Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS INDONESIA

Asuhan Keperawatan Klien Sehat Jiwa pada

Anak Usia Sekolah dan Remaja

DISUSUN OLEH:

1. Afifa Annrust 1806203345


2. Dzakiyyah Alya Yusriyah 1806203566
3. Inez Syifa Agatha 1806203452
4. Maria Ulfa 1806140104
5. Nadiyatuz Zahrah 1806140180
6. Safa Taqiya 1806203723
7. Shafa Nabila Mumtaz 1806203446

Makalah Sebagai Tugas Keperawatan Jiwa I Kelas C FG 3

Fasilitator: Ns. Giur Hargiana, S.Kep., M.Kep., Sep. KepJ

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

DEPOK, 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan berkat dan rahmatnya, sehingga makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Klien Sehat Jiwa pada Anak Usia Sekolah dan Remaja” dapat
diselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini disusun sebagai hasil studi pustaka
dan diskusi Focus Group 3 untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah keperawatan
dasar.

Tujuan makalah ini dibuat untuk menjadi sumber bacaan tentang tahap
perkembangan dan asuhan keperawatan pada anak usia sekolah dan remaja.
Bahasan ini juga perlu diketahui oleh seorang perawat karena perawat perlu
memahami model asuhan keperawatan bagi anak usia sekolah dan remaja juga
tahap perkembangannya agar tidak memberikan asuhan keperawatan yang salah.

Makalah ini tidak dapat terbentuk dengan baik tanpa adanya bantuan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
Fasilitator Keperawatan Jiwa I Kelas C, yaitu bapak Ns. Giur Hargiana, S.Kep.,
M.Kep., Sep. KepJ. yang telah memberi pengajaran yang sangat membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih perlu perbaikan karena


keterbatasan kami sebagai penulis. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca dan diharapkan pembaca dapat
memberikan solusi kepada kami agar kedepannya mampu membuat makalah yang
lebih baik. Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat dan digunakan
sebagaimana mestinya.

Depok, 31 Oktober 2019

FG 3 Keperawatan Jiwa I Kelas C

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................2

1.4 Sistematika Penulisan.......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................3

2.1 Tahap Perkembangan Normal pada Anak Usia Sekolah.............3

2.2 Asuhan Keperawatan terhadap Anak Usia Sekolah.....................6

2.2.1 Pengkajian...............................................................................6

2.2.2 Diagnosis..................................................................................6

2.2.3 Perencanaan............................................................................6

2.2.4 Implementasi...........................................................................7

2.2.5 Evaluasi...................................................................................8

2.3 Tahap Perkembangan Normal pada Usia Remaja........................8

2.4 Asuhan Keperawatan terhadap Usia Remaja..............................11

2.4.1 Pengkajian.............................................................................11

iii
2.4.2 Diagnosis................................................................................12

2.4.3 Perencanaan..........................................................................13

2.4.4 Implementasi.........................................................................13

2.4.5 Evaluasi.................................................................................14

2.5 Permasalahan pada Tahap Perkembangan Anak Usia Sekolah


dan Remaja......................................................................................15

2.5.1 Anak Usia Sekolah................................................................15

2.5.2 Remaja...................................................................................16

BAB III PENUTUP....................................................................................18

3.1 Kesimpulan......................................................................................18

3.2 Saran................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................19

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perawat memiliki peranan penting dalam edukasi maupun diagnosis


terhadap perkembangan individu. Perkembangan individu dimulai sejak dalam
kandungan dan akan terus berproses hingga ke tahap-tahap selanjutnya. Terdapat
delapan tahap dalam perkembangan. Tahap perkembangan dimulai dari bayi (0-18
bulan), toddler (1,5-3 tahun), pra-sekolah (3-6 tahun), sekolah (6-12 tahun),
remaja (12-18 tahun), dewasa muda (18-35 tahun), dewasa tengah (35-65 tahun),
dan dewasa akhir ( > 65 tahun).

Menurut Erikson dalam Santrock (2011), usia anak sekolah (6-12 tahun)
berada dalam tahap industry vs inferiority atau bisa juga disebut dengan percaya
diri lawan rendah diri dalam aspek perkembangan psikososialnya. Usia Remaja
(12-18 tahun) berada dalam tahap identity vs role confussion atau bisa disebut
dengan identitas dan kekacauan identitas. Anak dan remaja akan mulai keluar dari
lingkungan keluarganya dan mulai mengenal lingkungan luar, seperti sekolah.
Perkembangan tahap perkembangan ini, pada anak akan mengembangkan rasa
inisiatif yang akan menghasilkan pengalaman-pengalaman baru, sedangkan pada
remaja akan menjadi faktor pendukung untuk mengenali identitasnya ataupun
tidak. Dukungan dari orang tua dan lingkungan sangat berpengaruh dalam
perkembangan mental. Jika, terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi pemikiran-
pemikiran anak dan remaja, maka kemungkinan terjadinya rasa rendah diri dan
kekacauan identitas dapat terjadi (Santrock, 2011).

Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung.


Faktor-faktor tersebut adalah rasa takut dan stressor, sosialisasi, bermain dan
mainan, kedisiplinan, dan keterampilan. Lingkungan, teman sebaya, dan masa
pubertas merupakan faktor pendukung perkembangan mental remaja. Perawat
memiliki peranan penting dalam mempersiapkan perkembangan mental tahap usia

1
anak sekolah menuju tahap usia remaja dan rema menuju dewasa muda. Perawat
dapat memberikan tindakan asuhan keperawatan kepada anak, remaja, keluarga
maupun kelompok. Asuhan keperawatan yang diberikan bertujuan untuk
mengasah kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif pada anak, sedangkan
remaja peningkatan citra tubuh, kesadaran diri, dan harga diri. (Keliat., 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep perkembangan pada anak usia sekolah?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak usia sekolah sehat jiwa?
3. Bagaimana konsep perkembangan pada anak usia remaja?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak usia remaja sehat jiwa?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk memperkaya pengetahuan tentang konsep perkembangan anak usia
sekolah.
2. Untuk memperkaya pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada kasus
perkembangan anak usia sekolah sehat jiwa.
3. Untuk memperkaya pengetahuan tentang konsep perkembangan anak usia
remaja.
4. Untuk memperkaya pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada kasus
perkembangan anak usia remaja sehat jiwa.

1.4 Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari empat bab, antara lain sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan


penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Pembahasan, terdiri dari keterkaitan asuhan keperawatan dengan analisis


kasus perkembangan anak usia sekolah dan remaja sehat jiwa.

BAB III Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tahap Perkembangan Normal pada Anak Usia Sekolah

Anak diartikan sebagai individu dengan usia kurang dari 18 tahun dan
sedang berada dalam masa tumbuh kembang baik fisik, psikologis, sosial, maupun
spiritual. Sedangkan anak usia sekolah atau anak usia pertengahan adalah anak
dengan rentang usia 6 – 12 tahun yang beradaptasi dengan lingkungan lain selain
keluarga. Periode usia sekolah dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap awal 6-7
tahun, tahap pertengahan 7-9 tahun, dan tahap pra-remaja 10-12 tahun (Potter &
Perry, 2013).

Pada tahap ini anak-anak mulai keluar dari lingkungan keluarga menuju
lingkungan sekolah dan sudah terlibat aktif dalam interaksi sosial. Oleh sebab itu,
tidak hanya orang tua yang menentukan konsep dirinya namun orang-orang di
sekitarnya yang juga ikut berperan seperti guru dan teman barunya (Videbeck,
2013). Orang tua harus belajar membiarkan anak mengambil keputusan,
memperoleh tanggung jawab, dan belajar dari pengalaman hidup (Potter & Perry,
2013).

Kecepatan pertumbuhan pada anak usia sekolah bersifat perlahan dan


konsisten sebelum terjadinya tahap usia remaja (Potter & Perry, 2013). Kecepatan
pertumbuhan ini bervariasi setiap individu. Peningkatan tinggi badan sekitar 5 cm
per tahunnya, peningkatan berat badan berkisar 1,8 sampai 3,2kg per tahun,
pertumbuhan gigi primer atau sekunder, pertumbuhan tulang, tampilan dan postur
tubuh (Potter & Perry, 2009). Sebagian besar anak usia sekolah melakukan
keterampilan motorik kasar seperti berlari, melompat, menjaga keseimbangan,
menangkap, dan melempar. Keterampilan motorik halus akan meningkat seiring
meningkatnya keahlian anak pada berbagai kegiatan (Potter & Perry, 2009)

3
Pada usia 12 tahun anak akan mampu meningkatkan keterampilan halus
dengan menggambar dengan detail, menulis karangan, melukis, dan bermain
komputer (Potter & Perry, 2009). Pencapaian motorik halus ini akan membuat
anak mandiri dalam melakukan mandi, berpakaian, merawat dirinya, dan
membangun pemilihan secara pribadi dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh
sebab itu dukungan dan kebebasan orang tua akan mendorong anak untuk
melakukan kegiatan dan perawatan sendiri.

Selanjutnya perubahan pada kognitif anak akan memberikan kemampuan


untuk memahami hubungan antara benda dan pikiran (Potter & Perry, 2013).
Pikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi sehingga kemampuan memahami
dunia akan sangat meningkat. Anak mulai menggunakan proses berpikir logis
dengan materi yang konkret (objek, manusia, dan peristiwa yang dapat disentuh
dan dilihat) (Potter & Perry, 2013). Anak juga mulai memahami tinjauan dan
sudut pandang orang lain.

Pada tahap ini anak sulit mengevaluasi hubungan perkembangan bahasa


dengan usia karena kemampuan berkembang sangat cepat (Potter & Perry, 2009).
Anak memahami bahwa bahasa merupakan alat penyampaian untuk
menggambarkan dunia secara subjektif dan memahami bahwa kata-kata memiliki
arti yang relatif (Potter & Perry, 2013). Hal lain yang dipahami adalah teka teki
dan lelucon.

Erikson menyebutkan bahwa tugas perkembangan pada anak usia sekolah


adalah “industry vs inferiority”. Pada masa ini, anak akan mencoba memperoleh
kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan pada usia dewasa (Stuart, 2013).
Anak yang mendapatkan respon yang positif seperti dukungan dari orang tua dan
orang sekitarnya akan termotivasi dan merasakan adanya harga diri. Anak yang
memiliki kegagalan dan kurangnya dukungan dari orang tua dan guru akan
memiliki harga diri rendah sehingga dapat menarik diri dari lingkungannya
(Stuart, 2013).

