Anda di halaman 1dari 3

Nama : Yunisa Karunia Lidia Sinaga

Nim : 4203220013

Kelas : PSB 20 C

Pemanfaatan Unte Pangir (Citrus hystrix) Sebagai Tradisi Pada Masyarakat Suku Batak
Toba

Etnobotani berasal dari kata etno (etnis) dan botani. Etno berarti masyarakat adat/kelompok
sosial kebudayaan yang mempunyai arti tertentu karena keturunan, adat agama, bahasa dan lain
sebagainya. Sedangkan botani adalah tumbuh tumbuhan. Etnobotani adalah interaksi antara
masyarakat setempat dengan lingkungan hidupnya, secara spesifik pada tumbuh tumbuhan serta
pengkajian penggunaan tumbuhan sebagai makanan, perlindungan atau rumah, pengobatan,
pakaian, perburuan dan upacara adat. Suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara
masyarakat lokal dan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan tentang sumber daya
tumbuhan. Dalam rangka memberikan pengetahuan yang lebih baik kepada masyarakat tentang
pemanfaaatan tumbuhan sebagai tradisi maka perlu diperkenalkan etnobotani tumbuhan yang
berpotensi sebagai tradisi kepada masyarakat.
Orang Batak sangat mengenal yang disebut Unte Pangir atau dalam bahasa Indonesia disebut
Jeruk Purut atau bahasa latinnya Citrus hystrix . Pada jaman dimana orang Batak masih
menganut agama Mulajadi, maka unte pangir menjadi salah satu media ritual untuk pemujaan,
namun saat ini pamor unte pangir sudah hampir sama dengan nasibnya kemenyan.

Jeruk purut banyak ditanam orang di pekarangan atau di kebun kebun. Daunnya merupakan daun
majemuk menyirip beranak daun satu. Tangkai daun sebagian melebar menyerupai anak daun.
Helaian anak daun berbentuk bulat telur sampai lonjong, pangkal membundar atau tumpul, ujung
tumpul sampai meruncing, tepi beringgit, panjang 8 -15 cm, lebar 2 – 6 cm, kedua permukaan
licin dengan bintik bintik kecil berwarna jernih, permukaan atas warnanya hijau tua agak
mengilap, permukaan bawah hijau muda atau hijau kekuningan, buram, jika diremas baunya
harum. Bunganya berbentuk bintang, berwarna putih kemerah-merahan atau putih
kekuningkuningan. Bentuk buahnya bulat telur, kulitnya hijau berkerut, berbenjolbenjol, rasanya
asam agak pahit. Jeruk purut sering digunakan dalam masakan, pembuatan kue,atau dibuat
manisan. Jeruk purut dapat diperbanyak dengan cangkok dan biji.
Banyak orang Batak bila mendengar nama unte pangir akan berkonotasi negatif kepada asumsi
pemujaan setan, padahal sebelum orang batak mengenal yang namanya shampoo maka unte
pangir adalah salah satu bahan pencuci rambut yang sangat manjur untuk menjaga kebersihan
rambut.

Orang Batak dahulu, terutama para datu (cerdik cendekia) menggunakan unte pangir untuk
membersihkan seluruh badan sewaktu mandi. Setelah mengguyur seluruh tubuh dengan air
(biasanya di pancuran) maka sebelah potongan unte pangir diperas di atas kepala lalu rambut
dikeramas. Pemakaian jeruk purut di kepala tidak terasa pedih karena kandungan asam sitratnya
tidak terlalu tinggi dibanding jeruk nipis. Kulit hasil perasan juga berfungsi untuk menggosok
seluruh kulit badan sewaktu mandi.

Tradisi “marpangir” (mandi pakai sejenis jeruk purut) sudah lama di kenal oleh masyarakat
batak. Hingga kini di daerah Sipirok tradisi marpangir masih dilakukan bahkan merupakan
suatu ritual yang umum dilakukan menjelang bulan puasa. Saudara kita yang Muslim akan mandi
marpangir bersama di batang aek. Belakangan tradisi ini mulai ditinggalkan oleh sebagian besar
orang Batak Toba, tidak jelas mulai kapan tradisi ini menjadi tidak populer, namun diduga
karena tradisi marpangir dianggap bagian dari hasipelebeguon (kegelapan/animisme).

Konon para datu (dukun) selalu mensyaratkan setiap pasiennya untuk marpangir, tentunya unte
pangir yang dipakai mandi tersebut sudah harus di bawa ke dukun yang bersangkutan dan di
bacakan mantera-mantera. Kemungkinan besar itulah yang membuat sebagian besar orang Batak
Toba (Kristen) menganggap marpangir menjadi bagian dari hasipelebeguon

Sampai sekarang ini, dalam proses-proses ritual tertentu, unte pangir masih menjadi media
simbol kebersihan bukan saja oleh orang-orang Batak tetapi suku-suku lainnya di Indonesia.
Batak one mengatakan bahwa dalam praktek-praktek perdukunan (ilmu pengobatan) oleh dukun
Batak biasanya menyediakan unte pangir yang dipasangkan dengan daun sirih dan sebutir telur,
disamping air bersih yang ditaruh di dalam sebuah cawan.

Bahan-bahan ini digunakan oleh seorang dukun untuk memulai proses ritual meminta petunjuk
dari Sang Pencipta Alam Semesta – Mulajadi Nabolon yang dianggap sebagai sumber
pengetahuan untuk memberikan pengobatan penyakit fisik atau non-fisik. Biasanya sang dukun
akan memejamkan matanya berkonsentrasi, lalu mengucapkan kalimat-kalimat tertentu sebagai
mantra.

Pemanfaatan lain dari unte pangir dalam pelaksanaan tradisi etnis Batak Toba salah satunya
adalah pangurason. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, Pangurason hadir disebabkan
karena

manusia melanggaradat istiadat yang ada dibumi. Sehingga yang kuasa menurunkan tujuh
bidadari

untuk membersihkan alam atau wilayah yang mereka tempati, untuk menguras atau
membersihkan bumi. Ritual pangurason ditarikan oleh tujuh wanita, dimana masing-masing
membawa satu buah cawan. Salah satu diantara mereka memimpin doa untuk membersihkan
alam, yang disebut dengan sibaso. Raja beserta datu manortor dan membawa sibaso ketengah
halaman, dimana tempat tersebut akan dibersihkan dan disucikan. Raja memberikan cawan yang
berisi air, ute pangir, dan daun beringin kepada datu. Kemudian Datu memberikan kepada Sibaso
untuk didoakan.

Setelah didoakan, air pangurason dipercikan oleh Sibaso ke delapan penjuru mata angin atau

disebut dengan “Desa Naalu”.

DAFTAR PUSTAKA

1Sivalis Diana Sari, 2. (April 2018). TRANSFORMASI PANGURASON DARI RITUAL KE SENI PERTUNJUKAN.
Gesture :JurnalSeni Tari, 26-34.

Ahmad Madani Nainggolan1, A. A. (November 2021). Pengetahuan Etnobotani Suku Batak di Kecamatan
Sipirok, Sumatera Utara (Ethnobotany Knowledge of Batak Tribe in Sipirok District, North
Sumatera) . JURNAL ILMIAH MAHASISWA PERTANIAN, 1021-130.

Anda mungkin juga menyukai