Puji syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat dan karunia-nya,
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Keluarga pada semester 5,
tahun ajaran 2022-2023, yang berjudul “Pengkajian Keperawatan Keluarga”.
Penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada seluruh pihak, khususnya kepada dosen pembibing atas kebijaksanaan dan
kesediaannya dalam membimbing sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi penyampaian
yang mmenjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup
harmonis dan produktif sebagai bagian utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Kesehatan jiwa mempunyai rentang
sehat – sakit jiwa yaitu sehat jiwa, masalah psikososial dan gangguan jiwa ( Keliat et
al., 2016).
Gangguan jiwa menurut American Phychiatric Association (APA) merupakansindrom
atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada
individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress (misalnya gejala nyeri,
menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian dan beberapa
fungsi yang penting) atau disertai dengan peningkatan resiko yang sera bermakna
untuk mati, sakit, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan (APA dalam Prabowo,
2014). Gangguan jiwa merupakan suatu perubahan dan gangguan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan timbulnya penderitaan pada individu atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial (Keliat et al., 2016). yaitu mencapai 16,7 permil. Pada
tahun 2013 Sumatera Barat berada pada urutan kesembilan yaitu sebesar 1,9%
(Riskesdas, 2013).
Namun hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya penurunan pada rentang
tahun 2007 sampai 2013 prevalensi gangguan jiwa skizofrenia sekitar yaitu 6.4%.
Data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKK) tahun 2014 didapatkan pasien yang
mengalami skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lainnya itu sekitar 6489 orang,
sedangkan pada tahun 2015 yang mengalami gangguan psikotik secara keseluruhan
mengalami peningkatan menjadi 7059 orang. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
terjadi penurunan dari tahun 2014 ke tahun 2015 sekitar 4,2% (DKK).
Secara umum klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun
2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat atau kelompok
psikotik dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional
yang berupa kecemasan, gangguan alam perasaan dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk gangguan jiwa berat salah satunya yaitu skizofrenia (Yusuf, dkk, 2015).
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang ditandai adanya penyimpangan
dasar dan adanya perbedaan dari pikiran, disertai dengan adanya ekspresi emosi yang
tidak wajar (Sulistyono, dkk, 2013). Gejala skozofrenia dapat dibagi menjadi dua
kategori yaitu positif meliputi adanya waham, halusinasi, disorentasi pikiran, bicara
dan perilaku yang tidak teratur. Sedangkan gejala negatif meliputi afek datar, tidak
memiliki kemauan, menarik diri dari masyarakat atau mengisolasi diri.
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien dengan isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan mengalami
perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri,
dan menghindar dari orang lain. Manusia merupakan makhluk sosial yang tak lepas
dari sebuah keadaan yang bernama interaksi dan senantiasa melakukan hubungan dan
pengaruh timbal balik dengan manusia yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
dan mempertahankan kehidupannya (Yosep,Sutini, 2014).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan skizofrenia?
2. Bagaimana mekanisme koping yang tepat dalam asuhan keperawatan keluarga
dengan isolasi sosial?
3. Bagaimana proses terjadinya isolasi sosial dalam kasus keluarga?
C. Tujuan
1. Memberikan penjelasan mengenai skizofrenia
2. Menjelaskan bagaimana mekanisme koping yang digunakan dalam asuhan
keperawatan keluarga dengan isolasi sosial.
3. Menjelaskan proses terjadinya isolasi sosial dalam kasus keluarga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan pendapat para ahli penulis dapat menyimpulkan bahwa isolasi sosial
adalah kegagalan klien dalam melakukan interaksi dengan orang lain, kegagalan
membina hubungan yang akrab yang disebabkan oleh pikiran negatif seperti adanya
perasaan tidak berharga dan selalu gagal, tidak memiliki prestasi atau mengancam
klien.
2. Penyebab Isolasi Sosial Menurut SDKI (2016)
a. Keterlambatan perkembangan
b. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang memuaskan
c. Ketidaksesuaian minat dengan tahap perkembangan
d. Ketidaksesuain nilai-nilai dengan norma
e. Perubahan penampilan fisik
f. Perubahan status mental
g. Ketidakadekuatan sumber daya personal, (mis. Disfungsi berduka, pengendalian
diri buruk)
3. Tanda dan Gejala Menurut SDKI (2016)
a. Mayor
• Subjektif : merasa ingin sendirian, merasa tidak aman di tempat umum
• Objektif : menarik diri, tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain
atau lingkungan
b. Minor
• Subjektif : Merasa berbeda dengan orang lain, merasa asik dengan fikiran
sendiri, merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
• Objektif : afek datar, afek sedih, riwayat ditolak, menunjukan permusuhan, tidak
mampu memenuhi harapan orang lain, kondisi difabel, tindakan tidak berarti,
tidak ada kontak mata, perkembangan terlambat, tidak bergairah/lesu.
4. Rentang Respon Sosial dan Gangguan Kepribadian
Stresor presipitasi
Sumber koping
Mekanisme koping
Konstruktif Destruktif
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Skema Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa
(Stuart, 2009dalam Satrio, dkk, 2015)
1. Faktor predisposisi
1. Faktor Predisposisi
Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015), mengatakan faktor predisposisiadalah faktor
resiko timbulnya stres yang akan mempengaruhi tipe dan sumber-sumber yang dimiliki
klien untuk menghadapi stres. Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) membagi faktor
predisposisi dalam tiga domain yaitu biologis, psikososial dan sosial kultural.
a. Biologis
Faktor biologis berhubungan dengan kondisi fisiologis yang mempengaruhi
timbulnya gangguan jiwa. Beberapa teori mengkaitkan faktor predisposisi biologis
dengan teori genetik dan teori biologi terhadap timbulnya skizofrenia. Isolasi sosial
merupakan gejala negatif dari skizofrenia menurut berbagai penelitian kejadian
skizofrenia disebabkan beberapa faktor seperti kerusakan pada area otak, peningkatan
aktivitas neurotransmitter serta faktor genetika.
