan sewa. Selain itu, bank islam juga
menyediakan berbagai jasa keuangan seperti wakalah, kafalah, hiwalah, rhn, qardh, sharf
dan ujr.

a) Jenis kegiatan Usaha


 Penghimpun dana
Dalam penghimpun dana, bank Islam melakukan mobilisasi dan investasi
tabungan dengan cara yang adil. Sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi
semua pihak. Tujuan mobilisasi dana, merupakan hal penting karena Islam secara
tegas mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana
secara produktif dalam rangka mencapai-tujuan sosial ekonomi islam
Berkaitan dengan hal di atas maka prinsip yang dianut bank Islam dalam
penghimpun dana adalah sebagai berikut:

No Produk Prinsip Return untuk nasabah

1 Giro Waidiah (titipan) Bonus sesuai kehendak bank

2 Tabungan Waidah (titipan) Bonus sesuai kehendak bank


Mudharabah (bagi hasil) Bagi hasil, deegan nisbah

3 Deposito Mudharabah muthalaqah Bagi hasil, deegan nisbah

173
Prof. Dr.H. Veithzhal Rivai, S.E., M.M., M.B.A., Ir. H. Arviyan Arifin. “Islamic Banking”, BUMI AKRASA 2010. Hl.
296-297

312
Mudharabah muqayyadah Bagi hasil, deegan nisbah

Dalam hal ini, bank Islam melakukannya tidak dengan prinsip bunga (riba),
melainkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, terutama mudharabah
(bagi hasil) dan wa’idah (titipan). Sumber dana bank Islam selain dari kegiatan
penghimpun dana, tentunya juga dari modal yang disetor, sehingga secara
keseluruhan sumber dana bank dapat dibagi menjadi:
a. Modal, yaitu dana yang diserahkan oleh para pemilik sebagai keikutsertaannya
dalam usaha bank Islam. Sebagai buktinya, pemilik akan menerima sejumlah
saham sesuai dengan porsi keikutsertaan.
b. Rekening Giro, yaitu berupa simpanan dari nasabah perseorangan maupun
badan usaha. Dana dapat disimpan dalam bentuk rupiah maupun mata uang
asing. Dana dapat ditarik kapan saja dengan menggunkan cek dan atau bilyet
giro.174 Dalam Islam menerima simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening
giro unutk kemanan dan kemudahan pemakaiannya dengan prinsip al wadi’ah
yah dhamanah atau titipin. Wadi’ah merupakan perjanjian perwakilan untuk
tujuan melindungi harta seseorang.
c. Rekening Tabungan, yaitu menerima simpanan dari nasabah dalam bentuk
rekening tabungan untuk keamanan dan kemudahan pemakaian, seperti
rekening giro tetapi tidak se-fleksible rekening giro karena nasabah tidak bisa
menarik dananya dengan cek. Prinsip yang digunakan dapat berupa:
1. Wadi’ah, titipan
2. Qardh, pinjaman kebajikan
3. Mudharabah, atau bagi hasil.
Dalam praktiknya, tabungan wadi’ah, dan mudharabah yang bisa digunakan
secara luas oleh bank Islam. perbedaan tabungan wadi’ah dan tabungan
mudharabah dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No Tabungan Mudharabah Tabungan Wadi’ah

174
Perushaan.web.id/bank/rekening-giro/, 09 Agustus 2012

313
1. Sifat dana Investasi Titipin

2. Penarikan Hanya dapat dilakukan Dapat dilakukan


pada periode tertentu setiap saat

3. Insetif Bagi hasil Bonus ( jika ada )

4. Penegmbalian Tidak dijamin Dijamin


modal dkembalikan 100% dikembalikan 10%

d. Rekening investasi umum atau investasi tidak terikat, yaitu menerima


simpanan deposito berjangka dan memasukkan ke dalam rekening investasi
umum dan dengan prinsip mudharabah al muthalaqah. Investasi umum ini
sering disebut juga sebagai investasi tidak terikat. Rekening investasi lebih
bertujuan untuk mencari keuntungan daripada untuk mengamankan uangnya.
e. Rekening investasi khusus atau investasi terikat, yaitu nasabah yang ingin
menginvestasikan dananya langsung dalam proyek yang disukainya yang
dilaksanakan oleh bank dengan prinsip mudharabah al muqayyadah.
f. Obligasi Islam, yaitu melakukan pengarahan dana dengan menerbitkan obligasi
Islam. Dengan obligasi Islam, bank mendapatkan alternatif sumber dana
berjangka panjang (lima tahun atau lebih) sehingga dapat digunakan untuk
pembiayaan-pembiayaan berjangka panjang. Obligasi Islam menggunakan
beberapa prinsip yang dibolehkan Islam. Seperti mudharabah (prinsip bagi
hasil) dan ijarah (prinsip sewa).
Di luar penghimpunan dana, kegiatan usaha bank Islam dapat digolongkan
kedalam transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah), dan transaksi tidak untuk
mencari keuntungan (tabaru). Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi
lagi menjadi dua, yaitu:
1. Tansaksi yang menandung kepastian, yaitu kontrak dengan prinsip non bagi
hasil (jual beli dan sewa).
2. Transaksi yang mengandung ketidakpastian, yaitu kontrak dengan prinsip bagi
hasil.

314
 Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dana, bank Islam dapat memberikan berbagai bentuk
pembiayaan. Pembiayaan yang diberikan oleh bank Islam mempunyai lima bentuk
utama, yaitu mudharabah dan musyarakah (dengan pola bagi hasil), mudahrabah
dan salam (dengan pola jual beli), dan ijarah (dengan pola sewa operasional
maupun financial).
1. Pembiayaan Bagi Hasil
Bentuk pembiayaan bank Islam yang utama dan paling penting yang
disepakati oleh para ulama adalah pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dalam
bentuk mudharabah dan musyarakah. Ciri utama pembiayaan bagi hasil adalah
bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh pemilik dana maupun
pengusaha. Konsep pembiayaan bagi hasil dilandaskan pada prinsip dasar, yaitu:
a) Pembiayaan bagi hasil tidak bearti meminjam uang, tetapi merupakan
partisipasi dalam usaha. Dalam hal musyarakah, keikutsertaan asset dalam
usaha hanya sebatas proporsi pembiayaan masing-masing pihak.
b) Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung resiko kegiatan usaha
sebatas proporsi pembiayaannya.
c) Pada mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasio
keuntungan masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio
pembiayaan yang disertakan.
d) Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan
proporsi investasinya.

