Anda di halaman 1dari 35

MEMAHAMI KONSEP DIRI DAN

MANAJEMEN EMOSI

Retno Hanggarani Ninin


05-07-2020

http://www.free-powerpoint-templates-design.com
Agenda Style
0 Membahas bahwa sebagaimana raga, “diri” adalah bagian
Perkembangan
1 dari manusia yang tumbuh dan berkembang.
“Diri”
“Diri” adalah bagian dari manusia yang tidak bisa dilihat,
0 tapi bisa dirasakan keberadaannya. Jika dianalogikan
Psikologi “Diri”
2 dengan smartphone, maka “diri” adalah perangkat
lunaknya dan raga adalah perangkat kerasnya.

0 Emosi adalah bagian dari “diri” yang menjadi


Emosi stimulator/aktivator pada manusia untuk
3 memunculkan suatu perilaku.

0 Manajemen emosi berarti mengatur energi


Manajemen Emosi
4 untuk memunculkan perilaku, dengan rentang
perilaku antara perilaku yang konstruktif/
positif hingga perilaku yang destruktif/negatif.
PERKEMBANGAN “DIRI”
TAHAPAN TUMBUH-KEMBANG IDEAL “DIRI”
Periode: Kelahiran raga – Masa tua raga
Kelahiran raga –
Masa Anak
masa bayi Masa Remaja Masa Dewasa Masa Tua
3-12 tahun
0 – 3 tahun 12–18 tahun

DIRI RAGA/BIOLOGIS DIRI INDIVIDUAL - DIRI INDIVIDUAL DIRI RELIGIUS DIRI RELIGIUS
SOSIAL - SOSIAL - (level optimal) (level maksimal)
RELIGIUS
Diri yang perilakunya Diri yang Diri yang
Diri yang perilakunya Diri yang
diaktivasi oleh perilakunya perilakunya
diaktivasi oleh perilakunya
kebutuhan raga atau diaktivasi oleh diaktivasi oleh
keinginan individual diaktivasi oleh
kebutuhan biologis, keseimbangan dominasi aspek
dan tuntutan sosial pertimbangan
yaitu kebutuhan dasar psikososiospiritual spiritual
antara keinginan
minimal yang membuat individual, tuntutan kebertuhanan
seseorang bisa hidup. sosial, dan
spiritualitas
Tumbuh Kembang “Diri”
Masa usia dini 0-3 tahun: Didominasi oleh Diri Raga (Biologis)

Perilaku Perilaku didasari oleh


untuk dorongan kebutuhan biologis,
pemenuhan natural, dan perilakunya
kebutuhan merupakan perilaku bawaan
atau instingtif, yaitu yang
tidak perlu dipelajari. Semua
orang (bayi) mampu
melakukannya.
Kebutuhan berbasis
biologis/fisiologis Sifat perilaku: mekanis
(stimulus-respon), habituasi
(pembiasaan)
Tumbuh Kembang “Diri”
Masa anak 3-12 tahun: dominasi diri individual-sosial

Diri yang perilakunya


diaktivasi oleh Pengasuhan
orang tua
kebutuhan raga atau
pembiasaan,
disertai keinginan yang
dipelajari melalui
Perilaku
pengalaman interaksi
dengan lingkungan
Anak
sebaya.
Teman
Sebaya
Sifat: coba-coba, imitasi,
modeling
Tumbuh Kembang “Diri”
Diri Individual-Sosial (1)

Pada tahap ini, kebutuhan raga tidak direspon dalam bentuk perilaku instingtif atau natural
seperti menangis, melainkan memikirkan dan merencanakan perilakunya. Misalnya, aku lapar,
tapi tidak ingin makan nasi. Aku ingin makan roti. Pada orang yang lain, aku tidak suka roti,
aku ingin makan mi.

Perbedaan antara perilaku orang yang satu dengan orang yang lain tersebut, terjadi karena
masing-masing orang tumbuh dalam budaya yang berbeda, yang mengajarkan respon yang
berbeda-beda untuk suatu kebutuhan yang serupa.

Diri di tahap ini, melakukan sesuatu karena orang dewasa mengajarkannya untuk melakukan
itu. Perkembangan otaknya berada pada kapasitas yang memungkinkannya untuk belajar
perilaku baru melalui meniru serta mengulanginya. Kapasitas memorinya merekam ajaran
yang diberikan orang dewasa untuk melakukan atau tidak boleh melakukan sesuatu.
Tumbuh Kembang “Diri”
Diri Individual-Sosial (2)

Otak anak pada tahap ini bisa mengkreasi perilaku baru melalui menggabungkan beberapa
perilaku yang pernah dipelajari. Belum bisa menciptakan suatu perilaku baru berdasarkan
pemaknaan atau pengertian.

