Modul- 07/PJ.042/2013
2013
UNTUK KEPENTINGAN DINAS
DISCLAIMER
Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka peningkatan kapasitas dan
kompetensi pegawai Direktorat Jenderal Pajak khususnya Pemeriksa Pajak dalam memahami
proses bisnis dari bidang industri rokok.
Materi dalam modul ini bersumber dari berbagai literatur, narasumber, ketentuan formal,
pengalaman tim penyusun dan sumber lainnya.
Informasi/bahan-bahan ajar yang ada dalam modul ini hanya untuk kepentingan internal
Direktorat Jenderal Pajak, digunakan sebagai bahan ajar dan bukan dimaksudkan sebagai aturan
dalam pemeriksaan pajak atau pelaksanaan tugas.
PENGHARGAAN
Ucapan terima kasih diberikan kepada tim penyusun atas segala jerih payah dalam penyampaian
informasi/bahan yang berharga ini, sehingga tersusun modul ini. Semoga hasil karya ini menjadi
bagian amal baik bagi tim penyusun dan membawa manfaat bagi penggunanya.
TIM PENYUSUN
Penanggungjawab :
Freddy Dwi Artanto - Kepala SubDirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan
Ketua Tim :
Sirmu - Kepala Seksi Teknik Pemeriksaan
Penyusun :
Tim Kanwil DJP Jawa Tengah I:
Dawam Bunyamin
Wawan Ridwan Raya Hasiholan Sibuea
Teguh Wiratno Sumardiyono
Fendi Setiawan Arry Subyantoro
Adang Sutiawan Rafael Essavenda Wibisono
Editor :
Suwarsono – Pemeriksa Pajak
Ramot Immanuel A L Tobing- Pelaksana Seksi Evaluasi dan Kinerja Pemeriksaan
DISCLAIMER ............................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
1. Gambaran Umum Industri Rokok ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2. Industri Rokok Di Indonesia ...................................................................................... 2
2. Perkembangan Industri Rokok Di Indonesia .................................................................... 4
BAB II ........................................................................................................................................ 6
PROSES BISNIS........................................................................................................................ 6
1. Proses Bisnis Industri Rokok ........................................................................................... 6
1.1. Input ......................................................................................................................... 6
1.2. Processing ...............................................................................................................11
2. Sistem Akuntasi Industri Rokok ......................................................................................23
BAB III .......................................................................................................................................25
PERATURAN DAN DATA TERKAIT .........................................................................................25
1. Peraturan dan Aspek Perpajakan ...................................................................................25
1.1. Peraturan .................................................................................................................25
1.2. Aspek Perpajakan....................................................................................................26
2. Peraturan dan Instansi Terkait ........................................................................................28
3. Data Pihak Ketiga Terkait ...............................................................................................30
3.1. Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ...........................................................30
3.2. Data dari pihak lain ..................................................................................................34
BAB IV ......................................................................................................................................36
PERSIAPAN DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN ......................................................................36
1. Persiapan Pemeriksaan ..................................................................................................36
2. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan .....................................................................................37
3. Dokumen Dan Data Yang Diperlukan .............................................................................39
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan data Departemen Perindustrian, jumlah produksi rokok dalam lima tahun
terakhir memang mengalami peningkatan, dari 223 miliar batang pada 2004 menjadi 240
miliar batang pada 2008. Peningkatan rata-rata 4,78 persen per tahun. Sementara itu,
penerimaan cukai untuk tahun yang sama meningkat dari Rp 29,1 triliun menjadi Rp 49
triliun, atau meningkat rata-rata 13,64 persen per tahun. Pada tahun 2009, realisasi
penerimaan cukai menunjukkan peningkatan sebesar 6,4 persen, yaitu dari Rp 51,3 triliun
pada tahun 2008 menjadi Rp 54,5 triliun pada tahun 2009. Dari jumlah penerimaan cukai
2009 tersebut, sebanyak Rp 53,3 triliun atau 97,6 persen dari total penerimaan cukai berasal
dari cukai hasil tembakau, dengan pertumbuhan 6,7 persen. Faktor utama yang mendorong
naiknya penerimaan cukai ditengah lesunya perekonomian dalam tahun 2009 adalah
diberlakukannya kenaikan tarif terhadap cukai tembakau dengan rata-rata kenaikan 7
persen.
pertumbuhan produksi rokok sesuai dengan kesepakatan peta jalur industri hasil tembakau
antara pemerintah dengan pengusaha rokok.
Selain penerimaan cukai, industri rokok juga memberikan kontribusi yang cukup
besar pada penerimaan pajak, terutama PPN dan PPh Badan. Empat besar perusahaan
rokok di Indonesia, yaitu Gudang Garam group, Sampoerna Group, Djarum Group, dan
Bentoel Group, merupakan perusahaan-perusahaan berskala raksasa di Indonesia, dan
pajak yang mereka bayarkan, baik PPN, PPh, maupun PPh
pemotongan/pemungutan(PotPut), mengambil porsi yang cukup signifikan dalam penerimaan
negara dari sektor perpajakan.
Industri rokok di Indonesia di dominasi oleh produk rokok bercengkeh atau yang
lebih dikenal dengan nama rokok kretek. Industri ini pada awalnya hanya dibuat dengan
tangan (sekarang dikenal dengan nama sigaret kretek tangan/SKT). Meskipun saat ini mesin
pembuat rokok telah dipakai secara luas oleh pabrik-pabrik rokok, namun SKT masih tetap
dipertahankan, bahkan mempunyai penggemar yang setia.
Rokok dibedakan menjadi beberapa jenis. Perbedaan ini didasarkan atas bahan
pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok, dan penggunaan
filter pada rokok.
- American blend :
Sweet aromatic anissed & typical acid fruit, chocolate & fermented, contohnya,
Marlboro dan Lucky Strike.
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan 2
Modul Pemeriksaan – Industri Rokok 2013
- Virginian blend :
Typical Virginia smoke taste & fermented acid taste, termasuk English type dan
Asia Type. Contohnya, Ardhath, 555, dll )
ii. Rokok Kretek: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan
cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
- high flavor :
iii. Rokok Klembak: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau,
cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma
tertentu.
i. Sigaret Kretek Tangan (SKT):rokok yang proses pembuatannya dengan cara digiling
atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana.
ii. Sigaret Kretek Mesin (SKM): rokok yang proses pembuatannya menggunakan mesin.
Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. Keluaran
yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Saat ini mesin
pembuat rokok telah mampu menghasilkan keluaran sekitar enam ribu sampai
delapan ribu batang rokok per menit. Mesin pembuat rokok, biasanya, dihubungkan
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan 3
Modul Pemeriksaan – Industri Rokok 2013
dengan mesin pembungkus rokok sehingga keluaran yang dihasilkan bukan lagi
berupa rokok batangan namun telah dalam bentuk pak. Ada pula mesin pembungkus
rokok yang mampu menghasilkan keluaran berupa rokok dalam pres, satu pres berisi
10 pak. Sayangnya, belum ditemukan mesin yang mampu menghasilkan SKT karena
terdapat perbedaan diameter pangkal dengan diameter ujung SKT. Pada SKM,
lingkar pangkal rokok dan lingkar ujung rokok sama besar. Sigaret Kretek Mesin
sendiri dapat dikategorikan kedalam 2 bagian :
- Sigaret Kretek Mesin Full Flavor (SKM FF): rokok yang dalam proses
pembuatannya ditambahkan aroma rasa yang khas. Contoh: Gudang Garam Filter
Internasional, Djarum Super, dll.
- Sigaret Kretek Mesin Light Mild (SKM LM): rokok mesin yang menggunakan
kandungan tar dan nikotin yang rendah. Rokok jenis ini jarang menggunakan
aroma yang khas. Contoh: A Mild, Clas Mild, Star Mild, U Mild, LA Light, Surya
Slim, dll.
i. Rokok Filter (RF): rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.
ii. Rokok Non Filter (RNF): rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus.
Sejarah rokok di Indonesia tidak diketahui secara pasti, namun kisah rokok kretek
bermula dari kota Kudus. Menurut kisah yang hidup dikalangan pekerja rokok, riwayat rokok
kretek bermula dari penemuan Haji Djamari, penduduk kota Kudus, pada akhir abad ke-19,
yang bereksperimen mencampur rajangan cengkeh ke dalam rokok lintingannya, untuk
mengobati rasa sakit di dadanya. Pada masa itu, merokok lintingan berisi rajangan
tembakau sudah menjadi kebiasaan kaum pria.
Setelah secara rutin merokok rokok ciptaannya, Djamari merasakan rasa sakitnya
hilang. Ia kemudian menawarkan penemuannya ini kepada kerabat dan kenalannya.
Beritapun segera menyebar dengan cepat, dan Djamari melayani banyak permintaan rokok
“obat” ini. Rokok ini menimbulkan bunyi “kretekkretek”, sehingga pada akhirnya dikenal
dengan nama rokok kretek. Djamari meninggal tahun 1890.
Sepuluh tahun kemudian, masih di daerah kudus, seorang kusir bernama Nitisemito,
menikahi pedagang rokok klobot bernama Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai
pelopor rokok kretek. Nitisemito kemudian mengembangkan produk ini dengan mendirikan
pabrik rokok dengan merek “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo”, yang kemudian diganti menjadi
Tjap Bulatan Tiga, atau yang lebig dikenal dengan sebutan Bal Tiga. Usaha ini berkembang
pesat, sampai pada tahun 1924 nitisemito mampu membangun pabrik besar di desa Jati,
Kudus.
Pada tahun 1930 -1940 an, berdiri beberapa pabrik rokok yang menjadi pesaing dari
Bal Tiga, yaitu Minak Djingga (1930) yang kemudian berubah menjadi Nojorono (1940),
Djamboe (1937), Djarum (1950), dan Sukun (1950). Kemunculan competitor ini, dan
ditambah dengan adanya perselisihan para pewaris, menyebabkan Bal Tiga runtuh.
Sementara itu, di Jawa Timur, pada tahun 1910 berdiri perusahaan rokok HM.
Sampoerna di Surabaya, disusul oleh PR Tjap Bentoel di Malang pada tahun 1931, dan
Gudang Garam di Kediri. Era pemakaian mesin pada industri rokok di mulai ketika PR Tjap
Bentoel menggunakan mesin yang mampu menghasilkan 6.000 batang rokok per menit.
Gudang Garam, HM. Sampoerna, segera menyusul, begitu juga dengan Djarum, Djamboe
Bol, Nojorono, dan Sukun di Kudus. Sampai saat ini, terdapat empat kota penting dalam
industri rokok, yaitu Kudus, Kediri, Malang dan Surabaya.
Pada saat ini, industri rokok di Indonesia di dominasi oleh empat perusahaan besar
yang berbentuk perseroan terbatas, yaitu Grup Gudang Garam di Kediri, Grup Sampoerna di
Surabaya, Grup Djarum di Kudus, dan Grup Bentoel di Malang. Meskipun demikian, masih
sangat banyak industri rokok berskala kecil dan menengah yang masih berbentuk usaha
perorangan.
BAB II
PROSES BISNIS
Proses bisnis adalah suatu kumpulan aktivitas atau pekerjaan terstruktur yang saling
terkait untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu atau menghasilkan suatu
produk/layanan tertentu, demi mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Devenport,
Proses bisnis adalah aktivitas yang terukur dan terstruktur untuk memproduksi output
tertentu untuk kalangan pelanggan tertentu, yang mempunyai urutan yang spesifik
dari aktivitas kerja lintas ruang dan waktu, dengan suatu awalan dan akhiran, dan
secara jelas mendefinisikan input dan output.
Proses bisnis adalah kumpulan aktivitas yang membutuhkan satu atau lebih inputan
dan menghasilkan output yang bermanfaat/bernilai bagi pelanggan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, terdapat tiga komponen penting dari proses bisnis
perusahaan manufakturing, yaitu input, proses produksi, dan output.
Dalam industri rokok, selain ketiga komponen di atas terdapat komponen penting yang lain,
yaitu distribusi/pemasaran.
1.1. Input
a. Pabrik(Plant)
Perusahaan yang bergerak di bidang industry (misalnya rokok), baik yang berbentuk
usaha perorangan maupun berbentuk badan usaha, membutuhkan suatu tempat
untuk melakukan kegiatan proses produksinya. Pada jaman dahulu, kegiatan
produksi rokok dilakukan di rumah-rumah. Pada saat ini perusahaan rokok sudah
memiliki pabrik tersendiri.
Untuk memproduksi rokok SKT, perusahaan rokok membutuhkan tempat yang lebih
luas daripada yang digunakan untuk memproduski SKM. Meskipun untuk
memproduksi SKM tidak membutuhkan lahan yang luas, namun karena harga mesin
untuk memproduksi SKM relatif mahal, maka biaya penyusutan dan pemeliharaan
mesin biasanya menjadi komponen yang signifikan.
b. Tenaga Kerja (Labor)
Seperti telah diungkap pada bab sebelumnya, perusahaan rokok di Indonesia, baik
yang berskala sangat besar maupun kecil, masih mempertahankan adanya rokok
yang diproduksi dengan tangan, atau yang biasa disebut dengan istilah sigaret kretek
tangan (SKT). Oleh karena itu, Industri rokok di Indonesia masih mempertahankan
metode padat karya, meskipun mereka juga tidak mengabaikan padat modal, yaitu
memproduksi rokok dengan menggunakan mesin-mesin otomatis.
Dari kondisi tersebut, perusahaan rokok di Indonesia masih mempunyai komponen
biaya tenaga kerja yang cukup besar.
c. Bahan
Bahan yang digunakan dalam industri rokok terutama adalah tembakau dan cengkeh.
Selain ke dua macam bahan utama tersebut, industi rokok juga menggunakan bahan
lainnya yaitu, pembungkus rokok (kertas ambri, daun tembakau lembaran, klobot, dan
kawung), kemasan (grenjeng, pak, sloop, bal/karton box), plastik pembungkus, pita
cukai, dan bahan pembantu lainnya.
Dalam industri rokok, pembelian bahan sangat perlu mendapatkan perhatian yang
serius, karena pada proses pembelian bahan inilah banyak terjadi hal-hal yang tidak
diungkapkan seluruhnya.
Untuk keperluan pembahasan yang lebih mudah dan jelas, maka dalam modul
ini, pembelian bahan akan diuraikan tiap jenis bahan. Hal ini disebabkan karena tiap
bahan mempunyai karakteristik pembelian yang berbeda-beda.
i. Tembakau
Karakteristik Tembakau
1. Virginia, yang juga dijuluki tembakau terang karena warnanya yang kuning ke
oranye, diperoleh dari proses flue-curing.
3. Oriental, yang berdaun kecil dan beraroma tinggi dibantu proses sun-curing.
Tanaman tembakau itu sendiri kasar dan berbau, dengan daun yang besar
dan menjurai dari satu pusat batang. Tanaman itu dipotong saat ketinggian
tertentu, agar segala kekuatan tanaman itu diarahkan ke perkembangan daunnya
yang berharga. Biji tembakau sangat kecil, satu sendok makan dapat berisi
hingga 60.000 biji. Satu tanaman tembakau dewasa dapat menghasilkan jutaan
biji. Masa penuaian tembakau berkisar antara 2-5 bulan setelah bibitnya ditanam,
tergantung kepada jenis tembakaunya. Daun tembakau saat dituai berwarna
hijau dan tidak mempunyai karakter, warna dan rasa sebelum melewati proses
curing atau pengeringan.
Pembelian Tembakau
i.impor
ii. Lokal :
ii. Cengkeh
Cengkeh merupakan bahan utama rokok kretek selain tembakau. Dari
jaman dahulu kala, Indonesia adalah produsen cengkeh besar di dunia. Hal inilah
yang mungkin menyebabkan pemakaian cengkeh dalam industri rokok di
Indonesia begitu dominan, dibandingkan dengan industri rokok di benua Eropa
maupun benua Amerika.
Perusahaan rokok di Indonesia biasanya membeli cengkeh dengan
beberapa cara yaitu :
i. impor
ii. Lokal :
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan 9
Modul Pemeriksaan – Industri Rokok 2013
d. Energy
Perusahaan rokok di Indonesia menggunakan tenaga listrik sebagai sumber
energinya, baik yang bersumber dari PLN maupun genset/generator.
Energi listrik dibutuhkan terutama untuk sarana penerangan seperti lampu dan mesin
pencetak rokok khusus untuk sigaret kretek mesin yaitu dari mesin yang mengolah
tembakau dari press sampai branding pita cukai.
e. Bahan Kemasan
Bahan penolong kemasan biasanya dibeli dari pabrikan kemasan rokok secara lokal
maupun impor.
1.2. Processing
a. Proses Pengolahan Bahan Baku Sebelum Produksi
Bahan baku untuk industri rokok harus mengalami pemrosesan tertentu terlebih
dahulu sebelum dapat dipakai dalam proses produksi/pembuatan rokok yang
sebenarnya. Hal ini karena tembakau dan cengkeh sebagai bahan baku utama
industri rokok, belum dapat dipakai pada saat dipanen. Proses pengolahan bahan
baku rokok adalah sebagai berikut :
1. Tembakau
Daun tembakau kering, sebelum siap untuk dijadikan bahan baku rokok,
memerlukan proses pengolahan yang panjang dan rumit, yaitu dimulai dari
pemisahan gagang-gagang, pembersihan benda-benda asing, perajangan, untuk
Slicing
Dalam proses ini kubus tembakau kering hasil press dari supplier tembakau
yang masih padat dipotong menggunakan mekanisme guillotine (macam alat
penggal). Pemotongan ini bisa dilakukan searah ataupun tegak lurus lapisan
daun tembakau. dari hasil pengamatan hasil produksi metode slicing tegak
lurus menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik daripada metode
horizontal. Proses Slicing harus dilakukan dengan kecepatan makan (feed
rate) dan (width) besar potong yang konstan untuk menjaga hasil agar sesuai
standar proses.
Conditioning
mudah hancur karena kering. Setiap jenis tembakau mempunyai karakter fisik
yang berbeda sehingga perlakuan terhadap setiap jenis tembakau dalam
proses conditioning juga harus berbeda. Jenis jenis tembakau seperti
tembakau Virginia, Burley, Madura, Lombok, Oriental, Jawa, dan lain lain
memiliki cara conditioning yang berbeda beda, kalau dilakukan dengan
metode yang salah bisa bisa malah merusak tembakau.
Cutting/Rajang
Cutting adalah proses paling Critical dari semua proses lamina atau stem,
Kualitas hasil potong akan secara langsung mempengaruhi karakteristik
produk akhir. Mekanisme proses cutting menggunakan drum pisau yang
berputar dengan kecepatan tertentu yang memiliki korelasi dengan kecepatan
feeding material cutting. Kualitas hasil potong dapat dipertahankan dengan
melakukan perawatan dan penggantian spare part mesin cutting secara
berkala. Kebersihan dan perawatan harian mesin juga tidak kalah penting
dalam menunjang proses. Biasanya pabrik rokok memiliki lebih dari 1 mesin
cutter untuk back up.
Blending
Casing/Casing Flavor
- fermented block
- tobacco softener/smoother (licorice)
- tobacco enchancer/improver (tabac-tabac)
- burning and preservative agent
- body replacer (cocoa)
- fixative
Proses casing membutuhkan tangki casing dan dosing sistem. Tanki
Casing harus mempunyai sistem pemanasan dan pengadukan agar
casing tetap homogen selama proses. Dosing sistem secara otomats
akan melakukan pengukuran rasio casing yang harus di “dose”
terhadp tembakau.
Di beberapa perusahaan, proses casing bisa dilakukan bersamaan
dengan conditioning, dengan menggunakan mesin DCCC (dirct
conditioning and casing cylinder).
Storage
Ada bermacam macam metode storage yang digunakan oleh pabrik rokok.
Ada yang menggunakan Blending Silo (untuk continue process) ada pula yang
menggunakan Bag /karung dan Tobacco Bin kotak penyimpanan tembakau.
Proses storage ini sangat penting karena proses homogenisasi juga
berlangsung selama masa tinggal tembakau di dalam storage. Proses
homogenisasi ini terjadi karena sifat higroskopik tembakau sehingga tembakau
yang kurang atau berlebihan mendapatkan dosing Flavour akan mencari
keseimbangan (equilibrium) dengan cara memberikan atau mengambil Flavour
dari tembakau yang saling kontak permukaan.
2. Cengkeh
Cengkeh dengan kualitas tinggi yang dibeli akan mengalami proses sebagai
berikut :
a. Pembersihan
Seperti pada tembakau, pada cengkeh juga sering terdapat benda-benda lain
yang harus dihilangkan agar tidak mengganggu proses produksi maupun cita
rasa pada produk akhir. Oleh karena itu, cengkeh juga mengalami proses
pembersihan dari benda-benda asing (foreign material classification)
b. Perajangan
c. Pengeringan
d. Pencampuran/blending
e. Storage
Tembakau dan cengkeh yang telah melalui proses sebagaimana diuraikan di atas,
akan dicampur dengan komposisi sedemikian rupa sehingga tercapai cita rasa
yang diinginkan. Setiap perusahaan rokok mempunyai resep pencampuran yang
berbeda-beda. Blending antara tembakau dan cengkeh ini sangat menentukan
cita rasa produk akhir rokok. Hasil pencampuran antara tembakau blend dan
cengkeh blend ini biasanya disimpan dalam silo-silo selama beberapa waktu
(minimal 24 jam) sebelum digunakan dalam proses pembuatan rokok.
4. Saos/flavor
Saos adalah bumbu masak pada industri rokok. Saos digunakan pada proses
flavoring tembakau, baik proses casing flavor maupun top flavor. Apabila
perusahaan rokok membeli/memesan saos yang sudah jadi, maka saos tersebut
sudah siap dipakai dalam proses flavoring, tanpa pengolahan lebih lanjut. Namun
bila perusahaan membeli bahan-bahan compound flavoring, maka bahan tersebut
5. Pembungkus rokok
6. Kemasan
a. Pack/Etiket
b. Sloop
c. Dooz/Bal
Dooz adalah kemasan besar yang berisi Sloop-sloop rokok. Jumlah pack
dalam satu dus, berbeda-beda antara satu perusahaan dengan perusahaan
lainnya.
Seluruh jenis kemasan di atas biasanya dibeli sudah siap dipakai tanpa
memerlukan proses apapun.
7. Filter
Dalam industri rokok, terdapat beberapa bahan pembantu seperti plastik, kertas
grenjeng, stripping band, dll. Bahan pembantu lainnya ini tidak dibahas terlalu
jauh dalam modul ini.
Pelintingan Rokok
Rokok sigaret dibuat dengan cara dilinting. Pelintingan rokok dilakukan dengan
memasukkan isi rokok ke dalam kertas rokok, kemudian melintingnya. Melinting
rokok ini dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu :
c. Output
Produk akhir yang menjadi output dari industri rokok di Indonesia adalah rokok
kretek, rokok putih, dan cerutu. Rokok yang telah dilekati pita cukai, kemudian di kemas
dalam sloop. Sloop ini kemudian dipacking dengan dus/bal. Pengepakan produk rokok
dengan sloop dan bal mempunyai tujuan untuk pemasaran dan distribusi.
Satu bungkus atau satu pack berisi beberapa batang rokok kretek banyaknya
tergantung dari permintaan konsumen dan kebijaksanaan para pengusaha sendiri. Satu
bungkus bisa berisi 8,10,12, dan 16 batang rokok kretek.
Beberapa pack/bungkus rokok kretek, biasanya dibungkus satu pres/sloop. Biasanya
satu pres berisi 20 unit dan proses pembungkusannya dikerjakan dengan cetakan yang
dibuat dari kayu. Setiap 10 pres dapat dikemas kembali menjadi satu bos/doz/bal rokok
kretek. Ukuran kemasan bos biasanya digunakan untuk memenuhi pesanan rokok di
daerah sekitar Pulau Jawa. Setiap 10 bos di kemas kembali menjadi satu peti. Biasanya
kemasan peti digunakan untuk pesanan dalam jumlah besar dari daerah di luar Pulau
Jawa.
Bahan penolong kemasan biasanya dibeli dari pabrikan kemasan rokok secara lokal
maupun impor.
d. Distribusi
Sebelum membahas jalur distribusi rokok, maka terlebih dahulu dibahas jenis-jenis
usaha rokok. Industri rokok secara garis besar dapat berbentuk perusahaan
perseorangan atau berbentuk badan usaha. Perusahaan perseorangan terdiri industri
yang bersifat pabrikan dan industri yang bersifat rumahan (home industry). Sedangkan
industri rokok yang berbentuk badan usaha seluruhnya bersifat pabrikan. Secara grafis
dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Industri Rokok
Pola industri ini akan menentukan pola distribusi. Selain itu, skala usaha juga
merupakan variabel penentu pola distribusi. Secara garis besar pola jalur distribusi rokok
dapat dibedakan berdasarkan jenis usaha : pabrikan dan industri rumahan. Sehingga
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan 19
Modul Pemeriksaan – Industri Rokok 2013
terdapat 2 pola utama jalur distribusi rokok. Secara grafis dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Pola 1– Jalur distribusi rokok yang biasanya dilakukan oleh perusahaan perorangan
yang dilakukan dengan pola home industri.
Pola distribusi rokok ini biasanya dilakukan oleh industri rokok yang berbentuk
perorangan yang bersifat home industri yang berskala kecil. Hingga saat ini belum ada
penelitian seberapa besar jumlah produksi yang dilakukan dengan home industri. Rokok
yang diproduksi sebagian besar merupakan SKT dan pangsa pasarnya merupakan
masyarakat berpenghasilan rendah. Pemasaran dilakukan oleh karyawan, bahkan oleh
pengusahanya sendiri. Produk dijual kepada para pengecer yang kemudian
menyalurkannya kepada konsumen. Rokok hasil home industri ini banyak ditemui di
pasar-pasar tradisional, dan biasanya hanya dikemas dalam plastik, dan beberapa tanpa
merk. Dari kacamata Ditjen Bea Cukai, pengusaha golongan ini termasuk golongan kecil
sekali (KS) yang pada tahun 2002 hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 10 milyar
atau 0,04% dari total penerimaan cukai sebesar Rp 23,01 trilyun. Dari sisi penerimaan,
kontribusi golongan ini sangatlah kecil, bahkan lebih kecil dari ongkos cetak cukai yang
besarnya Rp 91 milyar. Meskipun lebih banyak cost-nya dibanding benefit-nya, namun
Ditjen Bea Cukai tetap mempertahankan golongan ini karena sektor ini dapat
mengurangi jumlah pengangguran (Sunaryo, 2003).
Pola 2– Jalur distribusi rokok yang biasanya dilakukan oleh perusahaan perorangan
maupun badan usaha dengan bentuk pabrikan.
Canvasing
Pabrikan
Pola kedua biasanya dilakukan oleh perusahaan perorangan maupun badan usaha
yang bersifat pabrikan, dan biasanya berskala menengah dan besar. Canvasing
biasanya dilakukan oleh industri dengan skala menengah, sedangkan perusahaan
dengan skala besar lebih banyak menggunakan jasa distributor. “Pemberhentian”
selanjutnya adalah pedagang besar, pengecer baru kemudian ke konsumen. Namun
ada kalanya pedagang besar juga bertindak sebagai pengecer. Rokok yang
diperdagangkan dapat berupa SKT, SKM baik kretek maupun rokok putih.
Berdasar pola-pola diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pola jalur distribusi rokok
ditentukan terutama oleh skala usaha dan cara berusaha (pabrikan atau home industri).
Hal ini tentunya dengan alasan efisiensi dan efektifitas. Apabila dihubungkan dengan
Kep. Menkeu No.17/PMK.04/2006 tanggal 01-03-2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Menkeu No.43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai
Hasil Tembakau) maka pengusaha SKT, KLM, KLB atau SPT dengan golongan III
cenderung merupakan pengusaha dengan skala kecil, sedangkan lainnya, merupakan
pengusaha berskala besar atau menengah.
Gambaran lain tentang tata niaga rokok, dapat dilihat pada bahan sosialiasi
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2002 tanggal 26 Februari 2002. Dalam
makalah tersebut dijelaskan bahwa jalur distribusi rokok meliputi :
1) Pabrik rokok;
3) Agen;
4) Pengecer/Asongan.
e. Pemasaran
Iklan melalui televisi mempunyai dua segmen dasar yaitu penglihatan (visual) dan
(audio), misalnya kata-kata, musik, atau suara lain. Proses penciptaannya biasa dimulai
dengan gambar karena televisi lebih unggul di dalam teknik gambarnya yang dapat bergerak.
Di samping itu kata-kata dan suara juga harus diperhatikan. Bentuk-bentuk iklan televisi
sangat tergantung pada bentuk siarannya, apakah merupakan bagian dari suatu kongsi,
jaringan, kabel, atau bentuk lainnya. Menurut (Khasali, 1992, hlm.148) bentuk-bentuk iklan
televisi tersebut antara lain adalah :
1. Persponsoran
2. Partisipasi
Merupakan pemasangan iklan yang dilakukan pada saat terjadi pergantian acara di
televisi.
Iklan ini biasanya dibuat atas dasar permintaan pemerintah atau suatu lembaga
swadaya masyarakat yang biasanya berisi himbauan kepada masyarakat.
Pihak-pihak yang menjadi sasaran produsen untuk memasarkan produknya ada beberapa
tahapan di antaranya adalah:
Pihak agen
Pihak pengecer
Lain lagi pihak pengecer,pihak pengecer menjual produknya kepada pihak pengecer
kecil ( penjualan kecil ). Pihak pengecer dapat menjual produknya dalam jumlah banyak atau
dalam Jumlah sedikit. Seperti : per Pak,per Slop,1 lusin,20 bungkus,10 bungkus,1
bungkus,dll. Biasanya yang membeli produk dari pihak pengecer itu berjualan di sekitar
rumah.
Pihak penjual kecil biasanya hanya menjual produk rokok dengan kuantitas barang
yang terbatas. Seperti: per bungkus, ½ bungkus, 10 batang, 5 batang,1 batang, dll.
Konsumen yang menjadi incaran adalah warga di sekitarnya,dengan adanya pengecer kecil
ini warga tidak perlu lagi membeli dalam jumlah yang banyak.
Masyarakat dapat membeli rokok sesuai dengan kemauan seberapa banyak dia ingin
mengkonsumsi Rokok tersebut dan seberapa banyak uang yang dimiliki untuk membeli rokok
tersebut.
Buku dan dokumen yang terkait sistem akuntansi industri rokok di antaranya dokumen
ekspor impor, invoice penjualan, faktur pajak, invoice pembelian, surat jalan, dokumen
permintaan bahan baku, dokumen pemakaian bahan baku, dokumen permintaan, pembelian
dan pemakaian pita cukai, dll.
BAB III
PERATURAN DAN DATA TERKAIT
1.1. Peraturan
Pasal 2
(1) Atas penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Pengusaha Pabrik
hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil
tembakau, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan hasil tembakau dihitung
dengan menerapkan tarif efektif dikalikan dengan Harga Jual Eceran.
(3) Besarnya tarif efektif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan sebesar 8,4 %
(delapan koma empat persen).
Pasal 3
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan hasil tembakau dipungut oleh
Pengusaha Pabrik hasil tembakau atau Importir hasil tembakau dan disetorkan ke Kas
Negara bersamaan dengan saat pembayaran Cukai atas pemesanan Pita Cukai hasil
tembakau.
(2) Atas impor hasil tembakau yang dibuat di luar negeri yang telah dilunasi Pajak
Pertambahan Nilainya sebagaimana tersebut dalam ayat (1) tidak lagi dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai Impor.
(3) Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memakai
formulir Surat Setoran Pajak yang bentuknya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Dalam hal pembayaran Cukai hasil tembakau lebih awal dari saat jatuh tempo baik
sebagian maupun seluruhnya, bersamaan pula dilunasi jumlah Pajak Pertambahan Nilai
yang sebanding dengan Cukai yang dibayar.
(5) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan pengawasan pelaksanaan penyetoran
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersamaan dengan pengawasan
pembayaran Cukainya.
Pasal 4
(1) Harga Jual Eceran hasil tembakau atas penyerahan hasil tembakau yang diberikan
secara cuma-cuma kepada karyawan pabrik adalah sebesar 50% dari Harga Jual Eceran
hasil tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum.
(2) Harga Jual Eceran hasil tembakau atas penyerahan hasil tembakau yang diberikan
secara cuma-cuma kepada pihak ketiga adalah sebesar 75% dari Harga Jual Eceran
hasil tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum.
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Keputusan Menteri
Keuangan ini tidak berlaku untuk Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Golongan Pengusaha
Kecil Sekali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
Dalam hal terdapat pengembalian cukai, maka atas Pajak Pertambahan Nilai yang telah
dibayar yang besarnya sebanding dengan Cukai yang dikembalikan, diperhitungkan dengan
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai pada saat pembayaran Cukai atas pemesanan pita
cukai berikutnya.
Peraturan yang terkait dengan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri hasil
tembakau adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2008 tentang Nomor
Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.04/2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara
Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena
Cukai untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau.
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.011/2010 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai
Hasil Tembakau.
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.04/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 108/PMK.04/2008 tentang Pelunasan Cukai
f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.04/2009 tentang Penimbunan,
Pemasukan, Pengeluaran, dan Pengangkutan Barang Kena Cukai.
Cukai tidak dipungut atas barang kena cukai yang berasal dari Pabrik atau Tempat
Penyimpanan apabila dimasukkan ke dalam Pabrik lainnya untuk digunakan sebagai bahan
baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang
kena cukai. Pengeluaran Barang Kena Cukai (BKC) mengunakan dokumen Pemberitahuan
Mutasi Barang Kena Cukai (PMBKC) tujuan ekspor ditujukan untuk melindungi pengeluaran
BKC dari Pabrik atau Tempat Penyimpanan. PMBKC dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dengan
peruntukan :
a. Lembar ke-1 untuk melindungi pengeluaran dan pengangkutan BKC.
b. Lembar ke-2 untuk Bendaharawan KPPBC yang mengawasi Pabrik/ Tempat
Penyimpanan.
c. Lembar ke-3 untuk Pengusaha Pabrik/ Tempat Penyimpanan
Terhadap Barang Kena Cukai yang diekspor mendapatkan fasilitas tidak dipungut
cukai. PMBKC tujuan ekspor adalah pemberitahuan pengeluaran BKC yang belum dilunasi
cukainya dari Pabrik/Tempat Penyimpanan untuk tujuan ekspor. Digunakan sebagai
dokumen pelindung pengeluaran dan pengangkutan dari pabrik/ tempat penyimpanan
sampai di pelabuhan muat.
Pita cukai yang rusak adalah pita cukai yang kurang sempurna cetakannya dan
belum dilekatkan pada barang kena cukai.
Pita cukai yang tidak dipakai adalah pita cukai yang belum dilekatkan pada barang
kena cukai karena:
a. Adanya perubahan harga jual eceran, tarif cukai, dan/atau desain pita cukai baik akibat
kebijakan pemerintah maupun atas inisiatif/permintaan pengusaha pabrik atau importir;
b. Batas waktu pelekatannya sudah berakhir sesuai ketentuan yang berlaku;
c. Pengusaha pabrik tidak lagi memproduksi barang kena cukai untuk pemasaran dalam
negeri;
d. Pengusaha pabrik tidak lagi memproduksi barang kena cukai sesuai pesanan pita
cukainya;
e. Importir tidak lagi mengimpor barang kena cukai sesuai pesanan pita cukainya;
f. Tidak sesuai dengan pesanan pengusaha pabrik atau Importir; dan
Pita cukai yang dapat dikembalikan dengan mendapatkan pengembalian cukai adalah
pita cukai yang dipesan dalam tahun anggaran yang sedang berjalan dan/atau dalam 1
(satu) tahun terakhir sebelum tahun anggaran yang sedang berjalan. Permohonan
pengembalian cukai diajukan kepada Kepala Kantor dengan menggunakan formulir PBCK-4
(Pemberitahuan Pita Cukai Yang Rusak Atau Tidak Dipakai) dalam rangkap 4 yang
kemudian meneruskan kepada Direktur Cukai. Direktur Cukai atas nama Direktur Jenderal
Bea dan Cukai menerbitkan Tanda Bukti Penerimaan Pengembalian Pita Cukai dengan
menggunakan formulir CK-3. Dalam hal pengusaha pabrik atau importir masih memiliki utang
cukai, CK-3 terlebih dahulu digunakan untuk melunasi utang cukai. Apabila tidak memiliki
utang cukai, CK-3 dapat digunakan untuk diperhitungkan untuk pemesanan pita cukai
berikutnya atau dikembalikan dengan penerbitan Surat Perintah Membayar Kembali Cukai
(SPMKC). Pengembalian cukai atas barang kena cukai yang dibuat di Indonesia yang
pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai untuk diolah kembali di pabrik atau
dimusnahkan hanya diberikan kepada pengusaha pabrik.
Pengolahan kembali barang kena cukai di pabrik dilakukan dengan cara:
a. Barang kena cukai dipindahkan ke dalam kemasan penjualan eceran yang baru; atau
b. Barang kena cukai diproduksi ulang untuk menjadi barang kena cukai baru.
Pemusnahan barang kena cukai dilakukan dengan cara:
a. Membakar habis barang kena cukai;
b. Menghancurkan barang kena cukai; atau
c. Memasukkan barang kena cukai, ke dalam lubang galian yang telah diberi air kemudian
ditimbun dengan tanah.
Terhadap pengolahan kembali atau pemusnahan barang kena cukai yang pelunasan
cukainya dengan cara pelekatan pita cukai, atas kemasan penjualan eceran dan pita cukai
yang melekat harus dimusnahkan. Persetujuan pengolahan kembali di pabrik atau
pemusnahan barang kena cukai diberikan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan
Bea dan Cukai Tipe Madya Cukai yang mengawasi pabrik dalam hal nilai cukai tidak melebihi
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Barang kena cukai yang telah dilunasi cukainya, diolah kembali di pabrik atau
dimusnahkan oleh pengusaha pabrik dilaksanakan di bawah pengawasan Tim Pengawas
yang dibentuk Kepala KPPBC Tipe Madya Cukai yang beranggotakan Pejabat Bea dan
Cukai dari KPPBC Tipe Madya Cukai. Atas pengolahan kembali di pabrik atau pemusnahan
barang kena cukai dengan mendapatkan pengembalian cukai, dikenakan :
a. Biaya pengganti penyediaan pita cukai sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai;
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai ketentuan yang berlaku.
Pengembalian cukai atas pengolahan kembali atau pemusnahan barang kena cukai,
terlebih dahulu diperhitungkan dengan utang cukai.
Dalam hal pengusaha pabrik tidak memiliki utang cukai, pengembalian cukai atas
permintaannya, dapat:
a. Diperhitungkan untuk pemesanan pita cukai berikutnya, untuk barang kena cukai yang
pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai; atau
b. Dikembalikan kepada pengusaha pabrik, sesuai ketentuan yang berlaku.
Pengusaha Pabrik harus memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor
sebelum pemasukan barang kena cukai yang telah dilunasi cukainya dari peredaran bebas
ke dalam pabrik untuk diolah kembali atau dimusnahkan dengan dokumen Pemberitahuan
Pemasukan Barang Kena Cukai (P2BKC). pengusaha pabrik mengajukan permohonan
sampai dengan penerbitan dan penatausahaan Tanda Bukti Perusakan Pita Cukai (CK-2).
Penundaan pembayaran cukai adalah kemudahan pembayaran yang diberikan
kepada Pengusaha Pabrik atau Importir hasil tembakau yang melaksanakan pelunasan cukai
dengan cara pelekatan pita cukai, dalam bentuk penangguhan pembayaran cukai tanpa
dikenai bunga. Jangka waktu penundaan pembayaran cukai untuk pengusaha pabrik adalah
2 bulan terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai, sedangkan untuk importir
adalah 1 bulan terhitung sejak tanggal dokumen pemesanan pita cukai.
Jangka waktu berlakunya jaminan dalam rangka penundaan adalah:
a. Selama jangka waktu penundaan, untuk jaminan yang berdasarkan dokumen pemesanan
pita cukai;
b. Sampai dengan berakhir masa penundaan, untuk keseluruhan dokumen pemesanan pita
cukai dalam satu periode keputusan penundaan.
Pengusaha pabrik atau importir hasil tembakau menghitung besarnya nilai cukai yang
dapat diberikan penundaan dengan ketentuan:
a. Untuk Pengusaha Pabrik, sebanyak 2 (dua) kali dari nilai cukai rata-rata per bulan yang
paling tinggi, yang dihitung dari pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
terakhir atau dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir;
b. Untuk Importir, sebanyak 1 (satu) kali dari nilai cukai rata-rata per bulan yang paling tinggi,
yang dihitung dari pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir atau
dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir.
c. Nilai cukai yang dapat diberikan penundaan dapat ditambah paling banyak 50% (lima
puluh persen) dari hasil perhitungan dengan mempertimbangkan kinerja keuangan
perusahaan.
Untuk mendapatkan penundaan pembayaran cukai, Pengusaha Pabrik atau Importir
hasil tembakau mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya setempat dengan menggunakan formulir Permohonan
Penundaan Pembayaran Cukai Atas Pemesanan Pita Cukai dengan dilampiri dokumen
persayaratan lainnya.
Dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai sampai dengan 50 milyar rupiah
ditetapkan oleh Kepala KPPBC Tipe Madya atas nama Menteri Keuangan.
b. Untuk permohonan penundaan dengan nilai cukai lebih dari 50 milyar rupiah bagi
pengusaha pabrik atau importir yang berada pada pengawasan kantor KPPBC Tipe
Madya ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan.
c. Data dari pihak penjual kemasan, baik etiket, sloop, maupun dus/bal
e. Data dari Dinas Perkebunan, dalam hal ini adanya data laporan produksi tembakau tiap
musim tanam yang dihasilkan oleh perkebunan lokal terutama perkebunan besar yang
siap untuk dijual dan disalurkan kepada industri rokok.
Beberapa hal yang tercantum pada undang-undang Kesehatan adalah sebagai berikut
:
Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar
tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang
mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat
sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib
mencantumkan peringatan kesehatan.
BAB IV
PERSIAPAN DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN
1. Persiapan Pemeriksaan
Sesuai dengan Pasal 5 huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
9/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan
persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang
seksama. Salah satu bagian penting dalam persiapan pemeriksaan adalah penyusunan
Rencana Pemeriksaan. Rencana Pemeriksaan merupakan rencana kerja pemeriksaan yang
disusun oleh Supervisor dan harus ditelaah serta disetujui oleh Kepala Unit Pelaksana
Pemeriksaan (UP2) yang antara lain berisi identitas Wajib Pajak (WP), identitas Tim
Pemeriksa Pajak, dan uraian rencana pemeriksaan.
Sistem akuntansi untuk industri hasil tembakau (rokok) disesuaikan dengan struktur
organisasi perusahaan yang ada dengan menekankan pada cost centre dan profit centre.
Dalam sistem ini juga terdapat kebijaksanaan akuntansi yang meliputi kapitalisasi
pengeluaran, penentuan cut-off, alokasi biaya, masa manfaat dan metode serta tarif
penyusutan atau amortisasi.
a. Cost Center.
Biaya dalam proses produksi atau yang termasuk dalam harga pokok
Penjualan.
Biaya Umum dan Administrasi, terpusat pada biaya pegwai, biaya umum,
biaya penyusutan dan amortisasi, biaya pemeliharaan.
b. Profit Center.
Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan 36
Modul Pemeriksaan – Industri Rokok 2013
Penentuan critical point pada pemeriksaan pajak adalah upaya untuk menentukan
titik berat pemeriksaan guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya sehingga akan terhindar dari terjadinya penghindaran atau penggelapan
pajak yang dilakukan dengan cara melakukan rekayasa keuangan seperti melalui
pembebanan biaya yang tinggi baik pada biaya yang berhubungan dengan unsur Harga
Pokok dan biaya yang berhubungan dengan kegiatan operasional perusahaan yang
mengakibatkan kecilnya penghasilkan kena pajak sehingga menghasilkan pajak terutang
tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Rekayasa keuangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat terjadi diseluruh kegiatan
usaha meliputi usaha dagang, jasa dan industri melalui Tax Planning. Pada kegiatan usaha
Industri , rekayasa keuangan bisa dilakukan oleh Wajib Pajak sejak dimulainya kegiatan
Perencanaan, Pelaksanaan proses produksi sampai dengan tahap distribusi hasil usaha.
Dengan demikian Tax Planning suatu perusahaan dimulai sejak perencanaan, pelaksanaan
proses produksi sampai dengan distribusi barang hasil produksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada perusahaan rokok ada pada dua tahap proses
bisnis yaitu :
Selain hal-hal tersebut di atas, perlu juga diperhatikan potensi perpajakan pada industri rokok
sebagai berikut :
3.1. Dokumen yang dibutuhkan untuk analisis Laporan Keuangan dan SPT
Sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut , harus dilakukan analisis terhadap
laporan keuangan dan SPT tujuannya untuk dapat melakukan equalisasi antara laporan
komersil dan laporan Fiskal. Sehingga selanjutnya dalam pemeriksaan dapat ditelusuri
perbedaan yang terjadi antara Laporan komersil dan Laporan Fiskal dengan kata lain angka-
angka yang terdapat didalam SPT harus dapat dihubungkan dengan angka-angka yang
terdapat didalam Laporan Komersil.
Analisis Laporan Keuangan dan SPT dilakukan ,juga untuk menentukan pos-pos
yang perlu dilakukan penelitian yang mendalam dan untuk penerapan audit sampling. Dalam
melakukan analisis jangan lupa untuk memperhatikan laporan pemeriksaan pajak terdahulu
(jika ada), lakukan pencatatan masalah-masalah dan temuan-temuan pada pemeriksaan
terdahulu tersebut, serta ketetapan pajak yang belum dibayar.
- Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 23/26, Pasal 4 ayat
(2) dan Pajak Penghasilan Final
4. Analisis Biaya:
a. Penentuan Harga Pokok
- Trial Balance
- Dokumen yang berkaitan dengan penebusan pita cukai seperti form CK-1, CK-
2, CK-3, CK-4 seperti yang telah diuraikan di atas
- Surat Perjanjian dengan Pihak Ketiga mengenai pengadaan bahan baku yaitu
Tembakau, Cengkeh dan Bahan baku lainnya.
- Gaji,upah,bonus,tunjangan dsb.
- Bunga Pinjaman
- Biaya lain-lain
- Trial Balance
- Surat Perjanjian dengan Pihak Ketiga seperti Bank, Agen Pemasaran, dan
lainnya
5. Prosedur Pemeriksaan
Menurut PER-9/PJ/2010 tentang Standar Pemeriksaan disebutkan “Prosedur
Pemeriksaan adalah pernyataan pilihan Metode Pemeriksaan, Teknik Pemeriksaan dan
Prosedur Pemeriksaan yang akan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak dalam melakukan
pemeriksaan sesuai dengan Rencana Pemeriksaan”.
Metode Pemeriksaan
Modifikasi
Rencana Pemeriksaan
a. Tujuan Pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan atas pos-pos yang akan diperiksa adalah keabsahan (validity),
Kelengkapan (Completeness), Kepemilikan (Ownership), Penilaian (Valuation), Klasifikasi
(Clasification), Pisah batas (Cut-off), Akurasi mekanis (Mechanical Accuracy), Ketaatan
(Compliance).
b. Metode Pemeriksaan
Adalah teknik dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan
dokumen serta data, informasi, dan keterangan lain, yang terdiri atas metode langsung dan
metode tidak langsung.
c. Teknik Pemeriksaan
Adalah cara-cara pengumpulan bukti, pengujian, dan/atau pembuktian yang
dikembangkan oleh Pemeriksa Pajak untuk meyakini kebenaran pos-pos yang diperiksa.
d. Prosedur Pemeriksaan
Adalah serangkaian langkah dalam suatu Teknik Pemeriksaan, berupa petunjuk rinci
yang biasanya tertulis dalam bentuk perintah, untuk dilakukan oleh Pemeriksa Pajak.
Program Pemeriksaan
Pengujian
keterkaitan
B Pos-pos SPT
Identifikasi
transaksi.
Klasifikasikan
Penelusuran transaksi. Langsung & Dokumen
angka-angka Tidak Langsung Keuangan
(Tracing). Identifikasi
dokumenyang
terkait..
Identifikasi
transaksi.
Klasifikasikan
Penelusuran Bukti transaksi. Langsung & Dokumen
Tidak Langsung Keuangan
Identifikasi
dokumen yang
terkait..
Pengujian arus
uang. arus
piutang dan arus
Cek Dokumen
Penghitungan Keuangan dan
Pengujian matematis,Bandi Langsung & Dokumen
Kebenaran ngkan data SPT Tidak Langsung lainnya
penghitungan dgn LK
matematis.
Identifikasi
transaksi yg
berkaitan dgn
pos ybs,
Kumpulkan bukti
yang mendukung
Penelusuran Angka transaksi, Langsung & Dokumen
angka.. Tidak Langsung Keuangan
Cocokan isi bukti
dg transaksi
Teliti validitas
dan relevansi
bukti.
Ekualisai atau
Rekonsiliasi.
Teliti keabsahan
dokumen,
Minta surat
pernyataan WP.
Identifikasi
transaksi yg
berkaitan dgn
pos ybs,
Kumpulkan bukti
Penelusuran
yang mendukung
Angka-angka..
transaksi, Langsung&Tida Dokumen
k Langsung Keuangan
Cocokan isi bukti
dg transaksi
Teliti validitas
dan relevansi
bukti.
Tentukan data yg
akan diyakini,
Inspeksi
Tentukan tempat
data tsb berada, Sesuai dengan
kondisi wajib
Inspeksi – lanjutan Tentukan waktu Langsung & pajak di
pelaksanaan. Tidak Langsung lapangan.
Tentukan Aktiva
yang akan
dilakukan
pengujian,
Sesuai dengan
Buat checklist kondisi wajib
Pengujian Langsung & pajak di
aktiva,
Kebenaran Fisik Tidak Langsung lapangan.
Tentukan lokasi
aktiva yang akan
diuji fisik,
Cek keberadaan
dan kuantitas
aktiva yang ada
dalam checklist,
Dokumentasikan.
Kumpulkan bukti,
Cek
penghitungan
matematis, Langsung & Dokumen
Tidak Langsung Keuangan
Analisis angka- Bandingkan data
angka SPT dgn LK,
Identifikasi
transaksi yg
Penelusuran Angka berkaitan dengan
angka.
pos ybs,
Teliti validitas
dan relevansi
bukti.
Tentukan saldo
atau pos yang
akan dicocokan.
Bandingkan
saldo angka-
angka dalam LK
Rekonsiliasi/Equali dengan angka di Langsung & Dokumen
sasi SPT. Tidak Langsung Keuangan
Bandingkan
jumlah biaya yg
merupakan objek
potput dengan
objek PPh
potput.
Rencana Pemeriksaan dan Realisasi Program Pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja
Pemeriksaan (KKP). Format KKP Rencana Pemeriksaan dan Realisasi Program
Pemeriksaan diatur dalam SE Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ/2012, tanggal 3 Februari 2012.
A. Tujuan :
Untuk mengetahui proses bisnis WP sesuai dengan KLU ataupun kondisi pada saat
dilakukan pemeriksaan yang meliputi :
Usaha utama WP
Apa yang dijual dan dari mana diperoleh
Darimana penghasilan diterima/diperoleh
Kemana saja pembelanjaan yang dilakukan
B. Teknik Pemeriksaan :
II. Pos-pos SPT/pos-pos turunannya yang akan diperiksa sesuai KKP Rencana Pemeriksaan.
A. PPh Badan.
1. Peredaran Usaha
2. HPP
3. ………. dst
B. dst.
III. Uraian Program Pemeriksaan masing-masing pos SPT/pos turunannya yang akan diperiksa.
c. Teknik Pemeriksaan :
1. Pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal DJP.
2. Penelusuran angka-angka (Tracing),
3. Penelusuran Bukti,
4. Pengujian keterkaitan arus uang dan arus piutang.
5. Pengujian kebenaran penghitungan matematis,
6. Pengujian keabsahan dokumen,
7. Inspeksi
8. …….. dst
d. Prosedur Pemeriksaan :
1. Lakukan pengumpulan data dan olah sesuai kebutuhan,
2. Identifikasi dokumen-dokumen pendukung yang berkaitan dengan pos
atau transaksi yang sedang diperiksa sesuai dengan rekam jejak
pemeriksaan (audit plan).
3. Laakukan penelaahan mundur atas pos yang diperiksa sampai dengan
tanggal neraca,
4. Kumpulkan bukti-bukti yang mendukung transaksi serta buku kas/bank
dan buku piutang,
5. Teliti keabsahan dokumen,
6. Lakukan konfirmasi kepada pihak yang terkait,
7.………………..
12. Lakukan uji arus uang dan arus piutang sesuai dengan formula,
IV. Buku, Catatan, dan Dokumen Wajib Pajak yang akan dipinjam :
1 Laporan Keuangan.
3 Bukti Penjualan
Apabila yang
4 Bukti Ekspor disampaikan WP
5 Rekening Koran/tabungan berupa Photo
copy/soft copy minta
6 Pembukuan Piutang surat pernyataan.
7 Kontrak/Perjanjian
No Ya Tidak
1 Metode Pemeriksaan :
Metode Langsung, x
2 Teknik Pemeriksaan :
……… dst
Prosedur Pemeriksaan :
3
X
Pengumpulan data dan informasi
Pengolahan data,informasi,dokumen x
x
Wawancara
………. Dst
2 Teknik Pemeriksaan :
1. Pemanfaatan informasi Internal
dan/atau eksternal DJP,
2. Penelusuran angka-angka (tracing)
3. Penelusuran Bukti,
4. Pengujian arus uang
5. Pengujian arus piutang,
6. Pengujian kebenaran
penghitungan matematis,
7. Pengujian keabsahan dokumen,
8. Inspeksi,
9. ……… dst,
Prosedur Pemeriksaan :
3
1. Lakukan pengumpulan data,
2. Identifikasi dokumen pendukung
yang berkaitan dengan pos yang
diperiksa,
3. Lakukan penelaahan mundur atas
po yang diperiksa sampai dengan
tanggal neraca.
4. Kumpulkan bukti-bukti yang
mendukung transaksi serta buku
kas/bank dan buku piutang,
5. Teliti keabsahan dokumen,
6. Lakukan konfirmasi kepada pihak
yang terkait.
7. Cocokan isi bukti dengan transaksi,
8. Teliti validitas dan relevansi bukti,
9. Pastikan apakah bukti transaksi
telah dicatat dan dilaporkan serta
penghitungannya telah benar,
III. Buku, Catatan, dan Dokumen Wajib Pajak yang akan dipinjam :
1 Laporan Keuangan.
3 Bukti Penjualan
Apabila yang
4 Bukti Ekspor disampaikan WP
berupa Photo
5 Rekening Koran/tabungan
copy/soft copy minta
6 Pembukuan Piutang surat pernyataan.
7 Kontrak/Perjanjian
INDEKS : ……….