Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keterampilan abad ke-21 menuntut berbagai keterampilan yang

harus dikuasai seseorang, sehingga diharapkan pendidikan dapat

mempersiapkan peserta didik untuk menguasai berbagai keterampilan

tersebut agar menjadi pribadi yang sukses dalam hidup. Keterampilan-

keterampilan penting di abad ke-21 masih relevan dengan empat pilar

kehidupan yang mencakup learning to know (belajar untuk mengetahui),

learning to do (belajar untuk mengetahui jati dirinya), learning to be (belajar

untuk mengerjakan sesuatu) dan learning to live together (belajar untuk

bekerja sama). Empat prinsip tersebut masing-masing mengandung

keterampilan khusus yang perlu diberdayakan dalam kegiatan belajar,

seperti keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, metakognisi,

keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, inovasi dan kreasi, literasi

informasi, dan berbagai keterampilan lainnya.1

Keterampilan abad-21 salah satunya yaitu berpikir kritis. Berpikir

kritis adalah suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang ide atau gagasan

yang berhubungan dengan konsep yang diberikan atau masalah yang

dipaparkan. Berpikir kritis juga dapat dipahami sebagai kegiatan

menganalisis idea atau gagasan kearah yang lebih spesifik, membedakannya

1
Asis Saefududdin, Pembelajaran Efektif, (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya. 2014), h. 22

1
secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkannya

ke arah yang lebih sempurna. Berpikir kritis berkaitan dengan asumsi bahwa

berpikir merupakan potensi yang ada pada manusia yang perlu

dikembangkan untuk kemampuan yang optimal.2

Al-qur’an juga menerangkan tentang perintah berpikir secara tersirat

terdapat dalam surah Al- Baqarah Ayat 219, Allah Berfirman :

          

         

         

Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi.


Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir,
Ayat ini menjelaskan bahwasanya Allah SWT menjelaskan

penjelasan yang lengkap dan menampakkan kepada hamba-hambaNya dan

rahasia-rahasia dibalik syariatNya. Allah juga menunjukkan kepada

kebenaran yang menghasilkan ilmu yang bermanfaat dan menjadikan

pembeda (antara haq dan yang batil). Kemudian Allah juga memerintahkan

agar manusia mengunakan pikiran terhadap rahasia-rahasia syariatNya dan

agar manusia mengetahui bahwa perintah-perintahNya mengandung

kemashlahatan dunia dan akhirat, juga agar manusia berpikir tentang dunia

2
Ahmad Susanto, Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group. 2013), h. 121

2
dan kemaslahatannya yang cepat, hingga manusia menolaknya, dan tentang

akhirat dan keabadiannya dan bahwasanya akhirat itu adalah tempat

pembalasan, hingga manusia mempersiapkannya. 3 Jadi ayat diatas

menerangkan tentang perintah berpikir dimana manusia dituntut untuk

berpikir secara kritis untuk berkreasi dengan akal pikirannya dan dengan hati

nuraninya dalam menyelesaikan persoalan hidup didalamnya.

Keterampilan berpikir kritis merupakan suatu proses yang

memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan baru melalui proses

pemecahan masalah dan kolaborasi. Keterampilan berpikir kritis

memfokuskan pada proses belajar daripada hanya pemerolehan

pengetahuan. Keterampilan berpikir kritis melibatkan aktivitas-aktivitas,

seperti menganalisis, menyintesis, membuat pertimbangan, menciptakan,

dan menerapkan pengetahuan baru pada situasi dunia nyata. Keterampilan

berpikir kritis penting dalam proses pembelajaran karena keterampilan ini

memberikan kesempatan kepada peserta didik belajar melalui penemuan.4

Keterampilan berpikir kritis adalah keterampilan yang dapat

dipelajari. Dengan demikian, keterampilan ini dapat diajarkan. Keterampilan

berpikir kritis tidak akan berkembang dengan baik tanpa ada usaha sadar

untuk mengembangkannya selama pembelajaran. Keterampilan berpikir

kritis memerlukan pembelajaran dan latihan secara terus menerus dan

3
Abdurrahman bin Nasbir, “Tafsir Al-Qur’an”, (Jakarta : Darul Hari), h. 381.
4
I Wayan Redhana, “Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pertanyaan Socratik
untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa”, Cakrawala. No 3, November 2012, hal
352

3
disengaja agar dapat berkembang ke arah yang potensial. Oleh karena itu,

peserta didik harus ditantang agar dapat mengembangkan keterampilan

berpikir kritis selama pembelajaran.5

Hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 9 Februari 2019 di MIN

3 Pesisir Selatan, ditemukan bahwa pada saat pembelajaran masih

menggunakan pembelajaran konvensional yang berpusat pada pendidik.

Dampak dari pembelajaran tersebut adalah peserta didik menjadi pasif

dimana hanya mendengar penjelasan dari pendidik. Hal ini berdampak pada

keterampilan berpikir kritis peserta didik di mana peserta didik tidak mampu

berpikir kritis hal ini terlihat dari hasil ulangan harian yang masih sangat

rendah dan masih ada yang di bawah KKM. Bentuk pertanyaan dalam soal

ulangan harian sudah berdasarkan bentuk pertanyaan HOTS. Hal ini dapat

terlihat pada tabel 1.1 di bawah ini:

Tabel 1.1
Nilai Rata-rata Ujian Harian Tema 8 Khusus Mata Pelajaran IPA dan
Bahasa Indonesia
No Nama KKM Nilai rata-rata (IPA
dan Bahasa
Indonesia)
1 AF 70 60
2 DMS 70 50
3 DCP 70 60
4 FD 70 62
5 FE 70 55
6 HS 70 60
7 HR 70 75
8 LI 70 60
9 MA 70 65
10 NA 70 45

5
Ahmad susanto, loc.cit

4
No Nama KKM Nilai rata-rata (IPA
dan Bahasa
Indonesia)
11 RK 70 68
12 RF 70 75
13 SA 70 78
14 TS 70 62
15 YF 70 53
Jumlah 908
Rata-rata 60.53
Sumber: Wali Kelas IV

Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa dari 15 peserta didik hanya 3 orang

saja peserta didik yang nilainya di atas KKM dan 12 orang lainnya tidak

tuntas. Selain itu, pada saat pendidik memberikan pertanyaan hanya tiga

orang saja yang mampu menjawab pertanyaan, selebihnya peserta didik tidak

mampu menganalisa pertanyaan yang diberikan pendidik sehingga tidak bisa

menjawab pertanyaan yang diberikan. Hal ini terlihat dari wawancara yang

dilakukan pada pendidik dengan inisial LM di MIN 3 Pesisir Selatan, beliau

menyatakan bahwa:

“Pada saat pembelajaran peserta didik disini kurang memperhatikan.


Pada saat saya bertanya kepada mereka, mereka hanya diam tidak
merespon pertanyaan yang diberikan. Hanya pada saat saya
menyuguhkan pembelajaran itu kepada mereka, mereka mau
merespon itupun hanya tiga orang saja yang merespon.” 6

Hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa dengan model

pembelajaran konvensional peserta didik menjadi pasif dimana hanya

mendengar penjelasan pendidik dan mencatat hal-hal yang dianggap

penting, peserta didik tidak mampu berpikir kritis karena salah satu indikator

6
LM Pendidik MIN 3 Pesisir Selatan, Wawancara Langsung, Februari 2019

5
berpikir kritis adalah mampu menganalisa pertanyaan. Akibatnya terjadi

penumpukan konsep dan informasi belaka dalam diri peserta didik. Memang

konsep dan materi penting namun yang lebih penting adalah proses yang

terjadi di dalam peserta didik bisa memahami konsep atau materi tersebut.

Pemahaman yang baik tentang konsep dan materi akan menentukan sikap

dan perilaku peserta didik dalam berhadapan dengan masalah kehidupan

sehari-hari.

Pengembangan keterampilan berpikir kritis peserta didik di sekolah,

belum sepenuhnya difasilitasi melalui kegiatan pembelajaran yang ada.

