PRODI S1 MANAJEMEN
& AKUNTANSI
FE UNIMED
Skor Nilai :
EBOOK PERPAJAKAN
Dosen Pengampu:
Erny Luxy D. Purba, SE., M.Si
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK 12
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga tugas project
Perpajakan yaitu Ebook Perpajakan ini dapat tersusun hingga selesai. Kami ucapkan terima kasih
kepada dosen Perpajakan, Ibu Erny Luxy D. Purba, SE., M.Si. Tidak lupa kami ucapkan terima
kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun tenaga.
Harapan kami semoga tugas project Perpajakan yaitu Ebook Perpajakan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca sehingga kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah perpajakan ini agar menjadi lebih baik lagi,
baik dari segi penyusunan materi maupun penyajian kalimat.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam tugas ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas project Perpajakan ini.
Kelompok 12
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...3
ISI BUKU
BAB I…………………..……………………………………………………………………….....6
BAB II …………………..
……………………………………………………………………….14
BAB III…………………..………………………………………………………………………24
BAB IV…………………..………………………………………………………………………34
BAB V…………………..……………………………………………………………………….46
BAB VI…………………..………………………………………………………………………64
BAB VII…………………..……………………………………………………………………..73
BAB VIII.…………………..……………………………………………………………………80
BAB IX…………………..………………………………………………………………………97
BAB X.…………………..……………………………………………………………………..103
BAB XI…………………..……………………………………………………………………..111
BAB XII…………………..
…………………………………………………………………….127
BAB XIII.…………………..…………………………………………………………………..138
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..146
KOMPETENSI DASAR
1. Mengetahui secara umum isi materi mata kuliah Perpajakan dan dapat mengetahui isi materi
secara keseluruhan dan mampu menjelaskan pengertian pajak, fungsi pajak, sistem
pemungutan pajak, asas pengenaan pajak yang termasuk dalam Dasar-dasar Perpajakan.
2. Mampu menjelaskan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) antara lain
pengertian WP, masa pajak dan tahun pajak, kewajiban mendaftarkan diri, dan kewajiban
membayar pajak dan menjelaskan sanksi administrasi jika WP melanggar peraturan
perpajakan.
3. Mampu menjelaskan tentang perbedaan antara Subjek Pajak dan Wajib Pajak Penghasilan,
dan mampu menjelaksan Obyek PPh dan tarif PPh serta mampu menjelaskan perhitungan
PPh dengan tarif umum dan norma penghitungan PPh.
4. Mampu menjelaskan Subyek PPh dan Pengecualiannya, Pemotong dan bukan Pemotong PPh
21, Obyek PPh dan Pengecualiannya.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme pemotongan PPh 21/26 dan menghitung PPh
21/26 untuk karyawan tetap yang menerima Penghasilan Teratur.
6. Mampu menghitung dan menjelaskan perhitungan PPh 21/26 untuk karyawan tetap yang
menerima Penghasilan Teratur dan Tidak Teratur, perhitungan PPh 21 untuk karyawan yang
bekerja tidak setahun penuh dan perhitungan PPh 21 untuk karyawati.
7. Mampu menghitung dan menjelaskan tentang PPh 21/26 untuk karyawan yang menerima
honorarium, perhitungan PPh 21 untuk karyawan yang menerima hadiah penghargaan dan
perhitungan PPh 21 untuk karyawan dengan status WP Luar Negeri.
8. Mampu menghitung dan menjelaskan mekanisme pemungutan PPh pasal 22 dan 24 , dan
membedakan Pemungut dan objek non objek dan mampu menerapkan dalam penghitungan
PPh pasal 22 dan 24.
9. Mampu menghitung dan menjelaskan mekanisme pemotongan PPh 23/26, membedakan
Pemotong, Subjek non subjek dan objek non objek dan mampu menerapkan dalam
penghitungan PPh.
Page | 4
10. Mampu menjelaskan mekanisme angsuran PPh 25 dan dapat membedakan PPh final dan
tidak final dan dapat menjelaskan cara pengisian SPT PPh WP Orang Pribadi.
11. Mampu menjelaskan pengertian karakteristik PPN dan PPnBM, Mekanisme Kredit Pajak,
Faktur Pajak, pajak Masukan dan Pajak Keluaran.
12. Mampu menjeaskan pengertian Dasar Pengenaan PPN, Cara Pengenaan PPN, Perhitungan
PPN untuk Aktiva dan Membangun Sendiri
13. Mampu menjelaskan pengertian subyek, obyek dan Pengecualiannya dan mampu
menjelaskan cara Perhitungan PBB.
14. Mampu menjelaskan pengertian subyek , obyek dan pengecualiannya dan mampu
menjelaskan cara Perhitungan BPHTB dan Bea Meterai.
15. Mampu menjelaskan pengertian rekonsiliasi fiskal, koreksi positif, koreksi negatif, beda
waktu dan beda tetap.
Page | 5
BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PERPAJAKAN
A. Pengertian Pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat
1 berbunyi pajak adalah kontibusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.
Berikut beberapa pengertian pajak menurut para ahli, yaitu:
Prof. Dr. P.J.A. Adriani: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
Mr. Dr. N. J. Feldmann: Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang
kepada penguasa, menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum, tanpa adanya
kontra-prestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran Umum.
Prof. Dr. M.J.H. Smeets: Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
Pemerintah.
Dr. Soeparman Soemahamidjaja: Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Page | 6
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-
prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.
B. Fungsi Pajak
Fungsi pajak adalah untuk mengumpulkan dana yang diperlukan pemerintah membiayai
pengeluaran belanja negara guna kepentingan dan keperluan seluruh masyarakat.
Fungsi Finansial (Budgeter): Pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah guna
mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk pengeluaran pemerintah dan pembangunan
negara.
Fungsi Mengatur (Regulerend): Untuk memberikan kepastian hukum. Terutama dalam
menyusun undang-undang pajak senantiasa perlu diusahakan agar ketentuan yang
dirumuskan jangan menimbulkan interpretasi yang berbeda antara Fiskus dan Wajib Pajak.
Fungsi Alat Penjaga Stabilitas: Bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan
menjaga agar defisit perdagangan tidak semakin melebar, pemerintah dapat menetapkan
kebijakan pengenaan PPnBM.
Fungsi Sarana Redistribusi Pendapatan: Pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai
pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya dan jembatan. Kebutuhan akan dana itu dapat
dipenuhi melalui pajak yang hanya dibebankan kepada mereka yang mampu membayar
pajak.
C. Manfaat Pajak
Pajak memiliki manfaat yang sangat besar bagi rakyat dan pembangunan Indonesia. Melalui
pajak yang kita bayar, pemerintah akan memiliki pendanaan untuk membiayai berbagai
pembangunan fisik, menggaji pegawai negeri, bahkan membantu korban bencana alam. Menurut
Hadi (2013) manfaat pajak yaitu:
Pendidikan
Pembangunan fasilitas dan infrastruktur
Dana alokasi umum
Page | 7
Pemilihan umum
Penegakan hukum
Subsidi pangan
Subsidi BBM
Pelayanan kesehatan
Pertahanan dan keamanan (hankam)
Pelestarian lingkungan hidup
Penanggulangan bencana
Pelestarian budaya
Transportasi massal
Menyediakan biaya listrik yang relative terjangkau oleh masyarakat
Page | 8
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah
dari hasil pemungutannya.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang undang perpajakan yang
baru.
F. Pengelompokkan Pajak
Pajak dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu:
Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan.
Page | 9
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
Menurut sifatnya
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau bersandarkan pada subjeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak penghasilan.
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak pertambahan nilai pertambahan nilai dan pajak
penjulan atas barang mewah.
Menurut pemungut dan pengelolanya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara. Contoh: pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan
nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan
(PBB), dan bea materai. Mulai tahun 2012 PBB dikelola oleh daerah.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah..
Contoh:
1). Pajak Daerah Tingkat I: Pajak kendaaan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik
nama kendaaan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak pengambilan dan pemanfaatan air tanah
dan air permukaan.
2) Pajak Daerah Tingkat II: Pajak hotel dan restoran, pajak reklame, pajak, hiburan, pajak
penerangan jalan.
G. Pemungutan Pajak
Cara pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel:
Stelsel nyata (riil stelsel)
Pemungutan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan
yang baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya
diketahui. Stelsel nyata memiliki kelebihan atau kebaikan, dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini
adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahanya pajak baru dapat dikenakan
pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
Page | 10
Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu aggapan yang diatur oleh suatu Undang Undang.
Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal
tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada
akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan
yang sesungguhnya.
Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Yakni pada
awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun
besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut
kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah.
Sebaliknya jika besarnya pajak menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak menurut anggapan,
maka wajib pajak dapat minta kembali kelebihannya (direstitusi) dapat juga dikompensasi.
Page | 13
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Page | 14
5. Mengajukan permohonan penundaaan atau pengangsuran pembayaran pajak
6. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak
7. Meminta kembalian kelebihan pembayaran pajak
8. Mengajukan permohonan penghapusan dan pemgurangan sanksi, serta pembetualan surat
ketetapan pajak yang salah
9. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajak
Page | 15
1. Undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 yang telah diubah dengan uu no. 11 tahun 1994
pasal 1
2. Undang-undang pajak penghasilan 1984 yang telah diubah dengan undang nomor 10 tahun 1994
pada pasal 22 ayat (1)
3. Keppres no. 56 tahun 1988, antara lain mengatur:
4. Keppres no. 16 tahun 1994 atau no. 24 tahun 1995 pasal 2 ayat2
Wajib pajak yang juga termasuk pemungut dan pemotong pajak tertentu menurut uu diatas antara
lain:
Kpn
bendaharawan pemerintah pusat dan daerah (tk i + tk ii)
pertamina
kontraktor bagi hasil dan kontrak karya di bidang minyak dan gas bumi
pertambangan umum lainnya
bumn dan bumd
bank pemerintah dan bpd
D. Nomor pokok wajib pajak (npwp)
Nomor pokok wajib pajak adalah suatu sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. Adapun fungsi nomor pokok wajib pajak
yaitu sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dan untuk menjaga ketertiban dalam
membayar pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Pendaftaran npwp
Semua wajib pajak berdasarkan system self assesment wajib mendaftarkan diri pada kantor
direktorat jendral pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib
pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak sekaligus mendapat npwp. Kewajiban mendaftarkan ini
berlaku pula untuk wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisah
penghasilan dan harta. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh npwp dibatasi jangka
waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak
terutang jangka waktu pendaftaran npwp adalah:
Page | 16
• bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak
badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat satu bulan setelah usahanya mulai dijalankan.
• wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau pekerjaan bebas apabila
sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi ptkp
setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan npwp akan dikenakan
sanksi perpajakan. Bagi mereka yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, atau
menyalahgunakan atau tanpa hak npwp sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah
pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Penghapusan npwp
Nomor pokok wajib pajak dapat dihapus, antara lain karena:
• wajib pajak orang pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan;
• wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
• warisan yang telah selesai dibagi;
• wajib pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
• bentuk usaha tetap (but) yang telah kehilangan setatusnya sebagai bentuk usaha tetap;
• wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud diatas yang tidak memenuhi syarat
sebagai wajib pajak.
E. Surat pemberitahuan (spt)
Surat pemberitahuan (spt) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Adapun fungsi sptadalah:
1. Fungsi spt bagi wajib pajak penghasilan:
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang.
untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan
atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak atau
bagian tahun pajak.
Page | 17
untuk melaporkan pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan ;ain dalam satu masa pajak, yang ditentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi spt bagi pengusaha kena pajak
• sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang sebenarnya terutnag.
• untuk melaporkan perkriditan pajak masukan terhadap pajak keluaran.
• untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dialksanakan oleh pengusaha
kena pajak dan atau pihak lain dalam satu masa pajak, yang telh ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Fungsi spt bagi pemotong atau pemungut pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya.
Page | 18
• jumlah pajak yang masih harus dibayar atas kekurangan dan jumlah pajak yang lebih dibayar.
Jenis-jenis spt
spt masa adalah spt yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan
pembayaran pajak terutang dalam suatu masa pajak (suatu saat tertentu).
spt tahunan adlah spt yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan dan
pembayaran pajak terutang dalam suatu tahun pajak.
F. Surat pembayarann pajak (spp)
Surat setoran pajak adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran
atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui kantor pos dan atau bank badan usaha
milik negara atau bank badan usaha milik daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
menteri keuangan. Adapun fungsi spp adalah sebagai sarana untuk membayar pajak dan sebagai
bukti dan laporan pembayaran pajak. Tempat pembayaran dan penyetoran pajak dapat dilakukan di
bank-bank yang ditunjuk oleh direktorat jendral anggaran, kantor pos, bank-bank bumn atau bumd,
tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.
Page | 19
Penerbitan stp biasanya diikuti dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk
selama-lamanya 24 bulan (maks. 48%).
Contoh:
Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak penghasilan
pasal 25 tahun 1995 setiap bulan sebesar rp 100.000.000 dan jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15.
Pada bulan juni 1995 dibayar tepat waktu sebesar rp 40.000.000. Atas kekurangannya diterbitkan stp
tangggal 18 september 1995, maka penghitungannya adalah:
- kekurangan pajak penghasilan pasal 25
bulan juni tahun 1995 ………………….rp 60.000.000
- bunga (3 x 2% x rp 60.000.000)………..rp 3.600.000 +
- jumlah yang masih harus dibayar ……….rp 63.600.000
Fungsi stp adalah sebagai berikut:
1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang spt wajib pajak.
2. Sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
3. Alat untuk menagih pajak.
Selain itu stp (surat tagihan pajak) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak. Sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan surat paksa.
Page | 20
4. Tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan
pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
Skpkb dapat dilakukan setelah lewat jangka waktu 10 tahun ditambah sanksi bunga sebesar 48%
dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar. Pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan yaitu
suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada jumlah yang harus ditagih. Sanksi
administrasi berupa kenaikan ini untuk jenis pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam 1 tahun, sanksi kenaikannya sebesar 50%. Untuk jenis pajak penghasilan yang dipotong oleh
orang atau badan lain dan jenis pajak ppn dan ppnbm ditetapkan sebesar 100% dari besarnya pajak
yang tidak atau kurang dibayar. Adapun fungsi skpkb adalh sebagai kreksi atas jumlah yang terutang
menurut spt-nya, sarana untuk mengenakan sanksi dan alat untuk menagih pajak.
Page | 21
yang tidak atau kurang dibayar apabila wajib pajak terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dan telah diputus oleh hakim serta mempunyai kekuatan hokum yang tetap (in kracht van
gewijsde). Funsi skpkbt adalah sebagai berikut:
koreksi atau jumlah yang terutang menurut spt-nya.
saran untuk mengenakan sanksi.
alat untuk menagih pajak.
Page | 22
L. Surat pemberitahuan pajak terhutang (sppt)
Sppt diatur dalam pasal 10 ayat 1 undang-undang no. 12 tahun 1994 tentang pajak bumi dan
bangunan (pbb). Sppt akan dikeluarkan berdasarkan surat pemberitahuan objek pajak (spop) yang
telah disampaikan oleh wajib pajak atau berdasrkan data objek pajak yang telah ada pada kantor
pelayanan pajak bumi dan bangunan (kppbb). Sppt yang telah diterbitkan oleh kppbb, pelunasannya
harus diselesaikan selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya sppt oleh wajib pajak. Bila
sppt tidak dilunasi, maka akan dikenakan sanksi berpa denda administrasi sebesar 2% sebulan
dihitung dari saat jatuh tempo sampai hari pembayaran utnuk jangka waktu selama-lamanya 24
bulan.
M. Daluwarsa penetapan
Daluwarsa penetapan menurut pasal 13 undang-undang kup adalah selama 10 tahun. Artinya,
direktorat jenderal pajak diberikan batas waktu sampai dengan 10 tahun untuk mengeluarkan
ketetapan pajak (skpkb) atas utang wajib pajak. Apabila dalam waktu 10 tahun direktorat jenderal
pajak tidak mengeluarkan ketetapan pajak (skpkb), pengeluaran skpkb tidak dapat lagi dilakukan.
Dengan demikian utang wajib pajak menjadi daluwarsa.
Page | 23
BAB III
PAJAK PENGHASILAN UMUM
A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN ATAU PPh
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan
atas penghasilan yang diterima dalam satu tahum pajak. Penghasailan yang
dimaksud dapat berupa gaji, laba usaha, honorium, hadiah dan pendapatan lainnya
yang dapat menambah kekayaan bagi Wajib Pajak. Definisi Pajak Penghasilan atau
PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu penghasilan yang diperoleh Wajib
Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri.
Pajak Penghasilan (PPh) menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 Pasal 1
adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 adalah tahun takwim,
namun wajib pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas)
bulan.
Pajak penghasilan merupakan pajak langsung yang dipungut pemerintah pusat atau
merupakan pajak negara. Sebagai pajak langsung, maka pajak penghasilan tersebut
menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan, dalam arti bahwa pajak
penghasilan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain atau dimasukan dalam
kalkulasi harga jual maupun sebagai biaya produksi. Dasar hukum PPh adalah
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. UU ini
mengalami empat kali perubahan, yakni:
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU No.7/1983 tentang
Pajak Penghasilan
• Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No.7/1983
Page | 24
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No.7/1983
tentang Pajak Penghasilan
• Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7/1983
Page | 26
a. Kantor perwakilan negara asing.
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik.
c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota
organisasi tersebut dan 2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia. Pejabat perwakilan organisasi internasional
adalah pejabat yang diangkat atau ditunjuk langsung oleh induk organisasi
internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan
pada kantor perwakilan organisasi internasional tersebut di Indonesia.
Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
c. Laba usaha
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan.
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
Page | 27
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan; Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada
pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan
nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerinta
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
n. Premi asuransi, termasuk premi reasuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
r. Imbalan bunga
s. Surplus Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak
Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah
dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Penghasilan yang
Dikenai PPh Final Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
Page | 28
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah
Dikecualikan dari Objek Pajak
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan 2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
2. Warisan;
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau a. Pajak yang menggunakan norma penghitungan
khusus (deemed profit);
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia;
7. Iiuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
Page | 29
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan papasangan usaha tersebut: 1. merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektorsektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan 2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
14. Hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundii dan hadiah tersebut diterima langsung
oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
C. JENIS JENIS PEMBAYARAN PAJAK
Jenis-jenis PPh Wajib Pajak Badan
A. Pajak Penghasilan Pasal 21
Pengertian PPh Pasal 21 berdasarkan peraturan Direktorat Jenderal Pajak PER-
32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri.
B. Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh pasal 22 biasanya dikenakan kepada badan usaha tertentu, baik usaha milik
pemerintah, ataupun swasta yang kegiatannya berhubungan dengan perdagangan
ekspor/impor dan juga penjualan barang mewah. Namun untuk tarif PPh 22
sedikit lebih rumit daripada pph lainnya.Untuk pihak pemungut PPh 22 seperti :
a) Badan pemerintah Pusat/Daerah dan juga lembaga pemerintahan yang
berhubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang.
Page | 30
b) Badan-badan tertentu, seperti badan pemerintah dan juga badan swasta yang
berhubungan dengan kegiatan pada bidang ekspor dan impor.
c) Wajib pajak tertentu yang melakukan penjualan barang mewah.
C. Pajak Penghasilan Pasal 23
PPh pasal 23 merupakan pajak yang dipotong oleh pemungut pajak yang
dikenakan pada penghasilan atas penyerahan jasa, hadiah, royalti, dan lainnya
selain yang telah di potong oleh PPh Pasal 21. Untuk tarifnya akan di kenakan
atas nilai DPP dari penghasilannya dan pada PPh ini ada dua jenis tarif yang
akan dikenakan adalah 15% dan 2% tergantung pada objeknya contohnya seperti
imbalan jasa maka akan dikenakan tarif sebesar 2%.
D. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2
PPh pasal 4 Ayat 2 ini merupakan pajak atas jenis penghasilan yang wajib pajak
dapatkan dan pemotongannya bersifat final oleh wajib pajak badan maupun
wajib pajak pribadi dan tidak bisa di kreditkan dengan pajak penghasilan
terutang. PPh 4 ayat 2 mempunyai tarif yang berbeda-beda untuk setiap jenis
pajaknya maka dari itu PPh 4 ayat 2 ini sering di katakan PPh Final juga.
E. Pajak Penghasilan Pasal 25
Pajak penghasilan ini merupakan pajak penghasilan yang dibayar secara
angsuran dengan tujuan agar meringankan beban wajib pajak dan pajak
terutangnya dilunasi dalan jangka waktu satu tahun dan pembayarannya tidak
dapat diwakilkan melainkan harus dilakukan sendiri.
F. Pajak Penghasilan Pasal 26
Pph pasal 26 merupakan pajak penghasilan yang dipotong dari badan usaha di
Indonesia atas transaksi pembayaran seperti gaji, bunga dan sejenisnya kepada
Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
G. Pajak Penghasilan Pasal 29
PPh pasal 29 merupakan PPh kurang bayar dalam SPT Tahunan PPh yang
dihasilkan dari nilai pajak terutang dikurangi dengan kredit PPh (PPh 21,
22,23 dan 24) dan PPh pasal 25 dari suatu perusahaan dalam satu tahun pajak.
H. Pajak Penghasilan Pasal 15
PPh pasal 15 adalah pajak yang dipungut dari wajib pajak yang mempunyai atau
pada bidang industry pelayaran dan juga penerbangan international. Adapun
bisnis lain yang bisa terkena PPh 15 yaitu seperti perusahaan pengeboran
minyak.
D. CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN
Tarif Pajak Penghasilan Penentuan tarif pajak merupakan salah satu cara untuk
menciptakan keadilan dalam masyarakat. Tarif pajak adalah tarif untuk
menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayarkan).Besarnya tarif
pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya
Page | 31
pajak penghasilan.Tarif yang selama ini diterapkan di Indonesia dapat dibedakan
menjadi 4 macam tarif (Waluyo, 2003)
1. Tarif Proposional
Tarif pajak proporsional adalah yaitu tarif yang berupa presentase tetap terhadap
jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Sering disebut tarif
tunggal karena hanya menggunakan satu tarif dengan persentase tetap.Seperti tarif
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) 10%, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 0,5%, dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah Bangunan (BPHTB) 5%.
2. Tarif Progresif
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar
apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Tarif ini
digunakan pada Pajak Penghasilan di Indonesia (sesuai Pasal 17 UU PPh) yaitu:
Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 25.000.000,00 5%
Diatas Rp. 25.000.000,00 s.d Rp. 50.000.000,00 10%
Diatas Rp. 50.000.000,00 s.d Rp. 100.000.000 15%
Diatas Rp. 100.000.000 s.d Rp. 200.000.000,00 25%
% Diatas Rp. 200.000.000,00 35%
Sumber : UU PPh No 17 (2000)
Tarif Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Tarif Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 10%
Diatas Rp. 50.000.000,00s.d Rp. 100.000.000,00 15%
Diatas Rp. 100.000.000,00 30%
Sumber : UU PPh No 17 (2000)
Catatan :
• Tarif tertinggi dalam ketentuan tersebut dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%
sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
• Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dalam ketentuan tersebut dapat diubah sesuai
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
• Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah penghasilan dibulatkan kebawah sampai
ribuan rupiah penuh.
3. Tarif Degresif
Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin menurun apabila
jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.
4. Tarif tetap
Tarif pajak tetap adalah tarif yang jumlahnya tetap (samabesar) terhadap
berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak
Page | 32
Cara Menghitung Pajak Penghasilan
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang sama dengan tarif pajak dikalikan
dengan Penghasilan Kena Pajak.
PPh = Tarif Pasal 17 UU PPh x Penghasilan Kena Pajak
Sumber: Resmi, 2007
PAJAK PENGHASILAN BADAN
Laba (Rugi) Sebelum Pajak Rp
XXXX
Koreksi Fiskal Positif
Rp XXXX
Koreksi Fiskal Negatif
(Rp XXXX)
Laba yang dikenakan Pajak / Penghasilan Kena Pajak
Rp XXXX
Tarif Pajak Penghasilan Badan
tarif___ x
Jumlah Pajak Penghasilan Badan
Rp XXXX
Uang Muka PPh Badan (Pasal 25)
Rp XXXX____ _
PPh Badan Lebih (Kurang) Bayar
Rp XXXX
BAB IV
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26
Dasar hukum Pajak Penghasilan pasal 21 adalah UU no. 36 Tahun 2008, yang dimaksud
dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
Page | 33
Pajak penghasilan pasal 26 adalah pajak atas penghasilan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
di Indonesia
Tarip pajak penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang
wajib membayarkan: dividen;. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 26 Undang Undang No. 10 Tahun 1994 ,Undang Undang No. 17
Tahun 2000 dan terakhir Undang Undang No. 36 Tahun 2008.
Jumlah PPh pasal 21 yang dipotong adalah tidak bersifat final, maka merupakan kredit pajak
dan dapat diperhitungkan sebagai angsuran pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan
pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan. Apabila PPh pasal 21 yang dipotong adalah
bersifat final, maka tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.
Pemotong Pajak atau Subjek Pajak atas PPh Pasal 21/26 adalah :
Pemberi kerja terdiri atas orang pribadi dan badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap
(BUT) baik merupakan induk atau cabang perwakulan atau unit.
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada pemerintah pusat, pemerintah
daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga lembaga negara lainnya dan kedutaan
besar RI di luar negeri.
Dana pensiun, PT. Taspen, PT. Jamsostek dan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja lainnya, atau badan badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau
Tunjangan Hari Tua (THT).
Yayasan, lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan dan organisasi dalam bentuk apapun
dalam bidang kegiatan.
Badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai
Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
BUMN dan BUMD
Tidak termasuk sebagai Subjek Pajak PPh pasal 21/26 adalah :
Badan Perwakilan Negara lain
Badan atau organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Page | 34
L. Penerima Penghasilan
Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah orang pribadi
yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari
pemotong pajak, yang meliputi :
Pegawai tetap, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau
memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris
dan anggota dengan pengawas yang secara teratur dan terus menerus ikut mengelola kegiatan
perusahaan secara langsung.
Pegawai lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima
imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
Pegawai dengan status Wajib pajak luar negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau menerima
imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli
warisnya yang menerima tabungan hari tua atau Tunjangan Hari Tua (THT).
Penerima honorium, komisi dan imbalan lainnya sehubungan dengan jasa, jabatan yang
dilakukannya.
Penerima upah, adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, borongan
atau upah satuan.
1. Upah harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah hari kerja.
2. Upah mingguan adalah upah yang terutang atau yang dibayarkan secara mingguan.
3. Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian
pekerjaan tertentu.
4. Upah satuan adalah upah yang terutang atau yang dibayarkan atas dasar banyaknya
satuan yang dihasilkan.
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan di atas adalah :
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
Page | 35
mereka. Dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan di luar jabatannya.
Pejabat perwakilan organisasi internasional yang diatur dalam Kep. Men. Keu, sepanjang
bukan WNI dan tidak menjalankan usaha dan melakukan kegiatan atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan di Indonesia.
Page | 37
Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib pajak
yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif
yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP).
Tarif pajak dikenakan:
Atas Penghasilan Kena Pajak
Tarif berdasarkan Pasal 17 diterapkan atas penghasilan kena pajak dari:
1. Pegawai tetap, termasuk pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI dan
pejabat Negara lainnya, Pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan komisaris dan
dewan pengawas yang merangkap pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
2. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan
3. Pegawai tidak tetap pemagang dan calon pegawai.
Atas Penghasilan Bruto
Tarif berdasarkan pasal 17 diterapkan atas penghasilan bruto berupa:
1. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan
atas jasa atau kegiatan yang jumlah dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang
diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan.
2. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
3. Jasa produksi, bonus, THR yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.
Tarif 15% Final
1. Hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2. Penghasilan yang berupa honorarium dan imbalan lain selain gaji, pensiun dan tunjangan
lain yang terkait dengan gaji, yang dibayarkan kepada pejabat negara, PNS, anggota
ABRI, Pensiunan PNS dan pensiunan ABRI, yang sumber dananya berasal dari
keuangan negara atau daerah.
Tarif 20%
1. Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan pada
penghasilan bruto yang diterima atau yang diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan,
Page | 38
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status wajib pajak luar
negeri.
2. PPh Pasal 26 di atas tidak bersifat final dalam hal orang pribadi yang sebagai wajib pajak
luar negeri tersebut berubah status menjadi wajib pajak dalam negeri.
Page | 41
Kemudian dihitung penghasilan neto setahun (dari uang pensiun) dengan cara penghasilan
neto sebulan tersebut kemudian dikalikan dengan banyaknya bulan penerima pensiun yang
bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember.
Kemudian dihitung penghasilan neto yang diterima selama setahun takwim penuh (selama
12 bulan). Penghasilan setahun takwim dihitung dengan cara penghasilan neto setahun dari
uang pensiun (pada angka 3 di atas) ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang
bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang
bersangkutan pensiun.
Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan neto selama setahun takwim
(pada angka 4) dikurangi dengan PTKP.
Dihitung PPh Pasal 21 setahun takwim dengan cara Penghasilan Kena Pajak (pada angka 5)
dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17.
PPh pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan (pada angka 6 di atas)
dihitung dengan cara mengurangi PPh pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum
pegawai yang bersangkutan pensiun, sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan
PPh Pasal 21 sebelum pensiun.
PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada
angka 7 diatas, dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud pada angka 3.
Page | 42
T. PPh 21 atas Uang Pensiun
Penghasilan yang diterima pegawai harian, mingguan, pemagang dan pegawai tidak tetap
lainnya, dapat berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku
harian, penghasilan bruto tersebut di atas yang besarnya tidak lebih dari Rp150.000 sehari tidak
dikenakan PPh pasal 21.
Apabila penghasilan tersebut jumlah brutonya melebihi Rp150.000,00 sehari dikenakan pajak.
Pajak yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif sebesar 5%. Besarnya PTKP
harian tidak dipengaruhi status penerima upah. Ketentuan PTKP sehari tersebut diterapkan dengan 2
syarat yaitu:
Apabila penghailan bruto dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp1.320.000.
Apabila penghasilan tersebut dibayarkan secara bulanan maka PTKP yang dapat
dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.
1. Upah harian
Pegawai harian atau pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan berupa upah harian dan
uang saku harian dikenakan PPh pasal 21 dengan cara penghitungan sbb:
a. Dihitung penghasilan bruto satu hari yang berupa upah harian atau uang saku harian.
b. Kemudian dihitung penghasilan sebagai dasar penerapan tarif, dengan cara penghasilan
bruto sehari dikurangi dengan PTKP harian sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)
sehari.
c. Dihitung PPh pasal 21 dari upah harian dengan cara penghasilan sebagai dasar penerapan
tarip di atas dikalikan dengan tarif 5% (tidak bersifat final)
2. Upah satuan
Pegawai lepas atau pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan berupa upah satuan,
dikenakan PPh pasal 21 dengan cara penghitungan seperti pada upah harian di atas. Hanya saja,
untuk penerapan PTKP harian, upah satuan diperhitungkan dahulu menjadi upah satu hari.
3. Upah borongan
Page | 43
Pegawai lepas atau pegawai tidak tetap yang menerima penghasilan berupa upah borongan,
dikenakan PPh pasal 21 dengan cara penghitungan seperti pada upah harian di atas, untuk penerapan
PTKP harian, upah borongan diperhitungkan dahulu menjadi upah satu hari dengan cara banyaknya
hari yang dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan tersebut
a. Uang Pesangon
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola
Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan
dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai
berikut:
1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah);
2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasiian bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
3. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
4. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000.00 (lima
ratus juta rupiah).
b. Uang Manfaat Pensiun
Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada
orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Page | 44
Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara
jaminan sosial renaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah
ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
1. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000.00 (lima
puluh juta rupiah)
2. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)
e. Sifat Pemotongan PPh pasal 21
Atas penghasiian yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan pasal 21 yang bersifat final, kecuali dalam hal terdapat bagian
penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya.
BAB V
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Page | 45
Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22
(PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak
terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat
bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit
dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. Pada umumnya, PPh Pasal
penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena
itulah, PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.
Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah , instansi atau lembaga
pemerintah, dan lembaga-lembaga tinggi lainnya. PPh Pasal 22 dikenakan terhadap pembayaran
atas penyerahan barang kepada badan pemerintah atau kegiatan import atau kegiatan di bidang
usaha tertentu.
Dalam Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 ada tiga hal yang menjadi focus pe¬mungutan pajak,
yaitu :
a.Bendaharawan Pemerintahan Pusat atau daerah, instansi atau lembaga peme¬rintahan dan
lembaga-lembaga Negara lainnya, berkenaan dengan pembayar¬an atas penyerahan barang biasa
b.Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenan dengan kegiatan
c.Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di
bidang tertentu, yaitu industri semen, industri rokok kre¬tek atau putih, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, penjualan hasil produksi pertamina, penyaluran oleh bulog.
Page | 46
B. Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.03/2010 menyebutkan pemungut PPh Pasal
22 adalah :
1.Bank Devisa dan Direktorat Jendal Bea dan Cukai atas impor barang.
2.Bendahara Pemerintahan dan Kuasa Penguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintahan dan lembaga-
3.Bendahara mengeluarkan untuk pembayaran yang dilakukan dengn mekanisme uang persedian
(UP)
4.Kuasa Pengguna anggaran (KPA) atau pejabat penerbitan surat perintah membayar yang diberi
delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme
5.Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
dan industri otomotif yang ditunjukkan oleh kepala kantor pelayanan pajak, atas penjualan hasil
6.Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atau penjualan bahan bakar
7.Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 253/PMK.03/2008 menyebutkan Pemungut PPh pasal
22 adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang tergolong sangat mewah yaitu :
1.Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh milyar
Page | 47
rupiah).
2.Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah).
3.Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500m2 (lima ratus
meter persegi).
4.Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat
5.Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep,
sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari
3.000 cc.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 57/PJ/2010 pasal 2 menegaskan sebagai berikut :
1.Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
2.Dalam hal badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengolah atau memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil produksinya
menjadi produk antara dan/atau produk hilir sehingga badan usaha tersebut melakukan kegiatan
produksi secara terintegrasi, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 dipungut atas penjualan produk
3.Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri otomotif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf e adalah badan usaha yang bergerak dalam bidang industri otomotif, termasuk
Page | 48
ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek), APM (Agen Pemegang Merek), dan importir umum
kendaraan bermotor.
4.Pedagang pengumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf g adalah badan atau orang
b.menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor
1.Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
2.Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai;
3.Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
4.Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan
perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh
a.pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling
banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-
pecah;
b.pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank BUMN) yang
Page | 49
jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan
c.pembayaran untuk:
pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
d.Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk
tujuan ekspor;
Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana
dimaksud pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea
masuk sebesar 0% (nol persen). Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 6
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 4, 5, dan 7 di atas
dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB). Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal
22 atas kegiatan Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas
impor sementara dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata caranya diatur
oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal Pajak.
Untuk mencari penghasilan neto, maka penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya
yang berkaitan erat dengan penghasilan bruto. Lebih umum biaya ini disebut "biaya untuk
langsung antara biaya dengan penghasilan yang di¬gung¬gungkan. Prinsipnya, biaya yang
Page | 50
diluar 3 M dan natura tidak boleh dibiaya¬kan. Diantaranya :
4.Penghapusan Piutang
5.Biaya Promosi
6.Zakat
1.Atas impor:
Nomor 175/PMK.011/2013, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
b.selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang menggunakan Angka
Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor
kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
c.selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang tidak menggunakan
Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
d.yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2.Atas pembelian barang bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian
3.Atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP) oleh
Page | 51
bendahara pengeluaran dan pembelian barang, sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga
4.berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan
dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
5.pembelian bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya oleh BUMN (PT
Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) dan Bank
BUMN, sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina;
0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
b.bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Page | 52
Pertambahan Nilai;
c.pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
7.Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan
industri farmasi:
a.penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
d.penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih sebesar 0,45% (nol koma
e.penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen),
a.Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor sebesar
0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
b.Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri
atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost
Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang bersifat tidak final.
Tata cara Pajak Penghasilan Pasal 22 didasarkan atas suatu pemungutan , dalam arti setiap
terjadi transaksi maka Wajib Pajak akan di pungut PPh Pasal 22 oleh bendaharawan pemerintah,
instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga tinggi lainnya. Selanjutnya pemungutan PPh
Pasal 22 ini akan diserahkan pada kas Negara. Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh :
a.Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
c.Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian
barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah
d.Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik
Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang
melakukan pembelian barang yang dana¬nya bersumber dari APBN maupun non-APBN;
e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil
f.Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar
Page | 54
minyak, gas, dan pelumas.
g.Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, per¬tanian, dan
perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Objek pemungutan PPh pasal 22 Bendaharawan adalah penyerahan barang dan jasa yang
dibiayai dari APBN atau APBD, wajib pajak yang termasuk sebagai Wajib pajak PPh pasal 22
dapat berupa badan usaha maupun perseorangan yang pada prinsipnya merupakan rekanan
pemerintah yang menerima pembayaran untuk penyerahan barang atau jasa yang dibiayai oleh
APBN atau APBD.
Pemungutan PPh Pasal Bendaharawan terjadi saat pembayarab oleh bendaha¬rawan pemerintah.
Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerinta Pusat atau Daerah, BUMN atau BUMD
harus memungut atau menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 ke Kantor Pos dan Giro atau
Bank-bank persepsi pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan menggunakan
formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi oleh atas nama rekanan (badan usaha yang
menyerahkan barang) serta tandatangani oleh Bendaharawn. SSP berlaku sebagai bukti pungutan
pajak. Pelaporan harus disampaikan selambat-lambatnya empat belas hari setelah masa pajak
berakhir.
Besarnya pemungutan PPH Pasal 22 Bendaharawan adalah 1,5% dari harga penjualan. Harga
penjualan yang dimaksud adalah harga jual kepada bendaharawan pemerintah. Apabila harga
jual di dalamnya termasuk PPN dan atau PPNBM maka PPN dan atau PPnBM ini harus
Page | 55
dikeluarkan terlebih dahulu dari perhitungan PPh Pasal 22 Bendaharawan. Hal yang
dimaksudkan untu menghindari pemungutan pajak terhadap paak tertentu (Pajak berganda).
Misalnya, PT Ady-Yuni melakukan penjualan kendaraan kepada Pemda Salatiga dengan nilai
a.Jika nilai transaksi sebesar Rp130.000.000,00 tidak termasuk PPN dan PPn BM, maka pasal 22
Atas pemungutannya PPh Pasal 22 Bendaharawan ini, PT Ady-Yuni hanya menerima kas
b.Jika nilai transaksi sebesar Rp130.000.000,00 termasuk PPN sebesar 10% dan PPn BM sebesar
20% maka harus dihitung nilai jual di luar PPN dan PPnBM yaitu sebesar Rp100.000.000,00
(100/130 x Rp130.000.000,00)
Rp100.000.000,00). Objek pemungutan PPh Pasal 22 Import adalah peng¬hasilan netto dari
pemasukan barang ke dalam daerah pabean yang dilakukan oleh importir, importir di bagi
Perbedaan Importir berdasarkan API ini akan mempengaruhi tarif yang digunakan untuk
pemungutan PPh Pasal 22 Import. Untuk import yang memiliki API akan dikenakan Tarif PPh
Pasal 22 sebesar 2,5 % sedangka yang tidak memiliki API akan di pungut PPh Pasal 22 sebesar
7,5%. Angka pengenal import adalah nomor identitas seorang importir yang dikeluar¬kan oleh
disebut sebagai nilai impor. Sebelum mempelajari tentang nilai impor perlu dipahami istilah-
a.Free On Board (FOB) yaitu harga perolehan barang berdasarkan nilai mata uang pengekspor.
b.Cost (C) adalah harga perolehan harga barang yang telah disesuaikan dengan mata uang
Negara pengimport. Dihitung dari besarnya harga perolehan dikalikan Kurs yang berlaku.
c.Freight (F) atau biaya tambang merupakan biaya pengiriman yang dinyatakan dalam bentuk
d.Insurance (I) yaitu nilai asuransi barang yang import yang dinyatakan dalam bentuk
presentase. Asuransi akan diperhitungkan sebagai nilai impor jika asuransi dibayar diluar negeri
sedangkan jika asuransi di bayar di dalam negeri asuransi tidak akan diperhitungkan dalam nilai
import. Besarnya Insurance dihitung dari presentase tertentu dikalikan Cost + Freight
e.Bea masuk dan bea masuk tambahan dihitung dari presentase tertentu dikalikan Cost +
Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah bendaharawan
Termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
penyerahan barang. Tarif pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendahara¬wan pemerintah adalah
Baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor, atau
kegiatan usaha di bidang lain. Tarif pemungutan PPh Pasal 22 yang berkenaan dengan kegiatan
impor ada dua, yaitu : 2,5% dari harga impor untuk impor yang dilakukan importer yang
Page | 57
memiliki Angka Pengenal Impor (API). Dan, 7,5% dari harga impor untuk impor yang dilakukan
importer yang tidak memiliki Angka Pengenal Impor (Non API). Selain itu,tariff 7,5% dari
harga lelang juga dipungut PPh Pasal 22 untuk impor yang telantar atau tidak
b.Industri Rokok, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,15% dari harga banderol [final]
g.BBM jenis Premium, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU Pertamina tarifnya
0,25%;
h.BBM jenis Solar, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU Pertamina tarifnya
0,25%;
i.BBM jenis Pertamax / Pertamax plus, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU
Maksud pemungutan ini untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana
melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan keseder¬hana¬an, kemudahan, dan
pengenaan pajak yang tepat waktu. Tetapi harus diingat bahwa kesederhanaan pemungutan pajak
Page | 58
selalu berlawanan dengan keadilan. Sebagai contoh pengenaan PPh Final untuk industri migas.
Objek PPh Pasal 22 usaha tertentu adalah penjualan hasil produksi atau penyerahan barang yang
dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di indusrtri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja, indus¬tri otomotif, industri perdagangan minyak dan gas, usaha perdagangan gula
pasir dan tepung terigu. Adapun bentuk-bentuk Industri sebagai Objek PPh Pasal 22 adalah
sebagai berikut :
1.Indusrtri semen
Tariff PPh Pasal 22 untuk industry semen sebesar 0.25% dari dasar pengenaan pajak (DPP)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemungutan untuk industri semen dilakukan pada saat
2.Industri rokok
Untuk industri rokok kretek/putih, tarif PPh Pasal 22 adalah sebesar 0,1% dari harga bandrol dan
bersifat final. Final yang dimaksud adalah bahwa PPh Pasal 22 tidak bisa dikreditkan dalam
surat pemberitahuan Pajak Penghasilan yang ter¬hu¬tang. Pemungutan dilakukan pada saat
terjadi penjualan dan dipungut oleh badan usaha yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak
3.Industri kertas
Tarif industry kertas sebesar 0,1% dari DPP PPN. Pemungutan dilakukan pada saat terjadinya
penjualan dan dipungut oleh badan badan usaha yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak
4.Industri baja
tarif pemungutan PPh pasal 22 untuk industri baja sebesar 0,3% dari DPP PPN. Pajak akan
dipungut atas penjualan hasil produksi antara hilir, untuk industri baja. Jika badan usaha yang
Page | 59
bersangkutan akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.
5.Industri Otomotif
Tarif PPh Pasal 22 untuk industri otomotif sebesar 0.45% dari DPP PPN. Pemungutan dilakukan
pada saat terjadi Penjualan kendaraan bermotor baik kendaraan bermotor roda dua maupun lebih
Atas penjualan hasil produksi Pertamina dan Badan usaha selain Pertamina yang bergerak di
bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas kepada penyalur dan atau agennya dipungut
PPh pasal 22 Sebesar yang tercantum dalam Tabel 5.1di Bawah ini.
Tarif PPh pasal 22 atas penyerahan barang yang dilakukan oleh Bulog berupa:
a.Gula pasir kepada penyalur, maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp. 380,-/kuintal, jika
kepada grosir maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp. 270,-/ kuintal. Untuk penjualan
b.Tepung terigu kepada penyalur, maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp.53,-/zak, jika
kepada grosir maka akan dipungut PPh Pasal 22 Rp.38,-/zak. Untuk Penjualan kepada Pembeli
Bulog (Badan Urusan Logistik) akan memungut PPh Pasal 22 terhadap setiap penyerahan gula
dan atau tepung terigu kepada penyalur atau grosir Bulog, PPh pasal 22 ini bersifat tidak final.
Pada akhir tahun, cicilan ini akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh
orang pribadi.
Page | 60
PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank
Transaksi yang wajib dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan
bendahara.
H. Cara Penyetoran
1.Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh
importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran dilakukan
2.Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA,
bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta
Surat Setoran Pajak tersebut berlaku juga sebagai Bukti Pemungutan Pajak
3.Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor PPh yang
dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian melaporkannya dalam SPT
Masa PPh Pasal 22. Sedangkan pihak yang dipungut mendapat bukti pungut dan dapat
Page | 61
dikreditkan pada akhir tahun di SPT Tahunan. Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke agen
atau penyalur dikenakan atas PPh bersifat final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki usaha
tersebut, maka hanya wajib lapor SPT Tahunan yang dilampiri bukti potong.
OnlinePajak, caranya mudah dan cepat, serta tak perlu antre lagi. Cukup impor file CSV SPT
Masa PPh Pasal 22 dari software e-SPT ke OnlinePajak. Lalu lapor dan dapatkan bukti lapornya
PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam
pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat
PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA, bendahara
pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, dan pembelian barang dan/atau
bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh BUMN tertentu dan Bank BUMN, terutang
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi dan atas
penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh ATPM, APM dan importir
PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas terutang dan
dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (delivery order).
Page | 62
PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul terutang dan dipungut pada
saat pembelian.
Contoh : pada tanggal 5 Agustus 2016 PT. ABC (produsen rokok dan telah ditunjuk oleh Kantor
Pelayanan Pajak sebagai pemungut PPh pasal 22) NPWP : 02.446.748.6-623.000, membeli
tembakau dari Paijo, NPWP 08.445.546.8-623.000 sebesar Rp. 400.000.000,- diketahui Paijo
seorang pedagang dan tidak mempunyai sawah atau ladang tembakau. Bagaimana kewajiban
Jawaban:
Pemungutan PPh 22 pasal 22 antara lain badanusaha industri atau eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, pertanian, perkanan dan perkebunan atas pembelian bahan untuk keperluannya
Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya mengumpulkan
Oleh karena paijo adalah peadang dan tidak memiliki sawah atau ladang tembakau, maka paijo
masuk kategori pedagang pengumpul yang membeli tembakau dari para petani.
PT. ABC wajib memungut PPh Pasal 22 dan membuat bukti pemungutan PPh pasal 22 kepada
paijo pada tanggal 5 agustus 2016 dengan jumlah PPh pasal 22 sebesar 0,25% x Rp.
Page | 63
BAB VI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Page | 64
modal penyerahan jasa,atau penyelenggaraan kegiatan selain yang yang telah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 21.
Page | 65
4. Dividen yang diterima oleh orang pribadi;
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham,persekutuan,perkumpulan,firma,dan
kongsi,termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
F. TARIF PEMOTONGAN
Besarnya PPh pasal 23 yang dipotong adalah:
1. Sebesar 15%(lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
a. Dividen;
b. Bunga termasuk premium,diskonto,dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
c. Royalti;dan d.Hadiah,penghargaan,bonus,dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan pasal 21;
2. Sebesar 2%(dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan;dan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik,jasa manajemen,jasa konstruksi,jasa
konsultan,dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Jasa lain terdiri dari:
1) Jasa penilai(appranisal):
2) Jasa aktuaris;
3) Jasa akuntansi,pembukuan,dan atestasi laporan keuangan,
4) Jasa hukum;
5) Jasa arsitektur
6) Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7) Jasa perancang (design);
Page | 66
8) Jasa pengehoran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas),kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
9) Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan migas;
10) Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan
penambangan selain migas;
11) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12) Jasa penebangan hutan;
13) Jasa pengolahan limbah;
14) Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
15) Jasa perantara dan/atau keagenan
16) Jasa di bidang perdagangan sural-surat berharga,kecuali yang dilakukan oleh
Bursa Efek,KSEI dan KPEI;
17) Jasa custodian/penyimpanan/penitipan,kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18) Jasa pengisian suara(dubbing) dan/atau sulih suara;
19) Jasa mixing film;
20) Jasa pembuatan sarana promosi film,iklan, poster ,photo,
slide ,klise ,banner ,pamphlet ,baliho dan folder;
21) Jasa sehubungan dengan software atau hardware komputer,atau sistem
komputer termasuk perawatan,pemeliharaan dan perbaikan;
22) Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23) Jasa internet termasuk sambungannya;
24) Jasa penyimpanan,pengolahan dan/atau penyaluran data,informasi,dan atau
program;
25) Jasa instalasi/pemasangan mesin,peralatan,listrik,telepon,air,gas,AC. dan/atau
TV kabel,selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
26) Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air.
gas. AC, TV kabel, alat transporasi/kendaraan dan/atau hangunan.so lain yang
Page | 67
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan
mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
27) Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat,laut,dan udara;
28) Jasa maklon;
29) Jasa penyelidikan dan keamanan;
30) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31) Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa,media luar ruang
atau media lain untuk penyampaian informasi;
32) Jasa pembasmian hama;
33) Jasa kebersihan atau cleaning service;
34) Jasa sedot septic tank;
35) Jasa pemeliharaan kolam
36) Jasa catering atau tata boga;
37) Jasa freight forwarding;
38) Jasa Logistik;
39) Jasa pengurusan dokumen;
40) Jasa pengepakan;
41) Jasa loading dan unloading;
42) Jasa laboratorium dan/atau dilakukan oleh lembaga atau rangka penelitian
akademis;
43) Jasa pengelolaan parkir;
44) Jasa penyondiran tanah;
45) Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46) Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47) Jasa pemeliharaan tanaman;
48) Jasa pemanen;
49) Jasa pengolahan hasil pertanian,perkebunan,perikanan,peternakan,dan/ atau
perhutanan;
50) Jasa dekorasi;
51) Jasa pencetakan/penerbitan;
Page | 68
52) Jasa penerjemah;
53) Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam pasal 15 UU PPh:
54) Jasa pelayanan kepelabuhanan;
55) Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
56) Jasa pengelolaan penitipan anak;
57) Jasa pelatihan dan/kursus;
58) Jasa pengirirman dan pengisisan uang ke ATM;
59) Jasa sertifikasi;
60) Jasa survey;
61) Jasa terster;dan
62) Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
APBN dan APBD
Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak,besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus
persen).Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak,antara
lain,dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Contoh 1:
PT.Solusindo membayarkan dividen kepada CV Perkasa sebesar Rp 200.000.000,00.
PPh Pasal 23 dipotong PT. Solusindo adalah:
15%x Rp 200.000.000,00=Rp 30.000.000,00
Page | 69
Atas Penghasilan berupa bunga dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.
PPh Pasal 23 = 15%x Bruto
Contoh 2:
PT Karya Utama membayar bunga atas pinjaman kepada PT Indo Jaya sebesar Rp
80.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong PT Karya Utama adalah: 15%xRp 80.000.000,00=Rp
12.000.000,00
Contoh 3:
CV.Selera Makan membayar royalti kepada Ny. Sulastri atas pemakaian merek Ayam
Goreng"Bu Lastri" sebesar Rp 30.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong CV. Selera Makan adalah:
15%xRp 30.000.000,00=Rp 4.500.000,00
Apabila Ny. Sulastri belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 23 yang dipotong CV Selera
Makan adalah:
30%xRp 30.000.000,00=Rp 9.000.000,00
Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Hadiah, Penghargaan, Bonus dan Sejenisnya
Page | 70
Atas hadiah sehubungan kegiatan dan penghargaan oleh wajib pajak badan termasuk BUT
dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
PPh Pasal 23=15%x Bruto,
Contoh 4:
Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan
Penggunaan Harta
Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
(kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau
bangunan) dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh 5:
PT.Sejahtera Raya menyewa sebuah traktor milik Susanto dengan nilai sewa sebesar Rp
10.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong PT.Sejahtera Raya adalah:
2%x Rp 10.000.000,00=Rp 200.000,00
Apabila Susanto belum memiliki NPWP,maka PPh Pasal 23 yang dipotong PT. Se. jahtera
Raya adalah:
4%x Rp 10.000.000,00=Rp 400.000,00
Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik,Jasa
Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Konsultan dan Jasa Lain.
Page | 71
Atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,jasa
konstruksi,jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Pengha-silan
Pasal 21 dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 23=2%xBruto
Contoh 6:
PT.Pilar Utama yang baru berdiri meminta jasa dari CV. Konsultindo untuk membuat
sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan sebesar Rp 11.000.000,00 (termasuk PPN Rp
1.000.000,00). PPh Pasal 23 yang dipotong oleh PT.Pilar Utama adalah:
2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000,00
Page | 72
BAB VII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Menurut keputusan menteri keuangan No. 164/KMK.03/2002 tentang kredit pajak luar
negeri, untuk bisa melakukan pengkreditan pajak luar negeri. Wajib pajak harus
menyampaikan surat permohonan kepada Direktur. Jendral Pajak dengan dilampiri :
Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
Page | 73
Photo copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
PENGGABUNGAN PENGHASILAN
Untuk memperhitungkan pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang
diterima wajib pajak dalam negeri, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, maka
seluruh penghasilan yang diperoleh tersebut bisa digabungkan.Tata cara pengambilan
penghasilan dilakukan dengan langkah-langkah berikut :
1. Atas penghasilan dari kegiatan usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut.
2. Atas penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut.
3. Penghasilan berupa deviden (pasal 18 ayat (2) UU No. 36 tahun 2008) dari pernyataan
modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor atau secara bersama-sama
dengan WP dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor
pada badan usaha diluar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan dibursaefek,
dilakukan dalam tahun pajak dimana deviden tersebut diperoleh. Saat perolehan deviden
tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Contoh Soal :
PT. Perlak menerima dan memperoleh beberapa penghasilan netto dari sumber LN dalam
tahun pajak 2013, sebagai berikut:
1. Penghasilan dari hasil usaha di Bosnia dalam tahun pajak 2013 sebesar
Rp 500.000.000,00.
2. Dividen atas pemilikan saham pada Rome Co. di Italia sebesar Rp 75.000.000,00 yang
berasal dari keuntungan tahun 2009 yang ditetapkan dalam rapat pemegang saham tahun
2012 dan baru dibayarkan tahun 2013.
3. Dividen atas penyertaan saham sebesar 50% pada Zurich Corp. di Swiss yang sebesar Rp
175.000.000,00 yang berasal dari keuntungan tahun 2011, namun berdasarkan KMK baru
diperoleh tahun 2013.
Page | 74
4. Bunga kuartal I tahun 2013 sebesar Rp 35.000.000,00 dari Vienna GmBH. di Austria
yang baru akan diterima bulan Januari 2014.
Ditanya : Penghasilan mana sajakah yang dapat digabungkan di tahun fiskal 2013 ?
Jawaban :
Penghasilan dari sumber LN yang digabungkan di tahun fiskal 2013 meliputi:
Penghasilan dari hasil usaha di Bosnia.
Dividen atas pemilikan saham di Italia.
Dividen atas penyertaan saham di Swiss.
Adapun penghasilan bunga Austria akan digabungkan di tahun fiskal 2014
Page | 75
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Page | 77
Untuk Negara Y :
Rp . 3.000 .000.000
¿ xRp .2.240 .000 .000=Rp . 840.000.000,00
Rp . 8.000 .000.000
Pajak yang terutang di Negara Y sebesar Rp. 750.000.000,00, maka maksimum pajak
yang dapat di kreditkan adalah Rp. 750.000.000,00.
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah:
= Rp. 1.030.000.000,00 (Rp. 280.000.000,00 + Rp. 750.000.000,00).
Dari contoh di atas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian
yang diderita di luar Negeri yaitu (di Negara Z sebesar Rp. 2.500.000.000,00) tidak di
kompensasikan.
Page | 78
Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan berganda,
antara lain:
a. Metode Pemajakan Unilateral
Metode ini mengatur bahwa negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan
hukum didalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional dan ditetapkan
sepihak oleh negara Indonesia sendiri. Metode Pemajakan Bilateral
Metode ini dalam penghitungan pengenaan pajaknya harus mempertimbangkan
perjanjian kedua negara (Tax Treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan
jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah
mengadakan perjanjian. Justru peraturan perpajakan Indonesia tidak berlaku bilamana
terdapat Tax Treaty.
b. Metode Pemajakan Multilateral
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan
atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani
oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina.
Page | 79
BAB VIII
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Pajak penghasilan pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh
wajib pajak baik orang pribadi maupun badan untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:
2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21,22,23,dan 24)
Pada prinsipnya besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu.
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk
setiap bulan adalah sebesar Pajak Panghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Panghasilan Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23, serta
PPh yang dipungut sebgaimana dimaksud dalam pasal 22.
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri ang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
Dibagi dua belas (12) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Page | 80
Contoh 1:
Rp 24.000.000,00
Pengurangan:
Rp 12.000.000,00
Rp 18.000.000,00/12 = Rp 1.500.000,00
Page | 81
Jadi Tuan Dias harus membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan pada tahun 2010
mulai masa Maret sebesar Rp 1.500.000,00
Beberapa Masalah atau Kasus untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal 25:
1. Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
Besarnya angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
adalah sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh 2:
Tuan Dias menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 2009 pada bulan Maret 2010. Angsuran PPh
Pasal 25 pada bulan Desember 2009 adalah Rp 1.000.000,00.
Maka, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari dan Februari 2010 masing-masing
adalah: Rp 1.000.000,00.
Jadi Tuan Dias harus membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 pada bulan Januari dan Februari
2010 masing-masing adalah: Rp 1.000.000,00
2. Apabila dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu.
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang
lalu maka angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
Contoh 3:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2007 yang
disampaikan Wajib Pajak dalam Bulan Maret 2008, perhitungan besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juli 2008 diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak tahun pajak 2007 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan
sebesar Rp 2.000.000,00. Berdasarkan ketetentuan yang berlaku, maka besarnya angsuran pajak
mulai bulan Agustus 2008 adalah sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak
Page | 82
berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran
pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
3. Angsuran PPh Pasal 25 untuk setiap bulan dan sesudah adanya keputusan mengenai kelebihan
pembayaran pajak
Apabila PPh yang terutang menurut SPT Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang lalu lebih kecil
dari jumlah PPh yang telah dibayar, dipotong atau dipungut selama Tahun Pajak yang
bersangkutan, dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan utang pajak lain,
sebelum Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan mengenai pengembalian atau
memperhitungkan kelebhihan tersebut, maka besarnya angsuran pajak untuk tiap bulan adalah
sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari Tahun Pajak yang lalu. Setelah
dikeluarkan surat keputusan, angsuran pajak untuk bulan-bulan berikutnya setelah tanggal
keputusan itu, dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan tersebut.
Yang dimaksud dengan perhitungan PPh Pasal 25 dalam hal-hal tertentu adalah
perhitungan PPh Pasal 25 dalam hal:
Contoh Soal :
Penghasilan PT Dira tahun 2009 adalah sebesar Rp 250.000.000,00. Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan adalah sebesar Rp 50.000.000,00.
Pada tahun 2009 PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain adalah sebesar Rp 8.000.000,00
dan tidak ada pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri.
Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Rp
250.000.000,00 - Rp 50.000.000,00 = Rp 200.000.000,00.
Rp 48.000.000,00
(angsuran PPH Pasal 25 tidak dikatakan Nihil karena penghasilan yang diperoleh ditahun 2009
lebih besar daripada sisa kerugian yang belum dikompensasikan)
Penghasilan tidak teratur adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh selain dari
kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, dan/atau modal, misalnya keuntungan dari
pengalihan harta. Sedangkan penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima
atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam Tahun Pajak yang bersumber
Page | 84
dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal kecuali penghasilan yang
telah dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final.
Bila wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, maka dasar perhitungan Pajak
Penghasilan Pasal 25 adalah hanya penghasilan neto yang diterima atau diperoleh secara teratur
menurut SPT PPh Tahun Pajak yang lalu. Besarnya PPh Pasal 25 adalah sebesar PPh yang
dihitung dengan dasar perhitungan sebagaimana dimaksud di atas, dikurangi dengan Pajak
Penghasilan yang dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian Tahun Pajak.
Misalkan, Penghasilan teratur Wajib Pajak dari usaha dagang dalam tahun 2009 Rp
51.000.000,00 dan penghasilan tidak taratur dari menyewakan mobil selama 3 tahun yang
dibayar sekaligus pada tahun 2009 sebesar Rp 21.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak
teratur sekaligus diterima pada tahun 2009, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar
perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak pada tahun 2010 adalah hanya dari
penghasilan teratur tersebut sebesar RP 51.000.000,00
2.3.3 SPT Tahunan PPh tahun lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang ditentukan (selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak),
maka besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung sebagai berikut:
a. Bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut sampai dengan bulan
disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan yang bersangkutan,besarnya PPh Pasal 25 adalah
sama dengan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir dari Tahun Pajak yang lalu dan
bersifat sementara.
b. Setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya PPh Pasal 25
dihitung kembali sebagai berikut:
- Sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu dikurangi
dengan PPh yang dipotong atau dipungut serta PPh yang dibayar atau tetutang di luar negeri
Page | 85
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam Bagian Tahun Pajak yang berlaku surut mulai bulan batas
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.
- Dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian atau dalam hal Wajib Pajak
memperoleh penghasilan tidak teratur, maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali
berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Wajib Pajak yang berhak atas kompensasi kerugian
atau bagi Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak tertatur sebagaimana telah diuraikan di
atas. Perhitungan kembali tersebut berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh, yaitu tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung kembali sebagaimana dimaksud pada 2 butir di
atas, lebih besar daripada PPh Pasal 25 yang dihitung mulai bulan batas waktu penyampaian
SPT Tahunan sampai dengan bulan disampaikan SPT tahunan yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada butir di atas, maka atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25
dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
Contoh Soal :
1) SPT Tahunan PPh Badan tahun Pajak 2009 disampaikan tanggal 25 Mei 2010, dengan data
sebagai berikut:
c) PPh Pasal 22, Pasal 23,dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan Rp 42.500.000,00
a) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Januari dan Februari 2010 masing-masing adalah sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa bulan Desember 2009 sebesar Rp 5.000.000,00.
Page | 86
b) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan April 2010 masing-masing
sama besarnya dengan PPh pasal 25 untuk bulan Desember 2009 yaitu sebesar Rp 5.000.000,00
c) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2010 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun pajak 2009, sebagai berikut:
Rp 97.500.000,00
(4)PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010
d) Oleh karena PPh Pasal 25 masa bulan Maret sampai dengan April 2010 yang telah disetor,
masing-masing sebesar Rp 5.000.000,00, maka atas kekurangan masing-masing sebesar Rp
3.125.000,00 harus disetor dan terutang bunga sebesar :
(1)Untuk masa Maret 2010 sebesar 2% per bulan dihitung sejak 16 April 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran.
(2)Untuk masa April 2010 sebesar 2% per bulan dihitung sejak 16 Mei 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran.
2.3.4 Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.
Dalam hal wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan, maka besarnya Pajak Penghasilan Tahun 2005 dihitung sebagai berikut:
Page | 87
(1)Bulan-bulan mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan
sebelum disampaikan SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama dengan besarnya PPh Pasal
25 yang dihitung berdasakan perhitungan sementara yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada
saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.
(2)Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali:
a) Menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan PPh yang di
dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, kemudian dibagi 12 atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak dan berkaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT
Tahunan.
b) Apabila wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian atau dalam hal wajib pajak memperoleh
penghasilan tidak teratur, maka besarnya PPh Pasal 25, dihitung kembali berdasarkan ketentuan
yang berlaku bagi wajib pajak yang berhak atas kompensasi kerugian atau bagi wajib pajak
memperoleh penghasilan tidak teratur sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Penghitungan kembali tersebut berlaku mulai bulan batas waktu penyampaian SPT PPh, yaitu 3
bulan setelah akhir tahun pajak.
Contoh Soal :
1. Permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2009
disampaikan pada tanggal 10 Januari 2010, dengan menyampaikan perhitungan sementara
sebagai berikut:
c. PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 tahun Pajak 2009 = Rp 42.500.000,00
Page | 88
2. Diberikan izin perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 sampai
dengan 30 Juni 2010.
4. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 disampaikan pada tanggal 5 Juni 2010, dengan data
sebagai berikut:
Berdasarkan data tersebut, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2010 dihitung
sebagai berikut:
a) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Januari dan Februari 2010 masing-masing adalah sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa Desember 2009 yaitu sebesar Rp 4.000.000,00
b) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Mei 2010 masing-masing
sama besarnya dengan PPh Pasal 25 menurut perhitungan sementara yaitu sebesar Rp
5.791.660,00.
c) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2010 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun pajak 2009 sebagai berikut:
(1) Penghasilan Neto 2009/ Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan, sebesar
Rp 500.000.000,00
(2) PPh terutang atas PPh Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 adalah
(4) PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010 sebesar
d) Oleh karena PPh Pasal 25 Masa Bulan Maret sampai dengan Mei 2010 yang telah disetor
masingmasing sebesar Rp 5.791.660,00 maka atas kekurangan masing-masing sebesar Rp
3.125.000,00 harus disetor dan terutang bunga sebesar:
(1) Untuk masa Maret 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 April 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran
(2) Untuk masa April 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Mei 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran
(3) Untuk masa Mei 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Juni 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran
Untuk perhitungan PPh pasal 25 tahun 2009 menghasilkan jumlah yang lebih kecil dari jumlah
PPh Pasal 25 masa bulan Maret sampai dengan Mei 2010. Maka kelebihan setran bulan Maret
dan Mei tahun 2010 dapat diperhitungkan dengan setoran bulan Juni 2010 dan seterusnya.
2.3.5 Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
Apabila dalam Tahun Pajak berjalan Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Taahun Pajak yang lalu maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan
SPT Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.
Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan pembetulan tersebut
lebih besar dari PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, maka kekurangan setoran PPh
Pasal 25 Terutang bunga.
Page | 90
Kekurangan Setoran PPh Pasal 25 Terutang bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) Undang-Undang KUP untuk jangka waku yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh
Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
Contoh Soal
a) SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 disampaikan tanggal 25 Maret 2010, dengan data
sebagai berikut:
(1)Penghasilan Neto
(3)PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan Rp 42.500.000,00
c) WP melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 pada tanggal 16 Agustus
2010, dengan data baru sebagai berikut:
(3) PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan Rp 42.500.000,00
Berdasarkan data tersebut di atas, besarnya angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2010 dihitung
sebagai berikut:
a) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Januari dan Februari 2010 masing-masing adalah sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa Desember 2009, yaitu sebesar Rp 5.000.000,00
b) Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Juli 2010 dihitung
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2009 sebelum pembetulan sebagai berikut:
Page | 91
(1) Penghasilan Neto 2009 dengan Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan, sebesar
Rp 500.000.000,00
(2) PPh Terutang atas Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 adalah
Rp 97.500.000,00
(4) PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp
97.500.000,00 x 1/12 = Rp 8.125.000,00 untuk tiap bulan.
c) Dengan adanya pembetulan SPT Tahunan PPh pada tanggal 16 Agustus 2010, maka besarnya
PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2010 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahunan Pajak 2009 sesudah pembetulan, sebagai berikut:
(1) Penghasilan Neto 2009/Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan, sebesar
Rp 600.000.000,00
(2) PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 600.000.000,00 adalah
28 % x Rp 600.000.000,00 = Rp 168.000.000,00
Rp 125.500.000,00
PPh Pasal 25 untuk bulan Maret sampai dengan Desember 2010 sebesar Rp 125.500.000,00
x1/12 = Rp 10.458.330,00 untuk tiap bulan.
Page | 92
d) Oleh karena PPh Pasal 25 masa bulan Maret sampai dengan Juli 2010 yang yang telah disetor
masing-masing sebesar Rp 7.500.000,maka atas kekurangan masing-masing sebesar Rp
2.958.330,00 harus disetor dan terutang bunga sebesar:
- Untuk masa bulan Maret 2 % per bulan dihitung sejak 16 April 2010 sampai dengan tanggal
penyetoran;
- Untuk masa April 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Mei 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;
- Untuk masa Mei 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Juni 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;
- Untuk masa Juni 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Juli 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;
- Untuk masa Juli 2010 sebesar 2 % per bulan dihitung sejak 16 Agustus 2010 sampai dengan
tanggal penyetoran;
Perubahan keadaan badan usaha atau kegiatan WP dapat terjadi karena penurunan atau
peningkatan usaha. Apabila sudah 3 bulan atau lebih berjalannya satu Tahun Pajak (Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep. 537/Pj./2000 tanggal 29 Desember 2000) WP dapat
menunjukkan bahwa PPh yang terutang untuk Tahun Pajak tersebut kurang dari 75 % dari PPh
yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25, WP dapat mengajukan
permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25.
- Diajukan secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar;
- Wajib Pajak harus menyampaikan perhitungan besarnya PPH yang akan terutang berdasarkan
perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPH Pasal 25 untuk
bulan-bulan yang tersisa dari Tahun Pajak yang bersangkutan.
Page | 93
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tangga diterima surat permohonan pengurangan
tersebut, Kepala Kantor Pelayanan pajak tidak memberi keputusan, maka permohonan
pengurngan tersebut dianggap diterima dan WP dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25
sesuai dengan perhitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Apabila dalam satu tahun WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan
terutang untuk Tahun Pajak tersebut lebih dari 150 % dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
perhitungan besarnya PPh Pasal 25, maka besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang
tersisadari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan
kenaikan Pajak Penghasilan yang terutang eleh WP sendiri atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat WP terdaftar.
Contoh Soal :
PT Buana yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran
bulanan sebesar Rp 15.000.000,00. Bulan Juni 2009 pabrik milik PT Buana terbakar, oleh karena
itu berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT
Buana dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00. Sebaliknya apabila PT
Buana mengalami peningkayan usaha, misalnya ada usaha peningkatan penjualan dan
diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT Buana dapat disesuaikan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor per10/Pj./2009 Tanggal 11 Februari 2009
bahwa WP yang mengalami perubahan keadaan usaha atau memenuhi Ketentuan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.537/Pj./2000 dapat mengajukan permohonan pengurangan
PPh Pasal 25 sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Per 10/Pj./2009.
Page | 94
Tata cara pembayaran pajak penghasilan menurut metode pembayaran. Pembayaran melalui
online banking atau setor langsung melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, tata cara pembayaran Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:
• Online Banking: Wajib Pajak perlu mendaftar untuk fasilitas online banking pada bank
persepsi yang ditunjuk Menteri Keuangan. Bank tersebut kemudian akan menyediakan aplikasi
khusus pembayaran pajak online. Saat melakukan pembayaran, wajib pajak harus mengisi
terlebih dahulu data yang diperlukan pada aplikasi dari bank tersebut. Saat pembayaran sudah
dilakukan, wajib pajak akan menerima nomor referensi sebagai tanda bukti pembayaran. Setelah
itu data yang sudah diisi beserta nomor referensi perlu dikirim kepada bank yang bersangkutan,
agar wajib pajak dapat menerima Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dari bank,
untuk dipergunakan pada laporan pajak yang akan dikirimkan kepada kantor pajak.
• Setor langsung melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi: WP terlebih dahulu melengkapi
lembaran SSP sebelum menyetor pajak pada lokasi yang diinginkan. Setelah menyetor pajak,
lembaran SSP yang sudah diisi akan dicap oleh Kantor Pos atau Bank Persepsi, dan WP akan
menerima NTPN dari tempat tersebut, beserta bukti pembayarannya.
Tanggal 21 Mei 2008 Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Nomor PER-
22/PJ/2008. Peraturan Dirjen ini mengatur tentang tatacara pembayaran dan pelaporan PPh Pasal
25. Sebagaimana diatur dalam undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP),
wajib pajak menggunakan surat pemberitahuan (SPT) sebagai suatu sarana untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang terutang. Selain itu, SPT
berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak baik yang
dilakukan wajib pajak maupun mekanisme pemotongan / pemungutan yang dilakukan oleh pihak
pemotonga/pemungut, melaporkan harta dan kewajiban. Sehingga SPT mempunyai makna yang
cukup penting baik bagi wajib pajak maupun aparat pajak.
1. Jatuh tempo pembayaran PPh Pasal 25 adalah tanggal 15, bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo bertepatan dengan hari libur, maka pembayaran PPh
Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.Dalam pengertian hari libur termasuk hari
Page | 95
Sabtu, hari libur nasional, hari pemilihan umum yang diliburkan dan cuti bersama secara
nasional.
2. Pembayaran dilakukan di bank persepsi atau bank devisa persepsi atau kantor pos persepsi
dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP) atau sarana administrasi lain. Pengesahan
dilakukan oleh pejabat kantor penerima pembayaran atau melalui validasi sistem Modul
Penerimaan Negara dengan adanya Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
3. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dengan validasi NTPN dianggap telah
menyampaikan SPT PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi. Ketentuan ini bisa diartikan
bahwa Wajib Pajak yang telah membayar PPh Pasal 25 dengan sistem Modul Penerimaan
Negara tidak perlu lagi melaporkan SSP ke Kantor Pelayanan Pajak.
4. Bagi wajib pajak yang pembayarannya tidak secara online dan tidak mendapat NTPN, tetap
diharuskan melaporkan SSP di KPP tempat wajib pajak tersebut terdaftar.
5. Sanksi keterlambatan pembayaran mengacu kepada Pasal 9 ayat (2a) UU KUP. Apabila Wajib
Pajak (WP) terlambat membayar, maka wajib pajak akan dikenakan bunga sebesar 2% per
bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
6. Sanksi keterlambatan lapor mengacu kepada Pasal 7 ayat (1) UU KUP.Pasal 7 ayat 1 KUP ,
apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang disebutkan dalam pasal 3
ayat 3 KUP, maka wajib pajak akan dikenai sanksi berupa denda. Besaran nilai denda adalah
sebagai berikut:
1. Denda senilai Rp 500.000 untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Denda senilai Rp 1.000.000 untuk SPT Pajak Penghasilan (PPh) wajib pajak badan.
Denda pajak yang diatur pada pasal 7 KUP dimaksudkan tidak lain sebagai bentuk tertib
administrasi perpajakan.
Page | 96
BAB IX
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Page | 97
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan
melakukan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15
juni 1998, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26
Berikut adalah beberapa pihak yang mempunyai hak dan kewajiban memotong PPh Pasal 26
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Badan Pemerintah
b. Subyek Pajak dalam negeri
c. Penyelenggara Kegiatan
d. BUT (Badan Usaha Tetap)
e. Perwakilan perusahaan luar negeri laimmya selain BUT di Indonesia f. Pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong PPh Pasal 26.
Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak
Hak dan kewajiban pemotong pajak adalah sebagai berikut:
1. Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Penyuluhan Pajak setempat. Kewajiban sebagai Pemotong Pajak berlaku juga terhadap organisasi
internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
2. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka
pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak
setempat.
3. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh pasal 26 yang terutang
untuk setiap bulan takwim. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah,
Page | 98
atau bank – bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran selambat – lambatnya tanggal
10 bulan takwim berikutnya.
4. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak
setempat selambat lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim. Apabila dalam satu bulan takwim
terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 26, maaka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan
PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
5. Pemotong Pajak Wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 baik diminta maupun
tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap,
penerima uang tebusan pension, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan
penerima dana pensiun.
Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26
Penyetoran dilakukan:
1. Dengan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank atau Kantor Pos Giro.
2. Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
3. Apabila jatuh tempo pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
2.7 Subjek dan Obyek Pajak
1. Obyek Pajak
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada
Wajib Pajak luar negeri, selain bentuk usaha tetap di Indonesia, berupa:
• Deviden
• Bunga termasuk premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
• Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta • Imbalan dengan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
• Hadiah dan penghargaan
• Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
Page | 99
• Penjualan aktiva di Indonesia, selain tanah dan bangunan, yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar negeri, selain bentuk usaha tetap di Indonesia
• Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayar langsung maupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.
2. Subyek pajak
Subjek PPh pasal 26 terbatas hanya pada wajib pajak luar negeri saja, yang meliputi:
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal diluar negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan di Indonesia.
b) Badan yang didikan atau bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan.
Tarif dan Mekanisme Pemotongan PPh Pasal 26
1. Tarif 20% x Penghasilan Bruto atau Tax Treaty
Dividen, bunga, premium, diskonto, imbalan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa,
penghasilan penggunaan harta, jasa kegiatan pekerjaan, hadiah penghargaan, pensiun pembayaran
berkala yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri. Biasanya tariff PPh adalah sebesar 20%
dari penghasilan bruto atau tax treatyPerjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
2. Tarif 20% x Penghasilan Netto atau Tax Treaty
Tarif tersebut dikenakan pada hal – hal berikut ini:
a. Penjualan Saham terhadap wajib pajak luar negeri.
Penjualan saham ini dikenakan tariff sebesar 20% dari perkiraan neto. Persentase perkiraan neto
adalah sebesar 25% dari harga jual sehingga besarnya PPh pasal 26 adalah sebesar 20% x 25% atau
5% dari harga jual, yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 434 / KMK.04/1999.
b. Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayar kepada perusahaan asuransi diluar negeri.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 624/KMK.04/1994 serta Surat Edaran Nomor
23/PJ./1995. Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dikenakan tarif 20%
dari penghasilan netto, dengan perkiraan penghasilan netto, dengan perkiraan penghasilan neto:
1. 50% dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri sehingga besarnya
tarif PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 50% = 10%;
2. 10% dari premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri berkedudukan di
Indonesia sehingga besarnya tariff PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 10% = 2%;
Page | 100
3. 5% dari premi yang dibayarkan reasuransi berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan
diluar negeri sehingga besarnya tarif PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 5% = 1%.
3. BUT (Bentuk Usaha Tetap) Tarif 20% dari Laba Setelah Pajak yang Ditransfer ke Luar
Negeri.
a. Apabila atas laba setelah pajak yang berasal dari BUT diinvesasikan kembali ke Indonesia
maka tidak dikenakanpajak, sepanjang memenuhi syarat KMK No. 602/KMK.04/1994 jo KMK No.
113/KMK.03/2002 antara lain: diinvestasikan dalam waktu minimal dua tahun di Indonesia.
b. Jika laba setelah pajak ditransfer ke luar negeri, maka akan dikenakan pajak sebesar 20%
final.
c. Berdasarkan pasal 26 ayat 5 UU PPh, untuk wajib pajak orang pribadi dan BUT apabila telah
menjadi wajib pajak dalam negeri, maka semula dikenakan PPh Pasal 26 bersifat final menjadi dapat
dikreditkan. Untuk BUT didasarkan Pasal 5 ayat 1 huruf b dan c UU PPh.
2.9 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 26
1. Tarif 20% x Penghasilan PPh Pasal 26 Mr. Jackson warga negara Jerman memperoleh
penghasilan dividen sebesar Rp. 20.000.000,00 dari PT Indah.
Jawab:
a. Saat terutangnya PPh 26 diatur dalam PP 138 Tahun 2000, dilihat dari yang terlebih dahulu,
saat pembebanan atau saat pembayaran.
b. PT Indah harus memungut pajak sebesar Rp. 4.000.000,00 dari Mr. Jackson sebagai penerima
penghasilan.
c. PPh tersebut berasal dari: X = 20% x Penhasilan Bruto.
= 20% x Rp. 20.000.000,00
= Rp. 4.000.000,00 dan bersifat final. Keterangan:
b. Jika Mr. Jackson memiliki tax resident (bukti kepemilikan seperti NPWP di negara Amerika),
maka berlaku penerapan tax treaty, di mana telah disepakati bersama antara Indonesia – Amerika
bahwa tarif pajak pajaknya 10% dari penghasilan bruto, yaitu Rp. 2.000.000,00 yang berhak
dipotong oleh PT Indah.
c. Perhitungan 20% x penghasilan bruto berlaku juga untuk penghasilan berupa bunga, premium,
diskonto, imbalan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa, penghasilan penggunaan harta, jasa
Page | 101
kegiatan pekerjaan, hadiah penghargaan, pensiun pembayaran berkala yang dibayarkan kepada
wajib pajak luar negeri.
2. Tarif 20% x Penghasilan Neto atau Tax Treaty
a. Penjualan saham terhadap wajib pajak luar negeri.
Contoh:
PT Demi Masa menjual sejumlah saham kepada Cimex Ltd. (Kanada) dengan nilai keseluruhan
Rp. 50.000.000.000,00. Maka, besarnya PPh Pasal 26 yang dipungut oleh PT Demi Masa adalah
20% x 25% x Rp. 50.000.000.000,00 = Rp. 2.500.000.000,00
b. Premi Asuransi Luar Negeri. Contoh:
PT Mulia Building mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan
membayar jumlah premi asuransi selama tahun 2005 sebesar Rp. 1.000.000.000,00. Maka, besarnya
PPh Pasal 26 yang dipungut oleh PT Mulia adalah 20% x 50% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp.
100.000.000,00
Keterangan:
1) Jika premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri berkedudukan di
Indonesia, besarnya tariff PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 10% = 2% x Rp. 1.000.000.000,00 =
Rp. 20.000.000,00.
2) Jika premi yang dibayarkan reasuransi berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan di luar
negeri, besarnya tarif PPh Pasal 26 adalah sebesar 20% x 5% = 1% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp.
10.000.000,00.
3. 20% dari Penghasilan Kena Pajak atau Tax Treaty Untuk BUT, hasil laba setelah pajak yang
dialokasikan ke luar negeri dikenakan pajak PPh Pasak 26, tetapi jika diinvestasikan kembali di
Indonesia tidak dikenakan pajak PPh Pasal 26 sepanjang memenuhi syarat KMK No.
602/KMK.04/1994 jo KMK No. 113/KMK.03/2002.
Contoh:
Sebuah BUT mendapatkan laba Rp. 100.000.000,00 dan telah dikenakan PPh Pasal 17 sebesar
Rp. 12.500.000,00 sehingga laba setelah pajak adalah Rp. 87.500.000,00. Jika sebagian income after
tax dikirim keluar negeri, maka akan dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% x Penghasilan bruto,
misal dikirim Rp. 50.000.000,00. Maka PPh Pasal 26 adalah 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp.
10.000.000,00 dan sisanya jika diinvestasikan kembali ke Indonesia tidak dipotong PPh Pasal 26.
Page | 102
BAB X
PPN/PPnBM
Page | 103
2. Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
3. Ekspor BKP dan/atau JKP
4. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan
5. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk
diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan
Barang Kena Pajak (BKP)
Barang Kena Pajak (BKP) merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan
pajak berdasarkan UU PPN. Pengaturan cakupan BKP dalam UU PPN bersifat “negative list”,
dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai
barang yang tidak dikenai PPN.
Barang yang Tidak Dikenai PPN (Non-BKP)
Barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya:
1. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
a. beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
b. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
c. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti,
dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan,
diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
d. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas
e. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
f. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,
disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
g. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada
suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
Page | 104
2. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, tidak termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering
3. Uang, emas batangan, dan surat berharga (misalnya saham, obligasi)
4. Minyak mentah (crude oil)
5: Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat
6. Panas bumi
7. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit,
magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat
(phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif,
zeolit, basal, dan trakkit; dan
7. Biji besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Jasa Kena Pajak (JKP)
Jasa Kena Pajak (JKP) merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang pesanan atau permintaan dengan
bahan dan/atau petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN. Seperti halnya
cakupan BKP, pengaturan cakupan JKP dalam UU PPN juga bersifat “negative list”, dalam artian
bahwa pada prinsipnya seluruh jasa merupakan JKP, kecuali ditetapkan sebagai jasa yang tidak
dikenai PPN.
Jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non JKP)
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan sosial
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa keuangan
5. Jasa asuransi
6. Jasa keagamaan
7. Jasa Pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
Page | 105
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
11. Jasa tenaga kerja
a. Jasa perhotelan
b. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum
c. Jasa penyediaan tempat parker
d. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
e. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
Page | 107
Dalam rangka lebih memudahkan pemungutan PPN dan/atau PPnBM yang terutang atas
penyerahan BKP dan/atau JKP oleh rekanan, Pemerintah menunjuk pihak tertentu untuk memungut,
menyetorkan dan melaporkan PPN yang terutang. Pihak tertentu tersebut meliputi bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Fasilitas Pembebasan PPN
Fasilitas atau insentif perpajakan dapat didefinisikan sebagai ketentuan perpajakan yang dibuat
secara khusus, yang berbeda dengan ketentuan perpajakan yang berlaku umum, bagi Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu. Fasilitas PPN diberikan untuk mendorong pembangunan nasional dengan
membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti:
1. Fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN
2. Fasilitas tidak dipungut PPN
Untuk mendukung perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing dengan menjamin
tersedianya barang-barang yang bersifat strategis, pemerintah memberikan fasilitas dibebaskan dari
pengenaan PPN atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis.
Page | 109
PPnBM dengan tarif 0%. PPnBM yang telah dibayar atas perolehan barang mewah yang
diekspor tersebut dapat diminta kembali
Apa saja barang yang dikenakan PPnBM?
1. Kendaraan bermotor, kecuali untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam
kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, kepentingan negara
2. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, totan house, dan
sejenisnya
3. Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga
4. Kelompok balon udara
5. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara
6. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha
pariwisata
Page | 110
BAB XI
PPB/BPHTB
Page | 112
OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Di dalam Peraturan Menteri keuangan dijelaskan bahwa Yang dimaksud dengan klasifikasi
bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan
digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak terhutang.
Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan
penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Letak.
b. Peruntukan.
c. Pemanfaatan.
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Bahan yang digunakan.
b. Rekayasa.
c. Letak.
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain.
Page | 113
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan
Page | 114
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah
Daerah) setempat serta memerhatikan asas selfassessment. Yang dimaksud (assessment value)
adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghi-tungan pajak,yaitu suatu persentase
tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di
daerah pedesaan,tetapi dengan tetap memerhatikan penerimaan,khususnya bagi Pemerintah
Dacrah,maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP,yaitu:
1. Sebesar 40%(empat puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek pajak perkebunan.
b. Objek pajak kehutanan.
c. Objek pajak lainnya,yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan
bangunan sama atan lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar ru-piah).
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek pajak pertambangan.
b. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,0 (salu miliar
rupiah).
Page | 115
TAHUN PAJAK, SAAT DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG
Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim
adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Saat yang menentukan pajak terutang adalah
menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh:
a. Objek pajak pada tanggal | Januari 2010 berupa tanah dan bangunan.Pada tanggal 10
Januari 2010 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan
objek pajak pada tanggal I Januari 2010,yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut
terbakar.
b. Objek pajak pada tanggal I Januari 2010 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya.
Pada tanggal 20 Agustus 2010 dilakukan pendataan,ternyata di atas tanah tersebut telah
berdiri sualu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahuun 2010 tetap dikenakan
berdasarkan keadaan pada tanggaI 1 Januari 2010. Sedangkan bangunannya baru akan
dikenakan pada tahun 2011.
Tempat pajak yang terutang:
a. Untuk daerah Jakarta di wilayah Daerah Khusus lbu Kota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya di wilayah kabupaten atau kota
Tempat pajak yang terutang untuk Batam di wilayah Provinsi Riau.
Page | 116
merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri. Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan atau bangunan,tahun dan harga
perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya. SPPT
diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu Wajib Pajak SPPT dapat diterbitkan
berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain temyata jumlah pajak yang
terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya,walaupun sudah dite-gur
secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat
Teguran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Kete-tapan Pajak(SKP) secara
jabatan.
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal
Pajak,temyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang
dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan Wajib Pajak,Direk-tur Jenderal Pajak menerbitkan
SKP secara jabatan. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam
nomor (4) huruf (a) adalah pokok pajak.
Page | 117
3. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar,dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan,yang dihitung dari
saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan. Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo
pembayaran tidek atau kurang dibayar,dikenakan denda administrasi 2% (dua persen)
setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no.(3) di atas, ditambah dengan utang
pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP)yang
harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh
Wajib Pajak. Menurut ketentuan ini, denda administrasi dan pokok pajak seperti dalam no.
(3) di atas ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan
sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
5. Pajak terutang dapat dibayar di bank, kantor pos dan giro,serta tempat lain yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan.
7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak,dan Surat Tagihan
Pajak(STP)merupakan dasar penagihan pajak.
8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat
ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentu.
kan,penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU No. 19 tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
Keberatan
1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
Page | 118
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Surat Ketetapan Pajak (SKP). Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan
masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri uiituk setiap tahun pajak.
2) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP dalam hal:
Wajib pajak menganggap luas objek bumi dan atau bangunan, klasifikasi atau Nilai
Jual Objek bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam SPPT atau SKP tidak
sesuai dengan keadaan sebenamya.
Terdapat perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang-un-dangan
antara Wajib Pajak dengan fiskus.
3) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan
menyatakan alasan secara jelas.
4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3(tiga)bulan sejak tanggal diteri-manya
SPPT atau SKP oleh Wajib Pajak,kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila
ternyata batas waktu 3 (tiga)bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena
keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan memin. ta Wajib Pajak untuk
melengkapi persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu.
5) Tanda terima Surat Keberatan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau sejenisnya
merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi ke. pentingan Wajib
Pajak.
6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar penge-naan pajak.
7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
8) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 12(dua belas) bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima,harus memberikan keputusan atas keberatan.
Page | 119
9) Sebelum surat keputusan diterbitkan,wajib pajak dapat menyampaikan alasan tam-bahan
atau penjelasan tertulis.
10) Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa:
a. Tidak dapat diterima.
b. Menolak.
c. Menerima seluruhnya atau sebagian.
d. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
11) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam surat
ketetapan pajak,Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak tersebut.
12) Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi Wajib Pajak yaitu apabila dalam
jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat ke beratan, Dirjen Pajak tidak
memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.
PENGURANGAN PAJAK
Pengurangan diberikan atas pajak (PBB) terutang yang tercantum dalam SPPT atau
SKP.Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal:
1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya seperti:
a. Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/petenakan yang hasilnya
sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi.
b. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dar. atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah dan nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan.
c. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh WajibPajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, se. hingga
kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.
Page | 120
d. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah,sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.
e. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.
f. Objek pajak yang dimiliki,dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang
tahun,sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan..
2. Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam
atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam pengertian bencana alam adalah
gempa bumi,banjir,tanah longsor,gunung meletus, dan sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud dengan sebab-sebab lain yang luar biasa adalah keba-karan,kekeringan,wabah
penyakit,dan hama tanaman.
3. Wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela ke-
merdekaan.Besarnya pengurangan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari
besarnya pajak terutang.
SANKSI
Bagi Wajib Pajak
1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampai-kan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran,ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokok pajak ditambah
dengan denda administrasi sebesar 25%(dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan
Page | 121
oleh Wajib Pajak, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.Jumlah pajak yang terutang dalam
Surat Ketetapan Pajak adalah selisih pajak terutang berdasar-kan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan
Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25%(dua puluh lima persen) dari selisih
pajak yang terutang.
2. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar,dikenakan denda administrasi sebesar 2%(dua persen) sebulan,yang di-hitung dari
saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24(dua
puluh empat) bulan.
3. Karena kealpaannya,sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepadaDirektorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan tidak benar.
4. Karena kesengajaannya,sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP,tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan yang tidak benar.
c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar.
d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya.
e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.
Page | 122
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16
tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
DASAR HUKUM
Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Undang-undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor
291.
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
OBJEK PAJAK
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.Perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan meliputi:
1) Pemindahan hak karena:
a. Jual-beli.
b. Tukar-menukar.
c. Hibah.
d. Hibah wasiat.
e. Waris.
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan huikum lainnya.
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan.
h. Penunjukan pembeli dalam lelang.
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
j. Penggabungan usaha.
k. Peleburan usaha.
l. Pemekaran usaha.
m. Hadiah.
2) Pemberian Hak baru karena:
a. Kelanjutan pelepasan hak.
Page | 123
b. Di luar pelepasan hak.
Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar paling tinggi 5% (lima persen). Tarif Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Page | 125
CARA MENGHITUNG BPHTB
BPHTB = (NPOP-NPOPTKP) x tarif pajak
Contoh:
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp70.000.000,00.Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ber-laku di
kabupaten/kota tersebut Rp60.000.000,00 dan tarif pajaknya 5%.
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp70.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000.00 _
Rp 10.000.000,00
BPHTB yang terutang (Rp 10.000.000,00 x 5%) =Rp 500.000,00
Page | 126
a. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak.
b. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak.
BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak.
BAB XII
BEA MATERAI
Dasar Hukum
Dasar hukum pengenaan bea meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 atau
disebut juga Undang-Undang Bea Meterai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari
1986.Selain itu,untuk mengatur pelaksanaannya,telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2000
tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Ba-tas Pengenaan Harga Nominal yang
dikenakan Bea Meterai.
Page | 127
Sebab – Sebab Dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
1. Agar lebih sempurna dan sederhana ( hanya terdiri 7 bab,18 pasal).
2. Lebih mudah dilaksanakan karena hanya mengenal 1(satu) jenis Bea Meterai tetap, yaitu
Rp6.000,00 dan Rp3.000,00.
3. Objek lebih luas.
Prinsip Umum Pemungutan atau Pengenaan Bea Meterai
1. Bea Meterai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumen).
2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Meterai.
3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama dengan aslinya.
Page | 128
h. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Page | 129
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apa pun sepanjang harga nominalnya le-bih dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain.
Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai nominal tidak lebih dari
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut tidak terutang Bea
Meterai.
Page | 131
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan
dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga
lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan;
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang
simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang
menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian
kepada nasabah;
8. Surat gadai;
9. Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun; dan
10. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan
kebijakan moneter.
Page | 132
G. Pihak Yang Terutang Bea Meterai
Apabila dokumen dibuat sepihak, bea materai terutang oleh pihak yang menerima
dokumen.
Apabila dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing -
masing pihak atas dokumen yang diterimanya.
Dokumen yang berupa surat berharga, maka bea materai terutang oleh pihak yang
menerbitkan surat berharga.
Bea Meterai juga terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat
dari dokumen, kecuali pihak atau pihak - pihak yang bersangkutan menentukan lain
H. Cara Pelunasan Bea Meterai
Bea Meterai terutang, dapat dilunasi dengan dilakukan dengan menggunakan:
1. Dengan mengunakan benda meterai,yaitu:
a. Meterai tempel memiliki ciri umum dan ciri khusus. Ciri umum paling sedikit
memuat:
Gambar lambang negara Garuda Pancasila;
Frasa "Meterai Tempel"; dan
Angka yang menunjukkan nilai nominal.
Selain memiliki ciri umum, meterai tempel juga memiliki ciri khusus sebagai unsur
pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak yang dapat bersifat
terbuka, semi tertutup, dan tertutup. Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan ciri
umum dan ciri khusus pada meterai tempel serta pemberlakuannya diatur dalam
Peraturan Menteri.
b. Meterai elektronik memiliki kode unik dan keterangan tertentu yang diatur dalam
Peraturan Menteri.
c. Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri merupakan Meterai yang
dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi,
teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya. Ketentuan lebih lanjut
mengenai Meterai dalam bentuk lain diatur dalam Peraturan Menteri.
2. Surat Setoran Pajak
Page | 133
Pembayaran Bea Meterai juga dapat dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak
dalam hal mekanisme pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai dianggap tidak
elisien atau bahkan tidak dimungkinkan. Misalnya, untuk Dokumen yang akan digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan dalam jumlah besar, yang pembayarannya melalui Pemeteraian
Kemudian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pemberian alternatif dalam
pembayaran Bea Meterai ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembayaran
Bea Meterai.
I. Cara penggunaan Bea Meterai
1. Meterai Tempel
a) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan bea meterai.
b) Meterai tempel direkatkan di tempat tanda tangan akan dibubuhkan.
c) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan tanggal, bulan, dan tahun dilakukan
dengan menggunakan tinta atau yang sejenisnya. Sebagian tanda tangan berada di
atas meterai dan sebagian lagi di atas kertas dokumen.
d) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas dokumen.
2. Kertas Meterai
a. Dokumen ditulis di atas kertas meterai. Jika isi dokumen terlalu panjang untuk
dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi
yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
b. Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi.
Page | 134
1. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai,namun akan digunakan sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan.
2. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya.
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
K. Sanksi – Sanksi
Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi bea meterai sebagaimana mestinya,maka akan
dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari bea meterai yang tidak atau
kurang dibayar.
Misalnya Bea Meterai terutang Rp6.000,00. Akibat kelalaian belum mengenakan bea
meterai, maka Bea Meterai dan saksi yang harus dibayar adalah:
Bea Meterai yang terutang Rp 6.000,00
Denda administrasi Rp 12.000,00 +
1. Dokumen yang dibuat di luar negeri 1. Semua dokumen yang dikenakan Bea Materai
sebelum digunakan di Indonesia tetapi dokumen tersebut tidak / kurang dibayar
Bea Meterai nya kecuali dokumen yang akab
digunakan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan
2. Surat surat biasa dan surat kerumah 2. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang Bea
tanggaan sebagai alat bukti di pengadilan Meterainya dilunasi sesudah dokumen tersebut
digunakan di Indonesia
3. Dokumen yang semula dikenakan Bea
Meterai berdasarkan tujuannya kemudian
berubah tujuan atau dipergunakan oleh
orang lain (sebagai alat bukti di
pengadilan)
Jumlah pemeteraian kemudian Rp 18.000,00
Page | 135
Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ketentuan Khusus:
1) Pejabat pemerintah,hakim,panitera,jurusita,notaris,dan pejabat umum lain-nya dalam tugas
atau jabatannya tidak dibenarkan:
a. Menerima,mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya
tidak atau kurang dibayar.
b. Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar pada dokumen
lain yang berkaitan.
c. Membuat salinan, tembusan, rangkapan, atau petikan dari dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar.
d. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang Bea Meterainya tidak atau
kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.
2) Sanksi atas poin 1, sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang. Undangan yang
berlakai,misalaya untuk yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dapat diberlakukan dengan
PP.No.53 tahun 2010,antara lain:
a. Teguran lisan,teguran tertulis.
b. Penundaan kenaikan gaji berkala/pangkat.
c. Pemberhentian.
Sanksi Pidana
Sanksi pidana, antara lain:
a. Pemalsuan/peniruan meterai tempel,kertas meterai dan tanda tangan yang perlu
untuk mengesahkan meterai.
b. Dengan sengaja menyimpan yang bermaksud untuk diedarkan atau mema-sukkan ke
Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan
hak.
c. Dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan
uutuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang merekayasa,
capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah
Page | 136
dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain
menggunakannya dengan melawan hak.
d. Dengan sengaja menyimpan bahan-bahan/perkakas-perkakas yang diketahui untuk
meniru dan memalsukan benda meterai.
Sanksi: Sesuai dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kepastian hukum,
dapat berupa kurungan atau penjara sesuai dengan Pasal 253 Kitab Undang Undang Hukum
Pidana(KUHP).
1. Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan bea meterai (Pasal 7(2)b) tanpa
seizin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya (tujuh) tahun.
Penanggung jawab sanksi:
1. Untuk sanksi administras i: pemegang dokumen.
2. Untik sanksi pidana : sesuai keputusan pengadilan.
Daluwarsa
Daluwarsa dari kewajiban memenuhi Bea Meterai ditetapkan 5 (lima)tahun,terhitung sejak
tanggal dokumen dibuat.
Page | 137
BAB XIII
REKONSILIASI FISKAL
Page | 138
Koreksi fiskal sangat penting dilakukan setelah laporan keuangan dibuat oleh perusahaan. Teliti
kembali draft tersebut sebelum diberikan ke dirjen pajak. Meneliti draft tentu didasarkan data-data
yang sudah ada dengan memperhatikan transaksi, lakukan penyesuaian antara penghasilan oleh
wajib pajak.
Sebagai Alat Untuk Memenuhi Draf Laporan
Dirjen pajak mengeluarkan aturan dan regulasi kepada wajib pajak. Agar draft bisa terpenuhi
dengan baik maka perusahaan wajib melakukan rekonsiliasi fiskal untuk melihat ada tidaknya
kerancuan pada laporan yang sudah dibuat. Karena jika terjadi kesalahan akibatnya akan terjadi
kesalahan hitung untuk nominal pajak.
Meminimalisir Adanya Kesalahan Hitung Pajak Dengan Bisnis
Pentingnya koreksi pada fiskal menghindari adanya kesalahan perhitungan pajak, karena dalam
bisnis jika ada nominal angka yang salah bisa jadi akan merugikan perusahaan. Oleh karena itu,
ketelitian dalam melakukan rekonsiliasi fiskal ini dibutuhkan penyesuain data, transaksi hingga
penghasilan yang benar.
Page | 140
karena transaksi yang -mengacu pada UU Perpajakan- tidak terhapus dengan sendirinya pada
periode lain.
Contoh Biaya:
Biaya Pajak Penghasilan
Biaya Sumbangan
Biaya Sanksi Perpajakan
Contoh Penghasilan:
Sumbangan
Penghasilan Bunga Deposito
Hibah
Contoh Beda Tetap Pada Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. Biaya-biaya lainnya
yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh). Koreksi atas
beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek
pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang
yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil. Koreksi atas beda tetap biaya akan
menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara
fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan
menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.
Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam negeri sebesar Rp
25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri sebesar
20%.
Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000 (Penghasilan dalam negeri
+ penghasilan luar negeri).
Total PPh Terutang: 25% × Rp 35.000.000.000 = Rp 8.750.000.000
Page | 141
PPh Maksimum yang dapat dikreditkan: (Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total
PPh Terutang: (Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000 = Rp
2.500.000.000
Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp 2.500.000.000.
Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak dalam negeri. Namun ingat,
apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah dibayarkan pada pajak dalam
negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan
melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan. Pelaporannya dilengkapi dengan Tax Return yang
dilaporkan di luar negeri dan dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak
di luar negeri.
Page | 142
Penyusutan fiskal menggunakan metode garis lurus
Persediaan akhir dinilai dengan metode LIFO, sedangkan apabila dinilai dengan metode
FIFO sebesar Rp700.000.000
Membayar PPh pasal 22 sebesar (1,5% x Rp200.000.000) = Rp3.000.000
Membayar PPh pasal 23 sebesar (2% x Rp10.000.000) = Rp200.000
Membayar PPh pasal 25 selama 12 bulan untuk setiap masa pajak Rp5.000.000 selama tahun
2019.
Pertanyaan:
1. Buatlah rekonsiliasi fiskal untuk PT. AJS, sehingga diketahui penghasilan kena pajaknya.
2. Hitunglah PPh Pasal 29 untuk tahun pajak 2019.
Page | 143
Page | 144
Page | 145
Penghitungan PPh Pasal 29 PT AJS untuk tahun pajak 2019:
Dengan demikian, PT AJS wajib melunasi sisa kekurangan pembayaran PPh Badan terutang
tahun pajak 2019 sebesar Rp6.550.000 maksimal sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan.
Page | 146
DAFTAR PUSTAKA
https://www.rusdionoconsulting.com/rekonsiliasi-fiskal-cara-cocokan-laporan-keuangan-dengan-
perpajakan/
https://www.beecloud.id/pengertian-dan-fungsi-rekonsiliasi-fiskal-di-pelaporan-pajak/
#:~:text=Rekonsiliasi%20fiskal%20merupakan%20lampiran%20SPT,yang%20meliputi
%20pendapatan%20dan%20beban.
https://www.terraveu.com/pengertian-rekonsiliasi-fiskal/
https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pengertian-koreksi-fiskal/
https://dosen.perbanas.id/koreksi-fiskal/?print=print
https://www.terraveu.com/rekonsiliasi-fiskal/
https://id.scribd.com/doc/206632405/Ketentuan-Umum-Dan-Tata-Cara-Perpajakan-Uu-No-28-Tahun-
2007
http://makalah2107.blogspot.com/2016/06/ketentuan-dan-tata-cara-Perpajakan.html
https://www.academia.edu/31312861/
MAKALAH_KETENTUAN_UMUM_DAN_TATA_CARA_PERPAJAKAN
https://id.scribd.com/doc/164223809/Ketentuan-Umum-Perpajakan
Mardiasmo. 2018. Perpajakan. Yogyakarta : ANDI.
https://pajak.go.id/id/bea-meterai-0
https://lldikti13.kemdikbud.go.id/2021/02/04/aturan-bea-meterai-2021-serta-rincian-lengkap-dokumen-
yang-terkena-bea-meterai-rp-10-000/
https://bit.ly/36wVyFc
Mardiasmo.2018.Perpajakan.Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Pratiwi, Widya. Ariyanto M. Eva Marlina.(2020). Jurnal Manajemen Universitas Bung Hatta. Pengaruh
pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Bea Perolehan ha katas tanah bangunan (BPHTB) terhadap
pajak daerah kabupaten Bungo. Vol. 15, No. 1. 30 – 39.
Mardiasmo. 2018. Perpajakan. Yogyakarta : ANDI.
Resmi,Siti . 2013. Perpajakan. Jakarta : Selemba Empat.
http://repository.polimdo.ac.id/821/1/Freine%20Humaisi.pdf
Mardiasmo.2018.Perpajakan.Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Page | 147
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/buku%20pph%20upload.pdf
http://e-journal.uajy.ac.id/2720/3/2EA14761.pdf
Mardiasmo. 2011. Perpajakan. Yogyakarta: CV Andi OffsetWaluyo. 2010.
Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
Tjahjono, Achmad, (2009). Perpajakan. Yogyakarta: STIM YKPN
Diana, Anastasia, (2010). Perpajakan Indonesia (Konsep, Aplikasi, dan Penuntun Praktis). Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta
https://makalahubb.blogspot.com/2017/05/makalah-perpajakan-pajak-penghasilan_96.html
https://pajak.go.id/id/pph-pasal-22
https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/buku%20pph%20upload.pdf.
https://www.online-pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-22.
https://www.online-pajak.com/sites/pajak/files/uploaded-files/15-pmk-010-107-lampiran-pph-22.pdf
https://fiskal.kemenkeu.go.id/fiskalpedia/2021/07/13/173618726358430-pajak-pertambahan-nilai-ppn,
Diakses pada tanggal 24 April 2022 pukul 08:00 WIB
PP 61 tahun 2020
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001800/pendidikan/BUKU+PERPAJAKAN.pdf, Diakses pada
tanggal 03 Maret 2022 pukul 08:02 WIB
https://www.journals.segce.com/index.php/KARTI/article/download/48/50/, Diakses pada tanggal 03
Maret 2022 2021 pukul 08:06 WIB
http://eprints.unm.ac.id/13463/1/Buku%20Saku%20Perpajakan1.pdf, Diakses pada tanggal 11 Februari
2022 pukul 08:00 WIB
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001800/pendidikan/BUKU+PERPAJAKAN.pdf, Diakses pada
tanggal 11 Februari 2022 pukul 08:02 WIB
https://www.journals.segce.com/index.php/KARTI/article/download/48/50/, Diakses pada tanggal 11
Februari 2022 2021 pukul 08:06 WIB
Page | 148