Anda di halaman 1dari 14

CHAPTER

6
MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK
Hal. 1 dari 14
CHAPTER 6

MEMBANGUN BUDAYA PELAYANAN DAN

MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PELAYANAN PUBLIK

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti chapter modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang

bagaimana membangun Budaya Pelayanan dan Manajemen Sumber Daya Manusia dalam

Pelayanan Publik

Budaya Pelayanan

Budaya pelayanan memiliki peran yang sangat penting dalam organisasi. Menurut Ueno

(2012), ada beberapa alasan yang membuat budaya pelayanan menjadi menjadi faktor penting.

Pertama, budaya yang kuat dalam pelayanan akan mengarahkan perilaku karyawan secara

konsisten dalam melayani pelanggan. Kedua, budaya pelayanan merupakan prasyarat sukses

untuk membangun organisasi yang berorientasi pada pelanggan. Ketiga, manajemen tidak mampu

mengawasi semua karyawan sehingga budaya pelayanan diharapkan mampu mempengaruhi dan

memastikan ketepatan perilaku karyawan dalam pelayanan. Sehingga tidak salah jika kemudian

Ostrom et al. (2010) menyatakan bahwa salah satu prioritas dalam kajian tentang pelayanan yaitu

bagaimana menciptakan dan memelihara budaya pelayanan.

Dewasa ini ada dua tantangan dalam dunia pelayanan (Kaufman, 2012). Pertama, pada

dasarnya siapapun tidak terlalu tertarik untuk melayani. Padahal, hampir tidak ada satupun bagian

dalam kehidupan manusia yang tidak terlepas dari aspek pelayanan. Faktanya, sangat sedikit

sekali wawasan yang didapatkan setiap orang terkait aspek melayani. Jika demikian pada tataran

individu, maka untuk membangun pelayanan menjadi sebuah budaya tentu merupakan sebuah

tantangan berat tersendiri. Kedua, konsep pelayanan telah dipahami dengan sekian banyak

variasi konsep yang seringkali membingungkan baik di kalangan peneliti maupun praktisi. Dari

Hal. 2 dari 14
segi bahasa misalnya, seringkali tumpang tindih konsep antara budaya dengan iklim. Meskipun

kedua istilah tersebut saling berkaitan, namun secara teoritikal dan empiris memiliki ranah

pembahasan yang berbeda. Sehingga, dalam tataran praktis tentu saja akan menimbulkan

implikasi manajerial yang berbeda pula.

Davis dan Gautam (2011) menyatakan bahwa budaya pelayanan merupakan sebuah pola

pikir pelayanan dalam organisasi yang berfokus pada produk dan pelayanan yang kemudian

mendefinisikan bagaimana organisasi belajar dan mengembangkannya dari perspektif karyawan

dan pelanggan. Dari konsep ini dapat dipahami bahwa budaya pelayanan terkait dengan pola pikir

(mindset), fokus pelayanan, dan perspektif karyawan serta pelanggan. Kemudian berdasarkan

kajian liteartur yang cukup dalam dan komprehensif, Davis dan Gautam (2011) mengembangkan

model konseptual budaya pelayanan yang terdiri dari berbagai dimensi yang satu sama lain saling

berhubungan. Ada Sembilan aspek penting yang membentuk konsep budaya pelayanan.

Konsekuensi akhir dari budaya pelayanan yaitu nilai pelayanan (service value) yang merupakan

persepsi pelanggan terhadap seberapa baik proses pelayanan dibandingkan dengan yang mereka

rasakan sebelumnya. Nilai pelayanan dipengaruhi oleh pengalaman pelayanan (service

encounters), sedangkan pengalaman pelayanan ditentukan oleh orientasi pelayanan (service

orientation) dan iklim pelayanan (service climate). Orientasi pelayanan dipengaruhi oleh pelatihan

pelayanan (service training) dan penghargaan pelayanan (service reward). Sedangkan iklim

pelayanan ditentukan oleh seberapa baik penghargaan pelayanaan, kreasi bersama pelayanan

(service co-creation), dan transformasi pelayanan (service transformation).