1) Kerusakan pada area otak
Kejadian skizofrenia sering dihubungkan dengan adanya kerusakan pada bagian
otak tertentu, ,namun hingga kini belum diketahui dengan pasti area yang dapat
mengakibatkan skizofrenia. Menurut penelitan beberapa area dalam otak yang berperan
dalam timbulnya kejadian skizofrenia antara lain sistem limbik, korteks frontal,
cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada satu area akan mengakibatkan gangguan pada area yang lain (Arief,
2006dalam Satrio, dkk, 2015).
2) Peningkatan aktivitas neurotransmitter
Selain kerusakan anatomis pada area diotak, skizofrenia juga disebabkan karena
peningkatan aktivitas neurotransmiter dopaminergik. Peningkatan ini disebabkan karena
beberapa faktor diantaranya adalah peningkatan pelepasan dopamine, terlalu
banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, hipersentivitas reseptor dopamine,
atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Videback (2008) mengatakan bahwa ada
keterikatan antara neoanatomi dengan neurokimia otak, pada klien szkizofrenia
ditemukan adanya struktur abnormal pada otak seperti atropi otak, perubahan ukuran
serta bentuk sel pada sistem limbik dan daerah frontal selain itu adanya factor
imonovirologi dan respon tubuh terhadap paparan virus. Pendapat yang dikemukakan
Raine (2000 dalam Miller 2001) tentang factor biologi sebagai salah satu penyebab
skizofrenia mengatakan bahwa seseorang dengan kepribadian anti sosial memiliki
penurunan volume pre frontal dibandingkan rata-rata aktifitas lobus frontal dalam otak.
3) Faktor genetika
Penelitian tentang faktor genetik telah membuktikan bahwa skizofrenia diturunkan
secara genetika. Menurut Saddock dan Saddock (2003dalam Satrio, dkk, 2015),
prevalensi seseorang menderita skizofrenia bila salah satu saudara kandung menderita
skizoprenia sebesar 8%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita skizofren
sebesar 12% dan bila kedua orang tua menderita skizofrenia sebesar 47 %. Penelitian
terhadap anak kembar menunjukkan bahwa prevalensi kejadian skizoprenia pada kembar
monozigote sebesar 47%, sedangkan pada kembar dizigote sebesar 12 %.
b. Psikologis
Teori psikoanalitik, perilaku dan interpersonal menjadi dasar pola pikir
predisposisi psikologis.
1) Teori psikoanalitik
Sigmund Freud melalui teori psiko analisa menjelaskan bahwa skizofenia
merupakan hasil dari ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan konflik yang tidak
disadari antara impuls agresif atau kepuasan libido serta pengakuan terhadap ego.
Sebagai contoh konflik yang tidak disadari pada saat masa kanak-kanak, seperti takut
kehilangan cinta atau perhatian orang tua, menimbulkan perasaan tidak nyaman pada
masa kanak-kanak, remaja dan dewasa awal (Roerig, 1999dalam Satrio, dkk, 2015).
2) Teori Perilaku
Selain teori psikoanalisa, teori perilaku juga mendasari faktor predisposisi
psikologis. Teori perilaku berasumsi bahwa perilaku merupakan hasil pengalaman yang
dipelajari oleh klien sepanjang daur kehidupannya, dimana setiap pengalaman yang
dialami akan mempengaruhi perilaku klien baik yang bersifat adaptif maupun
maladaptif.
3) Terori Interpersonal
Teori interpersonal berasumsi bahwa skizofrenia terjadi karena klien mengalami
ketakutan akan penolakan interpersonal atau trauma dan kegagalan perkembangan yang
dialami pada masa pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang mengakibatkan
seseorang menjadi tidak berdaya, tidak percaya diri, tidak mampu membina hubungan
saling percaya pada orang lain, timbulnya sikap ragu-ragu dan takut salah. Selain itu
klien akan menampilkan perilaku mudah putus asa terhadap hubungan dengan orang
lain serta menghindar dari orang lain. Perilaku isolasi sosial merupakan hasil dari
pengalaman yang tidak menyenangkan atau menimbullkan trauma pada klien didalam
berintraksi dengan lingkungan sekitar sehingga mengakibatkan klien merasa ditolak,
tidak diterima dan kesepian serta ketidak mampuan membina hubungan sosial yang
berarti dengan lingkungan sekitar.
Selain itu sistem keluarga yang kurang harmonis seperti adanya penolakan
orangtua, harapan orangtua yang tidak realistis, kurang mempunyai tanggung jawab
personal juga menjadi factor pencetus timbulnya gangguan dalam hubungan
interpersonal. Kemampuan menjalin hubungan interpersonal sangat berhubungan dengan
kemampuan klien menjalankan peran dan fungsi. Jika lingkungan tidak memberi
dukungan positif tetapi justru menyalahkan klien secara terus menerus akan
mengakibatkan klien mengalami harga diri rendah yang pada akhirnya akan
mengakibatkan isolasi sosial.
c. Sosial budaya
Faktor sosial budaya meyakini bahwa penyebab skizofrenia adalah pengalaman
seseorang yang mengalami kesulitan beradaptasi terhadap tuntutan sosial budaya karena
klien memiliki harga diri rendah dan mekanisme koping mal adaptif. Stresor ini
merupakan salah satu ancaman yang dapat mempengaruhi berkembangnya gangguan
dalam interaksi sosial terutama dalam menjalin hubungan interpersonal. Hubungan
interpersonal berkembang sepanjang siklus kehidupan manusia. Perkembangan
hubungan interpersonal khususnya konsep diri dimulai sejak masa bayi dimana pada
masa ini tugas perkembangan yang harus dicapai seorang bayi adalah menetapkan
hubungan saling percaya dan terus berkembang hingga tahap perkembangan dewasa
akhir.
Gangguan dalam membina hubungan interpersonal biasanya mudah dikenali pada
saat masa remaja atau pada masa yang lebih awal dan berlanjut sepanjang tahap
perkembangan masa dewasa yang ditandai dengan adanya respon maladaptive yaitu
ketidakmampuan klien untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta
ketidakmampuan membina hubungan interpersonal atau penyimpangan perilaku lain.
Penelitian yang dilakukan di Amerika menyimpulkan sekitar 10% sampai 18 %
penduduknya mengalami gangguan kepribadian (Stuart, 2009dalam Satrio, dkk, 2015).
Gangguan dalam membina hubungan interpersonal yang muncul pada saat remaja
(pubertas), disebabkan karena pada masa ini remaja mengalami berbagai perubahan fisik
dan psikososial serta tuntutan masyarakat yang mengharuskan remaja mampu membuat
keputusan menyangkut dirinya ini mengakibatkan remaja harus mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan tersebut, ketidakmampuan remaja mengatasi perubahan yang
terjadi akan mengakibatkan gangguan kepribadian yang dapat mengakibatkan gangguan
dalam berhubungan sosial (Hawari, 2007). Agar masalah tersebut tidak terjadi
dibutuhkan dukungan dari orang tua dan lingkungan seperti membantu remaja memenuhi
tuntutan yang harus dipenuhi, beradaptasi dengan perubahan dalam posisi peran,
membantu remaja meraih sukses serta membantu remaja untuk meningkatkan
kemampuan berpartisipasi atau penerimaan di lingkungan masyarakat.
Papalia Old dan Feldman (2008) mengatakan selain akibat dari perubahan yang
sedang terjadi pada remaja, gangguan perkembangan respon sosial juga disebabkan
karena pola asuh orangtua. Orang tua yang selalu memberikan penghargaan terhadap
anak akan menghasilkan anak dengan harga diri yang tinggi hingga anak tersebut
dewasa. Anak yang memiliki harga diri tinggi lebih sukses dalam pekerjaan maupun
dalam menjalin hubungan interpersonal. sebaliknya orang tua dengan pola pengasuhan
yang keras, tanpa kasih sayang akan menghasilkan anak-anak dengan harga diri rendah
yang akan mempengaruhi anak dalam menjalin hubungan interpersonal dengan
lingkungan sekitar. Penelitian Coopersmith (1967), menyimpulkan bahwa anak dengan
harga diri tinggi cenderung sangat ekspresif dan aktif, sukses dalam akademik dan sosial
serta mampu menjalin hubungan interpersonal serta memiliki kepercayaan diri yang
tinggi. Sedangkan anak yang memiliki harga diri sedang paling bisa menyesuaikan diri,
dan anak-anak dengan harga diri rendah berprestasi paling rendah dan cenderung merasa
minder, juga sensitif terhadap kritik dan secara sosial anak-anak tersebut paling terisolasi
dari anak dengan harga diri tinggi.
Townsend, M.C (2009dalam Satrio, dkk, 2015) mengatakan pada umumnya isolasi
sosial disebabkan karena kurangnya rasa percaya diri, perasaan panik, adanya gangguan
dalam proses pikir, sukar berinteraksi dimasa lampau, perkembangan ego yang lemah
serta represi dari rasa takut. Sedangkan menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015)
Isolasi sosial disebabkan oleh harga diri rendah bila tidak segera ditangani perilaku
isolasi sosial dapat berisiko terjadinya halusinasi.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus internal atau eksternal yang mengancam
klienantara lain dikarenakan adanya ketegangan peran, konflik peran, peran yang tidak
jelas, peran berlebihan, perkembangan transisi, situasi transisi peran dan transisi peran
sehat-sakit (Stuart, 2009). Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) membagi faktor
presipitasi dalam psikososial dan sosial kultural.
a. Psikologis
Faktor presipitasi psikologis klien isolasi sosial berasal dari internal dan eksternal.
Stuart & Laraia (2005dalam Satrio, dkk, 2015) yang menyatakan bahwa isolasi sosial
disebabkan karena adanya faktor presipitasi yang berasal dari dalam diri sendiri ataupun
dari luar.
1) Internal
Stressor internal terdiri dari pengalaman yang tidak menyenangkan, perasaan
ditolak dan kehilangan orang yang berarti. Stresor yang berasal dari dalam adalah
kegagalan dan perasaan bersalah yang dialami klien. Penelitian yang dilakukan oleh
Canadian Assosiation Psychiatric (2004), menunjukkan bahwa prevalensi ketakutan
berhubungan sosial pada klien yang memiliki harga diri rendah 14.9% lebih tinggi
dibandingkan dengan klien yang memiliki harga diri tinggi sebesar 6.6%.
2) Eksternal
Stessor eksternal adalah kurangnnya dukungan dari lingkungan serta penolakan
dari lingkungan atau keluarga. Stressor dari luar klien tersebut dapat berupa ketegangan
peran, konflik peran, peran yang tidak jelas, peran berlebihan, perkembangan transisi,
situasi transisi peran dan transisi peran sehat-sakit. Pendapat senada diutarakan oleh
Erikson (2000; dalam Keliat, 2006), yang menyatakan bahwa untuk mampu
mengembangkan hubungan yang positif setiap klien harus dapat melalui delapan tugas
perkembangan (development task) sesuai dengan proses perkembangan usia.
Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan klien
tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimtis, putus asa,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.
Pendapat senanda diutarakan oleh Stuart (2009 dalam Satrio, dkk, 2015), yang
menyatakan bahwa seseorang dengan tipe kepribadian introvert, menutup diri dari orang-
orang yang memperhatikannya, sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang
berarti dalam hidupnya.
b. Sosial Budaya
Sosial budaya merupakan ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap sistem
diri merupakan ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan fungsi integritas sosial.
Ancaman terhadap sistem diri berasal dari dua sumber yaitu eksternal dan internal.
Sumber eksternal dapat disebabkan karena kehilangan orang yang sangat dicintai karena
kematian, perceraian, perubahan status pekerjaan, dilema etik, ataupun tekanan sosial
dan budaya. Sedangkan sumber internal disebabkan karena kesulitan membangun
hubungan interpersonal di lingkungan sekitar seperti di lingkungan rumah atau di tempat
kerja, dan ketidakmampuan menjalankan peran baru sebagai orang tua, pelajar atau
pekerja. Penelitian tentang faktor lingkungan sebagai salah satu penyebab isolasi sosial
menyimpulkan bahwa lingkungan memiliki andil yang cukup besar terhadap timbulnya
harga diri rendah pada klien seperti lingkungan yang tidak kondusif dan selalu
memojokkan klien yang pada akhirnya akan mempengaruhi aktifitas klien termasuk
hubungan dengan orang lain.
3. Penilaian Stresor
Model Stres Adaptasi Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) mengintegrasikan
data dari konsep psikoanalisis, interpersonal, perilaku, genetik dan biologis. Berbagai
konsep tersebut akan menjelaskan tentang penilaian stressor seseorang terhadap
respon yang ditimbulkan akibat mengalami harga diri rendah salah satunya adalah
isolasi sosial.
Penilaian terhadap stressor berada dalam suatu rentang dari adaptif sampai
maladaptif. Pada klien dengan skizofrenia penilaian stressor yang adaptif merupakan
faktor yang harus selalu diperkuat didalam pemberian asuhan keperawatan sehingga
kemampuan tersebut membudaya dalam diri klien. Bila penilaian stressor klien
maladaptive maka penilaian tersebut akan menjadi dasar penggunaan terapi
keperawatan dalam melatih disfungsi ketrampilan yang dialami klien. Penilaian
terhadap stresor yang dialami klien dengan isolasi sosial meliputi kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial.
a. Kognitif
Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) yang menyatakan bahwa faktor kognitif
bertugas mencatat kejadian stresful dan reaksi yang ditimbulkan secara emosional,
fisiologis, serta perilaku dan reaksi sosial seseorang yang ditampilkan akibat kejadian
stress full dalam kehidupan selain memilih pola koping yang digunakan. Berdasarkan
penilaian tersebut klien dapat menilai adanya suatu masalah sebagai ancaman atau
potensi. Kemampuan klien melakukan penilaian kognitif ini dipengaruhi oleh persepsi
klien, sikap terbuka indivu terhadap adanya perubahan, dan kemampuan untuk
melakukan kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan, serta kemampuan menilai suatu
masalah. Pada klien dengan isolasi sosial kemampuan kognitif klien sangat terbatas klien
lebih berfokus pada masalah bukan bagaimana mencari alternative pemecahan masalah
yang dihadapi.
b. Afektif
Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) respon afektif terkait dengan
ekspresi emosi, mood, dan sikap. Respon afektif yang ditampilkan dipengaruhi oleh
ketidakmampuan jangka panjang terhadap situasi yang membahayakan sehingga
mempengaruhi kecenderungan respon terhadap ancaman terhadap harga diri klien.
Respon afektif pada klien isolasi sosial adalah adanya perasaan putus asa, sedih, kecewa,
merasa tidak berharga dan merasa tidak diperhatikanMenurut Stuart dan Laraia
(2005dalam Satrio, dkk, 2015) perasaan yang dirasakan klien tersebut dapat
mengakibatkan sikap menarik diri dari lingkungan sekitar.
c. Fisiologis
Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) respon fisiologis terkait dengan
bagaimana sistem fisiologis tubuh berespon terhadap stressor, yang mengakibatkan
perubahan terhadap sistem neuroendokrin, dan hormonal.
Respon fisiologis merupakan respon neurobiologis yang bertujuan untuk
menyiapkan klien dalam mengatasi bahaya. Perubahan yang dialami oleh klien akan
mempengaruhi neurobiologis untuk mencegah stimulus yang mengancam. Setiap klien
yang dilahirkan memiliki sistem saraf pusat yang sensitif terhadap stimulus yang
membahayakan. Respon perilaku dan sosial yang ditampilkan klien merupakan hasil
belajar dari pengalaman sosial pada masa kanak-kanak dan dewasa khususnya dalam
menghadapi berbagai stressor yang mengancam harga diri klien.
d. Perilaku
Adalah hasil dari respon emosional dan fisiologis. Respon perilaku isolasi sosial
teridentifikasi tiga perilaku yang maladaptif yaitu sering melamun, tidak mau bergaul
dengan klien lain tidak mau mengemukakan pendapat, mudah menyerah dan ragu-ragu
dalam mengambil keputusan atau dalam melakukan tindakan.
e. Sosial
Merupakan hasil perpaduan dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku
yang akan mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain. Respon perilaku
dan sosial memperlihatkan bahwa klien dengan isolasi sosial lebih banyak memberikan
respon menghindar terhadap stresor yang dialaminya. Respon negatif yang ditampilkan
merupakan akibat keterbatasan kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah, dan
keterbatasan klien dalam melakukan penilaian terhadap stressor, sehingga klien memilih
untuk menghindari stressor bukan sesuatu yang harus dihadapi atau diselesaikan.
4. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah pertahanan koping dalam jangka
panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego. Stuart (2009dalam Satrio, dkk,
2015), mengatakan pertahanan jangka pendek yang biasa dilakukan klien isolasi sosial
adalah lari sementara dari krisis, misalnya dengan bekerja keras, nonton televisi secara
terus menerus, melakukan kegiatan untuk mengganti identitas sementara, misalnya ikut
kelompok sosial, keagamaan dan politik, kegiatan yang memberi dukungan sementara,
seperti mengikuti suatu kompetisi atau kontes popularitas, kegiatan mencoba
menghilangkan anti identitas sementara, seperti penyalahgunaan obat-obatan. Jika
mekanisme koping jangka pendek tidak memberikan hasil yang diharapkan, indvidu
akan mengembangkan mekanisme jangka panjang antara lain menutup identitas, dimana
klien terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari orang-orang yang berarti
tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri. Mekanisme pertahanan ego
yang sering digunakan adalah proyeksi, merendahkan orang lain, menghindar dari
interaksi sosial dan reaksi formasi (Stuart, 2009dalam Satrio, dkk, 2015) .
5. Sumber Koping
Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015), sumber kopingmerupakan pilihan
atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam
menghadapi suatu masalah. Dalam menghadapi stressor klien dapat menggunakan
berbagai sumber koping yang dimilikinya baik internal atau eksterna.
a. Kemampuan Personal
Pada klien dengan isolasi sosial kemampuan personal yang harus dimiliki meliputi
kemampuan secara fisik dan mental. Kemampuan secara fisik teridentifikasi dari kondisi
fisik yang sehat. Kemampuan mental meliputi kemampuan kognitif, afektif, perilaku dan
sosial. Kemampuan kognitif meliputi kemampuan yang sudah ataupun yang belum
dimiliki klien didalam mengidentifikasi masalah, menilai dan menyelesaikan masalah,
Sedangkan kemampuan afektif meliputi kemampuan untuk meningkatkan konsep diri
klien dan kemampuan perilaku terkait dengan kemampuan melakukan tindakan yang
adekuat dalam menyelesaikan stressor yang dialami. Kurangnya dukungan, penghargaan
dan kesempatan untuk melatih kemampuan yang dimiliki klien dari lingkungan sekitar
klien akan mengakibatkan rendahnya motivasi klien untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi, timbulnya rasa rendah diri yang pada akhirnya akan mengakibatkan
gangguan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Temuan ini sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Maslim (2001), bahwa gejala negatif pada klien
dengan gangguan jiwa kronik adalah kurang atau tidak adanya motivasi.
b. Dukungan Sosial
Taylor, dkk (2003) menyatakan bahwa dukungan sosial akan membantu klien
untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor dalam mencapai ketrampilan koping
yang efektif. Pendapat lain yang mendukung pernyataan diatas mengenai pentingnya
dukungan sosial didalam proses penyembuhan klien adalah pernyataan yang
diungkapkan oleh Sarafino (2002), yang menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan
perasaan caring, penghargaan yang akan membantu klien untuk dapat menerima orang
lain yang berasal dari keyakinan yang berbeda. Pendapat senada diuraikan oleh Tomaras,
et.al.,(2001 dalam Keliat, 2003) yang mengatakan bahwa dukungan anggota keluarga
didalam membantu merawat klien dengan skizofrenia akan menguranggi frekuensi
kekambuhan klien. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan
dukungan sosial seorang klien akan merasakan adanya cinta, penghargaan, membantu
mencapai ketrampilan sosial dan koping yang adaptif serta yang terpenting adalah
membantu proses penyembuhan.
Sumber dukungan sosial pada klien dengan isolasi sosial meliputi dukungan yang
dimiliki klien baik yang didapatkan dari keluarga, perawat maupun dari lingkungan
sekitar klien. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan fisik dan psikologis.
Dukungan fisik diperoleh melalui dukungan dan keterlibatan aktif dari keluarga,
perawat, dokter serta tenaga kesehatan lainnya yang dapat membantu klien mengatasi
masalah. Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015), untuk mampu memberikan
dukungan sosial kepada klien dengan isolasi sosial keluarga harus memiliki kemampuan
seperti kemampuan mengenal masalah, menentukan masalah dan menyelesaikan
masalah. Kemampuan mengenal masalah tampak dari pengetahuan keluarga tentang
kondisi klien dan potensi yang dimiliki keluarga, kemampuan menentukan masalah
teridentifikasi dari kemampuan untuk menentukan prioritas masalah sedangkan
kemampuan menyelesaikan masalah teridentifikasi dari kemampuan melakukan
perawatan baik terhadap klien maupun anggota keluarga lainnya. Dukungan yang dapat
dilakukan keluarga meliputi pencegahan tersier yaitu membantu memberikan perawatan
di rumah sesuai dengan konsep dan teori yang ada.
c. Aset material
Aset material yang dapat diperoleh meliputi dukungan financial, sistem
pembiayaan layanan kesehatan seperti asuransi kesehatan ataupun program layanan
kesehatan bagi masyarakat miskin, kemudahan mendapatkan fasilitas dan layanan
kesehatan serta keterjangkuan pembiayaan pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana
transportasi untuk mencapai layanan kesehatan selama dirumah sakit maupun setelah
pulang. Material asset meliputi ketersediaaan dana Ketidakmampuan klien dalam
memenuhi asset material akan berpotensi menimbulkan masalah akibat tidak optimalnya
sumber koping yang dimiliki.
d. Keyakinan positif
Keyakinan positif adalah keyakinan diri yang menimbulkan motivasi dalam
menyelesaikan segala stresor yang dihadapi. Keyakinan positif diperoleh dari keyakinan
terhadap kemampuan diri dalam mengatasi ketidakmampuan klien dalam berinteraksi
dengan lingkungan sekitar.. Adanya keyakinan positif yang dimiliki klien akan
memotivasi dan membantu klien untuk menggunakan mekanisme koping yang adaptif,
Kegiatan spiritual seperti berdoa, mengikuti kegiatan keagamaan yang ada merupakan
salah satu mekanisme koping adaptif yang dilakukan oleh klien dalam menilai stressor
yang dialami. Pemilihan kegiatan spiritual dalam rangka menurunkan berbagai stressor
tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Baldacchino (2001), yang
menyebutkan bahwa koping spiritual merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah
antara stimulus stres dan hasil negatif yang dapat menyebabkan timbulnya stres.
Sebaliknya keyakinan negative semakin menimbulkan perilaku maladaptif pada klien.
2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga pada Klien isolasi sosial
2.1.1 Pengkajian
a. Identitas klien
1) Umur
Berdasarkan karakteristik responden isolasi sosial berdasarkan
umur di ruang Puri Mitra Permata Harapan Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya, Desember 2015 dapat diketahui sebagian besar responden
berumur 31-40 tahun yaitu sebanyak 57% (SURABAYA, n.d.).
2) Jenis Kelamin
Dari data responden, didapatkan data bahwa dari 47 Klien pasca
rawat inap di RS dr Sardjito Mei 2007-Mei 2008, terdapat 26 orang
(55,3%) yang mengalami kekambuhan. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rohrer yang menyebutkan 60%-75%. Hasil yang
didapatkan penelitian ini juga sesuai dengan karakteristik penderita
skizofrenia yang sudah sering disebutkan sebelumnya, yaitu kejadian
skizofrenia pada pria hampir sama dengan wanita, onset diatas 40 tahun
(late onset) jarang terjadi, dan hampir sebagian besar Klien tidak
menikah (Dewi & Marchira, 2009).
3) Pendidikan
Mayoritas klien memiliki latar belakang sekolah menengah
(SMP- SMA), yaitu 11 klien (61,1%) (Wakhid et al., 2013).
Berdasarkan tingkat pendidikan responden hanya memiliki pendidikan
terakhir sampai SLTP dengan nilai sebesar 40%, prosentase yang sama
juga terlihat pada responden dengan pendidikan terakhir SD. Disini pada
tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh yaitu dalam pola pikir
seseorang yang cenderung pasif atau tidak berwawasan luas (Sukmana
& Wulandari, 2014).
a. Genogram
Faktor riwayat keluarga didapatkan pada Klien dimana 51,2%
Klien mempunyai riwayat keluarga menderita gangguan jiwa (Dewi &
Marchira, 2009).
b. Tipe keluarga
1) Tradisional
a) Nuclear family (keluarga inti), yaitu keluarga yang terdiri dari
suami, istri dan anak.
b) Extended family, yaitu keluarga yang terdiri dari tiga generasi
yang hidup bersama dalam satu rumah, seperti nuclear family
disertai: paman, tante, orang tua (kakek-nenek), keponakan.
c) Dyad family, keluarga yang terdiri dari suami&istri (tanpa anak)
yang hidup bersama serumah.
d) Single parent family, yaitu keluarga yang terdiri dari 1 orang tua
(ayah atau ibu) dengan anak, bila ini terjadi biasanya melalui
c. Suku Bangsa
Hasil penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa proses perjalanan
gangguan jiwa skizofrenia di negara berkembang jauh lebih baik
dibandingkan negara maju, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Berbagai dugaan muncul terkait hasil tersebut, salah satunya
karakteristik masyarakat negara maju bersifat individualistik sehingga
kurang memberikan dukungan sosial dibandingkan negara berkembang
yang bersifat kolektif. Sementara itu di negara berkembang banyak
ditemukan onset (proses munculnya) gangguan jiwa yang cenderung
cepat mempengaruhi kesembuhan dengan cepat (Ika, 2015).
d. Agama dan Kepercayaan yang mempengaruhi kesehatan
Dalam setiap agama terdapat tradisi spiritualitas yang dapat
berkontribusi pada pengembangan konsep dan praktik kesehatan jiwa.
Misalnya, tradisi tasawuf dalam islam yang banyak dipraktikkan di
masyarakat hingga sekarang. Dalam tasawuf, konsep penyakit hati
ditengarai dengan adanya perasaan iri, benci, sombong, pamer dan
lainnya. Konsep tersebut sangat dekat dengan konsep psikologi Barat,
yakni emosi negatif. Karenanya upaya untuk menyandingkan kedua
ilmu dari kedua tradisi tersebut perlu dikembangkan. Ilmu tasawuf akan
menjadi aktual apabila menggunakan pendekatan-pendekatan psikologi
modern. Sementara perspektif tasawuf bagi psikologi dapat
mengarahkan psikologi kepada nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat
untuk kesejahteraan orang banyak (Ika, 2015).
e. Status social dan ekonomi keluarga
Status ekonomi berhubungan dengan kekambuhan penderita
skizofrenia. Klien skizofrenia dengan status ekonomi kurang dari UMR
lebih berisiko mengalami kekambuhan dibandingkan Klien skizofrenia
yang memiliki satus ekonomi lebih dari UMR. Status ekonomi rendah
sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Himpitan ekonomi memicu
orang menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kemiskinan
menimbulkan berbagai masalah yang menyulitkan kehidupan.
Kemiskinan
3) Matriloka
Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
istri.
4) Patriloka
Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
ayah.
5) Keluarga kawinan
Adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga
dan beberapa anak saudara yang menjadi bagian keluarga karena
adanya hubungan dengan suami istri.
i. Fungsi keluarga
Ketidakmampuan keluarga dalam merawat penderita dalam
memodifikasi lingkungan, baik fisik, sosial, psikologi yang
menyebabkan penderita semakin parah dari hari ke hari. Keluarga
penderita tidak tidak mengetahui tentang pentingnya interaksi yang baik
antara anggota keluarga, dan saling memahami dan mengerti satu sama
lain sehingga komunikasi antara satu sama lain sehingga komunikasi
antara keluarga terasa aman, nyaman dan ketika ada masalah keluarga
menjadi tempat untuk bercerita dan menjadi pendengar yang baik serta
memberikan solusi dari masalah yang dihadapi (Rosdiana, 2018).
Adapun dari fungsi keluarga, antara lain:
1) Fungsi kesehatan
Menjelaskan sejauh mana keluarga menyediakan makanan,
pakaian, perlindungan serta merawat anggota keluarga yang sakit.
Sejauh mana pengetahuan keluarga mengenai sehat sakit.
Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan perawatan kesehatan
dapat dilihat dari kemampuan keluarga dalam melaksanakan 5 tugas
keluarga, antara lain:
a) Mengenal masalah kesehatan keluarga
b) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
c) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
d) Mempertahankan suasana rumah sehat
e) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan keluarga
2) Fungsi ekonomi
Hal yang perlu dikaji mengenai fungsi keluarga adalah:
a) Sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan
dan papan
b) Sejauh mana keluarga memanfaatkan sumber yang ada di
masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan keluarga.
3) Fungsi reproduksi
Salah satu tujuan sepasang suami istri membangun sebuah
keluarga adalah melanjutkan keturunan. Mereka ingin agar ada insan
lain yang melanjutkan generasinya.
4) Fungsi afektif
Fungsi ini berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga
yanga merupakan basis kekuatan keluarga. Berguna untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan
fungsi afektif tampak pada kebaagiaan dan kegembiraan dari seluruh
anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan
iklim yang positif. Komponen yang perlu dipenuhi keluarga dalam
memenuhi fungsi afektif adalah:
a) Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima,
saling mendukung antar keluarga.
b) Saling menghargai, bila anggota keluarga saling menghargai dan
mengakui keberadaban dan hak setiap anggota keluarga serta
selalu mempertahankan iklim yang positif maka fungsi afektif
akan tercapai.
c) Ikatan dan identifikasi, ikatan dimulai sejak pasangan sepakat
memulai hidup baru. Ikatan anggota keluarga dikembangkan
melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek
kehidupan anggota keluarga
5) Fungsi sosialisasi
Proses perkembangan dan perubahan yang dilakukan individu,
yang menghasilkan interaksi social dan belajar berperan lingkungan
social.
j. Stressor dan koping keluarga
Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan
mengelola stressor adalah karakteristik kepribadian. Karakteristik
kepribadian berkaitan erat dengan kondisi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being). Pada penelitian ini didapatkan profil
kepribadian pada tujuh caregiver skizofrenia memiliki trail dominan
yang sama yaitu Neuroticism. Secara umum trait neuroticism
menggambarkan pengaruh dari reaksi negatif yang di rasakan oleh
caragiver yang diwujudkan dalam bentuk ketidakseimbangan dalam
mengelola emosi, ide yang cenderung tidak realistik, dorongan
kehendak yang kurang terencana atau respon coping yang tidak sesuai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa trait neuroticism mempengaruhi
kesejahteraan psikologis secara optimal (Nainggola & Hidajat, 2013) .
k. Riwayat kesehatan sebelumnya
Epidemiologi kekambuhan dalam rentang waktu 1-5 tahun
setelah episode gejala akut terjadi sekitar 40-92% baik dinegara maju
atau negara berkembang. Faktor resiko resiko yang mempengaruhi
kekambuhan skizofrenia seperti dukungan sosial.
Sebanyak 75% Klien skizofrenia di rumah sakit Dr. Sardjito
yang mondok di bangsal jiwa pernah di rawat sbelumnya atau
merupakan Klien rawat ulang kembali. Penyebab kekambuhan Klien
skizofrenia di rumah sakit jiwa daerah (RSJD) Dr. AGH Semarang,
menunjukkan peningkatan angka kekambuhan Klien skizofrenia karena
tidak taat pengobatan. Alasan perawatan ulang tersebut adalah sebanyak
24% responden beranggapan setelah minum obat tidak bisa melakukan
aktivitas, 7% responden merasa tidak tahu tentang obat, 57% responden
merasa sudah sembuh, 8%
u. Tindakan berualang
v. Tindakan tidak berarti (Keliat et al., 2015).
3. Faktor yang berhubungan
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan personal
yang memuaskan (mis., keterlambatan perkembangan)
b. Gangguan kesehatan
c. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang memuaskan
d. Minat tidak sesuai dengan perkembangan
e. Nilai-nilai tidak sesuai dengan norma budaya
f. Perilaku sosial tidak sesuai norma
g. Perubahan penampilan fisik
h. Perubahan status mental
i. Sumber personal yang tidak adekuat (mis., pencapaian buruk,
kesadaran diri buruk, tidak ada afek dan pengendalian diri buruk)
(Keliat et al., 2015).
4. Kemungkinan diagnosa yang muncul
a. Menarik diri
b. Halusinasi
c. Resiko perilaku kekerasan
d. Defisit perawatan diri
e. Potensial peningkatan keluarga dalam merawat klien
2.1.3 Intervensi
1. Membina hubungan saling percaya
Untuk membina hubungan saling percaya pada Klien isolasi
sosial kadang-kadang perlu waktu singkat. Perawat harus konsisten
bersikap terapeutik kepada Klien. Selalu memenuhi janji adalah salah
satu upaya yang bisa dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan
membuahkan hasil. Bila klien sudah percaya maka apapun yang akan
diprogramkan, klien akan mengikutinya. Tindakan yang harus dilakukan
dalam membina hubungan saling percaya adalah
a. Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan Klien.
Isolasi Sosial
1. Promosi sosialisasi
• Observasi
1) Identifikasi kemampuan melkaukan interaksi dengan orang lain
2) Identifikasi hambatan melakukan interaksi dengan orang lain
• Terapeutik
1) Motivasi meningkatkan keterlibatan dalam suatu hubungan
2) Motivasi kesabaran dalam mengembangkan suatu hubungan
3) Motivasi berpartisipasi aktivitas baru dan kegiatan kegiatan kelompok
4) Motivasi berinteraksi diluar ruangan (mis. Jalan-jalan, ketokoh buku)
5) Diskusikan kekuatan dan keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain
6) Diskusikan perencanaan kegiatan dimasa depan
7) Berikan umpan balik positif dalam perawatan diri
8) Berikan umpan balik positif pada setiap tingkat kemampuan
• Edukasi
1) Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
2) Anjurkan ikut serta kegiatan sosial dan kemasyarakatan
3) Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain
4) Anjurkan meningkatkan kejujuran diri dan menghormati hak orang lain
5) Anjurkan penggunaan alat bantu (mis. Kaca mata, dan alat bantu dengar)
6) Anjurkan membuat perencanaan kelompok kecil untuk kegiatan khusus
7) Latih bermain peran untuk meningkatkan ketrampilan untuk meningkatkan
ketrampilan komunikasi
8) Latih mengekspresikan marah dengan tepat
BAB III
TINJAUAN KASUS
Ket
= Laki – laki
= Perempuan
= Menikah
X = Klien
= Tinggal
X
serumah
6. Tipe keluarga : Keluarga Inti
7. Suku Bangsa : Minang, Indonesia
8. Agama : Islam
9. Status sosial :
V. Struktur Keluarga
1. Pola komunikasi keluarga
• Jangkauan komunikasi fungsionala dan disfungsionala : Hubungan interpersonala
yang kurang bermakna, kurang diperhatikan oleh orang tua
• Karakteristik dalam sub sistem keluarga : Remaja dianggap anak kecil sehingga
keputusan dalam keluarga dilakukan oleh orang tua secara otoriter
2. Struktur kekuatan keluarga
• Kekuasaan dipegang oleh ayah selaku kepala keluarga
• Pengambilan keputusan dilakukan oleh orang tua secara otoriter
3. Struktur peran
• Ayah
a) Sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama
b) Sebagai pelindung dan pemberi rasa aman terganggu oleh hadirnya orang ketiga
yang menyebabkan konflik dalam perkawinan rumah tangga
c) Sebagai anggota dari kelompok sosial dan lingkungan masyarakat, tidak pernah
ikut ronda dan mengikuti gotong royong di kompleks perumahan
• Ibu
a) Sebagai pencari nafkah tambahan, saat ini sedang mengikuti pendidikan S2
b) Ibu mengurus rumah tangga sendiri dibantu oleh anakanak sesuai uraian tugas
masing-masing
c) Untuk urusan pendidikan anak di ikutkan les pada jadwal tertentu
• Anak
Remaja tidak mampu melaksanakan peranan psikososial sesuai tingkat
perkembanganya
Dx 2 : Menarik diri dari lingkungan pada an G keluarga tuan E b/d kmk dalam hal support
system
Data Masalah Etiologi
An G keluarga Tn. E
Ds : - Keluarga mengatakan an G Menarik diri dari b/d kmk dalam
bersifata pendiam lingkungan pada an G support sistem
- Keluarga mengatakan an G keluarga Tn E
tidak mempunyai teman akrab
- Keluarga mengatakan an G
banyak mengurung diri di
kamar
- Keluarga mengatakan punya
waktu antara 2 – 3 jam untuk
berkumpul bersama
An G keluarga Tn. E
1. Sifat masalah :
Skala :
Skala :
• Mudah
• Sebagian
• Tidak dapat
Skala :
• Tinggi
• Cukup
• Rendah
4 Menonjolnya masalah
Skala:
Skor
Dx 2 : Menarik diri dari lingkungan pada an G keluarga Tn. E b/d kmk dalam halsupport sistem
Skala :
- Ancaman kesehatan /
resiko
2 Kemungkinan masalah
dapat dirubah
Skala :
• Mudah
• Sebagian
• Tidak dapat
Skala:
• Tinggi
• Cukup
• Rendah
4 Menonjolnya masalah
Skala:
• Masalah berat,
harus segera
ditangani
• Ada masalah tapi
tidak perlu
ditangani
• Masalah tidak
dirasakan
Skor
Dx 3 : Percobaan bunuh diri pada an G keluarga Tn. E b/d kmk dalam halmengenal tanda-tanda dan
gejala terhadap ancaman bunuh diri dalam keluarga
1 Sifat masalah :
Skala :
Skala :
• Mudah
• Sebagian
• Tidak dapat
Skala:
• Tinggi
• Cukup
• Rendah
4 Menonjolnya masalah
Skala :
Skor
WOC
Intervensi Rasional
WOC
Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
Isolasi sosial
Dx I tupen III
3.1.1 Mengkaji kemampuan keluarga S : lakukan pendekatan pada anak
terhadap modifikasi lingkungan - Arahkan anak untuk terlibat dalam
aktivitas spirtual
3.1.2 Mendiskusikan dengan keluarga - Jangan pelit memuji anak
tentang modifikasi lingkungan O : Sambil mengingat-ingat kembali