Anda di halaman 1dari 31

TEKNOLOGI DAN SENI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu:
Hj. Maisarah,S.Pd.I, M.Pd

Disusun oleh:
Aridha Pebriani Kusmiran NIM : 2111017220006
Ayu Fajar Rusadi NIM : 2111017220020
Maisya Maulida NIM : 2111017220021
Muhammad Nizar Ali NIM : 2111017310004
Nur Salsabila NIM : 2111017220012

PROGRAM STUDI STATISTIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2022

i
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah swt. atas
curahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan optimal dan sesuai dengan waktu
yang telah ditetapkan.
Makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik jika
tidak ada bantuan serta dukungan dari semua yang bersangkutan. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. Ibu Hj. Maisarah,S.Pd.I, M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah Agama Islam.
2. Kepada Orang Tua penulis, yang tidak henti-hentinya mendukung
dan memberikan semangat untuk penulis dalam melaksanakan
makalah ini.
3. Kepada teman-teman anggota yang telah banyak membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis sangat mengharapkan adanya saran, masukan maupun
kritikan yang membangun guna melengkapi kekurangan makalah
penulis ini. Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberi
manfaat kepada kita semua pihak.

Banjarbaru, 11 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................2

DAFTAR ISI .........................................................................................................3

BAB I .....................................................................................................................4

PENDAHULUAN .................................................................................................4

1.1. Latar Belakang .......................................................................................4

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................5

1.3. Tujuan ....................................................................................................5

1.4. Manfaat ..................................................................................................5

BAB II ...................................................................................................................7

PEMBAHASAN ....................................................................................................7

2.1. Pengertian tekhnologi dan seni dalam Islam ..........................................7

2.2. Perkembangan IPTEKS .........................................................................9

2.2.1. Ilmu dalam Perspektif Historis .........................................................10

2.2.2. Sejarah Perkembangan Iptek dan Kontribusi Ilmuwan Islam Pada


Kemajuan Iptek .................................................................................15

2.3. Integrasi iman, ilmu dan tekhnologi dalam Islam ................................19

2.4. Beberapa bentuk seni dalam Islam .......................................................19

2.5. Islam dalam menghadapi tantangan modernisasi .................................22

BAB III ................................................................................................................29

PENUTUP ...........................................................................................................29

3.1. Kesimpulan ..........................................................................................29

3.2. Saran .....................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................30

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di zaman modern saat ini, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) dan seni berkembang dengan sangat pesat. Islam sendiri
sangat memperhatikan pentingnya ilmu pengetahuan dikarenakan
martabat manusia tidak hanya ditentukan oleh nilai-nilai
peribadatannya, tetapi juga ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya. Al-
Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya, seperti yang tercantum dalam
Surah Thaha ayat 114 dan Surah Yusuf ayat
72. Nabi Muhammad saw. Sendiri juga diperintahkan untuk
selalu berusaha dan berdoa agar selalu ditambahkan ilmu
pengetahuannya karena di atas setiap pemilik ilmu pengetahuan ada
yang amat mengetahui, yaitu Allah swt. Oleh karena itu, manusia harus
selalu berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan yang tentunya tidak
membahayakan dirinya, lingkungannya dan agamanya.
Sedangkan mengenai seni, Islam menerima semua hasil karya
seni manusia selama masih sejalan dengan pandangan Islam. Apabila
sudah tidak sejalan dengan pandangan Islam, maka manusia
diperintahkan untuk kembali kepada seni yang sesuai dengan
pandangan Islam saja dan meninggalkan seni yang bertentangan.
Dengan demikian, pada hakikatnya Islam sangat menghargai segala
hasil kreasi manusia, termasuk hasil kreasi manusia yang lahir dari
penghayatan manusia terhadap wujud alam semesta, selama hasil kreasi
tersebut sejalan dengan fitrah manusia itu sendiri.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan
seni ini berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan manusia.
Pengaruh ini tentunya berupa dua bentuk, yaitu dampak positif dan

4
negatif. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan sangat mungkin
berhubungan dengan keimanan manusia kepada Allah swt., dimana
IPTEK dan seni yang bertentangan dengan pandangan Islam tentunya
akan membawa manusia itu sendiri juga tidak lagi sejalan dengan
pandangan Islam. Oleh karena itu, sangat diperlukan pemahaman
mengenai IPTEK dan seni yang sejalan dan sesuai dengan perspektif
Islam.

1.2. Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang sudah dijelaskan, beberapa hal yang
ingin diketahui adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apakah pengertian teknologi dan seni dalam Islam?
1.2.2 Bagaimanakah pekembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
dan Seni?
1.2.3 Bagaimana integrasi iman, ilmu dan teknologi dalam Islam?
1.2.4 Bagaimana beberapa bentuk seni dalam Islam?
1.2.5 Bagaimana Islam menghadapi tantangan modernisasi?

1.3. Tujuan
Sesuai Latar Belakang dan Rumusan Masalah yang
disampaikan diatas, beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah:
1.3.1 Mengetahui pengeryian teknologi dan seni dalam Islam.
1.3.2 Megetahui perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan
Seni.
1.3.3 Mengetahui integrasi iman, ilmu dan teknologi dalam Islam.
1.3.4 Mengetahui beberapa bentuk seni dalam Islam.
1.3.5 Mengetahui bagaimana Islam dalam menghadapi tantangan
modernisasi.

1.4. Manfaat
Harapan dibuatnya makalah ini adalah untuk dijadikan bahan
bacaan bagi mahasiswa lainnya agar menambah wawasan dan

5
mengetahui beberapa hal tentang media tradisional khususnya Madihin
sebagai salah satu seni tradisional khas daerah Banjarmasin.

