Anda di halaman 1dari 148

MAKALAH PERPAJAKAN

PRODI S1 MANAJEMEN
& AKUNTANSI
FE UNIMED

Skor Nilai :

EBOOK PERPAJAKAN

Dosen Pengampu:
Erny Luxy D. Purba, SE., M.Si

DISUSUN
OLEH:

KELOMPOK 12

Nur Ihsani Afsah Tarihoran 7193510008


Aprillia Br Siahaan 7213220035
Dwi Syahlani 7213220039

KATA PENGANTAR

JURUSAN MANAJEMEN & AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga tugas project
Perpajakan yaitu Ebook Perpajakan ini dapat tersusun hingga selesai. Kami ucapkan terima kasih
kepada dosen Perpajakan, Ibu Erny Luxy D. Purba, SE., M.Si. Tidak lupa kami ucapkan terima
kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun tenaga.
Harapan kami semoga tugas project Perpajakan yaitu Ebook Perpajakan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca sehingga kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah perpajakan ini agar menjadi lebih baik lagi,
baik dari segi penyusunan materi maupun penyajian kalimat.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam tugas ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas project Perpajakan ini.

Padangsidimpuan, 19 Mei 2022

Kelompok 12
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...3

KOMPETENSI DASAR .…………………………………………………………………………


4

ISI BUKU
BAB I…………………..……………………………………………………………………….....6
BAB II …………………..
……………………………………………………………………….14
BAB III…………………..………………………………………………………………………24
BAB IV…………………..………………………………………………………………………34
BAB V…………………..……………………………………………………………………….46
BAB VI…………………..………………………………………………………………………64
BAB VII…………………..……………………………………………………………………..73
BAB VIII.…………………..……………………………………………………………………80
BAB IX…………………..………………………………………………………………………97
BAB X.…………………..……………………………………………………………………..103
BAB XI…………………..……………………………………………………………………..111
BAB XII…………………..
…………………………………………………………………….127
BAB XIII.…………………..…………………………………………………………………..138

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..146
KOMPETENSI DASAR
1. Mengetahui secara umum isi materi mata kuliah Perpajakan dan dapat mengetahui isi materi
secara keseluruhan dan mampu menjelaskan pengertian pajak, fungsi pajak, sistem
pemungutan pajak, asas pengenaan pajak yang termasuk dalam Dasar-dasar Perpajakan.
2. Mampu menjelaskan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) antara lain
pengertian WP, masa pajak dan tahun pajak, kewajiban mendaftarkan diri, dan kewajiban
membayar pajak dan menjelaskan sanksi administrasi jika WP melanggar peraturan
perpajakan.
3. Mampu menjelaskan tentang perbedaan antara Subjek Pajak dan Wajib Pajak Penghasilan,
dan mampu menjelaksan Obyek PPh dan tarif PPh serta mampu menjelaskan perhitungan
PPh dengan tarif umum dan norma penghitungan PPh.
4. Mampu menjelaskan Subyek PPh dan Pengecualiannya, Pemotong dan bukan Pemotong PPh
21, Obyek PPh dan Pengecualiannya.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme pemotongan PPh 21/26 dan menghitung PPh
21/26 untuk karyawan tetap yang menerima Penghasilan Teratur.
6. Mampu menghitung dan menjelaskan perhitungan PPh 21/26 untuk karyawan tetap yang
menerima Penghasilan Teratur dan Tidak Teratur, perhitungan PPh 21 untuk karyawan yang
bekerja tidak setahun penuh dan perhitungan PPh 21 untuk karyawati.
7. Mampu menghitung dan menjelaskan tentang PPh 21/26 untuk karyawan yang menerima
honorarium, perhitungan PPh 21 untuk karyawan yang menerima hadiah penghargaan dan
perhitungan PPh 21 untuk karyawan dengan status WP Luar Negeri.
8. Mampu menghitung dan menjelaskan mekanisme pemungutan PPh pasal 22 dan 24 , dan
membedakan Pemungut dan objek non objek dan mampu menerapkan dalam penghitungan
PPh pasal 22 dan 24.
9. Mampu menghitung dan menjelaskan mekanisme pemotongan PPh 23/26, membedakan
Pemotong, Subjek non subjek dan objek non objek dan mampu menerapkan dalam
penghitungan PPh.

Page | 4
10. Mampu menjelaskan mekanisme angsuran PPh 25 dan dapat membedakan PPh final dan
tidak final dan dapat menjelaskan cara pengisian SPT PPh WP Orang Pribadi.
11. Mampu menjelaskan pengertian karakteristik PPN dan PPnBM, Mekanisme Kredit Pajak,
Faktur Pajak, pajak Masukan dan Pajak Keluaran.
12. Mampu menjeaskan pengertian Dasar Pengenaan PPN, Cara Pengenaan PPN, Perhitungan
PPN untuk Aktiva dan Membangun Sendiri
13. Mampu menjelaskan pengertian subyek, obyek dan Pengecualiannya dan mampu
menjelaskan cara Perhitungan PBB.
14. Mampu menjelaskan pengertian subyek , obyek dan pengecualiannya dan mampu
menjelaskan cara Perhitungan BPHTB dan Bea Meterai.
15. Mampu menjelaskan pengertian rekonsiliasi fiskal, koreksi positif, koreksi negatif, beda
waktu dan beda tetap.

Page | 5
BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PERPAJAKAN
A. Pengertian Pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat
1 berbunyi pajak adalah kontibusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.
Berikut beberapa pengertian pajak menurut para ahli, yaitu:
 Prof. Dr. P.J.A. Adriani: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
 Mr. Dr. N. J. Feldmann: Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang
kepada penguasa, menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum, tanpa adanya
kontra-prestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran Umum.
 Prof. Dr. M.J.H. Smeets: Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
Pemerintah.
 Dr. Soeparman Soemahamidjaja: Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Page | 6
 Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-
prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.

B. Fungsi Pajak
Fungsi pajak adalah untuk mengumpulkan dana yang diperlukan pemerintah membiayai
pengeluaran belanja negara guna kepentingan dan keperluan seluruh masyarakat.
 Fungsi Finansial (Budgeter): Pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah guna
mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk pengeluaran pemerintah dan pembangunan
negara.
 Fungsi Mengatur (Regulerend): Untuk memberikan kepastian hukum. Terutama dalam
menyusun undang-undang pajak senantiasa perlu diusahakan agar ketentuan yang
dirumuskan jangan menimbulkan interpretasi yang berbeda antara Fiskus dan Wajib Pajak.
 Fungsi Alat Penjaga Stabilitas: Bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan
menjaga agar defisit perdagangan tidak semakin melebar, pemerintah dapat menetapkan
kebijakan pengenaan PPnBM.
 Fungsi Sarana Redistribusi Pendapatan: Pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai
pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya dan jembatan. Kebutuhan akan dana itu dapat
dipenuhi melalui pajak yang hanya dibebankan kepada mereka yang mampu membayar
pajak.

C. Manfaat Pajak
Pajak memiliki manfaat yang sangat besar bagi rakyat dan pembangunan Indonesia. Melalui
pajak yang kita bayar, pemerintah akan memiliki pendanaan untuk membiayai berbagai
pembangunan fisik, menggaji pegawai negeri, bahkan membantu korban bencana alam. Menurut
Hadi (2013) manfaat pajak yaitu:
 Pendidikan
 Pembangunan fasilitas dan infrastruktur
 Dana alokasi umum
Page | 7
 Pemilihan umum
 Penegakan hukum
 Subsidi pangan
 Subsidi BBM
 Pelayanan kesehatan
 Pertahanan dan keamanan (hankam)
 Pelestarian lingkungan hidup
 Penanggulangan bencana
 Pelestarian budaya
 Transportasi massal
 Menyediakan biaya listrik yang relative terjangkau oleh masyarakat

D. Syarat Pemungutan Pajak


Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan
pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
 Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang Undang dan pelaksanaan
pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara
umum dan merata, serta disesusikan dengan kemampuan masing-masing, sedang adil dalam
pelaksanaan yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
 Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang Undang (syarat yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan bahwa pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
 Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan
sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
 Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)

Page | 8
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah
dari hasil pemungutannya.
 Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang undang perpajakan yang
baru.

E. Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal


Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan
rakyat sebagai wajib pajak. Hukum pajak dibedakan menjadi dua yakni:
 Hukum pajak material yakni memuat norma-norma yang menerangkan tentang keadaan,
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak
(subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif pajak), segala sesuatu yang timbul
dan hapusnya utang pajak, serta hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Contoh Undang Undang Pajak Penghasilan
 Hukum pajak formal yakni memuat tentang bentuk/cara untuk mewujudkan hukum material
menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak material). Hukum ini memuat:
a. Tata cara penyelenggaraan (presedur) penetapan suatu utang pajak;
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai
keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak;
c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan hak-hak
wajib pajak misalnya mengajukan keberatan/banding. Contoh: ketentuan umum dan tata
cara perpajakan.

F. Pengelompokkan Pajak
Pajak dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu:
 Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan.

Page | 9
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
 Menurut sifatnya
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau bersandarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak penghasilan.
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak pertambahan nilai pertambahan nilai dan pajak
penjulan atas barang mewah.
 Menurut pemungut dan pengelolanya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara. Contoh: pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan
nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan
(PBB), dan bea materai. Mulai tahun 2012 PBB dikelola oleh daerah.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah..
Contoh:
1). Pajak Daerah Tingkat I: Pajak kendaaan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik
nama kendaaan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak pengambilan dan pemanfaatan air tanah
dan air permukaan.
2) Pajak Daerah Tingkat II: Pajak hotel dan restoran, pajak reklame, pajak, hiburan, pajak
penerangan jalan.

G. Pemungutan Pajak
Cara pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel:
 Stelsel nyata (riil stelsel)
Pemungutan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan
yang baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya
diketahui. Stelsel nyata memiliki kelebihan atau kebaikan, dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini
adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahanya pajak baru dapat dikenakan
pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
Page | 10
 Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu aggapan yang diatur oleh suatu Undang Undang.
Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal
tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada
akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan
yang sesungguhnya.
 Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Yakni pada
awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun
besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut
kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah.
Sebaliknya jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak menurut anggapan,
maka wajib pajak dapat minta kembali kelebihannya (direstitusi) dapat juga dikompensasi.

H. Azas Pemungutan Pajak


Ada tiga azas pemungutan pajak, yaitu azas domisili, azas sumber, dan azas kebangsaan.
 Azas Domisili (azas tempat tinggal): Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang
berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Azas ini berlaku bagi wajib pajak dalam negeri.
 Azas Sumber: Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
 Azas Kebangsaan: Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Azas ini berlaku untuk wajib
pajak luar negeri

I. Sistem Pemungutan Pajak


Ada tiga sistem pemungutan pajak, yaitu official assessment system, self assessment system,
dan with holding assessment system.
Page | 11
 Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
wajib pajak. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
b. Wajib pajak bersifat pasif
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus
 Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang. Adapun ciri-ciri
sistem ini adalah:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak yang
terutang
b. Fiskus tidak ikut campur tetapi hanya mengawasi.
 With Holding Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak) untuk menentukan
besarnya pajak terutang. Adapun ciri-ciri sistem ini adalah wewenang untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiskus dan wajib pajak.

J. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak


Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
 Ajaran formal, yaitu utang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh
fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System.
 Ajaran material, yaitu utang pajak timbul karena berlakunya Undang Undang. Seseorang
dikenai pajak karena suatu keadaan atau suatu perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada Self
Assessment System.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain yaitu pembayaran,
kompensasi, daluwarsa, bembebasan, dan penghapusan.
 Pembayaran yaitu utang pajak yang melekat pada wajib pajak akan hapus jika sudah
dilakukan pembayaran kepada kas negara.
 Kompensasi yaitu apabila wajib pajak mempunyai kelebihan dalam pembayaran pajak, maka
kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak yang masih harus dibayar.
Page | 12
 Daluwarsa/lewat waktu yaitu terlampauinya waktu dalam melakukan penagihan utang pajak
selama lima tahun sejak terjadi utang pajak.
 Pembebasan yaitu pemberian pembebasan atas sanksi admistrasi pajak (berupa bunga atau
denda) yang harus dibayar oleh wajib pajak.
 Penghapusan yaitu pemberian pembebasan atas sanksi admistrasi pajak (berupa bunga atau
denda) yang harus dibayar oleh wajib pajak dikarenakan keadaan keuangan wajib pajak.

K. Hambatan Pemungutan Pajak


Adanya hambatan dalam pungutan pajak, yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif.
 Perlawanan pasif yaitu masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, hal ini disebabkan oleh:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit difahami masyarakat
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
 Perlawanan aktif, yakni semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada
fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Ada dua cara/bentuk perlawanan katif, yaitu
Tax Avoidance dan Tax Evasion.
a. Tax Avoidance adalah usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang
Undang
b. Tax Evasion adalah usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar
Undang Undang (menggelapkan pajak)

Page | 13
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

A. Kewajiban dan hak wajib pajak


 Kewajiban wajib pajak
1. Mendaftarkan diri untuk mendapat npwp
2. Menghitung sendiri dan membayar kewajiban pajak dengan benar
3. Mengisi dengan benar spt dan memasukkan ke kantor pelayanan pajak dalam batas waktu yang
telah ditentukan
4. Menyelanggarakan pembukuan /pencatatatn
5. Jika diperiksa wajib:
A. Memperlihatkan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan
bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak
B. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan
memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaaan
6. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan ataupun dokumen serta
keterangan yang diminta. Wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan maka
kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh pemerintah untuk keperluan pemeriksaaan

 Hak-hak wajib pajak


1. Mengajukan surat keberatan dan surat banding
2. Menerima tanda bukti pemasukan spt
3. Melakukan pembetulan spt yang telah dimasukkan
4. Mengajukan permohonan penundaaan pemasukkan spt

Page | 14
5. Mengajukan permohonan penundaaan atau pengangsuran pembayaran pajak
6. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak
7. Meminta kembalian kelebihan pembayaran pajak
8. Mengajukan permohonan penghapusan dan pemgurangan sanksi, serta pembetualan surat
ketetapan pajak yang salah
9. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajak

B. Sanksi-sanksi perpajakan dalam kup


Sanksi-sanksi di bidang perpajakan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan umum dan tata cara
perpajakan (kup) dapat berupa:
1. Sanksi administrasi, terdiri atas:
A. Sanksi administrasi berupa bunga, yang dihitung dalam bentuk persentase tertentu pada
umumnya sebesar 2%
B. Sanksi administrasi berupa denda, yang dihitung dalam bentuk jumlah uangnya atau dalam
persentase
C. Sanksi administrasi berupa kenaikan, yang terhitung dalam bentuk persentase yang besarnya
50% atau lebih
2. Sanksi pidana, yang dikenakan beberapa hal antara lain:
A. Alpa, yaitu dikarenakan tidak menyampaikan spt
B. Sengaja, yaitu dikarenakan tidak mendaftarkan diri atau tidak menyampaikan spt dan sebagainya
C. Pengulangan, yaitu dikarenakan jika seseorang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum lewat satu tahun sudah mengulanginya lagi
D. Percobaan, yaitu dikarenakan melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
penyalahgunaan di bidang perpajakan

C. Pemungutan dan potongan pajak tertentu sebagai wajib pajak


wajib pajak yang juga termasuk pemungut dan pemotong pajak tertentu berkewajiban untuk
melakukan penungutan atau pemotongan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Beberapa undang-undang yang menjelaskan hal tersebut, antara lain:

Page | 15
1. Undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 yang telah diubah dengan uu no. 11 tahun 1994
pasal 1
2. Undang-undang pajak penghasilan 1984 yang telah diubah dengan undang nomor 10 tahun 1994
pada pasal 22 ayat (1)
3. Keppres no. 56 tahun 1988, antara lain mengatur:
4. Keppres no. 16 tahun 1994 atau no. 24 tahun 1995 pasal 2 ayat2
Wajib pajak yang juga termasuk pemungut dan pemotong pajak tertentu menurut uu diatas antara
lain:
 Kpn
 bendaharawan pemerintah pusat dan daerah (tk i + tk ii)
 pertamina
 kontraktor bagi hasil dan kontrak karya di bidang minyak dan gas bumi
 pertambangan umum lainnya
 bumn dan bumd
 bank pemerintah dan bpd
D. Nomor pokok wajib pajak (npwp)
Nomor pokok wajib pajak adalah suatu sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. Adapun fungsi nomor pokok wajib pajak
yaitu sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dan untuk menjaga ketertiban dalam
membayar pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Pendaftaran npwp
Semua wajib pajak berdasarkan system self assesment wajib mendaftarkan diri pada kantor
direktorat jendral pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib
pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak sekaligus mendapat npwp. Kewajiban mendaftarkan ini
berlaku pula untuk wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisah
penghasilan dan harta. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh npwp dibatasi jangka
waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak
terutang jangka waktu pendaftaran npwp adalah:

Page | 16
• bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak
badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat satu bulan setelah usahanya mulai dijalankan.
• wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau pekerjaan bebas apabila
sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi ptkp
setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan npwp akan dikenakan
sanksi perpajakan. Bagi mereka yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, atau
menyalahgunakan atau tanpa hak npwp sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah
pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Penghapusan npwp
Nomor pokok wajib pajak dapat dihapus, antara lain karena:
• wajib pajak orang pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan;
• wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
• warisan yang telah selesai dibagi;
• wajib pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
• bentuk usaha tetap (but) yang telah kehilangan setatusnya sebagai bentuk usaha tetap;
• wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud diatas yang tidak memenuhi syarat
sebagai wajib pajak.
E. Surat pemberitahuan (spt)
Surat pemberitahuan (spt) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Adapun fungsi sptadalah:
1. Fungsi spt bagi wajib pajak penghasilan:
 sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang.
 untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan
atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak atau
bagian tahun pajak.

Page | 17
 untuk melaporkan pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan ;ain dalam satu masa pajak, yang ditentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi spt bagi pengusaha kena pajak
• sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang sebenarnya terutnag.
• untuk melaporkan perkriditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.
• untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dialksanakan oleh pengusaha
kena pajak dan atau pihak lain dalam satu masa pajak, yang telh ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Fungsi spt bagi pemotong atau pemungut pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya.

 Prosedur pengisian dan penyetoran spt


Adapun prosedur pengisian dan penyetoran spt adalah sebagai berikut:
A. Datang sendiri ke kpp mengambil berkas spt.
B. Mengisi spt sesuai ketentuan yang berlaku kemudian menyerahkan kembali ke kpp dalam batas
yang sudah ditentukan.
C. Jika terjadi kekeliruan, maka wajib pajak dapat membetulkan sendiri dengan menyampaikan
pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhir
masa pajak, dengan syarat:
D. direktur jendral pajak belum melakukan pemeriksaan dan pembetulan tersebut menyebabkan
utang pajak menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi 2% sebulan. Walaupum sudah
dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan, wajib pajak dapat mengungkapkan
ketidak benaran pengisian spt.
Hal-hal yang harus tercantum dalam spt
• jumlah pajak yang sebenarnya terutang menurut perhitungan yang benar.
• jumlah pembayaran pajak yang telah dibayar sendiri oleh wajib pajak maupun dipotong melalui
pihak lain.

Page | 18
• jumlah pajak yang masih harus dibayar atas kekurangan dan jumlah pajak yang lebih dibayar.

Jenis-jenis spt
 spt masa adalah spt yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan
pembayaran pajak terutang dalam suatu masa pajak (suatu saat tertentu).
 spt tahunan adlah spt yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan
pembayaran pajak terutang dalam suatu tahun pajak.
F. Surat pembayarann pajak (spp)
Surat setoran pajak adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran
atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui kantor pos dan atau bank badan usaha
milik negara atau bank badan usaha milik daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
menteri keuangan. Adapun fungsi spp adalah sebagai sarana untuk membayar pajak dan sebagai
bukti dan laporan pembayaran pajak. Tempat pembayaran dan penyetoran pajak dapat dilakukan di
bank-bank yang ditunjuk oleh direktorat jendral anggaran, kantor pos, bank-bank bumn atau bumd,
tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

G. Surat tagihan pajak (stp)


Surat tagihan pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi
berupa denda dan/atau bunga. Surat tagihan pajak diatur dalam pasal 14 undang-undang kup. Stp
diterbitkan oleh kantor pajak dalam hal sebagai berikut:
1. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
2. Dari hasil penelitian surat pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis/atau salah hitung
3. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan uu ppn, tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai pkp
5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (pkp) tetapi membuat faktur
pajak atau pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pkp tetapi tidak membuat atau tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap.

Page | 19
Penerbitan stp biasanya diikuti dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk
selama-lamanya 24 bulan (maks. 48%).
Contoh:
Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak penghasilan
pasal 25 tahun 1995 setiap bulan sebesar rp 100.000.000 dan jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15.
Pada bulan juni 1995 dibayar tepat waktu sebesar rp 40.000.000. Atas kekurangannya diterbitkan stp
tangggal 18 september 1995, maka penghitungannya adalah:
- kekurangan pajak penghasilan pasal 25
bulan juni tahun 1995 ………………….rp 60.000.000
- bunga (3 x 2% x rp 60.000.000)………..rp 3.600.000 +
- jumlah yang masih harus dibayar ……….rp 63.600.000
Fungsi stp adalah sebagai berikut:
1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang spt wajib pajak.
2. Sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
3. Alat untuk menagih pajak.
Selain itu stp (surat tagihan pajak) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak. Sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan surat paksa.

H. Surat ketetapan pajak kurang bayar (skpkb)


Surat ketetapan pajak kurang bayar diatur dalam pasal 13 undang-undang kup. Skpkb adalah surat
keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus
dibayar. Skpkb ini akan diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya
pajak, berakhirnya masa pajak, atau bagian tahun pajak atau tahun pajk, yaitu dalam hal sebagai
berikut:
1. Berdasrkan hasil pemeriksaan atau keterngan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
2. Surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah
ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran
3. Berdasrkan hasil pemeriksaan atas ppn dan ppnbm ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak segarusnya dikenka tarif 0%

Page | 20
4. Tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan
pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
Skpkb dapat dilakukan setelah lewat jangka waktu 10 tahun ditambah sanksi bunga sebesar 48%
dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar. Pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan yaitu
suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada jumlah yang harus ditagih. Sanksi
administrasi berupa kenaikan ini untuk jenis pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam 1 tahun, sanksi kenaikannya sebesar 50%. Untuk jenis pajak penghasilan yang dipotong oleh
orang atau badan lain dan jenis pajak ppn dan ppnbm ditetapkan sebesar 100% dari besarnya pajak
yang tidak atau kurang dibayar. Adapun fungsi skpkb adalh sebagai kreksi atas jumlah yang terutang
menurut spt-nya, sarana untuk mengenakan sanksi dan alat untuk menagih pajak.

I. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (skpkbt)


Skpkbt telah diatur dalam pasal 15 undang-undang kup. Skpkbt adalah surat keputusan yang
menentukan tambahan atau jumlah pajak yang telah ditetapkan. Penerbitan skpkbt dimaksudkan
untuk menampung beberpa kemungkinan yang terjadi seperti:
1. Adanya skpkb yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah daripada perhitungan yang
sebenarnya
2. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam skplb yang seharusnya tidak
dilakukan
3. Adanya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak nihil (skpn) yang ditetapkan ternyata lebih
rendah
Skpkbt merupakan koreksi atas skpkb, artinya skpkbt baru dapat diterbitkan bila sudah pernah
diterbitkan skpkb, skplb, dan skpn. Diterbitkannya skpkbt ini juga harus ada syarat adanya data baru
(novum) dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang
terutang dalam ketetapan pajak sebelumnya. Skpkbt yang kedua bias diterbitkan jika ternyata masih
ditemukan lagi adanya data baru (novum) dan/atau data yang semula belum terunkap yang baru
diketahui belakangan oleh direktur jenderal pajak. Jadi penerbitan skpkbt bisa dilakukan lebih dari
satu kali. Kekurangan pajak dalam skpkbt akan ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Penerbitan skpkbt juga dapat
dilakukan setelah lewat jangka waktu 10 tahun ditambah sanksi bunga sebesar 48% dari jumlah

Page | 21
yang tidak atau kurang dibayar apabila wajib pajak terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dan telah diputus oleh hakim serta mempunyai kekuatan hokum yang tetap (in kracht van
gewijsde). Funsi skpkbt adalah sebagai berikut:
 koreksi atau jumlah yang terutang menurut spt-nya.
 saran untuk mengenakan sanksi.
 alat untuk menagih pajak.

J. Surat ketetapan pajak lebih bayar (skplb)


Skplb diatur dalam pasal 17 undang-undang kup. Skplb adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Skplb akan diterbitkan jika ada permohonan
secara tertulis dari wajib pajak. Skplb harus sudah diterbitkan selambat-lambatnya 12 bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap. Apabila kepala kpp tidak memberikan keputusan, permohonan
pengembalian dianggap dikabulkan, dan skplb harus diterbitkan selambat-lambatnya 1 bulan setelah
jangka waktu tersebut berakhir. Fungsinya sebagai alat atau sarana untuk mengambil kelebihan
pembayaran pajak.

K. Surat ketetapan pajak nihil (skpn)


Skpn diatur dalam pasal 17a undang-undang kup. Skpn adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang tertang, atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
Penerbitan skpn dilakukan baik untuk jenis pajak penghasilan maupun untuk pajak pertambahan
nilai dan pajak pejualan barang barang mewah. Untuk pajak penghasilan, skpn diterbitkan apabila
jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak. Untuk pajak pertambahan nilai, skpn diterbitkan apabila jumlah kredit pajak sama
dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Sedangkan
untuk pajak penjualan barang mewah, skpn diterbitkan apabila jumlah pajak yang dibayar sama
dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

Page | 22
L. Surat pemberitahuan pajak terhutang (sppt)
Sppt diatur dalam pasal 10 ayat 1 undang-undang no. 12 tahun 1994 tentang pajak bumi dan
bangunan (pbb). Sppt akan dikeluarkan berdasarkan surat pemberitahuan objek pajak (spop) yang
telah disampaikan oleh wajib pajak atau berdasrkan data objek pajak yang telah ada pada kantor
pelayanan pajak bumi dan bangunan (kppbb). Sppt yang telah diterbitkan oleh kppbb, pelunasannya
harus diselesaikan selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya sppt oleh wajib pajak. Bila
sppt tidak dilunasi, maka akan dikenakan sanksi berpa denda administrasi sebesar 2% sebulan
dihitung dari saat jatuh tempo sampai hari pembayaran utnuk jangka waktu selama-lamanya 24
bulan.

M. Daluwarsa penetapan
Daluwarsa penetapan menurut pasal 13 undang-undang kup adalah selama 10 tahun. Artinya,
direktorat jenderal pajak diberikan batas waktu sampai dengan 10 tahun untuk mengeluarkan
ketetapan pajak (skpkb) atas utang wajib pajak. Apabila dalam waktu 10 tahun direktorat jenderal
pajak tidak mengeluarkan ketetapan pajak (skpkb), pengeluaran skpkb tidak dapat lagi dilakukan.
Dengan demikian utang wajib pajak menjadi daluwarsa.

Page | 23
BAB III
PAJAK PENGHASILAN UMUM
A.    PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN ATAU PPh
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan
atas penghasilan yang diterima dalam satu tahum pajak. Penghasailan yang
dimaksud dapat berupa gaji, laba usaha, honorium, hadiah dan pendapatan lainnya
yang dapat menambah kekayaan bagi Wajib Pajak. Definisi Pajak Penghasilan atau
PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diperoleh Wajib
Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri.
Pajak Penghasilan (PPh) menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 Pasal 1
adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 adalah tahun takwim,
namun wajib pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas)
bulan.
Pajak penghasilan merupakan pajak langsung yang dipungut pemerintah pusat atau
merupakan pajak negara. Sebagai pajak langsung, maka pajak penghasilan tersebut
menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan, dalam arti bahwa pajak
penghasilan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain atau dimasukan dalam
kalkulasi harga jual maupun sebagai biaya produksi. Dasar hukum PPh adalah
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. UU ini
mengalami empat kali perubahan, yakni: 
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU No.7/1983 tentang

Pajak Penghasilan
• Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No.7/1983

tentang Pajak Penghasilan

Page | 24
•  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No.7/1983
tentang Pajak Penghasilan
• Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7/1983

tentang Pajak Penghasilan.


Selain itu, pengaturan terbaru tentang pajak penghasilan juga dalam UU Cipta
Kerja No. 11 Tahun 2020 dan melalui  UU HPP Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
B.   SUBJEK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN
 
Subjek Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang
diterima. Subjek Pajak Penghasilan Yang menjadi subjek pajak penghasilan
adalah: 
a. 1.  Orang Pribadi  2.  Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
b. Badan, adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
c. Bentuk usaha tetap, adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a.  Tempat kedudukan manajemen
b.  Cabang perusahaan
c.  Kantor perwakilan
d. Gedung kantor
e. Pabrik
f.  Bengkel
g.  Gudang
h. Ruang untuk promosi dan penjualan
i.  Pertambangan dan penggalian sumber alam
j.  Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
k.  Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan
l.  Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
Page | 25
m.Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
 
Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1. pembentukannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. pembiayaannya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah; 3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara; Kewajiban pajak subyektif badan dimulai pada saat badan tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan
atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 
 
Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek Pajak luar negeri adalah: 
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Kewajiban pajak
subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat orang pribadi atau badan
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dan berakhir pada saat tidak lagi
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap. 
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Kewajiban pajak
subyektif orang pribadi atau badan dimulai pada saat orang pribadi atau badan
tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada
saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
 
Tidak termasuk subjek pajak
Tidak termasuk subjek pajak adalah: 

Page | 26
a. Kantor perwakilan negara asing.
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik.
c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota
organisasi tersebut dan 2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pejabat perwakilan organisasi internasional
adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi
internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan
pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
 
Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
c. Laba usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan. 
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
Page | 27
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan 
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada
pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan
nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerinta
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva 
n. Premi asuransi, termasuk premi reasuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
r. Imbalan bunga
s. Surplus Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak
Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah
dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Penghasilan yang
Dikenai PPh Final Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 

Page | 28
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah
 
Dikecualikan dari Objek Pajak
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan 2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 
2. Warisan;
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau a. Pajak yang menggunakan norma penghitungan
khusus (deemed profit); 
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa; 
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia;
7. Iiuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Page | 29
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan papasangan usaha tersebut: 1. merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektorsektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; 
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 
14. Hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundii dan hadiah tersebut diterima langsung
oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
 
C. JENIS JENIS PEMBAYARAN PAJAK 
Jenis-jenis PPh Wajib Pajak Badan
A. Pajak Penghasilan Pasal 21
Pengertian PPh Pasal 21 berdasarkan peraturan Direktorat Jenderal Pajak PER-
32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri.
B. Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh pasal 22 biasanya dikenakan kepada badan usaha tertentu, baik usaha milik
pemerintah, ataupun swasta yang kegiatannya berhubungan dengan perdagangan
ekspor/impor dan juga penjualan barang mewah. Namun untuk tarif PPh 22
sedikit lebih rumit daripada pph lainnya.Untuk pihak pemungut PPh 22 seperti :
a)  Badan pemerintah Pusat/Daerah dan juga lembaga pemerintahan yang
berhubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang.
Page | 30
b)  Badan-badan tertentu, seperti badan pemerintah dan juga badan swasta yang
berhubungan dengan kegiatan pada bidang ekspor dan impor.
c)  Wajib pajak tertentu yang melakukan penjualan barang mewah.
C. Pajak Penghasilan Pasal 23
PPh pasal 23 merupakan pajak yang dipotong oleh pemungut pajak yang
dikenakan pada penghasilan atas penyerahan jasa, hadiah, royalti, dan lainnya
selain yang telah di potong oleh PPh Pasal 21. Untuk tarifnya akan di kenakan
atas nilai DPP dari penghasilannya dan pada PPh ini ada dua jenis tarif yang
akan dikenakan adalah 15% dan 2% tergantung pada objeknya contohnya seperti
imbalan jasa maka akan dikenakan tarif sebesar 2%.
D. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2
PPh pasal 4 Ayat 2 ini merupakan pajak atas jenis penghasilan yang wajib pajak
dapatkan dan pemotongannya bersifat final oleh wajib pajak badan maupun
wajib pajak pribadi dan tidak bisa di kreditkan dengan pajak penghasilan
terutang. PPh 4 ayat 2 mempunyai tarif yang berbeda-beda untuk setiap jenis
pajaknya maka dari itu PPh 4 ayat 2 ini sering di katakan PPh Final juga.
E. Pajak Penghasilan Pasal 25
Pajak penghasilan ini merupakan pajak penghasilan yang dibayar secara
angsuran dengan tujuan agar meringankan beban wajib pajak dan pajak
terutangnya dilunasi dalan jangka waktu satu tahun dan pembayarannya tidak
dapat diwakilkan melainkan harus dilakukan sendiri.
F. Pajak Penghasilan Pasal 26
Pph pasal 26 merupakan pajak penghasilan yang dipotong dari badan usaha di
Indonesia atas transaksi pembayaran seperti gaji, bunga dan sejenisnya kepada
Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
G. Pajak Penghasilan Pasal 29
PPh pasal 29 merupakan PPh kurang bayar dalam SPT Tahunan PPh yang
dihasilkan dari nilai pajak terutang dikurangi dengan kredit PPh (PPh 21,
22,23 dan 24) dan PPh pasal 25 dari suatu perusahaan dalam satu tahun pajak.
H. Pajak Penghasilan Pasal 15
PPh pasal 15 adalah pajak yang dipungut dari wajib pajak yang mempunyai atau
pada bidang industry pelayaran dan juga penerbangan international. Adapun
bisnis lain yang bisa terkena PPh 15 yaitu seperti perusahaan pengeboran
minyak.
 
D.  CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN
Tarif Pajak Penghasilan Penentuan tarif pajak merupakan salah satu cara untuk
menciptakan keadilan dalam masyarakat. Tarif pajak adalah tarif untuk
menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayarkan).Besarnya tarif
pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya
Page | 31
pajak penghasilan.Tarif yang selama ini diterapkan di Indonesia dapat dibedakan
menjadi 4 macam tarif (Waluyo, 2003)
1. Tarif Proposional 
Tarif pajak proporsional adalah yaitu tarif yang berupa presentase tetap terhadap
jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Sering disebut tarif
tunggal karena hanya menggunakan satu tarif dengan persentase tetap.Seperti tarif
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) 10%, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 0,5%, dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah Bangunan (BPHTB) 5%.
2. Tarif Progresif
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar
apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Tarif ini
digunakan pada Pajak Penghasilan di Indonesia (sesuai Pasal 17 UU PPh) yaitu: 
Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 25.000.000,00 5%
Diatas Rp. 25.000.000,00 s.d Rp. 50.000.000,00 10%
Diatas Rp. 50.000.000,00 s.d Rp. 100.000.000 15%
Diatas Rp. 100.000.000 s.d Rp. 200.000.000,00 25%
% Diatas Rp. 200.000.000,00 35%
Sumber : UU PPh No 17 (2000) 
Tarif Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Tarif Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 10%
Diatas Rp. 50.000.000,00s.d Rp. 100.000.000,00 15%
Diatas Rp. 100.000.000,00 30%
Sumber : UU PPh No 17 (2000)
Catatan :
• Tarif tertinggi dalam ketentuan tersebut dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%
sesuai dengan Peraturan Pemerintah. ƒ
• Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dalam ketentuan tersebut dapat diubah sesuai
dengan Keputusan Menteri Keuangan. ƒ
• Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah penghasilan dibulatkan kebawah sampai
ribuan rupiah penuh.
3. Tarif Degresif 
Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin menurun apabila
jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.
4. Tarif tetap 
Tarif pajak tetap adalah tarif yang jumlahnya tetap (samabesar) terhadap
berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak
 
 
Page | 32
Cara Menghitung Pajak Penghasilan
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang sama dengan tarif pajak dikalikan
dengan Penghasilan Kena Pajak.
PPh = Tarif Pasal 17 UU PPh x Penghasilan Kena Pajak
Sumber: Resmi, 2007
 
PAJAK PENGHASILAN BADAN 
Laba (Rugi) Sebelum Pajak Rp                                                                                                  
XXXX
Koreksi Fiskal Positif                                                                                                            
Rp XXXX
Koreksi Fiskal Negatif                                                                                                        
(Rp XXXX) 
Laba yang dikenakan Pajak / Penghasilan Kena Pajak                                                    
Rp XXXX
Tarif Pajak Penghasilan Badan                                                                                        
tarif___  x
Jumlah Pajak Penghasilan Badan                                                                                        
Rp XXXX
Uang Muka PPh Badan (Pasal 25)                                                                        
Rp XXXX____  _
PPh Badan Lebih (Kurang) Bayar                                                                                      
Rp XXXX

BAB IV
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26
Dasar hukum Pajak Penghasilan pasal 21 adalah UU no. 36 Tahun 2008, yang dimaksud
dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

Page | 33
Pajak penghasilan pasal 26 adalah pajak atas penghasilan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
di Indonesia
Tarip pajak penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang
wajib membayarkan: dividen;. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 26 Undang Undang No. 10 Tahun 1994 ,Undang Undang No. 17
Tahun 2000 dan terakhir Undang Undang No. 36 Tahun 2008.
Jumlah PPh pasal 21 yang dipotong adalah tidak bersifat final, maka merupakan kredit pajak
dan dapat diperhitungkan sebagai angsuran pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan
pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan. Apabila PPh pasal 21 yang dipotong adalah
bersifat final, maka tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.
Pemotong Pajak atau Subjek Pajak atas PPh Pasal 21/26 adalah :
 Pemberi kerja terdiri atas orang pribadi dan badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap
(BUT) baik merupakan induk atau cabang perwakulan atau unit.
 Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada pemerintah pusat, pemerintah
daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga lembaga negara lainnya dan kedutaan
besar RI di luar negeri.
 Dana pensiun, PT. Taspen, PT. Jamsostek dan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja lainnya, atau badan badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau
Tunjangan Hari Tua (THT).
 Yayasan, lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan dan organisasi dalam bentuk apapun
dalam bidang kegiatan.
 Badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai
Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
 BUMN dan BUMD
Tidak termasuk sebagai Subjek Pajak PPh pasal 21/26 adalah :
 Badan Perwakilan Negara lain
 Badan atau organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Page | 34
L. Penerima Penghasilan
Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah orang pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari
pemotong pajak, yang meliputi :
 Pegawai tetap, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau
memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris
dan anggota dengan pengawas yang secara teratur dan terus menerus ikut mengelola kegiatan
perusahaan secara langsung.
 Pegawai lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima
imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
 Pegawai dengan status Wajib pajak luar negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
 Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau menerima
imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli
warisnya yang menerima tabungan hari tua atau Tunjangan Hari Tua (THT).
 Penerima honorium, komisi dan imbalan lainnya sehubungan dengan jasa, jabatan yang
dilakukannya.
 Penerima upah, adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, borongan
atau upah satuan.
1. Upah harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah hari kerja.
2. Upah mingguan adalah upah yang terutang atau yang dibayarkan secara mingguan.
3. Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian
pekerjaan tertentu.
4. Upah satuan adalah upah yang terutang atau yang dibayarkan atas dasar banyaknya
satuan yang dihasilkan.
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan di atas adalah :
 Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama

Page | 35
mereka. Dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan di luar jabatannya.
 Pejabat perwakilan organisasi internasional yang diatur dalam Kep. Men. Keu, sepanjang
bukan WNI dan tidak menjalankan usaha dan melakukan kegiatan atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan di Indonesia.

M. Objek PPh Pasal 21/26


Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21/26 adalah:
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan,
upah, honorarium (termasuk untuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas),
premi bulanan, uang lembur, tunjangan tunjangan termasuk tunjangan pajak, premi asuransi
yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
 Penghasilan yang diterima dan diperoleh secara tidak teratur yang berupa jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi
tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap yang biasanya dibayarkan
sekali dalam setahun.
 Upah harian, upah mingguan, upah borongan dan upah satuan.
 Uang Tebusan Pensiun, uang Tabungan Hari Tuan atau Tunjangan Hari Tua (THT), uang
pesangon, dan pembayaran lain sejenis.
 Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib pajak dalam negeri.
 Gaji, gaji kehormatan, tunjangan tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh
pejabat negara, PNS dan ABRI serta yang pensiun dan tunjangan lain yang terkait.
 Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang
diberikan oleh bukan Wajib pajak.
 Imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau yang diperoleh orang
pribadi dengan status Wajib pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan.
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:
Page | 36
 Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
 Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib
pajak.
 Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang
diberikan oleh pemerintah
 Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri keuangan, serta iuran Tabungan Hari Tua dan Tunjangan Hari Tua (THT) kepada
badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
 Uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan THT yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara
Jamsostek, yang jumlah brutonya Rp50.000.000,00 atau kurang.
 Uang pesangon yang jumlah brutonya Rp50.000.000,00 atau kurang
 Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.
 Penghasilan yang dibayarkan kepada PNS golongan II/d ke bawah dan anggota ABRI
berpangkat Letnan Satu ke bawah, yang pembayarannya dibebankan keuangan negara atau
daerah, yang berupa honorarium dan imbalan lain selain gaji pensiun, dan tunjangan yang
terkait dengan pensiun.

N. Tarif Pajak dan Penerapannya


Tarif pajak yang digunakan menurut UU No 36 Tahun 2008 pasal 17 adalah:

Page | 37
Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib pajak
yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif
yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP).
Tarif pajak dikenakan:
 Atas Penghasilan Kena Pajak
Tarif berdasarkan Pasal 17 diterapkan atas penghasilan kena pajak dari:
1. Pegawai tetap, termasuk pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI dan
pejabat Negara lainnya, Pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan komisaris dan
dewan pengawas yang merangkap pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
2. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan
3. Pegawai tidak tetap pemagang dan calon pegawai.
 Atas Penghasilan Bruto
Tarif berdasarkan pasal 17 diterapkan atas penghasilan bruto berupa:
1. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan
atas jasa atau kegiatan yang jumlah dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang
diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan.
2. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
3. Jasa produksi, bonus, THR yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.
 Tarif 15% Final
1. Hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2. Penghasilan yang berupa honorarium dan imbalan lain selain gaji, pensiun dan tunjangan
lain yang terkait dengan gaji, yang dibayarkan kepada pejabat negara, PNS, anggota
ABRI, Pensiunan PNS dan pensiunan ABRI, yang sumber dananya berasal dari
keuangan negara atau daerah.
 Tarif 20%
1. Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan pada
penghasilan bruto yang diterima atau yang diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan,

Page | 38
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status wajib pajak luar
negeri.
2. PPh Pasal 26 di atas tidak bersifat final dalam hal orang pribadi yang sebagai wajib pajak
luar negeri tersebut berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri.

O. Kewajiban Pemotong Pajak


 Penghitungan yaitu:
1. Setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak berkewajiban menghitung kembali
jumlah PPh pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap selama setahun takwim menurut
tarif PPh pasal 17 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Apabila jumlah pajak yang terutang selama setahun lebih besar dari jumlah pajak yang
telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang
bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali.
3. Apabila jumlah pajak terutang selama satu tahun lebih kecil dari jumlah pajak yang telah
dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan
pada waktu dilakukan penghitungan kembali.
 Penyetoran dan pelaporan
1. Setiap pemotong pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21 ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar atau kantor penyuluhan pajak
setempat
2. Jika jumlah PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih
besar daripada PPh pasal 21/26 yang telah disetor, maka kekurangannya harus disetor
sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21.
3. Jika jumlah PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih
kecil daripada PPh pasal 21/26 yang telah disetor maka kelebihannya tersebut
diperhitungkan dengan PPh pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya
penghitungan tahunan. Dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk
bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.

P. PPh 21 atas Pegawai Tetap


Page | 39
 PPh Pasal 21 Bulanan
Pada setiap awal tahun, pemotong pajak menghitung PPh pasal 21 bulanan dari pegawai tetap
dengan cara sebagai berikut:
1. Pertama tama dihitung penghasilan bruto teratur sebulan yang diterima oleh pegawai tetap.
2. Hitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara penghasilan bruto dikurangi
dengan:
- Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Biaya jabatan besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi tingginya
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp500.000 tiap bulan
- Iuran yang terikat pada gaji yang dibayar oleh pegawai yang berupa :
a). Iuran dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan
b). Iuran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT) kepada badan penyelenggara
Taspen dan Jamsostek.
c) Kecuali iuran THT yang dibayarkan oleh pensiunan PNS kepada PT. Taspen dan
pensiunan ABRI kepada PT. Asabri
- Tentukan penghasilan neto setahun, yaitu penghasilan neto sebulan
dikalikan 12.
- Kemudian dihitung penghasilan kena pajak (PKP) dari seorang pegawai. PKP dihitung
dengan cara penghasilan neto setahun dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak
(PTKP). Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 untuk PTKP seorang pegawai
tetap besarnya adalah sebagai berikut:
gambar
- PPh Pasal 21 setahun dihitung dengan cara PKP dikalikan dengan tarif PPh pasal 17,
untuk keperluan penerapan tarif, penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah hingga
angka ribuan penuh.
- PPh pasal 21 untuk sebulan dihitung dengan cara PPh 21 setahun dibagi dengan 12.

Q. PPh 21 atas Penghasilan Tidak Teratur


Pada setiap awal tahun, pemotong pajak menghitung PPh pasal 21 bulanan dari pegawai tetap
dengan cara sebagai berikut: Kepada pegawai tetap adakalanya diberikan penghasilan tidak teratur
Page | 40
seperti bonus, jasa produksi, Tunjangan Hari Raya (THR), dan atau penghasilan lain sejenis, yang
sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan hanya sekali setahun. PPh Pasal 21 atas penghasilan
tidak teratur dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut (Penghitungan dilakukan pada saat
penyerahan penghasilan tidak teratur) :
 Dihitung penghasilan bruto total selama setahun yang terdiri dari:
1. Penghasilan bruto teratur selama setahun, ditambah dengan
2. Penghasilan tidak teratur misalnya bonus, jasa produksi atau THR
 Kemudian dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan bruto total selama setahun (pada nomor 1)
tersebut di atas
 Dihitung PPh pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa bonus, jasa produksi atau THR.
Dengan menghitung selisih antara :
1. PPh pasal 21 atas penghasilan bruto total selama setahun (pada huruf b di atas) dengan
2. PPh pasal 21 atas penghasilan bruto teratur selama setahun (pada angka 3 diatas)

R. PPh 21 atas Uang Pensiun


Pada saat pegawai tetap berhenti bekerja karena berkewajiban menghitung kembali jumlah
PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap menurut tarif PPh pasal 17. Setelah pegawai tetap
pensiun, kemudian mulai menerima uang pensiun misalnya dari Dana Pensiun. Dana Pensiun, dalam
hal ini sebagai pemberi penghasilan, harus menghitung PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan
yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun pertama pensiun. Adapun cara
penghitungan PPh Pasal 21 bulanan atas uang pensiun pada tahun pertama tersebut adalah sabagai
berikut :
 Pertama tama dihitung penghasilan bruto sebulan yang diterima oleh penerima pensiun.
Penghasilan bruto di sini adalah berupa uang pensiun.
 Dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara penghasilan bruto diatas
dikurangi dengan biaya pensiun. Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendabu patkan, menagih
dan memelihara uang pensiun yang besarnya 5% (lima persen) dari penghasilan bruto dari
uang pensiun, setinggi tingginya Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun
atau Rp200.000,00 (dua ratus ribu) sebulan.

Page | 41
 Kemudian dihitung penghasilan neto setahun (dari uang pensiun) dengan cara penghasilan
neto sebulan tersebut kemudian dikalikan dengan banyaknya bulan penerima pensiun yang
bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember.
 Kemudian dihitung penghasilan neto yang diterima selama setahun takwim penuh (selama
12 bulan). Penghasilan setahun takwim dihitung dengan cara penghasilan neto setahun dari
uang pensiun (pada angka 3 di atas) ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang
bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang
bersangkutan pensiun.
 Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan neto selama setahun takwim
(pada angka 4) dikurangi dengan PTKP.
 Dihitung PPh Pasal 21 setahun takwim dengan cara Penghasilan Kena Pajak (pada angka 5)
dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17.
 PPh pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan (pada angka 6 di atas)
dihitung dengan cara mengurangi PPh pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum
pegawai yang bersangkutan pensiun, sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan
PPh Pasal 21 sebelum pensiun.
 PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada
angka 7 diatas, dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud pada angka 3.

S. PPh 21 atas Kenaikan Gaji


Apabila pegawai tetap mengalami kenaikan gaji yang berlaku surut yaitu menerima uang rapel
atas kenaikan gajinya maka perhitungan PPh 21 atas uang rapel adalah:
 Dibuat penghitung awal yaitu penghitungan seperti biasa sebelum ada kenaikan dalam satu
tahun dan dihitung PPh 21 tiap bulan.
 Dibuat penghitungan setelah kenaikan gaji dalam 1 tahun serta dicari PPh 21 tiap bulan.
 Hitung PPh 21 yang seharusnya dibayar selama ada kenaikan
 Hitung PPh 21 yang telah dipotong selama ada kenaikan
 Dicari selilih antara point c dan d (c-d) maka ditemukan PPh 21 atas uang rapel.

Page | 42
T. PPh 21 atas Uang Pensiun
Penghasilan yang diterima pegawai harian, mingguan, pemagang dan pegawai tidak tetap
lainnya, dapat berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku
harian, penghasilan bruto tersebut di atas yang besarnya tidak lebih dari Rp150.000 sehari tidak
dikenakan PPh pasal 21.
Apabila penghasilan tersebut jumlah brutonya melebihi Rp150.000,00 sehari dikenakan pajak.
Pajak yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif sebesar 5%. Besarnya PTKP
harian tidak dipengaruhi status penerima upah. Ketentuan PTKP sehari tersebut diterapkan dengan 2
syarat yaitu:
 Apabila penghailan bruto dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp1.320.000.
 Apabila penghasilan tersebut dibayarkan secara bulanan maka PTKP yang dapat
dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.
1. Upah harian
Pegawai harian atau pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan berupa upah harian dan
uang saku harian dikenakan PPh pasal 21 dengan cara penghitungan sbb:
a. Dihitung penghasilan bruto satu hari yang berupa upah harian atau uang saku harian.
b. Kemudian dihitung penghasilan sebagai dasar penerapan tarif, dengan cara penghasilan
bruto sehari dikurangi dengan PTKP harian sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)
sehari.
c. Dihitung PPh pasal 21 dari upah harian dengan cara penghasilan sebagai dasar penerapan
tarip di atas dikalikan dengan tarif 5% (tidak bersifat final)

2. Upah satuan
Pegawai lepas atau pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan berupa upah satuan,
dikenakan PPh pasal 21 dengan cara penghitungan seperti pada upah harian di atas. Hanya saja,
untuk penerapan PTKP harian, upah satuan diperhitungkan dahulu menjadi upah satu hari.
3. Upah borongan

Page | 43
Pegawai lepas atau pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan berupa upah borongan,
dikenakan PPh pasal 21 dengan cara penghitungan seperti pada upah harian di atas, untuk penerapan
PTKP harian, upah borongan diperhitungkan dahulu menjadi upah satu hari dengan cara banyaknya
hari yang dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan tersebut
a. Uang Pesangon
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan
dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai
berikut:
1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah);
2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasiian bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
3. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
4. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000.00 (lima
ratus juta rupiah).
b. Uang Manfaat Pensiun
Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada
orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

c. Tunjangan Hari Tua


Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara
tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
d. Jaminan Hari Tua

Page | 44
Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara
jaminan sosial renaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah
ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000.00 (lima
puluh juta rupiah)
2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)
e. Sifat Pemotongan PPh pasal 21
Atas penghasiian yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan pasal 21 yang bersifat final, kecuali dalam hal terdapat bagian
penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya.

BAB V
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)

Page | 45
Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22

(PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak

terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat

bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit

dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. Pada umumnya, PPh Pasal

22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap "menguntungkan", sehingga baik

penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena

itulah, PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan

pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah , instansi atau lembaga

pemerintah, dan lembaga-lembaga tinggi lainnya. PPh Pasal 22 dikenakan terhadap pembayaran

atas penyerahan barang kepada badan pemerintah atau kegiatan import atau kegiatan di bidang

usaha tertentu.

Dalam Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 ada tiga hal yang menjadi focus pe¬mungutan pajak,

yaitu :

a.Bendaharawan Pemerintahan Pusat atau daerah, instansi atau lembaga peme¬rintahan dan

lembaga-lembaga Negara lainnya, berkenaan dengan pembayar¬an atas penyerahan barang biasa

disebut sebagai PPh Pasal 22 Bendaharawan

b.Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenan dengan kegiatan

dibidang import biasa disebut PPh Pasal 22 atas Import

c.Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di

bidang tertentu, yaitu industri semen, industri rokok kre¬tek atau putih, industri kertas, industri

baja, industri otomotif, penjualan hasil produksi pertamina, penyaluran oleh bulog.
Page | 46
B. Pemungut dan Objek PPh Pasal 22

Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.03/2010 menyebutkan pemungut PPh Pasal

22 adalah :

1.Bank Devisa dan Direktorat Jendal Bea dan Cukai atas impor barang.

2.Bendahara Pemerintahan dan Kuasa Penguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintahan dan lembaga-

lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang.

3.Bendahara mengeluarkan untuk pembayaran yang dilakukan dengn mekanisme uang persedian

(UP)

4.Kuasa Pengguna anggaran (KPA) atau pejabat penerbitan surat perintah membayar yang diberi

delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme

pembayaran langsung (LS)

5.Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,

dan industri otomotif yang ditunjukkan oleh kepala kantor pelayanan pajak, atas penjualan hasil

produksinya di dalam negeri.

6.Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atau penjualan bahan bakar

minyak, gas dan pelumas

7.Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan

perikanan, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak atas pembelian bahan-bahan untuk

keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 253/PMK.03/2008 menyebutkan Pemungut PPh pasal

22 adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang tergolong sangat mewah yaitu :

1.Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar
Page | 47
rupiah).

2.Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh

milyar rupiah).

3.Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari

Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500m2 (lima ratus

meter persegi).

4.Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat

ratus meter persegi).

5.Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep,

sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga

jual lebih dari Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari

3.000 cc.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 57/PJ/2010 pasal 2 menegaskan sebagai berikut :

1.Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

huruf e adalah industri baja yang merupakan industri hulu.

2.Dalam hal badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) mengolah atau memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil produksinya

menjadi produk antara dan/atau produk hilir sehingga badan usaha tersebut melakukan kegiatan

produksi secara terintegrasi, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 dipungut atas penjualan produk

hulu, produk antara, dan produk hilir.

3.Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri otomotif sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 huruf e adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang industri otomotif, termasuk
Page | 48
ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek), APM (Agen Pemegang Merek), dan importir umum

kendaraan bermotor.

4.Pedagang pengumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf g adalah badan atau orang

pribadi yang kegiatan usahanya:

a.mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan; dan

b.menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor

kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.

C. Dikecualikan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

1.Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;

2.Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai;

3.Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;

4.Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor

kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan

perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

5.Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:

a.pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan Kuasa

Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah

Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling

banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-

pecah;

b.pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank BUMN) yang
Page | 49
jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan

pembayaran yang terpecah-pecah;

c.pembayaran untuk:

pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;

pemakaian air dan listrik.

d.Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk

tujuan ekspor;

e.Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS).

Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana

dimaksud pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea

masuk sebesar 0% (nol persen). Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 6

dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh

Direktur Jenderal Pajak. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 4, 5, dan 7 di atas

dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB). Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal

22 atas kegiatan Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas

impor sementara dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur

oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.

D. Pengurang Penghasilan Bruto

Untuk mencari penghasilan neto, maka penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya

yang berkaitan erat dengan penghasilan bruto. Lebih umum biaya ini disebut "biaya untuk

mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Sering disingkat 3 M. Ada keterkaitan

langsung antara biaya dengan penghasilan yang di¬gung¬gungkan. Prinsipnya, biaya yang
Page | 50
diluar 3 M dan natura tidak boleh dibiaya¬kan. Diantaranya :

1.Penyusutan, amortisasi dan alokasi biaya

2.Piutang tak tertagih

3.Kegiatan usaha berbasis syariah

4.Penghapusan Piutang

5.Biaya Promosi

6.Zakat

ETarif PPh Pasal 22

Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:

1.Atas impor:

a.Barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 175/PMK.011/2013, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;

b.selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang menggunakan Angka

Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor

kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;

c.selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang tidak menggunakan

Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan/atau

d.yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

2.Atas pembelian barang bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai

pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah

dan lembaga-lembaga negara lainnya, sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian

tidak termasuk PPN.

3.Atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP) oleh
Page | 51
bendahara pengeluaran dan pembelian barang, sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga

pembelian tidak termasuk PPN.

4.berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan

dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau

pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran

(KPA), sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

5.pembelian bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha berkenaan dengan pembayaran atas

pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya oleh BUMN (PT

Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara

(Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero)

Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi

Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) dan Bank

BUMN, sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

6. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau

importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:

a.bahan bakar minyak sebesar:

0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan

Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina;

0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk

penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan Pertamina;

0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk

penjualan kepada pihak-pihak selain di atas;

b.bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Page | 52
Pertambahan Nilai;

c.pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan

Nilai.

7.Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang

bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan

industri farmasi:

a.penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);

b.penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);

c.penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);

d.penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45% (nol koma

empat puluh lima persen);

e.penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen),

8.Dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

a.Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek

(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar

0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

b.Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri

atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan

perikanan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk

Pajak Pertambahan Nilai.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost

Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.


Page | 53
Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud di atas yang diterapkan terhadap Wajib Pajak

yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif

yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.

F. Pemungutan PPh Pasal 22

Tata cara Pajak Penghasilan Pasal 22 didasarkan atas suatu pemungutan , dalam arti setiap

terjadi transaksi maka Wajib Pajak akan di pungut PPh Pasal 22 oleh bendaharawan pemerintah,

instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga tinggi lainnya. Selanjutnya pemungutan PPh

Pasal 22 ini akan diserahkan pada kas Negara. Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh :

a.Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;

b.Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat Pusat ataupun di

tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;

c.Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian

barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah

(APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4;

d.Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik

(BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT

Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang

melakukan pembelian barang yang dana¬nya bersumber dari APBN maupun non-APBN;

e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,

dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil

produksinya di dalam negeri;

f.Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar
Page | 54
minyak, gas, dan pelumas.

g.Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, per¬tanian, dan
perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

Objek pemungutan PPh pasal 22 Bendaharawan adalah penyerahan barang dan jasa yang
dibiayai dari APBN atau APBD, wajib pajak yang termasuk sebagai Wajib pajak PPh pasal 22
dapat berupa badan usaha maupun perseorangan yang pada prinsipnya merupakan rekanan
pemerintah yang menerima pembayaran untuk penyerahan barang atau jasa yang dibiayai oleh
APBN atau APBD.
Pemungutan PPh Pasal Bendaharawan terjadi saat pembayarab oleh bendaha¬rawan pemerintah.

Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerinta Pusat atau Daerah, BUMN atau BUMD

harus memungut atau menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 ke Kantor Pos dan Giro atau

Bank-bank persepsi pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan menggunakan

formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi oleh atas nama rekanan (badan usaha yang

menyerahkan barang) serta tandatangani oleh Bendaharawn. SSP berlaku sebagai bukti pungutan

pajak. Pelaporan harus disampaikan selambat-lambatnya empat belas hari setelah masa pajak

berakhir.

Besarnya pemungutan PPH Pasal 22 Bendaharawan adalah 1,5% dari harga penjualan. Harga

penjualan yang dimaksud adalah harga jual kepada bendaharawan pemerintah. Apabila harga

jual di dalamnya termasuk PPN dan atau PPNBM maka PPN dan atau PPnBM ini harus

Page | 55
dikeluarkan terlebih dahulu dari perhitungan PPh Pasal 22 Bendaharawan. Hal yang

dimaksudkan untu menghindari pemungutan pajak terhadap paak tertentu (Pajak berganda).

Misalnya, PT Ady-Yuni melakukan penjualan kendaraan kepada Pemda Salatiga dengan nilai

transaksi sebesar Rp 130.000.000,00 dan dibayar melalui bendaharawan dinas.

a.Jika nilai transaksi sebesar Rp130.000.000,00 tidak termasuk PPN dan PPn BM, maka pasal 22

bendaharawan adalah Rp1.950.000,00 (1,5% x Rp130.000.000,00)

Atas pemungutannya PPh Pasal 22 Bendaharawan ini, PT Ady-Yuni hanya menerima kas

sebesar Rp128.050.000,00 (Rp130.000.000,00 - Rp1.950.000,00). Pemungutan PPh Pasal 22 ini

selanjutnya oleh Pemda Salatiga diserahkan ke kas Negara.

b.Jika nilai transaksi sebesar Rp130.000.000,00 termasuk PPN sebesar 10% dan PPn BM sebesar

20% maka harus dihitung nilai jual di luar PPN dan PPnBM yaitu sebesar Rp100.000.000,00

(100/130 x Rp130.000.000,00)

Pemungutan PPh Pasal 22 Bendaharawan adalah sebesar Rp1.500.000,00 (1,5% x

Rp100.000.000,00). Objek pemungutan PPh Pasal 22 Import adalah peng¬hasilan netto dari

pemasukan barang ke dalam daerah pabean yang dilakukan oleh importir, importir di bagi

menjadi dua yaitu:

a.Import yang memiliki angka pengenal import (API)

b.Import yang tidak memiliki angka pengenal import (Non-API)

Perbedaan Importir berdasarkan API ini akan mempengaruhi tarif yang digunakan untuk

pemungutan PPh Pasal 22 Import. Untuk import yang memiliki API akan dikenakan Tarif PPh

Pasal 22 sebesar 2,5 % sedangka yang tidak memiliki API akan di pungut PPh Pasal 22 sebesar

7,5%. Angka pengenal import adalah nomor identitas seorang importir yang dikeluar¬kan oleh

Dirjen Bea dan Cukai.


Page | 56
Dasar perhitungan PPh Pasal 22 adalah penghasilan netto dari pemasukan barang atau biasa

disebut sebagai nilai impor. Sebelum mempelajari tentang nilai impor perlu dipahami istilah-

istilah berikut di bawah ini.

a.Free On Board (FOB) yaitu harga perolehan barang berdasarkan nilai mata uang pengekspor.

b.Cost (C) adalah harga perolehan harga barang yang telah disesuaikan dengan mata uang

Negara pengimport. Dihitung dari besarnya harga perolehan dikalikan Kurs yang berlaku.

c.Freight (F) atau biaya tambang merupakan biaya pengiriman yang dinyatakan dalam bentuk

presentase. Dihitung dari presentase tertentu dikalikan dengan cost.

d.Insurance (I) yaitu nilai asuransi barang yang import yang dinyatakan dalam bentuk

presentase. Asuransi akan diperhitungkan sebagai nilai impor jika asuransi dibayar diluar negeri

sedangkan jika asuransi di bayar di dalam negeri asuransi tidak akan diperhitungkan dalam nilai

import. Besarnya Insurance dihitung dari presentase tertentu dikalikan Cost + Freight

e.Bea masuk dan bea masuk tambahan dihitung dari presentase tertentu dikalikan Cost +

Insurance + Freight (CIF) atau Cost + Freight

Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah bendaharawan

pemerintah dan badan-badan tertentu misalnya Bendaharawan pemerintah.

Termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga

pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas

penyerahan barang. Tarif pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendahara¬wan pemerintah adalah

1,5% dari pembelian.

Baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor, atau

kegiatan usaha di bidang lain. Tarif pemungutan PPh Pasal 22 yang berkenaan dengan kegiatan

impor ada dua, yaitu : 2,5% dari harga impor untuk impor yang dilakukan importer yang
Page | 57
memiliki Angka Pengenal Impor (API). Dan, 7,5% dari harga impor untuk impor yang dilakukan

importer yang tidak memiliki Angka Pengenal Impor (Non API). Selain itu,tariff 7,5% dari

harga lelang juga dipungut PPh Pasal 22 untuk impor yang telantar atau tidak

dikuasai.Sedangkan badan-badan yang memi¬liki kegiatan usaha tertentu yang diwajibkan

memungut PPh Pasal 22 adalah:

a.Industri Semen, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari penjualan

b.Industri Rokok, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,15% dari harga banderol [final]

c.Industri Kertas, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,1% dari penjualan

d.Industri Baja, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,3% dari penjualan

e.Industri Otomotif, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% dari penjuala

f.Industri Migas, terdiri dari [final]

g.BBM jenis Premium, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU Pertamina tarifnya

0,25%;

h.BBM jenis Solar, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU Pertamina tarifnya

0,25%;

i.BBM jenis Pertamax / Pertamax plus, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU

Pertamina tarifnya 0,25%;

j.BBM jenis Minyak Tanah, untuk SPBU Pertamina tarifnya 0,3%;

k.BBM jenis gas / LPG, untuk SPBU Pertamina tarifnya 0,3%;

l.Pelumas Pertamina di SPBU Pertamina, tarifnya 0,3%

Maksud pemungutan ini untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana

melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan keseder¬hana¬an, kemudahan, dan

pengenaan pajak yang tepat waktu. Tetapi harus diingat bahwa kesederhanaan pemungutan pajak
Page | 58
selalu berlawanan dengan keadilan. Sebagai contoh pengenaan PPh Final untuk industri migas.

Objek PPh Pasal 22 usaha tertentu adalah penjualan hasil produksi atau penyerahan barang yang

dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di indusrtri semen, industri rokok, industri kertas,

industri baja, indus¬tri otomotif, industri perdagangan minyak dan gas, usaha perdagangan gula

pasir dan tepung terigu. Adapun bentuk-bentuk Industri sebagai Objek PPh Pasal 22 adalah

sebagai berikut :

1.Indusrtri semen

Tariff PPh Pasal 22 untuk industry semen sebesar 0.25% dari dasar pengenaan pajak (DPP)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemungutan untuk industri semen dilakukan pada saat

terjadinya penjualan semen atau penyerahan semen.

2.Industri rokok

Untuk industri rokok kretek/putih, tarif PPh Pasal 22 adalah sebesar 0,1% dari harga bandrol dan

bersifat final. Final yang dimaksud adalah bahwa PPh Pasal 22 tidak bisa dikreditkan dalam

surat pemberitahuan Pajak Penghasilan yang ter¬hu¬tang. Pemungutan dilakukan pada saat

terjadi penjualan dan dipungut oleh badan usaha yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan

Pajak

3.Industri kertas

Tarif industry kertas sebesar 0,1% dari DPP PPN. Pemungutan dilakukan pada saat terjadinya

penjualan dan dipungut oleh badan badan usaha yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan

Pajak

4.Industri baja

tarif pemungutan PPh pasal 22 untuk industri baja sebesar 0,3% dari DPP PPN. Pajak akan

dipungut atas penjualan hasil produksi antara hilir, untuk industri baja. Jika badan usaha yang
Page | 59
bersangkutan akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.

5.Industri Otomotif

Tarif PPh Pasal 22 untuk industri otomotif sebesar 0.45% dari DPP PPN. Pemungutan dilakukan

pada saat terjadi Penjualan kendaraan bermotor baik kendaraan bermotor roda dua maupun lebih

yang terjadidi dalam negeri.

6.Pertamina dan minyak

Atas penjualan hasil produksi Pertamina dan Badan usaha selain Pertamina yang bergerak di

bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas kepada penyalur dan atau agennya dipungut

PPh pasal 22 Sebesar yang tercantum dalam Tabel 5.1di Bawah ini.

7.Penyerahan oleh Bulog

Tarif PPh pasal 22 atas penyerahan barang yang dilakukan oleh Bulog berupa:

a.Gula pasir kepada penyalur, maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp. 380,-/kuintal, jika

kepada grosir maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp. 270,-/ kuintal. Untuk penjualan

kepada pembeli lainnya dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp.650.-/kuintal.

b.Tepung terigu kepada penyalur, maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp.53,-/zak, jika

kepada grosir maka akan dipungut PPh Pasal 22 Rp.38,-/zak. Untuk Penjualan kepada Pembeli

lainnya dipungut Pasal PPh 22 sebesar Rp. 91,-/zak.

Bulog (Badan Urusan Logistik) akan memungut PPh Pasal 22 terhadap setiap penyerahan gula

dan atau tepung terigu kepada penyalur atau grosir Bulog, PPh pasal 22 ini bersifat tidak final.

G. Pembayaran PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan.

Pada akhir tahun, cicilan ini akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh

orang pribadi.
Page | 60
PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank

persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi.

Transaksi yang wajib dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan

bendahara.

H. Cara Penyetoran

1.Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh

importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ke kas negara melalui

Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran dilakukan

dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

2.Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA,

bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, wajib disetor oleh

pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri

Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta

ditandatangani oleh pemungut pajak.

Surat Setoran Pajak tersebut berlaku juga sebagai Bukti Pemungutan Pajak

3.Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor oleh pemungut ke kas

negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan

menggunakan Surat Setoran Pajak.

Pemungut wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22.

I. Kewajiban Membuat Bukti Pungut

Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor PPh yang

dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian melaporkannya dalam SPT

Masa PPh Pasal 22. Sedangkan pihak yang dipungut mendapat bukti pungut dan dapat
Page | 61
dikreditkan pada akhir tahun di SPT Tahunan. Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke agen

atau penyalur dikenakan atas PPh bersifat final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki usaha

tersebut, maka hanya wajib lapor SPT Tahunan yang dilampiri bukti potong.

J. e-Filing PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 dilaporkan paling lambat tanggal 20 setiap bulannya.Melalui e-Filing di

OnlinePajak, caranya mudah dan cepat, serta tak perlu antre lagi. Cukup impor file CSV SPT

Masa PPh Pasal 22 dari software e-SPT ke OnlinePajak. Lalu lapor dan dapatkan bukti lapornya

dalam 1 klik saja!

K. Saat Terutang dan Pembayaran

PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea

Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam

pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat

penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.

PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA, bendahara

pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, dan pembelian barang dan/atau

bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh BUMN tertentu dan Bank BUMN, terutang

dan dipungut pada saat pembayaran.

PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha

industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi dan atas

penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh ATPM, APM dan importir

umum kendaraan bermotor terutang dan dipungut pada saat penjualan.

PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas terutang dan

dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).
Page | 62
PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul terutang dan dipungut pada

saat pembelian.

L. Contoh Kasus dan Pemecahan Masalah Pajak Penghasilan pasal 22

Contoh : pada tanggal 5 Agustus 2016 PT. ABC (produsen rokok dan telah ditunjuk oleh Kantor

Pelayanan Pajak sebagai pemungut PPh pasal 22) NPWP : 02.446.748.6-623.000, membeli

tembakau dari Paijo, NPWP 08.445.546.8-623.000 sebesar Rp. 400.000.000,- diketahui Paijo

seorang pedagang dan tidak mempunyai sawah atau ladang tembakau. Bagaimana kewajiban

perpajakannya atas transaksi tersebut:

Jawaban:

Pemungutan PPh 22 pasal 22 antara lain badanusaha industri atau eksportir yang bergerak dalam

sektor kehutanan, pertanian, perkanan dan perkebunan atas pembelian bahan untuk keperluannya

dan pedagang pengumpul.

Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya mengumpulkan

hasil tersebut diatas.

Oleh karena paijo adalah peadang dan tidak memiliki sawah atau ladang tembakau, maka paijo

masuk kategori pedagang pengumpul yang membeli tembakau dari para petani.

PT. ABC wajib memungut PPh Pasal 22 dan membuat bukti pemungutan PPh pasal 22 kepada

paijo pada tanggal 5 agustus 2016 dengan jumlah PPh pasal 22 sebesar 0,25% x Rp.

400.000.000,- = Rp. 1.000.000,-

Page | 63
BAB VI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23


Ketentuan dalam pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang
berasal dari modal,penyerahan jasa,atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21,yang dibayarkan,disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan,bentuk usaha tetap,atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya.

B. PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23


Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan,yang
terdiri atas:
1. Badan pemerintah.
2. Subjek Pajak badan dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. Bentuk usaha tetap.
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23.

C. YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23


Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau
Ben. nuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari

Page | 64
modal penyerahan jasa,atau penyelenggaraan kegiatan selain yang yang telah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 21.

D. OBJEK PEMOTONGAN PPh PASAL 23


Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:
1. Dividen,dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis,dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Bunga termasuk premium,diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
3. Royalti;
4. Hadiah,penghargaan,bonus,dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Peng
hasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,kecuali sewa ta-nah
dan/atau bangunan;dan
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik,jasa manajemen, jasa konstruksi,jasa kon-
sultan,dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.

E. PENGECUALIAN OBJEK PEMOTONGAN PPh PASAL 23


Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagal Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik
daerah,dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat;
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;dan
b. bagi perseroan terbatas,badan usaha milik negara dan badan usaha milik dae-rah
yang menerima dividen,kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25%(dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

Page | 65
4. Dividen yang diterima oleh orang pribadi;
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham,persekutuan,perkumpulan,firma,dan
kongsi,termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

F. TARIF PEMOTONGAN
Besarnya PPh pasal 23 yang dipotong adalah:
1. Sebesar 15%(lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
a. Dividen;
b. Bunga termasuk premium,diskonto,dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
c. Royalti;dan d.Hadiah,penghargaan,bonus,dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan pasal 21;
2. Sebesar 2%(dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan;dan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik,jasa manajemen,jasa konstruksi,jasa
konsultan,dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Jasa lain terdiri dari:
1) Jasa penilai(appranisal):
2) Jasa aktuaris;
3) Jasa akuntansi,pembukuan,dan atestasi laporan keuangan,
4) Jasa hukum;
5) Jasa arsitektur
6) Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7) Jasa perancang (design);

Page | 66
8) Jasa pengehoran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas),kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
9) Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan migas;
10) Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan
penambangan selain migas;
11) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12) Jasa penebangan hutan;
13) Jasa pengolahan limbah;
14) Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
15) Jasa perantara dan/atau keagenan
16) Jasa di bidang perdagangan sural-surat berharga,kecuali yang dilakukan oleh
Bursa Efek,KSEI dan KPEI;
17) Jasa custodian/penyimpanan/penitipan,kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18) Jasa pengisian suara(dubbing) dan/atau sulih suara;
19) Jasa mixing film;
20) Jasa pembuatan sarana promosi film,iklan, poster ,photo,
slide ,klise ,banner ,pamphlet ,baliho dan folder;
21) Jasa sehubungan dengan software atau hardware komputer,atau sistem
komputer termasuk perawatan,pemeliharaan dan perbaikan;
22) Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23) Jasa internet termasuk sambungannya;
24) Jasa penyimpanan,pengolahan dan/atau penyaluran data,informasi,dan atau
program;
25) Jasa instalasi/pemasangan mesin,peralatan,listrik,telepon,air,gas,AC. dan/atau
TV kabel,selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
26) Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air.
gas. AC, TV kabel, alat transporasi/kendaraan dan/atau hangunan.so lain yang

Page | 67
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
27) Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat,laut,dan udara;
28) Jasa maklon;
29) Jasa penyelidikan dan keamanan;
30) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31) Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa,media luar ruang
atau media lain untuk penyampaian informasi;
32) Jasa pembasmian hama;
33) Jasa kebersihan atau cleaning service;
34) Jasa sedot septic tank;
35) Jasa pemeliharaan kolam
36) Jasa catering atau tata boga;
37) Jasa freight forwarding;
38) Jasa Logistik;
39) Jasa pengurusan dokumen;
40) Jasa pengepakan;
41) Jasa loading dan unloading;
42) Jasa laboratorium dan/atau dilakukan oleh lembaga atau rangka penelitian
akademis;
43) Jasa pengelolaan parkir;
44) Jasa penyondiran tanah;
45) Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46) Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47) Jasa pemeliharaan tanaman;
48) Jasa pemanen;
49) Jasa pengolahan hasil pertanian,perkebunan,perikanan,peternakan,dan/ atau
perhutanan;
50) Jasa dekorasi;
51) Jasa pencetakan/penerbitan;

Page | 68
52) Jasa penerjemah;
53) Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam pasal 15 UU PPh:
54) Jasa pelayanan kepelabuhanan;
55) Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
56) Jasa pengelolaan penitipan anak;
57) Jasa pelatihan dan/kursus;
58) Jasa pengirirman dan pengisisan uang ke ATM;
59) Jasa sertifikasi;
60) Jasa survey;
61) Jasa terster;dan
62) Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
APBN dan APBD
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak,besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen).Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak,antara
lain,dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.

G. CARA MENGHITUNG PPh PASAL 23


Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Dividen
Atas Penghasilan berupa dividen akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15%
dari jumlah bruto.

PPh pasal 23 = 15% x Bruto

Contoh 1:
PT.Solusindo membayarkan dividen kepada CV Perkasa sebesar Rp 200.000.000,00.
PPh Pasal 23 dipotong PT. Solusindo adalah:
15%x Rp 200.000.000,00=Rp 30.000.000,00

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Bunga,termasuk Premium, Diskonto, dan


Imbalan Karena Jaminan Pengembalian Utang

Page | 69
Atas Penghasilan berupa bunga dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.
PPh Pasal 23 = 15%x Bruto

Contoh 2:

PT Karya Utama membayar bunga atas pinjaman kepada PT Indo Jaya sebesar Rp
80.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Karya Utama adalah: 15%xRp 80.000.000,00=Rp
12.000.000,00

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Royalti


Atas penghasilan yang berupa royalti akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar
15% dari jumlah bruto.
PPh Pasal 23 = 15%x Bruto

Contoh 3:

CV.Selera Makan membayar royalti kepada Ny. Sulastri atas pemakaian merek Ayam
Goreng"Bu Lastri" sebesar Rp 30.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong CV. Selera Makan adalah:
15%xRp 30.000.000,00=Rp 4.500.000,00
Apabila Ny. Sulastri belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 23 yang dipotong CV Selera
Makan adalah:
30%xRp 30.000.000,00=Rp 9.000.000,00

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Hadiah, Penghargaan, Bonus dan Sejenisnya

Page | 70
Atas hadiah sehubungan kegiatan dan penghargaan oleh wajib pajak badan termasuk BUT
dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
PPh Pasal 23=15%x Bruto,

Contoh 4:

CV.Perdana mendapat hadiah sebuah mobil senilai Rp 200.000.000,00 sebagai distributor


terbaik dari PT Artha Raya.
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Artha Raya adalah:
15%xRp 200.000.000,00=Rp 30.000.000,00

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan
Penggunaan Harta

Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
(kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau
bangunan) dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

PPh Pasal 23=2%xBruto

Contoh 5:

PT.Sejahtera Raya menyewa sebuah traktor milik Susanto dengan nilai sewa sebesar Rp
10.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong PT.Sejahtera Raya adalah:
2%x Rp 10.000.000,00=Rp 200.000,00
Apabila Susanto belum memiliki NPWP,maka PPh Pasal 23 yang dipotong PT. Se. jahtera
Raya adalah:
4%x Rp 10.000.000,00=Rp 400.000,00

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik,Jasa
Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Konsultan dan Jasa Lain.

Page | 71
Atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,jasa
konstruksi,jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Pengha-silan
Pasal 21 dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 23=2%xBruto

Contoh 6:

PT.Pilar Utama yang baru berdiri meminta jasa dari CV. Konsultindo untuk membuat
sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan sebesar Rp 11.000.000,00 (termasuk PPN Rp
1.000.000,00). PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT.Pilar Utama adalah:
2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000,00

Page | 72
BAB VII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 24


Pajak penghasilan pasal 24 adalah pajak yang terutang atau dibayarkan diluar negeri atau
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
Pengkreditan pajak pasal 24 ini dilakukan dengan syarat bahwa hutang pajak tersebut harus
dari sumber penghasilannya. Contohnya : Pajak dividen saham, hanya dapat di kreditkan bila
dipotong di Negara yang menerbitkan usaha tersebut.
Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat
diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar
negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh  :
1. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
2. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

PERMOHONAN PERKREDITAN PAJAK ATAS PENGHASILAN LUAR NEGERI

Menurut keputusan menteri keuangan No. 164/KMK.03/2002 tentang kredit pajak luar
negeri, untuk bisa melakukan pengkreditan pajak luar negeri. Wajib pajak harus
menyampaikan surat permohonan kepada Direktur. Jendral Pajak dengan dilampiri :
 Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri

Page | 73
 Photo copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
 Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

PENGGABUNGAN PENGHASILAN
Untuk memperhitungkan pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang
diterima wajib pajak dalam negeri, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, maka
seluruh penghasilan yang diperoleh tersebut bisa digabungkan.Tata cara pengambilan
penghasilan dilakukan dengan langkah-langkah berikut :
1. Atas penghasilan dari kegiatan usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut.
2. Atas penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut.
3. Penghasilan berupa deviden (pasal 18 ayat (2) UU No. 36 tahun 2008) dari pernyataan
modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor atau secara bersama-sama
dengan WP dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor
pada badan usaha diluar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan dibursaefek,
dilakukan dalam tahun pajak dimana deviden tersebut diperoleh. Saat perolehan deviden
tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Contoh Soal :
PT. Perlak menerima dan memperoleh beberapa penghasilan netto dari sumber LN dalam
tahun pajak 2013, sebagai berikut:
1. Penghasilan dari hasil usaha di Bosnia dalam tahun pajak 2013 sebesar
Rp 500.000.000,00.
2. Dividen atas pemilikan saham pada Rome Co. di Italia sebesar Rp 75.000.000,00 yang
berasal dari keuntungan tahun 2009 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun
2012 dan baru dibayarkan tahun 2013.
3. Dividen atas penyertaan saham sebesar 50% pada Zurich Corp. di Swiss yang sebesar Rp
175.000.000,00 yang berasal dari keuntungan tahun 2011, namun berdasarkan KMK baru
diperoleh tahun 2013.

Page | 74
4. Bunga kuartal I tahun 2013 sebesar Rp 35.000.000,00 dari Vienna GmBH. di Austria
yang baru akan diterima bulan Januari 2014.
Ditanya : Penghasilan mana sajakah yang dapat digabungkan di tahun fiskal 2013 ?
Jawaban :
Penghasilan dari sumber LN yang digabungkan di tahun fiskal 2013 meliputi:
Penghasilan dari hasil usaha di Bosnia.
Dividen atas pemilikan saham di Italia.
Dividen atas penyertaan saham di Swiss.
Adapun penghasilan bunga Austria akan digabungkan di tahun fiskal 2014

PENENTUAN SUMBER PENGHASILAN


Menurut pasal 24 ayat (3) UU No.36 tahun 2009, dalam menentukan sumber penghasilan
harus dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut ini:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah Negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalty, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
bergerak adalah Negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalty,
atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penghubungan harta tak gerak adalah
Negara tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
Negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan adalah Negara tempat lokasi penambangan berada.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah
Negara tempat lokasi penambangan berada.

Page | 75
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap berada.

PERHITUNGAN BESARNYA BATAS KREDIT PAJAK LUAR NEGERI


Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri adalah pajak atas penghasilan
berkenaan dengan usaha atau pekerjaan di luar negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan
pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari
modal dan penghasilan lainnya di luar negeri, misalnya dividen, bunga, dan royalty.
Contoh soal:
PT ARVA perusahaan dalam negeri bergerak di bidang industry makanan kaleng,
pada tahun 2009 memperoleh Penghasilan Neto Dalam Negeri sebesar
Rp.100.000.000,00. Selain itu perusahaan melakukan penyertaan saham pada MATHEW
LTd di Singapura, yang pada akhir tahun 2009 memperoleh penghasilan Bunga dividen
sebesar Rp.40.000.000,00. Pajak atas perolehan dividen di Singapura adalah sebesar
25%.

Total Penghasilan Kena Pajak :


Penghasilan Netto Dalam Negeri 100.000.000
Penghasilan Netto Luar Negeri 40.00.000 +
140.000.000
Pajak terutang :28 % x 140.000 .000=39.200.000
Pajak atas deviden di Singapurasebesar 25 % x 40.000.000 yaitu :
= Rp 10.000.000 ,−¿
kredit pajak atas penghasilan deviden di Singapura maksimal
sebesar Rp10.000 .000,00 tapi tidak boleh lebihtinggi dari:
Penghasilan Netto
¿ x pajak terutang
penghasilan kena pajak
Rp . 40.000 .000
¿
Rp . 140.000.000
x Rp. 24.500.000 = Rp. 7.000.000,00
Maka Kredit Pajak Luar Negeri yang diperbolehkan sebesar Rp 7.000.000,00
Page | 76
Perlakuan terhadap kerugian diluar negeri
Dalam menghitung penghasilan kena pajak, kerugian yang di derita oleh wajib pajak
diluar negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia.
Contoh :
PT Dia di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2009 sebagai berikut :
1. Di Negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 1000.000.000,00, dengan tarif pajak
sebesar 40% (Rp. 400.000.000,00)
2. Di Negara Y, memperoleh penghasilan penghasilan (laba) Rp. 3.000.000.000,00,
dengan tarif pajak sebesar 25% (Rp. 750.000.000,00)
3. Di negara Z, menderita kerugian Rp. 2.500.000.000,00.
4. penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 4.000.000.000,00.
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :
Penghasilan luar negeri :
Laba di Negara X Rp. 1.000.000.000,00.
Laba di Negara Y Rp. 3.000.000.000,00.
Laba di Negara Z Rp. - +
Jumlah Penghasilan Luar Negeri Rp. 4.000.000.000,00
Penghasilan Dalam Negeri Rp. 4.000.000.000,00 +
Jumlah Penghasilan Netto Rp. 8.000.000.000,00
PPH terutang 28% x Rp. 8.000.000.000,00 = Rp. 2.240.000.000,00.
Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing Negara adalah sebagai
berikut :
Untuk Negara X :
Rp . 1.000 .000.000
¿ xRp .2.240 .000 .000=Rp . 280.000.000,00
Rp . 8.000 .000.000
Pajak yang terutang di Negara X Rp. 400.000.000,00, namun maksimum pajak
yang dapat di kreditkan Rp. 280.000.000,00.

Page | 77
Untuk Negara Y :
Rp . 3.000 .000.000
¿ xRp .2.240 .000 .000=Rp . 840.000.000,00
Rp . 8.000 .000.000

Pajak yang terutang di Negara Y sebesar Rp. 750.000.000,00, maka maksimum pajak
yang dapat di kreditkan adalah Rp. 750.000.000,00.
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah:
= Rp. 1.030.000.000,00 (Rp. 280.000.000,00 + Rp. 750.000.000,00).

Dari contoh di atas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian
yang diderita di luar Negeri yaitu (di Negara Z sebesar Rp. 2.500.000.000,00) tidak di
kompensasikan.

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)


 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di
bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak
menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar
kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam
perjanjian tersebut.
Tujuan P3B adalah sebagai berikut:
a. Tidak terjadi pemajakan berganda yang memberatkan ikim dunia usaha;
b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri;
c. Peningkatan sumber daya manusia;
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.

 Azas utama yang dijadikan landasan untuk mengenakan pajak adalah:


a. Azas domisili atau azas kependudukan;
b. Azas Sumber;
c. Azas Nasionalitas atau azas kewarganegaraan.

Page | 78
 Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan berganda,
antara lain:
a. Metode Pemajakan Unilateral
Metode ini mengatur bahwa negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan
hukum didalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional dan ditetapkan
sepihak oleh negara Indonesia sendiri. Metode Pemajakan Bilateral
Metode ini dalam penghitungan pengenaan pajaknya harus mempertimbangkan
perjanjian kedua negara (Tax Treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan
jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah
mengadakan perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku bilamana
terdapat Tax Treaty.
b. Metode Pemajakan Multilateral
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan
atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani
oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina.

Page | 79
BAB VIII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

PENGERTIAN PPh PASAL 25

Pajak penghasilan pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh
wajib pajak baik orang pribadi maupun badan untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:

1. Wajib pajak membayar sendiri (pph pasal 25)

2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21,22,23,dan 24)

Pada prinsipnya besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu.

CARA MENGHITUNG PPh PASAL 25

Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk
setiap bulan adalah sebesar Pajak Panghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Panghasilan Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan:

a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23, serta
PPh yang dipungut sebgaimana dimaksud dalam pasal 22.

b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri ang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.

Dibagi dua belas (12) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Page | 80
Contoh 1:

Jumlah Pajak Penghasilan Tuan Dias yang

Terutang sesuai dengan SPT Tahunan PPh 2009 Rp 30.000.000,00

Pada tahun 2009, telah dibayar dan dipotong atau dipungut:

1. PPh Pasal 21 Rp 8.000.000,00

2. PPh Pasal 22 Rp 2.000.000,00

3. PPh Pasal 23 Rp 2.000.000,00

4. PPh Pasal 25 Rp 12.000.000,00

Rp 24.000.000,00

Kurang bayar (Pasal 29) tahun 2009 Rp 6.000.000,00

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun 2010 adalah:

PPh yang terutag tahun 2009 = Rp 30.000.000,00

Pengurangan:

1. PPh Pasal 21 Rp 8.000.000,00

2. PPh Pasal 22 Rp 2.000.000,00

3. PPh Pasal 23 Rp 2.000.000,00

Rp 12.000.000,00

Dasar perhitungan PPh Pasal 2 tahun 2010 Rp 18.000.000,00

Besarnya PPh pasal 25 per bulan:

Rp 18.000.000,00/12 = Rp 1.500.000,00

Page | 81
Jadi Tuan Dias harus membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan pada tahun 2010
mulai masa Maret sebesar Rp 1.500.000,00

Beberapa Masalah atau Kasus untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal 25:

1. Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh

Besarnya angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
adalah sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.

Contoh 2:

Tuan Dias menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 2009 pada bulan Maret 2010. Angsuran PPh
Pasal 25 pada bulan Desember 2009 adalah Rp 1.000.000,00.

Maka, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari dan Februari 2010 masing-masing
adalah: Rp 1.000.000,00.

Jadi Tuan Dias harus membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 pada bulan Januari dan Februari
2010 masing-masing adalah: Rp 1.000.000,00

2. Apabila dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu.

Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang
lalu maka angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.

Contoh 3:

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2007 yang
disampaikan Wajib Pajak dalam Bulan Maret 2008, perhitungan besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juli 2008 diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak tahun pajak 2007 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan
sebesar Rp 2.000.000,00. Berdasarkan ketetentuan yang berlaku, maka besarnya angsuran pajak
mulai bulan Agustus 2008 adalah sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak

Page | 82
berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran
pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

3. Angsuran PPh Pasal 25 untuk setiap bulan dan sesudah adanya keputusan mengenai kelebihan
pembayaran pajak

Apabila PPh yang terutang menurut SPT Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu lebih kecil
dari jumlah PPh yang telah dibayar, dipotong atau dipungut selama Tahun Pajak yang
bersangkutan, dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan utang pajak lain,
sebelum Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan mengenai pengembalian atau
memperhitungkan kelebhihan tersebut, maka besarnya angsuran pajak untuk tiap bulan adalah
sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari Tahun Pajak yang lalu. Setelah
dikeluarkan surat keputusan, angsuran pajak untuk bulan-bulan berikutnya setelah tanggal
keputusan itu, dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan tersebut.

PERHITUNGAN PPh PASAL 25 DALAM HAL-HAL TERTENTU

Yang dimaksud dengan perhitungan PPh Pasal 25 dalam hal-hal tertentu adalah
perhitungan PPh Pasal 25 dalam hal:

2.3.1 Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.

Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat


Pemberitahuan Tahunan, Suat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan atau putusan
banding sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan.
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung dengan dasar perhitungan dikurangi dengan
Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21, 22, 23
dan 24, kemudian dibagi dua belas (banyaknya bulan dalam pembagian tahun pajak). Dasar
perhitungan Pajak Penghasilan ini adalah menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu atau
Page | 83
dasar perhitungan lainnya (Wajib Pajak Bank, Wajib Pajak sewa dengan hak opsi, dan Wajib
Pajak BUMN/BUMD). Apabila SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu atau dasar perhitungan
lainnya ternyata rugi,maka PPh Pasal 25 adalah NIHIL.

Contoh Soal :

Penghasilan PT Dira tahun 2009 adalah sebesar Rp 250.000.000,00. Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan adalah sebesar Rp 50.000.000,00.

Pada tahun 2009 PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain adalah sebesar Rp 8.000.000,00
dan tidak ada pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri.

Perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2010:

Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Rp
250.000.000,00 - Rp 50.000.000,00 = Rp 200.000.000,00.

PPh terutang 28% X Rp 200.000.000,00 = Rp 56.000.000,00

PPh dipotong atau dipungut = Rp 8.000.000,00

Rp 48.000.000,00

Besarnya angsuran pajak bulanan PT Dira tahun 2010 = 1/12 x Rp 48.000.000,00 = Rp


4.000.000,00

(angsuran PPH Pasal 25 tidak dikatakan Nihil karena penghasilan yang diperoleh ditahun 2009
lebih besar daripada sisa kerugian yang belum dikompensasikan)

2.3.2 Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.

Penghasilan tidak teratur adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh selain dari
kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, dan/atau modal, misalnya keuntungan dari
pengalihan harta. Sedangkan penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima
atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam Tahun Pajak yang bersumber

Page | 84
dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal kecuali penghasilan yang
telah dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final.

Bila wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, maka dasar perhitungan Pajak
Penghasilan Pasal 25 adalah hanya penghasilan neto yang diterima atau diperoleh secara teratur
menurut SPT PPh Tahun Pajak yang lalu. Besarnya PPh Pasal 25 adalah sebesar PPh yang
dihitung dengan dasar perhitungan sebagaimana dimaksud di atas, dikurangi dengan Pajak
Penghasilan yang dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian Tahun Pajak.

Misalkan, Penghasilan teratur Wajib Pajak dari usaha dagang dalam tahun 2009 Rp
51.000.000,00 dan penghasilan tidak taratur dari menyewakan mobil selama 3 tahun yang
dibayar sekaligus pada tahun 2009 sebesar Rp 21.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak
teratur sekaligus diterima pada tahun 2009, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak pada tahun 2010 adalah hanya dari
penghasilan teratur tersebut sebesar RP 51.000.000,00

2.3.3 SPT Tahunan PPh tahun lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.

Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang ditentukan (selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak),
maka besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung sebagai berikut:

a. Bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut sampai dengan bulan
disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan yang bersangkutan,besarnya PPh Pasal 25 adalah
sama dengan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir dari Tahun Pajak yang lalu dan
bersifat sementara.

b. Setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya PPh Pasal 25
dihitung kembali sebagai berikut:

- Sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu dikurangi
dengan PPh yang dipotong atau dipungut serta PPh yang dibayar atau tetutang di luar negeri
Page | 85
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam Bagian Tahun Pajak yang berlaku surut mulai bulan batas
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.

- Dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian atau dalam hal Wajib Pajak
memperoleh penghasilan tidak teratur, maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali
berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Wajib Pajak yang berhak atas kompensasi kerugian
atau bagi Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak tertatur sebagaimana telah diuraikan di
atas. Perhitungan kembali tersebut berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh, yaitu tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Apabila besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung kembali sebagaimana dimaksud pada 2 butir di
atas, lebih besar daripada PPh Pasal 25 yang dihitung mulai bulan batas waktu penyampaian
SPT Tahunan sampai dengan bulan disampaikan SPT tahunan yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada butir di atas, maka atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25
dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

Contoh Soal :

1) SPT Tahunan PPh Badan tahun Pajak 2009 disampaikan tanggal 25 Mei 2010, dengan data
sebagai berikut:

a) Penghasilan Neto/Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000,00

b) Pajak Penghasilan terutang 28% x Rp 50.000.000,00 = Rp14.000.000,00

c) PPh Pasal 22, Pasal 23,dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan Rp 42.500.000,00

2) PPh Pasal 25 untuk bulan Desember 2009 sebesar Rp 5.000.000,00

a) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Januari dan Februari 2010 masing-masing adalah sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa bulan Desember 2009 sebesar Rp 5.000.000,00.

Page | 86
b) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan April 2010 masing-masing
sama besarnya dengan PPh pasal 25 untuk bulan Desember 2009 yaitu sebesar Rp 5.000.000,00

c) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2010 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun pajak 2009, sebagai berikut:

(1)Penghasilan Neto 2009/Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan, sebesar Rp


500.000.000,00.

(2)PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 adalah

28% x Rp 500.000.000,00 = Rp 140.000.000,00

(3)PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24


Tahun Pajak 2009 Rp 42.500.000,00

Rp 97.500.000,00

(4)PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010

Rp 97.500.000,00 x 1/12 = Rp 8.125.000,00 setiap bulan

d) Oleh karena PPh Pasal 25 masa bulan Maret sampai dengan April 2010 yang telah disetor,
masing-masing sebesar Rp 5.000.000,00, maka atas kekurangan masing-masing sebesar Rp
3.125.000,00 harus disetor dan terutang bunga sebesar :

(1)Untuk masa Maret 2010 sebesar 2% per bulan dihitung sejak 16 April 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran.

(2)Untuk masa April 2010 sebesar 2% per bulan dihitung sejak 16 Mei 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran.

2.3.4 Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.

Dalam hal wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan, maka besarnya Pajak Penghasilan Tahun 2005 dihitung sebagai berikut:

Page | 87
(1)Bulan-bulan mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan
sebelum disampaikan SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama dengan besarnya PPh Pasal
25 yang dihitung berdasakan perhitungan sementara yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada
saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.

(2)Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali:

a) Menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan PPh yang di
dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, kemudian dibagi 12 atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak dan berkaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT
Tahunan.

b) Apabila wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian atau dalam hal wajib pajak memperoleh
penghasilan tidak teratur, maka besarnya PPh Pasal 25, dihitung kembali berdasarkan ketentuan
yang berlaku bagi wajib pajak yang berhak atas kompensasi kerugian atau bagi wajib pajak
memperoleh penghasilan tidak teratur sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Penghitungan kembali tersebut berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian SPT PPh, yaitu 3
bulan setelah akhir tahun pajak.

Contoh Soal :

1. Permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2009
disampaikan pada tanggal 10 Januari 2010, dengan menyampaikan perhitungan sementara
sebagai berikut:

a. Penghasilan netto Rp 400.000.000,00

b. Ph terutang 28% x Rp 400.000.000,00 = Rp 112.000.000,00

c. PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 tahun Pajak 2009 = Rp 42.500.000,00

PPh Pasal 25 = (Rp 112.000.000,00 – Rp 42.500.000,00) x 1/12 = Rp 5.791.660,00

Page | 88
2. Diberikan izin perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 sampai
dengan 30 Juni 2010.

3. PPh Pasal 25 masa Desember 2009 sebesar Rp 4.000.000,00.

4. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 disampaikan pada tanggal 5 Juni 2010, dengan data
sebagai berikut:

a. Penghasilan neto/penghasilan kena pajak Rp 500.000.000,00

b. Penghasilan terutang 28% x Rp 500.000.000,00 = Rp 140.000.000,00

c. PPh Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 yang dikreditkan Rp 42.500.000,00

Berdasarkan data tersebut, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2010 dihitung
sebagai berikut:

a) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Januari dan Februari 2010 masing-masing adalah sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa Desember 2009 yaitu sebesar Rp 4.000.000,00

b) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Mei 2010 masing-masing
sama besarnya dengan PPh Pasal 25 menurut perhitungan sementara yaitu sebesar Rp
5.791.660,00.

c) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2010 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun pajak 2009 sebagai berikut:

(1) Penghasilan Neto 2009/ Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan, sebesar

Rp 500.000.000,00

(2) PPh terutang atas PPh Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 adalah

28% x Rp 500.000.000,00 = Rp 140.000.000,00

(3) PPh Pasal 22, Pasal 23,dan

Pasal 24 Tahun Pajak 2009 Rp 42.500.000,00


Page | 89
Rp 97.500.000,00

(4) PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010 sebesar

Rp 97.500.000,00 x 1/12 = Rp 8.125.000,00 untuk setiap bulan.

d) Oleh karena PPh Pasal 25 Masa Bulan Maret sampai dengan Mei 2010 yang telah disetor
masingmasing sebesar Rp 5.791.660,00 maka atas kekurangan masing-masing sebesar Rp
3.125.000,00 harus disetor dan terutang bunga sebesar:

(1) Untuk masa Maret 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 April 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran

(2) Untuk masa April 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Mei 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran

(3) Untuk masa Mei 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Juni 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran

Untuk perhitungan PPh pasal 25 tahun 2009 menghasilkan jumlah yang lebih kecil dari jumlah
PPh Pasal 25 masa bulan Maret sampai dengan Mei 2010. Maka kelebihan setran bulan Maret
dan Mei tahun 2010 dapat diperhitungkan dengan setoran bulan Juni 2010 dan seterusnya.

2.3.5 Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.

Apabila dalam Tahun Pajak berjalan Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Taahun Pajak yang lalu maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan
SPT Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.
Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan pembetulan tersebut
lebih besar dari PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, maka kekurangan setoran PPh
Pasal 25 Terutang bunga.

Page | 90
Kekurangan Setoran PPh Pasal 25 Terutang bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) Undang-Undang KUP untuk jangka waku yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh
Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

Contoh Soal

a) SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 disampaikan tanggal 25 Maret 2010, dengan data
sebagai berikut:

(1)Penghasilan Neto

Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000,00

(2)Pajak Penghasilan Terutang: 28 % x Rp 500.000.000,00 = Rp 140.000.000,00

(3)PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan Rp 42.500.000,00

b) PPh Pasal 25 untuk masa bulan Desember 2009 sebesar Rp 5.000.000,00

c) WP melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 pada tanggal 16 Agustus
2010, dengan data baru sebagai berikut:

(1) Penghasilan Neto Tahun Pajak 2010 Rp 600.000.000,00

(2) Pajak Penghasilan Terutang: 28 % x Rp 600.000.000,00 = Rp 168.000.000,00

(3) PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan Rp 42.500.000,00

Berdasarkan data tersebut di atas, besarnya angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2010 dihitung
sebagai berikut:

a) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Januari dan Februari 2010 masing-masing adalah sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa Desember 2009, yaitu sebesar Rp 5.000.000,00

b) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Juli 2010 dihitung
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 sebelum pembetulan sebagai berikut:

Page | 91
(1) Penghasilan Neto 2009 dengan Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan, sebesar
Rp 500.000.000,00

(2) PPh Terutang atas Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 adalah

28% x Rp 500.000.000,00 = Rp 140.000.000,00

(3) PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24

Tahun Pajak 2009 Rp 42.500.000,00

Rp 97.500.000,00

(4) PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp
97.500.000,00 x 1/12 = Rp 8.125.000,00 untuk tiap bulan.

c) Dengan adanya pembetulan SPT Tahunan PPh pada tanggal 16 Agustus 2010, maka besarnya
PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahunan Pajak 2009 sesudah pembetulan, sebagai berikut:

(1) Penghasilan Neto 2009/Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan, sebesar

Rp 600.000.000,00

(2) PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 600.000.000,00 adalah

28 % x Rp 600.000.000,00 = Rp 168.000.000,00

(3) PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 tahun

Pajak 2009 Rp 42.500.000,00

Rp 125.500.000,00

PPh Pasal 25 untuk bulan Maret sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp 125.500.000,00
x1/12 = Rp 10.458.330,00 untuk tiap bulan.

Page | 92
d) Oleh karena PPh Pasal 25 masa bulan Maret sampai dengan Juli 2010 yang yang telah disetor
masing-masing sebesar Rp 7.500.000,maka atas kekurangan masing-masing sebesar Rp
2.958.330,00 harus disetor dan terutang bunga sebesar:

- Untuk masa bulan Maret 2 % per bulan dihitung sejak 16 April 2010 sampai dengan tanggal
penyetoran;

- Untuk masa April 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Mei 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;

- Untuk masa Mei 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Juni 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;

- Untuk masa Juni 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Juli 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;

- Untuk masa Juli 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Agustus 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;

2.3.6 Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak

Perubahan keadaan badan usaha atau kegiatan WP dapat terjadi karena penurunan atau
peningkatan usaha. Apabila sudah 3 bulan atau lebih berjalannya satu Tahun Pajak (Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep. 537/Pj./2000 tanggal 29 Desember 2000) WP dapat
menunjukkan bahwa PPh yang terutang untuk Tahun Pajak tersebut kurang dari 75 % dari PPh
yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25, WP dapat mengajukan
permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25.

Pengajuan permohonan pengurangan tersebut dilaksanakan dengan syarat:

- Diajukan secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar;

- Wajib Pajak harus menyampaikan perhitungan besarnya PPH yang akan terutang berdasarkan
perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPH Pasal 25 untuk
bulan-bulan yang tersisa dari Tahun Pajak yang bersangkutan.

Page | 93
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tangga diterima surat permohonan pengurangan
tersebut, Kepala Kantor Pelayanan pajak tidak memberi keputusan, maka permohonan
pengurngan tersebut dianggap diterima dan WP dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25
sesuai dengan perhitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari Tahun Pajak yang
bersangkutan.

Apabila dalam satu tahun WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan
terutang untuk Tahun Pajak tersebut lebih dari 150 % dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
perhitungan besarnya PPh Pasal 25, maka besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang
tersisadari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan
kenaikan Pajak Penghasilan yang terutang eleh WP sendiri atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat WP terdaftar.

Contoh Soal :

PT Buana yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran
bulanan sebesar Rp 15.000.000,00. Bulan Juni 2009 pabrik milik PT Buana terbakar, oleh karena
itu berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT
Buana dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00. Sebaliknya apabila PT
Buana mengalami peningkayan usaha, misalnya ada usaha peningkatan penjualan dan
diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT Buana dapat disesuaikan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor per10/Pj./2009 Tanggal 11 Februari 2009
bahwa WP yang mengalami perubahan keadaan usaha atau memenuhi Ketentuan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.537/Pj./2000 dapat mengajukan permohonan pengurangan
PPh Pasal 25 sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Per 10/Pj./2009.

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 25

Page | 94
Tata cara pembayaran pajak penghasilan menurut metode pembayaran. Pembayaran melalui
online banking atau setor langsung melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, tata cara pembayaran Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

• Online Banking: Wajib Pajak perlu mendaftar untuk fasilitas online banking pada bank
persepsi yang ditunjuk Menteri Keuangan. Bank tersebut kemudian akan menyediakan aplikasi
khusus pembayaran pajak online. Saat melakukan pembayaran, wajib pajak harus mengisi
terlebih dahulu data yang diperlukan pada aplikasi dari bank tersebut. Saat pembayaran sudah
dilakukan, wajib pajak akan menerima nomor referensi sebagai tanda bukti pembayaran. Setelah
itu data yang sudah diisi beserta nomor referensi perlu dikirim kepada bank yang bersangkutan,
agar wajib pajak dapat menerima Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dari bank,
untuk dipergunakan pada laporan pajak yang akan dikirimkan kepada kantor pajak.

• Setor langsung melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi: WP terlebih dahulu melengkapi
lembaran SSP sebelum menyetor pajak pada lokasi yang diinginkan. Setelah menyetor pajak,
lembaran SSP yang sudah diisi akan dicap oleh Kantor Pos atau Bank Persepsi, dan WP akan
menerima NTPN dari tempat tersebut, beserta bukti pembayarannya.

Tanggal 21 Mei 2008 Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Nomor PER-
22/PJ/2008. Peraturan Dirjen ini mengatur tentang tatacara pembayaran dan pelaporan PPh Pasal
25. Sebagaimana diatur dalam undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP),
wajib pajak menggunakan surat pemberitahuan (SPT) sebagai suatu sarana untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang terutang. Selain itu, SPT
berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak baik yang
dilakukan wajib pajak maupun mekanisme pemotongan / pemungutan yang dilakukan oleh pihak
pemotonga/pemungut, melaporkan harta dan kewajiban. Sehingga SPT mempunyai makna yang
cukup penting baik bagi wajib pajak maupun aparat pajak.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui adalah sebagai berikut :

1. Jatuh tempo pembayaran PPh Pasal 25 adalah tanggal 15, bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur, maka pembayaran PPh
Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.Dalam pengertian hari libur termasuk hari
Page | 95
Sabtu, hari libur nasional, hari pemilihan umum yang diliburkan dan cuti bersama secara
nasional.

2. Pembayaran dilakukan di bank persepsi atau bank devisa persepsi atau kantor pos persepsi
dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP) atau sarana administrasi lain. Pengesahan
dilakukan oleh pejabat kantor penerima pembayaran atau melalui validasi sistem Modul
Penerimaan Negara dengan adanya Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).

3. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dengan validasi NTPN dianggap telah
menyampaikan SPT PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi. Ketentuan ini bisa diartikan
bahwa Wajib Pajak yang telah membayar PPh Pasal 25 dengan sistem Modul Penerimaan
Negara tidak perlu lagi melaporkan SSP ke Kantor Pelayanan Pajak.

4. Bagi wajib pajak yang pembayarannya tidak secara online dan tidak mendapat NTPN, tetap
diharuskan melaporkan SSP di KPP tempat wajib pajak tersebut terdaftar.

5. Sanksi keterlambatan pembayaran mengacu kepada Pasal 9 ayat (2a) UU KUP. Apabila Wajib
Pajak (WP) terlambat membayar, maka wajib pajak akan dikenakan bunga sebesar 2% per
bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.

6. Sanksi keterlambatan lapor mengacu kepada Pasal 7 ayat (1) UU KUP.Pasal 7 ayat 1 KUP ,
apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang disebutkan dalam pasal 3
ayat 3 KUP, maka wajib pajak akan dikenai sanksi berupa denda. Besaran nilai denda adalah
sebagai berikut:

1. Denda senilai Rp 500.000 untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

2. Denda senilai Rp 100.000 untuk SPT Masa lainnya.

3. Denda senilai Rp 1.000.000 untuk SPT Pajak Penghasilan (PPh) wajib pajak badan.

4. Denda senilai Rp 100.000 untuk SPT PPh wajib pajak perorangan.

Denda pajak yang diatur pada pasal 7 KUP dimaksudkan tidak lain sebagai bentuk tertib
administrasi perpajakan.

Page | 96
BAB IX
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26


Pajak Penghasilan (PPh) adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap
(BUT) di Indonesia.
Jadi subjek pajak PPh Pasal 26 ini adalah wajib pajak luar negeri selain BUT. Wajib pajak luar
negeri yang dikecualikan dari subjek Pajak PPh pasal 26 ini adalah:
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
a. Dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan
di Indonesia sebagai pendiri atas peserta pendiri.
b. Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun
pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebu.
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam
waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan Oleh Menteri Keuangan
Bukan Wajib Pajak Penghasilan Pasal 26
Yang tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan adalah:

Page | 97
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan
melakukan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15
juni 1998, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
Berikut adalah beberapa pihak yang mempunyai hak dan kewajiban memotong PPh Pasal 26
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Badan Pemerintah
b. Subyek Pajak dalam negeri
c. Penyelenggara Kegiatan
d. BUT (Badan Usaha Tetap)
e. Perwakilan perusahaan luar negeri laimmya selain BUT di Indonesia f. Pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong PPh Pasal 26.
Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak
Hak dan kewajiban pemotong pajak adalah sebagai berikut:
1. Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat. Kewajiban sebagai Pemotong Pajak berlaku juga terhadap organisasi
internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
2. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka
pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak
setempat.
3. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh pasal 26 yang terutang
untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah,

Page | 98
atau bank – bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran selambat – lambatnya tanggal
10 bulan takwim berikutnya.
4. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak
setempat selambat lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim. Apabila dalam satu bulan takwim
terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 26, maaka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan
PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
5. Pemotong Pajak Wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 baik diminta maupun
tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap,
penerima uang tebusan pension, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan
penerima dana pensiun.
Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26
Penyetoran dilakukan:
1. Dengan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank atau Kantor Pos Giro.
2. Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
3. Apabila jatuh tempo pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
2.7 Subjek dan Obyek Pajak
1. Obyek Pajak
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada
Wajib Pajak luar negeri, selain bentuk usaha tetap di Indonesia, berupa:
• Deviden
• Bunga termasuk premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
• Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta • Imbalan dengan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
• Hadiah dan penghargaan
• Pensiun dan pembayaran berkala lainnya

Page | 99
• Penjualan aktiva di Indonesia, selain tanah dan bangunan, yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar negeri, selain bentuk usaha tetap di Indonesia
• Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayar langsung maupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.
2. Subyek pajak
Subjek PPh pasal 26 terbatas hanya pada wajib pajak luar negeri saja, yang meliputi:
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal diluar negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan di Indonesia.
b) Badan yang didikan atau bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan.
Tarif dan Mekanisme Pemotongan PPh Pasal 26
1. Tarif 20% x Penghasilan Bruto atau Tax Treaty
Dividen, bunga, premium, diskonto, imbalan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa,
penghasilan penggunaan harta, jasa kegiatan pekerjaan, hadiah penghargaan, pensiun pembayaran
berkala yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri. Biasanya tariff PPh adalah sebesar 20%
dari penghasilan bruto atau tax treatyPerjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
2. Tarif 20% x Penghasilan Netto atau Tax Treaty
Tarif tersebut dikenakan pada hal – hal berikut ini:
a. Penjualan Saham terhadap wajib pajak luar negeri.
Penjualan saham ini dikenakan tariff sebesar 20% dari perkiraan neto. Persentase perkiraan neto
adalah sebesar 25% dari harga jual sehingga besarnya PPh pasal 26 adalah sebesar 20% x 25% atau
5% dari harga jual, yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 434 / KMK.04/1999.
b. Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi diluar negeri.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 624/KMK.04/1994 serta Surat Edaran Nomor
23/PJ./1995. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dikenakan tarif 20%
dari penghasilan netto, dengan perkiraan penghasilan netto, dengan perkiraan penghasilan neto:
1. 50% dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri sehingga besarnya
tarif PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 50% = 10%;
2. 10% dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri berkedudukan di
Indonesia sehingga besarnya tariff PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 10% = 2%;

Page | 100
3. 5% dari premi yang dibayarkan reasuransi berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan
diluar negeri sehingga besarnya tarif PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 5% = 1%.
3. BUT (Bentuk Usaha Tetap) Tarif 20% dari Laba Setelah Pajak yang Ditransfer ke Luar
Negeri.
a. Apabila atas laba setelah pajak yang berasal dari BUT diinvesasikan kembali ke Indonesia
maka tidak dikenakanpajak, sepanjang memenuhi syarat KMK No. 602/KMK.04/1994 jo KMK No.
113/KMK.03/2002 antara lain: diinvestasikan dalam waktu minimal dua tahun di Indonesia.
b. Jika laba setelah pajak ditransfer ke luar negeri, maka akan dikenakan pajak sebesar 20%
final.
c. Berdasarkan pasal 26 ayat 5 UU PPh, untuk wajib pajak orang pribadi dan BUT apabila telah
menjadi wajib pajak dalam negeri, maka semula dikenakan PPh Pasal 26 bersifat final menjadi dapat
dikreditkan. Untuk BUT didasarkan Pasal 5 ayat 1 huruf b dan c UU PPh.
2.9 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 26
1. Tarif 20% x Penghasilan PPh Pasal 26 Mr. Jackson warga negara Jerman memperoleh
penghasilan dividen sebesar Rp. 20.000.000,00 dari PT Indah.
Jawab:
a. Saat terutangnya PPh 26 diatur dalam PP 138 Tahun 2000, dilihat dari yang terlebih dahulu,
saat pembebanan atau saat pembayaran.
b. PT Indah harus memungut pajak sebesar Rp. 4.000.000,00 dari Mr. Jackson sebagai penerima
penghasilan.
c. PPh tersebut berasal dari: X = 20% x Penhasilan Bruto.
= 20% x Rp. 20.000.000,00
= Rp. 4.000.000,00 dan bersifat final. Keterangan:
b. Jika Mr. Jackson memiliki tax resident (bukti kepemilikan seperti NPWP di negara Amerika),
maka berlaku penerapan tax treaty, di mana telah disepakati bersama antara Indonesia – Amerika
bahwa tarif pajak pajaknya 10% dari penghasilan bruto, yaitu Rp. 2.000.000,00 yang berhak
dipotong oleh PT Indah.
c. Perhitungan 20% x penghasilan bruto berlaku juga untuk penghasilan berupa bunga, premium,
diskonto, imbalan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa, penghasilan penggunaan harta, jasa

Page | 101
kegiatan pekerjaan, hadiah penghargaan, pensiun pembayaran berkala yang dibayarkan kepada
wajib pajak luar negeri.
2. Tarif 20% x Penghasilan Neto atau Tax Treaty
a. Penjualan saham terhadap wajib pajak luar negeri.
Contoh:
PT Demi Masa menjual sejumlah saham kepada Cimex Ltd. (Kanada) dengan nilai keseluruhan
Rp. 50.000.000.000,00. Maka, besarnya PPh Pasal 26 yang dipungut oleh PT Demi Masa adalah
20% x 25% x Rp. 50.000.000.000,00 = Rp. 2.500.000.000,00
b. Premi Asuransi Luar Negeri. Contoh:
PT Mulia Building mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan
membayar jumlah premi asuransi selama tahun 2005 sebesar Rp. 1.000.000.000,00. Maka, besarnya
PPh Pasal 26 yang dipungut oleh PT Mulia adalah 20% x 50% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp.
100.000.000,00
Keterangan:
1) Jika premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri berkedudukan di
Indonesia, besarnya tariff PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 10% = 2% x Rp. 1.000.000.000,00 =
Rp. 20.000.000,00.
2) Jika premi yang dibayarkan reasuransi berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan di luar
negeri, besarnya tarif PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 5% = 1% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp.
10.000.000,00.
3. 20% dari Penghasilan Kena Pajak atau Tax Treaty Untuk BUT, hasil laba setelah pajak yang
dialokasikan ke luar negeri dikenakan pajak PPh Pasak 26, tetapi jika diinvestasikan kembali di
Indonesia tidak dikenakan pajak PPh Pasal 26 sepanjang memenuhi syarat KMK No.
602/KMK.04/1994 jo KMK No. 113/KMK.03/2002.
Contoh:
Sebuah BUT mendapatkan laba Rp. 100.000.000,00 dan telah dikenakan PPh Pasal 17 sebesar
Rp. 12.500.000,00 sehingga laba setelah pajak adalah Rp. 87.500.000,00. Jika sebagian income after
tax dikirim keluar negeri, maka akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% x Penghasilan bruto,
misal dikirim Rp. 50.000.000,00. Maka PPh Pasal 26 adalah 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp.
10.000.000,00 dan sisanya jika diinvestasikan kembali ke Indonesia tidak dipotong PPh Pasal 26.

Page | 102
BAB X
PPN/PPnBM

A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


 Pajak Karakteristik Pemungutan PPN
1. Pajak Objektif: Pemungutan PPN didasarkan pada objek pajak tanpa memperhatikan keadaan
diri Wajib Pajak (WP) sebagai subjek pajak
2. Pajak Tidak Langsung: Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain, tetapi
kewajiban memungut, menyetor, melapor melekat pada pihak yang menyerahkan barang/jasa
3. Multi Stage Tax: Dilakukan secara berjenjang dari pabrikan sampai konsumen akhir
4. Dipungut Menggunakan Faktur Pajak: Sehingga Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai
pemungut pajak harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN
5. Bersifat Netral: Dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa, dan dipungut menggunakan
prinsip tempat tujuan, yaitu bahwa PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi
6. Non-duplikasi: Karena terdapat mekanisme pengkreditan pajak masukan
7. PPN terhadap konsumsi dalam negeri dikenakan sebesar 10%, sedangkan untuk ekspor
dikenakan tarif 0% (untuk ekspor secara riil tidak ada PPN yang dibayarkan namun tetap harus
dilaporkan)
 Objek PPN
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean
yang dilakukan oleh pengusaha

Page | 103
2. Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
3. Ekspor BKP dan/atau JKP
4. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan
5. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk
diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan
 Barang Kena Pajak (BKP)

Barang Kena Pajak (BKP) merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan
pajak berdasarkan UU PPN. Pengaturan cakupan BKP dalam UU PPN bersifat “negative list”,
dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai
barang yang tidak dikenai PPN.
 Barang yang Tidak Dikenai PPN (Non-BKP)
Barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya:
1. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
a. beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
b. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
c. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti,
dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan,
diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
d. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas
e. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
f. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,
disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
g. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada
suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah

Page | 104
2. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, tidak termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering
3. Uang, emas batangan, dan surat berharga (misalnya saham, obligasi)
4. Minyak mentah (crude oil)
5: Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat
6. Panas bumi
7. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit,
magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat
(phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif,
zeolit, basal, dan trakkit; dan
7. Biji besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
 Jasa Kena Pajak (JKP)
Jasa Kena Pajak (JKP) merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang pesanan atau permintaan dengan
bahan dan/atau petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Seperti halnya
cakupan BKP, pengaturan cakupan JKP dalam UU PPN juga bersifat “negative list”, dalam artian
bahwa pada prinsipnya seluruh jasa merupakan JKP, kecuali ditetapkan sebagai jasa yang tidak
dikenai PPN.
 Jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non JKP)
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan sosial
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa keuangan
5. Jasa asuransi
6. Jasa keagamaan
7. Jasa Pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
Page | 105
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
11. Jasa tenaga kerja
a. Jasa perhotelan
b. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum
c. Jasa penyediaan tempat parker
d. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
e. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos

f. Jasa boga atau katering


 Subjek PPN
Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik orang pribadi maupun badan, yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), yang dikenakan pajak berdasarkan UU
PPN.
 Tarif PPN
Tarif PPN adalah sebesar 10%
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan
paling tinggi 15% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Mengingat PPN adalah pajak yang
dikenakan atas konsumsi BKP di dalam Daerah Pabean, maka ekspor BKP dan ekspor JKP tertentu
dikenai PPN dengan tarif 0%.
 Dasar Pengenaan PPN
PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
yang meliputi:
1. Harga Jual
Nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak
2. Penggantian
Page | 106
Nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha
karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tidak termasuk PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak; atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena impor JKP dan/atau oleh penerima manfaat dari
impor BKP Tidak Berwujud
3. Nilai Impor
Nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan kepabeanan
dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM
4. Nilai Ekspor
Yaitu nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir
5. Nilai lain
Yang diatur dengan atau berdasarkan PMK hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:
harga jual, nilai penggantian, nilai impor, dan nilai ekspor sukar ditetapkan; dan/atau penyerahan
BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak
 Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP di dalam Daerah Pabean, dan/atau
melakukan ekspor BKP (baik BKP Berwujud maupun BKP Tidak Berwujud) dan/atau JKP, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
yang terutang.
 Pengecualian PKP
Pengecualian pengukuhan sebagai PKP diberikan bagi pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pada saat ini, batasan pengusaha kecil tersebut diatur dalam
PMK 197/PMK.03/2013, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan
omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun. Namun, UU PPN memberikan ruang bagi pengusaha
kecil dimaksud untuk dapat dikukuhkan menjadi PKP yang diatur lebih lanjut dalam PMK
40/PMK.03/2010.
 Pemungut PPN

Page | 107
Dalam rangka lebih memudahkan pemungutan PPN dan/atau PPnBM yang terutang atas
penyerahan BKP dan/atau JKP oleh rekanan, Pemerintah menunjuk pihak tertentu untuk memungut,
menyetorkan dan melaporkan PPN yang terutang. Pihak tertentu tersebut meliputi bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
 Fasilitas Pembebasan PPN
Fasilitas atau insentif perpajakan dapat didefinisikan sebagai ketentuan perpajakan yang dibuat
secara khusus, yang berbeda dengan ketentuan perpajakan yang berlaku umum, bagi Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu. Fasilitas PPN diberikan untuk mendorong pembangunan nasional dengan
membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti:
1. Fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN
2. Fasilitas tidak dipungut PPN
Untuk mendukung perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing dengan menjamin
tersedianya barang-barang yang bersifat strategis, pemerintah memberikan fasilitas dibebaskan dari
pengenaan PPN atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis.

B. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

 Apa itu Pajak Penjualan Barang Mewah?


Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ialah pajak yang dikenakan pada barang yang
tergolong mewah kepada produsen untuk menghasilkan atau mengimpor barang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya. PPnBM hanya dikenakan 1 kali pada saat penyerahan barang ke produsen
Pengertian menghasilkan barang ialah kegiatan:
1. Merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah
jadi atau barang jadi. Contohnya merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga
2. Memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun
tidak
3. Mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur untuk menghasilkan satu atau lebih
barang lain
4. Mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari
kerusakan atau meningkatkan pemasarannya membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau
Page | 108
benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu kegiatan lain yang sama dengan
kegiatan tersebut yang dikerjakan dengan bantuan orang atau badan usaha lain
 Apa pertimbangan suatu barang dikenai PPnBM?
Dalam UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pasal 5, pertimbangan suatu barang dikenakan
PPnBM, yaitu:
1. Keadilan pembebanan pajak antara konsumen berpenghasilan rendah dengan konsumen
berpenghasilan tinggi
2. Pengendalian konsumsi barang mewah
3. Perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
4. Pengamanan penerimaan negara
 Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
1. Barang yang bukan barang kebutuhan pokok
2. Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
3. Barang yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
4. Barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status
 Kapan PPnBM Dipungut?
Prinsip pemungutannya hanya 1 kali saja, saat:
1. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen barang yang tergolong mewah
2. Impor barang yang tergolong mewah
3. Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai ppnbm
 Berapa tarif PPnBM?
1. Tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%* (UU PPN Pasal 8)
2. Perbedaan tarif PPnBM didasarkan pada pengelompokan barang yang tergolong mewah yang
dikenai PPnBM
3. Pengelompokan barang-barang yang dikenai PPnBM terutama didasarkan pada: tingkat
kemampuan golongan masyarakat yang menggunakan barang tersebut, disamping didasarkan
pada nilai guna barang bagi masyarakat pada umumnya konsultasi dengan DPR
4. PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang yang tergolong mewah di dalam
negeri. Oleh karena itu, barang mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar negeri dikenai

Page | 109
PPnBM dengan tarif 0%. PPnBM yang telah dibayar atas perolehan barang mewah yang
diekspor tersebut dapat diminta kembali
 Apa saja barang yang dikenakan PPnBM?
1. Kendaraan bermotor, kecuali untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam
kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, kepentingan negara
2. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, totan house, dan
sejenisnya
3. Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga
4. Kelompok balon udara
5. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara
6. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha
pariwisata

C. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)


Ada tiga azas pemungutan pajak, yaitu azas domisili, azas sumber, dan azas kebangsaan.
 Azas Domisili (azas tempat tinggal): Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang
berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Azas ini berlaku bagi wajib pajak dalam negeri.
 Azas Sumber: Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
 Azas Kebangsaan: Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Azas ini berlaku untuk wajib
pajak luar negeri

Page | 110
BAB XI
PPB/BPHTB

A. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)


PENGERTIAN
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan hak atas bumi
dan bangunan yang ada di atasnya yang nilainya di atas nilai jual objek pajak tidak kena pajak
(NJOPTKP). Pajak bumi dan bangunan berbeda dengan pajak-pajak lainnya, karena salah satu
penyebabnya adalah system yang dipakai masih cenderung pada official assessment, artinya
semua hal yang kaitannya dengan penentuan besarnya pajak bumi dan bangunan yang harus
dibayar adalah pihak petugas pajak (fiskus).
Dasar pengenaan pajak (DPP) PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah
harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Jika tidak terjadi
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis,
atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi:
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk melaporkan data objek menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Di rektorat
Page | 111
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak. Direktorat
Jenderal Pajak menerbitkan SPPT(Surat Pemberitahuan Pajak Teru-tang) berdasarkan
SPOP(Suiat Pemberitahuan Objek Pajak) Wajib Pajak.

NILAI JUAL OBJEK PAJAK


Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-
beli yang terjadi secara wajar,dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli,Nilai Jual Objek
Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang seje-nis,atau nilai
perolehan baru,atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti. Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan
klasifikasi:
1. Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan.
2. Objek Pajak Sektor Perkebunan
3. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hasil
Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri.
4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi.
7. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas Bumi
dan Galian C.
8. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C.
9. Objek Pajak Sektor Pertambangan yang dikelola Berdasarkan Kontrak Karya atau Kontrak
Kerja Sama.
10. Objek Pajak Usaha Bidang Perikanan Laut.
11. Objek Pajak Usaha Bidang Perikanan Darat.
12. Objek Pajak yang Bersifat Khusus.
Proses pencatatan pengeluaran pajak bumi dan bangunan ini lebih sederhana dibandingkan
dengan pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai, karena pajak bumi bumi dan
bangunan ini dibayar setahun sekali.

Page | 112
OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Di dalam Peraturan Menteri keuangan dijelaskan bahwa Yang dimaksud dengan klasifikasi
bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan
digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak terhutang.
Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan
penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Letak.
b. Peruntukan.
c. Pemanfaatan.
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Bahan yang digunakan.
b. Rekayasa.
c. Letak.
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain.

PENGECUALIAN DARI OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Beberapa objek bumi dan bangunan yang dikecualikan :
a. Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan.
b. Objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
c. Objek pajak yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum di
bebani suatu hak;
d. Objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.

Page | 113
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan

SUBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Subyek pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang
ini. Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib
pajak. Subyek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap
obyek pajak dimaksud.

TARIF PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh
persen).

DASAR PENGENAAN PAJAK


Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak
atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/ Bupati / Walikota
(Pemerintah Daerah) setempat. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-
rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya
persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memerhatikan kondisi ekonomi
nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali.
Namun demikian, untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan
mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun
sekali.

Page | 114
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah
Daerah) setempat serta memerhatikan asas selfassessment. Yang dimaksud (assessment value)
adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghi-tungan pajak,yaitu suatu persentase
tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di
daerah pedesaan,tetapi dengan tetap memerhatikan penerimaan,khususnya bagi Pemerintah
Dacrah,maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP,yaitu:
1. Sebesar 40%(empat puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek pajak perkebunan.
b. Objek pajak kehutanan.
c. Objek pajak lainnya,yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan
bangunan sama atan lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar ru-piah).
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek pajak pertambangan.
b. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,0 (salu miliar
rupiah).

CARA MENGHITUNG PAJAK


Besamya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan NJKP.
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP =0,5%x [Persentase NJKP x (NJOP -
NJOPTKP)]
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp20.000.000,00 dan
NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00,maka besarnya pajak yang terutang adalah:
= 0,5% x 20% x (Rp20.000.000,00-Rp12.000.000,00)
=Rp8.000,00.

Page | 115
TAHUN PAJAK, SAAT DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG
Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim
adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Saat yang menentukan pajak terutang adalah
menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh:
a. Objek pajak pada tanggal | Januari 2010 berupa tanah dan bangunan.Pada tanggal 10
Januari 2010 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan
objek pajak pada tanggal I Januari 2010,yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut
terbakar.
b. Objek pajak pada tanggal I Januari 2010 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya.
Pada tanggal 20 Agustus 2010 dilakukan pendataan,ternyata di atas tanah tersebut telah
berdiri sualu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahuun 2010 tetap dikenakan
berdasarkan keadaan pada tanggaI 1 Januari 2010. Sedangkan bangunannya baru akan
dikenakan pada tahun 2011.
Tempat pajak yang terutang:
a. Untuk daerah Jakarta di wilayah Daerah Khusus lbu Kota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya di wilayah kabupaten atau kota
Tempat pajak yang terutang untuk Batam di wilayah Provinsi Riau.

SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK (SPOP), SURAT PEMBERITAHUAN


PAJAK TERUTANG (SPPT) DAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)
Dalam rangka pendataan, Wajib Pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan
kepada Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib
mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan
mengembalikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak.
SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan
disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak. Yang
dimaksud dengan jelas dan benar adalah: Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta
dalam SPOP dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat

Page | 116
merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri. Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan atau bangunan,tahun dan harga
perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya. SPPT
diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu Wajib Pajak SPPT dapat diterbitkan
berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain temyata jumlah pajak yang
terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya,walaupun sudah dite-gur
secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat
Teguran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Kete-tapan Pajak(SKP) secara
jabatan.
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal
Pajak,temyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang
dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan Wajib Pajak,Direk-tur Jenderal Pajak menerbitkan
SKP secara jabatan. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam
nomor (4) huruf (a) adalah pokok pajak.

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN


1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak.

Page | 117
3. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar,dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan,yang dihitung dari
saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan. Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo
pembayaran tidek atau kurang dibayar,dikenakan denda administrasi 2% (dua persen)
setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no.(3) di atas, ditambah dengan utang
pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP)yang
harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh
Wajib Pajak. Menurut ketentuan ini, denda administrasi dan pokok pajak seperti dalam no.
(3) di atas ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan
sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
5. Pajak terutang dapat dibayar di bank, kantor pos dan giro,serta tempat lain yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan.
7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak,dan Surat Tagihan
Pajak(STP)merupakan dasar penagihan pajak.
8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat
ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentu.
kan,penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU No. 19 tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.

KEBERATAN DAN BANDING

Keberatan

1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:

Page | 118
 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
 Surat Ketetapan Pajak (SKP). Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan
masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri uiituk setiap tahun pajak.
2) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP dalam hal:
 Wajib pajak menganggap luas objek bumi dan atau bangunan, klasifikasi atau Nilai
Jual Objek bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam SPPT atau SKP tidak
sesuai dengan keadaan sebenamya.
 Terdapat perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang-un-dangan
antara Wajib Pajak dengan fiskus.
3) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan
menyatakan alasan secara jelas.
4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3(tiga)bulan sejak tanggal diteri-manya
SPPT atau SKP oleh Wajib Pajak,kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila
ternyata batas waktu 3 (tiga)bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena
keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan memin. ta Wajib Pajak untuk
melengkapi persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu.
5) Tanda terima Surat Keberatan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau sejenisnya
merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi ke. pentingan Wajib
Pajak.
6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar penge-naan pajak.
7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
8) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 12(dua belas) bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima,harus memberikan keputusan atas keberatan.

Page | 119
9) Sebelum surat keputusan diterbitkan,wajib pajak dapat menyampaikan alasan tam-bahan
atau penjelasan tertulis.
10) Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa:
a. Tidak dapat diterima.
b. Menolak.
c. Menerima seluruhnya atau sebagian.
d. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
11) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam surat
ketetapan pajak,Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak tersebut.
12) Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi Wajib Pajak yaitu apabila dalam
jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat ke beratan, Dirjen Pajak tidak
memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.
PENGURANGAN PAJAK
Pengurangan diberikan atas pajak (PBB) terutang yang tercantum dalam SPPT atau
SKP.Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal:
1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya seperti:
a. Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/petenakan yang hasilnya
sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi.
b. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dar. atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah dan nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan.
c. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh WajibPajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, se. hingga
kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.

Page | 120
d. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah,sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.
e. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.
f. Objek pajak yang dimiliki,dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang
tahun,sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan..
2. Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam
atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam pengertian bencana alam adalah
gempa bumi,banjir,tanah longsor,gunung meletus, dan sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud dengan sebab-sebab lain yang luar biasa adalah keba-karan,kekeringan,wabah
penyakit,dan hama tanaman.
3. Wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela ke-
merdekaan.Besarnya pengurangan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari
besarnya pajak terutang.

PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI


Atas permintaan Wajib Pajak,Dirjen Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena
hal -hal tertentu. Ketentuan ini memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk meminta
pengurangan denda administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat
me-ngurangkan sebagian atau seluruhnya denda administrasi tersebut.

SANKSI
Bagi Wajib Pajak
1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampai-kan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran,ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokok pajak ditambah
dengan denda administrasi sebesar 25%(dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan

Page | 121
oleh Wajib Pajak, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.Jumlah pajak yang terutang dalam
Surat Ketetapan Pajak adalah selisih pajak terutang berdasar-kan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan
Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25%(dua puluh lima persen) dari selisih
pajak yang terutang.
2. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar,dikenakan denda administrasi sebesar 2%(dua persen) sebulan,yang di-hitung dari
saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24(dua
puluh empat) bulan.
3. Karena kealpaannya,sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepadaDirektorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan tidak benar.
4. Karena kesengajaannya,sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP,tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan yang tidak benar.
c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar.
d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya.
e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.

B. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ( BPHTB)


PENGERTIAN
Menurut peraturan undang-undang BPHTB bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, yang selanjutnya disebut pajak, sedangkan pengertian perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak
atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah hak atas tanah
termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang

Page | 122
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

DASAR HUKUM
Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Undang-undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor
291.
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

OBJEK PAJAK
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.Perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan meliputi:
1) Pemindahan hak karena:
a. Jual-beli.
b. Tukar-menukar.
c. Hibah.
d. Hibah wasiat.
e. Waris.
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan huikum lainnya.
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
h. Penunjukan pembeli dalam lelang.
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
j. Penggabungan usaha.
k. Peleburan usaha.
l. Pemekaran usaha.
m. Hadiah.
2) Pemberian Hak baru karena:
a. Kelanjutan pelepasan hak.

Page | 123
b. Di luar pelepasan hak.

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
1. Perwakilan diplomatik,konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembanguman guna
kepentingan umum.
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Peraburan Menteri
Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut.
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan boikum lais dengan
tidak adanya perubahan nama.
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf.
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK


Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Ta-nah
dan atau Bangunan.Wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan atau Bangunan.

DASAR PENGENAAN PAJAK, NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA


PAJAK (NPOPTKP) DAN TARIF PAJAK

Dasar Pengenaan Pajak


Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak(NPOP) NPOP
ditentukan sebesar:
1. Harga transaksi,dalam hal jual-beli.
2. Nilai pasar objek pajak dalam hal:
a. Tukar-menukar.
b. Hibah.
c. Hibah wasiat.
Page | 124
d. Waris.
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak.
g. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuata hukum
tetap.
h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak.
i. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak.
j. Penggabungan usaha.
k. Peleburan usaha.
l. Pemekaran usaha.
m. Hadiah.
3. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang, dalam hal penunjukan pembeli
dalam lelang.
4. Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan(NJOP PBB),apabila besarny NPOP
sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP lebil rendah
daripada NJOP PBB.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)


Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional paling rendah Rp60.000.000,00(enam
puluh juta rupiah),kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis ketu-runan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri,Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
rendah Rp300.000.000.00(tiga ratus juta rupiah).Besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.

Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar paling tinggi 5% (lima persen). Tarif Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Page | 125
CARA MENGHITUNG BPHTB
BPHTB = (NPOP-NPOPTKP) x tarif pajak
Contoh:
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp70.000.000,00.Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ber-laku di
kabupaten/kota tersebut Rp60.000.000,00 dan tarif pajaknya 5%.
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp70.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000.00 _
Rp 10.000.000,00
BPHTB yang terutang (Rp 10.000.000,00 x 5%) =Rp 500.000,00

SAAT TERUTANGNYA PAJAK


Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah:
1. Sejak tanggai dibuat dan ditandatanganinya akta,untuk:
a. Jual-beli.
b. Tukar-menukar.
c. Hibah.
d. Hibah wasiat.
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
g. Penggabungan usaha.
h. Peleburan usaha.
i. Pemekaran usaha.
j. Hadiah,
2. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk lelang.
3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang untuk putusan
hakim.
4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bi
pertanahan,untuk waris.
5. Sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk:

Page | 126
a. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak.
b. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak.
BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak.

TEMPAT PAJAK TERUTANG


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat tanah dan atau bangunan berada.

KETENTUAN BAGI PEJABAT


Yang termasuk dalam pengertian pejabat adalah:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/Notaris.
2. Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara.
3. Kepala kantor bidang pertanahan.

BAB XII
BEA MATERAI

A. Pengertian Bea Meterai


Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditanda
tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau dokumen tersebut selesai dibuat atau
diserahkan kepada pihak lain bila dokumen tersebut hanya dibuat oleh satu pihak.

Dasar Hukum
Dasar hukum pengenaan bea meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau
disebut juga Undang-Undang Bea Meterai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari
1986.Selain itu,untuk mengatur pelaksanaannya,telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2000
tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Ba-tas Pengenaan Harga Nominal yang
dikenakan Bea Meterai.

Page | 127
Sebab – Sebab Dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
1. Agar lebih sempurna dan sederhana ( hanya terdiri 7 bab,18 pasal).
2. Lebih mudah dilaksanakan karena hanya mengenal 1(satu) jenis Bea Meterai tetap, yaitu
Rp6.000,00 dan Rp3.000,00.
3. Objek lebih luas.
Prinsip Umum Pemungutan atau Pengenaan Bea Meterai
1. Bea Meterai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumen).
2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Meterai.
3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama dengan aslinya.

B. Objek Bea Meterai


1. Bea Meterai dikenakan atas:
a. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian
yang bersifat perdata; dan
b. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
2. Dokumen yang bersifat perdata, meliputi:
a. surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis,
beserta rangkapnya;
b. akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
c. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
d. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
e. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
f. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan
risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
g. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
 Menyebutkan penerimaan uang; atau
 Berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
diperhitungkan;

Page | 128
h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

C. Subjek Bea Meterai


Berikut ini adalah subjek bea meterai:
1. Pihak yang menerima atau memperoleh manfaat dari dokumen yang bersangkutan, kecuali
jika pihak-pihak tersebut menentukan lain.
2. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, bea meterai terutang oleh penerima. Misalnya pada
kuitansi.
3. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 pihak atau lebih, maka masing-masing pihak terkait
terutang bea meterai. Misalnya pada surat perjanjian di bawah tangan.

D. Tarif Bea Meterai


 Tarif Bea Meterai Rp6.000,00 Dikenakan atas dokumen
 Yang pertama untuk :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, dan surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap -
rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah dan mempunyai harga nominal lebih dari Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah):
1) Yang menyebutkan penerimaan uang.
2) Yang menyaiakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank.
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.
4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
atau diperhitungkan.
e. Surat-surat berharga seperti wesel,promes,dan aksep yang harga nominalnya lebih dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Page | 129
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun sepanjang harga nominalnya le-bih dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
 Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain.

 Tarif Bea Meterai Rp3.000,00 Dikenakan Atas Dokumen


1) Surat yang memuat jumlah uang dan mempunyai harga nominal lebih dari Rp250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah), tetapi tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah):
a. Yang menyebutkan penerimaan uang.
b. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank.
c. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank.
d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau
diperhitungkan.
2) Surat-surat berharga seperti wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tetapi tidak lebih dari Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
3) Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun,sepanjang harga nominalnya lebih dari
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tetapi tidak lebih dari Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
4) Cek dan bilyet giro dengan harga nominal berapa pun.

Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai nominal tidak lebih dari
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut tidak terutang Bea
Meterai.

 Tarif Bea Meterai Rp10.000,00 Dikenakan atas Dokumen


Menurut Pasal 3 UU Nomor 10 Tahun 2020, ada 8 dokumen yang kena bea meterai Rp
10.000,00, yaitu
Page | 130
1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya beserta rangkapnya
2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya
3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya
4. Surat berharga
5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka
6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah
lelang, dan grosse risalah lelang
7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari 5.000.000 yang
 Menyebutkan penerimaan uang
 Berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
diperhitungkan
8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

E. Yang Tidak Dikenakan Bea Meterai


1. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
a. Surat penyimpanan barang;
b. Konosemen;
c. Surat angkutan penumpang dan barang;
d. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
e. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
f. Surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan angka e;
2. Segala bentuk Ijazah;
3. Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran
lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran dimaksud;
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan
lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan ;

Page | 131
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan
dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga
lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan;
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang
simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang
menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian
kepada nasabah;
8. Surat gadai;
9. Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun; dan
10. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan
kebijakan moneter.

F. Saat Terutang Bea Meterai


1. Dokumen dibubuhi Tanda Tangan, untuk:
a. Surat perjanjian beserta rangkapnya;
b. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan; dan
c. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya.
2. Dokumen selesai dibuat, untuk:
a. Berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
b. Transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun.
3. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat, untuk:
a. Keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
b. Dokumen lelang; dan
c. Dokumen yang menyatakan jumlah uang.
4. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di
pengadilan.
5. Dokumen digunakan di Indonesia, untuk Dokumen yang dibuat di luar negeri.

Page | 132
G. Pihak Yang Terutang Bea Meterai
 Apabila dokumen dibuat sepihak, bea materai terutang oleh pihak yang menerima
dokumen.
 Apabila dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing -
masing pihak atas dokumen yang diterimanya.
 Dokumen yang berupa surat berharga, maka bea materai terutang oleh pihak yang
menerbitkan surat berharga.
 Bea Meterai juga terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat
dari dokumen, kecuali pihak atau pihak - pihak yang bersangkutan menentukan lain
H. Cara Pelunasan Bea Meterai
Bea Meterai terutang, dapat dilunasi dengan dilakukan dengan menggunakan:
1. Dengan mengunakan benda meterai,yaitu:
a. Meterai tempel memiliki ciri umum dan ciri khusus. Ciri umum paling sedikit
memuat:
 Gambar lambang negara Garuda Pancasila;
 Frasa "Meterai Tempel"; dan
 Angka yang menunjukkan nilai nominal.
Selain memiliki ciri umum, meterai tempel juga memiliki ciri khusus sebagai unsur
pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak yang dapat bersifat
terbuka, semi tertutup, dan tertutup. Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan ciri
umum dan ciri khusus pada meterai tempel serta pemberlakuannya diatur dalam
Peraturan Menteri.
b. Meterai elektronik memiliki kode unik dan keterangan tertentu yang diatur dalam
Peraturan Menteri.
c. Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri merupakan Meterai yang
dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi,
teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya. Ketentuan lebih lanjut
mengenai Meterai dalam bentuk lain diatur dalam Peraturan Menteri.
2. Surat Setoran Pajak
Page | 133
Pembayaran Bea Meterai juga dapat dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak
dalam hal mekanisme pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai dianggap tidak
elisien atau bahkan tidak dimungkinkan. Misalnya, untuk Dokumen yang akan digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan dalam jumlah besar, yang pembayarannya melalui Pemeteraian
Kemudian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pemberian alternatif dalam
pembayaran Bea Meterai ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembayaran
Bea Meterai.
I. Cara penggunaan Bea Meterai
1. Meterai Tempel
a) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan bea meterai.
b) Meterai tempel direkatkan di tempat tanda tangan akan dibubuhkan.
c) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan tanggal, bulan, dan tahun dilakukan
dengan menggunakan tinta atau yang sejenisnya. Sebagian tanda tangan berada di
atas meterai dan sebagian lagi di atas kertas dokumen.
d) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas dokumen.
2. Kertas Meterai
a. Dokumen ditulis di atas kertas meterai. Jika isi dokumen terlalu panjang untuk
dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi
yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
b. Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi.

Apabila ketentuan-ketentuan di atas tidak dipenuhi, maka dokumen yang bersangkutan


dianggap tidak bermeterai.
J. Pemetraian Kemudian
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang dilakukan oleh
pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi
sebagaimana mestinya. Pemeteraian kemudian dilakukan atas:

Page | 134
1. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai,namun akan digunakan sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan.
2. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
K. Sanksi – Sanksi
Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi bea meterai sebagaimana mestinya,maka akan
dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari bea meterai yang tidak atau
kurang dibayar.
Misalnya Bea Meterai terutang Rp6.000,00. Akibat kelalaian belum mengenakan bea
meterai, maka Bea Meterai dan saksi yang harus dibayar adalah:
Bea Meterai yang terutang Rp 6.000,00
Denda administrasi Rp 12.000,00 +
1. Dokumen yang dibuat di luar negeri 1. Semua dokumen yang dikenakan Bea Materai
sebelum digunakan di Indonesia tetapi dokumen tersebut tidak / kurang dibayar
Bea Meterai nya kecuali dokumen yang akab
digunakan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan
2. Surat surat biasa dan surat kerumah 2. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang Bea
tanggaan sebagai alat bukti di pengadilan Meterainya dilunasi sesudah dokumen tersebut
digunakan di Indonesia
3. Dokumen yang semula dikenakan Bea
Meterai berdasarkan tujuannya kemudian
berubah tujuan atau dipergunakan oleh
orang lain (sebagai alat bukti di
pengadilan)
Jumlah pemeteraian kemudian Rp 18.000,00

Page | 135
Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ketentuan Khusus:
1) Pejabat pemerintah,hakim,panitera,jurusita,notaris,dan pejabat umum lain-nya dalam tugas
atau jabatannya tidak dibenarkan:
a. Menerima,mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya
tidak atau kurang dibayar.
b. Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar pada dokumen
lain yang berkaitan.
c. Membuat salinan, tembusan, rangkapan, atau petikan dari dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar.
d. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang Bea Meterainya tidak atau
kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.
2) Sanksi atas poin 1, sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang. Undangan yang
berlakai,misalaya untuk yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dapat diberlakukan dengan
PP.No.53 tahun 2010,antara lain:
a. Teguran lisan,teguran tertulis.
b. Penundaan kenaikan gaji berkala/pangkat.
c. Pemberhentian.
Sanksi Pidana
Sanksi pidana, antara lain:
a. Pemalsuan/peniruan meterai tempel,kertas meterai dan tanda tangan yang perlu
untuk mengesahkan meterai.
b. Dengan sengaja menyimpan yang bermaksud untuk diedarkan atau mema-sukkan ke
Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan
hak.
c. Dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan
uutuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang merekayasa,
capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah

Page | 136
dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain
menggunakannya dengan melawan hak.
d. Dengan sengaja menyimpan bahan-bahan/perkakas-perkakas yang diketahui untuk
meniru dan memalsukan benda meterai.

Sanksi: Sesuai dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kepastian hukum,
dapat berupa kurungan atau penjara sesuai dengan Pasal 253 Kitab Undang Undang Hukum
Pidana(KUHP).

1. Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan bea meterai (Pasal 7(2)b) tanpa
seizin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya (tujuh) tahun.
Penanggung jawab sanksi:
1. Untuk sanksi administras i: pemegang dokumen.
2. Untik sanksi pidana : sesuai keputusan pengadilan.

Daluwarsa
Daluwarsa dari kewajiban memenuhi Bea Meterai ditetapkan 5 (lima)tahun,terhitung sejak
tanggal dokumen dibuat.

Page | 137
BAB XIII
REKONSILIASI FISKAL

A. Pengertian Rekonsiliasi Fiskal


Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda
dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan
pajak.” (Agoes dan Trisnawati,2007:177)

B. Fungsi Rekonsiliasi Fiskal


Adanya rekonsiliasi pajak atau koreksi pajak mempunyai sebuah fungsi sebagai penyesuaian
terhadap transaksi sesuai dengan sistem akuntansi keuangan dan peraturan dalam perpajakan yang
berlaku (Undang-Undang perpajakan).

C. Tujuan Rekonsiliasi Fiskal


 Meneliti Kembali Draft Yang Sudah Dibuat

Page | 138
Koreksi fiskal sangat penting dilakukan setelah laporan keuangan dibuat oleh perusahaan. Teliti
kembali draft tersebut sebelum diberikan ke dirjen pajak. Meneliti draft tentu didasarkan data-data
yang sudah ada dengan memperhatikan transaksi, lakukan penyesuaian antara penghasilan oleh
wajib pajak.
 Sebagai Alat Untuk Memenuhi Draf Laporan
Dirjen pajak mengeluarkan aturan dan regulasi kepada wajib pajak. Agar draft bisa terpenuhi
dengan baik maka perusahaan wajib melakukan rekonsiliasi fiskal untuk melihat ada tidaknya
kerancuan pada laporan yang sudah dibuat. Karena jika terjadi kesalahan akibatnya akan terjadi
kesalahan hitung untuk nominal pajak.
 Meminimalisir Adanya Kesalahan Hitung Pajak Dengan Bisnis
Pentingnya koreksi pada fiskal menghindari adanya kesalahan perhitungan pajak, karena dalam
bisnis jika ada nominal angka yang salah bisa jadi akan merugikan perusahaan. Oleh karena itu,
ketelitian dalam melakukan rekonsiliasi fiskal ini dibutuhkan penyesuain data, transaksi hingga
penghasilan yang benar.

D. Koreksi Fiskal Positif dan Negatif


 Koreksi fiskal positif: koreksi fiskal yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau rugi
fiskal berkurang sehingga laba fiskal lebih besar dari laba komersial atau rugi fiskal lebih
kecil dari rugi komersial.
Faktor yang menyebabkan koreksi fiskal menjadi positif:
1. Beban biaya dalam kepentingan pribadi wajib pajak.
2. Imbalan atau penggantian terkait dengan pekerjaan atau jasa.
3. Dana cadangan.
4. Kelebihan pembayaran kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa terkait
dengan pekerjaan yang dilakukan.
5. Pajak penghasilan.
6. Harta yang dihibahkan.
7. Pembayaran gaji kepada pemilik.
8. Sanksi administratif.
9. Selisih penyusutan atau amortisasi komersial.
Page | 139
10. Biaya dalam menerima, menagih, dan menjaga penghasilan yang terkena PPh Final.
11. Kesesuaian dengan fiskal positif lainnya yang tidak berasal dari faktor yang sudah
disebutkan.
Contoh Jenis
1. Pemupukan dana cadangan
2. Pembagian lama dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen
3. Pajak peghasilan
4. Premi Asuransi
 Koreksi fiskal negatif: koreksi fiskal yang mengakibatkan laba fiskal berkurang atau rugi
fiskal bertambah sehingga laba fiskal lebih kecil dari laba komersial atau rugi fiskal lebih
besar dari rugi komersial.
Faktor yang menyebabkan koreksi fiskal menjadi negatif:
1. Selisih komersial di bawah penyusutan fiskal.
2. Pendapatan yang terkena PPh Final serta penghasilan tidak termasuk objek pajak, tetapi
termasuk dalam peredaran usaha.
3. Penyusutan fiskal negatif lainnya.
Contoh Jenis
1. Penghasilan berupa hadian undian
2. Penghasilan dari transaksi saham
3. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta
4. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan

E. Perbedaan Laporan Keuangan Komersian dan Fiskal


Perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal berdasarkan
pembebanannya dapat dibedakan dua macam, yaitu:
1. Beda Tetap
Beda Tetap, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak boleh
dikurangkan pada penghasilan kena pajak. Beda tetap diakibatkan oleh transaksi yang diakui wajib
pajak sebagai pendapatan atau biaya, sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Rekonsiliasi beda
tetap membedakan antara laba kena pajak dengan laba akuntansi sebelum pajak yang muncul

Page | 140
karena transaksi yang -mengacu pada UU Perpajakan- tidak terhapus dengan sendirinya pada
periode lain.
Contoh Biaya:
 Biaya Pajak Penghasilan
 Biaya Sumbangan
 Biaya Sanksi Perpajakan
Contoh Penghasilan:
 Sumbangan
 Penghasilan Bunga Deposito
 Hibah
Contoh Beda Tetap Pada Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. Biaya-biaya lainnya
yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh). Koreksi atas
beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek
pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang
yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil. Koreksi atas beda tetap biaya akan
menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara
fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan
menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.
Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam negeri sebesar Rp
25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri sebesar
20%.
 Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000 (Penghasilan dalam negeri
+ penghasilan luar negeri).
 Total PPh Terutang: 25% × Rp 35.000.000.000 = Rp 8.750.000.000

Page | 141
 PPh Maksimum yang dapat dikreditkan: (Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total
PPh Terutang: (Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000 = Rp
2.500.000.000
Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp 2.500.000.000.
Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak dalam negeri. Namun ingat,
apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah dibayarkan pada pajak dalam
negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan
melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan. Pelaporannya dilengkapi dengan Tax Return yang
dilaporkan di luar negeri dan dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak
di luar negeri.

F. Langkah Rekonsiliasi Fiskal


Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk melakukan rekonsiliasi fiskal, antara
lain:
 Mengenal terlebih dahulu penyesuaian fiskal yang diperlukan
 Menganalisa elemen-elemen penyesuaian guna menentukan pengaruhnya terhadap laba
usaha kena pajak
 Menyesuaikan atau mengoreksi fiskal dengan melakukan koreksi fiskal positif dan negatif
 Menyusun laporan keuangan secara fiskal sebagai lampiran SPT tahunan pajak penghasilan

G. Contoh Rekonsiliasi Fiskal


Dalam ABADI JAYA SENTOSA (AJS) bergerak dalam bisnis perdagangan kain tenun. PT
AJS merupakan wajib pajak badan yang berdomisili di Jepara, Jawa Tengah. Informsasi dan data
laporan keuangan komersial PT AJS pada 2019 adalah sebagai berikut (dalam ribuan rupiah):
Keterangan Tambahan :

Page | 142
 Penyusutan fiskal menggunakan metode garis lurus
 Persediaan akhir dinilai dengan metode LIFO, sedangkan apabila dinilai dengan metode
FIFO sebesar Rp700.000.000
 Membayar PPh pasal 22 sebesar (1,5% x Rp200.000.000) = Rp3.000.000
 Membayar PPh pasal 23 sebesar (2% x Rp10.000.000) = Rp200.000
 Membayar PPh pasal 25 selama 12 bulan untuk setiap masa pajak Rp5.000.000 selama tahun
2019.
Pertanyaan:
1. Buatlah rekonsiliasi fiskal untuk PT. AJS, sehingga diketahui penghasilan kena pajaknya.
2. Hitunglah PPh Pasal 29 untuk tahun pajak 2019.

Page | 143
Page | 144
Page | 145
Penghitungan PPh Pasal 29 PT AJS untuk tahun pajak 2019:

Dengan demikian, PT AJS wajib melunasi sisa kekurangan pembayaran PPh Badan terutang
tahun pajak 2019 sebesar Rp6.550.000 maksimal sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.

Page | 146
DAFTAR PUSTAKA
https://www.rusdionoconsulting.com/rekonsiliasi-fiskal-cara-cocokan-laporan-keuangan-dengan-
perpajakan/
https://www.beecloud.id/pengertian-dan-fungsi-rekonsiliasi-fiskal-di-pelaporan-pajak/
#:~:text=Rekonsiliasi%20fiskal%20merupakan%20lampiran%20SPT,yang%20meliputi
%20pendapatan%20dan%20beban.
https://www.terraveu.com/pengertian-rekonsiliasi-fiskal/
https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pengertian-koreksi-fiskal/
https://dosen.perbanas.id/koreksi-fiskal/?print=print
https://www.terraveu.com/rekonsiliasi-fiskal/
https://id.scribd.com/doc/206632405/Ketentuan-Umum-Dan-Tata-Cara-Perpajakan-Uu-No-28-Tahun-
2007
http://makalah2107.blogspot.com/2016/06/ketentuan-dan-tata-cara-Perpajakan.html
https://www.academia.edu/31312861/
MAKALAH_KETENTUAN_UMUM_DAN_TATA_CARA_PERPAJAKAN
https://id.scribd.com/doc/164223809/Ketentuan-Umum-Perpajakan
Mardiasmo. 2018. Perpajakan. Yogyakarta : ANDI.
https://pajak.go.id/id/bea-meterai-0
https://lldikti13.kemdikbud.go.id/2021/02/04/aturan-bea-meterai-2021-serta-rincian-lengkap-dokumen-
yang-terkena-bea-meterai-rp-10-000/
https://bit.ly/36wVyFc
Mardiasmo.2018.Perpajakan.Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Pratiwi, Widya. Ariyanto M. Eva Marlina.(2020). Jurnal Manajemen Universitas Bung Hatta. Pengaruh
pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Perolehan ha katas tanah bangunan (BPHTB) terhadap
pajak daerah kabupaten Bungo. Vol. 15, No. 1. 30 – 39.
Mardiasmo. 2018. Perpajakan. Yogyakarta : ANDI.
Resmi,Siti . 2013. Perpajakan. Jakarta : Selemba Empat.
http://repository.polimdo.ac.id/821/1/Freine%20Humaisi.pdf
Mardiasmo.2018.Perpajakan.Yogyakarta: Andi Yogyakarta

Page | 147
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/buku%20pph%20upload.pdf
http://e-journal.uajy.ac.id/2720/3/2EA14761.pdf
Mardiasmo. 2011. Perpajakan. Yogyakarta: CV Andi OffsetWaluyo. 2010.
Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
Tjahjono, Achmad, (2009). Perpajakan. Yogyakarta: STIM YKPN
Diana, Anastasia, (2010). Perpajakan Indonesia (Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis). Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta
https://makalahubb.blogspot.com/2017/05/makalah-perpajakan-pajak-penghasilan_96.html
https://pajak.go.id/id/pph-pasal-22
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/buku%20pph%20upload.pdf.
https://www.online-pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-22.
https://www.online-pajak.com/sites/pajak/files/uploaded-files/15-pmk-010-107-lampiran-pph-22.pdf
https://fiskal.kemenkeu.go.id/fiskalpedia/2021/07/13/173618726358430-pajak-pertambahan-nilai-ppn,
Diakses pada tanggal 24 April 2022 pukul 08:00 WIB
PP 61 tahun 2020
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001800/pendidikan/BUKU+PERPAJAKAN.pdf, Diakses pada
tanggal 03 Maret 2022 pukul 08:02 WIB
https://www.journals.segce.com/index.php/KARTI/article/download/48/50/, Diakses pada tanggal 03
Maret 2022 2021 pukul 08:06 WIB
http://eprints.unm.ac.id/13463/1/Buku%20Saku%20Perpajakan1.pdf, Diakses pada tanggal 11 Februari
2022 pukul 08:00 WIB
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001800/pendidikan/BUKU+PERPAJAKAN.pdf, Diakses pada
tanggal 11 Februari 2022 pukul 08:02 WIB
https://www.journals.segce.com/index.php/KARTI/article/download/48/50/, Diakses pada tanggal 11
Februari 2022 2021 pukul 08:06 WIB

Page | 148

Anda mungkin juga menyukai