Anda di halaman 1dari 43

TUGAS KELOMPOK 3

PRE-EKLAMSIA PADA KEHAMILAN


MATA KULIAH PRAKTIK BERDASARKAN BUKTI DALAM PELAYANAN
KEHAMILAN, PERSALINAN DAN NIFAS

Dosen Pengampu:
Dr. RUNJATI, M.Mid

Disusun oleh:

Kirana Aulia P. NIM. P1337424721002


Elisda Fitriyani NIM. P1337424721009
Siska Cahya Widawati NIM. P1337424721012
Siti Zulhijjah NIM. P1337424721019
Hana Nurul Khaeriyah NIM. P1337424721022
Katrin Dwi P. NIM. P1337424721028
Claudia Nurapriliasari NIM. P1337424721029

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM MAGISTER TERAPAN


PROGRAM PASCASARJANA POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kiranya tak ada kata yang lebih pantas untuk diucapkan selain ucapan syukur
yang penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pre-eklamsia pada
kehamilan” ini tepat pada waktunya.

Tujuan penulisan Makalah ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah praktik berdasarkan
bukti dalam pelayanan kehamilan, persalinan dan nifas. Kami mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dr. RUNJATI, M.Mid selaku dosen Mata Kuliah praktik berdasarkan bukti dalam
pelayanan kehamilan, persalinan dan nifas yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Penulis harap tugas kelompok ini bisa bermanfaat, serta saran dan kritik yang bersifat
membangun, penulis nantikan sebagai perbaikan ke masa depan. Semoga Allah SWT selalu
memberikan limpahan rahmat dan taufik – Nya serta membalas semua kebaikan serta amal
baik seluruh pihak yang telah mendukung untuk mendapatkan pahala dan memperoleh Ridho
–Nya, Amin.

Semarang , 12 Februari 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................1


B. Rumusan Masalah......................................................................................................3
C. Tujuan Masalah..........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi pre-eklamsia pada kehamilan.......................................................................5


B. Etiologi Pre-eklamsia pada kehamilan.......................................................................5
C. Manifestasi klinis pre-eklamsia pada kehamilan.......................................................7
D. Klasifikasi pre-eklamsia pada kehamilan..................................................................8
E. Diagnosis pre-eklampsia dan eclampsia....................................................................9
F. Faktor predisposisi pre-eklamsia pada kehamilan.....................................................10
G. Perubahan patologis pre-eklamsia pada kehamilan...................................................10
H. Patogenensis pre-eklamsia pada kehamilan...............................................................13
I. Gejala pre-eklamsia pada kehamilan.........................................................................15
J. Komplikasi Pre eklamsi-Eklamsia pada ibu hamil....................................................18
K. Pemeriksaan pre-eklamsia pada kehamilan...............................................................20
L. Risiko / akibat pre eclampsia.....................................................................................26
M. Akibat pasca pre eclampsia........................................................................................26
N. Pencegahan pre-eklamsia pada kehamilan.................................................................26
O. Penatalaksanaan pre-eklamsia....................................................................................38

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................................37
B. Saran...........................................................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keberhasilan program kesehatan ibu dapat dinilai melalui indikator utama
Angka Kematian Ibu (AKI). Kematian ibu dalam indikator ini didefinisikan sebagai
semua kematian selama periode kehamilan, persalinan, dan nifas yang disebabkan
oleh kehamilan, persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab
lain seperti kecelakaan atau insidental. Angka Kematian Ibu (AKI) adalah semua
kematian dalam ruang lingkup tersebut di setiap 100.000 kelahiran hidup1.
Selain untuk menilai program kesehatan ibu, indikator ini juga mampu menilai
derajat kesehatan masyarakat, karena sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan
kesehatan, baik dari sisi aksesibilitas maupun kualitas. Secara umum terjadi
penurunan kematian ibu selama periode 1991-2015 dari 390 menjadi 305 per 100.000
kelahiran hidup. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan angka kematian ibu,
namun angka tersebut masih jauh dari target penurunan Angka Kematian Ibu (AKI)
yakni 183 per 100.000 kelahiran hidup sesuai Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menjabarkan bahwa pembangunan
SDM diprioritaskan melalui strategi peningkatan layanan dasar dan perlindungan
sosial (termasuk kesehatan), peningkatan produktivitas, dan pembangunan karakter.
Selain itu, target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals
(SDGs) yakni 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Meskipun telah
banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah, AKI belum turun secara signifikan1.
Jumlah kematian ibu yang dihimpun dari pencatatan program kesehatan
keluarga di Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 menunjukkan 4.627 kematian di
Indonesia. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2019 sebesar
4.221 kematian 1.
Menurut McCharty J. Maine DA sebagaimana dikutip Nurul Aeni (2013) sitasi
(Susiana, 2019)2, kematian ibu merupakan peristiwa kompleks yang disebabkan oleh
berbagai penyebab yang dapat dibedakan atas determinan dekat, determinan antara,
dan determinan jauh. Determinan dekat yang berhubungan langsung dengan kematian
ibu merupakan gangguan obstetrik seperti pendarahan, preeklamsi/eklamsi, dan
infeksi atau penyakit yang diderita ibu sebelum atau selama kehamilan yang dapat
memperburuk kondisi kehamilan seperti penyakit jantung, malaria, tuberkulosis,

1
ginjal, dan acquired immunodeficiency syndrome. Determinan dekat secara langsung
dipengaruhi oleh determinan antara yang berhubungan dengan faktor kesehatan,
seperti status kesehatan ibu, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan,
dan perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan. Determinan jauh berhubungan
dengan faktor demografi dan sosiokultural. Kesadaran masyarakat yang rendah
tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan perempuan yang tidak baik, latar
belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik,
serta kebijakan secara tidak langsung diduga ikut berperan dalam meningkatkan
kematian ibu. Sedangkan menurut Detty S. Nurdiati, pakar Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan, penyebab AKI paling tinggi adalah pendarahan.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan RI (2021) tersebut, hipertensi
dalam kehamilan (preeklampsia atau eklampsia) menduduki peringkat kedua sebagai
penyebab langsung kematian ibu setelah perdarahan yakni 1.110 kasus. Penyebab
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan sebanyak 1.330 kasus dan gangguan sistem
peredaran darah sebanyak 230 kasus.
Kementerian Kesehatan RI menjelaskan bahwa preeklampsia merupakan
penyakit yang berbahaya, terutama apabila terjadi pada wanita yang sedang
hamil. Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi3. Hal ini dapat menyebabkan
kematian bagi ibu dan bagi bayi yang akan dilahirkan. Karena tidak ada gejala
atau tanda khas sebagai peringatan dini. Hipertensi dalam kehamilan atau yang
disebut dengan preeklampsia, kejadiannya berkisar antara 2-10% dari total kehamilan
di seluruh dunia. Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan kejadian
preeklampsia di negara berkembang tujuh kali lipat lebih besar (2,8% dari angka
kelahiran hidup) dibandingkan di negara maju (0,4% dari angka kelahiran hidup).
Preeklampsia dikenal sebagai “disease of theories” karena banyak teori yang
menjelaskan tentang penyebab preeklampsia/eklampsia dan sampai saat ini belum
diketahui secara pasti penyebabnya 4.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang
“Pre-Eklamsia pada Kehamilan”.

2
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan preeklamsia pada kehamilan?
2. Apa etiologi preeklamsia pada kehamilan?
3. Bagaimana manifestasi klinis preeklamsia pada kehamilan?
4. Bagaimana klasifikasi preeklamsia pada kehamilan?
5. Bagaimana diagnosis preeklampsia dan eklampsia?
6. Apa saja faktor predisposisi preeklamsia pada kehamilan?
7. Bagaimana perubahan patologis preeklamsia pada kehamilan?
8. Apa saja patogenensis preeklamsia pada kehamilan?
9. Apa saja gejala preeklamsia pada kehamilan?
10. Apa saja komplikasi Preeklamsi-Eklamsia pada ibu hamil?
11. Bagaimana pemeriksaan preeklamsia pada kehamilan?
12. Apa saja risiko preeklamsia pada kehamilan?
13. Bagaimana akibat pasca preeklamsia pada kehamilan?
14. Bagaimana pencegahan preeklamsia pada kehamilan?
15. Bagaimana penatalaksanaan preeklamsia?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, didapatkan tujuan penulisan sebagai
berikut:
1. Menjelaskan definisi preeklamsia pada kehamilan.
2. Menjelaskan etiologi preeklamsia pada kehamilan.
3. Menjelaskan manifestasi klinis preeklamsia pada kehamilan.
4. Menjelaskan klasifikasi preeklamsia pada kehamilan.
5. Menjelaskan diagnosis preeklampsia dan eklampsia.
6. Menjelaskan faktor predisposisi preeklamsia pada kehamilan.
7. Menjelaskan perubahan patologis preeklamsia pada kehamilan.
8. Menjelaskan patogenensis preeklamsia pada kehamilan .
9. Menjelaskan gejala preeklamsia pada kehamilan.
10. Menjelaskan komplikasi Preeklamsi-Eklamsia pada ibu hamil.
11. Menjelaskan pemeriksaan preeklamsia pada kehamilan.
12. Menjelaskan risiko preeklamsia pada kehamilan.

3
13. Menjelaskan akibat pasca preeklamsia pada kehamilan
14. Menjelaskan pencegahan preeklamsia pada kehamilan.
15. Menjelaskan penatalaksanaan preeklamsia.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi pre-eklamsia pada kehamilan


Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan
berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan
gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia,
sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru
terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria)3.
Pre-eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, oedema dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan5.
Preeklampsia merupakan hipertensi dalam kehamilan yang disertai dengan
adanya proteinuria. Kadar protein urin ≥300 mg dalam 24 jam atau terbaca positif 2
(++) pada pengukuran urin pancar tengah (midstream) dengan menggunakan dipstick6
B. Etiologi Pre-eklamsia pada kehamilan
Sampai saat ini belum ada teori yang menjelaskan apa yang menjadi penyebab pasti
terjadinya preeklasi/eklamsia. Bebera teori yang mencoba menjelaskan tentang
etiologi preeklamsia/eklamsia antara lain:
1. Disfusi sel endotel
2. Reaksi antigen-antibodi
3. Perfusi plasenta yang tidak adekuat
4. Perubahan reaktivitas vaskuler
5. Ketidakseimbangan antara protasiklin dan tromboksan
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus dengan retensi air dan garam
7. Penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan sensitivitas system saraf pusat
9. Disseminated intravascular coagulation
10. Iskemia uterus
11. Factor diet
12. Factor genentik.

5
Beberapa teori tersebut, teori yang relatif baru yang dapat mejelaskan tentang
pathogenesis preeklamsia adalah teori disfungsi sel endotel. Pada teori ini,
preeklamsia dikatakan mempengaruhi ibu (disfungsi vascular) dan janin (intrauterine
growth restriction).

Teori lain yang dikemukakan sebagai penyebab preeklamsia/eklamsia adalah teori


iskemia plasenta yaitu pada PE terjadi perubahan pada plasenta, tahap pertama adalah
proses yang mempengaruhi arteri spiralis, yang menyebabkan kurangnya suplai darah
ke plasenta. Tahap kedua terjadi efek iskemia plasenta pada bagian ibu dan janin.

Akan tetapi teori ini tidak dapat menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan
penyakit ini, banyak factor yang sering kali ditemukan dan sering kali sukar
ditemukan mana yang sebab dan mana yang akibat7.

Menurut sumulyo,dkk etiologi preeklampsia belum diketahui pasti. Beberapa teori


yang diduga berkaitan dengan kejadian preeklampsia, yaitu:

1. Iskemia plasenta
2. General vasospasm
3. Abnormalitas hemostasis diikuti dengan aktivasi sistem koagulasi
4. Kerusakan endotel vaskular
5. Abnormalitas nitric oxide (NO) dan metabolisme lipid
6. Aktivasi leukosit
7. Perubahan sitokin yang berkaitan dengan resistensi insulin

Plasenta menerima aliran darah dari beberapa arteri uteroplasenta yang terbentuk dari
migrasi interstitial dan trofoblas endovaskular ke dinding arteriol spiralis. Perubahan
ini menyebabkan arteri uteroplasenta memiliki resistensi rendah, tekanan rendah, dan
aliran tinggi. Pada kehamilan normal, trofoblas menginduksi perubahan pembuluh
darah dari ruang intervili hingga arteriol spiralis awal. Perubahan ini dua tahap, yaitu
konversi segmen desidua pada arteriol spiralis oleh migrasi trofoblas endovaskular
pada trimester pertama dan segmen miometrium pada trimester kedua. Pada
kehamilan dengan preeklampsia, respons plasentasi pembuluh darah ibu tidak
adekuat. Perubahan pembuluh darah hanya ditemukanpada segmen desidua arteri
uteroplasenta, sedangkan segmen miometrium arteriol spiralis terus menunjukkan
karakteristik muskuloelastiknya, sehingga sangat responsif terhadap pengaruh
hormon. Kejadian iskemia plasenta yang menimbulkan gejala klinis preeklampsia

6
dikatakan berkaitan dengan produksi faktor plasenta yang memasuki sirkulasi ibu,
sehingga menyebabkan disfungsi sel endotel. Plasenta menghasilkan protein, yaitu
soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFIt-1). Protein ini bekerja dengan berikatan di
reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF) serta placental like growth factor
(PLGF). Jika kadar protein ini meningkat dalam sirkulasi ibu, kadar VEGF dan
PLFG bebas menurun. Hal ini menyebabkan disfungsi sel endotel. Biasanya kadar
sFIt-1 meningkat di dalam serum ibu dan plasenta pada preeklampsia dibandingkan
kehamilan normal. Peningkatan kadar sFIt-1 berkaitan dengan derajat penyakit.

Pada kehamilan, produksi prostanoid meningkat pada jaringan ibu dan fetoplasenta.
Prostasiklin dihasilkan oleh endotel pembuluh darah serta korteks ginjal. Prostasiklin
merupakan vasodilator kuat dan inhibitor agregasi trombosit. Sedangkan tromboksan
A2 (TXA2) dihasilkan oleh trombosit dan trofoblas, merupakan vasokonstriktor kuat
dan agregator trombosit. Ketidakseimbangan produksi prostanoid atau katabolisme
ini berkaitan dengan preeklampsia. Peroksida lipid dan radikal bebas juga berkaitan
dengan patogenesis preeklampsia6.

C. Manifestasi klinis pre-eklamsia pada kehamilan


Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan : pertambahan berat badan
yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada
preeklampsia ringan tidak ditemukan gejala – gejala subyektif. Pada preeklampsia
berat didapatkan sakit kepala di daerah prontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di
daerah epigastrium, mual atau muntah. Gejala – gejala ini sering ditemukan pada
preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.
Kondisi preeklampsia sangat kompleks dan sangat besar pengaruhnya pada ibu
maupun janin. Gejalanya dapat dikenali melalui pemeriksaan kehamilan yang rutin.
Kendati tak jarang si ibu merasa dirinya sehat-sehat saja. Preeklampsia biasanya
muncul pada trimester ketiga kehamilan. Tapi bisa juga muncul pada trimester kedua.
Bentuk nonkompulsif dari gangguan ini terjadi pada sekitar 7 persen kehamilan.
Gangguan ini bisa terjadi sangat ringan atau parah.
Bila pre-eklampsianya menjadi berat, akan terjadi gangguan pertumbuhan pada janin
(janin menjadi kecil dibanding umur kehamilannya), gangguan penglihatan di mana
penglihatan menjadi kabur, sakit kepala hebat, nyeri uluhati disertai muntah-muntah,
atau tekanan darah (160/110 mmhg). Penyulit lain juga bisa terjadi, yaitu kerusakan
organ-organ tubuh seperti gagal jantung, gagal ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan

7
pembekuan darah, sindroma HELLP, bahkan dapat terjadi kematian pada janin, ibu,
atau keduanya bila pre-eklampsia tak segera diatasi dengan baik dan benar. Penyakit
ini bisa juga terjadi sebelum kehamilan 20 minggu, tapi biasanya disertai penyakit
lain semisal mola hidatidosa (hamil anggur) atau sudah disertai penyakit darah tinggi
sebelum kehamilan.
Teori mutakhir dikemukakan Sibai dan Dekker (1998) yang menyebutkan, ada 4
faktor berperan penting dalam terjadinya pre-eklampsia: Iskemia plasenta (plasenta
atau ari-ari kekurangan oksigen); kekurangan protein (kurang gizi); maladaptasi
imunologi, ketidakmampuan (maladaptasi) sistem imunitas (kekebalan tubuh)
terhadap perubahan yang terjadi akibat proses kehamilan; kelainan genetik (teori
genetika ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut di masa mendatang)8.
D. Klasifikasi pre-eklamsia pada kehamilan
Dalam pengelolaan klinis, preeklampsia dibagi sebagai berikut:
1. Pre-eklampsia
Disebut preeklampsia ringan jika ditemukan: Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg,
tetapi kurang dari 160/110 mmHg dan Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam, atau
pemeriksaan dipstick ≥ 1 + c.
2. Pre-eklampsia Berat
Ditegakkan diagnosa preeklampsia berat jika ditemukan tanda dan gejala sebagai
berikut: Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat: sistolik ≥ 160 mmHg dan
diastolik ≥ 110 mmHg; Proteinuria ≥ 5 gr/24 jam atau dipstick ≥ 2 +; Oligourie <
500 ml/24 jam; Serum kreatinin meningkat; Oedema paru atau cyanosis.
3. Impending Eklampsia
Disebut impending eklampsia apabila pada penderita ditemukan keluhan seperti
(Lipstein, 2003): Nyeri epigastrium; Nyeri kepala frontal, scotoma, dan pandangan
kabur (gangguan susunan syaraf pusat); Gangguan fungsi hepar dengan
meningkatnya alanine atau aspartate amino transferase; Tanda-tanda hemolisis dan
micro angiopatik; Trombositopenia < 100.000/mm3 ; Munculnya komplikasi
sindroma HELLP.
4. Eklampsia
Disebut eklampsia jika pada penderita preeklampsia berat dijumpai kejang kronik
dan tonik dapat disertai adanya koma8.