6
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian tekhnologi dan seni dalam Islam
Kata teknologi berasal dari bahasa latin ’’texere’’ yang berarti
menyusun atau membangun. Sehingga istilah teknologi seharusnya
tidak terbatas pada penggunaan mesin, meskipun dalam arti sempit hal
tersebut sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Iskandar Alisyahbana (1980) Teknologi telah dikenal manusia sejak
jutaan tahun yang lalu karena dorongan untuk hidup yang lebih
nyaman, lebih makmur dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban
sebenarnya telah ada teknologi, meskipun istilah “teknologi” belum
digunakan. Istilah “teknologi” berasal dari “techne” atau cara dan
“logos” atau pengetahuan. Jadi secara harfiah teknologi dapat diartikan
pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya
adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia
dengan bantuan akal dan alat, sehingga seakan-akan memperpanjang,
memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra dan
otak manusia
Mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali
dalam Alquran, sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-
keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh
adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yg artinya
“Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi utk kamu guna
memelihara diri dalam peperanganmu.” Dari keterangan itu jelas sekali
bahwa manusia dituntut untuk berbuat sesuatu dengan sarana teknologi.
Kemajuan teknologi secara umum telah banyak dinikmati oleh
masyarakat luas dengan cara yang belum pernah dirasakan bahkan oleh
para raja dahulu kala. Makanan lebih nikmat dan beraneka ragam,

7
pakaian terbuat dari bahan yg jauh lebih baik dan halus, sarana-sarana
transportasi dan komunikasi yang kecepatannya amat mengagumkan,
gedung dan rumah tempat tinggal dibangun dengan megah dan mewah.
Tampaknya manusia di masa depan akan mencapai taraf kemakmuran
yang lebih tinggi dan memperoleh kemudahan-kemudahan yang lebh
banyak lagi.
Benar bahwa agama Islam tidak menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga tidak anti terhadap barang-barang
produk teknologi baik di zaman lampau di masa sekarang, maupun di
waktu-waktu yang kan datang. Demikian pula dengan ajaran Islam,
yang tidak akan bertentangan dengan teori-teori pemikiran modern
yang teratur dan lurus, serta analisa-analisa yang teliti dan obyekitf.
Dalam pandangan Islam menurut hukum asalnya segala sesuatu itu
adalah mubah termasuk segala apa yg disajikan oleh berbagai
peradaban baik yang lama ataupun yang baru. Semua itu sebagaimana
diajarkan oleh Islam tidak ada yang hukumnya haram, kecuali jika
terdapat nash atau dalil yang tegas dan pasti mengherakannya.
Bukankah Alquran sendiri telah menegaskan bahwa agama Islam
bukanlah agama yang sempit. Allah SWT telah berfirman yang artinya
“Di sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu
kesempitan.”
Adapun peradaban modern yag begitu luas memasyarakatkan
produk-produk teknologi canggih, seperti televisi, video player, alat-
alat komunikasi, dan barang-barang mewah (gadget) lainnya, serta
yang menawarkan aneka jenis hiburan bagi tiap orang tua, muda atau
anak-anak yang tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab atas apa
yg diakibatkannya. Tetapi di atas pundak manusianyalah terletak semua
tanggung jawab itu. Sebab adanya berbagai media informasi dan alat-
alat canggih yang dimiliki dunia saat ini, dapat berbuat apa saja.
Kiranya faktor manusianya-lah yg menentukan opersionalnya.

8
Adakalanya menjadi manfaat, yaitu manakala manusia menggunakan
dengan baik dan tepat. Tetapi dapat pula mendatangkan dosa dan
malapetaka, manakala manusia menggunakannya untuk mengumbar
hawa nafsu dan kesenangan semata.

2.2. Perkembangan IPTEKS


IPTEK adalah singkatan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin canggih dan mendukung terciptanya teknologi-teknologi baru.
Kemajuan teknologi telah mempengaruhi kehidupan ini dan tidak bisa
dihindari, karena IPTEK memberikan banyak manfaat dan
memudahkan pekerjaan, sebagaimana Abraham (1991: 207-209)
megungkapkan bahwa proses kemajuan tektonologi menghasilkan
modernitas, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi, mobilitas sosial,
ekspansi atau peluasan budaya. Pentingnya teknologi dikemukakan
pula oleh Marx dan Angels (dalam budiman, 1993:43 Atmaja & Ariani,
2018:76) bahwa melalui kemajuan Teknologi komunikasi makin
canggih dan murah, berkembangnya teknologi komunikasi dapat
terjadinya hubungan antara negara maju dan negara terbelakang yang
teknik produksinya yang masih rendah sehingga tidak bisa dihindari.
Perkembangan IPTEK sekarang, masyarakat dituntut untuk
lebih meningkatkan kemampuan dan kompetensinya, sehingga manusia
dapat menyeimbangkan dirinya di zaman modern ini. IPTEK adalah
awal dari kesuksesan bangsa, karena bisa menciptakan sesuatu hal yang
baru yang sebelumnya tidak bisa terjadi dapat terjadi. Hal tersebut
dinyatakan oleh Prof. Agus pada tahun dalam pidato presiden Soekarno
di Malang pada tahun 1958 bahwa “bangsa ini akan maju dan sejahtera
jika pembangunannya dilandaskan pada ilmu pengetahuan dan
teknologi”. Dari pendapat ini kita bisa mengetahuai bahwa tanpa
adanya teknologi dan pendidikan maka tidak akan pernah ada yang

9
namanya kemajuan.

2.2.1. Ilmu dalam Perspektif Historis


Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap
menurut dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman
Yunani Kuno, Abad Tengah, Abad Modern, sampai Abad
Kontemporer.
Masa Yunani Kuno (abad ke 6 SM-6M) saat ilmu pengetahun
lahir, kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki
corak mitologis. Corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia
terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui
adanya sesuatu yang eka, tetap, dan abadi, di balik yang bhineka,
berubah dan sementara ( T. Yacob, 1993).
Setelah timbul gerakan demitologisasi yang dipelopori filsuf
pra-Sokrates, yaitu dengan kemampuan rasionalitasnya maka filsafat
telah mencapai puncak perkembangan, seperti yang ditunjukkan oleh
trio filsuf besar : Socrates, Plato dan Aristoteles. Filsafat yang semula
bersifat mitologis berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang
meliputi berbagai macam bidang. Aristoteles membagi ilmu menjadi
ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan prkatis (etika,
politik) dan ilmu pengetahuan teoretik. Ilmu pengetahuan teoretik
dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama atau
kemudian disebut metafisika.
Memasuki Abad Tengah (abad ke 5 M), pasca Aristoteles
filsafat Yunani Kuno menjadi ajaran praksis, bahkan mistis, yaitu
sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri, dan Plotinus. Semua hal
tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi
mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus
mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae). Filsuf besar yang
berpengaruh saat itu yaitu Augustinus dan Thomas Aquinas, pemikiran

10
mereka memberi ciri khas pada filsafat abad tengah. Filsafat Yunani
Kuno yang sekuler kini dicairkan dari antinominya dengan doktrin
gerejani, filsafat menjadi bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi
pusat kegiatan agama, tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual.
Bersamaan dengan itu kehadiran para filsuf Arab tidak kalah penting,
seperti: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Gazali, yang
telah menyebarkan filsafat Aristoteles dengan membawanya ke
Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh dunia Barat melalui
kaum Patristik dan kaum Skolastik. Wells dalam karyanya The Outline
of History (1951) mengatakan “jika orang Yunani adalah Bapak
metode ilmiah, maka orang muslim adalah bapak angkatnya”.
Munculah Abad Modern (abad ke 18 M -19 M) dengan
dipelopori oleh gerakan Renaissance di abad ke 15 dan dimatangkan
oleh gerakan Aufklaerung di abad ke 18, melalui langkah-langkah
revolusionernya filsafat memasuki tahap baru atau modern.
Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak
Renaissance dan Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei,
Kepler, Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan implikasi
yang amat luas dan mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala
kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat manusia, sedang di lain
pihak manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke duania sekuler,
yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya yang semula
merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang
semula menguasai dan manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan
oleh filsafat. Masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut
dasar dan arah pemikiran sendiri (Koento Wibisono, 1985).
Dalam perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh
ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing
mengembangkan spesialismenya sendiri-sendiri secara intens.
Lepasnya ilmu-ilmu cabang dari batang filsafatnya diawali oleh ilmu-

11
ilmu alam atau fisika, melalui tokoh-tokohnya.
Revolusi ilmu pengetahuan memasuki Abad Kontemporer
(abad ke 20- sekarang) berkat teori relativitas Einstein yang telah
merombak filsafat Newton (semula sudah mapan) di samping teori
kuantumnya yang telah mengubah persepsi dunia ilmu tentang sifat-
sifat dasar dan perilaku materi. Sedemikian rupa sehingga para pakar
dapat melanjutkan penelitian-penelitiannya, dan berhasil
mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti: astronomi, fisika, kimia,
biologi molekuler, hasilnya seperti yang dapat dinikmati oleh manusia
sekarang ini (Sutardjo, 1982).
Optimisme bersamaan dengan pesimisme merupakan sikap
manusia masa kini dalam menghadapi perkembangan ilmu
pengetahuan dengan penemuan-penemuan spektakulernya. Di satu
pihak telah meningkatkan fasilitas hidup yang berarti menambah
kenikmatan. Namun di pihak lain gejala-gejala adanya malapetaka,
bencana alam (catastrophe) menjadi semakin meningkat dengan akibat-
akibat yang cukup fatal.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi,
membagi ilmu ke dalam Natuurwissenchaft dan Geisteswissenchaft.
Kelompok pertama sebagai Science of the World menggunakan metode
Erklaeren, sedangkan kelompok kedua adalah Science of Geist
menggunakan metode Verstehen. Kemudian Juergen Habermas, salah
seorang tokoh mazhab Frankfrut (Jerman) mengajukan klasifikasi lain
lagi dengan the basic human interest sebagai dasar, dengan
mengemukakan klasifikasi ilmu-ilmu empiris- analitis, sosial-kritis dan
historis-hermeneutik, yang masing-masing menggunakan metode
empiris, intelektual rasionalistik, dan hermeneutic (Van Melsen, 1985).
Adanya faktor heuristik mendorong lahirnya cabang-cabang
ilmu yang baru seperti : ilmu lingkungan, ilmu komputer, futurologi,
sehingga berapa pun jumlah pengklasifikasian pasti akan kita jumpai,

12
seperti yang kita lihat dalam kehidupan perguruan tinggi dengan
munculnya berbagai macam fakultas dan program studi yang baru.
Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya dewasa ini beserta
anak-anak kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi
kehidupan umat manusia. Iptek kini telah menjadi sesuatu yang
substansial, bagian dari harga diri (prestige) dan mitos, yang akan
menjamin survival suatu bangsa, prasyarat (prerequisite) untuk
mencapai kemajuan (progress) dan kedigdayaan (power) yang
dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa.Dalam
kedudukannya yang substansif tersebut, Iptek telah menyentuh semua
segi dan sendi kehidupan secara ekstensif, dan pada gilirannya
mengubah budaya manusia secara intensif. Fenomena perubahan
tersebut tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedang
mengalami masa transisi simultan.
1. Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju
masyarakat dengan budaya industri modern. Dalam masa transisi
ini peran mitos mulai diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan
lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap
sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir dengan
kekuatan penalarannya yang handal dijadikan kerangka acuan
untuk meramalkan dan mengatur kehidupan. Pandangan mengenai
ruang dan waktu, etos kerja, kaidah-kaidah normatif yang semula
menjadi panutan, bergeser mencari format baru yang dibutuhkan
untuk melayani masyarakat yang berkembang menuju masyarakat
industri. Filsafat “sesama bus kota tidak boleh saling mendahului”
tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah prestasi, siap
pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif inovatif-
kreatif.
2. Masa transisinya budaya etnis kedaerahan menuju budaya nasional
kebangsaan. Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara

13
konvergen menuju satukesatuan pranata kebudayaan demi tegak
kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang berwilayah
dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur pemerintahan,
sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara
intensif merupakan upaya serius untuk membina dan
mengembangkan jati diri sebagai satu kesatuan bangsa.
3. Masa transisinya budaya nasional-kebangsaan menuju budaya
global-mondial. Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai
universal seperti hak azasi, demokrasi, keadilan, kebebasan,
masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial
kesukuan, kebangsaan atau pun keagamaan, kini mengendor
menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang
lebih konkret dalam tataran operasional. Batas-batas sempit
menjadi terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi adanya
pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-
modernism.
Implikasi globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu
standardisasi yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang. Negara
atau pemerintahan di mana pun, terlepas dari sistem ideologi atau
sistem sosial yang dimiliknya. Dipertanyakan apakah hak-hak azasi
dihormati, apakah demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan
keadilan dimiliki oleh setiap warganya, bagaimana lingkungan hidup
dikelola.
Nyatalah bahwa implikasi globalisasi menjadi semakin
kompleks, karena masyarakat hidup dengan standar ganda. Di satu
pihak sementara orang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya lama
yang diimprovisasikan untuk melayani perekembangan baru yang
kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (sub-culture),
sedang di lain pihak muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan
terhadap perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai penyebab

14
kegerahan dan keresahan dari mereka yang merasa dipinggirkan,
tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu yang
disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).
Ciri khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah
rasional, antroposentris, dan cenderung sekuler, dengan suatu etos
kebebasan (akademis dan mimbar akademis).
Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan negative.
Positif, dalam arti kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong
kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress, improvement) dengan
teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan kemudahan-
kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk
meningkatkan kemakmuran hidupnya secara fisik-material.
Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong
berkembangnya arogansi ilmiah dengan menjauhi nilai-nilai agama,
etika, yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan manusia
sendiri.
Akhirnya tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan dan
teknologi telah mempunyai kedudukan substantif dalam kehidupan
manusia saat ini. Dalam kedudukan substantif itu ilmu pengetahuan dan
teknologi telah menjangkau kehidupan manusia dalam segala segi dan
sendinya secara ekstensif,yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan
teknologi merubah kebudayaan manusia secara intensif.

2.2.2. Sejarah Perkembangan Iptek dan Kontribusi Ilmuwan


Islam Pada Kemajuan Iptek
Revolusi pada iptek membuat manusia menjadi lebih maju dari
sebelumnya, adanya pola pikir yang berkembang tanpa meninggalkan
nilai nilai yang ada di alquran, yang bukan hanya inspirasi namun juga
dijadikan sebagai landasan hidup umat islam. Paradikma al-quran juga
ikut serta dalam memberikan kemajuan dibidang iptek atau ikut

15
berkontribusi dalam kemodernan agama islam.
Dalam sejarah perkembangan iptek, ilmuwan Islam memiliki
kontribusi besar didalamnya. Berikut adalah beberapa nama ilmuwan
Islam yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan iptek dalam
sejarah peradaban manusia.
1. Ibnu Sina
Ibnu sina mempunyai nama lain yaitu Abu ‘Ali al-Husien bin
Abdullah al- Hasan bin ‘Ali bin Sina. Ibnu Sina lahir dan besar di desa
Afsyanah. Ia sudah menjadi hafidz al-quran karena mampu menghafal
al-quran pada umur 10 tahun. Selain itu ia juga mempelajari tentang
ilmu fiqih dan mampu menguasai ilmu sismatik. Pada umur 10 tahun ia
juga tahu banyak tentang sastra pada masa itu selain itu ia juga
membaca dan mempelajari ilmu tentang kedokteran. Saat berumur 16
tahun ia juga menjadi filosof dan penyair, ia juga ahli dalam filsafat,
bahasa, kedokteran, musik dan masih banyak lagi.
Selain itu ia juga memahami dalam bidang intelektual dia cukup
piawai dan ahli pada hal itu. Ibnu sina juga sangat kreatif ia mencoba
memadukan antara filsafat dengan agama. Hal ini membuktikan
meskipun Ibnu Sina sudah menjadi orang besar dan sangat disegani
oleh orang di seluruh dunia namun Ibnu Sina tidak pernah
mengesampingkan agamanya apalagi melupakannya, meskipun sudah
menguasai dan ahli diberbagai bidang bagi Ibnu Sina agama adalah
ilmu yang utama.
2. Al-Khawarizmi
Nama asli dari al-Khawarizmi adalah Muhammad bin Musa al-
Khawarizmi. Ia lahir dan besar di negara yang sekarang sudah berubah
menjadi Uzbekiztan. Al-khawarizmi adalah seorang ilmuwan dan
cendekiawan muslim. Ia terkenal dengan perkembangannya dibidang
ilmu astronomi. Ia juga ahli dalam ilmu aljabar, karena kecerdasannya
inilah ia bisa masuk dalam lingkungan pengembangan pendidikan

16
ternama pada saat itu. Ada teori trigonometri dan juga kulkus yang
berhasil al-khawarizmi kemas dengan lebih mudah, karena itulah al-
Khawarizmi diberi julukan yaitu bapak aljabar.
Al-Khawarizmi juga ikut berkontribusi besar dalam bidang
astronomi, bidang ini sangat menarik bagi umat muslim. Karena
astronomi mempelajari tentang luar angkasa dan planet sehingga
digunakan umat muslim untuk suatu penanggalan dan penandaan
adanya bulan Ramadhan dan idul fitri serta hari besar lainnya.
3. Ibnu Rusyid
Ibnu Rusyid dikenal sebagai filsafat yang handal di Andalusia,
banyak juga yang datang mendatangi Ibnu Rusyid untuk berkonsultasi
mengenai ilmu yang dikuasai beliau, seperti kedokteran dan yang
lainya. Sifat Ibnu Rusyid yang sangat ingin tahu dan memiliki
pemikiran yang kritisnya yang dapat mengantarkan Ibnu Rusyid
menjadi seseorang yang seperti ini.
Ibnu Rusyid menekankan 3 pemikiran yaitu, tradisi figh dan ushul
fiqih, kalam dan filsafat, tasawuf teoretik. Dengan pemikiran itulah
Ibnu Rusyid dapat mengembangkan wawasannya di Andalusia. Ibnu
Rusyid sangat berpengaruh di barat, beliau memiliki banyak murid
disana dari berbagai negara yang tersebar luas. Hal ini cukup
membuktikan bahwa Ibnu Rusyid adalah seseorang dengan
kemampuan intelektual yang tidak bisa diragukan lagi. Pada saat itu
ilmu filsafat sangat banyak digemari oleh umat Islam diseluruh dunia,
maka dari itulah Ibnu Rusyid mulai mengajarkan ilmu filsafat kepada
semua orang.
Ibnu Rusyid juga pernah diberi amanah dan dilantik untuk menjadi
hakim pada saat itu dan karena kecerdasaanya dan etika baiknya beliau
juga pernah diberi tanggung jawab untuk menjadi dokter khusus istana
pada saat itu, hal tersebut merupakan suatu kehormatan bagi Ibnu
Rusyid karena kontribusinya yang besar dan akhlak nya yang mulia

17
beliau bisa menjadi salah satu orang kepercayaan keluarga kerajaan dan
orang yang bisa diandalkan oleh keluarga kerajaan.
Kepopuleran tidak selamanya menjadi baik, karena pencapaian
Ibnu Rusyid yang luar biasa banyak ulama agama yang tidak
menyukainya karena merasa iri dengan pencapaian dan prestasi yang
Ibnu Rusyid dapatkan. Hal itu membuat Ibnu Rusyid terkena fitnah dan
banyak dari para ulama yang ingin menjatuhkan Ibnu Rusyid. Ibnu
Rusyid mendapat banyak cobaan ditengah keberhasilannya tersebut,
namun ia tetap memegang teguh etika etika dan nilai dari agama islam.
Beliau tidak sekalipun dendam kepada orang yang berusaha
menjatuhkan Ibnu Rusyid, beliau menganggap itu sebagai cobaan yang
datang dari Allah SWT
4. Ibnu al-Haytham
Ibnu al-Haytham mempunyai nama asli yaitu Abu Ali Muhammad
al-Hassan ibnu al-Haytham, ia dulunya adalah anak yang cerdik dan
aktif, ia sudah terlihat cerdik saat masih kecil, terbukti saat tumbuh
dewasa sudah bisa menguasai beberapa ilmu di bidang sains, beliau
sangat tertarik pada bidang sains. Tak hanya itu, Ibnu al-Haytham ini
juga terbukti mahir dalam bidang lain seperti matematika, pengobatan
dan juga filsafat, Ibnu al-Haytham sangat memiliki berbagai keahlian,
ia bahkan juga sudah melakukan banyak penelitian ilmiah dengan para
ahli yang lain. Ibnu al-Haytham adalah sosok yang sangat teladan,
meskipun ia unggul dalam banyak bidang dan ahli dalam sains, ia juga
sangat paham akan agama. Ia tidak pernah menomorduakan agama, ia
sangat menjunjung tinggi agama islam.
Al-Haytham juga banyak melakukan percobaan-percobaan untuk
kepentingan penelitian, salah satunya pada saat itu al-Haytham pernah
melakukan percobaan untuk membakar kaca dan melakukan riset akan
hal itu. Karena percobaan itulah membuahkan hasil sebuah lensa
pembesar. Ia juga menemukan beberapa teori lagi mengenai lensa dan

18
optic. Setelah penemuan itulah ia mendapat julukan sebagai bapak
optika modern.

2.3. Integrasi iman, ilmu dan tekhnologi dalam Islam


Kesenian madihin merupakan kesenian yang memiliki keunikan
yaitu berupa syair atau pantun, dibawakan oleh satu orang maupun
lebih. Madihin dibawakan dengan diiring pukulan Tarbang. Madihin
aslinya dibawakan dengan bahasa daerah Banjar.

2.4. Beberapa bentuk seni dalam Islam


Islam memandang seni sebagai suatu hal yang bisa diukur halal,
haram ataupun mubah. Bagi mereka yang memandang seni dari sisi
ideologis, mereka akan memandang seni yang dihasilkan dari hasil
karya manusia itu adalah haram untuk dinikmati dan disajikan ke
masyarakat karena menurut mereka semua itu dianggap mengganggu
kekhusyukan beribadah, dimana secara psikologis akan menjadikan
seseorang cepat frustasi karena dunia sekitarnya telah didominasi oleh
industri hiburan. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara melekatkan
pelanggaran-pelanggaran seketat-ketatnya atau mematikan TV dan
tidak memperkenalkan industri hiburan beroperasi pada masyarakat.
Contoh yang pada kita lihat seperti yang terjadi di negara Iran, dimana
mereka mengambil kebijakan menurunkan parabola dari rumah- rumah
penduduk. Mereka hanya diperbolehkan menonton siaran nasional
yang tak lain hanya menyiarkan berita dan kultum-kultum islami. Bagi
mereka yang mengatakan halal adalah tipe pemikiran dan jalan hidup
yang bersifat materialistik, dimana ia bisa dengan mudah terbawa oleh
hangar bingar dunia hiburan dan melupakan apa sesungguhnya esensi
dari hiburan dan kesenian itu sendiri. Kemudian, sebagian mereka
mengatakan mubah yaitu mereka yang bersikap hati-hati dengan apa
yang mereka nikmati dari seni tersebut.
Islam melalui Al-Qur’an sangat menghargai seni. Allah swt.

19
mengajak umatnya untuk memandang seluruh alam jagad raya ini yang
telah diciptakan dengan serasi dan indah. Seperti dalam Surat Al-Qaf
ayat 6 yang artinya “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit
yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikannya dan
menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun”.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan alam jagad raya
ini sebagai hiasan yang indah untuk dapat dinikmati oleh umatnya.
Manusia memandangnya untuk dinikmati dan melukiskan
keindahannya sesuai dengan subjektivitas perasaannya masing-masing.
Mengabaikan sisi keindahan natural hasil ciptaan Allah berarti
mengabaikan salah satu dari bukti kebesaran Allah swt.
Terdapat beberapa norma yang harus dipegang dalam
berkesenian menurut Islam, yaitu:
1. Dilarang melukis lukisan yang bersifat pornografi, serta melukis
hal-hal yang bernyawa.
2. Dilarang menciptakan hikayat yang menceritakan dewa-dewa,
kebiasaan pengarang yang mengkritik Tuhan.
3. Dilarang menyanyikan lagu-lagu yang berisikan kata-kata yang
tidak sopan atau cabul.
4. Dilarang memainkan musik yang merangsang kepada gerakan-
gerakan sensual.
5. Dilarang berpeluk-pelukan antara laki-laki dan perempuan atas
nama tarian.
6. Dilarang menampilkan drama dan film yang melukiskan
kekerasan, kebencian dan kekejaman.
Dilarang memakai pakaian yang memamerkan aurat (Gazalba,
1978: 307). Dengan demikian, segala bentuk kesenian di atas dilarang
oleh Islam. Islam memiliki konsep kesenian yang sesuai dengan naluri
manusia yang mengarah kepada keselamatan dan kesenangan. Islam
diturunkan untuk menuntun dan memberi petunjuk kepada manusia

20
bagaimana mewujudkan salam di dunia dan akhirat. Kesenian adalah
jawaban terhadap fitrah manusia yang memerlukan ketenangan itu.
Oleh karena itu, kesenian halal hukumnya, bahkan dalam perkara-
perkara tertentu perlu digalakkan. Seni itu wajib mengandung moral,
sehingga kesenangan yang diusahakan tidak menyengsarakan. Seni
tidak boleh melewati batas, ia harus takluk kepada agama. Beberapa hal
yang hingga kini masih sering diperselisihkan hukumnya adalah musik
dan lukisan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan
bahwa kelak akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, khamr dan
alat-alat musik. Dalam Alquran surat Luqman ayat 6 disebutkan “Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah adalah
nyanyian” (al-Munajid, 1997: 100). Menurut hemat penulis, nyanyian
yang dilarang oleh Allah swt. adalah nyanyian yang isinya bisa
menyesatkan manusia serta mematikan hati. Namun, nyanyian-
nyanyian spiritual yang bernafaskan Islam yang isinya mengajak
kebaikan diperbolehkan. Bahkan menurut Nashr (1993: 172), oleh para
ahli sufi, nyanyian dan musik dijadikan sebagai sarana untuk membuka
khazanah kebenaran ilahi. Dalam hal menggambar, ada sebuah hadis
riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “Sesungguhnya
orang-orang yang melukis gambar (makhluk hidup) ini, kelak di hari
kiamat bakal disiksa dan disuruh kepada mereka ‘hidupkan hasil
lukisanmu itu’”, sementara dalam riwayat yang sama terdapat
penjelasan “kita diperbolehkan menggambar pemandangan alam dan
hal-hal lain yang tidak bernyawa” (al-Hafidh, 1994: 790-791).
Larangan menggambar dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim tersebut adalah larangan menggambar hal-hal yang
bernyawa, tetapi menggambar pemandangan alam dan obyek lain yang
tidak bernyawa diperbolehkan. Contoh seni dalam Islam yang
cenderung diperbolehkan adalah seni tilawatil atau qiro’atil Qur’an,

21
seni kaligrafi, seni arsitektur, seni sastra dan seni kriya. Adapun contoh
seni dalam Islam yang cenderung tidak diperbolehkan dalam Islam
dalah seni rupa, menyanyi, seni musik, seni tari, seni patung, dan seni
kontemporer.

2.5. Islam dalam menghadapi tantangan modernisasi


Modern berarti baru, saat ini, dan up to date. Ini adalah makna
objektif modern. Secara subjektif, makna modern terkait erat dengan
kontek ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Madjid
melihat zaman modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah
manusia. Setelah melalui zaman pra-sejarah dan zaman agrarian di
Lembah Mesopotamia (Bangsa Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu,
umat manusia memasuki tahapan zaman baru, zaman modern, yang
dimulai oleh bangsa Eropa Barat sekitar dua abad yang lalu (Madjid,
2000, hal. 450). Ilustrasi makna yang diberikan Cak Nur menunjukkan
pada adanya relasi kehidupan manusia dengan kontek di mana orang
tersebut berada, karena tidak mungkin seseorang yang tinggal di suatu
daerah dan mengasingkan diri dari peradaban yang telah terbentuk
sehingga modernisasi sebagai bentuk horisontal dari proses
kehiduparmanusia dengan keadaan sekitar.
Kemajuan sains dan teknologi yang ditopang oleh modernisasi
di pelbagai dunia tidak semua berdampak positif, terutama di negara-
negara yang belum dipersiapkan secara mental dan psikologis.
Modernisasi yang menghendaki keseimbangan, kemajuan dan
kesetaraan akan terasa sia-sia ketika tidak diimbangi dengan
pembangun psikologi dan dampaknya individu akan menjadi konsumtif
dari modernisasi itu sendiri. Ketimpangan dalam wilayah
pembangunan telah menyebabkan negara-negara muslim jatuh ke
dalam krisis pembangunan.
Ada beberapa bentuk reaksi umat Islam terhadap modernitas,

22
tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
reformis atau modernis dan fundamentalis. Reformis atau modernis
adalah kelompok muslim taat dan berpengetahuan yang misinya adalah
tiga yaitu pertama, untuk menegaskan Islam dengan menjelaskan dasar-
dasarnya yang rasional dan liberal; kedua, untuk menekankan, antara
lain, cita-cita dasar persaudaraan Islam, toleransi, dan keadilan sosial;
dan ketiga, untuk menafsirkan ajaran Islam sedemikian rupa untuk
menunjukkan karakter Islam yang dinamis dalam kontek kemajuan
ilmu dan intelektual dari dunia modern. Kaum modernis secara tulus
berusaha untuk mendamaikan perbedaan antara doktrin agama
tradisionalisme dan rasionalisme ilmiah yang sekuler, antara iman yang
tidak perlu diragukan lagi logika yang beralasan, dan antara
kelangsungan tradisi Islam dan modernitas (Husain, 1995, hal. 95).
Kelompok ini menegaskan adanya relasi konstruktif antara agama dan
rasio, karena agama akan menjadi hampa dan sia-sia ketika tidak
dipahami secara komprehensif, dan bahkan menjadi bumerang bagi
keberlangsungan umat sebab agama hanya dianggap sebagai deretan
teks yang harus dipatuhi secara utuh. Sehingga rasio hadir tidak dalam
rangka menghilangkan transendentalis agama, namun meneguhkan
eksistensi agama dalam kehidupan sosial.
Adapun fundamentalis secara ideologis ditandai dengan
beberapa karakteristik. Pertama, kelompok yang reaktif atas paham
yang dianggap memarginalkan ajaran agama dan paham keagamaan.
Gerakan fundamentalis terbentuk sebagai reaksi terhadap-dan
pertahanan terhadap-proses dan konsekuensi sekularisasi dan
modernisasi yang telah menembus komunitas agama yang lebih besar.
Kedua, fundamentalis menunjukkan moral Manichaean pandangan
dualistik yang tanpa kompromi membagi dunia menjadi dua: cahaya
(kebaikan) dan kegelapan (kejahatan). Ketiga, mereka selektif.
Misalnya, mereka menerima banyak ilmu pengetahuan modern dan

