Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HUBUNGAN ANTARA
PERKEMBANGAN DENGAN BELAJAR
(PSIKOLOGI BELAJAR)

DISUSUN OLEH :
M. SAHLUL KHULUQ
SALSABILLAH MAULIDAH
ROMADHONI ROUDHOTUL CHOIRIA

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


TAHUN AKADEMIK 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa ilmu pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
tepat pada waktunya.

Kedua kalinya shelawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Baginda Muhammad SAW. Dan tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu yakni Ibu Asnal Mala. Tanpa adanya bimbingan dari beliau kami tidak akan
pernah bisa menyusun makalah ini dengan baik dan benar.

Namun terlepas dari itu semua, kami memahami bahwa makalah ini masih banyak
yang perlu diperbaiki, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

2
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………….….. 1

KATA PENGANTAR………... ….……………..…………………………………….….... 2

DAFTAR ISI ...…………………………………………………………………………..…. 3

BAB 1 PENDAHULUAN 4

1.1 LATAR BELAKANG 4

1.2 RUMUSAN MASALAH 4

1.3 TUJUAN PENULIS 4

BAB 2 PEMBAHASAN 5

2.1 PERKEMBANGAN PSIKO-FISIK SISWA 5

2.2 PERKEMBANGAN MOTOR (FISIK) SISWA 5

2.3 PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA 5

2.4 PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL SISWA.. 7

2.5 ARTI PERKEMBANGAN KOGNITIF BAGI PROSES BELAJAR SISWA.. 9

2.6 MENGEMBANGKAN KECAKAPAN KOGNITIF.. 10

2.7 MENGEMBANGKAN AFEKTIF DAN PERKEMBANGAN TEORI BELAJAR.. 10

BAB 3 PENUTUP 11

3.2 KESIMPULAN 11

BAB 4 DAFTAR PUSTAKA12

3.3 RUJUKAN 12

3
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Di setiap pertumbuh kembangan seorang anak, maka di dalamnya juga perlu


kita pelajari tentang perkembangan psikis nya bukan hanya perkembangan fisik
nya. Semua itu kita lakukan supaya antara fisik dan psikis seorang anak itu selaras
dan tidak ada yang bermasalah di keduanya.
Apabila perkembangan fisik dapat diperbaiki atau dilakukan dengan cara
memberikan asupan-asupan yang bergizi seuai dengan acuan empat sehat lima
sempurna, maka perkembangan psikis seorang anak dapat kita latih atau dilakukan
ialah dengan memperbaiki mindset dan sebagainya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari beberapa kata yang telah dituliskan pada sub bab di atas, maka dapat
kami simpulkan rumusan masalah dari makalah kami ialah :
a) Apa pengertian dari Perkembangan psiko-fisik siswa ?
b) Apa definisi dari Perkembangan motor (fisik) siswa ?
c) Apa pengertian dari Perkembangan kognitif siswa ?
d) Apa pengertian dari Perkembangan sosial dan moral siswa ?
e) Apa Arti pekembangan kognitif bagi proses belajar siswa ?
f) Apa Pengertian dari Mengembangkan kecakapan kognitif ?
g) Bagaiaman cara Mengembangkan afektif dan perkembangan teori belajar ?

1.3 TUJUAN PENULIS

Tujuan kami menulis makalah ini ialah supaya kita bisa belajar bersama-sama
bagaimana cara kita mengetahui tentang perkembangan psikis siswa.

4
2. PEMBAHASAN
2.1 PERKEMBANGAN PSIKO-FISIK SISWA

Perkembangan ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mata


fungsi organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmaniahnya itu sendiri.
Penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis
yang disandang oleh organ-organ fisik, perkembangan akan berlanjut terus hingga
manusia mengakhiri hayatnya. Sementara itu pertumbuhan hanya terjadi sampai
manusia mencapai kematangan fisik. Yang artinya, orang tak akan bertambah
tinggi atau besar jika batas pertumbuhan tubuhnya telah mencapai tingkat
kematangan.

2.2 PERKEMBANGAN MOTOR (FISIK) SISWA

Perkembangan motor (motor development), yakni proses perkembangan yang


progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik anak
(motor skills).

2.3 PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA

Perkembangan kognitif (cognitive development), yakni perkembangan fungsi


intelektual atau proses perkembangan kemampuan atau kecerdasan otak anak.
Piaget, seorang ahli psikologi kognitif, mengemukakan 4 (empat) tahapan
perkembangan kognitif individu , yaitu:
a) Tahap Sensori-Motor (0-2)
Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical
intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya
sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi
individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi
dasar yang amat berarti untuk menjadi fundasi tipe-tipe inteligensi tertentu
yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum
mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat,
tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun
sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 – 24 bulan barulah
kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan
sistematis.
b) Tahap Pra Operasional (2–7)
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object
permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap
eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda
tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh
lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan
pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada
pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta
pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-
imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan

5
kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek
tetapi efektif.
c) Tahap konkret-operasional (7-11)
Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut
system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk
mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke
dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak
ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang
dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan
pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis
mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.
d) Tahap formal-operasional (11-dewasa)
Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam
kemampuan kognitif yaitu :
Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu
khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan
dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas
menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk
mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan
mendalam.
Dengan menggunakan hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup
General Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad (Loree dalam
Abin Syamsuddin M, 2001) menunjukkan bahwa laju perkembangan
inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu
kepesatannya berangsur menurun.
Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja
akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu
terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur
menurun.
Dengan berpatokan kepada hasil tes IQ, Bloom (1964) mengungkapkan
prosentase taraf perkembangan sebagai berikut :

Usia Perkembangan

1 tahun Sekitar 20 %

4 tahun Sekitar 50 %

8 tahun Sekitar 80 %

13 tahun Sekitar 92 %

6
2.4 PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL SISWA

Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral


seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang
diungkapkan oleh  Lawrence Kohlberg.
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke
dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan
kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini.
Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi
sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap
tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif,
beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
1. Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak,
walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini.
Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari
suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-
konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan
murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi
langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu
tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum.
Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari
sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar
didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang
menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu
garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua
perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-
konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka
dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif
secara moral.
2. Tingkat 2 (Konvensional)
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa.
Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan
moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial.
Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain

7
karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi
harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu
peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran
yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud
baik…’
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan,
dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang
benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila
seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu –
sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila
seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.
3. Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri
dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa
individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi
semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-
konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-
pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap
sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau
dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut –
‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan
kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus
diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-
banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada
penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid
bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak
tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan

8
moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut
dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan
dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama.
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan
tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang
bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai
harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa
tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada,
yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

2.5 ARTI PERKEMBANGAN KOGNITIF BAGI PROSES BELAJAR SISWA

Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk


berpikir. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Susanto (2011: 48) bahwa
kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk
menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.
Jadi proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang
menandai seseorang dengan berbagai minat terutama sekali ditujukan kepada ide-
ide belajar.
Perkembangan kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak
dalam belajar karena sebagian aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan
masalah berpikir.
Menurut Ernawulan Syaodih dan Mubair Agustin (2008: 20) perkembangan
kognitif menyangkut perkembangan berpikir dan bagaimana kegiatan berpikir itu
bekerja. Dalam kehidupannya, mungkin saja anak dihadapkan pada persoalan-
persoalan yang menuntut adanya pemecahan. Menyelesaikan suatu persoalan
merupakan langkah yang lebih kompleks pada diri anak. Sebelum anak mampu
menyelesaikan persoalan anak perlu memiliki kemampuan untuk mencari cara
penyelesaiannya.
Husdarta dan Nurlan (2010: 169) berpendapat bahwa perkembangan kognitif
adalah suatu proses menerus, namun hasilnya tidak merupakan sambungan
(kelanjutan) dari hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya. 12 Hasil-hasil tersebut
berbeda secara kualitatif antara yang satu dengan yang lain. Anak akan melewati
tahapan-tahapan perkembangan kognitif atau periode perkembangan. Setiap
periode perkembangan, anak berusaha mencari keseimbangan antara struktur
kognitifnya dengan pengalaman-pengalaman baru. Ketidakseimbangan
memerlukan pengakomodasian baru serta merupakan transformasi keperiode
berikutnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa faktor kognitif
mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena
sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah
mengingat dan berpikir. Perkembangan kognitif dimaksudkan agar anak mampu
melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitar melalui panca inderanya sehingga

9
dengan pengetahuan yang didapatkannya tersebut anak dapat melangsungkan
hidupnya.

2.6 MENGEMBANGKAN KECAKAPAN KOGNITIF

Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu dikembangkan secara
khusus oleh sang guru yaitu : strategi belajar memahami isi materi pelajaran, dan
strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi nya serta menyerap
pesan-pesan moral yang terkandung di dalam materi tersebut.
Strategi sendiri ialah prosedur mental yang berbentuk tahapan-tahapan yang
memerlukan upaya yang bersifat kognitif dan selalu dipengaruhi oleh kebiasaan
belajar. Pilihan tersebut yaitu menghafal prinsip yang ada dalam materi dan
mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut.
Ada dua prefensi kognitif yakni :
 Dorongan dari luar (motif ekstrinsik) yang mengakibatkan siswa
menggarap belajar hanya sebagai alat pencegah atau ketidaknaikkan.
Aspirasi yang dimilikinya bukan ingin menguasai materi secara mendalam
tetapi hanya sekedar lulus atau naik kelas semata.
 Dorongan dari dalam (motif intrinsik) dalam artian siswa tertarik dan
membutuhkan materi-materi yang disajikan gurunya. Guru dituntut untuk
mengembangkan dengan kecakapan kognitif siswa dalam memecahkan
masalah dengan pengetahuan yang dimilikinya dan keyakinanterhadap
pesan moral yang terkandung dan menyatu dalam pengetahuan.

2.7 MENGEMBANGKAN AFEKTIF DAN PERKEMBANGAN TEORI


BELAJAR

Afektif (sikap) merupakan kecenderungan seseorang untuk menerima atau


menolak kesadaran yang dianggap baik atau tidak baik, yang memiliki
kecenderungan sikap positif maupun sikap negatif.
Menurut Winkel (2004), mengungkapkan bahwa sikap merupakan suatu
kemampuan internal yang berperan penting dalam mengambil tindakan, yang
memungkinkan untuk bertindak atau menemukan berbagai alternatif.
Tujuan pembelajaran ranah afektif dikembangkan dari segi psikologi
Behavioral, yang berupa adanya stimulus-respon yang dapat membentuk sikap
yang baru, secara otomatis akan berorientasi pada penanaman nilai-nilai karakter
pada setiap individu yang mempengaruhi perasaan atau emosi positif, yang dapat
diartikan sebagai sebuah proses menjadi bukan hasil yang jadi. Dalam
penilaiannya ranah afektif merupakan sisi kejiwaan (psikis) peserta didik yang
relatif sulit untuk diukur karena dalam suatu tindakan atau prilaku seseorang
ditentukan oleh individu masing-masing yang berjalan secara dinamis (berubah-
ubah) sesuai dengan emosi yang ditimbulkan.

10
Menurut (Andersen, 1981:4), mengungkapkan pemikiran disebut sikap apabila
memenuhi dua kriteria: 1) Prilaku melibatkan perasaan dan emosi. 2) Prilaku
mencerminkan tipikal prilaku seseorang. Adapun kriteria lain yang terkait dengan
ranah afektif yaitu intensitas yang menunjukan apakah perasaan itu baik atau
buruk, positif atau negatif. Misalnya: siswa saat diberi pembelajaran dan merasa
senang itu merupakan positif atau sebaliknya. Maka dapat dikatakan pembelajaran
afektif merupakan strategi Tadrib, Vol. V, No. 1, Juni 2019 Pengembangan
Strategi Pembelajaran.... 74 pembelajaran karakter, akhlak dan moral, hal tersebut
dibuktikan pada nilai empiris yang bermuatan nilai-nilai karakter secara utuh yaitu
(religius, kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan mandiri). (Suyadi, 2013: 193-
195)

3. PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

Perkembangan ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mata


fungsi organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmaniahnya itu sendiri.
Penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis
yang disandang oleh organ-organ fisik, perkembangan akan berlanjut terus hingga
manusia mengakhiri hayatnya. Sementara itu pertumbuhan hanya terjadi sampai
manusia mencapai kematangan fisik. Yang artinya, orang tak akan bertambah
tinggi atau besar jika batas pertumbuhan tubuhnya telah mencapai tingkat
kematangan.
Perkembangan motor (motor development), yakni proses perkembangan yang
progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik anak
(motor skills).
Perkembangan kognitif (cognitive development), yakni perkembangan fungsi
intelektual atau proses perkembangan kemampuan atau kecerdasan otak anak.
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya.
Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk berpikir.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad Susanto (2011: 48) bahwa kognitif adalah
suatu proses berpikir, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai,
dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Jadi proses kognitif
berhubungan dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang menandai seseorang
dengan berbagai minat terutama sekali ditujukan kepada ide-ide belajar.
faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam
belajar karena sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan
masalah mengingat dan berpikir. Perkembangan kognitif dimaksudkan agar anak
mampu melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitar melalui panca inderanya
sehingga dengan pengetahuan yang didapatkannya tersebut anak dapat
melangsungkan hidupnya.
Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu dikembangkan secara
khusus oleh sang guru yaitu : strategi belajar memahami isi materi pelajaran, dan
strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi nya serta menyerap
pesan-pesan moral yang terkandung di dalam materi tersebut.

11
Afektif (sikap) merupakan kecenderungan seseorang untuk menerima atau
menolak kesadaran yang dianggap baik atau tidak baik, yang memiliki
kecenderungan sikap positif maupun sikap negatif.
Tujuan pembelajaran ranah afektif dikembangkan dari segi psikologi
Behavioral, yang berupa adanya stimulus-respon yang dapat membentuk sikap
yang baru, secara otomatis akan berorientasi pada penanaman nilai-nilai karakter
pada setiap individu yang mempengaruhi perasaan atau emosi positif, yang dapat
diartikan sebagai sebuah proses menjadi bukan hasil yang jadi. Dalam
penilaiannya ranah afektif merupakan sisi kejiwaan (psikis) peserta didik yang
relatif sulit untuk diukur karena dalam suatu tindakan atau prilaku seseorang
ditentukan oleh individu masing-masing yang berjalan secara dinamis (berubah-
ubah) sesuai dengan emosi yang ditimbulkan.

4. DAFTAR PUSTAKA
4.1. RUJUKAN

Hill, F, Wilfred. 2009.Theories of Learning. Terj. Teori-teori Pembelajaran. Bandung:


Nusa Media.
Saekhan Muchith. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail Media Group.
Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Pakar raya.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. cetakan ke
lima belas.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

12

Anda mungkin juga menyukai