Secara agama di usia ini belum bisa dikenakan hukum benar-salah, karena fungsi rasional otak
belum berkembang optimal. Perilakunya masih berada dalam tanggung jawab orang dewasa,
karena sebagian besar perilakunya dilakukan atas dasar kepatuhan pada, atau keteladanan dari,
orang dewasa yang relevan.

Alasan itu pula yang menjadi dasar menikahkan anak di usia ini bukan pilihan yang logis
khususnya pada anak laki-laki, karena pernikahan dalam Islam menempatkan seorang laki-laki
untuk bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Sedangkan bagi perempuan, menikah di
usia ini dimungkinkan karena berdasarkan perspektif Islam, pernikahan akan menempatkan istri
untuk berada dalam perwalian atau tanggung jawab suaminya.
Tumbuh Kembang “Diri”
Masa Remaja 12-18 tahun (Sosial-Individual-Religius)

Diri yang perilakunya diaktivasi


oleh berfungsinya akal dalam
Religius memikirkan dan menyeleksi
Sosial berbagai pilihan perilaku untuk
diterapkan guna memenuhi
kebutuhan raga dan kebutuhan
Individual
sosial, sebagai orang yang mulai
memiliki tanggung jawab di
lingkungan sosialnya, serta
perkembangan kesadaran bahwa
ia adalah hamba Tuhan.
Perilaku Remaja
Sifat: Rasional - Emosional
TUMBUH KEMBANG “DIRI”
Diri Sosial-Individual-Religius (1)

Perkembangan otak pada usia ini mencapai kapasitas abstraksi, yang dipicu ketika seorang
remaja putra mengalami mimpi basah pertamanya dan remaja putri mengalami menstruasi,
memungkinkan remaja untuk mengembangkan kesadaran bahwa ada pengalaman-pengalaman
hidup yang kejadiannya tidak bisa direncanakan, diatur, atau dikendalikan oleh dirinya
maupun orang lain. Maka, berarti kejadian-kejadian tersebut direncanakan, diatur, dan
dikendalikan oleh kekuasaan yang lebih besar daripada kekuasaan manusia. Jika di masa lalu,
orang dewasa di lingkungan sosialnya mengajarkan pengetahuan yang benar tentang Tuhan,
maka pada tahap inilah seharusnya seorang remaja mampu menyadari posisi dirinya sebagai
hamba Tuhan, bukan karena pengetahuan yang didoktrinasikan oleh orang dewasa, melainkan
melalui kesadaran yang dibentuk melalui pemfungsian otak/akal terhadap pengalaman-
pengalaman dalam hidupnya.
TUMBUH KEMBANG “DIRI”
Diri Sosial-Individual-Religius (2)

Terdapat ciri berupa berfungsinya akal rasional, sehingga diri remaja tersebut
seharusnya mampu semakin mengendalikan perilakunya.

Keputusan berperilaku menjadi mudah jika ketiga pihak (sosial, indivdual, dan
religiusitas) mendorong ke arah satu perilaku yang sama. Konflik intrapersonal dan
konflik interpersonal muncul ketika ketiga pihak mendorong atau menarik ke arah
perilaku yang berbeda.

Diri remaja akan mudah memilih perilaku religius, jika di masa anak pembiasaan diri
dan tuntutan sosial sudah dibangun sejalan dengan tuntutan atau kehendak Tuhan.
Tapi perilaku akan bertahan lama ketika dasar perilakunya adalah pengertian akan
kebenarannya, bukan karena kebiasaan melakukannya.
TUMBUH KEMBANG “DIRI”
Diri Sosial-Individual-Religius (3)

Orang tua perlu memberi kesempatan agar “diri anak” menghadapi kesulitan dan tantangan dimulai
dari yang ringan dan sederhana, kemudian mendampingi anak untuk memikirkan, memutuskan
tindakan, atau memilih solusi yang benar untuk setiap kesulitan tersebut. Dengan demikian otak
rasional anak semakin terlatih dan siap berpikir mandiri.

Jika pengasuhan orang tua di tahap “diri anak” tersebut konstruktif terhadap perkembangan kapasitas
berpikir rasional, maka pemikiran yang dihasilkan remaja adalah pemikiran yang kualitasnya
memungkinkan untuk mengembangkan diri religious.

Dalam pengertian pola asuh seperti itulah dapat dipahami hadits “Setiap anak yang lahir dilahirkan di
atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani”. Fitrah anak
adalah mampu menyadari diri kehambaannya kepada Tuhan sebagai bagian dari diri religiusnya, ketika
ia memasuki tahap remaja. Merupakan tanggung jawab orang tua untuk menyiapkan anak agar anak
menemukan fitrah-nya sebagai hamba Tuhan ketika tiba masanya.
Tumbuh Kembang “Diri”
Masa Dewasa: Sosial-Individual-Religius

Tuhan Diri yang perilakunya


diaktivasi oleh
kesadaran bahwa
dirinya adalah hamba
Tuhan dan memiliki
kebutuhan untuk
patuh pada kehendak
Tuhan, demi
kesehatan raga dan
kebahagiaan jiwanya.
Diri Orang lain
Sifat: Religius -
spiritual
TUMBUH KEMBANG “DIRI”
Diri Religius (1)

Sejalan dengan semakin menuanya seseorang, pemikirannya terhadap pengalaman kehidupan


akan menghadirkan pemahaman bahwa banyak situasi yang tidak bisa diatur dengan kendali
manusia, bahkan manusia yang paling berkuasa atau yang paling pintar sekalipun.
Memaksakan diri untuk berusaha mampu mengatasi segala persoalan dan mampu mewujudkan
semua keinginan, akan menghasilkan kelelahan raga dan jiwa. Padahal kelelahan raga dan
jiwa adalah sumber utama menurunnya daya tahan raga dan jiwa. Akibatnya, diri yang
melakukannya akan mudah mengalami sakit raga dan sakit jiwa.

Pilihan yang lebih baik dibandingkan “memaksakan diri” dalam menjalani peristiwa demi
peristiwa dan pengalaman demi pengalaman dalam hidup, adalah dengan “menyadarkan diri”
bahwa ruang tanggung jawab diri hanya terbatas pada melakukan upaya sesuai kemampuan
diri, sedangkan hasil atas upaya tersebut merupakan ruang kehendak Tuhan, yang berada di
luar jangkauannya.
TUMBUH KEMBANG “DIRI”
Diri Religius (2)

Dengan kesadaran itu, maka diri akan mampu mengikhlaskan hasil atas usahanya pada
kehendak Tuhan, bukan memaksakan diri untuk mencapai hasil yang diinginkannya dan
selanjutnya menyesali diri ketika hasil usaha tidak sejalan dengan keinginannya.

Ketika diri mencapai keberserahan optimalnya pada Tuhan, maka otak akan berada pada
gelombang alfa, yaitu keadaan kesadaran yang paling ideal untuk menghasilkan hormon
endorfin, atau hormon yang memunculkan rasa bahagia, nyaman, damai, dan ketenangan.
Gelombang alfa terjadi ketika otak berada pada keadaan “sadar/terjaga dan rileks”.
Keberserahan diri dengan ikhlas pada Tuhan yang dilandasi oleh kesadaran bahwa hal
tersebut adalah pilihan terbaik, akan menempatkan otak pada posisi gelombang alfa
tersebut sehingga efek dari “keberserahan diri” yang seperti itu adalah bahagia, nyaman,
damai, dan tenang.
TUMBUH KEMBANG “DIRI”
Diri Religius (3)

Pengertian akan pentingnya mengoptimalkan ikhtiar dan


mengoptimalkan keberserahan diri pada Tuhan akan hasil ikhtiarnya,
perlu dicermati oleh orang dewasa. Bahwa dengan demikian,
kebahagiaan adalah pilihan yang diciptakan oleh diri, melalui
mengkondisikan otak untuk selalu berada dalam keadaan sadar/
terjaga, dan rileks.

Menjaga relasi diri-Tuhan melalui menyeimbangkan ikhtiar dan


keberserahan diri, adalah salah satu pilihan untuk mencapai
gelombang alfa tersebut dan berarti mencapai kebahagiaan dan
ketenangan diri.
PSIKOLOGI “DIRI”
Komposisi Diri
Diri terdiri dari empat elemen, yaitu:

Pikiran/Cipta Motivasi/Karsa
Hasil dari kerja otak. Hasil dari gabungan antara
kerja otak (pikiran) dan
hormon.

