Anda di halaman 1dari 85

Laporan Kasus

CONGESTIVE HEART FAILURE ET CAUSA TIROID HEART


DISEASE + HIPERTENSI STAGE 1 + ANEMIA HIPOKROM
MIKROSITER

Oleh:
Aldi Alfian, S. Ked 04084822124106
Annisa Hasyrahim Redha, S. Ked 04084822225114
Silvia Catherine, S. Ked 04084822225187

Pembimbing:
dr. Yulianto Kusnadi, Sp. PD, K-EMD, FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD
HOESIN PALEMBANG
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Congestive Heart Failure et causa Tiroid Heart Disease +
Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer

Oleh :

Aldi Alfian, S. Ked 04084822124106


Annisa Hasyrahim Redha, S.Ked 04084822225114
Silvia Catherine, S. Ked
04084822225187

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang periode
23 Mei – 13 Agustus 2022.

Palembang, 5 Juli 2022

dr. Yulianto Kusnadi, Sp. PD, K-EMD, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karenaberkah dan
rahmat-Nya laporan kasus berjudul “Congestive Heart Failure et causa Tiroid Heart Disease
+ Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan kasus ini dibuat demi memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran UniversitasSriwijaya periode 23 Mei – 13 Agustus 2022.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Yulianto Kusnadi, Sp. PD,
K-EMD, FINASIM, karena bimbingannya laporan kasus ini menjadi lebih baik. Penulis juga
ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya
laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus
ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan
yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, 5 Juli 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II STATUS PASIEN 3
2.1. Identifikasi 3
2.2. Anamnesis 3
2.3 Pemeriksaan Fisik 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang 9
2.5 Diagnosis 14
2.6 Diagnosis Banding 14
2.7 Tatalaksana 14
2.8 Rencana Pemeriksaan 16
2.9 Prognosis 16
2.10 Follow Up 16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 24
3.1 Definisi 23
3.2 Epidemiologi 23
3.4 Klasifikasi 23
3.3 Etiologi dan Faktor Risiko 24
3.5 Patofisiologi 24
3.6 Diagnosis 29
3.7 Tatalaksana 34
3.8 Prognosis 40
BAB IV ANALISIS KASUS 54
DAFTAR PUSTAKA 58

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peran PJK dalam patofisiologi gagal jantung. ........................................................ 25


Gambar 2. Etiologi Gagal Jantung. ........................................................................................... 26
Gambar 3. Aktivasi Sistem Neurohormonal Jantung20. ............................................................ 29
Gambar 4. Algoritma diagnosis gagal jantung. ........................................................................ 35
Gambar 5. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik kardiovaskular3. ................................ 45
Gambar 6. Manifestasi Klinis Hipertiroid. ............................................................................... 47
Gambar 7. Manifestasi Kardiovaskular Hipertioidisme ........................................................... 48
Gambar 8. Manifestasi Klinis Hipotiroid.................................................................................. 49
Gambar 9. Manifestasi Kardiovaskular Hipotiroid. .................................................................. 50
Gambar 10. Algoritme Pemeriksaan Kadar Hormon Tiroid. .................................................... 51
Gambar 11. Faktor Determinan Tekanan Arterial. ................................................................... 57
Gambar 12. Mekanisme Neural. ............................................................................................... 58
Gambar 13. Mekanisme Neural. ............................................................................................... 59
Gambar 14. Berbagai Mekanisme yang Berperan dalam Hipertensi. ....................................... 59
Gambar 15. Mekanisme Vaskular............................................................................................. 61
Gambar 16. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron. ................................................................ 62
Gambar 17. Mekanisme Hormonal. .......................................................................................... 62
Gambar 18. Mekanisme Neurohormonal. ................................................................................. 63
Gambar 19. Tata Laksana Farmakologi. ................................................................................... 66
Gambar 20. Pengobatan Monoterapi dan Kombinasi. .............................................................. 66

5
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung Berdasarkan NYHA Classification ...................... 32


Tabel 2. Tanda dan Gejala pada Gagal Jantung. ....................................................................... 33
Tabel 3. Kriteria Framingham................................................................................................... 34
Tabel 4. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung. ............................... 37
Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal jantung. ...................... 38
Tabel 6. Diagnosis Banding. ..................................................................................................... 39
Tabel 7. Indeks Wayne. ............................................................................................................ 50
Tabel 8. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan JNC 7. ................................................................ 63
Tabel 9. Tata Laksana Nonfarmakologi Hipertensi. ................................................................. 65

6
DAFTAR SINGKATAN

BJ : Bunyi jantung
CAD : Coronary Artery Disease
CHF : Congestive heart failure
CO : Cardiac Output
CRT : Capillary refill time
CVA : Costo vertebrae angel
EKG : Elektrokardiografi
FT3 : Free Triiodotironin
GCS : Glassgow coma scale
HHD : Hypertension heart disease
HT : Hormon Tiroid
ICS : Inter costal space
LDL : Low Density Lipoprotein
PO : Per oral
PTU : Propylthiouracil
T3 : Triiodotironin
T4 :Tiroksin
TSH : Thyroid Stimulating Hormone
USG : Ultrasonography

7
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang disebabkan olehpengaruh hormon
tiroid. Insiden penyakit ini cukup tinggi di masyarakat dan dapat mengenai segala usia.
Prevalensi penyakit hipertiroidisme secara global berkisar 1,3% lebih banyak pada perempuan
daripada laki-laki (5:1). Insiden meningkat pada perempuan berusia lebih tua. Penyebab
terbanyak ialah struma difus toksik (Graves Disease), biasanya mengenai usia 20 – 40 tahun.1,2
Diagnosis penyakit jantung tiroid dapat ditegakkan dan dipastikan dengan pemeriksaan
kadar hormon tiroid bebas, yaitu kadar FT4 yang tinggi dan TSH yang sangat rendah. Gagal
jantung sebagai akibat komplikasi hipertiroid dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria
Framingham, yaitu bila gejala dan tanda gagal jantung memenuhi 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria
mayor ditambah 2 kriteria minor.1,4
Panduan American College of Cardiology Foundation (ACCF) atau American Heart
Association (AHA) mendefinisikan gagal jantung sebagai sebuah sindrom klinis kompleks
akibat adanya gangguan fungsi dan struktur pengisian ventrikel atau ejeksi darah, yang
menimbulkan sesak napas (dispneu) dan kelelahan (fatigue) serta tanda gagal jantung seperti
edema dan rales. Gagal jantung adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia, dengan >
20 juta orang terkena dampaknya. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring bertambahnya
usia, dan mempengaruhi 6-10% orang berusia >65 tahun. Menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun (2013), provinsi dengan prevalensi penyakit gagal jantung pada usia ≥ 15
tahun di Indonesia sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang. 5
Menurut SNPPDI 2019, penyakit gagal jantung termasuk ke dalam tingkat kompetensi
3A, oleh karena itu lulusan dokter harus mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan
terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Sebagai dokter umum, anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan tatalaksana awal yang tepat wajib dikuasai untuk membantu dalam
penegakkan diagnosis pada penyakit. Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dalam mendiagnosis dan menatalaksana penyakit-penyakit tersebut.

8
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi Pasien


Nama : Ny. NY
Tanggal Lahir : 15 Oktober 1967
Usia : 54 Tahun 8 Bulan 13 Hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kenten Laut. Palembang
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pendidikan :-
MRS tanggal : 28 Juni 2022 Pukul 22.00
No. RM : 0001275111

2.2 Anamnesis
Tanggal : Kamis, 30 Juni 2022 pada pukul 11.00 WIB
Diberikan oleh : Pasien (Autoanamnesis)

Keluhan utama:
Sesak napas yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS.

Keluhan tambahan:
Badan Lemas

Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 1 bulan SMRS pasien mengeluh jantung berdebar semakin kencang. Jantung
berdebar dirasakan saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Pasien mengatakan sering
berkeringat berlebihan, suka udara dingin, dan sering gelisah merasa tidak nyaman
sehingga pasien sulit tidur. Pasien juga mengeluhkan sering mengalami rambut rontok
sebanyak genggaman tangan pasien (pasien sering menggunakan sarung tangan ukuran M).
Pasien juga merasakan sesak napas ketika beraktivitas. Sesak napas hilang ketika beristirahat, dan
tidak dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dan emosi. Bengkak pada kaki dan tangan tidak ada. Leher
9
semakin membesar tidak ada. Pasien mengatakan badan terasa lemas. Pusing sempoyongan tidak
ada. Pandangan mata berkunang-kunang tidak ada. Telinga berdenging tidak ada. Nyeri dada tidak
ada, demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluh, pasien mengatakan mulai mengalami sesak
nafas. Sesak nafas dirasakan terus menerus, tidak mereda dengan istirahat dan sesak tidak
dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dan emosi. Ketika sesak, pasien merasa lebih nyaman tidur dengan
3 bantal. Sesak disertai nyeri dada, nyeri terasa seperti tertimpa benda berat, dan menjalar hingga
ke lengan kanan. Nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri mereda jika pasien mengubah posisi menjadi
duduk. Keluhan jantung berdebar kencang masih dirasakan. Pasien mengeluh keringat berlebihan,
suka udara dingin dan mengaku nafsu makan menurun serta mengalami penurunan berat badan
sebanyak 10 kg selama 2 bulan terakhir. Pasien mengatakan badan terasa lemas. Pusing
sempoyongan tidak ada. Pandangan mata berkunang-kunang tidak ada. Telinga berdenging tidak
ada. Nyeri dada tidak ada, demam tidak ada, mual ada namun muntah tidak ada, BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Pasien kemudian datang ke IGD RSMH Palembang untuk meminta
pertolongan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


● Riwayat hipertensi ada tidak terkontrol mengonsumsi obat.
● Riwayat DM tidak ada ada.
● Riwayat trauma tidak ada.
● Riwayat sakit ginjal tidak ada.
● Riwayat sakit jantung tidak ada.
● Riwayat asma tidak ada.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


● Riwayat hipertensi tidak ada
● Riwayat DM tidak ada
● Riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
● Riwayat asma disangkal

Riwayat Kebiasaan:
● Riwayat merokok tidak ada.
● Riwayat minum alkohol tidak ada.
● Riwayat penggunaan jarum suntik tidak ada.
● Riwayat olahraga tidak ada.
10
Riwayat Alergi:
● Riwayat alergi obat-obatan disangkal
● Riwayat alergi makanan disangkal

Riwayat Pengobatan
tidak ada.

Riwayat Sosial Ekonomi


● Pasien merupakan seorang petani di kebun sawit, dan berobat dengan BPJS kelas III.

Riwayat Menstruasi
● Pasien terakhir menstruasi Desember 2021, Haid biasanya teratur sebulan sekali, 4-5
hari.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pemeriksaan fisik pada 30 Juni 2022, pukul 11.00 WIB.
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Sensorium : Compos mentis, GCS 15 (E4V5M6).
TD : 130/70 mmHg
Nadi : 112 x/menit, ireguler, isi dan tegangan cukup, pulsus defisit (+)
dengan HR : 140x/m
RR : 24 kali/menit, reguler
Temp : 36,7ºC
SpO2 : 98%
BB : 40 kg
TB : 160 cm
IMT : 16 kg/m2 (underweight)

Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
11
Rambut : Hitam, mudah ditarik, alopesia (+)
Deformitas : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada
Wajah sembab : Tidak ada

Mata
Eksoftalmus : Ada
Endotalmus : Tidak ada
Palpebra : Edema (-/-)
Konjungtiva : Pucat (+/+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Keruh
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)

Hidung
Bagian luar : Tidak ada kelainan
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada

Telinga
Meatus akustikus eksternus : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : Tidak ada
Pendengaran : Baik, telinga berdenging (-)

Mulut
Bibir : kering (-), pucat (-), chelitis angularis (-)
Gusi : perdarahan (-), hipertrofi (-)
Lidah : pucat (-), atrofi papil (-), stomatitis (-)
Selaput lendir : perdarahan (-), pucat (-), stomatitis (-)
Faring : tidak ada kelainan
Tonsil : T1-T1
12
Leher
Inspeksi : asimetris, scar (-), deviasi trakea (-)
Palpasi : terdapat pembesaran kelenjar tiroid yang difuse;
pembesaran KGB (-), tekanan vena jugularis: (5+3) cmH2O,
distensi vena jugularis ada.
Auskultasi : bruit (+).

Thoraks
Bentuk : bentuk dada normal, barrel chest (-)
Pembuluh darah : venektasi (-)
Nyeri tekan : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada

Paru-paru
Anterior
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis dada kanan tertinggal dan kiri
normal, retraksi (-), sela iga melebar (-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), stem fremitus normal kanan dan kiri
Perkusi : nyeri ketok (-/-), sonor di kedua lapangan paru, batas paru hepar
ICS V peranjakan satu sela iga.
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki pada kedua apeks paru (-/-),
wheezing (-/-)
Posterior
Inspeksi : statis simetris kanan dan kiri, dinamis dada kanan tertinggal dan kiri
normal, retraksi (-), sela iga melebar (-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), stem fremitus normal kanan dan kiri
Perkusi : nyeri ketok (-/-), sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-), wheezing (-)

Cor
Inspeksi : iktus cordis terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS II linea sternalis sinistra

13
Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur sistolik (-), murmur
diastolic (-), gallop (-), splitting (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, lemas, scar (-), caput medusae
(-), distensi (-).
Auskultasi : bising usus (+) normal 5x/menit, bruit (-)
Palpasi : tegang, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-),undulasi (-), nyeri ketok CVA (-)

Ekstremitas
Lengan
Tonus : eutonia
Gerakan : luas
Kekuatan :5
Otot : eutrofi
Sendi : ROM aktif dan pasif baik
Tangan
Telapak : ikterus (-/-), edema (-/-)
Kuku : pucat (-), CRT <2 detik
Tremor : (+/+)
Ujung jari : akral hangat (+/+), clubbing finger (-/-).
Tungkai dan kaki
Tonus : eutonia
Gerakan : luas
Kekuatan :5
Otot : eutrofi
Sendi : ROM aktif dan pasif baik
Edema pretibial : (-/-)
Kaki
Telapak : ikterus (-/-)
Kuku : pucat (-), CRT <2 detik

14
Ujung jari : akral hangat (+/+)

Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (28/06/2022)
Hb : 9.3 g/dL* (N : 11.40 – 15.00 g/dL)
RBC : 5.24 x 106/mm3 (N : 4.00 - 5.70 x 106/mm3)
3 3*
WBC : 4.26 x 10 /mm (N : 4.73 - 10.89 x 103/mm3)
Hematokrit : 30%* (N : 41 - 51 %)
3
Trombosit : 201 x 10 /µL (N : 189 - 436 x 103/µL)
MCV : 57.1 fL* (N : 85 - 95 fL)
MCH : 18 pg* (N : 28 - 32 pg)
MCHC : 31 g/dL* (N : 33 - 35 g/dL)
RDW-CV : 19.4%* (N : 11 - 15 %)
Hitung Jenis :
Basofil : 0% (N : 0 - 1 %)
Eosinofil : 3% (N : 1 - 6 %)
Neutrofil : 32% (N : 50 - 70 %)
Limfosit : 49% (N : 20 - 40 %)
Monosit : 16%* (N : 2 - 8 %)
Kimia Klinik
Kalsium (Ca) : 8.5 mg/dL (N : 8.4 - 9.7 mg/dL)
Hati
AST/SGOT : 36 U/L* (N : 0 - 32 U/L)
ALT/SGPT : 31 U/L* (N : 0 - 31 U/L)
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa sewaktu : 104 mg/dL (N : <200 mg/dL)
Ginjal
Ureum : 39 mg/dL (N : 16.6 – 48.5 mg/dL)
Kreatinin : 0.48 mg/dL* (N : <0.5 – 0.9 mg/dL)

15
Elektrolit
Natrium: 145 mEq/L (N : 135 – 155 mEq/L)
Kalium : 4.7 mEq/L (N : 3.5 – 5.5 mEq/L)

Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) (28/06/2022)

Interpretasi EKG:
 Irama : Asinus dan Reguler.
 Aksis :
Lead I = +
Lead aVF = +
Aksis deviasi normal.
 HR : 12 x 10 = 120x per menit
 Gelombang P:
Atrial Fibrilasi (+)
 PR interval : 0.04 x 4 kotak kecil : 0.16 s [pelebaran (-)]

16
 QRS Kompleks ; 1 kotak kecil x 0.04 : 0.04 s [pelebaran (-)]
QRS kompleks di V1 : LBBB
 ST : Tidak ada ST elevasi, tidak ada ST depresi
 Gelombang T : T inverted (-)
 R/S di sadapan V1 < 1 [pelebaran ventrikel kanan (-)]
 Kriteria Sokolow Lyon
S V1 + R V5 = 4+8 = 12 mm [pembesaran ventrikel kiri (-)]
S V1 + R V6 = 4+10= 14 mm [pembesaran ventrikel kiri (-)]
 Kriteria Cornell
S V3 + R di aVL > 20 mm = 6 + 6 = 12 [pembesaran ventrikel kiri (-)]
Kesan:
Asinus Takikardi
Atrial Fibrilasi
Left Bundle Branch Block

Pemeriksaan Radiologi (28/06/2022)

Pada pemeriksaan foto thorax AP didapatkan:


Pada pemeriksaan foto thorax AP didapatkan:
Posisi supine.
CTR sulit dievaluasi, kesan jantung membesar ke kiri dengan apeks tertanam.
Trakea di tengah. Mediastinum superior tidak melebar.
Kedua hilus tidak menebal/melebar.
Corakan bronkovaskular tidak meningkat.
17
Tak tampak infiltrat/nodul di kedua lapangan paru.
Diafragma licin, sudut costophrenicus lancip.
Tulang-tulang dan jaringan lunak baik.
Kesan :
Kardiomegali
Pulmo normal

Pemeriksaan Laboratorium (01/07/2022)


Imunoserologi Hormon
Free T4: 4.29* ng/dL (N : 0.7 – 1.48 ng/dL)
TSHs : 0.0001* uIU/mL (N : 0.3500 – 4.9400 uIU/mL)

2.5 Diagnosis Sementara


CHF ec THD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer

2.6 Diagnosis Banding


CHF ec HHD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
CHF ec CAD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer

2.7 Tatalaksana
Non Farmakologis:
− Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal serta
upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan − lstirahat, olahraga, aktivitas sehari-
hari, serta rehabilitasi.
− Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
− Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.

Farmakologis:
PTU 2 x 1 100 mg PO
Digoxin 1 x 0.125 mg PO
Furosemide 1 x 20mg IV
Proponolol 1 x 10 mg PO

18
2.8 Rencana Tindakan
- USG Tiroid
- Echocardiography
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.10 Follow Up

19
Follow up (01/07/2022)
S : berdebar-debar, nyeri perut berkurang, sesak, badan lemas
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sens : Compos mentis
TD : 128/70 mmHg
HR : 102x/menit
RR : 24x/menit
Temp : 36,4º C
SpO2 : 98%
Kepala : Normosefali, rambut mudah dicabut (+), alopesia (+), eksoftalmus (+),
konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), kornea keruh (+/+)
Leher : Asimetris, scar (-), deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid yang difuse, tekanan vena jugularis (5+3) cmH2O, distensi vena
jugularis (+), bruit (+)
Thoraks : Bentuk dada normal, barrel chest (-), venektasi (-), nyeri tekan (-), nyeri
ketok (-)
Cor : Iktus kordis terlihat, iktus kordis teraba, thrill (-), Batas atas jantung ICS II
linea sternalis sinistra, Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra,
Batas kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra. bunyi jantung I-II
normal, murmur sistolik (-), murmur diastolik (-), gallop (-), splitting (-).
Pulmo : dinamis dada kanan tertinggal, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, BU (+) normal, tegang, nyeri
tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), tremor tangan (+), CRT < 2 detik
A : CHF ec THD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
P:
Non farmakologi
● Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
● Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, serta rehabilitasi.
● Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
● Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Farmakologi
● PTU 2 x 1 100 mg PO
● Furosemide 1 x 20 mg IV
● Propanolol 1 x 10 mg PO
● Digoxin 1 x 0,125 mg PO

20
Follow up (02/07/2022)
S : berdebar-debar, nyeri perut berkurang, sesak berkurang, badan lemas
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sens : Compos mentis
TD : 125/70 mmHg
HR : 102x/menit
RR : 18x/menit
Temp : 36,7º C
SpO2 : 99%
Kepala : Normosefali, rambut mudah dicabut (+), alopesia (+), eksoftalmus (+),
konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), kornea keruh (+/+)
Leher : Asimetris, scar (-), deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid yang difuse, tekanan vena jugularis (5+3) cmH2O, distensi vena
jugularis (+), bruit (+)
Thoraks : Bentuk dada normal, barrel chest (-), venektasi (-), nyeri tekan (-), nyeri
ketok (-)
Cor : Iktus kordis terlihat, iktus kordis teraba, thrill (-),Cor : Iktus kordis terlihat,
iktus kordis teraba, thrill (-), Batas atas jantung ICS II linea sternalis sinistra, Batas
kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra, Batas kiri jantung ICS VI linea
axillaris anterior sinistra. bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik (-), murmur
diastolik (-), gallop (-), splitting (-), bunyi jantung I-II normal, murmur sistolik (-)
murmur diastolik (-), gallop (-), splitting (-)
Pulmo : dinamis dada kanan tertinggal, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, BU (+) normal, tegang, nyeri
tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), tremor tangan (+), hipopigmentasi,
CRT < 2 detik
A : CHF ec THD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
P:
Non farmakologi
● Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
● Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, serta rehabilitasi.
● Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
● Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Farmakologi
● PTU 2 x 1 100 mg PO
● Furosemide 1 x 20 mg IV
● Propanolol 1 x 10 mg PO

21
● Digoxin 1 x 0,125 mg PO

Follow up (03/07/2022)
22
S : berdebar-debar berkurang, nyeri perut berkurang, sesak (-), badan lemas
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sens : Compos mentis
TD : 120/70 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 20x/menit
Temp : 36,6º C
SpO2 : 98%
Kepala : Normosefali, rambut mudah dicabut (+), alopesia (+), eksoftalmus (+),
konjungtiva palpebral pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), kornea keruh (+/+)
Leher : Asimetris, scar (-), deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid yang difuse, tekanan vena jugularis (5+3) cmH2O, distensi vena
jugularis (+), bruit (+)
Thoraks : Bentuk dada normal, barrel chest (-), venektasi (-), nyeri tekan (-), nyeri
ketok (-).
Cor : Iktus kordis terlihat, iktus kordis teraba, thrill (-), Batas atas jantung ICS II
linea sternalis sinistra, Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dekstra,
Batas kiri jantung ICS VI linea axillaris anterior sinistra. bunyi jantung I-II
normal, murmur sistolik (-), murmur diastolik (-), gallop (-), splitting (-).
Pulmo : dinamis dada kanan tertinggal, vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, palpitasi (+) di regio umbilikal, BU (+) normal, tegang, nyeri
tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), edema (-), tremor tangan (+), hipopigmentasi,
CRT < 2 detik
A : CHF ec THD + Hipertensi Stage 1 + Anemia Hipokrom Mikrositer
P:
Non farmakologi
● Edukasi mengenai penyakit jantung tiroid, penyebab, dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
● Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, serta rehabilitasi.
● Edukasi pola diet, kontrol asupan garam dan air
● Monitor berat badan, hati-hati dengan penurunan berat badan yang signifikan.
Farmakologi
● PTU 2 x 1 mg PO
● Furosemide 1 x 20 mg IV
● Propanolol 1 x 10 mg PO
● Digoxin 1 x 0,125 mg PO

23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Congestive Heart Failure


3.1.1. Definisi
Panduan American College of Cardiology Foundation (ACCF)/American
Heart Association (AHA) mendefinisikan gagal jantung sebagai sebuah sindrom
klinis kompleks akibat adanya gangguan fungsi dan struktur pengisian ventrikel
atau ejeksi darah, yang menimbulkan sesak napas (dispneu) dan kelelahan (fatigue)
serta tanda gagal jantung seperti edema dan rales. Karena banyak pasien yang
mengalami gejala ini tanda tanda-tanda kelebihan volume, istilah “gagal jantung”
lebih dipilih dibanding “gagal jantung kongestif”.12
Berdasarkan gejala dan perhitungan fraksi ejeksi ventrikel kiri, gagal jantung
dapat dibedakan menjadi heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF),
heart failure with preserved ejection fraction (JFpEF), dan heart failure with mid-
range ejection fraction (HFmrEF). Definisi HFrEF bervariasi di antara studi dan
pedoman yang berbeda tetapi umumnya didefinisikan sebagai fraksi ejeksi (EF)
kurang dari 40%. Gagal jantung dengan fraksi ejeksi terpelihara (HFpEF) umumnya
didefinisikan sebagai gagal jantung dengan EF lebih besar dari 50%. HFmrEF
didefinisikan sebagai gagal jantung dengan EF 40% hingga 50%. 13

3.1.2. Epidemiologi
Gagal jantung adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia, dengan >
20 juta orang terkena dampaknya. Prevalensi keseluruhan gagal jantung pada
populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Prevalensi gagal jantung meningkat
seiring bertambahnya usia, dan mempengaruhi 6-10% orang berusia >65 tahun.
Meskipun insiden relatif gagal jantung lebih rendah pada wanita daripada pria,
kasus gagal jantung pada wanita setidaknya setengah dari total kasus gagal jantung.
Hal inidikarenakan harapan hidup wanita yang lebih lama. Di Amerika Utara dan
Eropa, risiko seumur hidup terkena gagal jantung adalah sekitar satu dari lima untuk
individu berusia 40 tahun.12
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun (2013), provinsi dengan
prevalensi penyakit gagal jantung pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 0,13%
24
atau diperkirakan sekitar 229.696 orang. Estimasi jumlah penderita penyakit gagal
jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%),
sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Kep. Bangka
Belitung, yaitu sebanyak 945 orang (0,1%).14

3.1.3. Etiologi
Kondisi yang mengarah pada perubahan struktur atau fungsi ventrikel kiri
dapat menyebabkangagal jantung. Meskupun etiologi gagal jantung pada pasien
dengan fraksi ejeksi tetap berbeda dari pasien dengan penurunan fraksi ejeksi,
terdapat tumpang tindih etiologi cukup besar dari kedua kondisi ini. Di negara-
negara maju, penyakit jantung coroner (PJK) menjadi penyebab utama gagal
jantung pada pria dan wanita dengan prevalensi sekitar 60-75%. Hipertensi
berkontribusi pada perkembangan gagal jantung pada 75% pasien, termasuk
sebagian besar pasien dengan PJK.The Framingham Heart Study menunjukkan
bahwa penyebab paling umum gagal jantung adalah penyakit jantung koroner. Baik
PJK dan hipertensi meningkatkan risiko gagal jantung, seperti halnya diabetes
mellitus. Data yang tersedia menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti hipertensi,
diabetes, dan PJK yang memicu disfungsi ventrikel kiri juga berperan dalam
perburukan gejala. Peran PJK dalam patofisiologi gagal jantung ditunjukkan pada
Gambar 1.12,15

Gambar 1. Peran PJK dalam patofisiologi gagal jantung.

Diabetes melitus tipe 2 adalah faktor risiko yang kuat untuk terbentuknya
PJK. Pasien dengan diabetes memiliki risiko 2-4 kali lipat lebih besar terkena PJK
dibandingkan pasien bukan diabetes. Pasien diabetes menunjukkan peningkatan

25
risiko mengembangkan PJK karena berbagai alasan, termasuk faktor metabolism,
seperti hiperglikemia, dislipidemia, dan resistensi insulin, yang menyebabkan
disfungsi sel sendotel dan otot polos vascular. Pasien dengan diabetes memiliki plak
aterosklerotik yang kaya lipid dan lebih rentan ruptur dibanding plak yang terlihat
pada pasien bukan penderita DM. 16
Sekitar 20-30% kasus gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun, memiliki
dasar etiologi yang belum diketahui. Penderita ini disebut memiliki keadaan
kardiomiopati noniskemik, dilatasi kardiomiopati, atau idiopatik kardiomiopati jika
penyebabnya tidak diketahui. Kardiomiopati adalah gangguan otot jantung yang
menyebabkan disfungsi mekanis dan/ atau listrik yang mengakibatkan gambaran
dilatasi, hipertrofik atau restriktif. Dilatasi kardiomiopati adalah penyakit jantung
noniskemik dengan kelainan struktur dan fungsional miokard. Gambaran klinis
dilatasi kardiomiopati adalah dilatasi ventrikel kiri atau biventricular dan disfungsi
sistolik tanpa adanya penyakit jantung coroner, hipertensi, penyakit katup, atau
penyakit jantung bawaan. American Heart Association mengklasifikasikan DCM
dalam bentuk familian dan nonfamilial. WHO mendefinisikan DCM sebagai
gangguan jantung dimana kelainan struktural atau fungsional otot jantung dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas karena komplikasi seperti gagal jantung
dan aritmia.12,17

Gambar 2. Etiologi Gagal Jantung.

