Oleh:
Aldi Alfian, S. Ked 04084822124106
Annisa Hasyrahim Redha, S. Ked 04084822225114
Silvia Catherine, S. Ked 04084822225187
Pembimbing:
dr. Yulianto Kusnadi, Sp. PD, K-EMD, FINASIM
1
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Congestive Heart Failure et causa Tiroid Heart Disease +
Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
Oleh :
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang periode
23 Mei – 13 Agustus 2022.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karenaberkah dan
rahmat-Nya laporan kasus berjudul “Congestive Heart Failure et causa Tiroid Heart Disease
+ Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan kasus ini dibuat demi memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran UniversitasSriwijaya periode 23 Mei – 13 Agustus 2022.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Yulianto Kusnadi, Sp. PD,
K-EMD, FINASIM, karena bimbingannya laporan kasus ini menjadi lebih baik. Penulis juga
ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus
ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan
yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II STATUS PASIEN 3
2.1. Identifikasi 3
2.2. Anamnesis 3
2.3 Pemeriksaan Fisik 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang 9
2.5 Diagnosis 14
2.6 Diagnosis Banding 14
2.7 Tatalaksana 14
2.8 Rencana Pemeriksaan 16
2.9 Prognosis 16
2.10 Follow Up 16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 24
3.1 Definisi 23
3.2 Epidemiologi 23
3.4 Klasifikasi 23
3.3 Etiologi dan Faktor Risiko 24
3.5 Patofisiologi 24
3.6 Diagnosis 29
3.7 Tatalaksana 34
3.8 Prognosis 40
BAB IV ANALISIS KASUS 54
DAFTAR PUSTAKA 58
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR TABEL
6
DAFTAR SINGKATAN
BJ : Bunyi jantung
CAD : Coronary Artery Disease
CHF : Congestive heart failure
CO : Cardiac Output
CRT : Capillary refill time
CVA : Costo vertebrae angel
EKG : Elektrokardiografi
FT3 : Free Triiodotironin
GCS : Glassgow coma scale
HHD : Hypertension heart disease
HT : Hormon Tiroid
ICS : Inter costal space
LDL : Low Density Lipoprotein
PO : Per oral
PTU : Propylthiouracil
T3 : Triiodotironin
T4 :Tiroksin
TSH : Thyroid Stimulating Hormone
USG : Ultrasonography
7
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang disebabkan olehpengaruh hormon
tiroid. Insiden penyakit ini cukup tinggi di masyarakat dan dapat mengenai segala usia.
Prevalensi penyakit hipertiroidisme secara global berkisar 1,3% lebih banyak pada perempuan
daripada laki-laki (5:1). Insiden meningkat pada perempuan berusia lebih tua. Penyebab
terbanyak ialah struma difus toksik (Graves Disease), biasanya mengenai usia 20 – 40 tahun.1,2
Diagnosis penyakit jantung tiroid dapat ditegakkan dan dipastikan dengan pemeriksaan
kadar hormon tiroid bebas, yaitu kadar FT4 yang tinggi dan TSH yang sangat rendah. Gagal
jantung sebagai akibat komplikasi hipertiroid dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria
Framingham, yaitu bila gejala dan tanda gagal jantung memenuhi 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria
mayor ditambah 2 kriteria minor.1,4
Panduan American College of Cardiology Foundation (ACCF) atau American Heart
Association (AHA) mendefinisikan gagal jantung sebagai sebuah sindrom klinis kompleks
akibat adanya gangguan fungsi dan struktur pengisian ventrikel atau ejeksi darah, yang
menimbulkan sesak napas (dispneu) dan kelelahan (fatigue) serta tanda gagal jantung seperti
edema dan rales. Gagal jantung adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia, dengan >
20 juta orang terkena dampaknya. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring bertambahnya
usia, dan mempengaruhi 6-10% orang berusia >65 tahun. Menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun (2013), provinsi dengan prevalensi penyakit gagal jantung pada usia ≥ 15
tahun di Indonesia sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang. 5
Menurut SNPPDI 2019, penyakit gagal jantung termasuk ke dalam tingkat kompetensi
3A, oleh karena itu lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan
terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Sebagai dokter umum, anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan tatalaksana awal yang tepat wajib dikuasai untuk membantu dalam
penegakkan diagnosis pada penyakit. Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dalam mendiagnosis dan menatalaksana penyakit-penyakit tersebut.
8
BAB II
STATUS PASIEN
2.2 Anamnesis
Tanggal : Kamis, 30 Juni 2022 pada pukul 11.00 WIB
Diberikan oleh : Pasien (Autoanamnesis)
Keluhan utama:
Sesak napas yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS.
Keluhan tambahan:
Badan Lemas
Riwayat Kebiasaan:
● Riwayat merokok tidak ada.
● Riwayat minum alkohol tidak ada.
● Riwayat penggunaan jarum suntik tidak ada.
● Riwayat olahraga tidak ada.
10
Riwayat Alergi:
● Riwayat alergi obat-obatan disangkal
● Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat Pengobatan
tidak ada.
Riwayat Menstruasi
● Pasien terakhir menstruasi Desember 2021, Haid biasanya teratur sebulan sekali, 4-5
hari.
Mata
Eksoftalmus : Ada
Endotalmus : Tidak ada
Palpebra : Edema (-/-)
Konjungtiva : Pucat (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Keruh
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
Bagian luar : Tidak ada kelainan
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada
Telinga
Meatus akustikus eksternus : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : Tidak ada
Pendengaran : Baik, telinga berdenging (-)
Mulut
Bibir : kering (-), pucat (-), chelitis angularis (-)
Gusi : perdarahan (-), hipertrofi (-)
Lidah : pucat (-), atrofi papil (-), stomatitis (-)
Selaput lendir : perdarahan (-), pucat (-), stomatitis (-)
Faring : tidak ada kelainan
Tonsil : T1-T1
12
Leher
Inspeksi : asimetris, scar (-), deviasi trakea (-)
Palpasi : terdapat pembesaran kelenjar tiroid yang difuse;
pembesaran KGB (-), tekanan vena jugularis: (5+3) cmH2O,
distensi vena jugularis ada.
Auskultasi : bruit (+).
Thoraks
Bentuk : bentuk dada normal, barrel chest (-)
Pembuluh darah : venektasi (-)
Nyeri tekan : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
Paru-paru
Anterior
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis dada kanan tertinggal dan kiri
normal, retraksi (-), sela iga melebar (-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), stem fremitus normal kanan dan kiri
Perkusi : nyeri ketok (-/-), sonor di kedua lapangan paru, batas paru hepar
ICS V peranjakan satu sela iga.
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki pada kedua apeks paru (-/-),
wheezing (-/-)
Posterior
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis dada kanan tertinggal dan kiri
normal, retraksi (-), sela iga melebar (-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), stem fremitus normal kanan dan kiri
Perkusi : nyeri ketok (-/-), sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : iktus cordis terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS II linea sternalis sinistra
13
Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur sistolik (-), murmur
diastolic (-), gallop (-), splitting (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, lemas, scar (-), caput medusae
(-), distensi (-).
Auskultasi : bising usus (+) normal 5x/menit, bruit (-)
Palpasi : tegang, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-),undulasi (-), nyeri ketok CVA (-)
Ekstremitas
Lengan
Tonus : eutonia
Gerakan : luas
Kekuatan :5
Otot : eutrofi
Sendi : ROM aktif dan pasif baik
Tangan
Telapak : ikterus (-/-), edema (-/-)
Kuku : pucat (-), CRT <2 detik
Tremor : (+/+)
Ujung jari : akral hangat (+/+), clubbing finger (-/-).
Tungkai dan kaki
Tonus : eutonia
Gerakan : luas
Kekuatan :5
Otot : eutrofi
Sendi : ROM aktif dan pasif baik
Edema pretibial : (-/-)
Kaki
Telapak : ikterus (-/-)
Kuku : pucat (-), CRT <2 detik
14
Ujung jari : akral hangat (+/+)
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
15
Elektrolit
Natrium: 145 mEq/L (N : 135 – 155 mEq/L)
Kalium : 4.7 mEq/L (N : 3.5 – 5.5 mEq/L)
Interpretasi EKG:
Irama : Asinus dan Reguler.
Aksis :
Lead I = +
Lead aVF = +
Aksis deviasi normal.
HR : 12 x 10 = 120x per menit
Gelombang P:
Atrial Fibrilasi (+)
PR interval : 0.04 x 4 kotak kecil : 0.16 s [pelebaran (-)]
16
QRS Kompleks ; 1 kotak kecil x 0.04 : 0.04 s [pelebaran (-)]
QRS kompleks di V1 : LBBB
ST : Tidak ada ST elevasi, tidak ada ST depresi
Gelombang T : T inverted (-)
R/S di sadapan V1 < 1 [pelebaran ventrikel kanan (-)]
Kriteria Sokolow Lyon
S V1 + R V5 = 4+8 = 12 mm [pembesaran ventrikel kiri (-)]
S V1 + R V6 = 4+10= 14 mm [pembesaran ventrikel kiri (-)]
Kriteria Cornell
S V3 + R di aVL > 20 mm = 6 + 6 = 12 [pembesaran ventrikel kiri (-)]
Kesan:
Asinus Takikardi
Atrial Fibrilasi
Left Bundle Branch Block
2.7 Tatalaksana
Non Farmakologis:
− Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan − lstirahat, olahraga, aktivitas sehari-
hari, serta rehabilitasi.
− Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
− Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Farmakologis:
PTU 2 x 1 100 mg PO
Digoxin 1 x 0.125 mg PO
Furosemide 1 x 20mg IV
Proponolol 1 x 10 mg PO
18
2.8 Rencana Tindakan
- USG Tiroid
- Echocardiography
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
2.10 Follow Up
19
Follow up (01/07/2022)
S : berdebar-debar, nyeri perut berkurang, sesak, badan lemas
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sens : Compos mentis
TD : 128/70 mmHg
HR : 102x/menit
RR : 24x/menit
Temp : 36,4º C
SpO2 : 98%
Kepala : Normosefali, rambut mudah dicabut (+), alopesia (+), eksoftalmus (+),
konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), kornea keruh (+/+)
Leher : Asimetris, scar (-), deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid yang difuse, tekanan vena jugularis (5+3) cmH2O, distensi vena
jugularis (+), bruit (+)
Thoraks : Bentuk dada normal, barrel chest (-), venektasi (-), nyeri tekan (-), nyeri
ketok (-)
Cor : Iktus kordis terlihat, iktus kordis teraba, thrill (-), Batas atas jantung ICS II
linea sternalis sinistra, Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra,
Batas kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra. bunyi jantung I-II
normal, murmur sistolik (-), murmur diastolik (-), gallop (-), splitting (-).
Pulmo : dinamis dada kanan tertinggal, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, BU (+) normal, tegang, nyeri
tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), tremor tangan (+), CRT < 2 detik
A : CHF ec THD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
P:
Non farmakologi
● Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
● Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, serta rehabilitasi.
● Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
● Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Farmakologi
● PTU 2 x 1 100 mg PO
● Furosemide 1 x 20 mg IV
● Propanolol 1 x 10 mg PO
● Digoxin 1 x 0,125 mg PO
20
Follow up (02/07/2022)
S : berdebar-debar, nyeri perut berkurang, sesak berkurang, badan lemas
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sens : Compos mentis
TD : 125/70 mmHg
HR : 102x/menit
RR : 18x/menit
Temp : 36,7º C
SpO2 : 99%
Kepala : Normosefali, rambut mudah dicabut (+), alopesia (+), eksoftalmus (+),
konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), kornea keruh (+/+)
Leher : Asimetris, scar (-), deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid yang difuse, tekanan vena jugularis (5+3) cmH2O, distensi vena
jugularis (+), bruit (+)
Thoraks : Bentuk dada normal, barrel chest (-), venektasi (-), nyeri tekan (-), nyeri
ketok (-)
Cor : Iktus kordis terlihat, iktus kordis teraba, thrill (-),Cor : Iktus kordis terlihat,
iktus kordis teraba, thrill (-), Batas atas jantung ICS II linea sternalis sinistra, Batas
kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra, Batas kiri jantung ICS VI linea
axillaris anterior sinistra. bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik (-), murmur
diastolik (-), gallop (-), splitting (-), bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik (-)
murmur diastolik (-), gallop (-), splitting (-)
Pulmo : dinamis dada kanan tertinggal, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, BU (+) normal, tegang, nyeri
tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), tremor tangan (+), hipopigmentasi,
CRT < 2 detik
A : CHF ec THD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
P:
Non farmakologi
● Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
● Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, serta rehabilitasi.
● Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
● Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Farmakologi
● PTU 2 x 1 100 mg PO
● Furosemide 1 x 20 mg IV
● Propanolol 1 x 10 mg PO
21
● Digoxin 1 x 0,125 mg PO
Follow up (03/07/2022)
22
S : berdebar-debar berkurang, nyeri perut berkurang, sesak (-), badan lemas
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sens : Compos mentis
TD : 120/70 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 20x/menit
Temp : 36,6º C
SpO2 : 98%
Kepala : Normosefali, rambut mudah dicabut (+), alopesia (+), eksoftalmus (+),
konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), kornea keruh (+/+)
Leher : Asimetris, scar (-), deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid yang difuse, tekanan vena jugularis (5+3) cmH2O, distensi vena
jugularis (+), bruit (+)
Thoraks : Bentuk dada normal, barrel chest (-), venektasi (-), nyeri tekan (-), nyeri
ketok (-).
Cor : Iktus kordis terlihat, iktus kordis teraba, thrill (-), Batas atas jantung ICS II
linea sternalis sinistra, Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra,
Batas kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra. bunyi jantung I-II
normal, murmur sistolik (-), murmur diastolik (-), gallop (-), splitting (-).
Pulmo : dinamis dada kanan tertinggal, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, BU (+) normal, tegang, nyeri
tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), tremor tangan (+), hipopigmentasi,
CRT < 2 detik
A : CHF ec THD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
P:
Non farmakologi
● Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
● Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, serta rehabilitasi.
● Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
● Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Farmakologi
● PTU 2 x 1 mg PO
● Furosemide 1 x 20 mg IV
● Propanolol 1 x 10 mg PO
● Digoxin 1 x 0,125 mg PO
23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2. Epidemiologi
Gagal jantung adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia, dengan >
20 juta orang terkena dampaknya. Prevalensi keseluruhan gagal jantung pada
populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Prevalensi gagal jantung meningkat
seiring bertambahnya usia, dan mempengaruhi 6-10% orang berusia >65 tahun.
Meskipun insiden relatif gagal jantung lebih rendah pada wanita daripada pria,
kasus gagal jantung pada wanita setidaknya setengah dari total kasus gagal jantung.
Hal inidikarenakan harapan hidup wanita yang lebih lama. Di Amerika Utara dan
Eropa, risiko seumur hidup terkena gagal jantung adalah sekitar satu dari lima untuk
individu berusia 40 tahun.12
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun (2013), provinsi dengan
prevalensi penyakit gagal jantung pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 0,13%
24
atau diperkirakan sekitar 229.696 orang. Estimasi jumlah penderita penyakit gagal
jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%),
sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Kep. Bangka
Belitung, yaitu sebanyak 945 orang (0,1%).14
3.1.3. Etiologi
Kondisi yang mengarah pada perubahan struktur atau fungsi ventrikel kiri
dapat menyebabkangagal jantung. Meskupun etiologi gagal jantung pada pasien
dengan fraksi ejeksi tetap berbeda dari pasien dengan penurunan fraksi ejeksi,
terdapat tumpang tindih etiologi cukup besar dari kedua kondisi ini. Di negara-
negara maju, penyakit jantung coroner (PJK) menjadi penyebab utama gagal
jantung pada pria dan wanita dengan prevalensi sekitar 60-75%. Hipertensi
berkontribusi pada perkembangan gagal jantung pada 75% pasien, termasuk
sebagian besar pasien dengan PJK.The Framingham Heart Study menunjukkan
bahwa penyebab paling umum gagal jantung adalah penyakit jantung koroner. Baik
PJK dan hipertensi meningkatkan risiko gagal jantung, seperti halnya diabetes
mellitus. Data yang tersedia menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti hipertensi,
diabetes, dan PJK yang memicu disfungsi ventrikel kiri juga berperan dalam
perburukan gejala. Peran PJK dalam patofisiologi gagal jantung ditunjukkan pada
Gambar 1.12,15
Diabetes melitus tipe 2 adalah faktor risiko yang kuat untuk terbentuknya
PJK. Pasien dengan diabetes memiliki risiko 2-4 kali lipat lebih besar terkena PJK
dibandingkan pasien bukan diabetes. Pasien diabetes menunjukkan peningkatan
25
risiko mengembangkan PJK karena berbagai alasan, termasuk faktor metabolism,
seperti hiperglikemia, dislipidemia, dan resistensi insulin, yang menyebabkan
disfungsi sel sendotel dan otot polos vascular. Pasien dengan diabetes memiliki plak
aterosklerotik yang kaya lipid dan lebih rentan ruptur dibanding plak yang terlihat
pada pasien bukan penderita DM. 16
Sekitar 20-30% kasus gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun, memiliki
dasar etiologi yang belum diketahui. Penderita ini disebut memiliki keadaan
kardiomiopati noniskemik, dilatasi kardiomiopati, atau idiopatik kardiomiopati jika
penyebabnya tidak diketahui. Kardiomiopati adalah gangguan otot jantung yang
menyebabkan disfungsi mekanis dan/ atau listrik yang mengakibatkan gambaran
dilatasi, hipertrofik atau restriktif. Dilatasi kardiomiopati adalah penyakit jantung
noniskemik dengan kelainan struktur dan fungsional miokard. Gambaran klinis
dilatasi kardiomiopati adalah dilatasi ventrikel kiri atau biventricular dan disfungsi
sistolik tanpa adanya penyakit jantung coroner, hipertensi, penyakit katup, atau
penyakit jantung bawaan. American Heart Association mengklasifikasikan DCM
dalam bentuk familian dan nonfamilial. WHO mendefinisikan DCM sebagai
gangguan jantung dimana kelainan struktural atau fungsional otot jantung dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas karena komplikasi seperti gagal jantung
dan aritmia.12,17
26
3.1.4. Faktor Risiko
1. Faktor risiko klinis major
Usia, jenis kelamin laki-laki, hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, miokard
infark, kelainan katup jantung, obesitas, diabetes
2. Faktor risiko klinis minor
Merokok, dislpipidemia, penyakit ginjal kronis, albuminuria, gangguan
napas saat tidur, anemia, status sosioekonomi rendah, stress psikologis
3. Kelainan imun
4. Hipersensitivitas, kardiomiopati peripartum
5. Infeksi
6. Virus, parasite, bakteri
7. Terapi khusus
Kemoterapi, terapi target kanker, kokain, NSAID, alkohol
8. Faktor genetik
SNP, riwayat dalam keluarga, kelainan jantung kongenital
3.1.5. Patofisiologi
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu
gangguan mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau
bersamaan yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi
perikard, jantung tidak dapat diastole, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme
ventrikel, disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan
abnormalitas otot jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis
metabolic (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder
(iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltrative, dan korpulmonal). Beberapa
keadaan di tersebut dapat menyebabkan overload volume atau tekanan atau
disfungsi regional pada jantung yang akan meningkatkan beban kerja jantung dan
menyebabkan hipertrofi otot jantung dan atau dilatasi ruang jantung.18
Pressure overload pada ventrikel (misalnya pada hipertensi atau stenosis
aorta) menstimulasi deposisi sarkomer dan menyebabkan penambahan luas area
cross-sectional miosit, tapi tanpa penambahan panjang sel. Akibatnya terjadi
reduksi diameter ruang jantung. Keadaan ini disebut pressure-overload hypertrophy
(hipertrofi konsentrik). Sebaliknya, volume-overload hypertrophy menstimulasi
deposisi sarkomer dengan penambahan panjang dan lebar sel. Akibatnya terjadi
27
penebalan dindingdisertai dilatasi dengan penambahan dimeter ventrikel.
Penambahan massa otot atau ketebalan dinding yang seiring dengan penambahan
diameter ruang jantung menyebabkan tebal dinding akan tetap normal atau kurang
dari normal.18
Terjadinya hipertrofi dan atau dilatasi disebabkan karena peningkatan kerja
mekanik akibat overload tekanan atau volume yang meningkatkan sintesis protein,
jumlah protein di tiap sel, jumlah sarkomer mitokondria, dimensi dan massa miosit,
yang menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dan fungsi yang disebut
remodelling ventricle. Terjadinya remodelling ventricle merupakan bagian dari
mekanisme kompensasi tubuh untuk memelihara tekanan arteri dan perfusi organ
vital. Jika terdapat beban hemodinamik berlebih atau gangguan kontraktilitas
miokardium, terdapat beberapa mekanisme kompensasi seperti mekanisme Frank-
Starling, perubahan struktur miokardium dan aktivasi sistem neurohumoral. 18
Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung
memompa darah pada tingkat yang relatif normal tetapi hanya untuk sementara.
Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis
dan remodelling matriks ekstraseluler (terutama kolagen) juga dapat timbul dan
menyebabkan gangguan fungsional dan struktural. Jika mekanisme tersebut gagal
maka terjadi disfungsi kardiovaskular yang dapat berakhir dengan gagal jantung.
Kebanyakan gagal jantung merupakan konsekuensi kemunduran progresif fungsi
kontraktil miokardium (disfungsi sistolik) yang sering muncul pada cedera iskemik,
overload tekanan, dan dilated cardiomyopathy. Penyebab spesifik tersering adalah
penyakit jantung iskemik dan hipertensi.18
Mekanisme kompensasi tubuh (mekanisme neurohormonal) dalam
menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun, meliputi
pengaktivasian sistem saraf simpatis, sistem renin-angitensin-aldosteron (RAA),
sistem saraf adrenergik, dan sistem ADH. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan
pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.19,20
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
28
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan
noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang
pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. 19,20
29
Gambar 4. Patofisiologi gagal jantung19,20
3.1.6. Klasifikasi
Berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF), gagal jantung
dikategorikan menjadi:
1. HFrEF, yaitu LVEF yang menurun (< 40%) atau disebut juga gagal jantung
sistolik. Pasien HFrEF lebih sering muncul dengan penyakit jantung koroner
(infark miokard), penyakit katup (stenosis aorta, regurgitasi mitral) atau
hipertensi yang tidak terkontrol. Perubahan struktural utama pada HFrEF
adalah remodeling eksentrik disertai dengan dilatasi ruang dan sering
kelebihan volume yang mengarah ke forward failure biasanya sebagai
konsekuensi dari infark miokard anterior yang besar. Kelebihan volume paling
sering merupakan hasil dari aktivasi neurohumoral permanen (sistem RAA). 18
2. HFpEF, yaitu LVEF yang lebih dari 50%, atau disebut juga gagal jantung
diastolik. Pasien dengan HFpEF biasanya berusia tua, perempuan, obesitas
dengan riwayat hipertensi dan/atau fibrilasi atrium. HFpEF menunjukkan
gangguan relaksasi dan/atau pengisian ventrikel, peningkatan kekakuan
ventrikel dan dengan demikian peningkatan tekanan pengisian disertai dengan
31
kelebihan tekanan. Jantung menunjukkan remodeling konsentris dan/atau
hipertrofi ventrikel disertai dengan kelebihan tekanan dan backward failure.18
3. HFmrEF, yaitu LVEF di antara 40 – 49%.18
32
sistem organ dan dengan demikian gagal jantung adalah penyakit sistemik atau
sindrom dengan spektrum klinis yang luas.18,22
Tabel 2. Tanda dan Gejala pada Gagal Jantung.
3.1.8. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis dan klasifikasi gagal jantung didasarkan pada ada atau beratnya
gejala dan temuan pemeriksaan fisik. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah
sesak napas. Kualifikasi lebih lanjut dari gejala ini sangat penting untuk
membantu menjelaskan penyebab potensial gagal jantung dan untuk menentukan
rencana perawatan bagi pasien. Sesak napas harus diklasifikasikan lebih lanjut
untuk menentukan apakah itu terkait dengan aktivitas, perubahan posisi
(ortopnea), dan apakah itu akut atau kronis. Gejala gagal jantung lainnya yang
sering dilaporkan termasuk nyeri dada, palpitasi, anoreksia, dan kelelahan.
Beberapa pasien mungkin datang dengan batuk telentang yang mungkin
disebabkan oleh ortopnea.22
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien gagal jantung memerlukan pengkajian yang
komprehensif. Penampilan umum pasien dengan gagal jantung kronis yang parah
atau mereka yang mengalami gagal jantung akut dekompensasi akan mencakup
kecemasan, diaforesis, dan status nutrisi yang buruk. Temuan klasik ronki paru
33
menunjukkan gagal jantung dengan intensitas sedang hingga berat. Mengi dapat
terjadi pada gagal jantung dekompensasi akut. Saat keparahan kongesti paru
meningkat, sputum berbusa dan bercampur darah dapat terlihat. Tidak adanya
ronki tidak menyingkirkan kongesti paru. Distensi vena jugularis adalah temuan
klasik lainnya pada semua pasien dengan gagal jantung. Peningkatan paradoks
distensi vena jugularis dengan respirasi dapat terlihat. Pada pasien dengan
peningkatan tekanan pengisian sisi kiri, refluks hepatojugularis akan terlihat.
Edema perifer muncul pada gagal jantung berat dan akan terlihat jika terjadi
kelebihan volume yang substansial. Temuan jantung pada pasien dengan HF
termasuk S3 gallop, pulsus alternans, dan aksentuasi P2. Gallop S3 adalah temuan
paling signifikan dan awal yang terkait dengan HF. Pada kardiomiopati dilatasi
dekompensasi, murmur regurgitasi mitral dan trikuspid akan muncul. 22
3. Penegakkan Diagnosis
Kriteria diagnostik framingham umum digunakan untuk penegakkan
diagnosis gagal jantung. Kriteria framingham terpenuhi apabila terdapat adanya 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor untuk menegakkan
diagnosis gagal jantung. Kriteria diagnostik framingham adalah sebagai berikut: 23
Tabel 3. Kriteria Framingham.
Kriteria Mayor
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
34
Takikardia (>120/menit)
Kriteria mayor atau minor
Penurunan BB >4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dinilai darah tepi lengkap, elektrolit,
BUN, kreatinin, enzim hepar, serta urinalsis. Pemeriksaan untuk diabetes
melitus, dislipidemia, dan kelainan tiroid juga penting dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
35
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. 24
Kadar natrium serum memiliki nilai prognostik sebagai prediktor
mortalitas pada pasien gagal jantung kronis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasien gagal jantung dengan hiponatremia akan meningkatkan
mortalitas.22
b. BNP dan NT-proBNP
Kadar serum B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal proBNP
(NT-proBNP) dapat membantu membedakan penyebab dispnea kardiak dan
nonkardiak pada pasien dengan presentasi yang ambigu. BNP adalah prediktor
independen dari peningkatan tekanan diastolic akhir ventrikel kiri, dan
digunakan untuk menilai risiko kematian pada pasien dengan gagal jantung.
Nilai BNP < 35 pg/mL, nilai NT-proBNP < 125 pg/mL, atau nilai MR-proANP
< 40 pmol/L membuat diagnosis HF tidak khas.25
Kadar BNP dan NT-proBNP juga dapat meningkat pada pasien dengan
disfungsi ginjal, fibrilasi atrium, dan pada pasien yang sudah tua. Sebaliknya,
kadar BNP bisa sangat rendah pada pasien dengan obesitas, hipotiroidisme, dan
gagal jantung karena fibrosis miokard.22
c. Elektrokardiografi (EKG)
EKG normal membuat diagnosis HF tidak khas. EKG dapat menunjukkan
kelainan seperti AF, gelombang Q, hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dan
kompleks QRS yang melebar yang meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal
jantung.25
36
Tabel 4. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung.
d. Radiografi dada
Radiografi dada digunakan untuk menilai derajat kongesti paru dan kontur
jantung untuk menentukan adanya kardiomegali. Temuan yang menunjukkan
gagal jantung kongestif pada radiografi dada meliputi pembesaran siluet
jantung, edema pada basal paru, dan kongesti vaskular.22
37
Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal jantung.
Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal jantung
e. Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk
diagnosis gagal jantung. Ekokardiografi juga memberikan informasi tentang
parameter lain seperti ukuran ruang jantung, LVH eksentrik atau konsentris,
kelainan gerakan dinding regional (yang mungkin menunjukkan CAD yang
mendasarinya, sindrom Takotsubo, atau miokarditis), fungsi RV, hipertensi
pulmonal, fungsi katup, dan penanda fungsi diastolik. 25
38
Tabel 6. Diagnosis Banding.
3.1.10. Tatalaksana
Tujuan terapi untuk CHF adalah meningkatkan manajemen gejala dan
kualitas hidup, mengurangi durasi rawat inap, dan menurunkan mortalitas secara
keseluruhan yang terkait dengan penyakit ini. Terapi kombinasi utama yaitu
diuretik, penghambat sistem renin-angiotensin (seperti penghambat reseptor
neprilysin angiotensin (ARNI), penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE
inhibitor), atau penghambat reseptor angiotensin II (ARB)), dan beta- pemblokir.
Kombinasi hidralazin dan nitrat merupakan alternatif penghambat sistem
angiotensin untuk terapi primer jika terapi ACE inhibitor, ARNI, dan ARB
dikontraindikasikan. Kombinasi nitrat dan hidralazin juga diindikasikan untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien Afrika-Amerika dengan gejala
HFrEF, yang saat ini menerima terapi medis yang optimal. Terapi kombinasi ARB-
ARNI secara signifikan mengurangi kematian kardiovaskular dan rawat inap HF
bila dibandingkan dengan ACE inhibitor saja.26
Antagonis reseptor mineralokortikoid seperti spironolakton atau eplerenon
diindikasikan pada pasien dengan NYHA fungsional kelas II sampai IV dan LVEF
≥ 35%. Ini juga diindikasikan pada pasien dengan gejala gagal jantung setelah
infark miokard (MI) dan LVEF > 40%. Namun, pada pasien dengan MI baru-baru
ini dan EF rendah tanpa gejala gagal jantung, obat-obatan ini tidak menunjukkan
manfaat apapun.24
Ivabradine secara selektif menghambat arus lucu (I-f) di nodus sinoatrial.
Menurut AHA/ACC, ivabradine diindikasikan pada pasien dengan gejala gagal
jantung yang menetap dan EF kurang dari atau sama dengan 35% pada irama sinus.
Denyut jantung istirahat harus lebih besar dari 70 denyut/menit meskipun terapi
39
beta-blocker terarah.27
Vericiguat adalah agen yang merangsang reseptor intraseluler untuk NO
endogen, yang merupakan vasodilator kuat. Baru-baru ini disetujui oleh FDA pada
tahun 2021 untuk mengurangi risiko kematian dan rawat inap karena gagal jantung
pada orang dewasa yang dirawat dengan eksaserbasi gagal jantung yang memiliki
gejala gagal jantung kronis dan EF kurang dari 45%. 28
Digoxin dapat dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan irama sinus
meskipun terapi yang diarahkan pada tujuan yang memadai untuk mengurangi
tingkat semua penyebab rawat inap, tetapi perannya terbatas. Sebuah implantable
cardioverter-defibrillator (ICD) diindikasikan untuk pencegahan primer kematian
jantung mendadak pada pasien dengan gagal jantung yang memiliki LVEF kurang
dari atau sama dengan 35% dan kelas fungsional NYHA II sampai III sementara
pada terapi medis yang diarahkan pada tujuan. Hal ini juga diindikasikan jika pasien
memiliki NYHA fungsional kelas II dan EF kurang dari atau sama dengan 30%
pada terapi medis yang memadai.29
Terapi resinkronisasi jantung atau Cardiac resynchronization therapy(CRT)
dengan biventrikular pacing diindikasikan pada pasien dengan HFrEF dan kelas
fungsional NYHA II sampai IV dengan LVEF kurang dari atau sama dengan 35%
dan durasi QRS lebih dari 150 ms. Menurut European Society of Cardiology (ESC),
CRT tidak direkomendasikan pada pasien dengan durasi QRS kurang dari 130 ms
karena beberapa penelitian telah menunjukkan potensi bahaya. ESC
merekomendasikan CRT untuk pasien dengan morfologi non-left bundle branch
block (LBBB) yang memenuhi kriteria CRT; namun, pedoman ACC/AHA
membatasinya pada mereka yang memiliki morfologi LBBB pada EKG. Ada
perdebatan yang sedang berlangsung mengenai apakah morfologi QRS versus
durasi QRS harus menjadi penentu utama untuk pemilihan CRT.30
Pada pasien dengan gagal jantung refrakter, meskipun terapi farmakologis
dioptimalkan, terapi vasodilator intravena dan inotrop intravena telah
dipertimbangkan di masa lalu. Namun, menurut pedoman AHA/ACC 2013 dan
2017, ini harus dibatasi untuk menghilangkan gejala paliatif pada pasien dengan
penyakit stadium akhir yang tidak dapat disembuhkan dengan terapi medis standar.
Pada pasien dengan HFpEF, tidak ada terapi saat ini yang memiliki perbaikan
definitif dalam mortalitas atau rawat inap. Namun, manajemen medis dengan terapi
di atas diindikasikan.Pasien dengan gagal jantung progresif atau mereka dengan
40
gagal jantung refrakter akut dan berat dapat dipertimbangkan untuk transplantasi
jantung.31
Penting juga untuk mengatasi pemicu potensial eksaserbasi HF setelah
diagnosis HF dibuat. Obat yang harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung
termasuk obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), calcium channel blocker (CCB)
kecuali CCB vasoselektif, dan sebagian besar obat antiaritmia (kecuali yang kelas
III).32
3.1.11. Komplikasi
Komplikasi klinis gagal jantung meliputi penurunan kualitas hidup,
penurunan kapasitas fungsional, cdisfungsi ginjal (penyakit kardiorenal), dan
disfungsi hati (kongesti hepatik). Kejadian jantung yang merugikan terkait dengan
HF termasuk disfungsi katup dengan kardiomiopati dilatasi, MI, dan aritmia
ventrikel. Kematian jantung mendadak merupakan komplikasi potensial untuk
pasien dengan HFrEF dan memerlukan pencegahan primer dengan penempatan
ICD, seperti yang dibahas di atas. Komplikasi pengobatan gagal jantung meliputi
gagal ginjal, hipotensi, dan infeksi nosokomial berulang karena sering dirawat di
rumah sakit dan akses vena sentral.Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan
vena (thrombosis vena dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau
EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan
pemberian warfarin.Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa
menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut
jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin). Kegagalan pompa
progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan.Aritmia
ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-
50% kematian CHF).33
3.1.12. Prognosis
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pada bulan
Desember 2016, tingkat kematian terkait gagal jantung menurun dari 103,1
kematian per 100.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 89,5 pada tahun 2009
tetapi kemudian meningkat menjadi 96,9 pada tahun 2014. Mereka mencatat bahwa
Tren ini berkorelasi dengan pergeseran dari penyakit jantung koroner sebagai
penyebab utama kematian akibat gagal jantung ke penyakit metabolik dan
penyebab gagal jantung nonkardiak lainnya seperti obesitas, diabetes, keganasan,
41
penyakit paru kronis, dan penyakit ginjal. Angka kematian setelah rawat inap untuk
gagal jantung diperkirakan sekitar 10% pada 30 hari, 22% pada 1 tahun, dan 42%
pada 5 tahun. Ini dapat meningkat hingga lebih dari 50% untuk pasien dengan
NYHA kelas IV, gagal jantung stadium D.34
Skor Ottawa adalah alat yang berguna untuk penentuan prognosis pada pasien
dengan gagal jantung yang datang ke unit gawat darurat dengan gejala gagal
jantung. Ini menentukan risiko 14 hari kematian, masuk kembali ke rumah sakit,
dan sindrom koroner akut pada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan
gejala gagal jantung untuk membantu mencapai perencanaan disposisi yang aman.
Pasien dengan skor 0 dianggap berisiko rendah. Skor 1-2 dianggap berisiko sedang,
skor 3-4 dianggap berisiko tinggi, dan skor 5 atau lebih tinggi dianggap risiko
sangat tinggi. Kriteria penilaian adalah sebagai berikut:34
Satu poin untuk masing-masing hal berikut:
Riwayat stroke atau serangan iskemik transien
Saturasi oksigen kurang dari 90%
Detak jantung lebih dari 110 denyut per menit pada tes jalan kaki 3 menit
Perubahan EKG iskemik akut
Level NT-proBNP lebih besar dari 5000 ng/L
Dua poin untuk masing-masing berikut:
Riwayat ventilasi mekanis sebelumnya untuk gangguan pernapasan
Denyut jantung lebih dari 110 denyut/menit saat presentasi
Nitrogen urea darah (BUN) lebih besar dari 33,6 mg/dl (12 mmol/L)
Kadar bikarbonat serum lebih besar dari 35 mg/hari
42
3.2.2. Epidemiologi
Penyakit tiroid cukup sering dijumpai, lebih banyak pada populasi Wanita
dibandingan dengan pria dewasa. Prevalensi penyakit hipertiroidisme secara global
berkisar 1,3% lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki (5:1). Perbedaan
prevalensi ini diduga berkaitan dengan mekanisme autoimun yang mendasari
sebagian besar bentuk penyakit tiroid, termasuk penyakit Graves dan Hashimoto.2,4
Insiden diperkirakan 0,4 per 1000 wanita per tahun, 15% terjadi pada usia
diatas 60 tahun dan 70% disebabkan oleh penyakit Graves yang berakibat
meningkatnya angka kematian dan angka kesakitan kardiovaskuler. Insiden
meningkat pada perempuan berusia lebih tua.1,2,4
3.2.3. Etiologi
Penyakit jantung tiroid dapat disebabkan oleh berbagai keadaan gangguan
fungsi tiroid, baik hipertiroid maupun hipotiroid yang sudah berlangsung cukup
lama, sehingga menyebabkan perubahan menetap terhadap struktur dan atau fungsi
jantung. Selain itu, data menunjukkan bahwa risiko kardiovaskular juga dapat
meningkat pada pasien dengan tirotoksikosis subklinis atau hipotiroidisme
subklinis.1,2
43
3.2.4. Patofisiologi
Hormon tiroid mempunyai banyak efek pada proses metabolik di semua
jaringan, terutama di jantung yang paling sensitif terhadap perubahannya.
Gangguan fungsi kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatik terhadap
sistem kardiovaskular, sering kali menyerupai penyakit jantung primer. 1,3
3.2.4.1. Mekanisme Seluler Aksi Hormon Tiroid
mengatur ekspresi dari gen-gen yang responsif terhadap hormon tiroid, dengan kata
lain bahwa perubahan fungsi jantung dimediasi oleh regulasi T3 gen spesifik
jantung.1,3
Mekanisme secara pasti belum diketahui, hormon tiroid meningkatkan
metabolisme tubuh total dan mempengaruhi produksi panas tubuh sehingga terjadi
peningkatan termogenesis jaringan. HT mempengaruhi konsumsi oksigen sehingga
menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik melalui efek langsungnya
pada sel otot polos pembuluh darah sehingga menurunkan tahanan arteriol perifer
dan tekanan arteri rerata. Hal ini menyebabkan pengisian volume efektif arteri
menurun dan akan direspon oleh ginjal dengan mengaktifkan sistem renin
angiotensin-aldosteron sehingga meningkatkan reabsorpsi natrium dan terjadi
peningkatan volume darah serta peningkatan inotropik dan kronotropik kardiak
44
yang meningkatkan kardiak output (Gambar 1).1,3
Sedangkan pada kondisi hipotiroid, kadar hormon tiroid yang rendah akan
mempengaruhi otot jantung melalui efeknya terhadap pengaturan pengambilan
kalsium dan ekspresi protein yang berperan dalam kontraksi jantung. Hal tersebut
menyebabkan laju jantung yang lambat (bradikardia) serta kontraksi dan relaksasi
jantung yang lemah. Selain perubahan hemodinamik, kondisi hipotiroid juga
45
berhubungan dengan perubahan kadar lipid atau lemak darah, di mana terjadi
peningkatan kadar kolesterol total dan kadar kolesterol LDL Sehingga hipotiroid
akan meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. 1,3
Gejala pada penyakit jantung tiroid terdiri dari gejala klasik dari hipertiroid
atau hipotiroid dan juga gejala-gejala pada jantung yang muncul akibat kelainan
hormon tiroid tersebut.
46
Gambar 6. Manifestasi Klinis Hipertiroid.
47
Fibrilasi atrial terjadi pada 33-47% pasien di atas usia 60 tahun. Resistensi
vaskular menurun dengan vasodilatasi perifer; efeknya adalah peningkatan cardiac
output (CO) yang nyata, yang menghasilkan peningkatan konsumsi oksigen. Edema
perifer adalah gejala gagal jantung yang paling umum pada penyakit Graves,
meskipun dispnea saat aktivitas juga dapat menonjol. Temuan fisik biasanya
termasuk prekordium hiperdinamik, suara jantung yang menonjol, dan murmur
sistolik yang dapat terdengar di atas prekordium karena peningkatan aliran yang
melintasi katup aorta.8
Pada pasien dengan hipertiroid akibat Toxic Adenoma dan Toxic Multinodular
Goiter, biasanya memiliki gejala kardiovaskular yang menonjol, dan lebih sering
dirujuk ke kardiologis sebelum ke endokironolis. Pasien-pasien ini mengeluh sesak
nafas, takikardia, dan sering dengan fibralasi atrial. Pada pasien Toxic Adenoma dan
Toxic Multinodular Goiter jarang terjadi oftalmopati, dan karena kecepatan
metabolisme basalnya tidak meningkat sebesar pasien dengan penyakit Grave,
pasien biasanya tidak tampak gugup dan bersemangat, pasien juga tidak
menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan dan jarang juga terjadi muscle
wasting.6
48
berat badan meningkat, suara serak dan rambut kasar.1 Gejala Klinis hipertiroid
dapat dilihat pada gambar 6.
49
Gambar 9. Manifestasi Kardiovaskular Hipotiroid.
3.2.6. Diagnosis
Kelelahan +2 Eksoftalmus +2 -
50
Suka udara dingin +5 Kelopak mata +1 -
tertinggal (lid lag)
Setelah dilakukan penentuan gangguan fungsi tiroid, perlu dicari adanya bukti
kelainan struktural atau fungsional pada jantung yang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan foto ronsen toraks, EKG, dan ekokardiografi. Pada pasien dengan hipertiroid
51
dapat ditemukan pembesaran jantung dan arteri pulmonal yang prominen, dan pada EKG
dapat ditemukan fibrilasi arteri seperti pada gambar 5. Sedangkan pada pasien dengan
hipotiroid dapat ditemukan bayangan jantung yang tampak besar pada rontgen thorax
akibat efusi perikardium, dan low-voltage serta depresi segmen ST pada gambaran EKG
seperti pada gambar 7.8
3.2.7. Tatalaksana
52
tiroid yang sudah terbentuk. Propiltiourasil mempunyai keunggulan mencegah konversi
T4 menjadi T3 di perifer. Dosis awal PTU yang digunakan ialah 300-600 mg/hari dengan
dosis mak-simal 1200-2000 mg/hari atau metimazol 30-60 mg sehari. Perbaikan gejala
hiper-tiroidisme biasanya terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai dalam
6-8 minggu.11
3.2.8. Komplikasi
3.2.9. Prognosis
53
3.3. Hipertensi
3.3.1. Definisi
Hipertensi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan hemodinamik sistem kardiovaskular dengan patofisiologi yang
multifaktorial, tidak dapat dijelaskan dengan satu mekanisme tunggal saja. Secara
sederhana, hipertensi merupakan interaksi antara cardiac output (CO) dan total
resisten perifer. Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia
yang sering dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas dan morbiditas terhadap
penyakit kardiovaskular lainnya.23
Semua definisi hipertensi adalah kesepakatan berdasarkan bukti klini atau
berdasarkan konsensus dan epidemiologi studi meta analisis. Hipertensi dapat
ditegakkan apabila tekanan darah persisten di atas atau sama dengan 140/90 mmHg
karena peningkatan tekanan darah bisa saja bersifat transient atau hanya
peningkatan diurnal dari tekanan darah yang normal sesuai siklus sirkardian.
Terdapat beberapa istilah dalam hipertensi yaitu sebagai berikut.
a. Hipertensi sistolik terisolasi
Tekanan darah yang meningkat hanya sistolik saja.
b. Hipertensi diastolik terisolasi
Tekanan darah yang meningkat hanya diastolik saja.
c. Hipertensi jas putih (white coat hypertension)
Tekanan darah yang meningkat hanya saat diperiksa di tempat praktik,
sedangkan tekanan darah yang diukur sendiri selalu terukur normal
d. Hipertensi persisten
Tekanan darah yang meningkat baik diukur di klinik maupun di luar klinik,
termasuk di rumah, dan juga selama menjalankan aktivitas harian yang biasa
dilakukan.23
3.3.2. Epidemiologi
Hipertensi dapat dijumpai pada semua populasi dengan angka kejadian yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor genetik, ras, dan sosial
budaya yang berkaitan dengan gaya hidup yang berbeda-beda. Sekitar 26% kasus
hipertensi dijumpai di usia muda (≤50 tahun), terutama pada laki-laki (63%) dan
umumnya lebih seing dijumpai hipertensi diastolik dibandingkan hipertensi
sistolik. Sedangkan, 74% kasusnya dijumpai pada populasi tua (>50 tahun),
terutama pada wanita (58%) dan hipertensi sistolik lebih banyak ditemukan
54
dibanding hipertensi diastolik.5
Hipertensi bertanggung jawab atas 60% kasus kematian di dunia. Seiring
bertambahnya usia, terjadi peningkatan angka kejadian hipertensi. Pada usia >60
tahun, prevalensi ditemukan sebesar 65,4%. Obesitas dan sindroma metabolik
merupakan faktor risiko independen kejadian hipertensi. Seseorang dengan riwayat
keluarga dengan hipertensi memiliki risiko empat kali lebih tinggi untuk mengalami
hipertensi sebelum usia 55 tahun jika dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi. Setelah usia 55 tahun, 90% orang
akan mengalami hipertensi.2 Berdasarkan data Riskesdas 2018,
prevalensi hipertensi pada penduduk berusia >18 tahun berdasarkan pengukuran
secara nasional sebesar 34,11%. Peningkatan prevalensi hipertensi juga terjadi di
hampir seluruh provinsi di Indonesia.35
3.3.3. Etiologi
Hipertensi terbagi atas hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer
ditegakkan apabila penyebabnya tidak diketahui (90%). Sedangkan hipertensi
sekunder dapat ditegakkan apabila ditemukan penyebabnya. Penyebab hipertensi
sekunder antara lain sebagai berikut.
a. Penyakit, meliputi penyakit ginjal kronik, sindroma Cushing, koarktasi aorta,
obstructive sleep apneu, penyakit paratiroid, feokromositoma, aldosteronisme
primer, penyakit renovaskular, penyakit tiroid.
b. Obat-obatan, meliputi:
Prednison, fludrokortison, triamnisolon.
Amfetamin/anorektik: phendimetrazine, phentermine, sibutramine
Antivascular endothelin growth factor agents
Estrogen: kontrasepsi oral
Inhibitor kalsineurin: siklosporin, takrolimus
Dekongestan: fenilpropanolamine dan analog erythropoiesis stimulating
agents: erythropoietin, darbepoietin.
NSAID, inhibitor COX-2, venlafaxine, bupropion, bromokriptin,
buspirone, karbamazepin, klozapin, ketamin, metoklopramid.
c. Makanan: natrium, etanol, licorice.
d. Obat-obatan lainnya yang mengandung bahan: kokain, epedhra alkloid, ekstasi
herbal, analog fenilpropanolamin, nicotine withdrawal, steroid anabolik,
55
narcotic withdrawal, metilfenidat, fenisiklidin, ketamin, dan obat herbal yang
mengandung ergot.23,29
Adapun faktor risiko yang dapat memengaruhi kejadian hipertensi adalah sebagai
berikut.
a. Predisposisi genetik
b. Predisposisi lingkungan
Kegemukan (overweight) dan obesitas
Studi epidemiologis, termasuk Studi Jantung Framingham dan Studi
Kesehatan Perawat secara konsisten mengidentifikasi hubungan langsung antara
indeks massa tubuh dan tekanan darah yang berkelanjutan dan hampir linier, tanpa
bukti ambang batas. Hubungan dengan BP bahkan lebih kuat pada rasio pinggang-
pinggul dan pengukuran tomografi terkomputasi dari distribusi lemak sentral.
Perkiraan risiko yang dapat diatribusikan dari Studi Kesehatan Perawat
menunjukkan bahwa obesitas mungkin bertanggung jawab atas sekitar 40%
hipertensi, dan dalam Framingham Offspring Study, perkiraan yang sesuai bahkan
lebih tinggi (78% pada pria dan 65% pada wanita). Hubungan antara obesitas di
usia muda dan perubahan status obesitas dari waktu ke waktu sangat terkait dengan
risiko hipertensi di masa depan. Dalam data gabungan dari empat studi longitudinal
yang dimulai pada masa remaja dengan pemeriksaan ulang pada masa dewasa muda
hingga usia paruh baya awal, obesitas dikaitkan dengan risiko relatif 2, untuk
terjadinya hipertensi. Menurunkan berat badan hingga mencapai berat badan
normal mengurangi risiko terkena hipertensi ke tingkat yang mirip dengan orang-
orang yang tidak pernah mengalami obesitas.
Aktivitas fisik
Studi epidemiologis telah menunjukkan hubungan terbalik antara aktivitas
fisik dan kebugaran fisik dan tingkat tekanan darah dan hipertensi. Bahkan tingkat
aktivitas fisik yang sederhana telah dikaitkan dengan penurunan risiko kejadian
hipertensi. Kebugaran fisik, yang diukur secara objektif dengan tes latihan bertahap,
melemahkan peningkatan tekanan darah seiring bertambahnya usia dan mencegah
perkembangan hipertensi. Dalam studi CARDIA, kebugaran fisik yang diukur pada
usia 18 hingga 30 tahun di 2 desil teratas dari populasi yang dinyatakan sehat
dikaitkan dengan sepertiga risiko pengembangan hipertensi 15 tahun kemudian, dan
setengah risiko setelah penyesuaian untuk indeks massa tubuh, dibandingkan
dengan kuintil terendah. Perubahan kebugaran dinilai 7 tahun kemudian risiko
56
dimodifikasi lebih lanjut. Dalam suatu penelitian kohort pria berusia 20 hingga 90
tahun yang diikuti secara longitudinal selama 3 hingga 28 tahun, kebugaran fisik
yang lebih tinggi menurunkan tingkat kenaikan SBP dari waktu ke waktu dan
menunda waktu untuk timbulnya hipertensi.
Konsumsi alkohol
Perkiraan kontribusi konsumsi alkohol terhadap insidensi dan prevalensi
hipertensi di populasi bervariasi menurut tingkat asupan. Di Amerika Serikat,
tampaknya alkohol dapat menyumbang hampir 10% dari populasi dengan
hipertensi (lebih tinggi pada pria daripada wanita). Selain itu, asupan alkohol
dikaitkan dengan tingkat kolesterol lipoprotein densitas tinggi yang lebih tinggi dan
dalam kisaran asupan yang sederhana, tingkat PJK yang lebih rendah daripada
dijumpai orang-orang yan tidak mengonsumsi alkohol.29
3.3.4. Patofisiologi
Cardiac output dan resistensi perifer merupakan dua penentu utama tekanan
darah arterial. Cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan denyut jantung.
Stroke volume berkaitan dengan kontraktilitas miokardium dan ukuran
kompartemen vaskular. Resistensi perifer dipengaruhi oleh perubahan anatomi dan
fungsi arteri kecil (diameter lumen 100–400 µm) dan arteriole.5
58
Gambar 13. Mekanisme Neural.
59
c. Mekanisme vaskular, meliputi disfungsi endotel, radikal bebas, dan remodelling
pembuluh darah.
Diameter vaskular dan compliance arteri resisten (pembuluh darah dengan
lumen <400 μm ketika istirahat) juga merupakan penentu penting dari tekanan
arteri. Pada pasien hipertensi, perubahan struktural, mekanik, atau fungsional
dapat mengurangi diameter lumen arteri kecil dan arteriol. Remodelling
mengacu pada perubahan geometris di dinding pembuluh darah tanpa mengubah
volume pembuluh darah. Hipertrofik (peningkatan jumlah sel, peningkatan
ukuran sel, dan peningkatan deposisi matriks antar sel) atau eutrofik (tidak ada
perubahan jumlah bahan di dinding pembuluh) remodeling vaskular
menghasilkan penurunan ukuran lumen dan karenanya berkontribusi pada
peningkatan resistensi perifer. Apoptosis, inflamasi tingkat rendah, dan fibrosis
vaskular juga berkontribusi terhadap remodelling. Diameter lumen juga
berhubungan dengan elastisitas pembuluh darah. Pembuluh dengan derajat
elastisitas yang tinggi dapat mengakomodasi peningkatan volume dengan
perubahan tekanan yang relatif kecil, sedangkan pada sistem vaskular semi-
kaku, peningkatan volume yang kecil menyebabkan peningkatan tekanan yang
relatif besar. 23
Disfungsi endotel merupakan sindroma klinis yang dapat secara langsung
berhubungan dengan dan dapat memprediksi peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular. Progresivitas hipertensi dimulai dengan faktor risiko yang tidak
dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin meningkat, vaskular
berubah, dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan
kejadian kardiovaskular. Penebalan pembuluh darah terjadi karena adanya
kerusakan berupa lesi vaskular dan remodelling, antara lain akibat inflamasi,
vasokonstriksi, trombosis, ruptur plak/erosi. Fungsi endotel vaskular juga
memodulasi tonus vaskular mensintesis dan melepaskan spektrum zat vasoaktif,
termasuk oksida nitrat, vasodilator kuat. Vasodilatasi yang bergantung pada
endotel terganggu pada pasien hipertensi. Selain itu, pasien hipertensi memiliki
arteri yang lebih kaku, dan pasien arteriosklerotik mungkin memiliki tekanan
darah sistolik yang sangat tinggi dan tekanan nadi yang lebar sebagai akibat dari
penurunan komplians pembuluh darah karena perubahan struktural pada dinding
pembuluh darah. Bukti terbaru menunjukkan bahwa kekakuan arteri memiliki
nilai prediksi independen untuk kejadian kardiovaskular. 23
60
Gambar 15. Mekanisme Vaskular.
61
Gambar 16. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron.
62
Gambar 18. Mekanisme Neurohormonal.
3.3.5. Klasifikasi
Berdasarkan JNC 7, hipertensi dibagi menjadi empat sesuai dengan tinggi tekanan
sistolik dan diastoliknya yaitu sebagai berikut.
Tabel 8. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan JNC 7.
63
2. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-
obatan analgesik dan obat/bahan lain.
3. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, dan palpitasi
(feokromositoma)
4. Episode lemah otot dan tetani (aldoteronisme).
Faktor-faktor risiko
1. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien dan keluarga.
