Anda di halaman 1dari 17

L AH

A KA
M
AS
G
TU

AKTIVITAS
INVESTASI
ASET INDIVIDUAL

KELOMPOK I
NURFIANTI (003104292020)
DINDA REZKY JANNATUL GAISI
(002704292020)

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


MANAJEMEN PAJAK

AKTIVITAS INVESTASI ASET INDIVIDUAL

Kelompok I

1. Nurfianti (003104292020)
2. Dinda Resky Jannatul Gaisi (002704292020)

PROGRAM PASCASARJANA AKUNTANSI


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2021

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan utama dari aktivitas investasi adalah untuk menemukan atau


memperoleh aset yang dapat menghasilkan tingkat laba bersih atau keuntungan neto
sesudah pajak yang lebih tinggi/besar dari biaya modalnya, atau menemukan aset
yang bernilai lebih besar dari nilai perolehannya. Dari perspektif pajak paling tidak
aktivitas investasi demikian dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe atau kategori: (i)
investasi yang berakibat pada kenaikan atau bertambahnya penghasilan dari sumber
di dalam negeri, dan (ii) investasi yang berakibat pada kenaikan atau bertambahnya
penghasian sumber di luar negeri.
BAB II

PEMBAHASAN

Investasi Untuk Menambah Penghasilan dari Sumber di Dalam Negeri

Termasuk dalam kategori investasi yang berakibat pada kenaikan atau bertambahnya
penghasilan yang berasal dari sumber di dalam negeri adalah:

1. Penggantian (Replacement):
Merupakan tipe investasi yang bisa jadi berakibat pada bertambahnya Penghasilan
Kena Pajak (PKP), melalui penghematan biaya atau bertambahnya pendapatan
(penghasilan bruto) mengingat tidak ada aset pengganti yang teknologi dan
produktivitasnya sama persis dengan aset yang diganti.
2. Perluasan usaha (Expansion):
Merupakan tipe investasi yang diharapkan atau hampir dapat dipastikan akan
berakibat pada bertambahnya Penghasilan Kena Pajak (PKP), melalui bertambahnya
pendapatan yang jauh lebih besar daripada bertambahnya beban atau biaya. Dari
perspektif pajak penghasilan, aktivitas investasi berupa ekspansi lebih lanjut dapat
dibedakan ke dalam dua kategori, sebagai berikut:
(a) Ekspansi Internal (Internal Expansion)
Merupakan tipe investasi berupa perluasan usaha atau ekspansi yang: (1) tidak
melibatkan perusahaan atau entitas pajak (taxable entity) lain yang didirikan dan
bertempat kedudukan di dalam negeri, dan (2) pembentukan atau pendirian unit-
unit atau badan usaha (entitas pajak) baru yang bertempat kedudukan di dalam
negeri.
(b) Ekspansi Eksternal (External Expansion)
Merupakan tipe investasi berupa ekspansi yang melibatkan perusahaan atau
entitas pajak (exable entity) yang lain, dengan cara melakukan penyertaan modal
pada badan usaha (entitas pajak) lain yang sudah going concern dan didirikan
serta bertempat kedudukan di dalam negeri; dengan memperoleh penghasilan
berupa dividen atau perusahaan investee.

Investasi Untuk Menambah Penghasilan dari Sumber di Luar Negeri

Termasuk dalam kategori investasi yang berakibat pada kenaikan atau bertambahnya berasal
dari sumber di luar negeri adalah:

1. Tipe investasi berupa berbagai macam aset, baik yang berupa modal keria maupun
yang memberikan penghasilan dari sumber di luar negeri berupa laba usaha.
2. Tipe investasi berupa penyertaan modal pada perusahaan atau badan usaha di
luar negeri, baik pada perusahaan yang sudah maupun belum go public; dengan
penghasilan berupa dividen dan/atau hak atas laba yang dihasilkan oleh perusahaan
investee.

3. Tipe investasi berupa aset tertentu yang ditempatkan di luar negeri, dengan
penghasilan lain berupa: bunga, sewa, royalti.

Investasi Sebagai Sumber Penghasilan dari Dalam Negeri

Undang-undang Pajak Penghasilan (UU No. 36 tahun 2008) memang tidak membedakan
penghasilan sebagai obyek pajak, apapun bentuk dan dari manapun sumbernya. Sesuai
dengan ketentuan perundang undangan perpajakan tersebut, penghasilan meliputi setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi dan menambah
kekayaan wajib pajak. Namun terkait dengan bentuk atau jenisnya, penghasilan yang berasal
dari sumber dalam negeri dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam kategori: (1) penghasilan
bukan obyek pajak, yang oleh karena itu tidak dikenakan pajak penghasilan (2) penghasilan
obyek pajak yang dikenakan pajak penghasilan berdasar tarif umum (TUP) pasal-17, dan (3)
ada penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif tertentu. Penggolongan
atau klasifikasi penghasilan ke dalam kategori bukan obyek pajak dan penghasilan obyek
pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum pasal-17 dan penghasilan obyek pajak yang
dikenakan pajak berdasar tarif tertentu bisa berkaitan dengan jenis dan/atau bentuk, serta
sumbernya. Oleh karena itu, membedakan penghasilan yang berasal dari sumber di dalam
negeri ke dalam tiga kategori tersebut mutlak diperlukan di dalam membuat keputusan
investasi. Dengan asumsi biaya modal perusahaan tidak mengalami perubahan akseptabilitas
investasi yang berakibat pada bertambahnya penghasilan yang tidak termasuk relatif lebih
besar dibandingkan dengan investasi yang berakibat pada bertambahnya penghasilan yang
termasuk obyek pajak. Akseptabilitas investasi yang berakibat pada bertambahnya
penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak berdasar tarif umum pasal-17 juga berbeda
dengan investasi yang pada bertambahnya penghasilan obyek pajak yang dikenakan pajak
berdasar tarif tertentu, yang pada umumnya lebih rendah dibanding tarif marjinal tertinggi (tarif
30%).

Contoh-1: Investasi yang berakibat pada bertambahnya penghasilan dari sumber dalam
negeri

PT ABC dalam tahun pajak 2010 sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikenakan pajak
berdasar tarif 25%. Pada awal tahun 2011, perusahaan mempertimbangkan suatu alternatif
investasi dalam bentuk aset/harta tetap bukan bangunan kelompok umur-1 (masa manfaat 4
tahun) dengan nilai perolehan sebesar Rp 1,00 miliar; yang diharapkan akan menambah
penghasilan kena pajak (PKP) tunai sebesar Rp 0,50 miliar per tahun dengan nilai residu nihil.
Investasi tersebut tidak mempengaruhi biaya modal perusahaan dalam masa kegunaan
investasi selama 4 tahun ke depan, yang diharapkan sebesar 20%.

Akseptabilitas investasi (menurut metode net present value-NPV), masing-masing dengan


asumsi tambahan penghasilan neto tersebut merupakan: (a) penghasilan obyek pajak yang
dikenakan pajak berdasr tarif umum (POP-TUP pasal-17), dan (b) penghasilan obyek pajak
tertentu yang dikenakan pajak varif final sebesar 20% (POP-TF) adalah sebagai berikut:

Perhatikan bahwa perbedaan status pajak dari penghasilan yang diperoleh dari investasi
membuat status nilai tunai arus kas bersih juga berbeda. Dalam hal tambahan penghasilan
yang diperoleh dari investasi termasuk dalam kategori penghasilan obyek pajak berdasar tarif
umum pasal-17, nilai tunai arus kas bersih investasi negatif sebesar Rp29,2375 juta. Dengan
net present value (NPV) sebagai kriteria pengambilan keputusan investasi, maka alternatif
investasi semacam itu dapat dikatakan tidak akseptabel. Namun di lain pihak, apabila
tambahan penghasilan yang diperoleh dari investasi termasuk dalam kategori penghasilan
obyek pajak tertentu, yang dikenakan pajak berdasar tarif 20%; maka nilai tunai arus las bersih
investasi tersebut positif sebesar Rp35,48 juta. Investasi demikian akan menambah atau
menaikkan nilai perusahaan, sehingga alternatif investasi dapat dikatakan akseptabel.

Tipe investasi yang berakibat pada bertambahnya penghasilan obyek pajak dari sumber di
dalam negeri masih dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam kategori penggantian
(replacement) dan perluasan usaha (ekspansi). Pada umumnya, akseptabilitas investasi
berupa penggantian juga relatif lebih besar dibanding akseptabilitas investasi berupa
perluasan usaha atau ekspansi. Hal ini disebabkan oleh karena profitabilitas investasi berupa
penggantian aset lama dengan aset baru juga relatif lebih besar dibanding profitabilitas
investasi berupa perluasan atau ekspansi usaha, yang besar ketidakpastian akan
diperolehnya laba atau keuntungan. Di samping itu, tingkat risiko investasi berupa
penggantian aset lama dengan aset baru relatif lebih rendah dibanding faktor risiko investasi
berupa ekspansi atau perluasan usaha. Perbedaan tingkat risiko investasi, biasanya juga
diikuti oleh perbedaan biaya modal yang harus dipakai sebagai faktor diskonto atau dasar
untuk mengevaluasi akseptabilitas suatu alternatif investasi.
Akseptabilitas Investasi: Aset Individual

Akstivitas invenstasi pada setiap perusahaan berperan sangat penting karena tidak hanya
untuk menjamin kontnuitas usaha perusahaan, tetapi juga membentuk rerangka pertumbuhan
di samping merupakan faktor determinan tentang efisiensi operasi dan daya-saing
perusahaan di masa mendatang. Aktivitas invetasi berkaitan dengan aset tetap dan modal
kerja yang dioperasikan untuk menghasilkan laba atau keuntungan. Oleh karena itu, aktivitas
investasi senantiasa menyangkut pengeluaran kas atau pengorbanan sekarang untuk
mendapatkan serangkaian penerimaan kas atau manfaat yang diharapkan di masa yang akan
datang.

Dalam perhitungan arus kas bersih sesudah pajak (AKBSP)-depresiasi metode saldo
menurun ganda, laba bersih sesudah pajak berjumlah sama setiap tahun, demikian pula
halnya dengan arus kas bersih dari aktivitas operasinya. Tambahan investasi berupa modal
kerja tidak tampak efek atau pengaruhnya baik terhadap laba bersih sesudah pajak maupun
arus kas dari aktivitas operasinya. Namun perhatikan pula bahwa arus kas bersih dari aktivitas
operasi berjumlah lebih besar daripada laba bersih sesudah pajak. Selisih lebih arus kas
bersih dari aktivitas operasi di atas laba bersih tersebut berjumlah sama dengan beban
depresiasi pada setiap tahun pajaknya. Arus kas bersih dari aktivitas operasi seringkali
disebut laba tunai yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut.

AKBSP = (Laba Bersih Sesudah Pajak) + (Beban Depresiasi),

atau AKBSP = (Penghasilan Neto) - (Pajak Penghasilan)

Metode depresiasi mempengaruhi laba dan arus kas bersih sesudah pajak pada setiap tahun,
tetapi tidak untuk seluruh masa manfaat mesin. Efek metode depresiasi terhadap laba bersih
dan arus kas pada setiap tahun tampaknya tidak hanya pada jumlah, tetapi juga pada tren
dari tahun ke tahun. Metode garis lurus berakibat pada laba bersih dan arus kas yang konstan
dari tahun ke tahun. Sedang metode saldo menurun ganda berakibat pada laba bersih dan
arus kas yang semakin berkurang dari tahun. Perlu dicatat, arus kas dari investasi berupa
mesin produksi masih bisa berubah karena adanya hasil penjualan mesin pada akhir masa
manfaatnya.

PEMBELIAN ASET TETAP

Hampir dapat dipastikan, pada suatu saat manajemen dihadapkan pada alternatif
penambahan dan/atau penggantian aset tetap. Seperti halnya, aktivitas perusahaan yang lain,
(aktivitas operasi dan pendanaan), aktivitas investasi baik yang berupa penambahan maupun
penggantian aset tetap harus dievaluasi berdasar expected net present valuenya.
Pajak Penghasilan

Penghematan pajak (penghasilan) sebagai akibat dari depresiasi aset tetap yang dapat
diperlakukan sebagai biaya fiskal-khususnya depresiasi menurut metode saldo menurun
ganda-adalah manfaat pajak yang terpenting dalam kaitannya dengan aktivitas investasi
berupa aset tetap. Pada umumnya, Undang-undang atau ketentuan pajak memberikan
kesempatan kepada perusahaan untuk mengembalikan atau memulihkan kapital (capital
recovery) dalam waktu yang lebih cepat dibanding untuk tujuan pelaporan keuangan
komersialnya. Untuk pelaporan keuangan fiskal, Undang-undang Pajak membatasi
masa manfaat aset tetap; sedang untuk pelaporan keuangan komersial taksiran umur atau
masa manfaat aset merupakan kebijakan manajemen).

Pajak Penjualan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai

Untuk aktifitas pengadaan atau pemerolehan barang-barang modal selain tanah (personalty,
seperti misalnya mesin dan peralatan kantor, kendaraan dan alat transpor, mebel dan
perlengkapan kantor). Menurut Undang-undang Pajak dipungut pajak pertambahan nilai atau
pajak penjualan barang mewah (PPN atau PPnBM). Dalam hal barang-barang modal
demikian dimaksudkan untuk dijual kembali yang berarti bukan aset tetap), pajak
pertambahan nilai yang dibayar pada saat Pajak masukan dan diperlakukan sebagai kredit
pajak. Sebagai pengusaha kena pajak kemudian akan memungut pajak pertambahan nilai
dari pembeli, yang disebut Pajak pertambahan nilai-keluaran.

Pada setiap bulan perusahaan melakukan perhitungan PPN-Masukan dan PPN-Keluaran


(PPN-Masukan dikurangkan dari PPN-Keluaran). Selisih lebih pajak keluaran harus disetor
ke kantor perbendaharaan negara, sedang selisih lebih pajak masukan diperhitungkan
dengan pajak keluaran bulan berikutnya. Berbeda halnya dengan PPN-Masukan yang dibayar
pada setiap perolehan untuk barang-barang modal yang dimaksudkan untuk dipakai sendiri
(aset tetap). Terhadap PPN-Masukan untuk barang-barang modal yang dipakai sendiri
dikapitalisasi sebagai bagian dari nilai perolehan aset tetap, dan tidak diperlakukan sebagai
kredit pajak (atas PPN-Keluaran), karena atas barang-barang modal tersebut tidak ada PPN-
Keluaran yang dapat dipungut oleh perusahaan. Sebagai akibatnya, PPN-Masukan
menambah nilai perolehan aset tetap, dan akan dibebankan sebagai biaya atau pengurang
penghasilan melalui proses depresiasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PPN-Masukan
terkait dengan pemerolehan persediaan bukan merupakan biaya tetapi merupakan pajak
(atas PPN-Keluaran), sedang PPN-Masukan terkait dengan pemerolehan aset tetap
dikapitalisasi sebagai nilai perolehan aset.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menunda pembayaran PPN-Masukan atas
aset tetap adalah menyewa dan tidak membeli aset tetap terkait. Penghematan pajak yang
kemungkinan signifikan jumlahnya bisa diperoleh dari penundaan pembayaran PPN-Masukan
melalui perantaraan perusahaan sewaguna usaha (leasing company). Perusahaan yang
merencanakan untuk membeli asat tetap (selain tanah), bisa mendirikan perusahaan sewa
guna usaha (leasing company) untuk menunda pembayaran PPN terkait; sebagaimana
tampak pada diagram berikut (di dalam realitanya, justru perusahaan produsen barang modal
sebagai obyek sewaguna usaha yang mendirikan dan menjalankan usaha sewaguna usaha).

Dalam seting tersebut pada gambar, atas transaksi nomor-1 (pembelian aset tetap) tidak
dikenakan pajak pertambahan nilai/ penjualan karena aset akan dijual kembali. Atas transaksi
nomor-2 (menyewakan aset) dikenakan pajak pertambahan nilai penjualan tetapi tidak
sekaligus melainkan berulangkali pada setiap diterima pernbayaran sewa. Dengan demikian
secara keseluruhan perusahaan bisa memperoleh penghematan atas pajak pertambahan
nilai/ penjualan yang berupa selisih antara pajak penghasilan yang terutang dengan nilai tunai
pajak pertambahan nilai/ penjualan tersebut. Teknik penghematan pajak demikian
merupakan aplikasi pengaturan waktu pembayaran (timing of tax payment), Sudah barang
tentu, manajemen harus mengonfirmasikannya dengan peraturan atau ketentuan perpajakan,
terkait dengan kemungkinan akan diperkenankannya perlakuan pajak semacam itu.

Contoh-2: Pembentukan perusahaan sewaguna usaha sebagai anak perusahaan

PT Indotel memproduksi dan menjual menjual peralatan komunikasi. Dalam tahun pajak
2010, perusahaan menganggarkan untuk membeli mesin produksi sebesar Rp1,00 miliar dan
perlengkapan kantor sebesar Rp2.20 miliar. Oleh karena menurut ketentuan pajak, mesin
produksi termasuk dalam kategori input maka dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan.
Sedang untuk pengadaan perlengkapan kantor, perusahaan membentuk suatu perusahaan
sewaguna usaha sebagai anak perusahaan Pengadaan Perlengkapan kantor dilakukan oleh
anak perusahaan, yang kemudian menyewakannya kepada perusahaan induk (PT Indotel)
selama 5 tahun. Anak perusahaan memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
perlengkapan kantor sebesar nilai perolehan Rp2.00 miliar tersebut dari PT Indotel dalam
tempo 5 tahun.

Pada kasus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti halnya yang berlaku di Indonesia, PPN
Masukan akan terutang oleh perusahaan dari transaksi pembelian aset tetapnya. Dua
alternatif perlakuan pajak terhadap PPN-Masukan yang dibayar dalam transaksi pemerolehan
aset tetap. Pertama, mengkapitalisasikan PPN-Masukan yang dibayar dalam transaksi
sebagai bagian dari nilai perolehan aset tetap. Kapitalisasi PPN-Masukan sebagai nilai
perolehan aset tetap akan memperbesar basis pajak aset tetap sebagai dasar perhitungan
depresiasi selama masa manfaat aset. Dalam banyak hal penghematan pajak atas
penghasilan sebagai akibat dari kapitalisasi PPN-Masukan atas pemerolehan aset tetap
kurang dari jumlah PPN-Masukan itu sendiri. Di samping itu, realisasi penghematan pajak
berlangsung selama masa manfaat aset tetap terkait.

Alternatifnya, PPN-Masukan atas pemerolehan aset tetap diperlakukan sebagai kredit pajak
atas PPN-Keluaran yang dikenakan atas penjualan barang atau penyerahan jasa kepada
konsumen, atau dimintakan restitusi dalam hal perusahaan belum bisa memungut PPN-
Keluaran dari aktivitas pengadaan barang atau jasa. Memperlakukan PPN-Masukan atas
pemerolehan aset tetap sebagai kredit pajak atas PPN-Keluaran dari penjualan atau
penyerahan barang/jasa membuat seluruh PPN-Masukan yang dibayar dalam rangka
pemerolehan aset tetap bisa diperoleh kembali. Begitu pula halnya dengan mengajukan
restitusi PPN-Masukan atas pemerolehan aset tetap, bahkan dalam waktu yang lebih cepat.

Pada prinsipnya, sebagai wajib pajak, perusahaan tidak bisa memperoleh keuntungan dari
Pajak Fenjualan (PPn) dan/atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang dan jasa. Namun
dimungkinkan bagi perusahaan untuk bisa memperoleh penghematan yaitu berupa selisih
antara Pajak Penjualan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai-Keluaran yang terutang dengan
nilai tunai dari Pajak Penjualan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai-Masukan yang dibayar
dalam transaksi. Ketidaktepatan di dalam mengelola Pajak Penjualan (PPn) dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) bisa berakibat merugikan perusahaan.

Contoh-3: Kapitalisasi PPN-Masukan Sebagai Nilai Perolehan Aset Tetap

Jika pada contoh-2 tersebut di atas, PT Indotel tidak membentuk anak perusahaan tetapi
menggunakan sendiri seluruh anggaran pembelian perlengkapan kantor, dan perlengkapan
kantor merupakan barang kena pajak (PPN) berdasar tarif 10%. Salah satu alternatif
perlakuan akuntansi terhadap PPN-Masukan dalam transaksi pembelian adalah
mengkapitalisasikannya sebagai bagian dari nilai perolehan aset tetap. Alternatif lainnya
adalah memperlakukan PPN-Masukan atas pembelian aset tetap sebagai kredit pajak atas
PPN-Keluaran yang dipungut oleh perusahaan atas penjualan produknya atau dimintakan
restitusi dalam hal perusahaan belum berhasil menjual produknya memungut PPN-Keluaran.
Sebagai akibatnya, nilai perolehan perlengkapan kantor sebagai basis perhitungan depresiasi
akan menjadi sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Mengkapitalisasi PPN-Masukan sebagai bagian dari nilai perolehan aset tetap perusahaan
berpotensi memperoleh penghematan pajak penghasilan sebesar tarif (marjinal) pajak
penghasilan dikali jumlah selisih depresiasi (Rp200,00 juta, selama masa manfaat aset).
Dengan asumsi perusahaan dikenakan pajak penghasilan berdasar tarif proporsional sebesar
28%, maka jumlah penghematan pajak penghasilan selama masa manfaat aset akan
berjumlah Rp56,00 juta (Rp 200,00 juta X 0,28). Jumlah tersebut jauh dibawah PPN-Masukan
yang dibayar oleh perusahaan dalam pemerolehan aset tetapnya. Dengan lain perkataan,
tidak seluruh PPN-Masukan diperoleh dalam keseluruhan masa manfaat aset sekalipun.

Idealnya, PPN-Masukan harus diperlakukan sebagai kredit pajak atas PPN-Keluaran atau
mengajukan permohonan restitusi pajak pada akhir tahun pajak, dalam hal perusahaan belum
bisa memungut PPN-Keluaran atas penjualan produk/jasanya. Sebagai pajak tidak langsung,
Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa bukan merupakan beban atau biaya
perusahaan. Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa merupakan beban atau
tanggungan pihak yang mengonsumsi barang dan jasa terkait. Memperlakukan PPN-
Masukan sebagai kredit pajak atas PPN-Keluaran membuat perusahaan kehilangan peluang
untuk memperoleh penghematan pajak penghasilan sebesar Rp56,00 juta (0.28 X Rp200,00
juta) tersebut, tetapi justru bisa memperoleh kembali seluruh PPN-Masukan yang dibayar
dalam rangka pemerolehan aset tetap (Rp200,00 juta) melalui restitusi pada akhir tahun pajak
berjalan.

ANALISIS DARI PERSPEKTIF SAVANT

Dengan SAVANT framework, masing-masing aspek terkait dengan pembelian atau


pengadaan aset tetap perlu dipertimbangkan. Meskipun demikian, pertimbangan bisnis tetap
harus diutamakan.

Aspek Strategi

Keputusan pembelian atau pengadaan aset tetap harus dilakukan dengan semata
pertimbangan bisnis dan independen dari konsekuensi pajaknya. Pertama, per
mempertimbangkan dari aspek strategis, seperti misalnya apakah ekuipmen baru dapat daya
saing (competitive advantage) perusahaan karena dapat menghasilkan produk yang lebih
baik, (ii) dengan biaya produksi yang lebih hemat atau (iii) dengan penyerahan atau
pengiriman yang lebih cepat dan tepat waktu, tergantung pada sifat dan jenis aset tetapnya.
Peningkatan kualitas dan produktivitas misalnya, merupakan aspek strategis untuk aset tetap
berupaya mesin produksi. Sedang kecepatan dan ketepatan waktu pengiriman merupakan
aspek yang strategis tersebut berupa kendaraan dan alat transpor.

Sebagai contoh, suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspedisi (pengiriman
barang dan dokumen; sebagian besar aset tetap produktifnya berupa truk. Sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku aset tetap berupa truk termasuk dalam kategori aset
bukan bangunan kelompok-2. Oleh karena itu, truk disusut berdasar metode saldo menurun
ganda selama masa manfaat 8 tahun. Apa yang terjadi jika ketentuan perpajakan mengubah
status truk yang semula termasuk dalam kategori aset tetap bukan bangunan kelompok-2
(masa manfaat 8 tahun) menjadi aset tetap bukan bangunan kelompok-1 (masa manfaat 4
tahun). Perubahan ketentuan perpajakan tersebut membuat nilai perolehan truk harus lebih
cepat disusutkan, sehingga nilai tunai penghematan pajak yang didapat dari penyusutan
sebagai biaya fiskal mengalami kenaikan, yang pada gilirannya mengurangi nilai perolehan
truk sesudah pajak (after-tax cost of truck).

Haruskah trukk yang lama (metode saldo menurun ganda selama 8 tahun) diganti dengan
truk vang baru (metode saldo menurun ganda selama 4 tahun)? Semakin cepatnya masa
penyusutan truk vang baru tersebut akan termanifestasi dalam bentuk nilai perolehan yang
lebih rendah, sehingga memungkinkan perusahaan untuk menurunkan harga jual produk atau
jasa guna meningkatkan daya saingnya. Dari perspektif non-pajak, truk yang baru
memungkinkan perusahaan untuk mempercepat waktu pengiriman barang, lebih hemat atau
efisien bahan bakar, dan lebih dapat diandalkan

Meskipun manfaat pajak dari penggantian truk mencakup jumlah yang signifikan, namun
menurut pertimbangan strategik belum tentu merekomendasikan untuk dilakukannya
penggantian. Hal demikian terjadi apabila truk yang baru tidak membuat perusahaan untuk
dapat meningkatkan pelayanannya kepada para pelanggan Besar kemungkinan
pertimbangan strategik juga akan tidak merekomendasikan lintuk dilakukannya penggantian
truk, apabila berhubung keterbatasan dana perusahaan pesaing juga tidak melakukan
penggantian armada truknya dengan truk yang baru atau adanya sisa kerugian tahun lalu
sehingga praktis tidak ada manfaat pajak dari penggantian truk yang baru.
Aspek Antisipasi (Timing)

Adakah kemungkinan terjadinya perubahan ketentuan perpajakan terkait dengan penyusutan


atau depresiasi aset tetap? Jika kemungkinan perubahan itu ada, maka hal ini akan sangat
mempengaru waktu atau tanggal dilakukannya transaksi; khususnya untuk transaksi
pembelian atau pengadaan aset tetap dilakukan pada akhir tahun pajak. Dalam hal ketentuan
perpajakan yang baru membuat masa penyusutan menjadi lebih cepat, maka perusahaan
harus mengantisipasi perubahan tersebut dengan mengevaluasi apakah sebaiknya
pembelian atau pengadaan aset tetap ditunda sampai dengan awal tahun pajak berikutnya.

Menggunakan kasus perusahaan ekspedisi (pengiriman barang dan dokumen) tersebut di


atas, diumpamakan bahwa masa manfaat truk sebagai basis perhitungan depresiasi yang
semula 5 tahun dikurangi menjadi 4 tahun untuk truck yang ditempatkan mulai tanggal 1
Januari pada tahun berikutnya. Dalam kondisi demikian, murni dari perspektif pajak saja;
kiranya sangat beralasan -perusahaan menunda pembelian atau penggantian armada
trucknya hingga awal tahun depan.; maka keputusan untuk tidak menunda pembelian atau
penggantian truck bisa membuat daya saing perusahaan untuk sementara waktu mengalami
peningkatan, karena perusahaan menjadi first mover.

Aspek pajak dari antisipasi atau timing biasanya tidak lebih penting dibanding aspek-aspek
bisnis non-pajak lainnya. Misal estimasi yang dibuat oleh manajemen perusahaan pengiriman
barang dan dokumen tersebut di atas adalah sebagai berikut "dengan membeli atau
mengganti truck dalam tahub berjalan akan membuat pangsa pasar perusahaan naik sebesar
10%. Kecuali net present value dari laba atas kenaikan pangsa pasar tersebut kurang atau
lebih kecil dari net present value (NPV) percepatan depresiasi truck selama satu tahun; maka
perubahan ketentuan perpajakan yang terjadi tidak untuk dipakai sebagai alasan penundaan
pembelian atau penggantian truck hingga awal tahun depan.

Jika manajemen memperkirakan atau dapat mengharapkan akan terjadi perubahan ketentuan
perpajakan, maka rencana waktu (tahun) pembelian aset tetap harus disesuaikan. Terdapat
efek potensial dari perubahan ketentuan perpajakan, baik perubahan tarif maupun metode
depresiasi lika tarif depresiasi dapat diharapkan akan mengalami kenaikan (atau penurunan),
maka pembelian aset tetap harus dipercepat (atau ditangguhkan). Hal ini disebabkan oleh
karena investasi berupa aset tetan harus menghasilkan arus kas sebelum pajak yang positif
(melalui kenaikan pendapatan atau penghematan biaya) sehingga berakibat pada
penghasilan kena pajak yang positif. Jika efek depresiasi sebagai biaya fiskal diharapkan akan
lebih kurang) menguntungkan, maka pembelian aset tetap harus ditunda atau ditangguhkan.

Dalam mengevaluasi alternatif investasi berupa aset tetap, arus kas sesudah pajak dari setiap
alternatif harus dinilai tunaikan atau didiskontokan, untuk membuat komparabilitas dari setiap
alternatif. Salah satu variabel yang mempengaruhi arus kas dari investasi berupa aset tetap
adalah metode depresiasi yang akan digunakan oleh perusahaan. Sebagai akibatnya, setiap
metode depresias! yang dipercepat (accelerated depreciation methods), seperti metode saldo
menurun ganda akan menaikkan net present value (NPV) dari aset tetap terkait.

Aspek Negosiasi

Pengambilan keputusan investasi relatif lebih kompleks dibanding pengambilan keputusan


manajerial yang lain, terlebih-lebih pada merger dan/atau akuisisi karena bisa menyangkut
negosiasi dengan lebih dari satu pihak (vendor); terutama apabila menyangkut investasi yang
besar jumlahnya. Seperti misalnya, suatu perusahaan yang dari aktivitas operasinya
senantiasa memperoleh laba fiskal bisa membeli atau mengambil salah satu pabrik dari
perusahaan lain yang mempunyai sisa kerugian tahun lalu dengan harga kurang dari harga
pasarnya; karena perusahaan lain yang mempunyai sisa kerugian tahun lalu tidak
membutuhkan atau tidak bisa memperoleh manfaat pajak dari sisa kerugian tersebut. sedang
perusahaan yang mempunyai sisa kerugian tidak perlu mempertimbangkan lagi depresiasi
Mesin-mesin pabriknya, karena memang tidak bisa memperoleh manfaat pajak atas beban
depresiasi sebagai biaya fiskal. Bagi perusahaan yang mempunyai sisa kerugian tersebut,
bisa jadi akan lebih menguntungkan apabila untuk mempertahankan aktivitas produksinya
dengan menyewa mesin-mesin produksi dari produsen atau vendor.

Aspek Value-Adding

Suatu investasi dengan net present value (NPV) positif juga akan berakibat pada kenaikan
earnings performance measures perusahaan, seperti misalnya earnings-per share (EPS),
economic value added (EVA). Meskipun demikian terdapat collateral financial statement
effects yang harus dipertimbangkan. Dalam hal pembiayaan investasi berasal dari utang,
maka pertanyaannya adalah "apakah kenaikan utang untuk membuat perusahaan gagal
dalam mematuhi kovenian dari utang-utang sebelumnya?”. Dalam jangka pendek, bonus
kepada manajemen bisa jadi harus dikurangi sebagai akibat dari kenaikan beban depresiasi,
terutama apabila bonus diasosiasikan dengan penghasilan kena pajak.

Contoh-4: Investasi dan Efeknya Terhadap kinerja Finansial Perusahaan

Suatu perusahaan wajib pajak-badan dalam negeri membeli sebuah bangunan pabrik yang
baru, dengan harga Rp5,00 miliar. Untuk itu, perusahaan memperoleh pinjaman bank sebesar
Rp 4,00 miliar dengan suku bunga 8%. Sedang uang muka sebesar Rp1,00 miliar harus
dibayar sendiri oleh perusahaan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, perusahaan
dikenakan pajak penghasilan berdasar tarif proporsional 25%.
Jika nilai tunai penghematan pajak dari depresiasi atas bangunan pabrik adalah Rp2,00 miliar
dan nilai tunai pembayaran bunga dan pokok pinjaman bank adalah Rp7,50 miliar; maka nilai
tunai bersih (net present value-NPV) dari bangunan pabrik yang baru dapat ditentukan
sebagai berikut (rupiah dalam ribuan):

Sekarang ini perusahaan juga mempunyai kewajiban untuk membayar sewa bangunan pabrik
sebesar RP200,00 juta per tahun. Nilai tunai sewa bangunan pabrik tersebut adalah Rp24,00
miliar yang terdiri dari:

Dari Informasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa membeli bangunan pabrik baru akan
menaikkan nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena net present value (NPV) arus
kas sesudah pajak untuk pembelian bangunan (Rp5,00 miliar) yang lebih kecil dibanding nilai
tunai arus kas dengan menyewa bangunan (Rp5,25 miliar). Dengan lain perkataan, membeli
bangunan lebih hemat daripada menyewa bangunan. Di samping itu, paling tidak untuk jangka
panjang pengukur kinerja finansial perusahaan, seperti EPS dan EVA akan mengalami
kenaikan.

Namun demikian, dari perspektif pelaporan keuangan kebijakan membeli juga mempunyai
kelemahan relatif dalam perbandingannya dengan menyewa bangunan. Dengan membeli,
baik bangunan sebagai aset maupun pinjaman atau utang bank keduanya harus disajikan di
dalam neraca perusahaan. Sementara itu, dengan hanya menyewa maka bangunan dan
kewajiban untuk membayar sewa tidak perlu disajikan di dalam neraca.

Jika untuk membeli aset tetap, perusahaan harus menambah utang dalam jumlah besar; bisa
perusahaan gagal dalam mematuhi kovenan atas utang-utangnya. Bertambahnya utang
dalam jumlah yang besar bisa berakibat pada penurunan rasio keuangan terkait dengan
struktur modal, sehingga menurunkan debt ratingnya. Kedua kelemahan tersebut dapat
dieliminasi dengan cara perusahaan tidak membeli tetapi menyewa aset atau barang-barang
modal yang diperlukan untuk menjalankan aktivitas operasinya. (Efek sesungguhnya
terhadap nilai perusahaan tidak begitu jelas. Kovenan juga dapat ditetapkan terhadap utang
sewa gunausaha seperti halnya utang konvensional, dan analis keuangan bisa memprediksi
efek sewa gunausaha terhadap rasio-rasio keuangan tersebut).

Aspek Strategi

Jika investasi menghasilkan nilai tunai nilai tunai arus kas bersih (net present value of cash
flows) yang positif dalam jumlah yang signifikan, perusahaan akan dapat menerapkan
ketentuan tarif minimum kepada para konsumen. Di samping itu, dengan mengoperasikan
mobil-mobil baru; hal ini akan menjadi trademark atau citra tersendiri bagi perusahaaan.
Masyarakat atau pelanggan akan menaruh kepercayaan yang lebih besar dibanding
perusahaan pesaing yang masih mengoperasikan mobil-mobil lama.

Aspek Negosiasi

Pesanan atau penjualan sebanyak 500 unit mobil baru besar kemungkinan akan membuat
penghasilan kena pajak produsen/distributor mobil mengalami kenaikan atau meningkat
tajam. Oleh karena itu, produsen/distributor tidak berniat untuk menjual lepas tetapi
menawarkan kontrak sewaguna usaha berjangka waktu 4 tahun untuk membuat tambahan
penghasilan kena pajaknya terdistribusi selama tahun ke depan relatif stabil. Sesuai dengan
keinginan perusahaan untuk membeli mobil, kontrak sewaguna usaha yang ditawarkan oleh
produsen/distributor akan dapat diperlakukan sebagai capital lease. Dengan kontrak
sewaguna usaha, produsen/distributor akan memperoleh nilai tunai penghematan pajak
sebesar seluruhnya Rp75,00 juta; yang sebesar 50% di antaranya akan atau dapat diberikan
kepada perusahaan dalam bentuk harga atau pembayaran sewa yang lebih murah.

Aspek Value-Adding dan Anticipation

Haruskah perusahaan mempertimbangkan faktor risiko? Jika sebagai lessee, perusahaan


berhak membatalkan kontrak sewaguna usaha, jelas risiko yang dihadapi oleh perusahaan
akan jauh lebih rendah dibanding membeli (dengan asumsi mobil dapat diandalkan dan
pelanggan atau konsumen perusahaan tidak mengalami penurunan). Menurut ketentuan
kontraktualnya, produsen/ distributor memang berhak untuk membatalkan kontrak. Akan
tetapi, mengingat kontrak sewaguna usaha merupakan pilihan yang lebih baik daripada
menjual lepas maka kemungkinan besar pembatalan kontrak oleh produsen/ distributor tidak
akan dilakukan. Selanjutnya dapat diharapkan bahwa ketentuan perpajakan (khususnya
terkait dengan tarif pajak, metode dan masa manfaat mobil sebagai basis perhitungan
depresiasi) juga tidak akan mengalami perubahan, sehingga mempercepat atau menunda
pembelian dan/ penggantian mobil lama dengan mobil baru tidak perlu dilakukan oleh
perusahaan.
Keputusan Untuk Membeli Atau Membuat Sendiri

Perusahaan manufaktur seringkali dihadapkan pada alternatif apakah sebaiknya membuat


sendiri seluruh komponen produknya atau membeli satu atau lebih komponen yang diperlukan
dari perusahaan lain sejenis. Salah satu keuntungan dengan membuat sendiri seluruh
komponen produk yang diperlukan terletak pada pengawasan atau pengendalian waktu dan
kualitas produk. Akan tetapi membeli komponen tertentu dari perusahaan lain sejenis juga
memberikan keuntungan lain (terutama apabila diproduksi di daerah atau negara dengan
tingkat biaya produksi yang lebih rendah), sehingg. dapat menghemat biaya produksi dan
menurunkan harga jual produknya. Apakah perusahaan dapa membeli komponen dari
perusahaan lain dengan harga yang lebih rendah dibanding biaya produks jika komponen
dibuat sendiri, tergantung pada antara besaran biaya overhead yang dapat dihindarkan
(avoidable overhead cost) dengan tidak membuat sendiri komponen terkait. Biaya overhead
yang dapa dihindarkan (avoidable overhead cost) adalah biaya produksi tidak langsung yang
dapat dihindarkan terjadinya, apabila perusahaan tidak membuat sendiri suatu komponen
produknya.

SUMBER REFERENSI

Drs. Harnanto, M. S. (Juni 2013). Perencanaan Pajak Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai