Anda di halaman 1dari 12

MASAILUL FIQIH / FIQIH KONTEMPORER

FIQIH KONTEMPORER TENTANG EUTHANASIA

Dosen Pengampu :Syarifatmah, M.Pd.I

Disusun

O
L
E
H

Kelompok 13 dan 14

1. Peti vera : 1911210150


2. Gisella Agustiana : 1911210148
3. M. Naufal Ash-shiddiq : 1911210143
4. Frizilia : 1911210163

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
(UINFAS) BENGKULU
TAHUN 2022
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah euthanasia berasal dari kata yunani yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti indah, bagus, terhormat, atau gracefully and dignity, sedangkan thanatos
berarti mati, mayat. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati
dengan baik (a good death). Seorang penulis romawi yang bernama Seutonis, dalam
bukunya yang berjudul Vitaceasarum, mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati
cepat tanpa derita” 1 . Meminjam istilah Philo, seorang filsuf kenamaan (50-20 SM),
euthanasia merupakan mati dengan tenang dan baik. Sementara dalam analisis St.
Thomas, euthanasia adalah bentuk pengakhiran hidup orang penuh sengsara secara
bebas dan dengan berhenti makan atau dengan minum racun yang membinasakan.
Sejak abad 19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa
sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan
pertolongan dokter. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar
kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan.
Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya2 . Pemakaian terminologi euthanasia ini
mencakup tiga kategori, yaitu :
1. Pemakaian secara sempit Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan
menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian.
Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk
menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan itu tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum, etika, atau adat yang berlaku.
2. Pemakaian secara lebih luas Secara lebih luas, terminologi euthanasia
dipakai untuk perawatan yang menghindari rasa sakit dalam penderitaan
dengan resiko efek hidup diperpendek.
3. Pemakaian paling luas Dalam pemakaian paling luas ini, euthanasia berarti
memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect,
melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Menurut kode etik kedokteran Indonesia, kata eutahanasia dipergunakan
dalam tiga arti :

1
5 Ari Yunanto, Hukum Pidana Malpraktik Medik, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010) 57
2
M.Ali.Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam
( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995) 145
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan menyebut nama Allah di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberinya obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
B. Sejarah Euthanasia
Istilah euthanasia pertamakali dipopularkan oleh Hippokrates dalam
manuskripnya yeng berjudul sumpah hippokrates, naskah ini ditulis pada
tahun 400-300 SM. Dalam sumpahnya tersebut Hippokrates menyatakan
“Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan
kepada siapapun meskipun telah di mintakan untuk itu”. Dari dokumen tertua
tentang euthanasia diatas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang
dimunculkan yang dimunculkan oleh Hippokrates adalah penolakan terhadap
praktek euthanasia. Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya
perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di eropa pada tahun
1828 Undangundang tentang euthanasia mulai diberlakukan di Negara bagian
New York. Yang beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh Negara-
negara bagian. Setelah masa perang saudara, beberapa Advokat dan beberapa
Dokter mendukung dilakukannya euthanasia secara sukarela. Kelompok-
kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di inggris pada tahun
1953 dan di amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada
pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk
melegalkan euthanasia tidak berhasil di Amerika maupun di Inggris.3
Pada tahun 1937, euthanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss
sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan
daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan di Amerika menolak
permohonan dari pasen yang sakit parah dan beberapa orang tua yang
memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan euthanasia kepada dokter
sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas kasihan”. Pada tahun 1939,
pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontrosersial dalam suatu
3
M. Achadiat, Crisdiono. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman,
(Jakarta: EGC, 2007), hlm. 180
“program” euthanasia terhadap anak dibawah umur 3 tahun yang menderita
keterbelakangan mental, cacat tubuh, maupun gangguan lainnya yang
menjadikan hidup mereka tidak berguna. Program ini dikenal dengan nama
T4 (Acton T4) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia diatas 3
tahun dan pada para Lansia. Setelah dunia menyaksikan kekejaman nazi slam
melakukan kejahatan euthanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka
berkuranglah dukungan terhadap euthanasia, terlebih-lebih lagi terhadap
tindakan euthanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena
disebabkan oleh cacat genetika. Sebagaimana kita ketahui, nazi yang pada
saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler, menganggap bahwa orang cacat
merupakan hambatan terhadap kemajuan bangsa, sehingga secara besar-
besaran Nazi melakukan euthanasia secara paksa semua orang cacat di Berlin,
Jerman.18 Terhadap catatan yang cukup menarik terkait praktek euthanasia
dibeberapa tempat dijaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya :
a. Di india pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan
orangorang tua kedalam sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertua di
zaman purba.
c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek euthanasia dalam undang-
undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
d. Di Beberapa Negara Eropa, praktek euthanasia bukan lagi kejahatan
kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai
kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian
mencantumkan euthanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau
membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika
Serikat.
f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia bagi
para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan euthanasia atas dirinya.
Ada beberapa warga amerika serikat yang menjadi anggotanya. Dalam
praktek medis, tidaklah pernah dilakukannya euthanasia aktif, akan
tetapi mungkin ada praktekpraktek medis yang dapat digolongkan
euthanasia pasif
C. Macam-Macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:
1. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah
atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan
mengurangi sakit yang memang sudah parah. Contoh euthanasia aktif,
misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
D. Aspek-aspek dalam tindakan Euthanasia
Beberapa aspek yang perlu di perhatikan dalam tindakan euthanasia yaitu :
a. Aspek Hukum, undang undang yang terlulis pada KUHP pidana hanya
melihat dari Dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia akfif dan di anggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek
hukum, Dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia tersebut.
b. Aspek Hak Asasi, Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup,
damai dan sebagainya. Hak hidup merupakan hak untuk menjalani
kehidupan tanpa gangguan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang. Hak ini merupakan hak yang paling esensial dari keseluruhan
hak yang dimiliki oleh manusia.4 Hak seseorang untuk mati tidak
tercantum dengan jelas adanya. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum
euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia.
c. Aspek Ilmu Pengetahuan, pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan
kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai
kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan
kesembuhan atau pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh
mengajukan haknya untuk tidak memperpanjang lagi hidupnya? Segala
upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan
suatu kebohongan, karena disamping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
d. Aspek Agama, kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak seorangpun didunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini
menurut para ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia,
apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar dan
melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang
menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan
dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan. Aspek lain dari pernyatan memperpanjang
umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan
masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi
penyakitnya, jika memang umur mutlak di tangan tuhan, jika belum
waktunya, tidak akan mati. Jika seseorang berupaya mengobati
penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang
umur atau menunda proses kematian. Dalam hal-hal seperti ini manusia
sering menggunakan standar ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak
perlu melihat pada hukum-hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil
yang lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia
4
Maududi, Maulana Abul A‟la. Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),
hlm. 21
merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka
dikeluarkanlah dalil untuk menopangnya.5
E. Konsep Euthanasia dalam Hukum Islam
Kontroversi yang mana menyangkut isu etika euthanasia (perilaku
sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang
tak dapat disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia
medis, tetapi telah merambah ke mana-mana terutama para ulama Islam. Isu
euthanasia selalu muncul, salah satunya karena praktik tersebut bukan hanya
melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi, termasuk juga pertimbangan
hukum, perasaan dan etika kedokteran. Selama jenis penyakit pada manusia
terus berkembang dan penyembuhan terhadapnya diyakini mustahil (apalagi
dengan kadar penularan yang tinggi), para ahli medisdan hukum mulai
melirik kemungkinan-kemungkinan euthanasia.
Euthanasia, tidak ubahnya dengan menghabisi pasien yang menderita
tanpa sama sekali mengakhiri penderitaan mereka. Dengan kata lain,
pengobatan terhadap rasa sakit atau nyeri yang tak terbendung bukan semata
dapat dilakukan dengan pembunuhan, tetapi dapat pula ditempuh dengan
terapi lain. Tentu saja faktor agama akan sangat menentukan sikap seseorang
terhadap derita sakit dan juga nyeri yang dialamainya. Filsafat Budha
menyatakan bahwa derita sakit bersumber dari frustasi. Bagi kaum Hindu
yang menyakini bahwa pain (rasa sakit dan nyeri yang berasal dari bahasa
Latin poena) berarti siksaan akan lebih merasakan penderitaan nyeri
dibanding seorang muslim yang menilai penderitaan sebagai cobaan dari
Tuhan atau bahkan pembersihan diri sebelum menghadap kepadaNya6 .
Ketika orang-orang yang mana pro euthanasia menganggap bahwa
kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap diri seseorang adalah hak yang
paling utama bagi mereka yang berdaya tinggi. Sebagaimana saya berhak
memilih kapal untuk berlayar, atau rumah untuk dihuni, sayapun berhak
untuk memilih kematian untuk dapat meninggalkan kehidupan ini. Maka
Islam justru tidak sejalan dengan filosofis tersebut. Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah
5
Sukmawijaya, Acep. Pendidikan Agama Islam, (Palembang: STIK Bina Husada, 2012), hlm. 255
6
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999) 169.
Allah SWT kepada manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan
kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita
bagaimanapun bentuk dan kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut
kehidupan baik melalui praktik euthanasia apalagi bunuh diri.
Islam akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu
optimis dalam menghadapi setiap musibah. Sebab seorang mukmin dicipta
justru untuk berjuang, bukanlah untuk tinggal diam, dan untuk berperang
bukan untuk lari. Iman dan budinyatidak mengizinkan dia lari dari arena
kehidupan. Sebab setiap mukmin mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis,
yaitu senjata iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para
penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai sarana
pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa. Agar supaya meringankan derita
sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan
sabdanya, jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada
cobaan yang beragam. Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan
alternatif lain dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam memberi
jalan keluar dengan menjanjikan kasih sayang dan rahmat Tuhan. Disinilah
pentingnya peranan hukum Islam dalam menetapkan hal-hal yang halal dan
haramnya suatu sikap yang diambil dalam hal euthanasia. Ketika orang
diombang-ambing oleh keadaan yang sangat mendesak, karena dipengaruhi
oleh tuntutan zaman atau kemajuan teknologi, dimana orang seenaknya saja
bertindak, yang asalkan menurut mereka hal itu merupakan keputusan
rasional tanpa melihat apakah tindakan mereka itu benar atau tidak menurut
hukum, agama maupun etika.
Dalam berbagai studi dan literatur Islam, mengenai pandangan terhadap
tindakan euthanasia, nampaknya ada suatu kesepakatan atau paling tidak
terdapat kesamaan persepsi mengenai pengertian euthanasia. Euthanasia
adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk dapat membantu seseorang
dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan
menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau
disembuhkan.
Begitu pula dari para tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir
Syarifuddin bahwa euthanasia adalah pembunuhan seseorang bertujuan
menghilangkan penderitaan si sakit. Euthanasia yang sering terjadi pada
umumnya dalam dunia kedokteran misalnya tindakan dokter dengan memberi
obat atau suntikan. Para tokoh Islam juga sepakat bahwa eutahanasia ada dua
macam yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthansiaaktif adalah
tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih
menunjukkan tanda-tanda kehidupan21 . Sedangkan euthanasia pasif adalah
tindakan tindakan yang dilakukan oleh dokter atau orang lain untuk tidak lagi
memberikan bantuan medis yang memperpanjang hidup pasien.
Rumusan euthanasia yang dirumuskan di atas sejalan dengan pengertian
yang dirumuskan oleh komisi dari fatwa MUI, bahwa euthanasia adalah
pembunuhan dengan didampingi oleh pertimbangan medis bagi seorang
penderita atau mengidap penyakit yang mana tidak mungkin lagi
disembuhkan. Nyawa merupakan barang titipan Allah SWT, oleh karenanya
tidak boleh diabaikan apalagi untuk menghilangkan secara sengaja. Islam
menghendaki setiap muslim untuk dapat selalu optimis sekalipun ditimpa
suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam pulalah memahami bahwa
euthanasia adalah suatu keinginan dalam usaha mempercepat kematian akibat
ketidakmampuan menahan penderitaan.
Jadi euthanasia merupakan suatu usaha untuk membantu seseorang
yang sedang mengalami sakit atau penderitaan yang tidak mungkin
disembuhkan untuk dapat mempercepat kematian dengan alasan membantu
menghilangkan penderitaan yang kian dirasakan, padahal sama sekali tidak
dapat mengakhiri penderitaannya. Jadi hukum Islam dalam menanggapi
euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk
menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat Islam
diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang
segala musibah (termasuk penderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari
Allah SWT. Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan
tawakal. Dan diharapkan kepada dokter untuk tetap berpegang kepada kode
etik kedokteran dan sumpah jabatannya. Dan beberapa ulama memberikan
suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi penderita yang
penyakitnya menular.Contohnya saja bagi penderita AIDS, menurut AF.
Ghazali dan salah seorang Ketua MUI Pusat HS. Prodjokusumo mengatakan
bahwa, mengisolasi penderita AIDS dipandang penyelesaian yang terbaik
ketimbang harus dihilangkan nyawanya/ di euthanasia 7 . Hal ini berarti bahwa
kalau sedapat mungkin euthanasia dapat dihindari, mengapa tidak dilakukan.
Karena pepatah mengatakan di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan.
Kalau dokter sudah menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik
dikembalikan kepada keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan
bantuan kepada si pasien.
Ada beberapa pendapat tentang euthanasia, di antaranya adalah adanya
yang mengatakan bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang
terselubung dan sebuah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Dikarenakan dalam hal ini manusia tidak mempunyai kewenangan untuk
memberi hidup dan atau menentukan kematian seseorang, seperti dijelaskan
di dalam QS: Yunus, 56:

‘’Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nyalah


kamu dikembalikan’’

Pendapat lain yang menyatakan bahwa euthanasia dilakukan dengan


tujuan baik yaitu untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip
yang menjadi pedoman pendapat ini adalah kaidah manusia tidak boleh
dipaksa untuk menderita. Para pendukung euthanasia ini berargumentasi
bahwa memaksa seseorang untuk melanjutkan kehidupan penuh derita adalah
sesuatu yang irasional. Euthanasia bisa terjadi karena permintaan dari pasien
sendiri, tim medis atau berasal dari pihak keluarga pasien. Meski tindakan
tersebut secara lahirilah sepertinya dapat membantu
meringankan/menghilangkan penderitaan pasien. Akan tetapi dikarenakan
menggunakan caracara yang tidak benar dan akan mempunyai potensi

7
Majalah Panji Masyarakat, (No. 846, 01-15 Januari 1996) 61.
untukmenghilangkan nyawa seseorang maka hal itu termasuk kategori
pembunuhan.

Bagaimana jika euthanasia tersebut dilakukan atas dasar persetujuan


pihak keluarga, dalam persoalan dan implikasi hukumnya terhadap hukum
jinayah yang ditinjau dalam fikih Imam Syafi’i. Sementara dalam hukum
jinayah Islam yang dalam fikih Imam Syafi’i dikategorikan dalam tiga bagian
yaitu pembunuhan sengaja, tidak sengaja dan sengaja tapi ada unsur
kesalahan. Dari ketiga kategori jinayah tersebut ada pembagian hukum nya.
Dalam keterkaitannya kasus diatas maka dibahas mengenai kesamaan antara
euthanasia dan hukum jinayah dalam Islam.

Hukum jinayah menurut Imam Syafi’i jinayah dibagi menjadi tiga yaitu
pembunuhan disengaja, pembunuhan tidak sengaja dan pembunuhan
disengaja. Pembunuhan sengaja adalah membunuh seseorang dengan sesuatu
yang bisa menyebabkan kematian dan dengan adanya niat untuk membunuh.
Dalam kasus ini pembunuh dikenai qishas, tetapi jika keluarga korban
memaafkan, maka pembunuh harus membayar diyat besar dan harus dibayar
langsung dari harta pembunuh. Pembunuhan tidak sengaja adalah melempar
sesuatu dan mengenai oarang yang menyebabkan meninggal karena lemparan
tersebut dan tidak ada unsur sengaja. Dalam kasus ini pembunuh tidak
dikenai qishas, tetapi pembunuh harus membayar diyat kecil kepada keluarga
korban. Sedangkan pembunuhan sengaja, tetapi ada unsur kesalahan adalah
melempar sesuatu dengan benda yang biasanya menyebabkan kematian dan
membuat sesorang meninggal. Dalam kasus ini pembunuh tidak dikenai
qishas, tetapi harus membayar diyat besar kepada keluarga korban dan dapat
diangsur selama 3 tahun.

Pembunuhan adalah dosa besar dan perbuatan yang tercela, Allah


berfirman dalam QS. An-Nisa24’: 39

Dan hadits Nabi Muhammad: “ Membunuh jiwa adalah dilarang oleh Allah,
kecuali dengan cara yang baik (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
DAFTAR PUSTAKA
Ari Yunanto, 2010. Hukum Pidana Malpraktik Medik, (Yogyakarta: CV Andi
Offset,)
Hasan ,M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada,)
M. Achadiat, Crisdiono. 2007. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam
Tantangan Zaman, (Jakarta: EGC,)
Maududi, Maulana Abul A‟la. 2004. Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara,)
Sukmawijaya, Acep. 2012. Pendidikan Agama Islam, (Palembang: STIK
Bina Husada,)
Alwi Shihab, 1999. Islam Inklusif, (Bandung: Mizan,)
Majalah Panji Masyarakat, (No. 846, 01-15 Januari 1996)

Anda mungkin juga menyukai