26
3.1.4. Faktor Risiko
1. Faktor risiko klinis major
Usia, jenis kelamin laki-laki, hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, miokard
infark, kelainan katup jantung, obesitas, diabetes
2. Faktor risiko klinis minor
Merokok, dislpipidemia, penyakit ginjal kronis, albuminuria, gangguan
napas saat tidur, anemia, status sosioekonomi rendah, stress psikologis
3. Kelainan imun
4. Hipersensitivitas, kardiomiopati peripartum
5. Infeksi
6. Virus, parasite, bakteri
7. Terapi khusus
Kemoterapi, terapi target kanker, kokain, NSAID, alkohol
8. Faktor genetik
SNP, riwayat dalam keluarga, kelainan jantung kongenital

3.1.5. Patofisiologi
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu
gangguan mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau
bersamaan yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi
perikard, jantung tidak dapat diastole, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme
ventrikel, disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan
abnormalitas otot jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis
metabolic (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder
(iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltrative, dan korpulmonal). Beberapa
keadaan di tersebut dapat menyebabkan overload volume atau tekanan atau
disfungsi regional pada jantung yang akan meningkatkan beban kerja jantung dan
menyebabkan hipertrofi otot jantung dan atau dilatasi ruang jantung.18
Pressure overload pada ventrikel (misalnya pada hipertensi atau stenosis
aorta) menstimulasi deposisi sarkomer dan menyebabkan penambahan luas area
cross-sectional miosit, tapi tanpa penambahan panjang sel. Akibatnya terjadi
reduksi diameter ruang jantung. Keadaan ini disebut pressure-overload hypertrophy
(hipertrofi konsentrik). Sebaliknya, volume-overload hypertrophy menstimulasi
deposisi sarkomer dengan penambahan panjang dan lebar sel. Akibatnya terjadi
27
penebalan dindingdisertai dilatasi dengan penambahan dimeter ventrikel.
Penambahan massa otot atau ketebalan dinding yang seiring dengan penambahan
diameter ruang jantung menyebabkan tebal dinding akan tetap normal atau kurang
dari normal.18
Terjadinya hipertrofi dan atau dilatasi disebabkan karena peningkatan kerja
mekanik akibat overload tekanan atau volume yang meningkatkan sintesis protein,
jumlah protein di tiap sel, jumlah sarkomer mitokondria, dimensi dan massa miosit,
yang menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dan fungsi yang disebut
remodelling ventricle. Terjadinya remodelling ventricle merupakan bagian dari
mekanisme kompensasi tubuh untuk memelihara tekanan arteri dan perfusi organ
vital. Jika terdapat beban hemodinamik berlebih atau gangguan kontraktilitas
miokardium, terdapat beberapa mekanisme kompensasi seperti mekanisme Frank-
Starling, perubahan struktur miokardium dan aktivasi sistem neurohumoral. 18
Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung
memompa darah pada tingkat yang relatif normal tetapi hanya untuk sementara.
Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis
dan remodelling matriks ekstraseluler (terutama kolagen) juga dapat timbul dan
menyebabkan gangguan fungsional dan struktural. Jika mekanisme tersebut gagal
maka terjadi disfungsi kardiovaskular yang dapat berakhir dengan gagal jantung.
Kebanyakan gagal jantung merupakan konsekuensi kemunduran progresif fungsi
kontraktil miokardium (disfungsi sistolik) yang sering muncul pada cedera iskemik,
overload tekanan, dan dilated cardiomyopathy. Penyebab spesifik tersering adalah
penyakit jantung iskemik dan hipertensi.18
Mekanisme kompensasi tubuh (mekanisme neurohormonal) dalam
menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun, meliputi
pengaktivasian sistem saraf simpatis, sistem renin-angitensin-aldosteron (RAA),
sistem saraf adrenergik, dan sistem ADH. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan
pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.19,20
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
28
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan
noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang
pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. 19,20

Gambar 3. Aktivasi Sistem Neurohormonal Jantung20.

Pasien gagal jantung mengalami penurunan curah jantung yang dapat


memicu disfungsi baroreseptor pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arkus aorta.
Disfungsi tersebut menyebabkan hilangnya inhibisi tonus parasimpatis terhadap
sistem saraf pusat, sehingga tonus saraf simpatis eferen dapat meningkat secara
general. Peningkatan tonus simpatis eferen menyebabkan pelepasan ADH
(vasokonstriktor poten) dan terjadi retensi air. Kedua aktivasi RAA dan ADH dapat
meningkatan retensi air dan natrium tubuh serta memicu vasokonstriksi perifer,
hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis miokardium. 19,20

29
Gambar 4. Patofisiologi gagal jantung19,20

Mekanisme kompensasi neurohormonal sebenarnya hanya dapat


memfasilitasi adaptasi turunnya curah jantung dalam waktu yang singkat dengan
30
mempertahankan tekanan darah, sehingga mempertahankan perfusi ke organ-organ
vital. Aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus dapat menyebabkan
perubahan pada jantung dan sitem sirkulasi, meliputi retensi natrium dan air yang
berlebihan pada gagal jantung lanjut. Aktivasi sistem-sistem neurohormonal dalam
waktu yang lama dapat menginduksi proses maladaptif yang dapat menyebabkan
remodelling ventrikel dan disfungsi organ.19,20 Edema jaringan terjadi ketika
transudasi cairan dari kapiler ke jaringan interstisial melebihi kapasitas drainase
sistem limfatik, meningkatnya tekanan hidrostatik transkapiler, dan menurunnya
tekanan onkotik transkapiler. Pada individu yang sehat, peningkatan retensi natrium
biasanya tidak akan disertai pembentukan edema karena jaringan
glikosaminoglikan akan menyangga retensi natrium tersebut. Retensi natrium
terjadi secara terus menerus pada pasien gagal jantung sehingga jaringan
glikosaminoglikan akan mengalami gangguan fungsi dan sistem sangga ini tidak
akan terjadi. Hal ini memudahkan terjadinya edema paru dan edema sistemik.
Pasien gagal jantung akut dengan hipertensi, terjadi perubahan yang dapat
meningkatan afterload dan menurunkan kapasitas vena (peningkatan preload). 19

3.1.6. Klasifikasi
Berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF), gagal jantung
dikategorikan menjadi:
1. HFrEF, yaitu LVEF yang menurun (< 40%) atau disebut juga gagal jantung
sistolik. Pasien HFrEF lebih sering muncul dengan penyakit jantung koroner
(infark miokard), penyakit katup (stenosis aorta, regurgitasi mitral) atau
hipertensi yang tidak terkontrol. Perubahan struktural utama pada HFrEF
adalah remodeling eksentrik disertai dengan dilatasi ruang dan sering
kelebihan volume yang mengarah ke forward failure biasanya sebagai
konsekuensi dari infark miokard anterior yang besar. Kelebihan volume paling
sering merupakan hasil dari aktivasi neurohumoral permanen (sistem RAA). 18
2. HFpEF, yaitu LVEF yang lebih dari 50%, atau disebut juga gagal jantung
diastolik. Pasien dengan HFpEF biasanya berusia tua, perempuan, obesitas
dengan riwayat hipertensi dan/atau fibrilasi atrium. HFpEF menunjukkan
gangguan relaksasi dan/atau pengisian ventrikel, peningkatan kekakuan
ventrikel dan dengan demikian peningkatan tekanan pengisian disertai dengan

31
kelebihan tekanan. Jantung menunjukkan remodeling konsentris dan/atau
hipertrofi ventrikel disertai dengan kelebihan tekanan dan backward failure.18
3. HFmrEF, yaitu LVEF di antara 40 – 49%.18

Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit secara klinis fungsional dapat


dikategorikan berdasarkan kriteria New York Heart Association (NYHA)
Functional Classification.21
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung Berdasarkan NYHA Classification

3.1.7. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis gagal jantung sangat dipengaruhi oleh disfungsi sisi
jantung kiri, jantung kanan, atau biventrikular. Disfungsi ventrikel kiri akibat
kelebihan volume atau kelebihan tekanan meningkatkan tekanan paru (backward
failure) dan akibatnya terjadi kongesti paru yang menyebabkan dispnea dan
takipnea (transudasi cairan, ronki paru). Apabila sirkulasi perifer berkurang
(forward failure), disfungsi ginjal, malperfusi perifer dan malabsorpsi nutrisi dapat
terjadi. Dalam keadaan kronis, aktivasi permanen sistem neurohumoral
menyebabkan kelebihan volume berkelanjutan, seperti kongesti hati, asites, edema
pergelangan kaki, edema pretibial, vasokonstriksi perifer (akrosianosis),
peningkatan denyut jantung saat istirahat dan latihan, serta kerusakan lebih lanjut
dari sistem kardio-renal. Kelebihan beban jantung menyebabkan pembesaran
jantung yang ditandai dengan indeks kardiotoraks yang meningkat serta pergeseran
ke kiri dari denyut jantung. Pada keadaan kelebihan volume, volume pengisian
ventrikel akan meningkat secara berkala dan bunyi jantung ketiga atau keempat
yang khas dapat terdengar. Akibatnya, gagal jantung mempengaruhi hampir semua

32
sistem organ dan dengan demikian gagal jantung adalah penyakit sistemik atau
sindrom dengan spektrum klinis yang luas.18,22
Tabel 2. Tanda dan Gejala pada Gagal Jantung.

3.1.8. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis dan klasifikasi gagal jantung didasarkan pada ada atau beratnya
gejala dan temuan pemeriksaan fisik. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah
sesak napas. Kualifikasi lebih lanjut dari gejala ini sangat penting untuk
membantu menjelaskan penyebab potensial gagal jantung dan untuk menentukan
rencana perawatan bagi pasien. Sesak napas harus diklasifikasikan lebih lanjut
untuk menentukan apakah itu terkait dengan aktivitas, perubahan posisi
(ortopnea), dan apakah itu akut atau kronis. Gejala gagal jantung lainnya yang
sering dilaporkan termasuk nyeri dada, palpitasi, anoreksia, dan kelelahan.
Beberapa pasien mungkin datang dengan batuk telentang yang mungkin
disebabkan oleh ortopnea.22
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien gagal jantung memerlukan pengkajian yang
komprehensif. Penampilan umum pasien dengan gagal jantung kronis yang parah
atau mereka yang mengalami gagal jantung akut dekompensasi akan mencakup
kecemasan, diaforesis, dan status nutrisi yang buruk. Temuan klasik ronki paru
33
menunjukkan gagal jantung dengan intensitas sedang hingga berat. Mengi dapat
terjadi pada gagal jantung dekompensasi akut. Saat keparahan kongesti paru
meningkat, sputum berbusa dan bercampur darah dapat terlihat. Tidak adanya
ronki tidak menyingkirkan kongesti paru. Distensi vena jugularis adalah temuan
klasik lainnya pada semua pasien dengan gagal jantung. Peningkatan paradoks
distensi vena jugularis dengan respirasi dapat terlihat. Pada pasien dengan
peningkatan tekanan pengisian sisi kiri, refluks hepatojugularis akan terlihat.
Edema perifer muncul pada gagal jantung berat dan akan terlihat jika terjadi
kelebihan volume yang substansial. Temuan jantung pada pasien dengan HF
termasuk S3 gallop, pulsus alternans, dan aksentuasi P2. Gallop S3 adalah temuan
paling signifikan dan awal yang terkait dengan HF. Pada kardiomiopati dilatasi
dekompensasi, murmur regurgitasi mitral dan trikuspid akan muncul. 22
3. Penegakkan Diagnosis
Kriteria diagnostik framingham umum digunakan untuk penegakkan
diagnosis gagal jantung. Kriteria framingham terpenuhi apabila terdapat adanya 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor untuk menegakkan
diagnosis gagal jantung. Kriteria diagnostik framingham adalah sebagai berikut: 23
Tabel 3. Kriteria Framingham.

Kriteria Mayor
 Paroksismal nocturnal dispnea
 Distensi vena leher
 Ronki paru
 Kardiomegali
 Edema paru akut
 Gallop S3
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Refluks hepatojugular
Kriteria minor
 Edema ekstremitas
 Batuk malam hari
 Dispnea d’effort
 Hepatomegali
 Efusi pleura
 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

34
 Takikardia (>120/menit)
Kriteria mayor atau minor
 Penurunan BB >4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Gambar 4. Algoritma diagnosis gagal jantung.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dinilai darah tepi lengkap, elektrolit,
BUN, kreatinin, enzim hepar, serta urinalsis. Pemeriksaan untuk diabetes
melitus, dislipidemia, dan kelainan tiroid juga penting dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi

35
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. 24
Kadar natrium serum memiliki nilai prognostik sebagai prediktor
mortalitas pada pasien gagal jantung kronis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pasien gagal jantung dengan hiponatremia akan meningkatkan
mortalitas.22
b. BNP dan NT-proBNP
Kadar serum B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal proBNP
(NT-proBNP) dapat membantu membedakan penyebab dispnea kardiak dan
nonkardiak pada pasien dengan presentasi yang ambigu. BNP adalah prediktor
independen dari peningkatan tekanan diastolic akhir ventrikel kiri, dan
digunakan untuk menilai risiko kematian pada pasien dengan gagal jantung.
Nilai BNP < 35 pg/mL, nilai NT-proBNP < 125 pg/mL, atau nilai MR-proANP
< 40 pmol/L membuat diagnosis HF tidak khas.25
Kadar BNP dan NT-proBNP juga dapat meningkat pada pasien dengan
disfungsi ginjal, fibrilasi atrium, dan pada pasien yang sudah tua. Sebaliknya,
kadar BNP bisa sangat rendah pada pasien dengan obesitas, hipotiroidisme, dan
gagal jantung karena fibrosis miokard.22
c. Elektrokardiografi (EKG)
EKG normal membuat diagnosis HF tidak khas. EKG dapat menunjukkan
kelainan seperti AF, gelombang Q, hipertrofi ventrikel kiri (LVH), dan
kompleks QRS yang melebar yang meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal
jantung.25

36
Tabel 4. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung.

d. Radiografi dada
Radiografi dada digunakan untuk menilai derajat kongesti paru dan kontur
jantung untuk menentukan adanya kardiomegali. Temuan yang menunjukkan
gagal jantung kongestif pada radiografi dada meliputi pembesaran siluet
jantung, edema pada basal paru, dan kongesti vaskular.22

37
Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal jantung.

Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal jantung

e. Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk
diagnosis gagal jantung. Ekokardiografi juga memberikan informasi tentang
parameter lain seperti ukuran ruang jantung, LVH eksentrik atau konsentris,
kelainan gerakan dinding regional (yang mungkin menunjukkan CAD yang
mendasarinya, sindrom Takotsubo, atau miokarditis), fungsi RV, hipertensi
pulmonal, fungsi katup, dan penanda fungsi diastolik. 25

3.1.9. Diagnosis Banding

38
Tabel 6. Diagnosis Banding.

3.1.10. Tatalaksana
Tujuan terapi untuk CHF adalah meningkatkan manajemen gejala dan
kualitas hidup, mengurangi durasi rawat inap, dan menurunkan mortalitas secara
keseluruhan yang terkait dengan penyakit ini. Terapi kombinasi utama yaitu
diuretik, penghambat sistem renin-angiotensin (seperti penghambat reseptor
neprilysin angiotensin (ARNI), penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE
inhibitor), atau penghambat reseptor angiotensin II (ARB)), dan beta- pemblokir.
Kombinasi hidralazin dan nitrat merupakan alternatif penghambat sistem
angiotensin untuk terapi primer jika terapi ACE inhibitor, ARNI, dan ARB
dikontraindikasikan. Kombinasi nitrat dan hidralazin juga diindikasikan untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien Afrika-Amerika dengan gejala
HFrEF, yang saat ini menerima terapi medis yang optimal. Terapi kombinasi ARB-
ARNI secara signifikan mengurangi kematian kardiovaskular dan rawat inap HF
bila dibandingkan dengan ACE inhibitor saja.26
Antagonis reseptor mineralokortikoid seperti spironolakton atau eplerenon
diindikasikan pada pasien dengan NYHA fungsional kelas II sampai IV dan LVEF
≥ 35%. Ini juga diindikasikan pada pasien dengan gejala gagal jantung setelah
infark miokard (MI) dan LVEF > 40%. Namun, pada pasien dengan MI baru-baru
ini dan EF rendah tanpa gejala gagal jantung, obat-obatan ini tidak menunjukkan
manfaat apapun.24
Ivabradine secara selektif menghambat arus lucu (I-f) di nodus sinoatrial.
Menurut AHA/ACC, ivabradine diindikasikan pada pasien dengan gejala gagal
jantung yang menetap dan EF kurang dari atau sama dengan 35% pada irama sinus.
Denyut jantung istirahat harus lebih besar dari 70 denyut/menit meskipun terapi

39
beta-blocker terarah.27
Vericiguat adalah agen yang merangsang reseptor intraseluler untuk NO
endogen, yang merupakan vasodilator kuat. Baru-baru ini disetujui oleh FDA pada
tahun 2021 untuk mengurangi risiko kematian dan rawat inap karena gagal jantung
pada orang dewasa yang dirawat dengan eksaserbasi gagal jantung yang memiliki
gejala gagal jantung kronis dan EF kurang dari 45%. 28
Digoxin dapat dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan irama sinus
meskipun terapi yang diarahkan pada tujuan yang memadai untuk mengurangi
tingkat semua penyebab rawat inap, tetapi perannya terbatas. Sebuah implantable
cardioverter-defibrillator (ICD) diindikasikan untuk pencegahan primer kematian
jantung mendadak pada pasien dengan gagal jantung yang memiliki LVEF kurang
dari atau sama dengan 35% dan kelas fungsional NYHA II sampai III sementara
pada terapi medis yang diarahkan pada tujuan. Hal ini juga diindikasikan jika pasien
memiliki NYHA fungsional kelas II dan EF kurang dari atau sama dengan 30%
pada terapi medis yang memadai.29
Terapi resinkronisasi jantung atau Cardiac resynchronization therapy(CRT)
dengan biventrikular pacing diindikasikan pada pasien dengan HFrEF dan kelas
fungsional NYHA II sampai IV dengan LVEF kurang dari atau sama dengan 35%
dan durasi QRS lebih dari 150 ms. Menurut European Society of Cardiology (ESC),
CRT tidak direkomendasikan pada pasien dengan durasi QRS kurang dari 130 ms
karena beberapa penelitian telah menunjukkan potensi bahaya. ESC
merekomendasikan CRT untuk pasien dengan morfologi non-left bundle branch
block (LBBB) yang memenuhi kriteria CRT; namun, pedoman ACC/AHA
membatasinya pada mereka yang memiliki morfologi LBBB pada EKG. Ada
perdebatan yang sedang berlangsung mengenai apakah morfologi QRS versus
durasi QRS harus menjadi penentu utama untuk pemilihan CRT.30
Pada pasien dengan gagal jantung refrakter, meskipun terapi farmakologis
dioptimalkan, terapi vasodilator intravena dan inotrop intravena telah
dipertimbangkan di masa lalu. Namun, menurut pedoman AHA/ACC 2013 dan
2017, ini harus dibatasi untuk menghilangkan gejala paliatif pada pasien dengan
penyakit stadium akhir yang tidak dapat disembuhkan dengan terapi medis standar.
Pada pasien dengan HFpEF, tidak ada terapi saat ini yang memiliki perbaikan
definitif dalam mortalitas atau rawat inap. Namun, manajemen medis dengan terapi
di atas diindikasikan.Pasien dengan gagal jantung progresif atau mereka dengan
40
gagal jantung refrakter akut dan berat dapat dipertimbangkan untuk transplantasi
jantung.31
Penting juga untuk mengatasi pemicu potensial eksaserbasi HF setelah
diagnosis HF dibuat. Obat yang harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung
termasuk obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), calcium channel blocker (CCB)
kecuali CCB vasoselektif, dan sebagian besar obat antiaritmia (kecuali yang kelas
III).32

3.1.11. Komplikasi
Komplikasi klinis gagal jantung meliputi penurunan kualitas hidup,
penurunan kapasitas fungsional, cdisfungsi ginjal (penyakit kardiorenal), dan
disfungsi hati (kongesti hepatik). Kejadian jantung yang merugikan terkait dengan
HF termasuk disfungsi katup dengan kardiomiopati dilatasi, MI, dan aritmia
ventrikel. Kematian jantung mendadak merupakan komplikasi potensial untuk
pasien dengan HFrEF dan memerlukan pencegahan primer dengan penempatan
ICD, seperti yang dibahas di atas. Komplikasi pengobatan gagal jantung meliputi
gagal ginjal, hipotensi, dan infeksi nosokomial berulang karena sering dirawat di
rumah sakit dan akses vena sentral.Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan
vena (thrombosis vena dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau
EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan
pemberian warfarin.Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa
menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut
jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin). Kegagalan pompa
progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan.Aritmia
ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-
50% kematian CHF).33
3.1.12. Prognosis
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pada bulan
Desember 2016, tingkat kematian terkait gagal jantung menurun dari 103,1
kematian per 100.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 89,5 pada tahun 2009
tetapi kemudian meningkat menjadi 96,9 pada tahun 2014. Mereka mencatat bahwa
Tren ini berkorelasi dengan pergeseran dari penyakit jantung koroner sebagai
penyebab utama kematian akibat gagal jantung ke penyakit metabolik dan
penyebab gagal jantung nonkardiak lainnya seperti obesitas, diabetes, keganasan,
41
penyakit paru kronis, dan penyakit ginjal. Angka kematian setelah rawat inap untuk
gagal jantung diperkirakan sekitar 10% pada 30 hari, 22% pada 1 tahun, dan 42%
pada 5 tahun. Ini dapat meningkat hingga lebih dari 50% untuk pasien dengan
NYHA kelas IV, gagal jantung stadium D.34
Skor Ottawa adalah alat yang berguna untuk penentuan prognosis pada pasien
dengan gagal jantung yang datang ke unit gawat darurat dengan gejala gagal
jantung. Ini menentukan risiko 14 hari kematian, masuk kembali ke rumah sakit,
dan sindrom koroner akut pada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan
gejala gagal jantung untuk membantu mencapai perencanaan disposisi yang aman.
Pasien dengan skor 0 dianggap berisiko rendah. Skor 1-2 dianggap berisiko sedang,
skor 3-4 dianggap berisiko tinggi, dan skor 5 atau lebih tinggi dianggap risiko
sangat tinggi. Kriteria penilaian adalah sebagai berikut:34
Satu poin untuk masing-masing hal berikut:
 Riwayat stroke atau serangan iskemik transien
 Saturasi oksigen kurang dari 90%
 Detak jantung lebih dari 110 denyut per menit pada tes jalan kaki 3 menit
 Perubahan EKG iskemik akut
 Level NT-proBNP lebih besar dari 5000 ng/L
Dua poin untuk masing-masing berikut:
 Riwayat ventilasi mekanis sebelumnya untuk gangguan pernapasan
 Denyut jantung lebih dari 110 denyut/menit saat presentasi
 Nitrogen urea darah (BUN) lebih besar dari 33,6 mg/dl (12 mmol/L)
 Kadar bikarbonat serum lebih besar dari 35 mg/hari

3.2. Penyakit Jantung Tiroid


3.2.1. Definisi
Penyakit jantung tiroid adalah suatu keadaaan kelainan fungsi dan atau
struktural jantung menetap yang terjadi akibat gangguan fungsi tiroid, yang murni
terjadi akibat gangguan fungsi tiroid dan tidak didapatkan penyebab atau etiologi
lain dari kelainan jantung tersebut. Konsep awal penyakit jantung tiroid
diperkenalkan oleh Samuel Levine tahun 1942, yang menerangkan tentang adanya
aritmia atrium, gagal jantung kongestif dan pembesaran jantung pada
hipertiroidisme.1–3

42
3.2.2. Epidemiologi
Penyakit tiroid cukup sering dijumpai, lebih banyak pada populasi Wanita
dibandingan dengan pria dewasa. Prevalensi penyakit hipertiroidisme secara global
berkisar 1,3% lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki (5:1). Perbedaan
prevalensi ini diduga berkaitan dengan mekanisme autoimun yang mendasari
sebagian besar bentuk penyakit tiroid, termasuk penyakit Graves dan Hashimoto.2,4
Insiden diperkirakan 0,4 per 1000 wanita per tahun, 15% terjadi pada usia
diatas 60 tahun dan 70% disebabkan oleh penyakit Graves yang berakibat
meningkatnya angka kematian dan angka kesakitan kardiovaskuler. Insiden
meningkat pada perempuan berusia lebih tua.1,2,4

3.2.3. Etiologi
Penyakit jantung tiroid dapat disebabkan oleh berbagai keadaan gangguan
fungsi tiroid, baik hipertiroid maupun hipotiroid yang sudah berlangsung cukup
lama, sehingga menyebabkan perubahan menetap terhadap struktur dan atau fungsi
jantung. Selain itu, data menunjukkan bahwa risiko kardiovaskular juga dapat
meningkat pada pasien dengan tirotoksikosis subklinis atau hipotiroidisme
subklinis.1,2

Beberapa penyebab hipertiroidsime ialah penyakit Graves (akibat


autoimun), goiter multinodular, adenoma toksik dan proses keganan kelenjara
tiroid. Penyebab hipotiroidisme antara lain tiroiditis hashimoto, tiroiditis subakut,
hipotiroid primer/atropik dan akibat defisiensi yodium.1,4

43
3.2.4. Patofisiologi
Hormon tiroid mempunyai banyak efek pada proses metabolik di semua
jaringan, terutama di jantung yang paling sensitif terhadap perubahannya.
Gangguan fungsi kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatik terhadap
sistem kardiovaskular, sering kali menyerupai penyakit jantung primer. 1,3
3.2.4.1. Mekanisme Seluler Aksi Hormon Tiroid

Kelenjar tiroid mensekresi dua macam hormon biologis aktif yaitu


triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4) sebagai respon terhadap TSH (thyroid
stimulating hormone). Kelenjar tiroid mensekresi T4 sekitar 85% yang kemudian
diubah menjadi T3 melalui proses 5-monodelodinase di perifer (hati, ginjal dan otot
skeletal). Otot jantung terutama dipengaruhi oleh T3 dalam darah sebab tidak
adanya aktivitas de-iodinasi intrasel miosit yang signifikan, selain itu yang
ditransport ke dalam miosit hanya T3. Pengaruh hormon tiroid pada jantung
digolongkan menjadi 3 kategori yaitu efek terhadap jantung langsung, efek hormon
tiroid pada sistem saraf simpatis dan efek sekunder terhadap perubahan
hemodinamik. Fungsi jantung dan hemodinamik kardiovaskular terutama diatur
melalui efek genomik dan non genomik HT (Hormon Tiroid). Membran miosit
memiliki protein transporter khusus untuk T3 dan membawanya masuk ke inti sel.1,3
3.2.4.2. Efek Hormon Tiroid Terhadap Sistem Kardiovaskular

Pengaruh langsung hormon tiroid terhadap sistem kardiovaskular pada


umumnya akibat pengaruh T3 yang berikatan dengan reseptor pada inti sel yang

mengatur ekspresi dari gen-gen yang responsif terhadap hormon tiroid, dengan kata
lain bahwa perubahan fungsi jantung dimediasi oleh regulasi T3 gen spesifik
jantung.1,3
Mekanisme secara pasti belum diketahui, hormon tiroid meningkatkan
metabolisme tubuh total dan mempengaruhi produksi panas tubuh sehingga terjadi
peningkatan termogenesis jaringan. HT mempengaruhi konsumsi oksigen sehingga
menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik melalui efek langsungnya
pada sel otot polos pembuluh darah sehingga menurunkan tahanan arteriol perifer
dan tekanan arteri rerata. Hal ini menyebabkan pengisian volume efektif arteri
menurun dan akan direspon oleh ginjal dengan mengaktifkan sistem renin
angiotensin-aldosteron sehingga meningkatkan reabsorpsi natrium dan terjadi
peningkatan volume darah serta peningkatan inotropik dan kronotropik kardiak
44
yang meningkatkan kardiak output (Gambar 1).1,3

Gambar 5. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik kardiovaskular3.

Kelebihan hormon tiroid akan mempengaruhi hemodinamik yang


berakibat pada gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, serta pada tahap
lanjut menyebabkan kardiomiopati dilatasi atau pembesaran ruang jantung. Pada
kondisi hipertiroid, terjadi peningkatan laju jantung saat istirahat, peningkatan
volume darah, curah jantung, kontraksi otot jantung dan fraksi ejeksi, serta
meningkatkan relaksasi pengisian jantung. Peningkatan kadar hormon tiroid akan
menyebabkan takikardia atau laju jantung >100 kali per menit saat istirahat, dengan
gejala yang timbul berupa palpitasi atau berdebar-debar. Selain itu hipertiroid
berkaitan dengan terjadinya gangguan irama jantung berupa fibrilasi atrium. Oleh
karena gejala hipertiroid seringkali tidak spesifik dan timbul perlahan, gangguan
irama jantung berupa fibrilasi atrium bisa menjadi tanda gejala awal yang
ditemukan pertama kali pada seseorang dengan hipertiroid.1,3

Sedangkan pada kondisi hipotiroid, kadar hormon tiroid yang rendah akan
mempengaruhi otot jantung melalui efeknya terhadap pengaturan pengambilan
kalsium dan ekspresi protein yang berperan dalam kontraksi jantung. Hal tersebut
menyebabkan laju jantung yang lambat (bradikardia) serta kontraksi dan relaksasi
jantung yang lemah. Selain perubahan hemodinamik, kondisi hipotiroid juga

45
berhubungan dengan perubahan kadar lipid atau lemak darah, di mana terjadi
peningkatan kadar kolesterol total dan kadar kolesterol LDL Sehingga hipotiroid
akan meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. 1,3

3.2.5. Manifestasi Klinis

Gejala pada penyakit jantung tiroid terdiri dari gejala klasik dari hipertiroid
atau hipotiroid dan juga gejala-gejala pada jantung yang muncul akibat kelainan
hormon tiroid tersebut.

Manifestasi Klinis Hipertiroid


Gejala-gejala yang sering ada pada pasien hipertiroid dapat dilihat pada
Gambar 4 yaitu hiperaktivitas, iritabilitas, disforia, berkeringat (tidak tahan panas),
palpitasi, lemas, kelemahan, berat badan menurun dengan peningkatan nafsu
makan, diarea, poliuria, oligomenorea, penurunan libido, takikardia; fibirasi atrial
pada usia lanjut, tremor, terlihat struma/nodul di leher, kulit lembab dan hangat,
kelemahan otot, miopati proksimal, retraksi kelopak mata, ginekomastia. 1,5 Pada
hipertiroid akibat penyakit Graves, gejala yang menjadi ciri dari penyakit ini adalah
keterlibatan mata, dimana terjadi retraksi kelopak mata, edema periorbital, injeksi
konjungtiva, dan proptosis, dan juga keterlibatan kulit, yaitu dermopati tiroid, yaitu
penebalan kulit yang biasa terlihat di daerah pretibial. 5,6,7 Jenis pembesaran tiroid
pada penyakit Grave adalah difus, sedangkan pada Toxic Adenoma dan Toxic
Multinodular Goiter pembesaran tiroid terjadi dalam bentuk nodul tunggal atau
multinodular.6

46
Gambar 6. Manifestasi Klinis Hipertiroid.

Sedangkan gejala kardiovaskular yang muncul pada pasien-pasien


hipertiroid ditunjukkan pada gambar 5 yaitu kelelahan, palpitasi, dispnea, tidak
tahan panas, banyak berkeringat, dan penurunan berat badan. Takikardia dan
palpitasi terjadi pada 80-90% pasien. Pada pasien usia lanjut yang memiliki grave
disease dapat terjadi gagal jantung. Pada keaadaan ini, jantung tidak bisa memenuhi
kebutuhan metabolik yang meningkat akibat peningkatan hormon tiroid, yang dapat
menyebabkan gagal gantung kongestif. Pada pasien yang lebih muda, tirotoksikosis
dihubungkan dengan meningkatan efek intotropik dan kronotropik jantung. Gejala
yang biasanya muncul pertama kali adalah palpitasi dan kadang aritmia.

47
Fibrilasi atrial terjadi pada 33-47% pasien di atas usia 60 tahun. Resistensi
vaskular menurun dengan vasodilatasi perifer; efeknya adalah peningkatan cardiac
output (CO) yang nyata, yang menghasilkan peningkatan konsumsi oksigen. Edema
perifer adalah gejala gagal jantung yang paling umum pada penyakit Graves,
meskipun dispnea saat aktivitas juga dapat menonjol. Temuan fisik biasanya
termasuk prekordium hiperdinamik, suara jantung yang menonjol, dan murmur
sistolik yang dapat terdengar di atas prekordium karena peningkatan aliran yang
melintasi katup aorta.8
Pada pasien dengan hipertiroid akibat Toxic Adenoma dan Toxic Multinodular
Goiter, biasanya memiliki gejala kardiovaskular yang menonjol, dan lebih sering
dirujuk ke kardiologis sebelum ke endokironolis. Pasien-pasien ini mengeluh sesak
nafas, takikardia, dan sering dengan fibralasi atrial. Pada pasien Toxic Adenoma dan
Toxic Multinodular Goiter jarang terjadi oftalmopati, dan karena kecepatan
metabolisme basalnya tidak meningkat sebesar pasien dengan penyakit Grave,
pasien biasanya tidak tampak gugup dan bersemangat, pasien juga tidak
menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan dan jarang juga terjadi muscle
wasting.6

Gambar 7. Manifestasi Kardiovaskular Hipertioidisme

Manifestasi Klinis Hipotiroid

Gejala klinis hipotiroid meliputi jarang berkeringat, tidak tahan udara


dingin, tidak mudah lapar, sulit konsentrasi (daya pikir lambat), senang tidur,

48
berat badan meningkat, suara serak dan rambut kasar.1 Gejala Klinis hipertiroid
dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 8. Manifestasi Klinis Hipotiroid.

Sedangkan untuk gejala kardiovaskular pada hipotiroid adalah bradikardia,


hipertensi ringan (diastolik), tekanan nadi sempit, intoleransi dingin, kulit kasar,
otot kram, pelupa, suara berat dan parau, konstipasi, darah menstruasi banyak, gerak
lamban, muka sembab, dan mudah lelah.1 Manifestasi kardiovaskular pada
hipotiroid dapat dilihat pada gambar 7.

49
Gambar 9. Manifestasi Kardiovaskular Hipotiroid.

3.2.6. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis Penyakit Jantung Tiroid, perlu ditegakkan


terlebih dahulu adanya gangguan fungsi tiroid dan terdapat bukti adanya kelainan
struktur dan atau fungsi jantung yang dapat dianggap murni terjadi akibat gangguan
fungsi tiroid yang sudah lama menetap. Penentuan gangguan fungsi tiroid dapat
dilakukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dimana perlu dicari manifestasi
klinis dari hipertiroid dan hipotiroid. 1,9 Pada hipertiroid juga dapat didiagnosis
dengan menggunakan indeks Wayne (Tabel 4) dimana Skor yang lebih besar dari
19 menunjukkan hipertiroidisme sedangkan skor kurang dari 11 menunjukkan
eutiroidisme dan skor antara 11 dan 19 masih ragu-ragu.10

Tabel 7. Indeks Wayne.

Gejala dengan onset baru-baru Skor Tanda Jika ada Jika


ini dan/atau semakin memberat tidak
ada

Dispnea saat beraktivitas +1 Tiroid teraba +3 -3

Palpitasi +2 Bruit pada tiroid +2 -2

Kelelahan +2 Eksoftalmus +2 -

Suka udara panas -5 Retraksi kelopak +2 -


mata

50
Suka udara dingin +5 Kelopak mata +1 -
tertinggal (lid lag)

Keringat berlebih +3 Hiperkinesis +4 -2

Gugup +2 Tangan: Hangat +2 -2


Lembab +1 -1

Nafsu makan: Meningkat +3 Nadi: > 80x/menit -3


Menurun -3 > 90x/menit +3 -

Berat badan: Meningkat -3 Fibrilasi Atrial +4 -


Menurun +3

Dan untuk memastikan diagnosis dan menentukan etiologinya, dapat


dilakukan dengan pemeriksaan kadar FT3, FT4 dengan alogitma seperti terlihat di
Gambar 8.

Gambar 10. Algoritme Pemeriksaan Kadar Hormon Tiroid.

Setelah dilakukan penentuan gangguan fungsi tiroid, perlu dicari adanya bukti
kelainan struktural atau fungsional pada jantung yang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan foto ronsen toraks, EKG, dan ekokardiografi. Pada pasien dengan hipertiroid

51
dapat ditemukan pembesaran jantung dan arteri pulmonal yang prominen, dan pada EKG
dapat ditemukan fibrilasi arteri seperti pada gambar 5. Sedangkan pada pasien dengan
hipotiroid dapat ditemukan bayangan jantung yang tampak besar pada rontgen thorax
akibat efusi perikardium, dan low-voltage serta depresi segmen ST pada gambaran EKG
seperti pada gambar 7.8

3.2.7. Tatalaksana

Tatalaksana meliputi penatalaksanaan untuk penyakit jantung tiroid dan keadaan


hipertiroid atau hipotiroid yang mendasari. Pengobatan hipertiroid dapat melalui 3 cara,
yaitu pemberian obat anti tiroid, tiroidektomi, atau pemberian yodium radioaktif.
Thionamides (methimazole dan propylthiouracil) sering digunakan sebagai pengobatan
awal pilihan pada pasien yang lanjut usia dan memiliki penyakit kardiovaskular yang
mendasarinya. Namun, tidak seperti hipertiroidisme Graves, yang dapat mengalami
remisi jangka panjang setelah thionamide dihentikan, hipertiroidisme yang terkait dengan
nodul toksik dan gondok multinodular toksik muncul kembali ketika terapi thionamide
dihentikan. Tujuan terapi thionamide adalah untuk mencapai keadaan eutiroid sebelum
terapi definitif (misalnya, radioiodine atau pembedahan). 1,6 Pengobatan hipertiroidisme
satu-satunya ialah dengan obat sintesis yang mengandung hormon tiroid.1
Penatalaksanaan hipertiroidisme dengan komplikasi kardiovaskular memerlukan
pendekatan yang berbeda, yaitu dengan mempertimbangkan faktor kardiovaskular
tersebut. Tujuan pengobatan ialah secepatnya menurunkan keadaan hipermetabolik dan
kadar hormon tiroid yang berada dalam sirkulasi. Keadaan sirkulasi hiperdinamik dan
aritma atrial akan memberikan respon baik dengan pemberian obat beta blocker. Dalam
hal ini, propanolol merupakan obat pilihan karena bekerja cepat dan mempunyai
keampuhan yang sangat besar dalam menurunkan frekuensi denyut jantung. Selain itu,
beta blocker dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Pada pasien dengan
gagal jantung berat, penggunaan obat beta blocker harus dengan sangat hati-hati karena
dapat memperburuk fungsi miokard, meskipun beberapa penulis mendapat hasil baik pada
pengobatan pasien gagal jantung akibat tirotoksikosis. Bahaya lain dari obat penyekat beta
ialah dapat menimbulkan spasme bronkial, terutama pada pasien dengan asma bronkial.
Dosis yang diberikan berkisar antara 40-160 mg per hari dibagi 3-4 kali pemberian.5,11.
Obat antitiroid yang banyak digunakan ialah PTU dan imidazol (metimazol,
tiamazol, dan karbimazol). Kedua obat ini termasuk dalam golongan tionamid yang
kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid, tetapi tidak memengaruhi sekresi hormon

52
tiroid yang sudah terbentuk. Propiltiourasil mempunyai keunggulan mencegah konversi
T4 menjadi T3 di perifer. Dosis awal PTU yang digunakan ialah 300-600 mg/hari dengan
dosis mak-simal 1200-2000 mg/hari atau metimazol 30-60 mg sehari. Perbaikan gejala
hiper-tiroidisme biasanya terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai dalam
6-8 minggu.11

3.2.8. Komplikasi

Gangguan irama jantung tersering pada hipertiroidisme ialah sinus takikardia


(ST) dan fibrilasi atrial (FA). Prevalensi ST bisa mencapai 40% pada kasus
hipertiroidisme, sedangkan FA bervariasi antara 2-20% pada kasus hipertiroidisme, dan
hanya 62% yang bisa kembali ke irama sinus setelah eutiroidisme. FA yang proksismal
maupun menetap merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya kejadian
serebrovaskular, baik stroke infark akibat tromboemboli dari jantung maupun stroke
hemoragik akibat antiplatelet/antikoagulan yang terus diminum untuk pencegahan
tromboemboli.1
Pada pasien hipotiroidisme bisa terjadi efusi pleura, efusi perikard, peningkatan
kadar kolesterol, percepatan aterosklerosis, dan penyakit arteri koroner. Efusi perikard
yang cepat terbentuk ataupun yang masif dapat mengakibatkan gangguan pengembangan
jantung dan gangguan pengisian ventrikel kiri akiba desakan cairan di sekeliling jantung,
keadaan ini disebut tamponade jantung. Percepatan aterosklerosis dan penyakit arteri
koroner bisa merupakan akibat hiperkolesterolemia dan hipertensi diastolik.
Hipotiroidisme yang tidak tertangani dengan baik bisa berkembang menjadi koma
miksedema, yang ditandai oleh hipotensi dan bradikardia yang berat, kadar gula dan
natrium darah yang rendah dan dapat terjadi gagal napas tipe 2. Pasien hipertiroidisme
juga memiliki faktor-faktor risiko aterosklerotik dan peningkatan risiko stroke.1

3.2.9. Prognosis

Prognosis ditentukan oleh berat-ringannya gangguan struktur dan atau fungsi


jantung. Prognosis tidak terlalu jelek pada mereka dengan fungsi sistolik dan diastolik
ventrikel kiri yang masih cukup baik dan tidak ada gangguan irama jantung. Prognosis
menjadi dubia ad malam pada mereka yang sudah terlanjur terjadi kardiomiopati dilatasi
dengan tamponade jantung dan yang telah terjadi penyakit arteri koroner.

53
3.3. Hipertensi
3.3.1. Definisi
Hipertensi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan hemodinamik sistem kardiovaskular dengan patofisiologi yang
multifaktorial, tidak dapat dijelaskan dengan satu mekanisme tunggal saja. Secara
sederhana, hipertensi merupakan interaksi antara cardiac output (CO) dan total
resisten perifer. Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia
yang sering dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas dan morbiditas terhadap
penyakit kardiovaskular lainnya.23
Semua definisi hipertensi adalah kesepakatan berdasarkan bukti klini atau
berdasarkan konsensus dan epidemiologi studi meta analisis. Hipertensi dapat
ditegakkan apabila tekanan darah persisten di atas atau sama dengan 140/90 mmHg
karena peningkatan tekanan darah bisa saja bersifat transient atau hanya
peningkatan diurnal dari tekanan darah yang normal sesuai siklus sirkardian.
Terdapat beberapa istilah dalam hipertensi yaitu sebagai berikut.
a. Hipertensi sistolik terisolasi
Tekanan darah yang meningkat hanya sistolik saja.
b. Hipertensi diastolik terisolasi
Tekanan darah yang meningkat hanya diastolik saja.
c. Hipertensi jas putih (white coat hypertension)
Tekanan darah yang meningkat hanya saat diperiksa di tempat praktik,
sedangkan tekanan darah yang diukur sendiri selalu terukur normal
d. Hipertensi persisten
Tekanan darah yang meningkat baik diukur di klinik maupun di luar klinik,
termasuk di rumah, dan juga selama menjalankan aktivitas harian yang biasa
dilakukan.23
3.3.2. Epidemiologi
Hipertensi dapat dijumpai pada semua populasi dengan angka kejadian yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor genetik, ras, dan sosial
budaya yang berkaitan dengan gaya hidup yang berbeda-beda. Sekitar 26% kasus
hipertensi dijumpai di usia muda (≤50 tahun), terutama pada laki-laki (63%) dan
umumnya lebih seing dijumpai hipertensi diastolik dibandingkan hipertensi
sistolik. Sedangkan, 74% kasusnya dijumpai pada populasi tua (>50 tahun),
terutama pada wanita (58%) dan hipertensi sistolik lebih banyak ditemukan
54
dibanding hipertensi diastolik.5
Hipertensi bertanggung jawab atas 60% kasus kematian di dunia. Seiring
bertambahnya usia, terjadi peningkatan angka kejadian hipertensi. Pada usia >60
tahun, prevalensi ditemukan sebesar 65,4%. Obesitas dan sindroma metabolik
merupakan faktor risiko independen kejadian hipertensi. Seseorang dengan riwayat
keluarga dengan hipertensi memiliki risiko empat kali lebih tinggi untuk mengalami
hipertensi sebelum usia 55 tahun jika dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi. Setelah usia 55 tahun, 90% orang
akan mengalami hipertensi.2 Berdasarkan data Riskesdas 2018,
prevalensi hipertensi pada penduduk berusia >18 tahun berdasarkan pengukuran
secara nasional sebesar 34,11%. Peningkatan prevalensi hipertensi juga terjadi di
hampir seluruh provinsi di Indonesia.35

3.3.3. Etiologi
Hipertensi terbagi atas hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer
ditegakkan apabila penyebabnya tidak diketahui (90%). Sedangkan hipertensi
sekunder dapat ditegakkan apabila ditemukan penyebabnya. Penyebab hipertensi
sekunder antara lain sebagai berikut.
a. Penyakit, meliputi penyakit ginjal kronik, sindroma Cushing, koarktasi aorta,
obstructive sleep apneu, penyakit paratiroid, feokromositoma, aldosteronisme
primer, penyakit renovaskular, penyakit tiroid.
b. Obat-obatan, meliputi:
 Prednison, fludrokortison, triamnisolon.
 Amfetamin/anorektik: phendimetrazine, phentermine, sibutramine
 Antivascular endothelin growth factor agents
 Estrogen: kontrasepsi oral
 Inhibitor kalsineurin: siklosporin, takrolimus
 Dekongestan: fenilpropanolamine dan analog erythropoiesis stimulating
agents: erythropoietin, darbepoietin.
 NSAID, inhibitor COX-2, venlafaxine, bupropion, bromokriptin,
buspirone, karbamazepin, klozapin, ketamin, metoklopramid.
c. Makanan: natrium, etanol, licorice.
d. Obat-obatan lainnya yang mengandung bahan: kokain, epedhra alkloid, ekstasi
herbal, analog fenilpropanolamin, nicotine withdrawal, steroid anabolik,
55
narcotic withdrawal, metilfenidat, fenisiklidin, ketamin, dan obat herbal yang
mengandung ergot.23,29
Adapun faktor risiko yang dapat memengaruhi kejadian hipertensi adalah sebagai
berikut.
a. Predisposisi genetik
b. Predisposisi lingkungan
 Kegemukan (overweight) dan obesitas
Studi epidemiologis, termasuk Studi Jantung Framingham dan Studi
Kesehatan Perawat secara konsisten mengidentifikasi hubungan langsung antara
indeks massa tubuh dan tekanan darah yang berkelanjutan dan hampir linier, tanpa
bukti ambang batas. Hubungan dengan BP bahkan lebih kuat pada rasio pinggang-
pinggul dan pengukuran tomografi terkomputasi dari distribusi lemak sentral.
Perkiraan risiko yang dapat diatribusikan dari Studi Kesehatan Perawat
menunjukkan bahwa obesitas mungkin bertanggung jawab atas sekitar 40%
hipertensi, dan dalam Framingham Offspring Study, perkiraan yang sesuai bahkan
lebih tinggi (78% pada pria dan 65% pada wanita). Hubungan antara obesitas di
usia muda dan perubahan status obesitas dari waktu ke waktu sangat terkait dengan
risiko hipertensi di masa depan. Dalam data gabungan dari empat studi longitudinal
yang dimulai pada masa remaja dengan pemeriksaan ulang pada masa dewasa muda
hingga usia paruh baya awal, obesitas dikaitkan dengan risiko relatif 2, untuk
terjadinya hipertensi. Menurunkan berat badan hingga mencapai berat badan
normal mengurangi risiko terkena hipertensi ke tingkat yang mirip dengan orang-
orang yang tidak pernah mengalami obesitas.
 Aktivitas fisik
Studi epidemiologis telah menunjukkan hubungan terbalik antara aktivitas
fisik dan kebugaran fisik dan tingkat tekanan darah dan hipertensi. Bahkan tingkat
aktivitas fisik yang sederhana telah dikaitkan dengan penurunan risiko kejadian
hipertensi. Kebugaran fisik, yang diukur secara objektif dengan tes latihan bertahap,
melemahkan peningkatan tekanan darah seiring bertambahnya usia dan mencegah
perkembangan hipertensi. Dalam studi CARDIA, kebugaran fisik yang diukur pada
usia 18 hingga 30 tahun di 2 desil teratas dari populasi yang dinyatakan sehat
dikaitkan dengan sepertiga risiko pengembangan hipertensi 15 tahun kemudian, dan
setengah risiko setelah penyesuaian untuk indeks massa tubuh, dibandingkan
dengan kuintil terendah. Perubahan kebugaran dinilai 7 tahun kemudian risiko
56
dimodifikasi lebih lanjut. Dalam suatu penelitian kohort pria berusia 20 hingga 90
tahun yang diikuti secara longitudinal selama 3 hingga 28 tahun, kebugaran fisik
yang lebih tinggi menurunkan tingkat kenaikan SBP dari waktu ke waktu dan
menunda waktu untuk timbulnya hipertensi.
 Konsumsi alkohol
Perkiraan kontribusi konsumsi alkohol terhadap insidensi dan prevalensi
hipertensi di populasi bervariasi menurut tingkat asupan. Di Amerika Serikat,
tampaknya alkohol dapat menyumbang hampir 10% dari populasi dengan
hipertensi (lebih tinggi pada pria daripada wanita). Selain itu, asupan alkohol
dikaitkan dengan tingkat kolesterol lipoprotein densitas tinggi yang lebih tinggi dan
dalam kisaran asupan yang sederhana, tingkat PJK yang lebih rendah daripada
dijumpai orang-orang yan tidak mengonsumsi alkohol.29

3.3.4. Patofisiologi
Cardiac output dan resistensi perifer merupakan dua penentu utama tekanan
darah arterial. Cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan denyut jantung.
Stroke volume berkaitan dengan kontraktilitas miokardium dan ukuran
kompartemen vaskular. Resistensi perifer dipengaruhi oleh perubahan anatomi dan
fungsi arteri kecil (diameter lumen 100–400 µm) dan arteriole.5

Gambar 11. Faktor Determinan Tekanan Arterial.

Hipertensi merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial. Terdapat


berbagai mekanisme yang berperan serta dalam peningkatan tekanan darah, antara
lain sebagai berikut.
a. Mekanisme neural, meliputi stres, aktivasi simpatis, dan variasi diurnal.
Sistem saraf otonom mempertahankan homeostasis kardiovaskular
melalui tekanan, volume, dan sinyal kemoreseptor. Refleks adrenergik
memodulasi tekanan darah dalam jangka pendek, dan fungsi adrenergik,
bersama dengan faktor hormonal dan terkait volume, berkontribusi pada
57
pengaturan tekanan arteri jangka panjang. Tiga katekolamin endogen adalah
norepinefrin, epinefrin, dan dopamin. Semua memainkan peran penting dalam
regulasi kardiovaskular tonik dan fasik. Neuron adrenergik mensintesis
norepinefrin dan dopamin (prekursor norepinefrin), yang disimpan dalam
vesikel di dalam neuron. Ketika neuron dirangsang, neurotransmiter ini
dilepaskan ke celah sinaptik dan ke situs reseptor pada jaringan target.
Selanjutnya, pemancar dimetabolisme atau dibawa ke neuron oleh proses
reuptake aktif. Epinefrin disintesis di medula adrenal dan dilepaskan ke dalam
sirkulasi pada stimulasi adrenal.23
Norepinefrin akan meningkatkan denyut jantung yang diikuti dengan
kenaikan cardiac output dan stroke volume sehingga tekanan darah akan
meningkat dan dapat terjadi agregasi platelet. Peningkatan neurotransmitter ini
memiliki dampak negatif bagi jantung, karena terdapat reseptor α1, β1, dan β2
pada jantung, meliputi kerusakan miokardium, hipertrofi dan aritmia. Selain itu,
reseptor α1 juga terdapat di dinding pembuluh darah, akibatnya hipertensi
aterosklerosis menjadi semakin progresif. Pada ginjal juga terdapat reseptor α1
dan β1 sehingga jika kadarnya meningkat akan terjadi retensi natrium, aktivasi
sistem RAA, vasokonstriksi pembuluh darah yang mengakibatkan hipertensi
juga semakin progresif. Apabila kadar norepinefrin tidak pernah normal
kembali, maka hipertensi akan berlanjut semakin progresif hingga menyebabkan
kerusakan organ target.23

Gambar 12. Mekanisme Neural.

58
Gambar 13. Mekanisme Neural.

b. Mekanisme renal, meliputi asupan tinggi natrium dengan retensi cairan.


Volume vaskular merupakan penentu utama tekanan arteri dalam jangka
panjang. Meskipun ruang cairan ekstraseluler terdiri dari ruang vaskular dan
interstisial, secara umum, perubahan total volume cairan ekstraseluler dikaitkan
dengan perubahan volume darah secara proporsional. Natrium sebagian besar
merupakan ion ekstraseluler dan merupakan penentu utama volume cairan
ekstraseluler. Jika asupan NaCl meningkat maka ginjal akan merespons dengan
peningkatan ekskresi garam melalui urine. Namun ketika asupan NaCl melebihi
kapasitas ginjal untuk mengekskresikan natrium, ginjal akan merentesi cairan
sehingga volume vaskular dan curah jantung akan meningkat. 1

Gambar 14. Berbagai Mekanisme yang Berperan dalam Hipertensi.

59
c. Mekanisme vaskular, meliputi disfungsi endotel, radikal bebas, dan remodelling
pembuluh darah.
Diameter vaskular dan compliance arteri resisten (pembuluh darah dengan
lumen <400 μm ketika istirahat) juga merupakan penentu penting dari tekanan
arteri. Pada pasien hipertensi, perubahan struktural, mekanik, atau fungsional
dapat mengurangi diameter lumen arteri kecil dan arteriol. Remodelling
mengacu pada perubahan geometris di dinding pembuluh darah tanpa mengubah
volume pembuluh darah. Hipertrofik (peningkatan jumlah sel, peningkatan
ukuran sel, dan peningkatan deposisi matriks antar sel) atau eutrofik (tidak ada
perubahan jumlah bahan di dinding pembuluh) remodeling vaskular
menghasilkan penurunan ukuran lumen dan karenanya berkontribusi pada
peningkatan resistensi perifer. Apoptosis, inflamasi tingkat rendah, dan fibrosis
vaskular juga berkontribusi terhadap remodelling. Diameter lumen juga
berhubungan dengan elastisitas pembuluh darah. Pembuluh dengan derajat
elastisitas yang tinggi dapat mengakomodasi peningkatan volume dengan
perubahan tekanan yang relatif kecil, sedangkan pada sistem vaskular semi-
kaku, peningkatan volume yang kecil menyebabkan peningkatan tekanan yang
relatif besar. 23
Disfungsi endotel merupakan sindroma klinis yang dapat secara langsung
berhubungan dengan dan dapat memprediksi peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular. Progresivitas hipertensi dimulai dengan faktor risiko yang tidak
dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin meningkat, vaskular
berubah, dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan
kejadian kardiovaskular. Penebalan pembuluh darah terjadi karena adanya
kerusakan berupa lesi vaskular dan remodelling, antara lain akibat inflamasi,
vasokonstriksi, trombosis, ruptur plak/erosi. Fungsi endotel vaskular juga
memodulasi tonus vaskular mensintesis dan melepaskan spektrum zat vasoaktif,
termasuk oksida nitrat, vasodilator kuat. Vasodilatasi yang bergantung pada
endotel terganggu pada pasien hipertensi. Selain itu, pasien hipertensi memiliki
arteri yang lebih kaku, dan pasien arteriosklerotik mungkin memiliki tekanan
darah sistolik yang sangat tinggi dan tekanan nadi yang lebar sebagai akibat dari
penurunan komplians pembuluh darah karena perubahan struktural pada dinding
pembuluh darah. Bukti terbaru menunjukkan bahwa kekakuan arteri memiliki
nilai prediksi independen untuk kejadian kardiovaskular. 23
60
Gambar 15. Mekanisme Vaskular.

d. Mekanisme hormonal, meliputi sistem renin, angiotensin, dan aldosteron.


Penurunan tekanan darah memicu refleks baroreseptor. Secara fisiologis,
sistem RAA akan dipicu sehingga akhirnya akan terjadi sekresi renin oleh ginjal
yang kemudian mengubah angiotensinogen dari hepar menjadi angiotensin I,
kemudian enzim ACE di paru akan memicu perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II dengan disertai perubahan bradikinin menjadi peptida inaktif.
Angiotensin II yang bekerja pada reseptor AT1 akan memicu produksi
aldosteron, sedangkan angiotensin II yang bekerja pada reseptor AT2 akan
memicu aktivasi saraf simpatis dan memicu vasokonstriksi otot polos vaskular
yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan menyebabkan
hipertensi menjadi semakin progresif. 1

61
Gambar 16. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron.

Gambar 17. Mekanisme Hormonal.

62
Gambar 18. Mekanisme Neurohormonal.

3.3.5. Klasifikasi
Berdasarkan JNC 7, hipertensi dibagi menjadi empat sesuai dengan tinggi tekanan
sistolik dan diastoliknya yaitu sebagai berikut.
Tabel 8. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan JNC 7.

Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah Diastolik


Darah Sistolik
Normal <120 mmHg dan <80 mmHg
Meningkat 120-129 mmHg dan <80 mmHg
Hipertensi 130-139 mmHg atau 80-89 mmHg
derajat 1
Hipertensi ≥140 mmHg atau ≥90 mmHg
derajat 2
3.3.6. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi:
 Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
 Indikasi adanya hipertensi sekunder
1. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal

63
2. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-
obatan analgesik dan obat/bahan lain.
3. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, dan palpitasi
(feokromositoma)
4. Episode lemah otot dan tetani (aldoteronisme).
 Faktor-faktor risiko
1. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien dan keluarga.
2. Riwayat hiperlipidemia pada pasien dan keluarga
3. Riwayat DM pada pasien dan keluarga
4. Kebiasaan merokok
5. Pola makan
6. Kegemukan, intensitas olahraga
7. Gejala kerusakan organ
8. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
 Faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
b. Pemeriksaan fisik, yaitu pengukuran tekanan darah dengan sfigmomanometer.
c. Pemeriksaan penunjang, meliputi tes darah rutin, glukosa darah puasa, kolesterol
total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa), asam
urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit,
urinalisis, dan elektrokardigram.23
3.3.7. Tatalaksana
a. Nonfarmakologi
Gaya hidup sehat sangat penting dalam pencegahan tekanan darah tinggi
dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam tata laksana pasien dengan
hipertensi. Penurunan berat badan setidaknya 4,5 kg per bulan dapat
menurunkan tekanan darah dan/atau mencegah hipertensi. Rencana makan
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) yang kaya akan buah, sayur,
dan produk susu rendah lemak dengan konten kolesterol, lemak tersaturasi, dan
lemak total yang rendah. Rencana makan ini kaya akan kalium dan kalsium.
Natrium diet harus diturunkan tidak lebih dari 2000 mg natrium per hari.
Aktivitas fisik aerobik regular setidaknya 30 menit dalam sehari, 3-5 kali dalam
seminggu dapat menurunkan risiko terjadinya hipertensi. Sebaiknya konsumsi
alkohol dihindari untuk menurunkan risiko hipertensi.

64
Tabel 9. Tata Laksana Nonfarmakologi Hipertensi.

b. Farmakologi
Pada semua pasien dengan peningkatan tekanan darah, perubahan gaya
hidup menjadi lebih sehat merupakan tata laksana wajib. Menurut JNC 7,
apabila dengan perubahan gaya hidup tekanan darah belum mencapai tekanan
darah target (<140/90 mmHg atau <130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes
atau penyakit ginjal kronik) dan tidak ada indikasi yang berarti dapat diberikan
pengobatan sesuai dengan derajat hipertensi. Pada hipertensi derajat 1, diuretik
tiazid dapat diberikan pada sebagian besar kasus. Penggunaan ACE-I, ARB, BB,
dan CCB dapat dipertimbangkan atau dapat diberikan dalam bentuk kombinasi.
Sedangkan hipertensi derajat 2, kombinasi dua obat dipakai untuk sebagian besar
kasus (biasanya diuretik tipe tiazid dan ACE-I, atau ARB, atau BB, atau
CCB).23,36

65
Gambar 19. Tata Laksana Farmakologi.

Kombinasi 2 obat lini pertama dapat dipertimbangkan sebagai terapi awal jika
tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg di atas
target. Pada pasien usia 60 tahun, penggunaan β-blocker tidak diindikasikan.23

Gambar 20. Pengobatan Monoterapi dan Kombinasi.

3.3.8. Komplikasi
Pada jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pada kisaran target
normotensi, kerusakan organ-organ terkait dapat terjadi. Komplikasi hipertensi
berdasarkan target organ, antara lain sebagai berikut.
a. Serebrovaskular: stroke, transient ischemic attack, demensia vaskular.

66
b. Mata: retinopati hipertensif
c. Kardiovaskular: penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner.
d. Ginjal: nefropati hipertensif
e. Arteri perifer: klaudikasio intermiten 23

3.3.9. Prognosis
Hipertensi adalah penyakit yang akan berlangsung seumur hidup sampai pasien
meninggal akibat keruskan target organ. Sejak tekanan darah 115/75 mmHg, setiap
kenaikan sistolik/diastolik 20/10 mmHg risiko morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular akan meningkat dua kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati
meningkatkan 35% semua kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25%
kematian penyakit jantung koroner, 50% kematian penyakit jantung kongestif, 25%
semua kematian prematur (mati muda), serta menjadi penyebab tersering untuk
terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab gagal ginjal terminal.23
Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti penurunan
insiden stroke 35%-40%; infark miokard 20%-25%; dan >50% gagal jantung.
Diperkirakan penderita dengan hipertensi stadium 1 (TDS 140-159 mmHg dan/atau
TDD 90-99 mmHg) dengan faktor risiko kardiovaskular tambahn, bila berhasil
mencapai penurunan TDS sebesar 12 mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun,
maka akan mencegah satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati. 23

3.4 Anemia

3.4.1. Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa


eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying
capacity). Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity),
tetap merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh
karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label
anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut. Menurut World Health Organization, kriteriaanemia adalah pada laki-laki
dewasa dengan Hb <13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil dengan Hb <12 g/dl, dan
67
wanita hamil dengan Hb <11 g/dl.37
3.4.2. Epidemiologi

Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun
dilapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropic. Prevalensi meningkat
dengan bertambahnya usia dan lebih sering terjadi pada wanita usia reproduksi, wanita
hamil, dan orang tua. Pada lanjut usia, kuranglebih sepertiga pasien mengalami defisiensi
nutrisi sebagai penyebab anemia, seperti defisiensi zat besi, folat, dan vitamin B12. Pada
sepertiga pasien lainnya, ada bukti gagal ginjal atau peradangan kronis.37,38 Untuk
Indonesia, Husaini dkk memberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989
sebagai berikut:37

- Anak prasekolah : 30-40%


- Anak usia sekolah : 25-35%
- Perempuan dewasa tidak hamil : 30-40%
- Perempuan hamil : 50-70%
- Laki-laki dewasa : 20-30%

- Pekerja berpenghasilan rendah : 30-40%

3.4.3. Etiologi dan Klasifikasi

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam


penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3) Proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).37 Gambaran lebih
rinci tentang etiologi anemia adalah sebagai berikut:37
a. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

a) Anemia defisiensi besi

b) Anemia defisiensi asam folat

c) Anemia defisiensi vitamin B12

2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi


68
a) Anemia akibat penyakit kronis

b) Anemia sideroblastik

3. Anemia defisiensi vitamin B12

a) Anemia aplastic

b) Anemia mieloptisik

c) Anemia pada keganasan hematologi

d) Anemia diseritropoietik

e) Anemia pada sindrom mielodisplastik

b. Anemia akibat hemoragik

1. Anemia pasca perdarahan akut

2. Anemia akibat perdarahan kronik

c. Anemia hemolitik

1. Anemia hemolitik intrakorpuskular

a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)

b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi


G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati): thalassemia dan
hemoglobinopati structural
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular

a) Anemia hemolitik autoimun

b) Anemia hemolitik mikroangiopatik

c) Lain-lain

d. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan pathogenesis


yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran


morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam

69
klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1) Anemia hipokromik
mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg; 2) Anemia normokromik
normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3) Anemia makrositer, bila
MCV >95 fl.37,39
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong
dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:12

a. Anemia hipokromik mikrositer

1. Anemia defisiensi besi

2. Thalassemia major

3. Anemia akibat penyakit kronik

4. Anemia sideroblastik

b. Anemia normokromik normositer

1. Anemia pasca perdarahan akut

2. Anemia aplastik

3. Anemia hemolitik didapat

4. Anemia akibat penyakit kronik

5. Anemia pada gagal ginjal kronik

6. Anemia pada sindrom mielodisplastik

7. Anemia pada keganasan hematologik

c. Anemia makrositer

1. Bentuk megaloblastik: anemia defisiensi asam folat, anemia defisiensi


B12 (termasuk anemia pernisiosa)
2. Bentuk non-megaloblastik: anemia pada penyakit hati kronik, anemia
pada hipotiroidisme, anemia pada sindrom mielodisplastik

70
3.4.4. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Eritropoietin, yang diproduksi di ginjal, merupakan stimulator utama


produksi sel darah merah. Hipoksia jaringan adalah stimulator utama produksi
eritropoietin, dan kadar eritropoietin umumnya berbanding terbalik dengan
konsentrasi hemoglobin. Seseorang yang anemia dengan hemoglobin rendah
memiliki peningkatan kadar eritropoietin. Namun, kadar eritropoietin lebih rendah
pada pasien anemia dengan gagal ginjal. Pada anemia penyakit kronis, kadar
eritropoietin umumnya meningkat, tetapi tidak setinggi yang seharusnya,
menunjukkan adanya defisiensi eritropoietin relatif.38
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun. Gejala umum anemia ini
timbul karena: 1) anoksia organ; 2) mekanisme kompensasi tubuh terhadap
kurangnya daya angkut oksigen.37,39
Gejala umum menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun dibawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala anemia terganting pada : a)
derajat penurunan hemoglobin; b) kecepatan penurunan hemoglobin; c) usia; d)
adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.37,39

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:37,39

a. Gejala umum anemia

Gejala ini disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <7 g/dl). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga berdenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia
bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia
dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat
(Hb <7 g/dl).
b. Gejala khas masing-masing anemia

Gejala spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh:

71
1. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis,dan kuku sendok (koilonychia)
2. Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologic pada
defisiensivitamin B12
3. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali

4. Anemia aplastic: perdarahan dan tanda-tanda infeksi

c. Gejala penyakit dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan
warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala
penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena artritis rheumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis
dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk
mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia
memerlukan pemeriksaan laboratorium.

72
3.4.5. Diagnosis

Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia, antara


lain:37

a. Pendekatan tradisional, morfologik, fungsional dan probabilistic


Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan
ananmnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis maka
disimpulkan sebagai sebuah diagnosis, baik diagnosis tentative ataupun
diagnosis definitif.37
Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan
probabilistik. Dari aspek morfologi maka anemia berdasarkan hapusan
darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan menjadi anemia
hipokromik mikrositer (Gambar 10), anemia normokromik normositer
(Gambar 11) dan anemia makrositer (Gambar 12). Pendekatan fungsional
bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan karena penurunan
produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan
angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang
ditandai oleh peningkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita
dapat menduga jenis anemia dan kemungkinan penyebabnya. Hasil ini
dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistic (pendekatan berdasarkan
pola etiologi anemia), yang bersandar pada dataepidemiologi yaitu pola
etiologi anemia di suatu daerah.37
b. Pendekatan probabilistik atau pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia
Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia
adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik dan
thalassemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa pada suatu daerah
perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia
defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat
penyakit kronik dan thalassemia. Pada perempuan hamil karena defisiensi
folat perlu juga mendapat perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat
malaria masih cukup sering dijumpai.37

73
Pada anak-anak tampaknya thalassemia lebih memerlukan
perhatian dibandingkan dengan anemia akibat penyakit kronik. Sedanglan
di Bali, mungkin juga di Indonesia, anemia aplastik merupakan salah satu
anemia yang sering dijumpai. Jika kita menjumpai anemia di suatu daerah,
maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi
perhatian kita pertama-tama. Dengan penggabungan bersama gejala klinis
dan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis
selanjutnya akan lebih terarah.37
c. Pendekatan klinis

Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah: 1)


kecepatan timbulnya penyakit (awitan anemia), 2) berat ringannya derajat
anemia, 3) gejala yang menonjol.37
d. Pendekatan berdasarkan beratnya anemia

Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi.

Anemia berat biasanya disebebkan oleh:37

1) Anemia defisiensi besi

2) Anemia aplastic

3) Anemia pada leukemia akut

4) Anemia hemolitik didapat atau kongenital seperti misalnya pada


thalassemia major
5) Anemia pasca perdarahan akut

6) Anemia pada GGK stadium terminal

Jenis anemia lebih sering bersifat ringan sampai sedang, jarang


sampai derajat berat ialah:37
1) Anemia akibat penyakit kronik

2) Anemia pada penyakit sistemik

3) Thalassemia Trait

Jika pada ketiga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat,


maka harus dipikirkan diagnosis lain, atau adanya penyebab lain yang
dapat memperberat derajat anemia tersebut.37
74
e. Pendekatan berdasarkan sifat gejala anemia

Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.


Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasardijumpai
pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastic, anemia hemolitik. Sedangkan
pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia
akibat penyakit sistemik, penyakit hati atau ginjal), gejala-gejala penyakit
dasar sering lebih menonjol.37
a. Pendekatan diagnostik berdasarkan tuntunan hasil laboratorium
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis
dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan
keterampilan klinis yang cukup. Pemeriksaan darah lengkap diperlukan
sebagai bagian dari evaluasi pada kadar hemoglobin, hematokrit, dan
indeks sel darah merah: mean corpuscular volume (MCV), mean
corpuscular hemoglobin (MCH), mean corpuscular hemoglobin
concentration (MCHC). Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan
diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (Gambar
9).37,39

Gambar 22. Algoritme penegakan anemia37

75
Gambar 23. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer37

Gambar 24. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer37

76
Gambar 25. Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer37

3.4.6. Tatalaksana

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien
anemia adalah:
1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu;37
2) Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan;37

3) Pengobatan anemia dapat berupa:37,39

a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akutakibat


anemia aplastik yang mengancam jiwa, atau pada anemia pasca
perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif

77
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia

d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemia


tersebut
4) Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Di sini harus dilakukan
pemamtauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan
penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan
perubahan diagnosis;
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda
gangguan hemodinamik.

Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat


simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell,
jangan whole blood. Pada anemia kronik, sering dijumpai peningkatan volume
darah, oleh karena itu transfuse diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga
diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi. Pada pasien
dengan anemia perdarahan akut, pertahankan hemoglobin >7 g/dL pada sebagian
besar pasien. Pasien dengan penyakit kardiovaskular membutuhkan tujuan
hemoglobin yang lebih tinggi >8 g/dL. Anemia karena defisiensi nutrisi: besi, B12,
dan folat, suplementasi zat besi secara oral sejauh ini merupakan metode yang
paling umum untuk pemenuhan zat besi. Dosis zat besi yang diberikan tergantung
pada usia pasien, defisit zat besi yang dihitung, tingkat koreksi yang diperlukan,
dan kemampuan untuk mentoleransi efek samping. Efek samping yang paling
umum termasuk adanya rasa logam saat meminum zat besi dan efek samping
gastrointestinal seperti sembelit dan tinja berwarna hitam. Untuk individu seperti
itu, mereka disarankan untuk mengonsumsi zat besi oral setiap hari, untuk
membantu meningkatkan penyerapan GI. Hemoglobin biasanya akan menjadi
normal dalam 6-8 minggu, dengan peningkatan jumlah retikulosit hanya dalam 7-
10 hari. Besi IV mungkin bermanfaat pada pasien yang membutuhkan peningkatan
kadar yang cepat. Pasien dengan kehilangan darah akut dan berkelanjutan atau
pasien dengan efek samping yang tidak dapat ditoleransi adalah kandidat untuk besi
IV.

78
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Ny, NY, Perempuan 54 tahun datang dengan keluhan sesak napas
yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS. Sejak ± 1 bulan SMRS pasien
mengeluh jantung berdebar semakin kencang. Jantung berdebar dirasakan saat
beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Pasien mengatakan sering berkeringat
berlebihan, suka udara dingin, dan sering gelisah merasa tidak nyaman sehingga
pasien sulit tidur. Pasien juga mengeluhkan sering mengalami rambut rontok
sebanyak genggaman tangan pasien (pasien sering menggunakan sarung tangan
ukuran M). Pasien juga merasakan sesak napas ketika beraktivitas. Sesak napas
hilang ketika beristirahat, dan tidak dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dan emosi.
Bengkak pada kaki dan tangan tidak ada. Leher semakin membesar tidak ada.
Pasien mengatakan badan terasa lemas. Pusing sempoyongan tidak ada. Pandangan
mata berkunang-kunang tidak ada. Telinga berdenging tidak ada. Nyeri dada tidak
ada, demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Berdasarkan hasil anamnesis tersebut kemungkinan pasien mengalami
peningkatan hormon tiroid (hipertiroid). Hal ini juga didukung dengan perhitungan
Index Wayne pada pasien didapatkan hasil sebagai berikut :
Indeks Wayne Formatted Table

Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah


No Nilai
Berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3

79
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada Formatted Table

1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
Kelopak mata tertinggal gerak bola
4 +1 -
mata
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur - -3
10 < 80x per menit - -
80 – 90x per menit +3 -
> 90x per menit +4 -

Berdasarkan Index Wayne, kalkulasi skor pada pasien didapatkan skor 21.
Interpretasi yang didapat pada skor >19 menunjukkan pada pasien ini dapat
dipastikan mengalami hipertiroid dengan gejala klinis yang khas.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluh, pasien mengatakan mulai mengalami
sesak nafas. Sesak nafas dirasakan terus menerus, tidak mereda dengan istirahat dan
sesak tidak dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dan emosi. Sesak disertai nyeri dada,
nyeri terasa seperti tertimpa benda berat, dan menjalar hingga ke lengan kanan.
Nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri mereda jika pasien mengubah posisi menjadi
duduk. Keluhan jantung berdebar kencang masih dirasakan. Pasien mengeluh
keringat berlebihan, suka udara dingin dan mengaku nafsu makan menurun serta
mengalami penurunan berat badan sebanyak 10 kg selama 2 bulan terakhir. Pasien
mengatakan badan terasa lemas. Pusing sempoyongan tidak ada. Pandangan mata
berkunang-kunang tidak ada. Telinga berdenging tidak ada. Nyeri dada tidak ada,

80
demam tidak ada, mual ada namun muntah tidak ada, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Pasien kemudian datang ke IGD RSMH Palembang untuk meminta
pertolongan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 130/100 mmHg, nadi
112x/menit, dari keadaan spesifik didapatkan rambut rontok, konjungtiva palpebral
pucat, eksoftalmus ada, retraksi kelopak mata tidak ada, lid lag tidak ada,
peningkatan tekanan vena jugularis (5+3) cmH20, distensi vena jugularis,
pembesaran kelenjar tiroid bilateral berupa nodul, bruit (+). Pada jantung iktus
kordis terlihat dan teraba di ICS VI linea axillaris anterior sinistra. Pada inspeksi,
palpasi, dan auskultasi abdomen terdapat palpitasi di regio umbilikal, hiperkinesis
tidak ada. Serta ditemukan tremor pada ekstermitas atas.
Pada pasien ini juga didapatkan tanda-tanda keterlibatan kardiovaskular
dengan adanya palpitasi, intoleransi latihan, heat intolerance, berat badan menurun.
Dari keluhan pasien menunjukkan bahwa adanya gangguan kardiovaskular akibat
gangguan fungsi kelenjar tiroid. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh
total, kalorigenesis, dan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik, yang mirip
dengan efek stimulasi adrenergik (takikardia, peningkatan kardiak output) sehingga
menimbulkan gejala dan tanda seperti keluhan pada pasien.
Keluhan yang diutarakan pasien juga mendukung ke tanda-tanda gagal
jantung. Untuk menyakinkan diagnosis, dilakukan penilaian kriteria diagnostik
framingham. Kriteria framingham pada pasien sudah terpenuhi dengan adanya 2
kriteria mayor, yaitu adanya distensi vena jugularis dan peningkatan tekanan vena
jugularis. Sehingga klinis pasien sudah dapat didiagnosis sebagai gagal jantung
berdasarkan kriteria diagnostik framingham.
Pada pemeriksaan leher ditemukan peningkatan JVP. Peningkatan JVP ini
dapat disebabkan karena peningkatan tekanan pada atrium kanan. Peningkatan
tekanan pada atrium kanan dapat disebabkan karena adanya peningkatan tekanan
arteri pulmonalis akibat kongesti pada paru sehingga ventrikel kanan sulit
memompakan darah ke arteri pulmonalis. Lama-kelamaan tekanan pada ventrikel
kanan akan meningkat sehingga tekanan pada atrium kanan juga ikut meningkat.
Batas jantung yang abnormal menunjukkan adanya kardiomegali yang timbul
sebagai kompensasi terhadap respon kelebihan beban volume yang menyebabkan

81
peningkatan regangan dinding berkelanjutan lalu merangsang perkembangan
hipertrofi miokard dan perubahan matriks ekstraseluler.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya anemia hipokrom
mikrositer, diperlukan pemeriksaan profil besi untuk menentukan kemungkinan
anemia pada pasien ini. Pada pemeriksaan hati didapatkan SGOT dan SGPT
meningkat. Pemeriksaan ginjal didapatkan Kreatinin meningkat. Pada pasien gagal
jantung dapat dipengaruhi oleh ketidaksesuaian diet pada pasien seperti kurangnya
asupan cairan atau diet tinggi protein. Pada pemeriksaan rontgen thorax PA,
didapatkan kesan gambaran kardiomegali. Pada penilaian EKG juga didapatkan
kesan asinus takikardi dengan left atrium enlargment. Dimana kedua temuan ini
dapat mendukung diagnostik gagal jantung pada pasien.
Prognosis penyakit jantung tiroid ditentukan oleh berat-ringannya gangguan
struktur dan atau fungsi jantung yang ada. Prognosis quo ad vitam pada pasien dubia
ad bonam karena keluhan sudah mengalami perbaikan. Pada pasien ini tidak
dapatkan gangguan fungsional jantung namun didapatkan adanya kardiomegali,
sehingga prognosis functionam pada pasien dubia ad malam. Pada pasien prognosis
quo ad santionam dubia ad malam, dikarenakan penyakit hipertiroid tergantung
pada kepatuhan pasien mengonsumsi obat.

82
DAFTAR PUSTAKA

1. Sundaru H, Sukamto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed.; 2014.
2. Liwang F, W P, Yuswar, Wijaya E, P. Sanjaya N. Kapita Selekta Kedokteran.5th
ed. Media Aesculapius; 2020.
3. Cookson MD, Stirk PMR. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam; 2019.
4. Cappola AR, Desai AS, Medici M, et al. Thyroid and Cardiovascular Disease:
Research Agenda for Enhancing Knowledge, Prevention, and Treatment. Am Hear
Assoc Journals. 2019.
5. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrisons Manual
of Medicine. 18. arg. McGraw-Hill Professional; 2012. 2709–2711
6. Young W. The Netter Colection of Medical Illustrations: Endocrine System. 2nd
arg. Philadelphia: Elsevier Inc; 2011. 35–51 or.
7. Dhali TK, Chahar M. Thyroid dermopathy — a diagnostic clue of hidden
hyperthyroidism. Dermatoendocrinol. 2014(e)ko ;(December):1–5.
8. Runge MS, Stouffer GA, Patterson CAM. Netter’s Cardiology. 2nd arg.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. 515–519.
9. British Columbia Ministry of Health. Thyroid Function Testing in the Diagnosis
and Monitoring of Thyroid Function Disorder. BC Guidel. 2018(e)ko ;1–12.
10. The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases.
Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. J ASEAN Fed
Endocr Soc. 2012(e)ko ;27(1):34–9.
11. Wantania FE. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Tiroid. J Biomedik. 2014(e)ko
;6(1):14–22.
12. Jameson, J Larry; Kasper, Dennis L; Longo, Dan L; Fauci, Anthony S; Hauser,
Stephen L; Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed.
McGraw-Hill Education; 2018.
13. Malik, Ahmad; Brito, Daniel; Vaqar Sarosh; Chhabra L. Congestive Heart Failure.
NCBI. Published online 2021.
14. Kemenkes RI. Situasi kesehatan jantung. Pus data dan Inf Kementeri Kesehat RI.
Published online 2014:3. doi:10.1017/CBO9781107415324.004

83
15. Gheorghiade M, Sopko G, Luca L De, et al. Contemporary Reviews in
Cardiovascular Medicine Navigating the Crossroads of Coronary Artery Disease
and Heart Failure CAD and HF : Epidemiology and Prognosis. Published online
2006:1202-1213. doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.106.623199
16. Al-nozha MM, Ismail HM, Nozha OM Al. Coronary artery disease and diabetes
mellitus. J Taibah Univ Med Sci. 2016;11(4):330-338.
doi:10.1016/j.jtumed.2016.03.005
17. Schultheiss H, Fairweather D, Caforio ALP, et al. Dilated cardiomyopathy. Nat Rev
Dis Prim. Published online 1984. doi:10.1038/s41572-019-0084-1
18. Schwinger RHG. Pathophysiology of heart failure. 2021;11(1):263-276.
doi:10.21037/cdt-20-302
19. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. In: Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I. Interna
Publishing; 2014:1128-1160.
20. Mann, Douglas L; Chakinala M. Pathophysiology and Diagnosis. In: Harrisons
Principles of Internal Medicine. 20th ed. McGraw-Hill Education; 2019:1763-
1779.
21. Kurmani S, Squire I. Acute Heart Failure : Definition , Classification and
Epidemiology. Published online 2017:385-392. doi:10.1007/s11897-017-0351-y
22. Malik, Ahmad; Brito, Daniel; Vaqar, Sarosh; Chhabra L. Congestive Heart Failure.
StatPearls. Published 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430873/
23. Setiati, Siti; Alwi, Idrus; Sudoyo, Aru W; K, Marcellus Simadibrata; Setiyohadi,
Bambang; Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Interna Publishing;
2014.
24. Motreff P, Cornillet L, Collet J, Furber A. Early Aldosterone Blockade in Acute
Myocardial Infarction. 2016;67(16). doi:10.1016/j.jacc.2016.02.033
25. Force, Mcdonagh TA, United C, et al. 2021 ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure Developed by the Task Force for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the European Society
of Cardiology (ESC). Published online 2021:3599-3726.
doi:10.1093/eurheartj/ehab368
26. Bhatt AS, Vaduganathan M, Claggett BL, et al. Effect of sacubitril / valsartan vs .
enalapril on changes in heart failure therapies over time : the PARADIGM-HF trial.

84
:2-8. doi:10.1002/ejhf.2259
27. The LTO. Comment on : Efficacy of early initiation of ivabradine treatment in
patients with acute heart failure : Rationale and design of SHIFT-AHF trial.
2021;(February):1725-1726. doi:10.1002/ehf2.13258
28. Ezekowitz JA, Zheng Y, Cohen-solal A, Ponikowski P, Voors AA, Westerhout CM.
Hemoglobin and Clinical Outcomes in the Vericiguat Global Study in Patients With
Heart Failure and Reduced Ejection Fraction. Published online 2021:1489-1499.
doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.121.056797
29. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for
the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults a Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Vol 71.; 2018.
doi:10.1161/HYP.0000000000000065
30. Journal J, Moc CME. JACC GUIDELINE COMPARISON on Heart Failure.
2019;73(21). doi:10.1016/j.jacc.2019.03.478
31. Mihaela A, Hodorogea AS. Treatment of Heart Failure with Preserved Ejection
Fraction. Published online 2018. doi:10.1007/5584
32. Transplantation L, Yancy CW, Jessup M, et al. 2017 ACC / AHA / HFSA Focused
Update of the 2013 ACCF / AHA Guideline for the Management of Heart Failure.
2017;70(6). doi:10.1016/j.jacc.2017.04.02525.
33. Habal, Marlena V; Garan AR. Long-term management of end-stage heart failure.
Best Pr Res Clin Anaesthesiol. 2017;31(2):153-166.
doi:10.1016/j.bpa.2017.07.003.LONG-TERM
34. Rider I, Sorensen M, Brady WJ, et al. American Journal of Emergency Medicine
Disposition of acute decompensated heart failure from the emergency department :
An evidence-based review. Am J Emerg Med. 2021;50:459-465.
doi:10.1016/j.ajem.2021.08.070

85

Anda mungkin juga menyukai