 Mudharabah

Pembiayaan ini merupakan bentuk pembiayaan bagi hasil ketika bank


sebagai pemilik dana atau modal, bisa disebut shahibul maal atau rabbul maal.
Menyediakan modal (100%) kepada pengusaha sebagai pengelola, bisa disebut
mudharib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa
keuntungan yang dihasilkan akan dibagi diantara mereka menurut kesepakatan

315
yang ditentukan sebelumnya dalam akad (yang besarnya dipengaruhi oleh
kekuatan pasar).

 Musyarakah

Pembiayaan ini merupakan bentuk pembiayaan bagi hasil ketika bank


sebagai pemilik dana atau modal turut serta sebagai mitra usaha, membiayai
investasi usaha pihak lainnya. Pembiayaan tambahan diberikan kepada mitra
usaha (indivdu atau kelompok) yang telah memiliki sebagaian pembiayaan untuk
investasi.

Perbedaan mudharabah dan musyarakah

Musyarakah Mudharabah

Sumber investasi Semua mitra usaha Shahibul maal

Partisivasi Mudharib
Semua mitra usaha
manajeman
Semua mitra usaha sebatas Shahibul maal
Pembagian risiko
bagian investasinya
Kwajiban pemilik Tidak terbatas atau sebatas Sebatas modal
modal modal
Status kepemilikan Milik bersama Semua mitra Milik Shahibul maal
asset usaha

Bentuk penyertaan Dana dan barang investasi Dana

 Muzara’ah

316
Memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan tertentu (prosentase) dari hasil panen.175 Muzara’ah
seringkali diidentikkan dengan mukharabah hanya saja diantara keduanya
terdapat perbedaan kecil.

- Muzara’ah : benih dari si pemilik lahan


- Mukharabah : benih dari si penggarap
 Musaqat

Musaqat adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si


penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan sebagai
imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.

 Jasa pelayanan

Selain menjalankan transaki untuk keuntungan, bank Islam juga melakukan


transaksi yang tidak unuk mencari keuntungan,. Transaksi ini tercakup dalam
jasa pelayanan (fee based income). Beberapa bentuk layanan jasa yang
disediakan oleh bank Islam untuk nasabahnya, antara lain jasa keuangan, agen,
dan jasa nonkeuangan. Yang termasuk dalam jasa keuangan, antara lain wadi’ah
yad dhamanah atau titipan (dalam bentuk giro dan Tabungan), wakalah
(pelimpahan kekuasaan kepada bank untuk bertindak mewakili nasabah),
kafalah (jaminan yang diberikan seseorang untuk menjamin pemenuhan
kewajiban pihak kedua), hiwalah (pengalihan dana atau utang dari depositor atau
debtor kepenerima atau kreditor), rahn (pinjaman dengan jaminan atau gadai
atau mortage), sharf (jual beli mata uang).

4. Kegiatan Sosial

Kegiatan bank Islam selain berorientasi keuntungan juga berorientasi pada


kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, dalam menjalankan usahanya, bank Islam selalu

175
Prof. Dr.H. Veithzhal Rivai, S.E., M.M., M.B.A., Ir. H. Arviyan Arifin. “Islamic Banking”, BUMI AKRASA 2010.
Hl.198

317
memperhatiakn implikasi sosial yang diakibatkan oleh keputusan-keputusan yang diambil
oleh bank, termasuk dalam pembiayaan. Selain memperhatikan kesejahteraan sosial dalam
setiap usaha komersial, bank Islam juga melakukan kegiatan sosial melalui berbagai
kegiatan, antara lain:

1. mempunyai devisi yang menerima dan menyalurkan zakat, infak, dan sedekah.
2. Memberikan pinjaman kebajikan tanpa bunga (qhardul hasan) nasabah yang sedang
dalam kesulitan mendadak untuk mendapat dana talangan jangka pendek.
3. Menyisihkan sebagain laba untuk kegiatan sosial, seperti memberikan beasiswa.

5. Etika Pelaksana Pembiayaan

Upaya mempersiapkan kualifikasi bank Islam di masa depan, terutama diarahkan


kepada upaya peningkatan profesionalisme yang tidak hanya berkaitan dengan masalah
keahlian dan keterampilan saja, namun yang jauh lebih penting adalah menyangkut
komitmen moral dan etika bisnis yang mendalam atas profesi yang dijalaninya.
Pemahaman dan perwujudan tidak nyata dari nilai-nilai normal agamis merupakan
persyaratan mutlak bagi pelaku bank Islam masa depan.

Tantangan sekaligus peluang besar yang memerlukan perjuangan dengan nilai ibadah
yang tinggi, perlu secara terus menerus dilakukan oleh kalangan lembaga nilai ibadah yang
tinggi, perlu secara terus menerus dilakukan oleh kalangan lembaga keuangan dan
pendidikan bisnis Islam dalam rangka menumbuhkan sumber daya manusia bank Islam
yang Ihsan.

Untuk menetapkan kinerjanya, pejabat bank Islam sebagai suatu profesi perlu
menjunjung tinggi kode etik pejabatan pembiayaan bank islam, sebagai berikut:

1. Patut dan taat kepada ketentuan perundang-undangan dan peraturan pembiayaan yang
berlaku, baik ekstern maupun intern.
2. Melakukan pencatatan mengenai setiap kegiatan transaksi yang terjalin dengan
kegiatan banknya.
3. Menghindari diri dari persaingan yang tidak sehat.
4. Tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi.

318
5. Menghindarkan diri dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam hal yang
bertentangan dengan kepentingan.
6. Menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya.
7. Memperhitungkan dampak yang merugikan dari setiap kebijakan yang diterapkan bank
terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan.
8. Tidak menerima hadiah atau imbalan apapun yang dapat memperkaya diri pribadi
maupun keluarganya sehingga mempengaruhi pendapat profesionalnya dalam penilain
dan keputusan pembiayaan.
9. Tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merugikan citra profesi.

319
Etika Guru Dalam Mengajar

Oleh: Ichsanul Afief

A. Pengertian Etika Guru

Sebenarnya kode etik pada suatu pekerjaan adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional,
ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam kerjanya.
Lebih kentara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi pandangan Islam, maka
agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Allah
SWT pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat
antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki sifat-sifat yang berikut:

1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani),
seperti disebutkan oleh surat Al-Imran ayat 79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat
bimbingan Tuhan).”

2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu


pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam
bidang pengkhususannya.

3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan
mencari keridhaan Allah SWT dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.

4. Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-


murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.

5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah
lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota
masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadith Nabi SAW“Iman itu bukanlah berharap
dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal.”

320
6. Bahwa ia fleksibel dalam berbagai kaidah-kaidah pengajaran dengan menggunakan kaidah
yang sesuai bagi suasana tertentu. Guru perlu dipersiapkan dari segi professional dan
psikologikal yang baik.

7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang
dikehendaki.

8. Bahwa ia sadar akan pengaruh-pengaruh dan trend global yang dapat mempengaruhi
generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.

9. Bahwa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang
benar.

Seperti makna firman Allah SWT dalam QS al-Maidah ayat 8:

“Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat
adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sebab Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu buat.”

Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh seorang guru Muslim, yang mana proses
penyediaan guru-guru itu harus dibina.

Ada beberapa istilah yang harus diterangkan dahulu sebelum melanjutkan pembicaraan kita
mengenai etika, yaitu:

1. Etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan
kerjanya seperti keguruan, pengobatan dan sebagainya.
2. Nilai-nilai adalah yang menyertai setiap kerjanya itu seperti memberi pengkhidmatan yang
sebaik-baiknya kepada pelanggan dan sebagainya.
3. Pengamalan semua kerjanya mementingkan amalan tetapi sebelum sampai kepada amalan,
nilai-nilai kerjanya itu harus dihayati (intemalized).
4. Penghayatan yaitu penghayatan nilai-nilai maka nilai-nilai seperti keikhlasan, kejujuran,
dedikasi dan lain-lain itu dihayati.

Faktor terpenting bagi seorang guru adalah etikanya. Etika itulah yang akan
menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah

321
akan menjadi perusak aau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik
yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan
jiwa (tingkat menengah).

Perasaan dan emosi guru yang mempunyai etika terpadu tampak stabil, optimis dan
menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima
dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.

Pada dasarnya perubahan prilaku yang dapat ditunjukan oleh peserta didik harus
dipengaruhi oleh latar belakang pendidkan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru.
Atau dengan perkataan lain, guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta
didik. Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukan oleh
peserta didik. Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui peningkatan
kemampuan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi
dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu adanya perubahan kebiasaan dalam
cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara belajar siswa, diantaranya
sebagai berikut:

1) Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas
dalam mengajar apabila banyak mengkaji informasi (ceranah) dan terlalu mendominasi
kegiatan belajar peserta didik.
2) Guru hendaknya berperan sebagi pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan
menyajikan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat
kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk
bepikir dan bekerja (melakukan).
3) Mengubah dari sekedar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih
relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru
merasa belajar dan puas kalau banyak mengajarkan dan menerima informasi (diceramahi)
guru, atau baru belajar kalu ada guru.
4) Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik
dapat belajar secara mandiri atah berkelompok, percaya diri, terbuka untuk saling memberi
dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah
sendiri informasi.

322
B. Karakteristik Etika Islam

Kriteria yang dijadikan ukuran untuk menentukan baik buruknya tingkah laku,
pandangannya terhadap akal dan naluri, yang menjadi motif dan tujuan terakhir dari tingkah
laku.

1. al-Qur’an dan Sunnah Sebagai Sumber Moral

Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria
baik buruknya sesuatu perbuatan adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Kedua
dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan sebagai
pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk.

Al-Qur’anul Karim bukanlah hasil renungan manusia, melainkan Firman Allah


Yang Maha Pandai dan Maha Bijaksana. Oleh sebab itu, setiap Muslim berkeyakinan
bahwa ajaran kebenaran terkandung di dalam al-Qur’an yang tidak akan dapat ditandingi
oleh fikiran manusia.

Ditemukan dalam al-Qur’an yang artinya:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu sekalian dari hadlirat Allah, suatu cahaya yang
terang dan kitab yang menerangkan. Dengan (kitab) itu Allah menunjuki orang yang
menurut keridhan-Nya kepada jalan kesejahteraan, dan Kitab itu mengeluarkan mereka
dari kegelapan kepada cahaya yang terang dengan izin-Nya dan Kitab itu menunjuki
mereka kepada jalan yang lurus.”(Q.S. al-Maidah 5: 15-16)

Sebagai pedoman kedua sesudah al-Qur’an adalah Hadist Rasulullah SAW.


(Sunnah Rasul) yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau. Hadist Nabi SAW. Juga
dipandangi sebagai lampiran penjelasan dari Al-Qur’an tersurat pokok-pokoknya saja.

Al-Hadist sebagai pedoman hidup Muslim dijelaskan dalam al-Qur’an, yang artinya:

323
“Dan apa yang didatangkan oleh Rasul kepadamu ambillah olehmu dan apa yang
dilarangnya kepada kamu jauhilah.”(Q.S. al-Hasyr 59: 7)

“Sesungguhnya pribadi Rasulullah merupakan contoh (suri teladan) yang baik untuk kamu
dan untuk orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari kemudian dan mengingat
Allah sebanyak-banyaknya.”(Q.S. al-Ahzaab 33: 21)

Jika telah jelas nahwa Al-Qur’an dan Rasul adalah pedoman hidup yang menjadi
azas bagi setiap Muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber moral dalam Islam.
Firman Allah dan Sunnah Nabi-Nya adalah ajaran yang paling mulia dari segala ajaran
manapun hasil renungan dan ciptaan manusia, hingga telah menjadi keyakinan (aqidah)
Islam bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk mengikuti petunjuk dan pengarahannya.
Dari pedoman itulah diketahui kriteria mana perbuatan yang bak dan jahat, mana yang halal
dan mana yang haram.

2. Kedudukan Akal dan Naluri

Berbeda dengan teori etika yang memandang bahwa akal dan nalurilah yang
menjadi dasar yang menentukan baik buruknya akhlak, maka ajaran etika Islam
berpendirian sebagai berikut:

a) Akal dan naluri manusia adalah anugerah Allah.


b) Akal pikiran manusia terbatas hingga pengetahuan manusiapun tidak akan mampu
memecahkan seluruh masalah yang ada. Karena itu, akal masih memerlukan
bimbingan dan cahaya petunjuk Rasul akan memperoleh kedudukan yang tepat dan
akan dapat menemukan kedudukannya yang benar dan tepat.
c) Naluri manusiapun harus mendapatkan pengarahan dari petunjuk Allah yang
dijelaskan dalam Kitab-Nya. Jika tidak, naluri itu akan salah dalam penyalurannya.
Misalnya naluri makan, naluri seksual, naluri berjuang dan lain-lain, juga
diperturutkan begitu saja akan menimbulkan kerusakan. Tetapi jika diarahkan menurut
petunjuk-Nya, niscaya akan tetap berjalan di atas fitrahnya yang suci.

324
Demikianlah kedudukan naluri dan akal dalam pandangan Etika Islam, bahwa
keduanya perlu dimanfaatkan dan disalurkan sebaik-baiknya dengan bimbingan dan
pengarahan yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

3. Motivasi Islam

Tindakan dan pekerjaan manusia selalu didorong oleh suatu motivasi tertentu.
Motivasi itu bermacam-macam, ada yang karena kepentingan kekayaan, ingin mahsyur
namanya dan lain sebagainya. Adapun dalam pandangan Islam yang menjadi pendorong
yang paling dalam dan paling kuat untuk melakukan sesuatu amal perbuatan yang baik,
adalah akidah, iman yang terpatri dalam hati. Iman itulah yang membuat seorang Muslim
ikhlas, mau bekerja (beramal) keras bahkan rela berkorban. Iman itulah sebagai motivasi
dan kekuatan pengerak yang paling ampuh dan pribadinya yang membuat dia tidak dapat
dalam diri melakukan kegiatan dan amal shaleh.

Jika “motor iman” itu bergerak, maka keluarlah produksinya berupa amal sholeh
dan akhlakul karimah. Dengan demikian hanya dari jiwa yang dihayati iman diharapkan
memancar kebaikan dan kebajikan yang sebenarnya. Kebaikan yang lahir tanpa
bersumberkan keimanan, adalah kebaikan yang tidak mendapatkan penilaian disisi Allah.
Dengan iman itulah, maka seorang mu’min selalu antusias berbuat baik sebanyak-
banyaknya. Sabda Rasulullah SAW, yang artinya:

“Sekali-kali tidaklah seorang Mukmin akan merasa kenyang (puas) mengerjakan


kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga.”(H.R. Tirmidzi)

Iman yang sempurna menjelmakan cinta dan ta’at kepada Allah SWT.

4. Mata Rantai Akhlak

Dengan motivasi Iman, terdoronglah seorang Mukmin mengerjakan kebaikan


sebanyak-banyaknya menurut kemampuan tenaganya. Memanifestasikan iman tersebut
terdapat “mata rantai” yang berkaitan dalam hati, dan pembuktian dalam realisasinya,

325
yakni: niat (keikhlasan) dalam hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan yang
dilaksanakan oleh anggota tubuh.

Sebelum melakukan suatu tindakan, harus didahului dengan niat untuk apa
pekerjaan itu dilakukan. Dalam hubungan ini, Islam menggariskan pemantapan niat yang
perbuatan itu dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah.

Setelah niat itu terpasang dalam hati, bergeraklah anggota tubuh (jasmani)
menegrjakan kebaikan memprodusir kebajikan sesuai dengan yang diniatkan itu. Dengan
perkataan lain dahwa hanyalah perbuatan yang disertai niat, yang dapat diterima dan
dupertanggung jawabkan. Amal tanpa niat tidak mendapatkan penilaian dalam pandangan
Etika Islam.

5. Tujuan Luhur Etika Islam

Sesuai dengan pola hidup yang diajarkan Islam, bahwa seluruh kegiatan hidup,
harta kematian sekalipun, semata-mata dipersembahkan kepada Allah. Ucapan yang selalu
diucapkan dalam do’a iftitah shalat, merupakan bukti nyata tujuan yang tertinggi dari
segala tingkah laku menurut pandangan Etika Islam adalah mendapatkan Ridha Allah
SWT.

Jika seorang Muslim mencari rizki bukanlah sekedar untuk mengisi perut bagi diri
dan keluarganya. Pada hakikatnya dia mempunyai tujuan yang lebih tinggi atau tujuan
filosofis dia mencari rizki untuk memenuhi hajat hidupnya itu barulah tujuan yang dekat
dan masih ada tujuan yang lebih tinggi lagi. Dia mencari rizki untuk mendapatkan makanan
guna membina kesehatanrohani dan jasmani, sedangkan tujuan membina kesehatan itu
ialah supaya kuat beribadah dan beramal, yang dengan amal ibadah itulah dia dapat
mencapai tujuan yang terakhir, yakni ridha Allah SWT. Jika dia belajar, bukan hanya
sekedar memiliki ilmu. Ilmu itu akan menjadi “jembatan emas” dalam membina taqwa dan
taqarrub kepada Allah SWT. Supaya menjadi insan yang diliputi ridha Ilahi. Tegasnya
segala niat, gerak-gerik batin, dan tindakan lahir dalam Etika Islam, haruslah selalu terarah
kepada ridha Allah, dan jalan taqwa yang ditempuhnya itulah jalan yang lurus.

326
Ridha Allah itulah yang menjadi kubci kebahagiaan yang kekal dan abadi yang
dijanjikan Allah dan yang dirindukan oleh setiap manusia beriman. Tanpa ridha Allah maka
kebahagian abadi dan sejati (surga) tidak akan dapat diraih.

C. Etika Guru Menurut Para Pemikir Muslim

1. Al-Jarnuzi

Dalam al-Munjid nama al-Jarnuzi disebut singkat sekali. Ditulis di situ bahwa al-
Jarnuzi adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuzi, Taz al-Din. Beliau adalah
sastrawan (Adib) yang berasal dari bukhara. Semula berasal dari Zarnuj, suatu kawasan
dinegeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara’a al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab
al-Muwadhdhah syarh al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/1242 M.

Al-Zarkeli tidak menuturkan al-Jarnuzi tinggal, namun secara umum al-Jarnuzi hidup
pada akhir periode daulah abbasiyah, sebab khalifah abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim)
wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal di kawasan Irak-Iran, sebab
beliau juga mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa
pada masa abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.

Adapun cara memilih guru menurut al-Jarnuzi ialah carilah yang alim, yang ber sifat
wara’ dan yang lebih tua. Sebagimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Abi
Sulaiman, kerena beliau mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut maka Abu Hanifah
mengaji ilmu kepadanya.

Abu Hanifah berkata, “beliau adalah seorang guru berakhlak mulia, penyantun, dan
penyabar.”

Sebagai calon pendidik selayaknya kita mengetahui kriteria guru yang baik. Karena
itu merupakan salah satu poin yang dibahas dalam konsep penddikan al-Jarnuzi yakni
memilih ilmu, guru, teman dan ketahanan dalam belajar. Dalam pembahasan memilih guru
ada beberapa kriteria yang ditulis oleh al-Jarnuzi dalam kitabnya (Ta’lim Muta’alim).

327
a) Pedegogik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing anak, bagaimana
sebaiknya pendidik berhadapan dengan anak didik, apa tugas pendidik dan tujuan
mendidik anak. Dari kesimpulan tersebut bahwa guru harus paham dan mengerti betul
hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan.
b) Seorang guru adalah figur yang berbicara di depan dan harus bisa menghidupkan suasana
dengan kemampuan sosialnya.
c) Profesional berarti seorang pendidik harus paham betul akan materi yang ia sampaikan.
Lebih detail lagi ia selalu akan tugas atau materi yang ia bawakan kemaren, sehingga
materi yang dibawakan itu akan terus nyambung bagaikan mata rantai yang seling
membutuhkan satu sama lain.
d) Guru tidak hanya sebagai pentransfer ilmu, akan tetapi juga sebagai pengajar etika yang
berperan sebagai uri tauladan. Konsep orang jawa bahwa guru adalah orang yang di gugu
dan ditiru, artinya guru adalah orang yang dihormati dan menjadi tauladan bagi muridnya.
Maka guru harus mengisi kepribadiannya dengan akhlakul karimah.

Dari keempat kriteria di atas, bukan berarti salah satu atau salah dua yang harus
dimiliki oleh pendidik profesional, akan tetapi kesemua itu bagaikan mata rantai yang
berurutan yang memang satu sama lain harus berhubungan dan melengkapi. Sehingga hal
itu akan menjadi efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan pendidikan. (Ta’lim al-
Muta’alim Thariq al-Ta’allum)

2. Al-Ghazali

a. Riwayat Hidup Al-Gazhali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Muhamad Al-Ghazali di


lahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasam Persia pada tahun 450 H atau 1058 M.
Ayahnya seorang pemintal wol yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu.
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal ayahnya berpesan
kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan
pendidikanya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-
Ghazali kedua anak itu dididik dan disekolahkan. Setelah harta ayah mereka habis,

328
mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya. (Ahmad Tafsir,
2001:177)

Imama al-Ghazali kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pandai dan soleh. Dia
juga dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung pencari
kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa
dan sengsara.

Pada awal studi nya, Al-Ghazali mengalami peristiwa menarik, yang kemudian
mendorong kemajuannya dalam pendidikan suatu hari, dalam perjalanan ke tempat
asalnya, Al-Ghazali dihadang oleh segerombolan perampok. Mereka merampas semua
bawaan Al-Ghazali termasuk catatan kuliahnya. Al-Ghazali meminta kepada perampok
itu agar mengembalikan catatannya, yang baginya sangat bernilai. Kepala perampok itu
malah menertawakan dan mengejeknya, sebagai penghinaan terhadap Al-Ghazali yang
ilmunya hanya tergantung kepada beberapa helai kertas saja. Tanggapan Al-Ghazali
terhadap peristiwa itu sangat positif. Ejekan itu digunakan untuk mencambuk dirinya
dan menajamkan ingatannya dengan menghapal semua catatan kuliahnya (Abidin Ibnu
Rusn,1998:10)

Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada
Ahmad bin Muhamad Ar-Ridzkani kemudian kepada Abi Nashr Al-Ismail di Jurjani.
Setelah mempelajari ilmu di negeri tersebut berangkatlah Al-Ghazali ke Naisabur untuk
belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini Imam al-
Haramain. Dari beliau ini dia belajar ilmu kalam, ushul fiqh dan ilmu pengetahuan yang
lainnya.

Setelah menamatkan studi di Thus dan Jurjan, Al-Ghazali melanjutkan dan


meningkatkan pendidikannya di Naisabur, dan ia bermukim di sana. Tidak beberapa
lama mulailah mengaji kepada Al-Juainy, salah seorang pemuka agama yang terkenal
dengan sebutan imamul Haramain. Kepadanya beliau belajar ilmu kalam, tasawuf, dan
filsafat.

Tetapi akhirnya peristiwa itu mengharuskannya melangkah lebih jauh,


ditinggalah Naisabur menuju Mu’asakar, suatu tempat atau lapangan luas yang di sana

329
didirikan barak-barak militer Nidhamul Muluk perdana menteri Saljuk tempat itu juga
sering digunakan untuk berkumpul para ulama ternama. Kemudian pada tahun 1091
M/484 H beliau diangkat menjadi dosen pada Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas
prestasinya yang kian meningkat pada usia 34 tahun, ia diangkat menjadi pemimpin
(rektor) Universitas tersebut. Hanya empat tahun beliau menjadi rektor, setelah itu ia
mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifat.
Secara diam-diam beliau meninggalkan Baghdad menuju Syam untuk menjalankan
zuhud di sana.

Setelah hampir dua tahun, Al-Ghazali menjadi hamba Allah yang betul-betul
meampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktu untuk
berkhalwat, ibadah, dan i’tikaf di sebuah mesjid di Damaskus berdzikir sepanjang hari.
Untuk melanjutkan taqarubnya kepada Allah, beliau pindah ke Baitul Maqdis, dari
sinilah ia bergerak hatinya untuk memenuhi panggilan Allah menjalankan ibadah haji,
setelah itu ia menuju Hijaz.

Setelah melanglang buana selama sepuluh tahun, atas desakan Pakhrul Muluk,
Al-Ghazali kembali ke Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di
Universitas Nidhamiyah, sekarang ia tampil sebagai tokoh pendidikan yang betul-betul
mewarisi dan mempraktekkan ajaran Rasulullah SAW. Fakhrul Muluk merasa gembira
atas kembalinya Al-Ghazali mengajar di Universitas di kota itu.

Tidak diketahui secara pasti berapa lama Al-Ghazali memberikan kuliah di


Nidhamiyah, setelah sembuh dari krisis rohani. Tidak lama setelah Fakhrul Muluk mati
terbunuh pada tahun 500 H/ 1107 M, Al-Ghazali kembali ketempat asalnya di Thus, Ia
menghabiskan umurnya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta mengajar. Pada
hari senin tanggal 14 Jumadil Tsaniyyah tahun 505 H/18 Desember 1111 M, Al-Ghazali
pulang kehadirat Allah dalam usia 55 tahun.

b. Etika Guru menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali menyatakan sebagaimana yang dikutip Abudin Nata (2000:95)


bahwa guru yang diberi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna
akalnya, juga yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal Ia

330
dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia
menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya serta dengan kuat fisiknya ia dapat
melaksanakan tugas mengajar dan mengarahkan anak muridnya dengan baik dan sesuai
target yang diharapkan.

Seorang pendidik harus menghias dirinya dengan akhlak yang diharuskan


sebagai orang yang beragama atau sebagai mukmin. Selain itu ia juga harus bersikap
zuhud dan Qona’ah. Oleh sebab itu, bagi seorang guru harus memilki etika dan
persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang menuntut ilmu tersebut.
Dalam hal ini, Al-Ghazali yang merupakan salah satu tokoh pemikir pendidikan islam
memberi batasan-batasan tertentu tentang etika guru seperti yang dikutip oleh Abudin
Nata (2001:98) sebagai berikut :

1) Bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar

Dalam kaitan ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan
orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua tersebut. Menurutnya orang tua
berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan
guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

“sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya”


(Muahammad Zuhri, 1990:171)

2) Guru bertugas untuk mengikuti Nabi sebagai pemilik syara’

Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang guru tidak meminta imbalannya atas


tugas mengajarnya. Hal yang demikian karena mengikuti apa yang dilakukan Allah
dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan, tanpa meminta
ucapan terima kasih semata-mata karena Allah. Oleh sebab itu, seorang guru harus
melaksanakan tugas mengajarnya sebagaimana anugerah dan kasih sayang kepada
orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan tanpa disertai
keinginan untuk mendapatkan upah.

3) Jangan meninggalkan nasehat-nasehat guru

331
Guru diharapkan memperingatkan murid-muridnya bahwa tujuan mencari ilmu
adalah mendekatkan diri kepada allah, bukan kepemimpinan, kemegahan dan
perlombaan. Ia juga harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasihat, pembimbing
para pelajar ketika para pelajar itu membutuhkannya. Untuk itu di upayakan dan
diberikan kesadaran kepada seluruh murid agar jangan sampai mereka meninggalkan
apa-apa yang pernah diberikan dan di ajarkan oleh guru kepada muridnya.

4) Menanamkan hal-hal yang halus

Dalam hal ini guru berkewajiban mencegah muridnya dari akhlak yang buruk
dengan cara menghindarinya sedapat mungkin. Seorang guru ketika memberikan
pengajaran hendaknya memakai cara-cara yang lembut dan halus agar apa-apa yang
disampaikannya dapat diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk itu Al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara mengajar yang benar,
seperti cara mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan,
karena menjelaskan akan menyebabkan tersumbatnya potensi anak dan
menyebabkan timbulnya rasa bosan dan mendorong hapalannya. Dengan demikian
mengajar memerlukan keahlian yang khusus.

5) Supaya diperhatikan tingkat akal fikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka
menurut kadar akalnya

Dalam hal ini, Al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru fiqih yang
menjelekan guru bahasa dan sebaliknya, sebagian ulama kalam memusuhi ulama
fiqih demikian seterusnya sehingga sikap saling menghina dan mencela guru lain di
depan anak-anak merupakan bagian yang harus dihindari dan dijauhi oleh seorang
guru. Selain itu, guru juga dalam melaksanakan proses belajar mengajar hendaknya
menyesuaikan dengan perkembangan dan pentahapan psikologi dan jiwanya. Hal ini
agar ketika menyampaikan materi pelajaran, anak tidak merasa tidak terlalu berat dan
terbebani.

6) Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri murid

332
Tugas ini memberikan pemahaman kepada murid agar tidak membenci cabang
ilmu yang lain, tetapi seyogyanya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang
ilmu tersebut artinya si murid jangan terlalu fanatik. Hal ini juga bisa ditanamkan dan
diberikan kesadaran bahwa semua ilmu itu berasal dari Allah, dan ketika kita
mempelajari satu cabang ilmu apapun itu, berarti kita sudah mempelajari hakikat
kebenaran dari Allah.

7) Guru harus kerja sama dengan murid dalam membahas dan menjelaskan

Dalam menyampaikan suatu ilmu pengetahuan, guru tidah usah menyebutkan


dibalik semua ini sesuatu yang detail karena hal itu menghilangkan kesenangannya,
mengacaukan hatinya dan menduga guru bersikap kikir. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa belajar sendiri memiliki pemahaman dan kecerdasannya lebih
sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disanpaikan atau datang
kepadanya. Al-Ghazali mengatakan, bahwa mungkin saja terjadi seorang pelajar
diberikan kecerdasan dann kesempurnaan akal oleh allah SWT sehingga ia amat
cerdas dan brilian, sehingga keadaannya lebih beruntung.

8) Guru harus mengamalkan ilmunya

Dalam hal ini guru dilarang mendustakan perkataanya karna ilmu itu diperoleh
dengan pandangan hati, sedangkan pengalaman diperoleh dengan pandangan mata.
Allah befirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 44 yang artinya“apakah kamu suruh
orang berbuat baik dan sedangkan kamu melupakan dirimu.” (Depag RI, 992:16)

333
Daftar Pustaka dan Daftar Rujukan

Abadi, Muhammad Syamsul Khaq Al -Adzim. Aunul Ma’bud Juz 13. Beirut: Dar Al-Fikr. 1979.
Abdirrahman, Abu. 14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah. Jakarta: Surya Kencana. 1996.
Agustian, Ari Ginanjar. ESQ ( Emotional Spiritual Question ) Berdasarkan Enam Rukun Iman
dan Lima Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga. 2002. Cet ke-7.
Agus, Bustanudin. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial : Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah
dan Ajaran Islam. Jakarta: Gema Insasi Press. 1999.
Ahmad, Abi Al-Abbas bin Muhammad As-Syafi’i Al-Qasthalani. Irsyad As-Sari Syarah Shahih
Bukhari Juz 1. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiah. 1996.
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Juz 1...,
Aini, Nur. Ilmu Hadits. Depok: CV Arya Duta. 2011.
Al Asyhar, Thobieb. Sufi Fungky. Jakarta: Jl. Kalibata Utara II No. 84. 2005.
Al-Albani. Syaikh Muhammad Nashiruddin. At-Tauhid Awwalan Ya Du’atsal Islam”, a.b. Thohir
Luth. 2001.
Al-Ghazali, Ihya Ulumaldin vol III. Beirut: Dar Al-Kutub Alalamiyah. tt.
Al-Ghoyami, Abu Ammar. Dilema Dakwah Dalam Rumah Tangga.
Al-Hasyimiy, As-Sayyid Ahmad. Tarjamah Mukhtarul Ahadits, Penterj. H. Hadiyah Salim.
Bandung: Alma’rif, 1996. Cet ke-6.
Al-Hilali, Syekh Salim bin ‘Ied. Bahjatun Nazhirin. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i. 2004.
Al-Munawir, Ahmad Warson. Al Munawir. Yogyakarta: Ponpes al Munawir. 1984.
Al-Madkhali, Rabi’ bin Hadi. Manhaj Dakwah Para Nabi. Jakarta: Gema Insani Press. 1995.
Al-Nu’man, Ibrahim al-Khalil al-Jarnuzi bin. Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Dar al-
Kutub al-Islamiyyah.
Al-Wakil, Muhammad Sayyid. Priinsip dan Kode Etik Dakwah. Jakarta: Akademika Pressindo.
2002.
Al-Zarnuji, Syeikh Burhan al-Islam. Ta’im al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum.
Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak) (terjemah) K.H.Farid Ma’ruf, dari judul asli, al-Akhlaq.
Jakarta: Bulan Bintang. 1983.

334
Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah. 2009.
. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah. 2013.
Amin, Moh. 10 Induk Akhlak Terpuji. Jakarta: Kalam Mujlia. 1997.
Amir, Mafri. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: Logos. 2000.
Anuz, Fariq Gasim Anuz. Tauhid: Prioritas Pertama dan Utama. Jakarta: Darul Haq.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf (Edisi Revisi). Bandung: CV Pustaka Setia. 2010.
Arbi, Armawati. Dakwah dan Komunikasi. Jakarta: UIN Jakrta Press. 2003. Cet-1.
As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Pers. 1992. Cet-1.
As, Enjang. Etika.
AS, Enjang dan Hajir. Etika Dakwah. Bandung: Widya Padjajaran. 2009.
As, Sunarto. Etika Dakwah. Surabaya: Jaudar Press. 2014.
As-Suyuthi, Jalaluddin bin Kamaluddin. Lubabul Hadits. Surabaya: Al-Hidayah. 2003.
Azizy, A. Qodri. Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu.
2003.
Az-Zain, Samith Athif. Sifat dan Karakteristik Para Da’i. Bandung: Husaini. 1988.
Az-Zamuji, Syaikh. Terjemah Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Mutiara Ilmu. 1995.
Bahresi, Hussein Bahresi. Hadits Shohih Bukhari-Muslim. Surabaya: Karya Utama. Tt
Bakar, Abdul Latif Abu. Peranan Media Dalam Dakwah Islamiah (Kertas Kerja Seminar Dakwah
Nasional 2012 di Pusat Perdagangan Dunia Putra, Kuala Lumpur, 8-9 Oktober 2012). 2002.
Baqi, Fuad Abdul. Sunan Ibnu Majah.
Bertens, K.. Etika. Jakarta: Gramedia. 2007.
Braybrooke, Marcus. Pilgrimage of Hope. Chicago: SCM Pess Chicago. 1992.
Burhanuddin, Salam. Etika Sosial: Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : Rineka Cipta.
1997.
Cawidu, H. Harifuddin. Strategi Pembinaan Dakwah Memasuki Millenium Baru Abad ke-21
Makalah. Makassar: DPD-MDI Sulsel. 1999.
Chrisian, Wanda. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa. 2005.
Daya, Burhanuddin. Hubungan Antaragama, dalam ed. M. Amin Abdullah dkk., Antologi Study
Islam, Teori dan Metodologi. DIP PTA IAIN Sunan Kali Jaga. 2000.

335
Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Serajaya Santra. 1987.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci AL-
Qur’an. 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008. Cet. IV.
Dewantara, Ki Hajar. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa. 1966.
Durkheim, Emil Durkheim. The Elementary Forms of Religious Life. New York: The Free Press. 1995.
Dyayadi. Kamus Lengkap Islamologi. Yogyakarta: Qiyas Yogyakarta. 2009. Cet 1.
Elhany, Hemlan. Ilmu Dakwah. STAIN Jurai Siwo Metro. 2010.
Eli Arifah. Revitalisasi Pendidikan Moral.
Elvinaro, dkk. Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2009.
Faisal, Ahmad Shah. Peranan Media Massa Menurut Perspektif Islam. 2009.
Fakhry, Majid. Etika Dalam Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.
Faridl, Miftah. Pusat Etika Islam. Bandung: Pustaka Tarbiyatun Nisa, Ishlah No. 2/Th. I/Syawal
1413.
Farghal, Hasan. “Pokok Pikiran Tentang Hubungan Ilmu Dengan Agama”. Dalam Abdul Hamid
Abu Sulaiman. Permasalahan Metodologis dalam Pemikiran Islam. Jakarta : Media Da’wah.
1994.
Gunarsi, J. Singgih D.; Singgih D. Gunarsa.Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. 1981.
Hadi, Ibnu 'Abdil. Al-'Uqûd ad-Durriyyah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996.
Hafidhuddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani Press. 1998.
. Mutiara Dakwah. Jakarta: Albi Publishing. 2006.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islami dan Akhlak. Mathabah Al-Fajr Al-Jadid.
Hamka. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam.. Jakarta. UMMINDA. 1982.
Hasan, Langgulung. Penghayatan dan Pengamalan Nilai dan EtikaKeguruan Menurut Islam.
Hasmy, A.. Dustur Dakwah menurut al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. 1997.
Hasyim, Husaini A. Majid. Syarah Riyadhusshalihin. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1993.
Ibrahim, Ibnu. Dakwah. Jakarta: Republika Penerbit. 2011.
Ilyas, Yunahar. KuliahAkhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 2007.
. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam
(LPPI). 2011.

336
Ismail, Asep Umar; Wiwi St. Sajarah; Sururin. Pusat studi wanita UIN. 2005.
Katsir, Al-Hafizh Ibnu. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Jakarta: Pustaka Azzam. 1997.
Kertikawangi, Dorien. Iklan Komersil di Televisi dan Persoalan Etika, Jurnal Respons, Vol.6, No.
01, Agustus 2001.
Kiswantoro, Agung. Membangun Karakter mahasiswa. 2011.
Khoiry. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2003.
Mahjudin. Akhlak Tasawuf I. Jakarta: Kalam Mulia. 2009.
Majalah Muslimah/Edisi XVII
Majalah As-Sunnah, edisi 5
Matta, Muhammad Anis. Membentuk Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I’tishom. 2002.
Muchtarom, Zaini Muchtarom. Dasar-dasar Manajemen Dakwah. Yogyakarta: Al-Amin Press.
1996. Cet I.
Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Teori Pendidikan Perilaku Sosial
Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. 2002.
Muhtadi, Asep Saeful. Komunikasi Dakwah (Teori,Pendekatan, Aplikasi). Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Offset oleh Anggota IKAPI. 2012.
Muhyiddin, Asep; dan Agus Ahmad Safei. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka
Setia. 2002.
Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Kamus Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif.
1997.
Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana. 2003.
. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana. 2006.
Muriah, Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2000.
Myers, Eugene A.. Zaman Keemasan Islam Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap
Dunia Barat (Arabic Thought and Western World in The Gold of Islam). Alih bahasa M.M. el-
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Penilaian. JTPTIAIN Fakultas Dakwah IAIN Wali
Sanga.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1997.
. Akhlak Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers. 2009.
. Akhlak Tasawuf dan Krakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
Natsir, M.. Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani. 2002. Cet ke-5.

337
Nawawi, Imam Nawawi. Syarh Shahih Muslim. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyid. 1983
. Riyadhus Shlihin. Jakarta: Ummul Qura. 2001.
NN. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1997. Cet. 1. Jld 6.
Pakar Psikolog perkembangan remaja Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat.
Pasha, Musthafa Kamal. Akhlak Sunnah. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri. 2003.
Pimay, Awaluddin. hand Out. Pengantar Ilmu Dakwah. 2010.
Poerwadarminta. W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Paradya Paramita. 1976.
Poerwadarminta, W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1991. Cet. XII.
Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunug Agung. 1979.
Poesporodjo. Filsafat Moral. Bandung: Pustaka Grafika. 1999.
Quthb, Sayyid. Ma’alim Fi Ath-Thariq, a.b. Mahmud Harun Muchtarom, Yogyakarta: Uswah.
2009.
Rahmat, Jalaluddin. Etika Komunikasi: Perspektif Religi, Makalah Seminar. Jakarta: Perpustakaan
Rajab, Imam Ibnu. Ikhtiyar al-Ula fi Syarh Hadits al-Mala' al-A'la. Beirut: Dar Al-Qur’an Al-
Karim. 1987.
Raqith, Hamd Hasan. Munthalaqat Ad-Da'wah wa Wasa'il Nasyriha. Beirut: Dar Al-Qur’an Al-
Karim. 1979.
Rivai, Veithzhal; Arviyan Arifin. Islamic Banking. BUMI AKRASA. 2010.
Rozak, Fatur; Muhammad Lutfi Ubaidilillah. Pendidikan Agama Islam. Depok: Arya Duta. 2007.
Nasional. 1996.
. Islam Aktual. Bandung. Mizan. 1996.
Russel, Bertrand. Pendidikan dan Tatanan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1993.
Saebani, Beni Ahmad; Abdul Hamid. Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Saifulloh. Ilmu Tafsir. Depok: CV ARYA DUTA. 2011.
Saleh, Abd. Rosyad. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1997.
Sanwar, Aminuddin. Pengantar Ilmu Dakwah. Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
1985.
Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.
. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Rajawali Pers. 2012.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007

338
Senge, Peter. Schools that learn: A fifth discipline field books for educators, parents, and everyone
who cares about education. New York: Doubleday. 2002.
Shahih Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury
Stanly, J, Baran, dan Dannis K. Davis, Mass comunnication Theory, Foundation, Ferment and
Future, h.09
Stolp, Stephen & Smith, Stuart C. Transforming school culture: Stories, symbols, values and
leaders’ role. Eugene, OR: ERIC, Clearinghouse on Educational Management University of
Oregon. 1975.
Sudarsono. Kamus Filsafat dan Psikologi. Jakarta: Rajawali Rineka Cipta. 1993.
Sya’roni, Mahmud. Cermin Kehidupan Rasul. Semarang: Aneka Ilmu. 2006.
Syukur. 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 1990.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. Ke-X, hal.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Djambatan. 1992.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1999. cet. Ke-X.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: 1988.
Tiswarni. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Bina Pratama. 2007.
Uno, Hamzah, B. Profesi Kependidakan. PT Bumi Aksara: Jakarta. 2007.
UU RI No 2 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Wursanto. 1987.
Ya’kub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Akhlakulkarimah (suatu pengantar). CV Diponegoro:
Bandung. 1996.
Yani, Ahmad. Modul Paket Studi Islam Khairu Ummah. Jakarta: Lppd Khairu Ummah
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. 1992. cet. II.
Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu. 1995.
Zakiah, Daradjat. Kepribadian Guru. PT Bulan Bintang: Jakarta. 2005.
Zubair, Achmad Charris. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers. 1980. Cet. II.

339
Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas
Platform Pendidikan Budi Pekerti secara Kontekstual dan Futuristik. Jakarta: Bumi Aksara. 2007.
www.etikadakwah.com
www.bloggerfitriapriliantini.com
beritasatu.com 2573 revitalisasi karakter dalam pendidikan
senyumsakur.com 2013 revitalisasi jati diri bangsa indonesia
http://www.facebook.com/notes/fandi-satia-engge/kisah-nyata-1-peran-besar-akhlak-dalam-
dakwah-murid-penulis-kitab-fathul-majid-d/10150120291660149
Read more: http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2011/10/beradab-dan-berakhlak-dalam-
berdakwah.html#ixzz3cUN7QlcK
http://nasional.kompas.com/read/2008/07/25/08352130/nge-geng..boleh.asal...
http://si-bejo.blogspot.com/2012/11/upaya-pembangunan-karakter-mahasiswa.html, 9 Juni 2015
http://rikzamaulan.blogspot.com/2009/01/etika-dan-akhlak-bekerja-dalam-islam.html (Minggu, 7
Juni 2015)
Wikipedia.Com or blog Islamic science 08 juni 2015.
http://rahmahtira.blogspot.com/2014/01/sikap-dan-etika-dalam-beragama.html (08 juni 2015)
Admin, Posted On 12 Mar, 2012. Wikipidea.com. or http://irza-
putra.blogspot.com/2014/12/toleransi-antar-umat-beragama-dalam.html (08 juni 2015)
http://www.utusan.com.my/utusan/Luar_Negara/20120913/lu_01/Hina-Nabi-Duta-AS-mati-
ditembak, pada 1 November 2012
http://www.slideshare.net/RiksaAdeli/agama-etos-kerja (Senin, 8 Juni 2015)
http://kelompok2agamaipa.blogspot.com/2013/09/etos-kerja-dalam-perspektif-islam.html (Senin.
8 Juni 2015).
Utusan Malaysia Online (2012), “Hina Nabi, Duta AS Mati Ditembak” Diakses dari Ardianto,
Id.m.Wikipedia.org/wiki/bank, Diubah 3 febuary 2015, pukul 20:58
Baitul-maal.com/konsep-tawuun-dalam-islam/, 28 april 2009
Perushaan.web.id/bank/rekening-giro/, 09 Agustus 2012
Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Read more: http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2011/10/beradab-dan-berakhlak-dalam-
berdakwah.html#ixzz3cUN7QlcK
http://www.pemudapinggiran.blogspot.com/pengertian_pemuda.html.

340
341

Anda mungkin juga menyukai