23
teknologi modern seperti radio, televisi, komputer, dan sebagainya,
tetapi menolak konsep yang timbul dari modernitas seperti demokrasi.
Keempat, fundamentalis adalah absolut dan tidak mungkin salah.
Mereka secara teguh percaya pada kebenaran mutlak tafsir agama
tertentu, tidak terima pada kritik, dan menentang metode hermeneutika
yang dikembangkan oleh filosof sekuler (Almond, Gabriel A. & Sivan,
2003, hal. 93-97) Beberapa karakteristik kelompok ini menunjukkan
atas pola dan konstruksi pemikir atas masa lalu Islam, di mana masa
keemasan Islam selalu menjadi mimpi yang Kembali pada masa
temporer. Ada semacam halusinasi yang digambarkan oleh kelompok
fundamental, sehingga menolak ide-ide modernitas, karena modernitas
dianggap sebagai kekuatan luar-tidak datang dari khasanah Islam-yang
sering dipandang sebagai suatu ancaman eksternal oleh fundamentalis
(Husain, 1995, hal. 51). Adanya kekawatiran yang berlebihan dari
kelompok fundamental terhadap modernitas telah menghilangkan
peranan rasio dalam menganalis, memikirkan dan memahami Islam itu
sendiri. Dengan babasa sederhana, produk modern dikonsumsi tetapi
tidak ingin mengadopsi paham, ajaran dan nilai dari modern itu sendiri.
Salah satu alasan kemunculan kelompok Islam fundamentalis
ialah disebabkan kemurnian ajaran, kuatnya rasa ingin
mempertahankan ajaran Islam secara murni harus menolak semua
bentuk ajaran dan paham yang datang dari luar Islam meskipun itu
positif, seperti menolak norma yang datang dari Barat. Pada umumnya
interaksi antar kelompok fundamentalis sangatlah solid, mereka
mempraktikkan ajaran Nabi Muhammad bahwa sesama muslim saling
bersaudara. Sayangnya, ajaran tersebut tidak mereka terapkan ketika
berinteraksi dengan orang dari luar kelompok mereka. Reaksi
penolakan sebagian oran terhadap fundamentalis dikarenakan
fundamentalisme Islam mengusung kekerasan dan dapat menodai
ajaran Islam yang penuh kedamaian dan keramahan. Sedangkan

24
sebagian lain mendukung. beranggapan bahwa kelompok
fundamentalis Islam dapat menjadi penyeimbang kekuatan Barat yang
menghegemoni dunia (Sattar, 2013, hal. 15).
Meskipun pembaruan pemikiran modern dalam Islam seringkali
ditampilkan sebagai respon terhadap tantangan dari dunia Barat, tetapi
sebenarnya pemikiran tersebut mempunyai akar dalam tradisi Islam
sendiri. Islam memiliki tradisi yang panjang dalam hal tajdid
(pembaruan) dan ijtihad (reformasi) (Zahrah, n.d. hal. 79). Karena
itulah, umat Islam yang berusaha melakukan penyesuaian ajaran Islam
dengan nilai-nilai modern biasa menggunakan konsep tajdid dan
jijtihad tersebut. Kedua konsep terscbut menjadi pilihan yang
dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam untuk menjaga dan
melestarikan ajaran Islam agar sesuai dengan kondisi kehidupan
modern.
Tajdid berarti pembaruan, yakni pembaruan pemahaman
terhadap segenap aspek ajaran Islam agar bisa menjawab tantangan
zaman. Jalan menuju tajdid disebut ijtihad. Dengan demikian tajdid dan
ijthad adalah satu paket yang biasa dilakukan oleh umat Islam dalam
menghadapi problem kehidupan di setiap tempat dan zaman. Menurut
Muhammad Abu Zahrah, jtihad berarti mengerahkan segenap
kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dan bagaimana
menerapkannya (Khallaf, 1990, hal. 216). Sementara Abdul Wahhab
Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai upaya mengerahkan segenap
kemampuan untuk sampai kepada hukum syariat dari dalil-dalil yang
terperinci (Amal, 1994, hal. 34). Merujuk pada dua pendapat tersebut
dapat dipahami bahwa jtihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh
untuk memperoleh keputusan hukum sehingga dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat.
Jika kita menengok sejarah Islam, ijtihad bukanlah hal baru di
zaman modern. Khalifah kedua, Umar bin Khattab, sering disebut

25
sebagai sahabat yang kerap melakukan jtihad fundamental. Hukum
potong tangan, soal pembukuan al-Quran, kasus jilbab dan lain-lain
tidak bisa dipisahkan dari ijtihadnya Umar. Dengan meluasnya domain
politik Islam pada masa khalifah kedua, Umar bin Khattab, terjadi
pergeseran-pergeseran sosial yang menimbulkan sejumlah besar
problem baru sehubungan dengan hukum Islam (Rachman, 1995, hal.
346). Karena itu, seringkali Umar dijadikan rujukan oleh para
pembaharu dalam melakukan upaya reaktualisasi ajaran Islam. Sejak
abad pertengahan (sekitar abad 13 M) sampai awal abad modern
(sekitar abad 18 M), di dunia Sunni telah terjadi semacam doktrin
penutupan pintu ijtihad, bahwa hukum Islam telah diangep sempurna
dan mapan sehingga tidak dibutuhkan lagi pembaruan. Untuk
mengokohkan pendapatnya, kelompok ini membuat syarat-syarat
tertentu yang banyak dan berat bagi orang yang akan melaksanakan
ijtihad. Akhirnya pemikiran hukum Islam mengalami stagnasi yang
relative lama di sejumlah kalangan kaum muslimin.
Sikap pentabuan ijtihad dengan sendirinya tidak dapat
dibenarkan meskipun sesungguhnya sikap ini muncul dari para ulama
atas dasar ketertiban dan ketenangan atau keamanan. Sebab, pentabuan
tersebut dalam perkembangan selanjutnya dapat dilihat sebagai
kelanjutan masa kegelapan (obskurantisme) dalam pemikiran Islam
(Sattar, 2013, hal. 83). Demi memperhatikan pentingnya modernisasi
bagi umat Islam. Demi memperhatikan pentingnya modernisasi bagi
umat Islam, maka pintu ijtihad harus dibuka selebar-lebarnya. Dengan
harapan, umat Islam bisa terlepas dari belenggu berpikir sehingga bisa
leluasa melakukan tajdid dan memikirkan reaktualisasi ajaran-ajaran
Islam di masa kini dan masa mendatang.
Pembaruan Islam pada umumnya didasarkan pada landasan
normatif dan sekaligus teologis. Yang dimaksudkan dengan landasar
normatif pembaruan Islam di sini adalah berupa wahyu baik yang

26
berupa ayat al-Qur’an meupun hadis, yang di dalamnya terkandung
makna pentingnya dilakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ayat
al-Qur’an yang sering dirujuk oleh sejumlah penulis (Ahmad Taufik,
M. Bimyati Huda, Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 53; Abdul
Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), 68.) sebagai landasan normatif pembaruan Islam adalah
Q.S. Ad-Dhuha (44): ayat 4
‫َولَ آْلخِ َرة ُ َخي ٌآر لَكَ مِ نَ آاْلُولَى‬
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu
daripada yang sekarang (permulaan).
Adapun landasan teologis pembaruan dalam Islam
terformulasikan ke dalam dua bentuk keyakinan, yaitu: Pertama,
universalisme Islam dan misi agama Islam sebagai rahmatan li al-
‘alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta). Makna substantif dari
karakter universalisme Islam adalah menunjuk pada dimensi isi
kandungan al-Qur’an yang cakupannya meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia, yang implikasinya kemudian meniscayakan agama
Islam bisa berlaku dalam lingkup waktu yang tidak terbatas (kapan
pun), tempat yang tidak terbatas (di mana pun) dan dalam lingkup umat
yang tidak terbatas pula (siapa pun). Dalam ungkapan lain dikatakan,
nilai universalisme Islam tidak dibatasi oleh formalisme apa pun,
(Ahmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”,
dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3 Volume VI, Tahun 1995, 38.)
baik waktu dan tempat serta ummat. Lebih dari itu, universalisme Islam
juga bermakna bahwa Islam telah memberikan dasar-dasar yang
senantiasa relevan dengan perubahan dan dinamika umat manusia
(masyarakat). (Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, 66)
Sebagaimana diketahui bahwa tidak semua ayat al-Qur’an berisi uraian
rinci (detail-detail) dan tegas mengenai suatu masalah, maka di sinilah

27
urgensinya kehadiran para pemikir dan pembaru Islam untuk
memberikan interpretasi dan elaborasi terhadapnya dengan senantiasa
mepertimbangkan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang
terus berubah. Senada dengan itu, Din Sjamsudin menegaskan bahwa
watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu
baru tentang Islam untuk merespons perkembangan kehidupan manusia
yang selalu berubah. Islam yang universal—shalih li kullim jaman wa
makan—menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika
kebudayaan. Kontekstualisasi ini secara fungsional tidak lain dari
upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman.
Hakikat Islam bermisi rahmatan li al-‘alamin berhubungan secara
simbiotik dengan semangat jaman, yakni kecenderungan pada
perubahan, kebaruan dan kemajuan(Hamid dan Yaya, Pembaruan
Modern dalam Islam, 67).

28
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari,
ketiganya memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lain. Iman, ilmu dan teknologi adalah landasan bagi kita
untuk berhubungan dengan Allah, dirisendiri dan orang lain. Jika kita
tidak memiliki salah satu diantara ketiganya, maka bukan tidak
mungkin kehidupan kita akan terasa sia-sia dan tidak bermanfaat.
Modernitas yang melanda dunia Umat Islam, dengan segala
bentuk efek positif-negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi
oleh umat Islam ditengah kondisinya yang sedang terpuruk di saat ini.
Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras untuk dapat mengembangkan
segala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya. Tajdid
sebagai upaya menjaga dan melestarikan ajaran Islam menjadi pilihan
yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam.

3.2. Saran
Saran yang bisa penulis berikan adalah agar kesenian Madihin
bisa lebih dilestarikan mengingat perannya yang sangat vital sebagai
salah satu media komunikasi tradisional masyarakat Banjarmasin.
Sebagai sebuah kesenian, Madihin juga sudah seyogyanya untuk bisa
dilestarikan dan diwariskan turun temurun.

29
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, N. F. 2021. IPTEK Artinya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,


Berikut Penjelasannya. URL:
https://m.merdeka.com/jabar/iptek-artinya-ilmu-pengetahuan-
dan-teknologi-berikut-penjelasannya-kln.html. Diakses pada
tanggal 10 April 2022
Asy’ari M.. 2007. ISLAM DAN SENI. 4(2): 169-174
Handayani, F. A. 2021. Sejarah Perkembangan Iptek dan Kontribusi
Ilmuwan Islam Pada Kemajuan Iptek. URL:
https://jakarta.suaramerdeka.com/pendidikan/pr-
1341735721/sejarah-perkembangan-iptek-dan-kontribusi-
ilmuwan-islam-pada-kemajuan-iptek. Diakses pada tanggal 6
April 2022
IAIN Kediri. Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam. 8:
255-281 URL:
http://repository.iainkediri.ac.id/19/10/BAB%20VIII.pdf.
Diakses pada tanggal 10 April 2022
Iarasati, O. 2014. MAKALAH AGAMA Pandangan Islam tentang
IPTEK dan Seni. URL:
https://www.academia.edu/32786007/MAKALAH_AGAMA_P
andangan_Islam_tentang_IPTEK_dan_Seni. Diakses pada
tanggal 10 April 2022
Masrokhati, K. 2018. TUGAS MAKALAH IPTEKS DALAM
PERSPEKTIF ISLAM. URL:
https://www.academia.edu/38073648/TUGAS_MAKALAH_IP
TEKS_DALAM_PERSPEKTIF_ISLAM. Diakses pada tanggal
10 April 2022

30
Mulyani, F., Haliza, N. 2021. Analisis Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Dalam Pendidikan. 3 (1) :
101-109
Purwanto, Y. 2010. SENI DALAM PANDANGAN ALQURAN. 19 (9) :
782-796
Putra, O. F. 2016. IPTEK DAN SENI DALAM KONSEP ISLAM. URL:
https://www.academia.edu/30502286/IPTEK_DAN_SENI_DA
LAM_KONSEP_ISLAM. Diakses pada tanggal 10 April 2022
Putra, R. 2014. Presentasi Integrasi Iman, Ilmu dan Amal. URL:
https://www.slideshare.net/rizqymahaputra/presentasi-integrasi-
iman-ilmu-dan-amal. Diakses pada tanggal 10 April 2022
Syarif, B. M. 2017. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Islam dan Modernitas: Pandangan Muslim Terhadap
Perkembangan Sosial, Politik, dan Sains. 5 (2)
Widisuseno, I. 2021. IPTEKS DAN STRATEGI
PENGEMBANGANNYA. URL: https://media.neliti.com. Diakses
pada tanggal 6 April 2022
Wildan, R. 2007. SENI DALAM PERSPEKTIF ISLAM. 6(2): 78-88

31

Anda mungkin juga menyukai