Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN ANALISIS JURNAL

PENGARUH SELF HEALING PADA PASIEN POST OPERASI

Dosen Pembimbing
Ns. Ginanjar Sasmito Adi, S.Kep., M.Kep.M.B

Disusun untuk memenuhi tugas di state departemen


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Oleh:
Tri Ucarin Febrianti, S.Kep
2101031027

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Analisis jurnal keperawatan medical bedah yang berjudul pengaruh self healing pada pasien
post Operasi telah dilaksanakan pada 27 - 02 juli 2022, oleh mahasiswa praktik profesi
Ners
Nama : Tri Ucarin Febrianti
NIM : 210103107

Jember, 02 Juli 2022

Tri Ucarin Febrianti


NIM. 2101031027

Pembimbing Akademik PJMK Departemen

Ns. Ginanjar Sasmito Adi, M. Kep., M.B


Ns. Ginanjar Sasmito Adi, M. Kep., M.B
NIDN. 0710029002
NIDN. 0710029002

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan
inayah-Nya serta nikmat sehat sehingga penyusunan analisis jurnal guna memenuhi tugas
di states departemen keperawatn medical bedah ini dapat selesai sesuai dengan yang
diharapkan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
semoga kita selalu berpegang teguh pada sunnah Nya Amiin.
Dalam penyusunan telaah jurnal ini tentunya hambatan selalu mengiringi namun
atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari dosen pembimbing Ns. Ginanjar Sasmito Adi,
M.Kep., Sp.Kep.M.B. Semoga analisis jurnal ini dapat memberikan manfaat dan sebagai
sumbang asih pemikiran khususnya untuk para pembaca dan tidak lupa kami mohon maaf
apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan baik dalam kosa kata ataupun isi
dari keseluruhan makalah ini. Kami sebagai penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kebaikan
kami untuk kedepannya.

Jember, 5 Juli 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................1

LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................2

KATA PENGANTAR....................................................................................3

DAFTAR ISI...................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

BAB II TELAAH JURNAL

A. Skenario...............................................................................................4

B. Rumusan Masalah................................................................................5

C. Pertanyaan Klinis.................................................................................6

D. Metode Penulusuran............................................................................7

E. Hasil Penelusuran Bukti.......................................................................7

F. Telaah Kritis........................................................................................7

BAB III KESIMPULAN................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................12

LAMPIRAN....................................................................................................13

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejang demam merupakan bangkitan kejang pada saat tubuh mengalami kenaikan
suhu rektal sebesar 38℃ atau kenaikan suhu aksila sebesar 37,8℃ yang disebabkan
proses ekstrakranium. Terdapat beberapa faktor pencetus kejang berulang seperti
riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang
rendah saat kejang, dan kejang cepat setelah demam. Faktor lainnya seperti jenis
kelamin terutama anak laki-laki lebih banyak mengalami kejang demam daripada
anak perempuan, riwayat epilepsi dalam keluarga yang merupakan faktor genetik juga
memiliki resiko tinggi terjadinya kejang sekitar 50%-100%, serta kejang demam
kompleks saat kejang demam yang pertama (Yunita, dkk., 2016).
Kejang demam banyak dialami oleh anak-anak sebesar 2%-5% anak yang berumur
kurang dari 5 tahun mengalami kejang disertai demam, sedangkan anak usia 17-13
bulan paling banyak mengalami kejang demam. Sekitar 30%-35% anak yang
mengalami kejang demam pertama akan mengalami kejang demam berulang (Yunita,
dkk., 2016). Resiko tertinggi terjadinya kejang demam pada usia dibawah 2 tahun,
yaitu sebanyak 50% anak mengalami kejang pertamanya. Sedangkan untuk usia diatas
2 tahun resiko kejang berulang hanya terjadi 28%. Riwayat kejang dalam keluarga
mempengaruhi berulangnya kejadian kejang demam. Lebih dari 90% kasus terjadi
kejang demam dialami oleh anak berusia kurang dari 5 tahun. Prevalensi kejang
demam di Asia meningkat 2 kali lipat dibandingkan dengan di Amerika dan Eropa
(Arifuddin, 2016). Kejadian kejang demam di Indonesia mencapai 2%-5% dialami
oleh anak usia 6 bulan sampai 3 tahun dan 30% diantaranya mengalami kejadian yang
berulang. Kejadian kejang demam di daerah Tegal mengakibatkan 6 balita meninggal
dunia dari total 62 kejadian kasus kejang demam, sedangkan di Medan kejadian
kejang demam menjadi peringkat pertama di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi tahun
2009 yaitu sebanyak 332 kasus di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi pada bulan
Agustus–Desember.
Kejadian kejang demam pada anak memerlukan penatalaksanaan yang tepat dalam
menanganinya. Penatalaksaan yang dapat dilakukan yaitu penanganan pertama yang
diberikan kepada anak ketika mengalami kejang demam. Penanganan yang diberikan
2
dapat berupa promotif, preventif, dan kuratif.

Jember, 7 Juli 2022

Penulis

3
BAB II
TELAAH JURNAL
A. Skenario
Demam merupakan kejadian yang sering dialami oleh semua orang dan terutama
pada anak. Demam merupakan respon tubuh yang wajar jika terdapat ada gangguan atau
masalah didalam tubuh. Kejang merupakan berubahan fungsi otak secara tiba-tiba dan
sementara sebagai akibat dari aktivitas neural yang abnormal. Peningkatan suhu yang secara
signifikan dapat mengakibatkan kejang demam. Kejang demam atau yang biasa disebut
dengan febrile convulsion merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada suhu tubuh dimana
suhu rektal diatas 38℃ atau suhu aksila diatas 37,8℃ yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada keadaan suhu badan meningkat yang terjadi
kurang dari 10 menit (Lestari,2016).
Manifestasi klinis yang muncul pada penderita kejang demam yaitu
(Sulaksmana, dkk., 2013): Suhu tubuh rektal anak lebih dari 38℃ dan suhu aksila diatas
37℃, timbul sakit secara tiba-tiba adanya demam, sakit kepala, panas-dingin, muntah, kulit
dingin dan sianosi, Kejang muncul bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik.
Setelah kejang berhenti, anak tidak memberikan reaksi apapun, namun beberapa saat
kemudian anak kembali sadar tanpa gangguan persyarafan, anak kejang demam tidak
merespon rangsangan seperti panggilan cahaya (penurunan kesadaran).
Pada keadaan demam dimana suhu meningkat 1℃, maka metabolisme basal
meningkat 10-15% dan meningkatkan kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada anak usia
tiga tahun sirkulasi di otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Kenaikan suhu tubuh dapat mempengaruhi dan mengubah
keseimbangan sel neuron dalam waktu singkat dan dapat mengakibatkan lepas muatan listrik
karena terjadi perpindahan (difusi) dari ion kalium dan natrium ke konsentrasi rendah.
Lepasnya muatan listrik ini sangat besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun di
sekitar membran sel dengan bantuan neurotransmitter sehingga terjadi kejang. Kejang
demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit biasanya terjadi henti napas (apnea),
peningkatan kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot sehingga menimbulkan
hipoksemia (kurangnya oksigen), hiperkapnia (meningkatnya karbondioksida didalam
darah), asidosis laktat (meningkatnya asam laktat) hasil metabolisme anaerobik, serta

4
hipotensi arterial (tekanan darah rendah) disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu
tubuh yang meningkat sehingga metabolisme dalam otak pun meningkat (Lestari, 2016).
Pemeriksaan penunjang kejang demam menurut Gunardi H dkk., 2011) dan Satyanegara,
dkk. (2011) antara lain: Pemeriksaan laboratorium, Lumbal fungsi, Elektroensefalografi
(EEG), CT scan, menentukan adanya kelainan struktur otak, Magnetic Resonance Imaging
(MRI), Pemindaian Positron Emission Tomography (PET), dan Neuroimaging.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hasil dari telaah jurnal metode PICO dan VIA?
2. Bagaimana metode peneklusuran jurnal?
3. Bagaimana Hasil penelusuran Bukti?

C. Pertanyaan Klinis (PICO)


1. Jurnal Nasional
Kriteria Hasil Analisa
Population/ Review teori kejang demam
problem
Intervention -
Comparation Tidak Terdapat faktor pembanding
Outcome Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling
sering dijumpai dibidang neurologi anak dan terjadi pada
25% Anak. Pada penelitian kohort prospektif yang
besar, 2 – 7 % kejang demam mengalami kejang tanpa
demam atau epilepsi di kemudian hari. 16,17 Kejadian
kejang demam ada kaitannya dengan faktor genetik.7,18
Anak dengan kejang demam 25 – 40 % mempunyai riwayat
keluarga dengan kejang demam.
Time -

2. Jurnal Internasional
Kriteria Hasil Analisa

5
Population/problem Studi kasus kontrol komparatif ini dilakukan dari Juni 2019
hingga Juni 2020 di Departemen Anak Rumah Sakit Yayasan
Fauji, Peshawar, Pakistan. Persetujuan dari penelitian rumah
sakit dan komite etik diambil. Formulir informed consent
diambil dari orang tua/wali dari semua anak. Melalui non
probability consecutive sampling, total 180 pasien dari kedua
jenis kelamin dan berusia 6 bulan sampai 5 tahun dimasukkan.
Kriteria eksklusi adalah anak yang sudah mengkonsumsi
suplemen zat besi, anak yang menderita thalassemia, epilepsi,
cerebral palsy, meningitis dan gangguan metabolisme seperti
hipokalsemia dan hipoglikemia. Para pasien dibagi menjadi dua
kelompok dengan 90 orang di setiap kelompok. Grup-1 memiliki
anak dengan FS dan Grup-2, memiliki anak tanpa FS.
Kelompok-2 memiliki anak yang mengunjungi rumah sakit
untuk pemeriksaan bayi sehat secara rutin, untuk vaksinasi atau
anak dengan masalah demam ringan tetapi tidak memiliki FS
sedangkan anak dengan riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya.
Intervention -
Comparation Tidak Terdapat faktor pembanding
Outcome Di Grup-1, usia rata-rata adalah 24,22+ 1,35 bulan sedangkan di
Grup-2 23,91+ 1,22 bulan (p=0,1078). Ada 107 (59,44%) laki-
laki dan 73 (40,56%) pasien perempuan (p=0,6488) Pada
Kelompok-1, rata-rata kadar Hb, kadar MCV dan kadar feritin
serum secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan
Kelompok-2 (p<0,0001). Sebanyak 53 (29,44%) anak
mengalami IDA. Di Grup-1, IDA diamati pada 36 (40,0%)
pasien sementara itu terlihat pada 17 (18,89%) anak-anak di
Grup-2 (p=0,0019). Dalam penelitian ini, secara signifikan lebih
banyak anak dengan FS mengalami IDA bila dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki FS. Sebuah studi oleh

6
Pisacane et al melaporkan bahwa pada FS anak usia 2 tahun
memiliki prevalensi anemia lebih banyak.17Studi lain oleh
Kobrinsky dkk melaporkan bahwa ambang batas untuk FS
meningkat karena defisiensi besi.
Time Penelitian ini dilakukan pada oktober 2018-Desember 2018

D. Metode penelusura jurnal


Pencarian jurnal dilakukan pada bulan Juni 2020. Pencarian jurnal dalam telaah
jurnal ini menggunakan database yaitu Google Scholar serta Aging Medicine and Healthcare
journal.

E. Hasil penelusuran Bukti


1. Jurnal Nasional
Judul : kejang demam
Tahun : 2017
Penulis : Ismet
2. Jurnal Internasional
Judul : Iron Deficiency Associated With Febrile Seizures
Tahun : 2021
Penulis : Sajjad Ahmad Khan, Jawad Khan, Mian Sarfraz Gul, Kehkashan Akbar,
Anila Farid, Muhammad Adnan
F. Telaah kritis VIA
1. Jurnal Nasional

V : Validity

Artikel ini menjelaskan lebih detail terkait kejang demam, kejadian kejang demam pada
anak serta tata cara dan pencegahan kejang demam pada anak.
I : Importance
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam ( Level I, rekomendasi D ), namun antipiretik tetap dapat
diberikan ( level III, rekomendasi B. ) Dosis parasetamol yang digunakan 10 – 15

7
mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kg/kali, 3 – 4 kali sehari .
Meskipun jarang, asam asetil selisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada
anak kurang dari 18 bulan , sehingga penggunanya tidak dianjurkan (Level III,
rekomendasi E ). Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30 – 60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5o ( level I, rekomendasi A ).
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam ( level II rekomendasi E ).Pemberian obat rumat diindikasi bila kejang
demam menunjukkan salah satu dari hal berikut : kejang lama > 15 menit, kejangnya fokal,
adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, reterdasi mental , hidrosefalus. Pengobatan
rumat boleh dipertimbangkan bila kejang 2 x/lebih dalam satu hari , kejang pada umur < 1
tahun, dan kejang sangat sering ≥ 4 kali pertahun . Antikonvulsan yang digunakan untuk
pengobatan rumat adalah fenobarbital ( 4 – 5 mg/kg/hari) atau asam valproat (20 – 40
mg/kg/hari) efektif menurunkan risiko berulangnya kejang (level I). Pengobatan diberikan
selama 1 tahun bebas kejang kemudian dihentikan secara bertahap selam 1 – 2 bulan. 10
Prognosis kejang demam baik, adanya kecacatan, kematian, gangguan kognitif dan
kepandaian tidak pernah dilaporkan pada pasien yang sebelumnya normal
A : Aplicability
-
2. Jurnal Internasional
V : Validity
Studi kasus kontrol komparatif ini dilakukan dari Juni 2019 hingga Juni 2020 di
Departemen Anak Rumah Sakit Yayasan Fauji, Peshawar, Pakistan. Persetujuan dari
penelitian rumah sakit dan komite etik diambil. Formulir informed consent diambil dari
orang tua/wali dari semua anak. Melalui non probability consecutive sampling, total 180
pasien dari kedua jenis kelamin dan berusia 6 bulan sampai 5 tahun dimasukkan. Kriteria
eksklusi adalah anak yang sudah mengkonsumsi suplemen zat besi, anak yang menderita
thalassemia, epilepsi, cerebral palsy, meningitis dan gangguan metabolisme seperti
hipokalsemia dan hipoglikemia. Para pasien dibagi menjadi dua kelompok dengan 90
orang di setiap kelompok. Grup-1 memiliki anak dengan FS dan Grup-2, memiliki anak

8
tanpa FS. Kelompok-2 memiliki anak yang mengunjungi rumah sakit untuk pemeriksaan
bayi sehat secara rutin, untuk vaksinasi atau anak dengan masalah demam ringan tetapi
tidak memiliki FS sedangkan anak dengan riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
I : Importance
Di Grup-1, usia rata-rata adalah 24,22+ 1,35 bulan sedangkan di Grup-2 23,91+
1,22 bulan (p=0,1078). Ada 107 (59,44%) laki-laki dan 73 (40,56%) pasien perempuan
(p=0,6488) Pada Kelompok-1, rata-rata kadar Hb, kadar MCV dan kadar feritin serum
secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan Kelompok-2 (p<0,0001). Sebanyak 53
(29,44%) anak mengalami IDA. Di Grup-1, IDA diamati pada 36 (40,0%) pasien
sementara itu terlihat pada 17 (18,89%) anak-anak di Grup-2 (p=0,0019). Dalam penelitian
ini, secara signifikan lebih banyak anak dengan FS mengalami IDA bila dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki FS. Sebuah studi oleh Pisacane et al melaporkan
bahwa pada FS anak usia 2 tahun memiliki prevalensi anemia lebih banyak.17Studi lain
oleh Kobrinsky dkk melaporkan bahwa ambang batas untuk FS meningkat karena
defisiensi besi. Banyak neurotransmitter dan monoamine-oxidase dan aldehyde-oxidase
membutuhkan zat besi untuk metabolismenya. Pada anak-anak usia 2 sampai 3 tahun,
kekurangan zat besi adalah masalah umum dan memainkan peran penting dalam masalah
perkembangan saraf dan perilaku.19ol h karena itu, peran zat besi sebagai faktor penyebab
tidak jelas.Dalam penelitian ini, kami menemukan 57,78% anak-anak dengan FS adalah
laki-laki sementara temuan kontras dilaporkan oleh Sarfraz et al.20Ghasemi et al
menemukan bahwa ada lebih banyak laki-laki (66%) daripada perempuan (34%) dalam
penelitian mereka.6Pada kelompok FS, rerata kadar Hb, kadar MCV dan kadar feritin
serum secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa FS. Pisacane et
al melaporkan 30% anak dari kelompok FS mengalami anemia sedangkan 14% anak dari
kelompok sehat mengalami anemia.
A : Aplicability

- .

9
BAB III
KESIMPULAN
Demam merupakan kejadian yang sering dialami oleh semua orang dan terutama pada
anak yang dimana demam merupakan respon tubuh yang wajar jika terdapat ada gangguan atau
masalah didalam tubuh. Peningkatan suhu yang secara signifikan dapat mengakibatkan kejang
demam. Kejang demam atau yang biasa disebut dengan febrile convulsion merupakan
bangkitan kejang yang terjadi pada suhu tubuh dimana suhu rektal diatas 38℃ atau suhu aksila
diatas 37,8℃ yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada keadaan
suhu badan meningkat yang terjadi kurang dari 10 menit. Penanganan yang cepat, tepat, dan
efisien diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada anak saat mengalami kejang
demam, selain itu perlunya meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kejang demam
secara tepat sehingga tidak salah dalam memberikan penangan pertama untuk meminimalkan
risiko terjadinya hal- hal yang membahayakan anak.

10
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin, A. 2016. Analisis Faktor Resiko Kejadian Demam Di Ruang Perawat
Anak RSU Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako. 2(2): 60-72.
Gunardi, H. dkk. 2011. Kumpulan Tips Pediatri. Edisi 2. Jakarta: IDAI.
Ismet. 2017. Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu
Khan S. A., Khan J., Gul M. S., Akbar K., Farid A., Adnan M. 2021. Iron deficiency
associated with febrile seizures. Rawal Medical Journal. 46(3): 530-532.
Lestari, T. 2016. Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Jakarta: PT Gramdeia Pustaka
Umum.
Sulaksmana, W., Sukardi, dan A. R. Dalimunte. 2013. Kejang Demam pada Anak. Jurnal
Kedokteran Unram. 2(3): 3-10.
Yunita, V. E., Afdal, dan I. Syarif. 2016. Gambaran Faktor yang Berhubungan
dengan Timbulnya Kejang Demam Berulang pada Pasien yang Berobat di
Poliklinik Anak RS. DR. M. Djamil Padang Periode Januari 2010-Desember
2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 5(3): 705-709.

11

Anda mungkin juga menyukai