BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa dalam
membela dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya, bangsa
Indonesia senantiasa mendasarkan diri pada semangat perjuangan seluruh
rakyat yang didorong oleh perasaan senasib dan sepenanggungan serta
sikap rela berkorban untuk tanah air.
Perkembangan serta pasang surutnya kehidupan berbangsa dan
bemegara sejak awal revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan
dan kedaulatan Republik Indonesia terhadap berbagai rongrongan baik dari
dalam maupun dari luar negeri, menumbuhkan kesadaran akan perlunya
intelijen yang tangguh.
Aktivitas intelijen pada saat-saat menjelang dan setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia maupun perkembangannya selama perang
kemerdekaan menunjukkan bahwa memang telah terbentuk badan-badan
intelijen. Badan-badan intelijen tersebut terus bertumbuh sejalan dengan
kebutuhan maupun perkembangan situasi dan kondisi negara yang relatif
masih muda di masa itu. Badan-badan intelijen dimaksud berjuang tanpa
pamrih dan tidak pernah surut dalam pengabdiannya untuk membela
kepentingan maupun keselamatan bangsa dan negara, saat menghadapi
berbagai rongrongan.
Kemudian penyempurnaan dan penyesuaian organisasi intelijen terus
dilakukan termasuk pembinaan penyelenggara intelijen negara. Secara
singkat dan berturut-turut dapat disebutkan perkembangan badan-badan
intelijen tersebut sebagai berikut:1
1. Setelah diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, badan
pemuda pejuang membentuk Badan Istimewa, yang dipimpin oleh
Zulkifli Lubis, lulusan pendidikan intelijen Jepang di Tangerang. Di
dalam Badan tersebut terdapat bagian yang disebut Penyidik Militer
2
Anggota BKI terdiri dari wakil-wakil badan intelijen sipil dan militer,
antara lain dari Kejaksaan Agung, Jawatan Kepolisian Negara,
Badan-badan Intelijen Angkatan, dan wakil-wakil instansi yang
dianggap perlu. Kemudian pada tahun 1959 diganti dengan Badan
Pusat Intelijen (BPI), dipimpin oleh Soebandrio.
7. Setelah peristiwa G.30.S/PKI, pada tahun 1966 BPI dibubarkan dan
diganti dengan Komando Intelijen Negara (KIN), dengan Letjen
Soeharto sebagai Panglima KIN.
8. Selanjutnya pada tahun 1967 setelah Letjen Soeharto sebagai Pjs.
Presiden, KIN diubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara
(Bakin), dengan Mayjen Soedirgo sebagai Kepala Bakin.
9. Pada tahun 2000, setelah reformasi, Bakin diganti menjadi Badan
Intelijen Negara (BIN) hingga saat ini.
Walaupun perkembangan Iingkungan stratejik dan peningkatan
perjuangan bangsa menuntut penyesuaian dan penyempurnaan di semua
strata badan intelijen, namun hingga saat ini semuanya tetap utuh dalam
suatu komunitas intelijen tanpa meninggalkan sejarah, tradisi, jiwa
patriotisme, dan doktrinnya masing-masing menuju kepada profesionalisme
yang handal.
Memang harus diakui, bahwa intelijen Negara Republik Indonesia juga
mengadopsi asas-asas serta filosofi intelijen universal, tetapi dalam
penerapannya disesuaikan dengan budaya dan karakter bangsa,
pengalaman-pengalaman penugasan selama ini dalam kondisi kebhinekaan
bangsa, luasnya geografis nusantara, dan perkembangan lingkungan
strategis.
Kemudian agar semua aktivitas intelijen tersebut dapat berlangsung
secara terkoordinasi, tertib, terpadu, terarah, efektif, dan efisien, diperlukan
suatu sistem pembinaan dan penyelenggaraan intelijen yang modern, serta
memiliki doktrin intelijen khas Indonesia yang berlatar belakang sejarah,
budaya, dan karakter bangsa Indonesia.
Dalam situasi dan kondisi lingkungan strategi global saat ini, globalisasi
digerakkan oleh revolusi 3-T: Telekomunikasi, Transportasi, dan Turisme,
dan dihela oleh revolusi 4-1: Investment, Industry, Information technology,
dan Individual consumer, serta maraknya isu-isu kontemporerinternaslonal..
3
antara lain demokratisasi, hak asasi manusia, suprermasi hukum, dan
akuntabilitas dunia yang semakin transparan."
Kehidupan umat manusia nyaris tidak lagi mengenal tapal batas yang
walaupun secara eksistensial masih ada, namun hanya menjadi "kelarnbu"
atau "tirai" belaka. Selain itu, kini terjadi pergeseran kekuatan dan muncul
kekuatan-kekuatan politik-moneter-militer serta entitas-entitas baru non-
negara, mendorong terjadinya proses demokratisasi dan reformasi bidang
politik, sektor keamanan, dan birokrasi.
Oleh karena itu, intelijen Negara Republik Indonesia perlu melakukan
penyesuaian-penyesuaian diri berupa perubahan-perubahan tertentu di
bidang visi, misi, paradigma, asas, dan doktrin intelijen dalam menghadapi
fenomena perubahan dimaksud.
Sebagai akibat dampak perkembangan lingkungan strategis yang
meliputi internasional, regional, subregional, nasional, daerah dan tokal,
kapasitas organisasi intelijen harus mampu mengacu dan menyesuaikan
perubahan. Namun dalam menghadapi tuntutan perubahan tersebut, intelijen
Negara Republik Indonesia tetap berpegang pada sikap, yaitu konsisten
terhadap tujuan, luwes dalam berpikir dan bertindak. Hal Itu berarti intelijen
Negara Republik Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan fenomena
tuntutan perubahan tanpa menyimpang dari tujuan "kepentingan nasional",
yaitu terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta terwujudnya kesejahteraan rakyat.
B. Permasalahan
1. Bagaimanakah mekanisme perlindungan terhadap intelijen negara
dalam melaksanakan tugasnya untuk mendukung dan mengamankan
demokrasi dengan memperhatikan hak asasi manusia dan supremasi
hukum?
2. Bagaimanakah urgensi pembentukan Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Intelijen Negara?
4
3. Bagaimanakah pengaturan terhadap intelijen negara agar tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain?
5
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus dan buku pedoman.
Selanjutnya, analisis terhadap bahan-bahan hukum dan data yang
diperoleh dilakukan dengan tahapan: kompilasi bahan-bahan hukum,
klasifikasi, sistematisasi, yang selanjutnya dilakukan interpretasi sesuai
dengan teori hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
E. Kerangka Konsepsional
1. Kewaspadaan Nasional
Secara natural, pada dasarnya manusia mempunyai sense terkait sikap
awas, naluri awas, kekuatan fisik awas, dan kelebihan rasio serta kesadaran
awas khususnya bagi manusia untuk mendeteksi, mengidentifikasi sejak dini
terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman baik potensial maupun nyata
demi mempertahankan hidupnya sehingga dapat mencegah, mengatasi,
mengurangi, menghindari akibat kejadian atau bahaya yang akan menimpa
atau memanfaatkan peluang tersebut dalam rangka mencapai tujuan
nasional.
Sikap awas atau kewaspadaan yang dimaksud tidak hanya terbatas
pada tingkat individu, keluarga, kelompok, rukun tetangga (RT), rukun
kampung (RK), rukun warga (RW), desa-kelurahan, kabupatenlkota, tetapi
dapat terus dilanjutkan sampai ke strata provinsi, nasional bahkan global,
yang disesuaikan dengan bentuk, sifat, dan Iingkup strata ancaman yang
dihadapi, misalnya kewaspadaan dunia terhadap aktivitas terorisme
internasional, acquired Immune deficiency syndrome (AIDS), dan
perdagangan manusia (human trafficking).
Hal serupa berlaku juga di dunia intelijen, terdapat strata intelijen
individu, strata intelijen tempur, intelijen taktis, intelijen stratejik
departemental, dan intelijen stratejik nasional.
Dengan demikian, kewaspadaan nasional merupakan kegiatan berlanjut
suatu bangsa yang melakukan deteksi awal terhadap berbagai bentuk dan
sifat ancaman yang membahayakan kebijakan dan strategi nasional serta
peluang yang dapat dieksploitasi. Kewaspadaan nasional selalu berada
pada Iini pertama dalam pengembangan, meliputi:
1. Sistem deteksi dan identifikasidini;
6
2. Peringatan dini; dan
3. Langkah pencegahan awal terhadap berbagai bentuk dan sifat
ancaman nasional.
Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman adalah pelbagai situasi,
kondisi, tindakan bail< alamiah atau hasil suatu rekayasa, berbentuk fisik
atau non fisik, berasal dari dalam atau luar negeri, baik langsung atau tidak
langsung, yang diantisipasi sebagai potensi ancaman yang dapat
mengganggu, menghambat, mengubah, merusak, menghancurkan identitas,
integritas, eksistensi, kepentingan, perjuangan, kelangsungan hidup bangsa
dan negara serta pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dalam rangka pencapaian tujuan nasional.
Ancaman juga diartikan sebagai setiap upaya dan kegiatan, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa serta
kepentingan nasional.
2. Keamanan Nasional
Menurut Hasnan Habib", keamanan dalam arti luas mencakup dimensi
eksternal dan dimensi internal. Keamanan nasional (national security)
memberikan rasa aman, tenteram, dan kepastian bagi suatu bangsa
dalam mencapai aspirasi-aspirasinya. Keamanan nasional dipengaruhi
oleh berbagai bentuk dan sifat ancaman yang lebih luas dari perang dan
dapat bersumber dari dalam maupun luar negeri. Yang datang dari
luar umpamanya perang dengan seluruh spektrumnya, terorisme
internasional, dan kejahatan internasional. Sedangkan pemberontakan,
konflik sosial, huru-hara, subversi, infiltrasi, kejahatan, dianggap bersumber
dari dalam negeri, bahkan dapat saja ada yang ditunggangi oleh luar negeri.
Setiap negara tanpa kecuali, memberikan tempat yang paling tinggi
kepada kepentingan keamanan nasionalnya dibanding kepentingan lainnya.
3 Lihat, Hasnan Habib, "Lingkungan Intemasional dan Ketahanan Nasional", dalam Ichlasul
Amal dan Atmadidy Annawi, ed., Sumbangan I1mu Sosial Terhadap Konsepsi Ketahanan
Nasional, Jakarta. 1995, him. 251.
7
Keamanan nasional adalah konsep yang abstrak, sulit didefinisikan.
Spektrumnya sangat luas, jauh lebih luas dari hanya aspek fisik militer
saja. Keamanan nasional menjadi fungsi dan tanggung jawab
pemerintah yang sangat fundamental, karena keamanan nasional
merupakan kepentingan nasional yang vital.
Kusnanto Anggoro berpendapat bahwa keamanan nasional selalu
merupakan persoalan yang sangat luas dan seringkali kontroversial. Tidak
mudah menyepakati bagaimana keamanan nasional dapat dijamin dan
dipelihara. Meskipun demikian, tidak sulit untuk menyetujui bahwa ancaman
terhadap keamanan nasional memiliki tiga karakteristik. Perlama, ancaman
tersebut dapat menampilkan dirinya dalam berbagai dimensi, bukan hanya
ancaman yang berdimensi militer melainkan juga ancaman yang
berdimensi sosial, kultural, ekonomi, politik, dan ideologi; kedua,
ancaman dapat berasal dari dalam maupun luar tapal batas negara; dan,
ketiga, ancaman dapat berasal dari kelompok bukan negara (non state
actors) maupun negara (state actors).
Namun kesepakatan seperti itu tidak cukup menjadi pijakan untuk
merumuskan operasionalisasi kebijakan. Semakin banyaknya ancaman
yang bersifat transnasional atau lintas batas menimbulkan komplikasi
tersendiri karena menjadikan pembedaan "Iuar" dan "dalam" negeri
menjadi sesuatu yang tidak bersifat mutlak. Begitu pula halnya dengan
munculnya terorisme internasional atau terorisme yang didukung oleh
negara tertentu (state-sponsored terrorism) meruntuhkan sendi pembedaan
nasional dan internasional. Gejala "de-teritorialisasi ancaman" (de-
territorialization of threats) ini menyebabkan pentingnya sinergi antar
instrumen untuk mengghadapi ancaman.
Menurut Institute Defence and Strategic Policy Studies (IDSPS),
keamanan nasional merupakan perwujudan konsep keamanan
menyeluruh (comprehensif security) yang menempatkan keamanan
sebagai konsep multidimensi yang mengharuskan negara menyiapkan
beragam aktor keamanan untuk mengelolanya. Aktor-aktor keamanan
tersebut masing-masing memiliki fungsi dan tugas spesifik untuk menangani
dimensi keamanan yang spesifik pula. Keragaman ancaman keamanan
nasional yang bersifat kontemporer dari penangkalan dan serangan
8
yang asimetris merupakan faktor utama kebutuhan akan kerangka yang
komprehensif tersebut. Setidaknya, ada lima ranah sektor keamanan yang
saling bertautan dalam bingkai keamanan nasional, yaitu sektor militer
(military security), sektor politik (political security), sektor ekonomi (economic
security), sektor sosial (societal security), dan sektor lingkungan
(environmental security). Potensi ancaman yang terjadi di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari dinamika Iingkungan strategis yang terjadi di tiga
ranah, yaitu global, regional, dan domestik. Oi tingkat global, dinamika
Iingkungan strategis dipengaruhi oleh interaksi diantara negara-negara
besar (great power), yaitu interaksi antara Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan
negara-negara Eropa atau Uni Eropa. Sementara di tingkat regional,
beragam kepentingan dan persaingan antar negara-negara Asia terhadap
penguasaan pasar, jalur ekonomi, dan sumber daya alam terutama di
wilayah perbatasan yang dipersengketakan menjadi persoalan tersendiri.
Sedangkan di tingkat domestik, instabilitas politik, ancaman krisis
ekonomi, dan lemahnya sistem hukum yang ada merupakan potensi
ancaman yang selalu dikemukakan namun tidak pernah diupayakan untuk
diselesaikan secara komprehensif, akuntabel, adil, dan sesuai dengan
prinsip negara demokrasi.
Barry Buzan menyebutkan ada 5 (lima) sektor keamanan, yaitu sektor
militer (military security), sektor politik (political security), sektor ekonomi
(economic security), sektor sosial (societal security) dan sektor lingkungan
(environmental security).
Seiring perubahan tersebut, di dalam pengertian keamanan lahir istilah
keamanan insani (human security). Hampson menuliskan adanya 3 (tiga)
pendekatan yang berusaha mengkonseptualisasi human security, yaitu
pertama, pendekatan hak asasi manusia (HAM/right-based approach).
Kedua, pendekatan humanitarian, dan ketiga, pendekatan pembangunan
secara berkelanjutan (sustainable human development).
Keamanan nasional merupakan kondisi dinamis yang menjamin dan
menjadi prasyarat terwujudnya tujuan nasional, sebagai hasil integrasi dan
interaksi faktor dinamis yang memungkinkan seluruh rakyat berkembang
sesuai kemampuan dan tuntutan hidup masing-masing dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Panpa;;i1a dan
9
UUD 1945. Tujuan keamanan nasional dimaksudkan untuk menjamin
keselamatan rakyat, kedaulatan negara, keutuhan wilayah, integritas, dan
eksistensi pemerintah dan bangsa, kepentingan nasional serta
kesinambungan perjuangan bangsa.
Funqsi-furrqsi keamanan nasionaladalah:
a. membangun kemampuan pertahanan;
b. memelihara keamanan negara;
c. menegakkan hukum secara paksa;
d. membina kepastian hukum;
e. membina ketentraman dan ketertiban masyarakat; dan
f. melindungi masyarakat dari berbagai bencana, baik karena alam,
kelalaian, maupun kesengajaan.
Masing-masing fungsi memiliki ciri ancamannya sendlri-sendlri'.
Penyelenggaraan fungsi keamanan nasional seperti yang dimaksud,
memunculkan spesialisasi, diferensiasi, dan Iingkup intelijen negara yang
dimanifestasikan ke dalam:
a. defence intelligence mulai dari yang terbatas pada Iingkup intelijen
pertempuran (combat intelligence) sampai dengan intelijen
strategis.
b. secret intelligence yang berkaitan dengan intelijen luar negeri;
c. domestic intelligence atau security intelligence, dalam rangka
memelihara keamanan negara, khususnya dari ancaman yang
berada di dalam negeri;
d. crime and law enforcement intelligence yang berkaitan dengan
intelijen kriminal dan penegakan hukum; dan
e. intelligence for public protection, intelijen yang digunakan dalam
rangka untuk melindungi masyarakat dari berbagai wujud bahaya.
Meskipun ada spesialisasi pada berbagai badan intelijen dan beragam
tingkat serta wujudnya, namun tetap memiliki keterkaitan satu dengan yang
lain. Oleh karena itu, peran, fungsi, koordinasi, dan kerjasama antar badan-
badan intelijen yang ada tidak saja boleh dinafikan, tetapi secara fungsional
merupakan kebutuhan yang wajib dilakukan. Hambatan dan kelemahan
10
utama dari badan-badan intelijen justru terletak pada fungsi koordinasi
tersebut.
Keamanan nasional dapat terwujud dengan baik apabila intelijen negara
sebagai bagian dari sistem keamanan nasional merupakan lini terdepan
mampu melakukan deteksi dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman
baik yang potensial maupun yang telah mengaktual.
Untuk itu, sebagai Iini terdepan yang mampu melakukan deteksi dini,
intelijen negara harus mencapai visi, yaitu menjadi intelijen negara yang
tangguh, modern, dinamis, berwibawa, dan berwawasan masa depan yang
mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsi intelijen, dipercaya oleh
masyarakat, serta menjadi intelijen negara yang profesional.
Untuk dapat mewujudkan visi tersebut, ditetapkan misi intelijen yang
mendukung dan mengamankan serta ikut menyukseskan kebijakan dan
strategi nasional melalui pengembangan sistem intelijen negara yang
modern, kepemimpinan yang profesional, kehandalan personil, sarana
prasarana intelijen terkini, anggaran yang memadai serta dukungan payung
hukum dalam bentuk sebuah undang-undang.
11
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN SOSIOLOGIS, DAN
LANDASAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
1. Visi dan misi intelijen negara Republik Indonesia
Visi dan rnisi intelijen merupakan penjabaran dari visi bangsa dan misi
negara. Visi atau cita-cita bangsa adalah sebagaimana yang tercantum pada
Pembukaan UUD 1945, yaitu "Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur, serta berkehidupan kebangsaan yang bebas".
Pedoman utama yang digunakan dalam proses perumusan interpretasi
visi tersebut adalah terwujudnya keadilan bagi segenap komponen bangsa
dan wilayah. Tema keadilan dipilih karena berdasarkan analisis kondisi
melemahnya kualitas integrasi bangsa hanya disebabkan oleh faktor
ketidakadilan yang masih dirasakan oleh sebagian komponen bangsa.
Interpretasi visi atau cita-cita bangsa dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Indonesia yang merdeka adalah Indonesia yang bebas dari segala
bentuk penjajahan, baik antarmanusia maupun antarbangsa, baik
sebagai obyek maupun sebagai subyek.
b. Indonesia yang bersatu adalah Indonesia yang memiliki kesatuan
wilayah yang utuh sebagai ruang hidup seluruh bangsa, terjalin dan
berkembangnya interkoneksitas yang harmonis dan sinergis antara
setiap komponen bangsa dalam semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta memiliki kadar solidaritas sosial
yang tinggi antar berbagai komponen bangsa.
c. Indonesia yang berdaulat adalah Indonesia yang memiliki
pemerintahan yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
d. Indonesia yang berkeadilan adalah Indonesia yang mampu
menjamin terselenggaranya hak-hak setiap warganya dan
mencegah terjadinya kesenjangan dalam setiap aspek kehidupan
bangsa.
12
e. Indonesia yang berkemakmuran adalah Indonesia yang mampu
menyediakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang
memenuhi standar yang layak bagi kemanusiaan untuk seluruh
warganya.
f. Indonesia yimg berkehidupan kebangsaaan yang bebas adalah
Indonesia yang mampu memelihara dan mengembangkan
Iingkungan kehidupan kebangsaan yang kondusif bagi
perkembangan dan keberlangsungan keberadaan segenap
komponen bangsa, sesuai dengan aspirasi dan budaya masing-
masing.
Misi negara sebagaimana yang tercantum pada pembukaan UUD 1945,
adalah:
"Mefindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosia/."
13
3. Misi pembentukan lingkungan, yaitu "...ikut me/aksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosiel", diinterpretasikan dengan menetapkan bahwa
Iingkungan yang dimaksud bukan hanya lingkungan eksternal
wilayah Indonesia tetap juga meliputi Iingkungan internal.
Secara singkat dapat disebutkan bahwa interpretasi misi negara
berbasis pada semangat kebhinekaan. Pernyataan ini bukanlah hal yang
baru, karena telah disepakati oleh para "the founding fathers" Indonesia.
Selama ini kita membangun bangsa dengan lebih menitikberatkan pada
semangat "ika-nya" dan menafikan unsur "bhineka-nya". Padahal
kebhinekaan adalah kekayaan bangsa, oleh sebab itu pengembangannya
harus tidak dilihat sebagai suatu ancaman, tetapi sebaliknya justru sebagai
perekat keutuhan persatuan bangsa.
B. Landasan Sosiologis
Salah satu aspek dominan yang mempengaruhi kelangsungan hidup
dan perkembangan Negara Republik Indonesia adalah dinamika Iingkungan
strategis, yang disamping menawarkan peluang secara pasti juga membawa
potensi ancaman terhadap bangsa dan negara yang perlu diperhitungkan
dengan seksama.
Proses globalisasi telah mengakibatkan munculnya fenomena baru yang
harus dihadapi bangsa Indonesia seperti demokratisasi, hak asasi manusia,
tuntutan supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, kejahatan
transnasional, Iiberalisasi ekonomi, dan lain sebagainya. Selain membawa
manfaat bagi kemajuan serta sejalan dengan kepentingan nasional,
fenomena-fenomena tersebut juga membawa dampak negatif yang
merugikan kehidupan bangsa dan negara, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan gangguan ataupun ancaman terhadap keamanan nasional.
Perlu pula dicermati bahwa perkembangan sistem keuangan global
telah mencapai taraf sedemikian rupa sehingga mampu berubah menjadi
kekuatan ekonomi dan politik yang secara kolektif dapat mempengaruhi
pasar dunia. Krisis moneter yang melanda Indonesia dan beberapa negara
Asia Tenggara dan Asia Timur merupakan bukti bahwa pasar valuta asing
(valas) dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Pasar valas
14
tidak lagi berfungsi sekedar instrumen untuk mendukung perkembangan
perekonomian dunia, tetapi dapat pula digunakan sebagai instrumen politik
untuk mengganggu kesetabilan suatu negara.
Globalisasi juga menuntut adanya pemahaman dan konsepsi baru
mengenai kedaulatan negara (state sovereignity) yang selama ini lebih
berkonotasi fisik atau teritorial saja. Perkembangan dunia, terutama bidang
ekonomi telah memungkinkan penetrasi kekuatan politik dari luar, seperti
penguasaan saham dan penguasaan aset lainnya oleh pihak asing. Selain
itu, perkembangan infrastruktur komunikasi telah memungkinkan adanya
arus informasi yang melewati batas-batas teritorial negara kebangsaan
tanpa dapat atau sulit untuk dikendalikan (borderless sphere of influence).
Secara empiris, spektrum potensi ancaman nasional tidak lagi bersifat
tradisional (traditional threat), tetapi lebih banyak diwarnai ancaman non
tradisional (nontraditional threat). Sumber ancaman telah mengalami
pergeseran makna, bukan hanya meliputi ancaman internal dan/atau
eksternal, tetapi juga ancaman asimetris yang bersifat global tanpa bisa
dikatagorikan sebagai ancaman dari luar atau dari dalam.
Karakteristik ancaman juga berubah menjadi multidimensional. Dengan
demikian antisipasi terhadap ancaman harus dilakukan secara lebih
komprehensif baik dari aspek sumber, sifat dan bentuk, kecenderungannya,
maupun isunya yang sesuai dengan dinamika kondisi lingkungan strategis.
Perkembangan keamanan nasional yang meliputi keamanan nasional
(national security dan public security) sangat ditentukan oleh perubahan
hakikat ancaman terkini. Ancaman dapat juga dijelaskan sebagai segala
sesuatu yang membahayakan kedaulatan nasional, integritas wilayah,
keselamatan warga negara, dan kehidupan demokratis baik yang bersifat
konvensional maupun non konvensional.
Ancaman yang menonjol saat ini dan perlu diwaspadai serta diantisipasi,
antara lain:
1. Spionase, subversi dan/atau sabotase.
2. Terorisme.
3. Konflik perbatasan.
4. Separatisme.
15
5. Konflik horisontal, vertikal, dan diagonal, yang ditengarai adanya
intervensi asing.
6. Kejahatan terorganisasi lintas nasional (narkotika, perdagangan
manusia, pencucian uang, peredaran senjata api illegal,
penyelundupan, kejahatan ekonomi tingkat tinggi, kejahatan eyber,
perompakan).
7. Radikalisme/anarkisme.
8. Kerusuhan sosial akibat suku, agaman, ras, dan antargolongan
(SARA).
9. Pencurian sumber kekayaan alam.
10. Perusakan Iingkungan hidup.
11. Pemalsuan uang.
12. Menurunnya rasa kebangsaan atau nasionalisme.
13. Disintegrasi bangsa.
14. Imigrasi penduduk.
15. Kemiskinan dan pengangguran.
16. Bencana alam.
17. Wabah penyakit baru yang belum ada obat penangkal.
c. Landasan Yuridis
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
secara implisit merumuskan beberapa hal yang terkait dan harus
diperhatikan oleh intelijen negara.
a. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945:
"...kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, meneerdaskankehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
16
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
PermusyawaratanlPerwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
17
26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat)
jam."
Lingkup intersepsi intelijen negara tidak sama dengan yang diatur dalam
Undang-Undang tentang ITE yang mencakup alat komunikasi saja,
tetapi juga mencakup intersepsi aliran dana, dan intersepsi hanya dapat
dilakukan apabila diperlukan dalam menjalankan fungsi intelijen.
----_
... _._._ •.. ~ •... _... _--~-
18
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik
Informasi dikecualikan yang terkait dengan intelijen terdapat pada:
Pasal 17 huruf a angka 3:
"mengungkapkan data inte/ijen krimina/ dan rencana-rencana yang
berhubungan dengan pencegahan dan penanganan sega/a bentuk
kejahatan transnasionaf'.
Pasal17 huruf c angka 1, angka 2, dan angka 7:
"1.informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik
yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan
keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan
dan pengakhiran atau eva/uasi da/am kaitan dengan ancaman
dari dalam dan luar negeri. "
2. dokumen yang memuat tentang strategi, inte/ijen, operasi, teknik,
dan taktik yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pengakhiran atau eva/uasi.
19
melewati masa penyimpanan selama 25 (dua pUluh lima)
tahun.
(2) Arsip statis dapat dinyatakan tertutup apabila memenuhi syarat-
syarat yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Lembaga kearsipqn memiliki kewenangan menetapkan
keterbukaan arsip statis sebelum 25 (dua puluh lima) tahun
masa penyimpanan yang dinyatakan masih tertutup dengan
pertimbangan:
a. tidak menghambat proses penegakan hukum;
b. tidak mengganggu kepentingan pelindungan hak atas
kekayaan intelektual dan pelindungan dari persaingan usaha
tidak sehat;
c. tidak membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
d. tidak mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang
masuk dalam kategori dilindungi kerahasiaannya:
e. tidak merugikan ketahanan ekonomi nasional;
f. tidak merugikan kepentingan po/itik dan hubungan luar
negeri;
g. tidak mengungkapkan isi akta autentik yang bersifat pribadi
dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang kecuali
kepada yang berhak secara hukum;
h. tidak mengungkapkan rahasia atau data pribadi; dan
i. tidak mengungkapkan memorandum; atau
j. surat-surat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan."
20
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Komunitas Intelijen Daerah
Pasal5:
"(1) Kominda dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Pembentukan Kominda provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh gubernur.
(3) Pembentukan Kominda kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh bupati/walikota.
(4) Kominda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiiiki
hubungan yang bersifat koordinatif dan konsultatif."
Pasal6:
"(1) Keanggotaan Kominda provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan susunan:
Ketua : Wakil gubernur.
Wakil Ketua: Kepala pos wilayah Badan Intelijen Negara.
Sekretaris: Kepala badan kesatuan bangsa dan pofitik provinsi.
Keanggotaan: Unsur Intelijen dari Badan Intelijen Negara,
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan Tinggi, Imigrasi, Bea dan Cukai dan
unsur terkait lainnya.
(2) Keanggotaan Kominda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota dengan
susunan:
Ketua: Wakil bupati/wakil walikota.
Wakil Ketua: Unsur Intelijen dari Tentara Nasional Indonesia
atau Kepolisian Republik Indonesia.
Sekretaris: Kepala badan kesatuan bangsa dan po/itik
kabupatenlkota.
Keanggotaan: Unsur Intelijen dari Badan Intelijen Negara,
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan Negeri, Imigrasi, Bea dan Cukai dan
unsur terkait lainnya.
21
BAB III
MATERI MUATAN
22
dicerminkan oleh adanya sikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan
pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil putusan atau
kegiatan Intelijen Negara.
Adapun pokok-pokok materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang
Intelijen Negara adalah sebagai berikut:
A. Ketentuan Umum
Ketentuan Umum memuat definisi atau batasan pengertian dari
beberapa peristilahan yang digunakan. Hal ini untuk menghindari terjadinya
perbedaan penafsiran. Adapun hal-hal yang didefinisikan, yaitu:
1. Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan aktivitas yang terkait
dengan perumusan kebijakan dan strategi nasional berdasarkan analisis
dari informasi intelijen dan fakta-fakta yang terkumpul melalui metode
tertentu untuk pendeteksian awal dan peringatan dini dalam rangka
pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman
terhadap keamanan nasional.
2. Intelijen Negara adalah lembaga pemerintah yang merupakan bagian
integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan fungsi dan aktivitas intelijen.
3. Personil Intelijen Negara adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki
kemampuan khusus intelijen dan mengabdikan diri dalam bidang
intelijen negara.
4. Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri yang dinilai membahayakan keamanan,
kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan keselamatan bangsa serta kepentingan nasional.
5. Setiap orang adalah orang perorangan atau kelompok orang yang
bertanggung jawab terhadap kerahasiaan informasi intelijen baik secara
individu maupun korporasi.
6. Rahasia Intelijen adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas intelijen
yang dilindungi kerahasiaannya agar tidak diakses, diketahui, dan
dimiliki oleh pihak-pihakyang tidak berhak.
23
7. Masa Retensi Informasi Intelijen adalah jangka waktu penyimpanan
informasi intelijen.
8. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara yang selanjutnya disingkat LKIN
adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan
fungsi intelijen dan melakukan fungsi koordinasi terhadap
penyelenggaraan fungsi intelijen.
9. Informasi Intelijen adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-
tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta
maupun penjelasannya yang terkait dengan intelijen.
10. Pihak Lawan adalah pihak asing yang melakukan kegiatan kontra
intelijen yang dapat merugikan kepentingan stabilitas nasional.
11. Sasaran adalah target atau kondisi yang ingin dicapai dari fungsi
penggalangan.
_------- -----------
-'--~'--'---'- --,-----~-----_ .. - -~------_._-----_. --_._- ----- _._----... ----_.'-----------_ .. _------------ ..
- ,_._--"--',--_.' .. ,. -_ .._-_._------- _--_ ....-
..
-------------~-_._--_._-_
24
bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan.
2. Fungsi pengamanan meliputi pengamanan internal (internal
security) dan kontra intelijen.
a. Sekuriti internal mencakup pengamanan personil, materil,
instalasi, keuangan, pemberitaan, dan kegiatan yang menjadi
tanggung jawab pimpinan atau kepala
badanllembaga/dinas/instansi yang bersangkutan.
b. Kontra intelijen adalah kegiatan deteksi, investigasi, dan negasi
terhadap aktivitas intelijen pihak lawan.
3. Fungsi penggalangan adalah aktivitas yang dilakukan secara
berencana dan terarah untuk mempengaruhi kejiwaan dan motivasi
sasaran agar memiliki pola pikir, pola sikap serta pola tindak yang
mendukung dan menguntungkan pihak sendiri. Kedalam lingkungan
sendiri lebih bersifat pembinaan untuk menciptakan kondisi
pengamanan yang baik. Keluar atau terhadap lawan dilakukan
dengan tindakan disorganisasi dan disintegrasi agar kepentingan
pihak lawan tidak menimbulkan ancamanterhadap pihak sendiri.
25
Penegasan hak atas informasi dinyatakan dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 menyatakan
bahwa "setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis sarana yang tersedia". Hak ini diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan Iingkungan sosial.
Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights atau hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Oleh karena itu,
pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan
dalam beberapa instrumen hukum internasional maupun nasional, yaitu
Pasal 29 DUHAM, Pasal 19 Kovenan Sipil dan Politik, Pasal 28J UUO 1945,
dan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Oi dalam Kovenan Sipil dan Politik dinyatakan bahwa pelaksanaan
hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus,
yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu.
Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi
tidak bisa diberlakukan secara semena-mena. Menurut instrumen-instrumen
hukum, pembatasan diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan
dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi
keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral
masyarakat. UUO 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
menyatakan bahwa pembatasan hanya dapat berdasarkan hukum semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles) menyebutkan bahwa
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul
pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung
hak-hak. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh
diberlakukan secara sewenanq-wenanq." Pasal 5 Kovenan Sipil dan Politik
26
dan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga menyiratkan
bahwa tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa
pemerintah, partai, golongan, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi,
merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Salah satu alasan pembatasan hak atas informasi adalah keamanan
nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan ini lebih rinei dituangkan
para ahli hukum internasional dalam Prinsip-Prinsip Johannesburg
(Johannesburg Principles), yakni:
1. Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat
menunjukkan seeara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat
demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang
sah. Sebuah undang-undang atau ketentuan hukum yang mengatur
pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak
tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan meneegah
penyalahgunaan kekuasaan;
2. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses,
tidak bersifat ambigu, dan dibuat seeara hati-hati dan teliti, yang
memungkinkan setiap individu untuk melihat apakah suatu tindakan
bertentangan dengan hukum atau tidak;
3. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan
menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional
yang sah; pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi
yang dibatasi merupakan aneaman yang serius terhadap
kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang
dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin
untuk melindungi kepentingan tersebut.
4. Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau
dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan
yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk
bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. Lihat The Siracusa Principles on The
Umitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights,
ElCN.4/1985/4. Lihat pula General Comment No. 10 International Covenant on Civil and Political
Rights.
27
misalnyauntuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu
akibat kesalahan yang dilakukan, pengungkapan kesalahan yang
dilakukan, menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi
institusi-institusi publiknya, menanamkan suatu ideologi tertentu,
atau untuk menekan kerusuhan industrial;
5. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan
tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh
situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan
dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional;
dan
6. Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar
pembatasan hak atas informasi.
Kebijakan untuk melakukan pembatasan hak harus berangkat dari
pemikiran bahwa jika suatu informasi dibuka, akan membahayakan
keamanan nasional dan kepentingan publik yang lebih besar. Namun
kebijakan itu tetap harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Sebagai wujud pertanggungjawaban itu, suatu informasi rahasia harus dapat
dibuka setelah jangka waktu yang tidak lagi dinilai membahayakan publik.
Dalam Prinsip-prinsip Johannesburg dinyatakan bahwa pembatasan hak
atas informasi terhadap alasan keamanan nasional tidak sahkecuali untuk
melindungi keberadaan suatu negara, integritas teritorialnya dari
penggunaan atau ancaman kekerasan, atau kapasitasnya untuk bereaksi
terhadap penggunaan ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sumber
eksternal seperti ancaman militer, maupun dari sumber internal seperti
provokasi penggulingan pemerintah dengan cara kekerasan.
Informasi intelijen bersifat rahasia, meliputi:
1. sistem intelijen negara, akses-akses yang berkaitan dengan
pelaksanaan aktivitasnya;
2. data intelijen kriminal yang berhubungan dengan pencegahan dan
penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
3. rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan
penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; dan
28
4. dokumen tentang intelijen yang berkaitan dengan penyelenggaraan
sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pengakhiran atau evaluasi.
Masa retensi informasi intelijen ditetapkan selama 20 (dua puluh) tahun.
Selanjutnya dapat diperpanjang setelah mendapat persetujuan dari Dewan
perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Masa retensi informasi
intelijen dapat dinyatakan berakhir apabila sengaja atau tidak sengaja
informasi intelijen diketahui oleh masyarakat. Masa retensi informasi intelijen
juga dapat dipersingkat sebelum masa retensinya berakhir untuk
kepentingan pengadilan dan berdasarkan penetapan pengadilan.
Selanjutnya diatur mengenai informasi intelijen yang dapat diakses
publik, yaitu informasi intelijen selain dari informasi intelijen yang bersifat
rahasia, informasi intelijen yang telah berakhir masa retensinya, informasi
intelijen yang telah diketahui oleh masyarakat, dan informasi intelijen yang
digunakan untuk kepentingan pengadilan.
29
tugasnya. Selain itu, kombinasi posisional kelembagaan dan personal yang
terlibat di dalam organisasi intelijen di tingkat LKIN semacam itu, juga dapat
semakin memudahkan koordinasi berbagai aktivitas intelijen sampai ke
tingkat daerah atau lapangan.
Mengingat tujuan pencapaian tugas dan wewenang di atas, Ketua LKIN
karena jabatannya bertugas sebagai Koordinator Penyelenggara Intelijen
Negara. Keanggotaan LKIN meliputi pimpinan tertinggi Intelijen Negara.
Pengaturan LKIN sebagai lembaga dalam undang-undang ini dilakukan
secara umum dan bukan terperinci. Adapun ketentuan lebih lanjut tentang
pengaturannya, tata kerja dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya diatur
dan menjadi otoritas sepenuhnya pemerintah. Mengingat besarnya peranan
pemerintah terkait dengan LKIN, pengangkatan dan pemberhentian Ketua
dan Wakil Ketua LKIN ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres).
Sedangkan ketentuan lebih lanjut tentang susunan organisasi dan tata kerja
LKIN diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres).
LKIN menyelenggarakan fungsi intelijen baik terkait dengan koordinasi
sekaligus terkait dengan pelaksanaan operasi baik yang dilakukan di wilayah
dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk menyelenggarakan fungsi operasi intelijen, LKIN bertugas:
a. melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
intelijen;
b. menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk
menentukan kebijakan pemerintah;
c. melakukan perencanaan dan pelaksanaan operasi intelijen; dan
d. memfasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di
bidang intelijen.
Adapun datam rangka menyelenggarakan fungsi intelijen terkait dengan
koordinasi terhadap berbagai lembaga intelijen, LKIN bertugas:
a. menyediakan bahan pertimbangan berdasarkan masukan dari Intelijen
Negara kepada Presiden dalam penentuan kebijakan dan strategi
nasional;
b. mengoordinasikan aktivitas kontra intelijen baik di dalam negeri maupun
tuar negeri;
30
c. mengoordinasikan penggalangan baik di dalam negeri maupun luar
negeri yang dilakukan oleh Intelijen Negara;
d. menyusun Kode Etik Intelijen Negara dan membentuk Dewan
Kehormatan Intelijen Negara; dan
e. menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di
bidang perencanaan umurn, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana,
kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan,
dan rumah tangga.
Terkait pelaksanaan fungsi intelijen untuk melakukan penyelidikan,
pengamanan, dan penggalangan, LKIN berwenang:
a. menyusun rencana nasional secara makro di bidang Intelijen;
b. merumuskan kebijakan di bidang Intelijen untuk mendukung
pembangunan secara makro; dan
c. menyediakan Intelijen bagi badan, kementerian, lembaga pemerintah
non kementerian, atau instansi sesuai kepentingan dan prioritasnya.
Sedangkan untuk melaksanakan tugas terkait fungsi koordinasi intelijen
negara, LKIN berwenang:
a. mengoordinasikan kebijakan di bidang intelijen;
b. mengoordinasikan fungsi-fungsi intelijen pada masing-masing Intelijen
Negara; dan
c. mengatur sistem Intelijen Negara.
Dalam rangka melakukan deteksi awal dan langkah sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya berbagai ancaman serta menghadapi intensitas
ancaman yang semakin bersifat global dan beragam bentuknya, maka
diperlukan proses penanganan persoalan dengan menggunakan tingkat
kewenangan yang bersifat khusus. Untuk itu, LKIN dalam aktivitasnya juga
memiliki wewenang khusus untuk melakukan intersepsi komunikasi dan
pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, dan
dalam memeriksa aliran dana tersebut LKIN dapat meminta bantuan kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), bank yang
bersangkutan, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa
pengiriman uang.
Sehubungan dengan kewenangan khusus untuk melakukan intersepsi
oleh intelijen, berikut perbandingan di negara lain:
31
SPECIAL POWER
AGENCY SPECIAL POWERS
• Directed surveillance.
MI5 • Interception of communication.
• Intrusive surveillance.
Intercept tellecommunication, use listening devices and
tracking devices, remotly access computers, enter and
ASIO search premises, examine postal articles, and the
questioning of person for purpose of investigating
terrorism.
• To enter any place or open or obtain access to
anything.
• To search for, remove or return, or examine, take
CSIS extracts from or make copies of or record in any other
manner the information, record, document or thing, or
• To install, maintain, or remove any thing
32
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan,
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
Untuk memperoleh data intelijen yang akurat dan obyektif mengenai
ancaman, khususnya yang berkaitan dengan terorisme, LKIN perlu diberi
wewenang yang sifatnya dapat membatasi, mengurangi dan/atau
menghilangkan sebagian kebebasan sipil namun sekaligus mendukung hak
asasi manusia secara lebih luas dimensinya, serta dapat mengakses
langsung ke sumber informasi aktual.
Meskipun naskah RUU Intelijen Negara tidak mengatur mengenai
"pemeriksaan intensif", namun dalam aktivitas Intelijen Negara yang telah
berlaku selama ini, pemeriksaan intensif merupakan bagian dari wewenang
khusus selain daripada wewenang untuk melakukan intersepsi komunikasi.
Pemeriksaan intensif dilakukan terhadap setiap orang yang diduga kuat
sebagai teroris. Urgensi dilakukannya pemeriksaan intensif adalah terkait
dengan kepentingan deteksi dan peringatan dini untuk mencegah terjadinya
berbagai ancaman yang semakin bersifatglobal dan beragam bentuknya.
. Dalam hal hasH pemeriksaan tidak memenuhi syarat sebagai bukti
permulaan, maka yang bersangkutan wajib segera dibebaskan dan diberi
kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi. Yang dimaksud dengan
"kompensasi" adalah ganti kerugian yang diberikan oleh LKIN. Adapun
"restitusi" adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh LKIN, dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan, "rehabilitasi" adalah
pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik,
jabatan, atau hak-hak lain yang diberikan oleh LKIN. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pembebanan kepada LKIN terkait
33
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, merupakan salah satu bentuk dari
akuntabilitas dan sifat kekhususan Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
Hal yang juga penting dicatat terkait kepemilikan wewenang khusus bagi
intelijen, yaitu melalui kelembagaan LKIN yaitu terkait dengan pemeriksaan
intensif terhadap setiap orang yang diduga teroris, adalah dengan tetap
memperhatikan terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum.
Ketentuan yang mengikat secara ketat terhadap penggunaan wewenang
khusus LKIN adalah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam
operasi intelijen dan potensi penggunaaan secara kekerasan.
Dalam konteks konstitusi, kewenangan khusus intelijen yang dimiliki oleh
LKIN, kiranya dengan mengingat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan
bahwa:
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
34
syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum serta keselamatan
umum dalam suatu masyarakat demokratis".
2. Dokumen Siracusa
Dokumen Siracusa lahir dari hasil pertemuan para pakar pertahanan,
keamanan nasional, dan hak asasi manusia di Johannesburg, Afrika
Selatan. Dokumen tersebut melahirkan prinsip-prinsip Siracusa yang
kemudian diadopsi oleh PBB. lsi prinsip-prinsip dokumen tersebut
sebagai berikut: "Pembatasan hak asasi manusia dapat yang
dibenarkan sepanjang berkaitan dengan keamanan nasional,
keselamatan bangsa dan dan diaturdengan undang-undang".
Serangan terorisme sulit dideteksi dan diprediksi, mengingat
aktivitasnya dilakukan secara tertutup, jaringan dan pengendaliannya
longgar, mobilitasnya tinggi, bersifat global, dan tidak mengenal batas
teritorial dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Serangan teroris
menyebabkan kerugian jiwa dan harta yang sangat besar, merusak citra di
dunia internasional, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Terorisme bukan saja diklasifikasikan sebagai kejahatan umum, tetapi
masyarakat internasional telah menyatakan bahwa terorisme merupakan
kejahatan luar biasa ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh sebab
itu, dalam rangka melindungi hak asasi manusia yang lebih besar dan
kepentingan nasional lainnya, maka intelijen negara sangat memerlukan
payung hukum bagi kepemilikan dan pelaksanaan kewenangannya yang
bersifat khusus terkait pemeriksaan secara intensif terhadap orang-orang
yang diduga kuat terlibat dalam aksi terorisme.
35
2. Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia menyelenggarakan
fungsi dan aktivitas intelijen kriminal dan penegakan hukum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja
Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia menyelenggarakan fungsi
dan aktivitas intelijen penegakan hukum. Ketentuan lebih lanjut
mengenai susunan organisasi dan tata kerja Intelijen Kejaksaan
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4. Kementerian atau Lembaga Pemerintah nonkementerian meliputi
unsur atau bagian yang menyelenggarakan fungsi dan aktivitas
Intelijen pada Kementerian atau Lembaga Pemerintah
nonkementerian dan/atau Pemerintah Daerah. Kementerian atau
Lembaga Pemerintah nonkementerian dan/atau Pemerintah Daerah
bertugas menyelenggarakan intelijen sesuai dengan bidang tugas
lembaganya.
36
Pola karier, kenaikan pangkat, dan jabatan personil intelijen harus
didasarkan pada sistem kecakapan (merit system) dan tingkat keberhasilan
profesional di bidang intelijen.
Selain itu, perlu dibangun suatu Sistem Informasi Manajemen
Personil (SIMP) agar mampu menyajikan data personil secara cepat,
akurat, terkini, terpadu, dan dapat dipercaya. Personil intelijen perlu
didukung dengan sistem kesejahteraan yang memadai, misalnya perawatan
kesehatan, koperasi dan fasilitas lainnya.
Pembinaan personil intelijen, bukanlah untuk ditakuti namun disegani
dan dipercaya oleh rakyat karena bobot profesional intelijennya
diakui/dihargai. Mengingat tingkat kerahasiaannya yang tinggi, personil
intelijen tidak boleh muncul di dalam publikasi apapun dan tidak terdaftar
dalam daftar karyawan (list employees) dan daftar gaji (payroll) resmi.
Untuk tercapainya pembinaan personil intelijen dalam menjalankan
tugas pokok dan fungsinya yang berdaya guna dan berhasil guna
dibutuhkan dukungan anggaran yang memadai. Mengenai sistem
pertanggungjawaban anggaran bagi penyelenggaraan dan pembinaan
intelijen dimaksud dilaksanakan secara khusus.
Dalam menghasilkan personil intelijen yang berkualitas, senantiasa
perlu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan pendidikan dan pelatihan
(Diklat), dan peningkatan fasilitas sarana dan prasarana. Pembinaan yang
dilakukan hendaknya disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi mutakhir. Adapun sistem pendidikan dan pelatihan intelijen
meliputi pendidikan formal dan non formal.
Langkah-Iangkah dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan penelitian
dan pengembangan (Litbang)/riset, yaitu:
1. Membangun sarana dan prasarana dengan konsepsi dan metoda-
metoda mutakhir.
2. Mengembangkan sistem pengawasan dan pengendalian yang
efektif dan efisien.
3. Penataan rangkaian kegiatan pembinaan intelijen negara yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggiatan,
pengendalian, dan pengawasan dalam suatu sistem manajemen
37
modern yang disesuaikan dengan kemajuan Iptek (limu
Pengetahuan dan Teknologi) di alam demokrasi/reformasi.
4. Memelihara dan meningkatkan etika profesi intelijen/kode etik
intelijen serta tetap memegang sumpah personil intelijen negara.
5. Menjaga kerahasiaan semua aktivitas intelijen.
6. Memberikan sanksi yang tegas (punishment) terhadap personil
intelijen yang melanggar sumpah personil intelijen negara, tugas
pokok, dan fungsi intelijen, sebaliknya memberikan penqharqaan
(reward) terhadap personil intelijen yang berprestasi dalam
tugasnya.
7. Menggalang kerjasama dengan para pakar atau ahli di bidang
keilmuan baik di berbagai universitas maupun swasta demi
keberhasilan tugas intelijen.
8. Menggalang kerjasama dengan badan-badan intelijen luar negeri
sesuai kebutuhan organisasi dan hubungan fungsional, seperti
kerjasama di bidang pendidikan, pelatihan, dan operasional.
9. Membangun budaya intelijen negara secara konseptual, konsisten,
dan sistematis.
10. Membina mereka yang sudah diluar badan intelijen (a.1. pensiun)
secara langsung atau tidak langsung, karena kemampuan atau
keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, agar tidak
dimanfaatkan oleh pihak "Iawan" untuk tujuan-tujuan anti NKRI.
11. Pengembangan kemampuan profesionalisme personil intelijen
negara dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan
secara berjenjang.
12. Setiap personil intelijen beserta keluarganya diberikan perlindungan
secara fisik dan non fisik sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
G. Pembiayaan
Proses pengelolaan anggaran intelijen yang memadai dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporan pertanggungjawaban secara
khusus.
\
38
Penyelenggara intelijen negara yaitu intelijen Tentara Nasional
Indonesia, Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Intelijen
Kejaksaan Republik Indonesia berhak memperoleh alokasi anggaran melalui
mekanisme dan prosedur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Sedangkan, anggaran bagi badan-badan intelijen di luar
penyelenggara intelijen negara, disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terkait dengan keuangan negara.
39
members.
40
kelengkapan OPR RI. Pengawasan yang dilakukan oleh OPR RI terhadap
intelijen negara merupakan pengawasan secara legislatif. Pengawasan
tersebut terbatas substansi kebijakan intelijen yang berkaitan dengan
keamanan nasional dan keselamatan warga negara, bukan pengawasan
secara teknis operasional maupun aktivitas intelijen secara rinci.
Pengawasan anggaran merupakan inti kontrol parlemen. Parlemen
memainkan peran yang berbeda dalam penganggaran dan prosedur
pembukuan untuk badan-badan keamanan dan intelijen, misalnya dalam hal
cakupan kontrol anggaran, kekuasaan untuk mengamandemen anggaran,
kekuasaan utnuk menyetujui permintaan tambahan anggaran, akses
terhadap informasi rahasia. Oalam kasus apa pun, parlemen memiliki suara
dalam isu anggaran karena badan-badan keamanan dan intelijen dibiayai
dari uang pembayar pajak. Parlemen memiliki peran dalam penganggaraan
dan proses-proses pembukuan badan-badan keamanan dan intelijen.
Kekuasaan dalam hal keuangan yang dipraktikkan. Parlemen harus dilihat
dari 2 (dua) konteks, yaitu dari konteks keseluruhan proses penganggaran,
juga dari mandat badan parlemen yang diberi tugas pengawasan aktivitas-
aktivitas khusus pemerintah tersebut.
Parlemen dapat memperhatikan isu-isu yang berkaitan dengan badan-
badan keamanan dan intelijen dalam semua tahap siklus anggaran, di mana
sebagian besar negara-negara telah mengadopsi sistem perencanaan,
pemrograman, dan anggaran. Persiapan anggaran secara umum adalah
tahap, di mana eksekutif mengajukan alokasi uang untuk beberapa tujuan
dan parlemen beserta para anggotanya dapat berkontribusi dalam proses
tersebut melalui berbagai mekanisme formal dan informal. Persetujuan
anggaran, bahwa parlemen harus dapat mempelajari dan menentukan
kepentingan publik, kesesuaian alokasi uang, dan dalam konteks tertentu
dapat melengkapi alokasi anggaran yang berkaitan dengan keamanan
dengan pedoman tertentu. Mengenai pengeluaran dalam tahap ini, parlemen
mengulas dan memantau pengeluaran serta dapat berusaha meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas.
Akuntabilitas dan transparansi adalah syarat utama dalam
penganggaran yang efektif. Cara terbaik untuk merealisasikan akuntabilitas
adalah melalui proses pembuatan anggaran yang transparan. Akuntabilitas
41
dan transparansi yang baik dapat dikembangkan dari prinsip-prinsip
penganggaran yang efektif. Efektivitas anggaran harus dapat
mengkomunikasikan pemahaman yang jelas akan tujuan anggaran dalam
hal sumber daya, kinerja, atau tujuan kapasitas yang akan dicapai dan hasil
yang dapat diukur terhadap rencana.
Sedangkan pengawasan fungsional dilaksanakan oleh Dewan
Kehormatan Intelijen Negara melalui kode etik. Pengawasan ini bersifat
pengawasan managerial, yaitu apakah pencapaian tujuan aktivitas intelijen
sesuai dengan sasaran dan pengguna sumber daya yang telah
direncanakan.
I. Ketentuan Pidana
1. Delik Kesengajaan (Dolus)
Kesengajaan (dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan
(schuld). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang
lebih erat terhadap suatu tindakan (terlaranglkeharusan) dibandingkan
dengan culpa. Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih
berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan apabila
dilakukan dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu,
jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang
padahal jika dilakukan dengan sengaja merupakan suatu kejahatan,
misalnya penggelapan (Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana/KUHP), merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP), dan lain
sebagainya.
