JANUARI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. Regina Maya Manubulu, Sp.A, M.Kes
dr. Woro Indri Padmosiwi, Sp.A
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 1
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing Klinik
Ditetapkan di : Kupang
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 2
PENDAHULUAN
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 3
perhatian dan penanganan yang memadai dalam waktu dekat diperkirakan jumlah
kasus defisiensi pada anak juga akan meningkat dengan pesat.1
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 4
HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar
matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton,
alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan
sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam cairan tubuh manusia sepertidarah, savila, semen, air
mata, ASI dan mudah mati diluar tubuh.HIV dapat juga ditemukan dalam sel
monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 5
Tabel 1. Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi:
Masa Kehamilan Masa persalinan Masa Menyusui
Ibu terinfeksi HIV Ibu mengalami pecah Ibu memberikan ASI
ketuban lebih dari 4 dalam periode yang
jam sebelum persalinan lama
Terdapat tindakan Ibu memiliki masalah
medis yang dapat pada payudara seperti
meningkatkan kontak mastitis, abses, luka di
dengan darah ibu atau puting sedangkan bayi
cairan tubuh ibu memiliki luka
dimulutnya
III. PATOGENESIS1,3,4,7
Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel penjamu
yaitu molekul CD4.Molekul ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus.Diantara sel
tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4 paling
banyak.Oleh karena itu infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada limfosit
T. Setelah penempelan terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit T sehingga
seluruh komponen virus harus masuk kedalam sitoplasma dari sel limfosit T kecuali
selubungnya.Selanjutnya RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai
DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase.Akibat aktivitas enzim RNA-ase
H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami
proliferasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polymerase.DNA yang
terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit T dan
menyisip kedalam DNA sel penjamu dengan bantuan enzim integrase disebut sebagai
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 6
provirus. Provirus yang terbentuk tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan
replikasi yang sangat lambat, tergantung kepada aktivitas dan deferensiasi sel
penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat
memicu dan memacu terjadinya replikasi dengan kecepatan yang tinggi.
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi masih belum
jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena antigen yang mungkin
bekerja melalui sitokin baik yang terdapat sebelum dan sesudah infeksi HIV. Sitokin
yang dapat memmacu replikasi virus yakni interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis
factor α dan β, interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
dan macrophage colony-stimulating factor.
Hal lain yang dapat memacu replikasi HIV adalah adanya kofaktor yang terdiri
dari infeksi oleh virus DNA seperti Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B,
virus herpes simplekx, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus
tipe 1 atau oleh kuman seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan
bekerja lokal didalam serum tidak harus meningkat untuk dapat menimbulkan
pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV didalam jaringan.Oleh karena itu, pada
keadaan adanya gangguan imunologi-pun didalam jaringan (terutama di dalam
kelenjar limfe) tetap terjadi replikasi atau ekspresi virus.
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini, sehubungan dengan peran organ
limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk kedalam tubuh baik
melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar
limfe regional. Disini terjadi replikasi virus yang kemudian menimbulkan viremia dan
infeksi jaringan limfoid yang lain (multiple) yang dapat menimbulkan limfadenopati
suklinis.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 7
HIV
Kelenjar regional
v
Virus bereplikasi
Viremia
Organ Limfoid
Gambar 2. Infeksi HIV sehingga terjadi invasi Organ Limfoid
Sementara itu, sel limfosit B yang terdapat dalam sentrum germinativum jaringan
limfoid juga memberikan respon imun spesifik terhadap HIV.Hal ini mengakibatkan
terjadinya limfadenopati yang nyata akibat hyperplasia atau proliferasi folikular yang
ditandai oleh meningkatnya sel denrit folikular dalam sentrum germinativum dan sel
limfosit T-CD4.Migrasi sel T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan
sel T-CD4 dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala khas sindrom
infeksi HIV akut.Disamping itu, sel limfosit B menghasilkan berbagai sitokin yang
dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4.
