Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH KEPERAWATAN KELUARGA

“PENGKAJIAN KEPERAWATAN KELUARGA TN. E DENGAN ISOLASI SOSIAL”

Dosen Pembimbing : Ibu Yuniastini, SKM.,M.Kes


Disusun Oleh : kelompok 3

Rizki Hanafi Munazir 2014401087


Rola Sintia Putri 2014401089
Yuni Purnama Sari 2014401099
Egi Amanda Liesti 2014401052
Ketut Sutrisnawati 2014401064
Lekok Ermawati 2014401066
Mutiara Adinil Fortuna 2014401069
Hikmatin Nuzuliah 2014401061

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG
JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNG KARANG
PRODI D-III KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
TAHUN 2022/202
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat dan karunia-nya,
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Keluarga pada semester 5,
tahun ajaran 2022-2023, yang berjudul “Pengkajian Keperawatan Keluarga”.
Penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada seluruh pihak, khususnya kepada dosen pembibing atas kebijaksanaan dan
kesediaannya dalam membimbing sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi penyampaian
yang mmenjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... 1


KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 .Latar Belakang .................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nutrisi Terapi .................................................................. 6
2.2 Jenis-Jenis Terapi............................................................................... 6
2.3 Diet Pada Klien Dengan Diabetes Melitus ........................................ 11
2.4 Diet Pada Klien Dengan Gangguan Fungsi Kardiovaskular ............ 22
2.5 Diet Pada Klien Dengan Ganguan Fungsi Ginjal .............................. 27
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 32
3.2 Saran ................................................................................................... 33
Daftar Pustaka ............................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup
harmonis dan produktif sebagai bagian utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan
memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Kesehatan jiwa mempunyai rentang
sehat – sakit jiwa yaitu sehat jiwa, masalah psikososial dan gangguan jiwa ( Keliat et
al., 2016).
Gangguan jiwa menurut American Phychiatric Association (APA) merupakansindrom
atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada
individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress (misalnya gejala nyeri,
menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian dan beberapa
fungsi yang penting) atau disertai dengan peningkatan resiko yang sera bermakna
untuk mati, sakit, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan (APA dalam Prabowo,
2014). Gangguan jiwa merupakan suatu perubahan dan gangguan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan timbulnya penderitaan pada individu atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial (Keliat et al., 2016). yaitu mencapai 16,7 permil. Pada
tahun 2013 Sumatera Barat berada pada urutan kesembilan yaitu sebesar 1,9%
(Riskesdas, 2013).
Namun hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya penurunan pada rentang
tahun 2007 sampai 2013 prevalensi gangguan jiwa skizofrenia sekitar yaitu 6.4%.
Data Dinas Kesehatan Kota Padang (DKK) tahun 2014 didapatkan pasien yang
mengalami skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lainnya itu sekitar 6489 orang,
sedangkan pada tahun 2015 yang mengalami gangguan psikotik secara keseluruhan
mengalami peningkatan menjadi 7059 orang. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
terjadi penurunan dari tahun 2014 ke tahun 2015 sekitar 4,2% (DKK).
Secara umum klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun
2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat atau kelompok
psikotik dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional
yang berupa kecemasan, gangguan alam perasaan dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk gangguan jiwa berat salah satunya yaitu skizofrenia (Yusuf, dkk, 2015).
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang ditandai adanya penyimpangan
dasar dan adanya perbedaan dari pikiran, disertai dengan adanya ekspresi emosi yang
tidak wajar (Sulistyono, dkk, 2013). Gejala skozofrenia dapat dibagi menjadi dua
kategori yaitu positif meliputi adanya waham, halusinasi, disorentasi pikiran, bicara
dan perilaku yang tidak teratur. Sedangkan gejala negatif meliputi afek datar, tidak
memiliki kemauan, menarik diri dari masyarakat atau mengisolasi diri.
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien dengan isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan mengalami
perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri,
dan menghindar dari orang lain. Manusia merupakan makhluk sosial yang tak lepas
dari sebuah keadaan yang bernama interaksi dan senantiasa melakukan hubungan dan
pengaruh timbal balik dengan manusia yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
dan mempertahankan kehidupannya (Yosep,Sutini, 2014).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan skizofrenia?
2. Bagaimana mekanisme koping yang tepat dalam asuhan keperawatan keluarga
dengan isolasi sosial?
3. Bagaimana proses terjadinya isolasi sosial dalam kasus keluarga?

C. Tujuan
1. Memberikan penjelasan mengenai skizofrenia
2. Menjelaskan bagaimana mekanisme koping yang digunakan dalam asuhan
keperawatan keluarga dengan isolasi sosial.
3. Menjelaskan proses terjadinya isolasi sosial dalam kasus keluarga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kasus/ Masalah Utama : Isolasi Sosial


1. Pengertian
a. Isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat,
terbuka dan interdependen dengan orang lain, SDKI (2018).
b. Isolasi sosialmerupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang
lain dianggap menilai, menyatakan, serta memperlihatkan sikap negatif dan
mengancam bagi dirinya (Townsend, 2009, dalam Satrio, dkk, 2015).
c. Isolasi sosialadalah keadaan ketika seorang klien mengalami penurunan bahkan sama
sekali tidak mampu berintraksi dengan orang lain disekitarnya (Keliat, 2010).
d. Isolasi sosial sebagai suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan
segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang
mengancam(Nanda, 2010dalam Satrio, dkk, 2015).
e. Isolasi sosialmerupakan usaha menghindar dari hubungan atau interaksi dengan
orang lain dimana klien merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai
kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan
(Rawlins dan Heacock, 1988dalam Satrio, dkk, 2015).

Berdasarkan pendapat para ahli penulis dapat menyimpulkan bahwa isolasi sosial
adalah kegagalan klien dalam melakukan interaksi dengan orang lain, kegagalan
membina hubungan yang akrab yang disebabkan oleh pikiran negatif seperti adanya
perasaan tidak berharga dan selalu gagal, tidak memiliki prestasi atau mengancam
klien.
2. Penyebab Isolasi Sosial Menurut SDKI (2016)
a. Keterlambatan perkembangan
b. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang memuaskan
c. Ketidaksesuaian minat dengan tahap perkembangan
d. Ketidaksesuain nilai-nilai dengan norma
e. Perubahan penampilan fisik
f. Perubahan status mental
g. Ketidakadekuatan sumber daya personal, (mis. Disfungsi berduka, pengendalian
diri buruk)
3. Tanda dan Gejala Menurut SDKI (2016)
a. Mayor
• Subjektif : merasa ingin sendirian, merasa tidak aman di tempat umum
• Objektif : menarik diri, tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain
atau lingkungan
b. Minor
• Subjektif : Merasa berbeda dengan orang lain, merasa asik dengan fikiran
sendiri, merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
• Objektif : afek datar, afek sedih, riwayat ditolak, menunjukan permusuhan, tidak
mampu memenuhi harapan orang lain, kondisi difabel, tindakan tidak berarti,
tidak ada kontak mata, perkembangan terlambat, tidak bergairah/lesu.
4. Rentang Respon Sosial dan Gangguan Kepribadian

B. Proses Terjadinya Masalah


Proses terjadinya isolasi sosial dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan
psikodinamika model Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) dimana pada model ini
masalah keperawatan dimulai dengan menganalisa faktor predisposisi, presipitasi,
penilaian terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping yang digunakan
oleh seorang klien sehingga menghasilkan respon baik yang bersifat konstruktif
maupun destruktif dalam rentang adaptif sampai maladaptif. Menurut Stuart
(2009dalam Satrio, dkk, 2015), masalah isolasi sosial dapat dijelaskan dengan
menggunakan psikodinamika masalah keperawatan jiwa seperti skema dibawah ini
:
Faktor predisposisi

Biologi Psikologi Sosialkultural

Stresor presipitasi

Nature Origin Timing Number

Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial

Sumber koping

Kemampuan personal Dukungan sosial Aset material Keyakinan positif

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif

Rentang respon koping

Respon adaptif Respon Maladaptif

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Skema Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa
(Stuart, 2009dalam Satrio, dkk, 2015)
1. Faktor predisposisi

1. Faktor Predisposisi
Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015), mengatakan faktor predisposisiadalah faktor
resiko timbulnya stres yang akan mempengaruhi tipe dan sumber-sumber yang dimiliki
klien untuk menghadapi stres. Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) membagi faktor
predisposisi dalam tiga domain yaitu biologis, psikososial dan sosial kultural.
a. Biologis
Faktor biologis berhubungan dengan kondisi fisiologis yang mempengaruhi
timbulnya gangguan jiwa. Beberapa teori mengkaitkan faktor predisposisi biologis
dengan teori genetik dan teori biologi terhadap timbulnya skizofrenia. Isolasi sosial
merupakan gejala negatif dari skizofrenia menurut berbagai penelitian kejadian
skizofrenia disebabkan beberapa faktor seperti kerusakan pada area otak, peningkatan
aktivitas neurotransmitter serta faktor genetika.
1) Kerusakan pada area otak
Kejadian skizofrenia sering dihubungkan dengan adanya kerusakan pada bagian
otak tertentu, ,namun hingga kini belum diketahui dengan pasti area yang dapat
mengakibatkan skizofrenia. Menurut penelitan beberapa area dalam otak yang berperan
dalam timbulnya kejadian skizofrenia antara lain sistem limbik, korteks frontal,
cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada satu area akan mengakibatkan gangguan pada area yang lain (Arief,
2006dalam Satrio, dkk, 2015).
2) Peningkatan aktivitas neurotransmitter
Selain kerusakan anatomis pada area diotak, skizofrenia juga disebabkan karena
peningkatan aktivitas neurotransmiter dopaminergik. Peningkatan ini disebabkan karena
beberapa faktor diantaranya adalah peningkatan pelepasan dopamine, terlalu
banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, hipersentivitas reseptor dopamine,
atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Videback (2008) mengatakan bahwa ada
keterikatan antara neoanatomi dengan neurokimia otak, pada klien szkizofrenia
ditemukan adanya struktur abnormal pada otak seperti atropi otak, perubahan ukuran
serta bentuk sel pada sistem limbik dan daerah frontal selain itu adanya factor
imonovirologi dan respon tubuh terhadap paparan virus. Pendapat yang dikemukakan
Raine (2000 dalam Miller 2001) tentang factor biologi sebagai salah satu penyebab
skizofrenia mengatakan bahwa seseorang dengan kepribadian anti sosial memiliki
penurunan volume pre frontal dibandingkan rata-rata aktifitas lobus frontal dalam otak.

3) Faktor genetika
Penelitian tentang faktor genetik telah membuktikan bahwa skizofrenia diturunkan
secara genetika. Menurut Saddock dan Saddock (2003dalam Satrio, dkk, 2015),
prevalensi seseorang menderita skizofrenia bila salah satu saudara kandung menderita
skizoprenia sebesar 8%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita skizofren
sebesar 12% dan bila kedua orang tua menderita skizofrenia sebesar 47 %. Penelitian
terhadap anak kembar menunjukkan bahwa prevalensi kejadian skizoprenia pada kembar
monozigote sebesar 47%, sedangkan pada kembar dizigote sebesar 12 %.

b. Psikologis
Teori psikoanalitik, perilaku dan interpersonal menjadi dasar pola pikir
predisposisi psikologis.
1) Teori psikoanalitik
Sigmund Freud melalui teori psiko analisa menjelaskan bahwa skizofenia
merupakan hasil dari ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan konflik yang tidak
disadari antara impuls agresif atau kepuasan libido serta pengakuan terhadap ego.
Sebagai contoh konflik yang tidak disadari pada saat masa kanak-kanak, seperti takut
kehilangan cinta atau perhatian orang tua, menimbulkan perasaan tidak nyaman pada
masa kanak-kanak, remaja dan dewasa awal (Roerig, 1999dalam Satrio, dkk, 2015).
2) Teori Perilaku
Selain teori psikoanalisa, teori perilaku juga mendasari faktor predisposisi
psikologis. Teori perilaku berasumsi bahwa perilaku merupakan hasil pengalaman yang
dipelajari oleh klien sepanjang daur kehidupannya, dimana setiap pengalaman yang
dialami akan mempengaruhi perilaku klien baik yang bersifat adaptif maupun
maladaptif.
3) Terori Interpersonal
Teori interpersonal berasumsi bahwa skizofrenia terjadi karena klien mengalami
ketakutan akan penolakan interpersonal atau trauma dan kegagalan perkembangan yang
dialami pada masa pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang mengakibatkan
seseorang menjadi tidak berdaya, tidak percaya diri, tidak mampu membina hubungan
saling percaya pada orang lain, timbulnya sikap ragu-ragu dan takut salah. Selain itu
klien akan menampilkan perilaku mudah putus asa terhadap hubungan dengan orang
lain serta menghindar dari orang lain. Perilaku isolasi sosial merupakan hasil dari
pengalaman yang tidak menyenangkan atau menimbullkan trauma pada klien didalam
berintraksi dengan lingkungan sekitar sehingga mengakibatkan klien merasa ditolak,
tidak diterima dan kesepian serta ketidak mampuan membina hubungan sosial yang
berarti dengan lingkungan sekitar.
Selain itu sistem keluarga yang kurang harmonis seperti adanya penolakan
orangtua, harapan orangtua yang tidak realistis, kurang mempunyai tanggung jawab
personal juga menjadi factor pencetus timbulnya gangguan dalam hubungan
interpersonal. Kemampuan menjalin hubungan interpersonal sangat berhubungan dengan
kemampuan klien menjalankan peran dan fungsi. Jika lingkungan tidak memberi
dukungan positif tetapi justru menyalahkan klien secara terus menerus akan
mengakibatkan klien mengalami harga diri rendah yang pada akhirnya akan
mengakibatkan isolasi sosial.

c. Sosial budaya
Faktor sosial budaya meyakini bahwa penyebab skizofrenia adalah pengalaman
seseorang yang mengalami kesulitan beradaptasi terhadap tuntutan sosial budaya karena
klien memiliki harga diri rendah dan mekanisme koping mal adaptif. Stresor ini
merupakan salah satu ancaman yang dapat mempengaruhi berkembangnya gangguan
dalam interaksi sosial terutama dalam menjalin hubungan interpersonal. Hubungan
interpersonal berkembang sepanjang siklus kehidupan manusia. Perkembangan
hubungan interpersonal khususnya konsep diri dimulai sejak masa bayi dimana pada
masa ini tugas perkembangan yang harus dicapai seorang bayi adalah menetapkan
hubungan saling percaya dan terus berkembang hingga tahap perkembangan dewasa
akhir.
Gangguan dalam membina hubungan interpersonal biasanya mudah dikenali pada
saat masa remaja atau pada masa yang lebih awal dan berlanjut sepanjang tahap
perkembangan masa dewasa yang ditandai dengan adanya respon maladaptive yaitu
ketidakmampuan klien untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta
ketidakmampuan membina hubungan interpersonal atau penyimpangan perilaku lain.
Penelitian yang dilakukan di Amerika menyimpulkan sekitar 10% sampai 18 %
penduduknya mengalami gangguan kepribadian (Stuart, 2009dalam Satrio, dkk, 2015).
Gangguan dalam membina hubungan interpersonal yang muncul pada saat remaja
(pubertas), disebabkan karena pada masa ini remaja mengalami berbagai perubahan fisik
dan psikososial serta tuntutan masyarakat yang mengharuskan remaja mampu membuat
keputusan menyangkut dirinya ini mengakibatkan remaja harus mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan tersebut, ketidakmampuan remaja mengatasi perubahan yang
terjadi akan mengakibatkan gangguan kepribadian yang dapat mengakibatkan gangguan
dalam berhubungan sosial (Hawari, 2007). Agar masalah tersebut tidak terjadi
dibutuhkan dukungan dari orang tua dan lingkungan seperti membantu remaja memenuhi
tuntutan yang harus dipenuhi, beradaptasi dengan perubahan dalam posisi peran,
membantu remaja meraih sukses serta membantu remaja untuk meningkatkan
kemampuan berpartisipasi atau penerimaan di lingkungan masyarakat.
Papalia Old dan Feldman (2008) mengatakan selain akibat dari perubahan yang
sedang terjadi pada remaja, gangguan perkembangan respon sosial juga disebabkan
karena pola asuh orangtua. Orang tua yang selalu memberikan penghargaan terhadap
anak akan menghasilkan anak dengan harga diri yang tinggi hingga anak tersebut
dewasa. Anak yang memiliki harga diri tinggi lebih sukses dalam pekerjaan maupun
dalam menjalin hubungan interpersonal. sebaliknya orang tua dengan pola pengasuhan
yang keras, tanpa kasih sayang akan menghasilkan anak-anak dengan harga diri rendah
yang akan mempengaruhi anak dalam menjalin hubungan interpersonal dengan
lingkungan sekitar. Penelitian Coopersmith (1967), menyimpulkan bahwa anak dengan
harga diri tinggi cenderung sangat ekspresif dan aktif, sukses dalam akademik dan sosial
serta mampu menjalin hubungan interpersonal serta memiliki kepercayaan diri yang
tinggi. Sedangkan anak yang memiliki harga diri sedang paling bisa menyesuaikan diri,
dan anak-anak dengan harga diri rendah berprestasi paling rendah dan cenderung merasa
minder, juga sensitif terhadap kritik dan secara sosial anak-anak tersebut paling terisolasi
dari anak dengan harga diri tinggi.
Townsend, M.C (2009dalam Satrio, dkk, 2015) mengatakan pada umumnya isolasi
sosial disebabkan karena kurangnya rasa percaya diri, perasaan panik, adanya gangguan
dalam proses pikir, sukar berinteraksi dimasa lampau, perkembangan ego yang lemah
serta represi dari rasa takut. Sedangkan menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015)
Isolasi sosial disebabkan oleh harga diri rendah bila tidak segera ditangani perilaku
isolasi sosial dapat berisiko terjadinya halusinasi.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus internal atau eksternal yang mengancam
klienantara lain dikarenakan adanya ketegangan peran, konflik peran, peran yang tidak
jelas, peran berlebihan, perkembangan transisi, situasi transisi peran dan transisi peran
sehat-sakit (Stuart, 2009). Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) membagi faktor
presipitasi dalam psikososial dan sosial kultural.
a. Psikologis
Faktor presipitasi psikologis klien isolasi sosial berasal dari internal dan eksternal.
Stuart & Laraia (2005dalam Satrio, dkk, 2015) yang menyatakan bahwa isolasi sosial
disebabkan karena adanya faktor presipitasi yang berasal dari dalam diri sendiri ataupun
dari luar.

1) Internal
Stressor internal terdiri dari pengalaman yang tidak menyenangkan, perasaan
ditolak dan kehilangan orang yang berarti. Stresor yang berasal dari dalam adalah
kegagalan dan perasaan bersalah yang dialami klien. Penelitian yang dilakukan oleh
Canadian Assosiation Psychiatric (2004), menunjukkan bahwa prevalensi ketakutan
berhubungan sosial pada klien yang memiliki harga diri rendah 14.9% lebih tinggi
dibandingkan dengan klien yang memiliki harga diri tinggi sebesar 6.6%.

2) Eksternal
Stessor eksternal adalah kurangnnya dukungan dari lingkungan serta penolakan
dari lingkungan atau keluarga. Stressor dari luar klien tersebut dapat berupa ketegangan
peran, konflik peran, peran yang tidak jelas, peran berlebihan, perkembangan transisi,
situasi transisi peran dan transisi peran sehat-sakit. Pendapat senada diutarakan oleh
Erikson (2000; dalam Keliat, 2006), yang menyatakan bahwa untuk mampu
mengembangkan hubungan yang positif setiap klien harus dapat melalui delapan tugas
perkembangan (development task) sesuai dengan proses perkembangan usia.
Kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan klien
tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesisimtis, putus asa,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.
Pendapat senanda diutarakan oleh Stuart (2009 dalam Satrio, dkk, 2015), yang
menyatakan bahwa seseorang dengan tipe kepribadian introvert, menutup diri dari orang-
orang yang memperhatikannya, sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang
berarti dalam hidupnya.

b. Sosial Budaya
Sosial budaya merupakan ancaman terhadap sistem diri. Ancaman terhadap sistem
diri merupakan ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan fungsi integritas sosial.
Ancaman terhadap sistem diri berasal dari dua sumber yaitu eksternal dan internal.
Sumber eksternal dapat disebabkan karena kehilangan orang yang sangat dicintai karena
kematian, perceraian, perubahan status pekerjaan, dilema etik, ataupun tekanan sosial
dan budaya. Sedangkan sumber internal disebabkan karena kesulitan membangun
hubungan interpersonal di lingkungan sekitar seperti di lingkungan rumah atau di tempat
kerja, dan ketidakmampuan menjalankan peran baru sebagai orang tua, pelajar atau
pekerja. Penelitian tentang faktor lingkungan sebagai salah satu penyebab isolasi sosial
menyimpulkan bahwa lingkungan memiliki andil yang cukup besar terhadap timbulnya
harga diri rendah pada klien seperti lingkungan yang tidak kondusif dan selalu
memojokkan klien yang pada akhirnya akan mempengaruhi aktifitas klien termasuk
hubungan dengan orang lain.

3. Penilaian Stresor
Model Stres Adaptasi Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) mengintegrasikan
data dari konsep psikoanalisis, interpersonal, perilaku, genetik dan biologis. Berbagai
konsep tersebut akan menjelaskan tentang penilaian stressor seseorang terhadap
respon yang ditimbulkan akibat mengalami harga diri rendah salah satunya adalah
isolasi sosial.
Penilaian terhadap stressor berada dalam suatu rentang dari adaptif sampai
maladaptif. Pada klien dengan skizofrenia penilaian stressor yang adaptif merupakan
faktor yang harus selalu diperkuat didalam pemberian asuhan keperawatan sehingga
kemampuan tersebut membudaya dalam diri klien. Bila penilaian stressor klien
maladaptive maka penilaian tersebut akan menjadi dasar penggunaan terapi
keperawatan dalam melatih disfungsi ketrampilan yang dialami klien. Penilaian
terhadap stresor yang dialami klien dengan isolasi sosial meliputi kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial.
a. Kognitif
Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) yang menyatakan bahwa faktor kognitif
bertugas mencatat kejadian stresful dan reaksi yang ditimbulkan secara emosional,
fisiologis, serta perilaku dan reaksi sosial seseorang yang ditampilkan akibat kejadian
stress full dalam kehidupan selain memilih pola koping yang digunakan. Berdasarkan
penilaian tersebut klien dapat menilai adanya suatu masalah sebagai ancaman atau
potensi. Kemampuan klien melakukan penilaian kognitif ini dipengaruhi oleh persepsi
klien, sikap terbuka indivu terhadap adanya perubahan, dan kemampuan untuk
melakukan kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan, serta kemampuan menilai suatu
masalah. Pada klien dengan isolasi sosial kemampuan kognitif klien sangat terbatas klien
lebih berfokus pada masalah bukan bagaimana mencari alternative pemecahan masalah
yang dihadapi.
b. Afektif
Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) respon afektif terkait dengan
ekspresi emosi, mood, dan sikap. Respon afektif yang ditampilkan dipengaruhi oleh
ketidakmampuan jangka panjang terhadap situasi yang membahayakan sehingga
mempengaruhi kecenderungan respon terhadap ancaman terhadap harga diri klien.
Respon afektif pada klien isolasi sosial adalah adanya perasaan putus asa, sedih, kecewa,
merasa tidak berharga dan merasa tidak diperhatikanMenurut Stuart dan Laraia
(2005dalam Satrio, dkk, 2015) perasaan yang dirasakan klien tersebut dapat
mengakibatkan sikap menarik diri dari lingkungan sekitar.

c. Fisiologis
Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015) respon fisiologis terkait dengan
bagaimana sistem fisiologis tubuh berespon terhadap stressor, yang mengakibatkan
perubahan terhadap sistem neuroendokrin, dan hormonal.
Respon fisiologis merupakan respon neurobiologis yang bertujuan untuk
menyiapkan klien dalam mengatasi bahaya. Perubahan yang dialami oleh klien akan
mempengaruhi neurobiologis untuk mencegah stimulus yang mengancam. Setiap klien
yang dilahirkan memiliki sistem saraf pusat yang sensitif terhadap stimulus yang
membahayakan. Respon perilaku dan sosial yang ditampilkan klien merupakan hasil
belajar dari pengalaman sosial pada masa kanak-kanak dan dewasa khususnya dalam
menghadapi berbagai stressor yang mengancam harga diri klien.

d. Perilaku
Adalah hasil dari respon emosional dan fisiologis. Respon perilaku isolasi sosial
teridentifikasi tiga perilaku yang maladaptif yaitu sering melamun, tidak mau bergaul
dengan klien lain tidak mau mengemukakan pendapat, mudah menyerah dan ragu-ragu
dalam mengambil keputusan atau dalam melakukan tindakan.

e. Sosial
Merupakan hasil perpaduan dari respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku
yang akan mempengaruhi hubungan atau interaksi dengan orang lain. Respon perilaku
dan sosial memperlihatkan bahwa klien dengan isolasi sosial lebih banyak memberikan
respon menghindar terhadap stresor yang dialaminya. Respon negatif yang ditampilkan
merupakan akibat keterbatasan kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah, dan
keterbatasan klien dalam melakukan penilaian terhadap stressor, sehingga klien memilih
untuk menghindari stressor bukan sesuatu yang harus dihadapi atau diselesaikan.

4. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah pertahanan koping dalam jangka
panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego. Stuart (2009dalam Satrio, dkk,
2015), mengatakan pertahanan jangka pendek yang biasa dilakukan klien isolasi sosial
adalah lari sementara dari krisis, misalnya dengan bekerja keras, nonton televisi secara
terus menerus, melakukan kegiatan untuk mengganti identitas sementara, misalnya ikut
kelompok sosial, keagamaan dan politik, kegiatan yang memberi dukungan sementara,
seperti mengikuti suatu kompetisi atau kontes popularitas, kegiatan mencoba
menghilangkan anti identitas sementara, seperti penyalahgunaan obat-obatan. Jika
mekanisme koping jangka pendek tidak memberikan hasil yang diharapkan, indvidu
akan mengembangkan mekanisme jangka panjang antara lain menutup identitas, dimana
klien terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari orang-orang yang berarti
tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri. Mekanisme pertahanan ego
yang sering digunakan adalah proyeksi, merendahkan orang lain, menghindar dari
interaksi sosial dan reaksi formasi (Stuart, 2009dalam Satrio, dkk, 2015) .

5. Sumber Koping
Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015), sumber kopingmerupakan pilihan
atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam
menghadapi suatu masalah. Dalam menghadapi stressor klien dapat menggunakan
berbagai sumber koping yang dimilikinya baik internal atau eksterna.
a. Kemampuan Personal
Pada klien dengan isolasi sosial kemampuan personal yang harus dimiliki meliputi
kemampuan secara fisik dan mental. Kemampuan secara fisik teridentifikasi dari kondisi
fisik yang sehat. Kemampuan mental meliputi kemampuan kognitif, afektif, perilaku dan
sosial. Kemampuan kognitif meliputi kemampuan yang sudah ataupun yang belum
dimiliki klien didalam mengidentifikasi masalah, menilai dan menyelesaikan masalah,
Sedangkan kemampuan afektif meliputi kemampuan untuk meningkatkan konsep diri
klien dan kemampuan perilaku terkait dengan kemampuan melakukan tindakan yang
adekuat dalam menyelesaikan stressor yang dialami. Kurangnya dukungan, penghargaan
dan kesempatan untuk melatih kemampuan yang dimiliki klien dari lingkungan sekitar
klien akan mengakibatkan rendahnya motivasi klien untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi, timbulnya rasa rendah diri yang pada akhirnya akan mengakibatkan
gangguan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Temuan ini sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Maslim (2001), bahwa gejala negatif pada klien
dengan gangguan jiwa kronik adalah kurang atau tidak adanya motivasi.

b. Dukungan Sosial
Taylor, dkk (2003) menyatakan bahwa dukungan sosial akan membantu klien
untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor dalam mencapai ketrampilan koping
yang efektif. Pendapat lain yang mendukung pernyataan diatas mengenai pentingnya
dukungan sosial didalam proses penyembuhan klien adalah pernyataan yang
diungkapkan oleh Sarafino (2002), yang menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan
perasaan caring, penghargaan yang akan membantu klien untuk dapat menerima orang
lain yang berasal dari keyakinan yang berbeda. Pendapat senada diuraikan oleh Tomaras,
et.al.,(2001 dalam Keliat, 2003) yang mengatakan bahwa dukungan anggota keluarga
didalam membantu merawat klien dengan skizofrenia akan menguranggi frekuensi
kekambuhan klien. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan
dukungan sosial seorang klien akan merasakan adanya cinta, penghargaan, membantu
mencapai ketrampilan sosial dan koping yang adaptif serta yang terpenting adalah
membantu proses penyembuhan.
Sumber dukungan sosial pada klien dengan isolasi sosial meliputi dukungan yang
dimiliki klien baik yang didapatkan dari keluarga, perawat maupun dari lingkungan
sekitar klien. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan fisik dan psikologis.
Dukungan fisik diperoleh melalui dukungan dan keterlibatan aktif dari keluarga,
perawat, dokter serta tenaga kesehatan lainnya yang dapat membantu klien mengatasi
masalah. Menurut Stuart (2009dalam Satrio, dkk, 2015), untuk mampu memberikan
dukungan sosial kepada klien dengan isolasi sosial keluarga harus memiliki kemampuan
seperti kemampuan mengenal masalah, menentukan masalah dan menyelesaikan
masalah. Kemampuan mengenal masalah tampak dari pengetahuan keluarga tentang
kondisi klien dan potensi yang dimiliki keluarga, kemampuan menentukan masalah
teridentifikasi dari kemampuan untuk menentukan prioritas masalah sedangkan
kemampuan menyelesaikan masalah teridentifikasi dari kemampuan melakukan
perawatan baik terhadap klien maupun anggota keluarga lainnya. Dukungan yang dapat
dilakukan keluarga meliputi pencegahan tersier yaitu membantu memberikan perawatan
di rumah sesuai dengan konsep dan teori yang ada.

c. Aset material
Aset material yang dapat diperoleh meliputi dukungan financial, sistem
pembiayaan layanan kesehatan seperti asuransi kesehatan ataupun program layanan
kesehatan bagi masyarakat miskin, kemudahan mendapatkan fasilitas dan layanan
kesehatan serta keterjangkuan pembiayaan pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana
transportasi untuk mencapai layanan kesehatan selama dirumah sakit maupun setelah
pulang. Material asset meliputi ketersediaaan dana Ketidakmampuan klien dalam
memenuhi asset material akan berpotensi menimbulkan masalah akibat tidak optimalnya
sumber koping yang dimiliki.

d. Keyakinan positif
Keyakinan positif adalah keyakinan diri yang menimbulkan motivasi dalam
menyelesaikan segala stresor yang dihadapi. Keyakinan positif diperoleh dari keyakinan
terhadap kemampuan diri dalam mengatasi ketidakmampuan klien dalam berinteraksi
dengan lingkungan sekitar.. Adanya keyakinan positif yang dimiliki klien akan
memotivasi dan membantu klien untuk menggunakan mekanisme koping yang adaptif,
Kegiatan spiritual seperti berdoa, mengikuti kegiatan keagamaan yang ada merupakan
salah satu mekanisme koping adaptif yang dilakukan oleh klien dalam menilai stressor
yang dialami. Pemilihan kegiatan spiritual dalam rangka menurunkan berbagai stressor
tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Baldacchino (2001), yang
menyebutkan bahwa koping spiritual merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah
antara stimulus stres dan hasil negatif yang dapat menyebabkan timbulnya stres.
Sebaliknya keyakinan negative semakin menimbulkan perilaku maladaptif pada klien.
2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga pada Klien isolasi sosial
2.1.1 Pengkajian
a. Identitas klien
1) Umur
Berdasarkan karakteristik responden isolasi sosial berdasarkan
umur di ruang Puri Mitra Permata Harapan Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya, Desember 2015 dapat diketahui sebagian besar responden
berumur 31-40 tahun yaitu sebanyak 57% (SURABAYA, n.d.).
2) Jenis Kelamin
Dari data responden, didapatkan data bahwa dari 47 Klien pasca
rawat inap di RS dr Sardjito Mei 2007-Mei 2008, terdapat 26 orang
(55,3%) yang mengalami kekambuhan. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rohrer yang menyebutkan 60%-75%. Hasil yang
didapatkan penelitian ini juga sesuai dengan karakteristik penderita
skizofrenia yang sudah sering disebutkan sebelumnya, yaitu kejadian
skizofrenia pada pria hampir sama dengan wanita, onset diatas 40 tahun
(late onset) jarang terjadi, dan hampir sebagian besar Klien tidak
menikah (Dewi & Marchira, 2009).
3) Pendidikan
Mayoritas klien memiliki latar belakang sekolah menengah
(SMP- SMA), yaitu 11 klien (61,1%) (Wakhid et al., 2013).
Berdasarkan tingkat pendidikan responden hanya memiliki pendidikan
terakhir sampai SLTP dengan nilai sebesar 40%, prosentase yang sama
juga terlihat pada responden dengan pendidikan terakhir SD. Disini pada
tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh yaitu dalam pola pikir
seseorang yang cenderung pasif atau tidak berwawasan luas (Sukmana
& Wulandari, 2014).
a. Genogram
Faktor riwayat keluarga didapatkan pada Klien dimana 51,2%
Klien mempunyai riwayat keluarga menderita gangguan jiwa (Dewi &
Marchira, 2009).
b. Tipe keluarga
1) Tradisional
a) Nuclear family (keluarga inti), yaitu keluarga yang terdiri dari
suami, istri dan anak.
b) Extended family, yaitu keluarga yang terdiri dari tiga generasi
yang hidup bersama dalam satu rumah, seperti nuclear family
disertai: paman, tante, orang tua (kakek-nenek), keponakan.
c) Dyad family, keluarga yang terdiri dari suami&istri (tanpa anak)
yang hidup bersama serumah.
d) Single parent family, yaitu keluarga yang terdiri dari 1 orang tua
(ayah atau ibu) dengan anak, bila ini terjadi biasanya melalui

proses perceraian, kematian ditinggalkan (menyalahi hokum


pernikahan).
e) Keluarga usila, yaitu keluarga yang terdiri dari suami istri yang
sudah tua dengan anak yang sudah memisahkan diri.
f) Childless family, yaitu keluarga tanpa anak karena terlambat
menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya
yang disebabkan karena mengejar karier/pendidikan yang
terjadi pada wanita.
g) Commuter family, yaitu kedua orang tua bekerja dikota yang
berbeda, tetapi salah satu kota tersebut sebagai tempat tinggal
dan orang tua yang bekerja di luar kota bisa terkumpul pada
anggota pada saat weekend.
h) Multigenerational family, yaitu keluarga dengan beberapa inti
yang tinggal bersama dalam 1 rumah.
i) Kin-network family, yaitu beberapa keluarga inti yang tinggal
dalam satu rumah atau saling berdekatan dan saling
menggunakan barang-barang dan pelayanan yang sama
(contoh: dapur, kamar mandi, tv)
j) Blended family, yaitu duda atau janda (karena perceraian) yang
menikah kembali dan membesarkan anak dari perkawinan
sebelumnya.
k) The single adulng alone/single adult family, yaitu keluarga yang
terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena pilihannya
atau perpisahan (perceraian atai ditinggal mati)
2) Non tradisional
a) Unmarried teenage mother , yaitu keluarga yang terdiri dari
orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa
nikah
b) The stepparent family, yaitu keluarga dengan orang tua tiri
c) Commune family, yaitu beberapa pasangan keluarga (dengan
anaknya )yang tidak ada hubungan saudara yang hidup bersama
dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama,
pengalamayang sama, sosialisasi anak dengan melalui aktifitas
kelompok/membesarkan anak bersatu.
d) The nonmarital heterosexual cohabiting family, yaitu keluarga
yang hidup bersama berganti-ganti pasangan tanpa melakukan
pernikahan
e) Gay and lesbian families, yaitu seseorang yang mempunyai
pesamaan sex hidup bersama sebagaimana “marital pathners”
f) Cohabitating couple, orang dewasa yang hidup bersama diluar
ikatan pernikahan karena beberapa alas an tertentu.
g) Group-marriage family, yaitu beberapa orang dewasa yang
menggunakan alat-alat rumah tangga bersama, yang saling
merasa telah saling menikah satu dengan yang lainnya, berbagi
sesuatu termasuk sexsual dan membesarkan anak.
h) Group network family, yaitu keluarga inti yang dibatasi oleh set
aturan/nilai-nilai, hidup berdekatan satu sama lain dan saling
menggunakan barang-barang rumah tangga bersama,
pelayanan, dan bertanggung jawab membesarkan anaknya.
i) Foster family, yaitu keluarga menerima anak yang tidak ada
hubungan keluarga/saudara di dalam waktu sementara, pada
saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk
menyatukan kembali keluarga aslinya.
j) Homeless family, yaitu keluarga yang terbentuk dan tidak
mempunyai perlindungan yang permanen karena krisis personal
yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan atau problem
kesehatan mental.
k) Gang , yaitu sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-
orang muda yang mencari ikatan emosional dan keluarga yang
mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam kekerasan &
criminal dalam kehidupannya.

c. Suku Bangsa
Hasil penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa proses perjalanan
gangguan jiwa skizofrenia di negara berkembang jauh lebih baik
dibandingkan negara maju, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Berbagai dugaan muncul terkait hasil tersebut, salah satunya
karakteristik masyarakat negara maju bersifat individualistik sehingga
kurang memberikan dukungan sosial dibandingkan negara berkembang
yang bersifat kolektif. Sementara itu di negara berkembang banyak
ditemukan onset (proses munculnya) gangguan jiwa yang cenderung
cepat mempengaruhi kesembuhan dengan cepat (Ika, 2015).
d. Agama dan Kepercayaan yang mempengaruhi kesehatan
Dalam setiap agama terdapat tradisi spiritualitas yang dapat
berkontribusi pada pengembangan konsep dan praktik kesehatan jiwa.
Misalnya, tradisi tasawuf dalam islam yang banyak dipraktikkan di
masyarakat hingga sekarang. Dalam tasawuf, konsep penyakit hati
ditengarai dengan adanya perasaan iri, benci, sombong, pamer dan
lainnya. Konsep tersebut sangat dekat dengan konsep psikologi Barat,
yakni emosi negatif. Karenanya upaya untuk menyandingkan kedua
ilmu dari kedua tradisi tersebut perlu dikembangkan. Ilmu tasawuf akan
menjadi aktual apabila menggunakan pendekatan-pendekatan psikologi
modern. Sementara perspektif tasawuf bagi psikologi dapat
mengarahkan psikologi kepada nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat
untuk kesejahteraan orang banyak (Ika, 2015).
e. Status social dan ekonomi keluarga
Status ekonomi berhubungan dengan kekambuhan penderita
skizofrenia. Klien skizofrenia dengan status ekonomi kurang dari UMR
lebih berisiko mengalami kekambuhan dibandingkan Klien skizofrenia
yang memiliki satus ekonomi lebih dari UMR. Status ekonomi rendah
sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Himpitan ekonomi memicu
orang menjadi rentan terhadap gangguan mental. Kemiskinan
menimbulkan berbagai masalah yang menyulitkan kehidupan.
Kemiskinan

meningkatkan rasa frusktasi seseorang sehingga Klien skizofrenia pada


keluarga miskin cenderung sering mengalami kekambuhan (Setiati et al.,
2017).
f. Aktivitas Rekreasi Keluarga
Rekreasi keluarga tidak hanya dilihat kapan keluarga pergi
bersama-samauntuk mengunjungi tempat rekreasi, tetapi juga
penggunaan waktu luang atau senggang bersama keluarga.
g. Riwayat dan Tahap perkembangan keluarga
1) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Pemberian asuhan keperawatan kepada keluarga dapat
meningkatkan pengetahuan karena dalam asuhan tersebut mengandung
unsur untuk meningkatkan pengetahuan keluarga mengenai penyakit
yang diderita oleh klien, mengajarkan atau melatih keluarga mengenai
cara merawat klien dengan isolasi sosial, dan membantu keluarga untuk
mengetahui gejala-gejala penyimpangan perilaku menarik diri yang
harus sehera dirujuk kembali oleh keluarga ke pelayanan kesehatan
(Stuart & Laraia, 2005) (Syafrini et al., 2015).
2) Tahap perkembangan keluarga yang belum tercapai
Pada penelitian ini didapatkan bahwa kemampuan keluarga
dalam merawat klien masih dibawah nilai 75%. Hal ini dipengaruhi oleh
frekuensi pemberian asuhan keperawatan kepada keluarga masih sangat
jarang disebabkan karena keluarga jarang datang ke pelayanan
kesehatan, sehingga keluarga masih belum mengetahui bagaimana cara
merawat klien isolasi sosial. Kemampuan keluarga dalam merawat klien
isolasi sosial dipengaruhi oleh fungsi, peran, dan tugas keluarga.
Stressor yang muncul akibat penyakit klien, dapat
mempengaruhi tugas keluarga untuk mempertahankan status kesehatan
anggota keluarga yang lain. Keluarga belum memahami keadaan dan
kondisi klien, sehingga mempengaruhi kemampuan keluarga untuk
memutuskan tindakan apa yang bisa dilakukan kepada Klien. Hal ini
dikuatkan dengan data wawancara yang didapatkan dimana empat orang
perawat pelaksana

mengungkapkan bahwa sebelumya keluarga tidak mengetahui mengenai


penyakit klien dan bagaimana cara mengatasinya, sehingga
mempengaruhi tugas-tugas yang lain (Syafrini et al., 2015).
3) Riwayat penyakit keturunan
Berdasarkan distribusi faktor predisposisi pada klien dengan
masalah Isolasi Sosial Dan Harga Diri Rendah Di Ruang Antareja
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor 2012 sebanyak 12 klien (66,7%)
(Wakhid et al., 2013).
4) Riwayat kesehatan keluarga saat ini
Karakteristik responden dengan skizofrenia yang pernah di rawat
di RSUD Dr Sardjito dan mengalami kekambuhan bulan Mei 2007-Mei
2008, mayoritas sampel faktor riwayat keluarga yang didapatkan pada
Klien dimana sebanyak 51,1% Klien mempunyai riwayat keluarga
menderita gangguan jiwa (Dewi & Marchira, 2009).
Pengkajian Lingkungan
1) Karakteristik rumah
2) Karakteristik tetangga dan komunitas RW
Keluarga penderita juga tidak mengetahui dan memahami
tentang menciptakan lingkungan kondusif yang bisa mempengaruhi dan
membantu kesembuhan penderita Skizofrenia. Demikian juga, dengan
tetangga dan masyarakat yang berada disekitar penderita, tidak
mengetahui tentang cara memberikan dukungan sosial terhadap
penderita. Masyarakat yang ada di wilayah Puskesmas Sebakung Jaya
masih kuat akan stigma buruk tentang penderita Skizofrenia. Misalnya,
saat penderita jalan-jalan keluar rumah, masih banyak yang mengganggu
atau mengolok-ngolok sehingga penderita tidak merasa nyaman dan
terkadang emosinya memuncak/ marah, kondisi seperti inilah yang
semakin memperparah penderita (Rosdiana, 2018).
5) Mobilitas geografis keluarga

6) Perkumpulan Keluarga dan Interaksi dengan Masyarakat


Dari hasil penelitian sebelumnya didapatkan dari 8 orang yang
memiliki peran keluarga baik sebagian besar (62,5%) klien memiliki
tingkat interaksi sosial bermasyarakat baik, dan dari 12 orang yang
memiliki peran keluarga cukup hanya sebagian kecil (25%) klien yang
memiliki tingkat interaksi sosial bermasyarakat baik. Sedangkan dari
orang yang mempunyai peran keluarga kurang setengahnya (50%) klien
mempunyai interaksi sosial kurang baik (Maghfiroh & Khamida, 2015).
7) Sistem pendukung keluarga
Kemampuan yang ditunjukkan keluarga dalam memberikan
asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga. Tujuan
asuhan kesehatan keluarga dapat dicapai dengan memaksimalkan tugas
kesehatan yang berlaku dalam keluarga tersebut. Menurut Friedman
(1998) tugas tersebut merupakan upaya dalam pemeliharaan antara satu
anggota dengan yang lain. Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan
pemeliharaan tersebut dapat dilihat dari kemampuan keluarga
melakukan tugas kesehatan keluarga. Jika tugas kesehatan keluarga
tersebut dilakukan dengan baik berarti keluarga sanggup menyelesaikan
masalah kesehatannya. Penyelesaian masalah kesehatan keluarga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain budaya, pengetahuan,
tindakan untuk mengatasi masalah, sumberdaya (fisik, ekonomi, tenaga,
waktu), sumberdaya perawatan di masyarakat.
Tingkat kemampuan keluarga dalam melaksanakan tugas
kesehatan keluarga mayoritas pada kategori cukup. Tugas kesehatan ini
dilakukan keluarga untuk meningkatkan status kesehatan keluarganya
agar menjadi lebih baik. Untuk meningkatkan status kesehatannya maka
diperlukan penyelesaian masalah kesehatan keluarga. Menurut teori,
salah satu factor yang melatar belakangi adalah pengetahuan yang
dimiliki oleh keluarga. Dari data demografi, mayoritas keluarga
memiliki pendidikan Sekolah Dasar. Hal ini mempengaruhi sesorang
dalam mengenal, memutuskan, merawat, dan menciptakan lingkungan
yang menunjang bagi

Klien skizofrenia. Faktor lain yang turut mempengaruhi adalah


sumberdaya (waktu, ekonomi, fisik, tenaga) dan sumber daya perawatan
yang berada di masyarakat. Dari data demografi dapat dilihat bahwa
responden mayoritas bekerja sebagai petani,sehingga sebagian besar
waktunya digunakan untuk menggarap sawah. Oleh karena itu,
mayoritas keluarga menjadi tidak maksimal dalam melaksanakan tugas
kesehatannya. Walaupun sumber daya perawatan sudah tersedia dan
dimanfaatkan oleh masyarakat, namun factor-faktor yang lain lebih kuat
mempengaruhi pelaksanaan tugas kesehatan keluarga. Banyak factor
yang memicu terjadinya skizofrenia, namun yang paling berpengaruh
adalah keluarga. Hal ini mengingat Klien skizofrenia mengalami
penurunan kemampuan kognitif sehingga keluarga berperan dalam
pemberia perawatan, pengobatan, dan penentu keputusan bagi Klien.
Namun perawatan dan terapi pengobatan saja tidak akan mampu
mencegah terjadinya kekambuhan, karena dibutuhkan dukungan
keluarga yang baik agar Klien tidak jatuh pada kondisi kekambuhan.
Oleh karena itu, 5 faktor tugas kesehatan keluarga mempunyai
hubungan keterkaitan sehingga membutuhkan upaya yang kompleks
dalam mewujudkan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga yang baik
(Sulistyowati, 2013).
h. Struktur Keluarga
Struktur keluarga terdiri atas bermacam-macam:
1) Patrilinieal
Adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi. Dimana hubungan itu disusun melalui jalur
garis ayah.
2) Matrilineal
Adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi. Dimana hubungan hubungan itu disusun
melalui garisibu.

3) Matriloka
Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
istri.
4) Patriloka
Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
ayah.
5) Keluarga kawinan
Adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga
dan beberapa anak saudara yang menjadi bagian keluarga karena
adanya hubungan dengan suami istri.
i. Fungsi keluarga
Ketidakmampuan keluarga dalam merawat penderita dalam
memodifikasi lingkungan, baik fisik, sosial, psikologi yang
menyebabkan penderita semakin parah dari hari ke hari. Keluarga
penderita tidak tidak mengetahui tentang pentingnya interaksi yang baik
antara anggota keluarga, dan saling memahami dan mengerti satu sama
lain sehingga komunikasi antara satu sama lain sehingga komunikasi
antara keluarga terasa aman, nyaman dan ketika ada masalah keluarga
menjadi tempat untuk bercerita dan menjadi pendengar yang baik serta
memberikan solusi dari masalah yang dihadapi (Rosdiana, 2018).
Adapun dari fungsi keluarga, antara lain:
1) Fungsi kesehatan
Menjelaskan sejauh mana keluarga menyediakan makanan,
pakaian, perlindungan serta merawat anggota keluarga yang sakit.
Sejauh mana pengetahuan keluarga mengenai sehat sakit.
Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan perawatan kesehatan
dapat dilihat dari kemampuan keluarga dalam melaksanakan 5 tugas
keluarga, antara lain:
a) Mengenal masalah kesehatan keluarga
b) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
c) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
d) Mempertahankan suasana rumah sehat
e) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan keluarga
2) Fungsi ekonomi
Hal yang perlu dikaji mengenai fungsi keluarga adalah:
a) Sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan
dan papan
b) Sejauh mana keluarga memanfaatkan sumber yang ada di
masyarakat dalam upaya peningkatan status kesehatan keluarga.
3) Fungsi reproduksi
Salah satu tujuan sepasang suami istri membangun sebuah
keluarga adalah melanjutkan keturunan. Mereka ingin agar ada insan
lain yang melanjutkan generasinya.
4) Fungsi afektif
Fungsi ini berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga
yanga merupakan basis kekuatan keluarga. Berguna untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan
fungsi afektif tampak pada kebaagiaan dan kegembiraan dari seluruh
anggota keluarga. Tiap anggota keluarga saling mempertahankan
iklim yang positif. Komponen yang perlu dipenuhi keluarga dalam
memenuhi fungsi afektif adalah:
a) Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima,
saling mendukung antar keluarga.
b) Saling menghargai, bila anggota keluarga saling menghargai dan
mengakui keberadaban dan hak setiap anggota keluarga serta
selalu mempertahankan iklim yang positif maka fungsi afektif
akan tercapai.
c) Ikatan dan identifikasi, ikatan dimulai sejak pasangan sepakat
memulai hidup baru. Ikatan anggota keluarga dikembangkan
melalui proses identifikasi dan penyesuaian pada berbagai aspek
kehidupan anggota keluarga
5) Fungsi sosialisasi
Proses perkembangan dan perubahan yang dilakukan individu,
yang menghasilkan interaksi social dan belajar berperan lingkungan
social.
j. Stressor dan koping keluarga
Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan
mengelola stressor adalah karakteristik kepribadian. Karakteristik
kepribadian berkaitan erat dengan kondisi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being). Pada penelitian ini didapatkan profil
kepribadian pada tujuh caregiver skizofrenia memiliki trail dominan
yang sama yaitu Neuroticism. Secara umum trait neuroticism
menggambarkan pengaruh dari reaksi negatif yang di rasakan oleh
caragiver yang diwujudkan dalam bentuk ketidakseimbangan dalam
mengelola emosi, ide yang cenderung tidak realistik, dorongan
kehendak yang kurang terencana atau respon coping yang tidak sesuai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa trait neuroticism mempengaruhi
kesejahteraan psikologis secara optimal (Nainggola & Hidajat, 2013) .
k. Riwayat kesehatan sebelumnya
Epidemiologi kekambuhan dalam rentang waktu 1-5 tahun
setelah episode gejala akut terjadi sekitar 40-92% baik dinegara maju
atau negara berkembang. Faktor resiko resiko yang mempengaruhi
kekambuhan skizofrenia seperti dukungan sosial.
Sebanyak 75% Klien skizofrenia di rumah sakit Dr. Sardjito
yang mondok di bangsal jiwa pernah di rawat sbelumnya atau
merupakan Klien rawat ulang kembali. Penyebab kekambuhan Klien
skizofrenia di rumah sakit jiwa daerah (RSJD) Dr. AGH Semarang,
menunjukkan peningkatan angka kekambuhan Klien skizofrenia karena
tidak taat pengobatan. Alasan perawatan ulang tersebut adalah sebanyak
24% responden beranggapan setelah minum obat tidak bisa melakukan
aktivitas, 7% responden merasa tidak tahu tentang obat, 57% responden
merasa sudah sembuh, 8%

responden takut ketergantungan obat dan 4% responden keluarga dan


orang sekitar (Setiati et al., 2017).
l. Riwayat penyakit sebelumnya
Epidemiologi kekambuhan dalam rentang waktu 1-5 tahun
setelah episode gejala akut terjadi sekitar 40-92% baik dinegara maju
atau negara berkembang. Faktor resiko resiko yang mempengaruhi
kekambuhan skizofrenia seperti dukungan sosial.
Sebanyak 75% Klien skizofrenia di rumah sakit Dr. Sardjito
yang mondok di bangsal jiwa pernah di rawat sbelumnya atau
merupakan Klien rawat ulang kembali. Penyebab kekambuhan Klien
skizofrenia di rumah sakit jiwa daerah (RSJD) Dr. AGH Semarang,
menunjukkan peningkatan angka kekambuhan Klien skizofrenia karena
tidak taat pengobatan. Alasan perawatan ulang tersebut adalah sebanyak
24% responden beranggapan setelah minum obat tidak bisa melakukan
aktivitas, 7% responden merasa tidak tahu tentang obat, 57% responden
merasa sudah sembuh, 8% responden takut ketergantungan obat dan 4%
responden keluarga dan orang sekitar (Setiati et al., 2017).
m. Faktor predisposisi (Pendukung)
1) Psikologis
Masyarakat yang ada di wilayah Puskesmas Sebakung Jaya
masih kuat akan stigma buruk tentang penderita Skizofrenia.
Misalnya, saat penderita jalan-jalan keluar rumah, masih banyak
yang mengganggu atau mengolok-ngolok sehingga penderita tidak
merasa nyaman dan terkadang emosinya memuncak/ marah, kondisi
seperti inilah yang semakin memperparah penderita (Rosdiana,
2018).
2) Sosial
Status ekonomi berhubungan dengan kekambuhan penderita
skizofrenia. Klien skizofrenia dengan status ekonomi kurang dari
UMR lebih berisiko mengalami kekambuhan dibandingkan Klien
skizofrenia yang memiliki satus ekonomi lebih dari UMR. Status
ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan seseorang.
Himpitan
ekonomi memicu orang menjadi rentan terhadap gangguan mental.
Kemiskinan menimbulkan berbagai masalah yang menyulitkan
kehidupan. Kemiskinan meningkatkan rasa frusktasi seseorang
sehingga Klien skizofrenia pada keluarga miskin cenderung sering
mengalami kekambuhan (Setiati et al., 2017).
2.1.2 Diagnosa Keperawatan : Isolasi Sosial
1. Definisi
Kesendirian yang dialami oleh individu san dianggap timbul karena
orang lain dan sebagai suatu pernyataan negatif atau mengancam (Keliat et
al., 2015).
2. Batasan Karakteristik
a. Afek datar
b. Afek sedih
c. Anggota subkultur tertentu
d. Ingin sendirian
e. Kesendirian yang ditentukan oleh orang lain
f. Keterlambatan perkembangan
g. Ketidakmampuan memenuhi harapan orang lain
h. Ketidaksesuaian budaya
i. Kondisi difabel
j. Menarik diri
k. Menunjukkan permusuhan
l. Merasa tidak aman di tempat umum
m. Nilai tidak sesuai dengan norma budaya
n. Perasaan beda dari orang lain
o. Preokupasi dengan pikiran sendiri
p. Riwayat ditolak
q. Sakit
r. Tidak ada kontak mata
s. Tidak ada sistem pendukung
t. Tidak mempunyai tujuan

u. Tindakan berualang
v. Tindakan tidak berarti (Keliat et al., 2015).
3. Faktor yang berhubungan
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan personal
yang memuaskan (mis., keterlambatan perkembangan)
b. Gangguan kesehatan
c. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang memuaskan
d. Minat tidak sesuai dengan perkembangan
e. Nilai-nilai tidak sesuai dengan norma budaya
f. Perilaku sosial tidak sesuai norma
g. Perubahan penampilan fisik
h. Perubahan status mental
i. Sumber personal yang tidak adekuat (mis., pencapaian buruk,
kesadaran diri buruk, tidak ada afek dan pengendalian diri buruk)
(Keliat et al., 2015).
4. Kemungkinan diagnosa yang muncul
a. Menarik diri
b. Halusinasi
c. Resiko perilaku kekerasan
d. Defisit perawatan diri
e. Potensial peningkatan keluarga dalam merawat klien
2.1.3 Intervensi
1. Membina hubungan saling percaya
Untuk membina hubungan saling percaya pada Klien isolasi
sosial kadang-kadang perlu waktu singkat. Perawat harus konsisten
bersikap terapeutik kepada Klien. Selalu memenuhi janji adalah salah
satu upaya yang bisa dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan
membuahkan hasil. Bila klien sudah percaya maka apapun yang akan
diprogramkan, klien akan mengikutinya. Tindakan yang harus dilakukan
dalam membina hubungan saling percaya adalah
a. Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan Klien.

b. Berkenalan dengan Klien, seperti perkenalan nama dan


nama panggilan yang anda sukai, serta tanyakan nama panggilan
Klien.
c. Menanyakan perasaan dan keluahan klien saat ini.
d. Buat kontrak asuhan apa yang akan dilakukan bersama klien,
berapa lama yang akan dikerjakan, dan tempatnya dimana.
e. Jelaskan perawat akan merahasiakan informasi yang akan diperoleh
untuk kepentingan terapi.
f. Setiap saat tunjukkan sikap empati pada Klien.
g. Penuhi kebutuhan dasar Klien bila memungkinkan.
2. Membantu klien menyadari perilaku Klien
a. Tanyakan terdapat klien tentang kebiasaan berinteraksi dengan
orang lain.
b. Menanyakan apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain.
c. Mendiskusiskan keuntungna bila klien memiliki banyak teman dan
dapat bergaul dengan mereka.
d. Diskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri dan tidak
bergaul dengan orang lain.
e. Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik Klien.
3. Melatih klien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
a. Jelaskan kepada klien berinteraksi dengan orang lain.
b. Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.
c. Beri kesempatan klien mempraktikan cara berinteraksi dengan satu
orang teman/ anggota keluarga.
d. Bila klien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah
interaksi dengan dua tiga, empat orang dan seterusnya.
e. Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan
Klien.
f. Siap mendengarkan ekspresi perasaan klien setelah berinteraksi
dengan orang lain. Mungkin klien akan terus menerus agar klien
tetap semangat meningkatkan interaksinya
4. Intervensi kepada keluarga
Setelah tindakan keperawatan diharapkan keluarga mampu merawat
Klien isolasi sosial. Tindakan dilakukan dengan melatih keluarga merawat
Klien isolasi sosial. Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi
Klien untuk dapat membantu Klien mengatasi masalah isolasi sosial ini,
karena keluargalah yang selalu bersama sama dengan Klien sepanjang hari.
Melatih keluarga merawat Klien isolasi sosial dirumah. Menjelaskan
tentang hal berikut:
a. Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada Klien.
b. Penyebab isolasi sosial.
c. Sikap keluarga untuk membantu Klien mengatasu isolasi sosial.
d. Pengobatan yang berkelanjutan dan mencegah putus obat.
e. Tempat rujukan bertanya dan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi
Klien.
f. Memperagakan cara merawat Klien isolasi sosial
g. Memberi kesempatan kepada keluarga untuk mempraktikkan cara
berkomunikasi dengan Klien (Yusuf et al., 2015).
C. Pohon Masalah
Menurut Keliat dkk (2010) pohon masalah isolasi sosial adalah sebagai berikut :
Resiko Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

Isolasi Sosial

Gangguan Harga Diri = Harga Diri Rendah

Tidak Efektifnya Koping Individu, Koping Defensive

D. Daftar Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


1. Masalah Keperawatan :
a. Resiko Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi
b. Isolasi Sosial : menarik diri
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
2. Data yang perlu dikaji pada masalah keperawatan isolasi sosial.
a. Data Subyektif , pasien mengungkapkan tentang
• Perasaan sepi
• Perasaan tidak aman
• Perasan bosan dan waktu terasa lambat
• Ketidakmampun berkonsentrasi
• Perasaan ditolak
b. Data Obyektif
• Banyak diam
• Tidak mau bicara
• Menyendiri
• Tidak mau berinteraksi
• Tampak sedih
• Ekspresi datar dan dangkal
• Kontak mata kurang
E. Diagnosis
1. Diagnosis Keperawatan : Isolasi sosial
2. Diagnosis Medis : Skizofernia

F. Rencana Tindakan Keperawatan


No. Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
1 Isolasi Sosial 1. Membina hubungan saling Pertemuan 1
percaya 1.Identifikasi penyebab
isolasi sosial : siapa yang
2. Dapat mengidentifikasi
serumah, siapa yang dekat,
penyebab isolasi sosial : siapa
dan apa sebabnya
yang serumah, siapa yang
2. Jelaskan Keuntungan
dekat, dan apa sebabnya
punya teman dan bercakap-
3. Dapat memberitahukan
cakap
kepada klien keuntungan
3. Jelaskan kerugian tidak
punya teman dan bercakap-
punya teman dan tidak
cakap
bercakap- cakap
4. Dapat memberitahukan
4. Latih cara berkenalan
kepada klien kerugian tidak
dengan pasien, perawat, dan
punya teman dan tidak
tamu
bercakap- cakap
5. Masukkan pada jadwal
5. Klien dapat berkenalan
kegiatan untuk latihan
dengan pasien, perawat, dan
berkenalan
tamu
1. Klien dapat berbicara saat Pertemuan 2
melakukan kegiatan harian 1. Evaluasi kegiatan
2. Klien dapat berkenalan berkenalan dengan
dengan dengan 2-3 orang beberapa orang. Beri
pasien, perawat, dan tamu pujian
2. Latih cara berbicara saat
melakukan kegiatan harian
(latih 2 kegiatan)
3. Masukkan pada jadwal
kegiatan untuk latihan
berkenalan dengan 2-3
orang pasien, perawat dan
tamu, berbicara saat
melakukan kegiatan harian.

1. Klien dapat berbicara saat Pertemuan 3


melakukan kegiatan harian 1. Evaluasi kegiatan, latihan
2. Klien dapat berkenalan berkenalan (beberapa orang)
dengan 4-5 orang, berbicara dan bicara saat melakukan
saat melakukan 2 kegiatan duan kegiatan harian. Berika
harian pujian
2. Latih cara berbicara saat
melakukan kegiatan harian (2
kegiatan baru)
3. Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian untuk latihan
berkenalan 4-5 orang,
berbicara saat melakukan 4
kegiatan harian
1. Klien dapat berbicara Pertemuan 4
sosial : meminta sesuatu, 1. Evaluasi kegiatan
menjawab pertanyaan latihan berkenalan, bicara saat
2. Klien dapat berkenalan melakukan empat kegiatan
dengan > 5 orang, orang harian. Berikan pujian
baru, berbicara saat 2. Latih cara bicara
melakukan kegiatan harian sosial : meminta sesuatu,
dan sosialisasi menjawab pertanyaan
3. Masukkan pada
jadwal kegiatan untuk latihan
berkenalan >5 orang, orang
baru, berbicara saat
melakukan kegiatan harian
dan sosialisasi
1. Klien dapat mandiri Pertemuan 5-12
dalam berkenalan, 1. Evaluasi kegiatan
berbicara saat melakukan latihan berkenalan, berbicara
kegiatan harian dan saat melakukan kegiatan
sosialisasi harian dan sosialisasi. Beri
pujian
2. Latih kegiatan harian
3. Nilai kemampuan
yang telah mandiri
4. Nilai apakah isolasi
sosial teratasi

G. Rencana Tindakan Keperawatan Spesialis :


▪ Terapi individu : SST, CBSST, BT
▪ Terapi kelompok : Psikoedukasi kelompok,
▪ Terapi keluarga : Supportif Therapy, Self Help Group Therapy
H. Rencana Tindakan Keperawatan Isolasi Sosial Menurut SIKI (Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia, 2018)

1. Promosi sosialisasi
• Observasi
1) Identifikasi kemampuan melkaukan interaksi dengan orang lain
2) Identifikasi hambatan melakukan interaksi dengan orang lain

• Terapeutik
1) Motivasi meningkatkan keterlibatan dalam suatu hubungan
2) Motivasi kesabaran dalam mengembangkan suatu hubungan
3) Motivasi berpartisipasi aktivitas baru dan kegiatan kegiatan kelompok
4) Motivasi berinteraksi diluar ruangan (mis. Jalan-jalan, ketokoh buku)
5) Diskusikan kekuatan dan keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain
6) Diskusikan perencanaan kegiatan dimasa depan
7) Berikan umpan balik positif dalam perawatan diri
8) Berikan umpan balik positif pada setiap tingkat kemampuan

• Edukasi
1) Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
2) Anjurkan ikut serta kegiatan sosial dan kemasyarakatan
3) Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain
4) Anjurkan meningkatkan kejujuran diri dan menghormati hak orang lain
5) Anjurkan penggunaan alat bantu (mis. Kaca mata, dan alat bantu dengar)
6) Anjurkan membuat perencanaan kelompok kecil untuk kegiatan khusus
7) Latih bermain peran untuk meningkatkan ketrampilan untuk meningkatkan
ketrampilan komunikasi
8) Latih mengekspresikan marah dengan tepat
BAB III
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA ANAK REMAJA


Narasi Kasus :
Tn E (47 tahun, Wirasuasta) di kota J dan Ny F (45 tahun, PNS yang sedang melanjutkan
studi S2 di kota yang sama). Mempunyai 2 orang anak an G (Pr, 17 tahun, pelajar kelas XII) dan
an H (laki-laki, 10 tahun, pelajar SD). Mereka tinggal di rumah pribadi. Antara Ny F dan Tn E
sering terjadi cekcok di hadapan an G karena kehadiran wanita lain yang merupakan
selingkuhan dari Tn E. Menyaksikan pengalaman yang unharmonis ini an G menjadi pendiam,
tidak mau berteman dengan sebaya baik dirumah maupun di sekolah. Hal ini tampak dari nilai
perestasi belajarnya yang menunjukkan anak G tidak lulus ujian SMA, dirumah an G jadi
murung, mengurung diri di kamar dan keluar kamar untuk mandi dan makan. Sebelumnya an G
adalah anak yang berprestasi di sekolahnya, terbukti dengan nilai akademisnya
mendapatrengking 10 besar dan sering juara pada perlombaan-perlombaan yang diadakan
sekolah maupun antar sekolah. Disekolah an G ikut menjadi salah satu pengurus Osis. Dalam
pergaulanya di sekolah an G tidak punya teman akrab karena kecewa dengan kegagalanya,
akhirnya an G meminum insektisida sebagai pelarian dari kegagalannya, namun jiwanya masih
dapat diselamatkan. Sementara anak H adalah anak yang cerdas, senang bergaul.
A. Pengkajian Keluarga
I. Data Umum
1. Nama KK : Tn E
2. Alamat : Jln Gatot Kaca
3. Pekerjaan : Wiraswasta
4. Pendidikan : S1 Ekonomi
5. Komposisi Keluarga

Ket
= Laki – laki

= Perempuan

= Menikah

X = Klien

= Tinggal
X
serumah
6. Tipe keluarga : Keluarga Inti
7. Suku Bangsa : Minang, Indonesia
8. Agama : Islam
9. Status sosial :

10. Aktifitas rekreasi keluarga


• Sesekali berlibur keluar daerah (propinsi)
• Bersilaturahmi ke keluarga besar saat lebaran
• Kadang kadang rekreasi ke tempat terbuka

II. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga


1. Tahap perkembangan keluarga saat ini : keluarga dan anak remaja
2. Tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi :
• Terganggunya fokus terhadap mempertahankan hubungan perkawinan
• Kurang perhatian dan kasih sayang karena orang tua sibuk
• Kurangnya komunikasi terbuka dalam keluarga
• Kontroler yang rendah terhadap anak remaja
• Anak remaja menyaksikan pertengkaran orang tuanya
• Remaja tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri karena masih
dianggap anak kecil
• Riwayat keluarga inti
• Otonomi dipegang oleh orang tua
• Bila ada anggota keluarga yang sakit, keluarga sudah memanfaatkan fasilitas
kesehatan

III. Riwayat keluarga sebelumnya


• Riwayat bunuh diri dalam keluarga tidak ditemukan
• Tidak ada penyakit keturunan
• Tidak ditemukan keluarga yang menderita penyakit menular

IV. Pengkajian Lingkungan


1. Karakteristik rumah
• Ukuran 12 x 8 m, jenis rumah permanan, terdiri dari 3 buah kamar tidur, 1 ruangan
tamu, 1 ruangan keluarga, 1 kamar mandi + wc dan dapur, penempatan ruangan
teratur
• Halaman rumah cukup luas, ventilasi dan penerangan dalam rumah cukup baik, sinar
matahari pagi masuk kedalam rumah, pembuangan limbah dengan cara septic tank
• Rumah tampak bersih dan rapi. Sumber air bersih dari sumur bor
2. Karakteristik tetangga dan komunikasi : Individualis, taat pada kelompok sosial
3. Mobilitas geografis keluarga :
• Interaksi dengan kelompok komunitas agak jarang karena rutinitas dan aktifitas yang
tinggi di luar rumah
• Keluarga tetap patuh terhadap norma-norma sosial yang ada
4. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan komunitas
• Keluarga jarang menghadiri acara pengajian dan arisan bulanan yang diadakan oleh
kelompok perumahan maupun ikatan istri pengusaha
• Namun, jika ada kenduri atau kematian di lingkungan kompleks perumahan tempat
mereka tinggal, keluarga menyempatkan diri untuk hadir
5. Sistim pendukung keluarga
• Jarak antara rumah dan fasilitas kesehatan + 300 m
• Keluarga sudah mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk berobat

V. Struktur Keluarga
1. Pola komunikasi keluarga
• Jangkauan komunikasi fungsionala dan disfungsionala : Hubungan interpersonala
yang kurang bermakna, kurang diperhatikan oleh orang tua
• Karakteristik dalam sub sistem keluarga : Remaja dianggap anak kecil sehingga
keputusan dalam keluarga dilakukan oleh orang tua secara otoriter
2. Struktur kekuatan keluarga
• Kekuasaan dipegang oleh ayah selaku kepala keluarga
• Pengambilan keputusan dilakukan oleh orang tua secara otoriter
3. Struktur peran
• Ayah
a) Sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama
b) Sebagai pelindung dan pemberi rasa aman terganggu oleh hadirnya orang ketiga
yang menyebabkan konflik dalam perkawinan rumah tangga
c) Sebagai anggota dari kelompok sosial dan lingkungan masyarakat, tidak pernah
ikut ronda dan mengikuti gotong royong di kompleks perumahan
• Ibu
a) Sebagai pencari nafkah tambahan, saat ini sedang mengikuti pendidikan S2
b) Ibu mengurus rumah tangga sendiri dibantu oleh anakanak sesuai uraian tugas
masing-masing
c) Untuk urusan pendidikan anak di ikutkan les pada jadwal tertentu
• Anak
Remaja tidak mampu melaksanakan peranan psikososial sesuai tingkat
perkembanganya

4. Nilai atau norma keluarga


• Identifikasi nilai-nilai penting keluarga dan prioritas dalam keluarga
• Nilai-nilai yang dipegang teguh oleh keluarga secara sadar maupun tidak sadar

VI. Fungsi Keluarga


1. Fungsi Afektif
Remaja :
a) Kedekatan antara anggota keluarga agak kurang
b) Orang tua yang sering bertengkar membuat anak sedih
c) Dengan perselingkuhan yang dilakukan orang tua anak merasa malu, depresi dan
menarik diri dari lingkungan
2. Fungsi sosialisasi
Mengisolasikan diri dari lingkungan sosial
3. Fungsi perawatan kesehatan
a) Peran keluarga dalam praktek peningkatan kesehatan
b) Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan
c) Peran keluarga dalam mengatasi masalah
d) Peran keluarga dalam memgambil keputusan
e) Peran keluarga dalam memodifikasi lingkungan yang menunjang kesehatan
4. Fungsi reproduksi
Keluarga mempunyai dua orang anak ; sulung perempuan, usia 17 tahun dan bungsu
lakilaki usia 10 tahun
5. Fungsi ekonomi
a) Pengaturan keuangan dikelola secara bersama
b) Keluarga mempunyai tabungan masa depan di bank
c) Sumber penghasilan didapat dari suami dan istri yang bekerja

VII. Stress dan Koping Keluarga


1. Setressor jangka pendek dan jangka panjang : keterbatasan kemampuan dalam hal untuk
memecahkan masalah
2. Kemampuan keluarga untuk berespon terhadap situasai /stressor : Power lessness,
hopelessness, isolation
3. Strategi koping konstruktif yang digunakan : mekanisme koping destruktif
4. Strategi adaptif disfungsional : tidak menggunakan support system

VIII. Pemeriksaan Fisik


1. Kepala : Rambut lurus sebahu, warna hitam, kusam tampak kotor dan tak terurus
2. Muka : Wajah persegi, mata cekung, pandangan sayu dan kosong
3. Hidung : nafas cuping hidung
4. Mulut : bibir tampak pucat, gigi geligi lengkap, keluar muntahan berupa busa-busa
5. Leher : tidak teraba pembesaran kelenjer linve
6. Dada : bentuk simetris, pergerakan dinding dada lambat
7. Perut : tegang, bising usus menurun
8. Exstremitas atas : kuku bersih, capillari refil 4 detik, nadi teraba lambat dan dangkal,
akral dingin
9. Exstremitas bawah : akral teraba dingin
10. Kulit : kuning langsat, bersih
11. Keadaan umum : GCS = 10, kesadaran somnolen
ANALISA DATA
Diagnosa Keperawatan
I. Analisa data
Data Masalah Etiologi
Ny. F keluarga Tn. E
Ds : - Ny. F mengatakan punya waktu Koping indifidu pada b/d kmk dalam hal
efektif untuk keluarga pada Ny. F keluarga Tn. E hubungan
waktu malam saja tidak efektif interpersonal yang
- Ny. F mengatakan masih tidak bermakna
punya waktu shering untuk
anak-anak setelah anak-anak
selesai belajar / sebelum tidur
- Ny. F mengatakan, suaminya
ketahuan ada affair dengan
wanita lain sejak 1 tahun yang
lalu atas laporan Tn. J, suami
Ny. L dan an G pernah melihat
ayahnya dengan wanita lain.
- Ny. F mengatakan
hubunganya dengan Tn. E
kurang harmonis sejak 6 bulan
yang lalu, sebelumnya rumah
tangganya ada harmonis
- Ny. F mengatakan pasarah
dengan keadaan ini
Do : - Orang tua dapat ditemui pada
sore / malam hari
- Pada saat kunjungan, tampak
an H sedang belajar sendiri, an
G tidak terlihat.
- Pada saat kunjungan Tn. E
belum pulang
- Tampak sedih dalam raut
wajah Ny. F
- Ny. F kurus kering dan
tampak tertekan

Dx 2 : Menarik diri dari lingkungan pada an G keluarga tuan E b/d kmk dalam hal support
system
Data Masalah Etiologi
An G keluarga Tn. E
Ds : - Keluarga mengatakan an G Menarik diri dari b/d kmk dalam
bersifata pendiam lingkungan pada an G support sistem
- Keluarga mengatakan an G keluarga Tn E
tidak mempunyai teman akrab
- Keluarga mengatakan an G
banyak mengurung diri di
kamar
- Keluarga mengatakan punya
waktu antara 2 – 3 jam untuk
berkumpul bersama

Do : - Tampak kamar an G berantakan


- An G tampak tak terurus

An G keluarga Tn. E

Data Masalah Etiologi


Ds : - Keluarga mengatakan an G Percobaan bunuh diri b/d kmk dalam hal
tidak lulus ujian SMA pada an G keluarga Tn mengenal tanda-
- Keluarga mengatakan sejak E tanda dan gejala
ketahuan tidak lulus, an G terhadap ancaman
sering melamun dan banyak bunuh diri dalam
mengurung diri di kamar keluarga
- Keluarga mengatakan
sebelumnya prestasi akademik
an G termasuk rengking 10
besar di kelas
- Keluarga mengatakan sejak
melihat ayahnya berselingkuh
dan menyaksikan orang
tuanya bertengkar, an G
menjadi malas belajar dan
tidak mau bergaul
Do : - Pada saat kunjungan rumah,
terdengar an G muntah-
muntah
- Pada saat masuk kekamar an
G, ditemukan an G muntah
dan mulutnya berbusa-busa
ditemukan gelas berisi baygon
dan botol baygon di lantai
- An G tampak gelisah, meracau
dan tampak cyanosis
- Nafas lambat, nadi lambat
- Kesadaran somnolent

II. Prioritas masalah


Dx 1 : Koping Individu pada Ny. F keluarga Tn. E tidak efektif b/d kmk dalam hal hubungan interpersonal
yang tidak bermakna

No Kriteria Bobot Nilai Pembenaran

1. Sifat masalah :

Skala :

• Tidak/kurang sehat/ aktual 3


• Ancaman kesehatan/resiko
• Keadaan sejahtera/
potensial

2 Kemungkinan masalah dapat


dirubah :

Skala :

• Mudah
• Sebagian
• Tidak dapat

3 Potensial masalah untuk dapat


dicegah

Skala :

• Tinggi
• Cukup
• Rendah

4 Menonjolnya masalah
Skala:

• Masalah berat, harus segera


ditangani
• Ada masalah tapi tidak
perlu ditangani
• Masalah tidak dirasakan

Skor

Dx 2 : Menarik diri dari lingkungan pada an G keluarga Tn. E b/d kmk dalam halsupport sistem

No Kriteria Bobot Nilai Pembenaran

1 Sifat masalah : - Keadaan


sejahtera / potensial

Skala :

- Tidak / kurang sehat /


aktual

- Ancaman kesehatan /
resiko

2 Kemungkinan masalah
dapat dirubah

Skala :

• Mudah
• Sebagian
• Tidak dapat

3 Potensial masalah untuk


dicegah

Skala:

• Tinggi
• Cukup
• Rendah

4 Menonjolnya masalah

Skala:

• Masalah berat,
harus segera
ditangani
• Ada masalah tapi
tidak perlu
ditangani
• Masalah tidak
dirasakan

Skor

Dx 3 : Percobaan bunuh diri pada an G keluarga Tn. E b/d kmk dalam halmengenal tanda-tanda dan
gejala terhadap ancaman bunuh diri dalam keluarga

No Kriteria Bobot Nilai Pembenaran

1 Sifat masalah :

Skala :

• Tidak/kurang sehat/ aktual


• Ancaman kesehatan/resiko
• Keadaan sejahtera/potensial
2 Kemungkinan masalah dapat dirubah

Skala :

• Mudah
• Sebagian
• Tidak dapat

3 Potensial masalah untuk dicegah

Skala:

• Tinggi
• Cukup
• Rendah

4 Menonjolnya masalah

Skala :

• Masalah berat harus segera


ditangani
• Ada masalah tapi tidak perlu
ditangani
• Masalah tidak dirasakan

Skor

WOC

Hubungan interpersonal yang tidak bermakna

Support system yang rendah


Isolasi sosial

Percobaan bunuh diri

Intervensi Rasional

• Monitor pola napas -Mengetahui adanya pola nafas tambahan


• Monitor TTV -Mengetahui tekanan darah , pernapasan
• Berikan oksigen Nadi, saturasi normal atau tidak

• Posisikan semi fowler atau -Membantu pernapasan


fowler - Membantu mengurasi rasa sesak

• Menganjurkan asupan - Agar kebutuhan tercukupi

makanan -membantu memenuhi kebutuhan

• Kolaborasi pemberian oksigen dan mengurasi sesak

bronkodilator jika perlu


- Sebagian 1 ½x2=1
- Tidak dapat 0

3 Potensial masalah untuk dicegah 1


Skala :
- Tinggi 3
- Cukup 2 ⅔x1=⅔
- Rendah 1
4 Menonjolnya masalah 1
Skala :
- Masalah berat, harus segera 2 2/1 x1 =2
ditangani
- Ada masalah tapi tidak perlu 1 ½x1=½
ditangani
- Masalah tidak dirasakan 0
Skor 3⅓

WOC
Hubungan interpersonal yang tidak bermakna

Support system yang rendah

Isolasi sosial

Percobaan bunuh diri


Implementasi Evaluasi
Pertemuan 1 (tupen 1)
Dx 1 tanggal
1.1.1 Mengkaji pengetahuan keluarga S : Kalau saya, perilaku yang
tentang perilaku bunuh diri menyebabkan kematian
“ kira-kira menurut ibu, apa O : Sambil kontak mata
yang dikatakan perilaku bunuh
diri”
S:-
1.1.2 Mendiskusikan dengan keluarga O : Mendengar dan memperhatikan
tentang pengertian perilaku
bunuh diri
S:-
1.1.3 Memberikan kesempatan O : Tindakan seseorang yang dapat
keluarga untuk mengulang mengakhiri hidupnya sendiri dalam
kembali waktu singkat
“ Coba ibu ulangi lagi”
S:-
O : Mendengar dan memperhatikan
1.1.4 Memberi reinforcement positif
“ Bagus ya bu, itu sudah benar”
1.2.1 Mengkaji pengetahuan keluarga S : Mengurung diri di kamar
tentang menifestasi klinis Tidak mau bicara dengan siapapun
perilaku bunuh diri O : Berusaha mengungkapkan
pendapat

1.2.2 Mendiskusikan dengan keluarga S : -


tentang manifestasi klinis O : Mendengar dan memperhatikan
percobaan bunuh diri

1.2.3 Mendiskusikan dengan keluarga S : -


faktor pencetus pecobaan bunuh O : sambil memperhatikan
diri (isolation, sedih yang
berkepanjangan tidak mampu
mengatasi masalah)

1.2.4 Memotivasi keluarga untuk S : -


memodifikasi agar percobaan O : Mendengarkan sambil
bunuh diri tidak berulang memperhatikan

1.2.5 Mendiskusikan dengan keluarga S : -


tentang percobaan bunuh diri O : Kepala keluarga aktif bertanya

1.2.6 Memberi kesempatan pada S : Percobaan bunuh diri disebabkan


keluarga untuk mengulang oleh adanya konflik bathin yang
kembali faktor-faktor pencetus tidak terselesaikan
percobaan bunuh diri modifikasi - Modifikasi lingkungan dengan
dan perawatan terhadap an cara menjauhkan hal-hal yang
dengan percobaan bunuh diri berpotensi terhadap percobaan
bunuh diri
- Merawat an percobaan bunuh diri
dengan cara support system
1.2.7 Memanfaatkan fasilitas O :
kesehatan dengan menunjukkan S : Keluarga telah memanfaatkan
kartu berobat fasilitas kesehatan
O : Menunjukkan kartu berobat
Dx I tupen II
II.1.1 Mengkaji kemampuan keluarga S : Anak tidak mampu menghadapi
terhadap resiko percobaan bunuh masalah dan tidak mendapat
diri berulang dukungan dari orang dekat
“ menurut ibu, apa tanda-tanda Anak mengisolasi diri
bila anak ingin melakukan O : Sambil berfikir
percobaan bunuh diri berulang”

II.1.2 Mendiskusikan dengan keluarga S:-


tentang percobaan bunuh diri O : Mendengar sambil memperhatikan
berulang

II.1.3 Menanyakan kembali pada S : Keluarga dapat menjawab


keluarga tentang percobaan pertanyaan dengan lancar
bunuh diri O:-

II.1.4 Memberikan refoircement positif S : -


terhadap jawaban yang benar O:-

Dx I tupen III
3.1.1 Mengkaji kemampuan keluarga S : lakukan pendekatan pada anak
terhadap modifikasi lingkungan - Arahkan anak untuk terlibat dalam
aktivitas spirtual
3.1.2 Mendiskusikan dengan keluarga - Jangan pelit memuji anak
tentang modifikasi lingkungan O : Sambil mengingat-ingat kembali

3.1.3 Menanyakan kembali pada


keluarga tentang modifikasi
lingkungan

3.1.4 Memberikan reinforcement


positif terhadap jawaban yang
benar

Anda mungkin juga menyukai