Voon et al. (2012) menggunakan istilah budaya pelayanan yang berorientasi pasar.

Konsep ini dipahami sebagai seperangkat nilai dan praktik untuk melayani baik pelanggan internal

maupun eksternal dengan baik dan diharapkan dapat menciptakan nilai bagi organisasi secara

efisien dan efektif.

Budaya pelayanan dicirikan sebagai lingkungan kerja dimana anggota organisasi membagi

pemahaman bersama tentang norma dan harapan untuk memprioritaskan kebutuhan orang lain

Hal. 3 dari 14
dibandingkan dirinya sendiri dan menyediakan bantuan serta dukungan untuk orang lain. Berikut

merupakan cara untuk membentuk budaya pelayanan yaitu:

1. Policy and Process , merupakan penjabaran dan pernyataan visi, misi dan nilai serta

kebijakan perusahaan. Ini sangat berpengaruh dalam membentuk budaya pelayanan di

sebuah organisasi. Jadi sudah sepatutnya disosialisasikan kepada segenap karyawan.

2. Key Performance Indicator and Standard , sebuah tolok ukur dari kinerja pelayanan di dalam

oranisasi. Merupakan langkah dan prosedur organisasi untuk membantu pengukuran policy

dan proses pelayanan beserta tingkatan pelayanan yang dapat dijadikan sebagai acuan.

3. Service Measurement , pengukuran pelayanan yang bertujuan untuk mencari tahu apakah

standar pelayanan sudah mencapai hasil yang diharapkan. Report and Management

Information System , informasi yang didapat dari service measurement disusun dan

dilaporkan untuk menjadi keputusan perbaikan dari policy dan proses.

4. Report dapat menjadi ukuran untuk menentukan kebutuhan training, coaching , reward dan

punishment bagi karyawan untuk meningkatkan pelayanan. Proses ini sangat penting

sebagai acuan dalam perbaikan di masa yang akan datang.

Budaya Pelayanan Publik

Pemerintah adalah pemilik kekuasaan terhadap masyarakat melalui berbagai peraturan

dan perundang-undangan. Masyarakat memiliki kewajiban dan hak terhadap negara dan

kekuasaan yang dimiliki pemerintah. Masyarakat harus taat untuk memenuhi semua kewajibannya

kepada negara dan pemerintah. Di sinilah, diperlukan sebuah pelayanan yang penuh integritas

dan akuntabilitas dari pemerintah, untuk memudahkan masyarakat dalam memenuhi kewajiban

mereka, dan mendapatkan haknya dengan kepastian hukum yang kuat

Pelayanan publik yang diberikan oleh negara sangat berbeda dengan pelayanan yang

diberikan oleh sebuah perusahaan di dalam bisnis. Di dalam dunia bisnis ada kompetisi dan

persaingan yang ketat sehingga siapa pun yang mampu memberikan pelayanan yang

Hal. 4 dari 14
memudahkan dan menguntungkan pelanggan, akan menjadi pemenang dalam bisnis. Sedangkan

pelayanan yang diberikan pemerintah, masyarakatlah yang membutuhkan pelayanan dan

pemerintah yang berkewajiban untuk melakukan pelayanan tersebut. masyarakat tidak

mendapatkan pelayanan seperti slogan dan janji yang diberikan pemerintah.

Apabila pemerintah dan negara ingin memberikan pelayanan publik seperti layaknya di

dalam bisnis yang sangat kompetitif, maka pemerintah harus membangun budaya organisasi yang

kuat dan berorientasi kepada pelayanan publik terbaik. Tidak mungkin bisa memberikan

pelayanan publik yang baik hanya dengan perubahan pada sistem, prosedur, teknologi,

penampilan kantor, dan tata kelola tetapi juga sikap dan perilaku seorang pelayan publik menjadi

sangat menentukan untuk memberikan pelayanan berkualitas. Sikap dan perilaku pelayanan yang

berkualitas hanya dapat diciptakan melalui budaya organisasi yang kuat dan hebat.

Manusia yang berbudaya tinggi mampu menciptakan sikap, perilaku, perbuatan,

penampilan, ucapan, pilihan kata-kata, reaksi, dan emosi yang harmonis untuk memberikan

pelayanan terbaik. Jadi, keberadaan budaya organisasi yang kuat itu sangat penting dan

merupakan dasar untuk bisa memberikan pelayanan publik berkualitas. Tanpa budaya organisasi

yang kuat, jangan berharap masyarakat akan puas dan bahagia dengan pelayanan yang diberikan

oleh pemerintah.

Budaya pelayanan membutuhkan perubahan pola pikir dari setiap individu pegawai

pemerintah. Perubahan pola pikir tersebut tidak lagi merasa sebagai pemilik kekuasaan, tetapi

merasa sebagai pelayan masyarakat. Saat setiap individu pegawai pemerintahan sudah mampu

memiliki mindset sebagai pelayan publik, saat itulah budaya pelayanan yang kuat akan tumbuh.

Selama pegawai pemerintah masih merasa sebagai pemilik kekuasaan, maka jangan pernah

bermimpi untuk memberikan pelayanan publik terbaik bagi masyarakat. Selama mental dan

mindset setiap individu pegawai pemerintahan belum berubah dari mental kekuasaan menjadi

mental pelayan, maka impian dan obsesi untuk memberikan pelayanan publik yang cepat dan

berkualitas sulit terwujud.

Hal. 5 dari 14
Pelayanan publik yang baik dihasilkan dari budaya pelayanan yang diciptakan secara

sadar. Tanpa kehadiran budaya pelayanan yang unggul, pelayanan publik menjadi tidak

berkualitas dan tidak konsisten. Masyarakat semakin sadar untuk mendapatkan hak pelayanan

publik yang baik agar mereka bisa memenuhi semua kewajiban kepada negara dan pemerintah

dengan jujur. Untuk bisa melayani hak masyarakat dengan sikap baik, maka setiap individu

pelayan publik wajib terlatih agar bisa berinteraksi secara profesional dalam pelayanan yang

diberikan.

Membangun budaya organisasi yang kuat berarti dimulai dari visi dan misi yang tergambar

secara jelas. Nilai-nilai untuk menciptakan sikap, perilaku, kebiasaan, pola pikir, emosi,

kepribadian, karakter, dan etos kerja. Prinsip-prinsip kerja yang jelas dan cara mengambil

keputusan yang jelas. Slogan dan janji-janji yang dikuasai dan terbiasa untuk dilayani dengan

integritas. Revolusi mental melalui pelatihan dan pencerahan secara terus-menerus wajib

dilakukan. Manusia mudah lupa dan mudah kembali kepada kebiasaan lama. Oleh karena itu,

perkuat komitmen setiap individu untuk menjalankan nilai-nilai inti organisasi dengan konsisten.

Setiap pegawai harus dilatih untuk memvisualisasikan pelayanan publik seperti yang diimpikan

oleh instansi. Pemimpin harus bisa meyakinkan dan mengarahkan setiap individu untuk terbiasa

memberikan pelayanan sesuai nilai-nilai, prosedur, sistem, prinsip, dan perilaku yang membuat

publik bahagia dengan pelayanan yang mereka dapatkan. Melayani masyarakat dengan budaya

pelayanan yang unggul memerlukan peningkatan kualitas pribadi pegawai secara terus-menerus.

Kualitas individu pegawai harus ditingkatkan dari sisi soft skills secara terus-menerus dan

berkelanjutan di sepanjang waktu.

Manajemen Sumberdaya Manusia

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa negara wajib melayani setiap warga

negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar hak warga negara dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya

Hal. 6 dari 14
penyelenggaraan pelayanan publik yang prima atas barang publik, jasa publik, serta pelayanan

administratif.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka dipandang perlu

untuk meningkatkan kapasitas SDM pelayanan, mengingat bahwa Sumber Daya Manusia (SDM)

aparatur pelayanan memiliki peran strategis sebagai pendorong (key leverage) dari reformasi

birokrasi. Terkait dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, maka perlu didukung

dengan sumber daya manusia (SDM) pelayanan yang handal, serta ketersediaan sarana dan

prasarana termasuk dukungan Teknologi Informasi (IT). Oleh karena itu, SDM pelayanan sebagai

kunci keberhasilan kinerja organisasi pelayanan publik harus mendapatkan perhatian utama

dalam perbaikan kualitas pelayanan. Untuk itu, pemilihan dan penempatan pegawai sesuai

dengan kompetensi yang dimilki merupakan salah satu penentu keberhasilan pelayanan publik.

Dalam hubungan ini organisasi pelayanan publik harus berupaya melakukan pencarian dan

penempatan pegawai dan menerapkan konsep penempatan the right man on the right place, yaitu

menentukan orang yang tepat pada setiap bentuk dan jenis pelayanan. Organisasi dituntut untuk

secara terbuka melakukan proses pemilihan dan penempatan SDM, yaitu dengan menyusun

kebijakan serta aturan yang jelas mengenai semua persyaratan bagi posisi-posisi pekerjaan yang

akan diisi, serta menerapkan sistem yang baku sebagai pedoman kegiatan tersebut di atas.

Beberapa kriteria SDM aparatur yang dapat mendukung peningkatan kualitas pelayanan adalah

SDM yang memiliki kompetensi di bidang pelayanan publik yang antara lain mencakup: (a)

komitmen; (b) integritas; (c) tanggung jawab; (d) kecakapan dan keramahan; (e) mengerti

kebutuhan pelanggan; (f) daya tanggap dan empati; (g) serta mempunyai etika dan moralitas yang

tinggi.

Selanjutnya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dan

memberikan kemanfaatan terhadap masyarakat pelanggannya apabila SDM penyelenggara

pelayanan sungguh-sungguh memperhatikan beberapa dimensi atau atribut perbaikan kualitas

pelayanan yang antara lain meliputi: (a) ketepatan waktu pelayanan; (b) akurasi pelayanan; (c)

Hal. 7 dari 14
kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan; (d) tanggung jawab; (e) kelengkapan;

(f) kemudahan mendapatkan pelayanan; (g) variasi model pelayanan; dan (h) kenyamanan dalam

memperoleh pelayanan.

SDM yang bekerja di unit/organisasi pelayanan publik tidak hanya dituntut keahlian dan

ketrampilan secara teknis dan penguasaan terhadap peraturan perundangan yang mendasarinya,

akan tetapi yang lebih penting lagi diperlukan sikap mental dan perilaku yang baik, ramah dalam

melayani, jujur, cekatan dan bertanggung jawab. Mengingat masyarakat yang dilayani tidak akan

peduli terhadap apa yang menjadi kendala dan hambatan dalam bekerja, tidak akan peduli

terhadap permasalahan-permasalahan pribadi pegawai, akan tetapi mereka hanya peduli

terhadap apa yang mereka butuhkan untuk dapat dilayani secara baik, mudah, cepat, murah

Kepuasan masyarakat dapat dicapai apabila SDM yang terlibat langsung dalam pelayanan

dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk memberikan pelayanan yang

berkualitas. Agar SDM pelayanan benar-benar dapat mendukung peningkatan kualitas pelayanan,

maka perlu dilakukan pengelolaan SDM pelayanan secara baik termasuk dalam hal identifikasi

kebutuhan SDM yang diperlukan dalam rangka pemberian pelayanan sesuai dengan standar

pelayanan yang telah ditetapkan, terutama berkaitan dengan kompetensi dan kualifikasi untuk

setiap peran yang akan dimainkan dalam setiap proses pelayanan. Disamping itu juga perlu

dilakukan identifikasi kebutuhan pengembangan SDM serta perencanaannya, pengembangan

etika pelayanan yang diperlukan agar pegawai tetap berada dalam batasan-batasan yang telah

ditentukan dalam memberikan pelayanan.

Beberapa permasalahan SDM pelayanan publik yang dapat menjadi penghambat

(constraints) pencapaian keberhasilan organisasi antara lain: (a) etos kerja yang cenderung

mempertahankan status quo dan tidak mau menerima adanya perubahan (resistance to change);

(b) adanya budaya risk aversion (tidak menyukai resiko); (c) rutinitas tugas dan penekanan yang

berlebihan pada pertanggung-jawaban formal sehingga mengakibatkan adanya prosedur yang

kaku/lamban; (d) belum adanya sistem insentif dan disinsentif bagi petugas pelayanan yang

Hal. 8 dari 14
menunjukkan kinerja tinggi atau sebaliknya; serta (e) kurangnya kemampuan SDM pelayanan

untuk melakukan analisa dalam pembuatan standar pelayanan yang akurat.

Kelemahan utama SDM pelayanan publik adalah profesionalisme, kompetensi, empathy

dan etika. Kondisi aparatur pelayanan publik tersebut, pada hakekatnya tidak terlepas dari

permasalahan yang menyangkut:

1. Permasalahan instrumental, yaitu masih adanya berbagai peraturan perundang-undangan di

bidang kepegawaian yang tumpang tindih (overlapping), saling bertentangan satu sama lain

antara peraturan yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi, banyak peraturan perundang-

undangan yang sudah obsolete, serta berbagai kondisi yang belum ada peraturan

perundang- undangannya (vakum);

2. Permasalahan environmental; yaitu masih adanya beberapa daerah khususnya daerah yang

kemampuannya masih tertinggal dari daerah lainnya, masyarakatnya masih sangat

menggantungkan lapangan pekerjaan di sektor pemerintah, dan bahkan menjadi

satusatunya lapangan lapangan pekerjaan yang tersedia dan menjanjikan, karena sektor

lain tidak tersedia;

3. Permasalahan potensial, berupa adanya berbagai konflik antar elit politik (Pilkada), antar

kelompok masyarakat, tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif, antara

pemerintah pusat dan daerah;

4. Permasalahan sejarah yaitu pasang surut yang terjadi dalam sistem manajemen

kepegawaian sejak mulai dari zaman kerajaan, zaman pemerintahan kolonial, zaman

kemerdekaan, era orde baru, sampai era reformasi; dan

5. Permasalahan faktual berupa kondisi dan kemampuan aparatur pelayanan, sulitnya

mengubah mindset serta masih tingginya ego sektoral dan konflik kepentingan yang masih

mewarnai berbagai institusi penyelenggara pemerintahan.

Pengelolaan Integritas Pelayanan Publik

Hal. 9 dari 14
Etika merupakan fondasi penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan baik. Etika yang

telah tertanam pada pejabat publik dapat berdampak pada pelayanan publik yang dapat

meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kurangnya nilai etika yang dimiliki oleh pejabat publik

dapat menimbulkan persoalan dalam pelayanan publik. Persoalan integritas pada pelayanan

publik, sangat terkait dengan etika publik. Etika publik menurut Haryatmoko dikatakan sebagai

“refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/ salah perilaku, tindakan dan

keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab

pelayanan publik (Haryatmoko, 2011, hal. 3). Terdapat tiga dimensi etika publik, yaitu:

1. Tujuan yakni mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan publik yang berkualitas

dan relevan

2. Sarana membangun institusi yang lebih adil dirumuskan sebagai „membangun infrastruktur

etika dengan menciptakan regulasi, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi dan

netralitas pelayanan publik

3. Aksi / tindakan dipahami sebagai “integritas publik “untuk menjamin pelayanan publik yang

berkualitas.

Integritas adalah suatu konsep yang merujuk pada konsistensi antara tindakan dan

kebenaran dari tindakan seseorang. Integritas merupakan kesatuan sitem nilai yang memiliki

kesesuaian antara perkataan, tindakan, amanah sebagai abdi masyarakat.

Hal. 10 dari 14
Integritas akan tercermin dengan sendirinya ketika ketulusan dan tindakan teruji seiring dengan

berjalannya waktu. Sedangkan etika aparatur harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai moral,

perkataan dan tindakannya baik dalam etika personal, etika organisasi dan etika

profesional. Integritas birokrat publik merupakan suatu indikator yang digunakan untuk

menentukan baik buruknya sikap perilaku seorang pelayan publik dalam menjalankan tugas dan

kewajibannya dalam pemerintahan. Birokrat publik dituntut selalu ingat dengan sumpah dan

janjinya, sehingga tidak sampai melalaikan tugas yang menjadi kewajibannya, dan tidak

melakukan sesuatu hal yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya dalam pemerintahan.

Aparatur harus menjadikan integritas sebagai sebuah landasan dalam melaksanakan tugas-tugas

pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Integritas merupakan isu penting yang harus ditindaklanjuti sekaligus dijadikan sebagai

sikap dan komitmen oleh segenap aparatur pemerintah tanpa kecuali untuk mewujudkan

pemerintahan yang bersih dari korupsi. Salah satu upayanya dengan mengembangkan kebijakan

dan penegakan sistem integritas birokrasi, yang merupakan prasyarat penting untuk menciptakan

pemerintah yang bersih danbebas KKN. Hal ini akan dicapai antara lain melalui pemantapan

kebijakan pengawasan, peningkatan efektivitas sistem pengawasan, peningkatan kuantitas dan

kualitas internal auditor dan pengelola keuangan Negara, pemantapan penerapan sistem

pengendalian intern pemerintah melalui penyusunan pedoman dan peningkatan kapasitas auditor,

serta pelaksanaan asistensi, konsultasi dan bimbingan teknis bagi instansi pemerintah pusat dan

daerah dalam penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah.

Kebijakan lain yang dapat ditempuh dalam rangka meningkatkan integritas aparatur adalah

dengan mengembangkan kebijakan dan menerapkan disiplin pegawai, netralitas PNS, penerapan

kode etik, pakta integritas, dan pembatasan konflik kepentingan. Hal itu harus disertai dengan

penerapan mekanisme sanksi dan penghargaan yang ketat bagi seluruh pejabat dan pegawai,

dan disertai dengan kebijakan lainnya untuk menginternalisasikan nilai-nilai integritas dan budaya

kerja serta profesionalisme di lingkungan PNS. Dengan upaya ini, dan simultan dengan berbagai

Hal. 11 dari 14
kebijakan lainnya yang menunjang, diharapkan etos kerja pegawai negeri yang “bersih, kompeten,

dan melayani” dapat terwujud.

Konsep Sistem Integritas yang dikembangkan Jeremy Pompe dari Transparancy

International juga dapat dijadikan sebagai kerangka program nasional dalam memerangi korupsi.

Organisasi yang memiliki integritas dapat melawan korupsi secara keseluruhan melalui sistem

operasi. Dalam arti melibatkan berbagai pilar-pilar kenegaraan dan masyarakat yang dipandang

relevan dalam mencegah dari dan memberi sangsi atas tindakan korupsi. Konsep ini dimaksud

sebagai pendekatan menyeluruh dalam arti melibatkan berbagai institusi kenegaraan dan

masyarakat yang dipandang relevan dalam mencegah dari dan memberi sangsi atas tindakan

korupsi. Prinsip proses yang ingin diajukan adalah “check and balances” antar lembaga

(interlockings). Untuk terciptanya horizontal accountability ini, beberapa tindakan harus diambil

yaitu menegakkan kode etik, penegakan hukum yang tegas, perubahan organsasi, dan reformasi

institusi.

Sistem Integritas Nasional adalah sebuah sistem yang di dalamnya terdiri atas pilar-pilar

para penyelenggaranya sistem kepemerintahan/ keorganisasian, yang mana dalam

pelaksanaannya menjunjung tinggi integritas demi tegaknya kewibawaan institusi tersebut. Dari

berbagai variasi di seluruh dunia, pilar-pilar integritas,yang paling umum dari suatu masyarakat,

meliputi: Pemerintah, DPR, Pengadilan, Pegawai Negeri, Lembaga-lembaga Pengawas (seperti

Ombudsman, Komite Akuntan Publik, BPK, BPKP, KPPU, KPTPK, Polisi, dan lainnya),

masyarakat sipil, sektor swasta, media massa dan badan-badan internasional (Transparency

International Indonesia 2014).

Untuk dapat menjalankan akuntabilitas dalam Sistem Integritas Nasional, maka pada ruang

lingkup pilar maupun organisasi, semua perlu memperhatikan 3 dimensi di bawah ini:

1) Peran/kontribusi (role), yaitu memastikan setiap organisasi ataupun pilar menjalankan tugas

pokok dan fungsi secara berintegritas, dengan berbasis keunggulan masing-masing. Untuk

Hal. 12 dari 14
selanjutnya dikolaborasikan dengan organisasi ataupun pilar lainnya dalam pembangunan

Sistem Integirtas Nasional;

2) Transparansi dan akuntabilitas (governance), setiap organisasi harus menerapkan

akuntabilitas dan transparansi, meliputi juga pemenuhan laporan dan pertanggungjawaban,

sebagaimana yang telah diamanahkan kepada setiap pilar dalam bentuk implementasi

sistem integritas. Dengan akuntabilitas dan transparansi, maka implementasi sistem

integritas dalam kerangka pemberantasan korupsi dapat dijalankan secara efektif dan

efisien, sehingga tidak menimbulkan korupsi atau perilaku koruptif jenis baru; dan

3) Kapasitas (Capacity), agar dapat membangun sistem integritas, budaya organisasi, dan

menjalankan perannya secara berintegritas, maka masing-masing harus memiliki kapasitas

untuk menjalankan kedua hal tersebut. Kapasitas yang perlu dibangun masing-masing pilar

adalah kapasitas Sumber Daya Manusia, Dana, Teknologi dan Informasi Komunikasi.

BAHAN REVIEW
Mahasiswa diharapkan melakukan review terkait modul chapter diatas!

Hal. 13 dari 14
Referensi

Davis, R., & Gautam, N. 2011. Conceptualising service culture. Leading Applied Business,

Retrieved October 13, 2017, from http://thedomm.com/2011/05/03/conceptualising service-

cultureby-robert-davis-and-neil-gautam-2011/

Kaufman, Ron. 2012. Uplifting Service: The Proven Path to Delighting Your Customers,

Colleagues, and Everyone Else You Meet. Evolve Publishing, Inc, USA.

Liden, R. C., Wayne, S. J., Liao, C., & Meuser, J. D. 2014. Servant leadership and serving culture:

Influence on individual and unit performance. Academy of Management Journal, 57(5), 1434–1452

Ostrom, A, Bitner, M, Brown, S, Burkhard, K, Goul, M and Smith-Daniels, V. 2010, Moving forward

and making a difference: Research priorities for the science of Service, Journal of Service

Research, vol. 13, no. 1, pp. 4 - 36.

Ueno, Akiko. 2012. Which HRM practices contribute to service culture? Total Quality

Management. Vol. 23, No. 11, November, 1227–1239.

Voon, Boo Ho., Hamali, Jamil., Lee, Nagarajah., Abdullah, Firdaus., and Kueh, Karen. 2012.

Developing a Service Culture-Value Chain for Hospitals, IACSIT International Journal of

Engineering and Technology, Vol. 4, No. 4, August.

Hal. 14 dari 14

Anda mungkin juga menyukai