2. Riwayat hiperlipidemia pada pasien dan keluarga
3. Riwayat DM pada pasien dan keluarga
4. Kebiasaan merokok
5. Pola makan
6. Kegemukan, intensitas olahraga
7. Gejala kerusakan organ
8. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
b. Pemeriksaan fisik, yaitu pengukuran tekanan darah dengan sfigmomanometer.
c. Pemeriksaan penunjang, meliputi tes darah rutin, glukosa darah puasa, kolesterol
total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa), asam
urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit,
urinalisis, dan elektrokardigram.23
3.3.7. Tatalaksana
a. Nonfarmakologi
Gaya hidup sehat sangat penting dalam pencegahan tekanan darah tinggi
dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam tata laksana pasien dengan
hipertensi. Penurunan berat badan setidaknya 4,5 kg per bulan dapat
menurunkan tekanan darah dan/atau mencegah hipertensi. Rencana makan
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang kaya akan buah, sayur,
dan produk susu rendah lemak dengan konten kolesterol, lemak tersaturasi, dan
lemak total yang rendah. Rencana makan ini kaya akan kalium dan kalsium.
Natrium diet harus diturunkan tidak lebih dari 2000 mg natrium per hari.
Aktivitas fisik aerobik regular setidaknya 30 menit dalam sehari, 3-5 kali dalam
seminggu dapat menurunkan risiko terjadinya hipertensi. Sebaiknya konsumsi
alkohol dihindari untuk menurunkan risiko hipertensi.
64
Tabel 9. Tata Laksana Nonfarmakologi Hipertensi.
b. Farmakologi
Pada semua pasien dengan peningkatan tekanan darah, perubahan gaya
hidup menjadi lebih sehat merupakan tata laksana wajib. Menurut JNC 7,
apabila dengan perubahan gaya hidup tekanan darah belum mencapai tekanan
darah target (<140/90 mmHg atau <130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes
atau penyakit ginjal kronik) dan tidak ada indikasi yang berarti dapat diberikan
pengobatan sesuai dengan derajat hipertensi. Pada hipertensi derajat 1, diuretik
tiazid dapat diberikan pada sebagian besar kasus. Penggunaan ACE-I, ARB, BB,
dan CCB dapat dipertimbangkan atau dapat diberikan dalam bentuk kombinasi.
Sedangkan hipertensi derajat 2, kombinasi dua obat dipakai untuk sebagian besar
kasus (biasanya diuretik tipe tiazid dan ACE-I, atau ARB, atau BB, atau
CCB).23,36
65
Gambar 19. Tata Laksana Farmakologi.
Kombinasi 2 obat lini pertama dapat dipertimbangkan sebagai terapi awal jika
tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg di atas
target. Pada pasien usia 60 tahun, penggunaan β-blocker tidak diindikasikan.23
3.3.8. Komplikasi
Pada jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pada kisaran target
normotensi, kerusakan organ-organ terkait dapat terjadi. Komplikasi hipertensi
berdasarkan target organ, antara lain sebagai berikut.
a. Serebrovaskular: stroke, transient ischemic attack, demensia vaskular.
66
b. Mata: retinopati hipertensif
c. Kardiovaskular: penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner.
d. Ginjal: nefropati hipertensif
e. Arteri perifer: klaudikasio intermiten 23
3.3.9. Prognosis
Hipertensi adalah penyakit yang akan berlangsung seumur hidup sampai pasien
meninggal akibat keruskan target organ. Sejak tekanan darah 115/75 mmHg, setiap
kenaikan sistolik/diastolik 20/10 mmHg risiko morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular akan meningkat dua kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati
meningkatkan 35% semua kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25%
kematian penyakit jantung koroner, 50% kematian penyakit jantung kongestif, 25%
semua kematian prematur (mati muda), serta menjadi penyebab tersering untuk
terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab gagal ginjal terminal.23
Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti penurunan
insiden stroke 35%-40%; infark miokard 20%-25%; dan >50% gagal jantung.
Diperkirakan penderita dengan hipertensi stadium 1 (TDS 140-159 mmHg dan/atau
TDD 90-99 mmHg) dengan faktor risiko kardiovaskular tambahn, bila berhasil
mencapai penurunan TDS sebesar 12 mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun,
maka akan mencegah satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati. 23
3.4 Anemia
3.4.1. Definisi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun
dilapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropic. Prevalensi meningkat
dengan bertambahnya usia dan lebih sering terjadi pada wanita usia reproduksi, wanita
hamil, dan orang tua. Pada lanjut usia, kuranglebih sepertiga pasien mengalami defisiensi
nutrisi sebagai penyebab anemia, seperti defisiensi zat besi, folat, dan vitamin B12. Pada
sepertiga pasien lainnya, ada bukti gagal ginjal atau peradangan kronis.37,38 Untuk
Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989
sebagai berikut:37
b) Anemia sideroblastik
a) Anemia aplastic
b) Anemia mieloptisik
d) Anemia diseritropoietik
c. Anemia hemolitik
c) Lain-lain
69
klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1) Anemia hipokromik
mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg; 2) Anemia normokromik
normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3) Anemia makrositer, bila
MCV >95 fl.37,39
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong
dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:12
2. Thalassemia major
4. Anemia sideroblastik
2. Anemia aplastik
c. Anemia makrositer
70
3.4.4. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Gejala ini disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <7 g/dl). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga berdenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia
bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia
dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat
(Hb <7 g/dl).
b. Gejala khas masing-masing anemia
71
1. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis,dan kuku sendok (koilonychia)
2. Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologic pada
defisiensivitamin B12
3. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan
warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala
penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena artritis rheumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis
dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk
mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia
memerlukan pemeriksaan laboratorium.
72
3.4.5. Diagnosis
73
Pada anak-anak tampaknya thalassemia lebih memerlukan
perhatian dibandingkan dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedanglan
di Bali, mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan salah satu
anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjumpai anemia di suatu daerah,
maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi
perhatian kita pertama-tama. Dengan penggabungan bersama gejala klinis
dan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis
selanjutnya akan lebih terarah.37
c. Pendekatan klinis
2) Anemia aplastic
3) Thalassemia Trait
75
Gambar 23. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer37
76
Gambar 25. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer37
3.4.6. Tatalaksana
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien
anemia adalah:
1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu;37
2) Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan;37
77
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
78
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien Ny, NY, Perempuan 54 tahun datang dengan keluhan sesak napas
yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Sejak ± 1 bulan SMRS pasien
mengeluh jantung berdebar semakin kencang. Jantung berdebar dirasakan saat
beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Pasien mengatakan sering berkeringat
berlebihan, suka udara dingin, dan sering gelisah merasa tidak nyaman sehingga
pasien sulit tidur. Pasien juga mengeluhkan sering mengalami rambut rontok
sebanyak genggaman tangan pasien (pasien sering menggunakan sarung tangan
ukuran M). Pasien juga merasakan sesak napas ketika beraktivitas. Sesak napas
hilang ketika beristirahat, dan tidak dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dan emosi.
Bengkak pada kaki dan tangan tidak ada. Leher semakin membesar tidak ada.
Pasien mengatakan badan terasa lemas. Pusing sempoyongan tidak ada. Pandangan
mata berkunang-kunang tidak ada. Telinga berdenging tidak ada. Nyeri dada tidak
ada, demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Berdasarkan hasil anamnesis tersebut kemungkinan pasien mengalami
peningkatan hormon tiroid (hipertiroid). Hal ini juga didukung dengan perhitungan
Index Wayne pada pasien didapatkan hasil sebagai berikut :
Indeks Wayne Formatted Table
79
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
Kelopak mata tertinggal gerak bola
4 +1 -
mata
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur - -3
10 < 80x per menit - -
80 – 90x per menit +3 -
> 90x per menit +4 -
Berdasarkan Index Wayne, kalkulasi skor pada pasien didapatkan skor 21.
Interpretasi yang didapat pada skor >19 menunjukkan pada pasien ini dapat
dipastikan mengalami hipertiroid dengan gejala klinis yang khas.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluh, pasien mengatakan mulai mengalami
sesak nafas. Sesak nafas dirasakan terus menerus, tidak mereda dengan istirahat dan
sesak tidak dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dan emosi. Sesak disertai nyeri dada,
nyeri terasa seperti tertimpa benda berat, dan menjalar hingga ke lengan kanan.
Nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri mereda jika pasien mengubah posisi menjadi
duduk. Keluhan jantung berdebar kencang masih dirasakan. Pasien mengeluh
keringat berlebihan, suka udara dingin dan mengaku nafsu makan menurun serta
mengalami penurunan berat badan sebanyak 10 kg selama 2 bulan terakhir. Pasien
mengatakan badan terasa lemas. Pusing sempoyongan tidak ada. Pandangan mata
berkunang-kunang tidak ada. Telinga berdenging tidak ada. Nyeri dada tidak ada,
80
demam tidak ada, mual ada namun muntah tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pasien kemudian datang ke IGD RSMH Palembang untuk meminta
pertolongan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/100 mmHg, nadi
112x/menit, dari keadaan spesifik didapatkan rambut rontok, konjungtiva palpebral
pucat, eksoftalmus ada, retraksi kelopak mata tidak ada, lid lag tidak ada,
peningkatan tekanan vena jugularis (5+3) cmH20, distensi vena jugularis,
pembesaran kelenjar tiroid bilateral berupa nodul, bruit (+). Pada jantung iktus
kordis terlihat dan teraba di ICS VI linea axillaris anterior sinistra. Pada inspeksi,
palpasi, dan auskultasi abdomen terdapat palpitasi di regio umbilikal, hiperkinesis
tidak ada. Serta ditemukan tremor pada ekstermitas atas.
Pada pasien ini juga didapatkan tanda-tanda keterlibatan kardiovaskular
dengan adanya palpitasi, intoleransi latihan, heat intolerance, berat badan menurun.
Dari keluhan pasien menunjukkan bahwa adanya gangguan kardiovaskular akibat
gangguan fungsi kelenjar tiroid. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh
total, kalorigenesis, dan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik, yang mirip
dengan efek stimulasi adrenergik (takikardia, peningkatan kardiak output) sehingga
menimbulkan gejala dan tanda seperti keluhan pada pasien.
Keluhan yang diutarakan pasien juga mendukung ke tanda-tanda gagal
jantung. Untuk menyakinkan diagnosis, dilakukan penilaian kriteria diagnostik
framingham. Kriteria framingham pada pasien sudah terpenuhi dengan adanya 2
kriteria mayor, yaitu adanya distensi vena jugularis dan peningkatan tekanan vena
jugularis. Sehingga klinis pasien sudah dapat didiagnosis sebagai gagal jantung
berdasarkan kriteria diagnostik framingham.
Pada pemeriksaan leher ditemukan peningkatan JVP. Peningkatan JVP ini
dapat disebabkan karena peningkatan tekanan pada atrium kanan. Peningkatan
tekanan pada atrium kanan dapat disebabkan karena adanya peningkatan tekanan
arteri pulmonalis akibat kongesti pada paru sehingga ventrikel kanan sulit
memompakan darah ke arteri pulmonalis. Lama-kelamaan tekanan pada ventrikel
kanan akan meningkat sehingga tekanan pada atrium kanan juga ikut meningkat.
Batas jantung yang abnormal menunjukkan adanya kardiomegali yang timbul
sebagai kompensasi terhadap respon kelebihan beban volume yang menyebabkan
81
peningkatan regangan dinding berkelanjutan lalu merangsang perkembangan
hipertrofi miokard dan perubahan matriks ekstraseluler.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya anemia hipokrom
mikrositer, diperlukan pemeriksaan profil besi untuk menentukan kemungkinan
anemia pada pasien ini. Pada pemeriksaan hati didapatkan SGOT dan SGPT
meningkat. Pemeriksaan ginjal didapatkan Kreatinin meningkat. Pada pasien gagal
jantung dapat dipengaruhi oleh ketidaksesuaian diet pada pasien seperti kurangnya
asupan cairan atau diet tinggi protein. Pada pemeriksaan rontgen thorax PA,
didapatkan kesan gambaran kardiomegali. Pada penilaian EKG juga didapatkan
kesan asinus takikardi dengan left atrium enlargment. Dimana kedua temuan ini
dapat mendukung diagnostik gagal jantung pada pasien.
Prognosis penyakit jantung tiroid ditentukan oleh berat-ringannya gangguan
struktur dan atau fungsi jantung yang ada. Prognosis quo ad vitam pada pasien dubia
ad bonam karena keluhan sudah mengalami perbaikan. Pada pasien ini tidak
dapatkan gangguan fungsional jantung namun didapatkan adanya kardiomegali,
sehingga prognosis functionam pada pasien dubia ad malam. Pada pasien prognosis
quo ad santionam dubia ad malam, dikarenakan penyakit hipertiroid tergantung
pada kepatuhan pasien mengonsumsi obat.
82
DAFTAR PUSTAKA
1. Sundaru H, Sukamto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.; 2014.
2. Liwang F, W P, Yuswar, Wijaya E, P. Sanjaya N. Kapita Selekta Kedokteran.5th
ed. Media Aesculapius; 2020.
3. Cookson MD, Stirk PMR. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam; 2019.
4. Cappola AR, Desai AS, Medici M, et al. Thyroid and Cardiovascular Disease:
Research Agenda for Enhancing Knowledge, Prevention, and Treatment. Am Hear
Assoc Journals. 2019.
5. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrisons Manual
of Medicine. 18. arg. McGraw-Hill Professional; 2012. 2709–2711
6. Young W. The Netter Colection of Medical Illustrations: Endocrine System. 2nd
arg. Philadelphia: Elsevier Inc; 2011. 35–51 or.
7. Dhali TK, Chahar M. Thyroid dermopathy — a diagnostic clue of hidden
hyperthyroidism. Dermatoendocrinol. 2014(e)ko ;(December):1–5.
8. Runge MS, Stouffer GA, Patterson CAM. Netter’s Cardiology. 2nd arg.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. 515–519.
9. British Columbia Ministry of Health. Thyroid Function Testing in the Diagnosis
and Monitoring of Thyroid Function Disorder. BC Guidel. 2018(e)ko ;1–12.
10. The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases.
Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. J ASEAN Fed
Endocr Soc. 2012(e)ko ;27(1):34–9.
11. Wantania FE. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Tiroid. J Biomedik. 2014(e)ko
;6(1):14–22.
12. Jameson, J Larry; Kasper, Dennis L; Longo, Dan L; Fauci, Anthony S; Hauser,
Stephen L; Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed.
McGraw-Hill Education; 2018.
13. Malik, Ahmad; Brito, Daniel; Vaqar Sarosh; Chhabra L. Congestive Heart Failure.
NCBI. Published online 2021.
14. Kemenkes RI. Situasi kesehatan jantung. Pus data dan Inf Kementeri Kesehat RI.
Published online 2014:3. doi:10.1017/CBO9781107415324.004
83
15. Gheorghiade M, Sopko G, Luca L De, et al. Contemporary Reviews in
Cardiovascular Medicine Navigating the Crossroads of Coronary Artery Disease
and Heart Failure CAD and HF : Epidemiology and Prognosis. Published online
2006:1202-1213. doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.106.623199
16. Al-nozha MM, Ismail HM, Nozha OM Al. Coronary artery disease and diabetes
mellitus. J Taibah Univ Med Sci. 2016;11(4):330-338.
doi:10.1016/j.jtumed.2016.03.005
17. Schultheiss H, Fairweather D, Caforio ALP, et al. Dilated cardiomyopathy. Nat Rev
Dis Prim. Published online 1984. doi:10.1038/s41572-019-0084-1
18. Schwinger RHG. Pathophysiology of heart failure. 2021;11(1):263-276.
doi:10.21037/cdt-20-302
19. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. In: Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I. Interna
Publishing; 2014:1128-1160.
20. Mann, Douglas L; Chakinala M. Pathophysiology and Diagnosis. In: Harrisons
Principles of Internal Medicine. 20th ed. McGraw-Hill Education; 2019:1763-
1779.
21. Kurmani S, Squire I. Acute Heart Failure : Definition , Classification and
Epidemiology. Published online 2017:385-392. doi:10.1007/s11897-017-0351-y
22. Malik, Ahmad; Brito, Daniel; Vaqar, Sarosh; Chhabra L. Congestive Heart Failure.
StatPearls. Published 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430873/
23. Setiati, Siti; Alwi, Idrus; Sudoyo, Aru W; K, Marcellus Simadibrata; Setiyohadi,
Bambang; Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Interna Publishing;
2014.
24. Motreff P, Cornillet L, Collet J, Furber A. Early Aldosterone Blockade in Acute
Myocardial Infarction. 2016;67(16). doi:10.1016/j.jacc.2016.02.033
25. Force, Mcdonagh TA, United C, et al. 2021 ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure Developed by the Task Force for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the European Society
of Cardiology (ESC). Published online 2021:3599-3726.
doi:10.1093/eurheartj/ehab368
26. Bhatt AS, Vaduganathan M, Claggett BL, et al. Effect of sacubitril / valsartan vs .
enalapril on changes in heart failure therapies over time : the PARADIGM-HF trial.
84
:2-8. doi:10.1002/ejhf.2259
27. The LTO. Comment on : Efficacy of early initiation of ivabradine treatment in
patients with acute heart failure : Rationale and design of SHIFT-AHF trial.
2021;(February):1725-1726. doi:10.1002/ehf2.13258
28. Ezekowitz JA, Zheng Y, Cohen-solal A, Ponikowski P, Voors AA, Westerhout CM.
Hemoglobin and Clinical Outcomes in the Vericiguat Global Study in Patients With
Heart Failure and Reduced Ejection Fraction. Published online 2021:1489-1499.
doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.121.056797
29. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults a Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Vol 71.; 2018.
doi:10.1161/HYP.0000000000000065
30. Journal J, Moc CME. JACC GUIDELINE COMPARISON on Heart Failure.
2019;73(21). doi:10.1016/j.jacc.2019.03.478
31. Mihaela A, Hodorogea AS. Treatment of Heart Failure with Preserved Ejection
Fraction. Published online 2018. doi:10.1007/5584
32. Transplantation L, Yancy CW, Jessup M, et al. 2017 ACC / AHA / HFSA Focused
Update of the 2013 ACCF / AHA Guideline for the Management of Heart Failure.
2017;70(6). doi:10.1016/j.jacc.2017.04.02525.
33. Habal, Marlena V; Garan AR. Long-term management of end-stage heart failure.
Best Pr Res Clin Anaesthesiol. 2017;31(2):153-166.
doi:10.1016/j.bpa.2017.07.003.LONG-TERM
34. Rider I, Sorensen M, Brady WJ, et al. American Journal of Emergency Medicine
Disposition of acute decompensated heart failure from the emergency department :
An evidence-based review. Am J Emerg Med. 2021;50:459-465.
doi:10.1016/j.ajem.2021.08.070
85