Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BUDAYA DALAM PELAYANAN KONTRASEPSI

DOSEN PENGAMPU :
NOFA ANGGRAINI SST, M. Kes

KELOMPOK
DISUSUN OLEH :
LIDIA AUZALIKA (190602006)
MELISA FITRIA (
NURFADILAH (

PRODI : S1 KEBIDANAN A
Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi

1. Pengertian keluarga berencana dan pelayanan kontrasepsi

Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal
melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan
hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Pengaturan kehamilan
dilakukan dengan menggunakan cara, alat, dan obat kontrasepsi. Pelayanan kontrasepsi
adalah pemberian atau pemasangan kontrasepsi maupun tindakan – tindakan lain yang
berkaitan kontrasepsi kepada calon dan peserta Keluarga Berencana yang dilakukan dalam
fasilitas pelayanan KB. Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi dilakukan dengan cara yang
dapat dipertanggung jawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan
(Kemenkes RI, 2014).

Pelayanan KB yang berkualitas dan merata memiliki kedudukan yang strategis, yaitu sebagai
bagian dari upaya komprehensif yang terdiri dari upaya kesehatan promotif dan preventif
perorangan. Implementasi pendekatan life cycle/siklus hidup dan prinsip continuum of care
merupakan salah satu bagian dari pelayanan KB dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
ibu dan anak (KIA).

Jenis dan sasaran yang dituju dari pelayanan KB diberikan sesuai dengan kebutuhan melalui
konseling dan pelayanan dengan tujuan merencanakan dan menjarangkan atau membatasi
kehamilan, yaitu bagi remaja, ibu hamil, ibu nifas, wanita usia subur (WUS) yang tidak
sedang hamil. Suami dan istri memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam
melaksanakan KB (Kemenkes RI, 2013).Wanita usia subur (WUS) adalah wanita yang
berusia antara 15 sampai 49 yang belum menikah, menikah dan sudah pernah menikah/janda
dan wanita pada usia ini memiliki potensi untuk mempunyai keturunan (BKKBN, 2012).
Pemilihan kontrasepsi pada WUS dibagi menjadi 3 fase. Fase menunda kehamilan yaitu pada
usia kurang dari 20 tahun. Fase menjarangkan kehamilan yaitu pada usia antara 20 sampai 35
tahun. Fase tidak hamil lagi yaitu pada WUS dengan usia lebih dari 35 tahun (BKKBN,
2012). Kategori yang memenuhi syarat untuk akseptor kontrasepsi menurut medical
eligibility criteria for contraceptive use (MEC) (2015) :

a. Suatu kondisi yang mana tidak ada larangan untuk penggunaan metode kontrasepsi.
Artinya metode tersebut dapat digunakan pada setiap keadaan.
b. Suatu kondisi dimana keuntungan dari penggunaan metode ini secara umum lebih besar
daripada teori atau risiko yang telah terbukti. Artinya secara umum metode tersebut dapat
digunakan.

c. Suatu kondisi dimana teori atau risiko yang telah terbukti biasanya lebih besar daripada
keuntungan menggunakan metode tersebut. Artinya penggunaan metode tersebut biasanya
tidak direkomendasikan kecuali tidak ada metode lain yang tersedia atau dapat diterima klien.

d. Suatu kondisi yang menunjukkan resiko kesehatan yang tidak dapat diterima jika metode
kontrasepsi ini digunakan. Artinya, metode tersebut tidak dapat digunakan.

2. Jenis – jenis kontrasepsi

Pelayanan kontrasepsi diberikan dengan menggunakan metode kontrasepsi baik hormonal


maupun non hormonal. Menurut jangka waktu pemakaiannya kontrasepsi dibagi menjadi
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
(Non-MKJP) (Kemenkes RI, 2014). Jenis – jenis kontrasepsi menurut Affandi dan Albar
(2011):

a. Kontrasepsi non-hormonal, terdiri dari:

1) Kontrasepsi tanpa menggunakan alat/obat yaitu senggama terputus dan pantang berkala.

2) Kontrasepsi sederhana untuk laki – laki adalah kondom.

3) Kontrasepsi sederhana untuk perempuan yaitu pessarium dan kontrasepsi dengan obat –
obat spermitisida

b. Kontrasepsi hormonal, terdiri dari:

1) Metode hormonal kombinasi (estrogen dan progesteron) yaitu pil kombinasi dan suntik
kombinasi (cyclofem)

2) Metode hormonal progesteron saja yaitu pil progestin (minipil), implan, suntikan progestin
(Depo Medroksiprogesterone Asetat/DMPA).

c. Kontrasepsi mantap terdiri dari tubektomi dan vasektomi.

3. Suntik progestin

a. Jenis suntik progestin


Metode kontrasepsi suntik merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan
(Kemenkes RI, 2016). Salah satu metode suntik yang menjadi pilihan adalah metode suntik
DMPA. Metode kontrasepsi progestin dengan menggunakan progestin, yaitu bahan tiruan
dari progesteron tersedia dalam 2 jenis kemasan, yakni:

1) Depo medroksiprogesteron asetat mengandung 150 mg DMPA, diberikan setiap 3 bulan


dengan suntikan intramuskular di bokong

2) Depo noretisteron enantat mengandung 200 mg noretindron enantat, diberikan setiap 2


bulan dengan cara disuntik intramuskular (Kemenkes RI, 2014)

b. Waktu memulai untuk suntik progestin yaitu:

1) Suntikan pertama diberikan dalam waktu 7 hari siklus haid

2) Pada ibu yang tidak haid, suntikan pertama dapat diberikan setiap saat asal dipastikan ibu
tidak hamil, namun selama 7 hari setelah suntikan tidak boleh melakukan hubungan seksual

3) Pada ibu menyusui: setelah 6 minggu pasca persalinan, sementara pada ibu tidak menyusui
dapat menggunakan segera setelah persalinan (Kemenkes RI, 2014).

c. Cara kerja suntik progestin yaitu mencegah ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga
menurunkan kemampuan penetrasi sperma, menjadikan selaput lendir rahim tipis dan atrofi,
serta menghambat transportasi gamet oleh tuba (Saifuddin, 2011).

d. Mekanisme kerja hormon progesteron

Sistem neuroendokrin untuk fungsi reproduksi memiliki sistem bertingkat yaitu central
nervous system (CNS) yang lebih tinggi dipengaruhi oleh stimuli internal dan eksternal.
Sistem ini berefek positif atau negatif terhadap sekresi gonadotropin-releasing hormone
(GnRH) dari hipotalamus menuju ke sirkulasi portal hipofisis. Sekresi hormon ini akan
menstimulasi kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresi follicle stimulating hormone
(FSH) dan luteinizing hormone (LH) (Anwar, 2011). Pengaruh hormon FSH dan LH yaitu
pada tingkat ovarium untuk memacu perkembangan folikular dan ovulasi pada perempuan.
Progesteron terutama diproduksi di ovarium oleh sel luteal dan oleh sel granulosa dalam
jumlah sedikit pada saat sebelum terjadinya lonjakan LH. Hormon ini penting untuk
menginduksi perubahan sekretoris pada endometrium dan memelihara kehamilan (Anwar,
2011). Bila progesteron terlalu lama memengaruhi endometrium akan terjadi degenerasi
endometrium sehingga tidak cocok menerima nidasi. Pada serviks, pengaruh progesteron
mengurangi getah serviks, molekul besar menjadi tebal, sehingga porsio dan serviks menjadi
sangat sempit dan getah serviks menjadi ketat (Saifuddin, 2011). Rahim tipis dan atrofi dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Hal ini terjadi karena kadar Folikel Stimulating
Hormone (FSH) dan Luteinizing hormone (LH) menurun serta tidak terjadi lonjakan LH.
Kondisi hipoestrogenik yang juga terjadi merupakan faktor signifikan menyebabkan
dispareunia (Walker dan Shawky, 2013).

e. Keuntungan

Keuntungan dari suntik progestin diantaranya adalah sangat efektif, tidak menekan produksi
ASI, dapat digunakan oleh perempuan usia lebih dari 35 tahun sampai perimenopause. Suntik
progestin memiliki efektivitas yang tinggi, dengan kehamilan 0,3 kehamilan per 100
perempuan/tahun, asal penyuntikannya dilakukan secara teratur dan sesuai jadwal yang telah
ditentukan (BKKBN, 2012).

