HUBUNGAN ANTARA
PERKEMBANGAN DENGAN BELAJAR
(PSIKOLOGI BELAJAR)
DISUSUN OLEH :
M. SAHLUL KHULUQ
SALSABILLAH MAULIDAH
ROMADHONI ROUDHOTUL CHOIRIA
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa ilmu pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
tepat pada waktunya.
Kedua kalinya shelawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Baginda Muhammad SAW. Dan tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu yakni Ibu Asnal Mala. Tanpa adanya bimbingan dari beliau kami tidak akan
pernah bisa menyusun makalah ini dengan baik dan benar.
Namun terlepas dari itu semua, kami memahami bahwa makalah ini masih banyak
yang perlu diperbaiki, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
2
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………….….. 1
BAB 1 PENDAHULUAN 4
BAB 2 PEMBAHASAN 5
BAB 3 PENUTUP 11
3.2 KESIMPULAN 11
3.3 RUJUKAN 12
3
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dari beberapa kata yang telah dituliskan pada sub bab di atas, maka dapat
kami simpulkan rumusan masalah dari makalah kami ialah :
a) Apa pengertian dari Perkembangan psiko-fisik siswa ?
b) Apa definisi dari Perkembangan motor (fisik) siswa ?
c) Apa pengertian dari Perkembangan kognitif siswa ?
d) Apa pengertian dari Perkembangan sosial dan moral siswa ?
e) Apa Arti pekembangan kognitif bagi proses belajar siswa ?
f) Apa Pengertian dari Mengembangkan kecakapan kognitif ?
g) Bagaiaman cara Mengembangkan afektif dan perkembangan teori belajar ?
Tujuan kami menulis makalah ini ialah supaya kita bisa belajar bersama-sama
bagaimana cara kita mengetahui tentang perkembangan psikis siswa.
4
2. PEMBAHASAN
2.1 PERKEMBANGAN PSIKO-FISIK SISWA
5
kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek
tetapi efektif.
c) Tahap konkret-operasional (7-11)
Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut
system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk
mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke
dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak
ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang
dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan
pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis
mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.
d) Tahap formal-operasional (11-dewasa)
Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam
kemampuan kognitif yaitu :
Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu
khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan
dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas
menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk
mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan
mendalam.
Dengan menggunakan hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup
General Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad (Loree dalam
Abin Syamsuddin M, 2001) menunjukkan bahwa laju perkembangan
inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu
kepesatannya berangsur menurun.
Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja
akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu
terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur
menurun.
Dengan berpatokan kepada hasil tes IQ, Bloom (1964) mengungkapkan
prosentase taraf perkembangan sebagai berikut :
Usia Perkembangan
1 tahun Sekitar 20 %
4 tahun Sekitar 50 %
8 tahun Sekitar 80 %
13 tahun Sekitar 92 %
6
2.4 PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL SISWA
7
karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi
harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu
peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran
yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud
baik…’
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan,
dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang
benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila
seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu –
sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila
seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.
3. Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri
dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa
individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi
semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-
konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-
pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap
sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau
dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut –
‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan
kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus
diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-
banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada
penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid
bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak
tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan
8
moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut
dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan
dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama.
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan
tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang
bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai
harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa
tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada,
yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
9
dengan pengetahuan yang didapatkannya tersebut anak dapat melangsungkan
hidupnya.
Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu dikembangkan secara
khusus oleh sang guru yaitu : strategi belajar memahami isi materi pelajaran, dan
strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi nya serta menyerap
pesan-pesan moral yang terkandung di dalam materi tersebut.
Strategi sendiri ialah prosedur mental yang berbentuk tahapan-tahapan yang
memerlukan upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh kebiasaan
belajar. Pilihan tersebut yaitu menghafal prinsip yang ada dalam materi dan
mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut.
Ada dua prefensi kognitif yakni :
Dorongan dari luar (motif ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa
menggarap belajar hanya sebagai alat pencegah atau ketidaknaikkan.
Aspirasi yang dimilikinya bukan ingin menguasai materi secara mendalam
tetapi hanya sekedar lulus atau naik kelas semata.
Dorongan dari dalam (motif intrinsik) dalam artian siswa tertarik dan
membutuhkan materi-materi yang disajikan gurunya. Guru dituntut untuk
mengembangkan dengan kecakapan kognitif siswa dalam memecahkan
masalah dengan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinanterhadap
pesan moral yang terkandung dan menyatu dalam pengetahuan.
10
Menurut (Andersen, 1981:4), mengungkapkan pemikiran disebut sikap apabila
memenuhi dua kriteria: 1) Prilaku melibatkan perasaan dan emosi. 2) Prilaku
mencerminkan tipikal prilaku seseorang. Adapun kriteria lain yang terkait dengan
ranah afektif yaitu intensitas yang menunjukan apakah perasaan itu baik atau
buruk, positif atau negatif. Misalnya: siswa saat diberi pembelajaran dan merasa
senang itu merupakan positif atau sebaliknya. Maka dapat dikatakan pembelajaran
afektif merupakan strategi Tadrib, Vol. V, No. 1, Juni 2019 Pengembangan
Strategi Pembelajaran.... 74 pembelajaran karakter, akhlak dan moral, hal tersebut
dibuktikan pada nilai empiris yang bermuatan nilai-nilai karakter secara utuh yaitu
(religius, kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan mandiri). (Suyadi, 2013: 193-
195)
3. PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
11
Afektif (sikap) merupakan kecenderungan seseorang untuk menerima atau
menolak kesadaran yang dianggap baik atau tidak baik, yang memiliki
kecenderungan sikap positif maupun sikap negatif.
Tujuan pembelajaran ranah afektif dikembangkan dari segi psikologi
Behavioral, yang berupa adanya stimulus-respon yang dapat membentuk sikap
yang baru, secara otomatis akan berorientasi pada penanaman nilai-nilai karakter
pada setiap individu yang mempengaruhi perasaan atau emosi positif, yang dapat
diartikan sebagai sebuah proses menjadi bukan hasil yang jadi. Dalam
penilaiannya ranah afektif merupakan sisi kejiwaan (psikis) peserta didik yang
relatif sulit untuk diukur karena dalam suatu tindakan atau prilaku seseorang
ditentukan oleh individu masing-masing yang berjalan secara dinamis (berubah-
ubah) sesuai dengan emosi yang ditimbulkan.
4. DAFTAR PUSTAKA
4.1. RUJUKAN
12