8
E. Diagnosis pre-eklampsia dan eklampsia
Terjadinya peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mmHg atau
peningkatan tekanan sistolik 15 mmHg atau adanya tekanan sistolik sekurang-
kurangnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sekurangkurangnya 90 mmHg atau lebih
dengan kenaikan 20 mmHg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnosis
preeklampsia.
Kriteria terbaru sudah tidak mengkategorikan preeklampsia, dikarenakan setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.
Preeklampsia hanya ada dua kriteria yaitu preeklampsia dan preeklampsia berat,
dengan kriteria diagnosis sebagai berikut:
1. Preeklampsia
Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan
dengan preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan
adanya proteinurin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala
dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia.
Kriteria minimal preeklampsia yaitu :
a. Tekanan darah >140/90 mmHg yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan
pada wanita dengan tekanan darah yang sebelumnya normal
b. Protein urin melebihi 0,3 g dalam 24 jam atau tes urin dipstick > +1.
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti dengan salah satu tanda
gejala di bawah ini:
a. Gangguan ginjal: keratin serum 1,2 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
b. Edema paru
c. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi traminas 2 kali normal dan atau
adanya nyeri epigastrum/region kanan atas abdomen
d. Trombositopenia: trombosit
2. Preeklampsia Berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia,
dan jika gejala tersebut didapatkan, dikategorikan menjadi kondisi pemberatan
preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria Preeklampsia berat,

9
diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika didapatkan salah satu kondisi klinis
dibawah ini :
a. Tekanan Darah >160/100 mm Hg
b. Proteinuria: pada pemeriksaan carik celup (dipstrik) hasil pemeriksaan > +2 atau
5 g dalam 24 jam
c. Gangguan ginjal: keratin serum 1,2 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
d. Oliguria, dengan ekskresi kurang dari 500 mL urin dalam 24 jam
e. Edema paru atau sianosis
f. Nyeri di daerah epigastrium atau kuadran kanan atas
g. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi traminas 2 kali normal dan atau
adanya nyeri epigastrum/region kanan atas abdomen
h. Trombositopenia: trombosit < 100.000/microliter
i. Didapatkan gejala neurologis: nyeri kepala, stroke, dan gangguan penglihatan
j. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplacenta : oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)9.
F. Faktor predisposisi pre-eklamsia pada kehamilan
1. Usia ibu < 20 tahun atau >35 tahun
2. Usia kehamilan ≥ 37 minggu
3. Riwayat pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
4. Terdapat penyakit hipertensi kronik
5. Kehamilan primigravida
6. Genetik
7. Obesitas
8. Terdapat penyakit vaskuler, ginjal, diabetes mellitus, hipertensi kronis dan
penyakit lainnya
9. Riwayat penyakit kronis
10. Multipara9
G. Perubahan patologis pre-eklamsia pada kehamilan
Pada saat terjadinya mekanisme preeklamsia terdapat beberapa faktor yang memiliki
peran paling penting dalam menyebabkan patofisiologis dimana patofisiologis sendiri
keaadan dimana terdapat gangguan-gangguan dalam keaadan preeklamsia. Keaadn
patofisiologis dalam preeklmasia sendiri belum diketahu secara pasti namun beberapa
study penelitian memperkirakan terjadinya dikarenakan pengaruh multifactorial,

10
contohnya disaat interaksi fakto genetic dan lingkungan dilihat dari sisi maternal,
paternal serta fetus. Beberapa faktor menyebabkan patofisiologis preeklamsia serta
perubahan yang terjadi di antaranya :
1. Patofisiologis preklamsia pada ibu hamil
a. Patofisiologis abnormalitas proses plasentasi secara kehamilan fisiologis
terdapat proses seudovaksularisasi saat sel-sel trofoblas invasid menyerang
tunika media arteri spiralis maternal kemudian berubah khusus nya degenerasi
pada sel sel menggantikan endotel arteri spiralis. Sehingga menyebabkan
pembesaran dalam arteri spiralis namun resistensinya dalam keaadan rendah
mengakibatkan terjadi hamabatan dalam pemenuhuhan nutrisi pada janin.
Dalam trismester pertama akan terjadi proses remodeling dimana akan selesai
dalam minggu ke 18 hingga 20 minggu. Dalam proses tersebut terdapat
bermacam molekul contohnya sitokin, matriks ekstraseluler, metalloproteinase
serta kompleks histokompatibilitas mayor pada ibu dan akan terlibat pada
degenerasiasi trofoblas. Namun pada klien dengan preeklamsia molekul yang
ada tidak dapat di ekspresikan sesuai dengan keadaan semestinya dimana akan
mengakibatkan kegagalan invasi sel trofoblas ke arteri spiralis lim). Proses
remodeling yang memiliki keadaan tidak sempurna diakibat kan dari kegagalan
transformasi sel trofoblas dimana akan menyebakan arteri spiralis akan menjadi
lebih sempit dan keadaan yang tidak elastis. Yang akan mengakibatkan iskemia
relative pada plasenta. Penelitain yang dilakukan dalam kaitan dengan
hipertensi, proteinuria serta pertumbuhan janin menjadi terhambat pada tikus
hamil dikarenakan kondisi iskemia merangsang hypoxia-inducible faktro
dimana akan terjadi peningkatan hypoxia inducuble factor-1 alfa sehingga akan
memperburuk perfusi arteri spiralis untuk merangsang stress oksidatif yang
seharusnya menghasilkan reactive oxygen spesies bila terjadi hipoksia10.
b. Terjadinya patofofisiologis abnomalitas dalam system imun pada ibu dalam
keaadaan normal dimana polarisasi T helper (Tn2) adalah jumlah sel tersebut
lebih mendominasikan terhadap T helper 1 (Th1). Dimana jika Th 1 tersebut
lebih besar atau mendominasi disaat preeklamsia maka akan turt mengakibatkan
ke abnormalitas invasi trofoblas sehingga aka nada kelaiann degenerasi T helper
yang disebabkan karena adanya penurunaan skeresi interleukin-10. Terjadi
ketidakseimbangan dalm proporsi Il-10 dan sitokin proinflamasi diakibatkan
dari terjadinya preeklamsia. Saat terjadi preeklamsia ketidakmampuan dalam

11
c. toleransi dari ibu dengan antigen janin serta plasenta yang mengandung
kelompok paternal terjadi. Dimana kan terjadi maladaptasi atau keaadan sifat
yang lebih memabahayakan ditandai dengan efek hubungan antara sel natural
killer pada uterus terhadap human leukocyte antigen-c pada janin. Seharusnya
system imun pada ibu terkait akan bertindak menoleransi alloantigen janin
dalam keaadan kehamilan normal10.
d. Kemudian patofisiologis preeklamsia selanjutnya adalah dimana terjadi ketidak
seimbangan antara faktor angiogenik dimana dalam kehamilan ibu dengan
keadaan normal plasenta akan memproduksi agen proangiogenik dalam bentuk
VEGF dan PGIF yang memiliki peran utama dalam pemeliharaan endotel,
dimana fungsi khusus endotel terfenestrasi terletak dalam organ-organ yang
memiliki damapak dari preeklamsia. Jika terjadi ketidakseimbangan pada
fungsi angiogenik makan akan menyebabkan kelain fungsi endotel. Kondisi
stress oksidatif akan meningkatkan kadar fungsi antiangiogenik misalnya
soluble fms-like tyrosine kinase-1 dimana terdapat protein yang akan mengikat
dan mencegah pergerakan protein proangiogenik sebagai contoh vascular
endothelial growth factor (VEGF) serta placenta growth factor (PIGF).
Ditemukannya kadar sFlt-1 yang jumlah lebih tinggi di usia kehamilan kurang
dari 34 minggu pada klien dengan preeklamsia ringan maupun berat10.
2. Perubahan system organ pada ibu dan janin
a. Perubahan pada system vascular ibu dimana umumnya pada kehamilan normal
akan terjadi hypervolemia yaitu kondisi dimana cairan pada darah terlalu tinggi
akan tetapi pada ibu dengan preeklamsia menunjukan atau menggambarkan
adanya kebocoran atau pembesaran plasma yang menjadi nilai hematocit
patokan penting dalam pemberian cairan dalam intravena pada akhirnya disertai
dengan penuruan tekanan onkontik intravascular lebih sering dijumpai. Interaksi
dari berbagai molekul vasoaktif merupakan akibat hebat yang ditimbaulkan dari
vasospasme pada ibu dengan preeklamsia11.
b. Terjadi perubahan hematologi seperti anemiagangguan pembekuan darah,
penyakit infeksi atau hemophilia. Pada kasus ibu dengan preeklamsia perubahan
hematologi akan cenderung lebih sering ditemaukan baik pada saat pereklmasia
riangan maupun berat. Biasanya terjadi pada saat sindrom hemolysis, elevated
liver enzymes and low platelets atau help. Dimana dalam kondisi tersebut akan
terjadi trombositopenia mengakibatkan peningkatan aktivasi atau

12
gerak,pembentukan kelompok imun dan kondisi dimana trombosit atau platelet
berjumlah kurang 150 x 109 /L yang merupakan tanda bahwa keadaan menjadi
parah dan terdapat kerusakan pada liver secara signifikan. Pada kondisi
hemolysis dapat ditandai dengan jumlah konsentarsi lactate dehydrogenase lebih
dari 600 IU/L11.
c. Gangguan dari fungsi hati atau hepar merupakan bentuk perubahan secara
system hepatic yang berkaiatan pada nekrosis periportal dimana terjadi
peningkatan kadar aspartate transaminase (AST). Saat terjadi peningkatan
jumlah konsentrasi dari LDH dapat menandakan terjadinya iskemia atau
nekrosis pada jaringan hati atau lever yang akan ada kemungkinan
bermanifestasi pada keaadaan abnormalitas prothrombin time keadaan diwaktu
pemeriksaan hemostatis pada pembekuan darah,partial prothrombin time
dimana berhubungan dengan lamanya terjadinya pembentukan bekuan darah
serta fibrinogen11.
d. Terjadinya perubahan system renal dimana sebagai salah satu penggamaran
kondisi pereklamsia sebagai endoteliosis glomerular yaitu keadaan yang
terdapat kondisi pembengkakan pada sel endothelial serta sel mesangial dimana
sel mesangial berfungsi menjaga integritas glomerulus dan membentuk tangkai
untuk mendukung loop kapiler. Reabsorbsi filtrasi glomerular akan terdeposit di
subendotel da nada juga tubular cast menghasilakan protein. Protein yang
dihasilkan jika terjadi peningkatan permabilitas tubular dengan keadaan besar
seperti albumin, globulin, transferrin dan juga hb akan mengakibatkan
terjadinya proteinnaria, pada preeklamsia aka nada keadaan dimana retansi air
dan sodium maupun oliguria, kadar asam urat pada vasospasme dapat
meningkat menjadi akibat dari produksi asam urat berasal dari janin dan
plasenta akan menurunkan eksresi asam urat pada urine11.
e. Gangguan sirkulasi pada janin diakibatkan adanya perubahan sirkukasi
uteroplasenta yang mengahambat aliran darah kejanin, yang akan menghambata
pertumbuhan janin, oligohidramion, abrutio plasenta dan bisa jadi gawat janin11
H. Patogenensis pre-eklamsia pada kehamilan
Menurut Dekker G.A tahun1998 terdapat 4 jawabansementara atau hipotesa yang
mendasari terjadinya patogensa darai preeklamsia-eklamsia yaitu :

13
1. Iskemia plasenta terjadi akibat peningkatan deportasi sel tropoblast dimana akan
menyebabkan kegagalan invasi kearteria sperialis sehingga akan menyebabkan
terjadinya iskemia (penumpukan plak di pembuluh darah) pada kondisi plasenta12.
2. Mal Adaptasi imun dimana akan mengakibatkan dangkalnya invasi sel troblast
pada arteri spiralis sehingga akan terjadi disfungsi endothel yang disebabkan
karena pembentukan sitokin, enzim proteolitik serta radikal bebas12.
3. Genitik inprenting dimana pada saat terjadinya preeklamsia atau eklmasia akan
memungkinkan terjadi yang disebabkan oleh gen resesif tunggal maupun gen
dominan dengan penetrasi keadaan yang tidak sempurna dimana diperkirakan
kemungkinan penetrasi tersebut tergantung pada genotip janin12.
4. Perbandingan very low density lipoprotein (VLDL dan toxicity preventing activity
(TXPA), sebagai akibat dari peningkatan energy selama kehamilan dimana aka
nada asam lemak non-esterifikasi yang akan dimobilisasi, kadar albumin akan
rendah padda ibu hamil serta peningkatan asam lemak non-esterifikasi berasal dari
jaringan lemak hingga kedalam hati akan mengakibatkan penurunan aktivitas
antitoksi albumin hingga pada titik keberadaan VLDL terekspresikan. Efek toksik
VLDl akan muncul akibat adanya kadar VLDL yang jumlahnya melebihi TxPA.
Oleh sebab itu selama perjalanan keempat faktor tersebut tidak dapat berdiri
sendiri, namun terkadang harus saling berkaitan dengan titi temu pada invasi
tropoblast serta terjadinya iskemia plasenta12.
Menurut jaffe dkk tahun 1995 terdapat dua tahapan dalam perubahan pada
preeklamsia yang dapat menjadi dasar patogenesi yaitu tahapan pertama dimana
hipoksia plasenta terjadi akibat dari berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis,
penyebab utamanya dikarenakan kegagalan invasi sel tropoblast yang terdapat pada
dinding arteri spiralis di awal kehamilan maupun awal trimester kedua kehamilan
sehingga arteri spiralis tidak bisa melebar sempurna akibat dari penuranan aliran
darah pada ruangan intervilus di are plasenta. Keaadan dimana hipoksia plasenta yang
terus menerus dapat membebaskan zat-zat tosis sperti sitokin, radikal bebas yang
berbentuk lipid peroksidase di dalam sirkulasi darah ibu sehingga akan menyebabkan
terjadinya oxidative stress yang merupakan kondisi disaat radikal bebas jumlahnya
lebih banyak dibandingkan antioksidan. Tahapan kedua yaitu oxidative stress dimana
zat toksis yang ada dapat merangsang terjadinya kerusakan di sel endothel pada
pembuluh darah yang sering disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi di seluruh
permukaan endothel pembuluh darah. Ketidak seimbangan produksi zat-zat yang

14
berfungsi Sebago vasokonstriktor misalnya endothelium I, tromboxan serta
angiotensin II akan mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi yang lebih lebar
sehingga terjadi lah hipertensi12.
System koagulasi akan berfungsi jika terdapat peningkatan kadar lipi peroksidase
yang mengakibatkan terhadinya penurunan trombosit maupun pembentukan
thrombus. Setelah terjadi disfungsi endothel pada penderita preeklamsia-eklamsia aka
nada proses lanjutan yang akan menyebabkan disfungsi atau kegagalan organ
misalnya:
a) Hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal pada oragan ginjal
b) Terjadi penyempitan pembuluh darah sitemik ditandai dengan peningkatan
tekanan darah
c) Terdapat oedema paru maupun odema menyeluruh akibat perubahan
permeabilitas pembuluh darah
d) Terjadinya trombositopenia maupun coagulopthi pada darah
e) Terjadi gangguan fungsi hati serta perdarahan pada hepar
f) Terjadi kejang, kebutaan, bahakan pelepasan retina hingga perdarahan yang
terjadi pada susunan saraf pusat dan mata
g) Gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin serta solusio plasenta merupakan
kejadian pada plasenta12.
I. Gejala pre-eklamsia pada kehamilan
1. Pre eklamsi
Pada ibu dengan preeklamsia ringan biasanya akan ditandai dengan
hipertensi disertai dengan proteinuria dan terkadang disertai edema saat usia
keahamilan 20 minggu ataupun setealah persalinan. Namun keaadan tersebut
dapat timbul pada saat sebelum usia kehamilan 20 minggu dimana keadaan
tersebut terjadi pada penyakit trofoblas. Belum ditemukan secara pasti mengenai
penyebab pre eklamsia sehingga keadaan tersebut diangap sebagai “maladaption
syndrome” yang di akibatkan oleh vasospasme general denga segala akibatnya5.
a. Gejala klinis pada preeklamsia ringan sebagai berikut :
1) Pada pengukuran tekanan darah untuk kenaikan sistol 30 mmHg maupun
lebih, dan untuk diastole 15 mmHg bahkan lebih dari tekanan darah pada
saat ibu sebelum hamil untuk usia kehamilan 20 minggu atau lebih. Dapat
dikatakan juga angka sistol 140 mmHg sampai kurang dari 160 mmHG, dan
distol 190 mmHg sampai dengan kurang 210 mmHg5.

15
2) Proteinuria secara perhitungan kuantitatif 0,3 gr/ liter selama 24 jam atau
perhitungan kualitatif positif 2 (+2) 5.
3) Edema pada pretibial, dinding abdomen, lumbosacral, wajah mapun
tangan5.

b. Penatalaksanaan pasien rawat jalan pre eklamsia


1) Perlunya istirahat dan saat tidur dipastikan posisi saat tidur dengan keadaan
miring5.
2) Melakukan diet dengan mengkomsumsi cukup protein, rendah karbohidarat,
lemak dan garam5.
3) Pengobatan sedative ringan : tablet phenobabrbital 2 x 30 mg maupun
diazepam 3 x 2 mg peroral selama 7 hari5.
4) Meminum suplemen atau vitamin (Roborantia) 5.
5) Lakukan pengecekan ulang atau kunjungan ulang setiap 1 minggu5.
6) Melakukan pemeriksaan labolatorian guna mengecek hemoglobin atau hb,
urine lengkap, hematocrit, asam urat dalam darah, kiretin dan fungsi hati5.
2. Pre eklamsi Berat
Pada ibu dengan preeklamsia berat dimana ditandai dengan adanya
hipertensi 160 / 110 mmHg maupun lebih disertai proteinuria dan edema saat
kehamilan 20 minggu maupun lebih 5.
Gejala klinis yang terjadi pada pre eklamsi berat5
a) Tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg
b) Tekanan darah diastolic mencapai lebih dari110 mmHg
c) Terdapat peningkatan pada kadar enzim hati atau icterus
d) Jumlah Trombosit kurang dari 100.000/ mm3
e) Jumlah kadar Oliguari kurang dari 400 ml / 24 jam
f) Keadaan jumlah kadar proteinaria lebih dari 3 g/liter
g) Terasa nyeri di bagian epigastrium
h) Gangguan penglihatan seperti kabur atau istilah medis skotoma serta
gangguan pada leher atau kepala terasa berat
i) Ada beberapa pasien mengalami perdarahan pada retina
3. Eklamsia

16
Tanda yang terjadi pada pasien dengan eklamasia aada yang disebut
dengan konvulsi yaitu kondisi medis pada otot tubuh yang mengalami fluktuasi
konstraksi dan peregangan dengan sangat cepat. Dimana pada ibu hamil eklamsia
terdapat beberapa fase yaitu :
a) Tahap premonitory yaitu tahapan yang dapat terjadi dikarenakan terjadi
kesalahan pada saat observasi ibu tetap. Tahapn ini dengan memeriksa dengan
mata dibuka, ketika wajah dan otot tangan sementara kejang5
b) Tahap tonic dimana hamper seluruh otot-otot pada waniata segera membuat
serangan kejang pada otot yang tidak disengaja. Dimana ditandai dengan
tangan menggengamnya dengan mengepal dan pada lengan akan terjadi
kekakuan. Keaadaan gigi menyatu serta biasanya ada juga yang menggit lidah
kemudian otot respirasinya dalam keadaan kejang, berhenti bernafas dan
warnanya berubah kebiruan atau sianosis. Kejang berlangsung dalam waktu 30
detik 5
c) Tahap klonik saat kejang berhenti, pergerakan otot yang menjadi tersendat dan
semakin lama akan terjadi serangan yang meningkat. Keadaan seluruh
tubuhnya bergerak-gerak dari satu sisi kesisi yang lainnya, sehingga terbiasa,
sering juga terjadi saliva blood- strained terlihat pada bibir5
d) Tahap comatose dimana ibu hamil tidak dalam keadaan sadar terkadang ada
kemungkinan saat bernafas terdengan bunyi. Sianosis memudar akan tetapi
bagian wajah akan terlihat tetap bengkak. Terkadang klien akan sadar dalam
waktu beberapa menit bahkan koma utuk beberapa jam 5
Gejala dan tanda pada eklamsia
Dimana akan mengalami kondisi kejang yang semakin memperburuk setalh gejal-
gejala preeklamsi nyeri kepala, gangguan penglihatan, mual nyeri ulu hati, dan
hiperefleksia. Jika tidak segera di obatai akan timbul kejang, dimana terjadi konvulsi
eklamasia dengan 4 tahapan yaitu :
1) Tahapan awal atau aura dimana berlangsung dalam waktu kurnag lebih 30 menit.
Keadaan mata masih terbuka tanpa melihat, keadaan kelopak mata bergetar dengan
tangan yang sama yaitu bergetar dan keadan kepala yang tidak tenang berputa
kekiri dan kekanan5.
2) Tahapan kejang kronik dengan durasi lebi dari 30 menit dimana seluruh otot
menjadi kaku, wajah tampak kaku, tangan menggemgam dan kaki membengkok ke
arah dalam, pernapsan berhenti, muka menjadi sianotik, lidah dapat tergigit5.

17
3) Tahapan kejang klonik dimana keadaan akan berlangsung selam 1-2 menit,
spasmus tonik menghilang, keadaan semua otot berkontraksi dan terjadi berulang-
ulang dalam durasi tempo yang cepat, mulut membuka dan menutup serta lidah
akan tergigit kembali, keadaan bola mata menonjol, dari mulut keluar ludah yang
berbusa akan menujukan kogesti dan sianosis. Klien akan menjadi tidak sadar,
sehingga keaadn sperti ini akan membuat klien jatuh dari tempat baring yang
akhrinya kejang berhenti dan klien akan menarik nafasa secara mendengkur5.
4) Tahapan koma dimana lamanya koma tidak memiliki kesamaan, dimana klien
akan sadar perlahan-lahan lagi kemudian akan terjadi lagi sebelum timbul serangan
yang berulang sehingga klien akan tetap koma 5.
J. Komplikasi Pre eklamsi-Eklamsia pada ibu hamil
Komplikasi yang terjadi pada ibu hamil dengan preeklamsia adalah :
1. Kematian maternal terjadi akibat efek sekunder dari preeklamsia yang terjadi
akibat akibat eklamsia, tekanan darah yang tidak normal atau tidak terkontrol
atau terjadi akibat perdarahan serebral
2. Morbiditas maternal pada preklamsia ringan biasanya tidak berdampak begitu
besar tetapi jika klien mengalami preeklamsia berat akan dapat mengalami
gagguan hati, ginjal, otak, serta gangguan pembekuan darah. komplikasi yang
yang jarang terjadi namun akan menjadi serius yaitu eklamsia, stroke, hemolis,
terjadi peningkatan pada enzim hati, penurunan jumalah trombosit dan
disseminated intravascuer coagulation.
3. Sidrom Hellp dimana respon inflamasi disertai dengan aktivitas koagulasi
disebabkan oleh partikel sinsisiotrofoblas dan substansi dari plasenta yang
berinteraksi dengan system imun ibu dan sel endotel vaskuler. Sindrop help
ditemakan pada ibu dengan preeklamsi berat. Sindrom hellp yang sering tidak
lengkap akan mengakibatkan peningkatan enzim hati, hemolysis serta
rendahnya jumlah trombosit13.
4. Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosisi tabular yang akut dan terjadi akibat
dari ibu yang mengalami preeklamsia berat, dikarenakan adanya komplikasi
pada ablation plasenta yang dapat menyebakan perdarahan anterpartum. Jika
tuidak ditangani dengan baik menyabkan syok dan hipotensi sehingga akan
mengalami gagl ginjal akut14.

18
5. Gangguan penglihatan biasa terjadi pada preeklamsia berat dimana pengelihatan
ibu tidak berjalan normal namun untuk terjadi kebutan jarang terjadi. Infark
pada retina ataupun nucleus geniculatum dapat menyabkan kebutaan 12.
6. Edema serebri efek yang terjadi dari edema serebri atau edema vasogenik yaitu
latargi, kebingungan, dan dapat terjadi koma14
7. Perdarahan serebral terjadi jika terjadi akiabat jika tekanan darah sistolik
digabungkan dengan jumlah dari trombosit dalam morbiditas preeklamsia akan
menjadi lebih parah jika terjadi kombinasi gangguan endotel, trombositopenia,
dan perubahan tekanan darah yang mendadak akan semakin besar resiko14.
8. Edema paru dimana terjadi pada komplikasi klien dengan preeklamsia berat
dimana terjadi payah jantung ventrikel kiri akibat terjadi peningkatan afterload,
selain kardiogenik, atau bisa terjadi karena adanya kerusakan pad sel endotel
pembulu darah kapiler paru.
9. Eklamsia merupakan komplikasi yang terjadi akibat dari preeklamsia.
10. Post traumatic stress disorder (PTSD) gangguan psikologis setelah paparan
yang mengacam jiwa biasanya dialami dengan kelahiran premature dan
kematian bayi
11. Sytem Inflammatory Response Sydrome (SIRS) terjadi sidrome preeklamsia di
akumulasi dari gangguan sirkulasi oleh disfungsi sel endotel meternal. Dimana
endotel merupak bagian integral dari jaringan inflamasi yang mengaktivasi
leukosit.
12. Indikasi rawat jika ibu mengalami preeklamsia dalam periode koma eklamptik
13. Perdarahan postpartum dimana akan meningkatkan kehilangan darah sebanyak
1,81 kali lipat
14. Sepsis para peneliti di Amerika serikat mengatakn perdarahn postpartum dan
komplikasi pada luka akan memiliki resiko lebih besar diman klien dengan
preeklamsia juga dapat memiliki resiko 3 kali lebih besar mengalami syok
septik.
15. Kematian perinatal 14.
16. Morbiditas perinatal preeklamsia mempengaruhi supalai darah dari ibu ke
palsenta yang dimana kan menggau pertumbuhan janan dalam kandungan ibu
sehingga akan terjadi persalinan premature 14
17. Intra uterine growth restricition (IUGR) diakibatkan keaadan preekalamsi
sebagai komplikasi dalam karakter penuruan aliran darah dan iskemi

19
uteroplasenta yang menjadi faktor resiko yang paling utama, dimana jika ibu
mengalami preeklamsia makan resiko terjadi akan mencapai 2,7 kali lebih besar
untuk melahirakn bayi dengan pertumbuhan yang terhambat14
18. Berat badan lahir rendah dimana akibat dari preeklamsia akan terjadi gangguan
system uteroplasenta
19. Asfiksia
20. Gawat janin
21. Kelahiran premature
22. Trombositopenia terjadi akibat hipoksia 5

Bahaya eklamsia yang akan terjadi

1. Bagi Ibu jika terjadi perbedaan konvulsi serta kelelahan dimana jika frekuensi hati
gagal berkembang secara berulang maka kenaikan tekanan darah akan meningkat
dan bebrap klien akan mengalami cebral hemorrhage. Untuk pasien denagn odema
dan oliguria akan terjadi pembengkakan paru-paru dan gagal ginjal. Inhalasi darah
menunjukan adanya asfiksia atau pneumonia. Terjadi juga keadaan dimana terjadi
kegagalan hepar atau hati5.
2. Bagi janin dimana saat eklamsi antenatal pada janin mempengaruhi ketidakutuhan
plasenta. Dimana akan terjadi gangguan pertumbuhan intrauterine dan hipoksia
dikarenakansuplay oksigen terganggu kejanin atau berkurang.5
Komplikasi yang terjadi yang terberat dari eklamsia adalah kematian ibu dan janin.
Dan komplikasi lain seperti terjadi 5 :
1. Terjadi ketidak normalan keadaan plasenta yaitu solusio plasenta.
2. Permasalahan dalam pembekuan darah hipofirbrinogen.
3. Hemolysis.
4. Perdarahan otak.
5. Kelainan mata.
6. Edema paru-paru.
7. Nekrosias hati.
8. Kelainan pada ginjal prematuritas
9. Komplikasi dimana terdapat trouma, lidah luka karena tergigit dan terjadi fraktur
saat jatuh dan DIC
K. Pemeriksaan pre-eklamsia pada kehamilan

20
Pemeriksaan sebagai Identifikasi Pre Eklampsia
1. Anamnesa
a. Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat
pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara (RR 1,68
95%CI 1,23 - 2,29), maupun multipara (RR 1,96 95%CI 1,34 - 2,87). Usia
muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia secara bermakna. Robillard,
dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia pada kehamilan kedua meningkat
dengan usia ibu (1,3 setiap 5 tahun pertambahan umur; p<0,0001)

b. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat (RR 2,91,
95% CI 1,28 - 6,61) (Evidence II, 2004).
c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendah terhadap sperma.
d. Jarak antar kehamilan
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa
wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Robillard, dkk
melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan
lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak
kehamilan pertama dan kedua; p <0,0001)
e. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko
utama. Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat. Kehamilan pada
wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya
kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal
yang buruk.
f. Riwayat keluarga preeklampsia
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali
lipat (RR 2,90 95%CI 1,70 – 4,93). Adanya riwayat preeklampsia pada ibu
meningkatkan risiko sebanyak 3.6 kali lipat.

