Anda di halaman 1dari 22

WRAP UP SKENARIO 4

“NYERI PERUT KANAN ATAS”


BLOK GASTROINTESTINALTahun Ajaran 2019/2020

Kelompok B 12

Ketua
Luthfan Naufal Hammam (1102018232)
Sekretaris
Muhamad Anas Muslim (1102018187)

Anggota
Abie Kanzy (1102018281)
Safina Azzahrain Anwar (1102018190)
Andini Putri Salsabilah (1102018219)
Luthfan Naufal Hammam (1102018232)
Rizka Kamila Nabawiya (1102018258)
Balqis Nihlah Hilyati (1102018288)
Muhammad Erdiansyah (1102018289)
Syifa Athaya (1102018318)
Azzahra Audy Ramadhani (1102018250)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510

Telp. 021-4244574 Fax. 021-4244574

1
DAFTAR ISI

Daftar isi ................................................................................................................................ i

Skenario ................................................................................................................................. 1

Identifikasi Kata Sulit ............................................................................................................ 1

Pertanyaan dan Jawaban ........................................................................................................ 2

Hipotesa ................................................................................................................................. 3

Sasaran Belajar 4

1. Memahami dan Menjelaskan Amebiasis 5


1.1. Definisi 5
1.2. Klasifikasi 5
1.3. Etiologi 5
1.4. Epidemiologi 6
1.5. Patofisiologi 6
1.6. Manifestasi Klinis 7
1.7. Cara Mendiagnosis 8
1.8. Tatalaksana 13
1.9. Komplikasi 15
1.10. Pencegahan 15
1.11. Prognosis 15
2. Memahami dan Menjelaskan Entamoeba histolityca
2.1 Morfologi 16
2.2 Siklus Hidup 18
2.3 Cara Penularan 19
Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 20

i
Skenario 4
Nyeri Perut Kanan Atas

Nn. A, 14 tahun, tinggal di daerah padat penduduk, dibawa oleh keluarganya ke RS


YARSI karena nyeri perut kanan atas disertai demam sejak 1 minggu yang lalu.
Pemeriksaan fisik pada Nn. A ditemukan perut membesar, hati teraba 4 jari bawah arcus
costarum disertai nyeri tekan pada sela iga kanan.
Pemeriksaan laboratorium pada Nn. A ditemukan peningkatan enzim hati. Beberapa
bulan lalu Nn. A pernah mengalami buang air besar berdarah dan berlendir, serta pada analisa
feses ditemukan bentuk trofozoid Entamoeba histolytica.

Kata Sulit

1. Entamoeba histolytica : parasite usus yang menyebabkan infeksi amoebiasis


2. Tropozoid: salah satu dari siklus hidup Entamoeba Histolytica yang dapat bersifat
invasive dan dapat menembus dinding usus dan kemudian beredar di dalam sirkulasi
darah (hematogen).

1
Pertanyaan

1. Apa factor resiko dari kasus di atas ?


- alkoholisme
- pemakaian steroid jangka Panjang
- Ibu hamil
- usia lanjut
- malnutrisi
- bepergian ke tempat sanitasi yang buruk
- orang yang melakukan seks oral/anal
- orang yang yang tinggal dengan lingkungan yang buruk
- orang yang terganggu system kekebalan tubuhnya
2. Bagaimana cara mendiagnosis kasus ini?
Anamnesis -> menanyakan keluhan (gejala ikterik, nyeri tekan), pola makan -> pem
fisik (keadaan hepar) -> pem penunjang (membantu)
3. Apa hubungan tinggal padat penduduk dengan kasus tersebut?
Karena kepadatan penduduk merupakan salah satu factor resiko dimana ketika
penduduk padat maka kebersihan lingkunga akan berkurang sehingga infeksi
entamoeba bias lebih meningkat
4. Bagaimana keadaan feses normal?
- Berwarna kecoklatan hingga coklat tua
- Bau tak sedap cenderung kuat
- tidak menimbulkan rasa sakit
- tekstur lembut
- frekuensi BAB sekali atau dua kali sehari
- konsisten
- terdapat serat, bakteri, pigmen empedu, elektrolit, dan H2O
- tidak berlendir
5. Bagaimana cara EH menginfeksi manusia?
Manusia dapat terinfeksi setelah memakan atau meminum makanan dan minuman
yang mengandung kista EH

2
Hipotesis
Amebiasis adalah suatu penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasite
golongan protozoa Entamoeba histolytica. Diduga sanitasi yang buruk menjadi salah satu
factor penyebab. Secara umum amebiasis terjadi secara intestinal (didalam) dan maupun
ekstraintestinal(diluar usus). Factor yang menentukan invasi Entamoeba histolytica jumlah
entamoeba yang termakan, kemampuan patogenik strain parasite, factor inang (pergerakn usus,
imunitas, dan adanya bakteri interik dalam meningkatkan pertumbuhan amoeba), kista tertelan
atau melalui makanan yang terkontaminasi, oleh lalat atau serangga atau melalui langsung.
Penegakkan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan feses, biopsy, radiologi, uji serologi,dan
pemeriksaan lab lainnya. Pemberian deloxanite furoat, diyoudohidroksikuin. Pencegahan dapat
dilakukan dengan kebersihat ruangan serta lingkungan.

3
Sasaran Belajar

1. M&M Amebiosis
1.1.Definisi
1.2.Klasifikasi
1.3.Etiologi
1.4.Epidemiologi
1.5.Patofisiologi
1.6.Manifestasi klinis
1.7.D/DD
1.8.Tatalaksana
1.9.Komplikasi
1.10. Pencegahan
1.11. Prognosis

2. M&M entamoeba histolytica


1.2 Morfologi
2.2 siklus hidup
3.2 cara penularan

4
1. Memahami dan Menjelaskan Amebiasis

1.1 Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) dan Pan American Health Organization (PAHO),
amebiasis didefinisikan sebagai infeksi oleh protozoa Entamoeba histolytica. Infeksi ini
menyerang tractus intestinal terutama bagian colon. Parasit ini menyebabkan kerusakan
jaringan dan meningkatkan sekresi colon sehingga dapat bermanifestasi menjadi diare yang
disertai lendir dan darah.
1.2 Klasifikasi
Periode inkubasi E.histolytica adalah sekitar 2-4 minggu. Spektrum klinis amebiasis
adalah mulai dari asimptomatik hinggan kolitis fulmina dan peritonitis ataupun amebiasis
ekstraintestinal. Amebiasis terjadi lebih parah pada pasien yang sangat muda, pasien tua, dan
pasien yang sedang dalam terapi kortikosteroid.
1. Karier (cyst passer)
2. Amebiasis intestinal ringan
3. Amebiasis intestinal sedang
4. Amebiasis intestinal berat

5. Amebiasis intestinal kronis


6. Abses hepar amebik

1.3 Etiologi
Entamoeba spp. Memiliki morfologi yang identik antara E. histolytica, E. dispar, dan E.
moshkovskii. Tetapi, satu-satunya spesies yang dapat menyebabkan penyakit invasif pada
manusia adalah E. histolytica. Infeksinya terjadi ketika manusia menelan kista matang dari E.
hystolytica.
Faktor Risiko
1. Lokasi geografi
Orang yang berada di wilayah endemik lebih rentan mengalami infeksi yang
asimptomatik. Pada negara berkembang terlebih lagi padat penduduk colitis amoeba
lebih sering ditemukan pada turis atau emigrant dari negara endemik.
2. Faktor sanitasi di suatu daerah menjadi hal yang sangat mempengaruhi transmisi infeksi
amebiasis.
3. Ketahanan host
Orang dengan imunocompromised lebih rentan terhadap infeksi.
4. Personal hygiene
Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan atau buang air besar.
5. Perilaku Seksual
Hubungan seksual yang meliputi kontak oral-anal meningkatkan transmisis infeksi

5
1.4 Epidemiologi

Amebiasis terdapat diseluruh dunia.Prevalensi tertinggi terutama didaerah tropik, dan


subtropik, khususnya di negara yang keadaan sanitasi lingkungan, dan keadaan sosio-ekonomi
buruk.Di Indonesia, amebiasis banyak ditemukan dalam keadaan endemi.Prevalensi E.
histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10-18%.Di negara industri amebiasis
terutama ditemukan pada kelompok homoseksual, turis yang bepergian ke daerah endemis,
orang yang tinggal di asrama, dan penderita positif HIV.

Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status sosial ekonomi dan


kurangnya sanitasi merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya infeksi.Pada kelompok ini,
infeksi terjadi pada umur yang lebih muda.Frekuensi infeksi E. histolytica diukur dengan
jumlah pengandung kista.Perbandingan berbagai macam amebiasis di Indonesia adalah sebagai
berikut : amebiasis kolon banyak ditemukan, amebiasis hati kadang-kadang dapat ditemukan,
sedangkan amebiasis paru, kulit, dan vagina jarang, serta amebiasis otak lebih jarang lagi
dijumpai.

1.5 Patofisiologi

6
Bentuk histolitika yang berhasil menembus mukosa usus besar akan mensekresi suatu enzim
cystein proteinase yang dapat melisis jaringan. Kemudian bentuk histolitika ini dapat masuk
hingga lapisan submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukusae. Dengan
bersarangnya bentuk histolitika pada lapisan submukosa, akan terbentuk kerusakan jaringan
yang makin meluas sehingga terjadi luka yang disebut ulkus amoeba. Proses yang terjadi
terutama adalah nekrosis dengan lisis sel jaringan(histolysis). Reaksi peradangan dapat terjadi
jika juga terjadi infeksi sekunder.

Bentuk histolitika mudah ditemukan dalam jumlah besar pada bagian dasar dan dinding ulkus.
Dengan peristalsis ulkus, bentuk histolitika ini dikeluarkan bersamaan isi ulkus untuk
menyerang lagi mukosa usus yang masih sehat atau dikeluarkan besama tinja. Tinja yang
mengandung bentuk histolitika ini disebut sebagai tinja disentri dan umumnya bercampur
lendir dan darah.

Amebiasis intestinal dapat berupa infeksi yang simtomatik atau asimtomatik. Infeksi
simtomatik memilik gejala berupa diare dengan tinja yang berlendir atau disertai darah,
tenesmus anus (nyeri ketika buang air besar), serta perasaan tidak enak di perut dan mules.
Infeksi asimtomatik tidak menimbulkan gejala yang jelas sehingga sering kali tidak disadari.
Sekitar 90% infeksi E. histolytica pada manusia bersifat asimtomatik.