Hanya sedikit sekali sekolah yang benar-benar mengajar peserta didik untuk

berpikir kritis. Sekolah terlalu menghabiskan waktu untuk mengajar anak

memberi satu jawaban benar yang imitatif. Banyak peserta didik yang

sukses menyelesaikan tugasnya, mengerjakan ujian dengan baik, dan

mendapat nilai baik, tetapi mereka tidak belajar secara kritis dan mendalam.7

Salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan adalah peserta didik

kurang mampu menyelesaikan permasalahan kontekstual yang dihadapinya.

Hal ini disebakan karena proses pembelajaran mentitik beratkan pada

penghafalan materi dan prosedur tanpa pernah sekalipun dihadapkan pada

kenyataan di lapangan.8

7
Pricilla Anindyta dan Suwarjo, “Pengaruh Problem Best Learning terhadap
Keterampilan Berpikir Kritis dan Regulasi Diri Siswa Kelas V”, Jurnal Prima Edukasia. Vol 2. No
2, 2014, hal. 211
8
Ilham Handika dan Muhammad Nur Wangid, “Pengaruh Pembelajaran Berbasis
Masalah terhadap Penguasaan Konsep dan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas V”, Jurnal
Prima Edukasia. Vol 1. No 1, 2013, hal. 86

6
Tujuan pendidikan nasional harus tercapai dan sebagai salah satu

upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dapat menggunakan

inovasi pembelajaran yang dewasa ini dikembangkan yaitu model

Contextual Teaching and Learning (CTL). Model CTL merupakan suatu

proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi peserta didik

untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan

mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari (konteks

pribadi, sosial, dan kultural) sehingga peserta didik memiliki

pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer)

dari satu permasalahan ke permasalahan lainnya.

Dalam penelitian relevan yang dilakukan oleh Setyowati dan Purba,

Lawe bahwa model CTL dapat meningkatkan hasil belajar dan keaktifan

peserta didik maka penulis simpulkan jika hasil belajar dan keaktifan peserta

didik meningkat maka peserta didik mampu berpikir kritis dalam proses

pembelajarannya. Karena ketika peserta didik aktif dalam mengikuti

kegiatan pembelajaran di kelas maka peserta didik tersebut ketika

dihadapkan dengan masalah mampu mengolah informasi yang diterima

maka peserta didik mampu menyimpulkanya sendiri dengan pemikiran kritis

maka peserta didik tersebut mampu memahami pembelajaran dan hasil

belajarnya akan meningkat.

Model Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu

konsep belajar dimana pendidik menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam

kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan

7
yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai

anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran

lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung lebih

alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami, bukan

transfer pengetahuan dari pendidik ke peserta didik. Pembelajaran

kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah

satu model yang memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran berbasis

kompetensi sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep

dan berpikir kritis peserta didik.9Hal tersebut didukung oleh pendapat

University of Washington dalam Trianto bahwa Contextual Teaching and

Learning (CTL) menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer

pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisisan dan

pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan.

Disamping itu, salah satu unsur dalam Contextual Teaching and Learning

(CTL) yaitu dapat menunjang peserta didik untuk berpikir tingkat lebih

tinggi, peserta didik dilatih untuk menggunakan berpikir kritis dan kreatif

dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu, atau memecahkan suatu

masalah. Ketika peserta didik mengetahui permasalahan/fenomena

lingkungan yang dekat dengan lingkungan hidupnya, peserta didik

diharapkan dapat berlatih untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis

sehingga dapat mengetahui solusi yang tepat untuk permasalahan/fenomena

tersebut.

9
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group. 2009), h. 107

8
Model Contextual Teaching and Learning (CTL) mengasumsikan

bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi

nyata lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencarian

hubungan yang masuk akal dan bermanfaat. Contextual Teaching and

Learning (CTL) menjadikan konsep pembelajaran yang abstrak disajikan

dalam konteks keseharian peserta didik sehingga menghasilkan dasar-dasar

pengetahuan yang mendalam di mana peserta didik kaya akan pemahaman

masalah dan cara untuk menyelesaikannya, dengan begitu peserta didik

benar-benar memahami konsep-konsep tentang pembelajaran serta mampu

berpikir kritis bagaimana memecahkan masalah yang terjadi pada

lingkungan.10

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti melakukan

penelitian dengan judul “Penerapan Model Contextual Teaching and

Learning (CTL) Pada Pembelajaran Tematik Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas IV MIN 3 Pesisir

Selatan”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan

diatas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Pembelajaran masih berpusat pada pendidik.

10
Ibid.,

9
2. Pembelajaran hanya menggunakan model yang mudah dan belum

bervariasi.

3. Peserta didik sangat pasif pada saat pembelajaran.

4. Peserta didik tidak mampu berfikir secara kritis sehingga membuat

peserta didik bosan.

5. Peserta didik tidak memahami konsep dan materi sesuai yang

diharapkan kususnya pada materi IPA dan Bahasa Indonesia.

C. Batasan masalah

Berdasarkan uraian identifikasi masalah di atas pada poin 2, 4 dan 5

penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Penelitian dilakukan di MIN 3 Pesisir Selatan pada kelas IV semester

genap tahun ajaran 2018/2019.

2. Berpikir kritis dapat diukur dengan indikator : memberikan penjelasan

sederhana, membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan

penjelasan lanjut, dan mengatur strategi dan taktik.

3. Tema yang diambil pada penelitian ini adalah Tema 9 “Kayanya

Negeriku”. Pada K.D :

10
IPA

3.5 Mengidentifikasi berbagai sumber energi, perubahan bentuk energi,

dan sumber energi alternatif (angin, air, matahari, panas bumi,

bahan bakar organik, dan nuklir) dalam kehidupan sehari-hari.

4.5 Menyajikan laporan hasil pengamatan dan penelusuran informasi

tentang berbagai perubahan bentuk energi.

Bahasa Indonesia

3.3 Menggali informasi dari seorang tokoh melalui wawancara

menggunakan daftar pertanyaan.

3.3 Melaporkan hasil wawancara menggunakan kosakata baku dan

kalimat efektif dalam bentuk teks tulis

4. Mata pelajaran yang diambil dalam penelitian adalah IPA dan Bahasa

Indonesia.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian ini adalah apakah keterampilan berpikir kritis peserta

didik menggunakan Model Contextual Teaching and Learning (CTL)

meningkat dari pada tanpa menggunakan model Contextual Teaching and

Learning (CTL)?

11
E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah keterampilan

berpikir kritis peserta didik menggunakan Model Contextual Teaching and

Learning (CTL) meningkat dari pada tanpa menggunakan model Contextual

Teaching and Learning (CTL) pada kelas IV khususnya pada pembelajaran

IPA dan Bahasa Indonesia di MIN 3 Pesisir Selatan.

F. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan

menambah pengetahuan mengenai model apakah penerapan model Contextual

Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan keterampilan berpikir

kritis peserta didik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta

didik.

2. Kegunaan praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Penulis, sebagai bahan memperdalam dan memperluas cakrawala dalam

masalah yang berkaitan dengan model apakah penerapan model

Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan

keterampilan berpikir kritis peserta didik dalam meningkatkan kemampuan

berpikir kritis peserta didik.

12
2. Pendidik, sebagai bahan meningkatkan wawasan dan pengetahuan

pendidik tentang pelaksanaan model Contextual Teaching and Learning

(CTL) dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik.

3. Sekolah, sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan dalam

penggunaan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat

meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik.

4. Peserta didik, sebagai usaha dan pengalaman dalam meningkatkan

keterampilan berpikir kritis peserta didik dengan model Contextual

Teaching and Learning (CTL).

G. Defenisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami judul penelitian ini, di

bawah ini akan dijelaskan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian

tersebut:

Model CTL: Model CTL merupakan konsep belajar yang membantu

pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkannya dan

situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta

didik membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-

hari. Dalam penelitian ini model CTL inilah yang akan

digunakan dalam pembelajaran.

13
Berpikir Kritis: Berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang

terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi,

informasi dan argumentasi.11

11
Alec Fisher, Berpikir Kritis Sebuah Pengantar, (Jakarta: Erlangga. 2008), h. 10

14

Anda mungkin juga menyukai