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV antibody dan
komplemen terkumpul pada jaring-jaring sel denritik folikuler.Pada repon imun
normal, sel ini berfungsi untuk menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum
germinativum dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4
yang akhirnya mengalami aktivasi dan infeksi.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 8
Pada fase lebih lanjut, tidak lagi ditemukan partikel HIV yang bebas oleh karena
terdapat didalam sel. Hal lain yang dapat diamati dengan progresivitas penyakit yakni
terjadi degenerasi sel denrit folikular sehingga hilanglah kemampuan untuk menjerat
partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV dalam sirkulasi.
Selanjutnya infeksi HIV dalam sel limfosit T-CD4 tidak saja berakhir dengan
replikasi virus tetapi juga berakibat perubahan fungsi sel T-CD4 dan sitolisis, hingga
populasinya berkurang. Mekanisme disfungsi sel limfosit T-CD4 ini diduga
berlangsung sebagai yang tertera sebagai berikut:
Pengaruh sitopatik langsung
Virus HIV dapat memicu sel CD4 tertentu hingga menghasilkan bahan yang
bersifat toksik untuk sel limfosit T-CD4.
Pembentukan sinsitium
Adanya molekul gp120 virus pada permukaan sel T-CD4 dapat menyebabkan
sel tersebut menyatu dengan sel T-CD4 yang sehat dengan membentuk
sintitium sehingga terbentuk sel datia dan kemudian menyebabkan kematian
sel.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 9
Respon imun yang spesifik
Penurunan sel T-CD4 dapat pula terjadi akibat respon imun yang spesifik
terhadap bagian tertentu dari selubung virus. Molekul gp120 dari selubung
virus yang bebas dapat terikat pada sel T-CD4 dan menimbulkan zat imun
yang dapat menyebabkan sitotoksisitas atau kematian sel T-CD4 setelah
berikatan dengan NK cells
Apoptosis
Terjadi kematian sel T-CD4 sebagai reaksi terhadap adanya aktivasi sel T-
CD4 oleh suatu antigen atau superantigen
Mekanisme autoimun
Molekul klas-II dari MHC dari sel penyaji antigen ternyata memiliki stuktur
homolog dengan protein selubung HIV sehingga zat imun terdapat protein
selubung HIV ini dapat berikatan juga dengan molekul klas II MHC
Anergi
Molekul CD4 dari sel T-CD4, apabila telah berikatan dengan molekul protein
gp120 dari virus atau dengan kompleks gp120 akan menyebabkan sel T-CD4
tidak dapat diaktifkan atau tidak dapat melaksanakan fungsinya lagi.
Superantigen
Ikatan antara virus dengan rantai beta reseptor antigensel limfosit T akan
mengakibatkan stimulasi yang berlebihan yang diikuti dengan anergi dari sel-
sel tersebut. Oleh karena itu bila terdapat superantigen, infeksi HIV dapat
terjadi lebih mudah.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 10
inkubasi timbul gejala prodromal yang bersifat non spesisfik setelah suatu selang
waktu yang berbeda-beda.
Gejala non spesifik infeksi HIV, antara lain:
Demam
Gangguan pertumbuhan
Kehilangan berat badan (10% atau lebih)
Hepatomegali
Limfadenopati
Splenomegali
Parotitis
Diare
Gejala spesifik infeksi HIV
Gangguan tumbuh kembang dan fungsi intelek
Gangguan pertumbuhan otak
Defisit motoris yang progresif yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala
berikut yakni paresis, tonus otot yang abnormal, refleks patologis, ataksia
atau gangguan melangkah
Lymphoid interstitial pneumonitis
Infeksi sekunder berupa:
Infeksi oportunistik seperti pneumonia, kandidiasis, infeksi
criptococcus, infeksi mikobakteria yang atipik
Infeksi sekunder oleh Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza, Neisseria meningitides, Salmonella enteritidis yang
menimbulkan sepsis, meningitis pneumonia dan abses organ
interna
Infeksi virus yang berat dan berulang, stomatitis herpes kronik dan
berulang, herpes zozter multidermatomal atau luas
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 11
Keganasan sekunder seperti susunan saraf pusat primer, Hodkins B cell
dan non Hodgkins lymphoma, sarcoma Kaposi
Penyakit tertentu yang lain seperti kardiomiopati dengan gagal jantung
atau aritmia, beberapa kelainan hematologik, glomerulonefropati, kelainan
kulit seperti eksim, seborhoe, molluskum contagiosus yang berat dan
berjalan lama.
V. KLASIFIKASI8
Klasifikasi klinis HIV/AIDS menurut World Health Organization (WHO) antara
lain:
Stadium Klinis 1
Tanpa gejala (asimtomatis)
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasan
Erupsi papular pruritis
Infeksi virus kutil yang luas
Moluskum kontagiosum yang luas
Infeksi jamur di kuku
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 12
Ulkus mulut yang berulang
Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
Eritema lineal gingival (LGE)
Herpes zoster
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media,
otore, sinusitis, atau tonsilitis)
Stadium Klinis 3
Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-
menerus, lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
Oral hairy leukoplakia (OHL)
Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
Tuberkulosis paru
Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
Anemia (<8g/dl),>
Stadium Klinis 4
Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa
alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku
Pneumonia Pneumosistis (PCP)
Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi
tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 13
Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan
atau viskeral pada tempat apa pun)
Tuberkulosis di luar paru
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ
lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B
Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 14
VI. DIAGNOSIS1,8
Diagnosis HIV juga ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya
infeksi HIV misalnya:
Lahir dari ibu dengan risiko tinggi
Lahir dari ibu dengan pasangan berisiko tinggi
Penerima transfusi atau komponennya berulang kali terlebih tanpa uji HIV
Pengguna narkotik
Homoseksual atau biseksual
Kebiasaan seksual yang keliru.
Gejala klinis yang mendukung misalnya infeksi oportunistik, penyakit menular
seksual, infeksi berulang atau berat, terdapat gagal tumbuh, adanya ensefalopati yang
menetap dan progesif, penyakit paru interstisial, keganasan sekunder kardiomiopati
dan lain-lain. Untuk diagnosis pasti dikerjakan dengan pemeriksaan laboratorium
yakni:
1. Uji Virologis (PCR)
Direkomendasikan untuk mendiagnosis anak umur <18 bulan.
Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan uji virologis pada umur 4-6 minggu
Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka
terapi ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
2. Uji serologis (TES CEPAT, ELISA, WESTERN BLOT)
Umur <18 bulan digunakan sebagai uji untuk menentukan ada tidaknya
pajanan HIV. Umur >18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi.
Anak umur <18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan
uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 15
Bila hasil uji tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji
virologis untuk mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.
Anak yang berumur >18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang
dilakukan pada orang dewasa
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 16
Bagan diagnosis HIV pada bayi dan anak <18 bulan pajanan HIV tidak diketahui
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 17
Gambar 4.Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan
idealnya dilakukan pengulangan uji virologis HIV pada spesimen yang berbeda untuk
konfirmasi hasil positif yang pertama.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 18
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat
laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu
menegakan diagnosis dengan cara diagnosis presumtif.
Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV pada orang
dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada saat tes
dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah dihentikan
selama >6 minggu.
VII. PENATALAKSANAAN8,9
Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupresi
virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang
kronis.Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya
gejala klinis. Menurut WHO, pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan:
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 19
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ARV yang tersedia di Indonesia:
a. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): obat ini dikenal sebagai
analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA.
Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC),
Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC).
b. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda
dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA.
Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan
Delavirdine (DLV).
c. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang
memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat
dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir
(SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 20
Panduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 NRTI + 1 NNRTI.
Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat 3 kombinasi panduan ARV
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 21
Pada anak yang patuh minum obat, kriteria gagal imunologis adalah:
Pada anak > 2 tahun dan < 5 tahun, nilai CD4<200sel/mm3 atau CD4<10%
Pada anak > 5 tahun CD4<100mm sel/mm3
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 22
Tabel 6. Efek samping ARV yang sering ditemukan:
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 23
Penanggulangan infeksi oportunistik
Belum banyak dilakukan penelitian tentang pengobatan infeksi oportunistik ini,
pengobatan yang pernah dicoba tertera sebagai berikut:
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 24
Profilaksis Kotrimoksazol untuk pneumonia (Pneumocystis Jiroveci)
Gambar 5.Bagan pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 25
Pasien dan keluarga harus diedukasi bahwa kotrimoksazol tidak mengobati atau
menyembuhkan HIV.Kotrimoksazol hanya mencegah infeksi yang umum terjadi pada
bayi yang terpajan HIV dan anak imunokompromais dengan tingkat mortalitas tinggi.
Tabel 8. Inisiasi profilaksis Kotrimoksazol pada anak
Terapi Suportif10
Anak dengan infeksi HIV kerapkali ditemukan masalah nutrisi sehingga perlu
mendapat perhatian terutama bila terdapat diare berulang atau menetap hingga
diperlukan pemberian alimentasi intravena yang lama.Selain itu anak yang
didiagnosis HIV/AIDS selain mendapatkan perawatan berupa terapi antiretroviral dan
pengobatan infeksi oportunistik juga mendapatkan dukungan psikologis.Dukungan
ini bisa diperoleh dari klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing).Dukungan
tersebut dapat berupa konseling, dukungan sebaya, dukungan spiritual dan dukungan
komunitas.Hal ini sangat diperlukan terutama pada anak-anak karena adanya stigma
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 26
di masyarakat tentang orang yang menderita HIV/AIDS sehingga pada anak bisa
berakibat pada munculnya perilaku diskriminatif dan menghindar dari lingkungan
baik keluarga maupun teman bermain.Oleh karena itu diharapkan dengan adanya
dukungan psikologis maka bisa mengurangi dampak stigma tersebut pada anak.
VIII. PENCEGAHAN6
Penemuan kasus (case finding) dari wanita yang terinfeksi HIV sebelum atau
selama kehamilan sangat penting untuk memberikan terapi yang optimal bagi yang
bersangkutan dan untuk mencegah penularan perinatal. Konseling HIVprenatal dan
menjalani pemeriksaan untuk HIV setelah inform consentsebaiknya dilakukan.
Tingkat penularan vertikal menjadi berkurang melalui kemoprofilaksis kepada
ibu dan bayi baru lahir yang diberi obat selama 6 minggu pertama kehidupan. Sectio
cesaria dianjurkan dijadwalkan pada usia 38 minggu untuk mencegah penularan
vertikal terutama bila viral load lebih besar dari 1000 kopi/ml.
Pencegahan infeksi HIV pada orang dewasa menurunkan kejadian infeksi pada
anak.Pencegahan pada orang dewasa didapat dari perubahan perilaku seperti praktek
“seks aman”, penurunan penggunaan narkoba suntik.Pencegahan AIDS pada anak
meliputi pencegahan kehamilan dan menyusui pada wanita berisiko tinggi.Penapisan
donor darah telah hampir menghilangkan risiko penularan HIV melalui produk darah.
IX. PROGNOSIS6
Ketersediaan ARV secara bermakna telah memperbaiki prognosis HIV dan
AIDS. Anak dengan infeksi oportunistik terutama pneumonia P jirovecii,
ensefalopati, atau wasting syndrome memiliki prognosis yang paling buruk, dengan
75% kasus meninggal sebelum usia 3 tahun.
X. KESIMPULAN
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 27
AIDS adalah stadium lanjut dari infeksi HIV yang berakibat pada kerusakan
sistem kekebalan tubuh secara progresif dan menyebabkan terjadinya infeksi
oportunistik. Pada bayi dan anak,transmisi HIV terjadi akibat penularannya dari ibu
baik melalui plasenta, pemaparan dengan darah atau secret jalan lahir maupun terjadi
melalui air susu ibu. Pada remaja, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat
menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV.
Infeksi HIV dibagi menjadi 4 stadium klinis. Pada awalnya infeksi HIV akan
menunjukan fase tanpa gejala. Beberapa saat kemudian barulah muncul gejala
nonspesifik dan gejala spesifik.Diagnosis HIV ditegakan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.Diagnosis pasti dikerjakan dengan
pemeriksaan virologi dan serologis.Terapi HIV menggunakan obat ARV meskipun
tidak dapat mengeradikasi virus. Contoh obatnya antara lain: Zidovudine (AZT),
Lamivudine (3TC), Stavudine (d4T), nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV) dan lain-
lain. Umunya prognosis penyakit ini tergolong buruk.
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 28
DAFTAR PUSTAKA
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 29
SMF/Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes | Referat HIV AIDS pada Bayi dan Anak Page 30