1.6 Manifestasi Klinis


1. Karier (cyst passer)
Pasien tidak menunujkkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena amoeba
yang berada di usus besar tidak menginvasi ke dinding usus.
2. Amebiasis intestinal ringan

Timbulnya gejala secara perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluhkan perut


kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare 4-5 kali
sehari dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan lendir. Sedikit
nyeri di daerah sigmoid. Jarang nyeri di daerah epigastrium yang mirip dengan ulkus peptik.
Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik,
tanpa atau disertai demam ringan. Kadang-kadang terdapat hepatomegali yang tidak atau
sedikit nyeri tekan.
3. Amebiasis intestinal sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibandingkan disentri ringan, tetapi pasien
masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tinja disertai darah dan lendir. Pasien mengeluh
perut kram, demam, dan lemah badan, disertai hepatomgeali yang nyeri ringan.

4. Amebiasis intestinal berat


Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare disertai darah
yang banyak, lebih dari 15 kali sehari, demam tinggi (40-40,50C), disertai mual dan anemia.
Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat
menyebabkan perforasi usus.

7
5. Amebiasis intestinal kronis
Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare diselingi dengan
periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-
tahun. Pasien biasanya gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan,
demam, atau makanan yang sukar dicerna.
6. Abses hepar amebik
Amebiasis ekstraintestinal yang paling sering terjadi, dimana gejalanya lebih parah
terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Pasien mengeluhkan nyeri kuadran kanan atas,
tenderness selama sekitar hari. Keterlibatan permukaan diafrgma juga menyebabkan nyeri
tumpul menjalar ke bahu. Gejala dan tanda abdomen akut harus diwaspadai sebagai ruptur
intraperitoneal. Selain itu juga terdapat gejala seperti mual, muntah, distensi abdomen, diare,
dan konstipasi. Diagnosis ini sulit ditegakkan karena gejala dan tanda tidak spesifik.
7. Manifestasi lain

Manifestasi klinis yang lain dapat berupa ameboma, amebiasis pleuropulmonal


(penyebaran secara hematogen, melalui rupture diafragma), amebiasis otak (mual,
muntal, nyeri kepala, perubahan status mental, tampakan CT-scan sebagai lesi ireguler dengan
kapsul atau enhancement), amebiasis saluran kemih (rasa nyeri di daerah genital dan fallopii),
amebiasis appendisitis, dan amebiasis peritonitis (pasien demam dan distensi abdomen padat).

(Redd, 2012; Dhawan, 2015; Soewondo, 2010)

1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Amebiasis


Anamnesis

Anamnesis diare yang dapat membantu :


1. Bentuk Feses
2. Makanan dan minuman 6-24 jam terakhir
3. Orang disekitar yg menderita serupa
4. Lingkungan tempat tinggal
Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya tidak begitu tinggi kurva suhu bisa intermiten atau remiten. Lebih dari 90%
didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan. Hati akan membesar kearah caudal dan
cranial dan mungkin mendesak kea rah perut atau ruang intercostals. Pada perkusi di atas
daerah hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi bisa juga agak keras seperti
keganasan. Abses yang besar tampak sebagai massa yang membenjol di daerah dada kanan
bawah. Pada kurang dari 10% abses terletak di lobus kiri yang sering kali terlihat seperti massa
yang teraba nyeri di daerah epigastrium. Ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Bila
ikterus hebat biasanya disebabkan abses yang besar atau multiple, toraks di daerah kanan
bawah mungkin di dapatkan adanya efusi pleura atau ‘friction rub’ dari pleura yang disebabkan
oleh iritasi pleura. Gambaran klinik abses hati amebic mempunyai spectrum yang luas dan
sangat bervariasi, hal ini disebabkan lokasi abses, perjalanan penyakit dan penyulit yang
terjadi. Pada penderita gambaran bisa berubah setiap saat. Dikenal gambaran klasik dan tidak
klasik.

8
a. Pada gambaran klinik klasik didapatkan penderita mengeluh demam dan nyeri perut kanan
atas atau dada kanan bawah, dan didapatkan epatomegali yang nyeri. Gambaran klasik
didapatkan pada 54-70% kasus.
b. Pada gambaran klinik tidak klasik ditemukan pada penderita ini gambaranklinik klasik
seperti di atas tidak ada. Ini disebabkan letak abses pada bagian hati yang tertentu
memberikan manifestasi klinik yang menutupi gambaran yang klasik. Gambaran klinik
tidak klasik dapat berupa:
1. Benjolan didalam perut, seperti buakn kelainan hati misalnya didugaempyema kandung
empedu atau tumor pancreas.
2. Gejala renal. Adanya keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan massa yang
didugaginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian posteroinferior lobuskanan
hati.
3. Ikterus obstruktif. Didapatkan pada 0,7% kasus, disebabkan abses terletak di dekat
portahapatis.
4. Colitis akut. Manifestasi klinik colitis akut sangat menonjol, menutupi gambaran klasik
absesnya sendiri.
5. Gejala kardiak. Rupture abses kerongga pericardium memberikan gambaran klinik
efusi pericardial.
6. Gejala pleuropulmonal. Penyulit yang terjadi berupa empyema toraks atau abses paru
menutupi gambaran klasik abses hatinya.
7. Abdomen akut. Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi ke dalam rongga
peritoneum, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus yang berkurang.
8. Gambaran abses yang tersembunyi. Terdapat hepatomegali yang tidak jelas nyeri,
ditemukan pada 1.5%
9. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
Pemeriksaan penunjang
Mikroskopis
Diagnosis E. histolytica secara historis bergantung pada pemeriksaan mikroskopis morfologi
protozoa. Kerangka kerja identifikasi berbasis mikroskop dan histologi saat ini, bagaimanapun,
tidak dapat membedakan antara protozoa dengan fitur morfologis yang sama. Gambar amuba
usus (E. histolytica, E. coli, E. hartmanni, dan I. bütschlii) menunjukkan fitur morfologisnya
dirangkum.
Masalah terpisah adalah bahwa sensitivitas dan spesifisitas mikroskop konvensional pada
spesimen feses tunggal untuk spesies Entamoeba yang berbeda telah ditunjukkan dalam banyak
penelitian kurang optimal. Cara membedakan E. dispar dari E. histolytica secara mikroskopis
adalah erythrophagocytosis.
RBC yang tertelan dalam sitoplasma dapat terlihat; Temuan ini masih dianggap diagnostik
untuk E. histolytica pada pasien dengan disentri. Ini dapat digunakan untuk membedakan
antara E. histolytica dan E. dispar. Sebagian besar, E. histolytica akan didiagnosis berdasarkan
morfologi protozoon tanpa kehadiran sel darah merah Faktanya, mikroskop klasik tidak
memungkinkan protozoon invasif (E. histolytica) dibedakan dari yang noninvasif (E. dispar)
kecuali erythrophagocytosis (adanya sel darah merah yang tertelan di trofozit) terlihat selama
pemeriksaan mikroskopis. Fitur klasik ini telah lama dianggap sebagai kriteria diagnostik
definitif untuk E. histolytica.

Juga, harus diingat bahwa sel darah merah dapat dicerna tetapi tidak sering muncul pada infeksi
amuba kronis . Dalam sebuah studi in vitro, E. histolytica ditemukan memiliki tingkat fagositik

9
yang secara signifikan lebih tinggi dari sel darah merah yang dicerna daripada spesies
Entamoeba yang nonpathogenik bahwa keberadaan organisme E. histolytica yang mengandung
sel darah merah yang dicerna adalah indikasi diagnostik amebiasis invasif aktif. Namun dalam
beberapa kasus E. dispar juga diamati mengandung sel darah merah.
Trofozoit lebih sering diamati pada spesimen feses segar yang mengandung lendir, nanah, dan
sejumlah kecil darah. Pada tunggangan basah, inti trofozoit tidak mudah terlihat . Kristal
Charcot-Leyden (produk dari eosinofil yang terdegenerasi) dan sel darah merah berumpun
dapat dilihat pada preparat pemasangan basah . Diagnosis pasti amebiasis usus membutuhkan
tingkat keterampilan dan pengalaman yang tinggi pelatihan yang tidak memadai dan pengujian
diagnostik dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Motilitas E. histolytica dalam sediaan
segar biasanya terjadi secara linear (tidak acak), dengan ektoplasma hialin jernih mengalir
untuk membentuk pseudopodia ujung tumpul, yang memandu endoplasma yang mengandung
nukleus . Jika spesimen feses segar tidak dapat segera diperiksa, spesimen tersebut harus
diawetkan dengan fiksatif seperti polivinil alkohol atau dijaga tetap dingin (4 ° C). Kadang-
kadang trofozoit motil terlihat bahkan setelah 4 jam pada suhu ini , meskipun trofozoit
umumnya hancur dengan cepat dalam spesimen tinja yang tidak tetap .
Spesimen tinja dapat diperiksa baik tidak non-stained atau staineddengan yodium
Lugol atau D'Antoni. Noda noda membuat nukleus terlihat sempurna. Penampilan benda-
benda kromatoid sama seperti pada persiapan pemasangan basah (164). Meskipun beberapa
noda lain, termasuk Giemsa, metilen biru, Chorazole black E, Wright's, dan yodium trichrome,
dapat digunakan dengan sukses, pewarnaan trichrome Wheatley atau salah satu pewarnaan
hematoklin besi yang dimodifikasi untuk noda permanen telah disarankan untuk penggunaan
rutin dalam diagnosis. dari E. histolytica / E. dispar bahwa yodium D'Antoni jauh lebih baik
daripada salin atau buffered biru metilen untuk mendeteksi kista E. histolytica sedangkan saline
dan buffered biru metilen sama-sama baik untuk mendeteksi E. histolytica trophozoites . Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi hasil mikroskop. Ini termasuk kurangnya ahli mikroskop
yang terlatih; keterlambatan pengiriman ke laboratorium (motilitas dapat berhenti dan trofozoit
dapat melisiskan dalam waktu 20 hingga 30 menit); kesulitan dalam diferensiasi antara
trofozoit nonmotil dan leukosit polimorfonuklear, makrofag, dan sel-sel jaringan; kondisi
pengumpulan yang tidak memadai (wadah plastik bersih, kering, mulut lebar tidak
terkontaminasi dengan urin dan air diperlukan); zat yang mengganggu seperti antibiotik
(tetrasiklin atau sulfonamida), pencahar, antasida, katartik (magnesium sulfat), preparat
antidiare, (kaolin atau bismut), atau enema (sabun); jumlah spesimen yang dikumpulkan tidak
memadai (setidaknya diperlukan tiga spesimen); kurangnya pengawetan spesimen tinja dengan
fiksatif (polivinil alkohol, cairan Schaudinn, merthiolate-iodine-formalin, natrium asetat-asam
asetat-formalin, atau 5 atau 10% formalin diperlukan); dan keberadaan amebae lain (E. dispar
dan E. moshkovskii identik dan E. coli dan E. hartmanni serupa dalam penampilannya dengan
E. histolytica).

10
Biokimia
Diagnosis berbasis biologi molekuler (PCR) tampaknya menjadi alat penelitian modern yang
dapat menjadi teknik pilihan dalam studi masa depan, karena pembentukan protozoa ini dalam
kultur bukanlah proses rutin dan kurang sensitif dibandingkan mikroskopi dalam deteksi.
Berbeda dengan bakteri, mempertahankan protozoa ini dalam kultur tidak mudah dan
membutuhkan upaya padat karya di laboratorium diagnostik. Singkatnya, harus dipahami
bahwa budaya Entamoeba terutama merupakan alat penelitian daripada yang diagnostik (.
Karena pentingnya yang muncul, terutama yang berkaitan dengan diagnosis, pantas untuk
menyebutkan E. dispar di sini. Sebelumnya disebut "E. histolytica nonpathogenic" tetapi
sekarang diakui sebagai spesies yang berbeda . Ini dapat tumbuh dalam budaya xenic semudah
E. histolytica. Namun, sebagian besar isolat tumbuh buruk dalam budaya monoxenic, dan
sedikit yang dilaporkan dalam budaya axenic . Masalah lain adalah penghapusan organisme
yang tidak diinginkan dalam proses budidaya. Beberapa organisme yang tidak diinginkan,
terutama Blastocytis hominis, dapat tumbuh terlalu cepat pada kultur, dan E. histolytica sering
terlewatkan pada pemeriksaan tinja. Selain itu, sangat penting untuk diingat bahwa setiap
kultur yang memberikan hasil negatif mungkin masih mengandung E. histolytica .
Secara klasik, untuk membedakan bentuk "patogenik" dan "nonpatogenik", pola isoenzim yang
diperoleh dari kultur lisat amuba banyak digunakan. Sebanyak 24 zymodem yang berbeda,
terdiri dari 21 zymodem dari isolat manusia (9 E. histolytica dan 12 E. dispar) dan 3 zymodem
dari kultur amuba strain eksperimental , telah dikenali. Zymodem ini terdiri dari pola
elektroforesis enzim malat, heksokinase, glukosa fosfat isomerase, dan isoenzim
fosfoglukomutase . Namun, semua kecuali dua zymodem tampaknya tidak dapat diandalkan
karena kontribusi dari pola zymodeme dari bakteri dalam kultur xenic . Analisis zymodeme

11
dapat diandalkan dalam diferensiasi E. histolytica dari E. dispar, bagaimanapun, karena
perbedaan genetik dalam hexokinase pada kedua spesies. Meskipun analisis memiliki beberapa
kelemahan seperti kesulitan dalam melakukan tes dan prosedur yang memakan waktu,
penggunaan metode biokimia (identifikasi zymodem yang berbeda) di daerah infeksi endemik
dapat mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang kondisi epidemiologis.
Serologis
Serologi adalah tambahan yang berguna untuk studi feses. Beberapa kit EIA untuk deteksi
antibodi tersedia secara komersial, termasuk fluoresensi tidak langsung,
immunoelectrophoresis, dan tes imunosorben, tetapi uji hemaglutinasi tidak langsung telah
digantikan oleh EIA. Deteksi antibodi sangat membantu dalam diagnosis penyakit ekstra-usus,
ketika studi feses mungkin negatif. Hasil positif palsu telah dilaporkan . Antibodi tetap dapat
dideteksi selama bertahun-tahun setelah pengobatan yang berhasil, sehingga sulit untuk
membedakan antara infeksi aktif dan masa lalu

Radiologi
1. Foto dada
Kelainan foto dada pada amoebiasis hati dapat berupa : peninggian kubah diafragma kanan,
berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.
2. Foto polos abdomen
Kelainan yang didapat tidak begitu banyak, mungkin dapat berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid
level yang jelas.
3. Ultrasonografi
untuk mendeteksi amoebiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran
USG pada amoebiasis hati adalah :
a. bentuk bulat atau oval
b. tidak ada gema dinding yang berarti
c. ekogenisitas lebih rendah dari parenkim hati normal
d. bersentuhan dengan kapsul hati
e. peninggian sonic distal
4. Tomografi komputer
Sensitivitas tomografi komputer berkisar 95-100% dan lebih baik untuk melihat kelainan
di daerah posterior dan superior
Sherlock (2002) membuat kriteria diagnosis abses hati ameba:
1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemik

2. Pembesaran hati pada laki-laki muda


3. Respons baik terhadap metronidazole
4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan lekositosis dengan
pada riwayat sakit yang lama.
5. Ada dugaan amebiasis pada pemeriksaan foto toraks PA dan lateral

6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect


7. Tes fluorescen antibodi ameba positif

12
Diagnosis Banding
Penyakit amebiasis hati perlu dibedakan dengan penyakit hati lainnya, penyakit paru-paru dan
penyakit infeksi sistemik.
1. Pada hepatitis infeksiosa dapat timbul kenaikan suhu badan, tetapi biasanya rendah dan
tidak ada lekositosis. Tidak dijumpai hepatomegalidan tanda Ludwig negative. Diafragma
kanan tak meninggi. Tes faal hatimenunjukkan hati terganggu.
2. Penyakit paru-paru misalnya pneumonia dan empyema kanan perludibedakan dengan
amebic abses hati, karena keluhan yang timbul dapatserupa. Pada penyakit paru-paru
tersebut di atas tidak dijumpai hepatomegali, dan tidak ada peninggian diafragma kanan.
3. Abses hati piogenik perlu dibedakan dengan amebic abses hati. Pada abses piogenik
biasanya ditemukan leukositosis yang hebat, dan tidak ditemukankuman ameba histolitika.
Pengobatan dengan anti amebika tidak menunjukkan perbaikan.

1.8 Tatalaksana

1. Terapi Suportif
Terapi ini diberikan untuk membantu daya tahan tubuh dari host. Dapat dilakukan diet
dengan:
a. diet rendah karbohidrat untuk menurunkan infeksi virus,
b. diet tinggi protein untuk meningkatkan daya tahan tubuh host.
2. Terapi Medikamentosa
A. Amebisida
Macam-macam obat amebisida menurut tempat kerjanya :
a. Amebisida bekerja langsung, terutama di lumen usus. derivat kuinolin :
diiodohidroksikuin, iodoklorhidroksikuin, kiniofon. derivat arsenikal :
karbason,asetarsol, glikobiarsol. golongan amida : klefamid, diloksanid furoat.
lkaloid: emetin bismuth-iodid.
b. Amebisida bekerja tak langsung, di lumen usus dan dinding usus melalui
pengaruhnya terhadap bakteri. Contohnya: tetrasiklin, eritromisin
c. Amebisida jaringan. bekerja terutama di dinding usus dan hati : emetin,
dehidroemetin. Bekerja terutama di hati : klorokuin.
d. Amebisida bekerja di lumen dan jaringan. Derivat-derivat nitroimidazol :
niridazol, metronodazol, tinidazol, ornidazol dan seknidazol (turunan terbaru).

B. Antiprotozoal
Menurut WHO/PAHO, amebiasis yang disebabkan oleh E. hystolytica harus ditangani
dan diberi terapi lepas dari gejala yang dialami oleh pasien. Pada pasien yang
asimptomatik dengan hasil pemeriksaan feses yang menunjukan positive E. hystolytica,
terapi yang diberikan dapat berupa amebisida luminal seperti paromomycin dan
diloxanide furoate. Terapi ini dapat mengeleminasi parasite amabea lumen dan
mencegah invasi ke jaringan dan penyebaran melalui kista. Terapi yang banyak tersedia
adalah paromomycin, meskipun terapi ini memiliki efek samping berupa nyeri pada
bagian abdomen dan mual, namun paromomycin memiliki keuntungan yaitu tidak
terserap di usus. Dosis yang diberikan adalah terapi selama 10 hari dengan
30mg/kg/hari (dibagi menjadi 3 kali waktu konsumsi). Setelah terapi, dianjurkan untuk

13
kembali memeriksa feses di laboratorium untuk mengkonfirmasi eredikasi dari
parasite.
Untuk amebiasis invasive seperti pada intestinal dan ekstratestinal, diperlukan terapi
menggunakan amebisida jaringan seperti golongan nitroimidazoles (contoh:
metronidazole), yang sudah dalam bentuk siap untuk diabsorbsi ke dalam aliran darah.
Metronidazole biasa diberikan dalam dosis 750mg, 3 kali sehari, selama 5-10 hari
tergantung dari derajat keparahan infeksi. Semakin parah penyakit, maka terapi yang
dibutuhkan juga semakin lama. Efek samping obat ini dapat berupa nyeri bagian
abdomen dan mual, namun banyak kasus yang melaporkan tidak ada keluhan. Pada
kasus yang lebih serius, dapat mengakibatkan kebingungan, ataksia, dan seizures.
Selain itu ada terapi medikamentosa yang berada pada regimen baru untuk amebiasis
invasive, yaitu terapi 3 hari untuk nitazoxanide. Terapi ini teruji efektif untuk amebiasis
lumen dan invasive, serta memiliki keuntungan dapat mengeleminasi parasite usus
lainnya seperti cacing helminthes.
Antiprotoza lain dapat berupa:
1. Atovakuon (Mepron) - pneumonia jirovecii pneumonia
a. energi protozoa berasal dari mitokondria
b. atovakuon: inhibisi selektif transpor elektron mitokondria
c. Hasil: energi, menyebabkan kematian selular
d. Digunakan untuk mengobati ringan sampai sedang Pneumonia jirovecii
e. Efek samping: atovakuon (Mepron): Mual, muntah, diare, anoreksia, fungsi
hati berubah, dll
2. Pentamidin
a. Menghambat DNA dan RNA
b. Mengikat dan ribosom agregat
c. langsung mematikan untuk Pneumonia jiroveci
d. Terutama digunakan untuk mencegah & mengobati PCP
e. Digunakan untuk infeksi protozoa lainnya
f. Efek samping:Bronchospasms, leukopenia, trombositopenia, pankreatitis
akut, gagal ginjal akut, peningkatan studi fungsi hati, dll
3. Iodoquinol (Yodoxin)
a. Kisah terutama di lumen usus dari inang yang terinfeksi
b. langsung membunuh protozoa
c. Digunakan untuk mengobati usus amebiasis
d. Efek samping: Mual, muntah, diare, anoreksia, agranulositosis, dll
Selain itu, dapat dilakukan juga terapi non medikamentosa seperti tindakan operasi apabila
terdapat perforasi, abses, obstruksi, striktur, atau toxic megacolon.

1.9 Komplikasi

Komplikasi amebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic


megacolon, ameboma, amebiasis kutis, dan ulkus perianal yang dapat membentuk
fistula.Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang dijumpai, tetapi angka kematian
mencapai 50%.Toxic megacolon juga jarang dijumpai, biasanya berhubungan dengan

14
penggunaan kortikosteroid. Ameboma berasal dari pembentukan jaringan granulasi kolon yang
berbentuk seperti cincin. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon.

Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang sering ditemukan.Komplikasi


dari abses hati dapat berupa penjalaran secara langsung ke pleura, dan perikardium, abses otak,
dan amebiasis urogenital.Abses hati yang pecah , menyebabkan ameba menembus diafragma
dan menimbulkan abses paru, jika pecah ke peritoneum dapat menyebabkan peritonitis.

1.10 Pencegahan

Pencegahan amebiasis terutama ditunjukkan pada kebersihan perorangan (personal


hygiene) dan kebersihan lingkungan (environmental sanitation). Kebersihan perorangan
antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air besar dan sebelum makan.
Kebersihan lingkungan meliputi: masak air minum sampai mendidih sebekum diminum,
mencuci sayuran sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan, buang air bersih di
jamban, tidak menggunakan tinja manusia sebagai pupuk, menutup dengan baik makanan
yang dihidangkan untuk menghindari kontaminasi oleh lalat dan kecoak, membuang sampah
di tempat sampah yang terutup untuk menghindari lalat.

1.11 Prognosis

Jika tidak diobati, infeksi amoeba memiliki morbiditas dan mortalitas yang sangat
tinggi. Faktanya, kematian adalah yang kedua setelah malaria. Infeksi amoeba cenderung
paling parah pada populasi berikut:

• Wanita hamil
• Wanita postpartum
• Neonatus
• Individu yang kekurangan gizi
• Individu yang menggunakan kortikosteroid
• Individu dengan keganasan
Ketika kondisi ini diobati, prognosisnya baik, tetapi di beberapa bagian dunia, infeksi
berulang sering terjadi. Tingkat kematian setelah perawatan kurang dari 1%. Namun, abses
hati amoeba mungkin menjadi rumit dengan ruptur intraperitoneal pada 5% hingga 10%
kasus, yang dapat meningkatkan angka kematian. Perikarditis amuoea dan amebiasis paru
memiliki angka kematian yang tinggi melebihi 20%.

Saat ini dengan pengobatan yang efektif, angka kematian kurang dari 1% pada pasien dengan
penyakit yang tidak rumit. Namun, pecahnya abses hati amoeba yang terinfeksi membawa
angka kematian yang tinggi.

15
2. M&M Entamoeba histolityca

2.1 Taksonomi dan Morfologi

Domain : Eukaryot
Kingdom : Protista
Filum : Sarcomastigophora
Sub-filum : Sarcodina
Kelas : Rhizopoda
Sub-Kelas : Lobosea
Ordo : Amoebida
Genus : Entamoeba
Famili : Endamoebidae
Spesies : Entamoeba histolytica

Dalam daur hidupnya E.hystolitica mempunyai 2 stadium: Trofozoit dan Kista.


Perbedaan Secara Umum :

Tropozoid
a) Bentuk aktif karena bermotil / memiliki pseudophodia
b) Bentuk amorf
c) Ukurannya lebih besar ( 10 – 60 µm )
d) Terdiri dari 2 stadium hystolitica dan minuta

Kista
a) Merupakan bentuk infektif
b) Bentuk bulat atau lonjong
c) Ukurannya lebih kecil ( 10 - 20 µm )

16
KISTA

Saat
masuk

kedalam tubuh, kista mempunyai dinding pada


badannya sehingga tahan akan asam lambung, kista
matang mempunyai 4 nukelus dan begitu ketika
sampai pada lumen terminal usus halus, akan
melakukan ekistasi sehingga terbentuk bentuk
tropozoid. Ketika tropozoid akan berubah bentuk
menjadi kista kembali dalam lumen usus besar, maka tropozoid akan beragregasi / encystasi
untuk menjadi kista berinti 4 atau kista matang. Sebelum menjadi kista matang, terdapat kista
muda yang masih berinti 1 atau 2 dan masih terdapat makanan cadangan dalam badannya,
namun ketika mulai menjadi matang makanan cadangan sudah tidak tersedia lagi dan kembali
membentuk dinding glikoprotein untuk melindungi dirinya di lingkungan luar hingga beberapa
hari bahkan beberapa minggu. Sementara itu komponennya sama dimulai dari plasmalemma,
ektoplasma, endoplasma, dan kumpulan badan kromatoid yang merupakan kumpulan ribosom.
Kista lebih sering ditemukan keluar bersama feses yang padat.

TROPOZOID

17
Tropozoid tidak mempunyai dinding, dan hanya
mempunyai 1 nukleus. Tropozoid melakukan
pembelah biner untuk dirinya bereplikasi. Tahap
tropozoid merupakan tahap yang pathogen sehingga
mempunyai enzim Sistein Proteinase, Galaktosa, serta
Lectin yang digunakan sebagai proses melisiskan
mukosa dan submukosa dari dinding usus dan bisa
menginvasi. Komponen dari Tropozoid berupa :
plasmalemma, ektoplasma yang akan tumbuh menjadi
peudophodia, dan endoplasma dimana akan menampung nukleus, ribosom, dan makannya
didalam wakuola glikogen. Tropozoid juga dibagi lagi menjadi 2 tahap, yaitu : Hystolitica dan
Minuta. Dimana bentuk hystolitica lebih besar daripada bentuk minuta, sering dotemukan pada
jaringan ( melisiskan ), serta didalamnya terdapat sel daram merah. Sementara didalam bentuk
minuta terdapat bakteri yang terfagosit. Bentuk tropozoid akan sering ditemukan pada feses
yang cair.

2.2 Siklus hidup

Dalam siklus hidupnya, E. histolytica memiliki stadium yang berbentuk trofozoit – prakista
– kista – metakista. Trofozoit berdiameter 10 – 60 mikrometer, ditemukan di bagian bawah
usus halus, namun lebih sering berada di kolon dan rektum yang melekat pada bagian mukosa.
Trofozoit adalah stadium infeksi, masuk ke dalam usus dan melakukan pembelahan aseksual
kemudia masuk ke dalam mukosa usus besar. Di dalam dinding usus besar, trofozoit terbawa
aliran darah menuju ke hati, paru, otak dan organ lain. Trofozoit dalam saluran pencernaan
melakukan pemadatan dan berubah bentuk menjadi metakista. Metakista keluar bersama tinja
(Lynne & Bruckner, 1996)

18
Bentuk kista bersifat non-patogen tetapi dapat berubah menjadi infektif bagi manusia. Hewan
mamalia lain seperti anjing dan kucing dapat juga terinfeksi. Kista dihasilkan jika kondisi
sekitamya tidak memungkinkan untuk kehidupan trofozoit. Inti kista dapat membelah menjadi
empat dengan ukuran berkisar 10-20 um, kondisi ini terjadi jika bentuk kista menjadi matang
(metakista). Kista dikeluarkan bersama tinja. Selama dalam saluran pencernaan, dalam suasana
asam tidak terjadi perkembangan, namun dalam pH basa atau netral, kista menjadi aktif,
berkembang menjadi 4 stadium trofozoit metakistik dan selanjutnya menjadi trofozoit di dalam
usus besar. 10 Adanya dinding kista, menyebabkan bentuk kista dapat bertahan terhadap
adanya pengaruh lingkungan yang buruk yang berada di luar tubuh manusia. Stadium kista
sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk dan tetap bertahan di tanah selama 8 hari
pada suhu 28–34°C, 40 hari pada suhu 2–6°C, dan 60 hari pada suhu O° C.Kista sangat tahan
terhadap bahan kimia tertentu namun dapat dihancurkan dalam asam asetat 5-10% dan iodine
200 ppm. Sedangkan dalam air dapat bertahan sampai 1 bulan dan dalam tinja kering sampai
12 hari. Selain itu kista dapat dihilangkan dengan filtrasi pasir atau dimatikan dengan direbus,
filtrasi dilakukan dengan menggunakan tanah yang mengandung diatomaceaus.

(Gracia et al,1996; Rasmaliah,2003 )

2.3. Cara Penularan

Penyakit ini ditularkan secara fekal oral baik secara langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung
(melalui makanan atau minuman yang tercemar). Penularan dapat terjadi melalui beberapa cara,
misalnya; pencemaran makanan dan air minum, penggunaan kotoran manusia sebagai pupuk juru
masak yang terinfeksi (food handlers), vektor lalat dan kecoa, serta kontak langsung seksual oral-anal
pada homoseksual. Sumber infeksi terpenting adalah penderita menahun yang mengeluarkan kista
atau pengandung kista tanpa geiala. Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista
ameba yang berasal dari carrier (cyst passer).

19
DAFTAR PUSTAKA

Sutanto dkk, 2008, Parasitologi Kedokteran, Edisi Keempat, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Shirley DT, Farr L, Watanabe K, Moonah S. A Review of the Global Burden, New Diagnostics,
and Current Therapeutics for Amebiasis. Open Forum Infect Dis. 2018 Jul;5(7):ofy161

http://zoonosis.biologi.ugm.ac.id/amebiasis/

Pritt, B. S., & Clark, C. G. (2008). Amebiasis. Mayo Clinic Proceedings, 83(10), 1154–
1160. doi:10.4065/83.10.1154

Muliani, Nurlina, Salim, Hotimah. (2019) Review Article: Amebiasis Molecular Pathogenesis
Development
Maryatun, M. (2008). Entamoeba histolytica: parasit penyebab amebiasis usus dan hepar. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 8(1), 39-46.

Ben Ayed, L., and Sonia Sabbahi. 2017. Entamoeba Histolytica . In: J.B. Rose and B.Jimenez-Cisneros,
(eds) Global Water Pathogen Project. http://www.waterpathogens.org (R.Fayer and W. Jakubowski,
(eds) Part 3 Protist) www.waterpathogens.org/book/entamoeba-histolytica Michigan State
University, E. Lansing, MI, UNESCO.

Savitri, Ary indriana. 2009. Skripsi : Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Entamoeba Histolytica Dengan
Pengambilan Spesimen Tinja Tunggal Dibandingkan Dengan Pengambilan Spesimen Tinja Berulang.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pritt, B. S., & Graham Clark, C. (2008). Amebiasis. Mayo Clinic Proceedings, 83(10), 1154–1160.
https://doi.org/10.4065/83.10.1154

Sutanto I, Ismid I S, Sjarifuddin P K, Sungkar S. (2008). Parasitologi Kedokteran, edisi 4. Balai


Penerbit FKUI. Jakarta

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC207118/

20

Anda mungkin juga menyukai