Banyak para sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai
pengertian kesengajaan (dolus). Dalam beberapa hal tidak terdapat
keseragaman tafsir antara para sarjana tersebut. Perbedaan tafsir
tersebut antara lain terdapat dalam bidang peristilahan yang digunakan
dalam perumusan perundang-undangan, bidang gradasi kesengajaan,
dan terutama bidang "penentuan" erat/renggangnya atau jauh/dekatnya
kejiwaan pelaku kepada tindakan yang dilakukannya, termasuk
penyebab dan akibatnya.
Ulasan-ulasan mengenai kesengajaan dapat dilakukan dari
berbagaipandangan:
42
a. Kesengajaan menurut memori penjelasan
Menurut memori penjelasan (memorie van toelichting), yang
dimaksudkan dengan kesengajaan adalah "menghendaki dan
menginsyafi" terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya.
(willens en wetens veroorzaken van een gevolg). Artinya,
seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja,
harus menghendaki serta menginsyafi tindakan tersebut
dan/atau akibatnya. Dari seseorang yang melakukan suatu
tindakan karena ia dipaksa, tidak dapat dikatakan bahwa ia
melakukan perbuatan itu karena kehendaknya sendiri. Demikian
pula seseorang yang gila yang lari dengan telanjang di muka
umum, atau seseorang anak yang mempertunjukkan gambar
porno, tidak dapat dikatakan bahwa ia menghendaki dan
menginsyafi perbuatan merusak kesusilaan di muka umum.
b. Kesengajaan dari sudut terbentuknya
Manusia yang sehat mempunyai bermacam keinginan.
Adakalanya keinginan itu menjurus kepada tindakan yang
dilaranq dan diancam dengan pidana oleh perundang-undangan.
Misalnya untuk memiliki sebuah benda berharga yang ia
butuhkan, tetapi ia tidak sanggup untuk membelinya. Bilamana ia
sangat bernafsu memiliki benda tersebut, pada suatu ketika
dapat terjadi bahwa ia akan melakukan tindakan apapun, demi
untuk memiliki benda tersebut, kendati dilarang oleh perundang-
undangan. Nafsu untuk memiliki tersebut adalah merupakan
perangsang atau motif dari kelakuannya selanjutnya. Jika ia
selanjutnya merencanakan cara-cara yang akan dilakukannya
untuk memiliki benda tersebut, maka padanya telah ada
kehendak (oogmerk). Untuk terjadinya suatu tindak pidana, maka
kemudian ia melaksanakan tindakan yang dikehendakinya itu.
Singkatnya, dalam rangka mewujudkan kehendaknya itu, ada 3
(tiga) tingkatan yang dilaluinya, yaitu:
1). Adanya perangsang,
2). Adanya kehendak, dan
3). Adanya tindakan.
43
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa kesengajaan
adalah suatu kehendak untuk melaksanakan suatu tindakan
yang didorong oleh pemenuhan nafsu. Dengan perkataan lain
kesengajaan itu ditujukan terhadap suatu tindakan.
Jelas bahwa proses kejiwaan yang mendahului pengambilan
ketetapan untuk melakukan tindakan yang terlarang, memainkan
peranan yang penting. Penyebab dari proses itu adalah motif dari
pelaku, walaupun untuk tindak pidana, motif itu tidak mempunyai
kepentingan. Hanya dalam hal pemidanaannya persoalan motif
mempunyai kepentingan. Sehubungan dengan motif ini,
dibentuklah alam pemikiran atau gagasan untuk memenuhi
nafsunya tersebut. Setelah mengambil ketetapan maka proses
kejiwaan itu telah selesai. Kemudian diikuti oleh tingkah laku
untuk mewujudkan kehendak tersebut, dari tingkah laku mana
akan dapat disimpulkan, apakah tindakan tersebut telah
dilakukannya dengan sengaja atau tidak. Karenanya dalam
banyak hal, kesengajaan itu dapat disimpulkan dari sikap pelaku,
sebelum, selama, dan/atau setelah tingkah laku tindakan yang
terlaranq."
Sehubungan dengan pembuktian kesengajaan, sering
terbentur pada kesulitan-kesulitan, terutama bilamana pelaku
memungkirinya, bahkan sering tidak dapat dibuktikan. Sering
dalam usaha pembuktian mengenai adanya kesengajaan,
terdapat pada keadaan-keadaan yang telah terjadi. Dengan
perkataan lain pembuktian mengenai adanya kesengajaan,
sering dinilai dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh
pelaku beserta akibatnya."
c. Sifat kesengajaan (dolus malus)
Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Perfama, dolus
malus, yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak
"Schreyder. Wh., BERG van de ALA. en DUNNEWIJK J.A. Mr Het Wetboek van
Strafrecht, A.W. Sijthoffs Uitgevers maatschappij NV Leiden-1951 dalam Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hIm. 80.
7 Van Dijk, Het Wetboek van Militair Strafrecht en wet op de Krijgstucht. N Samson NV-
Alphen aan de Rijn-1952, Ibid., hIm. 120.
44
pidana, tidak saja ia hanya menghendaki tindakannya itu, tetapi
juga ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang oleh undang-
undang dan diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang
tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal
seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika
hanya menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang
erat antara kejiwaannya (bathin) dengan tindakannya. Tidak
disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu
dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Ajaran pertama sudah tidak dianut lagi. Karena apabila
ajaran itu tetap dipertahankan, akan memberikan beban yang
sangat berat bagi para penegak hukum, terutama hakim.
Menurut teori ini, hakim mewajibkan untuk membuktikan bahwa
pelaku betul-betul menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang
dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Pada hal
untuk membuktikan "kehendak" saja sudah sulit. Akan semakin
sulit lagi jika "keinsyafan" tersebut harus dibuktikan. Seperti
diketahui tidak semua orang yang pernah membaca atau
mendengar tentang tindakan mana saja yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang. Maka wajar jika
kemudian yang dianut adalah ajaran yang kedua, yang lebih
sederhana.
Kesengajaan jenis kedua inilah yang dianut dalam hukum
pidana Indonesia. Undang-undang hukum pidana menentukan
untuk dapat dipidananya seseorang atau pelaku tidak tergantung
dari keinsyafan, apakah suatu tindakan dilarang dan diancam
dengan pidana. Sebagai imbalannya ialah bahwa hanya tindakan
tertentu yang harus diatur dalam undang-undang, yang
ditentukan sebagai kejahatan, yang oleh setiap orang yang
berpendidikan normal dapat mengetahui bahwa tindakan
tersebut bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau
kesusilaan. Harus diakui bahwa stelsel ini dalam beberapa hal
akan mengarah kepada kekurangtepatan (onbillijkheid) karena
perkembangan yang luar biasa dari hukum, sehingga para
45
sarjana pun sering harus membuka buku untuk mengetahui
apakah suatu tindakan merupakan tindak pidana atau tidak.
Namun demikian kesengajaan jenis kedua, masih tetap
dipandang sebagai yang lebih baik.
46
Perbedaan antara kesengajaan dengan kealpaan dalam
hubungannya dengan suatu tindakan yang dapat dipidana adalah:
a. Sesuatu akibat pada keaJpaan, tidak dikehendaki pelaku
walaupun dapat diperkirakan, sedangkan pada kesengajaan
justru akibat itu adalah perwujudan dari kehendak dan
keinsyafannya.
b. Percobaan untuk melakukan suatu kejahatan karena kealpaan
pada umumnya tidak dapat dibayangkan, karena memang niat
untuk melakukannya tidak ada, karenanya tidak mungkin ada
pemidanaan.
c. Selain bentuk kejahatan sengaja tidak dengan sendirinya, ada
pula bentuk kejahatan kealpaan. Penyelesaian "tindakan"
dengan kealpaan seperti ini, sering dilaksanakan di bawah
tangan atau melalui saluran hukum perdata yaitu "ganti-rugi".
Penyelesaian seperti in; adalah karena "tindakan alpa", tidak
dianggap sebagai merugikan atau membahayakan kepentingan
umum.
d. Ancaman pidana terhadap delik yang dilakukan dengan
sengaja, lebih berat dibandingkan terhadap delik yang
bersamaan karena kealpaan.
e. Jika dolus eventualis dibandingkan dengan kealpaan yang
berat (bewuste schuld atau culpa lata), maka pada dolus
eventuatis disyaratkan adanya kesadaran akan kemungkinan
terjadinya sesuatu akibat, kendatipun ia bisa berbuat lain, tetapi
lebih suka melakukan tindakan itu walaupun tahu risikonya.
Sedangkan pada culpa lata disyaratkan bahwa pelaku
seharusnya dapat menduga (voorzien) akan kemungkinan
terjadinya sesuatu akibat, tetapi sekiranya "diperhitungkan"
akibat itu akan pasti terjadi, ia lebih suka tidak melakukan
tindakannya itu. Oi samping itu pada pelaku terdapat kekurang
hati-hatian.
Penggradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari 2 (dua)
sudut, yaitu:
47
a. Di Iihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku,
maka diperbedakan gradasi kealpaan dengan:
1). Kealpaan yang berat (culpa lata).
2). kealpaan yang ringan (culpa levis).
Untuk mengetahui apakah ada kealpaan atau tidak, dilihat dari
sudut kecerdasan, untuk gradasi yang pertama disyaratkan
adanya kekurangwaspadaan (onvoorzichtigheid). Untuk gradasi
kedua, disyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan :
1). Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari
golongan pelaku (de gemiddelde mens van de groep,
waartoe de dader behoort); atau
2). Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang
terpandai dalam golongan pelaku (de meest bekwame,
verstandigste mens van de groep van de dader).
Dari hasil perbandingan tersebut akan diambil kesimpulan,
apakah telah ada kealpaan.
b. Dilihat dari sudut kesadaran (bewustheid), dibedakan gradasi:
1). Kealpaan yang disadari (bewuste schuld),
2). Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dikatakan sebagai "kealpaan yang disadari", jika pelaku dapat
membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Tetapi
ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya
tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul juga.
Dan dikatakan sebagai "kealpaan yang tidak disadari", bilamana
pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi
seharusnya menurut perhitungan umum/yang layak, pelaku dapat
membayangkannya (onverchilligheid ten opzichte van rechtsbelangen
van anderen).
48
pelaksanaan atau penerapan hukum pidana kita. Berhubung dengan
adanya asas ini Hakim terikat pada asas Minimum dan batas Maksimum
penghukuman yang harus dijatuhkannya, artinya Hakim tidak dapat
menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dar; batas minimal hukuman
dan Hakim tidak dapat pula bertindak sekehendak hatinya untuk
menetapkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman
yang telah ditentukan undang-undang.
Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan
minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu perundang-undangan;
aparat atau penegak hukum; dan kesadaran hukum. Faktor perundang-
undangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi hukum
pidana materiil atau hukum pidana substantif, hukum pidana formil atau
hukum acara pidana. Berkaitan dengan faktor perundang-undangan
pidana, bahwa 2 (dua) aspek penting dalam keberhasilan penegakan
hukum pidana tersebut adalah isi atau hasil penegakan hukum
(substantifjustice) dan tata cara penegakan hukum (procedural justice).
Dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia,
penggunaan pidana sebagai bagian dari politik atau kebijakan hukum
pidana sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak
perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah
hampir setalu dicantumkannya sanksi pidana pada setiap kebijakan
pembuatan perundang-undangan pidana di Indonesia dengan tanpa
adanya penjetasan resmi tentang penentuannya.
Bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik tertentu, manakah yang
harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu
pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga
manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan
masyarakat di satu pihak dengan kepentingan pembinaan individu
petaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan reaksi dan sikap
kritis terhadap beragamnya putusan pengadilan yang sudah diputuskan
oleh tembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu.
Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya isu disparitas
pidana (disparity of sentencing) diantara delik-delik tertentu tersebut.
49
Adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik
yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan adanya keinginan
untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya
standar minimal obyektif untuk delik tertentu yang sangat dicela dan
merugikan atau membahayakan masyarakat atau negara, serta demi
untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum (general
prevention) terhadap delik-delik tertentu yang dipandang
membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga undang-
undang kemudian menentukan, bahwa untuk delik tertentu, disamping
ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana
minimum khususnya. Indonesia sampai dengan sekarang ini belum
memiliki sistem pemidanaan yang bersifat nasional, yang di dalamnya
mencakup pola pemidanaan dan pedoman pemidanaan, yaitu acuan
atau pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat atau
menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi
pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut pedoman
legislatif atau pedoman formulatif. Sedangkan pedoman pemidanan
adalah pedoman penjatuhan atau penerapan pidana untuk hakim
(pedoman yudikatif/pedoman aplikatif). Dilihat dari fungsi
keberadaannya, pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu
sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP
nasional dibuat. Secara kualitatif, menurut doktrin IImu Pengetahuan
hukum Pidana, delik tertentu yang ditentukan pidana minimum
khususnya adalah yang berkarakter sebagai berikut:
a. Delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau
meresahkan masyarakat;
b. Delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya.
Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam beberapa
undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum
khusus, nampak hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau
pada maksimum pidana (penjara, kurungan dan denda) berapa
dapat dimulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana
penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun, dari 3 (tiga)
50
tahun hingga 15 (lima belas) tahun, dan ada pula yang
menggunakan ukuran bulan. Demikian juga untuk pidana
kurungan, ada yang menggunakan ukuran tahun dan ada juga
yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda, ada
yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang
menggunakan ukuran milyaran rupiah.
b. Tidak ada keseragaman tentang kisaran untuk pidana penjara
minimum khusus. Demikian juga dengan pidana kurungan
minimum khusus dan pidana denda minimum khusus.
Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara,
pidana kurungan, maupun pidana denda, menggunakan ukuran
kualitatif, ternyata tidak semuanya menunjukkan bahwa delik
tersebut merupakan delik yang sangat membahayakanl
meresahkan masyarakat, dan atau delik yang dikualifisir atau
diperberat akibatnya.
c. Tidak ada kesetaraan rasio, antara maksimum khusus dengan
minimum khusus baik untuk pidana penjara, pidana kurungan
maupun pidana denda.
Beragamnya rumusan dalam undang-undang yang mencantumkan
pidana minimum khusus sebagaimana tersebut di atas, bersumber pada
belum adanya pola pemidanaan yang dapat dipedomani oleh pemegang
kebijakan legistlasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah
adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa
undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan
ini pada gilirannya potensial mempengaruhi efektivitas penegakan
hukum di tingkat kebijakan aplikasi.
Pidana minimum khusus adalah ancaman pidana dengan adanya
pembatasan terhadap masa hukuman minimum dengan waktu tertentu,
dimana pidana minimum khusus ini hanya ada pada undang-undang
tertentu saja diluar KUHP, dan dalam konsep rancangan KUHP yang
akan datang,hukuman minimum khusus ditujukan bagi delik yang
meresahkan dan membahayakan bagi masyarakat. Tidak semua
undang-undang mempunyai hukuman pidana minimum khusus, salah
satunya adalah undang-undang mengenai tindak pidana narkotika.
51
Dalam penerapan hukuman pidana minimum khusus ini diharapkan
akan memudahkan hakim untuk memutuskan perkara yang tidak terlalu
berat karena sering sekali terjadi perbedaan vonis pada kasus yang
sama, yang disebabkan adanya hal-hal diluar fakta hukum yang dapat
mempengaruhi hakim. Selain untuk delik yang membahayakan dan
meresahkan masyarakat, pidana minimum khusus ditujukan juga untuk
membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana.
KUHP yang berlaku saat ini menganut sistem maksimum (umum
dan khusus) serta minimum umum. Hal ini menyebabkan hakim dalam
menjatuhkan pidana dapat bergerak antara pidana paling tinggi dan
paling rendah. Berhubung bermacam-macam ancaman pidana yang
tercantum dalam KUHP, hakim Indonesia mempunyai kebebasan yang
sangat luas menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan
kepada terdakwa. Akibat dari ketentuan semacam itu, terkadang tindak
pidana yang secara hakiki kualitasnya sama dijatuhi pidana yang
berbeda-beda (disparitas pidana). Untuk mencapai hukum pidana yang
lebih baik dan lebih mengutamakan keadilan, diadakan pembaharuan
hukum pidana sehingga di dalam rancangan konsep KUHP baru dan
dalam beberapa perundang-undangan pidana khusus telah
menggunakan sistem minimum khusus, diantaranya adalah Undang-
Undang tentang Narkotika dan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Dampak positif dari penerapan sistem minimum khusus yang paling
utama adalah dapat mengurangi atau meminimalisir adanya disparitas
pidana.
Sistem minimum khusus dalam perundang-undangan pidana
khusus merupakan salah satu pembaharuan dalam hukum pidana. Hal
ini disebabkan penerapan sistem minimum khusus dalam perundang-
undangan pidana khusus juga mengandung karakteristik operasional
hukum masa datang, dalam hal penggunaan sistem minimum khusus
yang menginginkan pemidanaan yangtidak di bawah standar yang
merupakan faktor pencegah atau preventif bagi seseorang yang akan
melakukan tindak pidana, karena mereka akan berfikir ulang mengingat
52
sanksi yang tidak rendah dan sudah dapat diketahui sanksi pidana yang
akan dihadapi (paling rendah) jika akan rnelakukan suatu tindak pidana.
53
dan/atau menggunakan 4 keadaan tersebut di atas. Walaupun
kualitas pegawai negeri dalam pasal in; sama dengan kualitas
subjek hukum pada kejahatan-kejahatan jabatan dalam Bab
XXVIII Buku II dan pelanggaran jabatan dalam Bab VIII Buku
III, tetapi pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini tidak
berlaku pada kejahatan-kejahatan jabatan maupun
pelanggaran jabatan tersebut, melainkan berlakunya pada
kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana
yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran
jabatan karena dari kualitasnya sebagai pegawai negeri itu
telah diperhitungkan.
Jadi, pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini berlaku
umum bagi seluruh jenis dan bentuk tindak pidana, kecuali
pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang
diterangkan di atas. Walaupun subjek tindak pidana Pasal 52
dengan subjek hukum kejahatan dan pelanggaran jabatan
adalah sama, yakni pegawai negeri, tetapi ada perbedaan
antara tindak pidana dengan memperberat atas dasar Pasal 52
ini dengan kejahatan dan pelanggaranjabatan, yaitu:
a). tindak pidana yang dapat diperberat dengan
menggunakan Pasal 52 ini pada dasarnya adalah
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang;
b). tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran
jabatan hanyalah dapat dilakukan oleh subjek hukum
yang berkualitas pegawai negeri saja.
Tentang siapa atau dengan syarat-syarat apa yang
dimaksud dengan pegawai negeri tidaklah dijelaskan lebih jauh
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _--"'d=a~la~m~un~dang::undang.-EasaL92KUl::le-Jidaklah
menerangkao-------
tentang siapa pegawai negeri, tetapi sekadar menyebut tentang
beberapa macam pegawai negeri, atau bolehlah dikatakan
memperluas macam pegawai negeri, yaitu:
a). orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
54
b). orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi
anggota badan pembentuk undang-undang, badan
pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat yang
dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah;
c). semua anggota dewan subak;
d). semua kepala rakyat Indonesia asli; dan
e). semua kepala golongan Timur Asing yang
menjalankan kekuasaan yang sah.
Sedangkan tentang pengertian pegawai negeri,
diterangkan dalam yurisprudensi, seperti dalam pertimbangan-
pertimbangan putusan Hoge Raad masing-masing tanggal 30-
1-1911, 25-10-1915 dan 26-5-1919, yang pada dasarnya
menerangkan bahwa pegawai negeri itu adalah: "barang siapa
yang oleh kekuasaan umum diangkat untuk menjabat
pekerjaan umum untuk melakukan sebagian dari tugas
pemerintahan atau alat perlengkapannya". Jadi pengertian
pegawai negeri menurut Hoge Raad mengandung 3 (tiga)
unsur pokok, yaitu:
a). dia diangkat oleh kekuasaan umum;
b). untuk menjabat pekerjaan umum; dan
c). melaksanakan sebagian tugas pemerintahan atau alat
perlengkapannya.
Menurut Hoge Raad, gaji tidaklah merupakan syarat
penting dari pengertian pegawai negeri. Pengertian pegawai
negeri menurut Hoge Raad ini ternyata dianut pula oleh
Mahkamah Agung RI sebagaimana dinyatakan dalam
pertimbangan dari putusan-putusannya (22-12-1953, 1-12-
_________________1=9=62.".)'-Jyan9-Pada pokoknya menyatakan babwa pegawai negen
adalah setiap orang yang diangkat oleh penguasa yang
dibebani dengan jabatan umum untuk melaksanakan sebagian
tugas negara.
Dalam 2 (dua) undang-undang, yakni Undang-Undang
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian terdapat rumusan tentang
pengertian pegawai negeri dan Undang-Undang tentang
55
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat perluasan arti
pegawai negeri yang lebih sempurna daripada Pasal 92
maupun pengertian menurut yurisprudensi.
Menurut Undang-Undang tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, pegawai negeri adalah:
"mereka yang sete/ah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan da/am peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diangkat o/eh pejabat yang berwenenq dan
diserahi tugas da/am suatu jabatan negeri atau diserahi
tugas negara /ainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan dan digaji menurut
perundang-undangan yang berlaku."
56
kewajiban khusus dari jabatan, dan bukan kewajiban
umum jabatan. Dalam suatu jabatan in casu jabatan
publik yang dipangku oleh seorang pegawai negeri
terdapat suatu kewajiban khusus di dalamnya. Suatu
kewajiban khusus adalah suatu kewajiban yang
berhubungan erat dengan tugas pekerjaan tertentu
dari suatu jabatan.
b). Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan
Kekuasaan Jabatan
Suatu Jabatan in casu jabatan publik disamping
membeban kewajiban khusus dan kewajiban umum
dari jabatannya, juga memiliki suatu kekuasaan
jabatan, yaitu kekuasaan yang melekat dan timbul dari
jabatan yang dipangku. Kekuasaan yang dimilikinya ini
dapat disalahgunakan pemangkunya untuk melakukan
suatu kejahatan tertentu yang berhubungan dengan
kekuasaan itu.
c). Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan
Kesempatan dari Jabatan
Pegawai negeri dalam melaksanakan tugas pekerjaan
berdasarkan hak dan kewajiban jabatan yang
dipangkunya kadangkala memiliki suatu waktu yang
tepat untuk melakukan perbuatan yang melanggar
undang-undang, apabiJa kesempatan ini
disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana itu, dia
dipidana dengan dapat diperberat sepertiganya dari
ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam
tindak pidanayang dilakukannya.
d). Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan
Sarana Jabatan
Seorang pegawai negeri dalam menjalankan
kewajiban dan tugas jabatannya diberikan sarana-
sarana tertentu, dan sarana mana dapat digunakan
untuk melakukan tindak pidana tertentu. Disini dapat
57
diartikan menyalahgunakan sarana dari jabatannya
untuk melakukan suatu tindak pidana.
Pemberat pidana yang didasarkan pada 4 (empat) macam
keadaan yang melekat atau timbul dari jabatan adalah wajar,
mengingat keadaan-keadaan dari jabatan itu dapat
memperJancar atau mempermudah terjadinya tindak pidana,
dan juga dari orang itu membuktikan niat buruknya yang lebih
kuat untuk mewujudkan tindak pidana, yang keadaan-keadaan
mana diketahuinya atau disadarinya dapat mempermudah
dalam mewujudkan apa yang dilarang undang-undang.
58
berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut
perundang-undangan di luar KUHP.
59
yang tidak menyebut dapat ditambah dengan sepertiga,
melainkan diperberat dengan menambah lamanya saja,
misalnya dari 6 (enam) hari kurungan menjadi dua minggu
kurungan atau mengubah jenis pidananya dari denda diganti
dengan kurungan.
Adapun rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan
ini ialah terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu:
a). lebih dari satu kati melakukan tindak pidana;
b). telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh
negara karena tindak pidana yang pertama; dan
c). pidana itu telah dijalankan pada yang bersangkutan.
Pada faktor yang pertama sebenarnya sama dengan faktor
pemberat pada perbarengan. Perbedaannya dengan
perbarengan ialah pada faktor kedua dan ketiga, sebab pada
perbarengan si pembuat karena melakukan tindak pidana
pertama kali belum diputus oleh pengadilan dengan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht
van gewijsde).
Pemberatan pada pengulangan, yang lebih penting ialah
pada faktor kedua dan ketiga. Penjatuhan pidana karena
melakukan suatu tindak pidana, dapat dianggap sebagai suatu
peringatan oleh negara tentang kelakuan yang tidak
dibenarkan. Dengan melakukan tindak pidana kedua kalinya,
dinilai bahwa yang bersangkutan tidak mengindahkan
peringatan negara tersebut, menunjukkan bahwa orang itu
benar-benar mempunyai perangai yang sangat buruk, yang
tidak cukup peringatan dengan memidana sebagaimana yang
diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Pidana
yang Cfljafuhkan ·disamping ··Il'I-erupakan .suatli pencern1lnan
tentang kualitas dan kuantitas kesalahan si pembuat adalah
juga merupakan bagian dar; suatu terapi yang ditetapkan oleh
hakim dalam rangka usaha perbaikan perangai yang
bersangkutan. Rehabilitasi terhadap orang yang pernah
dipidana dan telah menjalaninya haruslah lebih lama atau lebih
60
berat. Disinilah juga letak dasar pemberatan pidana pada
pengulangan.
Pemberatan pidana dengan dapat ditambah sepertiga dari
ancaman maksimum dari tindak pidana yang dilakukan harus
memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
a). Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian
pidana yang telah dijatuhkan hakim, atau ia
dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia
melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara
untuk menjalankan pidananya belum kadaluwarsa.
b). Melakukan kejahatan pengulangannya adalah dalam
waktu belum lewat 5 (lima) tahun sejak terpidana
menjalani sebagian atau seluruh pidana yang
dijatuhkan.
Pada syarat yang pertama, disebutkan 4 (empat)
kemungkinan, ialah:
a). telah menjalani seluruh pidana yang dijatuhkan;
b). telah menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan;
c). ditiadakan dari menjalani pidana; atau
d). hak negara untuk menjalankan pidana terhadapnya
belum lampau waktu.
Dalam hal pengulangan, si pembuatnya harus sudah
dipidana karena melakukan tindak pidana yang pertama kali.
Walaupun tidak disebut perihal syarat telah dijatuhkan pidana,
dengan menyebut syarat telah menjalani pidana, sudah pasti
didalamnya mengandung syarat telah dijatuhi pidana.
Mengenai pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan terdapat
beberapa kemungkinan, yaitu:
a). dilaksanakahselUruhnya;
b). dilaksanakan sebagian;
c). pelaksanaannya ditiadakan; dan
d). tidak dapat dilaksanakan berhubung sesuatu halangan
yang tidak dapat dihindarkan, misalnya sebelum
. putusan yang memidananya in kracht van gewijsde
61
atau sebelum putusan itu dieksekusi narapidana
melarikan diri.
Selain dibedakan antara bentuk pengulangan umum dan
pengulangan khusus, dalam doktrin hukum pidana juga dikenal
adanya bentuk pengulangan kebetulan (accidentally recidive)
dan pengulangan kebiasaan (habitual recidive).
Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan
tindak pidana yang kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal
yang bukan karena sifat atau perangainya yang buruk, akan
tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu
mengatasinya.
Berbeda dengan pengulangan karena kebiasaan, yang
menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana
yang setelah keluar LP tidak menjadikan perangai yang lebih
baik, justru pengaruh pergaulan di dalam LP menambah sifat
buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan di sini
memang wajar pidananya diperberat. Namun KUHP kita tidak
membedakan antara dua jenis pengulangan tersebut.
62
Dilihat dari berat ringan ancaman pidana pada tindak pidana
tertentu yang sama macam atau kualifikasinya, dapat dibedakan dalam
tindak pidana dalam bentuk pokok, bentuk yang lebih berat
(gequalificeerde) dan bentuk yang lebih ringan (geprivilegeereJe). Pada
pasal mengenai tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara
lengkap unsur-unsurnya, artinya rumusan dalam bentuk pokok
mengandung arti yuridis dari kualifikasi atau jenis tindak pidana itu,
yang ancaman pidananya berada di antara bentuk yang diperberat dan
bentuk yang diperingan.
Sebagai ciri dari tindak pidana dalam bentuk yang diperberat ialah
harus memuat semua unsur yang ada pada bentuk pokoknya
ditambah lagi satu atau lebih dari unsur khususnya yang bersifat
memberatkan. Unsur khusus yang memberatkan inilah yang dirnaksud
dengan dasar pemberatan pidana khusus. Unsur khusus ini berupa
unsur tarnbahan atau ditarnbahkan pada unsur-unsur tindak pidana
jenis yang bersangkutan dalarn bentuk pokok, yang dirurnuskan
menjadi tindak pidana yang berdiri sendiri dengan diancarn dengan
pidana yang lebih berat dari bentuk pokoknya. Jadi untuk rnernbuktikan
tindak pidana jenis itu yang diperberat haruslah rnernbuktikan unsur-
unsur yang ada dalarn rurnusan bentuk pokoknya terlebih dulu
walaupun dalarn pasal yang bersangkutan unsur-unsur dalarn bentuk
pokok itu tidak diulang dengan merumuskannya lagi, melainkan hanya
disebut kualifikasinya atau disebut pasal bentuk pokoknya, barulah
mernbuktikan adanya unsur khusus dari bentuk yang diperberat.
Mencanturnkan unsur pernberat khusus dari bentuk pokok suatu
jenis tindak pidana, dilakukan dengan 3 (tiga) rnacarn cara, yaitu:
1). Dengan rnencanturnkannya dalam satu pasal dari rumusan
bentuk pokoknya, tetapi pada ayat yang berbeda.
2).· Dengahmencarifumkannya pada pasal arluarpasallyang lain
dari rumusan bentuk pokoknya, masih dalarn kelornpok atau
bab jenis yang sarna.
3). Menyebutkan dasar pernberatan itu dalam pasal lain di luar
pasal mengenai jenis tindak pidana yang sarna.
63
Pada unsur-unsur khusus yang dijadikan dasar memberatkan
pidana pada tindak pidana tentulah ada alasan atau rasio mengapa
diperberatnya, walaupun dalam rumusannya tidak disebutkan secara
tegas.
Mengenai macam-macam dasar pemberatan pidana khusus
sangat banyak, bergantung dengan tindak pidana yang diperberatnya.
tidaklah dapat dirinci satu persatu di sini, namun pada dasarnya alasan
pemberatan itu terletak dalam 2 (dua) segi, yaitu segi objektif dan segi
subjektif. Pada segi subjektif, yaitu dengan rencana terlebih dulu,
sedangkan pada segi objektif, terletak pada bermacam-macam sebab,
antara lain:
1). pada akibat perbuatan.
2). pada cara melakukan perbuatan.
3). pada berulangnya perbuatan.
4). pada objek tindak pidana.
5). pada subjek tindak pidana si pembuat.
5. Delik Aduan
Setiap Personil Intelijen Negara yang dipidana karena melakukan
kekerasan dan penganiayaan berat dalam pemeriksaan intensif
merupakan delik aduan. Tujuannya adalah agar lebih mudah
mengetahui adanya para pihak yang merasa dirugikan dalam
pemeriksaan intensif dan agar mekanisme kerja intelijen Negara yang
bersifat rahasia tetap terjaga.
Yang dimaksud dengan delik aduan disini ialah suatu delik yang
perkaranya baru dapat dituntut bila telah adanya pengaduan dari pihak
yang berkepentingan atas penuntutan tersebut. Tanpa adanya
pengaduan, maka delik tersebut tidak dapat dituntut perkaranya."
. ---.-_._- Delikaduan yang ·aTmaksuddalam FfU(Jinlmenganut Dellkaduan····
mutlak, yang dimaksud dengan Delik aduan mutlak ialah suatu delik
yang secara mutlak memerlukan pengaduan agar perkaranya dapat
dituntut dan antara pengadu dengan orang yang diadukan tidak terbatas
64
pada hubungan keluarga saja, melainkan dapat juga orang lain yang
tidak ada hubunqan keluarga apapun. Jadi dengan demikian siapa saja
boleh menjadi pengadu atas perkara yang tengah dihadapinya. Delik
aduan relatif ialah suatu delik yang diajukan atau tidak perkaranya untuk
dituntut tergantung pada inisiatif orang yang mengadu karena antara
pengadu dengan orang yang diadukan masih terdapat hubungan
keluarga. Karena itu dalam hal ini yang dapat menjadi pengadu pun
hanyalah orang-orang tertentu yang dibatasi oleh undang-undang,
misalnya keluarga sedarah, keluarga semenda, keturunan menurut
garis lurus kebawah atau menyamping sampai derajat tertentu dari
orang yang diadukan dan sebaqainya."
Cara melakukan Pengaduan dapat dilakukan baik secara lisan
maupun tertulis oleh orang-orang yang diberikan hak menurut undang-
undang.
Tenggang waktu/berapa lamakah hak untuk mengajukan suatu
pengaduan itu menjadi daluwarsa atau gugur. Menurut Pasal 74 ayat
(1) KUHP batas waktu untuk mengajukan suatu pengaduan terhitung
mulai sejak pengadu benar-benar mengetahui dan mengerti akan duduk
persoalan yang sebenarnya dari perkara yang akan diadukannya
tersebut sampai dengan: 10
a. Jangka waktu selama 6 (enam) bulan, bila pengadu berdiam di
wilayah Indonesia.
b. Jangka waktu selama 9 (sembi/an) bulan bila pengadu berdiam di
luar wilayah Indonesia (diluar negeri). Kecuali Pasal 293 ayat (3)
KUHP yang menetapkan bahwa :
Jangka waktu selama antara 9 (sembilan) bulan sampai dengan 12 (dua
belas) bulan, khusus bagi pengadu yang belum dewasa yang
_ 0__ M M_M______ mengadukanQerbuatan..QrangJaiR¥angJelaILdewasa_terhadap_dir:inya_ -- ----- 0 __ 0 __
9Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, him. 285
10Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, .2002.
65
daya pikirnya, pada umumnya akan ragu-ragu atau untuk sementara
waktu mula-mula takut untuk mengadukan perkara yang menimpa
dirinya. Sedangkan rasa takut atau ragu-ragu itu dapat saja timbul
karena ia mendapat ancaman dari si pelaku, bila sekiranya ia
mengadukan perbuatan si pelaku itu kepada orang lain. Akibatnya bila
yang menjadi korban itu adalah orang-orang yang belum dewasa, tidak
jarang terjadi bahwa pengaduan itu datangnya terlambat. Atas dasar
pertimbangan inilah pasal 293 ayat (3) KUHP mengatur jangka waktu
yang lebih panjang dengan maksud untuk memberikan kesempatan
yang lebih luas bagi pengadu, daripada kesempatan yang diberikan
oleh pasal74 ayat (1) KUHP diatas.
Bila orang yang akan mengadu itu telah meninggal sebelum
pengaduannya tersebut diajukan, maka masih ada orang yang dapat
meneruskan pengaduannya tersebut, yakni menurut Pasal 320 ayat (2)
KUHP latah:"
a. Bila yang akan mengadu itu seorang pria, maka yang dapat
meneruskan pengaduannya itu adalah istrinya atau keluargal
saudaranya dalam garis menyimpang sampai derajat kedua.
b. Bila yang akan mengadu itu seorang wanita, maka yang dapat
meneruskan pengaduannya itu adalah suaminya, atau keluargal
saudaranya dalam garis menyimpang sampai derajat kedua.
Pengaduan orang yang telah meninggal itu selalu dapat diteruskan oleh
mereka yang dimaksud dalam Pasal 320 ayat (2) KUHP, Hal ini
tergantung pada niat yang sebenarnya daripada orangnya sebelum ia
meninggal. Kalau orang yang sudah meninggal itu memang mau
mengadu, maka pengaduannya itu dapat diteruskan oleh orang-orang
yang dimaksud dalam Pasal 320 ayat (2) KUHP tersebut diatas, dalam
___________________ ~ sisCLtenggang-.waktlL-yang-masih-ada~letapi-kalau-orang-yang-sudah-----.-------
11 Ibid.,
66
Persamaan dan perbedaan antara pengaduan dalam laporan.
persamaannya ialah baik pengaduan maupun laporan kedua-duanya:12
a. merupakan sumber pengetahuan bagi pihak yang berwajib bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana, baik berupa tindak pidana
kejahatan maupun pelanggaran.
b. sekaligus merupakan dasar untuk bertindak bagi pihak yang
berwajib untuk segera menangani perkara yang diadukan atau
dilaporkan tersebut.
Sedangkan perbedaannya ialah."
Pengaduan Laporan
a. yang dapat menjadi pengadu - Siapa saja bisa menjadi pelapor,
dibatas oleh undang-undang, dalam arti tidak dibatasi siapa
yakni hanyalah korban/keluarga orangnya dan apapun
nya atau orang-orang tertentu pekaranya.
yang berkepentingan atas
penuntutan perkara yang
bersangkutan.
b. Dapat dicabut kembali orang - Tidak mungkin dapat dicabut
yang mengadu dalam jangka kembali. Pencabutan kembali
waktu selama 3 (tiga) bulan suatu laporan dianggap telah
setelah diajukan (pasal 75 memasukkan laporan palsu.
KUHP) kalau perkaranya belum
diperiksa oleh pengadilan
67
J. Ketentuan Penutup
Jangka waktu pembentukan kode etik dan dewan kehormatan intelijen
negara paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang
tentang Intelijen Negara.
Keputusan Kepala BIN mengenai rekrutmen tenaga penyelenggara
intelijen negara harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
Keputusan Kepala BIN mengenai pengembangan kemampuan personil
intelijen negara harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
Peraturan presiden yang mengatur mengenai susunan organisasi dan
tata kerja Badan Intelijen Negara harus sudah dibentuk dalam waktu paling
lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang
Intelijen Negara.
Peraturan presiden yang mengatur mengenai koordinasi penyelenggara
intelijen negara di pusat dan di daerah harus sudah dibentuk dalam waktu
paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang
Intelijen Negara.
68
BABIV
INTELIJEN 01 NEGARA LAIN
14 Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, "Menguak Tabir Operasi Intelijen dan Spionase",
Majalah Kedirgantaraan Angkasa, Edisi Koleksi, Jakarta: PT Gramedia, 2009, him. 30 dan 31.
69
mengalarni perkembangan dan kemudian berdiri Director of National
Intelligence (ONI). ONJ yang juga merupakan lembaga pengganti NSA,
tugasnya antara lain mengoordinasi, mengevaluasi, mengkorelasi, dan
rnengirim agen CIA ke berbagai sasaran. Hasil dari semua kegiatan yang
dilaksanakan ONI merupakan informasi terkini yang disampaikan langsung
kepada Presiden AS.
70
pemerintah bisa mendapatkan persetujuan dari Ayatollah Khomeini untuk
membuat kementerian, tetapi pembatasan telah ditambahkan ke persyaratan
kementerien tersebut.
Departemen ini akhirnya didirikan pada tanggal 18 Agustus 1984,
menelantarkan banyak badan-badan intelijen kecil yang dibentuk dalam
organisasi pemerintah yang berbeda. Lima menteri sejak berdirinya
departemen, yaitu Mohammad Reyshahri (di bawah Perdana Menteri Mir-
Hossein Mousavi), Ali Fallahian (di bawah Presiden Ali Akbar Hashemi
Rafsanjani), Ghorbanali Dorri-Najafabadi (di bawah Presiden Mohammad
Khatami, mengundurkan diri setelah setahun), Ali Younessi (di bawah
Presiden Khatami, hingga 24 Agustus 2005), Gholam Hossein Mohseni-
Ejehei (di bawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad, sejak tanggal 24
Agustus 2005 sampai dengan 24 Agustus 2009), dan Heyder Moslehi (di
bawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad, dari tanggal 29 Agustus 2009).
Setelah kemarahan publik yang besar dan investigasi jurnalistik di Iran
dan publisitas internasional, diumumkan jaksa-jaksa pada pertengahan
tahun 1999, yang salah satunya Saeed Emami pemimpin "elemen nakal" di
intelijen kementerian Iran dalam pembunuhan, namun Emami melakukan
bunuh diri di penjara. DaJam sidang yang diberhentikan oleh keluarga korban
,
dan organisasi hak asasi manusia intemasional akibat kesaksian palsu, tiga
agen intelijen pada tahun 2001 dijatuhi hukuman mati dan 12 orang Jainnya
di penjara karena membunuh dua korban. Dua tahun kemudian, Mahkamah
Agung Iran mengurangi dua hukuman mati menjadi hukuman penjara
seumur hidup.
71
Yahudi yang ingin pulang ke tanah asalnya, Israel. Karena orang-orang
Yahudi banyak terse bar di sejumlah negara, cara kerja Mossad terus
berkembang khususnya dalam metode operasi, ideologi, dan politik hingga
akhirnya Mossad mampu membentuk diri sebagai badan intelijen yang
tangguh. Ketika negara Israel akhirnya secara resmi berdiri pada 1948,
Mossad pun menjadi institusi intelijen yang paling diandalkan Israel untuk
mengatasi berbagai rnasalah, khususnya dari negara-negara dan organisasi
yang menjadi musuh utama Israel.
Tidak hanya itu, sejak negara Israel berdiri Mossad bahkan melancarkan
operasi penangkapan terhadap tokoh-tokoh penjahat perang nazi dan
sukses. Selain Mossad, Israel juga memiliki intelijen dalam negeri namanya
Shin bet dan intelijen umum Aman. Ketiga institusi intelijen Israel itu bekerja
saling bahu membahu guna memerangi musuh-musuh Yahudi.
Markas besar Mossad yang berada di ibukota Israel. Tel Aviv
mempunyai anggota sekitar 2.000 personil dan struktur organisasinya terdiri
dari 8 departemen. Departemen itu mencakup:
1. Oepartemen operasi dan koordinasi (operational planning and
coordination);
2. Pengumpulan data (collection);
3. Tindakan politik (political action and liaison);
4. SOM. keuangan. loqisfik, keamanan (manpower, finance, logistic, and
security);
5. Pelatihan (training);
6. Penelitian (researh);
7. Technical operation;
8. Technology.
Semua departemen bekerja saling kait mengkait demi suksesnya
._..~perasi ~ sedang dilancarkan Moss..ac:L....~_ .
-_.~- -.- ..oo.oo--Dalam sis-tern Rerjanya agen-agen ri7lossacfTersebar'arberbagarnegara,-
72
bahkan pernah beroperasi di AS kendati bukti tentang keberadaan para
agen Mossad itu kemudian disangkal oleh Israel.
Cara kerja agen Mossad di berbagai negara sangat protesional dan
didukung oleh teknologi canggih. Sistem yang ditempuh sulit dideteksi lawan
dan untuk menghilangkan bukti atau jejak, agen Mossad bisa melaksanakan
pembunuhan sadis dengan cara yang sangat sulit untuk dilacak polisi.
Meskipun sudah memiliki tim pembunuh (Metsada), semua agen Mossad
mendapat pelatihan menggunakan senjata dan teknik bertempur ala
pasukan komando serta latihan bunuh senyap dengan beragam senjata.
17 "Myanmar (Burma): Apakah gaya intelijen militer di Myanmar telah penuh atau sebagian
dibubarkan dan yang melaksanakan tugasnya", http://www.bharat-
rakshak.com/SRRNolume13/bahroo.htmI#9.
73
juga melaporkan bahwa banyak perwira intelijen militer ditahan, khususnya
3 (tiga) anggota stat senior NIB dipenjara dan 12 (dua belas) pejabat senior
diberhentikan pada tahun 2007. Beberapa rekan Nyunt dan anggota
keluarga juga ditangkap. Selain itu, Voice of America (VOA) melaporkan
bahwa 2.000 anggota dari unit intelijen militer, yang memiliki sekitar 10.000
anggota, dipecat atau dipindahkan setelah Nyunt meJetakkan jabatan. Ini
menggambarkan tindakan SPDC sebagai pembersihan aparat intelijen
militer. Menurut kantor berita BBC, NIB sebelumnya terdiri dari sub-
organisasi berikut Intelijen Militer, pasukan polisi Cabang Khusus, Biro
Investigasi Khusus dan Reserse KriminaJ.
Sehubungan dengan organisasi-organisasi yang bertanggung jawab
untuk intelijen militer di Myanmar (Burma), seorang mantan tahanan politik
dari Myanmar (Burma), yang juga mantan pemimpin mahasiswa dari negara
itu, memberikan informasi kepada Direktorat Penelitian dalam sebuah
wawancara telepon 12 Februari 2008. Dia menyatakan bahwa meskipun NIB
dihapuskan, unit khusus yang berada di bawah payung organisasi ini masih
ada.
Urusan Keamanan Militer yang sebelumnya dikenal sebagai Intelijen
Militer menangani isu-isu politik yang paling serius dan masaJah-masalah
yang terkait dengan gencatan senjata kelompok-kelompok etnis sebagai
kelompok pemberontak yang telah mengatur gencatan senjata dengan rezim
militer. Urusan Keamanan Militer saat ini merupakan bagian dari angkatan
bersenjata Myanmar.
Biro Investigasi Khusus atau the Bureau of Special Investigation (BSI),
yang ditujukan terhadap kejahatan keuangan, termasuk kasus yang
melibatkan perdagangan yang tidak semestinya, penghindaran pajak dan
korupsi aparat.
Departemen Investigasi Kriminal menanganL-kejabatao------Seperti------
....._-~ ········-Jfemlmnunan ·atau·· perJ<osaIfn.·Departeme-n·--inT-merupakan-ba9lan- dari-- -_ .
Kepolisian Myanmar.
Selain itu, mantan tahanan politik menyatakan bahwa Uni Solidaritas
dan Asosiasi Pembangunan atau the Union Solidarity and Development
Association (USDA) memiliki cabang intelijen lokal yang memonitor populasi
umum di berbagai daerah di seluruh negeri. Kementerian Informasi juga
74
memiliki cabang intelijen, terdiri dari jurnalis pro-rezim yang memantau
jurnalis, blogger, dan pengguna internet.
Informasi lebih lanjut tentang unit yang bertanggung jawab untuk
intelijen militer tidak dapat ditemukan di antara sumber-sumber yang
dikonsultasikan oleh Direktorat Penelitian.
75
Pasca PO II dan perang dingin antara blok barat-timur makin berkobar,
peran KGB bagi unisoviet sangat besar. Pada prinsipnya, KGB merupakan
pedang dan perisai bagi kejayaan partai komunis soviet sangat besar.
Anggota KGB dipilih secara ketat dan ditempatkan di semua lini kehidupan di
seantero wilayah kekuasaan soviet. Sebagai dinas rahasia yang bertugas
mengumpulkan keterangan demi kejayaan komunis soviet selain beroperasi
di dalam negeri, KGB juga beroperasi di luar negeri kebanyakan anggota
KGB di luar negeri terdiri dari pejabat-pejabat diplomatik.
Strategi KGB dalam operasinya biasanya mengandalkan jumlah
anggotanya yang dikenal sangat banyak sekitar 375.000 agen. Cara kerja
KGB bahkan dikenal urakan karena saat menjalankan misi mata-matanya
kehadiran mereka sering menyolok. Negara-negara barat kadang merasa
jengkel dengan banyaknya jumlah mata-mata Rusia yang hadir dengan
kedok diplomat.
Ketika Yuri Adropov pemimpin KGB (1967-1981) cara kerja KGB
menjadi lebih santun tetapi sekaligus lebih berbahaya. Agen KGB dituntut
mampu menyadap informasi sebanyak mungkin tapi dengan cara yang
betul-betul rahasia.
Pada masa pemerintahan Gorbachev tahun 1990-an reformasi yang
diluncurkan Gorbachev akhirnya membuat Uni Soviet bubar dan nama KGB
berubah menjadi FSB (Federalnaya Sluzba Bezopasnotl). Struktur
organisasi KGB terdiri dari:
1. biro yang menangani operasi dalam negeri (first chief directorate);
2. counter intelligence, politik dalam negeri, dan warga asing di Rusia
(second chief directorate);
3. bekerja untuk kepentingan militer Rusia (third chief directorate);
4. keamanan transportasi (fourth directorate);
5. bertan9.9fl.l!l!g_jawab terhada(Lu~~amanan. nasional (fifth _ chief
directorate);--
6. konter intelijen ekonomi (sixth directorate);
7. pengintaian bagi warga Rusia dan asing (seventh directorate);
8. memonitor komunikasi keluar negeri, pemecahan kode rahasia dan
lainnya (eight chief directorate);
76
9. pasukan khusus untuk menjaga fasilitas penting seperti nuklir,
pejabat tinggi, dan yang lainnya, terdiri dari 40.000 personil militer
(ninth directorate);
10. penjaga keamanan fasilitas pemerintah (fifteen directorate);
11. dinas penyadapan telepon secara rahasia (sixteen directorate);
12. pasukan penjaga perbatasan terdiri dari 245.000 personil militer
(border guard directorate);
13. departemen khusus untuk membuat senjata rahasia yang
mematikan seperti peluru beracun, senjata kuman, dan yang
lainnya (operation and technology directorate)
77
4). Divisi Intelijen Pidana atau Criminal Intelligence Division
(CRID);
5). Divisi Operasi Lapangan atau Field Operation Division
(FOD);
6). Divisi Operasi Intelijen Khusus atau Intelligence Special
Operation Division (ISOD);
7). Divisi Riset dan Analisis atau Research Analysis Division
(RAD);
8). Divisi Reaksi, Penangkapan, dan Larangan, dipindahkan
ke intelijen pelayanan berdasarkan administrasi order No.
11 Tahun 2009;
9). Divisi Intelijen Teknis atau Technical Intelligence Division
(TID);
10). Divisi Manajemen Keamanan atau Security Management
Division (SMD).
NSI menyelenggarakan operasi keamanan internal terhadap
elemen teroris, kelompok-kelompok kejahatan terorganisir besar,
dan pejabat pemerintah yang diduga korupsi atau orang-orang yang
dianggap atau diidentifikasi sebagai ancaman keamanan.
78
c. Badan Koordinasi Intelijen Nasional atau National Intelligence
Coordinating Agency (NICA);
Badan Koordinasi Intelijen Nasional atau NICA, yang dalam
bahasa Filipina Pambansang Sangay para Sa Pagsasamang
Kaalaman/PSPK adalah pengelompokan intelijen primer dan bagian
analisis Pemerintah Filipina. Lembaga ini didirikan pada tahun 1949
oleh Presiden Elpidio Quirino dibawah kekuasaan orde eksekutif
235.
NICA dihapuskan oleh Presiden Ferdinand Marcos dalam
keputusan presiden 51 dan digantikan oleh Otoritas Intelijen dan
Keamanan Nasional atau National Intelligence and Security
Authority (NISA). Lembaga tersebut terutama digunakan untuk
melacak dan menghilangkan anti Marcos sebelum Presiden Marcos
dipaksa ke pengasingan. Selama kekuasaan Presiden Ferdinand
Marcos, NISA adalah salah satu organisasi pemerintah utama yang
dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Setelah
revolusi EDSA 1 NISA berganti nama menjadi Badan Koordinasi
Intelijen Nasional pada tahun 1987.
Pada 1990, penasihat keamanan nasional Filipina diberi
tanggung jawab untuk mengawasi manajemen dan Badan
Koordinasi Intelijen Nasional agar menjadi responsif terhadap
kebutuhan presiden dan Dewan Keamanan Nasional.
Organisasi NICA terdiri dari:
1). Kantor Direktur Jenderal, dipimpin oleh Direktur Jenderal;
2). Direktorat Operasi, dipimpin oleh Asisten Direktur Jenderal
untuk Operasi;
3). Direktorat Produksi, dipimpin oleh Asisten Direktur Jenderal
.l!ntu_kPrQdl,lk~i;
79
Executive Order Nomor 492, yang diterbitkan pada tanggal 1
Februari Tahun 2006, memerintahkan NICA untuk mengaktifkan
Maritim National Aerial Reconnaissance dan Surveilans Center
(NMARSC). NMARSC akan berfungsi sebagai primer IMINT, yaitu
sebagai penyedia informasi untuk komunitas intelijen Filipina di
bawah supervisi dan pengawasan penasihat keamanan nasional.
NICA juga aktif di Dewan Anti Terorisme Filipina yang baru
didirikan untuk menetapkan pedoman anti terorisme hukum yang
dikenal sebagai Human Security Act yang ditandatangani oleh
Presiden Gloria Macapagal Arroyo pada tanggal 8 Februari 2007.
Saat ini, NICA dalam koordinasi yang erat dengan CIA, Mossad,
Secret Intelligence Service (SIS), dan Intelijen dari negara-negara
ASEAN untuk melawan ancaman terorisme.
80
BABV
SISTEMATIKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG
81
BABVI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pembentukan Undang-Undang tentang Intelijen Negara adalah relevan
dan sangat diperlukan, yang materi muatannya disesuaikan dengan
tuntutan perubahan jaman di era globalisasi, tanpa menyimpang dari
tujuan dan kepentingan nasional.
2. Intelijen Indonesia memang mengadopsi filiosofi dan asas-asas intelijen
universal, namun dalam penerapannya disesuaikan dengan budaya,
sejarah, pengalaman, karakter bangsa, dan geografis nusantara.
3. Koordinasi antar penyelenggara intelijen negara di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
4. Oemi menjamin keamanan dan kepentingan nasional terhadap berbagai
potensi ancaman yang semakin canggih dan multidimensional, intelijen
diberi wewenang khusus yang diatur dalam Undang-Undang tentang
Intelijen Negara.
5. Pengawasan anggaran terhadap intelijen dilakukan oleh OPR RI yang
diatur dalam Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
6. Intelijen memerlukan anggaran yang memadai, antara lain untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusia (80M), sarana prasarana dan
lain-lain.
8. Saran
1. Perlu dibentuk Undang-Undang tentang Intelijen Negara untuk
memberikan kepastian hukum kepada intelijen negara dalam
menjalankan tugas, wewenang, dan fungsinya sesuai dengan prinsip hak
asasi manusia, supremasi hukum, dan demokrasi.
2. Perlu.dllakukan sinkronisasi antar peraturan perundanq-undanqan yang
berkaitan dengan intelijen negara agar tidak terjaditumpang tindih
pengaturan.
82
Draf RUU Intelijen Negara
Hasil Harmonisasi Baleg