Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PENGEMBANGAN KURIKULUM

KOMPONEN DAN DESAIN KURIKULUM

Oleh :
Kartika Sulistyani (21070795006)
Risa Umami (21070795011)
M. Izzur Aulia Rizky (21070795020)

PASCASARJANA PENDIDIKAN SAINS


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu “curir” yang artinya pelari, serta “curere’
yang artinya tempat berpacu. Jadi, kurikulum adalah sebuah jarak yang ditempuh oleh pelari
supaya mendapat medali atau penghargaan lain. Kemudian, istilah kurikulum diadaptasi dalam
dunia pendidikan menjadi sekumpulan mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh
peserta didik supaya mendapatkan ijasah atau penghargaan. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
pasal 1 mengatakan bahwa, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum berisi sekumpulan
rencana, tujuan dan materi pembelajaran. Termasuk di dalamnya memuat metode belajar
mengajar, cara mengevaluasi siswa dan seluruh program, bimbingan dan penyuluhan,
supervisi dan administrasi dan struktur yang berhubungan dengan waktu, ruangan, dan
pemilihan mata pelajaran.
Kurikulum menjadi sangat penting untuk dimiliki setiap sekolah sebagai pedoman bagi
para guru maupun stakeholder sekolah. Terutama bagi sekolah-sekolah formal, dimana
kurikulum akan menjadi sebuah pedoman atau pegangan dalam kegiatan proses belajar
mengajar. Sesuai dengan pengertian kurikulum yaitu sesuatu yang terencana, maka dalam
dunia pendidikan segala kegiatan siswa diatur sedemikian rupa sehingga tujuan adanya
pendidikan dapat tercapai.
Kurikulum seringkali mengalami pengembangan bahkan pengembangan kurikulum ini
menjadi sebuah kebutuhan dan kewajiban. Hal ini bertujuan agar kurikulum tetap relevan dan
mampu menjawab tantangan zaman. Dalam mengembangkan kurikulum perlu memperhatikan
komponen-komponen dan desain pengembangan kurikulum. Hal ini dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mendiagnosis dari sudut mana dan arah pengembangannya ke mana
pengembangan tersebut dilakukan. Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu :
(1) tujuan
(2) materi
(3) strategi pembelajaran
(4) organisasi kurikulum
(5) evaluasi
Kelima komponen tersebut bersifat holistik dan memiliki keterkaitan yang erat serta
tidak bisa dipisahkan. Dengan memahami komponen dan desain pengembangan kurikulum,
sebuah lembaga akan mampu mengorganisasi dan mendesain kurikulum yang digunakannya
dengan sedemikian baik agar dapat membawa lembaga atau sekolahnya kepada pencapaian
tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
BAB II
KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM

Komponen kurikulum secara umum dalam dunia pendidikan yang luas menurut N. S.
Sukmadinata teridentifikasi dalam unsur atau anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah terdiri
dari bagian-bagian sebagai berikut yaitu tujuan, isi atau materi, strategi pembelajaran, organisasi
kurikulum, dan evaluasi.

A. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah
mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam
teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-
politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati
demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang
sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 2007) bahwa tujuan
pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1. Otonomi; memberikan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan yang maksimal
kepada individu dan kelompok sehingga mereka dapat mengelola kehidupan pribadi
dan kolektif mereka semaksimal mungkin.
2. Ekuitas; memungkinkan semua warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan
budaya dan ekonomi dengan memberikan mereka pendidikan dasar yang setara.
3. Bertahan hidup ; mengizinkan setiap bangsa untuk mentransmisikan dan memperkaya
warisan budayanya dari generasi ke generasi, tetapi juga membimbing pendidikan
menuju saling pengertian dan menuju apa yang telah menjadi realisasi tujuan bersama
di seluruh dunia.).
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat
secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bahwa : ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran
makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan
yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan
tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum
pendidikan berikut:
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan
kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang
dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting..
Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan
terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat
terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan
menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai
pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian
penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual
atau aspek kognitif. Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat
progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada
proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya
pengembangan aspek afektif. Apabila pengembangan kurikulum menggunakan filsafat
rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada
upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama. Sementara
kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan
dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian
kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan
tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan
tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau
model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu, untuk
mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering
digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari
seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih
diusahakan secara berimbang.

B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan
teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan
kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme)
penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi
pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk:
a. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan,
yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan –
hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala
tersebut.
b. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,
merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
c. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari
analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
d. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan
hubungan antara beberapa konsep.
e. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus
dilakukan peserta didik.
f. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari
terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
g. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas
suatu uraian atau pendapat.
h. Definisi, yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam
garis besarnya.
i. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya
mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih
memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu,
materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran
dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari
masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam.
Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja
untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang
lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan
obyektif.
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran,
sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap
kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu
memperhatikan hal-hal berikut :
1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah
teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan
merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi
untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik.
Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non
akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut.
Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap
yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat
kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya
terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi
peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga
memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih
Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran
dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang
kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-
bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi
pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur,
dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan
tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas
dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah
akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi
5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c)
pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik
diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan
data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk
mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
7. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi
pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut
menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik,
berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

C. Strategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang
melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan
materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi
pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam
pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak
dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya
ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat
kepada guru.
Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai
pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek
yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran
yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti
ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari
kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam
suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif
menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus
menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan
mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat
dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses
pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual,
langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran
moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya. Dalam hal ini, guru
tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan
guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar
yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong
dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan
sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta
didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi
pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam
pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta
didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta
didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau
media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung
sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk
melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi
pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya
tersendiri. Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai
muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya
seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif,
menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan
proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan
terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam
ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata
pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan
dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak
mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi
diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi
kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang
ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna
memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan
beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan
dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran
dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core
tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang
menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah,
dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran
lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan
masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan
secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi
kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih
cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam
lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5)
kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam
sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di
samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal
serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan
pengembangan diri.

E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas,
evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation
of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator
kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi,
efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal
yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of
personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various
subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and
so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi
kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah
evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau
komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen
kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar
siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan
tertentu. Dengan mengutip pemikiran Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum
yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals,
comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang
menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi
kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitaif
berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi
kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan,
instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori,
interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan
pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu
sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan
pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan
pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala
sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu
perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu
pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih
Sukmadinata, 1997).
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan
dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2)
pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi. Di samping itu, terdapat
beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input,
Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran
pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan
lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme
pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja
(performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk
akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program
yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program
pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model
ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah
program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut
adalah, sebagai berikut :
1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan
strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan,
seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin
dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi
dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti :
dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar,
sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan
proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar,
penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka
pendek dan jangka lebih panjang.
BAB III
DESAIN KURIKULUM

Suatu desain kurikulum meliputi dan merupakan suatu proses pengembangan


kurikulum yang diawali dari perencanaan, yang dilanjutkan dengan validasi, implementasi dan
evaluasi. Proses pengembangan tersebut bersifat menyeluruh dan dilaksanakan secara bertahap
dan berkesinambungan. Fred Percival dan Henry Ellington (1984) mengemukakan bahwa
desain kurikulum adalah pengembangan proses perencanaan, validasi, implementasi dan
evaluasi kurikulum.
A. Prinsip Acuan Mendesain Kurikulum
Saylor mengajukan delapan prinsip sebagai acuan dalam mendesain kurikulum.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
1. Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta pengembangan
semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi pencapaian prestasi belajar, sesuai
dengan hasil yang diharapkan.
2. Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam rangka
merealisasikan tujuab-tujuab pendidikan, khususnya bagi kelompok siswa yang belajar
dengan bimbingan guru.
3. Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk menggunakan
prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan mengembangkan berbagai
kegiatan belajar di sekolah.
4. Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman dengan kebutuhan,
kaasitas dan tingkat kematangan siswa.
5. Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar anak
yang diperoleh di luar skeolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah.
6. Desain harus menyediakan pengalaman belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan
belajar siswa berkembang sejalan dengan pengalaman terdahulu dan terus berlanjut
pada pengalaman berikutnya.
7. Kurikulum harus didesain agar dapat membantu siswa mengembangkan watak,
kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai dmeokrasi yang menjiwai kultur.
8. Desain kurikulum harus realistis, layak dan dapat diterima.
B. Desain-Desain Kurikulum
Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum
sesuai dengan visi dan misi lembaga. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum, sama
halnya seperti seorang arsitek. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkontruksi bangunan
terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun.
Desain kurikulum dapat didefinisikan sebagai rencana atau susunan dari unsur-unsur
kurikulum yang terdiri atas tujuan, isi, pengalaman belajar dan evaluasi. Salah satu
karakteristik penting dari kurikulum adalah konseptualisasi dan organisasi berbagai bagian dari
kurikulum tersebut. Dalam organisasi kurikulum, desain kurikulum berhubungan dengan
organisasi horizontal dan vertikal. Organisasi horizontal sering disebut sebagai cakupan atau
integrasi horizontal yang berhubungan dengan susunan komponen-komponen kurikulum,
sedangkan organisasi vertikal sebagai sekuens, yang perhatiannya terletak pada hubungan
antara komponen-komponen kurikulum.
Selanjutnya kita akan mengkaji beberapa model desain kurikulum berikut ini :

1. Desain Kurikulum Disiplin Ilmu


Menurut Longstreet (1993) desain kurikulum ini merupakan desain kurikulum yang
berpusat kepada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan
struktur disiplin ilmu, oleh karena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum
kurikulum subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk pengembangan intelektual
siswa. Para ahli memandang desain kurikulum ini berfungsi untuk mengembangkan proses
kognitif atau pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui latihan menggunakan dan
melakukan proses penelitian ilmiah (McNeil, 1990).
Model kurikulum yang berorientasi pada pengembangan intelektual siswa
dikembangkan oleh para ahli mata pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu masing masing.
Mereka menyusun materi pembelajaran apa yang harus dikuasai siswa baik menyangkut fakta,
konsep maupun teori yang ada dalam setiap disiplin ilmu mereka masing-masing. Selain
menentukan materi kurikulum, juga para pengembang kurikulum menyusun bagaimana
melakukuan pengkajian materi pembelajaran melalui proses penelitian ilmiah sesuai dengan
corak masalah yang terkandung dalam disiplin ilmu. Jadi, dengan demikian dalam desain
model ini bukan hanya diharapkan siswa semata-mata dapat menguasai materi pelajaran
sesuai dengan disiplin ilmu, akan tetapi juga menguasai proses berpikir melalui proses
penelitian ilmiah yang sistematis.
Dalam implementasinya, strategi yang banyak digunakan adalah strategi ekspositori.
Melalui strategi ini, gagasan atau informasi disampaikan oleh guru secara langsung kepada
siswa. Selanjutnya siswa dituntut untuk memahami, mencari landasan logika, dan dukungan
faktor yang dianggap relevan. Siswa dituntut untuk membaca buku-buku atau karya-karya
besar dalam bidangnya untuk dimengerti, dipahami, dan dikuasai. Selanjutnya, penguasaan
materi disiplin imu itu dijadikan kriteria dalam keberhasilan implementasi kurikulum.
Evaluasi yang digunakan bervariasi sesuai dengan tujuan mata pelajaran. Dalam
pelajaran humaniora evaluasi dilakukan dalam bentuk essay. Mata pelajaran kesenian diukur
atau dinilai berdasarkan unsur subyektifitas. Matematika dinilai berdasarkan penguasaan
aksiomanya, buka sekadar kebenaran dalam menghitung. Penilaian ilmu alam diberikan daam
bentuk pengujian proses berpikir, bukan sekadar benar dalam jawaban.
Salah satu kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu atau disebut juga kurikulum
subjek akademis adalah Man: a Course of Study (MACOS), yang dirancang untuk
memperbaiki proses perbaikan pengajaran ilmu – ilmu sosial dan humanistis. Kurikulum ini
diperuntukkan untuk siswa – siswa sekolah dasar. Dalam paket kurikulum itu terdiri dari buku,
film, poster, permainan dan perlengkapan kelas lainnya. Pengembangan kurikulum
mengharapkan siswa dapat menggali faktor – faktor penting yang menjadikan manusia
sebagai manusia. Melalui perbandingan dengan binatang, anak menyadari akan
kemanusiannya. Dengan membandingkan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya anak
akan memahami adanya aspek universal dari kebudayaan manusia.
Tujuan utama kurikulum MACOS adalah perkembangan intelektual yaitu
membangkitkan penghargaan dan keyakinan akan kemampuan sendiri dengan memberikan
serangkaian cara kerja yang memungkinkan anak mampu menganalisis kehidupan sosial
walaupun dengan cara yang sederhana. Melalui kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti observasi,
percobaan, penyusunan, dan pengujian hipotesis, pemahaman disiplin ilmu sosial, melakukan
inkuiri, diharapkan anak dapat mengambil banyak manfaat.
Terdapat tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu,
yaitu: subject centered curriculum, correlated curriculum, dan integrated curriculum.
a. Subject Centered Curriculum
Pada subject centered curriculum, bahan atau isi kurikulum disusun dalam
bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya: mata pelajaran sejarah, ilmu
bumi, kimia, fisika, berhitung dan lain sebagainya. Mata pelajaran-mata pelajaran itu
tidak berhubungan satu sama lain. Pada pengembangan kurikulum di dalam kelas atau
pada kebiasaan belajar mengajar, setiap guru hanya bertanggung jawab pada mata
pelajaran itu diberikan oleh guruyang sama, maka hal itu juga dilaksanakan secara
terpisah-pisah. Oleh karena iorganisasi bahan atau isi kurikulum berpusat pada mata
pelajaran secara terpisah-pisah, maka kurikulum ini juga dinamakan separated subject
curriculum.

b. Correlated Curriculum
Pada organisasi kurikulum ini, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah,
akan tetapi mata pelajaran-mata pelajaran yang memiliki kedekatan atau mata pelajaran
sejenisdikelompokkan sehingga menjadi suatu bidang studi (broadfield), seperti
misalnya mata pelajaran geografi, sejarah, ekonomi dikelompokkan dalam bidang studi
IPS. Demikian jugadengan mata pelajaran, biologi, kimia, fisika, dikelompokkan
menjadi bidang studi IPA.
Mengkorelasi bahan atau isi materi kurikulum dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan,yaitu:
a. Pendekatan struktural,
Dalam pendekatan ini kajian suatu pokok bahasan ditinjau dan beberapa
mata pelajaran sejenis. Seperti misalnya, kajian suatu topic tentang geografi tidak
semata-mata ditinjau dari sudut geografi saja, akan tetapi juga ditinjau dari sejarah,
ekonomi, atau mungkin budaya.
b. Pendekatan fungsional,
Pendekatan ini didasarkan kepada pengkajian masalah yang berarti dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, suatu topik tidak diambil dari mata
pelajaran tertentu akan tetapi diambil dari apa yang dirasakan perlu untuk anak,
selanjutnya topic itu dikaji oleh berbagai mata pelajaran yang memiliki
keterkaitan. Contohnya masalah “kemiskinan” ditinjau dari sudut ekonomi,
geografi dan sejarah.
c. Pendekatan daerah,
Pada pendekatan ini materi pelajaran ditentukan berdasarkan lokasiatau
tempat. Seperti mengkaji daerah ibukota ditinjau dari keadaan iklim, sejarah,
sosial budayanya, ekonominya, dan lain sebagainya.

c. Integrated Curriculum
Pada organisasi kurikulum yang menggunakan model integrated, tidak lagi
menampakkan nama-nama pelajaran atau bidang studi. Belajar berangkat dari suatu
pokok masalah yangharus dipecahkan. Masalah tersebut kemudian dinamakan unit.
Belajar berdasarkan unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, akan tetapi juga
mencari dan menganalisis faktasebagai bahan untuk memecahkan masalah. Belajar
melalui pemecahan masalah itudiharapkan perkembangan siswa tidak hanya terjadi
pada segi intelektual saja akan tetapiseluruh aspek seperti sikap, emosi, atau
keterampilan.

2. Desain Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat


Asumsi yang mendasari bentuk rancangan kurikulum ini adalah, bahwa tujuan dari
sekolah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan
masyarakat harus dijadikan dasar dalam menentukan isi kurikulum.
Contoh desain kurikulum ini seperti yang dikembangkan oleh Smith, Staley dan
Shores dalam buku mereka yang berjudul Fundamentals of Curriculum (1950); atau
dalam Curriculum Theory yang disusun oleh Beaucham (1981). Sebagaimana yang
dilangsir oleh Rusman, mereka merumuskan kurikulum sebagai sebuah desain kelompok
social untuk dijadikan penglaman belajar anak di sekolah. Artinya, permasalahan yang
dihadapi dan dibutuhkan oleh kelompok social, harus menjadi bahan kajian peserta didik
di sekolah.
Ada tiga perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada kehidupan
masyarakat, yaitu perspective status quo (the status quo perspective), perspective reformis
(the reformis perspective), dan perspektif masa depan (the futuristik perspective).
a. Perspektif Status Quo (the status quo perspective)
Rancangan kurikulum ini diarahkan untuk melesatarikan nilai-nilai budaya
masyarakat.Dalam perspektif ini kurikulum merupakan perencanaan untuk
memberikan pengetahuandan keterampilan kepada anak didik sebagai persiapan
menjadi orang dewasa yangdibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Yang dijadikan
dasar oleh perancangkurikulum aspek-aspek penting kehidupan masyarakat.
Salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam menentukan relevansi dengan
kebutuhan sosial masyarakat adalah Franklin Bobbit. Ia mengkaji secara ilmiah
berbagai kebutuhan kurikulum. Ia berpendapat bahwa sekolah sebagai suatu lembaga
pendidikan formal harus mendidik anak agar menjadi manusia dewasa dalam
masyarakatnya. Oleh sebab itu perlu dikaji berbagai aktivitas yang dilakukan oleh
orang dewasa. Dan itulah yang semestinya menjadi isi kurikulum yang harus diajarkan
kepada anak didik. Berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukannya Bobbit menemukan
kegiatan-kegiatan utama dalam kehidupan masyarakat yang disarankan untuk menjadi
isi kurikulum sebagai berikut:
a) Kegiatan berbahasa atau komunikasi sosial.
b) Kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan.
c) Kegiatan dalam kehidupan sosial seperti bergaul dan berkelompok dengan orang
lain.
d) Kegiatan menggunakan waktu senggang dan menikmati rekreasi.
e) Usaha menjaga kesegaran jasmani dan rohani.
f) Kegiatan yang berhubungan dengan religious.
g) Kegiatan yang berhubungan dengan peran orang tua seperti membesarkan anak,
memelihara kehidupan keluarga yang harmonis.
h) Kegiatan praktis yang bersifat vokasional atau keerampilan tertentu.
i) Melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat seseorang.
Pada kehidupan masyarakat, menurut Bobbit tidak akan terlepat dari aspek-
aspek diatas, oleh karena itu isi kurikulum mestinya menyangkut hal-hal itu. Tiap
kegiatan menurut Bobbit dapat dirinci lagi dalam kegiatan-kegiatan yang lebih khusus
untuk lebih mangarahkan tujuan dan kegiatan siswa di sekolah.
Disamping kegiatan-kegiatan yang harus dikuasai seperti apa yang dilakukan
oleh orang dewasa dalam prespektif ini juga menyangkut desai kurikulum untuk
memberi keterampilan sebagai persiapan untuk bekerja (profesi). Oleh sebab itu
sebelum merancang isi kurikulum para perancang perlu terlebih dahulu menganalisis
kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik sehubungan dengan tugas atau profesi
tertentu. Dari hasil analisis itu kemudian dirancang isi kurikulum yang diharapkan
lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.

b. Perspektif Pembaharuan (the reformist perspective)


Dalam prespektif ini kurikulum dikembangkan untuk lebih meningkatkan
kualitas masyarakat itu sendiri. Kurikulum reformis (pembaharuan) menghendaki
peran serta masyarakat secara total dalam proses pendidikan. Pendidikan dalam
prespektif ini harus berperan untuk mengubah tatanan sosial masyarakat.
Menurut pandangan reformis, dalam proses penggunaan pendidikan sering digunakan
untuk menindas masyarakat miskin untuk kepentingan elit yang berkuasa untuk
mempertahankan strukltur sosial yang sudah ada. Dengan demikian, masyarakat
lemah akan tetap berada dalam ketidakberdayaan. Oleh sebab itu, menurut aliran ini,
pendidikan harus mampu mengubah keadaan masyarakat itu. Baik pendidikan formal
maupun pendidikan nonformal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde sosial
baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata.
Tokoh yang termasuk dalam prespektif reformis diantaranya adalah Paulo
Freire dan Ivan Illich. Mereka berpendapat bahwa kurikulum yang sekedar mencari
pemecahan sosial tidak akan memadai. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan
mestinya harus mampu merombak tata sosial dan lembaga-lembaga sosial yang sudah
ada dan membangun struktur sosial baru. Mereka berpendapat bahwa sekolah yang
dikembangkan negara bersifat opresif dan tidak humanistis serta digunakan sebagai
alat golongan elit untuk mempertahankan status quo.

c. Perspektif Masa Depan (the futurist perspective)


Prespektif masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekontruksi sosial,
yang menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan
kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Model kurikulum ini lebih
mengutamakan kepentingan sosial daripada kepentingan individu. Setiap individu
harus mampu mengenali berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan pemahaman tersebut
akan memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan masyarakatnya sendiri.
Yang memelopori desain kurikulum rekonstruksi sosial diantaranya adalah
Harold Rug sekitar tahun 1920-1930-an. Rug melihat adanya kesenjangan antara
kurikulum yang diberikan di sekolah dengan kenyataan di masyarakat. Oleh karena
masyarakat merupakan asal dan tempat kembalinya para siswa, maka menurut Rug
siswa harus memahami berbagai macam persoalan di masyarakat. Melalui
pengetahuan dan konsep-konsep baru yang diperolehya, diharapkan siswa dapat
mengidentifikasi dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan
demikian kurikulum sekolah akan benar-benar memiliki nilai untuk kehidupan
masyarakat.
Tujuan utama dalam kurikulum prespektif ini adalah mempertemukan siswa
dengan masalah-masalah yang dihadapai umat manusia. Para ahli rekonstruksi sosial
percaya, bahwa masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bukan hanya dapat
dipecahkan melalui “Bidang Studi Sosial” saja, akan tetapi oleh setiap disiplin ilmu
termasuk di dalamnya, ekonomi, estetika, kimia, dan matematika. Berbagai macam
krisis yang dialami oleh masyarakat harus menjadi bagian dari isi kurikulum.
Ada Tiga Kriteria yang harus diperhatikan dalam proses
mengimplementasikan kurikulum ini. Ketiganya menurut pembelajaran nyata (real),
berdasarkan pada tindakan (action), dan mengandung nilai (values). Ketiga kriteria
tersebut adalah pertama, siswa harus memfokuskan kepada salah satu aspek yang ada
di masyarakat yang dianggap perlu untuk diubah; kedua, siswa harus melakukan
tindakan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat itu; dan ketiga, tindakan sisawa
harus didasarkan kepada nilai (values), apakah tindakan itu patut dilaksanakan atau
tidak; apakah memerlukan kerja individual atau kelompok atau bahkan keduanya.
Dalam mengorganisasi kegiatan belajar siswa disusun berdasarkan tema
utama. Selanjutnya tema itu dibahas kedalam beberapa topic yang relevan. Topic
itulah yang selanjutnya ditindaklanjuti, dibahas dan dicari penyelesaiannya melalui
latihan-latihan dan kunjungan-kunjungan.
Mengenai evaluasi pembelajaran diarahkan kepada kemampuan siswa
mengartikulasikan isu atau masalah, mencari pemecahan masalah, mendefinisikan
ulang tentang problema, memiliki kemauan untuk mengambil tindakan-tindakan
tertentu. Oleh karena itulah, evaluasi pembelajaran kurikulum rekontruksi sosial
dilakukan secara terus-menerus pada setiap saat.

3. Desain Kurikulum Berorientasi pada Siswa


Asumsi yang mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk
membantu anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terlepas dari kehidupan
anak didik. Kurikulum yang berorientasi pada peserta didik menekankan kepada peserta
didik sebagai sumber isi kurikulum. Segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum tidak boleh
terlepas dari kehidupan peserta didik sebagai peserta didik.
Anak didik adalah manusia yang sangat unik. Mereka memiliki karakteristik
tertentu. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan anak adalah makhluk yang
sedang berkembang, yang memiliki minat dan bakat yang beragam. Kurikulum harus dapat
menyesuaikan dengan irama perkembangan mereka. Dalam mendesain kurikulum yang
berorientasi pada peserta didik, Alice Crow (Crow &Crow, 1955:192) menyarankan hal-
hal sebagai berikut:
1) Kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak
2) Isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap dianggap berguna
untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
3) Anak hendaknya di tempatkan sebagai subjek belajara yang berusaha untuk belajar
sendiri. Artinya pesrta didik harus didorongkan untuk melakukan berbagai aktifitas
belajar, bukan hanya sekedar menerima informasi dari guru.
4) Diusahakan apa yang dipelajari peserta didik sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
perkembangan mereka. Artinya, apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan dan
dipandang baik dari sudut guru atau dari sudut orang lain akan tetapi ditentukan dari
sudut anak itu sendiri.
Desain kurikulum yang berorientasi pada anak didik, dapat dilihat minimal dari dua
perspektif, yaitu perspektif kehidupan anak d masyarakat (the child-in-society perspective)
dan perspektif psikologi (the psychological curriculum perspective).
a. Perspektif kehidupan Anak di Masyarakat
Francis Parker, seorang tokoh yang menganjurkan siswa sebagai sumber
kurikulum percaya bahwa hakikat belajarbagi siswa adalah apabila siswa belajar secar
riil dari kehidupan mereka di masyarakat. Kurikulum bagi parker harus dimulai dari
apa yang pernah dialamai siswa seperti pengalaman dalam keluarga, lingkungan fisik
dan lingkungan sosial mereka, serta dari hal-hal yang ada di sekeliling mereka.
dipandang dari perspektif kehidupan siswa di masyarakat, isi kurikulum harus
memuat sisi kehidupan siswa sebagai peserta didik.
Berbeda dengan kurikulum konvensional, menurut Parker proses
pembelajaran bukan hany menghafal dan menguasai materi pelajaran seperti yang
tertera pada buku atau teks, akan tetapi bagaimana seorang anak itu belajar dalam
kehidupan nyata di masyarakat. Proses pembelajaran bukan hanya mengembangkan
kemampuan intelektual dengan memahami sejumlah teori dan fakta saja, akan tetapi
bagaimana proses belajar itu dapat mengembangkan seluruh aspek kehidupn siswa.
Misalnya, belajar tentang bahasa, anak tidak tidak perlu menghafal aturan tata bahasa,
akan tetapi bagaimana aturan tata bahasa itu diterapkan dalam percakapan sehari-hari
di masyarakat. Materi kurikulum serta pengalaman belajar dalam perspektif ini adalah
membawa anak pada situasi nyata di masyarakat. Belajar adalah proses
berpengalaman. Materi pelajaran harus terkait dengan kehidupan nyata. Dengan
demikian, manakala anak dapat menyelesaikan pendidikanya, mereka tidak akan
merasa asing dengan kehidupan masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka kurikulum berorientasi pada anak dalam
perspektif kehidupan di masyarakat, mengharap materi kurikulum yang dipelajari di
sekolah serta pengalaman belajar, didesain sesuai dengan kebutuhan anak sebagai
persiapan agar mereka dapat hidup di masyarakat. Anak dituntut bukann mempelajari
berbagai macam teori atau berbagai konsep yang dihubungkan dengan kehidupan
nyata. Dengan demikian, apa yang dipelajari di sekolah relevan dengan kenyataan di
masyarakat.
b. Perpektif Psikologis
Dalam perspektif psikologi, desain kurikulum yang berorientasi pada siswa,
sering diatikan juga sebagai kurikulum yang bersifat humanistic, yang muncul
sebagai reaksi terhadap proses pendidik yang hanya mengutamakan segi intelektual.
Menurut para pengembang kurikulum dan perspektif ini, tugas dan tanggung jawab
pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan segi intelektual siswa saja, akan
tetapi mengembangkan seluruh pribadi siswa sehingga dapat membentuk manusia
yang utuh.
Aliran Humanis percaya bahwa fungsi kurikulum adalah menyediakan
berbagai pengalaman belajar yang menyenangkan untuk setiap siswa sehingga dapat
membantu mengembangkan pribadi siswa secara utuh dan menyeluruh. Tujuan
pendidikan adalah proses perkembangan pribadi secara dinamis, yaitu pertumbuhan
ideal, integritas, dan otonomi pribadi. Inti dari tujuan kurikulum humanis aktualisasi
diri. Manusia yang memiliki kualitas dan kemampuan seperti itu, bukan hanya
ditandai dengan perkembangan kognitif saja, akan tetapi perkembangan dalam
estetika dan perkembangan moral, seperti perkembangan menjadi manusia pekerja
yang baik dan manusia yang memiliki karakter. Kurikulum ini juga muncul sebagai
reaksi terhadap psikologi Behaviorisme yang menganggap tingkah laku manusia itu
bersifat mekanistik yang menekankan kepada pengaruh lingkungan.
Menurut pendidikan humanistic setiap manusia memiliki potensi, punya
kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Segala potensi yang dimilikinya itu
sangat menetukan dalam proses perkembangan tingkah laku. Oleh karena itulah,
kurikulum didesain untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa.
Kurikulum humanistik sangat menekankan kepada adanya hubungan
emosional yang baik antara guru dengan siswa. Guru harus mampu membangun
suasana yang hangat dan akrab yang memungkinkan siswa dapat mencurahkan segala
perasaannya dengan penuh kepercayaan. Selain itu, guru juga harus berperan sebagai
sumber, yang mampu memberikan bahan pelajaran yang menarik serta mampu
memperlancar proses pembelajaran. Melalui situasi dan kondisi yang demikian,
diharapkan guru dapat mendorong serta membantu mereka mengaktualisasikan diri.
Untuk itu ada tiga hal yang harus dilakukan guru dalam mengimplementasikan
kurikulum ini: pertama, dengarkan secara menyeluruh berbagai ungkapan
siswa, kedua, bersikaplah respek pada siswa, dan ketiga, bersikaplah wajar dan
alamiah jangan mengada-ngada dan penuh kepura-puraan.
Kurikulum humanistik menekankan kepada integrasi, yaitu kesatuan pribadi
secara utuh antara intelektual, emosional, dan tindakan. Oleh karena prinsipnya
demikian, maka kurikulum humanistic harus dapat memberikan pengalaman yang
menyeluruh dan utuh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Organisasi
kurikulum tidak mementingkan sequence, sebab, dengan sequence yang kaku siswa
tidak mungkin dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Sequence
dalam kurikulum humanistic harus mencakup elemen-elemen tentang nilai, konsep,
sikap, dan masalah. Dari hal-hal tersebut, disususn kegiatan-kegiatan yang
memungkinkan siswa mengembangkan elemen-elemen itu.
Tidak seperti pada kurikulum subjek akademis dimana pelaksanaan evaluasi
di arahkan untuk melihat kebehasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran,
pelaksanaan evaluasi dalam kurikulum humanistic lebih ditekankan pada proses
belajar. Kriteria keberhasilan ditentukan oleh perkembangan anak suapaya menjadi
manusia yang terbuka dan berdiri sendiri. Kurikulum humansitik mengevaluasi
berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, dan bagaimana kegiatan tersebut mampu
memberikan nilai untuk kehidupan masa yang akan dating. Proses pembelajaran yang
bagus menurut kurikulum ini adalah manakala memberikan kesempatan kepada siswa
untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

C. Desain Kurikulum Teknologis


Model desain kurikulum teknologi difokuskan kepada efektivitas program, metode,
dan bahan-bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Perspektive teknologi telah
banyak dimanfaatkan pada berbagai konteks, misalnya pada program pelatihan di
lapanganindustri dan militer. Desain sistem intruksional menekankan kepada pencapaian
tujuan yang mudah diukur, aktivitas, dan tes, serta pengembangan bahan-bahan ajar.
Teknologi mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerapan
hasil-hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem. Sisi pertama yang
berhubungan dengan penerapan teknologi adalah perencaan yang sistematis dengan
menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan dan pemanfaatan
alat tersebut semata-mata untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelanajaran.
Dengan penerapah hasil-hasil teknologi sebagai alat, diasumsikan pembelajaran akan lebih
berhasil secara efektif dan efesien. Contoh penerapan hasil-hasil teknologi itu diantaranya
adalah pembelajaran dengan bantuan komputer (computer assisted-instruction),
pembelajaran melalui radio, gilm, video dan lain sebagainya. Pernahkan anda mempelajari
materi pelajaran Bahasa Inggris melalui kaset? Nah, itu adalah model desain kurikulum
dengan menggunakan media dalam bentuk pembelajaran individual. Dalam pembelajaran
Bahasa Inggris melalui kaset, anda belajar tahap demi tahap. Dalam setiap tahapan sudah
ditentukan tujuan yang harus dicapai, materi/pelajjaran yang harus dipelajari, cara
bagaimana mempelajarainya sampai pada menentukan evaluasi keberhasilannya.
Teknologi sebagai suatu sistem, menekankan kepada penyususnan program
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan
tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai. Proses pembeljaran
diarahkan untuk mencapau tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pembelajaran itu diukur
dari sejauh mana siswa dapat menguasai atau mencapai tujuan khusus tersebut. jadi,
penerapan teknologi sebagai suatu sistem tidak ditentukan oleh penerapan hasil-hasil
teknologi akan tetapi begaimana merancang implementasi kurikulum dengan pendekatan
sistem.
Seperti yang telah kita pelajari sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu
sama lain saling berkaitan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan. Dengan
demikian, akhir suatu proses pembelajaran adalah ketercapaian tujuan yang dirumuskan
sebelumnya. Segala daya upaya yang dilakukan guru diarahkan untuk mencapai tujuan.
Untuk melihat efektivitas proses dalam suatu sistem, maka tujuan yang dirumuskan harus
dapat diukur, bukan tujuan tang bersifat abstrak dan umum; semakin tujuan itu jelas dan
spesifik, maka semakin jelas juga merancang proses pembelajaran serta semakin jelas pula
menetapkan kinerja keberhasilan.
Kurikulum teknologi, banyak dipengaruhi oleh psikologi belajar behavioristik.
Salah satu dari ciri teori belajar ini adalah menekankan pola tingkah laku yang bersifat
mekanis seperti yang digambarkan dalam teori stimulus-respons. Lebih lanjut dalam
pandangannya tentang belajar kurikulum ini memiliki karakteristik seperti berikut:
1) Belajar dipandang sebagai proses respon terhadap rangsangan
2) Belajar diatur berdasarkan langkah-langkah tertentu dengan sejumlah tugas yang harus
dipelajari
3) Secara khusus siswa belajar secara individual, meskipun dalam hal-hal tertentu bisa
saja belajar secara kelompok.
Menurut McNail (1990), tujuan kurikulum teknologis ditekankan kepada
pencapaian perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Oleh karena itu tujuan umum
dijabarkan kedalam tujuan-tujuan khusus. Tujuan-tujuan itu biasanya diambil dari setiap
mata pelajaran (disiplin ilmu). Semua siswa diharapkan dapat menguasai secara tuntas
tujuan pengajaran yang telah ditentukan.
Sebagaimana tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, maka organisasi bahan
pelajaran kurikulum teknologis memiliki ciri-ciri: pertama, pengorganisasian materi
kurikulum berpatokan pada rumusan tujuan; kedua, materi kurikulum disusun secara
berjenjang; dan ketiga, materi kurikulum disususn dari mulai yang sederhana menuju yang
kompleks.
Selanjutnya untuk efektivitas dan keberhasilan implementasi kurikulum teknologi
hendaklah memeprhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Kesadaran akan tujuan, artinya siswa perlu memahami bahwa pembelajaran diarahkan
untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, siswa perlu diberi penjelasan apa yang harus
dicapai.
2) Dalam pembelajaran siswa diberi kesempatan mempraktikan kecakapan sesuai dengan
tujuan.
3) Siswa perlu diberi tahu hasil yang telah dicapai. Dengan demikian siswa perlu
menyadarai apakah pembelajaran sudah dianggap cukup atau masih perlu bantuan.
DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. 2011. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Remaja Rosdakarya.


N. S. Sukmadinata. 2002. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sanjaya, Wina. 2008. kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai