Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FITOKIMIA
EKSTRAKSI DAUN SALAM (EUGENIA POLYANTHA)

Disusun oleh :
KELOMPOK IX GELOMBANG II
1. Anindya Dea Pramesti (051201087)
2. Vindi Setiawati (051201088)
3. Putri Maylanie (051201090)
4. Zelia Anjani (051201091)

Dosen Pembimbing :
1. Melati Aprilliama Ramadhani, S.Farm, M. Farm., Apt
2. Istianatus Sunnah, S.Farm., Apt., M.Sc
3. Apt. Salsabiela Dwiyudrisa Suyudi, M.Farm

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
I. Tujuan Percobaan
Agar mahasiswa dapat mengetahui metode cara pembuatan standarisasi
simplisia yang baik, khususnya dari cara pengeringannya, karena metode
pengeringan juga dapat menentukan kualitas metabolit sekunder yang terkandung
dalam simplisia.

II. Dasar Teori


Obat tradisional dibuat dalam bentuk ekstrak karena tanaman obat tidak lagi
praktis jika digunakan dalam bentuk bahan utuh (simplisia). Ekstrak tersebut bisa
dalam bentuk ekstrak kering, ekstrak kental dan ekstrak cair yang proses
pembuatannya disesuaikan dengan bahan aktif yang dikandung serta maksud
penggunaannya (Anam et al., 2013).

Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan


pengobatan modern. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan
kemajuan tekhnologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan
keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap
manfaat obat tradisional tersebut. Pengembangan obat tradisional juga didukung
oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, tentang fitofarmaka, yang
berarti diperlukan adanya pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk
bahan baku obat atau sediaan galenik (BPOM, 2005; Tjitrosoepomo, G., 1994).

Pemanfaatan bahan nabati untuk pengobatan secara tradisi sudah dilakukan


oleh masyarakat di Indonesia. Salah satu bahan nabati yang digunakan adalah daun
salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.), yakni sebagai penurun kolesterol,
pengobatan hipertensi, diare, gastritis dan terapi diabetes melitus (Dalimartha,
2000). Dari beberapa penelitian menunjukan bahwa daun salam memiliki berbagai
macam khasiat yang bermanfaat dalam pengobatan. Ekstrak etanol daun salam
dapat menurunkan kadar glukosa darah (Studiawan & Santosa, 2005) juga memiliki
aktivitas antidiare (Malik & Ahmad, 2013). Filtrat dari daun salam diketahui dapat
menurunkan kadar asam urat (Getas, et al., 2012).

Salam mengandung minyak asiri (sitral, eugenol) tanin dan flavonoid


(Dalimartha, 2000). Ekstrak kental daun salam mengandung tanin, flavonoid
dengan komponen utama fluoretin dan kuersitrin (Badan POM RI, 2004). Ekstrak
metanol daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp) yang diuji
menggunakan metoda HPLC dan LC-MS menunjukkan adanya kandungan asam
fenolat, asam galat dan asam caffeic (Har & Ismail, 2012). Ekstrak flavour daun
salam yang dihasilkan dari metode distilasi uap menggunakan pelarut n-heksana
mengandung 26 senyawa dengan senyawa utama terdiri dari cis-4-dekanal, oktanal,
α-pinen, farnesol, nerolidol, dan dekanal (Wartini, 2009). Senyawa identitas dari
daun salam adalah Kuersitrin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Standarisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan


sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari produk seperti yang
ditetapkan sebelumnya. Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa
simplisia yang akan digunakan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi
Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Sedangkan sebagai produk
yang langsung dikonsumsi (serbuk jamu dsb.) masih harus memenuhi persyaratan
produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000).

Sediaan farmasi seperti tablet dan kapsul pada umumnya bahan baku yang
digunakan berbentuk ekstrak. Jika ekstrak masih kental, maka penentuan dosis akan
mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen dan masih lengket sehingga
sulit untuk pengambilannya. Pengolahan ekstrak kental menjadi ekstrak kering
diharapkan dapat digunakan secara lebih praktis dan lebih akurat dalam penentuan
dosis pada saat peracikan/formulasi. Ekstrak kering merupakan sediaan padat yang
diperoleh dengan cara menguapkan pelarut berdasarkan kandungan bahan aktif.
Ekstrak kering memiliki nilai susut pengeringan biasanya tidak lebih dari 5%
(Gaedcke, et al., 2003).

Pengeringan ekstrak berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga


mengahasilkan serbuk, masa kering rapuh, tergantung proses dan perlatan yang
digunakan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
III. Alat dan Bahan

Alat Bahan
Waterbath Serbuk simplisia daun salam

Rotary evaporator Ethanol 70%

Stopwatch

Cawan porselen

Kain flannel
Toples

Naraca analitik

IV. Prosedur Kerja

maserasi dilakukan dengan cara memasukkan serbuk simplisia kedalam


toples sebanyak 85 gram.

lalu tambahkan 425 ml ethanol 70% ditutup dan dibiarkan selama


3-5 hari pada temperature kamar sambil diaduk secara berulang
sebanyak 3 kali sehari

setelah 3- 5 hari selanjutnya disaring kedalam penampung (toples),


kemudian ampas diperas dan ditambahcairan penyari lagi
secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi
sehingga diperoleh sari yang maksimal. Sari yang diperoleh dipekatkan
dengan rotary evaporator
V. Hasil

Data Bahan Tumbuhan yang digunakan


Nama Tumbuhan Tanaman Salam (Eugenia polyantha
Wight)
Klasifikasi Tumbuhan Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Spesies : Syzygium polyanthum
(Wight.) Walp

Bagian tumbuhan yang digunakan : Folium (daun)


Asal tumbuhan : Diperoleh dari pedagang di pasar
Metode ekstraksi : Maserasi
Pelarut yang digunakan : Etanol 70%

Hasil Percobaan Standarisasi Ekstrak

Perhitungan Rendemen

Bobot awal simplisia : 85 gr

Bobot akhir ekstrak : 9,2085 gr

% Rendemen : = Jumlah ekstrak yang diperoleh x 100%


Jumlah bahan sebelum diolah
= 9,2085 x 100 %
85
= 10,83 %
VI. Pembahasan

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair
dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi
yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi merupakan proses
pemisahan suatu bahan dari campurannya dan dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Ekstraksi menggunakan pelarut didasarkan pada kelarutan komponen
terhadap komponen lain dalam campuran. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju
ekstraksi meliputi tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu
pelarut dan tipe pelarut (Richa, Y. 2009)

Maserasi merupakan cara sederhana yang dapat dilakukan dengan cara


merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan
masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat-zat aktif sehingga zat aktif akan
larut. Maserasi adalah salah satu jenis metode ekstraksi dengan sistem tanpa
pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada metoda ini pelarut
dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali. Sehingga maserasi
merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan
panas ataupun tahan panas. Namun biasanya maserasi digunakan untuk
mengekstrak senyawa yang tidak tahan panas (termolabil) atau senyawa yang
belum diketahui sifatnya. Karena metoda ini membutuhkan pelarut yang banyak
dan waktu yang lama. Secara sederhana, maserasi dapat kita sebut metoda
“perendaman” tanpa mengalami proses lain kecuali pengadukan (bila diperlukan).
Prinsip penarikan (ekstraksi) senyawa dari sample adalah dengan adanya gerak
kinetik dari pelarut, dimana pelarut akan selalu bergerak pada suhu kamar walaupun
tanpa pengadukan. Namun untuk mempercepat proses biasanya dilakukan
pengocokan secara berkala. Pengadukan menyebabkan peningkatan interaksi antara
pelarut dengan ekstak,sehingga metabolit sekunder dalam tanaman mudah tertarik
pelarut. Daun salam mengandung senyawa flavonoid yang cenderung tidak tahan
terhadap pemanasan ,maka dalam praktikum kali ini digunakan metode maserasi.

Pemilihan jenis pelarut harus mempertimbangkan beberapa faktor antara lain


selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan dan harga pelarut (Harborne, 1987). Larutan pengekstraksi yang
digunakan disesuaikan dengan kepolaran senyawa yang diinginkan. Menurut
prinsip like dissolves like, suatu pelarut akan cenderung melarutkan senyawa yang
mempunyai tingkat kepolaran yang sama (Suryani, 2015).

Berdasarkan praktikum serta jurnal acuan untuk proses ekstraksi senyawa


yang akan disari adalah metabolit sekunder flavonoid. Flavonoid merupakan
senyawa golongan polifenol yang terdistribusi luas pada tumbuhan dalam bentuk
glikosida yang berikatan dengan suatu gula, karena itu flavonoid merupakan
senyawa yang bersifat polar. Pelarut polar yang biasa digunakan untuk ekstraksi
flavonoid adalah metanol, aseton, butanol, etanol, air dan isopropanol (Suryani,
2015). Sedangkan aglikon flavonoid yang kurang polar misalnya isoflavon,
flavanone dan flavon serta flavanol cenderung lebih mudah larut dalam eter dan
klorofrom (Markham, 1988).

Etanol merupakan pelarut polar dimana etanol larut dalam air dan pelarut
organik lainnya sehingga dapat melarutkan komponen yang mudah larut dalam air.
Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus hidroksil dan
pendeknya rantai karbon etanol. (Suarasa, 2011). Dan juga etanol dipertimbangkan
sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan khamir sulit tumbuh dalam etanol
20% keatas, tidak beracun, netral dan absorbsinya baik (Hargono, 1986).Maka
dalam praktikum ekstraksi kali ini kami menggunakan pelarut etanol 70%.

Rendemen merupakan suatu nilai penting dalam pembuatan produk.


Rendemen adalah perbandingan berat kering produk yang dihasilkan dengan berat
bahan baku (Yuniarifin, Bintoro, dan Suwarastuti, 2006). Rendemen ekstrak
dihitung berdasarkan perbandingan berat akhir (berat ekstrak yang dihasilkan)
dengan berat awal (berat biomassa sel yang digunakan) dikalikan 100% (Sani et al,
2014). Nilai rendemen juga berkaitan dengan banyaknya kandungan bioaktif yang
terkandung. Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang terkandung dalam tubuh
hewan maupun tumbuhan.
Dari ekstraksi maserasi yaitu sebanyak 85 gram serbuk daun salam direndam
dalam 425 mL etanol 70% (1:5) diperoleh ekstrak pekat sebesar 9,2085 gram.
Kemudian dihitung rendemen ekstrak pekat dengan rumus sebagai berikut :

Rendemen (%) = Jumlah ekstrak yang diperoleh x 100%


Jumlah bahan sebelum diolah
Hasil perhitungan rendemen menghasilkan presentase 10,83 %.Persentase
rendemen menunjukkan kemaksmilan dari pelarut yang digunakan untuk menyari
(Khoirani 2013). Presentase rendemen disini sudah memenuhi syarat .Menurut
literature rendemen tidak kurang dari 8,0% dengan pelarut etanol (Depkes RI 2008).
Berdasarkan perhitungan rendemen ekstrak, ekstrak etanol 70% memiliki nilai
rendemen yaitu 10,83 %.
Semakin lama waktu ekstraksi semakin tinggi rendemen yang dihasilkan
,karena kesempatan bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar,
rendemen ekstrak menurun kemungkinan hal ini terjadi karena larutan sudah
mencapai titik jenuh (Suryandari, 1981). Demikian halnya dengan kehalusan bahan,
semakin halus bahan yang digunakan semakin tinggi rendemen yang dihasilkan.
Hal ini kemungkinan karena permukaan bahan semakin luas sehingga memperbesar
terjadinya kontak antara partikel serbuk dengan pelarut. Menurut Heath dan
Reineocius (1986), semakin kecil ukuran bahan yang digunakan maka semakin luas
bidang kontak antara bahan dengan pelarut dan semakin besar kecepatan mencapai
kesetimbangan system. Jaringan bahan/simplisia dapat mempengaruhi efektivitas
ekstraksi. Ukuran bahan yang sesuai akan menjadikan proses ekstraksi berlangsung
dengan baik dan tidak memakan waktu yang lama.

VII. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa presentase


rendemen dari hasil ekstraksi yang telah dilakukan sudah memenuhi syarat dengan
menghasilkan rendemen 10,83 % dimana rendemen tidak kurang dari 8,0%
menggunakan pelarut etanol.
VIII. Daftar Pustaka

Najib, A., Malik, A., Ahmad, R., Handayani, V., Syarif, R. A., & Waris, R. (n.d.).
STANDARISASI EKSTRAK AIR DAUN JATI BELANDA DAN TEH HIJAU.
In Jurnal Fitofarmaka Indonesia (Vol. 4, Issue 2).

Rivai, H., Heriadi, A., & Fadhilah, H. (2015). PEMBUATAN DAN


KARAKTERISASI EKSTRAK KERING DAUN SALAM (Syzigium
Polyanthum (WIGHT) WALP.). In Jurnal Farmasi Higea (Vol. 7, Issue 1).

Agustina, R., Indrawati, D. T., & Masruhim, M. A. (2015). Aktivitas ekstrak daun
salam (eugenia polyantha) sebagai antiinflamasi pada tikus putih (rattus
norvegicus). Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry, 3(2), 120-123.
Kuspendy, A., Faoziyah, A. R., & Rahman, A. (2017). PENGARUH METODE
EKSTRAKSI MASERASI DAN SOXHLETASI TERHADAP KADAR FENOL
TOTAL EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM. SUSUNAN REDAKSI, 1.
Hasanan, N. (2015). Aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun salam. Pena Medika
Jurnal Kesehatan, 5(1).

Harborne, JB 1987, Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan, edk 2, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro,
Penerbit ITB, Bandung.

Hargono, D 1986, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,


Jakarta.

Markham, KR 1988, Cara Mengidentifikasi Flavanoid Terjemahan Kosasih


Padmawinata, Penerbit ITB : Bandung.

Sembiring, B. B., Ma’mun, M. M., & Ginting, E. I. (2006). Pengaruh kehalusan


bahan dan lama ekstraksi terhadap mutu ekstrak temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb).

Dewatisari, W. F., Rumiyanti, L., & Rakhmawati, I. (2017). Rendemen dan


Skrining Fitokimia pada Ekstrak Daun Sanseviera sp. Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan, 17(3), 197-202.
Jobdesk Anggota
Anindya Dea Pramesti Mengerjakan bagian dasar teori
Vindi Setiawati Mengerjakan bagian alat dan bahan
serta prosedur kerja
Putri Maylanie Mengerjakan bagian hasil dan
pembahasan
Zelia Anjani Mengerjakan bagian kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai