Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PAJAK INTERNASIONAL

Tentang

“Pemajakan Penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri”

Disusun Oleh

Kelompok V :

1. Zahra Ayunda (2016040024)


2. Khairunnisa (2016040032)

Dosen Pengampu :

Lativa Yuswanita, SE, M.

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2021/2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Puji syukur atas kehadiran Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PEMAJAKAN PENGHASILAN
WAJIB PAJAK LUAR NEGERI” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen Ibu Lativa Yuswanita, SE,M. pada mata
kuliah Pajak Internasioanl (Pilihan). Selain itu, Makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Pajak Internasional bagi para pembaca dan juga bagu penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Allah swt yang telah memberikan kesempatan untuk
tetap dapat melaksanakan kuliah seperti biasanya dan terkhususnya kami juga ucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu matakuliah Pajak Internasional dalam membimbing kami
membuat makalah ini.
Kami nenyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat kesalahan baik
dalam penulisan maupun kekurangan materi karena pengetahuan kami yang masih terbatas.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh

Padang. 8 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................................


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Wajib Pajak Luar Negeri ...................................................................


B. Wajib Pajak Luar Negeri Menjalankan Usaha atau Melakukan Kegiatan
Usaha Dengan Indonesia .................................................................... 4
C. Pengoperasian Anak Perusahaan ...................................................... 6
D. Prosedur Pemungutan ........................................................................ 9

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 13

A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
B. Saran .................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang

Pasal 1 UU PPh menyatakan bahwa pajak penghasilan (Indonesia) dikenakan


terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.
Selintas, ketentuan ini sepertinya menyiratkan bahwa Indonesia dapat mengenakan
pajak kepada siapa saja dan di mana saja. Namun dari penjelasan nampak bahwa subjek
yang dikenakan pajak tersebut terbatas kepada mereka yang disebut Wajib Pajak, yaitu
subjek pajak yang (benar benar) memperoleh atau menerima penghasilan selama tahun
pajak. Hal ini menjadi semakin jelas apabila dibaca ketentuan Pasal 2A tentang
kewajiban pajak subjektif tiap kelompok wajib pajak.
Sesuai dengan “nature”-nya Subjek Pajak meliputi (1) Orang Pribadi (orang
perorangan yang terdiri dari darah dan daging), dan (2) Badan (yang terdiri atas orang-
orang pribadi) (walaupun dalam Pasal 2(1) UU PPh dikelompokkan menjadi (1) Orang
pribadi; (2) Warisan yang belum terbagi; (3) Badan; dan (4) Bentuk Usaha Tetap).
Dalam kaitannya dengan lokasi teritorial, subjek pajak meliputi (1) subjek pajak dalam
negeri, dan (2) subjek pajak luar negeri. Walaupun terdapat perbedaan antara Subjek
Pajak (wajib) pajak potensial) dengan Wajib Pajak (subjek pajak yang mempunyai objek
pajak atau wajib pajak faktual), sehubungan dengan orang pribadi dan badan luar negeri,
karena mereka hanya berhubungan dengan administrasi pajak Indonesia apabila
memperoleh atau menerima penghasilan (terdapat pertalian ekonomis) dari negara
tersebut, secara administratif istilah yang lazim dipakai adalah Wajib Pajak Luar Negeri
(WPLN) karena sesuai dengan ketentuan Pasal 2 A (3), dan (4) kewajiban pajak
subjektif mereka mulai pada saat terdapat obyek pajak (penghasilan) dan pada saat itu
subjek pajak luar negeri otomatis menjadi Wajib Pajak.
WPLN dapat memperoleh atau menerima penghasilan dari Indonesia dengan
berbagai cara dan melalui berbagai sarana. Setelah membahas pengertian WPLN, bab
ini akan mendiskusikan berbagai cara dan sarana perolehan penghasilan tersebut dan
pemajakannya.
B . Rumusan Masalah

1. Apa itu Wajib Pajak Luar Negeri?


2. Bagaimana Wajib Pajak Luar Negeri Menjalankan Usaha atau Melakukan
Kegiatan Usaha Dengan Indonesia?
3. Bagaimana Pengoperasian Anak Perusahaan?
4. Bagaimana Prosedur Pemungutan?

1
C . Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui apa itu Wajib Pajak Luar Negeri


2. Untuk Mengetahui bagaimana Wajib Pajak Luar Negeri Menjalankan Usaha atau
Melakukan Kegiatan Usaha Dengan Indonesia
3. Untuk mengetahui bagaimana Pengoperasian Anak Perusahaan
4. Untuk Mengetahui bagaimana Prosedur Pemungutan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A . Wajib Pajak Luar Negeri

a. Pengertian
Pasal 2(4) UU PPh memberikan batasan tentang siapa WPLN. Sehubungan
dengan Orang Pribadi, yang menjadi WPLN adalah mereka yang (1) tidak bertempat
tinggal di Indonesia, dan (2) berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari, dan (3)
tidak berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Berbeda dengan kriteria penentu
apakah seseorang merupakan WPDN yang bersifat alternatif, kriteria penentu
apakah seseorang merupakan WPLN bersifat kumulatif. Dengan demikian hanya
orang yang berada di Indonesia selama tidak lebih dari 183 hari dan tidak bertempat
tinggal serta tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia akan
dikategorikan sebagai WPLN.

Sementara itu, badan dapat dikategorikan sebagai WPLN apabila (1) tidak
didirikan di (tepatnya adalah didirikan sesuai dengan atau tunduk hukum) Indonesia,
dan (2) tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Sebuah Perseroan Terbatas
walaupun didirikan di Singapura dapat menjadi bukan merupakan WPLN apabila
menurut keadaan nyata bertempat kedudukan di Indonesia. Sesuai dengan ketentuan
yang berlaku penentuan apakah suatu badan bertempat kedudukan di Indonesia
dapat mendasarkan pada (1) tempat kedudukan statuter (sebagaimana tercantum
dalam akte pendirian), (2) tempat kantor pimpinan perusahaan, dan (3) tempat
kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya yang ditentukan Direktur Jenderal
Pajak. Kalau kriteria (1) dan (2) cukup jelas, kriteria ke (3) tampak mengambang
kurang jelas dan tampak sepertinya semacam “basket rule” untuk menampung fakta
(keadaan sebenarnya) namun fakta itu diperlemah bobotnya oleh diskresi
administatif Dirjen Pajak. Untuk mengelaborasi kriteria terakhir tersebut perlu
kiranya dilihat beberapa praktik internasional. Berbagai kriteria (umum) yang dapat
dipakai sebagai rujukan penentu tempat kedudukan, seperti tempat manajemen
(efektif, sentral, atau terdaftar), lokasi usaha utama, dan sebagainya.

b. Kewajiban Pajak
Berbeda dengan WPDN yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan
pertalian subjektif atau personal yang dapat bersifat formal maupun ekonomis,
WPLN dikenakan pajak penghasilan berdasarkan pertalian ekonomis. Pertalian
tersebut dapat dalam bentuk (1) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, atau (2) memperoleh atau menerima penghasilan dari sumber di

3
Indonesia. Karena pertalian fiskalnya dimulai dengan adanya pertalian ekonomis
berarti ada subjek dan objek sekaligus dalam UU PPh secara administratif lebih tepat
untuk langsung memakai sebutan WPLN.

Karena pemicu pemajakan WPLN adalah pertalian ekonomis (economic


allegiance), Pasal 2A(3) dan (4) menyatakan bahwa kewajiban pajak subjektif dan
objektif WPLN timbul bersamaan waktunya pada saat adanya pertalian ekonomi
tersebut yang berupa penerimaan atau perolehan penghasilan atau mulainya kegiatan
ekonomis (usaha) untuk itu. Selanjutnya pertalian perpajakan batal pada saat
putusnya pertalian ekonomis tersebut. Berbeda dengan ikatan pajak yang didasarkan
pada pertalian subjektif yang memungkinkan negara pemungut pajak berkemampuan
untuk menjangkau kapasitas pemajakan (taxable capacity) global (karena orangnya
berada dalam jangkauan yurisdiksi negara pemungut pajak), WPLN (dengan
pertalian ekonomis dan jangkauan yurisdiksi terbatas) hanya dikenakan pajak per
basis (geografis) teritorial.

Selaras dengan wujud pertalian ekonomis (sumber pemberi Penghasilan),


pemajakan terhadap WPLN dapat dibedakan kepada mereka yang memperoleh atau
menerima penghasilan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, mengoperasikan anak perusahaan di Indonesia, atau selain itu. WPLN
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT
dikenakan pajak selayaknya usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan
oleh WPDN. Hal tersebut diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional
yang menghendaki perlakuan nondiskriminasi dan kesetaraan perlakuan (periksa
Pasal 24 Model OECD). Dengan demikian, BUT dikenakan pajak, antara lain,
berdasarkan (1) basis neto, (2) tarif umum, (3) hak atas kompensasi kerugian, dan
(4) kewajiban administratif lainnya. Dan selanjutnya karena laba setelah pajak dari
penghasilan usaha perusahaan (badan) WPDN dikenakan potongan pajak (atas
dividen), untuk menjaga kesetaraan pemajakan, laba setelah pajak BUT yang
disetarakan dengan “dividen” juga dikenakan pajak (branch-profit taxation).

B . Wajib Pajak Luar Negeri yang Menjalankan Usaha atau MelakukanK egiatan
Dengan Indonesia (Belum Memenuhi Ketentuan Bentuk Usaha Tetap)

a. Pengantar
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2(5) dan 26, pemajakan atas
penghasilan dari usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan WPLN di
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi pemajakan atas penghasilan dari usaha atau
kegiatan pada umumnya, pemberian jasa, dan perusahaan asuransi.

4
b. Usaha dan Kegiatan pada Umumnya
Selaras dengan pemajakan berdasarkan pendekatan ambang batas (threshold
taxation), penghasilan dari usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan
dengan (di) Indonesia yang belum mencapai tingkat ambang batas pemajakan (BUT)
tidak dikenakan pajak oleh negara tersebut. Penghasilan tersebut (seperti ekspor
barang ke Indonesia) dianggap diperoleh WPLN melalui transaksi bisnis dengan
pelanggan Indonesia dan diakui sebagai peredaran atau penghasilan WPLN
dimaksud yang bersumber di negara domisili dan oleh karenanya dikenakan pajak
oleh negara (tempat kedudukan) dimaksud. Dengan demikian, diharapkan terdapat
harmonisasi saat (tingkat) tahapan atau keserasian waktu pengenaan pajak oleh
Indonesia dan negara tempat kedudukan perusahaan. Sehingga tidak akan terjadi
pajak ganda tanpa suatu keringanan. Hal ini selaras dengan kelaziman internasional,
dan diharapkan dapat mengurangi dampak negatif pajak terhadap kelancaran arus
dan peningkatan mobilitas transnasional barang dan jasa.

c. Pemberian Jasa
Pasal 2(5) UU PPh menentukan bahwa aktivitas pemberian jasa dapat
menjadi BUT apabila berlangsung selama lebih dari 60 (enam puluh) hari. Sama
halnya dengan bisnis, aktivitas pemberian jasa mengandung risiko dan oleh
karenanya perlu diberikan ambang batas pemajakan (threshold taxation). Sebelum
mencapai ambang batas 60 (enam puluh) hari tersebut, aktivitas pemberian jasa
WPLN di Indonesia belum layak dikenakan, pajak seperti kegiatan pemberian jasa
oleh WPDN. Perlu disadari bahwa pemberian ambang batas pemajakan (60 hari)
bukan berarti bahwa kegiatan pemberian jasa yang kurang dari batas waktu
dimaksud dikecualikan dari pemajakan Indonesia (seperti pada penghasilan usaha).
Pasal 26 (1) (d) menegaskan pemajakan atas penghasilan dari pemberian jasa dalam
jangka waktu yang belum memenuhi ketentuan BUT tersebut. Sebagaimana
pemajakan atas penghasilan WPLN pada umumnya, penghasilan dari pemberian jasa
dimaksud dikenakan potongan pajak per basis bruto. Dengan demikian, dalam
pemajakan atas penghasilan jasa WPLN, UU PPh tampak menerapkan standar ganda
(1) potongan pajak per basis bruto, dan (2) penetapan pajak per basis- neto untuk
kegiatan pemberian jasa yang mencapai level BUT. Dalam praktik dapat terjadi
bahwa sebelum diketahui dengan jelas apakah kegiatan pemberian jasa tersebut akan
mencapai level BUT, oleh pemakai jasa WPDN Indonesia berdasarkan kuasa Pasal
26 (1) (d), atas penghasilan tersebut telah dipotong pajak. Kemudian apabila sesuai
dengan ketentuan Pasal 2 (5) kegiatan pemberian jasa tersebut memenuhi ketentuan
jangka waktu adanya BUT, berdasarkan kuasa Pasal 26 (5), potongan pajak Pasal 26
(1) (b) tersebut dapat dikreditkan dengan pajak yang terutang atas BUT. Kecuali
P3B menentukan lain, setiap penghasilan dari pemberian jasa di Indonesia akan

5
selalu dikenakan pajak apakah per basis bruto (Pasal26) atau per basis neto (Pasal 2
(5), dan Pasal 17). Terlepas dari implikasi bahwa yurisdiksi ganda ini akan
menghambat mobilitas jasa transnasional, sebagai negara pengimpor dan sekaligus
konsumen jasa yurisdiksi demikian memproteksi basis pemajakan dan perolehan
penerimaan dari kegiatan pemberian jasa global.

d. Perusahaan Asuransi
Sama halnya dengan penghasilan dari pemberian jasa WPLN, UU PPh
menganut standar ganda dalam pemajakan atas penghasilan perusahaan asuransi
WPLN. Penerimaan premi atau penutupan risiko di Indonesia oleh perusahaan
asuransi WPLN pertama-tama dapat dikenakan pemajakan per basis prakiraan
penghasilan neto dengan sistem potongan (Pasal 26(2)). Berbeda dengan
penghasilan dari pemberian jasa, penghasilan perusahaan asuransi WPLN dikenakan
pajak berdasarkan taksiran penghasilan neto. Berdasarkan ketentuan yang berlaku,
tergantung kepada sifat pertanggungannya, prakiraan penghasilan neto dimaksud
adalah (1) 50% (untuk asuransi pertama), (2 )10% (untuk reasuransi pertama), dan
(3) 5% (untuk reasuransi kedua dan seterusnya). Dengan tarif 20% akan
menghasilkan tarif pajak efektif 10%, 2%, dan 1% dari penerimaan premi bruto.
Kedua, apabila kegiatan penerimaan premi atau penutupan risiko tersebut memenuhi
kriteria BUT (dilakukan oleh pegawai atau agen), perusahaan asuransi WPLN
dikenakan pajak selayaknya perusahaan asuransi WPDN (basis neto dan tarif
progresit).

C . Pengoperasian Anak Perusahaan


a. Pengantar
WPLN yang bermaksud untuk memperlebar sayap usaha, kegiatan atau
investasinya di Indonesia dapat melakukannya dengan mendirikan cabang atau anak
perusahaan (subsidiary company). Anak perusahaan dapat terjadi dengan pendirian
badan baru atau pembelian sebagian besar saham badan Indonesia yang sudah
berjalan. Dari segi perpajakan, sementara mendirikan cabang perusahaan dapat
memunculkan BUT, pengoperasian anak perusahaan menimbulkan Wajib Pajak
badan dalam negeri (apabila didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia).

b. Anak Perusahaan Tidak Dengan Sendirinya Merupakan Bentuk Usaha


Tetap
Berbeda dengan BUT, anak perusahaan merupakan entitas legal mandiri
terpisah dari induk perusahaan walaupun permodalannya dipenuhi dan/atau transaksi
usaha atau kegiatannya dikendalikan oleh induk perusahaan. Sebagai entitas terpisah
dari induk perusahaan (WPLN), anak perusahaan mempunyai eksistensi sendiri dan
pada umumnya bukan otomatis dengan sendirinya merupakan BUT dari WPLN

6
dimaksud. Namun, apabila berdasarkan kenyataan anak perusahaan tersebut
bertindak sebagai agen dipenden atau mewakili kepentingan induk perusahaan anak
perusahaan tersebut berpeluang untuk dapat menjadi BUT.

c. Pemajakan Anak Perusahaan


Pada prinsipnya UU PPh tidak menganut diskriminasi pemajakan antarbadan
hanya karena perbedaan status pemegang sahamnya apakah persero WPDN atau
WPLN. Setiap badan, walaupun sahamnya dimiliki oleh WPDN ataupun WPLN
dikenakan pajak dengan ketentuan yang sama sebagaimana telah dibahas pada Bab
II seksi 2. Perbedaan hanya terletak pada pemajakan atas dividen yang dibagikan
kepada badan WPDN (dengan persyaratan tertentu dapat) dikecualikan dari
pengenaan pajak (Pasal 4(3)(f) UU PPh). Sementara itu, Pasal 26 (1)(a) menyatakan
bahwa dividen yang dibagikan kepada (badan) WPLN selalu terutang pajak per basis
bruto dengan tarif 20%. Karena pembebasan dari pajak atas penghasilan dari
partisipasi pemilikan saham (participation exemption), tidak diperluas dengan
persero badan WPLN, tampak bahwa badan. WPDN lebih mendapat kelonggaran
iklim investasi dari WPLN. Namun hal tersebut dapat dimengerti karena perbedaan
status Wajib Pajak.

d. Penghasilan Luar Negeri Anak Perusahaan


Anak perusahaan WPLN pada umumnya berstatus sebagai WPDN. Oleh
karena itu berbeda dengan BUT yang dikenakan pajak per basis territorial, anak
perusahaan WPLN dikenakan pajak per basis global. Semua penghasilan yang
diperoleh dari luar Indonesia baik berupa penghasilan usaha atau kegiatan melalui
suatu BUT diluar Indonesia atau penghasilan pasif maupun kategori lainnya, dalam
rangka mengaplikasikan kebijakan netralitas ekspor kapital penghasilan luar negeri
tersebut akan dikenakan pajak (lagi) oleh Indonesia. Konsekuensi dari pemajakan
dimaksud, sebagai negara domisili pemegang hak pemajakan sekunder (secondary
taxing rights) berdasar ketentuan Pasal 24 UU PPh akan diberikan kredit pajak atas
pajak yang dibayar (terutang) di negara sumber.
Sebagaimana yang berlaku agai belahan dunia, sebagai penganut prinsip
arm's length profit, semua transaksi yang terjadi antara induk perusahaan di luar
negeri dengan anak perusahaan di Indonesia (WPDN) maupun antar sesama anak
perusahaan dari induk yang sama atau lainnya yang termasuk kelompok perusahaan
harus dihitung dengan dengan harga wajar, yaitu harga yang terjadi seandainya
beberapa perusahaan dalam satu grup tersebut bertransaksi yang sama dengan para
pihak independent di luar grup dimaksud. Dari harga wajar ini akan dapat diperoleh
laba yang wajar (arm's length profit). Laba wajar ini akan mendorong keadilan atau
ekualitas pengenaan pajak antara perusahaan yang berada dalam dan bertransaksi
dengan anggota grupnya dengan mereka yang tidak berada dalam grup perusahaan
atau yang bertransaksi dengan pihak independen.

7
e. Terminasi Anak Perusahaan
Terminasi anak perusahaan dapat terjadi karena, misalnya, (1) likuidasi, (2)
penggabungan, (3) peleburan, dan (4) pengambilalihan. Sedangkan terminasi
kepemilikan saham (mungkin tanpa mengganggu jalannya perusahaan) pda anak
perusahaan dapat terjadi karena pengalihan saham dimaksud. Semua transaksi
tersebut di atas dapat mengakibatkan perolehan atau penerimaan penghasilan
(keuntungan). Keuntungan tersebut merupakan objek pajak. Berbeda dengan
terminasi anak perusahaan, yang keuntungannya dikenakan pajak pertama pada anak
perusahaan tersebut sebagai penghasilan dari pengalihan harta dan baru berikutnya
pada pemegang saham (induk perusahaan sebagai dividen likuidasi), keuntungan
dari terminasi pemilikan saham pada anak perusahaan langsung dikenakan pajak
pada pemegang saham (induk perusahaan sebagai keuntungan pengalihan harta).
Karena anak perusahaannya masih eksis, walaupun pemegang sahamnya (induk)
berbeda, sehubungan dengan terminasi kepemilikan saham tersebut anak perusahaan
tidak tersentuh oleh aspek pemajakan. Apabila pengalihan saham tersebut dilakukan
pada bursa efek di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, penghasilan
dari pengalihan tersebut akan dikenakan potongan pajak. Namun, kalau pengalihan
tersebut terjadi di luar bursa dan bahkan di luar Indonesia akan terdapat masalah
dalam penagihan pajak walaupun berdasarkan ketentuan Pasal 2(4), 24(3)(a), dan
26(2) UU PPh, Indonesia mempunyai klaim pemajakan atas penghasilan dimaksud.
Apabila anak perusahaan yang digabung atau dilebur tersebut bergerak di
bidang usaha perbankan atau akan menjual sahamnya di bursa efek, keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 469 Tahun 1998, atas kuasa Pasal 10 (3) UU PPh,
menyatakan bahwa penggabungan atau peleburan tersebut dapat dilakukan
berdasarkan nilai buku (pooling of interest method). Pemberlakuan metode pooling
(penyatuan kepentingan) tersebut mengecualikan transaksi peleburan dan
penggabungan anak perusahaan dari pengenaan pajak penghasilan atas
keuntungannya (kalau ada). Kalau semula kerugian yang diderita oleh pengusaha
yang dilebur tidak boleh dipindahkan (carry over) pada perusahaan yang tetap hidup
(Surviving Company), dalam ketentuan ini kerugian yang masih berhak atas
kompensasi dapat dilimpahkan kepada pengusaha yang tetap hidup apabila pada
perusahaan lama telah diadakan penilaian kembali atas aktiva perusahaan dimaksud
dan rugi tersebut telah diperhitungkan dengan kelebihan nilai revaluasi aktiva
dimaksud. Namun dalam praktik ketentuan demikian sering disalahgunakan oleh
para pihak yang kurang proporsional dengan menggabungkan. perusahaan yang laba
kepada yang rugi dengan demikian tidak perlu keluar biaya dan pajak untuk
revaluasi aktiva. Rekayasa demikian kadangkala masih ditambahi dengan penerapan
Standar Akuntansi Keuangan, yang memperbolehkan pencatatan selisih transaksi
antara nilai pasar (wajar) aktiva dengan nilai buku pada perkiraan antara Selisih
Transaksi antar Ekuitas Sepengendali (STRES) yang sebetulnya merupakan

8
disklasure transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Karena
ketentuan pajak menganut arm's length profit, selisih nilai pada perkiraan STRES
tersebut merupakan koreksi harga transfer (transfer pricing) yang dapat dikenakan
pajak. Transaksi demikian biasanya diikuti dengan pemberian hak atau nilai lebih
kepada pemegang saham yang berasal dari perusahaan yang memperoleh laba
(dengan kesepakatan dari persero perusahaan yang merugi).

D . Prosedur Pemungutan
a. Pengantar
Seperti kelaziman yang terjadi dalam pemajakan atas penghasilan di
beberapa negara, UU PPh membedakan antara mereka yang karena kehadiran fisik,
atau alasan lainnya berada di dalam yurisdiksi pemajakan Indonesia diperlakukan
sebagai sepenuhnya terutang pajak atas semua penghasilan (full tax liability) dengan
mereka yang tidak hadir atau kehadirannya hanya bersifat sementara atau
transisional dan oleh karenanya diperlakukan sebagai hanya terutang pajak atas
sebagian penghasilannya (limited tax liabillity). Perbedaan tersebut dapat
mendasarkan pada alasan filosofis atau praktis. Secara filosofis orang yang tidak
hadir atau hadir di Indonesia namun tidak permanen (WPLN) nampak memperoleh
keringanan beban pemajakan domestik karena mereka dianggap mendapatkan
manfaat dari pemerintah atau memperoleh manfaat namun tidak sebanyak yang
didapatkan oleh WPDN. Dari segi praktis administratif rasanya kurang mungkin
untuk dapat mengenakan pajak terhadap WPLN atas seluruh penghasilannya,
sebagaimana terhadap WPDN, karena kesulitan untuk melaksanakan penetapan dan
penegakan kewajiban pajak pada seseorang yang pribadi dan asetnya berada di luar
yurisdiksi pemajakan, atau karena kurang layak atau tidak pada tempatnya untuk
menghalangi WPLN untuk berinvestasi atau berbisnis dengan masyarakat Indonesia
dengan mengenakan beban pajak yang kurang dapat diterima.
Berbeda dengan WPDN yang dikenakan pajak berdasarkan pertalian
subjektif atau personal (personal allegiance), pertalian objektif WPLN ditentukan
berdasarkan hubungan teritorial negara pemungut pajak (Indonesia) dengan objek
(penghasilan) yang akan dikenakan pajak. Unsur utama penentu hubungan tersebut
termasuk (1) tempat aktivitas ekonomi dilakukan, dan (2) lokasi sumber
penghasilan. Karakteristik dari pemajakan WPLN, yang dikenakan pajak berdasartan
pertalian objektif, adalah keberadaan Wajib Pajak (secara fisik) di luar jangkauan
yurisdiksi (negara) tersebut, UU PPh memperkenalkan dua sistem pemungutan
pajak, yaitu dengan (1) penetapan sendiri (self assessment), dan (2) pemotongan
pada sumbernya (withholding system).

9
b. Penetapan Sendiri
Selaras dengan kelaziman internasional, ketentuan perpajakan Indonesia
memberlakukan sistem pemungutan pajak berdasarkan penetapan (assessment).
Sistem tersebut diberlakukan terhadap WPLN yang terutang pajak sehubungan
dengan penghasilan dari usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan melalui
suatu BUT di Indonesia. Seperti halnya usaha yang dijalankan dan kegiatan yang
dilakukan oleh WPDN, BUT mempunyai kewajiban dan hak administratif yang
sama. Agar sistem self assessment dapat berjalan dengan baik, BUT mempunyai
kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan sedemikian rupa sehingga dapat
menghitung sendiri pajak penghasilannya dan melaporkan penghitungan itu dalam
SPT tahunan. BUT juga dapat diperiksa dan kemudian dievaluasi tentang kepatuhan
dan pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Apabila berdasarkan pemeriksaan
tersebut, dikeluarkan ketetapan pajak dan BUT merasa kurang setuju, keberatan dan
selanjutnya banding dapat diajukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c. Pemotongan Pada Sumbernya

1) Mekanisme Pemotongan
Berbeda dengan penghasilan dari usaha yang dijalankan atau kegiatan
yang dilakukan melalui BUT di esia, yang dikenakan pajak berdasarkan
assessment (ketetapan), dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan dari jasa
(termasuk kekaryaan), premi asuransi dan penghasilan tertentu lainnya yang
diterima atau diperoleh WPLN non-BUT dikenakan pajak berdasarkan
sistem pemotongan (withholding system). Berdasarkan ketentuan Pasal 26 si
pembayar atau penyedia penghasilan merupakan pihak yang diwajibkan
sebagai pemotong (withholder). Sistem ini secara administratif adalah sangat
efektif dan menarik bagi administrasi pajak, dan merupakan salah satu cara
yang sangat bermanfaat apabila hubungan WPLN dengan Indonesia hanya
melalui pihak penyedia penghasilan kepadanya. Pajak yang dipotong tersebut
bersifat final dan dengan demikian WPLN yang dimaksud tidak perlu lagi
membuat perhitungan dan menyampaikan laporan pada akhir tahun pajak.
Penyedia penghasilan, sebagai pemotong, dapat berupa bank atau lembaga
keuangan lainnya yang setiap hari melakukan pembayaran dalam frekuensi
yang besar. Dengan demikian, bagi administrasi pajak kegiatan harian
tersebut merupakan sarana yang baik untuk sekaligus berfungsi sebagai
mekanisme pengumpul pajak. Sedangkan bagi pihak pemotong, pemotongan
pajak merupakan tambahan mekanisme proses pembayaran.
Namun, dalam sistem pemotongan pajak tersebut, boleh jadi terdapat
beberapa masalah bagi WPLN. Pertama, karena bersifat final mungkin pajak
tersebut agak jauh dari karakternya sebagai pajak yang dikaitkan dengan
penghasilan. Dapat terjadi bahwa dalam pembayaran tersebut hanya terdapat

10
sedikit keuntungan dan menyebabkan potongan pajak menjadi eksesif.
Dalam hal ini, administrasi pajak mungkin dapat memberikan keringanan
atas pengurang penghasilan, namun verifikasi atas kebenaran jumlahnya
tidak mudah. Kedua, mungkin dapat terjadi adanya selisih pendapat atau
interpretasi antara WPLN dengan pihak pemotong mengenai ketepatan
pemotongan. Dalam kasus ini, WPLN agak sulit untuk mempertahankan diri
agar tidak dikenakan potongan pajak. Untuk menghindari pemotongan pajak
tersebut, dalam praktik, WPLN menentukan syarat "net basis" dalam kontrak
awal dengan potongan pajak merupakan tanggungan pemotong. Masalah
yang ketiga adalah kalau terjadi salah potong, pada umumnya WPLN
mengalami kesulitan untuk menarik kembali potongan pajak tersebut karena
tiadanya mekanisme restitusi yang jelas.

2) WPLN Menolak Pemotongan


Sebagai pajak langsung, potongan pajak pada sumbernya dimaksudkan
untuk ditanggung (dipikul) oleh penerima penghasilan. Namun, adakalanya,
penerima penghasilan WPLN kurang suka untuk berurusan dengan potongan
pajak tersebut. Dalam berkelit dari unsur pemotongan, mereka dapat
meminta kepada penyedia penghasilan untuk menanggung beban potongan
pajak atau mereka membuat kontrak dengan syarat "net basis". Dengan
demikian WPLN tersebut hanya menerima jumlah bersihnya saja tanpa
perhitungan potongan pajak.
Sehubungan dengan kasus kontrak “net basis” tersebut, terhadap
penyedia penghasilan WPDN, Pasal 2 (d) PP Nomor 47 Tahun 1994
menyatakan bahwa pajak yang ditanggung pemberi penghasilan tersebut
dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajaknya dengan syarat bahwa
pajak tersebut harus ditambahkan sebagai penghasilan kena pajak WPLN
(gross up). Perkecualian terhadap ketentuan gross up tersebut berlaku
terhadap dividen karena dividen bukanlah merupakan biaya atau pengurang
penghasilan bagi perusahaan pembagi dividen. Sistem “net basis” atau
“gross up” tersebut mengoreksi tarif nominal Pasal 26 (sebesar 20 %)
menjadi tarif efektif 25% (100 x 20%).
Dengan demikian, kalau terjadi pengalihan tanggungan pajak kepada perusahaan
pembagi dividen, pajak dimaksud merupakan bagian dividen (WPLN) yang bukan
merupakan pengurang penghasilan pembagi dividen. Hal tersebut berbeda misalnya
dengan biaya sewa, imbalan jasa, dan royalti yang pajak atasnya dapat merupakan
bagian dari imbalan dimaksud.
Sehubungan dengan sistem tersebut, pertanyaan dapat diajukan atas pemberian
keringanan pajak berganda internasional di negara domisili. Berkenaan dengan kasus
tersebut, Stanley S Surrey, dalam artikel Some Foreign Tax Credit Issues sebagaimana

11
terdapat dalam buku United States Taxation and Developing Countries yang dieditori
oleh Robert Hellawell (1980), menyodorkan dua alternatif pemajakan yaitu (1) metode
bruto, dan (2) metode neto. Untuk memperjelas uraiannya, diberikan contoh utang
sebesar US$ 1.000 dengan bunga 10 % (US$ 100) dan potongan pajak 25% (US$ 25).
Dalam metode bruto (“gross-loan method”), diasumsikan bahwa tarif bunga 10%
tersebut adalah setelah dipotong pajak sebanyak 25% dan dengan demikian
menghasilkan tarif efektif bunga sebesar 13,33%. Selanjutnya, perusahaan dihitung
menerima penghasilan sebesar US$ 133 dengan hak kredit pajak sebesar US$33.
Sementara itu, metode neto mengasumsikan bahwa potongan pajak US$ 25 sebagai
tambahan bunga yang kemudian, sama seperti pada metode bruto, perusahaan dianggap
menerima bunga US$ 133 (US$ 100 + US$ 33) dengan klaim kredit pajak sebesar US$
33.

Kalau secara sederhana, di negara domisili perusahaan (hanya) dihitung


memperoleh penghasilan bunga sebesar US$ 100 dengan diberikan kredit pajak sebesar
US$ 25 (yang tidak dibayar dan ditanggung sendiri olehnya), maka wajib pajak akan
mendapat keuntungan dari pengkreditan pajak yang secara nyata “bukan merupakan
haknya” (tax swing credit). Untuk debitor Indonesia modal kontrak demikian akan
menambah biaya kapitalnya dan meningkatkan biaya produksi serta dapat memperlemah
daya saing perusahaan. Penerimaan negara secara keseluruhan terdapat tambahan
sebesar US$ 8 (US$ 33-25) dikurangi lagi dengan pengurangan PPh atas tambahan
pajak yang ditanggung debitor tersebut sebanyak US$ 2,4 (30% X US$ 8) sehingga
memberikan tambahan neto sebanyak USD 5,6 atau sekitar 22,4% (85,6+ US$ 25).

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Yang menjadi WPLN adalah mereka yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dan tidak berniat untuk
bertempat tinggal di Indonesia. Badan yang dikategorikan sebagai WPLN
apabila tidak didirikan di (ditempatnya adalah didirikan sesuai dengan atau
tunduk hukum) Indonesia, dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Berbeda
dengan WPDN Yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan pertalian
subjektif atau personal yang dapat bersifat formal maupun ekonomis, WPLN
dikenakan pajak penghasilan berdasarkan pertalian ekonomis.
Pada Wajib Pajak Luar Negeri yang Menjalankan Usaha atau Melakukan
Kegiatan Dengan Indonesia terdiri dari pengantar, usaha dan kegiatan pada
umumnya, pemberian jasa, dan perusahaan asuransi.
Pada Pengoperasian Anak Perusahaan terdiri dari Pengantar, Anak
Perusahaan Tidak Dengan Sendirinya Merupakan BUT, Pemajakan Anak
Perusahaan, Penghasilan Luar Negeri Anak Perusahaan, dan Terminasi Anak
Perusahaan. Lalu, di Prosedur Pemungutan ini ada Pengantar, Penetapan Sendiri
dan Pemotongan Pada Sumbernya.

B. Saran
Dari pembahasan yang telah dipaparkan diatas tentu saja masih jauh dari
yang namanya kesempurnaan, baik dalam isi pembahasan, cara penyusunan dan
pengetikan ataupun juga nama gelar yang ditulis dimakalah, khususnya pada isi
makalah ini. Kami selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Terimakasih.

13
DAFTAR PUSTAKA

Gunardi. 2007. Pajak internasional edisi revisi 2007. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

14

Anda mungkin juga menyukai