Emosi/Rasa Perilaku/Karya
Hasil dari hormon yang Hasil dari gabungan antara
diproduksi melalui sistem kerja otak, hormon, dan
hormonal yang dikendalikan energi raga.
oleh hasil kerja otak
(pikiran).
PENJELASAN PSIKOLOGI “DIRI” (1)
Otak adalah penentu emosi, penentu motivasi, dan penentu perilaku.
Maka, otak dengan pikirannya, adalah pusat “kendali diri”. Kendali
yang konstruktif akan menghasilkan emosi yang positif, stabil, dan
tenang.

Otak yang berada dalam keadaan tegang dan terjaga pada berbagai
tingkatan (gelombang beta dan gamma) berhubungan dengan emosi
negatif seperti was-was, panik, takut, tidak tenang, tertantang.

Otak yang berganti-ganti antara gelombang alfa, beta, gamma, ibarat


orang yang berganti-ganti antara berlari, tiba-tiba berhenti, lalu
berjalan, berhenti, berlari kembali, dan seterusnya. Pergerakan
tersebut mengaktivasi pergerakan emosi secara cepat, menjadikannya
sulit dikendalikan dan mudah beresonansi dengan emosi di luar diri,
dan jadi tergantung pada emosi yang berlangsung di sekitarnya.
PENJELASAN PSIKOLOGI “DIRI” (2)
Dengan pengertian hubungan antara pikiran dan emosi di atas, maka
dapat dipahami pengertian ayat Al Qur’an tentang “Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan
mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”QS. al-Hasyr: 19. Diri yang
tidak terjaga relasi hamba-Tuhan-nya, akan kehilangan kendali diri
karena mudah beresonansi dengan emosi yang berkembang di sekitarnya,
sehingga pada akhirnya, dirinya menjadi diri yang diatur oleh dunia luar
diri, kehilangan kemampuaan untuk menjadi diri yang mandiri dan
terkendali.

Para (calon) orang tua perlu mencermati “psikologi diri” ini, agar
mengembangkan pengasuhan yang memberi kesempatan anak untuk
melatih kemampuan berpikir dalam merencanakan, mengambil
keputusan, menyelesaikan masalah, dan bertanggung jawab atas
perilakunya.
PENJELASAN PSIKOLOGI “DIRI” (3)

(Calon) orang tua, memiliki kesempatan untuk menjadikan


anaknya agar dekat dan patuh pada Tuhan dengan
kesadaran dirinya, yaitu dengan menjadikan pengasuhannya
diwarnai kedermawanan untuk memberikan penjelasan
pada anak.
Pengasuhan anak
Berbasis pengetahuan tentang “psikologi diri”.
Catatan penting:
1. Orang tua perlu memahami syariat Islam, untuk
Memberi perintah pada
mengetahui perilaku yang oleh Tuhan diwajibkan,

0
anak untuk melakukan
dibolehkan, dibebaskan, dijauhi, atau dihindari
sesuatu atau melarang
untuk dilakukan.
anak melakukan sesuatu
2. Orang tua perlu memahami tasawuf dasar, untuk

1
memahami kebaikan yang mendasari suatu
perilaku dan kebaikan yang dituju oleh perilaku,
sebagai bahan penjelasan ketika orang tua
memerintahkan atau melarang anak melakukan
sesuatu.
3. Orang tua perlu mengalokasikan waktu untuk
memberikan penjelasan, memberi kesempatan
anak untuk bertanya, dan menjawabnya.
Menjelaskan kebaikan yang
0 Menjelaskan bahwa perintah
atau larangan yang diterapkan
menyertai suatu perilaku yang
2 orang tua pada anak, adalah

0
diperintahkan untuk perintah dan larangan Tuhan
dilakukan.
Menjelaskan kebaikan yang
menyertai ketika menghindari
suatu perilaku yang dilarang
untuk dilakukan. 3
EMOSI
PENGETAHUAN TENTANG EMOSI
1. Emosi adalah elemen diri yang paling fluktuatif, terutama ketika “diri
sosial” adalah diri yang dominan atau paling sering digunakan oleh
seseorang.
2. Emosi bersifat menular, sehingga seseorang dengan “diri sosial” yang
dominan akan mudah mengalami emosi yang dialami oleh orang lain atau
yang sedang berlangsung.
3. Emosi bersifat “sosial” karena ia menjadi “kualitas” yang
menghubungkan seseorang dengan orang lain.
Contoh:
• Aku kecewa dengan dia karena dia ....
• Aku bahagia dia mau mendengarkan saranku..
• Aku marah kepadanya atas sikapnya....
4. Mengenali karakteristik emosi diri masing-masing adalah dasar untuk
“menjaga”nya.
Mengenali emosi (1)
Untuk mengetahui kesiapan diri menjadi suami/istri

Cermati, seberapa sering dari hari ke hari Anda


marah atau kecewa pada rekan kerja, pada
teman, pada sahabat, pada orang yang melayani
Anda, atau pada diri Anda sendiri?

Cermati, seberapa sering dari hari ke hari


Anda memaafkan atau berterima kasih pada
rekan kerja, teman, sahabat, orang yang
melayani Anda, atau diri sendiri?
Mengenali emosi (2)
Untuk mengetahui kesiapan diri menjadi suami/istri

1 2
MARAH KECEWA
Terjadi karena Terjadi karena adanya
menganggap orang lain harapan yang diletakkan
sebagai penyebab pada orang lain dan
sesuatu yang tidak tidak terpenuhi.
diinginkan/harapkan.

3 4
MEMAAFKAN BERTERIMA KASIH
Terjadi ketika Terjadi ketika
menyadari bahwa diri menyadari bahwa diri
atau orang lain diuntungkan oleh orang
dirugikan dan lain dan mengakuinya
mengakuinya dengan dengan sukarela sebagai
sukarela untuk balasan untuk
menetralkan situasinya. menyenangkan orang
https://www.youtube.com/watch?v=pBUn-bo48IM&t=2656s lain.
Catatan tentang emosi (1)

• Jika diri mudah marah atau kecewa pada rekan kerja, sahabat, teman, orang
yang kebetulan melayani atau bahkan orang yang baru dikenal, maka perlu
diwaspadai bahwa akan mudah pula marah atau kecewa pada suami atau istri,
karena dengan orang yang bertemu sesekali saja mudah marah, apalagi dengan
orang yang akan menjadi mitra interaksi sepanjang waktu (suami/istri), yang
diletakkan harapan tinggi padanya melebihi harapan pada orang-orang lain.
• Jika diri mudah memaafkan atau berterima kasih pada rekan kerja, sahabat,
teman, orang yang kebetulan melayani, atau bahkan orang yang baru dikenal,
maka perlu disyukuri adanya kesiapan untuk memaafkan dan berterima kasih
pada suami/istri, karena dengan yang kedekatannya formal atau sosial saja
mampu memaafkan dan berterima kasih, apalagi dengan orang yang
kedekatannya personal seperti suami/istri.
Catatan tentang emosi (2)
Aplikasinya pada relasi suami-istri
SUAMI ISTRI
Pahami bahwa pernikahan adalah tindakanmu Pahami bahwa perilaku keistrianmu layak
untuk mengambil alih perwalian istrimu dari dipertanggungjawabkan pada Tuhan, karena
ayahnya. Tuhan-lah yang memiliki aturan tentang
bagaimana seorang istri perlu bersikap pada
Maka sebagai wali dari istrimu, jika kamu suaminya.
memarahinya dan kecewa padanya, seolah kamu
menganggap istrimu yang bersalah padahal Maka, cukuplah bagimu untuk patuh pada
kamulah sebagai wali yang bertanggung jawab Tuhan dengan menjadi istri sebagaimana Dia
mendidiknya dengan cinta kasihmu agar dia kehendaki, tanpa dipengaruhi oleh bagaimana
mampu berperilaku seharusnya sebagai seorang sikap dan perilaku suami padamu. Terimalah
istri seperti yang Tuhan kehendaki. kemarahan dan kekecewaannya dengan cinta
kasihmu, karena cinta kasihmu adalah pereda
Beri kesempatan ia untuk belajar menjadi istri, kemarahan dan kekecewaannya.
karena peralihan dari putri seorang ayah untuk
menjadi istrimu, meninggalkan orang tuanya untuk Beri kesempatan ia untuk belajar menjadi
mendampingimu, adalah keputusan besar dalam walimu karena itu adalah tanggung jawab besar
hidupnya yang membuatmu layak untuk yang perlu waktu untuk dipelajari dan dikuasai.
memaafkan kesalahannya dan berterima kasih Permudah usahanya untuk menjadi walimu
daripada kecewa dan memarahinya. melalui kepatuhanmu.
MANAJEMEN EMOSI
MELATIH KEMAMPUAN MANAJEMEN EMOSI (1)
Kemampuan mengendalikan emosi perlu dilakukan melalui melatih kemampuan otak untuk
menjadi pengendali diri yang utama, sehingga ia bisa menjadi diri yang rasional, bukan emosional.

Melatih otak agar terlatih untuk menjadi pengendali diri, dapat dilakukan dengan cara yang
sederhana melalui melakukan sholat dengan benar, yaitu “menegakkan sholat” sebagai berikut:
1. Ketika sholat, perlu melatih diri untuk hanya melakukan satu gerakan dalam satu waktu, yaitu
jangan melafazkan bacaan sholat sambil melakukan perpindahan posisi (melakukan
pergerakan), kecuali pada lafaz “Allahu akbar”, “samiallahu liman hamidah”, dan salam.
2. Dengan kata lain, selesaikan gerakan sampai raga berpindah ke posisi baru, lalu ambil satu
nafas panjang sebagai penanda akhir dari gerakan, lalu mulai melafazkan bacaan.
3. Demikian juga ketika melafazkan bacaan, selesaikan melafazkan suatu bacaan sholat dalam
satu posisi hingga selesai, akhiri dengan satu tarikan nafas panjang, lalu mulai bergerak untuk
berpindah pada posisi baru, misalnya dari posisi sujud ke posisi duduk.
MELATIH KEMAMPUAN MANAJEMEN EMOSI (2)
Pada awalnya, melakukan nomor 1-3 akan terasa berat, karena “diri raga” akan memaksa agar
sholat segera selesai dari gerakan pertama (takbir) hingga gerakan terakhir (salam). Hal tersebut
bisa terjadi karena sholat adalah perilaku yang tidak memenuhi kebutuhan raga dalam aspek
manapun. Maka, raga tidak punya kepentingan untuk melakukan gerakan sholat dengan benar.

Pergerakan sholat yang terburu-buru atau sambil memikirkan pekerjaan lain akan memposisikan
otak pada gelombang beta atau mungkin gamma, sehingga tidak bisa tercipta ketenangan dalam
sholat. Maka, perlu melakukan nomor 1-3 sampai raga terbiasa untuk patuh pada “aturan” atau
“pembiasaan” agar dia tidak menarik diri pada pergerakan raga sebelum tiba gilirannya untuk
melakukan perpindahan gerak dalam sholat.

Jika raga sudah terlatih sehingga dia terbiasa tenang dan tidak gelisah dalam satu posisi tertentu
karena ingin segera berganti posisi, maka otak mulai bisa beralih fokusnya yaitu pada makna dari
bacaan yang dilafazkan. Oleh karena otak tidak perlu lagi difokuskan pada “mengendalikan raga”,
maka otak sudah bisa difokuskan pada “memahami bacaan”.
MELATIH KEMAMPUAN MANAJEMEN EMOSI (3)
Pada tahap ketika otak mulai bisa berfokus pada memahami bacaan, maka seharusnya
keterhubungan diri-Tuhan bisa dibangun, karena jika dicermati, semua bacaan sholat
adalah suatu komunikasi antara diri dengan Tuhan.

Sejalan dengan kemampuan diri untuk menjadikan pikiran sebagai pengendali utama
diri, maka akan menurun pula fluktuasi emosi yang menjadikan seseorang memiliki
diri yang bersifat “emosional”, dan menurun pula peran emosi sebagai pengendali
karsa dan perilaku yang menjadikan seseorang memiliki diri yang bersifat “reaktif”.
KESIMPULAN
• Karakteristik “diri” adalah dasar kesiapan seseorang untuk melakukan pernikahan. Karena
pernikahan dalam Islam adalah perintah Tuhan dengan aturan yang ditentukan oleh Tuhan, maka
diri dengan karakteristik religius adalah yang paling ideal untuk menjadi pelaku pernikahan sebagai
bentuk ibadah hamba kepada Tuhan.
• Diri religius perlu ditumbuhkembangkan dengan ikhtiar, yang dimulai sejak (calon) orang tua
mempelajari pengetahuan dan kompetensi yang diperlukan untuk menerapkan pengasuhan yang
konstruktif bagi tumbuh kembangnya diri religius anak.
• Pernikahan melibatkan interaksi intensif antara peran suami dan istri, oleh karenanya, memahami
karakteristik emosi diri dan pasangan, serta mensikapi pasangan dengan sudut pandang dan cara
yang positif, adalah prinsip utama berkembang bersama sebagai suami-istri dan orang tua.
• Emosi bisa dikelola dan kemampuan mengelolanya bisa dilatih, maka siapapun memiliki kesempatan
untuk mampu mengelola emosi dengan konstruktif. Ketergantungannya hanya pada kemauannya
untuk melatih dirinya.
Terima kasih
rhninin@unpad.ac.id

Anda mungkin juga menyukai