21
g. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali. Analisa lebih lanjut
menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat
dibandingkan kehamilan duplet. Sibai dkk menyimpulkan bahwa kehamilan
ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk menjadi preeklampsia
dibandingkan kehamilan normal.
h. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio
juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab
preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari
paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya
peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan
oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin
mengecilnya kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari
pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun
preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama,
frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya apabila
kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek protektif dari
multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan
adanya peningkatan risiko preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali pada wanita
dengan pasangan yang pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia .
i. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes terjadi
sebelum hamil
j. Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat
sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal.
Sindrom antifosfolipid
Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya
antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau
keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat
k. Hipertensi kronik

22
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir
setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan keluaran
maternal dan perinatal yang lebih buruk.
Chappel juga menyimpulkan faktor risiko yang dapat dinilai secara dini
sebagai prediktor terjadinya preeklampsia superimposed pada wanita hamil
dengan hipertensi kronik yaitu :
1) Riwayat preeklampsia sebelumnya
2) Penyakit ginjal kronis
3) Merokok
4) Obesitas
5) Diastolik > 80 mmHg
6) Sistolik > 130 mmHg
2. Pemeriksaan Fisik
a. Indeks masa tubuh > 35
Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
ANC harus ditentukan. Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia
dan risiko semakin besar dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat
berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko
preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2,47
kali lipat, sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil > 35
dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali
lipat. Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan
pada 878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia
pada kehamilan di populasi wanita yang kurus (BMI < 19,8) adalah 2,6%
dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk (BMI > 29,0).11.
b. Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah
peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik. Tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter air
raksa, namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum
atau tensimeter otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru

23
menunjukkan pengukuran tekanan darah menggunakan alat otomatis
sering memberikan hasil yang lebih rendah.
Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan
duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan
darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk, posisi
manset setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan
mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang
sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan agar tercapai
pengukuran tekanan darah yang tepat. Pemeriksaan tekanan darah pada
wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada kedua tangan,
dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi. Hal-hal yang
harus dilakukan pada saat memeriksa tekanan darah ibu untuk mengurangi
kesalahan pemeriksaan tekanan darah :
1) Pemeriksaan dimulai ketika pasien dalam keadaan tenang.
2) Sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa atau yang setara, yang
sudah tervalidasi.
3) Posisi duduk dengan manset sesuai level jantung.
4) Gunakan ukuran manset yang sesuai.
5) Gunakan bunyi korotkoff V pada pengukuran tekanan darah diastolic
c. Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam
24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan
merupakan pemeriksaan yang akurat dalam memperkirakan kadar
proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu, bergantung
pada beberapa faktor termasuk jumlah urin. Pemeriksaan kadar protein
kuantitatif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan
positif 2 berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstik
memiliki angka positif palsu yang tinggi dengan tingkat positif palsu 67-
83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina, cairan
pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian Society for
the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang
dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG)
menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat

24
digunakan sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat
tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung
24 jam atau rasio protein banding kreatinin. Pada telaah sistematik yang
dilakukan Côte dkk disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein
banding kreatinin dapat memprediksi proteinuria dengan lebih baik.
Hal-hal yang harus dilakukan pada saat pemeriksaan proteinuria ibu hamil
untuk mengurangi kesalahan penilaian proteinuria dengan meegakkan
diagnose proteinuria apabila didapatkan secara kuantitatif produksi protein
urin lebih dari 300 mg per 24 jam, namun jika hal ini tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan dapat digantikan dengan pemeriksaan
semikuantitatif menggunakan dipstik urin > 1+.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan apakah ada trombositpeni yaitu trombosit
<100.000/microliter.
2) Pemeriksaan kreatinin untuk mengetahui gangguan ginjal yaitu apabila
didapatkan hasil kreatini serum di atas 1,1 mg/dl atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dibanding kondisi sebelumnya
3) Pemeriksaan transaminase untuk mengetahui gangguan liver yaitu
apabila didapatkan hasil meningkatnya konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri epigastric / regio hanan atas abdomen
b. Pemeriksaan Gejala Neurologis
Dilakukan pemeriksaan adakah gejala neurologis antara lain stroke, nyeri
kepala, dan gangguan visus.
c. Pemeriksaan Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya gangguan sirkulasi uteroplasenta
antara lain oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reserved end diastolic velocity (ARDV)Untuk
memprediksi preeklampsia, pemeriksaan dengan menggunakan Doppler
Ultrasonografi pada kelompok risiko rendah dengan indeks resistensi > 0,58
atau > persentil 90 - 95 menunjukkan likelihood ratio (LR) 4,2 (95% CI 3,6
– 5,1) dan 0,6 (95% CI 0,5 – 0,7) untuk hasil positif dan negatif. Adanya
notching diastolik atau bilateral menunjukkan LR 3,5 (95% CI 3,1–3,9) dan
6,6 (95% CI 5,8 – 7,4) untuk hasil positif dan 0,8 (95% CI 0,7–0,8) untuk

25
hasil negatif. Sedangkan pada kelompok risiko tinggi, indeks resistensi >
0,58 atau > persentil 90 - 95 menunjukkan LR 2,7 (95% CI 2,4 – 3,1) untuk
hasil positif, dan 0,4 (95% CI 0,3– 0,5) untuk hasil negatif. Adanya
notching diastolik atau bilateral menunjukkan LR 2,4 (95% CI 1,9 – 3,1)
dan 2,8 (95% CI 1,6 – 4,8) untuk hasil positif dan 0,6 (95% CI 0,5– 0,7)
untuk hasil negatif. Berdasarkan Cochrane, pemeriksaan Doppler utero -
plasenta tidak menunjukkan perbedaan mortalitas perinatal (RR 1,61; 95%
CI 0,48 – 5,39), hipertensi pada ibu (RR 1,08; 95% CI 0,87 – 1,33), bayi
lahir mati (RR 1,44; 95% CI 0,39 – 5,49), kematian neonatal (RR 2,39;
95% CI 0,39 – 14,83), kebutuhan perawatan khusus neonatal atau unit
intensif (RR 1,12; 95% CI 0,92 – 1,37), persalinan prematur (RR 0,92; 95%
CI 0,51 – 1,65), pertumbuhan janin terhambat (RR 0,98; 95% CI 0,64 –
1,50), resusitasi neonatal (RR 0,94; 95% CI 0,75 – 1,91), skor apgar < 7
pada menit kelima (1,08; 95% CI 0,48 – 2,45) dan seksio sesarea (RR 1,09;
95% CI 0,91 – 1,29). Penelitian kohort menunjukkan pulsality index (PI)
arteri uterina pada usia kehamilan 11 - 13+6 minggu diatas persentil 90,
ditemukan pada 77% pasien preeklampsia onset dini dan 27% pada
preeklampsia onset lanjut, sedangkan persisten PI arteri uterina > persentil
90 pada usia kehamilan 21 - 24+6 weeks ditemukan pada 94% kasus
preeklampsia onset dini dan 37% pasien yang tidak menderita
preeklampsia3.
L. Resiko / akibat pre eclampsia
1. Sindrom HELLP
Sindrom HELLP adalah sindroma khas pada preeklampsia yang ditandai
hemolisis, peningkatan kadar enzim liver, dan penurunan kadar platelet
(trombositopenia). Sindrome HELLP menunjukkan adanya komplikasi berat dari
preeklampsia, namun terdapat sebagian kecil wanita bisa mengalami sindroma
HELLP tanpa preeklampsia
2. Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada pasien preeklampsia yang disertai dengan
kejang dan koma. Eklampsia dapat terjadi pada ante, intra, dan post partum.
Eklampsia postpartum umumnya terjadi pada 24 jam pertama pasca persalinan15.
M. Akibat pasca pre eclampsia

26
1. Wanita dengan riwayat preeclampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskuler, 4
kali peningkatan resiko hipertensi dan 2 kali risiko penyakit jantung iskemik,
stroke dan DVT di masa mendatang.
2. Risiko kematian pada wanita dengan riwayat preeklampsia lebih tinggi, termasuk
yang disebabkan penyakit serebrovaskuler3.
N. Pencegahan pre-eklamsia pada kehamilan
Terminologi umum pencegahan dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu primer, sekunder, dan
tersier. Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan
sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus proses terjadinya penyakit
yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena
penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang
disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan tata
laksana.

1. Pencegahan Primer
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan tanda,
namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan primer
merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya telah
diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari atau
mengontrol penyebab-penyebab tersebut. Praktisi kesehatan diharapkan dapat
mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengontrolnya, sehingga
memungkinkan dilakukan pencegahan primer. Berdasarkan faktor resiko yang
telah diidentifikasi dapat membantu dalam melakukan penilaian risiko kehamilan
pada kunjungan awal antenatal. Perlunya dilakukan skrining risiko terjadinya
preeklampsia untuk setiap wanita hamil sejak awal kehamilannya berdasarkan
faktor resiko pre-eklamsia yang telah diketahui. Pencegahan primer juga dapat
dilakukan dengan menjaga berat badan ibu hamil agar tetap ideal, mengatur pola
makan sehat, dan menghindari stress, dan diet rendah garam, lemak serta
karbohidrat dan tinggi protein untuk menjaga kenaikan berat badan.
2. Pencegahan Sekunder
a. Istirahat
Istirahat di rumah (4 jam/hari atau 2 x 15 menit/hari ditambah suplementasi
nutrisi dapat menurunkan risiko preeklampsia. Istirahat di rumah tidak
direkomendasikan untuk pencegahan primer preeklampsia. Tirah baring tidak

27
direkomendasikan untuk memperbaiki luaran pada wanita hamil dengan
hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria). Istirahat berbaring dapat dilakukan
dengan berbaring pada sisi kiri dan bergantian ke sisi kanan bila perlu
sehingga dengan istirahat edema dan hipertensi dapat berkurang.
b. Retriksi atau pembatasan garam
Pembatasan garam untuk mencegah preeklamsia dan komplikasinya selama
kehamilan tidak direkomendasikan.
c. Penggunaan aspirin dosis rendah
Penggunaan aspirin dosis rendah untuk pencegahan primer berhubungan
dengan penurunan risiko preeklamsia, persalinan preterm, kematian janin atau
neonatus dan bayi kecil masa kehamilan, sedangkan untuk pencegahan
sekunder berhubungan dengan penurunan risiko preeklamsia, persalinan
preterm < 37 mgg, dan BBL < 2500 gram. Penggunaan aspirin dosis rendah
(75mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi preeklampsia pada wanita
dengan risiko tinggi namun sebaiknya mulai digunakan sebelum usia
kehamilan 20 minggu. Penggunaan aspirin dosis 75 mg atau kurang cukup
aman diberikan pada kelompok resiko tinggi untuk menurunkan risiko
preeklamsia baik sebagai pencegahan primer atau sekunder.
d. Suplementasi kalsium
Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada
wanita dengan asupan kalsium yang rendah. Penggunaan aspirin dosis rendah
dan suplemen kalsium (minimal 1g/hari) direkomendasikan sebagai prevensi
preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya preeklampsia.
Pemberian kalsium (1,5-2 gram) berhubungan dengan penurunan HDK
(hipertensi dalam kehamilan) dan preeklamsia pada wanita dengan asupan
rendah kalsium dan risiko tinggi preeklamsia. Pemberian kalsium juga
berhubungan dengan penurunan risiko morbiditas berat dan mortalitas
maternal, dan persalinan preterm. Pemberian kalsium dapat dilakukan pada
wanita yang memiliki resiko tinggi preeklamsia dan rendah asupan kalsium
untuk mencegah terjadinya preeklamsia. Suplementasi kalsium dapat
diberikan setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu.
e. Suplementasi antioksidan
3. Pencegahan Tersier

28
Pencegahan tersier merupakan upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat atau membatasi kecacatan yang terjadi serta melakukan tindakan
rehabilitasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan:
a. Pemeriksaan tekanan darah setelah melahirkan setiap 4 jam selama 48 jam
b. Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum
c. Melakukan pemantauan jumlah urine3
O. Penatalaksanaan pre-eklamsia
1. Manajemen Ekspektatif atau Aktif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran
perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan
kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP (Hemolysis
Elevated Liver Enzymes Low Platelet), angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas
perinatal. Berat lahir bayi rata-rata lebih besar pada manajemen ekspektatif,
namun insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian
kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan
intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal.
a. Perawatan Ekspektatif pada Preeklampsia tanpa Gejala Berat
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia
tanpa gejala berat dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan
evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat
2) Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat
3) Evaluasi ketat yang dilakukan adalah:
a) Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
b) Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
c) Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu
d) Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2
kali dalam seminggu) untuk memantau pula apabila pertumbuhan
e) janin terhambat15

29
b. Perawatan Ekspektatif pada Preeklampsia Berat
1) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia
berat dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat
kondisi ibu dan janin stabil
2) Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan
untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan
tersedia perawatan intensif bagi maternal dan neonatal
3) Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat,
pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu
pematangan paru janin

30
4) Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan
rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif
2.

Stabilisasi Tekanan Darah


Penanganan hipertensi akut dapat mencegah risiko komplikasi
cerebrovascular dan cardiovascular pada ibu dengan preeklampsia, yang
merupakan penyebab terbanyak mortalitas dan morbiditas maternal. Obat
penurun tekanan darah harus diberikan pada kondisi:
a) Tekanan darah 2 160/110 mmHg
b) Tekanan darah 2 140/90 mmHg dengan komorbiditas (gangguan organ lain)
Pada ibu dengan hipertensi berat (>160/110 mmHg), obat penurun tekanan
darah diberikan dengan target menurunkan tekanan darah < 160/110 mmHg. Pada
ibu dengan peningkatan tekanan darah 140-159/90-109 mmHg, target penurunan
tekanan darah tergantung ada tidaknya komorbiditas. Jika ibu memiliki
komorbiditas maka tekanan darah harus diturunkan < 140/90 mm Hg, sedangkan
tanpa komorbiditas tekanan darah dapat diturunkan sampai 130-155/80-105 mm
Hg.

31
Pada hipertensi berat, obat pilihan utama: kapsul nifedipine short acting,
hydralazine intravena atau parenteral labetolol. Alternatif lain adalah:
methyldopa oral, labetolol oral, atau clonidine oral. Nifedipine dapat diberikan
dengan dosis awal 3 x 10 mg per oral, dengan dosis maksimal 120 mg/hari.
Nifedipine tidak boleh diberikan secara sublingual. Tidak diperbolehkan
memberikan obat jenis Atenolol, ACE inhibitor, Angiotensis Receptor Blockers
(ARB) dalam kehamilan.
3. Pencegahan Kejang
Magnesium Sulphate (MgSO4) adalah obat pilihan pertama dalam
mencegah kejang pada kasus preeklampsia berat. Magnesium Sulphate dapat
menurunkan risiko eklampsia/kejang pada wanita dengan preeklampsia sebesar
58%. MGSO4 adalah obat pilihan untuk pencegahan eklamsia, menurunkan 59%
resiko eklamsia, 36% solusio plasenta, dan 46% kematian maternal. Diazepam
dan Phenitoin tidak lagi menjadi obat pilihan utama dalam pencegahan kejang.
Toksisitas MgSO4 berupa hilangnya refleks patella, despresi respirasi, perubahan
kondisi jantung, dan cardiac arrest. Syarat pemberian MgSO4 adalah:
a) Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu Calcium Gluconas 10% = 1 gr (10%
dalam 10 cc) diberikan intra vena (IV) selama 3 menit
b) Refleks patella (+) kuat.
c) Frekuensi pernafasan > 16x/menit dan tidak ada tanda-tanda distress nafas.
d) Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kg.bb./jam) atau >
30cc/jam

4. Pemberian MgSO4
MGSO4 diberikan sebagai antikejang dengan dosis awal (loading dose) 4-6
gram/intra vena perlahan dengan MgSO4 20%, dilanjutkan dengan 10 gram
MgSO4 40% intra muskular disuntikkan ke bokong kiri dan kanan kemudian
diulang setiap 6 jam sebanyak 6 gram MgSO4 40%. Pemberian ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan syringe pump sebesar 1 gram/jam/intravena
MgSO4 40%. Dapat pula diberikan loading dose dengan 4 gram MgSO4 40%
dalam 100cc NaCl selama 30 menit (73 tetes/menit) dan maintanance dose
dengan 6 gram MgSO4 40% dalam 500cc Ringer Laktat selama 6 jam (28
tetes/menit). Pemberian sulfas magnesikus dapat dihentikan bila:

32
a) Ada tanda-tanda intoksikasi magnesium
b) Setelah 12-24 jam pasca persalinan
Tata cara pemberian MgSO4 untuk mencegah kejang pada preeklamsia, yaitu:
a) Alternatif I (Kombinasi IV dan IM)
Dosis Inisiasi
1) Injeksi 4 g IV (MgSO4 30 %) 20 cc selama 5-10 menit (jika tersedia
MgSO4 40%, berikan 10 cc ditambah 10 cc aqua)
2) Injeksi 10 g IM (MgSO4 40%) perlahan selama 5 menit, masing-masing
pada bokong kanan dan kiri berikan 5g. Dapat ditambahkan 1 ml
Lidokain 2% untuk mengurangi ketidaknyamanan
Dosis Pemeliharaan
Injeksi 5g IM (MgSO4 40%) perlahan selama 5 menit pada bokong
bergantian setiap 6 jam hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir.
b) Alternatif II (Pemberian IV saja)
Dosis Inisiasi
Injeksi 4g IV (MgSO4 30 %) 20 cc selama 5-10 menit (jika tersedia MgSO 4
40%, berikan 10 cc ditambah 10 cc aqua)
Dosis Pemeliharaan
Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1 g/jam dengan syringelinfusion pump,
contoh: sisa 15 cc MgSO4 40% (6 g MgSO4) ditambahkan 15 cc aqua
(syringe pump) atau 500 cc RL/RD (infusion pump) dan dapat diberikan
selama 6 jam.
Jika didapatkan kejang ulangan setelah pemberian MgSO4
Tambahkan MgSO4 20% 2g (10 cc) IV dengan kecepatan 1 g/menit, dapat diulang
2 kali. Jika masih kejang dapat diberikan Diazepam 5-10 mg IV dalam 1-2 menit,
dapat diulang hingga dosis maksimal 30 mg (pilihan lain: Midazolam dan
Lorazepam). Catatan: cara pemberian MgSO4 pada kasus rujukan disesuaikan
dengan jumlah dosis dan lama pemberian yang telah diberikan dari tempat
merujuk.
Syarat pemberian MgSO4: laju nafas > 12x/menit, refleks patela (+), produksi
urine: minimal 100 cc/4 jam sebelum pemberian tersedianya Calcium Glukonas
10% sebagai antidotum.

34
33
Evaluasi syarat pemberian MgSO4 setiap akan memberikan dosis pemeliharaan
(IM, berkala/intermiten), pada “Alternatif I” dan setiap jam jika menggunakan
“Alternatif II” (continous infusion, syringe pump/infusion pump).
MgSO4 diberikan hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir
5. Pemberian MgSO4 pada Kejang Ulangan

Kejang ulangan pada wanita yang telah mendapatkan MgSO 4 dapat diterapi
dengan injeksi bolus MgSO4 2 gram, atau peningkatan kecepatan tetesan syringe
pump sampai 1.5-2.0 gram/jam. Jika setelah tatalaksana ini masih terjadi kejang,
maka obat alternatif seperti Diazepam atau Thiopentone dapat diberikan dosis
tunggal, karena pemberian Diazepam berkepanjangan dihubungkan dengan
kematian maternal. Adapun keuntungan pemberian MgSO4 per injeksi ialah:

a. Pasien tetap sadar, berbeda dengan pemberian barbiturates, obat penenang,


dan narkotika, sehingga kecil kemungkinan terjadi gangguan pernapasan dan
aspirasi asam lambung.
b. MgSO4 tidak menimbulkan akibat buruk bagi janin
c. Pengobatan MgSO4 mudah pemberiannya dan bila terjadi keracunan mudah
diatasi
d. MgSO4 menambah aliran darah ke rahim dan menambah konsumsi oksigen ke
otak
Pemakaian Diazepine sebagai obat anti kejang ternyata mulai ditinggalkan, hal ini
dikarenakan:
a. Dizepine menurunkan kesadaran pasien, sehingga kedalaman gangguan
kesadaran sukar dinilai dan kemungkinan timbulnya gangguan pernapasan
serta aspirasi asam lambung lebih besar
b. Untuk berkhasiat sebagai obat anti kejang dibutuhkan dosis yang lebih tinggi
c. Diazepine melewati plasenta dan berada dalam janin relatif lama, sehingga
janin yang baru lahir sering mengalami hypotamia dan depresi
d. Harga Diazepine relatif mahal.
6. Keseimbangan Cairan
Resitriksi cairan dianjurkan pada kondisi preeklampsia berat, disebabkan
meningkatnya risiko overload cairan pada intra atau postpartum. Total cairan
masuk harus dibatasi sampai 80 ml/jam atau 1 ml/kg/jam. Diuretikum tidak boleh
diberikan, kecuali jika ada gejala edema paru, gagal jantung kongestif, atau

34
edema anasarka. Pemberian diuretikum akan memperburuk kondisi ibu dan janin
karena memperberat hipovolemia, mengurangi perfusi utero plasenta,
meningkatkan hemokonsentrasi, dan menimbulkan dehidrasi pada janin.
7. Pemberian Kortikosteroid untuk Maturasi Paru Janin
Kortikosteroid harus diberikan pada ibu preeklamsia dengan usia kehamilan
< 34 minggu. Pemberian steroid pada wanita yang terancam persalinan prematur
(spontan atau iatrogenik) sangat signifikan menurunkan mortalitas dan morbiditas
neonatal. Adapun pilihan steroid untuk maturasi paru janin diantaranya:
a. Dexamethasone 4 x 6 mg IM setiap 12 jam atau 2 hari pemberian
b. Betamethasone 2 x 12 mg IM setiap 24 jam atau dalam 2 hari pemberian15

Alur persalinan konservatif

Penatalaksanaan
Bed rest dengan
konservatif pre- Rawat inap di rumah sakit
menurunkan aktivitas fisik
eklamsia ringan:

Pemeriksaan laboratorium:
Evaluasi janin dengan pemeriksaan protein dalam urin
(untuk dievaluasi setiap dua Sering melakukan
USG (pada saat masuk hari), hematokrit, hitung pengukuruan TD (tekanan
rumah sakit dan setelah itu trombosit, kadar kreatinin, dan darah)
dua minggu sekali) fungsi hati (untuk dievaluasi
dua kali seminggu)

Lahirkan bayi jika


Pemberian antihipertensi
Keadaan janin dengan kandungan pasien telah
Methyl Dopa dan
profil biofisika (NST dan cukup umur atau ketika
Mifedipin bila diastolic >
indeks cairan ketuban dua terdapat tanda-tanda
90. Hindari pemberian
kali seminggu) ketidakstabilan ibu atau
diuretic
janin.

Alur Persalinan Kegawatdaruratan Preeklamsia Berat

a. Segera masuk rumah sakit


b. Tirah baring
c. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang. Regimen
pemberian MgSO4 dapat mengacu pada tata cara pemberian di atas. Pilihan
metode pemberian dapat disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya di faskes
masing-masing.
35
e. Pemberian antihipertensi dan mempertahankan tekanan darah di bawah 160/110
mmHg dapat diberikan Nifedipin dan Metildopa.
f. Pemberian antihipertensi parenteral bila dijumpai tekanan darah > 180/110. Dapat
digunakan Nicandipin drip

Royal College of Obstetricians and Gynecologists (RCOG) memberikan


panduan mengenai langkah-langkah penatalaksanaan Kegawatdaruratan Eklampsia:
a. Panggil bantuan (dokter spesialis obgyn, dokter anestesi, bidan, perawat, dan
lainnya), hendaknya tidak meninggalkan ibu sendiri
b. Pastikan ibu tidak mengalami cedera saat kejang (akibat benturan dengan benda
di lingkungannya, terjatuh, atau menggigit lidah), pasang sudap lidah.
c. Setelah selesai kejang, taruh ibu pada posisi miring kiri, posisi kepala
dimiringkan dan diarahkan ke bawah untuk mencegah aspirasi, dan pasang
oksigen.
d. Nilai jalan napas dan pernapasan, bebaskan jalan napas (ABC/Airway Breathing
Circulation)
e. Jika memungkinkan, dapat dipasang pulse oximetry untuk menilai oksigenasi
jaringan.
f. Memberikan MgSO4 sesuai dosis awal jika ibu belum pernah menerima MgSO4
sebelumnya. Jika ibu sudah pernah mendapatkan MgSO 4, maka berikan sesuai
dosis regimen ulangan kejang.
g. Jika kejang menetap dengan dosis ulangan, maka dapat dipertimbangkan
pemberian obat alternatif lain (Diazepam dan Thiopentone),
h. Jika kejang masih menetap perlu dipertimbangkan intubasi untuk melindungi
jalan nafas dan mempertahankan oksigenasi
i. Jika kondisi ibu sudah stabil, harus disiapkan perawatan lanjutan di fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi (sekunder-tersier) yang memiliki fasilitas ICU dan
NICU.

Asuhan BBL (Bayi Baru Lahir) dengan Ibu Pre-Eklamsia

Bayi baru lahir dari seorang ibu yang menderita pre-eklamsia atau hipertensi
kronis mungkin menderita IUGR dan terkena masalah seperti hipotermia,
hipoglikemia, dan kelainan bawaan. Adapun asuhan pertolongan pertamanya, yaitu:

a. Ikuti langkah-langkah resusitasi bayi baru lahir sesuai dengan prosedur

36
b. Berikan suhu lingkungan ruang perawatan dan penanganan yang hangat
c. Periksa kadar glukosa BBL dengan menggunakan strip glukosa dalam waktu satu
jam pertama untuk menyisihkan kemungkinan hipoglikemia
d. Manifestasi hipoglikemia:
1) Letargi, penghisapan yang buruk, hipotermia, gawat nafas atau apnea, sianosis,
gemetar, dan kejang
2) Glukosa darah < 40 mg/dL15

37
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan


adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan
berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan
gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia,
sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru
terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria).
Menurut sumulyo,dkk etiologi preeklampsia belum diketahui pasti. Beberapa teori
yang diduga berkaitan dengan kejadian preeklampsia, yaitu:
1.Iskemia plasenta
2.General vasospasm
3.Abnormalitas hemostasis diikuti dengan aktivasi sistem koagulasi
4.Kerusakan endotel vaskular
5.Abnormalitas nitric oxide (NO) dan metabolisme lipid
6.Aktivasi leukosit
7.Perubahan sitokin yang berkaitan dengan resistensi insulin
B. SARAN
1. Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan
Diharapkan agar petugas pelayanan kesehatan dapat melakukan tindakan promotif
terhadap preeklampsia dan tindakan yang cepat dan tepat dalam menangani
kejadian preeklampsia dan mencegah agar preeklampsia tidak sampai menjadi
eklampsia.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan agar masyarakat dapat mengenali faktor-faktor risiko dan tanda-tanda
preeklampsia sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan agar
tidak berlanjut ke eklampsia.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2020.; 2020.


https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-Tahun-2020.pdf

2. Susiana S. Angka Kematian Ibu : Faktor Penyebab Dan Upaya Penanganannya.


2019;XI.

3. POGI. PNPK Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. Published online 2016:1-48.

4. Akbar MIA. Overweight, Obesitas, Pertambahan BB Berlebih Selama Hamil, dan


Hubungannya dengan Preeklampsia. air langga university.
https://www.unair.ac.id/site/article/read/4036/overweight-obesitas-pertambahan-bb-
berlebih-selama-hamil-dan-hubungannya-dengan-preeklampsia.html

5. Indrawati ND, Damayanti FN, Nurjanah S. Pendidikan Kesehatan Kehamilan Resiko


Tinggi Berbasis Tinggi (LCD dan Leaflet). In: FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG; 2019:17-
214.

6. Ganot S, Iswari WA, Pardede TU, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia Berat
Tidak Tergantung Proteinuria. Cdk-255. 2017;44(8):576-579.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/23_255Praktis-Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklampsia Berat Tidak Tergantung Proteinuria.pdf

7. Indriani N. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Preeklamsia pada Ibu


Bersalin di RSUD Kardinah Kota Tegal Tahun 2011. Published online 2012:963-970.

8. Anasiru MA. Pengaturan Gizi pada Penanganan Preeklampsia. Heal Nutr J.


2015;I(1):62-72.

9. . Y. Studi Fenomenologi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Preeklampsia. J Kebidanan. 2020;12(01):20. doi:10.35872/jurkeb.v12i01.362

10. Rana S, Lemoine E, Granger J, Karumanchi SA. Preeclampsia: Pathophysiology,


Challenges, and Perspectives. Circ Res. 2019;124(7):1094-1112.
doi:10.1161/CIRCRESAHA.118.313276

11. Espinoza J, Vidaeff A, Pettker christian m, Simhan H. Gestational Hypertension and


Preeclampsia - Clinical Management Guidelines for Obstetrician – Gynecologists.
Obstet Gynecol. 2019;133(76):168-186.

12. dr. supriyatingingsih, SpOG MK, dr. Nur Shani Meida, SpM MK. Kehamilan Dan
Gangguan Pengelihatan.; 2020.

13. Johnston AN, Batts TL, Langohr IM, Moeller C, Liu CC, Sones JL. The bph/5 mouse
model of superimposed preeclampsia is not a model of hellp syndrome. Biology
(Basel). 2021;10(11):1-10. doi:10.3390/biology10111179

14. Phipps EA, Thadhani R, Benzing T, Karumanchi SA. Pre-eclampsia: pathogenesis,


novel diagnostics and therapies. Nat Rev Nephrol. 2019;15(5):275-289.
doi:10.1038/s41581-019-0119-6

15. Hidayati AN, Alfian MIAA, Rosyid AN. Gawat Darurat Medis Dan Bedah. Vol 8.;
2018. adm@aup.unair.ac.id

Anda mungkin juga menyukai