Anda di halaman 1dari 167

MODUL 3 PPG PPKn

KONSEP DASAR KEILMUAN


KEWARGANEGARAAN

Penulis:

RAMSUL NABABAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,


RISET DAN TEKNOLOGI
2022
KATA PENGANTAR
Tiada rangkaian kata yang terindah selain mengucapkan puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan lindungan-
Nya, sehingga pada kesempatan ini tim penulis modul Pendidikan Profesional
Guru (PPG) mata pelajaran PPKn telah berhasil menyelesaikan Modul 3 PPG
PPKn tahun 2022 yang berjudul: “Konsep Dasar Keilmuan Kewarganegaraan”
Sebagai salah satu tugas pokok dalam penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Modul 3 PPG PPKn tahun 2022 yang berjudul: Konsep Dasar Keilmuan
Kewarganegaraan ini bertujuan agar para guru PPKn peserta PPG 2022
menguasai materi dan aplikasi materi bidang studi PPKn yang mencakup : a).
konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan moral
yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau pembudayaan
dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
bangsa dan kewarganegaraan di sekolah dan/atau masyarakat;b.) struktur,
metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik kenegaraan, sejarah
perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi
landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
ber- Bhinneka Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh, c) isu-isu
dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang ideologi,
politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam
konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), termasuk advance materials secara bermakna yang
dapat menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofis), dan “
bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari; Berdasarkan tujuan
tersebut maka setiap kegiatan belajar (KB) modul 3 ini, memiliki keterkaitan dan
relevansi antara satu dengan yang lain.

KB 1 membahas tentang bagaimana Konsep Dasar, Prinsip dan Prosedur


Pembelajaran PPKn, KB 2 membahas tentang bagaimana Struktur, Metode dan
Spirit Keilmuan Kewarganegaraan, KB 3 membahas tentang Konsep Kajian
Keilmuan Kewarganegaraan Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, dan KB 4
membahas tentang Isu-isu Kewarganegaraan.

Penyelesaian Modul 3 PPG PPKn tahun 2022 yang berjudul : Konsep


Dasar Keilmuan Kewarganegaraan, tidak luput dari dukungan, bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu selama
proses pengerjaan modul ini:

1. Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta


jajarannya.
2. Penyelia Modul PPG PPKn 2022 Prof. Dr. Sapriya, M.Ed dan Dr.
Mohammad Mona Adha, M.Pd.
3. Rektor Universitas Negeri Medan beserta jajarannya.
4. Tim Modul PPG PPKn 2022
5. Keluarga dan teman sejawat di Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Universitas Negeri Medan.
Terlalu banyak yang telah penulis terima dari mereka semua, semoga
Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang lebih baik dari yang telah
mereka berikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih memerlukan


masukan dan kritikan, maka dengan tangan terbuka dan hati yang lapang, penulis
sangat menerima adanya kritik dan saran konstruktif untuk meningkatkan kualitas
penulisan modul PPG PPKn ini di masa yang akan datang, dengan harapan modul
ini dapat menjadi bermanfaat bagi kita semuanya. Amiin

Medan, 27 Juni 2022

Penulis
KEGIATAN BELAJAR 1:
KONSEP DASAR, PRINSIP DAN
PROSEDUR PEMBELAJARAN PPKn
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

A. PENDAHULUAN ................................................................................................1

1. Deskripsi Singkat .........................................................................................1


2. Relevansi .......................................................................................................3
3. Petunjuk Belajar ..........................................................................................4

B. KEGIATAN INTI...............................................................................................5

1. Capaian Pembelajaran ................................................................................5


2. Uraian Materi ...............................................................................................6
a. Konsep Dasar PPKn ................................................................................6
b. Prinsip Pembelajaran PPKn ....................................................................18
c. Prosedur Proses Pembelajaran PPKn ......................................................23
3. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi ..............................................................31
4. Forum Diskusi ..............................................................................................32

C. PENUTUP ............................................................................................................34

1. Rangkuman ...................................................................................................34
2. Tes Formatif .................................................................................................35
3. Daftar Pustaka ..............................................................................................40

ii
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Upaya untuk menyiapkan guru profesional PPKn, Modul 3 ini akan
diawali dengan kegiatan belajar satu (KB 1) dengan membahas materi tentang
konsep dasar, prinsip dan prosedur pembelajaran PPKn, sehingga secara umum
akan membahas tentang kesiapan dan kemapanan guru yang profesional dalam
mendidik dan mengajar para peserta didiknya, sehingga dibutuhkan kemampuan
memahami dan mengimplementasikan konsep dasar, prinsip dan prosedur
pembelajaran PPKn, hal ini menjadi sebuah upaya guru secara komprehensif
dalam mengembangkan kompetensi guru PPKn dari sudut kemampuan pedagogis
atau bekal awal bagi guru PPKn untuk secara baik menguasai pembelajaran PPKn
dari segi keilmuannya. Secara khusus kegiatan belajar ini membantu guru PPKn
untuk memahami dan mampu mengaplikasikan pembelajaran PPKn baik dilihat
dari sudut perspektif konsep, prinsip, dan prosedur pembelajarannya.

Sesuai dengan amanat undang-undang no 14 tahun 2005, guru harus


memiliki kompetensi pedagogik, dengan tujuan kemampuan atau keterampilan
guru dalam mengelola proses pembelajaran atau interaksi belajar mengajar
dengan peserta didik. Dalam kompetensi ini terdapat 7 aspek yang wajib dikuasai,
diantaranya;

1. Karakteristik para peserta didik

2. Teori belajar serta prinsip pembelajaran yang mendidik

3. Pengembangan kurikulum

4. Pembelajaran yang mendidik

5. Pengembangan potensi para peserta didik

6. Cara berkomunikasi

1
7. Evaluasi dan evaluasi belajar

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kemudian dalam Pasal 3 dijelaskan lebih lanjut bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Pasal 37 disebutkan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan salah


satu mata pelajaran yang wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
di Indonesia, dan untuk itu dikembangkan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang diharapkan dapat menjadi wahana edukatif dalam
mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Semangat Bhinneka Tunggal Ika dan
komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia

Konsep dasar, prinsip dan prosedur pendidikan pancasila dan


kewarganegaraan merupakan suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang
dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa
dapat berperan aktif dalam masyarakatnya yang berlandaskan nilai-nilai pancasila,
mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah atau secara formal,
informal dan non formal, seperti yang terjadi di lingkungan sekolah, keluarga,
organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan pengalaman komunikasi
serta berinteraksi dalam media sosial.

Menurut Winataputra (2016) muatan pada PPKn dalam rangka


mencerdaskan kehidupan bangsa yakni menumbuhkembangkan kecerdasan

2
kewarganegaraan civic intelligence yang merupakan prasyarat untuk
pembangunan demokrasi dalam arti luas, yang mempersyaratkan terwujudnya
budaya kewarganegaraan atau civic culture sebagai salah satu determinan
tumbuh-kembangnya negara demokrasi.

Guru yang memiliki kompetensi dalam mengembangkan konsep dasar,


prinsip dan prosedur proses pembelajaran PPKn harus memahami bagaimana
kedudukan mata pelajaran PPKn sebagai pendidikan nilai, moral/karakter
pancasila dan pengembangan kapasitas psikososial peserta didik secara runtut dan
terpadu dengan komitmen pengembangan watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dan perwujudan warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.

Dengan demikian prinsip pembelajaran PPKn bermanfaat untuk


membangun manusia sebagai insan yang menekankan pada manusia yang
berharkat, bermartabat, bermoral, dan memiliki jati diri serta karakter tangguh
baik dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya. Dalam proses
pembelajaran PPKn guru perlu memperhatikan peserta didik dalam
pengembangan proses pembiasaan, kematangan moral, dan penguasaan
pengetahuan peserta didik untuk memperkuat pembangunan watak, seperti
penghargaan respect dan tanggung jawab responsibility sebagai warga negara
demokratis dan taat hukum democratic and lawfull. Hal ini berarti pembentukan
moralitas merupakan fokus yang perlu diwujudkan dalam pembelajaran
pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.

2. Relevansi
Modul 3 yang membahas tentang konsep dasar keilmuan PPKn pada diklat
Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan ini sangat penting dan relevan
menjadi mata latih peserta PPG dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah
satu kompetensi mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru PPKn yang
profesional adalah pemahaman tentang konsep dasar keilmuan PPKn terutama
dalam kaitannya dengan mengenali konsep dasar, prinsip, dan prosedur

3
pembelajaran PPKn, yang memuat nilai, norma, dan moral yang menjadi muatan
kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau pembudayaan dalam konteks
pendidikan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa dan
kewarganegaraan di sekolah dan/atau masyarakat, struktur, metode, dan spirit
keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik kenegaraan, sejarah perjuangan
bangsa, dan disiplin lainnya yang berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hukum dasar dan menjadi landasan
konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh serta Isu-isu
dan/atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang ideologi,
politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam
konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), termasuk advance materials.

Konsepsi advance materials yang dimaksud, yaitu dengan menguasai


materi ataupun bahan ajar yang akan diajarkan dan menguasai cara untuk
membelajarkannya dengan kemampuan secara bermakna yang dapat menjelaskan
aspek, “apa” (tertuju pada konten), “mengapa” (sebagai bentuk pemikiran yang
filosofis), dan “bagaimana” (wujud dari penerapan) dalam kehidupan sehari-hari,
hal ini sangat berpengaruh dalam konstelasi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.

3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 1 (KB 1) ini, ada beberapa
hal yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi
KB 1 ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;

1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan


penting dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.

2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema cinta tanah air dan bela
negara dengan mencari beberapa referensi yang relevan.

4
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 1 pada modul 1
untuk memudahkan dalam memahami isi KB 1.

4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat


tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan.
Untuk itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman
sejawat, berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB
1 ini.

5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan sejawat, atau


bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar mata diklat
ini.

6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil.

B. KEGIATAN INTI

1. Capaian Pembelajaran
Dalam upaya mewujudkan guru profesional PPKn melalui kegiatan belajar
satu (KB 1) pada modul 3 ini, guru diharapkan mampu melaksanakan proses
pembelajaran yang memesona dan meneladani pada mata pelajaran PPKn dengan
dilandasi empat pondasi kuat yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Sehingga dapat memiliki cakupan dalam menguasai materi dan
mengaplikasikan bidang keilmuan PPKn yang mencakup:

a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau
pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di sekolah dan/atau
masyarakat;

5
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya yang
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 sebagai hukum dasar dan menjadi landasan konstitusional
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh,

c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang


ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan
dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk advance
materials. Konsepsi advance materials yang dimaksud, yaitu dengan
menguasai materi ataupun bahan ajar yang akan diajarkan dan menguasai
cara untuk membelajarkannya dengan kemampuan secara bermakna yang
dapat menjelaskan aspek, “apa” (konten), “mengapa” (filosofis), dan
“bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari;

2. Uraian Materi
a. Konsep Dasar PPKn
1) Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Prakonsepsi PPKn Di Indonesia

Masih teringat dalam histori memori kita bahwa Indonesia pernah


melahirkan Bapak pendidikan nasional yang sangat filosofis di ranah pendidikan.
Dialah Bapak Ki Hadjar Dewantara yang mana pesan dan sumbangsihnya begitu
banyak di dunia pendidikan termasuk dalam hal morality. Melalui konsep
pendidikan Taman Nasional terlahirlah gagasan Budi Pekerti sebagai upaya
membentuk pribadi manusia atau warganegara yang berbudi pekerti sehingga
terbentuklah rasa kebangsaan yang suci, ketertiban dan kedamaian lahir batin
(Winataputra, 2015). Hal inilah yang menjadi cikal bakal konsepsi awal Indonesia
pernah memiliki dan mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan dalam
bingkai Budi Pekerti sebagai prakarsa ide Bapak pendidikan kita Ki Hadjar
Dewantara.

6
Sitasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan budi pekerti adalah embrio

Gambar 1.1. Ki Hadjar Dewantara atau konsep awal pendidikan


Sumber: rimatrian.blogspot.com kewarganegaraan (PPKn) di Indonesia.
Dengan menggagas PPKn sebagai
pendidikan morality menunjukkan
bahwa Indonesia punya konsep khusus
dalam mengusung pendidikan
kewarganegaraan yang berfokus pada
pengembangan aspek moral seorang
warganegara. Konsep awal tersebut
berkembang seiring dengan dinamika kewarganegaraan di Indonesia serta
pengaruh histori dan terutama gejolak ekspansi pemerintahan hindia belanda
mengakibatkan konsep tersebut mulai perlu ditegakkan secara tegas dengan
nomenklatur yang lugas dan eksplisit sejak sekitar tahun 1960-an.
Nomenklaturnya berkambang dan terbentuk menjadi Civics sebagai bentuk
generasi pertama PKn di Indonesia.

Pendidikan kewarganegaraan dalam wujudnya yang sekarang yaitu mata


pelajaran PKn bertujuan terbentuknya warga negara yang cerdas, berkarakter dan
terampil sesuai yang diamanatkan Pancasila dan UUD Negara Kesatuan Republik
Indonesia 1945 yang termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.

2) Civics Sebagai Bentuk Awal PKn di Indonesia

Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) di dunia diperkenalkan


pada tahun 1790 di Amerika Serikat dalam upaya membentuk warga negara yang
baik. Civics pertama kali dikenalkan oleh Legiun Veteran Amerika yang
tujuannya adalah untuk meng-Amerika-kan bangsa Amerika yang kita ketahui
beragam latar belakang budaya, ras, dan asal negaranya (Wahab dan Sapriya,
2011).

7
Civics menurut Henry Randall Waite adalah “The science of citizenship,
the relation of man, the individual, to man in organized collection, the individual
in his relation to the state”. Dalam terjemahan umum, bahwa pendidikan
kewarganegaraan tersebut adalah ilmu yang membicarakan hubungan antara
manusia dengan manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi
(organisasi sosial, ekonomi, politik) dengan individu-individu dan negara.

Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dimulai pada tahun


1957 saat pemerintahan Sukarno atau yang lebih dikenal dengan istilah civics.
Penerapan Civics sebagai pelajaran di sekolah-sekolah dimulai pada tahun 1961
dan kemudian berganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan pada tahun 1968.

Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan resmi masuk dalam


kurikulum sekolah pada tahun 1968. Saat terjadi pergantian tahun ajaran yang
pada awalnya Januari-Desember dan diubah menjadi Juli-Juni pada tahun 1975,
selanjutnya nama pendidikan kewarganegaraan diubah oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menjadi Pendidikan Moral Pancasila
(PMP). Kemudian mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Pada era Reformasi PPKn
diubah menjadi PKn.

Cholisin (2010) menjelaskan bahwa akar keilmuan PKn yaitu Civics


memiliki beberapa rumpun keilmuannya yang diantaranya adalah politik, hukum,
dan moral. Ketiga rumpun ini menjadi fokus perhatian PKn dalam
mengembangkan akar keilmuannya. Melalui ketiga rumpun tersebut lahirlah
konsep PPKn di Indonesia sebagai wahana Pendidikan politik, pendidikan hukum,
dan pendidikan moral bagi seluruh warga Negara Indonesia termasuk peserta
didik di sekolah.

Civics sendiri dalam konsep keilmuannya memiliki kompetensi-


kompetensi inti yang hendak dikembangkan di dalam diri seorang warga Negara
maupun peserta didik. Jika disintesa antara kompetensinya sebagaimana dalam
(Setiawan, 2015) dengan ketetapan kompetensi peserta didik pada muatan PPKn

8
di tingkat Menengah pertama dan atas kurikulum 2013 sebagaimana dalam
(Permendikbud No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar Pelajaran Pada Kurikulum 2013 Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah) maka dapat diadaptasi hasilnya sebagai berikut:

Tabel 1.1. Relevansi komponen kompetensi PPKn terhadap KI Kurikulum 2013

Kompetensi Warganegara Relevansinya pada

(Setiawan, 2015 :19) Kompetensi Inti

(Permendikbud No.24 Tahun 2016)

Civic Knowledge KI 3

Civics Skill KI 4

Civic Disposition KI 1 & KI 2

Sumber: Setiawan, 2015 dan Permendikbud No. 24 Tahun 2016

Lebih jauh Setiawan (2015) menjelaskan secara lengkap apa saja deskripsi dari
keseluruhan kompetensi kewarganegaraan sebagai berikut:

1. Kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan Kewarganegaraan


(Civic Knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) antara lain demokrasi, hak asasi
manusia dan masyarakat madani (Civil Society).

2. Kecakapan dan kemampuan sikap kewarganegaraan (Civic Dispositions)


antara lain pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan
keragaman, kepekaan terhadap masalah warga negara antara lain masalah
demokrasi dan hak asasi manusia.

3. Kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan


kewarganegaraan (Civil Skills) seperti kemampuan berpartisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol
terhadap penyelenggara negara dan pemerintah.

9
Gambar. 1.2. Muatan kompetensi kewarganegaraan

Sumber: Winarno 2011

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkaitan erat dengan peran


dan kedudukan serta kepentingan warga negara sebagai individu, anggota
keluarga, anggota masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia yang terdidik.
PPKn dapat sebagai upaya mengembangkan potensi individu sehingga memiliki
wawasan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan
memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam
berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3) PPKn Sebagai Pendidikan Nilai dan/atau Moral

Pendidikan nasional Indonesia berlandaskan pada falsafah Pancasila yang


mendasari sistem pendidikan di sekolah dan memiliki peran besar dalam
sumbangsi pendidikan berbasis nilai atau moral. Dalam implementasinya, praktis
pembelajaran di sekolah yang tepat adalah pembelajaran berbasis nilai yang

10
terintegrasi ke dalam PPKn, di mana kajian mated PPKn merupakan petunjuk
pemahaman internalisasi atau personalisasi nilai, serta bagaimana praktis
kehidupan menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang sehat, baik melalui proses
kematangan mental spiritual yang utuh dan mantap, juga matang yang akan
berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa
dan bernegara yang harmoni.

Dalam jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan dengan judul: “Materi


Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai Lokal: Identifikasi dan Implementasi”, PPKn
sebagai mata pelajaran mengemban misi atau fungsi sebagai pendidikan nilai.
Pendidikan nilai memiliki padanan makna dengan pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan kesusilaan, pendidikan dan “trend” sekarang ini
dengan istilah pendidikan karakter (Winarno: 2018). Salah satu ciri dan
pendekatan PKn ialah sebagai pendidikan nilai moral, yang lebih khusus lagi
adalah pendidikan nilai dan moral Pancasila.

Pendidikan Kewarganegaraan memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan


nilai. Pendidikan nilai menyatukan berbagai permasalahan yang menyangkut
preferensi personal ke dalam satu kategori yang disebut nilai-nilai, yang dibatasi
sebagai petunjuk umum untuk perilaku yang memberi batasan langsung pada
kehidupan atau “general guides to behavior which tend to give direction to life”,
menurut Raths dalam (Aryani dan Susatim, 2010). Sementara PKn membawa misi
dan berbicara tentang nilai moral dan norma (aturan/kaidah).

Pendidikan berbasis nilai mencakup keseluruhan aspek sebagai alternatif


pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik, agar menyadari nilai kebenaran,
kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan
pembiasaan bertindak yang konsisten. Mari PKn dengan model pendidikan
berbasis nilai yang sistemik, merupakan upaya alternatif yang diperlukan peserta
didik dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi serta dinamika kehidupan
kini dan pada masa yang akan datang.

11
Era globalisasi yang dipenuhi dengan persaingan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pendidikan nilai melalui materi PPKn diperlukan guna menangkal
Gambar 1.3. Kesadaran Moral kesemrawutan krisis
multidimensional. Manusia
memerlukan kematangan moral
dan intelektual, kecerdasan
intelektual dalam mengkritisi
berbagai wacana pemikiran
yang muncul ke permukaan,
kematangan emosional untuk
dapat hidup kooperatif sekaligus
kompetitif yang didasarkan atas
jalinan sosial yang harmonis,
dan kematangan spiritual
sebagai perwujudan ikatan
transendental antara dirinya
Sumber: www.medanbisnisdaily.com
dengan sang pencipta.
kematangan tersebut dilatih, diajar, dan dididik melalui materi PKn dengan model
pendidikan berbasis nilai. Pendidikan nilai dalam materi PKn, diharapkan mampu
melahirkan warga negara Indonesia yang seutuhnya.

Pendekatan program diartikan sebagai cara kita di dalam mengembangkan


suatu program atau bahan materi pelajaran (Winarno: 2018). Penyusunan materi
pelajaran PPKn sebagai pendidikan nilai moral perlu berpijak kepada:

a. Pendekatan nilai moral Mengembangakan materi pembelajaran dengan


pendekatan nilai moral artinya menjadikan suatu nilai sebagai dasar
pengembangan. Nilai moral harus menjadi isi (entitas inti) dari setiap
bahan materi pelajaran PPKn. Sebuah nilai moral yang ditetapkan
selanjutnya dikembangkan menjadi materi pembelajaran.

b. Pendekatan multidimensional Pengembangan materi pembelajaran


diupayakan mampu membentuk keseluruhan dimensi peserta didik.

12
Dimensi peserta didik tersebut adalah 3 (tiga) ranah kemampuan, yang
meliputi, a). Kognitif berupa fakta, konsep, teori, dalil, dan definisi.
Dalam kajian kewarganegaraan disebut sebagai pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), b). Afektif berupa nilai, sikap,
norma, moral. Dalam kajian kewarganegaraan disebut sebagai sikap atau
kebajikan kewarganegaraan (civic virtue) dan c). Psikomotor berupa tata
cara, prosedur, aturan, dan perilaku. Dalam kajian kewarganegaraan
disebut sebagai kecakapan kewarganegaraan (civic skill).

c. Pendekatan berpusat pada siswa (student centered) Materi pembelajaran


yang dikembangkan mampu memicu ke arah pembelajaran aktif siswa.
Oleh karena itu perlu menyusun materi yang mampu mengupayakan
pembelajaran PPKn yang siswanya aktif, sedangkan guru bertindak
sebagai fasilitator.

Disisi lain menyusun pembelajaran nilai yang mampu memancing


keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran. Materi pembelajaran beraspek
kognitif adalah materi yang berisi fakta, konsep, definisi, atau teori. Materi yang
beraspek afektif berisi nilai dan norma yang secara eksplisit mengungkapkan
keharusan dan larangan dalam bertindak. Materi beraspek psikomotor adalah
materi yang berisi cara bertindak, contoh contoh dan perilaku. Materi yang
menarik keterlibatan aktif siswa adalah materi yang berisikan hal-hal baru, hal-hal
unik, dilemma, suatu masalah, unik dan mengundang rasa ingin tahu siswa.

4) PPKn Sebagai Pendidikan Hukum;

Indonesia telah menetapkan sebagai negara rechtsstaat dan bukan


machstaat, sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum UUD 1945 NKRI
sebelum dan sesudah perubahan. Paradigm tersebut sebagai hasil musyawarah
mufakat bersama yang melambangkan warga negara Indonesia adalah
warganegara yang diikat dan sadar akan kedudukannya sebagai warga hukum.
Paradigma ini menjadi konsep awal bagi PPKn untuk menjadi salah satu tonggak
penting dalam upaya mendidik warga negara menjadi manusia yang sadar dan taat

13
hukum. Sebagaimana PPKn adalah program pendidikan, maka programnya juga
harus memiliki peran penting untuk menginternalisasikan kesadaran dan taat
hukum terutama kepada generasi muda.

PPKn memiliki kecenderungan ilmu yang multifacet dengan konteks lintas


bidang keilmuan yang disebut interdisipliner dan multidimensional. Hal ini
menjadi faktor yang memungkinkan berbagai disiplin ilmu terintegrasi ke dalam
keilmuan PPKn seperti pendidikan politik, pendidikan nilai, pendidikan
demokrasi, dan termasuk adalah pendidikan hukum (Akbal, 2016).

Dalam jurnal Isep dengan judul: “Peranan pendidikan kewarganegaraan


sebagai pendidikan hukum dalam upaya menginternalisasikan hukum dikalangan
peserta didik”, (2013) menjelaskan bahwa: “sekolah sebagai lembaga pendidikan
memegang peranan penting dalam menginternalisasi hukum pada anak. Sekolah
merupakan tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan pembinaan
kepribadian. Guru-guru harus mengadakan pengawasan dan bagi yang
melanggar perlu diberikan sanksi dan bagi yang menaati diberikan semacam
penghargaan. PKn sebagai wahana pendidikan hukum dalam mengupayakan
internalisasi hukum bagi generasi muda, diharapkan menjadi salah satu solusi
semakin tingginya tingkat pelanggaran aturan-aturan dan hukum-hukum yang
berlaku, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara”.

Dalam konseptual keilmuan civics, PPKn memiliki tugas untuk


membentuk aspek civic awareness (kesadaran warga negara) di dalam atribut
pribadi warganegara untuk menjadi warganegara yang taat dan sadar terhadap
hukum (law awareness). Kesadaran hukum inilah sebagai bentuk kesadaran
berkonstitusi warganegara.

Dalam perspektif hukum, kesadaran berkonstitusi adalah bagian dari


kesadaran hukum yang bersama isi/substansi hukum (konstitusi) dan pemegang
peran (struktur) yaitu aparat negara atau penyelenggara Negara merupakan
komponen-komponen utama dalam sistem hukum. Efektif atau tidaknya hukum
(konstitusi) dalam suatu masyarakat atau negara akan sangat ditentukan oleh

14
ketiga komponen tersebut (Sukriono, 2016). Kesadaran dalam berkonstitusi sangat
bergantung pada kemampuan memahami isi dari konstitusi itu sendiri. Oleh
karenanya perlu upaya-upaya sosialisasi atau dan internalisasi atau pembudayaan
konstitusi kepada seluruh komponen bangsa, termasuk yang paling vital adalah
peran komponen pendidikan untuk mentransformasikan pengetahuan, ilmu, dan
budaya berkonstitusi kepada peserta didik.

Lebih jauh dalam (Suseno, 1985) bahwa: “kesadaran konstitusi


mempunyai tiga unsur pokok yaitu: 1) Perasaan wajib atau keharusan untuk
melakukan tindakan bermoral yang sesuai dengan konstitusi negara itu ada dan
terjadi di dalam setiap sanubari warga negara, siapapun, dimanapun dan
kapanpun; 2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku
umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian
kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang bersifat rasional dan dapat
dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat di universalkan, artinya dapat
disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga negara; dan 3)
Kebebasan, atas kesadaran moralnya, warga negara bebas untuk mentaati berbagai
peraturan perundang undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan
konstitusi negara”.

Peran PPKn untuk mentransformasikan pemahaman dan kesadaran


berkonstitusi sebagai langkah pendidikan hukum bagi peserta didik menjadi
sangat vital dan urgen. Hal ini sebagai bentuk sumbangsi PPKn dalam upaya
bersama dengan segenap komponen penting yang bertugas penuh dalam
perwujudan pendidikan hukum di Indonesia.

5) PPKn Sebagai Pendidikan Politik.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan program


pendidikan yang menerapkan fokus bidang kajiannya pada kajian politik
kewarganegaraan atau sebagai pendidikan demokrasi bagi warganegara. PPKn
merupakan bidang kajian ilmiah dan program pendidikan di sekolah dan secara

15
sosio-pedagogis dijadikan sebagai wahana utama serta esensi pendidikan
demokrasi atau pendidikan politik di Indonesia yang direalisasikan melalui:

1. Civic Intelligence, yaitu kecerdasan dan daya nalar warga negara baik
dalam dimensi spiritual, rasional, emosional, maupun sosial;

2. Civic Responsibility, yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai


warga negara yang bertanggung jawab dan;

3. Civic Participation, yaitu kemampuan berpartisipasi warga negara atas


dasar tanggung jawabnya, baik secara individual, sosial, maupun sebagai
pemimpin hari depan.

Alfian (1992), dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan politik Indonesia


menjelaskan bahwa: “Pendidikan politik sebagai usaha yang sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun”. Prewitt & Dawson (1977) menyatakan ada tipe
pengajaran politik yaitu PKn (civic education) dan indoktrinasi politik. James
Colleman, membedakan antara kedua tipe itu, bahwa PKn atau latihan
kewarganegaraan (civic training) merupakan bagian dari pendidikan politik yang
menekankan bagaimana seorang warga negara yang baik berpartisipasi dalam
kehidupan politik bangsanya. Indoktrinasi politik lebih memperhatikan belajar
ideologi politik tertentu yang dimaksudkan untuk merasionalisasi dan
menjustifikasi rezim tertentu.

Dengan demikian “Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu proses


yg dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang akan mempelajari
orientasi, sikap dan perilaku politik, sehingga yang bersangkutan memiliki
political knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political
participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional,
sehingga tidak saja menguntungkan bagi diri sendiri tetapi juga bagi
masyarakat” (Zamroni, 2007). Pendidikan politik harus menekankan pada
pengembangan keterampilan berpikir, keterampilan pribadi dan keterampilan

16
sosial. Keterampilan berpikir ditekankan pada pengembangan berpikir kritis
seorang peserta didik, bukannya knowledge deposit. Keterampilan pribadi
menekankan pada pengembangan aspek kepercayaan diri peserta didik dan
political self efficacy. Sedangkan pengembangan keterampilan sosial terutama
ditekankan empati dan respek kepada diri sendiri dan orang lain dalam upaya
menjadi warga Negara yang baik atau Good Citizens.

Selain itu, PPKn sebagai pendidikan politik juga merupakan strategi untuk
mewujudkan masyarakat kewargaan atau civil society. Konsep ini sebagai upaya
PPKn dalam menumbuhkan atribut aspirasi aktif dan partisipasi aktif warga
negara yang memiliki ciri karakter demokratis. Menurut Cohen dan Aroto dalam
Handout PKn oleh Cholisin (2010) bahwa civil society merupakan kelompok
masyarakat yang memiliki kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan
akan kekuasaan. Yang tidak kalah penting dalam konsep civil society adalah
adanya partisipasi aktif dari semua warga negara baik yang tergabung dalam
berbagai perkumpulan, organisasi atau kelompok lainnya sehingga akan
membentuk karakter demokratis di lembaga tersebut yang tentunya hal ini
menjadi nilai lebih pentingnya keberadaan civil society serta bagaimana upaya
mengembangkan dan membuatnya menjadi berfungsi dalam aktualisasi demokrasi
Negara Indonesia.

PPKn sebagai pendidikan politik mengarahkan seluruh warga negara untuk


berperan aktif memberikan partisipasinya (civic participation) melalui atribut
knowledge, skill, dan disposition yang melekat didalam ability warganegara.
Konsep ini memungkinkan terbentuknya karakter demokratis sebagai upaya
mewujudkan warga negara yang baik, cerdas, kritis, bermoral, dan patriotik.
Lebih lanjut dalam handout tersebut ditampilkan bagan PPKn sebagai pendidikan
politik sebagai berikut:

17
Gambar 1.4. PKn sebagai wahana pendidikan politik

Sumber: diadaptasi dari bagan handout PPKn Cholisin (2010)


Kontribusi besar PPKn dalam mengupayakan pendidikan yang tepat untuk
membentuk warganegara yang melek politik terbentuk dalam konsep civil society
yang berperan aktif dalam berkontribusi terhadap berbagai gejala dan kehidupan
politik sebagai perwujudan menjadi warganegara yang baik dalam kehidupan
berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara.

b. Prinsip Pembelajaran PPKn


1. PPKn sebagai tradisi social studies

Social Studies adalah nama atau istilah yang digunakan oleh lembaga
pendidikan di negara lain terutama di negara-negara Barat. Sebagai bidang kajian
akademik di perguruan tinggi khususnya di universitas maupun bidang kajian
kurikuler untuk tingkat sekolah dasar dan menengah, Social Studies telah cukup
lama memiliki tradisi. Barr, Barth, dan Shermis (1977) mengidentifikasi "The
Three Social Studies Traditions, yaitu: (1) Social Studies as Citizenship
Transmission (Civic Education); (2) Social Studies as Social Science; (3) Social
Studies as Reflective Inquiry. Tiga tradisi ini memiliki pengertian, tujuan, isi, dan

18
metode masing-masing (Wahab dan Sapriya, 2012). Selanjutnya dijelaskan
tentang tradisi sosial dan PPKn sebagai tradisi sosial sebagai berikut:

a) Social Studies as Citizenship Transmission

Tradisi pembelajaran ini merupakan tradisi yang paling tua dan paling
biasa dipraktikkan oleh para guru. Esensinya ada pada diri guru yang
menginginkan agar para siswa memiliki pemahaman tentang konsep
kewarganegaraan. Guru menggunakan beragam teknik agar keyakinan yang
dimiliki oleh guru dapat dimiliki pula oleh siswanya. Tujuan transmisi
kewarganegaraan adalah agar siswa mempelajari dan meyakini konsep
kewarganegaraan yang diajarkan. Guru menyelenggarakan pembelajaran dengan
cara menyajikan asumsi-asumsi, kepercayaan-kepercayaan, dan harapan-harapan
tentang masyarakatnya. Guru biasanya telah menguasai tujuan pendidikan
nasional; mengetahui bagaimana seseorang harus menjalin hubungan dengan
orang lain, apa yang diharapkan oleh orang lain, apa budaya saling menghargai,
dan apa yang diperlukan untuk menjadi warga negara yang baik.

b) Social Studies Taught as Social Science

Kedudukan ilmu sosial memiliki tradisi yang berbeda dan me-mungkinkan


mengakomodasi peristiwa, orang-orang, karya teoritis, dan pernyataan-pernyataan
pejabat tertentu yang memberi kontribusi terhadap tradisi. Tradisi ini awalnya
dipraktikkan oleh para sejarawan dan Asosiasi Sejarah Amerika dan sekarang
dikembangkan oleh Social Science Education Consortium. Social studies yang
didefinisikan sebagai social science bertujuan agar para siswa dapat memperoleh
pengetahuan, keterampilan, dan perlengkapan disiplin ilmu sosial sehingga
akhirnya mereka menjadi efektif sebagai warga negara. Dengan kata lain, tujuan
tradisi social science adalah pemerolehan keterampilan ilmuwan sosial dalam
mengumpulkan pengetahuan yang pada akhirnya meningkatkan kompetensi
kewarganegaraan. lsi dari social studies sebagai social science terkait dengan
masalah-masalah, isu-isu, dan topik-topik disiplin ilmu sosial masing-masing.

19
c) Social Studies Taught as Reflective Inquiry

Reflective Inquiry merupakan tradisi pembelajaran berdasarkan pada


kedudukan filsafat yang berakar pada masa lalu. Dengan reflective inquiry, para
peneliti dapat mengidentifikasi sejumlah teori dan praktik yang baik pada masa
lalu dan masa kini. Tradisi ini adalah istilah barn cara mengetahui dan
membelajarkan hal-hal masa lalu.

Tujuan reflective inquiry adalah kewarganegaraan yang didefinisikan


utamanya sebagai pengambilan keputusan dalam konteks sosial-politik.
Asumsinya bahwa demokrasi mengakibatkan beban yang unik, kita tidak bisa
menghindar dari tuntutan pengambilan keputusan. Keputusan terkait dengan
pembuatan undang-undang dan pemilihan anggota legislatif tentunya ini
merupakan bagian yang melekat pada pemerintahan, seperti apa arti kehidupan
dalam pemerintahan sendiri yakni masyarakat demokratis. Metode reflective
inquiry adalah proses membuat keputusan dan mendorong para siswa untuk
menganalisis tentang apa raja yang terlibat dalam suatu keputusan.

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan bidang kajian yang


bersifat multifacet dengan konteks lintas bidang keilmuan. Secara filsafat
keilmuan, PKn memiliki objek kajian pokok ilmu politik, khususnya konsep
demokrasi politik (political democracy) untuk hak dan kewajiban (duties and
rights of citizens). Dari objek kajian pokok inilah berkembang konsep Civics yang
secara harfiah diambil dari bahasa Latin civicus, yang artinya warga negara pada
zaman Yunani Kuno. Secara akademis, Civics diakui sebagai embrionya Civic
Education dan di Indonesia selanjutnya diadaptasi menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn).

Secara metodologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan


pengembangan salah satu dari lima tradisi Social Studies yakni transmisi
kewarganegaraan (citizenship transmission) seperti yang dikemukakan oleh Barr,
Bart, dan Shermis (1978). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi
suatu struktur keilmuan yang dikenal sebagai citizenship education, yang

20
memiliki paradigma sistemik di dalamnya terdapat tiga domain yakni: domain
akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural (Winataputra, 2001).
Domain akademis adalah berbagai pemikiran tentang PKn yang berkembang di
lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis
PKn dalam dunia pendidikan formal dan nonformal. Domain sosial kultural
adalah konsep dan praksis PKn di lingkungan masyarakat.

Ketiga domain itu satu sama lain memiliki hubungan struktural dan
fungsional yang diikat oleh konsepsi kebajikan dan budaya kewarganegaraan
(civic virtue and civic culture) yang mencakup penalaran kewarganegaraan (civic
knowledge), sikap/watak kewarganegaraan (civic disposition), keterampilan
kewarganegaraan (civic skills), keyakinan diri kewarganegaraan (civic
confidence), komitmen kewarganegaraan (civic commitment), dan kemampuan
kewarganegaraan (civic competence), (CCE:1998).

Oleh karena itu, objek kajian PKn saat ini sudah lebih luas daripada
embrionya, sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas
sosial kultural PKn benar-benar bersifat multifaset/multidimensional.

Menurut Winataputra (2001), sifat multidimensionalitas inilah yang


membuat bidang kajian PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan karakter kebangsaan,
pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak asasi manusia, dan
pendidikan demokrasi. Hal itu tergantung dari objek kajian mana kita berangkat,
dengan metodologi mana pengetahuan itu dibangun, dan untuk arah tujuan mana
kegiatan itu akan membawa implikasi.

2. Pancasila sebagai prinsip utama dalam pembelajaran PPKn

Pembelajaran PPKn merupakan pembelajaran yang menekankan pada


konteks transfer morality. Sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia, Pancasila secara imperatif berlaku sampai kapanpun dan dimanapun di
Negara kesatuan republic Indonesia dan mewakili seluruh keragaman dan
kebutuhan masyarakat Indonesia. Sehingga dengan demikian seluruh kepentingan

21
bangsa dan Negara Indonesia haruslah berakar atau berprinsipkan pada Pancasila.
Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan. PPKn sebagai pendidikan moral
secara utuh mengkonsepsi pembelajaran dan keilmuannya berdasarkan pada
Pancasila sebagai item principal. Prinsip yang demikian sangat relevan untuk
mendukung main goal PPKn yaitu membentuk warganegara yang bermoral, smart
and good citizen serta dapat diandalkan (Desirable).

Gambar 1.5. Pelajar sepanjang hayat berkompeten, berkarakter, Pancasilais

Sumber: cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id

22
PPKn mengusung konsep transfer nilai-nilai Pancasila ke dalam struktur
keilmuannya yang hendak diberikan kepada peserta didik atau warga Negara.
Materi muatan Pancasila dalam bidang pendidikan kewarganegaraan (PKn)
memiliki kaitan dengan Pancasila dalam hal tujuan dari pendidikan
kewarganegaraan Indonesia. Secara umum tujuan pendidikan kewarganegaraan
adalah terbentuknya warga negara yang baik (good citizen) yang tentu saja
berbeda menurut konteks negara yang bersangkutan (Winarno, 2011). Numan
Somantri (2001) menyebut warga negara yang baik di Indonesia adalah warga
negara yang patriotik, toleren, setia terhadap bangsa dan negara, beragama,
demokratis, Pancasila sejati.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Keputusan Presiden RI No.


145 tahun 1965, adalah “…melahirkan warganegara sosialis, yang bertanggung
jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik
spiritual maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila (Winataputra, 2001).

Dengan demikian prinsip dasar orientasi Pembelajaran PPKn mengutamakan


transfer dan implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai sumber moral dan nilai
yang penting untuk ditransfer kepada peserta didik.

c. Prosedur Proses Pembelajaran PPKn

1. Dasar Dan Arah Rekonstruksi Pembelajaran PPKn di Sekolah

Sistem pendidikan nasional sebagaimana termaktub Pasal 31 Undang-


Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar dari pendidikan secara nasional. Hal ini
sebagai konstelasi utuh dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan
kewarganegaraan merujuk pada esensi yang termaktub dalam Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Penjelasan Pasal 37. Dinyatakan dengan tegas bahwa: “...pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Untuk mengakomodasikan
perkembangan baru dan perwujudan pendidikan sebagai proses pencerdasan
kehidupan bangsa dalam arti utuh dan lugas, maka mata pelajaran Pendidikan

23
Kewarganegaraan yang selama ini digunakan perlu disesuaikan menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara substantif-pedagogis
PPKn bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, nilai
dan norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
semangat Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen kolektif berNegara Kesatuan
Republik Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup


bangsa dikonsepsikan, dimaknai, dan difungsikan sebagai entitas inti (core/central
values) yang menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian tingkat
kompetensi dan pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Substansi dan jiwa Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan semangat Bhinneka
Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempatkan
sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang
menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan warga negara Indonesia
yang berkarakter Pancasila. Mengapa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam
Kurikulum 2006 dikembangkan menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn)? dari sejumlah masukan penyempurnaan pembelajaran
PKn menjadi PPKn yang mengemuka antara lain: 1) secara substansial, PKn lebih
terkesan lebih dominan bermuatan ketatanegaraan sehingga muatan nilai dan
moral Pancasila kurang mendapat aksentuasi yang proporsional; 2) secara
metodologis, ada kecenderungan pembelajaran yang mengutamakan
pengembangan ranah kognitif/pengetahuan, sehingga pengembangan ranah
afektif/sikap dan psikomotorik/keterampilan belum dikembangkan secara optimal
dan koheren/utuh.

Merujuk pada berbagai hasil kajian filosofis, sosiologis, yuridis, dan


pedagogis, dalam konteks konsepsi utuh pengembangan Kurikulum 2013
dilakukan strategi penguatan dan penyempurnaan secara komprehensif terhadap

24
mata pelajaran PPKn dalam kerangka pengembangan Kurikulum 2013 pada
jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai berikut.

1. Mengubah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)


menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn);

2. Menempatkan mata pelajaran PPKn sebagai mata pelajaran yang


memiliki misi pengokohan kebangsaan dan penggerak pendidikan
karakter yang bersumberkan nilai dan moral Pancasila.

3. Mengorganisasikan pengembangan kompetensi dasar (KD) PPKn dalam


bingkai kompetensi inti (KI) yang secara psikologis-pedagogis menjadi
pengintegrasi kompetensi peserta didik secara utuh dan koheren dengan
penanaman, pengembangan, dan/atau penguatan nilai dan moral
Pancasila; nilai dan norma UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
nilai dan semangat bhineka tunggal ika; serta wawasan dan komitmen
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang


sesuai dengan karakteristik PPKn secara holistik/utuh dalam rangka
peningkatan kualitas belajar dan pembelajaran yang berorientasi pada
pengembangan karakter peserta didik sebagai warganegara yang cerdas
dan baik secara utuh dalam bingkai Kompetensi Inti (sikap, pengetahuan,
keterampilan).

5. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model penilaian proses


pembelajaran dan hasil belajar PPKn yang mengintegrasikan sikap
kewarganegaraan, pengetahuan kewarganegaraan, dan keterampilan
kewarganegaraan dalam wadah tanggung jawab dan partisipasi
kewarganegaraan.

Sebagai wahana pendidikan mata pelajaran PPKn pada jenjang pendidikan


dasar dan menengah bertujuan mengembangkan potensi peserta didik dalam
seluruh dimensi kewarganegaraan (Winataputra, 2015), yakni: 1) pengetahuan
kewarganegaraan; 2) sikap kewarganegaraan; 3) keterampilan kewarganegaraan;

25
4) keteguhan kewarganegaraan; 5) komitmen kewarganegaraan; dan 6)
kompetensi kewarganegaraan.

Beberapa langkah prosedur pembelajaran PPKn yang terstruktur, strategis,


representatif perlu kiranya:

1. Mengacu pada kurikulum 2013, pembelajaran PPKn di tingkat menengah


dari dasar dan atas maka pembelajaran PPKn merupakan pembelajaran
yang berkonsepkan deep knowledge dan constructed knowledge. Dengan
pengembangan materi yang sesuai dengan amanah kompetensi kurikulum
2013 pada tingkat menengah yaitu untuk tingkat menengah pertama,
“Menunjukkan perilaku menghargai dengan dasar moral, norma, prinsip
dan spirit kewarganegaraan” dan untuk tingkat menengah ke atas,
“Mengamalkan dengan dasar kesadaran nilai, moral, norma, prinsip,
spirit dan tanggung jawab, makna kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia yang berkeadaban” (Lampiran Permendikbud Nomor 21
Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan dasar dan Menengah).

2. Kemudian pembelajaran PPKn juga harus bersendikan pesan moril bapak


pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu pembelajaran yang menerapkan
nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo),
membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani).

3. Pembelajaran PPKn yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila, dimana


seorang guru juga harus mampu menyusun perangkat pembelajaran yang
memungkinkan untuk dapat membentuk peserta didik yang cakap
kompetensinya dan menjadi lulusan yang kompeten. Untuk itu guru
PPKn dapat merujuk pada apa saja gradian indikator kompetensi Sikap,
Keterampilan, dan Pengetahuan.

26
Tabel 1.2. Gradasi indikator sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Sikap Pengetahuan Keterampilan

Menerima Mengingat Mengamati

Menjalankan Memahami Menanya

Menghargai Menerapkan Mencoba

Menghayati, Menganalisis Menalar

Mengamalkan Mengevaluasi Menyaji

- - Mencipta

Sumber: Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016

4. Sejalan dengan dasar pendidikan nasional, mata pelajaran PPKn


mengusung misi yang sama yaitu sebagai mata pelajaran yang memiliki
misi pengokohan kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang
bersumberkan nilai dan moral Pancasila. Pengukuhan nilai-nilai
pancasila menjadi fokus studi PPKn merupakan bagian dari perwujudan
apa yang diamanatkan oleh peraturan pemerintah kepada PPKn sebagai
mata pelajaran yang mengusung misi pengembangan kepribadian.
“Merujuk pada penjelasan Pasal 77J ayat (1) huruf b PP. No. 32 tahun
2013 tentang Perubahan Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan
bahwa: “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, kesadaran
berkonstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, nilai dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta komitmen Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.

27
2. Prosedur Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai dan Urgensi Falsafah
Pancasila di Sekolah, Masyarakat, dan Pemerintahan

Dalam kajian filosofis, sosiologis, yuridis, dan pedagogis sebagai bagian


dari konsepsi utuh dari kurikulum 2013, penguatan dan penyempurnaan secara
komprehensif kerangka pembelajaran PPKn di sekolah, masyarakat, dan
pemerintah. PPKn ditempatkan sebagai mata pelajaran yang memiliki misi
mengukuhkan rasa kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang
bersumberkan nilai dan moral Pancasila (Winataputra, 2015). Lebih lanjut dalam
(Daryono, 2011) bahwa PPKn mempunyai kedudukan yang sangat penting sekali,
khususnya dalam pembentukan kepribadian masyarakat Indonesia yang dijiwai
oleh nilai-nilai pancasila.

PPKn sebagai wahana pendidikan nilai, moral/karakter Pancasila dan


pengembangan kapasitas psikososial kewarganegaraan Indonesia sangat koheren
dengan komitmen pengembangan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat
dan perwujudan warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Kausalitas dan urgensi Pancasila sebagai core-base terhadap pembelajaran PPKn
baik di sekolah, di masyarakat, dan di pemerintahan, menjadi dalil yang kuat
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar Negara.

Pancasila sebagai dasar Negara menunjukkan bahwa dasar negara


merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan
kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga
berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila.

Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber


kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat (Herdiawanto,
Wasitaatmadja, dan Hamdayama, 2018). Pancasila dalam kedudukannya seperti
inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh
kehidupan negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai
arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan
pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala

28
sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti
melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-
undangan di negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila
terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara
formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai
dasar Negara.

Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam


empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana
keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan
Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
lebih Ian-jut terjelma ke dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari
pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan
perundang-undangan lainnya, seperti misalnya Ketetapan MPR, undang-undang,
peraturan pemerintah, dan lain sebagainya.

Berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai titik sentral


pembahasan adalah kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia, hal ini sesuai dengan kausa finalis Pancasila yang
dirumuskan oleh pembentuk negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Namun hendaklah dipahami bahwa asal mula Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia, adalah digali dari unsur-unsur yang
berupa yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa pandangan hidup
bangsa Indonesia. Oleh karena itu dari berbagai macam kedudukan dan fungsi
Pancasila sebenarnya dapat dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi
Pancasila yang pokok yaitu sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan sebagai
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Kaelan: 2013).

29
Sementara itu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengingatkan
kita bahwa Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup.
Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang
terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi
sebagai alat untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.

Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang


secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan
hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maupun
manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya mampu menumbuhkan tekad
untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari. Setiap bangsa dimanapun
pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam
hidup bermasyarakat.

Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap


hidup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat
bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti dan nilai-nilai
budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsa
Indonesia.

Cita-cita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman, pegangan,


atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi
bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila
sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil
kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI.
Oleh karena Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat
Indonesia, maka Pancasila sudah seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa tersebut terkandung di


dalamnya konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, terkandung
dasar pemikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap

30
baik. Oleh karena Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu
kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan
hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat.

Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia yang


Bhinneka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu bangsa sehingga
tidak boleh mematikan keanekaragaman (Kaelan, 2013). Sebagai intisari dari nilai
budaya masyarakat Indonesia, maka Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa
yang memberikan pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk berperilaku
luhur dalam kehidupan sehari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi


1. Seorang guru PPKn mengajar di sebuah sekolah menengah atas, pada
setiap pembelajarannya guru PPKn tersebut selalu menggunakan
berbagai pendekatan, metode, media serta sumber belajar potensial yang
menarik dan interaktif. Upaya yang ditunjukkan oleh guru PPKn tersebut
tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar
siswa, namun juga sebagai bentuk dari tanggung jawabnya sebagai guru
profesional guna mengembangkan kecerdasan, keterampilan dan sikap
siswa.

2. Asosiasi alumni PPKn yang tergabung dalam wadah AP3KNI secara


rutin mengadakan pertemuan baik secara formal maupun non formal.
Pertemuan tersebut dilakukan untuk menjalin dan mempererat
persaudaraan. Selain itu, asosiasi ini juga selalu aktif dalam berbagai
kegiatan sosial kemasyarakatan, baik yang berbentuk bakti sosial,
pendampingan masyarakat maupun penyuluhan sosial lainnya.
Organisasi ini juga sangat aktif dalam mengkaji dan membahas isu-isu
kewarganegaraan terutama hal-hal yang berkaitan dengan warga negara.
Apa yang dilakukan oleh asosiasi ini semata-mata dilakukan dalam upaya
menjadi bagian dari warga negara transformative yang bertanggung
jawab, cerdas, berfikir kritis, kreatif, partisipatif dan berkarakter.

31
4. Forum Diskusi
CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas
Terstruktur
Menguasai materi dan Konsep, prinsip, Konsep Dasar 1. Deskrip
aplikasi materi bidang prosedur, dan PPKn, Prinsip sikanlah
studi PPKn yang metode keilmuan PPKn, Konsep Dasar
mencakup: serta nilai, norma, Prosedur Proses PPKn,
a. konsep, prinsip, dan moral yang PPKn 2. Jelaska
prosedur, dan metode menjadi muatan n prinsip dan
kurikulum dan prosedur
keilmuan serta nilai,
proses PPKn…..
norma, dan moral
pembelajaran
yang menjadi muatan dan/atau
kurikulum dan proses pembudayaan
pembelajaran dalam konteks
dan/atau Pendidikan
pembudayaan dalam Pancasila sebagai
konteks pendidikan dasar negara dan
Pancasila sebagai pandangan hidup
dasar negara dan bangsa dan
pandangan hidup kewarganegaraan
bangsa dan di sekolah dan/atau
masyarakat;
kewarganegaraan di

32
sekolah dan/atau Struktur, metode, Struktur 1. Jelaska
masyarakat; dan spirit keilmuan keilmuan nlah struktur
b. struktur, metode, kewarganegaraan, kewarganegaraa keilmuan,
hukum, politik n, ketode
dan spirit keilmuan
kenegaraan, sejarah Metode keilmuan, dan
kewarganegaraan, spirit
hukum, politik perjuangan bangsa, keilmuan
dan disiplin lainnya kewarganegaraa pengembangan
kenegaraan, sejarah keilmuan
berlandaskan n,
perjuangan bangsa, PPKn….
Undang-Undang Spirit
dan disiplin lainnya Dasar Negara pengembangan 2. Jelaska
berlandaskan Republik Indonesia keilmuan nlah konsep
Undang-Undang tahun 1945 sebagai kewarganegaraa kajian ilmu
Dasar Negara hukum dasar yang n, Konsep kewarganegara
Republik Indonesia menjadi landasan kajian: a. an
tahun 1945 sebagai konstitusional Konsep dasar
hukum dasar yang kehidupan ilmu hukum
menjadi landasan bermasyarakat, b. Konsep dasar
konstitusional berbangsa dan Politik
kehidupan bernegara yang Kenegaraan
ber-Bhinneka c. Konsep
bermasyarakat,
Tunggal Ika dalam Sejarah
berbangsa dan
keberagaman yang Perjuangan
bernegara yang ber-
kohesif dan utuh; bangsa dalam
Bhinneka Tunggal Ika Perspektif
dalam keberagaman Pendidikan
yang kohesif dan Pancasila dan
utuh, Kewarganegaraa
n
c. isu-isu dan/ d. Konsep
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun
1945
e. Konsep
Bhineka
Tunggal Ika

33
Isu-isu dan/atau Konsep Isu-Isu 1. Bacala
perkembangan Kewarganegaraa h materi
terkini n, tentang konsep
kewarganegaraan Konsep Negara kewarganegara
meliputi bidang Kesatuan an
ideologi, politik, Republik 2. Berikan
hukum, ekonomi, Indonesia contoh dan
sosial, budaya, (NKRI) argumentasi
pertahanan tentang konsep
keamanan dan dasar Negara
agama, dalam Kesatuan
konteks lokal, Republik
nasional, regional, Indonesia….
dan global dalam
bingkai Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI).

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Pada dasarnya pembelajaran PPKn jika dikaji dari segi ontologi
keilmuannya terdapat konsep dasar, prinsip, dan prosedur keilmuannya yang perlu
untuk dipahami dan dilaksanakan secara baik oleh seluruh pemangku kepentingan
PPKn dalam hal ini adalah Guru. Paradigma ini merupakan salah satu langkah
bagus dalam pembelajaran PPKn untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif
dan memberi pengaruh yang signifikan terhadap peserta didik dalam membentuk
atribut civic knowledge, civic skill, dan civic disposition peserta didik untuk
menjadi warganegara yang baik dan cerdas serta memiliki rasa kebangsaan yang
baik dan berfilosofikan Pancasila.

PPKn sebagai suatu pendidikan bagi warganegara untuk mendidik mereka


dalam ranah politik, hukum, dan moral. Konsep awalnya yang mengusung “Budi
Pekerti” menjadikannya sebagai pendidikan yang berfokus untuk membentuk

34
morality warganegara. Sehingga dengan demikian pembelajaran PPKn
sesungguhnya dapat membina dan membentuk secara baik, terstruktur, dan arif
morality warganegara. Pembelajaran PPKn memiliki standar tradisi yang kuat
dalam ranah Ilmu Sosial dalam upaya mewujudkan urgensi citizenship
transmission yang berfokus pada karakter warganegara yang cerdas dan baik.

PPKn sebagai wahana pendidikan Politik bertujuan untuk membentuk


semangat civic participatory warganegara dan membentuk civil society. Selain itu
PPKn sebagai wahana pendidikan hukum juga memiliki peran penting untuk
meningkatkan kesadaran warganegara (civic awareness) dalam berkonstitusi.
Terakhir PPKn sebagai wahana pendidikan moral juga signifikan pengaruhnya
terhadap warganegara untuk membentuk perasaan moral yang baik dalam
berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.

Disamping itu pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar Negara menjadi
dua tolak ukur utama yang perlu diintegrasikan kedalam capaian kompetensi
peserta didik melalui pembelajaran PPKn. Dan selain itu juga perlu
pengembangan kompetensi peserta didik dalam pembelajaran PPKn untuk
dikorelasikan dengan standar kompetensi inti kurikulum 2013 agar secara yuridis
dan pedagogis, PPKn menjadi pembelajaran yang efektif dari segi konsep, prinsip,
dan prosedur pembelajaran bagi warganegara atau peserta didik.

2. Tes Formatif
Soal-soal:

1. PPKn merupakan program pendidikan yang berfokus pada pembentukan


kepribadian yang berasaskan pada nilai-nilai Pancasila. Sehingga PPKn
mengusung tradisi Citizenship Transmission ke dalam konsep utuh
pembelajarannya yang bersifat?

a. Value education

b. Value inculcation

c. Value competition

35
d. Value creation

e. Value civic

2. Transfer knowledge yang bersumber dari falsafah budi pekerti gagasan Ki


Hajar Dewantara, merupakan pra konsepsi keilmuan PPKn di Indonesia
yang berbasis pembentukan rasa kebangsaan yang suci, ketertiban dan
kedamaian lahir batin terhadap warga Negara. Konsepsi ini merupakan
bentuk lain dari konsep pendidikan?

a. Norma

b. Religius

c. Social

d. Multikultur

e. Morality

3. Tiga rumpun body of knowledge PPKn adalah ilmu politik, hukum, dan
moral. Ketiganya perlu diedukasi kepada seluruh warganegara termasuk
adalah peserta didik. Hal ini urgent dikarenakan?

a. Upaya mewujudkan warga negara yang terampil

b. Upaya mewujudkan warganegara yang cerdas

c. Semangat patriotik warganegara

d. Semangat edukasi warganegara

e. Semangat Kebangsaan

4. PPKn berperan sebagai program studi yang memiliki tradisi social studies.
Salah satu kajian yang sangat signifikan adalah sebagai program studi yang
mentradisikan membentuk respon yang tinggi dan cerdas oleh peserta didik
terhadap perkembangan isu politik, pemerintahan, maupun isu-isu sosial.
Hal ini dikarenakan?

36
a. Tradisi Reflective Inquiry PPKn

b. Tradisi Citizenship Transmission PPKn

c. Tradisi social science PPKn

d. Tradisi civil society

e. Tradisi Kultural PPKn

5. Sebagai wahana pendidikan politik, tugas penting nya PPKn adalah


konstruksi atribut Civic Intelligence, Civic Responsibility, dan Civic
Participation. Ketiga atribut itu memungkin terbentuknya?

a. Civil Law

b. Civil Global

c. Civil

d. Moral Society

e. Civil Society

6. Memusatkan perhatian pada perkembangan siswa dan membentuknya


menjadi pribadi yang tangguh dan baik sebagai warganegara sehingga dapat
dilabelkan sebagai warganegara yang desirable personal quality merupakan
hakikat dari?

a. PPKn sebagai Pendidikan Hukum

b. PPKn sebagai Pendidikan Politik

c. PPKn sebagai Pendidikan Ilmu Sosial

d. PPKn sebagai Pendidikan Moral

e. PPKn sebagai Pendidikan Multikultural

37
7. Perasaan moral sebagai suatu yang wajib, ikatan rasional akan kebaikan, dan
rasa kebebasan, perlu dipedomani oleh seluruh warga negara Indonesia
sebagai upaya mewujudkan?

a. Kesadaran diri

b. Kesadaran politik

c. Kesadaran berkonstitusi

d. Kesadaran beraspirasi

e. Kesadaran hukum.

8. Patriotik, toleren, setia terhadap bangsa dan negara, beragama menjadi


karakter-karakter urgen bagi seluruh warga negara Indonesia. PPKn
kedudukannya sebagai program pendidikan memiliki dalih yang kuat
dengan mempondasikan ilmunya dan implikasi pembelajarannya berpusat
pada?

a. Nilai-nilai Pancasila

b. Nilai-nilai Hukum

c. Nilai-nilai Religius

d. Nilai-nilai Kearifan Lokal

e. Nilai-nilai Sosial

9. Koherensi tujuan dan capaian pembelajaran PPKn memusatkan pada 3 hal


yaitu keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Ketiganya diadaptasi di
Indonesia untuk menjadikan warganegara yang baik dan cerdas. Namun
tentunya secara pedagogis dan yuridis koherensi tersebut perlu berpusat
pada kaidah-kaidah kurikulum untuk muatan pelajaran PPKn.
Pertanyaannya, apa yang melandasi penjelasan tersebut?

a. Sebagai relevansi keilmuan

b. Perwujudan kompetensi peserta didik

38
c. Sebagai sinergitas PPKn dengan kurikulum

d. Sinergi antar program pendidikan

e. Adanya pendidikan moral

10. Mengambil kaidah dan urgensi makna pengejawantahan pancasila dalam


pembelajaran PPKn menjadi prospek positif pembelajaran PPKn. Bagi
peserta didik ini memungkinkan mereka dapat?

a. Memberdayakan kedudukan pancasila sebagai dasar negara

b. Meningkatkan kapabilitas diri menjadi seseorang yang berguna


baginegara

c. Bersumbangsi aktif terhadap pembelajaran PPKn yang filosofis

d. Memberdayakan hakikat PPKn dalam memahami dan merealisasikan


nilai-nilai pancasila di dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.

e. Perwujudan dalam pembangunan nasional berdasarkan norma-norma


hukum

Kunci Jawaban

1. B 6. D

2. E 7. C

3. B 8. A

4. A 9. C

5. E 10. D

39
3. Daftar Pustaka
Buku:

Alfian. (1992). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Daryono. 2011. Pengantar Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan.


Jakarta: Rineka Cipta.

Herdiawanto, H., Wasitaatmadja, FF. Hamdayama, J. 2018. Spiritualisme


Pancasila. Jakarta: Kencana.

Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Setiawan, D. 2014. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan: Cahaya Ilmu Press.

Suseno, F.V.M. 1985. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius.

Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-


Epistemologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten: Universitas
Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Winataputra, U.S. Budimansyah, D. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam


Perspektif Internasional. Bandung: Widya Aksara Press.

Winarno. 2013. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Isi, Strategi, dan


Penilaian. Jakarta: Bumi Aksara.

Jurnal:

Isep, Peranan Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pendidikan Hukum Dalam


Mengupayakan Internalisasi Hukum Di Kalangan Peserta Didik, Jurnal
Penelitian Pendidikan LPPM UPI. Vol 13, No 1 (2013). P. ISSN 1412-
565, E. ISSN 2541-4135.

40
Sukriono, D., Membangun Kesadaran Berkonstitusi Terhadap Hak-hak
Konstitusional Warga Negara Sebagai Upaya Menegakkan Hukum
Konstitusi (Develop A Constitution Awareness to Citizen Constitutional
Rights as an Effort To Enforce Constitution Law), Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 13 N0. 03 - September 2016: 273 – 284, P. ISSN: 0216-
1338, E-ISSN: 2579-5562.

Winarno, Materi Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai Lokal: Identifikasi dan


Implementasi, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No.
2, Juli 2018 ISSN 2527-7057 (Online), ISSN 2545-2683 (Print).

Winarno, Muatan Pancasila Dalam Mata Pelajaran PKn Di Sekolah, JPK: Jurnal
Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume I, No 2,
Juli 2011.

Perundang-undangan:

Permendikbud Nomor 021, Tahun 2016 tentang Standar Isi.

Permendikbud Nomor 022 Tahun 2016, tentang Standar Proses.

Permendikbud No. 24, Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013, tentang Standar Nasional


Pendidikan

Internet:

Cholisin, 2010, Handout Pendidikan Kewarganegaraan. Url:


http://staffnew.uny.ac.id
/upload/131474282/pendidikan/PKN+SBG+PENDIDIKAN+POLITIK,+
DEMOKRASI,+HAM,DSB.2+MARET+2010.doc

41
Akbal, M. 2016. Dalam seminar nasional: “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial
Membentuk Karakter Bangsa Dalam Rangka Daya Saing Global”.
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan
Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Grand Clarion
Hotel, Makassar, 29 Oktober 2016. Url: http://ojs.unm.ac.id/PSN-
HSIS/article/download/4084/2448.

https://slideplayer.info/slide/14594451/

https://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2017/01/22/279540/moralitas_rem
aja_di_era_globalisasi/

https://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/profil-pelajar-pancasila/

https://rimatrian.blogspot.com/2019/07/pendidik-dalam-perspektif-pemikiran-
ki.html

42
KEGIATAN BELAJAR 2:
STRUKTUR, METODE DAN SPIRIT
KEILMUAN KEWARGANEGARAAN
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

A. PENDAHULUAN ................................................................................................1

1. Deskripsi Singkat .........................................................................................1


2. Relevansi .......................................................................................................3
3. Petunjuk Belajar ..........................................................................................4

B. KEGIATAN INTI...............................................................................................4

1. Capaian Pembelajaran ................................................................................4


2. Uraian Materi ...............................................................................................5
a. Struktur Keilmuan Kewarganegaraan .....................................................5
b. Metode Mengajar Kewarganegaraan atau PPKn ....................................15
c. Spirit Kewarganegaraan ..........................................................................20
3. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi ..............................................................30
4. Forum Diskusi ..............................................................................................30

C. PENUTUP ............................................................................................................32

1. Rangkuman ...................................................................................................32
2. Tes Formatif .................................................................................................33
3. Daftar Pustaka ..............................................................................................36

ii
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Upaya untuk menyiapkan guru profesional PPKn, Modul 3 ini menyajikan
kegiatan belajar dua (KB 2 ) sebagai lanjutan dari KB 1 dengan membahas materi
tentang struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, sehingga akan
memuat kajian secara komprehensif agar dapat memperkaya cakrawala keilmuan
seorang guru PPKn yang profesional dan dapat mengembangkan kompetensi
dasar keilmuan guru PPKn dari sudut kemampuan saintifik atau pedagogis.
Struktur keilmuan yang fleksibel, metode yang kontekstual, serta keilmuan yang
mendukung spirit kewarganegaraan untuk berkehidupan berbangsa dan bernegara
sesuai dengan amanah Pancasila, UUD 1945, esensi Bhineka Tunggal Ika, dan
komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia saat ini, ada kecenderungan
lunturnya rasa nasionalisme dan cinta tanah air, baik karena faktor internal
maupun karena pengaruh global. Hal ini terlihat dari berbagai persoalan bangsa
Indonesia sekarang misalnya adanya upaya disintegrasi bangsa, konflik antar
etnis/kelompok, merajalelanya tauran baik antar warga maupun pelajar. Disisi
lain, sikap mental para politisi bangsa yang tidak mencerminkan sebagai politikus
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Mahardika, 2021)
Selanjutnya Mahardika menjabarkan untuk mendidik warga negara yang
sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan
masyarakat dengan ciri-ciri sebagai berikut;
1. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Perasaan cinta kepada negara
3. Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan
4. Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut
pembawaan dan kekuatannya

1
5. Keyakinan bahwa orang menjadi bagian tak terpisahkan dari
keluarga dan masyarakat
6. Keyakinan bahwa orang yang hidup bermasyarakat harus tunduk
pada tata tertib
7. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya
sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati,
berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri
Mengenalkan, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan
kewarganegaraan di dalam dinding kelas maupun di luar kelas. melibatkan
kontribusi besar dari semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya
PR di sekolah atau di lembaga formal saja yang disandarkan beban ini, melainkan
jalinan pengharapan yang utuh dari pemerintah, swasta, stakeholder dan
masyarakat. Karena jika ini hanya dititipkan pada peran pemerintah dan
hierarkinya maka Pancasila dan kewarganegaraan akan terkesan menjadi alat
pencetak kepentingan penguasa (Jamaludin, et al.2021)
Paradigma baru pendidikan kewarganegaraan secara metodologis menuntut
perbaikan dalam dimensi- dimensi sebagai berikut, yakni dalam curriculum
content and instructional strategis; civic education classroom; and learning
environment. Implikasinya bahwa kurikulum dan strategi pembelajaran
seyogyanya dikembangkan secara sistemik (lintas jenjang, jalur dan bidang),
dengan konsep yang komprehensif (utuh dan lengkap), dan dengan organisasi
kurikulum yang berdiversifikasi merujuk kepada perkembangan kognitif, afektif,
sosial- moral, dan skill. Serta lingkungan belajar setempat (desa-kota). Dengan
kata lain, kurikulum perlu mengandung aspek ideal yang bersifat nasional, aspek
instrumental yang bercorak ragam, dan aspek praksis yang adaptif terhadap
lingkungan setempat. Oleh karena itu, dalam pengembangan kurikulum dan
strategi pembelajaran perlu mengandung muatan nasional, muatan regional dan
muatan lokal (Mahardika, 2021)
PPKn menjadi upaya strategis dalam menggapai warga negara khususnya
para peserta didik sebagai regenerasi bangsa untuk dapat memiliki karakter dan
kepribadian nilai-nilai luhur bangsa yang berlandaskan nilai-nilai pancasila,

2
berdasarkan amanat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kemudian dalam Pasal 3 dijelaskan lebih lanjut bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Maka pada kegiatan belajar (KB 2) Secara rinci, bermuatan pada 3 point
materi penting yaitu; Struktur, Metode, dan Spirit Kewarganegaraan; .
Pemahaman dan penguasaan kemampuan pedagogik dan profesional Guru PPKn
dilihat dari aspek keilmuannya; Kegiatan belajar ini juga agar mengakomodasi
kemampuan kritis guru PPKn dalam menjawab beberapa soal yang sifatnya
evaluative dan analitis.
2. Relevansi
Modul 3 pada bagian kegiatan belajar 2 (KB 2) yang membahas tentang
struktur, metode dan spirit keilmuan kewarganegaraan. Pada diklat Pendidikan
Profesi Guru (PPG) dalam jabatan ini sangat penting dan relevan menjadi mata
latih peserta PPG dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah satu kompetensi
mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru PPKn yang profesional adalah
pemahaman tentang Struktur, Metode dan Spirit Keilmuan Kewarganegaraan
terutama dalam kaitannya dengan konsep karakteristik Civic melalui Civic
Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skill (kecakapan
kewarganegaraan) dan Civic Disposition (watak-watak kewarganegaraan).

Melalui struktur, metode dan spirit keilmuan kewarganegaraan, maka PPKn


memiliki visi untuk pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan pada
Pancasila. Pembelajarannya mengacu pada tiga fokus perhatian yaitu PPKn
sebagai pendidikan politik, PPKn sebagai pendidikan hukum, dan PPKn sebagai
pendidikan moral.

3
3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 2 (KB 2) ini, ada beberapa hal
yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi KB 2
ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan penting
dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.
2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema Konsep Dasar Keilmuan PPKn
melalui Struktur, Metode, dan Spirit Kewarganegaraan dengan mencari
beberapa referensi yang relevan.
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 2 pada modul 2 untuk
memudahkan dalam memahami isi KB 2.
4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat
tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan. Untuk
itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman sejawat,
berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB 2 ini.
5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan teman sejawat,
atau bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar modul diklat
ini.
6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil.

B. KEGIATAN INTI

1. Capaian Pembelajaran
Dalam upaya mewujudkan guru profesional PPKn melalui kegiatan belajar
dua (KB 2) pada modul 3 ini, guru diharapkan mampu melaksanakan proses
pembelajaran yang memesona dan meneladani pada mata pelajaran PPKn dengan
dilandasi empat pondasi kuat yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Sehingga dapat memiliki cakupan dalam menguasai materi dan
mengaplikasikan bidang keilmuan PPKn yang mencakup:

4
a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran
dan/atau pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di
sekolah dan/atau masyarakat;
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya yang
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 sebagai hukum dasar dan menjadi landasan konstitusional
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh,
c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi
bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan
global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
termasuk advance materials. Konsepsi advance materials yang
dimaksud, yaitu dengan menguasai materi ataupun bahan ajar yang akan
diajarkan dan menguasai cara untuk membelajarkannya dengan
kemampuan secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek, “apa”
(konten), “mengapa” (filosofis), dan “bagaimana” (penerapan) dalam
kehidupan sehari-hari;
2. Uraian Materi

a. Struktur Keilmuan Kewarganegaraan


Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan program
pendidikan yang pada dasarnya sebagai program pendidikan yang mentransfer
esensi dan urgensi keilmuan Civics (Ilmu Kewarganegaraan). Civics merupakan
ilmu yang secara historis sebagai ilmu yang membentuk warganegara menjadi
warganegara yang baik dan cerdas dan secara filosofis sebagai ilmu yang
mentransfer dan menginternalisasi nilai-nilai kebaikan kepada warganegara atau
disebut morality transmission.

5
Dalam paradigma baru PKn, civics sebagai ilmunya PKn di Indonesia
menjadi suatu ilmu yang memfasilitasi 3 rumpun ilmu lainnya sebagai bahan
materi ajar di dalam struktur keilmuan civics yang diantaranya adalah politik,
hukum, dan moral. Ketiganya memiliki karakter kuat dalam membentuk moralitas
warga negara dikarenakan visi nation building character-nya. Sebagaimana
dijelaskan dalam (Setiawan, 2016) paradigma baru PKn antara lain memiliki
struktur keilmuan yang jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum, dan filsafat
moral/filsafat pancasila dan memiliki visi yang kuat nation character building,
citizen empowerment yang mampu mengembangkan civil society yang memiliki
arti penting dalam pembaharuan. Dengan struktur keilmuan yang demikian, PPKn
di Indonesia berfokus pada pendidikan politik bagi warganegara, pendidikan
hukum bagi warga negara, dan pendidikan moral bagi warganegara.

Dengan proporsi keilmuan yang terdiri atas ilmu politik, ilmu hukum, dan
filsafat moral atau filsafat Pancasila, PPKn menjadi suatu program yang ilmunya
termasuk ke dalam tradisi ilmu sosial melalui kajian pokok ilmu politik yang
berfokus pada demokrasi politik untuk hak dan kewajiban (Wahab dan Sapriya,
2011). Dengan termasuk ke dalam tradisi social studies, PPKn mengembangkan
tradisi transmisi kewarganegaraan dan terus berkembang menjadi citizenship
education. Dan di dalam tradisi ini teramatlah keilmuan PPKn suatu paradigma
sistemik yang diantaranya terdiri atas domain akademis, domain kurikuler, dan
domain sosio kultural

Gambar 2.1. Tradisi Citizenship Transmission Pembelajaran PKn,


diadaptasi Dari Konsep Sosial Studi PKn Menurut Barr, Bart, dan Shermis

Sumber: (Wahab dan Sapriya, 2011).

6
Pembelajaran PPKn yang salah satunya juga termasuk ke dalam salah satu
tradisi ilmu sosial yaitu citizenship transmission secara konseptual terbagi atas
beberapa komponen-komponen kemampuan yang terhimpun kedalam subjeknya
yaitu warganegara. Komponen-komponen tersebut yang diantaranya tersebar pada
3 (tiga) paradigma domain yaitu domain akademis, domain kurikuler, dan domain
sosial kultural secara struktur dan fungsional di ikat oleh kebajikan dan budaya
kewarganegaraan atau civic virtue dan civic culture. Struktural dan fungsional
yang demikian mencakup beberapa komponen kompetensi yaitu civics knowledge
(pengetahuan warganegara), civics skill (keterampilan kewarganegaraan), dan
civics disposition (watak warganegara).

Selanjutnya ketiga komponen tersebut dapat dikombinasikan masing-


masing dan menjadi terlihat pada konsep dibawah ini:

Gambar 2.1.Konsep sinergi atau kombinasi komponen-komponen ppkn

Sumber: Thomas Lickona 2013)

Berdasarkan konsep komponen keilmuan diatas, PKn memiliki visi untuk


pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan pada Pancasila.
Pembelajarannya mengacu pada tiga fokus perhatian yaitu PKn sebagai

7
pendidikan politik, PKn sebagai pendidikan hukum, dan PKn sebagai Pendidikan
moral.

PKn sebagai pendidikan politik berupaya untuk membangun dan


membentuk warganegara yang berperan aktif di dalam politik atau politik
kewarganegaraan. Peran warga negara baik di bidang politik, hukum, ekonomi
dan sosial-budaya merupakan substansi hubungan warga negara dengan negara.
Hal ini merupakan efek dimana peran warganegara atau politik warganegara
merupakan focus of interest (pusat perhatian/objek formal PKn). Dengan kata lain
substansi materi PKn adalah demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan
demokrasi sosial. Peranan warga negara yang aktif merupakan wujud dari sikap
demokratis untuk mendukung tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara yang
sejalan dengan amanah dari 4 konsensus Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sementara itu, kedudukan ilmu hukum di dalam pembelajaran PKn


merupakan patronasi untuk keilmuan PKn dalam konteks rule of law dan law
enforcement (penegakannya). Dengan kedudukannya yang demikian, akan sangat
membantu capaian pembelajaran PKn dalam membentuk sikap demokratis
warganegara yang salah satu indikatornya adalah ketertiban hukum. Sebagaimana
dalam paradigma barunya “Ciri-ciri utama PKn adalah mengkaji hak-hak dan
tanggung jawab warganegara; pemerintah dan lembaga-lembaga negara; sejarah
dan konstitusi; identitas nasional; sistem hukum dan rule of law; ….” (Pebriyenni,
2017).

Kemudian PKn sebagai pendidikan nilai atau moral lebih mengarah kepada
kontekstualisasi penanaman nilai-nilai ideal Pancasila kepada seluruh
warganegara. Sebagaimana dalam (Winarno, 2018) bahwa: “Yang dimaksud
PPKn sebagai pendidikan nilai adalah pendidikan nilai moral. Hal ini dikarenakan
konsep tentang moral itu sendiri adalah nilai, akan tetapi, nilai tidak hanya
mencakup nilai moral. PPKn sebagai pendidikan nilai dewasa ini tetap
mendapatkan pengakuan dalam praktek pendidikan kita. Menurut Muchtar (2007)
bahwa salah satu ciri dan pendekatan PKn adalah sebagai pendidikan nilai moral,

8
yang lebih khusus lagi adalah pendidikan nilai dan moral Pancasila. Ruminiati
(2006) juga menyatakan bahwa pelajaran PKn SD berfungsi sebagai pendidikan
nilai, yakni bertugas mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai
Pancasila. PKn sebagai program pendidikan berada dalam koridor “value based
education” (Budimansyah dan Suryadi, 2008). Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) merupakan pendidikan nilai dalam hal ini adalah nilai moral. Melalui
pendekatan filsafati dikatakan bahwa Pancasila adalah suatu sistem etika, sebuah
sistem nilai (Kaelan, 2013)”. Pancasila menjadi suatu sistem etika bagi
warganegara Indonesia dan konsep ini difasilitasi oleh PKn sebagai wahana
pendidikan moral bagi warganegara.

Dalam khasanah pengetahuan, pendidikan kewarganegaraan (PKn)


(civic/citizenship education) merupakan bidang kajian atau studi yang bersifat
multifaset dengan konteks epistemologis lintas bidang keilmuan. Secara filsafat
keilmuan PKn memiliki ontology pokok ilmu politik khususnya konsep political
democracy untuk aspek duties and rights of citizen (Winataputra: 2008). Sifat
multidimensionalitas yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai
pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral,
pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak
asasi manusia, serta pendidikan demokrasi.

1. Komponen Keilmuan Civics


Civics sebagai ilmunya PKn mempunyai karakteristik dalam upaya
membentuk seseorang menjadi warga negara yang baik. Adapun karakteristik
civics menurut Branson, (Setiawan dan Yunita, 2017) bahwa materi civics harus
mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), Civic Skill (kecakapan kewarganegaraan) dan Civic
Disposition (watak-watak kewarganegaraan).

Komponen Pertama Civic Knowledge, “berkaitan dengan kandungan atau


nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara” Branson (Setiawan dan
Yunita, 2017) . Aspek ini menyangkut kemampuan akademik keilmuan yang
dikembangkan dan berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan

9
demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian
multidisipliner.

Komponen Kedua, Civic Skill meliputi keterampilan intelektual


(intellectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participator), dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah
keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang
dialog dengan DPRD. Dalam contoh tersebut, keterampilan berpartisipasi adalah
keterampilan menggunakan hak dan kewajiban di bidang hukum, misalnya segera
melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

Komponen Ketiga, civic disposition (watak-watak kewarganegaraan)


merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran
PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai “muara” dari
pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan
tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan
penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat
afektif.

Sementara menurut Branson dalam jurnal “Civics” (Mulyono, 2017) bahwa:


“Tujuan utama dari civic disposition adalah untuk menumbuhkan karakter warga
negara, baik karakter privat seperti; tanggungjawab moral, disiplin diri, dan
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu, maupun
karakter publik misalnya; kepedulian sebagai warga, kesopanan, mengindahkan
aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar,
bernegosiasi dan kompromi”.

Udin S. Winataputra dan Riza Alrakhman (2015) mengatakan bahwa inti


dari hasil belajar atau capaian pembelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah
terbentuknya / berkembangnya keadaban kewarganegaraan atau civic virtues yang
merupakan puncaknya dari proses sinergis-psikologis dari proses kognitif, afektif,
dan keterampilan dalam konteks sosial-kultural civic culture atau budaya
kewarganegaraan, yakni kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis atau
student-wellbeing and worth-life living.

10
Gambar 2.3. Konsep holistic-integratif Capaian Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan

Sumber: Winataputra dan Riza Alrakhman (2015)

Jika dilihat dari gambar 2.3 pendidikan kewarganegaraan memiliki tiga


kompetensi utama yaitu knowledge (wawasan keilmuan social), skills
(keterampilan sosial dan kewarganegaraan), dan dispositions (nilai dan sikap
sosial dan kewarganegaraan). Wawasan keilmuan social jika beririsan dengan
nilai dan sikap sosial dan kewarganegaraan akan menghasilkan civic confidence
atau kepercayaan diri kewarganegaraan, selanjutnya jika wawasan keilmuan social
beririsan dengan keterampilan sosial dan kewarganegaraan akan menghasilkan
civic competence atau kecakapan kewarganegaraan, dan jika nilai dan sikap sosial
dan kewarganegaraan beririsan dengan keterampilan sosial dan kewarganegaraan
akan menghasilkan civic commitment atau keteguhan kewarganegaraan. Terakhir,
jika ketiga komponen kompetensi utama itu saling beririsan akan menghasilkan
civic virtues atau keadaban kewarganegaraan yang akan menjadikan kehidupan
berbangsa dan bernegara menjadi harmonis. (Winataputra dan Riza Alrakhman,
2015)

2. Materi Kajian PPKn


Substansi dalam pembelajaran PKn atau melalui program PPKn di
Indonesia secara pedagogis dan filosofis lebih mengarah pada aspek moralitas
dengan fokus substansinya adalah persoalan demokrasi atau politik warganegara.
Dalam (Wahab dan Sapriya, 2011) dijelaskan bahwa, Tujuan PKn hendaknya

11
disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman, artinya bukan hanya
membangun warga negara yang baik (good citizen) semata melainkan warga
negara yang cerdas (smart citizen) dalam menghadapi lingkungan kehidupannya.
Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat tantangan kehidupan saat ini tidak
cukup dan dapat diselesaikan hanya oleh warga negara yang baik melainkan perlu
pula oleh warganegara yang memiliki kecerdasan.

Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh seorang warga negara adalah


kecerdasan dalam berbagai aspek, yakni kecerdasan dalam intelektual, emosional,
sosial, dan bahkan spiritual. Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang warga negara
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk berpikir dalam menganalisis berbagai
masalah. Dalam hal ini seorang warga negara harus memiliki sejumlah
keterampilan/kecakapan (skills), meliputi keterampilan berpikir, berkomunikasi,
berpartisipasi, bahkan keterampilan untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya.

Secara konseptual, PKn memiliki objek kajian pokok ilmu politik,


demokrasi politik (political democracy) untuk aspek hak dan kewajiban (duties
and rights of citizen). Dari objek kajian pokok inilah berkembang yang secara
harfiah diambil dari bahasa latin civicus, yang artinya warga negara pada zaman
Yunani kuno. Secara praksis, fokus kajian/bidang telaah PKn adalah perilaku
warga negara. Perilaku warga negara sebagai pribadi maupun anggota masyarakat
berada dalam lingkup sebuah organisasi, sebagai pengikat dan sekaligus yang
memberi ruang untuk melakukan perbuatan.

Organisasi yang dimaksud adalah negara sebagai organisasi tertinggi.


Secara filosofis, objek kajian PKn sebagai landasan berpikir dalam konteks ke-
Indonesiaan, meliputi: Nusantara Indonesia, manusia sebagai pribadi, kekayaan
Indonesia, kesadaran manusia Indonesia atas ke-Indonesiaannya, Jati diri sebagai
bangsa Indonesia. Secara ontologis, perspektif PKn sebagai domain kurikuler
terdiri atas dua unsur, yakni curriculum content dan student behavior.

Persoalan yang dihadapi saat ini khususnya menyangkut persoalan bangsa


dan pemerintahan yang berada pada masa transisi, menunjukkan bahwa PKn di

12
Indonesia yang bersifat exclusive dan formal dengan pembelajaran berparadigma
education about democracy sedang mengalami perubahan menjadi paradigma
education in democracy. Ini berarti bahwa materi PKn disiapkan sebagai wahana
pendidikan demokrasi bagi warganegara untuk membentuk perilaku warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab.

a. Arah Rekonstruksi PPKn


Struktur keilmuan yang berorientasi pada substansi dan urgensi moralitas
pribadi manusia yang beradab sesuai dengan esensi dari aktualisasi Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, menjadikan PPKn menyumbang
peranan penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang berakhlak
mulia dan memiliki rasa cinta tanah air, berprikemanusiaan, dan
bertanggungjawab. Hal ini tidak lepas dari sumbangsihnya sebagai wahana
pendidikan nilai atau moral, sebagai wahana pendidikan politik, dan wahana
pendidikan hukum.

Selain itu jika diarahkan pada konstruksi kurikulum PPKn, sebagaimana


dalam (Winataputra, 2015) apabila merujuk pada berbagai hasil kajian filosofis,
sosiologis, yuridis, dan pedagogik, dalam konteks konsepsi utuh pengembangan
Kurikulum 2013 dilakukan strategi penguatan dan penyempurnaan secara
komprehensif terhadap mata pelajaran PPKn dalam kerangka pengembangan
Kurikulum 2013 pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai
berikut:

1. Mengubah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)


menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn);
2. Menempatkan mata pelajaran PPKn sebagai mata pelajaran yang memiliki
misi pengokohan kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang
bersumberkan nilai dan moral Pancasila.
3. Mengorganisasikan pengembangan kompetensi dasar (KD) PPKn dalam
bingkai Kompetensi Inti (KI) yang secara psikologis-pedagogis menjadi
pengintegrasi kompetensi peserta didik secara utuh dan koheren dengan
penanaman, pengembangan, dan/atau penguatan nilai dan moral Pancasila;

13
nilai dan norma UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; nilai dan
semangat Bhinneka Tunggal Ika; serta wawasan dan komitmen Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik PPKn secara holistik/utuh dalam rangka
peningkatan kualitas belajar dan pembelajaran yang berorientasi pada
pengembangan karakter peserta didik sebagai warganegara yang cerdas
dan baik secara utuh dalam bingkai Kompetensi Inti (sikap, pengetahuan,
keterampilan);
5. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model penilaian proses
pembelajaran dan hasil belajar PPKn yang mengintegrasikan sikap
kewarganegaraan, pengetahuan kewarganegaraan, dan keterampilan
kewarganegaraan dalam wadah tanggung jawab dan partisipasi
kewarganegaraan.

Konsepsi kurikulum PPKn yang demikian, menandakan secara progress


PPKn tersusun secara sistematis dan eksplisit dalam upaya mengembangkan
karakter warga negara dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai
dengan 4 (empat) konsensus yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika
dan NKRI. Namun demikian PPKn, juga tetap dengan konsep dan struktur
keilmuan yang secara filosofis dan pedagogis membentuk suatu ilmu yang
fundamental berdasarkan capaian kompetensi yang eksplisit orientasinya yaitu
pengetahuan warganegara, keterampilan warganegara, dan watak warganegara
serta dengan model dan capaian hasil belajar yang terukur.

b. Sumber Filosofis Tradisi Struktur Keilmuan PPKn


Mari kita hubungkan tradisi keilmuan PPKn dengan desain kurikulum PPKn
yang menjadi bagian dari Kurikulum 2013 sebagai titik tolak, dan sebagai
parameter untuk melihat kurikulum PKn/PPKn sebelumnya, dengan
menggunakan indikator sebagai berikut (Winataputra, 2015):

Tradisi Perenialisme dicirikan dengan imperatif nilai-nilai luhur


kebangsaan (Pancasila) dan kewarganegaraan (UUD NRI Tahun 1945 dan

14
konstitusi, serta lainnya), terbaca secara implisit sebagai aspek metakognisi
(semangat atau tendensi) dalam substansi yang menjadi muatan Kompetensi Dasar
(KD).

Tradisi Esensialisme dicirikan dengan kemasan sebagai mata pelajaran


yang dipayungi oleh disiplin keilmuan politik/kenegaraan tertuang dalam bentuk
rumusan logika struktur keilmuan dalam sebuah keutuhan Kompetensi Dasar
(KD).

Tradisi Progresivisme dicirikan dengan pengorganisasian pengalaman


belajar (learning experiences) yang bermuatan substansi dan proses psikologis-
pedagogis secara spiral meluas (extending community approaches), tercermin
dalam rumusan perilaku, baik yang bersifat afektif, konatif, maupun keterampilan
yang termuat dalam setiap KD dan antar KD dalam satu tingkat kelas.

Tradisi Rekonstruksionisme dicirikan dengan muatan dan dorongan


dan/atau fasilitasi bagi individu untuk memberikan kontribusi sesuai dengan
kemampuannya kepada orang lain, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengorganisasian pengalaman belajar (learning experiences) yang bermuatan
substansi dan proses psikologis-pedagogis dilakukan secara spiral meluas
(extending community approaches sebagaimana hal itu tercermin dalam rumusan
dalam setiap KD dan antar KD dalam satu tingkat kelas.

Implikasi dari keempat tradisi ini, sebagai pokok landasan dalam


pengorganisasian pembelajaran PPKn yang memiliki fokus keilmuan, tujuan yang
terukur, serta materi yang fleksibel dan efektif untuk mencapai hasil belajar PPKn
yang baik.

b. Metode Mengajar Kewarganegaraan atau PPKn


Sebagai salah satu variabel dalam pembelajaran, metode memiliki peranan
yang penting dalam upaya mendukung tercapainya hasil belajar yang diinginkan.
Secara pedagogis metode pembelajaran terbagi atas 3 (tiga) strategi (Uno, 2014)
yaitu (1). Strategi Pengorganisasian: sebagai langkah untuk menentukan isi
bidang studi yang dipilih untuk pembelajaran seperti pemilihan isi, penataan isi,

15
pembuatan diagram, dan lainnya. (2). Strategi Penyampaian: sebagai langkah
untuk mendapatkan respons siswa dengan menata interaksi dengan baik. (3).
Strategi Pengelolaan: langkah untuk menyiapkan strategi mengelola kelas.
Dengan demikian maka hakikat metode pembelajaran sangat signifikan dalam
menentukan keberhasilan hasil belajar melalui strategi-strategi belajar yang
efektif, kreatif, dan relevan.

Dalam pembelajaran PKn atau Civics, dilihat dari historisnya maka


konsentrasi metode belajar civics sangat berfokus pada pertumbuhan belajar
peserta didik. Sebagaimana dalam (Somantri: 1976) bahwa metode mengajar
civics harus dapat menyelaraskan unsur-unsur di dalam pendidikan seperti tujuan
belajar, teori belajar, kurikulum, sifat belajar, kebutuhan, dan mutu pengajar,
sehingga dapat memobilisasi pertumbuhan belajar peserta didik.

Dilihat dari sejarahnya, metode mengajar civics yang terkesan doktriner


sehingga perlu adanya pencerahan atau perbaikan yang mana civics sebagai
wahana pendidikan demokrasi, metode mengajarnya harus berorientasi pada:

1. Mendorong partisipasi pelajar yang aktif;


2. Mempunyai sifat-sifat inquiry;
3. Pendekatan pemecahan masalah (Somantri, 1976).
Metode tersebut secara tersadar, terencana, dan terukur harus digalakkan di dalam
pengajaran civics. Hal ini sebagai upaya menghindari penyakit pembelajaran
tradisional civics seperti:
a. Ujian akhir biasanya menanyakan hafalan;
b. Buku civics isinya sangat dipengaruhi oleh essentialism-verbalism;
c. Indoktrinasi, ground covering technique, dan yang sejenisnya adalah
yang paling gampang;
d. Kurangnya kegiatan-kegiatan penulisan ilmiah mengenai metode,
sehingga penyebaran prinsip-prinsip metode yang tercantum dalam
rencana pendidikan, sulit untuk dijalankan.

16
Lantas bagaimana solusi terbaik untuk sekarang ini terutama dalam upaya
menghadapi tren disrupsi di era revolusi industri 4.0 yang dalam konsep civics
rentan akan efek dinamika ekspresi digital citizenship.

Untuk menyikapi problem yang demikian, perlu dipahami dahulu dalam


menyiapkan metode perlu didukung oleh strategi jitu yang relevan untuk
mendukung hasil belajar civics atau PKn. Untuk itu dalam (Wahab dan Sapriya,
2011) bahwa strategi pembelajaran PKn yang perlu dikembangkan sesuai dengan
pendekatan field psychology adalah strategi pembelajaran yang
mengkombinasikan antara sudut ekstrim inkuiri dan sudut ekstrim ekspositori.
Atau pemahaman mudahnya adalah strategi belajar PKn dengan pendekatan
inkuiri dapat memicu pembelajaran yang lebih kontekstual sesuai dengan gejala-
gejala kehidupan kewarganegaraan yang sedang hangat terjadi yang kemudian
guru bersama siswa mencari solusi atau jawaban. Sedangkan dengan pendekatan
ekspositori maka pembelajaran PKn lebih bermakna dengan penyampaian materi
yang secara optimal melalui materi-materi yang faktual.

Selain itu, strategi tersebut juga harus didukung dengan metode yang tepat
sesuai dengan kebutuhan pembelajaran PKn. Dilihat dari segi pedagogis dan
filosofinya, maka metode yang tepat dalam pembelajaran PKn haruslah
berorientasi pada misi PKn sebagai wahana pendidikan demokrasi dan
pembangunan nilai atau karakter agar menjadi warganegara yang baik dan cerdas.

Strategi dan metode belajar inkuiri dianggap paling cocok untuk


memfasilitasi keperluan strategi dan metode belajar PKn. Dalam hal menerapkan
metode inkuiri, maka langkah-langkah metode inkuiri adalah sebagai berikut
(Wahab dan Spariya, 2011):

1. Perumusan masalah
2. Perumusan hipotesis
3. Konseptualisasi
4. Pengumpulan data
5. Pengujian dan analisis data
6. Menguji hipotesis

17
7. Memulai inkuiri lagi.

Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang metode inkuiri dalam


pembelajaran PKn. Kita dapat mengacu pada penjelasan inkuiri dalam jurnal
“Harmoni Sosial” (Murdiono dan Sulianti, 2017) dimana inkuiri berasal dari kata
to inquiry (inquiry)yang berarti ikut serta atau terlibat, dalam mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan. Model
pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan
pada proses berfikir secara kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan
sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

Metode pembelajaran inkuiri digunakan untuk meningkatkan keterampilan


berpikir kritis dan hasil belajar. Selama ini model pembelajaran PPKn yang
digunakan cenderung monoton, sehingga kurang menarik minat peserta didik
untuk mengikuti pembelajaran PPKn. Guru dituntut untuk dapat melakukan
inovasi model pembelajaran yang menyenangkan dan menarik minat peserta didik
agar dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar peserta
didik.

1. Metode Belajar PPKn Berbasis Portofolio


Pembelajaran PPKn berbasis portofolio merupakan metode pembelajaran
untuk pembentukan warga negara demokratis, yakni cara membelajarkan anak
didik dengan mengembangkan kecerdasan warga negara (civic intelligence) dalam
dimensi spiritual, rasional, emosional dan sosial, mengembangkan tanggung
jawab warga negara (civic responsibility), dan mengembangkan anak didik
berpartisipasi sebagai warga negara (civic participation) guna menopang tumbuh
dan berkembangnya warga negara yang baik.

Untuk membentuk masyarakat demokratis diperlukan pemerintahan


demokratis, yaitu pemerintahan yang “berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat”. Dalam prinsip pemerintahan demokratis terkandung hak berpartisipasi
dari setiap warga negara. Hak berpartisipasi ini membebankan tanggung jawab
tertentu kepada setiap warga negara. Di antara tanggung jawab ini adalah

18
tanggung jawab untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan berpartisipasi
secara cerdas, dan tanggung jawab untuk berkehendak meningkatkan
kesejahteraan sosial berdasarkan prinsip-prinsip keadilan. Agar warga negara
dapat berpartisipasi secara efektif, diperlukan bekal pengetahuan dan
keterampilan, pengalaman praktis, dan pemahaman tentang pentingnya partisipasi
warga negara. Mempersiapkan warga negara yang memiliki kualitas seperti
tersebut merupakan tugas pokok pendidikan, terutama Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn).

Metode pembelajaran PKn berdasarkan pada portofolio (Wahab dan


Sapriya, 2011) merupakan kumpulan informasi/data yang tersusun dengan baik
yang menggambarkan rencana kelas siswa berkenaan dengan suatu isu kebijakan
publik yang telah diputuskan untuk dikaji oleh mereka, baik dalam kelompok
kecil maupun kelas secara keseluruhan. Portofolio kelas berisi bahan-bahan
seperti pernyataan-pernyataan tertulis, peta grafik photografi, dan karya seni asli.
Bahan-bahan ini menggambarkan:

1. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan suatu masalah yang
telah mereka pilih.
2. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan alternatif-alternatif
pemecahan terhadap masalah tersebut.
3. Kebijakan publik yang telah dipilih atau dibuat oleh siswa untuk
mengatasi masalah tersebut.
4. Rencana tindakan yang telah dibuat siswa untuk digunakan dalam
mengusahakan agar pemerintah menerima kebijakan yang mereka
usulkan.

Pembelajaran dengan berbasiskan portofolio mengajak para siswa untuk


bekerjasama dengan teman-temannya di kelas dan dengan bantuan guru serta para
relawan agar tercapai tugas-tugas pembelajaran berikut.
1. Mengidentiflkasi masalah yang akan dikaji.
2. Mengumpulkan dan menilai informasi dari berbagai sumber berkenaan
dengan masalah yang dikaji.

19
3. Mengkaji pemecahan masalah.
4. Membuat kebijakan publik.
5. Membuat rencana tindakan.

Dalam usaha mencapai tugas-tugas pembelajaran ini ditempuh melalui 6


(enam) tahap kegiatan sebagai berikut.
Tahap I : Mengidentifikasi Masalah Kebijakan Publik di Masyarakat.
Tahap II : Memilih Satu Masalah Untuk Kajian Kelas
Tahap III : Mengumpulkan Informasi Tentang Masalah yang Akan
dikaji oleh Kelas.
Tahap IV : Membuat Portofolio Kelas
Tahap V : Menyajikan Portofolio
Tahap VI : Refleksi Terhadap Pengamatan Belajar dalam Pembelajaran
PKn yang Berbasis Portofolio, Kelas dibagi ke dalam Empat
Kelompok. Setiap Kelompok Bertanggung Jawab Untuk
Membuat Satu Bagian Portofolio Kelas.
c. Spirit Kewarganegaraan
Konseptualisasi PPKn yang mengarah pada tradisi citizenship transmission
menjadikan PPKn dilihat dari kacamata historis sebagai suatu pendidikan yang
berkonsentrasi pada pembentukan cultural unity (kebangsaan) yang cinta akan
nilai luhur bangsanya sendiri. Hal ini dipertegas dalam (Wahab dan Sapriya,
2011) bahwa melalui tradisi sosial yang pertama yaitu “social studies taught as
citizenship transmission” dimana di setiap bangsa di dunia dihadapkan pada upaya
pembentukan cultural unity yang didasarkan pada pemahaman bahwa generasi
muda mengetahui sejarah bangsanya, disamping itu juga harus diajarkan tentang
patriotisme.

Selain itu cultural unity juga menghendaki adanya pembentukan nilai


terhadap kesadaran individu (warganegara) yang memiliki rasa kesamaan
terutama dalam segi bahasa. Hal ini sebagai bentuk spirit kewarganegaraan
Indonesia yang mengutamakan tumbuh kembangnya rasa persatuan bangsa
melalui bahasa. Lynch (Wahab dan Sapriya, 2011) menjelaskan bahwa

20
“kewarganegaraan seringkali diidentikan dengan ideologi nasionalistik yang
dicangkokkan kedalam kesadaran individu dan identitas nasional dalam bentuk
superioritas nilai. Selanjutnya kewarganegaraan nasional diperkuat oleh bahasa
dan kebijakan tentang kebudayaan yang mengesahkan kebudayaan nasional
melalui satu bahasa persatuan. Kedudukan bahasa nasional sebagai pemersatu
bangsa sangat penting bagi eksistensi kewarganegaraan dan pencapaian
kesatuan identitas nasional”. Paradigma ini menunjukkan bahwa dalam
menampilkan rasa spirit atau semangat kewarganegaraan, perlu adanya
Pendidikan Kewarganegaraan bagi bangsa Indonesia untuk ditingkatkannya rasa
persatuan melalui bahasa sebagai salah satu identitas nasional.

Dengan pola aktualisasi kewarganegaraan yang demikian, bagi bangsa


Indonesia sendiri spirit kewarganegaraan dapat muncul dengan adanya perasaan
patriotisme yang tinggi dan kedudukan bahasa punya efek yang baik bagi seluruh
warga negara Indonesia yang majemuk untuk membentuk rasa persatuan
kebangsaan. Paradigma ini sebagai cikal bakal lahirnya semangat
kewarganegaraan Indonesia yang menginginkan adanya rasa patriotik dan rasa
persatuan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

1. Historis dan Pedagogis Spirit Kewarganegaraan Indonesia


Indonesia mengawali pendidikan kewarganegaraan dengan konsep civics
sebagai generasi pertama pendidikan bagi warganegara Indonesia yang dimulai
sekitar tahun 1960-an. Dilihat dari epistemologi nya, Civics di Indonesia
berstrukturkan: Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai suatu program
pendidikan yang memiliki keilmuan yang perlu ditransfer kepada warga
negaranya yaitu civics (ilmu kewarganegaraan).

Perlu diperhatikan bahwa civics dilihat dari historisnya di Indonesia, tersirat


pesan penting bagi seluruh warga negara Indonesia. Sejak dahulu, civics memiliki
peranan penting dalam mewujudkan kemerdekaan melalui perjuangan, rasa cinta
tanah air, patriotik, dan kesadaran dalam bernegara (seperti taat hukum,
beraspirasi dalam politik, memahami hak dan kewajiban, menghargai perjuangan
pahlawan nasional, dll) walaupun sifat progresnya masih indoktrinasi. Bahkan

21
paradigma tersebut dapat menunjukkan bahwa sejarah telah membuktikan melalui
perjuangan bangsa Indonesia, terlahirlah 4 konsensus fundamental bagi bangsa
Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Dan
perjuangan tersebut secara konseptual merupakan wujud dari pendidikan
kewarganegaraan yang teraktualisasi dalam kehidupan yang real (nyata) sejak
dahulu.

Dikaji dari segi substantif-pedagogis rujukan empat konsensus fundamental


Indonesia sangat signifikan dan mempunyai faktor emparatif sebagai bahan dan
landasan dalam pembelajaran PPKn di Indonesia. Sebagaimana dalam
(Winataputra, 2015) dijelaskan “secara substantif-pedagogis PPKn bertujuan
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, nilai dan norma UUD
1945, semangat Bhineka Tunggal Ika, dan komitmen kolektif berNegara Kesatuan
Republik Indonesia”.

Dalam konteks itu pancasila sebagai dasar Negara, ideologi nasional, dan
pandangan hidup bangsa dikonsepsikan, dimaknai, dan difungsikan sebagai
entitas inti (core/central values) yang menjadi sumber rujukan dan kriteria
keberhasilan pencapaian tingkat kompetensi dan pengorganisasian dari
keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Substansi dan jiwa UUD Negara Republik Indonesia 1945,
nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan
Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan, yang menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan
warga negara Indonesia yang berkarakter Pancasila.

Kausalitas yang demikian, sebagai prakarsa pendidikan kewarganegaraan


Indonesia dalam upaya mewujudkan spirit kewarganegaraan yang berperan aktif
dalam mewujudkan rasa kebangsaan yang baik, kehidupan yang beradab, cinta
tanah air, dan menjunjung kesadaran berkonstitusi. Hal ini telah tampak sejak
dahulu di masa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan sampai pada saat ini dan
tertuang ke dalam konstruksi 4 (empat) konsensus fundamental Indonesia. Jika

22
diarahkan pada aspek pedagogisnya, maka upaya edukatif ke-empat konsensus
fundamental Indonesia dapat secara edukatif mencapai tujuan umum dan tujuan
khusus Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dengan gugus muatan
substantif dan pedagogis sebagai berikut (Winataputra, 2015):

a. Substansi yang bersumber dari nilai dan moral Pancasila, sebagai dasar
negara, pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika
dalam pergaulan Internasional.
b. Substansi yang bersumber dari Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan
konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c. Substansi yang bersumber dan/atau berkaitan erat dengan konsep dan
makna Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan
kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
d. Substansi yang bersumber dari konsep dan makna Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia
yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.
Dengan berbasiskan keempat konsensus fundamental Indonesia, pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan berupaya mendidik warga negara melalui
transmisi nilai-nilai pancasila, transmisi norma-norma UUD 1945, transmisi
komitmen bhineka tunggal ika, dan transmisi kekuatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk dapat membentuk warganegara yang baik dan cerdas atau cara ini
disebut dengan citizenship transmission.
2. Sejarah Kelahiran Pancasila Sebagai Aktualisasi Spirit Kewarganegaraan
di Indonesia
Urgensi dan esensi Pancasila tentu telah menjadi suatu kekuatan spesial bagi
bangsa Indonesia dilihat dari aspek historisnya. Kausalitasnya memberikan
semangat ekstra bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang beradab,
berAkhlak mulia atau bermoral. Hal ini tidak lepas dari faktor spirit bangsa
Indonesia untuk mencapai kesepakatan bersama dalam mewujudkan suatu way of
life atau pandangan hidup bangsa yang berakar dari Pancasila sebagai bukti kuat

23
bahwa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya penuh dengan rasa tekad yang
kuat dan didasari atas pribadi yang tangguh, itulah kausalitas Pancasila. Hal inilah
yang menjadi salah satu aktualisasi hakikat dari Pendidikan Kewarganegaraan
sejak awal pertama kali ada di Indonesia yang terwujud dalam bentuk aktualisasi
Pancasila sebagai hasil dari upaya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada abad ke-4 sampai abad ke-16, Indonesia pernah dikarunia sebuah
kelompok kerajaan yang sarat akan sejarahnya dan pengaruhnya terhadap corak
kehidupan bangsa Indonesia hingga saat ini. Sejarah nenek moyang kita mengukir
jejak yang kuat kepada kita untuk berkehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dengan satu asas yang kuat yaitu gotong royong. Melalui kerajaan besar
seperti sriwijaya dan majapahit, lahirlah prinsip kehidupan kebersamaan dan
gotong royong. Sebagaimana dalam (Herdiawanto, Wasitaatmadja, dan
Hamdayama, 2018) dijelaskan bahwa “Dalam sejarah nenek moyang bangsa
Indonesia, pada awal mendiami wilayah Indonesia hidup berburu dan
mengumpulkan makanan (food gathering). Mereka hidup berkelompok dan
mengembara, karena belum memiliki tempat tinggal tetap. Perkembangan
selanjutnya, mereka sudah bisa bercocok tanam dan hidup menetap (food
producing). Dalam kondisi ini, mereka hidup berdasarkan hubungan
kekeluargaan dan selalu menerapkan prinsip kebersamaan dan gotong royong
dalam melakukan pekerjaan”. Nenek moyang kita secara jelas dari zaman dahulu
telah menjalani hidup dalam tata masyarakat yang teratur, bahkan sudah dalam
bentuk kerajaan kecil kuno, seperti kerajaan Kutai yang lahir pada abad V di
Kalimantan Timur, dengan rajanya yang terkenal Mulawarman. Berikutnya adalah
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang memperoleh masa kejayaan pada masanya
masing-masing.

Kemudian, sejarah juga membuktikan tidak hanya kerajaan nasional


melainkan juga seperti kerajaan Islam disekitar abad ke-7 juga memiliki pengaruh
besar dalam membangun fondasi ideologi bangsa Indonesia sebagai dasar bahan
lahirnya Pancasila. Kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan
Malaka, Kerajaan Acerh, Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram

24
Islam, kerajaan Goa dan Tallo begitu kuat memberikan contoh dan bahan untuk
the founding fathers dalam menentukan sila-sila Pancasila pada saat siding
BPUPKI maupun PPKI dilaksanakan. Sebagaimana diadaptasi dari (Herdiawanto,
Wasitaatmadja, dan Hamdayama, 2018) pada intinya kerajaan-kerajaan Islam
tersebut secara garis besar memberi sumbangsi:

1. Nilai Persatuan: kerajaan Demak, Palembang, dan Aceh bersatu untuk


mengusir bangsa portugis dari Malaka.
2. Nilai Musyawarah: seorang raja selalu bermusyawarah kepada para
pejabat Nistana atau kepada penasehat raja sebelum memutuskan suatu
kebijakan.
3. Nilai Keadilan Sosial: Pada masa kerajaan Islam, kehidupan sosial
masyarakatnya dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam seperti zakat dan
sedekah.
4. Nilai Toleransi Beragama: Pada masa kerajaan Islam, kehidupan
masyarakat pada saat itu dapat dilihat dengan status keragaman agama
namun antara pemeluk agama yang berbeda dapat hidup berdampingan.
5. Nilai Cinta Tanah Air: Pada abad ke-16 dan 17 masyarakat kerajaan Islam
di Indonesia pada masa itu sangat disibukkan dalam upaya
mempertahankan wilayah kekuasaannya dari pendudukan bangsa Eropa.
Contoh, perlawanan Sultan Agung dari Mataram terhadap Belanda.
6. Nilai Budaya: Perkembangan seni budaya pada masa kekuasaan Islam
cukup pesat. Terbukti dengan munculnya hasil karya budaya masyarakat
seperti kaligrafi, seni ukir, seni pahat dan seni bangunan.

Keenam nilai diatas merupakan bukti spirit bangsa Indonesia dalam


mengupayakan terwujudnya kehidupan berbangsa yang beradab yang telah lahir
sejak dahulu. Masa kerajaan Islam tersebut berlanjut ke masa Perjuangan Bangsa
Indonesia di era penjajahan Hindia Belanda, momen-momen perjuangan
bersejarah seperti munculnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC),
pemerintahan Kolonial Belanda, dan politik pemerintahan Belanda memicu

25
bangsa Indonesia pada saat itu melakukan inisiatif patriotik yaitu gerakan
kemerdekaan.

Gambar 2.4. Proses lahirnya Pancasila dalam sidang BPUPKI

Sumber: bobo.grid.id

Gerakan kemerdekaan dimulai sejak abad ke-18 sampai diproklamasikan


kemerdekaan yaitu 17 Agustus 1945 menjadi bukti lain perjuangan bangsa
Indonesia untuk menunjukkan spirit yang tangguh untuk mencapai bangsa yang
beradab dan mulia. Hal ini sebagai wujud kausalitas pendidikan kewarganegaraan
di Indonesia yang teraktualisasi melalui sejarah perjuangan bangsa Indonesia
dalam mencapai kemerdekaan. Selain itu, perjuangan tersebut juga sebagai bahan
elastis incorporatif para the founding fathers kita untuk dapat menghasilkan
Pancasila. Sebagaimana dalam (Kaelan, 2013) dijelaskan bahwa Negara Indonesia
dalam mewujudkan philosophy-nya melakukan cara elektis, yaitu suatu cara
perpaduan dari berbagai elemen (dari berbagai nilai sejak dahulu yang telah lahir
di masa kerajaan maupun masa kemerdekaan) kemudian disintesiskan untuk satu
pemikiran (itulah Pancasila) atau suatu konsep baru, Notonegoro menggunakan
istilah elektis inkorporatif.

26
Pada akhirnya melalui terbentuknya BPUPKI dan PPKI, teknik elektis
inkorporatif dipakai untuk merumuskan Pancasila oleh para the founding fathers.
Pada saat itu Indonesia mendapat keuntungan dari posisi Jepang yang tersudut
secara global usai kalah di perang pasifik sehingga menjanjikan kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia pada saat itu. Momen inilah untuk dimanfaatkan oleh bangsa
Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan serta merumuskan dasar
Negara atau filosofi negara yaitu Pancasila.

Sejarah lahirnya pancasila sesungguhnya menunjukkan semangat


perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki dengan
menyertakan rumusan Pancasila sebagai dasar bahwa Indonesia adalah Negara
yang berdikari, bertekad kuat, dan Negara dengan bangsa yang beradab. Belum
lagi masa dicetuskannya sumpah pemuda pada 1928, yang menjadi poin utama
spirit bangsa Indonesia khususnya kaum pemuda untuk memproklamasikan
semangat kemerdekaan sehingga Indonesia dapat merumuskan staat fundamental
norm.

3. Hakikat UUD 1945 Sebagai Kaidah Fundamental Bagi Warganegara


Indonesia
UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia yang berperan sebagai dasar hukum
Negara yang didalamnya termuat segenap aspirasi masyarakat Indonesia dalam
membangun bangsa. Tujuan bangsa Indonesia bahkan tertuang di dalam
preambule UUD 1945. Pernyataan Indonesia yang menegaskan sebagai Negara
hukum sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Dapat dipahami bahwa Indonesia adalah Negara
rechstaat (Negara hukum) dan bukan machtstaat (kekuasaan belaka). Lebih jelas
dalam (Asshiddiqie, 2009) bahwa Prinsip ini termuat di dalam Pasal 1 ayat (3)
dikarenakan sifatnya yang sangat mendasar dan fundamental.

Dengan perumusannya dalam Pasal 1, maka di dalam pasal ini terdapat dua
prinsip yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu prinsip kedaulatan atau
demokrasi konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2), dan prinsip negara

27
hukum yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (3). Keterkaitan ini menunjukkan bahwa
doktrin kedaulatan rakyat dan doktrin kedaulatan hukum dipertandingkan dalam
satu rangkaian pemikiran, yaitu bahwa di satu pihak demokrasi Indonesia itu
harus berdasar atas hukum (constitutional democracy), tetapi di pihak lain
kedaulatan hukum Indonesia harus pula bersifat demokratis atau “democratische
rechtsstaat” (democratic rule of law).

Hakikat fundamental konstitusi yang demikian, tentunya makna Negara


hukum sangat menentukan apa dan bagaimana kita sebagai warga negara secara
bijak untuk menyikapinya. Untuk itu kita perlu memahami juga apa yang menjadi
ciri Indonesia sebagai Negara hukum. Ciri-ciri Negara hukum (Santoso:2013)
adalah adanya:

1. Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;


2. Asas legalitas; Gambar 2.5. warga negara Pancasilais

3. Asas pembagian kekuasaan;


4. Asas peradilan yang bebas dan tidak
memihak;
5. Asas kedaulatan rakyat.
6. Asas demokrasi dan
7. Asas konstitusional.
Sumber: www.kompas.com
Ketujuh ciri-ciri negara hukum di atas menjadi dasar komprehensif bagi
warga Negara untuk secara sadar memahaminya dan dapat merealisasikannya
bersama dengan pemimpin negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan
yang sadar konstitusi. Konsep ini sebenarnya adalah bagian dari aktualisasi
pendidikan kewarganegaraan dalam konteks kesadaran berkonstitusi atau dalam
ranah civics disebut civic awareness untuk membentuk civic disposition atau civic
virtue.

Sementara jika dikaji dari fungsinya, maka UUD 1945 atau konstitusi
Indonesia dapat dipahami sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara mempunyai dua fungsi yaitu:

28
1. Membagi kekuasaan dalam Negara.
2. Membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam Negara
(Setiawan, 2015).

Lebih lanjut, Setiawan memberikan gambaran jelas akan kedudukan


pembukaan UUD 1945 yang bersifat fundamental dan melekat bagi Negara
Indonesia. Sifatnya yang fleksibel dan rigid membuatnya tidak dapat diubah dan
bermaknakan positif di setiap zaman. Kedudukan pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 bagi Negara Republik Indonesia diantaranya:
a. Sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa
Indonesia;
b. Sumber dari cita-cita hukum dan cita-cita moral yang ingin ditegakkan
dalam lingkungan internasional dan nasional;
c. Mengandur nilai-nilai universal dan lestari universal artinya bahwa
nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi oleh bangsa yang beradab. Lestari
artinya bahwa ia mampu menampung dinamika masyarakat.

Kedudukan UUD 1945 yang demikian menjadikan Indonesia sebagai


Negara hukum yang meletakkan hukum sebagai norma yang fundamental bagi
segenap warga negara Indonesia dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan dilihat dari progresnya yang mengalami perubahan atau amandemen
beberapa kali, juga merupakan bagian dari kesempurnaan UUD 1945 yang
bertujuan untuk “mengembalikan UUD 1945 berderajat tinggi dan menjiwai
konstitusionalisme serta negara berdasarkan atas hukum dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Ini berarti Negara Indonesia memiliki semangat dan
filosofi yang tinggi dalam memperjuangkan kehidupan yang berlandaskan pada
norma yang fundamental dalam mewujudkan kehidupan yang adil, berderajat,
tertib, dan berkedaulatan.

Pendidikan kewarganegaraan sendiri sebagai suatu program pendidikan


memiliki peranan yang penting untuk mendukung hakikat UUD 1945 sebagai
kaidah fundamental bagi warga negara Indonesia. Substansi PPKn juga
berwujudkan suatu materi yang berorientasi pada pembentukan kehidupan

29
berbangsa dan bernegara yang berlandaskan konstitusi sebagai dasar hukum.
Sebagaimana dijelaskan dalam (Winataputra, 2015) bahwa “substansi PPKn yang
bersumber dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

3. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi


Seorang guru PPKn yang mengajar di sebuah sekolah menengah,
memberikan pelajar tentang Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang pada
dasarnya belajar mengenai keIndonesiaan, belajar untuk menjadi manusia yang
berkepribadian sebagai warga negara Indonesia dengan membangun rasa
kebangsaan, dan cinta tanah air Indonesia. Oleh karena itu guru yang profesional
sebagai yang terdidik memberikan motivasi dan hasil belajar siswa terhadap
pemahaman tentang Indonesia, memiliki kepribadian Indonesia, memiliki rasa
kebangsaan Indonesia, dan mencintai tanah air Indonesia. Dengan demikian, ia
menjadi warga negara yang baik dan terdidik (smart and good citizen) dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, untuk
mengembangkan spirit kewarganegaraan dalam mencerdaskan keterampilan
siswanya.

4. Forum Diskusi

CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas


Terstruktur
Menguasai materi dan Struktur, metode, 1. Struktur 1. Deskripsikanla
aplikasi materi bidang dan spirit keilmuan h Struktur
studi PPKn yang keilmuan kewarganegara Keilmuan
mencakup : kewarganegaraan, an, Kewarganegara
a. konsep, prinsip, hukum, politik 2. Metode an
prosedur, dan metode kenegaraan, keilmuan 2. Jelaskanlah
keilmuan serta nilai, sejarah kewarganegara Metode
norma, dan moral perjuangan an, Keilmuan
yang menjadi muatan bangsa, dan 3. Spirit Kewarganegara
kurikulum dan proses disiplin lainnya pengembangan an
pembelajaran berlandaskan keilmuan 3. Jelaskanlah
dan/atau Undang-Undang kewarganegara Spirit
pembudayaan dalam Dasar Negara an Pengembangan
konteks pendidikan Republik Keilmuan

30
Pancasila sebagai Indonesia tahun Kewarganegara
dasar negara dan 1945 sebagai an
pandangan hidup hukum dasar
bangsa dan yang menjadi
kewarganegaraan di landasan
sekolah dan/atau konstitusional
masyarakat; kehidupan
b. struktur, metode, bermasyarakat,
dan spirit keilmuan berbangsa dan
kewarganegaraan, bernegara yang
hukum, politik ber-Bhinneka
kenegaraan, sejarah Tunggal Ika
perjuangan bangsa, dalam
dan disiplin lainnya keberagaman
berlandaskan yang kohesif dan
Undang-Undang utuh;
Dasar Negara
Republik Indonesia
tahun 1945 sebagai
hukum dasar yang
menjadi landasan
konstitusional
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa dan
bernegara yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika
dalam keberagaman
yang kohesif dan
utuh,
c. isu-isu dan/ atau
perkembangan terkini
kewarganegaraan
meliputi bidang
ideologi, politik,
hukum, ekonomi,
sosial, budaya,
pertahanan keamanan
dan agama, dalam
konteks lokal,
nasional, regional,
dan global dalam
bingkai Negara
Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI),
termasuk advance

31
materials secara
bermakna yang dapat
menjelaskan aspek
“apa” (konten),
“mengapa” (filosofis),
dan “ bagaimana”
(penerapan) dalam
kehidupan sehari-hari;

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Pembelajaran PPKn jika dikaji dari segi ontologi keilmuannya mencakup
konsep dasar, prinsip, dan prosedur keilmuannya yang perlu untuk dipahami dan
dilaksanakan secara baik oleh seluruh pemangku kepentingan PPKn dalam hal ini
adalah Guru. Paradigma ini merupakan salah satu langkah bagus dalam
pembelajaran PPKn untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif dan memberi
pengaruh yang signifikan terhadap peserta didik dalam membentuk atribut civic
knowledge, civic skill, dan civic disposition peserta didik untuk menjadi
warganegara yang baik dan cerdas serta memiliki rasa kebangsaan yang baik dan
berfilosofikan Pancasila.

PPKn sebagai suatu pendidikan bagi warganegara untuk mendidik mereka


dalam ranah politik, hukum, dan moral. Konsep awalnya yang mengusung “Budi
Pekerti” menjadikannya sebagai pendidikan yang berfokus untuk membentuk
morality warganegara. Sehingga dengan demikian pembelajaran PPKn
sesungguhnya dapat membina dan membentuk secara baik, terstruktur, dan arif
morality warganegara. Pembelajaran PPKn juga memiliki standar tradisi yang
kuat dalam ranah Ilmu Sosial dalam upaya mewujudkan urgensi citizenship
transmission yang berfokus pada karakter warganegara yang cerdas dan baik.

PPKn sebagai wahana pendidikan Politik bertujuan untuk membentuk


semangat civic participatory warganegara dan membentuk civil society. Selain itu
PPKn sebagai wahana pendidikan hukum juga memiliki peran penting untuk

32
meningkatkan kesadaran warganegara (civic awareness) dalam berkonstitusi.
Terakhir PPKn sebagai wahana pendidikan moral juga signifikan pengaruhnya
terhadap warganegara untuk membentuk perasaan moral yang baik dalam
berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.

Disamping itu Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara menjadi
dua tolak ukur utama yang perlu diintegrasikan ke dalam capaian kompetensi
peserta didik melalui pembelajaran PPKn. Selain itu, juga perlu pengembangan
kompetensi peserta didik dalam pembelajaran PPKn untuk dikorelasikan dengan
Standar Kompetensi Inti Kurikulum 2013 agar secara yuridis dan pedagogis,
PPKn menjadi pembelajaran yang efektif dari segi konsep, prinsip, dan prosedur
pembelajaran bagi warganegara atau peserta didik.

2. Tes Formatif

Soal-soal:
1. PPKn merupakan program pendidikan yang ilmunya sendiri dilandasi body of
knowledge yang beragam terdiri atas rumpun ilmu politik, hukum, dan moral.
Hal ini sebagai bentuk dari sifat struktur keilmuan PPKn yang…..
a. Multikultur
b. Multifacet
c. Multi-Methode
d. Multi-Science
e. Monodimencional
2. PPKn merupakan program pendidikan yang dilandasi oleh tradisi social
studies, sehingga secara pedagogis PPKn berkonsepkan beberapa domain. Hal
ini sebagai penyebab dari paradigma sistemik keilmuan PPKn yang berupaya
menyalurkan……
a. Tradisi Citizenship Transmission
b. Tradisi social Citizenship
c. Tradisi Inquiry
d. Tradisi Cultural-Transmission
e. Tradisi democratic

33
3. PPKn sebagai muara dari pengembangan komponen knowledge dan skill, civic
disposition berperan sangat esensial dan substansial dalam pengembangan
kompetensi warganegara. Hal ini dikarenakan……
a. Strukturnya ilmu civics yang hanya berkomponen civic disposition
b. Upaya mewujudkan warganegara yang cerdas
c. Hubungannya dengan program character building
d. Kesesuaiannya dengan visi, misi, dan tujuan PPKn
e. Esensinya cocok dengan pendidikan demokrasi
4. Esensi dan urgensi dari empat konsensus bangsa Indonesia menandakan
sebagai fokus landasan arah rekonstruksi PPKn. Hal ini sebagai wujud dari….
a. Membentuk tradisi kewargaan dengan 4 konsensus bangsa Indonesia.
b. Visi membentuk warganegara yang sadar untuk berkehidupan berbangsa
dan bernegara dengan berlandaskan pada 4 konsensus bangsa Indonesia.
c. PPKn sebagai wahana pendidikan berkonstitusi
d. Membentuk warganegara yang sadar untuk bela Negara dengan
berlandaskan pada 4 konsensus bangsa Indonesia.
e. PPKn sebagai wahana pendidikan 4 konsensus bangsa Indonesia.
5. PPKn sifatnya yang cenderung mentransformasikan nilai-nilai demokrasi
sebagai wujud dari PPKn sebagai wahana pendidikan politik, merupakan ?
a. Tradisi filosofi Perenialisme PPKn
b. Tradisi filosofi Progresivisme PPKn
c. Tradisi filosofi Esensialisme PPKn
d. Tradisi filosofi Rekonstruksionisme PPKn
e. Tradisi filosofi Behavior PPKn
6. Metode inkuiri menjadi suatu metode yang sangat diperlukan dalam
pembelajaran PPKn dikarenakan…..
a. Sifatnya yang mendukung pembelajaran yang aktif dan kritis
b. Cocok untuk membentuk pembelajaran yang student center
c. Inkuiri sebagai metode yang menekankan pada aspek disposition
d. Pembelajaran PPKn tidak bisa lepas dari kegiatan mengidentifikasi
masalah

34
e. Metode belajar PPKn lebih bersifat statis
7. Dalam upaya melaksanakan portofolio yang baik di kelas, guru PPKn harus
memperhatikan 3 (tiga) atribut komponen yang perlu dikembangkan. Yang
diantaranya…….
a. Civic awareness
b. Civic knowledge, civic, skill, dan civic disposition
c. Civic responsibility
d. Pengetahuan, keterampilan, sosial, dan spiritual
e. Civic intelligence, civic responsibility, dan civic participation

8. Berkomitmen terhadap nilai kebersamaan untuk mewujudkan rasa toleran dan


jiwa kohesif . Dalam konsep pedagogis PKn, hal ini sebagai bentuk manifestasi
nilai……
a. Spirit Pancasila
b. Spirit Berkonstitusi
c. Spirit Bhineka Tunggal Ika
d. Spirit Negara Kesatuan Republik Indonesia
e. Spirit Multikultur
9. Persatuan, Musyawarah, dan Cinta Tanah Air merupakan bagian dari kausa
filosofische grondslagen Indonesia. Hal ini merupakan istilah lain dari proses ?
a. Elektis Eksklusif
b. Elektis Dependen
c. Elektis Multidisiplin
d. Elektis Inkorporated
e. Interdependen
10. Dalam konteks substansi dan urgensi kajian UUD 1945 dalam pembelajaran
PPKn, target yang diharapkan adalah dapat terbentuknya spirit berkonstitusi
yaitu democratische rechtsstaat. Konsepsi yang demikian merupakan
relevansi dari……
a. Indonesia sebagai Negara Machstaat
b. Indonesia beriklim hukum hindia belanda

35
c. Kausalitas norma-norma sosial
d. Efek dari kehidupan para leluhur di masa lalu
e. Indonesia sebagai Negara Rechstaat

Kunci Jawaban
1. B 6. A
2. A 7. E
3. D 8. C
4. B 9. D
5. C 10. E

3. Daftar Pustaka

Buku:
Asshiddiqie, J. 2009. Komentar Atas Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Budimansyah, D. dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarakat Multikultural.


Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah
Pascasarjana. UPI

Herdiawanto, H., Wasitaatmadja, F, F., Hamdayama, J. 2018. Spiritualisme


Pancasila. Jakarta: Kencana.

Jamaludin, J., Brata, D. P. N., Fitrayadi, D. S., Manullang, S. O., Salamun, S.,
Fadilah, N., ... & Moad, M. (2021). Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Yayasan Kita Menulis.

Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Lickona, Thomas. 2013. Educating For Character (Mendidik Untuk Membentuk


Karakter). Jakarta: Bumi Aksara.

Mahardika, I. (2021). Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Meningkatkan


Sikap Nasionalisme Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Primagraha. Jurnal Pelita Bumi Pertiwi, 02(02),
8–16.

36
Somantri, N. 1976. Metode Mengajar Civics. Jakarta: Erlangga.

Setiawan, D. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Medan: Madenatera.

Setiawan, D. 2015. Ilmu Kewarganegaraan. Medan: Larispa.

Setiawan, D & Yunita, S. 2017. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan:


Larispa.

Uno, H.B. 2014. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika.

Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Winataputra, U.S. Budimansyah, D. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam


Perspektif Internasional. Bandung: Widya Aksara Press

Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-


Epistemologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten: Universitas
Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Winataputra, Udin S dan Riza Alrakhman. 2015. Pendidikan Pancasila dan


Kewarganegaraan (PKN) Untuk Generasi Emas Indonesia: Rekonstruksi
Capaian Pembelajaran. Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan
Departemen Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Penguatan Komitmen Akademik Dalam Memperkokoh Jatidiri
PKn.

Jurnal:

Mulyono, B, Reorientasi civic disposition dalam kurikulum Pendidikan


Kewarganegaraan sebagai upaya membentuk warga negara yang ideal,
Jurnal Civics Volume 14 Nomor 2, Oktober 2017, P-ISSN: 1829-5789, E-
ISSN: 2541-1918.

Murdiono, M & Sulianti, A. Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terhadap


Keterampilan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Peserta Didik Dalam
Pembelajaran PPKn, Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPA Volume 4,
No 2, September 2017, ISSN: 2356-1807 (print) ISSN: 2460-7916 (online).

37
Pebriyenni, Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Memperkuat Karakter
Bangsa, Jurnal PPKn & Hukum Vol. 12 No. 2 Oktober 2017, P. ISSN
2087-8591, E.ISSN 2654-3761.

Santoso, M. A, Perkembangan Konstitusi Di Indonesia, Yustisia Vol.2 No.3


September - Desember 2013, 0852-0941 (Print), 2549-0907 (Online).

Winarno, Materi Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai Lokal: Identifikasi dan


Implementasi, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 2,
Juli 2018ISSN 2527-7057 (Online), ISSN 2545-2683 (Print).

Winataputra, Udin. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Suatu Sistem


Pengetahuan Terpadu Academic Positioning Dari Ruu Pendidikan
Kewarganegaraan. Bahan Diskusi dalam Seminar Terbatas RUU
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kebijakan Pertahanan Aspek
Perundang-undangan Tanggal 16 Oktober 2008 di Gedung Suprapto, Aula
Bela Negara, Ditjen Pothan, Dephan Jakarta.

Internet

https://bobo.grid.id/read/081933739/hasil-sidang-pertama-bpupki-yang-
melahirkan-dasar-negara-pancasila?page=all

https://www.kompas.com/skola/read/2021/01/13/135539669/hak-warga-negara-
indonesia-dalam-uud-1945

38
KEGIATAN BELAJAR 3:
KONSEP KAJIAN KEILMUAN
KEWARGANEGARAAN BERLANDASKAN
PANCASILA DAN UUD 1945
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

A. PENDAHULUAN ...............................................................................................1

1. Deskripsi Singkat .........................................................................................1


2. Relevansi .......................................................................................................3
3. Petunjuk Belajar ..........................................................................................4

B. KEGIATAN INTI...............................................................................................5

1. Capaian Pembelajaran ................................................................................5


2. Uraian Materi ...............................................................................................6
a. Konsep UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusi Dalam Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara ....................................................6
b. Konsepsi Sejarah Perjuangan Bangsa Dalam Perspektif PPKn ..............9
c. Kewarganegaraan Yang Ber-Bhineka Tunggal Ika.................................13
3. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi ..............................................................22
4. Forum Diskusi ..............................................................................................23

C. PENUTUP ............................................................................................................25

1. Rangkuman ...................................................................................................25
2. Tes Formatif .................................................................................................26
3. Daftar Pustaka ..............................................................................................29

ii
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Upaya untuk menyiapkan guru profesional PPKn, Modul 3 ini menyajikan
kegiatan belajar tiga (KB 3 ) dengan membahas materi tentang tiga kajian penting
diantaranya Konsep UUD 1945, Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, dan
Kewarganegaraan yang Berbhineka Tunggal Ika dalam Perspektif PPKn. Kegiatan
belajar ini dilihat dari aspek substantif dan pedagogisnya secara komprehensif
dapat memperkaya cakrawala keilmuan seorang guru PPKn dan dapat
mengembangkan kompetensi keilmuan guru PPKn (aspek pedagogik dan
profesional). Secara umum substansi pada kegiatan belajar tiga akan membahas
tentang apa dan bagaimana konsep UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

Kemudian muatan tentang apa dan bagaimana sejarah perjuangan bangsa


Indonesia yang secara khusus banyak terinspirasi dari semangat pembentukan dan
lahirnya pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) dalam perspektif PPKn. Terakhir muatan pada
kegiatan belajar ini juga akan membahas apa dan bagaimana Kewarganegaraan
yang Berbhineka tunggal ika.

Pada konteks muatan pendidikan pancasila dan kewarganegaraan menurut


Winataputra (2015) dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yakni dengan
menumbuhkembangkan kemampuan warga negara yang cerdas dan baik smart
and good citizen kecerdasan kewarganegaraan yang merupakan prasyarat untuk
pembangunan demokrasi dalam arti luas, yang mempersyaratkan terwujudnya
budaya kewarganegaraan atau civic culture sebagai salah satu determinan tumbuh-
kembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis atau student-
wellbeing and worth-life living.

1
Penelitian yang dilakukan Ayuning dan dewi terkait implementasi
pendidikan kewarganegaraan generasi muda sebagai smart and good citizen di era
disrupsi mengatakan bahwa dengan adanya pendidikan kewarganegaraan akan
membentuk karakter warga negara yang smart and good sesuai dengan nilai-nilai
kebangsaan Indonesia yaitu Pancasila dan juga UUD 1945 (Ayuning L. F. &
Dewi, 2021). Dikuatkan dengan pendapat Febrianyah bahwa bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia memiliki cita-cita yang tertuang dalam pembukaan Undang
Undang Dasar 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, mengacu pada
citacita inilah konsep pendidikan kewarganegaraan dirancang sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional dan tidak bertentangan dengan dasar negara Pancasila
(Febriansyah, 2017)

Pada konsep UUD 1945 dan pancasila dengan dibuktikannya lahirnya


sejarah perjuangan gangsa Indonesia dengan perwujudan semangat rasa persatuan
“nasionalisme” dalam bingkai keberagaman “berbhineka tunggal ika” maka
sebagai bangsa yang heterogen, hanya dapat bersatu jika masing-masing pihak
menghargai perbedaan, dan tidak memaksakan orang lain untuk sama dengan
dirinya. Oleh karena itu persatuan disini, tidak berarti menghilangkan identitas
daerah, dengan kata lain persatuan yang sinergik. Bhineka Tunggal Ika adalah
solusi kehidupan modern dalam berbangsa dan bernegara, karena di era
globalisasi, dunia menjadi satu sistem sehingga tidak ada satupun negara yang
homogen, oleh karenanya faham nasionalisme menjadi kebutuhan. Persatuan
adalah kebutuhan bagi negara bangsa, mengingat dampak negatif globalisasi akan
menggerogoti kedaulatan negara bangsa, dalam hal inilah prinsip bhineka tunggal
ika menjadi penting(Tjarsono, 2013).

Kemurnian menurut Tjarsono (2013) mengemukakan tentang


keanekaragaman baru dapat menjadi perekat bangsa bahkan menjadi kekuatan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika:

1. Ada nilai yang berperan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

2
2. Adanya standar yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam rangka menilai
sikap dan tingkah laku serta cara bangsa menuju tujuan.
3. Mengakui dan menghargai hak dan kewajiban serta hak asasi manusia
dalam berbagai aspek (agama, suku, keturunan, kepercayaan, kedudukan
sosial)

Dengan demikian, kegiatan belajar kali ini akan sangat banyak membekali
seorang guru secara kognitif dan secara terstruktur dan terarah membantu
mengarahkan guru PPKn mampu menerapkan (aspek pedagogik dan profesional)
keilmuan PPKn perihal konsep UUD, Sejarah perjuangan bangsa, dan
Kewarganegaraan yang berbhineka tunggal ika dengan secara baik dan
mendukung tujuan dan mencapai kompetensi inti dan kompetensi dasar kurikulum
2013 PPKn.

2. Relevansi
Modul 3 Kegiatan Belajar 3 yang membahas tentang konsep dasar
keilmuan PPKn pada diklat Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan ini
sangat penting dan relevan menjadi bekal, panduan, dan paket belajar bagi peserta
PPG dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah satu kompetensi mutlak yang
harus dimiliki oleh seorang guru PPKn yang profesional adalah pemahaman dan
kemampuan implementasi perwujudan substansi Konsep UUD 1945, Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia, Dan Kewarganegaraan Yang Berbhineka tunggal
ika Dalam Perspektif PPKn. Substansi ini adalah bagian dari konsep tradisi
perenialism, essentialism, progressivism, dan konstruksionisme filosofi
pembelajaran PPKn yang berupaya membentuk civic virtue peserta didik sebagai
warganegara yang mengingat sejarah bangsanya (sehingga nasionalis dan
patriotik), memahami konsep UUD 1945 sebagai semangat dan komitmen sebagai
hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta memahami kewarganegaraan yang berbhineka
tunggal ika sebagai wujud komitmen peserta didik sebagai warga negara yang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya sesuai dengan nilai
harmonis.

3
Selain itu tentu panduan dan/atau kegiatan belajar ini dapat membentuk
spirit pedagogis peserta PPG PPKn dalam jabatan, dapat mengaktualisasikan atau
mewujudkan tujuan instruksional dalam preambule UUD 1945 yang mana bangsa
Indonesia memiliki tujuan atau cita-cita hakiki yaitu untuk “mencerdaskan
kehidupan bangsa” yang kapabel dalam aspek semangat pemahaman sejarah
perjuangan bangsa, posisi UUD 1945, dan Konsepsi Bhineka Tunggal Ika dalam
Bingkai Kewarganegaraan.

3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 3 (KB 3) ini, ada beberapa
hal yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi
KB 3 ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan penting
dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.
2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema Konsep UUD 1945, Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia, dan Kewarganegaraan Yang Berbhineka
Tunggal Ika dalam Perspektif PPKn.
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 3 pada modul 3 untuk
memudahkan dalam memahami isi KB 3.
4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat
tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan. Untuk
itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman sejawat,
berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB 3 ini.
5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan sejawat, atau
bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar mata diklat ini.
6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil

4
B. KEGIATAN INTI

1. Capaian Pembelajaran
Dalam upaya mewujudkan guru profesional PPKn melalui kegiatan belajar
tiga (KB 3) pada modul 3 ini, guru diharapkan mampu melaksanakan proses
pembelajaran yang memesona dan meneladani pada mata pelajaran PPKn dengan
dilandasi empat pondasi kuat yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Sehingga dapat memiliki cakupan dalam menguasai materi dan
mengaplikasikan bidang keilmuan PPKn yang mencakup:
a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau
pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di sekolah dan/atau
masyarakat;
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai
hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber- Bhinneka Tunggal Ika
dalam keberagaman yang kohesif dan utuh;
c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan
dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai NKRI, termasuk advance materials secara bermakna yang dapat
menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofis), dan “
bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari;

5
2. Uraian Materi

a. Konsep UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Dalam


Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Salah satu komponen dalam substansi civics yaitu civic knowledge,
indikator-indikator pada komponen tersebut juga terdapat satu hal penting yang
membahas tentang apa dan bagaimana pengetahuan hukum seorang warganegara
yang pada dasarnya akan menjadi tolak ukur untuk mewujudkan kesadaran hukum
seseorang. Satu hal penting dalam komponen tersebut adalah bagaimana
pemerintah yang dibentuk oleh UUD 1945 menjembatani nilai-nilai, tujuan-tujuan
dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia (Winarno, 2013).

Elemen civic knowledge ini menjelaskan kepada kita bahwa seorang warga
negara harus mengetahui dan memahami bahwa pemerintah pada dasarnya
kedudukannya terbatas, bahkan termasuk penyebaran dan pembagian kekuasaan
yang dilakukan juga terbatas. Disinilah sebenarnya fungsi warga negara yang
tergabung ke dalam civil society, dimana civil society memiliki peran advokasi dan
social control terhadap pemerintahan.

Samsuri, (2012) menjelaskan bahwa konstitusi Indonesia atau UUD 1945


dibentuk agar hak-hak asasi manusia dan didalamnya hak-hak warga negara turut
terjamin dan dilindungi oleh negara terutama penyelenggaraan negara serta yang
paling penting adalah dengan adanya kesadaran konstitusi yang tinggi dari para
warga negara akan memiliki kontribusi penting bagi kontrol terhadap jalannya
kekuasaan yang sehat dan kuat.

Konsep seperti ini sesungguhnya adalah cita-cita keberadaan dari


masyarakat madani dan good government yang berupaya menyelaraskan peran
dan partisipasi antara warganegara dengan Negara dalam konteks hukum. Hal ini
pula yang menjadi wujud aktualisasi PPKn sebagai wahana pendidikan hukum.

Aktualisasi PPKn sebagai wahana pendidikan hukum sebagaimana


dijelaskan diatas, merupakan bentuk dasar dan rekonstruksi keilmuan PPKn yang
secara substantif-pedagogis dijiwai oleh norma Undang-undang Dasar 1945.
Sehingga hakikat dan konsepsi UUD 1945 sangat vital urgensinya terhadap bangsa

6
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini
dipertegas dalam (Winataputra, 2015) bahwa substansi PPKn yang bersumber dari
UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai hukum dasar yang
menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Sementara jika dikaji dalam pembelajaran PPKn itu sendiri, kurikulum


2013 secara adaptif menerapkan tradisi filosofi yang salah satunya menekankan
pada transfer imperatif norma-norma UUD 1945 sebagai suatu tradisi perenialisme
materi pembelajaran PPKn di sekolah (Winataputra, 2015). Tradisi perenialisme
materi PPKn yang bersumber dari norma-norma UUD 1945 secara implisit perlu
tercermin ke dalam kompetensi dasar pada kurikulum PPKn. Hal ini sebagai
wujud spirit kewarganegaraan yang tercermin dari norma-norma UUD 1945
sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Secara substansial tradisi transfer muatan norma-norma UUD 1945 dalam


pembelajaran PPKn sebagai bentuk tradisi orientalisme. Maka secara praktis
aktualisasi norma-norma UUD 1945 ke dalam pembelajaran PPKn termasuk
kedalam tradisi esensialisme. Konsep ini dicirikan dengan pembelajaran PPKn
yang dipayungi oleh materi norma-norma UUD 1945 sebagai semangat untuk
mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini
dikarenakan norma-norma fundamental pada UUD 1945 sebagai suatu hal yang
imperatif (keharusan) untuk menjadi landasan atau payung konstitusional
warganegara.

Kemudian secara praktis, pembelajaran PPKn yang mengaktualisasikan


norma-norma UUD 1945 dalam proses belajar mengajar PPKn terhimpun ke
dalam filosofi tradisi progresivisme yang dicirikan dengan pengorganisasian
pengalaman belajar. Dimana guru harus mampu menciptakan pengalaman belajar
yang terstruktur dan terukur dalam upaya membentuk karakter peserta didik yang
sadar akan norma-norma konstitusi sebagai landasan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

7
Selanjutnya yang terakhir adalah aktualisasi norma-norma UUD 1945
dalam pembelajaran PPKn juga merupakan bagian dari tradisi
rekonstruksionalisme pembelajaran PPKn yang dicirikan dengan muatan dan
dorongan bagi individu untuk memberikan kontribusi dalam konteks perwujudan
norma-norma UUD 1945 di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Keempat tradisi diatas yaitu perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan


rekonstruksionisme merupakan tradisi pembelajaran PPKn yang secara substantif-
pedagogis menjembatani aktualisasi norma-norma pada UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Konsep ini ditujukan kepada peserta didik di tingkat sekolah menengah
pertama dan keatas. Sehingga guru PPKn perlu memahami konseptualisasi UUD
1945 dalam tradisi PPKn tersebut secara baik untuk diterapkan secara terstruktur
dan terukur.

Kausalitas konsepsi norma-norma UUD 1945 dalam pembelajaran PPKn


sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan bagian dari perwujudan kesaktian
prinsip Rule of Law. MPR sendiri dalam bukunya “materi sosialisasi empat pilar
MPR RI” dijelaskan di dalamnya bahwa supremasi hukum ditegaskan dengan
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan sekedar negara
berdasarkan hukum. Prinsip itu menegaskan bahwa tidak ada pihak, termasuk
pemerintah, yang tidak dapat dituntut berdasarkan hukum. Kekuasaan kehakiman
ditegaskan merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan (Pimpinan MPR & Tim Kerja Sosialisasi
MPR RI 2009-2014, 2015).

Atas dasar prinsip rule of law, norma-norma pada UUD 1945 perlu untuk
disosialisasikan dan diinternalisasikan sampai pada pengejawantahan norma-
normanya. Berbagai metode tentu akan sangat membantu proses tersebut dan
pendidikan adalah wadah paling tepat termasuk adalah peran guru menjadi sangat
vital. PPKn sebagai program pendidikan yang memiliki tanggung jawab besar
untuk turut memberi andil besar dalam upaya mengaktualisasikan norma-norma

8
UUD 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara oleh
peserta didik (warganegara) melalui pembelajaran yang terstruktur secara jelas,
sehingga KI dan KD kurikulum PPKn juga harus menghimpun norma-norma
fundamental UUD 1945.

b. Konsepsi Sejarah Perjuangan Bangsa Dalam Perspektif PPKn


Dilihat dari aspek keilmuannya yang juga tergabung ke dalam tradisi
pertama social studies yaitu social studies taught as citizenship transmission,
bahwa PPKn diharapkan menjadi suatu program pendidikan yang mampu
membentuk cultural unity (kesatuan budaya) yang didasarkan bahwa generasi
muda harus mengetahui sejarah bangsanya (Wahab & Sapriya, 2011). Dalam hal
ini pengalaman mengajar guru harus banyak menerapkan metode value
inculcation (penanaman nilai) yang baik sebagai hasil impresi (pengaruh) dari
sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak dahulu mulai dari masa perdagangan
sehingga datangnya berbagai bangsa (arab, belanda, spanyol, china, dll), masa
memperjuangkan kemerdekaan, masa perjuangan cita-cita Indonesia yaitu
Pancasila, simplicitas (kesatuan) berbhineka tunggal ika, sampai pada masa
kesepakatan komitmen NKRI

Urgensi lain pentingnya peran PPKn dalam membentuk cultural unity


warganegara yang sadar dan paham akan sejarah bangsanya dengan metode value
inculcation sejarah bangsanya, adalah pengetahuan sejarah bangsanya sendiri
mampu membentuk rasa patriotisme dan nasionalisme. Sebagaimana dijelaskan
dalam jurnal “Sage Journals” dengan judul “Historical knowledge and national
identity: Evidence from China” (Huang & Liu, 2018) bahwa We would thus expect
that what people know and perceive about their national history has a significant
influence on their nationalism and patriotism. In particular, those who
overestimate the achievements of their country’s civilization should have a
stronger sense of national identity than others. Conversely, underestimation of
national historical achievements may reduce individuals’ national identity. Huang
dan Liu menggambarkan rasa patriotisme dan nasionalisme dapat terbentuk jika
seorang warganegara mengetahui betul akan sejarah bangsanya dan jika

9
sebaliknya maka akan berdampak pada menurunnya tingkat patriotisme dan
nasionalisme yang disebut mereka dengan istilah individuals’ national identity
(identitas nasional individu).

Berdasarkan kerangka konseptual kompetensi PPKn, maka inti dari


dimensi kepribadian seorang warga negara adalah civic virtue (kebajikan warga
negara). Kebajikan kewarganegaraan sangat terkait pada dasar filsafat negara, dan
ide dasar yang diyakini, dijunjung tinggi, dan diwujudkan sebagai kepribadian,
yang tentunya berbeda dari negara satu ke negara yang lainnya, karena memang
setiap negara-bangsa memiliki sejarah, geopolitik, ideologi negara, konstitusi, dan
konteks kehidupannya masing-masing, karena itu bersifat unik/khas. Untuk
mewujudkan keutuhan pribadi warga negara diperlukan proses pendidikan yang
secara koheren dan utuh mengembangkan keenam dimensi psikologis tersebut
melalui Kompetensi Inti yang berfungsi sebagai elemen pengorganisasi
(organizing element).

Konstelasi (tatanan) psikososial kebajikan kewarganegaraan dalam


konteks kehidupan negara-bangsa Indonesia pada dasarnya bersumber pada nilai
dan moral Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional yang
dilembagakan dalam tatanan nilai dan norma konstitusional UUD NRI Tahun
1945, didukung dengan komitmen kolektif bernegara-kesatuan Republik
Indonesia, dan diwujudkan dengan semangat harmoni dalam keberagaman sesuai
dengan kandungan manawi seloka bhinneka tunggal ika. Konstelasi sumber
pengembangan kebajikan kewarganegaraan tersebut dapat digambarkan dalam
diagram sebagai berikut:

Gambar 3.1. Paradigma Pengembangan Muatan PPKn

Sumber: Winataputra, 2015

10
Upaya mengembangkan kebajikan warganegara, dalam pembelajaran
PPKn sendiri muatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia banyak dikaitkan
dengan upaya konstruksi 4 (empat) konsensus Indonesia yaitu Pancasila, UUD
1945, bhineka tunggal ika, dan NKRI. Ke empat konsensus ini secara substantif
merupakan tradisi perenialisme PPKn dan secara praktis merupakan wujud dari
tradisi esensialisme, progresifisme, dan konstruksionisme PPKn di sekolah.
tradisi-tradisi ini mengharuskan seorang guru untuk mampu menerapkan
pembelajaran PPKn yang dapat membentuk cultural unity peserta didik dengan
metode value inculcation yang terfokus pada urgensi sejarah perjuangan bangsa
Indonesia sebagai wujud pembentukan sikap patriotisme dan nasionalisme
warganegara.
Gambar 3.2. Kerangka holistik proses pengembangan civic virtue

Sumber: Winataputra, 2015

Sementara dalam perspektif pedagogis PPKn, pengetahuan, kemampuan,


dan tanggungjawab warganegara akan sejarah perjuangan bangsa Indonesia
adalah bentuk dari pengembangan civic virtue (keadaban warganegara) yang
terwujud dalam sikap patriotisme dan nasionalisme. Bentuk civic virtue yang
patriotik dan nasionalis dapat terwujud dengan sumbangsi holistik antara civic
responsibility (skills, competence, dan participation), dengan civic confidence
(knowledge dan disposition). Konsep pengembangan yang demikian, lebih jauh

11
lagi tentu akan dapat melahirkan civic commitment (kemauan warganegara) untuk
memahami sejarah bangsanya, dan turut berpartisipasi dan bertanggungjawab
untuk melestarikan nilai baik yang didapat dari sejarah panjang perjuangan bangsa
Indonesia dahulu yang secara eklektis berhasil melahirkan 4 konsensus Indonesia.

Berdasarkan konseptual-substantif, pada jenjang sekolah menengah ke


bawah dan atas materi pembelajaran PPKn yang berhubungan dengan semangat
sejarah perjuangan bangsa Indonesia banyak terletak pada KI (Kompetensi Inti) 2
Sikap Sosial, KI 3 Pengetahuan, dan KI 4 Keterampilan. Pada kompetensi sikap
sosial (KI 2) materi semangat perjuangan bangsa Indonesia tertuang pada KD
(Kompetensi Dasar) 1 yang menyangkut tentang semangat dan komitmen
kebangsaan. Sementara pada kompetensi pengetahuan (KI3) tertuang pada KD 1
dan 2 yang menyangkut tentang memahami sejarah dan semangat komitmen
penetapan Pancasila dan UUD 1945. Walaupun secara implisit materi semangat
NKRI dan Kebhinekaan juga termuat pada KD 5 dan 6 KI 3 Kurikulum PPKn.
Sedangkan terakhir pada kompetensi keterampilan (KI4) materi semangat sejarah
perjuangan bangsa Indonesia tertuang pada KD 1 dan 2 tentang menyajikan hasil
telaah tentang sejarah dan semangat komitmen penetapan Pancasila dan UUD
1945, dan muatan semangat dan komitmen NKRI dan bhineka tunggal ika
tertuang pada KD 5 dan 6 kurikulum 2013 PPKn.

Pengembangan dan aktualisasi semangat serta komitmen warganegara


yang terinspirasi dari nilai dan pesan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
menghasilkan 4 konsensus fundamental sangat perlu untuk disematkan maupun
diinternalisasi dalam muatan materi pada KI dan KD kurikulum PPKn di sekolah.
Hal ini dapat pula dikatakan sebagai langkah mencapai tujuan PPKn yang
berupaya membentuk rasa patriotisme, rasa cinta tanah air dan rasa kebangsaan
yang tinggi. Sebagaimana dalam (Winataputra, 2015) bahwa secara holistik PPKn
bertujuan agar setiap warga negara muda (young citizens) memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral pancasila, nilai dan
norma Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan

12
komitmen bhineka tunggal ika, dan komitmen berdasarkan berNegara Kesatuan
Republik Indonesia.

c. Kewarganegaraan Yang Ber-Bhineka Tunggal Ika


Substansi yang bersumber dan/atau berkaitan erat dengan konsep dan
makna Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional
dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa (Winataputra, 2015). Substansi ini
tidak lepas dari faktor demografis, geografis, dan sistem sosial Negara Indonesia
yang multikultural sehingga PPKn merupakan program yang tepat untuk
mengembangkan komitmen warga negara berbhineka tunggal ika secara
harmonis.

Bhinneka tunggal ika sendiri adalah sebagai motto Negara, yang diangkat
dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar MPU Tantular pada zaman
Kaprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai
tetapi satu atau Although in pieces yet One (Setiawan & Yunita, 2017). Motto ini
digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan
sosial-kultural dibangun di atas keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya dll). Jika
dikaji secara akademis, bhineka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam
konteks konsep generik multiculturalism atau multikulturalisme.

Dilihat secara historis kontemporer masyarakat Barat, multikulturalisme


setidaknya menunjuk pada tiga hal. Pertama, sebagai bagian dari Pragmatism
movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat. Kedua, sebagai
political and cultural pluralism pada abad ke 20 yang merupakan bentuk respon
terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan migrasi besar-besaran orang Eropa ke
Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga, sebagai official national policy yang
dilakukan di Kanada pada 1971 dan Australia tahun 1973 dan berikutnya di
beberapa Negara Eropa.

Secara konseptual tampaknya dinamika pemikiran tentang


multikulturalisme tersebut merupakan pergumulan antara pilihan menjadi
monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip each nation is entitled to

13
its own sovereign state and to engender, pro-tect and preserve its own unique
culture and history, atau menjadi multi-lingual and multi-ethnic empires yang
dianggap sangat opresif (menindas), seperti Austro-Hungarian Empire dan
Ottoman Empires.

Namun demikian dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis


pemikiran monoculturalism ternyata ideology nation-state dengan prinsip unity of
dissent, unity of culture, unity of language and often unity of religion (persamaan
pendapat, persatuan budaya, persatuan bahasa dan seringkali persatuan agama)
tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu dalam kondisi tidak dicapainya cultural
unity, karena dalam kenyataannya justru memiliki cultural diversity (keragaman
budaya), Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satu paling umum
adalah melakuan compulsory primary education (pendidikan dasar wajib) dalam
satu bahasa. Walaupun demikian hal tersebut potensial menimbulkan konflik
budaya sebagai akibat dari pengabaian terhadap Bahasa lokal/daerah.

Menarik untuk dicermati bagaimana modus kebijakan multikulturalisme yang ada


selama ini.

1. Model Amerika Serikat yang memiliki kebijakan multikulturalisme yang


dikenal the Melting Pot' ideal, yang pada dasamya bahwa immigrant
cultures are mixed and amalgamated without state intervention. Setiap
individu immigrant diharapkan mampu berasimilasi ke dalam kondisi
masyarakat Amerikan menurut kecepatannya dalam beradaptasi. Pemikiran
tentang melting pot ini dirancang untuk bergandengan secara harmonis
dengan konsep Amerika sebagai suatu national unity.
2. Model Australia dengan multikulturalisme yang dikonsepsikan dalam
format ethnic selection, dimana masyarakat Australia yang sebelum
datangnya imigran Eropa secara besar-besaran, sesungguhnya memiliki
banyak indigenous cultures (aborigin) atau kebudayaan asli untuk
diarahkan menjadi masyarakat Australia yang mencerminkan the British
Ethno-cultural identity.

14
3. Di lain pihak Kanada menggunakan kebijakan multikulturalisme dalam
bentuk pembangunan national unity melalui konsepsi pluralistic and
particularist multiculturalism yang kemudian dikenal sebagai Canada's
cultural mosaic yang pada dasarnya memandang bahwa setiap budaya atau
sub-budaya di dalam masyarakat Canada memberikan kontribusi keunikan
dan nilai luhur terhadap keseluruhan kebudayaan dengan prinsip preserving
the distinctions between cultures.
4. Model Argentina yang menerapkan kebijakan multikulturalisme untuk
mengakomodasikan budaya immigrant dengan prinsip multikulturalisme
sebagai cerminan dari social assortment of Argentine culture dengan
menerapkan individuals multiple citizenship (kewarganegaraan ganda
individu)
5. Model Malaysia yang menerapkan kebijakan multikulturalisme dengan
prinsip coexistence between the three ethnicities (Malays, Chinese, and
Indian) dengan jaminan konstitusional that immigrant groups are granted
citizenship, and Malays' special rights are guaranteed, yang kemudian
dikenal dengan Bumiputera policy.

Bagaimana halnya dengan konsep dan kebijakan multikulturalisme


Bhineka Tunggal Ika Indonesia? Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai
multicultural nation-state dalam konteks Negara kebangsaan Indonesia modern,
bulcan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika
praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah
dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950,
serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak
langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak
perkembangan internasional pada setiap zamannya itu. Secara historis-filosofis
bahwa multikulturalisme bhineka tunggal ika Indonesia terpatri (tersemat)
kedalam nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

15
Konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam Bingkai Multikultural Nilai-Nilai
Pancasila
Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidikan Pancasila perlu dilihat dalam tiga
tataran, yaitu pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran),
sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya sistemik.

Membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara Kesatuan


Republik Indonesia ke depan (proses nation's character building). Kemasan
kurikuler pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang
surut. Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962,
Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewarganegaraan tahun 1968, Pendidikan
Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tahun
1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003.

Gambar 3.3. Potret warga negara sadar akan kemajemukan

Sumber: the-great-teacher.blogspot.com

Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan


Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun

16
1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Berdasarkan Pasal 37
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(selanjutnya disebut Sisdiknas), menggariskan program kurikuler pendidikan
kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan
pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Semua proses pendidikan pada
akhirnya harus menghasilkan perubahan perilaku yang lebih matang secara
psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan
Pancasila adalah belajar atau learning.

Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar


merupakan misi utama dari proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif,
dalam Pasal 1 butir 20 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan nasional, dirumuskan bahwa: “Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, Sekolah Tinggi,
Institut, dan Universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal
yang terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada.

Oleh karenanya proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai


proses interaksi sosio kultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan
hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah. Dalam
kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus
diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam
pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Pancasila.
Karena itu konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema sandingan
pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient (bahan) pembangunan watak
dan peradaban Indonesia yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme
Indonesia.

Dalam konteks tersebut, maka satuan pendidikan seyogyanya


dikembangkan sebagai satuan sosio kultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai
Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan

17
mencerdaskan. Untuk itu perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan indonesia
yang multikultural, yang berintikan "civic virtue" atau kebajikan atau akhlak
kewarganegaraan. Kebaikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai
Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara,
hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang
kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural. Semua unsur
akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan
"civic community" atau "civil society" atau masyarakat madani untuk Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.

Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani,


Pancasila bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak
kewarganegaraan (civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya
kewarganegaraan yang ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukan
adanya serta peran dari pendidikan Pancasila yang menghasilkan demokrasi
konstitusional yang mampu mengembangkan akhlak kewarganegaraan Pancasila.

Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu


memberi kontribusi terhadap berkembangnya multikulturalisme Pancasila yang
menjadi inti dari masyarakat madani Pancasila yang demokratis. Inilah tantangan
konseptual dan operasional bagi pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
untuk membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.

Masyarakat madani Pancasila yang multikultural merupakan “civic


community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran
organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai
keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila. Hal itu perlu dipatri oleh
kualitas pribadi, “true belief and sacrifice for God, respect for human rights,
enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision
making at various levels, and implementation of the new form of civic education
to develop smart and good citizens” maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan
masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan

18
terhadap hak asasi manusia, perwujudan negara hukum, partisipasi warganegara
yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan
pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan
warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik.

Berdasarkan hal diatas dapat dilihat bahwa tantangan bagi pendidikan


demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila
dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas
kehidupan multikultural yang ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Identitas pribadi warganegara yang
bersumber dari civic culture Indonesia yang multikulturalistik perlu
dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan
latar.

Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan
adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah kemauan dari
warganegara untuk menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.
Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif
memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic commitments. Yang mana
civic dispositions adalah sikap dan kebiasaan berpikir warganegara yang
menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan
umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic commitment adalah komitmen
warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip
demokrasi konstitusional.

Kedua unsur dari civic virtue tersebut diyakini akan mampu menjadikan
proses politik berjalan secara efektif untuk memajukan the common good atau
kemaslahatan umum dan memberi kontribusi terhadap perwujudan ide
fundamental dari sistem politik termasuk "protection of the rights of the
individual" atau perlindungan hak-hak asasi manusia. Proses politik yang berjalan
dengan efektif untuk memajukan kepentingan umum dan memberi kontribusi
berarti terhadap perwujudan ide fundamental dari sistem politik termasuk di

19
dalamnya perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan
politik yang ditopang kuat oleh civic culture.

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik


kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif
dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab
individual, self discipline atau disiplin diri, civic mindedness atau kepekaan
terhadap masalah kewargaan, open mindedness (terbuka, skeptis, mengenal
ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration
of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence atau
kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan, generosity atau kemurahan
hati, and loyalty to the nation and its principles atau kesetiaan pada bangsa dan
segala aturannya. (Quigley, dkk, 1991). Kesemua itu, yakni keadaban yang
mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual,
disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup
keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi
yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada
keberagaman, kesabaran dan keajegan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan
terhadap bangsa dan segala prinsipnya merupakan karakter intrinsik dari sikap
warganegara.

Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk


mengikatkan din dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental
demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang meliputi popular
sovereignty, constitutional government, the rule of law, separation of powers,
checks and balances, minority rights, civilian control of the military, separation of
church and state, power of the purse, federalism, common good, individual rights
(life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit of happiness), justice,
equality (political, legal, social, economic), diversity, truth, and patriotism.
(Quigley, dkk,1991).

Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional,


prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-

20
hak minoritas, kontrol masyarakat terhadap militer, pemisahan negara dan agama,
kekuasaan anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-hak individu
yang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, ekonomi,dan kebahagiaan),
keadilan, persamaan (dam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan,
kebenaran, dan cinta tanah air, tentu saja tidak (semua hal tersebut berlaku untuk
Indonesia. Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi
pengernbangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari
civic education, atau pendidikan Pancasila untuk Indonesia.

Dimensi civic participation dikembangkan dengan tujuan untuk


memberikan the knowledge and skills required to participate effectively, practical
experience in participation designed to foster among students a sense of
competence and efficacy dan mengembangkan ... an understanding of the
importance of citizen participation (Quigley, dkk,1999), yakni pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk berperan serta secara efektif dalam
masyarakat, pengalaman berperan serta yang dirancang untuk memperkuat
kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan
pengertian tentang pentingnya peran serta aktif warganegara. Untuk dapat
berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the fundamental
concepts, history contemporary events, issues, and facts related to the matter and
the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition to act in
accord with the traits of civic characters; and a commitment to the realization of
the fundamental values and principles. (Quigley, dkk,1991).

Semua hal tersebut menunjukkan pada pengetahuan tentang konsep


fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan
substansi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual,
dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dan warganegara. Dalam
konteks Indonesia secara keseluruhan harus ditempatkan dalam konteks nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai komitmen kolektif dan semangat
keIndonesiaan yang multikultural. Sementara dalam konsep kewarganegaraan,
komitmen berbhineka tunggal ika tidak lepas dari keberadaan masyarakat yang

21
beragam atau plural dalam menyikapi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berorientasi pada sikap demokratis.

3. Contoh Dan Non Contoh/Ilustrasi


Pada bagian ini akan ditampilkan contoh pembelajaran yang menanamkan
nilai atau aktualisasi kehidupan yang berbhineka tunggal ika di kehidupan sehari-
hari. Berikut contohnya:
Guru PPKn dapat menerapkan pendekatan Hermeneutik (pendekatan
dengan pemaknaan suatu teks atau materi) dengan metode pembelajaran Inkuiri
sosial, dimana pendekatan dan metode ini cocok untuk mengembangkan
kompetensi inti (KI) 2 kurikulum 2013 yaitu kompetensi sosial peserta didik.
Pendekatan dan metode ini dilakukan dengan menginternalisasi nilai-nilai
komitmen dan semangat kehidupan berbhineka tunggal ika. Langkah yang dapat
dilakukan untuk melaksanakan metode inkuiri adalah sebagai berikut :
1. Merumuskan masalah yang sedang hangat terjadi;
2. Merumuskan hipotesa;
3. Mendefinisikan istilah atau mengkonseptualisasi;
4. Mengumpulkan data;
5. Menguji data dan menganalisis data;
6. Menguji hipotesis untuk menggeneralisasi hasil dan teori;
7. Memulai inkuiri lagi.
Adapun model pembelajaran yang dapat mendukung pendekatan dan
metode ini adalah dengan menggunakan model pembelajaran berbasis Portofolio.
Yang intinya adalah guru PPKn menggunakan teknik portofolio yaitu
mengidentifikasi masalah yang akan dikaji; mengumpulkan informasi; mengkaji
pemecahan masalah; membuat kebijakan; dan membuat rencana tindakan.
Tahapan-tahapan ini dapat mendukung main study PPKn yaitu demokrasi atau
perilaku demokratis.

22
4. Forum Diskusi
CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas Terstruktur

Menguasai materi Struktur, metode, Konsep Kajian: 1. Baca dengan


dan aplikasi dan spirit keilmuan cermat dan pahami
a. Konsep materi Konsep UUD
materi bidang kewarganegaraan,
UUD 1945; 1945, Sejarah
studi PPKn yang hukum, politik b. Sejarah Perjuangan Bangsa
mencakup : kenegaraan, Perjuangan Bangsa Indonesia, dan
a. konsep, sejarah perjuangan Indonesia; Kewarganegaraan
prinsip, prosedur, bangsa, dan c. dan yang berbhineka
dan metode disiplin lainnya Kewarganegaraan tunggal ika dalam
keilmuan serta berlandaskan yang berbhineka Perspektif PPKn.
tunggal ika dalam 2. Cari bahan
nilai, norma, dan Undang-Undang
Perspektif PPKn. referensi yang
moral yang Dasar Negara
berhubungan dengan
menjadi muatan Republik muatan atau materi
kurikulum dan Indonesia tahun tentang Konsep
proses 1945 sebagai UUD 1945, Sejarah
pembelajaran hukum dasar yang Perjuangan Bangsa
dan/atau menjadi landasan Indonesia, dan
pembudayaan konstitusional Kewarganegaraan
yang berbhineka
dalam konteks kehidupan
tunggal ika dalam
pendidikan bermasyarakat, Perspektif PPKn. .
Pancasila sebagai berbangsa dan 3. Jelaskanlah
dasar negara dan bernegara yang konsep kajian ilmu
pandangan hidup berbhineka tunggal kewarganegaraan
bangsa dan ika dalam berikut:
a. Konsep
kewarganegaraan keberagaman yang
UUD 1945,
di sekolah kohesif dan utuh; b. Konsepsi
dan/atau Sejarah Perjuangan
masyarakat; Bangsa Indonesia,
b. struktur, c. Dan
metode, dan spirit Kewarganegaraan
keilmuan Yang berbhineka
tunggal ika Dalam
kewarganegaraan,
Perspektif PPKn.
hukum, politik
kenegaraan,
sejarah
perjuangan
bangsa, dan
disiplin lainnya

23
berlandaskan
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik
Indonesia tahun
1945 sebagai
hukum dasar yang
menjadi landasan
konstitusional
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa dan
bernegara yang
ber- Bhinneka
Tunggal Ika
dalam
keberagaman
yang kohesif dan
utuh,
c. isu-isu dan/
atau
perkembangan
terkini
kewarganegaraan
meliputi bidang
ideologi, politik,
hukum, ekonomi,
sosial, budaya,
pertahanan
keamanan dan
agama, dalam
konteks lokal,
nasional, regional,
dan global dalam
bingkai Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI), termasuk
advance materials

24
secara bermakna
yang dapat
menjelaskan
aspek “apa”
(konten),
“mengapa”
(filosofis), dan “
bagaimana”
(penerapan) dalam
kehidupan sehari-
hari;

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) adalah program
pendidikan yang dalam implementasinya, pembelajaran lebih menekankan pada
pengambangan aspek value inculcation. Metode penanaman nilai menjadi cara
yang relevan untuk mendukung visi dan misi PPKn dalam mengembangkan
potensi peserta didik yang memiliki rasa kebangsaan, cinta tanah air, dan
demokratis dan bertanggung jawab melalui semangat dan komitmen pada empat
konsensus bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika,
dan NKRI. Ke empat konsensus tersebut sebagai landasan bagi warganegara
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pengembangan dan penerapan substansi materi pada KB ini terfokus pada


konsep UUD 1945, Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Dan Kewarganegaraan
Yang Berbhineka tunggal ika Dalam Perspektif PPKn yang mana materi ini
dilihat dari aspek substantif dan pedagogisnya secara komprehensif dapat
memperkaya cakrawala keilmuan seorang guru PPKn dan dapat mengembangkan
kompetensi keilmuan guru PPKn (aspek pedagogik dan profesional).

25
Dalam hal ini, peran guru sangatlah penting. Guru PPKn secara pedagogis dan
profesional harus menguasai substansi keempat konsensus tersebut untuk
dijabarkan atau diinternalisasi dalam kompetensi dasar kurikulum PPKn dalam
mendukung aspek kompetensi inti kurikulum PPKn di sekolah.

Kemampuan substantif-pedagogik menjadi elemen penting bagi seorang pengajar


PPKn di sekolah. Hal ini tidak lepas dari perannya untuk mensosialisasikan ilmu
dan menginternalisasikan ilmu yang bermanfaat bagi peserta didik dalam hal ini
adalah civics (sebagai ilmunya program PPKn).

2. Tes Formatif
Pada bagian tes formatif kali ini, peserta diminta untuk menyelesaikan
kumpulan soal-soal multiple choice di bawah ini secara baik dan benar.
Selanjutnya silahkan dan selamat mengerjakan.

Soal-soal:
1. Keberadaan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bagi bangsa
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi
warganegara, tentu harus berperan aktif untuk turut memberikan pengaruh
dalam segala kebijakan pemerintah. Hal ini merupakan fungsi dari?
b. Patriotisme
c. Nasionalism
d. Multikulturalism
e. Civil Society
f. Demokratisasi

2. Muatan PPKn yang bersumber dari norma-norma Undang-undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan ciri dari?
a. Substantif-pedagogik PPKn
b. Substantif-filosofis PPKn
c. Substantif-historis PPKn

26
d. Socio-culture PPKn
e. Politic-Culture PPKn
3. Internalisasi dan sosialisasi norma-norma UUD 1945, Sehingga dalam hal
ini PPKn memiliki peran yang sangat vital untuk mewujudkan prinsip?
a. Pancasilais
b. Negara Kesatuan Republik Indonesia
c. Demokrasi Pancasila
d. Bhineka Tunggal Ika
e. Rule Of Law
4. Nilai-nilai yang diambil dari semangat perjuangan bangsa Indonesia sejak
dulu dalam melahirkan 4 konsensus Indonesia merupakan tugas PPKn
dalam menerapkan metode?
a. Value Normatif
b. Value Inculcation
c. Value Culture
d. Value of Pancasila
e. Value of Constitution
5. Rasa Patriotisme dan Nasionalisme akan terbentuk jika seorang
warganegara mengetahui dan memahami betul akan sejarah bangsanya dan
jika sebaliknya maka akan berdampak pada menurunnya tingkat Patriotisme
dan Nasionalisme, hal ini disebut sebagai?
a. Paradigma individuals’ identity
b. Paradigma individuals’ national identity
c. Paradigma Nationalism
d. Paradigma national identity
e. Paradigma Konservatif
6. Muatan materi PPKn yang bersumber dari Pancasila, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI merupakan bentuk dari konstelasi?
a. Psiko-Sosial Muatan PPKn
b. Psiko-Pedagogis Muatan PPKn
c. Psiko-Materials Muatan PPKn

27
d. Psiko-Politics Muatan PPKn
e. Psiko-Cultures Muatan PPKn
7. Upaya menanamkan semangat dan komitmen sejarah perjuangan bangsa
Indonesia yang melahirkan 4 konsensus fundamental bagi bangsa Indonesia
merupakan usaha untuk mengembangkan?
a. Civic awareness
b. Civic Virtue
c. Civic Culture
d. Civic responsibility
e. Cultural Unity
8. Upaya Guru PPKn untuk menginternalisasi muatan 4 konsensus Negara
Indonesia kedalam substansi pembelajarannya yaitu tepatnya pada KD
Kurikulum PPKN merupakan langkah untuk mengembangkan?
a. Spirit Pancasila Peserta didik
b. Spirit Berkonstitusi Peserta didik
c. Civic Virtue Peserta didik
d. Spirit Negara Kesatuan Republik Indonesia Peserta didik
e. Civic Culture Peserta didik
9. Komitmen warganegara untuk ber-bhineka tunggal ika adalah komitmen
yang berfokus pada?
a. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan
kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
b. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang eksklusif
secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
c. Kehidupan yang berlandaskan pada konstitusi.
d. Kehidupan yang bersumber dari salah satu nilai Pancasila.
e. Kehidupan yang meletakkan pondasinya pada nilai-nilai adat
10. Sumber multikulturalisme Kebhinekaan tunggal ika bangsa Indonesia
terletak pada?
a. Nilai-nilai budaya
b. Nilai-nilai kebangsaan

28
c. Etnosentrisme
d. Nilai-nilai adat istiadat
e. Nilai-nilai Pancasila

Kunci Jawaban:
1. D 6. A
2. A 7. E
3. E 8. C
4. B 9. A
5. B 10. A

3. Daftar Pustaka

Buku:

Ayuning L. F., R. P., & Dewi, D. A. (2021). Implementasi Pendidikan


Kewarganegaraan Generasi Muda Sebagai Smart and Good Citizen Di Era
Disrupsi. JURNAL PEKAN : Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 6(1),
79–92. https://doi.org/10.31932/jpk.v6i1.1169

Febriansyah, F. I. (2017). Ideology of Pancasila as Legal Ideas (Rechtsidee) for


Indonesia Nation. International Conference on Islamic Education (ICIE),
1(1).

Huang, A., & Liu, X, Historical knowledge and national identity: Evidence from
China, Sage Journals, July-September 2018: 1–8, doi:
10.1177/2053168018794352.

Pimpinan MPR & Tim Kerja Sosialisasi MPR RI 2009-2014. 2015. “Materi
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI”. Jakarta:Sekretariat Jenderal MPR RI.

Quigley, C.N., Buchanan, Jr. J. H. & Bahmueller, C.F. (1991). Civitas: a


framework for civic education. Calabasas: Center for Civic Education.

29
Samsuri. 2012. “Pendidikan Karakter Warganegara (Kritik Pembangunan
Karakter Bangsa)”. Surakarta:Pustaka Hanif.

Setiawan, D & Yunita, S. 2017. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan :


Larispa.

Tjarsono, I. (2013). Demokrasi Pancasila Dan Bhineka Tunggal Ika Solusi


Heterogenitas. Transnasional, 4(2), 876–888.

Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-


Epistemologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten: Universitas
Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Winarno. 2013. “Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (isi, strategi dan


penilaian)”. Jakarta:Bumi Aksara. Winataputra, Udin. 2008. Pendidikan
Kewarganegaraan Sebagai Suatu Sistem Pengetahuan Terpadu Academic
Positioning Dari Ruu Pendidikan Kewarganegaraan. Bahan Diskusi
dalam Seminar Terbatas RUU Pendidikan Kewarganegaraan dalam
Kebijakan Pertahanan Aspek Perundang-undangan Tanggal 16 Oktober
2008 di Gedung Suprapto, Aula Bela Negara, Ditjen Pothan, Dephan
Jakarta

Aturan
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Internet
https://the-great-teacher.blogspot.com/2018/02/multikultural-di-indonesia.html

30
KEGIATAN BELAJAR 4:
ISU-ISU KEWARGANEGARAAN
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

A. PENDAHULUAN ................................................................................................1

1. Deskripsi Singkat .........................................................................................1


2. Relevansi .......................................................................................................1
3. Petunjuk Belajar ..........................................................................................2

B. KEGIATAN INTI...............................................................................................3

1. Capaian Pembelajaran ................................................................................3


2. Uraian Materi ...............................................................................................3
a. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Lokal ..........................................5
b. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Nasional .....................................11
c. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Regional .....................................16
d. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Global ........................................21
3. Forum Diskusi ..............................................................................................27

C. PENUTUP ............................................................................................................29

1. Rangkuman ...................................................................................................29
2. Tes Formatif .................................................................................................31
3. Tes Sumatif ...................................................................................................34
4. Daftar Pustaka ..............................................................................................41

ii
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Upaya untuk menyiapkan guru profesional PPKn, Modul 3 ini menyajikan
kegiatan belajar empat (KB 4 ) sebagai materi terakhir pada modul ini dengan
membahas materi tentang isu-isu kewarganegaraan. Dengan kajian yang dibahas
meliputi bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kegiatan belajar ini dilihat
dari aspek substantif dan pedagogisnya secara komprehensif dapat memperkaya
cakrawala keilmuan seorang guru PPKn dan dapat mengembangkan kompetensi
keilmuan guru PPKn (aspek pedagogik dan profesional). Secara umum substansi
pada kegiatan belajar empat akan membahas tentang isu-isu kewarganegaraan
pada region lokal, nasional, regional, dan global. Yang mana isu-isu tersebut
sebagai muatan yang dilihat dari fakta-fakta yang terjadi untuk dipahami oleh
guru PPKn. Oleh karena muatan tersebut sebagai bekal knowledge bagi guru
PPKn untuk terampil dan kompeten serta profesional dalam melaksanakan
pembelajaran PPKn yang berbasiskan fakta dilapangan.

Dengan demikian, kegiatan belajar kali ini akan sangat banyak membekali
seorang guru secara kognitif dan secara terstruktur dan terarah membantu
mengarahkan guru PPKn mampu menerapkan (aspek pedagogik dan profesional)
keilmuan PPKn perihal isu-isu kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi,
politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam
konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).

2. Relevansi
Modul 3 Kegiatan Belajar 4 yang membahas tentang konsep dasar
keilmuan PPKn pada diklat Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan ini
sangat penting dan relevan menjadi bekal, panduan, dan paket belajar bagi peserta

1
PPG dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah satu kompetensi mutlak yang
harus dimiliki oleh seorang guru PPKn yang profesional adalah pemahaman dan
kemampuan implementasi pembelajaran PPKn berbasiskan fakta atau learning
experience yang berupa pembelajaran tentang isu-isu kewarganegaraan yang
meliputi bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Substansi ini adalah bagian
dari konsep tradisi perenialism, essentialism, progressivism, dan konstruksionisme
filosofi pembelajaran PPKn yang berupaya membentuk civic virtue dan civic
literacy peserta didik sebagai warganegara yang memahami serta terlibat dalam
berbagai isu-isu kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi, politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam konteks lokal,
nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sebagai wujud komitmen peserta didik sebagai warga negara yang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya sesuai dengan nilai
kemanusiaan, harmonisasi, persaudaraan, dan kesatuan warga global.

Selain itu tentu panduan dan/atau kegiatan belajar ini dapat membentuk
spirit pedagogis peserta PPG PPKn dalam jabatan, dapat mengaktualisasikan atau
mewujudkan kompetensi-kompetensi inti pada kurikulum 2013 revisi untuk mata
pelajaran PPKn.

3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 3 (KB 4) ini, ada beberapa
hal yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi
KB 4 ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan
penting dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.
2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema yang berkaitan dengan isu-isu
kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi, politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam

2
konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 4 pada modul 3 untuk
memudahkan dalam memahami isi KB 4.
4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat
tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan. Untuk
itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman sejawat,
berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB 4 ini.
5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan sejawat, atau
bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar mata diklat ini.
6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil
7.

B. KEGIATAN INTI

1. Capaian Pembelajaran
Dalam upaya mewujudkan guru profesional PPKn melalui kegiatan belajar
empat (KB 4) pada modul 3 ini, guru diharapkan mampu melaksanakan proses
pembelajaran yang memesona dan meneladani pada mata pelajaran PPKn dengan
dilandasi empat pondasi kuat yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Sehingga dapat memiliki cakupan dalam menguasai materi dan
mengaplikasikan bidang keilmuan PPKn yang mencakup :
a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau
pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di sekolah dan/atau
masyarakat;
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai

3
hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber- Bhinneka Tunggal
Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh;
c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan
dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk advance
materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa”
(konten), “mengapa” (filosofis), dan “ bagaimana” (penerapan) dalam
kehidupan sehari-hari;

2. Uraian Materi
Dilihat dari substansinya, dalam kurikulum 2013 standar isi pembelajaran
PPKn di sekolah tingkat menengah pertama dan ke atas secara pedagogis banyak
berorientasi pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan atau persoalan kewarganegaraan bahkan di setiap Kompetensi Dasar
pada KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4 terdapat muatan yang berorientasi pada persoalan
kewarganegaraan Indonesia. Sebagaimana dengan sifat pembelajaran PPKn yang
dinamis, seiring dengan perkembangan zaman bahwa PPKn sudah harus
mewadahi peserta didik untuk memahami berbagai persoalan atau isu-isu
kewarganegaraan. Sebagaimana dalam jurnal cakrawala pendidikan dengan judul
“Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Wawasan Global Warga
Negara Muda” (Murdiono. M, 2014) bahwa Pendidikan kewarganegaraan
membekali peserta didik di sekolah dengan pengetahuan tentang isu-isu global,
budaya, lembaga dan sistem internasional dan merupakan indikasi dari
pendekatan minimalis yang bisa mengambil tempat secara eksklusif di dalam
kelas.

Warganegara yang baik dan cerdas serta bertanggung jawab adalah warga
negara yang secara dinamis mengetahui dan memahami isu-isu kewarganegaraan.
sekolah adalah salah satu wadah untuk menumbuh kembangkan pemahaman
warganegara atau generasi muda terhadap berbagai isu kewarganegaraan yang

4
sedang hangat terjadi. Bisa berkaitan dengan isu-isu pada bidang ideologi, politik,
hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam konteks
lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

a. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Lokal


Pada region lokal isu kewarganegaraan akan dilihat pada batasan teritorial
wilayah administratif bagian dari suatu Negara yaitu provinsi atau wilayah bagian
terkecil dibawahnya. Isu kewarganegaraan sendiri secara terminologi berasal dari
kata isu dan kewarganegaraan. Dimana isu berarti masalah yang dikedepankan
(https://kbbi.web.id/isu) dan kewarganegaraan berarti sesuatu yang tidak sebatas
keanggotaan seseorang dari organisasi Negara, tetapi meluas kepada hal-hal yang
terkait dengan warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Cholisin,
2016). Jadi, isu kewarganegaraan dapat disimpulkan sebagai suatu masalah yang
urgen atau penting terkait kehidupan warga negara dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Isu kewarganegaraan dalam konteks lokal berorientasi pada isu-isu


kewarganegaraan pada teritori lokal atau wilayah bagian suatu Negara seperti
provinsi atau kabupaten kota. Indonesia sendiri adalah Negara yang multikultural
dan majemuk. Keduanya menjadi identitas khas bangsa Indonesia yang dapat
memperkaya sekaligus menjadi faktor trigger (pemicu) lahirnya perpecahan.
Dilematik paradigma ini yang dapat menjadi alasan munculnya berbagai isu
kebangsaan dalam teritori lokal yang dapat melunturkan nilai kebhinekaan serta
rasa kebangsaan seperti cinta tanah air, patriotik, dan bela negara.

Status legal bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur dapat


berubah makna menjadi suatu oksimoron atau majas yang menempatkan dua
antonim dalam suatu hubungan sintaksis
(https://id.wikipedia.org/wiki/Oksimoron) dimana multikulturalnya bangsa
Indonesia diikuti oleh rasa kecintaan dan kepercayaan terhadap suatu adat atau
suku yang berlebihan atau disebut dengan etnosentris. Antara multikultural dan
etnosentrisme, keduanya bersifat oksimoron. Sehingga menjadi dua bagian yang

5
terpisah namun dalam satu wadah yang sama, sehingga dampaknya adalah
intoleran. Realita ini menjadi paradigma negatif pendidikan kewarganegaraan di
Indonesia. Dan kontra dengan hakikat PKn sebagai pendidikan multikultural
untuk membangun kehidupan yang rukun dan harmonis. Sebagaimana dalam
(Setiawan dan Yunita, 2017) bahwa PKn diharapkan dapat menjadikan warga
negara yang selalu ikut berpartisipasi dalam pembangunan Negara, yaitu menjaga
keutuhan bangsa dan mampu hidup rukun dan harmonis dalam masyarakat
Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Kontradiksi ini tidak lepas dari hakikat dari manusia itu sendiri. Apabila
merujuk dari teori freud tentang Id, Ego, dan Superego maka multikultur adalah
keadaan yang berangkat dari kombinasi dari Id dan Ego. Dimana Id menjadikan
manusia yang saling berinteraksi mengakibatkan saling ketergantungan, dan
ketergantungan itu yang mengakibatkan manusia itu jika ingin mendapatkan
sesuatu yang dikehendakinya maka mau tidak mau harus berurusan dengan orang
lain. Keadaan yang demikian lah yang membuat hubungan intim dan intens atas
nama satu identitas yang sama di satu wilayah, Rennison, N. (2015).

Misalkan stereotip penduduk asli dengan pendatang, dimana penduduk asli


lebih diutamakan dan mempunyai kedudukan yang spesial dengan pendatang.
Kita ambil contoh tragedi sampit antara penduduk asli suku dayak dengan
pendatang suku Madura. Seluruh penduduk asli di kota sampit kalimantan
tengah dan bahkan meluas sampai ke seluruh provinsi yang merasa tidak nyaman
dengan keberadaan para pendatang dari suku madura yang secara agresif
berkembang untuk menguasai sektor industri komersial daerah kota sampit
kalteng. Hal ini mengakibatkan kecemburuan sosial dan ekonomi oleh kalangan
suku dayak sehingga memicu perang antar suku.
Hal ini tidak lepas dari aspek Id warga suku dayak yang merasa kebutuhan
pokoknya (seperti lahan tanah) terancam dan belum lagi dampaknya yang
mewabah dan meluas oleh karena kesamaan tempat (kota sampit provinsi
Kalimantan tengah) dan identitas kesukuan (dayak) yang membuat orang yang
awalnya tidak menginginkan perpecahan dan intoleran sampai ikut-ikutan bahu-

6
membahu mengusir warga Madura sebagai pendatang. Sifat mereka ini didasari
atas kehendak ego sebagai wilayah keputusan alternatif, karena jika tidak ikut
bahu membahu maka akan terkena sanksi sosial seperti diacuhkan atau lebih
buruk lagi dilecehkan atau direndahkan. Dinamika ini menjadi bukti
etnosentrisme yang lahir dengan sendirinya atas dasar letak geografis dan sejarah
sistem sosial pada suatu tempat atau provinsi di Indonesia. Hal ini tentu
kontradiktif dengan makna multikultur bangsa Indonesia yang ditopang oleh
semangat dan komitmen semboyan bhineka tunggal ika yang berbasiskan nilai-
nilai Pancasila.
Isu etnosentrisme di Indonesia seakan menjadi cambuk spirit perlunya
peran pendidikan kewarganegaraan dalam memberikan peran edukasi untuk
mencegah dampak negatif dari etnosentrisme. Selain itu, memang etnosentrisme
sebenarnya pun juga kontradiktif dengan substansi-pedagogis PPKn yang
bersumber pada konsep dan makna bhinneka tunggal ika, sebagai wujud
komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antar bangsa
(Winataputra, 2015). Untuk itu perlu upaya khusus untuk mengimplementasikan
PPKn menjadi wahana pendidikan multikultural di daerah-daerah sejak dini
melalui institusi sekolah. Karena permasalahan etnosentrisme tidak hanya terjadi
pada suku dayak dengan Madura saja, ada banyak isu etnosentrisme yang pernah
dan bahkan senantiasa menjadi rutin terjadi di Indonesia, Seperti kebiasaan suku
pedalaman di Papua yang tetap menggunakan koteka dalam keadaan apapun dan
dilihat oleh siapapun bahkan yang bukan orang Papua sekalipun.

Pemakaian koteka tentu tidaklah salah karena itu adalah kekayaan budaya
salah satu bangsa Indonesia. Yang menjadi kekeliruannya sehingga
mengakibatkan timbulnya nilai etnosentris adalah pemakaian koteka di situasi dan
kondisi yang orang-orangnya berlatarkan multi etnis. Jadi, etnosentrisme
merupakan suatu sikap seseorang yang berlebihan kecintaannya terhadap nilai
adat istiadat sukunya sendiri dan menganggap sukunya yang terbaik.
Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan
standar budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif

7
terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan
bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama. Perbedaan dan pembagian etnis ini
mendefinisikan kekhasan identitas budaya setiap suku bangsa. Etnosentrisme
mungkin tampak atau tidak tampak, dan meski dianggap sebagai kecenderungan
alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme memiliki konotasi negatif di dalam
masyarakat (https://id.wikipedia. org/wiki/Etnosentrisme).

PPKn seyogyanya harus secara terencana, terstruktur, dan terukur dengan


baik untuk menerapkan pendidikan multikultural di institusi sekolah-sekolah.
Melalui kerjasama seluruh stakeholder PPKn, akan lebih memudahkan target
tercapainya dengan baik pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.

Gambar 4.1. Guru PPKn perlu merancang materi Pendidikan Multikultural untuk
salah satu pertemuannya dalam satu semester

Sumber: id.wikipedia. org


Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menitikberatkan
pada 2 hal yaitu kebebasan dan toleransi. Mari kita belajar nilai kebebasan dan
toleransi dalam multikulturalisme dari tulisan Freddy K. Kalidjernih dalam
bukunya “Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan” dimana Freddy
menjelaskan bahwa Ketika kita berbicara tentang multikulturalisme, ada dua
konsep penting yang sulit dilepaskan darinya, yakni kebebasan dan toleransi.
Dalam pengertian yang paling sederhana, kebebasan berarti ketiadaan dari
paksaan-paksaan atau pembatasan-pembatasan. Bagaimanapun juga, sebagian

8
orang percaya bahwa kebebasan haruslah mutlak, mereka mengenal perbedaan
antara libertas (liberty) dan lisensi (license) Akan tetapi, yang masih belum jelas
adalah apakah libertas menjadi lisensi ketika hak asasi disalahgunakan; ketika
kejahatan dilakukan kepada orang lain atau ketika kebebasan dibagikan secara
tidak adil. Walaupun sebuah definisi formal atau netral tentang kebebasan masih
menjadi perdebatan, konsepsi negatif dan positif tentang kebebasan telah
dikembangkan. Contoh yang sering dikutip adalah Two Conceptions of Liberty
yang digagas oleh Isaiah Berlin: kebebasan positif dan kebebasan negatif.
Kebebasan negatif (bebas dari sesuatu) berarti 'non-interferensi, ketiadaan dari
kendala-kendala eksternal, biasanya dipahami untuk diartikan sebagai hukum atau
semacam kendala fisik. Sedangkan kebebasan positif (bebas melakukan sesuatu)
dipahami dengan pelbagai cara, yakni sebagai otonomi atau penguasaan diri (self-
mastery), sebagai pengembangan diri atau sebagai bentuk moral atau kebebasan
dalam diri (inner freedom).

Di samping konsep kebebasan yang dikemukakan oleh Berlin, terdapat


istilah liberasi (liberation). Liberasi yang merupakan sebuah gagasan kebebasan
yang radikal, yakni penghapusan seluruh sistem penindasan, dan menawarkan
prospek kepuasan manusia yang menyeluruh. Sebagai contoh, penindasan seksual
dan ras dan manipulasi yang pervasif. Di lain pihak, toleran sering dipahami
sebagai suatu kerelaan untuk 'membiarkan sendiri' (leave alone) dengan sedikit
refleksi pada motif-motif yang ada di balik posisi tersebut. Jadi, toleransi
mengesankan nir-tindakan atau kelambanan (inaction), suatu penolakan terhadap
campur tangan atau kerelaan untuk 'sabar terhadap' sesuatu. Hal ini didasarkan
pada penalaran moral (moral-reasoning) dan sejumlah keadaan-keadaan yang
spesifik. Toleransi harus dibedakan dari pembiaran (permissiveness), yaitu
ketidakpedulian dan perbuatan secara sukarela.

Toleransi berhubungan erat dengan tradisi liberal sekalipun ia mendapat


dukungan di antara para sosialis dan sebagian konservatif. Ia melibatkan suatu
penolakan untuk bercampur-tangan dengan, membatasi atau mengecek tingkah
laku atau keyakinan dari orang lain. Ketidaktoleranan mengacu pada suatu

9
penolakan untuk menerima tindakan-tindakan, pandangan-pandangan dan
keyakinan-keyakinan dari orang lain. Hal ini mengesankan suatu keberatan yang
tak beralasan dan tidak dibenarkan terhadap pandangan-pandangan atau tindakan-
tindakan yang lain, yang mendekatkannya kepada kefanatikan atau purbasangka
(Kalidjernih, 2009).

Jadi, pendidikan multikultural sebagaimana jika diadaptasi dari pemikiran


Freddy K. Kalidjernih, kuncinya adalah masalah kebebasan dan toleransi yang
mana kebebasan yang dimaksud adalah kehidupan tanpa ada batasan-batasan
selam itu adalah hak warganegara, dan toleransi menjadi kunci kedua dalam
multikulturalisme karena melalui toleransi warga negara akan terhindar dari sifat
fanatik dan purbasangka. PPKn harus dapat menginternalisasi pentingnya nilai
kebebasan dan toleransi pada tiap diri peserta didik atau warganegara.

Sementara dalam jurnal civics dengan judul “Pendidikan Multikultural


Untuk Membangun Bangsa Yang Nasionalis Religius” (Ambarudin, 2016) bahwa
Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan
multikultural mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan
pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur
perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural
membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya
perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa
membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat
istiadat yang ada.

Melalui pembelajaran yang terkonsep jelas di dalam perangkat


pembelajaran yang telah direncanakan dan relevan terhadap tujuan instruksional
kurikulum PPKn, dimana dalam perencanaan tersebut di dalamnya harus memuat
proses pembelajaran yang bernuansa penghargaan terhadap nilai
multikulturalisme bagi peserta didik. Materi, pendekatan, model, media, dan

10
evaluasi pembelajaran PPKn juga harus direncanakan dalam satu atau dua
pertemuan khusus bertemakan pendidikan multikulturalisme sebagai upaya
langkah alternatif menyelesaikan berbagai isu kewarganegaraan yang
berkepanjangan pada region lokal yaitu misalkan etnosentrisme. Sebenarnya
polemic atau isu kewarganegaraan dalam konteks lokal ada banyak dan tidak
hanya sebatas isu etnosentrisme, yang paling umum adalah isu SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena pada tatanan lokal biasanya isu SARA
lebih rentan terjadi. Namun etnosentrisme sebenarnya adalah bagian dari
kekerasan SARA, hanya saja memang etnosentrisme dianggap menjadi polemik
kewarganegaraan yang tidak ada habis-habisnya. Untuk itu maka PPKn memiliki
tanggung jawab besar untuk memfasilitasi edukasi positif kepada warganegara
dalam hal pendidikan multikulturalisme.

b. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Nasional


Dalam konteks nasional, isu kewarganegaraan akan diulas lebih luas lagi.
Pada region nasional tentu akan ada banyak sekali isu kewarganegaraan yang
hangat terjadi. Karena dalam konteks ini, cakupannya berkaitan dengan seluruh
teritorial bangsa Indonesia yang kompleks. Nasional sendiri dapat diartikan
sesuatu yang bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri;
meliputi suatu bangsa (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nasional). Sementara
dalam buku bahan ajar “Identitas Nasional” (Sulisworo, Wahyuningsih, dan Arif,
2012) dijelaskan bahwa Dalam kamus ilmu Politik dijumpai istilah bangsa, yaitu
“natie” dan “nation”, artinya masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh sejarah
yang memiliki unsur sebagai berikut :
1. Satu kesatuan bahasa ;
2. Satu kesatuan daerah ;
3. Satu kesatuan ekonomi ;
4. Satu Kesatuan hubungan ekonomi ;
5. Satu kesatuan jiwa yang terlukis dalam kesatuan budaya.
Dari penjelasan diatas, maka dapat dipahami bahwa kewarganegaraan
adalah perihal kebangsaan atau berkenaan dengan bangsa sendiri yang meliputi
unsur-unsur seperti kesatuan bahasa, kesatuan daerah, kesatuan ekonomi,

11
kesatuan hubungan ekonomi, dan kesatuan budaya. Isu kewarganegaraan dalam
konteks nasional secara garis besar akan meliputi isu-isu yang berkaitan dengan
bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan
dan agama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada bidang ideologi, isu kewarganegaraan dalam konteks nasional


merupakan salah satu isu yang paling sering banyak dibicarakan. Indonesia telah
lama dihujani isu-isu yang berdampak pada rasa kekhawatiran keberadaan dan
kausalitas ideologi kita yaitu Pancasila. Yang pada akhirnya akan memicu
disintegrasi bangsa. Misalkan saja isu Gerakan Pembentukan Negara Khilafah di
bumi Indonesia. Isu ini memicu disintegrasi, bahkan sampai menjadi bahan
propaganda esensi kebenaran Jihad dalam Islam. Sehingga tidak sedikit umat
beragama islam di Indonesia yang terjebak di dalamnya. Sebut saja kelompok
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menginginkan terbentuknya Negara
Indonesia sebagai negara khilafah.

Gambar 4.2. Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi yang mengusung


rencana pembentukan Negara Khilafah dibubarkan oleh pemerintah secara
sepihak

Sumber: (https://bali.bisnis.com/read/20170508/537/774615/hizbut-tahrir-
indonesia-dibubarkan).
Dilain pihak selaku pemegang otoritas, pemerintah sejak 19 Juli lalu HTI
resmi dibubarkan. Pemerintah mengkategorikannya sebagai organisasi anti-

12
Pancasila. Gagasan khilafah yang mereka usung dianggap bertentangan dengan
dasar ideologi negara dan mengancam kesatuan Indonesia. Realitas ini tentu dapat
mengganggu ketentraman bangsa Indonesia oleh karena orasi dan propaganda
pihak HTI yang dianggap dapat melunturkan jiwa pancasilais bangsa Indonesia.

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program pendidikan yang juga


berfokus pada penanaman nilai-nilai Pancasila, secara esensial juga turut
bertanggungjawab untuk membentuk karakter Pancasilais. Konsepsi ini tentu
dapat menjadi solusi alternatif menyelesaikan persoalan isu pembentukan Negara
khilafah. Hal ini didukung oleh paradigma substantif-pedagogis PPKn yaitu
pendidikan kewarganegaraan tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air,
melainkan juga untuk mengembangkan semua potensi peserta didik yang
menunjukkan karakter yang memancarkan nilai-nilai Pancasila (Winataputra,
2015). Disinilah peran PPKn dalam frame pendidikan, turut memberi andil secara
signifikan dalam membentuk warganegara yang cinta tanah air dan pancasilais.

Disisi lain, pada bidang pertahanan keamanan juga terdapat polemik


berkepanjangan yang secara masif mempengaruhi keutuhan Negara kesatuan
republik Indonesia. Polemik atau isu tersebut adalah separatisme. Kata
separatisme sebenarnya sudah lama dan sering kita dengar. Bahkan istilah ini
tidak asing lagi karena stereotip nya kental berhubungan dengan Aceh melalui
gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua melalui Organisasi Papua Merdeka
(OPM). separatisme adalah suatu paham yang mengambil keuntungan dari
pemecah-belahan dalam suatu golongan (bangsa) Separatisme politis adalah suatu
gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau
kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam)
dari satu sama lain atau suatu negara lain. Gerakan separatis biasanya berbasis
nasionalisme atau kekuatan religious (Hartati, 2010).

Untuk GAM, secara resmi melalui peran dan kebijakan SBY (Susilo
Bambang Yudhoyono) Presiden Republik Indonesia ke-6. Pada tahun 2005 terjadi
kesepakatan di kota Helsinki (Finlandia), yang diikuti dengan penetapan UU No.

13
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam rangka menyelesaikan
masalah atau konflik sosial di kalangan masyarakat, Pemerintahan SBY juga
membentuk lembaga-lembaga dialog. Antara lain pembentukan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB). SBY berperan memfasilitasi proses perjanjian untuk
damai melalui dialog-dialog.

Namun untuk isu separatisme di Papua masih menjadi bara yang sewaktu-
waktu siap untuk mengeluarkan api yang besar dan berefek merugikan bagi
kedamaian Negara persatuan republik Indonesia. Intensitas dan kompleksitas
konflik di Papua semakin menjadi-jadi tiap masanya, pada tahun 2013 terjadi
peningkatan intensitas konflik ketika aparat polisi menjadi lebih represif dalam
menghadapi kelompok-kelompok separatis Papua seperti national liberation army
atau Organisasi Papua Merdeka. Kekacauan nasionalisme di tanah Papua ini
sungguh menjadi PR besar bagi Indonesia dalam menata dan mendudukkan
kembali makna Negara kesatuan republik Indonesia yang terlahir dari proses
panjang dimasa masa lalu pada saat masa perjuangan kemerdekaan.

Isu separatis seakan menjadi bara yang menyakitkan di dalam aktualisasi


kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini tentu bertentangan dengan keutuhan dan
ketentraman Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). padahal jelas, seluruh
pemuda Indonesia telah berikrar secara gamblang, teguh, dan tekad yang kuat
pada 28 oktober 1928 melalui berbagai organisasi kepemudaan pada saat itu dan
Papua juga punya perwakilan yaitu Poreu Ohee. Seorang tokoh pejuang papua
yang secara real diamini oleh anaknya Ramses Ohee bahwa ayahnya tersebut
benar hadir di acara kongres sumpah pemuda (https://www.kompasiana.
com/damianalexander/5518bf0e8133115c709de0c6/aitai-karubaba-dan-poreu-oh
ee-pemuda-papua-yang-hadir-dalam-sumpah-pemuda).

Fakta ini tentu mengetuk hati kita seluruh bangsa Indonesia dari sabang
sampai merauke bahwa kita adalah bertumpah darah satu yaitu tanah air
Indonesia, berbangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu kita sadari bahwa separatis
hanyalah sebuah penjegal kita untuk menjadi Negara yang maju dan sejahtera atau

14
merdeka secara utuh. Seluruh warga negara Indonesia harus paham akan makna
NKRI.

Pada dimensi lain, isu kewarganegaraan yang juga hangat dan kompleks
terjadi adalah isu diskriminasi dan marjinalisasi. Pada bidang politik dan budaya
tentu kedua isu tersebut sangat memiliki efek yang negatif terhadap aktualisasi
kewarganegaraan Indonesia yang esensial berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan
nilai-nilai demokratis. Diskriminasi maupun marjinalisasi bahkan juga menyentuh
persoalan ekonomi warganegara atau (economy civic). Kesenjangan antara sikaya
dengan simiskin, seakan menjadi jargon yang buruk bagi Indonesia. Tercatat,
disparitas antara si kaya dengan si miskin masih saja menjadi momok bagi
Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa faktanya pada maret tahun 2019 BPS
(Badan Pusat Statistik) melansir masih ada 25,14 juta penduduk indonesia
tergolong miskin. Survey ini pada satu sisi ada perbaikan karena jumlahnya
mengurang 810 ribu dari tahun sebelumnya (lihat
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190715132823-532-412205/jumlah-
penduduk-miskin-ri-maret-2019-turun-jadi-2514-juta?). Tentu disparitas ini
masih tergolong aman jika berdasarkan hitung-hitungan rasio gini world bank.
Namun angka 25,14 juta itu bukanlah angka kecil. Oleh karenanya, berdampak
pada kelompok yang berpendapatan rendah kesulitan untuk mengakses kebutuhan
dan pelayanan dasar seperti makanan, kesehatan dan pendidikan.

Polemik marjin ekonomi warga, dalam konsep kewarganegaraan akan


memicu rendahnya egality. Yang mana egality (perasaan atas kedudukan yang
sama atau persamaan) berkaitan erat dengan civic virtue (kebajikan warganegara).
Tentu dalam kontekstual civics ini kontradiktif dan perlu adanya reaktualisasi
konsep pembelajaran ekonomi civic yang lebih digalakkan lagi disekolah-sekolah.
Dalam konteks civic education, bahwa economic civic selain mengutamakan
unsur keterampilan warganegara untuk cerdas bersikap dalam menentukan masa
depannya dan sumbangsinya pada Negara dan bangsanya, juga harus
mepertimbangkan sisi prinsip hidup yang saling menghormati atau menghargai
(inilah sisi civic virtue-nya) atau egality, simpulan ini diadaptasi dalam penjelasan

15
materi perkembangan pembelajaran civics yang berorientasi pada community,
economic, dan vocational civics (Wahab dan Sapriya, 2011).

Untuk itu, guru dan segenap pemangku kepentingan ataupun agen


pendidikan kewarganegaraan di Indonesia perlu memperhatikan sisi disposition
warga negara dalam konteks aktualisasi perekonomiannya. Apalagi dalam
dimensi pendidikan, khususnya PPKn secara eksplisit bertanggung jawab pada
pembinaan ekonomi warganegara yang kreatif dan terkontrol. Terkontrol dalam
arti kreativitas ekonomi yang dibangun tetap dinetralisir dengan sikap berekonomi
yang humanis yaitu menjaga prinsip menghargai dan menghormati, agar jangan
sampai terjadi atau terciptanya disparitas atau marginalisasi dan diskriminasi yang
mengakibatkan kecemburuan sosial atau bahkan perseteruan.

c. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Regional


Dalam konteks ini, isu kewarganegaraan teritori regional berfokus pada
region ASEAN. Dimana isu-isu tersebut berlatar di Negara-negara ASEAN yang
diantaranya dapat berupa bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan dan agama.

Isu krusial pada konteks ini adalah berkaitan dengan Ideologi, Agama,
Politik, dan Sosial. Yang mana isu ini sejatinya juga merupakan bagian dari isu
global. Namun dalam sekop regional yaitu ASEAN, isu ini menjadi perhatian
penting bagi Negara-negara di ASEAN karena berhubungan dengan hubungan
bilateral dan multilateral, serta harmonisasi spiritual dan sosial serta politik antar
Negara ASEAN.

Isu yang dimaksud adalah persoalan Radikalisme. Pada bulan oktober


2019, melalui situs berbasis berita atau media informasi online (news) yaitu
liputan 6.com, “Ditjen PAS dan 9 Negara ASEAN Bahas Upaya Tangkal
Radikalisme di Lapas” dimana Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas)
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) membahas isu radikalisme dan
ekstremisme dalam lapas bersama dengan sembilan negara ASEAN lainnya.
Acara itu digelar bekerja sama dengan United Nations Office on Drug and Crime
(UNODC). Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami

16
menyampaikan, revitalisasi pemasyarakatan yang dikembangkan dan
diimplementasikan di seluruh lapas dan rutan di Indonesia menjadi solusi untuk
menangani radikalisme dan ekstremisme dalam lingkungan penjara.

Inti dari konsep ini adalah penilaian perubahan perilaku. Konsep ini juga
akan menjadi metode penanganan narapidana berkategori ekstrimisme atau high
risk (berisiko tinggi). Upaya ini sebagai langkah-langkah pencegahan sistematis
untuk mengatasi kondisi mendasar yang mendorong individu melakukan aksi
radikal dan bergabung dengan kelompok ekstremis. Terutama untuk mencegah
penyebaran ekstremisme kekerasan di antara komunitas penjara, sambil
menegakkan perlindungan dan hak asasi manusia (lihat https://www.
liputan6.com/news/read/4085075/ditjen-pas-dan-9-negara-asean-bahas-upaya-
tangkal-radikalisme-di-lapas).

Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada
pondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat
tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan
paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa
(Asrori, 2015).

Dengan definisi yang demikian tentu ini berlawanan dengan keinginan


hidup rukun dan damai serta harmonis antar warga di lingkungan ASEAN.
Tercatat isu radikalisme, Baru-baru ini kasus Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) di Irak-Suriah diyakini mampu membangkitkan dan menginspirasi makar
maupun aksi teror di regional Asia Tenggara. Pihak berwenang di setiap negara
ASEAN harus mulai menyadari potensi tumbuhnya bibit-bibit radikalisme Islam
di area masing-masing. Sebab kali ini, ISIS sangat masif, kreatif, serta menarik
minat pemuda melakukan propaganda dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI)

17
ataupun al-Qaeda pada satu dekade yang lalu (lihat
https://asc.fisipol.ugm.ac.id/2015/08/27/648/).

Lebih lanjut disampaikan pada laman berita pada url tersebut diatas,
bahwa Di Malaysia sendiri jumlah warga negara yang direkrut ISIS sekitar 40 dan
di Filipina sekitar 200 (Hashim 2015). The New Straits Times menerbitkan
laporan, kelompok teror yang independen seperti JI, al-Qaeda dan ISIS
berlangganan ideologi serupa. Ideologi itu direproduksi ulang dan ditawarkan
kembali kepada kelompok-kelompok milisi lainnya. Seperti pendahulunya, ISIS
pun mengadakan kontak dengan militan di Filipina Selatan, Abu Sayyaf.
Sementara itu, ISIS juga terlihat gencar melakukan propaganda di media sosial.
Pemimpin senior ISIS Abu Muthanna al Yaman menyiarkan video berjudul There
Is No Life Without Jihad di youtube (thediplomat.com 2014). Dalam video
tersebut, warga negara Inggris itu mengklaim, ISIS telah mengumpulkan milisi-
milisi muslim dari seluruh dunia. Mulai dari Bangladesh, Irak, Kamboja,
Australia, UK. Namun para pemimpin Muslim di Kamboja menolak klaim
tersebut. Meskipun demikian, diplomat mereka mencatat bahwa ratusan siswa
maupun mahasiswa dari Kamboja yang belajar di madrasah di Timur Tengah turut
bergabung.

Tentu hal ini mengkhawatirkan bagi seluruh warga di kawasan ASEAN.


Karena ini menyangkut rasa kemanusiaan dan persaudaraan. Jelas bahwa paham
radikalisme menghendaki cara kekerasan sampai pada perilaku terorisme. Dalam
konsepsi civics hal ini tentu melanggar esensi hakikat manusia yang berhak
mendapatkan perlindungan HAM.

Pendidikan menjadi pilar utama untuk menindak bahaya radikalisme,


upaya yang dilakukan adalah pencegahan lebih dini pada generasi muda bangsa
Indonesia. Di dunia pendidikan radikalisme secara umum dipahami sebagai suatu
gerakan sosial yang mengarah pada hal-hal yang negatif. Seiring dengan dinamika
dan pola gerakan kelompok kelompok di masyarakat, akhirnya antara radikal dan
teror menjadi satu makna, yaitu radikal merupakan embrio dari gerakan teror. Jika
memiliki pola pikir radikal, maka berpeluang besar untuk melahirkan aksi teror.

18
Banyak peristiwa di Indonesia dimana terorisme dan radikal menjadi satu
sehingga masyarakat umum tidak usah repot-repot membedakan antara
radikalisme dan terorisme, Muchit, MS (2016).

Gambar.4.3. Pendidikan pilar utama menangkal radikalisme sejak dini

Sumber: jalandamai.org

Radikalisme menyangkut persoalan cara pikir, kepribadian dan sikap


perilaku, oleh sebab itu cara untuk mengeliminir munculnya radikalisme dimulai
dari pemahaman yang kontekstual dalam melihat fenomena yang ada di dapam
kehidupan sosial. Cara pikir dan kepribadian tawazun, moderat dan
mengedepankan kebenaran universal adalah langkah pertama dan utama untuk
mengeliminir gerakan radikalisme. Langkah teknis lainnya berbagai elemen
pendidikan yang berwenang harus segera melakukan langkah langkah strategis
dan teknis untuk menyusun peraturan tentang bagaimana kesadaran dalam hidup
berbangsa dan bernegara dengan kerjasama intensif, utuh dan menyeluruh dari
berbagai pihak sehingga dalam realitasnya benar-benar sesuai harapan yaitu
Pendidikan mampu menangkal atau menghilangkan radikalisme.

Pendidikan sebagai upaya sadar untuk membentengi peserta didik dari


ancaman dan bahayanya radikalisme, secara kognitif peserta didik selalu

19
mengalami daya berfikir dalam perkembambang berfikir secara rasional dan kritis
namun tatkala tidak terfasilitasi perkembangan berpikirnya dapat berpotensi pada
situasi ‘krisis identitas’ dalam perjalanan pertumbuhan kepribadiannya, dan pada
akhirnya peserta didik terjebak pada keterlibatan dalam gerakan sosial radikal.
Merujuk pada riset yang pernah dilakukan oleh Quintan Wiktorowicz (2005)
mengenai gerakan radikal di Inggris., dalam situasi ‘krisis identitas’ seseorang
biasanya cenderung lebih mudah mengalami apa yang disebutnya sebagai
‘pembukaan kognitif’ (cognitive opening): sebuah fase penting yang dialami oleh
seorang aktivis untuk bergabung dengan gerakan radikal, yang lazim diawali
dengan sebuah krisis di mana mereka mengalami ketidakpastian, termasuk
menyangkut identitas diri, sehingga mereka menjadi mudah menerima
kemungkinan ide-ide dan pandangan-pandangan hidup baru.

Upaya dalam pencegahan radikalisme maka lembaga pendidikan sebagai


salah satu agent of change mengambil peran penting dan bersinergi dengan
pemerintah dalam mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila di kalangan pelajar dan
mahasiswa sebagai peserta didik. Wujud konkret yang bisa dilakukan oleh
lembaga pendidikan yakni dengan mempertajam sikap pancasilais melalui cara
mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam pembelajaran di kelas untuk
mencegah terjadinya lost value dan lost morality pada generasi peserta didik
(Pakpahan et al., 2021).

Keberadaan muatan pendidikan pancasila dan kewarganegaraan dalam


kurikulum pembelajaran di sekolah maupun di perguruan tinggi dinilai sangat
penting untuk meningkatkan kesadaran peserta didik dalam menanamkan nilai-
nilai kebangsaaan dalam upaya bekal diri meningkatkan pengembangan karakter
peserta didik menjadi warga negara yang mengakui paham pancasila sebagai
ideologi negara. Karena pemikiran dan gerakan radikalisme yang berimbas
kepada ancaman serta teror merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam suatu
masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun agama,
yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud
penolakan terhadap gejala yang dihadapi. Peserta didik dianggap mudah terpapar

20
paham radikalisme karena tingginya rasa semangat diri yang tidak diimbangi
pengendalian dan mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang fanatik terhadap
ideologi tertentu (Nurhayati et al., 2021)

d. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Global


Era globalisasi merupakan dimensi baru dalam proses perkembangan
bangsa. Pertanyaannya adalah bagaimana kesiapan bangsa Indonesia dalam
memasuki era baru tersebut, apakah secara psikologis anak-anak bangsa ini telah
benar-benar dipersiapkan untuk menyongsong datangnya zaman industrialisasi
dan revolusi informasi dengan segala konsekuensinya? Karena konsekuensi dari
industrialisasi dan revolusi informasi merupakan penerapan cara atau metode baru
dengan melibatkan teknologi modern yang memaksa manusia atau masyarakat
melakukan berbagai adaptasi baru agar penghayatan teknologi dapat digunakan
secara masif.

Menurut Choirul mahfud (2011) dalam menghadapi babakan baru


globalisasi sikap mental irasional, orientasi kepada status prinsip particular,
kesemuanya itu merupakan hambatan, maka dibutuhkan dukungan dari
penghayatan nilai-nilai baru yang lebih relevan bagi proses rasionalisasi dan
produktivitasnya tanpa terjebak dalam institusional ketat sehingga mengakibatkan
dehumanisasi, dengan demikian perlu disiapkan anak-anak bangsa menjadi
manusia yang berkualitas dengan kepribadian yang benar-benar cocok dengan
dinamika industrialisasi dan revolusi informasi.

Menurut A.W Praktiknya (choirul, 2011) terdapat karakteristik perkembangan


masyarakat pada era global yaitu;

1. Masyarakat fungsional; warga negara dalam relasi sosial hanya terjadi


jika melihat kegunaan dan fungsi tertentu sehingga terkesan relasinya
terbentuk karena ada motif-motif kepentingan (fungsional) atau fisik
materiil dan diluar itu kurang mendapatkan perhatian yang sewajarnya
2. Masyarakat teknologis; masyarakat yang semua urusan dan kegiatannya
harus dikerjakan menurut tekniknya masing-masing, yang cenderung

21
sudah bak, sehingga mendominasi pertimbangan efisiensi, produktivitas
dan sejenisnya. Atau tergolong pada ciri materialistik
3. Masyarakat saintifik; masyarakat yang dalam menghargai manusia lebih
diwarnai oleh seberapa jauh hal itu bernilai rasional objektif, provable
(dapat dibuktikan secara empirik dan kaidah-kaidah ilmiah). Ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin penting dan masif
4. Masyarakat terbuka; masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur
oleh sistem, sistem yang tidak hanya bersifat lokal, regional atau nasional
tetapi juga global
5. Transcendentalisme agama; masyarakat yang meletakkan agama semata-
mata sebagai masalah individu (personal/pribadi). Tuhan tidak
diberikannya otoritas dalam mengatur dinamika alam dalam kehidupan,
agama seolah-olah disisihkan dari dinamika sosial masyarakat.
6. Masyarakat serba nilai; berkembangnya nilai-nilai budaya masyarakat
yang timbul akibat modernisasi itu sendiri. Beberapa kecenderungan
antara lain; sekularisme, materialisme, individualisme, hedonisme dan
sebagainya.

Dalam konteks global, mentalitas masyarakat akan tampak sesuai dengan


pendapat A.W Praktiknya sehingga berdampak pada isu kewarganegaraan yang
diulas lebih luas. Dan tentu akan ada banyak sekali isu-isu yang bermunculan di
abad digital ini. Pada cakupan kali ini, kita akan lebih banyak membahas isu-isu
yang paling rentan terjadi termasuk yang secara signifikan berdampak pada
Negara Indonesia yang diantaranya dapat meliputi di bidang ideologi, politik,
hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama.

Jika melirik pada hasil pengamatan PBB (lihat https://www.liputan6.com/


global/read/3650933/5-isu-krusial-yang-akan-dibahas-dalam-sidang-majelis-
umum-pbb-2018), setidaknya pada tahun 2018 ada lima isu yang krusial di dunia
dan isu-isu tersebut tentu include dan berkorelasi dengan kajian kewarganegaraan
atau PKn. Pertama, isu krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia di Myanmar
yaitu kelompok Rohingnya atau kelompok umat muslim di Negara Myanmar

22
merupakan krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia terburuk di dunia. Kedua,
krisis kemanusiaan dan pertempuran di Suriah yang mengakibatkan eskalasi
(peningkatan) pengungsi suriah di berbagai negara, dan termasuk ada 3 juta orang
melarikan diri ke Negara Turki. Ketiga, isu yang sama yaitu pengungsian oleh
warganegara Palestine. Konflik palestina dan Israel seakan tidak ada habisnya.
Bayangkan saja hampir 5 juta orang Palestina mengungsi dikarenakan agresi
militer Israel dan bahkan juga dikarenakan krisis dana operasional. Keempat,
perseteruan politik antara Iran dengan Amerika Serikat. Yang bahkan menyeret
isu keagamaan dalam skup regional yaitu kelompok garis keras atau disebut ISIS.
Kelima, isu senjata nuklir dan rudal oleh Negara Korea Utara yang mengakibatkan
terjadinya rivalitas antara korea utara dengan amerika serikat yang tentunya akan
mengkhawatirkan Negara sekitar yang bisa saja terkena dampaknya.

Kelima isu diatas, secara garis besar turut masuk pada aktualisasi
kewarganegaraan global yang sarat akan konflik kemanusiaan, hubungan bilateral
maupun multilateral, ancaman keamanan atau suasana kondusif secara global,
konflik hak asasi manusia, dan masalah pengungsian. Pendidikan Global rasanya
perlu memperhatikan peran dan posisi serta hakikat dari warga global, yang akan
berbeda makna ketika hanya menyebutnya sebagai warga Iran misalkan atau
warga Amerika Serikat atau warga Israel atau Warga Palestina. Global
Citizenship Education (Pendidikan Kewarganegaraan Global) dapat menjadi
solusi baik dalam mengatasi berbagai tantangan atau isu global. Dimana Global
Citizenship Education (GCE) harus menyelaraskan konsepnya dengan konsepsi
civics (ilmu kewarganegaraan). Karenanya hal tersebut akan berhubungan dengan
upaya menghadapi isu-isu global yang sedang krusial terjadi. Dimana civics atau
IKn (Ilmu Kewarganegaraan) sendiri sebagai disiplin ilmu yang bertujuan
mendeskripsikan peranan warga negara dalam aspek kehidupan politik, ekonomi,
dan sosial-budaya. Dengan kata lain, IKN bertujuan menghasilkan konsep, teori
maupun generalisasi tentang peranan warga negara dalam masyarakat demokratis.
Teori-teori yang dihasilkan IKN diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
membina warga negara yang lebih baik (good citizen). Yaitu warga negara yang
aktif berpartisipasi serta memiliki tanggung jawab dalam membangun kehidupan

23
bernegara yang demokratis, berkemanusiaan dan berkeadilan sosial (Cholisin,
2016).

Selain isu-isu kewarganegaraan sebagaimana menurut PBB diatas, isu


kewarganegaraan yang juga krusial dalam konteks global adalah isu ideologi
ekstrimisme atau sering dilabelkan dengan istilah teroris karena sifat ekstrimnya
atau menggunakan kekerasan dan menghalalkan cara-cara kotor serta tidak
manusiawi. Ambil contoh yang baru-baru saja terjadi beberapa tahun belakangan
ini, peristiwa seperti yang terjadi di Charlottesville di Amerika Serikat 2017, di
Chemnitz, Jerman pada 2018 dan serangan teroris baru-baru ini di Christchurch,
Selandia Baru (lihat https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-48184050). Peristiwa
tersebut mengingatkan kita betapa hampir tiada berharganya lagi nilai
kemanusiaan. Seperti yang kita ketahui bahwa gerakan kaum ekstrimis biasanya
tertuju pada upaya merebut kekuasaan dari pemerintahan yang syah dengan
menunggangi isu-isu agama sebagai isu ideologi gerakannya. Jika di masa lampau
gerakan-gerakan ekstrimis klasik hanya berkutat pada tataran aqidah, maka
gerakan ekstrimis kontemporer telah mampu untuk menunjukkan eksistensi
hingga pada tataran syari’ah dengan melakukan perlawanan ekstrim hingga pada
aksi terorisme (Nugraha, 2016).

Pada dimensi lainnya, isu kewarganegaraan pada teritori global identik


dengan isu warga digital.
Gambar 4.4. dampak global
Dimana seorang warga negara
digital memiliki peran yang
vital untuk berkontribusi
terhadap isu perkembangan
kewarganegaraan di lingkungan
global. Informasi maupun isu
perkembangan global akan
mudah diakses oleh warga
Sumber; ruang guru.com negara digital, sehingga warga
negara digital memiliki kesempatan yang besar untuk terlibat dan berpartisipasi

24
menghadapi berbagai isu global. Digital citizenship merupakan pemahaman
tentang keamanan menggunakan internet, mengetahui cara menemukan, mengatur
dan membuat konten digital (termasuk literasi media, dan praktek skill secara
teknis), pemahaman tentang cara berperan untuk meningkatkan tanggung jawab
dalam interaksi antarbudaya (multikultur), serta pemahaman tentang hak dan
kewajiban dalam menggunakan media internet. Digital citizenship sangat penting
karena dapat membentuk dan membina civic literacy ke dunia global atau global
citizenship.

Dalam Framework for 21st Century Learning digambarkan bahwa core


dalam pendidikan di abad ini
Gambar 4.5. Framework for 21st Century
menekankan pada pembelajaran
Learning
dan keterampilan yang inovatif,
pembelajaran hidup dan
keterampilan berkarir, serta
pemanfaatan media informasi
dengan menggunakan
keterampilan memanfaatkan
teknologi (Prasetyo, 2016). Oleh
karenanya lebih lanjut Prasetyo
menjelaskan bahwa yang
terpenting dalam mewujudkan
Sumber; Prasetyo, 2016 warga digital adalah adanya
pengembangan literasi media dalam menyiapkan sumber daya manusia di abad
ke-21 dapat diterapkan ke dalam semua materi pelajaran, termasuk Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn). Hal ini dapat ditemukan apabila kita membedah muatan
Kurikulum 2013 hasil revisi tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dalam Kurikulum 2013 hasil revisi tersebut terlihat bahwa sudah ada
upaya menjadikan para pelajar kita tidak lagi terbatas sumber belajarnya pada
buku atau diktat pembelajaran. Bahkan dikatakan guru PPKn harus berupaya

25
memanfaatkan jaringan internet dalam pembelajaran dengan mengembangkan
pembelajaran berbasis jaringan (pembelajaran daring) sehingga pembelajarn
PPKn menjadi proses belajar yang terpadu/teraduk (blended learning). Di jenjang
Sekolah Dasar (SD) dan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), siswa
diminta untuk mencari informasi dari berbagai sumber belajar (buku, video,
internet, dll.). Kebutuhan akan literasi media internet semakin terlihat di jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) karena banyak dituliskan tentang “membaca dari
berbagai sumber (buku, media cetak maupun elektronik)” dengan komponen
literasi telah meluas menggunakan berbagai sarana dan sumber informasi.

Jika melihat mentalitas peserta didik di era global dikaji dari isu-isu
kewarganegaraan maka guru PPKn berupaya menyiapkan strategi dalam
menghadapi tantangan dan dinamika globalisasi tersebut; menurut Nils A. Shapiro
(choirul mahfud, 2011) terdapat enam kiat sukses menghadapi tantangan
globalisasi;
Gambar 4.6. karakteristik global
1. Perencanaan yang cermat (carefull
planning);
2. Latihan dan pengalaman (training
and experience); “well educated,
well trained, and well paid”
3. Bersedia belajar sepanjang hayat
4. Bersedia bekerja sama selama dan
sekeras diperlukan.
5. Tabah menghadapi kekecewaan
dan kemunduran
6. Kamampuan bersikap jujur

26
3. Forum Diskusi

CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas Terstruktur

Menguasai materi Struktur, metode, Isu-isu 1. Baca dengan


dan aplikasi dan spirit keilmuan Kewarganegaraan: cermat dan pahami
materi bidang kewarganegaraan, meliputi bidang materi isu-isu
kewarganegaraan
studi PPKn yang hukum, politik ideologi, politik,
yang meliputi
mencakup : kenegaraan, hukum, ekonomi, bidang ideologi,
a. konsep, sejarah perjuangan sosial, budaya, politik, hukum,
prinsip, prosedur, bangsa, dan pertahanan ekonomi, sosial,
dan metode disiplin lainnya keamanan dan budaya, pertahanan
keilmuan serta berlandaskan agama, dalam keamanan dan
nilai, norma, dan Undang-Undang konteks lokal, agama, dalam
konteks lokal,
moral yang Dasar Negara nasional, regional,
nasional, regional,
menjadi muatan Republik dan global dalam dan global dalam
kurikulum dan Indonesia tahun bingkai Negara bingkai Negara
proses 1945 sebagai Kesatuan Republik Kesatuan Republik
pembelajaran hukum dasar yang Indonesia (NKRI). Indonesia (NKRI)
dan/atau menjadi landasan 2. Cari bahan
pembudayaan konstitusional referensi yang
berhubungan dengan
dalam konteks kehidupan
muatan atau materi
pendidikan bermasyarakat, tentang isu-isu
Pancasila sebagai berbangsa dan kewarganegaraan.
dasar negara dan bernegara yang 3. Jelaskanlah
pandangan hidup ber-Bhinneka secara ringkas
bangsa dan Tunggal Ika dalam bagaimana dan apa
saja isu
kewarganegaraan keberagaman yang
kewarganegaraan
di sekolah kohesif dan utuh; pada lintas:
dan/atau a. Lokal,
masyarakat; b. Nasional,
b. struktur, c. Regional.
metode, dan spirit d. Dan Global
keilmuan
kewarganegaraan,
hukum, politik
kenegaraan,
sejarah
perjuangan
bangsa, dan
disiplin lainnya

27
berlandaskan
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik
Indonesia tahun
1945 sebagai
hukum dasar yang
menjadi landasan
konstitusional
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa dan
bernegara yang
ber- Bhinneka
Tunggal Ika
dalam
keberagaman
yang kohesif dan
utuh,
c. isu-isu dan/
atau
perkembangan
terkini
kewarganegaraan
meliputi bidang
ideologi, politik,
hukum, ekonomi,
sosial, budaya,
pertahanan
keamanan dan
agama, dalam
konteks lokal,
nasional, regional,
dan global dalam
bingkai Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI), termasuk
advance materials

28
secara bermakna
yang dapat
menjelaskan
aspek “apa”
(konten),
“mengapa”
(filosofis), dan “
bagaimana”
(penerapan) dalam
kehidupan sehari-
hari;

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Paradigma baru PPKn yang mengedepankan aspek civic literacy atau
literasi warganegara, perlu diadakan pembinaan dan edukasi secara baik untuk
memahami dan keterlibatan pada isu-isu kewarganegaraan yang meliputi bidang
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan
agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada konteks lokal, isu kewarganegaraan banyak menyangkut soal etnosentrisme.
Yang seakan menjadi cambuk spirit perlunya peran pendidikan kewarganegaraan
dalam memberikan peran edukasi untuk mencegah dampak negatif dari
etnosentrisme.
Pada konteks nasional, ada banyak sekali isu kewarganegaraan yang
hangat terjadi dan dapat memecah keutuhan sert harmonisasi hidup rukun bangsa
Indonesia. Sebut saja masalah ideologi separatisme, diskriminasi, dan
marginalisasi.

29
Pada konteks regional, isu seputar kewarganegaraan di kawasan ASEAN
banyak membahas tentang radikalisme. Yang mana isu tersebut berlawanan
dengan keinginan hidup rukun dan damai serta harmonis antar warga di
lingkungan ASEAN.
Sedangkan dalam konteks Global, isu-isu kewarganegaraan berakar dari
masalah aktualisasi kewarganegaraan global yang sarat akan konflik kemanusiaan,
hubungan bilateral maupun multilateral, ancaman keamanan atau suasana
kondusif secara global, konflik hak asasi manusia, dan masalah pengungsian.
Selain itu, isu penting lainnya adalah persoalan warga digital, dimana seorang
warga negara digital memiliki peran yang vital untuk berkontribusi terhadap isu
perkembangan kewarganegaraan di lingkungan global. Informasi maupun isu
perkembangan global akan mudah diakses oleh warga negara digital, sehingga
warga negara digital memiliki kesempatan yang besar untuk terlibat dan
berpartisipasi menghadapi berbagai isu global.

Pada kesimpulannya, konsepsi kewarganegaraan yang tidak lepas dari


interconnection dan interdependensi mengakibatkan setiap warga dunia akan
menghadapi berbagai isu-isu kewarganegaraan yang perlu ada program yang
secara utuh dapat membina warga untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan
hakikatnya sebagai manusia sehingga terhindar dari berbagai konflik.

Disinilah letak peran vital seorang guru, termasuk adalah guru PPKn.
Dalam dimensi pendidikan tersemat tanggung jawab besar. Untuk itu, Guru PPKn
secara pedagogis dan profesional harus menguasai substansi dan terampil
mengaktualisasi konsep kewarganegaraan yang juga berfokus pada pemahaman
dan bertanggungjawab pada isu-isu kewarganegaraan yang mutakhir sehingga
dapat menjadi agen pembentukan warganegara yang dapat melibatkan diri peserta
didik serta sumbangsi atau berpartisipasi aktif peserta didik untuk mampu
menghadapi berbagai tantangan isu kewarganegaraan yang meliputi bidang
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan
agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

30
2. Tes Formatif
Pada bagian tes formatif kali ini, peserta diminta untuk menyelesaikan
kumpulan soal-soal multiple choice di bawah ini secara baik dan benar.
Selanjutnya silahkan dan selamat mengerjakan.

Soal-soal:
1. Pentingnya memahami dan terlibat pada isu-isu kewarganegaraan sebagai
kompetensi kewarganegaraan yang memerlukan atribut?
a. Literasi warganegara
b. Literasi masyarakat
c. Literasi budaya
d. Civic knowledge
e. Civic disposition

2. Warganegara yang terlibat langsung dalam menanggapi berbagai isu


kewarganegaraan pada konteks lokal merupakan bagian dari
perwujudan?
a. Civic skill
b. Civic participation
c. Civic engagement
d. Civic culture
e. Civic empowerment

3. Kekhawatiran utama dalam merespon isu etnosentrisme merupakan


proses lunturnya?
a. Rule Of Law
b. Political culture
c. Bhineka Tunggal Ika
d. Multikulturalisme
e. Simplicitas

31
4. Faktor utama keberadaan etnosentris tidak lain dikarenakan?
a. Lemahnya peran pemerintah
b. Lemahnya peran warganegara
c. Lunturnya nilai adat istiadat
d. Kebablasan ideologi
e. Lunturnya kebhinekaan

5. Parameter penting upaya pendidikan multikultural melalui pendidikan


kewarganegaraan dapat ditempuh dengan?
a. Pembelajaran di Kelas.
b. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
c. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
homogen.
d. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
menghargai pluralitas dan homogenitas.
e. Pengajaran, pelatihan, proses pembudayaan.

6. Kesatuan bahasa, ekonomi, budaya, dan daerah menjadi parameter solusi


alternatif isu pada region?
a. Internasional
b. Global
c. Lokal
d. Nasional
e. Regional

7. Separatisme sangat anti terhadap konsensus bangsa Indonesia yang


mengutamakan nilai?
a. Gotong royong
b. Kebebasan
c. Kekerasan

32
d. Individual
e. Fundamentalis

8. Kecerdasan warga negara untuk meminimalisir marjin atau disparitas


orang kaya dengan orang miskin adalah menempuh pendidikan
kewarganegaraan yang berfokus pada?
a. Economic Democration
b. Economic civic
c. Civic Economic
d. Spirit Economic
e. Kebebasan

9. Cara-cara kekerasan pada filosofi radikalisme bertentangan dengan


kausalitas?
a. Pancasila
b. UUD 1945
c. bhineka tunggal ika
d. NKRI
e. Demokrasi

10. Digital citizenship sangat dipengaruhi oleh kapabilitas?


a. Perangkat digital
b. Literasi rakyat
c. Civic literacy
d. Kemauan individu
e. Peran guru PPKn

Kunci Jawaban:
1. A 6. D
2. C 7. A
3. C 8. B

33
4. E 9. A
5. B 10. C

3. Essay
1. Nilai-nilai apa saja yang dapat diuraikan tentang pembahasan isu
kewarganegaraan dalam konteks lokal, regional dan global ?
2. Jelaskan oleh saudara isu-isu kewarganegaraan berdasarkan pendekatan
global dalam perspektif pendidikan?
3. Bagaimana seorang guru mengilustrasikan materi ajar PPKn kepada
peserta didik dalam kajian isu-isu kewarganegaraan baik itu dalam
konteks lokal, regional dan global ?
4. Kajian kewarganegaraan dilihat dari nilai-nilai idiil, instrumen dan
praktis maka di integrasikan pada muatan materi ajar, jabarkan oleh
saudara secara komprehensif kajian nilai-nilai tersebut ?
5. Metodologi dalam kajian kewarganegaraan dalam ranah keilmuan
dirunut dari beberapa aspek capaian pembelajaran PPKn sehingga guru
harus mampu merencanakan pembelajaran yang ideal, uraikan secara
detail upaya guru tersebut?

4. Tes Sumatif

1. Pembelajaran PPKn dilihat dari substansi dan urgensinya banyak berorientasi


pada penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai upaya membentuk warganegara
yang Pancasilais. Hal ini sebagai wujud dari metode?
a. Value civic
b. Value education
c. Value competition
d. Value inculcation
e. Value creation

34
2. Pendidikan morality (pendidikan moral) adalah basis utama pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini sebagai upaya PPKn di Indonesia untuk
mendukung tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yaitu warganegara yang
cerdas. Untuk itu secara substansial-pedagogis PPKn, konsepsi ini termasuk
kedalam?
a. Salah satu body of Skill PPKn
b. Salah satu body of knowledge PPKn
c. Salah satu body of disposition PPKn
d. Pancasila
e. UUD 1945
3. Salah satu rumpun pada body of knowledge PPKn adalah ilmu politik. Rumpun
ini secara khusus dalam basis PPKn berorientasi pada?
a. Bhineka Tunggal Ika
b. Filsafat Pancasila
c. Rule of Law
d. Warganegara Demokratis
e. Budaya Politik
4. Guru PPKn perlu mengajak seluruh peserta didik untuk sadar akan pentingnya
mengetahui dan tanggap menyikapi berbagai persoalan atau isu politik, hukum,
dan moral dikarenakan sifat Reflective Inquiry implementasi pembelajaran
PPKn. Sehingga bekal utama bagi guru dalam hal ini harus berpijak pada?
a. Literasi Budaya
b. Literasi Politik
c. Literasi Economic
d. Literasi Social
e. Literasi Civics
5. Tonggak utama terbentuknya civil society adalah adanya partisipasi aktif
warganegara atau civic participation dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Untuk itu setiap warganegara perlu
mengaktualisasikan perilakunya seperti?
a. Beraksi, menanggapi, dan mengikuti

35
b. Bertanya, menjawab, dan mengomentari
c. Berinteraksi, menanggapi, dan mempengaruhi
d. Beraksi, memantau, dan mengikuti
e. Berinteraksi, memantau, dan mempengaruhi
6. PPKn perlu mengutamakan pembelajaran yang menekankan pada
pembentukan warganegara yang baik atau bermoral sebagai wujud dari
eksistensinya sebagai Pendidikan Moral. Untuk itu guru perlu memfokuskan
pengembangan pribadi peserta didik sebagai warganegara yang bermoral
dengan berfokus pada aspek?
a. Tanggungjawab warganegara
b. Pemahaman warganegara
c. Keterampilan warganegara
d. Interaksi warganegara
e. Identifikasi warganegara
7. Konsekuensi Negara rule of law menekankan kepada seluruh warga negara
Indonesia sadar dan taat untuk berkonstitusi, untuk dalam dimensi pendidikan,
PPKn mengkonsepkan kesadaran berkonstitusi sebagai upaya mewujudkan?
a. Civics
b. Demokratis
c. Multikulturalisme
d. Civil society
e. Bhineka Tunggal Ika
8. Nilai-nilai pancasila dilihat dari historisnya berasal dari nilai kehidupan
masyarakat Indonesia sejak dahulu yang dikumpulkan dan dirumuskan menjadi
5 sila oleh para the founding fathers bangsa Indonesia, hal ini merupakan
proses dari terbentuknya Pancasila melalui?
a. Elektis korporatif
b. Rapat dewan negara
c. Dialog
d. Pemilu
e. Demokrasi

36
9. Upaya mensinergikan kompetensi inti kurikulum 2013 mata pelajaran PPKn
dengan kompetensi inti civics sebagai disiplin ilmunya PPKn merupakan
bagian dari?
a. Konsepsi ilmu kewarganegaraan
b. Konsepsi substantif-pedagogis PPKn
c. Kompetensi PPKn
d. Psiko-sosial PPKN
e. Tujuan instruksional kurikulum PPKn
10. Pengejawantahan nilai-nilai pancasila merupakan tugas utama
pembelajaran PPKn sebagai langkah?
a. Guru menyesuaikan materi dengan media pembelajaran PPKn.
b. Guru menyesuaikan materi dengan aktualisasi konsep PPKn.
c. Guru menyesuaikan materi dengan aktualisasi konsep pancasila.
d. Penjabaran tujuan kurikulum PPKn.
e. Pengembangan materi PPKn

11. Sifat keilmuannya yang multifacet, membagi ruang pengetahuan yang


terdiri dari?
a. Politik, hukum, dan moral
b. Demokrasi, rule of law, dan etika
c. Ilmus sosial, politik, dan hukum
d. Politik, Demokrasi, dan Hukum
e. Pancasila, UUD 1945, dan NKRI
12. Dalam tradisi citizenship transmision, pembelajaran PPKn perlu
memperhatikan aspek ?
a. Media pembelajaran yang mendukung
b. Muatan yang ditransfer
c. Nilai ideal yang perlu ditransmisikan
d. Metode pembelajaran
e. Gaya belajar

37
13. Empat konsensus Indonesia tidak lepas dari bagian substantif-pedagogis
PPKn yang ditujukan untuk?
a. Penambahan materi PKn.
b. Membentuk muatan yang berdasarkan sistem norma yang dihasilkan
bangsa indonesia.
c. Penguatan karakter warganegara
d. Memperkaya muatan PKn yang punya ciri khas di Negara Indonesia.
e. Menambah pengalaman guru PPKn.
14. Metode inkuiri menjadi suatu metode yang sangat diperlukan dalam
pembelajaran PPKn dikarenakan ?
a. Sifatnya yang mendukung pembelajaran yang aktif dan kritis
b. Cocok untuk membentuk pembelajaran yang student center
c. Inkuiri sebagai metode yang menekankan pada aspek disposition
d. Pembelajaran PPKn tidak bisa lepas dari kegiatan mengidentifikasi
masalah
e. Metode belajar PPKn lebih bersifat statis
15. Dalam konteks substansi dan urgensi kajian UUD 1945 dalam
pembelajaran PPKn, target yang diharapkan adalah dapat terbentuknya spirit
berkonstitusi yaitu democratische rechtsstaat. Konsepsi yang demikian
merupakan relevansi dari ?
a. Indonesia sebagai Negara Rechstaat
b. Indonesia sebagai Negara Machstaat
c. Indonesia beriklim hukum hindia belanda
d. Kausalitas norma-norma sosial
e. Efek dari kehidupan para leluhur di masa lalu
16. Muatan PPKn yang bersumber dari norma-norma Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan ciri dari?
a. Substantif-pedagogik PPKn
b. Substantif-filosofis PPKn
c. Substantif-historis PPKn
d. Socio-culture PPKn

38
e. Politic-Culture PPKn
17. Rasa Patriotisme dan Nasionalisme akan terbentuk jika seorang
warganegara mengetahui dan memahami betul akan sejarah bangsanya dan jika
sebaliknya maka akan berdampak pada menurunnya tingkat Patriotisme dan
Nasionalisme, hal ini disebut sebagai?
a. Paradigma individuals’ identity
b. Paradigma individuals’ national identity
c. Paradigma Nationalism
d. Paradigma national identity
e. Paradigma Konservatif
18. Komitmen warganegara untuk berbhineka tunggal ika adalah komitmen
yang berfokus pada?
a. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan
kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
b. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang eksklusif
secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
c. Kehidupan yang berlandaskan pada konstitusi.
d. Kehidupan yang bersumber dari salah satu nilai Pancasila.
e. Kehidupan yang meletakkan pondasinya pada nilai-nilai adat
19. Sumber multikulturalisme kebhinekaan tunggal ika bangsa Indonesia
terletak pada?
a. Nilai-nilai budaya
b. Nilai-nilai kebangsaan
c. Etnosentrisme
d. Nilai-nilai adat istiadat
e. Nilai-nilai Pancasila
20. Pentingnya memahami dan terlibat pada isu-isu kewarganegaraan sebagai
kompetensi kewarganegaraan yang memerlukan atribut?
a. Literasi warganegara
b. Literasi masyarakat
c. Literasi budaya

39
d. Civic knowledge
e. Civic disposition
21. Kekhawatiran utama dalam merespon isu etnosentrisme merupakan proses
lunturnya?
a. Rule Of Law
b. Political culture
c. bhineka tunggal ika
d. Multikulturalisme
e. Simplicitas
22. Parameter penting upaya pendidikan multikultural melalui pendidikan
kewarganegaraan dapat ditempuh dengan?
a. Pembelajaran di Kelas.
b. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
c. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
homogen.
d. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
menghargai pluralitas dan homogenitas.
e. Pengajaran, pelatihan, proses pembudayaan.
23. Separatisme sangat anti terhadap konsensus bangsa Indonesia yang
mengutamakan nilai?
a. Gotong royong
b. Kebebasan
c. Kekerasan
d. Individual
e. Fundamentalis
24. Kecerdasan warga negara untuk meminimalisir marjin atau disparitas
orang kaya dengan orang miskin adalah menempuh pendidikan
kewarganegaraan yang berfokus pada?
a. Economic Democration
b. Economic civic

40
c. Civic Economic
d. Spirit Economic
e. Kebebasan
25. Digital citizenship sangat dipengaruhi oleh kapabilitas?
a. Perangkat digital
b. Literasi rakyat
c. Civic literacy
d. Kemauan individu
e. Peran guru PPKn

Kunci Jawaban
1. D 6. A 11. A 16. E 21. B
2. C 7. D 12. C 17. A 22. B
3. D 8. A 13. D 18. B 23. B
4. E 9. B 14. A 19. D 24. C
5. C 10. B 15. D 20. A 25. B

5. Daftar Pustaka
Buku:
Cholisin. 2016. Ilmu Kewarganegaraan (Civics). Yogyakarta:Penerbit Ombak.

Kalidjernih, Freddy, K. 2009. Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan.


Bandung:Widya Aksara Press.

Rennison, N. (2015). Freud dan psikoanalisis: Semua yang perlu Anda ketahui
tentang id, ego, super-ego, dan lainnya . Buku Oldcastle.

Setiawan, D & Yunita, S. 2017. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan :


Larispa.

Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

41
Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-
Epistemologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten : Universitas
Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Wiktorowicz, Quintan (2004) “Introduction: Islamic Activism and Social


Movement Theory”. Pp. 1-36 in Islamic Activism, A Social Movement
Theory Approach edited by Quintan Wiktorowicz. Bloomington &
Indianapolis: Indiana University Press.

Jurnal:

Ambarudin, R.I, Pendidikan Multikultural Untuk Membangun Bangsa Yang


Nasionalis Religius, Jurnal Civics Vol. 13 No. 1, Juni 2016, P-ISSN: 1829-
5789, E-ISSN: 2541-1918.

Asrori, A, Radikalisme Di Indonesia: Antara Historicistas Dan Antrópicas,


Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam , Volume 9, Nomor 2,
Desember 2015, p-ISSN: 0853-9510; e-ISSN: 2540-7759.

Hartati, Anna. Y, Separatisme Dalam Konteks Global (Studi Tentang Eksistensi


Republik Maluku Selatan (RMS) Sebagai Gerakan Separatis Indonesia).
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, Vol. 7, No. 2, Juni 2010, P-
ISSN 1829-5088, E-ISSN 2503-3883.

Nugraha, M.T, Dampak aksi Ekstrimisme dan terorisme terhadap collective


punishment pada wanita dan anak-anak, Jurnal HARKAT:Media
Komunikasi Islam tentang Gender dan Anak, Vol 12 (1) 2016, ISSN 1412-
2324.

Nurhayati, N., Indriani, I., & Utaminingsih, S. (2021, January). Efektivitas Mata
Kuliah Pendidikan Pancasila dalam Mencegah Radikalisme di Kalangan
Mahasiswa Program Studi Teknik Industri Universitas Pamulang.
In PROSIDING SENANTIAS: Seminar Nasional Hasil Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (Vol. 1, No. 1, pp. 337-346).

Muchit, MS (2016). Radikalisme dalam dunia pendidikan. Tambahkan , 10 (1),

Pakpahan, G. K., Salman, I., Setyobekti, A. B., Sumual, I. S., & Christi, A. M.
(2021). Internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam upaya mencegah
radikalisme. KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama
Kristen), 7(2), 435-445.163-180 .

Dokumen:

42
Prasetyo, Wibowo. H. 2016. Darurat Literasi Media Dalam Digital Citizenship :
Satu Gagasan Menuju Warga Negara Melek Informasi. Dalam Seminar
Nasional, Kongres dan Deklarasi AP3KnI 2016, yang dikutip dari url:
https://www.researchgate.net/publication/309720267
_Darurat_Literasi_Media_dalam_Digital_Citizenship_Satu_Gagasan_Me
nuju_Warga_Negara_Melek_Informasi.

Internet:
Alexander, D. 2015. Aitai Karubaba dan Poreu Ohee, Pemuda Papua yang Hadir
Dalam Sumpah Pemuda. Dikutip dari url : https://www.
kompasiana.com/damianalexander/5518bf0e8133115c709de0c6/aitai-
karubaba-dan-poreu-ohee-pemuda-papua-yang-hadir-dalam-sumpah-
pemuda. Diakses pada hari Jumat, 25 Oktober 2019, Pukul : 09.54 WIB.
Asean Study Center, ASEAN Dan Penanggulangan Terorisme: Beberapa Catatan,
dikutip dari url: https://asc.fisipol.ugm.ac.id/2015/08/27/648/.
Hasan, Rizki. A. 2018. 5 Isu Krusial yang Akan Dibahas dalam Sidang Majelis
Umum PBB 2018. Dikutip dari halaman url:
https://www.liputan6.com/global/read/3650933/5-isu-krusial-yang-akan-
dibahas-dalam-sidang-majelis-umum-pbb-2018. Diakses pada hari sabtu,
26 oktober 2019, pukul: 05.28 WIB.
Sulisworo, D., Wahyuningsih, T., & Arif, B., 2012. Identitas Nasional. Hibah
Pembelajaran Non Konvensional 2012. Dikutip dari halaman url :
http://eprints.uad.ac.id/9433/1/IDENTITAS%20 NASIONAL%20Dwi.pdf.
Diakses pada hari Jumat, 25-oktober-2019, Pukul:09.29 WIB.
Kemdikbud, 2019. Pengertian Nasional, Dikutip dari halaman url : https://kbbi.
kemdikbud.go.id/entri/nasional, diakses pada hari Jumat, 25-oktober-2019,
Pukul:09.24 WIB.
https://jalandamai.org/pendidikan-dan-pencegahan-radikalisme-secara-
semesta.html
https://www.ruangguru.com/blog/apa-itu-globalisasi-sosiologi-kelas-12

43

Anda mungkin juga menyukai