Anda di halaman 1dari 11

Reading Report Model-Model Kurikulum

Nama : Nurul Ainun


NIM : 105331105521
Sumber : Rujukan atrikel web (JENDELA DUNIA) November 2015 oleh Muh Nurkholis.

A.   Model-model kurikulum

Pengembangan kurikulum berkenaan dengan model kurikulum


yang  dikembangkannya. Minimal ada empat model kurikulum yang banyak diacu dalam
pengembangan kurikulum, yaitu model kurikulum subjek Akademis, Humanistik,
Rekonstruksi Sosial dan Kompetensi (Sukmadinata, 2009)

Masing-masing model sejalan dengan teori yang mendasarinya, bertolak dari


asumsinya atau keyakinan dasar yang  berbeda sehingga menimbulkan pandangan yang
berbeda pula tentang kedudukan dan peranan pendidik, peserta didik, isi maupun proses
pendidikan. Keempat model kurikulum tersebut memiliki acuan teori atau konsep pendidikan
yang berbeda. Kurikulum subjek akademis mengacu pada pendidikan klasik, yaitu
perenialisme dan esensialisme; kurikulum humanistic mengacu pada pendidikan pribadi;
kurikulum rekonstruksi social mengacu pada pendidikan interaksional dan kurikulum
kompetensi mengacu pada teknologi pendidikan.

1. Kurikulum Subjek Akademis

Kurikulum subjek akademis merupakan salah satu model kurikulum yang paling tua.
Kurikulum ini menekankan isi atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu.

Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik, yang berorientasi pada
masa lau, bahwa semua ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai budaya telah ditemukan
oleh para ahli di masa lalu. Fungsi pendidikan adalah memelihara dan mewariskanya kepada
generasi baru. Kurikulum ini sangat mengutamakan isi pendidikan. Ukuran keberhasilan
peserta didik dalam belajar adalah yang menguasai seluruh atau sebagian besar dari isi
pendidikan yang diajarkan guru.

Para pengembang kurikulum tinggal memilih bahan-bahan materi ilmu yang telah
dikembangkan oleh para ahli disiplin ilmu, kemudian mengorganisasinya secara sistematis,
sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan peserta didik. Guru sebagai
penyampai bahan ajar harus menguasai semua pengetahuan yang menjadi isi kurikulum.

Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek akademis. Pola-
pola organisasi yang terpenting menurut Sukmadinata (2009) di antaranya sebagai berikut.[1]

a) Correlated curriculum
Pola organisasi materi atau konsep yang dipelajari dalam suatu peajaran dikorelasikan denga
pelajaran lainnya

b) Unfied atau concentrated curriculum

pola organisasi bahan peajaran tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup
materi dari berbagai pelajaran disiplin ilmu

c) Integrated curriculum

Kalau dalam unified masih tampak warna disiplin ilmunya, maka dalam pola yang integrated
warna disiplin ilmu tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan dalam suatu
persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu

d) Problem solving curriculum

Pola organisasi yang berisi topik pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam  kehidupan
dengan menggunakan pengetahuan dan keterampian yang diperoleh dari berbagai mata
pelajaran atau disiplin ilmu

2. Kurikulum humanistic

Model kurikulum humanistic menekankan pengembangan kepribadian peserta didik


secara utuh dan seimbang, antara perkembangan segi intelektual (kognitif), afektif, dan
psikomotor. Kurikulum humanistic menekankan pengembangan potensi dan kemampuan
dengan memperhatikan minat dan kebutuhan peserta didik. Pembelajaran segi-segi social,
moral, dan afektif mendapat perhatian utama dalam model kurikulum ini. Pembelajarannya
berpusat pada peserta didik (student centererd).

Model kurikulum ini bersumber dari pendidikan pribadi. Kurikulum humanistic


dikembangkan oleh pata ahli pendidikan humanistic, didasari oleh konsep-konsep pendidikan
pribadi (personalized education), yaitu John Dewey (progressive education) dan J.J.
Rousseau (Romantic Education).

3. Kurikulum rekonstruksi social

Kurikulum rekontruksi social lebih memusatkan perhatiannya pada pemersalahan yang


dihadapi peserta didik dalam masyarakat kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan
intruksional. Pendidikan merupakan kegiatan bersama, interaksi dan kerja sama. Kerja sama
atau interaksi bukan hanya terjadi pada peserta didik dan guru melainkan juga antara peserta
didik dengan peserta didik, peserta didik dengan orang-orang lingkungannya dan sumber-
sumber belajar lainnya. Melalui interasi kerjasama ini, peserta didik berusaha memecahkan
permasalahan yang dihadapinya dengan masyarakat, menuju pembentukan masyarakat yang
lebih baik.
Kurikulum rekonstruksi social memiliki kompenen-kompenen yang sama dengan model
kurikulum lain, tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda. Setiap tahun program pendidikan
mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan utama dari rekonstruksi social adalah
menghadapkan para peserta didik dengan tantangan, ancaman, hambatan, atau gangguan
yang biasanya dihadapi manusia. Tantangan merupakan bidang garapan dari studi social yang
perlu didekati dari bidang-bidang lain, seperti ekonomi, sosialogi, spikologi, estetika, bahkan
pengetahuan alam dan matematika. Masalah-masalah masyarakat bersifat universal dan hal
ini dapat dikaji dalam kurikulum.

Dalam pembelajaran rekonstruksi social, para pengembangan kurikulum berusaha


mencari keselarasan antara tujuan nasional dengan tujuan peserta didik. Guru-guru berusaha
membantu para peserta didik menemukan minat dan kebutuhannya. Para peserta didik sesuai
dengan minatnya masing-masing, berusaha memecahkan masalah social yang dihadapinya.
Kerja sama yang terbentuk baik antara individu dalam kegiatan kelompok, maupun
antarkelompok dalam kegiatan pleno, sangat mewarnai metode rekonstruksi social. Kerja
sama ini juga terjadi antara peserta didik dengan tokoh masyarakat. Bagi rekontruksi social,
belajar merupakan kegiatan bersama, ada ketergantungan antara seorang dengan yang
lainnya. Dalam kegiatan belajar mereka tidak ada kompetesi, yang ada adalah kerja sama,
saling pengertian dan consensus. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran yang cocok
adalah pendekatan pembelajaran kooperatif, bukan kompetitif (Widyastono, 2000).

4.  Kurikulum kompetensi

Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan kompetensi menjadi suatu keharusan.


Setiap orang dituntut kompeten dibidangnya. Kompetensi dapat didefinisikan sebagai
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak (depdiknas, 2004.) sementara itu, menurut spencer dan spencer (1993)
kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik
dengan suatu criteria efektif atau kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.
Selanjutnya, berdasarkan kajian dari literature. Widyastono (2013) merumuskan kompetensi
adalah pengetahuan (kognitif) yang setelah dimiliki seseorang, harus diwujudkan dalam
bertindak (spikomotor) dan bersikap (afektif). Seseorang dikatakan kompeten dibidang
tertentu, apabila ia memiliki pengetahuan dibidang itu, kemudian pengetahuan tersebut
diwujudkan dalam bertindak dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita tau
bahwa merokok dapat mengganggu kesehatan, tetapi masih ada diantara kita hobi nya
merokok. Nah, orang yang hobi nya merokok itu, dapat dikatakan baru sekadar memiliki
pengetahuan dibidang kesehatan, tetapi belum memiliki kompetensi atau belum kompeten
dibidang kesehatan karena pengetahuannya belum diwujudkan dalam bertindak dan bersikap.

Sejalan dengan perkembangan ilmu dan tekonologi , dibidang pendidikan berkembang


pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu
menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemelihararaa  dan pengawetan ilmu
tersebut, melainkan pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang benar diuraikan
menjadi kompetensi yang lebih spesifik dan menjadi perilaku yang dapat diamati atau diukur.
Penerapan tekonologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum ada dalam dua bentuk,
yaitu bentuk perangkat keras (teknologi alat) dan perangkat (teknologi system).

B.   Model Pengembangan Kurikulum

Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternative prosedur dalam rangka


mendesain (designing), menerapkan (implementation) , dan mengevaluasi (evaluation) suatu
kurikulum. Oleh karena itu, model pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan
suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan
standar keberhasilan pendidikan. (Ruhimat, T. dkk 2009: 74).[3]

Dewasa ini telah banyak dikembangkan model-model pengembangan kurikulum, setiap


model pengembangan kurikulum tersebut memiliki karakteristik pada pola desain,
implementasi, evaluasi, dan tindak lanjut dalam pembelajaran. Dalam pengembangan
kurikulum dapat diidentifikasi berdasarkan basis apa yang akan dicapai dalam kurikulum
tersebut. Seperti aternatif yang menekankan pada kebutuhan mata pelajaran, peserta didik,
penguasaan kompetensi suatu pekerjaan, kebutuhan masyarakat atau permasalahan social.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum perlu dilakukan berlandaskan teori yang tepat agar
kurikulum yang dihasilkan bisa efektif.

Agar dapat mengembangkan kurikulum secara baik, pengembangan kurikulum


semestinya belajar berbagai jenis model pengembangan kurikulum. Yang dimaksud model
pengembangan kurikulum dalam tulisan ini yaitu langkah atau prosedur sistematis dalam
proses penyusunan suatu kurikulum. Dengan memahami esensi model pengembangan
kurikulum dan sejumlah alternative model pengembangan kurikulum, para pengembang
kurikulum diharapkan akan bisa bekerja secara lebih sistematis, sestemik, dan optimal.
Sehingga harapan ideal terwujudnya suatu kurikulum yang akomodatif dengan berbagai
kepentingan, teori dan praktik bisa diwujudkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, dalam
bab ini akan diuraikan beberapa model pengembangan kurikulum, model-model
pengembangan yang akan dibahas, yaitu model Ralph Tyler, Administratif, Grass Root,
Demonstrasi, Miller-Seller, Taba dan Beuchamp

1. Model Ralph Tyler

            Model pengembangan kurikulum yang dikemukakan Tyler (1949) diajukan


berdasarkan pada beberapa pertanyaan yang mengarah pada langkah-langkah dalam
pengembangan kurikulum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :

1) Tujuan pendidikan apa yang harus dicapai oleh sekolah ?


2) Pengalaman-pengalaman pendidikan apakah yang semestinya diberikan untuk mencapai
tujuan pendidikan ?
3) Bagaimanakah pengalaman-pengalaman pendidikan sebaiknya harus diorganisasikan ?
4) Bagaimanakah menentukan bahwa tujuan telah tercapai ?

Oleh karena itu, menurut Tyler ada empat tahap yang harus dilakukan dalam
pengembangan kurikulum yang meliputi :

 Menentukan tujuan pendidikan


 Menentukan proses pelajaran yang harus dilakukan
 Menentukan organisasi pengalaman belajar
 Menentukan evaluasi pembelajaran

     Berikut ini penjelasan setiap tahapan model pengembangan kurikulum Tyler :

1) Menentukan Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan merupakan arah atau sasaran akhir yang harus dicapai dalam program
pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pendidikan harus menggambarkan perilaku akhir
setelah peserta didik mengikuti program pendidikan sehingga tujuan tersebut harus
dirumuskan secara jelas sampai pada rumusan tujuan khusus guna mempermudah
mencapaikan tujuan tersebut.

Ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan sebagai sumber dalam penentuan tujuan
pendidikan menurut Tyler, yaitu a) hakikat peserta didik b) kehidupan masyarakat masa kini,
dan c) pandangan para ahli dan bidang studi. Ketiga aspek tersebut harus dipertimbangan
dalam penentuan tujuan pendidikan umum. Penentuan tujuan pendidikan dengan berdasarkan
ketiga aspek tersebut, selanjutnya difilter oleh nilai-nilai filosofis masyarakat dan filosofis
pendidikan serta psikologi belajar.

Ada lima factor yang menjadi arah penentuan tujuan pendidikan yaitu: pengembangan
kemampuan berpikir, membantu memperoleh informasi, pengembangan sikap
kemasyarakatan, pengembangan minat peserta didik, dan pengembangan sikap social.

2) Menentukan Proses Pembelajaran

Setelah penetapan tujuan, selanjutnya adalah menentukan proses pembelajaran apa yang
paling cocok untuk dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu aspek yang harus
diperhatiakan dalam penentuan proses pembelajaran adalah persepsi dan latar belakang
kemampuan peserta didik. Artinya, pengalaman yang sudah dimiliki siswa harus menjadi
bahan pertimbngan dalam menentukan proses pembelajaran selanjutnya. Dalam proses
pembelajaran akan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungan atau sumber
belajar yang tujuannya untuk membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan sehingga
menjadi perilaku yang utuh. Oleh karena itu, ketetapan dalam pemilihan proses pembelajaran
sangan menentukan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

3) Menentukan Organisasi Pengalaman Belajar


Setelah proses pembelajaran ditentukan, selanjutnya menentukan organisasi pengalaman
belajar. Pengalaman belajar di dalamnya mencakup tahapan-tahapan belajar dan isi atau
materi belajar. Bahan yang harus dipelajari peserta didik dan pengalaman belajar apa yang
harus dilakukan, diorganisasi sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan dalam
pencapaian tujuan. Kejelasan tujuan, materi belajar dan proses pembelajaran serta urutan-
urutan akan mempermudah untuk memperoleh gambaran tentang evaluasi pembelajaran apa
yang sebaiknya digunakan.

4) Menetukan Evaluasi Pembelajaran

Menentukan jenis evaluasi apa yang cocok digunakan, merupakan kegiatan akhir dalam
model Tyler. Jenis penilaian yang akan digunakan, harus desesuaikan dengan jenis dan sifat
dari tujuan pendidikan atau pembelajaran, materi pembelajaran, dan proses belajar yang telah
ditetapkan sebelumnya. Agar penetapan jenis evaluasi bisa tepat, maka para pengembang
kurikulum disamping harus memperhatikan komponen-komponen kurikulum laiinya, juga
harus memperhatikan prinsip-prinsip evaluasi yang ada.

2. Model Administratif

Pengembangan kurikulum model ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top
down) atau staf lini (line-staff procedure), artinya pengembangan pengembangan kurikulum
ini ide awal dan pelaksanaanya dimulai dari pejabat tingkat atas pembuat kebijakan dan
keputusan berkaitan dengan pengembangan kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai tim
pengarah dalam pengembangan kurikulum. Langkah kedua adalah membentuk suatu tim
panitia pelaksana atau komisi untuk mengembangkan kurikulum yang didukung oleh
beberapa anggota yang terdiri oleh beberapa ahli, yaitu : ahli pendidikan, kurikulum, disiplin
ilmu, tokoh masyarakat, tim pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja.

Tim ini bertugas untuk mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan,


maupun strategi pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara
operasional berkaitan dengan oengembangan atau perumusan tujuan pendidikan maupun
pembelajaran, pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi meteri pelajaran,
menyusun alternative proses pembelajaran, dan menentukan penilaian pembelajaran.

Selanjutnya, kurikulum yang sudah selesai disusun kemudian diajukan untuk deperiksa
dan diperbaiki oleh tim pengarah. Tim ini melakukan penyesuaian antara aspek-aspek
kurikulum secara terkoordinasi dan menyiapkan secara system dalam rangka uji coba
maupun dalam rangka sosialisasi dan penyebarluasan. Setelah perbaikan atau
penyempurnaan, kurikulum tersebut perlu diujicobakan secara nyata dibeberapa sekolah yang
dianggap representif. Pelaksana uji coba adalah tenaga professional sebagai pelaksana
lapangan, yaitu kepala sekolah dan guru-guru yang tidak dilibatkan dalam penyusunan
kurikulum.
Supaya uji coba tersebut menghasilkan masukan yang efektif, maka diperlukan kegiatan
monitoring dan evaluasi yang fungsinya untuk memperbaiki atau menyempurnakan
berdasarkan pelaksanaan di lapangan. Kurikulum ini merupakan kurikulum yang bentuknya
seragam dan bersifat sentalistik, sehingga kurang sesuai jika diterapkan dalam dunia
pendidikan yang menganut asas desentralisasi, selain daripada itu, kurikulum ini kurang
tanggap terhadap perubahan nyta yang dihadapi para pelaksana kurikulum dilapangan.
Perubahan lebih cenderung dilakukan berdasarkan pola piker pihak atasan (birokrat)
pendidikan.

3. Model Grass Roots

Pengembangan model ini kebalikan dari model administrative. Model Grass Roots
merupakan model pengembangan kurikulum yang dimulai dari arus bawah. Dalam prosesnya
pengembangan kurikulum ini diawali atau dimulai dari gagasan guru-guru sebagai pelaksana
pendidikan disekolah. Model Grass Roots lebih demokratis karena pengembangan dilakukan
oleh para pelaksana dilapangan, sehingga perbaikan dan peningkatan dapat dimulai dari unit-
unit terkecil dan spesifik menuju pada bagian-bagian yang lebih besar.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum model Grass
Roots, diantaranya :

a. Guru harus memiliki kemampuan yang professional.


b. Guru harus terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum, penyelesaian
permasalahan kurikulum.
c. Guru harus terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan
penentuan evaluasi
d. Seringnya pertemuan kelompok dalam pembahasan kurikulum yang akan
berdampak  terhadap pemahaman guru dan akan menghasilkan consensus tujuan,
prinsip, maupun rencana-rencana.

Lebih jelasnya langkah-langkah dari model Grass Roots ini adalah :

a) Inisiatif pengembangan datangnya dari bawah (para pengajar)


b) Tim pengajar dari beberapa sekolah ditambah narasumber lain dari orang tua peserta
didik atau masyarakat luas yang relavan.
c) Pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan.
d) Untuk pemantapan konsep pengembangan yang telah dirintisnya diadakan lokakarya
untuk mencari input yang diperlukan.

4. Model Demonstrasi

     Model pengembangan kurikulum ini datangnya dari bawah. Semula merupakan suatu
upaya inovasi kurikulum dalam skala kecil yang selanjutnya digunakan dalam skala yang
lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering mendapat tantangan dan ketidaksetujuaan dari
pihak-pihak tertentu.

     Menurut Smith, Stanley, dan Shores, ada dua bentuk model pengembangan ini. Pertama,
sekelompok guru dari suatu sekolah atau beberapa sekolah yang diorganisasi dan ditunjuk
untuk melaksanakan suatu uii coba atau eksperemen suatu kurikulum. Unit-unit ini
melakukan suatu proyek melalui kegiatan peneliatian dan pengembangan untuk
menghasilkan suatu model kurikulum. Hasil dari kegiatan peneliatian dan pengembangan ini
diharapkan dapat digunakan pada lingkungan yang lebih luas. Pengembangan model ini
biasanya diprakarsai oleh pihak Depertemen Pendidikan dan dilaksanakan oleh kelompok
guru dalam rangka inovasi dan perbaikan suatu kurikulum.

     Kedua, dari beberapa orang guru yang merasa kurang puas tentang kurikulum yang telah
ada, kemudian mereka melukakan ekperemen, uji coba, dan mengadakan pengembangan
secara mandiri. Pada dasarnya guru-guru tersebut mencobakan yang dianggap belum ada, dan
merupakan suatu inovasi terhadap kurikulum, sehingga berbeda dengan pengembangan
kurikulum yang berlaku, dengan harapan akan ditemukan pengembangan kurikulum yang
lebih baik dari yang ada.

Secara rincinya langkah-langkah dalam pengembangan model ini yaitu :

o Staf pengajar pada suatu sekolah menemukan suatu ide pengembangan dan ternyata
hasilnya dinilai baik.
o Kemudian hasilnya disebarluaskan disekolah sekitar.

Ada beberapa kebaikan dalam penerapan model pengembangan ini, diantaranya adalah :

1) Kurikulum ini akan lebih nyata dan praktis, karena dihasilkan melalui proses yang telah
diuji dan diteliti secara ilmiah.
2) Perubahan kurikulum dalam skala kecil atau pada aspek yang lebih khusus kemungkinan
kecil akan ditolak oleh pihak administrator, akan berbeda dengan perubahan kurikulum
yang sangat luas dan kompleks.
3) Hakikat model demonstrasi berskala kecil akan terhindar dari kesenjangan dokumen dan
pelaksanaan dilapangan.
4) Model ini akan menggerakkan inisiatif, kreativitas guru-guru serta memberdayakan
sumber-sumber administrasi untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru dalam
mengembangkan program yang baru.

5. Model Miller-Seller

Pengembangan kurikulum ini ada perbedaan dengan model-model sebelumnya. Model


pengembangan kurikulum Miller-Seller merupakan pengembangan kurikulum kombinasi dari
model tranmisi (Gagne) dan model transaksi (Taba’s & Robinson), dengan tahapan
pengembangan sebagai berikut :
1)   Klarifikasi Orientasi Kurikulum

Langkah pertama yang dianggap sangat penting adalah menguji dan mengklarifikasi
orientasi. Orientasi ini mereflekasikan pandangan filosofis, psikologis, dan sosiologis
terhadap kurikulum yang seharusnya dikembangkan. Menurut Miller dan Seller, ada tiga
jenis orientasi kurikulum yaitu tranmisi, transaksi, dan tranformasi

2)   Pengembangan Tujuan

Setelah klarifikasi orientasi kurikulum, langkah berikutnya adalah mengembangkan tujuan


umum (aims) dan mengembangkan tujuan khusus berdasarkan orientasi kurikulum yang
bersangkutan. Tujuan umum dalam konteks ini adalah merefleksikan pandangan orang
(image person) dan pandangan (image) kemasyarakatan. Tujuan pengembangan merupakan
tujuan yang masih relative umum. Oleh karena itu, perlu dikembangkan tujuan-tujuan yang
lebih khusus hingga pada tujuan intruksional.

3)   Identifikasi Model Mengajar

Identifikasi model mengajar (startegi mengajar) harus sesuai dengan tujuan dan oreintasi
kurikulum. Pada tahap ini pelaksanaan kurikulum harus mengidentifikasi strategi mengajar
yang akan digunakan yang disesuiakan dengan tujuan dan oreintasi kurikulum. Ada beberapa
kreteria dalam menentukan model mengajar yang akan digunakan, yaitu :

 Disesuaikan dengan tujuan  umum maupun tujuan khusus.


 Strukturnya harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
 Guru yang menerapkan kurikulum ini harus sudah memahami secara utuh, sudah
dilatih, dan mendukung model.
 Tersedia sumber-sumber yang esensial dalam pengembangan model.

4)   Implementasi

Langkah ini merupakan langkah penerapan kurikulum berdasarkan langkah-langkah


sebelumnya. Implementasi sebaiknya dilaksanakan dengan memperhatikan komponen-
komponen program studi, identifikasi sumber, peranan, pengembangan professional,
penetapan waktu, komunikasi,  dan system monitoring. Langkah ini merupakan langkah akhir
dalam pengembangan kurikulum.

6. Model Hilda Taba

Model ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang disebut model
terbalik, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang
datangnya dari atas secara deduktif, terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara
mengadakan percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, baru diadakan
pelaksanaan.

Langkah-langkahnya sebagai berikut :


a)    Mengadakan unit-unit eksperemen bersama dengan guru-guru

Dalam kegiatan ini perlu disiapkan 1) perencanaan berdasarkan teori-teori yang kuat, 2)
eksperemen harus dilakukan di dalam kelas agar menghasilkan  data emperik dan teruji. Unit
eksperemen ini harus dirancang melalui tahapan sebagai berikut :

1. Mendiagnosis kebutuhan
2. Merumuskan tujuan-tujuan khusus
3. Memilih isi
4. Mengorganisasi isi
5. Memilih pengalaman belajar
6. Mengorganisasi pengalaman belajar
7. mengevaluasi
8. melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347)

b)   Menguji unit eksperemen

Unit yang sudah dihasilkan pada langkah pertama diujicobakan dikelas-kelas eksperemen
pada berbagai situasi dan kondisi belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat
validitas dan kepraktisan sehingga dapat menghimpun data untuk penyempurnaan.

c)    Mengadakan revisi dan konsolidasi

Setelah langkah pengujian, maka langkah selanjutnya adalah melakukan revisi dan
konsolidasi. Perbaikan dan penyempurnaan dilakukan berdasarkan pada data yang dihimpun
sebelumnya. Selain perbaikan dan penyempurnaan, dilakukan juga konsolidasi, yaitu
penarikan kesimpulan pada hal-hal yang bersifat umum dan konsestensi teori yang
digunakan. Langkah ini dilakukan secara bersama-sama dengan coordinator kurikulum
maupun ahli kurikulum. Produk dari langkah ini adalah berupa teaching learning unit yang
telah teruji dilapangan.

d)   Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum

Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih
menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu harus dikaji oleh para ahli kurikulum, ada
beberapa  pertannyaan yang harus dijawab dalam langkah ini :

1. Apakah lingkup isi telah memadai ?


2. Apakah isi telah tersusun secara sistematis ?
3. Apakah pembelajaran telah memberikan peluang terhadap pengembangan
intelektual, keterampla, dan sikap ?
4. Apakah konsep dasar sudah terakomodasi ?

e)    Implementasi dan desiminasi


Dalam langkah ini dilakukan penerapan dan penyelebarluasan program ke daerah dan
sekolah-sekolah, dan dilakukan pendataan tentang kesulitan serta permasalahan  yang
dihadapi guru-guru dilapangan. Oleh karena  itu, perlu diperhatikan tentang persiapan
dilapangan yang berkaitan dengan aspek-aspek penerapan kurikulum.

7. Model Beuchamp

Model ini dikembangkan oleh G.A. Beauchamp (1964). Langkah-langkahnya sebagai


berikut :

a)    Suatu gagasan pengembangan kurikulum yang telah dilaksanakan dikelas, diperluas di


sekolah, disebarkan di sekolah-sekolah di daerah tertentu baik berskala regional maupun
nasional yang disebut arena.

b)   Menunjuk tim pengembang yang terdiri atas ahli kurikulum, para ekspert, staf pengajar,
petugas bimbingan, dan narasumber lain.

c)    Tim menyusun tujuan pengajaran, materi, dan pelaksanaan proses belajar mengajar. Untuk
tugas tersebut perlu dibentuk : dewan kurikulum sebagai koorninator yang bertugas juga
sebagai penilai pelaksanaan kurikulum, memilih materi pelajaran baru, menentukan berbagai
kriteria untuk memilih kurikulum mana yang akan dipakai, dan menulis secara menyeluruh
mengenai kurikulum yang akan dikembangkan.

d)   Melaksanakan kurikulum di sekolah.

e)    Mengevaluasi kurikulum yang berlaku

Anda mungkin juga menyukai