f. Keterbatasan dan efek samping

Keterbatasan pada metode ini adalah klien sangat bergantung pada tempat sarana pelayanan
kesehatan untuk suntikan ulang, tidak dapat dihentikan sewaktu-waktu, lambat kembalinya
kesuburan setelah penghentian pemakaian, rata-rata 4 bulan. Efek samping DMPA yaitu berat
badan meningkat, nyeri tulang, vagina kering, penurunan mood, spotting, amenore (BKKBN,
2012).

g. Peringatan pemakaian

Peringatan lain yang perlu diperhatikan yaitu:

1) Setiap terlambat haid harus dipikrkan adanya kemungkinan kehamilan.

2) Nyeri abdomen bawah yang berat kemungkinan gejala kehamilan ektopik terganggu.

3) Timbulnya abses atau perdarahan tempat injeksi.

4) Sakit kepala migrain, sakit kepala berulang yang berat, atau kaburnya penglihatan.

5) Perdarahan berat yang 2 kali lebih panjang dari masa haid atau 2 kali lebih banyak dalam
satu periode masa haid.

Tinjauan Tentang Pemilihan Alat Kontrasepsi

a. Pengertian
Penggunaan alat kontrasepsi aman sekaligus nyaman, ibarat mencari jodoh, perlu ketelitian
dan kejujuran agar mendapatkan yang sesuai diinginkan dan cocok. Masalah pemilihan alat
kontrasepsi banyak dihadapi wanita muda yang baru menikah, ada yang bertujuan menunda
kehamilan atau memiliki anak atau berniat mengatur jarak kelahiran anak. Memilih alat
kontrasepsi perlu dibekali dengan pengetahuan dengan mencari informasi sebanyak-
banyaknya. Pada dasarnya tidak ada alat kontrasepsi yang 100% aman dan efektif serta yang
terpenting memaksimalkan manfaat dan meminimalkan efek sampingnya (Sumaryoto, 2010).

Sampai saat ini belum tersedia satu metode kontrasepsi yang benar-benar 100%
ideal/sempurna. Pengalaman menunjukkan bahwa saat ini pilihan metode kontrasepsi
umumnya masih dalam bentuk supermarket dimana calon Peserta memilih sendiri metode
kontrasepsi yang diinginkannya, hal ini menunjukkan bahwa sulitnya calon menentukan
pilihan alat kontrasepsi yang akan dipakai sehingga membutuhkan pengetahuan akan alat KB
yang kemungkinan cocok untuk digunakan (Hartanto, 2011).

Pemilihan metode kontrasepsi, seharusnya dapat memandang dari pihak calon akseptor dan
pihak medis/petugas KB, ada 2 hal yang sangat penting yang ingin diketahui oleh pasangan
calon akseptor, yaitu efektivitas dan keamanan (Manuaba, 2013).

b. Faktor penyebab pemilihan alat kontrasepsi

Faktor eksternal penyebab kurangnya pengguna alat kontrasepsiantara lain dari fasilitas
kesehatan, yaitu:

1). Pelayanan KB dan kesehatan reproduksi terutama ketersediaan kontrasepsi di daerah


miskin sering kali belum tersedia secara meluas.

2). Ketersediaan tenaga yang tidak memadai.

3). Sumber dana pengadaan dan peralatan KB yang masih kurang.

4). Biaya pelayanan dan transportasi ke tempat pelayanan yang tidak terjangkau oleh
penduduk miskin atau penyebabnya pendapatan masyarakat yang masih kurang (Handayani,
2010). Pemilihan kontrasepsi rasional yaitu :

a. Fase menunda kehamilan (pil, IUD, sederhana atau kondom, suntikan dan implant.

b. Fase menjarangkan kehamilan (IUD, suntikan, pil, implant).


c. Fase tidak hamil lagi (steril, IUD, implant, suntikan dan pil)(Handayani, 2010).Faktor
eksternal lainnya yaitu sosial budaya. Dukungan sosial dan psikologis sangat diperlukan oleh
setiap individu di dalam setiap siklus kehidupan, dukungan sosial akan semakin dibutuhkan
pada saat seseorang sedang menghadapi masalah atau sakit, disinilah peran anggota keluarga
diperlukan untuk menjalani masa-masa sulit dengan cepat. Salah satu dukungan keluarga
yang dapat di berikan yakni dengan melalui perhatian secara emosi, diekspresikan melalui
kasih sayang dan motivasi anggota keluarga yang sakit agar terus berusaha mencapai
kesembuhan (Efendi, 2009).