Anak usia sekolah akan mulai mendeskripsikan diri berdasarkan


karakteristik internal. Anak mulai mendefinisikan konsep diri dan membangun

4
kepercayaan diri. Interaksi anak dengan kelompok akan dapat mendefinisikan
pencapaian diri dengan membandingkan pencapaian orang lain untuk membangun
citra diri yang positif (Potter & Perry, 2013). Perkembangan moral pada anak usia
awal sekolah, anak menginterpretasikan bahwa peraturan adalah hal yang harus
ditaati, namun seiring pertumbuhannya, anak mulai membangun pertimbangan
dan mengevaluasi peraturan dan penerapannya dalam situasi tertentu (Potter &
Perry, 2013).

Pada anak usia sekolah, hubungan kelompok yang sesama jenis lebih
disukai dibandingkan lawan jenis (Potter & Perry, 2009). Umumnya, anak
memiliki pandangan negatif tentang lawan jenisnya. Tingkah laku, gaya
berpakaian, pola berbicara akan dipengaruhi oleh kelompoknya (Potter & Perry,
2009).

Identitas seksual pada anak usia sekolah merupakan periode laten karena
anak belum memiliki ketertarikan pada seksualitasnya (Potter & Perry, 2009).
Namun, anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang seksualitasnya.
Beberapa anak akan melakukan sesuatu untuk mengetahui rasa ingin tahunya
seperti membaca majalah dewasa atau menarik makna dari kata – kata
seksual(Potter & Perry, 2009). Hal ini merupakan waktu pendidikan seks anak
untuk memperoleh pengetahuan tentang kematangan seksual, reproduksi,
hubungan (Potter & Perry, 2009).

Tahap pembentukan konsep diri pada usia anak sekolah (Schooler Age)
merupakan tahap “industry vs inferiority”. Pada tahap ini, orang tua perlu
memberikan kebebasan pada anak untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Anak akan cenderung memiliki motivasi dan harga diri jika
orang-orang di sekitarnya mendukungnya untuk membangun kompetensinya serta
kepercayaan dirinya, pencapaian yang berhasil sebelumnya akan memotivasi anak
untuk mencapai pengalaman baru. Sedangkan anak akan memiliki harga diri
rendah jika mengalami kegagalan dan kurangnya dukungan dari orang – orang
sekitarnya sehingga anak cenderung menarik diri dari lingkungannya dan tidak
produktif lagi.

5
2.2 Asuhan Keperawatan terhadap Anak Usia Sekolah
2.2.1 Pengkajian
Berdasarkan kasus yang diberikan untuk anak sekolah, dapat di
ambil data pengkajian yaitu umur anak adalah 10 tahun, ia adalah anak
kedua dari dua bersaudara, tidak memiliki cacat fisik, anak diterima dalam
keluarga dan masyarakat, aktif bermain dan bersosialisasi dengan teman
sebayanya, komunikasi verbal yang baik, motivasi belajar yang tinggi, dan
pengalaman masa lalu yang menyenangkan.

2.2.2 Diagnosis
Dari data pengkajian tersebut dapat di ambil diagnosis “Kesiapan
Peningkatan Perkembangan Anak Sekolah”. Kesiapan peningkatan
perkembangan anak sekolah pada umur 6-12 tahun. Definisi: Kesiapan
peningkatan perkembangan anak usia sekolah adalah anak usia 6-12 tahun.
Perkembangan kemampuan psikososial anak usia sekolah adalah
kemampuan menghasilkan karya, berinteraksi, dan berprestasi dalam belajar.
Jika anak sekolah tidak mampu mencapai perkembangan maka anak sekolah
akan mengalami rendah diri/minder dengan tanda dan gejala subjektif yaitu,
menyebutkan nama dan jenis kelamin, menjelaskan nama dan fungsi benda,
membaca doa, mengungkapkan perasaan marah, senang, takut, dan sedih,
menyampaikan pendapat dan keinginan, puas dengan keberhasilan, dan
menceritakan kebaikan dan mengungkapkan kesalah. Selain itu, tanda gejala
objektif yaitu kemampuan anak dalam membaca, menulis, berhitung,
mempunyai prestasi akademik, dan mempunyai teman sebaya (Keliat, et al.,
2019).

2.2.3 Perencanaan
Tahap perencanaan seorang perawat akan membuat rencana
intervensi berdasarkan data-data yang telah diperoleh dari proses
pengkajian. Perawat dapat merencanakan intervensi dalam meningkatkan
identitas diri anak. Fokus perawat dalam tahap ini adalah membantu klien
anak memahami diri mereka secara keseluruhan dan akurat sehingga klien
anak dapat mengarahkan kehidupan merekan sendiri, merasa puas, dan dapat

6
melanjutkan perkembangan mental mereka menuju tahap usia remaja
(Stuart, 2013).
Perencanaan mengenai identitas diri dapat berdasarkan Nursing
Outcome Classification (NOC). Perencanaan mengenai identitas diri terdiri
tiga belas perencanaan. Perencanaan itu antara lain adalah menyatakan
penguatan atas identitas pribadi, menunjukkan perilaku verbal maupun non-
verbal selaras dengan diri, menyatakan identitas pribadi, membedakan diri
dari lingkungan dan manusia lain. Selain itu, memandang lingkungan secara
akurat, menunjukkan peran sosial, menyatakan sistem penilai diri,
menantang diri mengenai keyakinan salah tentang diri sendiri merupakan
perencanaan mengenai identitas diri. Menentang diri mengenai citra diri
negatif, mengenali konflik intrepersonal dan intrapersonal, menetapkan
batas pribadi, dan menyatakan kepercayaan terhadap diri sendiri merupakan
perencanaan mengenai identitas diri berdasarkan NOC (Keliat., 2011).

2.2.4 Implementasi
Proses keperawatan tahap implementasi terhadap klien sehat usia
anak sekolah dapat dimulai dengan mengobservasi tumbuh kembang anak.
Data tumbuh kembang anak meliputi data objektif dan subjektif. Data-data
tersebut dapat berupa kemampuan motorik halus, personal sosial, motorik
kasar, dan bahasa. Perawat dapat memaksimalkan tahap pertumbuhan
perkembangan tahap usia anak dengan memberikan stimulasi terapi, yaitu :
a. Terapi bermain
Terapi bermain dapat melatih anak untuk berkomunikasi dengan
orang lain, belajar hubungan intrapersonal maupun interpersonal, dan
mencocokkan antara kewajiban dan keinginan sesuai realita. Terapi
keluarga mengikutsertakan orang tua dalam menghadapi
permasalahan mengenai peran dan tanggung jawab terhadap
perubahan yang terjadi pada anak dan keluarga.
b. Terapi kelompok
Terapi kelompok bermanfaat untuk meningkatkan harga diri,
pertumbuhan, dan keterampilan sosial.
c. Terapi individu

7
Terapi individu dapat dilakukan dengan psikoanalitis. Hubungan
antara anak dengan terapis memberi kesempatan pada anak untuk
mendapatkan pengalaman mengenai hubungan positif dengan orang
dewasa dengan penuh kasih sayang dan uji realitas.
d. Pendidikan orang tua
Pendidikan pada orang tua penting agar orang tua mengetahui
perilaku yang sesuai dengan usia anak.
e. Terapi lingkungan
Terapi lingkungan adalah memfasilitasi lingkungan yang aman dan
kegiatan yang teratur dan terprogram, memungkinkan anak untuk
mencapai tugas perkembangan (Keliat, 2011).

2.2.5 Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan yang diberikan terhadap
klien sehat usia anak adalah dengan mengamati perubahan perilaku anak
yang terjadi. Perubahan perilaku anak dapat membantu dalam mengetahui
keberhasilan anak beradaptasi. Indikator keberhasilan anak beradaptasi
antara lain adalah keefektifan intervensi penanggulangan perilaku,
kemampuan untuk berhubungan dengan teman sebaya, orang dewasa dan
orang tua secara wajar. Kemampuan untuk menggunakan kegiatan program
sebagai rekreasi dan proses belajar juga merupakan indikator keberhasilan
anak dalam beradaptasi yang dapat kita lihat (Keliat, 2011).

2.3 Tahap Perkembangan Normal pada Usia Remaja


Masa remaja adalah masa dimana seseorang akan mengalami perubahan
pesat dalam hidupnya di berbagai aspek seperti fisik, psikis, emosi dan sosial
(Efendi & Makhfudli, 2009). Perkiraan usia pada tahap remaja ini berkisar 12-20
tahun, dimana pada tahap ini remaja akan menggabungkan tugas-tugas yang sudah
dilakukannya pada tahap sebelumnya ke dalam dirinya sehingga membentuk rasa
diri dan rasa memiliki (Townsend, 2008 dan Videbeck, 2013). Oleh karena itu,
masa remaja ini disebut sebagai masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan
masa dewasa.

8
Masa remaja adalah tahap perkembangan yang unik karena pada tahap ini
terjadinya perubahan pertumbuhan dan pembelajaran. Erikson menyebutkan
bahwa masa remaja merupakan tahap Identity vs Role Confusion, dimana anak
sudah memasuki usia remaja dan mulai mencari jati dirinya. Masa ini adalah masa
peralihan antara dunia anak-anak dan dewasa. Secara biologis anak pada tahap ini
sudah mulai memasuki tahap dewasa, namun secara psikis usia remaja masih
belum bisa diberi tanggung jawab yang berat layaknya orang dewasa sehingga
nilai moral pada tahap ini adalah kesetiaan (Videbeck, 2013).

Usia remaja ini terjadi serangkaian perubahan baik dari perubahan


biologis, psikoanalisis, psikososial, kognitif, kebudayaan, dan moral. Perubahan
biologis pada masa remaja ditekankan pada adanya pertumbuhan fisik, perilaku,
dan lingkungan sehingga dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan
remaja (Stuart, 2013). Perubahan biologis ini dikenal sebagai pubertas. Perubahan
pada remaja dapat mengubah secara fisik yang mulanya seorang anak menjadi
seorang dewasa yang matang secara reproduktif. Oleh karena itu, perubahan-
perubahan tersebut sangat mendasar bagi perkembangan remaja sehingga
sebagian besar berpendapat bahwa masa pubertas merupakan tahap awal seorang
remaja.

Serangkaian peristiwa biologis remaja diikutsertakan pada siklus pubertas


sehingga menghasilkan perubahan di seluruh tubuh. Perubahan ini dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu perkembangan hormon dan perkembangan otak
(Stuart, 2013). Pada tubuh laki-laki dan perempuan usia remaja ditandai dengan
adanya peningkatan produksi hormon yang mengarah pada perkembangan
kemampuan reproduksi dan penampilan fisik yang matang. Perubahan fisik yang
terjadi pada masa remaja ditandai dengan pertumbuhan rambut pada kemaluan,
perkembangan payudara, perubahan suara, munculnya rambut wajah pada remaja
laki-laki, meningkatnya laju pertumbuhan tinggi pada laki-laki, dan membesarnya
panggul pada wanita remaja (Stuart, 2013).

Perubahan pubertas yang terjadi pada setiap remaja tidak selalu pada
waktu dan kecepatan yang sama, tergantung pada kadar hormon yang dihasilkan.
Kadar hormon tersebut mempengaruhi perilaku remaja sehingga remaja

9
mengalami perubahan emosional yang tidak stabil. Pertumbuhan dan
perkembangan otak pada masa remaja mengalami keberlanjutan. Perubahan pada
otak ini ditandai dengan sel-sel pendukung pada neuron mulai berkembang biak,
namun jumlah neuron pada usia remaja tidak mengalami peningkatan dan adanya
pertumbuhan selubung mielin di sekitar akson sel saraf sehingga memungkinkan
pemrosesan saraf pada remaja menjadi lebih cepat (Stuart, 2013). Masa remaja ini
respon fisik terhadap stress terjadi lebih cepat dari orang dewasa dikarenakan
korteks prefrontal pada area otak dapat menilai adanya bahaya yang datang,
namun menghilangkan respon stress ini tidak sepenuhnya berkembang.

Pubertas dan psikoanalisis (minat seksual) saling berhubungan dimana


perubahan biologis yang terjadi dapat mengganggu keseimbangan antara ego dan
id sehingga dibutuhkannya solusi yang harus disepakati. Pandangan remaja pada
cultural terjadi ketika seseorang percaya bahwa hak istimewa orang dewasa yang
bersifat wajar untuk ditunjukkan namun tidak (Stuart, 2013). Pada kebudayaan ini
fase remaja akan berakhir, ketika masyarakat memberinya kekuatan yang penuh
dan status sebagai orang dewasa.

Moral juga ikut serta mempengaruhi remaja dalam mengalami


perkembangan, dimana remaja akan mencari cara atau solusi untuk mendekati
konflik moral. Dalam mempertahankan hubungan, remaja laki-laki cenderung
akan mencari solusi untuk menyelesaikan konflik moral secara langsung, namun
berbeda dengan remaja wanita yang berusaha untuk menghindari konflik (Stuart,
2013).

Perkembangan kognitif pada remaja ditandai dengan perubahan


kemampuan mental, seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan berbahasa.
Masa remaja terjadi kematangan kognitif dimana hubungan atau interaksi antara
struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas
sehingga memungkinkan remaja untuk berpikir secara abstrak dan digambarkan
sebagai tahap operasi formal (Stuart, 2013). Seorang remaja termotivasi untuk
memahami dunia dengan membangun kognitif mereka, dimana informasi yang
didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka.

10
Remaja mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih
penting dibandingkan dengan ide lainnya, kemudian remaja juga mengembangkan
ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak hanya mengorganisasikan apa yang dialami
dan diamati, namun remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga
menghasilkan suatu ide baru (Putro, 2017). Kekuatan pemikiran remaja yang
sedang berkembang dapat membuka cakrawala kognitif dan cakrawala sosial baru
sehingga pemikiran mereka semakin abstrak, logis, dan idealis.

Perkembangan psikososial pada masa remaja merupakan proses untuk


mencapai kematangan dalam berbagai aspek hingga tercapainya tingkat
kedewasaan. Proses yang memperlihatkan hubungan erat antara perkembangan
fisik dengan psikis pada remaja. Perkembangan ini ditandai dengan adanya
perubahan dalam berhubungan dengan orang lain, keluarga, teman atau kelompok
masyarakat. Adanya proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-
norma kelompok, moral, dan tradisi (Efendi & Makhfudli, 2009). Pada masa
remaja ini ia meleburkan diri menjadi satu kesatuan, saling berkomunikasi dengan
orang lain, serta bekerja sama. Hubungan teman sebaya dengan lingkungan dapat
mempengaruhi perkembangan psikososial dan perilaku personal remaja sehingga
ini merupakan titik keberhasilan seorang remaja dalam menemukan jati dirinya.

2.4 Asuhan Keperawatan terhadap Usia Remaja


2.4.1 Pengkajian

Data objektif yang di dapat dalam kasus yaitu Remaja S berusia 16


tahun, saat ini S sekolah di SMU kelas XI, dan Remaja S tinggal bersama
orang tua serta dua saudara kandungnya. Sedangkan data subjektifnya yaitu
S hampir setiap hari kumpul bersama teman-teman sekolah untuk diskusi
kelompok atau menyelesaikan tugas sekolah, S juga pernah bercerita kepada
orang tuanya bahwa teman-temannya menertawakan postur tubuhnya yang
tidak tinggi. Karakteristik perilaku remaja yang menggambarkan
perkembangan psikososial remaja yang normal diantaranya remaja dapat
menilai secara objektif kelebihan dan kekurangan pada dirinya, memiliki
teman sebaya, merasa tertarik dengan lawan jenis, mengembangkan bakat

11
yang disukai, bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan, beraktivitas
dengan aktif, menemukan identitas diri yang objektif, dan memiliki cita-cita
masa depan.

Di dalam alam kasus, terdapat data bahwa Remaja S hampir setiap


hari kumpul bersama teman-teman sekolahnya untuk diskusi kelompok atau
menyelesaikan tugas sekolah, hal tersebut normal dan menunjukkan bahwa
remaja S mampu menyelesaikan tanggung jawab atau tugas yang diberikan
terhadap dirinya. Pada saat remaja S menceritakan hal yang terjadi pada
dirinya kepada orang tuanya mengenai temannya yang suka menertawakan
postur tubuhnya yang kurang tinggi hal tersebut juga merupakan hal yang
normal karena remaja memiliki perasaan yang sangat sensitif dan sangat
memperhatikan penampilan sehingga membutuhkan dukungan yang positif.
Apabila seorang remaja dapat dukungan terutama dari orang tuanya, maka
identitas yang positif juga akan tercapai pada dirinya. Jika seorang remaja
kurang mendapat bimbingan dari orang tua terkait dirinya, maka remaja
tersebut bisa jadi akan mengalami kebingungan identitas serta
ketidakyakinan terhadap hasrat serta kepercayaan dirinya (Keliat., et al,
2019)

2.4.2 Diagnosis

Dari kasus di atas sesuai dengan perkembangan psikososial pada


remaja dapat disimpulkan bahwa diagnosisnya yaitu kesiapan peningkatan
perkembangan pada remaja. Menurut Erikson dalam Videback (2011), pada
masa remaja ini anak mulai mengembangkan identitas versus rasa
kebingungan setelah berhasil menanamkan sikap industry yang berkembang
pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini seorang anak remaja akan mencoba
banyak hal untuk mengetahui jati diri mereka yang sebenarnya, salah
satunya dengan cara berteman dengan teman sebaya. Jika seorang remaja
dapat menjalani berbagai peran dan memiliki dukungan dari orang tua, maka
identitas yang positif juga akan tercapai. Namun sebaliknya, jika seorang
remaja kurang mendapatkan bimbingan dan dukungan dari orang tua terkait

12
yang terjadi pada dirinya, maka remaja tersebut akan mengalami
kebingungan akan identitas dirinya.

2.4.3 Perencanaan

Tahap asuhan keperawatan berupa perencanaan dilakukan setelah


tahapan pengkajian dan diagnosis. Perencanaan melibatkan menetapkan
prioritas, mengidentifikasi tujuan yang berpusat pada pasien dan hasil yang
diharapkan, dan meresepkan intervensi keperawatan individual (Potter,
Perry, Stockert, & Hall, 2013). Dalam diagnosis kesiapan peningkatan
perkembangan remaja, terdapat beberapa tujuan terhadap hasil yang ingin
dicapai, baik dalam aspek kognitif, psikomotor, maupun afektif (Keliat, et
al., 2019).

Tujuan asuhan keperawatan dalam aspek kognitif setelah dilakukan


intervensi keperawatan diantaranya remaja diharapkan dapat mengetahui
aspek positif dan kekurangan diri; mengetahui identitas diri, tujuan, dan cita-
cita masa depan; memahami norma dan peraturan yang berlaku; serta
berprestasi dalam bidang akademik. Dalam aspek psikomotor, remaja
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan diri, meraih prestasi pada
kegiatan positif, dan beraktivitas dengan aktif. Tujuan asuhan keperawatan
lainnya adalah dalam aspek afektif, yaitu remaja diharapkan mampu
menyampaikan pendapat dengan asertif serta mampu mengendalikan emosi
(Keliat, et al., 2019).

2.4.4 Implementasi

Dalam melakukan proses intervensi keperawatan, seorang perawat


harus melibatkan berbagai pihak, terutama klien itu sendiri dan keluarganya
(Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013). Oleh karena itu, implementasi pada
diagnosis kesiapan peningkatan perkembangan remaja melibatkan beberapa
tindakan keperawatan yang melibatkan remaja, keluarga, dan kelompok
(Keliat, et al., 2019).

13
Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh perawat ketika melakukan
tindakan pada remaja adalah mendiskusikan kemampuan, karya, dan prestasi
yang positif dan yang kurang. Setelah mendiskusikan hal tersebut, perawat
harus memberikan pujian dan mendiskusikan cara mempertahankan dan
meningkatkan kemampuan, karya, dan prestasi tersebut. Contoh tindakan
pada remaja lainnya adalah mendiskusikan identitas diri yang dimiliki secara
fisik, psikologis (mis., kebahagiaan, cita-cita, prestasi), dan sosial (mis.,
Keluarga, sahabat); mendiskusikan norma dan peraturan yang berlaku dalam
keluarga, sekolah, dan tempat umum; mendiskusikan bahaya pergaulan
bebas, narkoba, bullying, gadget, dan cara-cara menghindarinya; memotivasi
remaja dalam mengembangkan hal-hal positif dalam kehidupannya; serta
memberikan pujian pada tiap keberhasilan yang diraih remaja (Keliat, et al.,
2019).

Selain tindakan pada remaja, perawat juga perlu memberikan


tindakan pada keluarga, yaitu orang tua dan pengasuh dari remaja tersebut.
Beberapa tindakan pada keluarga diantaranya menjelaskan perkembangan
yang harus dicapai remaja; melatih cara memfasilitasi remaja untuk
mengembangkan identitas dan kekhasannya; menciptakan suasana keluarga
yang melibatkan remaja; mendiskusikan penyimpangan dan cara
mengatasinya serta pelayanan kesehatan; serta melatih keluarga
mendampingi remaja. Beberapa hal yang dapat dilakukan keluarga dalam
mendampingi remaja adalah berdiskusi tentang keberhasilan yang dicapai
remaja dan memberi pujian; mendorong pengembangan bakat yang menjadi
identitas remaja; memfasilitasi persahabatan dengan teman sebaya; menjadi
teman diskusi dalam menyelesaikan masalah; menyediakan waktu bersama
keluarga, kelompok sosial, dan kegiatan sosial lainnya; memperhatikan dan
mendampingi agar terhindar dari pergaulan bebas, narkoba, dan kekerasan;
serta menyepakati waktu penggunaan smartphone dan media sosial dengan
bijaksana dan terhindar dari ketergantungan gadget. Tindakan lainnya yang
dapat dilakukan adalah tindakan pada kelompok, yaitu memberikan edukasi
kepada kelompok remaja dan kelompok orang tua (Keliat, et al., 2019).

14
2.4.5 Evaluasi

Tahap evaluasi merupakan tahap yang sangat penting untuk


mengetahui apakah kondisi atau kesejahteraan klien membaik setelah
dilakukan asuhan keperawatan (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013). Pada
tahap ini, tujuan klien dan keluarga yang diidentifikasi sebelumnya
dibandingkan dengan hasil intervensi untuk mengetahui seberapa
tercapainya tujuan tersebut dengan hasil intervensi serta kepuasan klien dan
keluarga. Pencapaian tujuan tersebut kemudian harus didokumentasikan dan
direvisi apabila terdapat kekurangan (Stuart, 2013).

2.5 Permasalahan pada Tahap Perkembangan Anak Usia Sekolah dan


Remaja
2.5.1 Anak Usia Sekolah

Menurut Erikson, tugas utama anak usia sekolah adalah industri versus
inferioritas. Pada tahap ini, anak-anak mulai menciptakan dan
mengembangkan rasa kompeten dan ketekunan. Anak-anak usia sekolah
dimotivasi oleh kegiatan yang memberikan rasa berharga. Meskipun anak-
anak di usia ini bekerja keras untuk berhasil, mereka selalu dihadapkan pada
kemungkinan kegagalan, yang dapat menyebabkan rasa rendah diri
(Berman, Snyder, & Frandsen, 2016).

Dalam tahap anak usia sekolah, konsep diri terus berkembang hingga
matang selama periode ini. Anak-anak usia sekolah mulai membandingkan
diri mereka dengan orang lain. Anak-anak yang sukses dan menerima
pengakuan atas upaya mereka akan merasa kompeten serta mempunyai
kendali atas diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Sebaliknya, anak-
anak yang merasa tidak diterima oleh teman sebaya atau terus-menerus
menerima umpan balik negatif dan menerima sedikit pengakuan mempunyai
kemungkinan untuk mengalami perasaan rendah diri dan tidak berharga,
atau disebut dengan inferioritas (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016).

15
Selain konsep diri, tahap ini juga sangat penting dalam
mengembangkan kepercayaan diri. Selama sekolah dan kegiatan sosial
lainnya, anak-anak menerima pujian dan perhatian untuk melakukan
berbagai tugas seperti membaca, menulis, menggambar, dan menyelesaikan
masalah. Anak-anak yang berprestasi baik di sekolah lebih cenderung
mengembangkan rasa kompetensi dan kepercayaan diri. Anak-anak yang
mengalami kesulitan dengan pekerjaan sekolah kemungkinan juga akan
mengalami kesulitan dalam mengembangkan perasaan yakin. Sebaliknya,
mereka mungkin akan ditinggalkan dengan perasaan tidak mampu dan
rendah diri (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013).

Jika seorang individu mengembangkan rasa tidak mampu dan


inferioritas, mereka berisiko gagal mendapatkan keterampilan dan
pengetahuan yang diperlukan untuk kontribusi yang berarti. Jika individu
merasa inferior dalam hal pengembangan keterampilan, atau status mereka
di antara individu-individu lain, mereka mungkin menjadi berkecil hati
untuk mengidentifikasi dan bergaul dengan bagian dari masyarakat (Erikson,
1950 dalam Issawi & Dauphin, 2017). Hal ini dapat menyebabkan individu
menjadi lebih terisolasi dari pengalaman pendidikan dan sosial yang
diperlukan untuk penguasaan, yang dapat menghambat perkembangan.
Orang seperti itu merasa putus asa dan kurang percaya diri dalam
kemampuan mereka untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi
masyarakat (Issawi & Dauphin, 2017).

2.5.2 Remaja

Menurut Erikson, tugas psikososial remaja adalah pembentukan


identitas. Tugas mengembangkan kepercayaan pada diri sendiri dan orang
lain sekali lagi ditemui ketika remaja mencari individu ideal yang dapat
mereka percayai. Konflik dapat muncul antara berperilaku baik di mata
orang tua dan berperilaku dengan cara yang akan mengarah pada
penerimaan teman sebaya. Sejauh mana tugas-tugas tahap sebelumnya telah
berhasil dicapai mempengaruhi kemampuan remaja untuk mengembangkan

16
konsep diri dan identitas diri yang sehat (Berman, Snyder, & Frandsen,
2016).

Risiko tahap ini adalah kebingungan peran. Sementara kebingungan


tentang identitas seksual, agama, etnis, dan gender adalah mungkin,
kebingungan peran pekerjaan sangat menonjol pada masa remaja, terutama
dalam masyarakat kapitalis yang menekankan gagasan individualis tentang
definisi diri (Erikson, 1956 dalam Kitchens & Abell, 2017). Pertanyaan "apa
yang akan saya lakukan dengan hidup saya?" dapat terngiang pada mereka
yang mengalami kebingungan peran. Selama tahap ini, seseorang mungkin
merasa tersesat dan sangat menderita. Untuk mengurangi kecemasan dan
perasaan kebingungan mereka, mereka mungkin membuat keputusan yang
terburu-buru dan impulsif yang secara prematur berusaha untuk
menyelesaikan dan menghilangkan krisis identitas. Sebagai reaksi terhadap
kebingungan ini, individu sering memberi kompensasi dengan
mengidentifikasi berlebihan dengan minat cinta, klik, atau subkultur.
Remaja yang mengalami kebingungan peran lebih mungkin teridentifikasi
secara berlebihan dengan subkultur seperti ikut mengonsumsi narkoba atau
terlibat dalam suatu geng (Kitchens & Abell, 2017).

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesiapan peningkatan perkembangan remaja terjadi pada usia 12-18 tahun.


Perkembangan kemampuan psikososial remaja dalam mencapai identitas diri
meliputi peran, tujuan pribadi, keunikan, dan ciri khas. Pada usia tersebut
hubungan seorang remaja dengan kelompok atau teman sebayanya juga sangat
erat. Pada tahap ini, anak bukan hanya memulai berada pada lingkungan keluarga
dan sekolah tetapi juga lingkungan masyarakat Karakteristik pertumbuhan dan
perkembangan remaja antara lain, perubahan fisik yang terjadi pada saat pubertas
yaitu meningkatnya tinggi badan dan berat badan serta kematangan sosial, remaja
sudah dapat berpikir secara logis, dan transisi sosial remaja mengalami perubahan
dalam berhubungan dengan individu lain. Pada tahap ini, seorang remaja bukan
hanya memulai berada pada lingkungan keluarga dan sekolah tetapi juga
lingkungan masyarakat. Jika seorang remaja dapat menjalani berbagai peran baru
dengan positif dan mendapatkan dukungan dari orang tua serta lingkungannya
maka identitas yang positif akan tercapai di dalam diri remaja tersebut. Tetapi,
jika seorang remaja kurang mendapat bimbingan dan mendapat banyak penolakan
dari orang tua serta lingkungannya terkait berbagai peranannya, maka remaja
tersebut akan mengalami kebingungan identitas serta ketidakyakinan terhadap
kepercayaan dirinya.

3.2 Saran

Perkembangan yang terjadi pada seorang remaja merupakan salah satu


tahap perkembangan yang dapat mempengaruhi kehidupannya, oleh karena itu
seorang remaja membutuhkan arahan, didikan, serta dukungan dari orang tua dan
lingkungannya agar remaja tersebut dapat melewati masa-masa transisi dengan
baik sehingga remaja tersebut dapat mengatasi dan menerapkan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam kehidupannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Berman, A., Snyder, S. J., & Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb's Fundamentals
of Nursing: Concepts, Process, and Practice (10th ed.). Hoboken: Pearson
Education.

DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2011). Fundamentals of Nursing: Standards &


Practice (4th ed.). New York: Cengage Learning.

Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan
praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Istiana, D., Keliat, B. A., & Nuraini, T. (2011). TERAPI KELOMPOK
TERAPEUTIK ANAK DENGAN ORANG TUA DAN GURU
MENINGKATKAN PERKEMBANGAN MENTAL ANAK USIA
SEKOLAH. Jurnal Ners , 93-99.

Issawi, S., & Dauphin, B. (2017). Industry Versus Inferiority. In V. Zeigler-Hill,


& T. K. Shackelford, Encyclopedia of Personality and Individual
Differences. Cham: Springer International Publishing.

Keliat, B. A., Hamid, A. Y., Putri, Y. S., Daulima, N. H., Wardani, I. Y., Susanti,
H., . . . Panjaitan, R. U. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kitchens, R., & Abell, S. (2017). Ego Identity Versus Role Confusion. In V.
Zeigler-Hill, & T. K. Shackelford, Encyclopedia of Personality and
Individual Differences. Cham: Springer International Publishing.

Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
Nursing (8th ed.). St. Louis: Elsevier.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2009). Fundamental of Nursing. (A. Ferderika, Ed.)
(7th ed.). Jakarta: Penerbit Salemba Medika

19
Putro, Khamim Zarkasih. (2017). Memahami ciri dan tugas perkembangan masa
remaja, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, 17(1): 25-32, 2017.
ISSN 1411-8777.
Stuart, G. W. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing 10th ed. St.
Louis, Missouri: Elsevier.

Townsend, Mary C. (2008). Nursing Diagnoses in Psychiatric Nursing


Seventh Edition. USA: F. A. Davis Company.
Videbeck, S.L. (2013). Psychiatric Mental Health Nursing, 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

20

Anda mungkin juga menyukai