Faktor internal dalam pemilihan alat kontrasepsi terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhinya yaitu sebagai berikut :

a. Tingkat Pendidikan

Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan tentang metode
kontrasepsi. Orang yang berpendidikan tinggi akan memeberikan respon yang lebih rasional
dari pada mereka yang berpendidikan rendah, lebih kreatif dan terbuka terhadap usaha-usaha
pembaharuan (Wawan dan Dewi, 2010)Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana
seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang
berpendidikan lebih tinggi biasanya bertindak lebih rasional. Oleh karena itu orang yang
lebih berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru (Ma’ruf, 2013).

Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam


kesehatan yang selanjutmerupakan berdampak pada derajat kesehatan. Orang yang tidak
berpendidikan atau golongan ekonomi rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang tersedia. Tinggi rendahnya pendidikan berkaitan dengan sosio ekonomi, kehidupan seks
dan kebersihan. Pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka
orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa
seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.
Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dipendidikan formal, akan tetapi juga dapat
diperoleh pada pendidikan non formal, pengetahuan seseorang dengan suatu obyek juga
mengandung dua aspek yaitu positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan
menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari
obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap positif terhadap obyek tersebut (Martini,
2013).
b. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.
Secara garis besarnya dibagi dalam enam tingkat pengetahuan:

1). Tahu (know), tahu diartikan hanya sebagai memanggil memori yang telah ada sebelumnya
setelah mengamati sesuatu. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah. Kata kerja untuk mengukur orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain:
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2). Memahami (comperhension), memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

3). Aplikasi (aplication), aplikasi diartikan apabila seseorang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang telah diketahui tersebut
pada situasi yang lain.

4). Analisis (analysis), analisis adalah kemampuan sesorang untuk menjabarkan dan
memisahkan, dan mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu
masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang telah sampai pada
tingkat analisis adalah apabila seseorang telah sampai pada tingkat analisis adalah apabila
orang tersebut telah dapat membedakan, atau mengelompokkan, membuat diagram (bagan)
terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

5). Sintesis (synthesis), sintesis menunjukan suatu kemampuan sesorang untuk merangkum
atau meletakan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan
yang dimiliki. Dengan kata lainsintesi adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

6). Evaluasi (evaluation), evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan
sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri (Notoatmodjo, 2012).

c. Umur

Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah
umur/usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya. Umur dimaksud
disini adalah salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi akseptor KB, sebab
umur berkaitan dengan potensi produksi dan perilaku tidaknya seseorang memantau alat
kotrasepsi.

Tinjauan Tentang Budaya

a. Pengertian

Budaya dari kata sans atau Bodhya yang artinya pikiran dan akal budi. Budaya ialah segala
hal yang dibuat oleh manusia berdasarkan pikiran dan akal budinya yang mengandung cipta
rasa dan karsa. Dapat berupa kesenian, pengetahuan, moral, hukum, kepercayaan, adat
istiadat ataupun ilmu (Sunaryo, 2015). Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk,
mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial
dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit
maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Masalah utama sehubungan dengan hal tersebut
adalah bahwa tidak semua unsur dalam suatu sistem budaya kesehatan cukup ampuh serta
dapat memenuhi semua kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus meningkat akibat
perubahan-perubahan budaya yang terus menerus berlangsung. Sedangkan pada pihak lain
tidak semua makna unsur-unsur pengetahuan dan praktek biomedis yang diperlukan
masyarakat telah sepenuhnya dipahami ataupun dilaksanakan oleh sebagian terbesar para
anggota suatu komunitas masyarakat. Bahkan dari segi perawatan dan pelayanan medis
belum seluruhnya berhasil memenuhi kebutuhan dan harapan suatu masyarakat karena
adanya berbagai masalah keprofesionalan, seperti perilaku profesional medis yang belum
sesuai dengan kode etik, pengutamaan kepentingan pribadi dan birokrasi, keterbatasan dana
dan tenaga, keterbatasan pemahaman komunikasi yang berwawasan budaya (Kalangie, 2010).

Kepercayaan datang dari apa yang kita lihat dan apa yang kita ketahui. Sekali kepercayaan
telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat
diharapkan dari objek tertentu. Kepercayaan dapat terus berkembang. Pengalaman pribadi,
apa yang diceritakan orang lain dan kebutuhan emosional kita sendiri merupakan determinan
utama dalamterbentuknya kepercayaan. Pengalaman pribadi yang digeneralisasikan ini lalu
membentuk streotipe. Apabila streotipe ini sudah berakar sejak lama, maka orang akan
mempunyai sikap yang lebih didasarkan pada predikat yang dilekatkan oleh pola streotipenya
dan bukan didasarkan pada objek sikap tertentu. Sikap yang didasari pola streotipe seperti ini
biasanya sangat sulit untuk menerima perubahan. Kepercayaan tidak selalu akurat. Kadang-
kadang kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan kurang atau tidak adanya informasi
yang benar mengenai objek yang dihadapi (Azwar, 2015). Budaya merupakan nilai yang
berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani. Nilai adalah suatu perangkat preferensi
yang diakui syahnya menurut aturan yang ada. Nilai yang dianut seseorang ditentukan oleh
semua prilakunya karena nilai tersebut menghasilkan norma-norma dan mengajarkan bahwa
norma-norma tersebut adalah benar. Nilai yang dianut individu mempengaruhi pengolahan
informasi yang membentuk representasi internal. Nilai bersifat permanen karena tertanam
pada individu selama masa pertumbuhannya. Latar belakang budaya, masyarakat dan
lembaga-lembaga sosial merupakan sebagian besar asal dari mana nilai-nilai tertanam pada
individu. Jadi nilai yang dianut individu dipengaruhi oleh persepsi orang yang penting bagi
individu dalam menilai objek yang bersangkutan (Azwar,2015).

Nilai mempengaruhi individu berperilaku atau mengambil keputusan sesuai dengan nilai
tersebut. Nilai berfungsi sebagai rujukan dalam memilih dan mengevaluasi tingkah laku dan
kejadian-kejadian. Dengan demikian nilai berfungsi sebagai pengarah tingkah laku dalam
mencapai tujuan yang diinginkan. Selain nilai dan sistem nilai, pembentukan representasi
internal juga dipengaruhi norma subjektif. Norma subjektif adalah persepsi mengenai
pendapat orang lain tertentu (important others) tentang apa yang harus atau tidak boleh
dilakukan (Azwar, 2015).

Kultur budaya dalam masyarakat yang cukup kuat dapat mempengaruhi dalam penggunaan
kontrasepsi, seperti faktor budaya di dalam lingkungan mereka tinggal tidak menganjurkan
dalam penggunaan alat kontrasepsi dan juga kepercayaan jika memiliki banyak anak maka
akan mendatangkan rezeki. Selain itu, ada kendala bagi pasangan usia subur dalam
menentukan pilihan untuk menggunakan kontrasepsi yaitu dukungan dari petugas kesehatan
dalam penyuluhan program KB kepada masyarakat, dukungan dari para tokoh agama dan
tokoh masyarakat. Hal ini berkaitanvdengan keyakinan dan budaya masyarakat yang belum
sepenuhnya memahami pentingnya kontrasepsi dalam mengatur jumlah kelahiran dan
merencanakan keluarga (Assalis, 2015). Menggunakan contoh dari hasil studi yang
dilakukan oleh penelitian pada tanggal 14 Mei 2019 diperoleh data di Puskesmas Samarinda
Kota pengguna kontrasepsi hanya 46 orang dengan jumlah PUS sebanyak 9.794 orang.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara faktor budaya dengan
perilaku penggunaan alat kontrasepsi di Puskesmas Samarinda Kota.

Faktor Budaya

Hasil penelitian dari 384 orang menunjukan budaya mempengaruhi sebanyak 242 (37,0%)
responden dan budaya tidak mempengaruhi sebanyak 142 (63,0%) responden. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Assalis (2015) dengan responden yang berjumlah 106 responden
didapatkan hasil 60 (51,7%) responden memiliki sosial budaya mendukung dan 56 (48,3%)
responden memiliki sosial budaya yang tidak mendukung. Pemilihan alat kontrasepsi dapat
dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dan kondisi lingkungan. Hal ini didasarkan pada
realita pada umumnya bahwa masyarakat indonesia sudah menganggap bahwa mengikuti
program KB merupakan hal yang tidak diwajibkan (Handayani, 2010). Menurut Rakhmah &
Darmawati (2017) berpendapat bahwa sosial budaya yang ada dimasyarakat dipengaruhi oleh
tingkah laku dan sikap. Secara tidak langsung hal ini pun dapat mempengaruhi pasangan usia
subur dalam mengambil keputusan. Informasi mengenai penggunaan dan metode kontrasepsi
akan membuat pasangan usia subur menjaga kesehatan reproduksinya dengan menjadikan
dirinya sebagai akseptor keluarga berencana.

Hampir sebagian besar budaya responden yang tidak mendukung dikarenakan oleh masih
cukup banyak responden yang berkeyakinan bahwa menggunakan KB bertentangan dengan
ajaran agama, kurang percayanya responden jika menggunakan kontrasepsi dapat
meningkatkan kesejahteraan, kurangnya sosialisasi petugas kesehatan mengenai penggunaan
alat kontrasepsi serta cukup banyaknya responden yang awalnya menggunakan KB sekarang
tidak menggunakan KB lagi dikarenakan mendapat saran dari lingkungan sekitar untuk tidak
menggunakan KB (Wa Niaga, 2018).

Menurut Hussain (2011) mengatakan bahwa banyak perempuan di lingkungan pedesaan


enggan memakai alat kontrasepsi apapun. Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa
perempuan pedesaan yang tidak mau menerima metode keluarga berencana dikarenakan
lingkungan disekitar mereka memandang anak-anak sebagai sumber dukungan di usia tua dan
khawatir tentang kelangsungan hidup anak. Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi
bahwa budaya dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusanterutama dalam
hal penggunaan alat kontrasepsi dimana tingkah laku dan sikap seseorang dapat dibentuk oleh
budaya sekitar. Mayoritas masyarakat pun akan mengikuti saran dari orang disekitar mereka
untuk menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi dibanding meminta saran
terhadap petugas kesehatan.

Perilaku Penggunaan Alat Kontrasepsi

Hasil penelitian dari 384 orang menunjukan perilaku penggunaan alat kontrasepsi baik
sebanyak 226 (58,9%) responden dan perilaku penggunaan alat kontrasepsi kurang baik
sebanyak 158 (41,1%) responden. Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Attiyah, Zulfendri,
& Sembiring, 2017) dengan responden berjumlah 241 responden didapatkan hasil 132
(54,8%) responden dengan perilaku baik. perilaku seseorang atau masyarakat mengenai
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan lainnya dari orang
atau masyarakat sekitar. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas
terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku
(Notoatmodjo, 2014). Menurut Assalis (2015) sebagian besar responden dengan perilaku
yang kurang baik terhadap penggunaan alat kontrasepsi dapat disebabkan oleh berbagai hal
seperti pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan. Hal tersebut pengaruh dari orang-orang
terdekat dan lingkungan sekitar. Komunikasi dan interaksi yang dilakukan dengan orang
terdekat dan para tetangga sekitar dapat mempengaruhi sikap dan keyakinan responden dalam
mengambil keputusan untuk pemilihan metode kontrasepsi yang efektif dan sesuai dengan
kebutuhan. Berdasarkan uraian diatas peneliti berasumsi bahwa perilaku seseorang dapat
berubah sesuai dengan apa yang diyakini di lingkungan sekitar. Jika lingkungan sekitar baik
maka tindakan individu juga akan baik. Ini sesuai dengan mayoritas ibu di Puskesmas
Samarinda Kota memiliki sikap yang baik terhadap penggunaan alat kontrasepsi dikarenakan
pemahaman informasi mengenai alat kontrasepsi dan lingkungan yang mendukung dalam
penggunaan alat kontrasepsi.

Anda mungkin juga menyukai